“AKU pergi bersamamu”, sahut Kebo Kanigara.
“Kita pergi
bersama-sama”, sambung Endang Widuri. Mahesa Jenar tidak dapat mencegah mereka.
Segera yang lain pun berloncatan pula dari atas kuda mereka. Tetapi demikian
mereka menginjakkan kaki mereka, terasa air memercik membasahi pakaian mereka.
“Air”, teriak
Widuri. Baru Mahesa Jenar merasa, bahwa kakinya pun terendam air. Maka katanya,
“Air dari blumbang
yang dijebol.”
Mereka diam.
Perlahan-lahan mereka berjalan mendekati bayangan yang dilindungi oleh
batang-batang ilalang. Cahaya yang kemerah-merahan bergerak-gerak dengan
garangnya dan pancaran panasnya terasa meraba-raba tubuh mereka. Baru beberapa
langkah mereka berjalan, peluh telah mengalir dari lubang-lubang di kulit
mereka. Selain panas yang membelai wajah mereka, merekapun harus berhati-hati.
Apakah orang itu salah seorang dari kawan Jaka Soka, atau orang lain yang belum
mereka kenal. Mereka tidak tahu apakah maksud orang itu, berdiri menghadap api
yang sedang marah. Semakin dekat, hati mereka semakin berdebar-debar. Ketika
mereka kemudian dapat melihat orang itu, sekali lagi mereka terkejut. Orang itu
adalah seorang tua yang berwajah tenang dan dalam dan mengenakan jubah putih.
“Panembahan
Ismaya.” Hampir bersamaan kelima orang itu bergumam.
“Ya,
Panembahan Ismaya,” Kebo Kanigara menegaskan. Mereka menjadi yakin ketika orang
tua itu menoleh ke arah mereka. Dan kemudian wajahnya yang dibayangi oleh
cahaya api itu memancarkan sebuah senyum.
“Marilah,
marilah mendekat,” katanya perlahan-lahan. Perlahan-lahan mereka berlima
berjalan mendekati Panembahan Ismaya. Sambil membungkuk hormat Kebo Kanigara
menyapanya,
”Selamat
malam, Panembahan.”
Panembahan tua
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Marilah
Datanglah kemari.” Mereka berlima melangkah lebih dekat lagi.
Dan sekali
lagi mereka menekan gelora di dalam dada mereka, ketika mereka melihat bahwa
Panembahan Ismaya memegang di kedua tangannya sepasang keris yang bercahaya.
Bahkan demikian terguncang hati Mahesa Jenar, sehingga tanpa sengaja ia
berdesis,
“Kyai
Nagasasra dan Sabuk Inten.”
Rara Wilis dan
Endang Widuri terkejut. Agaknya itulah keris-keris pusaka Kraton Demak yang
menggemparkan itu. Sehingga tiba-tiba terdengarlah Widuri berkata,
“Pantas, api
itu berhenti di sini.”
Panembahan
Ismaya tertawa perlahan-lahan. Perlahan-lahan terdengar Panembahan itu berkata,
“Aku sedang
berusaha membantu rakyat Banyubiru.”
“Panembahan.”
Terdengar Kebo Kanigara bertanya,
“Apakah karena
kedua keris itu maka api berhenti disini ?”
“Aku tidak
tahu,” jawab Panembahan Ismaya,
“Aku tidak
tahu kenapa api itu berhenti. Apakah karena angin tidak bertiup lagi, apakah
karena batang-batang ilalang di sini masih jauh lebih basah daripada
lereng-lereng di bagian bawah, ataukah karena air yang mengalir di bawah kaki
kita ini. Atau karena kesaktian keris-keris ini. Atau karena semuanya. Tetapi
yang jelas adalah Tuhan telah berkenan memenuhi permintaan rakyat Banyubiru. Api
itu tidak membinasakan mereka, pedukuhan mereka dan sumber hidup mereka.”
Yang mendengar
kata-kata itu menundukkan wajah mereka. Terasa betapa Maha Kuasanya Yang Maha
Agung. Air, keris-keris itu dan segala usaha yang lain adalah pernyataan
permohonan kepada Yang Maha Kuasa untuk menyelamatkan mereka. Dan Yang Maha
Kuasa telah memenuhinya.
“Api itu telah
surut.”
Kembali
terdengar Panembahan Ismaya berkata,
“Mudah-mudahan
sebentar lagi api akan dapat dikuasai dan menjadi padam.”
“Mudah-mudahan.”
Sahut Kebo Kanigara. Kata-kata itu seperti demikian saja meloncat dari
bibirnya.
KEMUDIAN
kepada Mahesa Jenar, Panembahan Ismaya berkata,
“Sesudah ini
Mahesa Jenar, pekerjaanmu akan segera selesai.”
Dada Mahesa
Jenar menjadi berdebar-debar. Dipandangnya api yang semakin lama semakin susut.
Bahkan diujung lereng, api telah hampir padam sama sekali. Hanya merah-merah
baranya yang masih tampak memecah kepekatan malam. Air di bawah kaki mereka
masih mengalir terus, meskipun tidak sederas semula. Sejalan dengan itu api menjadi
semakin suram. Sekali-kali terdengar suara rakyat Banyubiru berteriak-teriak,
“Api telah
susut, api telah susut!” Dan sahut yang lain meninggi,
“Alirkan air
dari segenap parit ke mari. Terus, jangan berhenti sebelum padam sama sekali.”
Panembahan Ismaya
kemudian mengangkat kedua keris di tangannya, melampaui ubun-ubunnya dan
kemudian menyarungkannya di warangkanya masing-masing. Wajahnya yang tenang,
dalam, dan penuh ungkapan kedamaian itu masih memandangi sisa api yang memercik
ke udara. Sekali masih tampak lidahnya menjilat tinggi, namun kemudian kembali
surut. Kemudian Panembahan Ismaya memutar tubuhnya menghadap kepada kelima
orang yang berdiri di sampingnya. Ketika ia melihat kehadiran Pandan Alas,
Panembahan itu menyapanya,
“Ah, agaknya
Ki Ageng Pandan Alas juga melihat api itu.”
Ki Ageng
Pandan Alas mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menjawab,
“Api itu
benar-benar mengejutkan, Panembahan.”
“Tetapi
sebentar lagi api itu akan padam,” jawab Panembahan Ismaya.
“Dan dengan
demikian akan selesai pula kisah perantauan Rangga Tohjaya.”
“Apakah
pekerjaanku sudah selesai Panembahan?” tanya Mahesa Jenar.
“Sudah,
meskipun belum bulat,” jawab Panembahan Ismaya,
“Tetapi
sisanya tak dapat kau lakukan sekarang, nanti atau seminggu dua minggu, atau
sebulan atau dua bulan lagi.”
Mahesa Jenar
menarik nafas dalam-dalam. Apakah ia masih harus menunggu sampai waktu yang tak
tertentu. Namun agaknya Panembahan tua itu mengerti gelora perasaannya,
sehingga dengan senyum ia berkata,
“Meskipun
demikian Mahesa Jenar, pekerjaan yang tersisa itu adalah pekerjaan yang
semudah-mudahnya, sehingga kau tak usaha prihatin karenanya. Selama ini kau
dapat melaksanakan segala rencana pribadimu.”
Mahesa Jenar
menundukkan wajahnya, dan tiba-tiba wajah Rara Wilis pun menjadi kemerah-merahan.
“Apakah sisa
pekerjaan itu, Panembahan?” tanya Mahesa Jenar untuk mengalihkan perhatian
mereka.
“Menyerahkan
keris-keris ini ke Demak,” jawab Panembahan Ismaya.
“Kenapa tidak
besok, lusa bahkan seminggu dua minggu?” tanya Mahesa Jenar pula.
“Sudah aku
katakan sebabnya,” sahut Panembahan tua itu.
“Dan sekarang
aku menjadi semakin jelas menghadapi persoalan keris-keris ini. Aku telah
bertemu dengan seorang Wali yang waskita, yang meramalkan bahwa seorang anak
gembala akan merayap naik ke atas tahta. Kepada Wali yang bijaksana itu pun aku
telah mengaku bahwa Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten ada padaku. Tetapi Wali
itu berkata,
“Simpanlah dan
serahkanlah ke Demak bersama-sama anak gembala itu.”
“Dan
beruntunglah kau Kebo Kanigara bahwa anak gembala itu adalah kemenakanmu yang
nakal itu.”
“Karebet?”
sahut Kebo Kanigara.
“Ya,” jawab
Panembahan Ismaya.
“Ia berada di
sini sekarang, Penembahan,” kata Kebo Kanigara,
“Justru sedang
dalam pembuangan karena ia melakukan kesalahan di istana.”
“Anak itu
sekarang berada di rumah Ki Buyut,” jawab Panembahan Ismaya,
“Ia sedang
membuat suatu rencana permainan yang mengasyikkan.”
“Apakah
rencana itu?” desak Kebo Kanigara. Panembahan Ismaya menggeleng lemah,
“Aku tak
tahu,” jawabnya. Namun tampak di wajah orang tua itu ia sedang merahasiakan
sesuatu. Sesaat kemudian suasana menjadi hening. Yang terdengar adalah
sisa-sisa api dan teriakan-teriakan orang-orang Banyubiru yang masih memenuhi
lereng. Mereka agaknya belum puas sebelum mereka melihat api itu padam sama
sekali.
Kemudian
terdengar Panembahan Ismaya berkata,
“Kembalilah
kepada mereka. Kalian akan dapat tidur nyenyak untuk seterusnya. Banyubiru akan
pulih kembali. Gajah Sora telah berada di tempatnya, dan Lembu Sora telah
meyakini kesalahannya. Bahkan anaknya satu-satunya telah menjadi korban.
Sedangkan kau Mahesa Jenar, keris yang kau cari telah kau ketemukan. Bahkan kau
telah menemukan pula sebuah hati, hati yang setia dan teguh pada janji.” Sekali
lagi wajah Mahesa Jenar terbanting ke tanah. Ketika ia mencuri pandang ke arah
Rara Wilis, hatinya menjadi berdebar-debar. Dilihatnya setitik air mata
menggantung di pelupuk gadis itu, berkilat-kilat karena cahaya api yang
kemerah-merahan.
“KI AGENG,”
tiba-tiba terdengar suara Panembahan Ismaya bersungguh-sungguh,
“Sungguh aku
tak mengenal kesopanan, namun kesopanan-kesopanan itu akan dipenuhi kelak. Ki,
aku tak sabar lagi menunggu saat yang telah sekian lama terendam di dada Mahesa
Jenar dan Rara Wilis. Baiklah aku mendahului segalanya, bahwa pada saatnya aku
dan Kanigara akan bersedia mewakili keluarga Mahesa Jenar datang kepada Ki
Ageng untuk melamar cucu Ki Ageng.”
“Oh!” Orangtua
dari Gunungkidul itu mengangguk-angguk,
“Telah lama
aku menyediakan diri untuk menerima lamaran itu.”
Kembali
suasana menjadi sepi hening. Sekali lagi wajah Panembahan Ismaya menyapu api
yang sudah hampir padam. Kemudian setelah menarik nafas panjang, Panembahan itu
berkata,
“Marilah kita
sowang-sowangan untuk sementara. Aku akan kembali ke Karang Tumirits. Kalian
agaknya sudah ditunggu-tunggu oleh rakyat Banyubiru.”
Kemudian
kepada Mahesa Jenar Penambahan berkata,
“Setiap saat
kau dapat datang kepadaku bersama-sama dengan Kebo Kanigara. Dan setiap saat
kau dapat mengajak aku ke Gunung Kidul. Jangan terlalu lama menunggu. Sesudah
itu, baru kau pikirkan bagaimana kau akan menyerahkan Karebet bersama Kyai
Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, yang untuk sementara biarlah aku simpan
dahulu.”
Mahesa Jenar
mengangguk hormat. Jawabnya dengan penuh perasaan,
“Terimakasih
Panembahan.” Kepada Ki Ageng Pandan Alas, Panembahan Ismaya berkata,
“Ki Ageng
dapat menyediakan lembu, kambing dan ayam sejak sekarang. Kami akan segera
datang.”
“Terimakasih.
Terimakasih,” jawab Ki Ageng Pandan Alas sambil tertawa.
Panembahan tua
itu akhirnya berjalan perlahan-lahan meninggalkan mereka. Sama sekali tidak
menunjukkan kesaktiannya sebagaimana apabila ia sedang mengenakan jubah abu-abu
dan rana di wajahnya. Ia tidak lebih dari seorang Panembahan tua yang berjalan
tertatih-tatih di antara batang-batang ilalang dan batu-batu yang terendam air.
Namun beberapa langkah kemudian Panembahan itu berhenti dan berkata kepada
Mahesa Jenar,
“Tak perlu
orang-orang lain mengetahui bahwa masalah Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten
telah hampir mendapat pemecahan. Tak perlu kau berceritera tentang anak nakal
itu kepada siapapun. Keris-keris itu kini tak usah kalian persoalkan lagi. Pada
saatnya ia akan muncul kembali bersama-sama dengan Kyai Sangkelat yang kini
telah berada di tangan Karebet. Dan kaulah salah seorang yang paling berjasa
dalam usaha penemuan keris-keris itu. Satu-satunya orang selain kalian yang
berada di sini, hanyalah Ki Ageng Gajah Sora yang boleh mendengarnya.”
Mahesa Jenar
mengangguk dalam-dalam sambil menjawab,
“Baik
Panembahan.”
“Seluruh isi
istana akan berterimakasih kepadamu.”
Panembahan itu
bergumam perlahan-lahan, kemudian ia meneruskan perjalanannya kembali. Mahesa
Jenar, Kebo Kanigara dan orang-orang lain masih saja berdiri mematung,
mengawasi punggung Panembahan Ismaya. Ketika mereka melihat orang tua itu
menyusup alang-alang yang lebat, maka hati mereka terguncang. Apalagi mereka
yang belum mengenal siapakah sebenarnya Panembahan tua itu.
Bahkan
terdengarlah Widuri berbisik,
“Ayah, kasihan
Panembahan. Tidakkah ayah mengantarkannya sampai ke Karang Tumaritis?”
Kebo Kanigara
dan Mahesa Jenar tersenyum di dalam hati. Gadis itu tidak akan berkata demikian
seandainya ia tahu bahwa Panembahan Ismaya adalah Pasingsingan sepuh yang
dahulu pernah bergelar Pangeran Buntara. Sebenarnya Ki Ageng Pandan Alas pun
menjadi heran, bahwa Kebo Kanigara yang menjadi salah seorang putut-nya dan
bernama Putut Karang Jati itu membiarkan orang setua Panembahan Ismaya menempuh
perjalanan sendiri ke Karang Tumaritis. Jarak yang tidak terlalu dekat dari
Banyubiru. Tetapi orang tua itu berpikir jauh. Kalau tak ada sesuatu sebab,
pastilah Kebo Kanigara tak berbuat demikian. Dan bahkan Panembahan itu pasti
akan minta kepada putut-nya untuk mengantarkannya.
“Ayah,”
terdengar Endang Widuri mengulangi kata-katanya,
“Apakah Ayah
tidak mengantarkannya?” “Kasihan Panembahan,” desis Kebo Kanigara.
Kemudian
kepada Widuri ia berkata,
“Antarkanlah,
Widuri. Aku masih mempunyai kepentingan di Banyubiru. Aku akan tinggal di
sini.”
Widuri
mengerutkan keningnya.
“Kenapa aku?”
“Selain aku,
kaulah orang yang terdekat,” jawab Kanigara.
“Emoh,” sahut
Widuri sambil menggeleng.
“Kalau begitu,
marilah kita pergi bersama mengantarkan Panembahan,” sambung ayahnya.
Widuri
kemudian bersungut-sungut sambil menjawab,
“Aku belum
melihat Banyu Biru dalam suasana yang berbeda seperti kemarin.”
“Apa
kepentinganmu disini?,” bertanya ayahnya.
Tiba-tiba
Widuri terdiam. Apakah kepentingannya di Banyu Biru?. Terasa betapa beratnya
meninggalkan tanah perdikan ini. Apakah karena bukit-bukitnya yang
berjajar-jajar seperti benteng raksasa, apakah karena Rawa Pening yang berkilat
memantulkan cahaya matahari disiang hari dan memantulkan cahaya bulan dan
bintang-bintang dimalam hari?.
Tiba-tiba ia
mendengar ayahnya tertawa. Widuri terkejut. Dan tahulah ia bahwa ayahnya tidak
bersungguh sungguh menyuruhnya mengantarkan Panembahan Ismaya. Dan tahulah ia
bahwa ayahnya sedang menggodanya.
Tiba-tiba
wajahnya menjadi merah. Serta merta dicubitnya lengan ayahnya keras-keras
“Jangan
Widuri,” ayahnya berdesis. Cubitan Widuri memang sakit. Tetapi justru karena
itu, orang-orang lainpun mengetahuinya.
Bahkan
kemudian Wilis menggodanya pula,
“apakah di
BanyuBiru ada yang mengikatmu Widuri?”.
“Ada,” sahut
Widuri sambil memiringkan bibirnya.
“Siapa?,”
desak Wilis.
“Jaka Soka,”
jawabnya. Dan yang lainpun tertawa.
Sesaat
kemudian Kebo Kanigara berkata,
“Biarkanlah
Panembahan Ismaya pulang sendiri. Tak akan ada bahaya yang mengancamnya. Dan
kita, marilah kita temui Ki Ageng Gajah Sora.”
Seperti orang
tersadar dari mimpi, mereka sekali-kali memandang kearah api yang hampir padam.
Sesaat kemudian merekapun segera mendapatkan kuda-kuda mereka lalu meloncat ke
punggungnya. Mereka kini tidak perlu berpacu lagi. Meskipun demikian kuda-kuda
itupun berlari cukup cepat. Banyak persoalan yang berputar-putar di kepala Rara
Wilis dan bahkan di dalam hati Ki Ageng Pandan Alas. Bagaimana kedua keris itu
tiba-tiba saja ada di tangan Panembahan Ismaya. Mereka telah pernah mendengar
cerita Mahesa Jenar, apalagi Ki Ageng Pandan Alas, sesaat setelah keris itu
hilang, Mahesa Jenar dan Gajah Sora segera mendapatkannya di alun-alun Banyu
Biru, dan mengatakan bahwa sepasang keris itu diambil oleh seseorang yang
mengenakan jubah abu-abu, bahkan pada saat itu, Mahesa Jenar dan Gajah Sora
menyangka bahwa orang itu adalah Pasingsingan.
Meskipun
demikian, dengan bijaksana mereka akan menyimpan pertanyaan itu, sampai nanti
pada saatnya, Mahesa Jenar pasti akan mengatakannya. Beberapa saat kemudian,
ketika Mahesa Jenar menoleh ke lereng bukit Telamaya, dilihatnya api sudah
tidak berdaya lagi untuk merambat ke barat. Asap putih kemerahan masih tampak
mengepul tinggi, kemudian pecah berserakan ditiup angin malam yang lemah.
Sehelai helai asap itu masih nampak mengalir ke selatan menghantam bukit.
“Api telah
padam,” desisnya.
Yang lainpun
memandang sesaat ke lereng. Sebuah lapangan hitam merah menganga di kaki bukit
Telamaya. Bekas-bekas api itu tampak seperti sebuah luka parah, yang menempel
di tebing bukit.
Ketika mereka
sudah mendaki lebih tinggi lagi, sampailah mereka ke tempat orang-orang Banyu
Biru berkumpul setelah berjuang menebas perdu dan alang-alang serta membuat
parit ke lereng bukit. Ketika Mahesa Jenar melihat Wanamerta tua berdiri
bersandar tangkai pacul maka segera disapanya,
“pekerjaan
paman ternyata berhasil.”
Wanamerta
menoleh. Sambil mengatur nafasnya ia menjawab,
“Ah, bukan
pekerjaanku. Pekerjaan kita semua.”
“Ya,” sahut
Mahesa Jenar,
“pekerjaan
kita semua.”
“Dari manakah
anakmas tadi?,” Wanamerta bertanya.
“Mengejar
kelinci.”
“He,”
Wanamerta heran.
“Aku telah
menemukan sebab dari kebakaran ini”
“He”
“Nanti aku
ceritakan, dimana kakang Gajah Sora dan Arya Salaka?”
“Di sana, di
sebelah timur,” jawab Wanamerta.
“Aku ingin
menemuinya,” kata Mahesa Jenar sambil melangkah.
“Nanti dulu,”
tiba-tiba Wanamerta berteriak,
“Siapa?”
“Kakang Gajah
Sora,” jawab Mahesa Jenar.
“Gajah Sora.
Gajah Sora?” orangtua yang gemuk itu bergumam,
“O…” tiba-tiba
Wanamerta seperti disengat kelabang.
“Ya, tadi aku
melihatnya. Tadi aku sudah bercakap-cakap dengan Ki Ageng.” Wanamerta
mengingat-ingat,
“Tetapi, bukankah
Ki Ageng berada di Demak?”
“Sudah
pulang,” jawab Mahesa Jenar pendek.
“Ya, sudah
pulang. Aku sudah melihatnya,” ulang Wanamerta. Dan tiba-tiba saja orang tua
itu melemparkan paculnya. Dengan meloncat-loncat ia berlari kencang-kencang ke
arah timur. Terdengarlah ia berteriak-teriak,
“He, Ki Ageng
Gajah Sora telah kembali.”
Laskar
Banyubiru yang baru saja datang dari Pamingit tidak terkejut. Mereka telah
menemui kepala daerah yang mereka suyudi. Namun bagi mereka yang tinggal di
Banyubiru, teriakan itu seakan-akan mengetuk-ngetuk hati mereka keras sekali.
Mahesa Jenar dan kawan-kawannya pun segera mengikuti arah Ki Wanamerta.
Menyusup di antara orang-orang Banyubiru yang masih berdiri di sana-sini dengan
alat-alat di tangan mereka. Ketika Wanamerta melihat Ki Ageng Gajah Sora
berdiri di samping Arya Salaka dan Nyai Ageng Gajah Sora, terdengarlah
Wanamerta itu berteriak keras-keras,
“Angger, kau
telah datang di antara kami.”
Dan sebelum
Gajah Sora menjawab, orang tua itu telah menubruknya. Dirangkulnya Gajah Sora
seperti memeluk anaknya yang telah hilang, dan kini ditemuinya kembali.
Gajah Sora
terkejut, bahkan ia menjadi heran. Wanamerta telah melihatnya tadi. Tetapi ia
berdiam diri dan membiarkan orang tua itu menangis terisah-isak. Ya, orang tua
yang setia itu menangis. Di sela-sela tangisnya terdengar Wanamerta berkata,
“Aku telah
melihat Angger tadi. Tetapi karena ketegangan urat syarafku, maka aku menyangka
bahwa Angger sudah lama tidak berada di Banyubiru. Dan kini Angger telah
kembali. Kembali seperti apa yang kami harapkan. Bahkan kami yakini, bahwa pada
saatnya Angger akan kembali.”
“Terimakasih
Paman,” jawab Gajah Sora. Perlahan-lahan Wanamerta melepaskan tangannya.
Kemudian Gajah Sora itu pun diperkenalkan dengan Mantingan dan Wirasaba yang
selama ini ikut serta membantu mereka, merasakan pahit getir bersama rakyat
Banyubiru yang setia. Setia kepada cita-cita mereka, setia pada tanah mereka.
Kini semua sudah lalu. Tak ada persoalan lagi antara Pamingit dan Banyubiru.
Tak ada persoalan lagi antara Banyubiru dan gerombolan-gerombolan liar yang
dikemudikan oleh orang-orang sakti yang berilmu nasar. Sebab mereka telah
dibinasakan oleh kekuatan-kekuatan yang dibenarkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Malam
bertambah dalam juga. Api di lereng telah padam. Kini mereka sudah dapat
beristirahat. Laskar yang datang dari Pamingit pun segera pulang ke rumah
masing-masing. Menemui keluarga mereka untuk menyatakan keselamatan diri.
Beberapa orang terpaksa berkabung karena kehilangan sanak kadang mereka. Namun
mereka yakin bahwa arwah-arwah mereka itu akan diterima oleh Tuhan Yang Maha
Pengasih. Sebab mereka gugur dalam perjuangan untuk menegakkan rasa cinta kasih
sesama, rasa cinta kasih kepada Tuhannya. Yang akan datang adalah hari esok
yang penuh dengan kerja. Memperbaiki tanggul yang jebol, menanami kembali
lereng-lereng bukit yang gundul untuk menahan arus air hujan. Namun kerja itu
akan dilakukan dengan hati yang cerah di hari-hari yang cerah pula. Ketika
matahari pada keesokan harinya memancarkan cahayanya yang lembut menyentuh
permukaan Rawa Pening, sibuklah orang-orang Banyubiru dengan kerja
masing-masing. Wajah-wajah mereka yang riang menggambarkan isi hati mereka yang
terang. Mereka telah merencanakan untuk menyelenggarakan suatu wiwahan sebagai
pernyataan syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Pengasih, yang telah melimpahkan
cinta kasih-Nya kepada rakyat Banyubiru.
Di pendapa
rumah Kepala Daerah Tanah Perdikan Banyubiru, berdirilah seorang anak muda yang
gagah, berdada bidang, berwajah jernih. Ia kini tidak lagi mengenakan pakaian
yang lungset kumal. Namun kini ia telah pantas disebut sebagai putra Kepala
Daerah Perdikan Banyubiru. Dengan wajah yang cerah ia melihat betapa rakyatnya
sibuk mempersiapkan hari yang akan mereka rayakan bersama. Beberapa orang
memasang janur-janur kuning dan yang lain membuat obor-obor yang besar.
Tiba-tiba hatinya bergetar ketika ia melihat seorang gadis duduk di tangga
gandhok kulon. Gadis itu pun berwajah cerah secerah matahari. Tanpa
disadarinya, selangkah demi selangkah ia pergi menemui gadis itu.
“Bukankah kau
ingin melihat Rawa Pening?” ajak Arya Salaka.
GADIS itu
tersenyum. Segera ia berdiri. Namun kemudian wajahnya menjadi kemerah-merahan.
Sambil duduk kembali ia menggeleng,
“Nanti Kakang,
Ayah sedang mandi.”
“Kita pergi
berdua,” ajak Arya Salaka. Widuri menggeleng. Tiba-tiba, ya tiba-tiba saja
timbullah perasaan malu di dalam dadanya. Perasaan yang selama ini tak pernah
mengganggu dirinya. Karena itu ia menjawab,
“Aku menunggu
Ayah.”
Arya Salaka
menjadi heran. Gadis itu telah mengalami suatu perubahan di dalam dirinya.
Tetapi Arya Salaka tidak mengetahuinya. Ia menyangka bahwa ayah gadis itu pun
telah mengajaknya pula. Maka katanya,
“Baiklah
Widuri. Nanti aku datang kembali.”
Arya Salaka
pun perlahan-lahan melangkah pergi. Kembali ia menemani kerja rakyatnya. Tak
mengenal lelah. Perlambang dari kemauan mereka di hari-hari yang akan datang.
Kerja keras untuk menyongsong hari-hari yang bahagia bagi anak cucu mereka.
Gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja.
Sementara itu
di gandhok wetan duduklah dalam satu lingkaran, Mahesa Jenar, Rara Wilis dan Ki
Ageng Pandan Alas. Mahesa Jenar dalam kesempatan itu telah menceriterakan
beberapa persoalan mengenai Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Sehingga
akhirnya Ki Ageng Pandan Alas berkata sambil mengangguk- anggukkan kepalanya,
“Baru sekarang
aku menjadi jelas. Karena itulah Panembahan Ismaya berkata, bahwa pekerjaanmu
sudah hampir selesai.”
“Ya, Paman,”
jawab Mahesa Jenar.
“Pada suatu
saat, Anakmas…” kata Ki Ageng pula,
“Aku ingin
juga pergi ke balik Gunung Gajah Mungkur itu. Tunjukkan kepadaku rumah orang
yang bernama Paniling dan Darba, seperti yang Anakmas ceriterakan. Alangkah
lucunya kalau aku melihat wajahnya. Persahabatan kami yang bertahun-tahun di
masa lampau seperti persahabatan di dalam mimpi saja. Dan baru sekarang aku
tahu bahwa Pasingsingan telah melampaui tiga masa.”
“Baiklah Ki
Ageng,” jawab Mahesa Jenar,
“Besok aku
antarkan Ki Ageng ke Pudak Pungkuran.” Pembicaraan itu akhirnya terputus ketika
mereka mendengar hiruk-pikuk di halaman.
“Mereka ingin
merayakan hari yang cerah ini,” desis Rara Wilis.
“Aku akan
melihat mereka,” kata Ki Ageng Pandan Alas sambil melangkah keluar. Tinggallah
di dalam gandok itu Rara Wilis dan Mahesa Jenar. Untuk beberapa saat mereka
terbungkam. Tak sepatah kata pun terlontar dari sela-sela bibir masing-masing.
Bahkan kemudian terdengar nafas Rara Wilis semakin cepat mengalir. Akhirnya,
setelah suasana gandok wetan itu hening sejenak, terdengarlah Mahesa Jenar
berkata,
“Adakah kau
ingin kembali ke Gunung Kidul?”
Rara Wilis
mengangguk lemah. Katanya,
“Aku mempunyai
beberapa keinginan, tetapi bukan akulah yang akan menentukan.”
“Kita tentukan
bersama-sama,” jawab Mahesa Jenar. Rara Wilis tersenyum, katanya,
“Terserahlah
kepada Kakang.”
“Wilis,” tiba-tiba
Mahesa Jenar berkata bersungguh-sungguh.
“Aku akan
selalu mendekati keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Bagaimanakah
kalau kami kemudian untuk sementara tinggal bersama-sama Panembahan Ismaya di
Karang Tumaritis sebelum aku menyerahkannya kembali ke Demak bersama-sama Jaka
Tingkir?”
“Terserahlah
kepada Kakang. Tempat itu menyenangkan juga. Tenang dan tentram.”
Kembali mereka
terdiam. Namun di angan-angan mereka terancamlah harapan bagi masa depan
mereka. Bukan karena mereka akan mendapat hadiah dan kedudukan, namun karena
hati mereka yang telah bertemu dan berpadu, setelah sekian lama berjuang untuk
mengabdikan diri mereka kepada tugas-tugas mereka.
MAHESA JENAR
sama sekali tak mengharapkan bahwa kelak namanya akan dicantumkan di dalam
rontal-rontal atau dipahatkan di dinding-dinding istana dan gapura-gapura. Ia
hanya mengharap, agar Demak kembali menemukan kekuatannya. Menemukan sipat
kandel-nya. Sedang apa yang dilakukan adalah kewajiban yang seharusnya
dilakukan. Sekali lagi menggemalah tekad di dalam dadanya, bahwa pengabdian
tidaklah harus dilakukan di dekat dan sekitar istana. Di antara rakyat pun ia
akan dapat melakukan pengabdian. Pengabdian bagi sesama dan pengabadian bagi
Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan Yang Mahasa Besar yang telah menciptakan bumi, alam
dan segenap isinya. Tetapi Mahesa Jenar tidak dapat segera meninggalkan
Banyubiru. Masih ada beberapa persoalan yang harus ditungguinya. Endang Widuri
masih ingin tinggal lama lagi, dan Kebo Kanigara masih harus menemui Mas Karebet.
Namun hari-hari yang akan datang adalah hari-hari yang cerah. Hari yang cerah
bagi Mahesa Jenar dan Rara Wilis. Hari yang cerah bagi Banyubiru dan Pamingit.
Hari-hari yang cerah pula bagi Arya Salaka dan Endang Widuri. Mahesa Jenar dan
Rara Wilis tidak akan menunggu waktu terlalu lama. Sebab umur-umur mereka
selalu merayap-rayap meninggalkan usia mereka. Tetapi di Banyubiru terasa
menjadi semakin sepi. Mantingan dan Wirasaba harus kembali ke tempat
masing-masing. Wirasaba harus kembali ke istrinya yang setia, sedang Mantingan
harus kembali ke gurunya dan kepada pekerjaannya, Dalang.
“Kakang Mahesa
Jenar,” kata Mantingan pada saat ia minta diri dari Banyubiru,
“Aku akan
datang kembali menemui Kakang nanti apabila datang saatnya Kakang memerlukan
aku. Mantingan sebagai seorang dalang. Bukankah akan nikmat sekali, apabila aku
mendapat kehormatan untuk meramaikan perhelatan perkawinan Kakang? Aku akan
membawakan ceritera yang paling menarik, Parta Krama”
Mahesa Jenar
hanya dapat tersenyum menanggapi kata-kata Mantingan itu, sedang Rara Wilis
menundukkan wajahnya yang kemerah-merahan. Namun Mahesa Jenar berjanji di dalam
hatinya, bahwa ia akan menerima sumbangan itu kelak pada saatnya. Dan Mantingan
beserta Wirasaba itu pun kemudian meninggalkan Banyubiru, menuju ke timur,
Prambanan. Banyubiru pun kemudian menjadi semakin sepi. Namun kesepian itu
kemudian dipecahkan oleh hiruk-pikuk rakyatnya yang rajin. Kerja. Masih banyak
yang harus mereka kerjakan untuk tanah perdikan mereka. Hanya dengan kerja,
maka tanah mereka akan mencapai nilai-nilai yang mereka cita-citakan. Nilai
kehidupan orang-perorang. Nilai kehidupan tanah perdikan keseluruhan. Sehingga
karenanya tak ada tempat lagi bagi mereka untuk berselisih, bersitegang dengan
kebenaran menurut tafsiran masing-masing, bersikeras hati mempertahankan
pendapat-pendapat yang saling bertentangan. Yang ada kemudian adalah kerja,
membanting tulang. Kini mereka bermandi keringat bersama-sama, namun kelak
mereka akan menuai bersama-sama. Sementara Mahesa Jenar menunggu di Banyubiru,
maka Kebo Kanigara telah mulai dengan persoalannya sendiri. Persoalan
kemenakannya sangat menarik perhatiannya. Ceritera yang didengarnya dari
Paningron dan Gajah Alit. Kemudian menurut Panembahan Ismaya, bahwa seorang
Wali telah meramalkan hari depan yang gemilang buat anak nakal itu.
Namun kini,
anak itu ternyata sedang disingkirkan oleh Sultan, karena
pelanggaran-pelanggaran yang telah dibuatnya. Maka kemudian Kebo Kanigara itu
memerlukan menemui Karebet. Tidak di rumah Ki Buyut, tetapi mereka bersepakat
untuk bertemu di ujung hutan perdu di lereng Bukit Telamaya, supaya setiap
pembicaraan dapat mereka lakukan dengan tidak bersegan hati terhadap
orang-orang lain yang mendengarnya. Malam itu langit yang cerah ditandai oleh
sepotong bulan muda. Kebo Kanigara duduk di atas sebuah batu padas, sedang
Karebet dengan wajah yang tunduk duduk di hadapannya, seakan-akan seorang
tertuduh yang sedang menunggu keputusan tentang dirinya.
“Karebet,”
kata Kebo Kanigara perlahan. Karebet mengangat wajahnya sesaat, namun kemudian
ditundukannya lagi.
Yang terdengar
adalah suaranya parau,
“Ya, Paman.”
“AKU telah
mendengar beberapa ceritera tentang dirimu di istana. Sehingga akhirnya kau
terpaksa disingkirkan karenanya. Menurut para perwira yang datang ke Pamingit,
kau telah membunuh seorang yang bernama Dadung Ngawuk hanya dengan sadak
kinang. Namun, dari pancaran senyumnya aku dapat membaca bahwa bukan itulah
yang telah kau lakukan. Nah, sekarang aku ingin tahu, apakah sebabnya kau
diusir dari istana?”
Wajah Mas
Karebet menjadi semakin dalam. Dadanya berdebar-debar semakin lama semakin
cepat, sehingga kemudian mulutnya malahan menjadi serasa terbungkam.
“Katakanlah,
Karebet,” desak Kebo Kanigara. Kembali Karebet terdiam. Dan kembali Kebo
Kanigara mendesaknya,
“Apa yang
terjadi?”
“Sikap putri
Sultan terlalu baik kepadaku,” jawab Karebet terbata-bata.
“Lalu?”
“Aku pun
bersikap baik kepadanya,” jawab Karebet
“Hanya itu?”
Karebet
mengangguk,
“Ya.”
Karebet
terkejut ketika pamannya membentaknya,
“Hanya itu?”
“Oh. Tidak
Paman,” sahut Karebet cepat-cepat.
“Lalu?”
“Pergaulan
kami menjadi semakin baik,” jawab Karebet,
“Mula-mula aku
mengharapkan lebih dari itu. Tetapi ternyata perasaan kami masing-masing
berkehendak lain. Tetapi ternyata Sultan tidak senang melihat pergaulan itu.
Agaknya karena aku tidak lebih dari seorang lurah Tamtama pada waktu itu.”
“Kau tahu
bahwa Sultan tidak berkenan di hatinya?”
Karebet
mengangguk.
“Tetapi
kesalahan itu masih kau lakukan?”
Karebet
menjadi bingung. Tetapi ketika Kebo Kanigara mengulangi pertanyaannya, maka
jawabnya,
“Ya. Tetapi
bukan maksudku. Aku mencoba untuk menjauhinya. Tetapi setiap kali kami selalu
bertemu. Aku dalam tugasku sebagai seorang tamtama, sedang putri Sultan itu,
entahlah apa saja yang dilakukan di luar keputren.”
Kebo Kanigara
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mempercayai sebagai ceritera kemenakannya.
Namun ia tahu pula sifat-sifat anak itu. Kemudian terdengar kemenakannya itu
berkata pula,
“Kemudian
akulah yang menerima akibat dari pergaulan kami itu. Sultan marah kepadaku.
Sehingga akhirnya aku dipindahkannya.”
“Kau tidak
mengatakan sebenarnya apa yang terjadi kepada Sultan?”
“Aku telah
mencoba,” jawab Karebet,
“Tetapi ada
orang ketiga yang berkepentingan dengan keputusan Sultan itu.”
Kebo Kanigara
mengerutkan keningnya.
“Siapa?”
“Tumenggung
Prabasemi.”
Kembali Kebo
Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
”Apakah
kepentingannya?” Pertanyaan itu telah menghanyutkan Mas Karebet itu ke dalam
suatu kenangan yang pahit. Sesaat ia tidak dapat menjawab pertanyaan pamannya.
Namun kemudian diceriterakannya apa saja yang pernah dialaminya. Satu-satu. Tak
ada yang dilampauinya. Bahkan ceritera itu seakan-akan merupakan tuangan
kekesalan hatinya, atas peristiwa yang tak diharap-harapkan.
“Aku tidak
menyangka bahwa Tumenggung itu akan berbuat sampai sedemikian jauh,” kata
Karebet.
“Kau kenal
orang itu baik-baik?”
“Ya, aku kenal
Tumenggung Prabasemi dengan baik. Seorang Tumenggung yang masih muda. Namun
karena kesaktiannya, ia cepat dapat menempati tempatnya yang sekarang. Seorang
perwira Tamtama yang gagah perkasa.”
“Apa yang
sudah dilakukannya?”
Karebet
terdiam sesaat. Dicobanya untuk mengingat-ingat peristiwa-peristiwa yang pernah
terjadi itu. Dan peristiwa-peristiwa itu seakan-akan kini terulang kembali.
Peristiwa demi peristiwa. Mulai dari permulaan sekali. Pada saat itu, pergaulan
Karebet dengan putri Sultan itu belum diketahui oleh siapapun. Mereka masih
dapat merahasiakan getaran-getaran perasaan mereka. Namun pada suatu ketika,
masuklah orang yang bernama Tumenggung Prabasemi itu ke dalam lingkaran
pergaulan mereka, sejak Tumenggung itu pada suatu saat bertemu dengan puteri
Sultan yang cantik itu. Karebet adalah bawahan Tumenggung Prabasemi yang paling
menarik perhatiannya. Sehingga lurah Tamtama yang masih sangat muda itu,
seakan-akan tak pernah terpisah daripadanya.
“KAREBET,”
kata Tumenggung Prabasemi,
“Kau adalah
anak muda yang mempunyai kesempatan yang sangat baik. Kau adalah seorang
tamtama yang dipungut dari anak-anak muda yang berterbaran di sana sini
langsung oleh Sultan sendiri. Sehingga dengan demikian, kesempatan yang kau
dapat, jauh lebih besar dari setiap kesempatan yang ada pada kami. Hampir tak
pernah salah seorang di antara kami yang mendapat panggilan langsung dari
Sultan selain dalam tugas-tugas kami. Tetapi kau pernah mendapat kesempatan
itu. Kesempatan yang berada di luar tata peraturan para tamtama.”
Karebet masih
belum tahu, apakah sebenarnya yang akan dikatakan oleh Tumenggung Prabasemi.
Karena itu ia menunggu saja sampai Tumenggung itu berkata,
“Karebet.
Adalah aneh, kalau aku beberapa hari yang lalu, untuk pertama kalinya melihat
wajah putri bungsu Sultan. Sebelumnya aku memang pernah melihatnya. Namun sejak
putri itu menginjak usia remajanya, dan kemudian mengalami pingitan, aku tidak
pernah melihatnya lagi. Namun tiba-tiba aku mendapat kesempatan untuk memandang
wajahnya. Wajah yang betapa cerahnya, sehingga aku menjadi silau karenanya.”
Dada mas
Karebet berdesir mendengar kata-kata itu. Memang puteri Sultan itu demikian
cantiknya. Namun apabila pujian itu keluar dari mulut seorang laki-laki, maka
hati mas Karebet itu terasa seakan-akan meronta. Ternyata kemudian Tumenggung
Prabasemi berkata pula,
“Barangkali
aku telah menjadi gila, Karebet. Namun aku benar-benar ingin mendapat kesempatan
yang lebih banyak untuk dapat memandang wajah itu. Kesempatan yang kedua aku
dapat memandang wajahnya, adalah dua hari yang lampau. Ketika putri Sultan itu
bermain-main di gerbang keputren.”
Kerebet
menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak menjawab. Yang berkata seterusnya
adalah Tumenggung itu,
“Karebet,
apakah kau pernah melihat putri itu pula?”
Dengan kaku
Karebet menganggukkan kepalanya, jawabnya,
“Ya Ki
Tumenggung. Aku pernah melihatnya.”
Tumenggung
Prabasemi mengangguk sambil tersenyum,
“Bagaimana
menurut pendapatmu?”
“Tak ada kesan
apapun padaku, Ki Tumenggung.”
Tumenggung itu
tertawa. Katanya,
“Alangkah
bodohnya kau Karebet. Tetapi tak apalah. Mungkin tangkapanmu lebih baik
daripada aku. Atau aku memang sudah betul-betul gila.”
Kemudian
setelah diam sesaat ia berkata,
“Apakah kau
dapat menolong aku?”
Karebet
mengerutkan keningnya. Katanya,
“Apakah yang
harus aku lakukan?”
“Karebet…”,
kata Tumenggung itu dengan ragu-ragu,
“Kalau sekali
waktu kau dipanggil oleh Sultan, dan apabila kau lewat di muka gerbang
Kaputren, serta kau lihat putri itu di sana, maka katakanlah, bahwa seorang
Tumenggung menyampaikan sembah sujudnya untuk putri.”
Karebet
menunggu Tumenggung itu berkata terus, namun kata-kata itu tak dilanjutkannya,
sehingga Karebet itu bertanya,
“Hanya itu
saja?”
“Ya. Hanya
itu. Katakan kepada puteri, bahwa Tumenggung Prabasemi sangat mengangumi
kecantikan putri itu.”
Karebet
mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian jawabnya,
“Baik Ki
Tumenggung. Tetapi bolehkah aku bertanya, apakah keuntungan Tumenggung dengan
pesan itu?”
Tumenggung
Prabasemi mengerutkan keningnya, kemudian ia tertawa,
“Kau memang
bodoh Karebet. Biarlah tak kau ketahui keuntunganku dengan pesan itu. Namun
apabila pada suatu ketika kau mendapat pesan dari putri itu, sampaikan pesan
itu kepadaku.”
Mas Karebet
tersenyum. Katanya,
“Aku memang
bodoh. Tetapi aku tidak sebodoh seperti yang Ki Tumenggung sangka. Aku tahu
maksud Ki Tumenggung. Tetapi, bukankah puteri itu putri Sultan.”
Prabasemi
tersenyum,
“Itulah.
Mungkin aku benar-benar sudah menjadi gila. Tetapi apakah kau sangka bahwa
seorang Tumenggung tidak boleh berkenalan dengan putri raja? Aku adalah
Tumenggung yang mendapat kepercayaan Sultan dalam bidang keprajuritan. Apa
salahnya, apabila pada suatu ketika aku mampu menaklukkan daerah pesisir
wetanan, dan aku mendapat triman putri itu?”
“Mudah-mudahan,”
jawab Karebet,
“Dan
Tumenggung akan mendapat gelar Pangeran. Pangeran Prabasemi.”
Prabasemi
tertawa. Ia menjadi puas dengan angan-angannya. Ia mengharap Karebet akan
memenuhi permintaannya. Dan ia mengharap putri itu pun telah pernah mendengar
namanya dari Sultan sendiri, seorang Tumenggung, perwira Tamtama yang sakti.
Bukankah dengan demikian, putri itu setidak-tidaknya ingin melihat wajah
perwira yang sakti itu?.
TERNYATA yang
dipesannya adalah seorang anak muda yang bernama Karebet. Seorang anak muda
yang selalu menuruti perasaan sendiri, yang kadang-kadang terlalu aneh.
Beberapa hari kemudian, Prabasemi itu berkata kepada Karebet,
“Karebet,
apakah kau sudah mendapat kesempatan itu?”
Mas Karebet
tersenyum, jawabnya,
“Sudah, Ki
Tumenggung.”
“He…?” Ki
Tumenggung sangat tertarik kepada jawaban itu.
“Aku telah
dipanggil oleh Baginda, kemarin,” kata Karebet.
“Untuk apa?”
“Memijit kaki
Baginda. Bukankah aku pernah belajar memijit?” sahut Karebet.
“Oh, pantas.
Baginda sering memanggilmu,” kata Prabasemi.
“Tetapi apakah
kau sempat bertemu dengan putri?” Karebet mengangguk.
“Ya, Ki
Tumenggung,” jawab Karebet.
“Tetapi aku
tidak sempat menyampaikan pesan Ki Tumenggung.”
“Gila,” gerutu
Prabasemi dengan kecewa,
“Kenapa?”
“Aku tidak
dapat mendekatinya,” sahut Karebet,
“Putri itu
hanya lewat di muka bilik pembaringan Baginda.” Prabasemi mengerutkan
keningnya. Kemudian katanya,
“Karebet, lain
kali kau harus berhasil. Kau akan mendapat hadiah yang pasti akan sangat
menyenangkan bagimu.”
“Apakah hadiah
itu?” tanya Karebet.
“Lembu,
kerbau, uang atau apa?”
“Baik. Baik Ki
Tumenggung,” jawab Karebet.
Dan
sebenarnyalah beberapa hari kemudian Karebet itu datang kepada Ki Tumenggung
Prabasemi. Sambil tersenyum ia berkata,
“Ki
Tumenggung, aku telah menghadap Sultan pula.”
“Memijit?”
tanya Prabasemi.
“Ya. Aku
memijit Sultan sehingga Sultan tertidur,” kata Karebet.
“Ah. Biarlah
Baginda tertidur. Tetapi bagaimana dengan pesan itu?”
“Itulah yang
akan aku katakan. Ketika Sultan tertidur, maka putri itu lewat pula di muka
bilik pembaringan Sultan. Ternyata putri baru saja menghadap Ibunda dan akan
kembali ke keputren bersama dua orang embannya.”
“Kau sampaikan
pesan itu?”
Karebet
menggeleng.
“Tidak, Ki
Tumenggung.”
“Gila!”
teriaknya,
“Apakah kau
juga gila seperti aku, Karebet? Namun kau gila sebenarnya gila, sedang aku gila
karena gadis itu.”
Karebet hanya
tersenyum saja. Katanya,
“Apakah Ki
Tumenggung tidak keberatan seandainya kedua embannya itu mendengar?”
“Jangan.
Jangan,” potongnya.
“Nah, itulah
sebabnya,” sahut Karebet,
“Lain kali
akan aku coba.”
Tetapi
beberapa hari kemudian Karebet menemui Prabasemi dengan wajah yang sedih.
Prabasemi terkejut karenanya. Maka dengan tergesa-gesa terdengar ia berkata,
“Bagaimanakah
dengan pesan itu Karebet?”
Karebet masih
tetap tepekur dengan wajah muram. Perlahan-lahan ia berkata,
“Ki
Tumenggung. Kali ini aku telah benar-benar dapat bertemu dengan putri.”
“Ha?” sahut
Prabasemi,
“Kau sampaikan
pesan itu?”
“Ya,” jawab
Karebet.
“Nah, ternyata
kau tidak sebodoh yang aku sangka. Tetapi kenapa kau sedih?”
“Aku
ditamparnya,” sahut Karebet.
“Siapa yang
menampar?”
“Putri.”
“Benar?”
“Ya.”
“Oh!”
Tiba-tiba Prabasemi berdesah,
“Kau berkata
sebenarnya?”
“Ya.”
“Lalu apa yang
kau lakukan?”
“Aku hampir
saja membalasnya.”
“He?” teriak
Prabasemi,
“Kau
benar-benar gila. Apakah dengan demikian kau tidak menyadari, bahwa kau dapat
dihukum, bahkan hukuman mati?”
“Hampir, Ki
Tumenggung. Hampir. Tetapi tidak jadi.”
“Lalu apa yang
kau lakukan?”
“Aku minta
maaf atas kelancanganku, atas pesan yang aku sampaikan itu.”
No comments:
Post a Comment