MESKIPUN demikian Mahesa Jenar sudah tidak sempat lagi membuat bermacam-macam pertimbangan. Apa yang dilakukannya kemudian adalah, dengan garangnya ia meloncat dan menghantam lawannya dengan sepenuh kekuatan dialasi dengan ajinya Sasra Birawa yang dahsyat.
Tiba-tiba pada
saat itu pula ia melihat lawannya itupun berbuat demikian pula sehingga
terjadilah benturan yang maha dahsyat. Mahesa Jenar merasakan seolah-olah
berpuluh-puluh petir meledak bersama-sama di hadapan wajahnya. Udara yang panas
yang jauh lebih panas dari api, terasa memercik membakar seluruh tubuhnya.
Setelah itu, pemandangannya menjadi kuning berputar-putar, semakin lama semakin
gelap. Akhirnya tanah tempatnya berpijak seolah-olah berguguran jatuh ke dalam
jurang yang dalamnya tak terhingga. Sesudah itu tak satupun yang diingatnya. Ia
tidak tahu, berapa lama ia pingsan. Yang mula-mula terasa olehnya adalah
tetesan-tetesan air yang membasahi wajahnya. Perlahan-lahan Mahesa Jenar
mencoba membuka matanya. Mula-mula pemandangan di sekitarnya masih tampak hitam
melulu. Tetapi lambat laun, tampaklah samar-samar cahaya matahari yang menembus
lubang-lubang diatas ruangan itu, semakin lama semakin terang. Sejalan dengan
perkembangan kesadarannya. Kemudian, ketika pikirannya sudah semakin terang,
terasalah bahwa seluruh tubuhnya basah kuyup. Agaknya seseorang telah
menyiramkan air untuk membangunkannya. Perlahan-lahan Mahesa Jenar berusaha
untuk mengingat-ingat apa yang terjadi. Ketika segala sesuatunya menjadi
semakin jelas, maka segera ia berusaha untuk bangkit. Tetapi agaknya tubuhnya
serasa dicopoti segala tulang-tulangnya. Karena itu ketika ia mencoba
mengangkat kepalanya, kembali ia jatuh terbaring. Darahnya serasa menguap
ketika ia mendengar di sampingnya suara tertawa lunak perlahan. Segera ia
mengenal, siapakah orang itu. Namun bagaimanapun juga ia sama sekali tidak
mampu berbuat apa-apa.
“Ki sanak…”
Terdengar orang itu berkata.
“Jangan
mencoba-coba menjadi rangkapan Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh.
Meskipun tiruan itu sudah kau lakukan dengan saksama, namun kalau kebetulan kau
bertemu dengan orangnya, seperti sekarang ini, segera akan dapat dikenal
kepalsuanmu. Meskipun demikian aku menjadi heran pula bahwa apa yang kau
lakukan sudah hampir dapat menyamai apa yang aku lakukan. Dan agaknya kau telah
mencoba pula mendalami ilmu Sasra Birawa. Aku tidak tahu dari mana kau pelajari
ilmu itu, namun dalam beberapa hal, telah benar-benar mirip dengan Sasra Birawa
yang sebenarnya.”
Mendengar
ucapan-ucapan itu telinga Mahesa Jenar rasanya menjadi terbakar. Ia menggeram
beberapa kali, namun ia sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu. Ia hanya dapat
menggerakkan kepalanya dan melihat orang yang mengaku bernama Mahesa Jenar itu
duduk dengan enaknya di atas sebuah batu padas, disampingnya.
Beberapa saat
kemudian orang itu kembali berkata,
“Aku tidak
sabar menunggui orang tidur terlalu lama, karena itu aku menyirammu dengan air.
Ternyata kau terbangun karenanya.”
Mahesa Jenar
ingin berteriak memaki-maki. Namun suaranya tersumbat di kerongkongan. Yang
terdengar hanyalah sebuah desis kemarahan.
“Bagaimanapun
juga, aku hormati ketebalan tekadmu”, sambung orang itu,
“Dalam keadaan
yang demikian kau masih tetap pada pendirianmu. Karena itulah aku belum
membunuhmu. Sebab aku ingin mengetahui siapakah orang yang telah berkeras hati
mengaku bernama Mahesa Jenar.”
Sekali lagi
Mahesa Jenar menggeram. Perlahan-lahan, ia mencoba menjawab,
“Jangan kau
takut-takuti aku dengan kematian, sebab kematian bukanlah suatu hal yang perlu
ditakuti.”
“Bagus…!”
Tiba-tiba orang itu meloncat berdiri.
“Kau sendiri
yang mengatakan. Jangan salahkan aku kalau aku membunuhmu sekarang.”
Mahesa Jenar
bukan seorang penakut. Apapun yang akan terjadi atasnya bukanlah suatu hal yang
perlu dicemaskan. Meskipun demikian ia menjadi gelisah ketika teringat oleh
Arya Salaka. Ia tidak tahu di mana anak itu sekarang berada. Apakah ia masih
hidup ataukah sudah mati di dalam relung dan lekuk-lekuk goa yang membingungkan
itu. Karena perasaan yang demikian itulah tiba-tiba tanpa disengajanya ia
berkata,
” Kau bunuh
aku atau tidak, itu bukanlah urusanku, tetapi itu adalah urusanmu. Namun
demikian katakan kepadaku apakah Arya Salaka masih hidup atau sudah kau bunuh
pula?”
Orang itu
tertegun sejenak. Tetapi hanya sejenak. Kemudian terdengar ia tertawa.
“Jangan kau
persulit dirimu, dan jangan kau kotori jalan kematianmu dengan
dongengan-dongengan yang kisruh itu. Ataukah barangkali kau mengharap aku
mengampuni kau untuk membantuku mencari muridku itu?”
“Cukup!”
tiba-tiba Mahesa Jenar berteriak nyaring. Seluruh sisa kekuatannya telah
mendorongnya berbuat demikian karena kemarahan yang tak tertahankan.
“Kau mau
membunuh, bunuhlah. Jangan membual.”
Sekali lagi
terdengar suara tertawa. Lunak dan hanya perlahan-lahan. Sesudah itu, orang
yang menamakan diri Mahesa Jenar itu melangkah justru menjauhi Mahesa Jenar.
Katanya kemudian setelah ia sampai ke mulut ruang itu,
“Aku tidak mau
mengotori tanganku dengan membunuh orang semacam kau. Biarlah alam membunuhmu.
Kau tidak akan dapat keluar dari ruangan ini sampai ajalmu tiba.”
Setelah itu
orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu segera meloncat keluar dan
terdengarlah suara berguguran. Beberapa batu besar jatuh tertimbun menutupi
lubang ruangan itu. Bersamaan dengan itu, berguguran pulalah rasanya isi dada
Mahesa Jenar. Ia ditinggalkan dalam ruangan tertutup dalam keadaan yang
demikian. Bukan main. Suatu penghinaan yang tiada taranya. Sebagai seorang
laki-laki ia lebih senang hancur di dalam suatu pertempuran daripada dibiarkan
mati kelaparan di dalam sebuah goa. Karena itulah dirasanya seluruh tubuhnya
mendidih. Seluruh isi rongga dadanya menggelegak seperti akan meledak. Terasa
betapa darahnya mengalir cepat dua kali lipat. Tetapi karena itu pulalah terasa
kekuatannya timbul kembali oleh dorongan perasaan yang meluap-luap. Maka
sedikit demi sedikit Mahesa Jenar mulai dapat menggerakkan tubuhnya, sehingga
beberapa saat kemudian ia telah mampu untuk mengangkat tubuhnya dan duduk
tegak.
Matahari yang
telah mencapai titik tengah, sinarnya langsung tegak lurus menembus
lubang-lubang di atas ruangan itu dan membuat lingkaran-lingkaran di lantai.
Udara yang lembab di dalam goa itu rasa-rasanya jadi menguap oleh panas
matahari. Mahesa Jenar kemudian menjadi gelisah karenanya. Ia tidak mau
menyerah pada keadaan. Ia tidak mau membiarkan dirinya mati kelaparan di dalam
goa itu tanpa perlawanan. Maka dengan segenap tenaga yang ada ia pun berdiri
dan dengan terhuyung-huyung berjalan sekeliling ruangan itu berpegangan
dinding. Dua tiga langkah ia masih terus beristirahat, sebab dadanya masih
terasa nyeri, disamping pertanyaan yang selalu memukul-mukul kepalanya.
Siapakah gerangan orang yang telah mengaku bernama Mahesa Jenar, murid Ki Ageng
Pengging Sepuh, yang mampu mempergunakan ilmu Sasra Birawa, dan justru lebih
hebat dari ilmunya. Menurut ceritera almarhum gurunya, maka Ki Ageng Pengging
Sepuh itu tidak mempunyai murid lain kecuali dirinya dan Ki Ageng Pengging yang
bernama Kebo Kenanga, almarhum, putera gurunya sendiri. Tiba-tiba sekarang ia
bertemu dengan seseorang yang memiliki ilmu gurunya itu dengan sempurna. Bahkan
orang itu telah mengaku bernama Mahesa Jenar dan mempunyai seorang murid yang
bernama Arya Salaka. Seolah-olah orang itu ingin menyindir akan
ketidakmampuannya sebagai seorang murid dari perguruan Pengging.
KARENA
pertanyaan-pertanyaan itu, maka kembali Mahesa Jenar merasa bahwa
perkembangannya seolah-olah berhenti setelah ia terpisah dari gurunya. Sejak
itu, ia hanya berusaha untuk mengamalkan ilmunya saja, tanpa berusaha untuk
menambahnya. Dengan demikian maka ia tidak akan dapat mencapai tingkat seperti
gurunya. Apabila hal yang demikian berlaku juga untuk murid-muridnya kelak,
maka perguruan Pengging semakin lama akan menjadi semakin surut. Padahal
seharusnya setiap murid akhirnya harus melampaui gurunya. Dengan demikian ilmu
akan berkembang terus. Hati Mahesa Jenar tiba-tiba menjadi pedih. Pedih sekali.
Justru kesadaran itu timbul ketika dirinya sudah terkurung di dalam sebuah
ruangan yang tertutup rapat. Mungkin ia dapat menghantam di dinding-dinding
ruangan itu dengan Sasra Birawa dan membuat lubang untuk menemukan jalan
keluar, tetapi agaknya sampai ia mati kehabisan tenaga, usahanya mustahil akan
berhasil. Dalam penelitiannya itu, Mahesa Jenar menemukan sebuah mata air kecil
di belakang sebuah batu. Segera ia berjongkok, dan membasahi kerongkongannya
yang serasa kering dan panas. Setelah itu terasa tubuhnya menjadi bertambah
sehat. Tetapi perasaannyalah yang tidak berkembang seperti tubuhnya.
Perasaannya yang pedih masih saja menyayat. Tetapi tiba-tiba memancarlah suatu
tekad. Tekad yang membawanya pada suatu ketetapan hati, bahwa justru dalam
keadaannya yang sekarang, ia akan mengisi sisa hidupnya dengan suatu ketekunan,
mendalami ilmunya mati-matian. Dalam keadaannya itu tiba-tiba ia terkejut
melihat bayangan yang tegak berdiri pada sebuah relung dinding goa itu,
sehingga ia terlonjak berdiri.
Tetapi ketika
Mahesa Jenar semakin jelas melihat menembus keremangan relung itu, sadarlah ia
bahwa yang berdiri di situ hanyalah sebuah patung batu yang belum sempurna.
Meskipun demikian hatinya tertarik pula untuk melihatnya. Siapakah yang sudah
membuat patung itu, justru di dalam sebuah ruangan jauh di dalam goa? Akh,
mungkin orang aneh yang telah menamakan diri Mahesa Jenar itu. Ketika ia telah
semakin dekat, makin jelaslah bahwa patung batu itu masih belum siap
seluruhnya. Dan ketika ia meraba-rabanya, tampaklah perubahan pada beberapa
bagian. Pada bagian tubuhnya ia melihat lumut-lumut liar merayapi hampir
seluruh bagian, tetapi di bagian kepalanya tampaklah luka-luka baru dari sebuah
pahatan. Tiba-tiba, ketika ia memandang kepala patung itu, hatinya
berdebar-debar. Ia melihat bunga melati terselip di atas kupingnya sebelah
kanan. Rambutnya berjuntai sebatang-sebatang sangat jarang, sedang ikat
kepalanya hanya dikalungkan di lehernya. Itu adalah ciri-ciri khusus dari
gurunya, Ki Ageng Pengging Sepuh, yang semula bergelar Pangeran Handayaningrat.
Dan tiba-tiba, dari wajah patung itu seolah-olah memancar suatu tuntutan
darinya kepada Mahesa Jenar, apakah yang dapat dicapainya sepeninggalnya. Oleh
pemandangan yang tak disangka-sangka itu, hati Mahesa Jenar seperti dicengkam
oleh suatu keadaan gaib. Tanpa sesadarnya ia berjongkok dan menunduk hormat di
hadapan patung itu. Seolah-olah ia merasa berhadapan dengan almarhum gurunya.
Beberapa lama
kemudian barulah ia tersadar. Yang berdiri di hadapannya tidak lebih dari
sebuah patung. Patung yang mempunyai ciri-ciri khusus seperti gurunya, meskipun
pahatan wajahnya tidak sempurna. Namun demikian, Mahesa Jenar merasa, bahwa
patung itu dapat menjadi daya pengantar untuk mencapai suatu pemusatan pikiran
terhadap gurunya. Sekali lagi Mahesa Jenar merasa berada dalam suatu alam yang
gaib. Lewat patung itu ia mengenang seluruh jasa-jasa gurunya. Seluruh cinta
kasih yang pernah dilimpahkan kepadanya. Dan seluruh pelajaran-pelajaran yang
pernah diberikan. Dari huruf pertama sampai huruf terakhir dalam ilmu tata berkelahi,
jaya kawijayan dan kasantikan. Ia telah menerima pelajaran pula, bagaimana ia
harus merangkai huruf itu menjadi kata-kata, dan kata-kata menjadi kalimat.
Dengan demikian sebenarnya ia telah mendapat dasar-dasar pendidikan sepenuhnya.
Bahkan sampai pada aji Sasra Birawa yang dahsyat itu pun telah dapat
dikuasainya. Soalnya kemudian, bagaimana ia dapat mengendapkan ilmunya untuk
mendapatkan inti sarinya. Dalam keadaan yang demikian itulah, hati Mahesa Jenar
menyala berkobar-kobar. Tiba-tiba sekali lagi ia dikuasai oleh keadaan yang
khusus. Dengan menyebut kebesaran nama Allah, maka tanpa sesadarnya ia mulai
menggerakkan tubuhnya. Dimulailah gerakan-gerakan yang pernah dipelajari, dari
unsur gerak yang paling sederhana. Satu demi satu. Kemudian unsur-unsur yang
semakin sukar. Seolah-olah ia sedang menempuh ujian di hadapan gurunya sendiri.
Demikianlah
akhirnya Mahesa Jenar bergerak semakin lama semakin cepat dan hebat. Orang yang
bertempur dengan dirinya, yang menamakan diri Mahesa Jenar itu ternyata telah
melengkapi unsur-unsur gerak yang telah hampir dilupakannya. Demikianlah maka
Mahesa Jenar tenggelam dalam satu pemusatan pikiran untuk menyempurnakan
seluruh ilmunya. Dalam keadaannya itu Mahesa Jenar lupa pada segala-galanya.
Lupa pada keadaannya, lupa pada waktu, lupa pada orang yang menamakan diri
Mahesa Jenar itu, bahkan ia lupa pula tentang apa yang dilakukan itu.
Demikianlah ia berjuang sebaik-baiknya, mengungkap segala ilmu yang pernah
dimiliki. Tetapi Mahesa Jenar sekarang, bukanlah Mahesa Jenar pada saat ia
sedang mulai belajar dari gerakan pertama, kedua dan berturut-turut. Sekarang,
kecuali segala macam unsur-unsur gerak yang pernah dipelajari, iapun pernah
menempuh pengalaman yang luar biasa, sehingga dengan demikian, tak disengajanya
pula, segala macam pengalaman itu menyusup masuk, melengkapi ilmunya sendiri.
Dalam pengembaraannya, ia pernah bertemu dengan tunas-tunas dari perguruan
putih dan hitam yang bermacam-macam. Ia pernah bertempur dengan Sarayuda dari
cabang Perguruan Pandan Alas yang terkenal dari Klurak, yang justru sebenarnya
orang Gunung Kidul, Gajah Sora, anak dan sekaligus murid Ki Ageng Sora
Dipayana, Banyubiru. Ia pernah bertempur dengan murid-murid Pasingsingan
seorang tokoh golongan hitam yang memiliki bermacam-macam ilmu dari golongan
putih, Sima Rodra dari Gunung Tidar, Jaka Soka dari jenis perguruan golongan
hitam di Nusakambangan, sepasang Uling dari Rawa Pening yang mempunyai cara
bertempur yang aneh dan berpasangan.
Mau tidak mau.
semua jenis ilmu gerak itu saling mempengaruhi. Juga bersama-sama dengan
muridnya, Arya Salaka, Mahesa Jenar pernah menekuni gerak gerik binatang hutan
yang paling lemah, sampai yang paling buas. Bagaimana yang lemah berusaha
melepaskan diri dari kekuasaan binatang yang buas dan kuat. Juga pertarungan
antara hidup dan mati antara binatang buas yang sama kuat, pertarungan maut
antara burung rajawali dengan ular naga yang besar. Demikianlah Mahesa Jenar
yang menjadi seolah olah bergerak dengan sendirinya itu, tanpa setahunya telah
mengungkapkan satu jenis ilmu tata berkelahi yang maha dahsyat. Pemusatan
pikiran yang luar biasa dengan perantaraan patung disampingnya itu, seolah olah
Mahesa Jenar sedang mempertanggung jawabkan dirinya dihadapan gurunya sendiri.
Matahari yang
mula-mula memancar dengan teriknya, semakin lama semakin jauh menjelajah ke
arah barat. Dan pada saat mega putih berarak arak ke arah selatan, Matahari itu
dengan lelahnya menyusup kearah garis cakrawala, meninggalkan warna lembayung
yang tersirat dibalik mega-mega mewarnai wajah langit. Pada saat itulah ruangan
yang dipergunakan oleh Mahesa Jenar itu dicengram oleh kehitaman warna-warna
yang lemah lembayung dilangit sama sekali tidak dapat menembus masuk ke
dalamnya. Apalagi sebentar kemudian malam telah menjadi semakin kelam. Pada
saat itulah Mahesa Jenar baru merasa seluruh tubuhnya menjadi lelah. Kecuali
keadaan tubuh yang memang belum pulih benar akibat benturan aji Sasra Birawa,
juga ia telah mencurahkan tenaga melampaui batas. Karena itulah, maka Mahesa
Jenar menghentikan latihannya. Dengan meraba-raba dinding ia menyelusur ke arah
mata air didalam ruangan itu di belakang sebuah batu. Karena kelelahan dan haus
maka Mahesa Jenar segera minum sepuas-puasnya. Setelah itu iapun segera kembali
ke muka patung yang mempunyai ciri gurunya. Dihadapan patung itulah Mahesa
Jenar merebahkan dirinya untuk beristirahat. Tetapi meskipun demikian,
perasaannya yang sudah terikat pada patung itu, seolah-olah mempunyai kewajiban
untuk menjaganya. Maka ketika diluar goa itu binatang malam mulai meraja di
padang ilalang dan lapangan rumput, mulailah Mahesa Jenar tenggelam kealam
mimpi. Ia tertidur karena kelelahan…
Di langit
bintang menari-nari dengan riangnya diiringi dendang angin yang berhembus
lemah. Lubang lubang diatas ruang yang banyakterdapat didalam goa itu karena
hembusan angin, menimbulkan bunyi-bunyi yang beraneka warna. Dari nada rendah
sampai nada tinggi.
Mahesa Jenar
terbangun pada saat matahari melemparkan sinarnya yang pertama. Dari
lubang-lubang diatas ruangan itu Mahesa Jenar dapat melihat betapa riangnya
langit menerima senyuman Matahari pagi. Bersamaan dengan itu, terasa seakan
akan datanglah waktunya bagi Mahesa Jenar untuk memulai lagi kewajibannya
terhadap gurunya. Dengan khidmat ia berjongkok dimuka patung batu itu, dengan perantaraannya
mulailah ia memusatkan pikirannya atas semua ajaran almarhum gurunya. Apabila
pikirannya telah benar-benar terpusat, serta dalam pendekatan diri
setinggi-tingginya kepada Tuhan Yang Maha Esa, mulailah ia dengan pendalaman
ilmu yang pernah diterimanya. Demikianlah apa yang dilakukan Mahesa Jenar.
Tekun melatih diri. Mengulangi dan menghubungkan satu sama lain untuk kemudian
mencari intisarinya. Hari demi hari telah dilampauinya. Bagaimanapun kuat tubuh
Mahesa Jenar, namun dalam kerja yang sedemikian keras dan tekun, hanya dengan
minum saja, tanpa sebutir makananpun, akhirnya tubuhnya menjadi semakin lemah.
Tetapi tidak demikian dengan jiwanya. Perkembangan jiwanya bertentangan dengan
perkembangan tubuhnya. Semakin lemah keadaan tubuhnya, jiwanya bertambah
membaja. Akhirnya, ketika pada suatu saat tubuhnya telah menjadi lemah benar
karena telah berulang kali memperdahsyat aji Sasra Birawanya. Mahesa Jenar
tidak lagi dapat berbuat banyak. Jasmaninya adalah wadag yang terbatas. Maka
yang dilakukan kemudian, adalah dengan tenangnya ia duduk bersila disamping
batu itu. Ditutupnya kesembilan lubang tubuhnya, matanya yang redup tertanam
pada ujung hidungnya. Seolah olah hilanglah dirinya, meloncat keluar dari
tubuhnya yang lemah itu. Kemudian, seolah-olah dirinya yang hidup di alam lain
itulah yang dengan dahsyatnya bergerak, dengan gerakan-gerakan yang luar biasa
yang tak pernah mampu dilakukan wadagnya. Gerakan-gerakan yang mempunyai watak
agak lain dengan gerakan-gerakan yang pernah dilakukan dialam wadag.
TIBA-TIBA diri
Mahesa Jenar dalam alam yang lain itu, memancar dengan terangnya, menyinari
tubuhnya. Pada saat itulah Mahesa Jenar merasa bahwa timbul sesuatu di dalam
dirinya. Pada saat itulah ia merasa, menguasai benar setiap watak dari setiap
gerak yang dilakukan, yang dilakukan oleh dirinya di luar wadagnya, yang
sebenarnya adalah perwujudan dari kedahsyatan daya khayalnya dalam menekuni
ilmunya, tanpa ikut sertanya wadag itu sendiri. Pada saat itulah Mahesa Jenar
menemukan suatu kekuatan yang jauh melampaui kekuatan wadagnya, dengan
menguasai setiap watak dari setiap gerak. Sedang apa yang pernah dilakukan
selama ini adalah penguasaan gerak itu sebagai suatu gerak jasmaniah melulu.
Pada saat yang terakhir, dirinya diluar wadagnya itu berdiri tegak di atas
kedua kaki. Kemudian dengan gerak yang mengagumkan menyilangkan satu tangannya
di muka dada, mengangkat tangannya yang lain tinggi-tinggi. Ditekuknya satu
kakinya ke depan, siap menghantamkan aji Sasra Birawa. Pada saat itu, terasa
seolah-olah wadagnya terbang melayang mendekati dirinya di luar wadag itu.
Sehingga jarak antara wadag dan kedahsyatan daya khayalnya dalam kebulatan
tekat semakin lama semakin dekat. Pada saat pertemuan diantara kedua dirinya
dalam bentuknya yang berbeda itu, Mahesa Jenar mendapat suatu perasaan nikmat
yang luar biasa. Perasaan yang tak dapat dilukiskan.
Persenyawaan
diri dari unsur-unsur yang seolah-olah memiliki watak yang berbeda itu telah
memecahkan masa hidupnya selama ini. Kemudian seolah-olah lahirlah seorang Mahesa
Jenar yang baru. Pada saat itulah, tiba-tiba bersenyawa pula gerakan-gerakan
yang dilihatnya pada diri diluar wadagnya itu dengan wadagnya. Karena itulah
maka yang ada kemudian hanya seorang Mahesa Jenar, dengan tubuh yang kurus
pucat, tetapi berjiwa sekeras baja, berdiri diatas satu kakinya, satu tangannya
menyilang dada dan satu tangannya terangkat tinggi-tinggi. Kemudian dengan satu
loncatan lemah, Mahesa Jenar mengayunkan tangannya menghantam batu yang
bertimbun-timbun menutupi pintu satu-satunya dari ruangan itu. Akibatnya adalah
dahsyat sekali. Meskipun dengan tubuh yang lemah, namun kekuatan Mahesa Jenar
rasanya menjadi berlipat-lipat. Batu-batu itupun segera pecah berhamburan. Dan
tampaklah kemudian sebuah lubang, yang semula tertutup oleh guguran-guguran
batu yang bertimbun-timbun, meskipun tidak menganga seluruhnya. Pada saat itu,
pada saat Mahesa Jenar sedang mengagumi tenaganya sendiri, terdengarlah sebuah
suara tertawa yang lemah perlahan-lahan di belakangnya. Mahesa Jenar terkejut
bukan main, dan dengan segera ia memutar tubuhnya, menghadap arah suara itu.
Tetapi pada saat itu, ruang di dalam goa itu sudah mulai gelap, sehingga Mahesa
Jenar tidak segera melihat sesuatu.
“Suatu latihan
yang hebat,” tiba-tiba terdengar suara dari arah patung batu.
Mendengar
suara itu Mahesa Jenar seperti orang bermimpi. Kata-kata itulah yang sering
diucapkan oleh gurunya. Adakah patung batu itu benar-benar telah berubah
menjadi gurunya?
Sesaat
kemudian kembali terdengar suara,
“Beristirahatlah,
hari masih panjang.”
Sekali lagi
Mahesa Jenar tersentak. Gurunya selalu menasehatinya demikian kalau ia terlalu
letih berlatih.
Perlahan-lahan
Mahesa Jenar melangkah maju mendekati patung itu. Ia menjadi ragu.
Bagaimanapun
juga, patung itu baginya tidak lebih daripada batu-batu biasa. Yang kebetulan
dapat dipergunakan sebagai pancatan untuk memusatkan pikirannya. Tidak lebih
dari pada itu. Tetapi kalau tiba-tiba patung itu dapat berbicara adalah diluar
nalar. Tetapi tiba-tiba ia menjadi terkejut sekali lagi. Ia melihat bayangan
yang bergerak-gerak di belakang patung itu. Dan di dalam relung itu dilihatnya
pula bayangan yang lebih kelam dari sekitarnya. Cepat Mahesa Jenar dapat
mengetahui, bahwa di belakang patung itu ternyata ada sebuah pintu yang dapat
ditutup dan dibuka, yang dibuat dari batu-batu pula, sehingga tidak
diketahuinya sebelum itu.
“Siapakah
kau…?” desis Mahesa Jenar bertanya.
“Jangan
bertanya demikian,” jawab suara itu.
“Seharusnya
kau sudah tahu bahwa Mahesa Jenar datang menjengukmu.”
Mendengar
jawaban itu hati Mahesa Jenar tergetar. Tetapi sekarang ia sudah mendapat suatu
keyakinan tentang dirinya, sehingga dengan demikian ia menjadi bertambah
tenang. Maka katanya kemudian,
“Adakah yang
menarik hati bagimu, sehingga kau perlukan menjenguk aku?”
“Ada,” jawab
orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu.
“Lewat lubang
itu aku dapat mengintip apa yang selama ini kau lakukan.”
“Kau
keberatan?” sahut Mahesa Jenar.
“Tidak,”
jawabnya,
“Aku tidak
pernah keberatan terhadap kelakuan orang lain yang tidak merugikan diriku,
apalagi tidak merugikan orang banyak. Apa yang kau lakukan tidak lebih dari
sebuah pertunjukan yang menyenangkan.”
Meskipun
Mahesa Jenar tidak senang mendengar kata-kata itu, namun ia masih diam saja.
“Dengan
pertunjukanmu itu aku pasti…” sambung orang itu,
“Bahwa kau
pernah membaca lontar kisah Mahabarata. Kisah seseorang yang tak berhasil
berguru kepada seorang Pandeta yang bernama Kombayana. Orang itu, yang bernama
Bambang Ekalaya atau lebih terkenal dengan nama Palgunadi, kemudian membuat
patung. Patung Pendeta itu. Pada patung itu ia berguru. Dan akhirnya benarlah
ia dapat menyamai kesaktian murid Kombayana yang paling dahsyat dalam olah
jemparing, yaitu Raden Arjuna.”
MAHESA JENAR
merenung sebentar. Memang ia pernah mendengar ceritera itu. Dan apa yang
dilakukan memang mirip sekali. Tetapi pada saat ia memulainya, ia sama sekali
tidak pernah berpikir, apalagi sengaja menirukan apa yang pernah dilakukan oleh
Bambang Palgunadi. Mengingat peristiwa itu ia menjadi geli sendiri. Lalu
jawabnya,
“Kau benar.
Mudah-mudahan akupun berhasil pula seperti Palgunadi.”
Tiba-tiba
orang itu tertawa tinggi. Katanya,
“Kau
benar-benar pemimpi. Yang bisa terjadi semacam itu, hanyalah didalam suatu
dongeng saja. Dan kau agaknya ingin menjadi salah seorang tokoh dongeng-dongeng
semacam itu.”
Mahesa Jenar
mengangkat pundaknya. Jawabnya,
“Aku tidak
tahu. Aku hanya mencoba.”
“Bagus,” sahut
orang itu melengking dengan nada yang berbeda.
“Aku akan
melihat apakah kau berhasil,” sambungnya.
Setelah itu
tiba-tiba ia meloncat maju. Meskipun ruangan itu sudah menjadi semakin gelap,
namun Mahesa Jenar masih melihat orang itu menyilangkan satu tangannya,
tangannya yang lain diangkatnya tinggi-tinggi, sedang satu kakinya dingkatnya
dan ditekuk ke depan. Mahesa Jenar terkejut bukan kepalang. Ia sama sekali
tidak menduga bahwa dalam gerakan yang pertama orang itu telah menyiapkan suatu
bentuk aji yang mirip dengan ajinya Sasra Birawa, bahkan orang itupun
menamainya demikian.
Dalam pada itu
Mahesa Jenar sadar bahwa kekuatan aji orang itu adalah sangat dahsyatnya.
Beberapa hari yang lalu, ia menjadi pingsan karena benturan yang hebat.
Sekarang tiba-tiba orang itu akan mengulanginya kembali. Tetapi Mahesa Jenar
tidak dapat berbuat lain daripada berusaha menyelamatkan diri. Karena itu,
segera iapun berbuat hal yang sama dengan tubuhnya yang lemah. Ia mengharap
setidak-tidaknya, dengan perlawanannya itu, akan dapat mengurangi tekanan yang
dideritanya karena pukulan aji lawannya. Sesaat kemudian ia melihat orang itu
meloncat ke depan, dan dengan derasnya mengayunkan tangan kanannya. Pada saat
yang bersamaan, Mahesa Jenar pun dengan segenap kekuatan lahir batin yang
disalurkan dalam aji Sasra Birawa, menghantam tangan yang terayun ke arah
kepalanya itu. Maka terjadilah suatu benturan yang maha dahsyat. Dua macam
kekuatan ilmu sakti yang oleh para pemiliknya dinamai Aji Sasra Birawa telah
berbenturan. Dan benturan kali ini lebih dahsyat dari benturan kedua kekuatan
sakti itu beberapa waktu yang lalu, karena Mahesa Jenar telah menemukan inti
kekuatan ilmunya. Meskipun demikian bagaimanapun juga, keadaan jasmaniah mereka
mempengaruhi pula. Mahesa Jenar yang telah sekian lama tersekap di dalam goa
itu tanpa sebutir makananpun, harus berbenturan melawan seorang yang segar
bugar. Namun pancaran kekuatan yang tersembunyi di balik kekuatan jasmaniah,
ternyata memiliki kemampuan yang nggegirisi. Demikianlah ketika benturan itu
terjadi, ternyata kedua orang itu bersama terlempar surut. Orang yang menamakan
diri Mahesa Jenar itu, merasakan pula betapa hebat pukulan lawannya, sehingga
ia terpaksa jatuh sekali berguling, barulah ia dapat tegak kembali. Tetapi
dalam pada itu, Mahesa Jenar sendiri terdorong jauh ke belakang sehingga
tubuhnya membentur dinding goa.
Setelah itu
dengan lemahnya Mahesa Jenar terduduk di lantai. Tetapi dalam pada itu
terbesitlah suatu perasaan yang aneh dalam dirinya. Meskipun ia terlempar
sampai membentur dinding goa, dan kemudian dengan lemahnya terduduk di lantai
seperti orang yang kehilangan seluruh tulang-tulangnya, namun dalam benturan
itu ia tidak lagi merasakan percikan panas yang membakar seluruh tubuhnya
seperti yang dialaminya dahulu. Juga kali inipun kepalanya tidak menjadi pening
berkunang-kunang dan ia tidak pingsan. Dengan demikian, timbul pulalah suatu
pikiran di dalam kepalanya, seandainya keadaan jasmaniahnya tidak terlalu
jelek, mungkin akan dapat mengimbangi pukulan lawannya. Tetapi disamping
perasaan gembira yang membersit di dalam dadanya itu, iapun menjadi cemas
kalau-kalau lawannya itu akan mengulangi serangannya untuk membinasakannya.
Meskipun ia sama sekali tidak takut mati, namun ia masih menginginkan untuk
menurunkan ilmu Perguruan Pengging itu kepada Arya Salaka. Dan karena itulah,
terdorong oleh kemauannya yang keras dan tekad yang mantap, terasalah bahwa
perlahan-lahan kekuatannya timbul kembali. Sehingga meskipun ia masih harus
berpegangan pada dinding goa, namun iapun berhasil untuk berdiri dan menanti
apa yang akan terjadi. Disamping itu ia bersyukur pula, bahwa kini di dalam
ruangan itu telah menjadi semakin gelap. Dengan demikian ia mengharap bahwa
orang itu tidak lagi akan menyerang segera. Kalau saja orang itu menundanya
sampai esok, mungkin ia telah mendapatkan sebagian dari kekuatannya kembali.
Dalam kegelapan itu, maka Mahesa Jenar yang tajam, masih mampu menangkap
bayangan samar-samar di hadapannya. Tetapi sampai sekian lama ia menyaksikan
bayangan itu tegak tak bergerak.
Dan kemudian
ternyatalah, apa yang diharapkan Mahesa Jenar. Sebab ruangan yang semakin
kelam, maka orang itu pun berkata,
“Untunglah bagimu,
ruangan ini menjadi amat gelap sehingga aku berhasrat untuk menunda umurmu
sampai besok. Tetapi bagaimanapun juga aku jadi heran. Iblis mana yang telah
merasuk dalam tanganmu, sehingga kau mampu melawan Sasra Birawa tanpa cidera.”
Mahesa Jenar
menarik nafas. Ia menjadi lega oleh keputusan lawannya. Tetapi ia menjawab
sindiran itu,
“Bukankah kau
telah berceritera tentang Ekalaya dan Pendeta Kombayana?”
Tiba-tiba
orang itu tertawa. Nyaring dan panjang. Katanya kemudian,
“Bagus, kau
telah menghidupkan sebuah cerita petikan dari Mahabarata. Dan aku ingin melihat
akhir dari cerita ini. Apakah kau benar-benar mampu menandingi aku.”
“Mudah-mudahan,”
jawab Mahesa Jenar pendek.
SEKALI lagi
orang itu tertawa. Kemudian sambungnya,
“Tetapi aku
ingin bertindak adil. Aku tidak mau memenangkan pertempuran ini melawan
seseorang yang hampir mati kelaparan. Tunggulah kau di sini, aku akan membawa
makanan untukmu.”
Kemudian
terdengarlah orang itu melangkah pergi. Mahesa Jenar berdiri termangu-mangu. Ia
semakin tidak mengerti kelakuan orang yang juga menamakan diri Mahesa Jenar
itu. Sesaat kemudian, apa yang dijanjikan orang itu terjadilah. Ia masuk
kembali lewat mulut goa yang mula-mula ditutupinya dengan reruntuhan batu-batu,
yang kemudian terbuka kembali karena tangan Mahesa Jenar. Di tangan kanannya ia
memegang sebuah obor dan di tangan kirinya sebuah bungkusan daun pisang. Ia
langsung duduk di tengah-tengah ruangan itu, sambil membuka bungkusannya ia
berkata,
“Kemarilah.
Duduklah dan makanlah bersama aku.”
Mahesa Jenar
tidak membantah. Tetapi mula-mula ia pergi dahulu ke mata air. Sesudah minum
beberapa teguk baru ia duduk di depan orang yang juga menamakan diri Mahesa
Jenar itu.
“Makanlah,”
desak orang itu.
“Atau kau
takut aku meracunmu?”
Mahesa Jenar
menggeleng.
“Tidak,”
jawabnya.
“Orang semacam
kau ini pasti tidak akan meracun orang. Sebab kau terlalu yakin akan
kesaktianmu.”
Sejenak
kemudian mereka berdiam diri sambil menikmati isi bungkusan yang dibawa oleh
orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu, yang ternyata adalah seonggok nasi
dengan lauk pauknya. Goreng ikan gurami. Mula-mula Mahesa Jenar tidak menaruh
perhatian sama sekali kepada jenis makanan ini. Tetapi beberapa saat kemudian
ia mulai berpikir. Dari manakah orang itu mendapat goreng ikan gurami. Ataukah
di dalam goa ini terdapat alat untuk menggoreng dan kolam ikan gurami?
“Kau telah
berbuat suatu kesalahan,” desisnya.
Orang itu
terkejut.
“Kesalahan…?”
ia bertanya.
Mahesa Jenar
mengangguk. Sambil menunjuk sisa ikan gurami itu ia berkata,
“Mahesa Jenar
yang kehilangan muridnya di dalam goa ini tidak akan menemukan goreng ikan
gurami dengan demikian mudahnya.”
Kembali orang
itu terkejut. Tetapi hanya sebentar, sebab sebentar kemudian ia tertawa tinggi.
Sambil masih
menyuapi mulutnya ia menjawab,
“Kau memang
suka ngotak-atik. Apa salahnya kalau aku mendapat goreng ikan gurami? Aku
tangkap ikan ini di kolam di sebelah selatan goa ini.”
“Dari mana kau
dapat minyak?” potong Mahesa Jenar.
Orang itu
terdiam sebentar, lalu katanya,
“Sekarang
ternyata kalau kau tak tahu sama sekali ujung pangkal tempat ini. Aku berada di
dalam goa ini atas petunjuk seorang pendeta sakti yang bernama Panembahan
Ismaya bersama muridku Arya Salaka. Tetapi sesaaat kemudian muridku itu
hilang.”
“Adakah
seorang Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh perlu bersembunyi di dalam
goa?” bantah Mahesa Jenar.
Sekali lagi
orang itu terdiam. Setelah berpikir sebentar barulah ia menjawab,
“Kalau kau
mengaku pula bernama Mahesa Jenar, apa pula kerjamu di sini?”
Mahesa Jenar
membetulkan duduknya. Ia merasa mendapat sesuatu dari percakapan itu. Jawabnya,
“Aku masuk ke
dalam goa ini karena aku mengejar kau, orang yang mengaku bernama Mahesa
Jenar.”
“Tetapi
menurut katamu…” sahut orang itu,
“Kau telah
berada di dalam goa ini sebelumnya. Bukankah kau menuduh aku memancingmu,
memisahkanmu dari seorang yang kau aku menjadi muridmu?”
“Kalau begitu,
kita telah menghuni goa ini bersama-sama. Namun ada bedanya,” jawab Mahesa
Jenar.
“Kau agaknya
telah mengenal segenap lekuk liku goa ini. Aku belum.”
“Aku berada
dalam goa ini karena ijin yang memiliki,” potong orang itu.
“Kau agaknya
seorang penghuni gelap?”
Mahesa Jenar
tertawa pendek. Ia merasa kehilangan jalan. Karena itu ia berdiam diri.
Suasana
kemudian menjadi hening. Namun dalam keheningan itu, Mahesa Jenar tidak luput
dari suatu keadaan yang sibuk. Sibuk berpikir dan menebak-nebak. Ia merasa
bahwa pasti ada suatu maksud yang tersembunyi. Mungkin orang itu sudah tahu
bahwa dialah sebenarnya yang bernama Mahesa Jenar.
Tiba-tiba
Mahesa Jenar bertanya menyentak,
“Kau belum
menjawab pertanyaanku, dari mana kau mendapat minyak goreng?”
Orang itu pun
terkejut. Jawabnya,
“Sudah aku
katakan, dari cantrik padepokan Karang Tumaritis.”
“Kenapa kau
bersembunyi dalam goa ini?” desak Mahesa Jenar cepat.
“Beberapa
orang sakti mencari aku untuk membalas dendam,” jawabnya secepat pertanyaan
Mahesa Jenar.
“Kau takut?”
desak Mahesa Jenar pula.
“Tidak. Tetapi
aku tidak akan mampu melawan mereka.”
“Bohong!”
bentak Mahesa Jenar.
Orang itu
terkejut. Pandangannya jadi semakin tajam.
“Kau sudah
berada diantara mereka. Dan mereka tidak dapat menangkapmu.” potong Mahesa
Jenar.
Tiba-tiba mata
orang itu menjadi merah. Agaknya ia menjadi marah.
Tetapi Mahesa
Jenar tidak peduli. Ia berkata terus,
“Ada beberapa
pertentangan dalam ocehanmu. Kau bersembunyi karena orang-orang sakti yang
mengejarmu untuk membalas dendam, tetapi kau telah berada di antara mereka, dan
mereka ternyata tak dapat berbuat sesuatu. Kemudian kau katakan bahwa kau
kehilangan muridmu di dalam goa ini, sedang agaknya kau mengenal segala
lekuk-likunya, sehingga mustahillah bahwa kau tak dapat menemukannya. Ataupun
kalau murid yang kau katakan itu hilang di luar goa ini, kau akan dapat minta
tolong kepada Panembahan Ismaya dan cantrik-cantriknya untuk mencarinya. Nah,
sekarang katakan kepadaku. Apakah maksudmu sebenarnya dengan mengaku bernama
Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh?”
ORANG itu
menjadi semakin marah mendengar kata-kata Mahesa Jenar yang menghambur seperti
bendungan pecah. Tetapi Mahesa Jenar masih belum berhenti, sambungnya,
“Apalagi kau
dapat berceritera tentang semua pengalaman dan peristiwa yang aku alami. Bahkan
sampai pada ke persoalan hubungan antara aku dan orang-orang sakti yang
mengejarku?”
Orang itu
sudah tidak sabar lagi. Dengan kerasnya ia membentak,
“Cukup!”.
Lalu tubuhnya
menjadi gemetar, dan tiba-tiba ia meloncat berdiri. Katanya melanjutkan dengan
suara gemetar,
“Kau memancing
kemarahanku. Aku sudah ingin menunda umurmu sampai besok. Tetapi ternyata kau
ingin menyerahkannya sekarang. Berdirilah, dan jangan mati berpangku tangan.
Apakah kau akan membanggakan Sasra Birawa tiruan yang hanya mampu memecah batu
itu. Itu hanyalah suatu pameran jasmaniah yang sama sekali tak berharga.”
Setelah itu ia
mencari sebuah batu untuk menyandarkan obornya. Kemudian sambil mempersiapkan
diri ia berkata,
“Marilah kita
mulai. Jangan lewatkan waktu dengan sia-sia.”
Sekali lagi
Mahesa Jenar terkejut bukan kepalang. Kalimat itu adalah kalimat yang sering
diucapkan oleh gurunya pula. Sudah beberapa kali ia mendengar orang yang
menamakan dirinya Mahesa Jenar itu pasti mempunyai hubungan dengan gurunya.
Kalau tidak, tidak akan ia menyebut beberapa kata-kata yang bersamaan. Yang
selalu ditujukan kepada dirinya dan saudara seperguruannya almarhum.
Sebelum ia
menemukan suatu jawaban, terdengar orang itu berkata pula,
“Berdirilah,
dan pergunakan Sasra Birawa buatanmu yang tidak lebih dari sebuah pedang yang
tumpul. Dengan pedang yang berat dan tumpul itu, kau dapat mematahkan besi
gligen, dengan mengandalkan kekuatan jasmaniah. Tetapi kalau ada sehelai kapuk
yang melayang-layang dibawa angin, pedangmu itu tidak akan berguna. Kau tidak
akan mampu membelah helaian kapuk itu bagaimanapun kuatnya tenaga jasmanimu.
Tetapi untuk memotongnya, kau perlukan sebuah pedang yang tidak perlu berat dan
kuat, namun ia harus tajam setajam perasaanmu.”
Sekali lagi
Mahesa Jenar tersentak. Kata-kata itu sama sekali bukan kata-kata seorang yang
marah dan akan membunuhnya. Tetapi justru kata-kata yang sangat diperlukannya.
Dengan mesu raga, ia sekarang mampu menangkap isi katakata itu. Bahkan justru
sebagai penjelasan atas perbedaan watak dari gerak-gerak wadagnya dan
gerak-gerak dirinya yang dilihatnya di luar wadagnya. Tetapi sekali. Dua buah
pedang yang berat, kuat namun tumpul, yang mampu memecah henda apapun, dan yang
lain pedang yang ringan, tetapi bermata tajam. Hanya dengan pedang semacam
itulah ia akan mampu memotong sehelai kapuk yang diterbangkan angin. Apalagi di
dalam kata-katanya, orang itu ternyata menganggapnya, betapa tajam perasaannya.
Sehingga untuk memangkas kapuk yang diterbangkan angin diperlukan pedang
setajam perasaannya. Sesaat kemudian kembali orang itu berkata,
“Berdirilah,
aku sudah hampir mulai.”
Tetapi Mahesa
Jenar tidak juga mau berdiri. Ditatapnya saja wajah orang yang menamakan diri
Mahesa Jenar itu, seolah-olah sampai menembus ke dalam otaknya. Didalam cahaya
obor yang masih menyala-nyala disamping mereka. Mahesa Jenar dapat melihat
wajah itu dengan agak jelas. Kalau orang itu dihilangkan rambut-rambut yang
melingkari mukanya, ia akan dapat memastikan, bahwa tak seorangpun akan
mengenalnya sebagai Mahesa Jenar. Tetapi yang mengherankan, segala gerak,
tingkah-laku serta setiap unsur gerak yang dilakukan adalah tepat seperti yang
dikenal dan dilakukannya. Bahkan tidaklah mungkin, bahwa secara kebetulan orang
itu mengulang kata-kata gurunya sampai beberapa kali. Karena itulah maka ia
sampai pada suatu kesimpulan, bahwa orang itu pasti mempunyai hubungan dengan
gurunya. Apapun sifatnya. Dengan demikian maka tidak sewajarnyalah kalau ia
melawannya. Bahkan ketika sekali lagi orang yang berdiri dihadapannya itu
menyuruhnya berdiri, Mahesa Jenar menjawab,
“Tidak. Aku
lebih senang duduk menikmati makanan yang kau bawa.”
“Kau takut
menghadapi kematian?” tanya orang itu.
“Sejak semula
aku berkata, bahwa kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan,” jawab Mahesa
Jenar.
“Kalau begitu
kau menunggu apa lagi?” desak orang itu tidak sabar.
“Kau
benar-benar mau berkelahi?” tanya Mahesa Jenar kemudian.
“Sebagaimana
kau lihat. Aku sudah siap,” jawabnya.
“Aku tidak,”
potong Mahesa Jenar.
“Kau takut?”
sahut orang itu.
Mahesa Jenar
menggeleng. Katanya,
“Aku tidak
takut. Tetapi aku tidak akan dapat menyamai kesaktianmu. Tidak ada gunanya.”
Mendengar
jawaban itu, orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu mengerutkan keningnya.
Kemudian katanya,
“Nah, kalau
begitu kau mengaku sekarang, bahwa kau bukanlah Mahesa Jenar, murid Ki Ageng
Pengging Sepuh. Sebab Mahesa Jenar bukanlah seorang pengecut.”
“Siapa
bilang?,” bantah Mahesa Jenar.
“Aku tidak
mengatakan bahwa aku bukan Mahesa Jenar. Tetapi bukan berarti bahwa di dunia
ini tak ada seorangpun yang melampaui kesaktianku. Diantaranya kau.”
Tiba-tiba
orang itu jadi kesal sekali. Karena itu ia membentak,
“aku akan
membunuhmu. Melawan atau tidak melawan.”
“Ki sanak,”
jawab Mahesa Jenar dengan tenangnya. Agaknya ia sudah menemukan jalan untuk
mendapatkan suatu ketegasan.
“Aku mempunyai
usul. Kenapa persoalan ini harus diselesaikan dengan sebuah perkelahian?
Menurut katamu kau disembunyikan disini oleh seorang Panembahan sakti yang
bernama Panembahan Ismaya. Akupun seharusnya berkata demikian pula kepadamu.
Karena itu biarlah Panembahan itu yang memilih satu diantara kita, siapakah yang
dianggapnya benar-benar Mahesa Jenar.”
“Tidak perlu
pihak ketiga. Marilah kita selesaikan soal kita sendiri.”
Mendengar
jawaban itu Mahesa Jenar tersenyum. Jawabnya,
“aku makin
yakin sekarang bahwa aku tidak perlu berkelahi. Sebab kau sama sekali tidak bermaksud
bertempur untuk mempertahankan suatu kebenaran dan keyakinan, tetapi kau ingin
bertempur karena nafsu ketamakanmu. Nafsu ingin mempertunjukkan kemenanganmu
dan kesaktianmu.”
“Omong
kosong,” potong orang itu.
“Aku
menantangmu karena kau telah menamakan dirimu Mahesa Jenar. Bukankah dengan
demikian kau meniadakan adaku sebagai Mahesa Jenar yang sebenarnya?.”
Sekali lagi
Mahesa Jenar tersenyum. Ternyata karena keyakinan pada dirinya sudah bertambah
sempurna sehingga ia tidak lagi bersikap menentang dan tidak lagi membiarkan
perasaannya bergolak. Jawabnya,
“kau
menganggap dirimu Mahesa Jenar?.”
“Aku tidak
menganggap demikian,” bantah orang itu,
“sebab aku
memang demikian sebenarnya.”
“Kau dapat
berkata demikian kepada orang lain, bahkan kepadaku. Kepada Mahesa Jenar murid
Ki Ageng Pengging Sepuh,” sahut Mahesa Jenar.
“Tetapi
dapatkan kau berkata demikian kepada dirimu sendiri. Kepada hatimu ?”
Orang itu
tiba-tiba menjadi gelisah. tetapi ia diam saja.
“Nah ki sanak.
Sebenarnya kau tak usah mempersulit dirimu,” sambung Mahesa Jenar.
“Kau dapat
berbuat sekehendakmu tanpa suatu kesaksianpun di sini. Apakah kau menamakan
dirimu Mahesa Jenar atau bukan dihadapanku, sesudah kau berhasil membunuhku,
akibatnya akan sama saja.”
“Aku jadi
yakin terhadap suatu kebenaran tentang dirimu,” tiba-tiba orang itu berkata.
“bahwa otakmu
memang tidak jelek.”
Sekali lagi
Mahesa Jenar terguncang. Orang yang menamakan dirinya Mahesa Jenar itu sekali
lagi membuat heran dengan kalimat kalimat yang pernah diucapkan gurunya.
Sehingga dengan demikian Mahesa Jenar menjadi semakin yakin pula bahwa orang
itu pasti mempunyai hubungan dengan gurunya. Karena itu ia tidak mau
memperpanjang keadaan dalam belitan pertanyaan-pertanyaan.
Karena itu
segera Mahesa Jenar memperbaiki duduknya menghadap ke arah orang yang menamakan
dirinya Mahesa Jenar, yang berdiri tegak di hadapannya. Dengan hidmadnya ia
membungkuk hormat sambil berkata,
”tuan, sudah
beberapa kali aku mendengar tuan mengucapkan kalimat-kalimat yang sering
diucapkan oleh almarhum guruku, ki Ageng Pengging Sepuh. Karena itu aku
mengharap agar tuan tidak terlalu lama mengaduk otakku dengan teka-teki yang
tuan berikan mengenai diri tuan.”
Orang itu
memandang Mahesa Jenar dengan tajamnya. Tetapi mata itu makin lama semakin
menjadi lunak. Dengan sebuah senyuman ia menjawab,
“Jadi kau
benar-benar percaya bahwa aku bernama Mahesa Jenar? Bukankah kau akui bahwa aku
dapat menirukan beberapa kalimat yang pernah diucapkan oleh guruku ki Ageng
Pengging Sepuh?.”
“Maafkanlah,”
jawab Mahesa Jenar,
“bagaimana aku
dapat percaya bahwa diriku dapat dipecah menjadi dua orang. Aku dan tuan.
Tetapi bahwa tuan dapat menirukan kalimat-kalimat ki Ageng Pengging Sepuh, aku
tidak akan membantah, karena itu aku ingin tuan memecahkan jawaban itu.”
No comments:
Post a Comment