Bagian 091


“AKU pergi bersamamu”, sahut Kebo Kanigara.
“Kita pergi bersama-sama”, sambung Endang Widuri. Mahesa Jenar tidak dapat mencegah mereka. Segera yang lain pun berloncatan pula dari atas kuda mereka. Tetapi demikian mereka menginjakkan kaki mereka, terasa air memercik membasahi pakaian mereka.
“Air”, teriak Widuri. Baru Mahesa Jenar merasa, bahwa kakinya pun terendam air. Maka katanya,
“Air dari blumbang yang dijebol.”

Mereka diam. Perlahan-lahan mereka berjalan mendekati bayangan yang dilindungi oleh batang-batang ilalang. Cahaya yang kemerah-merahan bergerak-gerak dengan garangnya dan pancaran panasnya terasa meraba-raba tubuh mereka. Baru beberapa langkah mereka berjalan, peluh telah mengalir dari lubang-lubang di kulit mereka. Selain panas yang membelai wajah mereka, merekapun harus berhati-hati. Apakah orang itu salah seorang dari kawan Jaka Soka, atau orang lain yang belum mereka kenal. Mereka tidak tahu apakah maksud orang itu, berdiri menghadap api yang sedang marah. Semakin dekat, hati mereka semakin berdebar-debar. Ketika mereka kemudian dapat melihat orang itu, sekali lagi mereka terkejut. Orang itu adalah seorang tua yang berwajah tenang dan dalam dan mengenakan jubah putih.
“Panembahan Ismaya.” Hampir bersamaan kelima orang itu bergumam.
“Ya, Panembahan Ismaya,” Kebo Kanigara menegaskan. Mereka menjadi yakin ketika orang tua itu menoleh ke arah mereka. Dan kemudian wajahnya yang dibayangi oleh cahaya api itu memancarkan sebuah senyum.
“Marilah, marilah mendekat,” katanya perlahan-lahan. Perlahan-lahan mereka berlima berjalan mendekati Panembahan Ismaya. Sambil membungkuk hormat Kebo Kanigara menyapanya,
”Selamat malam, Panembahan.”
Panembahan tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Marilah Datanglah kemari.” Mereka berlima melangkah lebih dekat lagi.

Dan sekali lagi mereka menekan gelora di dalam dada mereka, ketika mereka melihat bahwa Panembahan Ismaya memegang di kedua tangannya sepasang keris yang bercahaya. Bahkan demikian terguncang hati Mahesa Jenar, sehingga tanpa sengaja ia berdesis,
“Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten.”
Rara Wilis dan Endang Widuri terkejut. Agaknya itulah keris-keris pusaka Kraton Demak yang menggemparkan itu. Sehingga tiba-tiba terdengarlah Widuri berkata,
“Pantas, api itu berhenti di sini.”
Panembahan Ismaya tertawa perlahan-lahan. Perlahan-lahan terdengar Panembahan itu berkata,
“Aku sedang berusaha membantu rakyat Banyubiru.”
“Panembahan.” Terdengar Kebo Kanigara bertanya,
“Apakah karena kedua keris itu maka api berhenti disini ?”
“Aku tidak tahu,” jawab Panembahan Ismaya,
“Aku tidak tahu kenapa api itu berhenti. Apakah karena angin tidak bertiup lagi, apakah karena batang-batang ilalang di sini masih jauh lebih basah daripada lereng-lereng di bagian bawah, ataukah karena air yang mengalir di bawah kaki kita ini. Atau karena kesaktian keris-keris ini. Atau karena semuanya. Tetapi yang jelas adalah Tuhan telah berkenan memenuhi permintaan rakyat Banyubiru. Api itu tidak membinasakan mereka, pedukuhan mereka dan sumber hidup mereka.”
Yang mendengar kata-kata itu menundukkan wajah mereka. Terasa betapa Maha Kuasanya Yang Maha Agung. Air, keris-keris itu dan segala usaha yang lain adalah pernyataan permohonan kepada Yang Maha Kuasa untuk menyelamatkan mereka. Dan Yang Maha Kuasa telah memenuhinya.
“Api itu telah surut.”
Kembali terdengar Panembahan Ismaya berkata,
“Mudah-mudahan sebentar lagi api akan dapat dikuasai dan menjadi padam.”
“Mudah-mudahan.” Sahut Kebo Kanigara. Kata-kata itu seperti demikian saja meloncat dari bibirnya.

KEMUDIAN kepada Mahesa Jenar, Panembahan Ismaya berkata,
“Sesudah ini Mahesa Jenar, pekerjaanmu akan segera selesai.”
Dada Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar. Dipandangnya api yang semakin lama semakin susut. Bahkan diujung lereng, api telah hampir padam sama sekali. Hanya merah-merah baranya yang masih tampak memecah kepekatan malam. Air di bawah kaki mereka masih mengalir terus, meskipun tidak sederas semula. Sejalan dengan itu api menjadi semakin suram. Sekali-kali terdengar suara rakyat Banyubiru berteriak-teriak,
“Api telah susut, api telah susut!” Dan sahut yang lain meninggi,
“Alirkan air dari segenap parit ke mari. Terus, jangan berhenti sebelum padam sama sekali.”
Panembahan Ismaya kemudian mengangkat kedua keris di tangannya, melampaui ubun-ubunnya dan kemudian menyarungkannya di warangkanya masing-masing. Wajahnya yang tenang, dalam, dan penuh ungkapan kedamaian itu masih memandangi sisa api yang memercik ke udara. Sekali masih tampak lidahnya menjilat tinggi, namun kemudian kembali surut. Kemudian Panembahan Ismaya memutar tubuhnya menghadap kepada kelima orang yang berdiri di sampingnya. Ketika ia melihat kehadiran Pandan Alas, Panembahan itu menyapanya,
“Ah, agaknya Ki Ageng Pandan Alas juga melihat api itu.”
Ki Ageng Pandan Alas mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menjawab,
“Api itu benar-benar mengejutkan, Panembahan.”
“Tetapi sebentar lagi api itu akan padam,” jawab Panembahan Ismaya.
“Dan dengan demikian akan selesai pula kisah perantauan Rangga Tohjaya.”
“Apakah pekerjaanku sudah selesai Panembahan?” tanya Mahesa Jenar.
“Sudah, meskipun belum bulat,” jawab Panembahan Ismaya,
“Tetapi sisanya tak dapat kau lakukan sekarang, nanti atau seminggu dua minggu, atau sebulan atau dua bulan lagi.”

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Apakah ia masih harus menunggu sampai waktu yang tak tertentu. Namun agaknya Panembahan tua itu mengerti gelora perasaannya, sehingga dengan senyum ia berkata,
“Meskipun demikian Mahesa Jenar, pekerjaan yang tersisa itu adalah pekerjaan yang semudah-mudahnya, sehingga kau tak usaha prihatin karenanya. Selama ini kau dapat melaksanakan segala rencana pribadimu.”
Mahesa Jenar menundukkan wajahnya, dan tiba-tiba wajah Rara Wilis pun menjadi kemerah-merahan.
“Apakah sisa pekerjaan itu, Panembahan?” tanya Mahesa Jenar untuk mengalihkan perhatian mereka.
“Menyerahkan keris-keris ini ke Demak,” jawab Panembahan Ismaya.
“Kenapa tidak besok, lusa bahkan seminggu dua minggu?” tanya Mahesa Jenar pula.
“Sudah aku katakan sebabnya,” sahut Panembahan tua itu.
“Dan sekarang aku menjadi semakin jelas menghadapi persoalan keris-keris ini. Aku telah bertemu dengan seorang Wali yang waskita, yang meramalkan bahwa seorang anak gembala akan merayap naik ke atas tahta. Kepada Wali yang bijaksana itu pun aku telah mengaku bahwa Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten ada padaku. Tetapi Wali itu berkata,
“Simpanlah dan serahkanlah ke Demak bersama-sama anak gembala itu.”
“Dan beruntunglah kau Kebo Kanigara bahwa anak gembala itu adalah kemenakanmu yang nakal itu.”
“Karebet?” sahut Kebo Kanigara.
“Ya,” jawab Panembahan Ismaya.
“Ia berada di sini sekarang, Penembahan,” kata Kebo Kanigara,
“Justru sedang dalam pembuangan karena ia melakukan kesalahan di istana.”
“Anak itu sekarang berada di rumah Ki Buyut,” jawab Panembahan Ismaya,
“Ia sedang membuat suatu rencana permainan yang mengasyikkan.”
“Apakah rencana itu?” desak Kebo Kanigara. Panembahan Ismaya menggeleng lemah,
“Aku tak tahu,” jawabnya. Namun tampak di wajah orang tua itu ia sedang merahasiakan sesuatu. Sesaat kemudian suasana menjadi hening. Yang terdengar adalah sisa-sisa api dan teriakan-teriakan orang-orang Banyubiru yang masih memenuhi lereng. Mereka agaknya belum puas sebelum mereka melihat api itu padam sama sekali.
Kemudian terdengar Panembahan Ismaya berkata,
“Kembalilah kepada mereka. Kalian akan dapat tidur nyenyak untuk seterusnya. Banyubiru akan pulih kembali. Gajah Sora telah berada di tempatnya, dan Lembu Sora telah meyakini kesalahannya. Bahkan anaknya satu-satunya telah menjadi korban. Sedangkan kau Mahesa Jenar, keris yang kau cari telah kau ketemukan. Bahkan kau telah menemukan pula sebuah hati, hati yang setia dan teguh pada janji.” Sekali lagi wajah Mahesa Jenar terbanting ke tanah. Ketika ia mencuri pandang ke arah Rara Wilis, hatinya menjadi berdebar-debar. Dilihatnya setitik air mata menggantung di pelupuk gadis itu, berkilat-kilat karena cahaya api yang kemerah-merahan.

“KI AGENG,” tiba-tiba terdengar suara Panembahan Ismaya bersungguh-sungguh,
“Sungguh aku tak mengenal kesopanan, namun kesopanan-kesopanan itu akan dipenuhi kelak. Ki, aku tak sabar lagi menunggu saat yang telah sekian lama terendam di dada Mahesa Jenar dan Rara Wilis. Baiklah aku mendahului segalanya, bahwa pada saatnya aku dan Kanigara akan bersedia mewakili keluarga Mahesa Jenar datang kepada Ki Ageng untuk melamar cucu Ki Ageng.”
“Oh!” Orangtua dari Gunungkidul itu mengangguk-angguk,
“Telah lama aku menyediakan diri untuk menerima lamaran itu.”
Kembali suasana menjadi sepi hening. Sekali lagi wajah Panembahan Ismaya menyapu api yang sudah hampir padam. Kemudian setelah menarik nafas panjang, Panembahan itu berkata,
“Marilah kita sowang-sowangan untuk sementara. Aku akan kembali ke Karang Tumirits. Kalian agaknya sudah ditunggu-tunggu oleh rakyat Banyubiru.”
Kemudian kepada Mahesa Jenar Penambahan berkata,
“Setiap saat kau dapat datang kepadaku bersama-sama dengan Kebo Kanigara. Dan setiap saat kau dapat mengajak aku ke Gunung Kidul. Jangan terlalu lama menunggu. Sesudah itu, baru kau pikirkan bagaimana kau akan menyerahkan Karebet bersama Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, yang untuk sementara biarlah aku simpan dahulu.”
Mahesa Jenar mengangguk hormat. Jawabnya dengan penuh perasaan,
“Terimakasih Panembahan.” Kepada Ki Ageng Pandan Alas, Panembahan Ismaya berkata,
“Ki Ageng dapat menyediakan lembu, kambing dan ayam sejak sekarang. Kami akan segera datang.”
“Terimakasih. Terimakasih,” jawab Ki Ageng Pandan Alas sambil tertawa.

Panembahan tua itu akhirnya berjalan perlahan-lahan meninggalkan mereka. Sama sekali tidak menunjukkan kesaktiannya sebagaimana apabila ia sedang mengenakan jubah abu-abu dan rana di wajahnya. Ia tidak lebih dari seorang Panembahan tua yang berjalan tertatih-tatih di antara batang-batang ilalang dan batu-batu yang terendam air. Namun beberapa langkah kemudian Panembahan itu berhenti dan berkata kepada Mahesa Jenar,
“Tak perlu orang-orang lain mengetahui bahwa masalah Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten telah hampir mendapat pemecahan. Tak perlu kau berceritera tentang anak nakal itu kepada siapapun. Keris-keris itu kini tak usah kalian persoalkan lagi. Pada saatnya ia akan muncul kembali bersama-sama dengan Kyai Sangkelat yang kini telah berada di tangan Karebet. Dan kaulah salah seorang yang paling berjasa dalam usaha penemuan keris-keris itu. Satu-satunya orang selain kalian yang berada di sini, hanyalah Ki Ageng Gajah Sora yang boleh mendengarnya.”
Mahesa Jenar mengangguk dalam-dalam sambil menjawab,
“Baik Panembahan.”
“Seluruh isi istana akan berterimakasih kepadamu.”
Panembahan itu bergumam perlahan-lahan, kemudian ia meneruskan perjalanannya kembali. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan orang-orang lain masih saja berdiri mematung, mengawasi punggung Panembahan Ismaya. Ketika mereka melihat orang tua itu menyusup alang-alang yang lebat, maka hati mereka terguncang. Apalagi mereka yang belum mengenal siapakah sebenarnya Panembahan tua itu.

Bahkan terdengarlah Widuri berbisik,
“Ayah, kasihan Panembahan. Tidakkah ayah mengantarkannya sampai ke Karang Tumaritis?”
Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar tersenyum di dalam hati. Gadis itu tidak akan berkata demikian seandainya ia tahu bahwa Panembahan Ismaya adalah Pasingsingan sepuh yang dahulu pernah bergelar Pangeran Buntara. Sebenarnya Ki Ageng Pandan Alas pun menjadi heran, bahwa Kebo Kanigara yang menjadi salah seorang putut-nya dan bernama Putut Karang Jati itu membiarkan orang setua Panembahan Ismaya menempuh perjalanan sendiri ke Karang Tumaritis. Jarak yang tidak terlalu dekat dari Banyubiru. Tetapi orang tua itu berpikir jauh. Kalau tak ada sesuatu sebab, pastilah Kebo Kanigara tak berbuat demikian. Dan bahkan Panembahan itu pasti akan minta kepada putut-nya untuk mengantarkannya.
“Ayah,” terdengar Endang Widuri mengulangi kata-katanya,
“Apakah Ayah tidak mengantarkannya?” “Kasihan Panembahan,” desis Kebo Kanigara.
Kemudian kepada Widuri ia berkata,
“Antarkanlah, Widuri. Aku masih mempunyai kepentingan di Banyubiru. Aku akan tinggal di sini.”
Widuri mengerutkan keningnya.
“Kenapa aku?”
“Selain aku, kaulah orang yang terdekat,” jawab Kanigara.
“Emoh,” sahut Widuri sambil menggeleng.
“Kalau begitu, marilah kita pergi bersama mengantarkan Panembahan,” sambung ayahnya.

Widuri kemudian bersungut-sungut sambil menjawab,
“Aku belum melihat Banyu Biru dalam suasana yang berbeda seperti kemarin.”
“Apa kepentinganmu disini?,” bertanya ayahnya.
Tiba-tiba Widuri terdiam. Apakah kepentingannya di Banyu Biru?. Terasa betapa beratnya meninggalkan tanah perdikan ini. Apakah karena bukit-bukitnya yang berjajar-jajar seperti benteng raksasa, apakah karena Rawa Pening yang berkilat memantulkan cahaya matahari disiang hari dan memantulkan cahaya bulan dan bintang-bintang dimalam hari?.
Tiba-tiba ia mendengar ayahnya tertawa. Widuri terkejut. Dan tahulah ia bahwa ayahnya tidak bersungguh sungguh menyuruhnya mengantarkan Panembahan Ismaya. Dan tahulah ia bahwa ayahnya sedang menggodanya.
Tiba-tiba wajahnya menjadi merah. Serta merta dicubitnya lengan ayahnya keras-keras
“Jangan Widuri,” ayahnya berdesis. Cubitan Widuri memang sakit. Tetapi justru karena itu, orang-orang lainpun mengetahuinya.
Bahkan kemudian Wilis menggodanya pula,
“apakah di BanyuBiru ada yang mengikatmu Widuri?”.
“Ada,” sahut Widuri sambil memiringkan bibirnya.
“Siapa?,” desak Wilis.
“Jaka Soka,” jawabnya. Dan yang lainpun tertawa.
Sesaat kemudian Kebo Kanigara berkata,
“Biarkanlah Panembahan Ismaya pulang sendiri. Tak akan ada bahaya yang mengancamnya. Dan kita, marilah kita temui Ki Ageng Gajah Sora.”


Seperti orang tersadar dari mimpi, mereka sekali-kali memandang kearah api yang hampir padam. Sesaat kemudian merekapun segera mendapatkan kuda-kuda mereka lalu meloncat ke punggungnya. Mereka kini tidak perlu berpacu lagi. Meskipun demikian kuda-kuda itupun berlari cukup cepat. Banyak persoalan yang berputar-putar di kepala Rara Wilis dan bahkan di dalam hati Ki Ageng Pandan Alas. Bagaimana kedua keris itu tiba-tiba saja ada di tangan Panembahan Ismaya. Mereka telah pernah mendengar cerita Mahesa Jenar, apalagi Ki Ageng Pandan Alas, sesaat setelah keris itu hilang, Mahesa Jenar dan Gajah Sora segera mendapatkannya di alun-alun Banyu Biru, dan mengatakan bahwa sepasang keris itu diambil oleh seseorang yang mengenakan jubah abu-abu, bahkan pada saat itu, Mahesa Jenar dan Gajah Sora menyangka bahwa orang itu adalah Pasingsingan.
Meskipun demikian, dengan bijaksana mereka akan menyimpan pertanyaan itu, sampai nanti pada saatnya, Mahesa Jenar pasti akan mengatakannya. Beberapa saat kemudian, ketika Mahesa Jenar menoleh ke lereng bukit Telamaya, dilihatnya api sudah tidak berdaya lagi untuk merambat ke barat. Asap putih kemerahan masih tampak mengepul tinggi, kemudian pecah berserakan ditiup angin malam yang lemah. Sehelai helai asap itu masih nampak mengalir ke selatan menghantam bukit.
“Api telah padam,” desisnya.
Yang lainpun memandang sesaat ke lereng. Sebuah lapangan hitam merah menganga di kaki bukit Telamaya. Bekas-bekas api itu tampak seperti sebuah luka parah, yang menempel di tebing bukit.

Ketika mereka sudah mendaki lebih tinggi lagi, sampailah mereka ke tempat orang-orang Banyu Biru berkumpul setelah berjuang menebas perdu dan alang-alang serta membuat parit ke lereng bukit. Ketika Mahesa Jenar melihat Wanamerta tua berdiri bersandar tangkai pacul maka segera disapanya,
“pekerjaan paman ternyata berhasil.”
Wanamerta menoleh. Sambil mengatur nafasnya ia menjawab,
“Ah, bukan pekerjaanku. Pekerjaan kita semua.”
“Ya,” sahut Mahesa Jenar,
“pekerjaan kita semua.”
“Dari manakah anakmas tadi?,” Wanamerta bertanya.
“Mengejar kelinci.”
“He,” Wanamerta heran.
“Aku telah menemukan sebab dari kebakaran ini”
“He”
“Nanti aku ceritakan, dimana kakang Gajah Sora dan Arya Salaka?”
“Di sana, di sebelah timur,” jawab Wanamerta.
“Aku ingin menemuinya,” kata Mahesa Jenar sambil melangkah.
“Nanti dulu,” tiba-tiba Wanamerta berteriak,
“Siapa?”
“Kakang Gajah Sora,” jawab Mahesa Jenar.
“Gajah Sora. Gajah Sora?” orangtua yang gemuk itu bergumam,
“O…” tiba-tiba Wanamerta seperti disengat kelabang.
“Ya, tadi aku melihatnya. Tadi aku sudah bercakap-cakap dengan Ki Ageng.” Wanamerta mengingat-ingat,
“Tetapi, bukankah Ki Ageng berada di Demak?”
“Sudah pulang,” jawab Mahesa Jenar pendek.
“Ya, sudah pulang. Aku sudah melihatnya,” ulang Wanamerta. Dan tiba-tiba saja orang tua itu melemparkan paculnya. Dengan meloncat-loncat ia berlari kencang-kencang ke arah timur. Terdengarlah ia berteriak-teriak,
“He, Ki Ageng Gajah Sora telah kembali.”

Laskar Banyubiru yang baru saja datang dari Pamingit tidak terkejut. Mereka telah menemui kepala daerah yang mereka suyudi. Namun bagi mereka yang tinggal di Banyubiru, teriakan itu seakan-akan mengetuk-ngetuk hati mereka keras sekali. Mahesa Jenar dan kawan-kawannya pun segera mengikuti arah Ki Wanamerta. Menyusup di antara orang-orang Banyubiru yang masih berdiri di sana-sini dengan alat-alat di tangan mereka. Ketika Wanamerta melihat Ki Ageng Gajah Sora berdiri di samping Arya Salaka dan Nyai Ageng Gajah Sora, terdengarlah Wanamerta itu berteriak keras-keras,
“Angger, kau telah datang di antara kami.”
Dan sebelum Gajah Sora menjawab, orang tua itu telah menubruknya. Dirangkulnya Gajah Sora seperti memeluk anaknya yang telah hilang, dan kini ditemuinya kembali.
Gajah Sora terkejut, bahkan ia menjadi heran. Wanamerta telah melihatnya tadi. Tetapi ia berdiam diri dan membiarkan orang tua itu menangis terisah-isak. Ya, orang tua yang setia itu menangis. Di sela-sela tangisnya terdengar Wanamerta berkata,
“Aku telah melihat Angger tadi. Tetapi karena ketegangan urat syarafku, maka aku menyangka bahwa Angger sudah lama tidak berada di Banyubiru. Dan kini Angger telah kembali. Kembali seperti apa yang kami harapkan. Bahkan kami yakini, bahwa pada saatnya Angger akan kembali.”
“Terimakasih Paman,” jawab Gajah Sora. Perlahan-lahan Wanamerta melepaskan tangannya. Kemudian Gajah Sora itu pun diperkenalkan dengan Mantingan dan Wirasaba yang selama ini ikut serta membantu mereka, merasakan pahit getir bersama rakyat Banyubiru yang setia. Setia kepada cita-cita mereka, setia pada tanah mereka. Kini semua sudah lalu. Tak ada persoalan lagi antara Pamingit dan Banyubiru. Tak ada persoalan lagi antara Banyubiru dan gerombolan-gerombolan liar yang dikemudikan oleh orang-orang sakti yang berilmu nasar. Sebab mereka telah dibinasakan oleh kekuatan-kekuatan yang dibenarkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Malam bertambah dalam juga. Api di lereng telah padam. Kini mereka sudah dapat beristirahat. Laskar yang datang dari Pamingit pun segera pulang ke rumah masing-masing. Menemui keluarga mereka untuk menyatakan keselamatan diri. Beberapa orang terpaksa berkabung karena kehilangan sanak kadang mereka. Namun mereka yakin bahwa arwah-arwah mereka itu akan diterima oleh Tuhan Yang Maha Pengasih. Sebab mereka gugur dalam perjuangan untuk menegakkan rasa cinta kasih sesama, rasa cinta kasih kepada Tuhannya. Yang akan datang adalah hari esok yang penuh dengan kerja. Memperbaiki tanggul yang jebol, menanami kembali lereng-lereng bukit yang gundul untuk menahan arus air hujan. Namun kerja itu akan dilakukan dengan hati yang cerah di hari-hari yang cerah pula. Ketika matahari pada keesokan harinya memancarkan cahayanya yang lembut menyentuh permukaan Rawa Pening, sibuklah orang-orang Banyubiru dengan kerja masing-masing. Wajah-wajah mereka yang riang menggambarkan isi hati mereka yang terang. Mereka telah merencanakan untuk menyelenggarakan suatu wiwahan sebagai pernyataan syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Pengasih, yang telah melimpahkan cinta kasih-Nya kepada rakyat Banyubiru.

Di pendapa rumah Kepala Daerah Tanah Perdikan Banyubiru, berdirilah seorang anak muda yang gagah, berdada bidang, berwajah jernih. Ia kini tidak lagi mengenakan pakaian yang lungset kumal. Namun kini ia telah pantas disebut sebagai putra Kepala Daerah Perdikan Banyubiru. Dengan wajah yang cerah ia melihat betapa rakyatnya sibuk mempersiapkan hari yang akan mereka rayakan bersama. Beberapa orang memasang janur-janur kuning dan yang lain membuat obor-obor yang besar. Tiba-tiba hatinya bergetar ketika ia melihat seorang gadis duduk di tangga gandhok kulon. Gadis itu pun berwajah cerah secerah matahari. Tanpa disadarinya, selangkah demi selangkah ia pergi menemui gadis itu.
“Bukankah kau ingin melihat Rawa Pening?” ajak Arya Salaka.

GADIS itu tersenyum. Segera ia berdiri. Namun kemudian wajahnya menjadi kemerah-merahan. Sambil duduk kembali ia menggeleng,
“Nanti Kakang, Ayah sedang mandi.”
“Kita pergi berdua,” ajak Arya Salaka. Widuri menggeleng. Tiba-tiba, ya tiba-tiba saja timbullah perasaan malu di dalam dadanya. Perasaan yang selama ini tak pernah mengganggu dirinya. Karena itu ia menjawab,
“Aku menunggu Ayah.”
Arya Salaka menjadi heran. Gadis itu telah mengalami suatu perubahan di dalam dirinya. Tetapi Arya Salaka tidak mengetahuinya. Ia menyangka bahwa ayah gadis itu pun telah mengajaknya pula. Maka katanya,
“Baiklah Widuri. Nanti aku datang kembali.”
Arya Salaka pun perlahan-lahan melangkah pergi. Kembali ia menemani kerja rakyatnya. Tak mengenal lelah. Perlambang dari kemauan mereka di hari-hari yang akan datang. Kerja keras untuk menyongsong hari-hari yang bahagia bagi anak cucu mereka. Gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja.

Sementara itu di gandhok wetan duduklah dalam satu lingkaran, Mahesa Jenar, Rara Wilis dan Ki Ageng Pandan Alas. Mahesa Jenar dalam kesempatan itu telah menceriterakan beberapa persoalan mengenai Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Sehingga akhirnya Ki Ageng Pandan Alas berkata sambil mengangguk- anggukkan kepalanya,
“Baru sekarang aku menjadi jelas. Karena itulah Panembahan Ismaya berkata, bahwa pekerjaanmu sudah hampir selesai.”
“Ya, Paman,” jawab Mahesa Jenar.
“Pada suatu saat, Anakmas…” kata Ki Ageng pula,
“Aku ingin juga pergi ke balik Gunung Gajah Mungkur itu. Tunjukkan kepadaku rumah orang yang bernama Paniling dan Darba, seperti yang Anakmas ceriterakan. Alangkah lucunya kalau aku melihat wajahnya. Persahabatan kami yang bertahun-tahun di masa lampau seperti persahabatan di dalam mimpi saja. Dan baru sekarang aku tahu bahwa Pasingsingan telah melampaui tiga masa.”
“Baiklah Ki Ageng,” jawab Mahesa Jenar,
“Besok aku antarkan Ki Ageng ke Pudak Pungkuran.” Pembicaraan itu akhirnya terputus ketika mereka mendengar hiruk-pikuk di halaman.
“Mereka ingin merayakan hari yang cerah ini,” desis Rara Wilis.
“Aku akan melihat mereka,” kata Ki Ageng Pandan Alas sambil melangkah keluar. Tinggallah di dalam gandok itu Rara Wilis dan Mahesa Jenar. Untuk beberapa saat mereka terbungkam. Tak sepatah kata pun terlontar dari sela-sela bibir masing-masing. Bahkan kemudian terdengar nafas Rara Wilis semakin cepat mengalir. Akhirnya, setelah suasana gandok wetan itu hening sejenak, terdengarlah Mahesa Jenar berkata,
“Adakah kau ingin kembali ke Gunung Kidul?”

Rara Wilis mengangguk lemah. Katanya,
“Aku mempunyai beberapa keinginan, tetapi bukan akulah yang akan menentukan.”
“Kita tentukan bersama-sama,” jawab Mahesa Jenar. Rara Wilis tersenyum, katanya,
“Terserahlah kepada Kakang.”
“Wilis,” tiba-tiba Mahesa Jenar berkata bersungguh-sungguh.
“Aku akan selalu mendekati keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Bagaimanakah kalau kami kemudian untuk sementara tinggal bersama-sama Panembahan Ismaya di Karang Tumaritis sebelum aku menyerahkannya kembali ke Demak bersama-sama Jaka Tingkir?”
“Terserahlah kepada Kakang. Tempat itu menyenangkan juga. Tenang dan tentram.”
Kembali mereka terdiam. Namun di angan-angan mereka terancamlah harapan bagi masa depan mereka. Bukan karena mereka akan mendapat hadiah dan kedudukan, namun karena hati mereka yang telah bertemu dan berpadu, setelah sekian lama berjuang untuk mengabdikan diri mereka kepada tugas-tugas mereka.

MAHESA JENAR sama sekali tak mengharapkan bahwa kelak namanya akan dicantumkan di dalam rontal-rontal atau dipahatkan di dinding-dinding istana dan gapura-gapura. Ia hanya mengharap, agar Demak kembali menemukan kekuatannya. Menemukan sipat kandel-nya. Sedang apa yang dilakukan adalah kewajiban yang seharusnya dilakukan. Sekali lagi menggemalah tekad di dalam dadanya, bahwa pengabdian tidaklah harus dilakukan di dekat dan sekitar istana. Di antara rakyat pun ia akan dapat melakukan pengabdian. Pengabdian bagi sesama dan pengabadian bagi Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan Yang Mahasa Besar yang telah menciptakan bumi, alam dan segenap isinya. Tetapi Mahesa Jenar tidak dapat segera meninggalkan Banyubiru. Masih ada beberapa persoalan yang harus ditungguinya. Endang Widuri masih ingin tinggal lama lagi, dan Kebo Kanigara masih harus menemui Mas Karebet. Namun hari-hari yang akan datang adalah hari-hari yang cerah. Hari yang cerah bagi Mahesa Jenar dan Rara Wilis. Hari yang cerah bagi Banyubiru dan Pamingit. Hari-hari yang cerah pula bagi Arya Salaka dan Endang Widuri. Mahesa Jenar dan Rara Wilis tidak akan menunggu waktu terlalu lama. Sebab umur-umur mereka selalu merayap-rayap meninggalkan usia mereka. Tetapi di Banyubiru terasa menjadi semakin sepi. Mantingan dan Wirasaba harus kembali ke tempat masing-masing. Wirasaba harus kembali ke istrinya yang setia, sedang Mantingan harus kembali ke gurunya dan kepada pekerjaannya, Dalang.
“Kakang Mahesa Jenar,” kata Mantingan pada saat ia minta diri dari Banyubiru,
“Aku akan datang kembali menemui Kakang nanti apabila datang saatnya Kakang memerlukan aku. Mantingan sebagai seorang dalang. Bukankah akan nikmat sekali, apabila aku mendapat kehormatan untuk meramaikan perhelatan perkawinan Kakang? Aku akan membawakan ceritera yang paling menarik, Parta Krama”

Mahesa Jenar hanya dapat tersenyum menanggapi kata-kata Mantingan itu, sedang Rara Wilis menundukkan wajahnya yang kemerah-merahan. Namun Mahesa Jenar berjanji di dalam hatinya, bahwa ia akan menerima sumbangan itu kelak pada saatnya. Dan Mantingan beserta Wirasaba itu pun kemudian meninggalkan Banyubiru, menuju ke timur, Prambanan. Banyubiru pun kemudian menjadi semakin sepi. Namun kesepian itu kemudian dipecahkan oleh hiruk-pikuk rakyatnya yang rajin. Kerja. Masih banyak yang harus mereka kerjakan untuk tanah perdikan mereka. Hanya dengan kerja, maka tanah mereka akan mencapai nilai-nilai yang mereka cita-citakan. Nilai kehidupan orang-perorang. Nilai kehidupan tanah perdikan keseluruhan. Sehingga karenanya tak ada tempat lagi bagi mereka untuk berselisih, bersitegang dengan kebenaran menurut tafsiran masing-masing, bersikeras hati mempertahankan pendapat-pendapat yang saling bertentangan. Yang ada kemudian adalah kerja, membanting tulang. Kini mereka bermandi keringat bersama-sama, namun kelak mereka akan menuai bersama-sama. Sementara Mahesa Jenar menunggu di Banyubiru, maka Kebo Kanigara telah mulai dengan persoalannya sendiri. Persoalan kemenakannya sangat menarik perhatiannya. Ceritera yang didengarnya dari Paningron dan Gajah Alit. Kemudian menurut Panembahan Ismaya, bahwa seorang Wali telah meramalkan hari depan yang gemilang buat anak nakal itu.
Namun kini, anak itu ternyata sedang disingkirkan oleh Sultan, karena pelanggaran-pelanggaran yang telah dibuatnya. Maka kemudian Kebo Kanigara itu memerlukan menemui Karebet. Tidak di rumah Ki Buyut, tetapi mereka bersepakat untuk bertemu di ujung hutan perdu di lereng Bukit Telamaya, supaya setiap pembicaraan dapat mereka lakukan dengan tidak bersegan hati terhadap orang-orang lain yang mendengarnya. Malam itu langit yang cerah ditandai oleh sepotong bulan muda. Kebo Kanigara duduk di atas sebuah batu padas, sedang Karebet dengan wajah yang tunduk duduk di hadapannya, seakan-akan seorang tertuduh yang sedang menunggu keputusan tentang dirinya.
“Karebet,” kata Kebo Kanigara perlahan. Karebet mengangat wajahnya sesaat, namun kemudian ditundukannya lagi.
Yang terdengar adalah suaranya parau,
“Ya, Paman.”

“AKU telah mendengar beberapa ceritera tentang dirimu di istana. Sehingga akhirnya kau terpaksa disingkirkan karenanya. Menurut para perwira yang datang ke Pamingit, kau telah membunuh seorang yang bernama Dadung Ngawuk hanya dengan sadak kinang. Namun, dari pancaran senyumnya aku dapat membaca bahwa bukan itulah yang telah kau lakukan. Nah, sekarang aku ingin tahu, apakah sebabnya kau diusir dari istana?”
Wajah Mas Karebet menjadi semakin dalam. Dadanya berdebar-debar semakin lama semakin cepat, sehingga kemudian mulutnya malahan menjadi serasa terbungkam.
“Katakanlah, Karebet,” desak Kebo Kanigara. Kembali Karebet terdiam. Dan kembali Kebo Kanigara mendesaknya,
“Apa yang terjadi?”
“Sikap putri Sultan terlalu baik kepadaku,” jawab Karebet terbata-bata.
“Lalu?”
“Aku pun bersikap baik kepadanya,” jawab Karebet
“Hanya itu?”
Karebet mengangguk,
“Ya.”
Karebet terkejut ketika pamannya membentaknya,
“Hanya itu?”
“Oh. Tidak Paman,” sahut Karebet cepat-cepat.
“Lalu?”
“Pergaulan kami menjadi semakin baik,” jawab Karebet,
“Mula-mula aku mengharapkan lebih dari itu. Tetapi ternyata perasaan kami masing-masing berkehendak lain. Tetapi ternyata Sultan tidak senang melihat pergaulan itu. Agaknya karena aku tidak lebih dari seorang lurah Tamtama pada waktu itu.”
“Kau tahu bahwa Sultan tidak berkenan di hatinya?”
Karebet mengangguk.
“Tetapi kesalahan itu masih kau lakukan?”

Karebet menjadi bingung. Tetapi ketika Kebo Kanigara mengulangi pertanyaannya, maka jawabnya,
“Ya. Tetapi bukan maksudku. Aku mencoba untuk menjauhinya. Tetapi setiap kali kami selalu bertemu. Aku dalam tugasku sebagai seorang tamtama, sedang putri Sultan itu, entahlah apa saja yang dilakukan di luar keputren.”
Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mempercayai sebagai ceritera kemenakannya. Namun ia tahu pula sifat-sifat anak itu. Kemudian terdengar kemenakannya itu berkata pula,
“Kemudian akulah yang menerima akibat dari pergaulan kami itu. Sultan marah kepadaku. Sehingga akhirnya aku dipindahkannya.”
“Kau tidak mengatakan sebenarnya apa yang terjadi kepada Sultan?”
“Aku telah mencoba,” jawab Karebet,
“Tetapi ada orang ketiga yang berkepentingan dengan keputusan Sultan itu.”
Kebo Kanigara mengerutkan keningnya.
“Siapa?”
“Tumenggung Prabasemi.”
Kembali Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
”Apakah kepentingannya?” Pertanyaan itu telah menghanyutkan Mas Karebet itu ke dalam suatu kenangan yang pahit. Sesaat ia tidak dapat menjawab pertanyaan pamannya. Namun kemudian diceriterakannya apa saja yang pernah dialaminya. Satu-satu. Tak ada yang dilampauinya. Bahkan ceritera itu seakan-akan merupakan tuangan kekesalan hatinya, atas peristiwa yang tak diharap-harapkan.
“Aku tidak menyangka bahwa Tumenggung itu akan berbuat sampai sedemikian jauh,” kata Karebet.
“Kau kenal orang itu baik-baik?”
“Ya, aku kenal Tumenggung Prabasemi dengan baik. Seorang Tumenggung yang masih muda. Namun karena kesaktiannya, ia cepat dapat menempati tempatnya yang sekarang. Seorang perwira Tamtama yang gagah perkasa.”
“Apa yang sudah dilakukannya?”

Karebet terdiam sesaat. Dicobanya untuk mengingat-ingat peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi itu. Dan peristiwa-peristiwa itu seakan-akan kini terulang kembali. Peristiwa demi peristiwa. Mulai dari permulaan sekali. Pada saat itu, pergaulan Karebet dengan putri Sultan itu belum diketahui oleh siapapun. Mereka masih dapat merahasiakan getaran-getaran perasaan mereka. Namun pada suatu ketika, masuklah orang yang bernama Tumenggung Prabasemi itu ke dalam lingkaran pergaulan mereka, sejak Tumenggung itu pada suatu saat bertemu dengan puteri Sultan yang cantik itu. Karebet adalah bawahan Tumenggung Prabasemi yang paling menarik perhatiannya. Sehingga lurah Tamtama yang masih sangat muda itu, seakan-akan tak pernah terpisah daripadanya.

“KAREBET,” kata Tumenggung Prabasemi,
“Kau adalah anak muda yang mempunyai kesempatan yang sangat baik. Kau adalah seorang tamtama yang dipungut dari anak-anak muda yang berterbaran di sana sini langsung oleh Sultan sendiri. Sehingga dengan demikian, kesempatan yang kau dapat, jauh lebih besar dari setiap kesempatan yang ada pada kami. Hampir tak pernah salah seorang di antara kami yang mendapat panggilan langsung dari Sultan selain dalam tugas-tugas kami. Tetapi kau pernah mendapat kesempatan itu. Kesempatan yang berada di luar tata peraturan para tamtama.”
Karebet masih belum tahu, apakah sebenarnya yang akan dikatakan oleh Tumenggung Prabasemi. Karena itu ia menunggu saja sampai Tumenggung itu berkata,
“Karebet. Adalah aneh, kalau aku beberapa hari yang lalu, untuk pertama kalinya melihat wajah putri bungsu Sultan. Sebelumnya aku memang pernah melihatnya. Namun sejak putri itu menginjak usia remajanya, dan kemudian mengalami pingitan, aku tidak pernah melihatnya lagi. Namun tiba-tiba aku mendapat kesempatan untuk memandang wajahnya. Wajah yang betapa cerahnya, sehingga aku menjadi silau karenanya.”

Dada mas Karebet berdesir mendengar kata-kata itu. Memang puteri Sultan itu demikian cantiknya. Namun apabila pujian itu keluar dari mulut seorang laki-laki, maka hati mas Karebet itu terasa seakan-akan meronta. Ternyata kemudian Tumenggung Prabasemi berkata pula,
“Barangkali aku telah menjadi gila, Karebet. Namun aku benar-benar ingin mendapat kesempatan yang lebih banyak untuk dapat memandang wajah itu. Kesempatan yang kedua aku dapat memandang wajahnya, adalah dua hari yang lampau. Ketika putri Sultan itu bermain-main di gerbang keputren.”
Kerebet menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak menjawab. Yang berkata seterusnya adalah Tumenggung itu,
“Karebet, apakah kau pernah melihat putri itu pula?”
Dengan kaku Karebet menganggukkan kepalanya, jawabnya,
“Ya Ki Tumenggung. Aku pernah melihatnya.”
Tumenggung Prabasemi mengangguk sambil tersenyum,
“Bagaimana menurut pendapatmu?”
“Tak ada kesan apapun padaku, Ki Tumenggung.”
Tumenggung itu tertawa. Katanya,
“Alangkah bodohnya kau Karebet. Tetapi tak apalah. Mungkin tangkapanmu lebih baik daripada aku. Atau aku memang sudah betul-betul gila.”
Kemudian setelah diam sesaat ia berkata,
“Apakah kau dapat menolong aku?”
Karebet mengerutkan keningnya. Katanya,
“Apakah yang harus aku lakukan?”
“Karebet…”, kata Tumenggung itu dengan ragu-ragu,
“Kalau sekali waktu kau dipanggil oleh Sultan, dan apabila kau lewat di muka gerbang Kaputren, serta kau lihat putri itu di sana, maka katakanlah, bahwa seorang Tumenggung menyampaikan sembah sujudnya untuk putri.”

Karebet menunggu Tumenggung itu berkata terus, namun kata-kata itu tak dilanjutkannya, sehingga Karebet itu bertanya,
“Hanya itu saja?”
“Ya. Hanya itu. Katakan kepada puteri, bahwa Tumenggung Prabasemi sangat mengangumi kecantikan putri itu.”
Karebet mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian jawabnya,
“Baik Ki Tumenggung. Tetapi bolehkah aku bertanya, apakah keuntungan Tumenggung dengan pesan itu?”
Tumenggung Prabasemi mengerutkan keningnya, kemudian ia tertawa,
“Kau memang bodoh Karebet. Biarlah tak kau ketahui keuntunganku dengan pesan itu. Namun apabila pada suatu ketika kau mendapat pesan dari putri itu, sampaikan pesan itu kepadaku.”
Mas Karebet tersenyum. Katanya,
“Aku memang bodoh. Tetapi aku tidak sebodoh seperti yang Ki Tumenggung sangka. Aku tahu maksud Ki Tumenggung. Tetapi, bukankah puteri itu putri Sultan.”
Prabasemi tersenyum,
“Itulah. Mungkin aku benar-benar sudah menjadi gila. Tetapi apakah kau sangka bahwa seorang Tumenggung tidak boleh berkenalan dengan putri raja? Aku adalah Tumenggung yang mendapat kepercayaan Sultan dalam bidang keprajuritan. Apa salahnya, apabila pada suatu ketika aku mampu menaklukkan daerah pesisir wetanan, dan aku mendapat triman putri itu?”
“Mudah-mudahan,” jawab Karebet,
“Dan Tumenggung akan mendapat gelar Pangeran. Pangeran Prabasemi.”
Prabasemi tertawa. Ia menjadi puas dengan angan-angannya. Ia mengharap Karebet akan memenuhi permintaannya. Dan ia mengharap putri itu pun telah pernah mendengar namanya dari Sultan sendiri, seorang Tumenggung, perwira Tamtama yang sakti. Bukankah dengan demikian, putri itu setidak-tidaknya ingin melihat wajah perwira yang sakti itu?.

TERNYATA yang dipesannya adalah seorang anak muda yang bernama Karebet. Seorang anak muda yang selalu menuruti perasaan sendiri, yang kadang-kadang terlalu aneh. Beberapa hari kemudian, Prabasemi itu berkata kepada Karebet,
“Karebet, apakah kau sudah mendapat kesempatan itu?”
Mas Karebet tersenyum, jawabnya,
“Sudah, Ki Tumenggung.”
“He…?” Ki Tumenggung sangat tertarik kepada jawaban itu.
“Aku telah dipanggil oleh Baginda, kemarin,” kata Karebet.
“Untuk apa?”
“Memijit kaki Baginda. Bukankah aku pernah belajar memijit?” sahut Karebet.
“Oh, pantas. Baginda sering memanggilmu,” kata Prabasemi.
“Tetapi apakah kau sempat bertemu dengan putri?” Karebet mengangguk.
“Ya, Ki Tumenggung,” jawab Karebet.
“Tetapi aku tidak sempat menyampaikan pesan Ki Tumenggung.”
“Gila,” gerutu Prabasemi dengan kecewa,
“Kenapa?”
“Aku tidak dapat mendekatinya,” sahut Karebet,
“Putri itu hanya lewat di muka bilik pembaringan Baginda.” Prabasemi mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
“Karebet, lain kali kau harus berhasil. Kau akan mendapat hadiah yang pasti akan sangat menyenangkan bagimu.”
“Apakah hadiah itu?” tanya Karebet.
“Lembu, kerbau, uang atau apa?”
“Baik. Baik Ki Tumenggung,” jawab Karebet.

Dan sebenarnyalah beberapa hari kemudian Karebet itu datang kepada Ki Tumenggung Prabasemi. Sambil tersenyum ia berkata,
“Ki Tumenggung, aku telah menghadap Sultan pula.”
“Memijit?” tanya Prabasemi.
“Ya. Aku memijit Sultan sehingga Sultan tertidur,” kata Karebet.
“Ah. Biarlah Baginda tertidur. Tetapi bagaimana dengan pesan itu?”
“Itulah yang akan aku katakan. Ketika Sultan tertidur, maka putri itu lewat pula di muka bilik pembaringan Sultan. Ternyata putri baru saja menghadap Ibunda dan akan kembali ke keputren bersama dua orang embannya.”
“Kau sampaikan pesan itu?”
Karebet menggeleng.
“Tidak, Ki Tumenggung.”
“Gila!” teriaknya,
“Apakah kau juga gila seperti aku, Karebet? Namun kau gila sebenarnya gila, sedang aku gila karena gadis itu.”
Karebet hanya tersenyum saja. Katanya,
“Apakah Ki Tumenggung tidak keberatan seandainya kedua embannya itu mendengar?”
“Jangan. Jangan,” potongnya.
“Nah, itulah sebabnya,” sahut Karebet,
“Lain kali akan aku coba.”

Tetapi beberapa hari kemudian Karebet menemui Prabasemi dengan wajah yang sedih. Prabasemi terkejut karenanya. Maka dengan tergesa-gesa terdengar ia berkata,
“Bagaimanakah dengan pesan itu Karebet?”
Karebet masih tetap tepekur dengan wajah muram. Perlahan-lahan ia berkata,
“Ki Tumenggung. Kali ini aku telah benar-benar dapat bertemu dengan putri.”
“Ha?” sahut Prabasemi,
“Kau sampaikan pesan itu?”
“Ya,” jawab Karebet.
“Nah, ternyata kau tidak sebodoh yang aku sangka. Tetapi kenapa kau sedih?”
“Aku ditamparnya,” sahut Karebet.
“Siapa yang menampar?”
“Putri.”
“Benar?”
“Ya.”
“Oh!” Tiba-tiba Prabasemi berdesah,
“Kau berkata sebenarnya?”
“Ya.”
“Lalu apa yang kau lakukan?”
“Aku hampir saja membalasnya.”
“He?” teriak Prabasemi,
“Kau benar-benar gila. Apakah dengan demikian kau tidak menyadari, bahwa kau dapat dihukum, bahkan hukuman mati?”
“Hampir, Ki Tumenggung. Hampir. Tetapi tidak jadi.”
“Lalu apa yang kau lakukan?”
“Aku minta maaf atas kelancanganku, atas pesan yang aku sampaikan itu.”


<<< Bagian 090                                                                                              Bagian 092 >>>

No comments:

Post a Comment