TETAPI orang itu tidak segera pergi. Ia masih berdiri saja seperti orang yang kehilangan kesadaran. Karena itu maka Sawung Sariti tidak bisa berbuat lain daripada menyingkirkannya dengan paksa. Karena itu katanya,
“Singkirkan
dia, Galunggung.”
Galunggung
yang sejak tadi sudah kehilangan kesabaran segera menggeram sambil meloncat.
Pedangnya tepat mengarah ke hulu hati orang yang masih berdiri kebingungan itu.
Tetapi terjadilah suatu peristiwa yang tak pernah dibayangkan. Dalam mimpi pun
tidak. Orang itu, dengan tangkasnya memiringkan tubuhnya. Dengan demikian, maka
pedang Galunggung menyentuhpun tidak. Sehingga Galunggung terseret oleh
kekuatan sendiri dan terhuyung-huyung beberapa langkah ke depan.
Pada saat ia
berusaha memperbaiki keseimbangannya, tiba-tiba terasa sebuah genggaman
mencengkam rambutnya. Dan oleh sebuah tarikan yang kuat, ia terseret ke depan.
Ia kemudian tidak mampu menolong dirinya, ketika tiba-tiba terbanting
tertelungkup, masuk persawahan yang basah.
Sawung Sariti
melihat peristiwa itu dengan mata yang terbelalak, yang dilihatnya adalah
Galunggung itu terjerembab. Karena itulah, hatinya menjadi menyala-nyala.
Pedangnya pun cepat bergerak ke dada orang yang menyakitkan hati itu. Tetapi
sekali lagi Sawung Sariti terkejut, pedangnya pun sama sekali tak menyentuh
orang itu. Dengan demikian Sawung Sariti akhirnya mengetahui, bahwa orang itu
bukanlah sekadar seorang yang berkeliaran di malam hari dalam keadaan yang
belum tenang benar. Dengan gerakan-gerakannya dan caranya membebaskan diri,
baik dari tikaman pedang Galunggung maupun dari tusukan pedangnya sendiri,
tahulah Sawung Sariti, bahwa orang itu sebenarnya orang yang berilmu. Dengan
demikian, Sawung Sariti menjadi bertambah gelisah dan marah. Usahanya untuk
membinasakan Arya Salaka belum berhasil, dan kini dijumpainya lawan yang tak
dapat diperingan. Ternyatalah kemudian, ketika Sawung Sariti mengulangi
serangannya, maka dengan tangkasnya orang itu berkisar dan meloncat, namun
terdengar mulutnya berkata,
“Ki Sanak, aku
tidak mempunyai persoalan dengan kalian. Kenapa kalian berusaha untuk membunuh
aku.”
Sawung Sariti
sudah benar-benar dibakar oleh nyala kemarahannya, maka terdengar ia menjawab,
“Kau telah
mengganggu pekerjaanku. Karena itu kau harus binasa.”
“Aku tidak
mengganggu Ki Sanak. Aku hanya sekadar memenuhi mimpiku sore tadi, bahwa aku
harus datang di bawah pohon nyamplung ini,” sahut orang itu.
“Omong
kosong!” bentak Sawung Sariti, sementara itu pedangnya berputar semakin cepat
dalam ilmu keturunan Pangrantunan. Suatu ilmu yang sukar dicari bandingnya.
Apalagi Sawung Sariti memiliki kelincahan yang cukup, sehingga pedangnya
seakan-akan berubah seperti asap yang bergulung-gulung melanda lawannya.
Lawannya itu
pun berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan dirinya. Seperti bayangan saja,
ia meloncat-loncat dengan cepatnya, seakan-akan tubuhnya sama sekali tak
memiliki berat. Ia meloncat dari sana kemari, berputar dan melingkar, kemudian
mirip dengan seorang yang sedang bermain-main berputar di udara. Ia selalu
menghindari saja setiap serangan yang datang.
Dalam pada itu
Galunggung pun telah bangun kembali. Wajahnya dikotori oleh lumpur liat yang
basah. Beberapa kali ia mengibas-kibaskan rambutnya. Ikat kepalanya telah
hilang terlempar jauh.
“Setan!”
geramnya. Tetapi ia pun terbelalak ketika ia melihat orang yang akan dibunuhnya
itu bertempur melawan Sawung Sariti.
Ia tidak dapat
mengerti, bagaimana mungkin orang itu dapat menyelamatkan diri sampai beberapa
lama. Sedangkan agaknya Sawung Sariti telah benar-benar berusaha membunuhnya.
Karena itu, timbullah maksud Galunggung untuk membantu momongannya. Dengan
hati-hati mendekati pertempuran itu. Ia melihat pedang Sawung Sariti
bergulung-gulung seperti asap putih yang melibat lawannya, namun ia melihat
lawannya itu seperti anak kijang yang menari-nari keriangan di padang rumput
yang hijau. Berloncatan kian-kemari, bahkan sekali-kali orang itu berkata
nyaring,
“Katakanlah Ki
Sanak. Apa salahku?”
“Persetan!”
teriak Sawung Sariti.
Ia sudah lupa
bahwa Arya Salaka akan dapat mendengar teriakannya itu. Bahkan pedangnya
menjadi semakin cepat berputar. Galunggung kemudian tak mau membiarkan
pertempuran itu berlangsung lama lagi. Ia masih ingat bahwa kedatangan mereka
di tempat itu adalah menunggu Arya Salaka. Karena itu, sekuat-kuatnya, ia ingin
membantu Sawung Sariti. Sebab sebenarnya Galunggung pun memiliki kemampuan yang
harus diperhitungkan. Dengan garangnya Galunggung meloncat sambil menggeram.
Pedangnya lurus memotong gerakan bayangan yang sedang menghindari serangan
Sawung Sariti. Namun malanglah nasibnya. Tiba-tiba terasa sebuah pukulan yang
dahsyat mengenai pelipisnya. Demikian dahsyatnya, sehingga terasa seakan-akan
bintang-bintang yang melekat di langit rontok bersama-sama menimpa dirinya.
Sekali lagi Galunggung terlempar ke sawah. Kini ia jatuh terlentang. Namun,
tiba-tiba dadanya berdesir ketika terasa bahwa pedangnya sudah tak berada di
tangannya lagi. Dengan susah payah ia mencoba menguasai dirinya. Perlahan-lahan
Galunggung mengangkat wajahnya. Dan sekali lagi jantungnya berdentang keras ketika
dilihatnya, pedangnya sudah berada di tangan lawan Sawung Sariti itu. Dengan
demikian, kini ia menyaksikan sebuah pertarungan pedang yang nggegirisi.
Masing-masing
bergerak dengan tangkas dan tangguhnya. Namun akhirnya terasa bahwa lawan
Sarung Sariti itu memiliki kekuatan dan kecepatan melampaui Sawung Sariti
sendiri. Dengan demikian, beberapa saat kemudian, Sawung Sariti sudah harus
mengumpat-umpat di dalam hatinya. Ternyata ia telah salah langkah. Sebelum
melawan Arya Salaka, sudah harus ditemuinya lawan yang tangguh dan bahkan
memiliki tata gerak yang melampauinya.
DALAM
KESIBUKAN angan-angannya, tiba-tiba bagai seleret pedang Sawung Sariti melihat
bayangan yang muncul dari tanggul parit yang menyilang jalan kecil itu. Dalam
sekejap, segera Sawung Sariti dapat mengetahuinya, bahwa orang itu adalah Arya
Salaka. Karena itu dadanya menjadi berdebar-debar karena kegelisahan dan
kecemasan bercampur baur dengan kemarahan yang meluap-luap. Namun Sawung Sariti
adalah anak muda yang licik. Tiba-tiba ia tersenyum di dalam hatinya, ketika
terpikir olehnya,
“Baiklah
Kakang Arya kujadikan kawan kali ini. Urusan kita dapat kita selesaikan besok
atau lusa.”
Sebenarnyalah
yang datang itu adalah Arya Salaka. Mula-mula ia berjalan saja seenaknya sambil
menikmati sejuknya angin malam. Namun tiba-tiba ia terkejut ketika dilihatnya
di bawah pohon nyamplung, dua orang yang sedang bertempur mati-matian.
Apalagi
keduanya telah memegang pedang ditangan. Karena itu Arya menjadi tertegun
sejenak. Siapakah mereka yang bertempur itu? Dengan hati-hati ia melangkah
mendekati. Tanpa disengaja tangannya meraba-raba lambungnya. Dan terasa sebuah
benda tersentuh tangannya, Arya menjadi tenang. Sebab ia tidak tahu, siapakah
yang bertempur dengan senjata itu. Kalau perlu ia harus melibatkan diri, di
lambungnya terselip Kyai Suluh. Pusaka Pasingsingan yang ngedab-edabi. Arya
melangkah semakin dekat. Dan alangkah terkejutnya ketika ia mengenal kedua
orang yang bertempur itu. Karena itu tiba-tiba ia berteriak,
“Adi Sawung
Sariti, apakah yang terjadi? Kakang Karang Tunggal, berhentilah.”
Sawung Sariti
tidak mendengar teriakan Arya Salaka. Ia bertempur terus, bahkan ia mengharap
Arya membantunya. Tetapi ketika sekali lagi ia mendengar Arya memanggil namanya
dan nama Karang Tunggal, Sawung Sariti menjadi bimbang. Apakah Arya Salaka
telah mengenal lawannya itu.
Karang Tunggal
pun segera meloncat mundur beberapa langkah untuk membebaskan dirinya dari
libatan serangan Sawung Sariti yang mengalir seperti banjir, sambil berkata
nyaring,
“Selamat
datang Adi Arya Salaka.”
Akhirnya
Sawung Sariti pun terpaksa berhenti bertempur. Dadanya berdegup ketika ternyata
Arya benar-benar telah mengenal lawannya itu. Maka ia pun bertanya,
“Apakah Kakang
Arya telah mengenal orang ini?”
“Ya,” jawab
Arya Salaka,
“Ia adalah
Kakang Karang Tunggal.”
“Hem!” geram
Sawung Sariti. Pikirannya menjadi berputar-putar dilibat oleh berbagai
pertanyaan. Kalau orang ini telah mengenal Arya Salaka, maka adakah hubungannya
dengan kehadirannya di bawah pohon nyamplung ini?
“Kakang Karang
Tunggal, apakah yang terjadi sehingga Kakang bertempur melawan adi Sawung
Sariti?”
“Bertanyalah
kepada adikmu,” jawab Karang Tunggal.
Arya
mengalihkan pandangannya kepada Sawung Sariti. Matanya menyorotkan pertanyaan
yang bergolak di hatinya. Untuk beberapa saat Sawung Sariti berdiam diri. Ia
agak bingung, bagaimana ia harus menjawab pertanyaan itu. Sehingga terpaksa
terluncurlah pertanyaan dari mulut Arya,
“Kenapa Adi
Sawung Sariti bertempur dengan kakang Karang Tunggal?”
“Aku belum
mengenalnya,” desis Sawung Sariti.
“Apalagi Adi
belum mengenalnya,” desak Arya Salaka.
“Aku tidak
tahu apa sebabnya,” jawab Sawung Sariti,
“Tiba-tiba
saja aku telah bertempur dengan orang itu.”
Arya
mengerutkan keningnya. Sedang Karang Tunggal tertawa perlahan-lahan.
“Aneh,” desisnya.
“Aku juga
tidak tahu, kenapa tiba-tiba saja aku sudah bertempur melawan Adi yang kau
sebut Sawung Sariti itu.”
Wajah Sawung
Sariti menjadi merah mendengar sindiran itu. Tetapi sebelum ia berkata sesuatu,
terdengar Karang Tunggal meneruskan,
“Aku merasa
bahwa aku telah diserangnya.”
“Kau
mengganggu aku,” bantah Sawung Sariti.
“Menyentuhpun
aku tidak,” sangkal Karang Tunggal.
Arya menjadi
bingung. Tetapi ia merasa, bahwa keduanya belum berkata sebenarnya.
“Suatu
kesalahpahaman,” desis Arya.
“Memang hal
itu mungkin sekali terjadi. Namun sekarang aku perkenalkan kalian
masing-masing.”
“Bukan
kesalahpahaman,” jawab Karang Tunggal,
“Tetapi adi
Sawung Sariti sengaja menyerang aku tanpa sebab.”
“Bukan tanpa
sebab,” sahut Sawung Sariti yang mulai merah kembali,
“Kau
mengganggu aku.”
“Apamu yang
aku ganggu?” tanya Karang Tunggal.
Sawung Sariti
terdiam. Sudah tentu ia tidak dapat mengatakan apa yang sebenarnya sedang
dilakukan. Namun keringat dinginnya mengalir semakin deras ketika Karang
Tunggal berkata,
“Aku hanya
datang kemari dan duduk di bawah pohon nyamplung ini. Apa salahku?”
SAWUNG SARITI
masih belum dapat menjawab. Namun terdengar giginya gemeretak. Yang terdengar
adalah kata-kata Karang Tunggal,
“Dan kenapa
aku kau usir dari sini tanpa sebab? Dan aku harus berjalan ke jurusan yang kau
tentukan?”
Sawung Sariti
menggeram. Namun ia belum menemukan jawaban yang tepat. Sedang Karang Tunggal
berkata terus,
“Apakah dengan
demikian aku mengganggumu? Apakah kau sedang menunggu seseorang di sini dengan
pedang terhunus?”
Dada Sawung
Sariti semakin berdebar-debar. Sedang Arya mengangkat alisnya. Apakah benar
yang dikatakan oleh Karang Tunggal itu? Sawung Sariti menunggu seseorang dengan
pedang terhunus? Kalau demikian siapakah yang ditunggunya? Pertanyaan itu tiba-tiba
datang mengganggunya.
Tiba-tiba
terdengarlah Sawung Sariti membentak keras-keras,
“Jangan
mengigau!”
“Aku berkata
sebenarnya,” sahut Karang Tunggal. Tiba-tiba kembali Arya diganggu oleh
angan-angan yang tak menyenangkan hatinya. Apakah maksud Sawung Sariti
sebenarnya? Dan kenapa tiba-tiba saja anak itu telah mendahuluinya? Karena itu
tiba-tiba terloncat dari mulut Arya,
“Apakah yang
sebenarnya terjadi?”
“Sudah aku
katakan,” sahut Karang Tunggal,
“Anak muda itu
menunggu seseorang dengan pedang terhunus.”
“Apa
pedulimu?” tukas Sawung Sariti,
“Daerah ini
adalah daerah yang belum tenang. Orang-orang dari gerombolan hitam setiap saat
berkeliaran di daerah ini. Apa salahnya aku duduk di bawah pohon ini dengan
pedang terhunus?”
Tiba-tiba
Karang Tunggal tertawa. Tertawa seorang pemuda yang berdarah jantan, namun
darah itu masih belum mengendap di dasar jantungnya. Ia sebenarnya telah
mengetahui apa yang akan dikerjakan oleh Sawung Sariti. Mula-mula ketika ia
melihat Arya Salaka, ia ingin menyusul sahabatnya itu, yang berjalan
bersama-sama dengan adik sepupunya, namun maksudnya diurungkan, ketika
dilihatnya Arya berpisah dengan Sawung Sariti. Bahkan timbullah kecurigaannya
kepada adik sepupu Arya. Dengan demikian ia mengikutinya dan mendengarkan semua
percakapannya dengan Galunggung. Karena itulah sengaja ia mendahului Arya dan
duduk di bawah pohon nyamplung itu. Ia tahu benar bahwa dengan demikian Sawung
Sariti akan marah kepadanya. Tetapi tidak mengapa. Sebab dengan demikian ia
sudah berusaha mencegah kemungkinan itu terjadi. Meskipun ia sendiri tidak
yakin, apakah dengan serangan diam-diam itu Arya akan dapat dikalahkan, namun
hal yang demikian itu benar-benar berbahaya. Terbawa oleh sifat-sifatnya yang
aneh, yang dipenuhi oleh api yang menyala-nyala di dalam dadanya, Karang
Tunggal yang juga bernama Mas Karebet dan mempunyai sebutan Jaka Tingkir itu
memandang kehidupan sebagai suatu kancah perjuangan. Namun kejantanannya
menuntut setiap perjuangan harus dilakukan dengan adil dan jujur. Karena itulah
maka ia menjadi muak melihat cara Sawung Sariti untuk mencapai maksudnya. Ia
pernah mendengar dari Ki Lemah Telasih, apa yang sebenarnya terjadi di
Banyubiru. Pergolakan antar keluarga. Pergeseran kamukten dan perjuangan untuk
mempertahankan pusaka. Tafsirannya yang tepat mengatakan, bahwa apa yang
terjadi sekarang ini adalah rentetan dari peristiwa-peristiwa itu. Dengan
demikian, akhirnya ia berkata di antara suara tertawanya yang berderai,
“Hai anak-anak
muda. Kenapa kalian menyembunyikan tangan kalian di balik punggung. Kenapa
kalian tidak berani mengangkat dada, berkata dengan lantang? Ayo kita
pertaruhkan tanah ini. Banyubiru dan Pamingit. Sadumuk bathuk, sanyari bumi.
Mukti atau mati.”
Darah Sawung
Sariti menjadi mendidih di dalam dadanya. Ia kini hampir tak dapat mengelak
lagi. Agaknya Karang Tunggal telah mengetahui seluruhnya. Karena itu ia
menggigit bibirnya, sedang tangannya memegang pedangnya semakin erat. Di dalam
hati ia berkata,
“Apa boleh
buat. Kalau aku harus berhadapan dengan Arya Salaka. Aku laki-laki juga seperti
dia.”
Arya Salaka
masih berdiri tegak di tempatnya. Ia dapat menangkap apa yang dikatakan oleh
Karang Tunggal. Dan kini ia tahu benar apa yang sedang dilakukan oleh Sawung
Sariti. Karena itu dadanya pun berdesir cepat. Di tempat itu, di bawah pohon
nyamplung yang rimbun, berdirilah tiga orang anak muda yang masih berdarah
panas. Anak-anak muda yang mudah terbakar oleh perasaan sendiri.
Mereka masih
mengukur harga diri dengan sifat-sifat kepahlawanan yang sempit. Dalam
kesempitan perasaan, mereka menilai diri masing-masing dengan keberanian mereka
melihat darah. Demikianlah maka terjadilah ketegangan yang memuncak.
Masing-masing menyiapkan diri untuk mempertaruhkan diri demi kehormatan nama
mereka dengan gegayuhan mereka. Mereka tidak sadar, bahwa di dunia ini ada cara
lain yang jauh lebih baik daripada cara yang mereka tempuh.
DALAM KEADAAN
yang demikian, mereka melupakan bahwa ayah-ayah mereka akan dapat menyelesaikan
persoalan dengan cara yang baik, dengan laki-laki sejati, tanpa setetes darah
pun yang tertumpah. Seandainya, pada saat itu hadir seorang dari ayah-ayah
mereka, atau Mahesa Jenar, atau Kebo Kanigara, maka keadaannya pasti akan
berbeda. Namun yang terjadi adalah, tak seorang pun dari mereka yang hadir. Tak
seorang pun yang dapat memberi peringatan kepada anak-anak itu. Yang tertua
diantara mereka adalah Karang Tunggal. Namun Karang Tunggal adalah seorang anak
muda yang sifat-sifatnya yang aneh. Akhirnya Sawung Sariti tidak tahan lagi
membiarkan hatinya bergolak tanpa ujung pangkal. Karena itu dengan lantangnya
ia berkata kepada Karang Tunggal,
“Hai anak
perkasa, apa maksudmu sekarang?”
“Tidak
apa-apa,” jawab Karang Tunggal,
“Aku hanya
ingin melihat seseorang berlaku jantan. Tidak dengan sembunyi-sembunyi dan
curang.”
“Persetan
dengan ocehanmu!” bentak Sawung Sariti,
“Kau kira aku
tidak berani berhadapan seperti laki-laki?”
“Nah, itulah
kata-kata jantan,” sahut Karang Tunggal,
“Apa katamu
Adi Arya Salaka?”
Mulut Arya
Salaka tiba-tiba seperti terkunci. Ia sama sekali tidak mengharapkan hal yang
demikian itu terjadi. Tetapi ia pun tidak mau, apabila kelak ia benar-benar
menjadi korban tusukan dari belakang. Dalam saat yang pendek itu pun segera ia
dapat menangkap maksud yang tersirat dari perbuatan adik sepupunya itu.
Menyingkirkan dirinya, untuk kelak memiliki Pamingit dan Banyubiru sekaligus.
Karena Arya masih berdiam diri, maka berkatalah Sawung Sariti,
“Kakang Arya
Salaka, apa boleh buat. Biarlah aku tidak tedheng aling-aling. Aku ingin
kemukten atas tanah Banyubiru sekaligus selain tanah Pamingit.”
“Hem!” Hanya
itulah yang terdengar dari mulut Arya Salaka. Apabila selama ini, ia sudah
berusaha melupakan segenap peristiwa yang terjadi atas dirinya karena pokal
adik sepupunya itu, maka kini tiba-tiba terungkit kembali. Peristiwa demi
peristiwa. Pada saat dirinya hampir saja dicincang di halaman rumah sendiri,
kemudian setelah ia menyingkir, ia pun selalu dikejar-kejar. Apabila seorang
yang bernama Sarayuda tidak menolongnya, maka ia pun kini tidak akan dapat
melihat bintang-bintang yang bertaburan di langit. Juga dikenangnya apa yang
terjadi di Gedangan. Kenangannya itulah yang perlahan-lahan membakar dirinya.
Dan kini, adiknya itu berdiri di hadapannya dengan pedang terhunus.
“Jawab
permintaanku,” sambung Sawung Sariti,
“Banyubiru,
Pamingit dan nyawamu.”
“Adi Sawung
Sariti,” jawab Arya dengan gemetar,
“Jangan
memaksa aku membela diri.”
“Aku sebagai
saksi!” Tiba-tiba Karebet berteriak,
“Siapa pun
yang kalah dan menang, harus menghindarkan diri dari dendam yang menimpa dari
kalian terbunuh, adalah nasib malang yang menimpa diri. Aku tidak akan membuka
mulutku kepada siapa pun. Tetapi kematian adalah bukan tujuan kalian terbunuh.
Karena itu hindarkanlah. Namun kalian harus berjanji, bahwa kalian akan
menerima keputusan yang kalian buat bersama.”
Suasana di
bawah pohon nyamplung itu menjadi bertambah tegang. Dada ketiga anak muda itu
bergetar cepat karena darah mereka yang bergolak. Pada saat itu Galunggung
masih terkapar di tanah liat yang becek, di antara tanaman-tanaman jagung muda.
Kepalanya masih terasa pening. Dengan susah payah ia berusaha untuk dapat duduk
dengan tegak. Dalam keadaan itu, hatinyapun bertambah tegang. Tetapi ia tidak
dapat berbuat apa-apa. Dalam pada itu terdengar Karang Tunggal berkata,
“Pertemuan
yang demikian adalah jauh lebih baik daripada dendam yang membara di hati
kalian. Tetapi sekali lagi aku peringatkan bahwa aku adalah saksi. Dan kalian
tidak akan mendendam di hati. Dengan demikian, setelah pertemuan ini selesai,
selesailah urusan kalian. Laki-laki sejati tidak akan menelan ludahnya
kembali.”
Darah Sawung
Sariti kini benar-benar telah mendidih. Sedang Arya Salaka dapat memaklumi
maksud Karang Tunggal. Anak muda itu tidak mau melihat pertentangan dan dendam
yang berlarut-larut. Namun cara penyelesaian ini pun sangat tidak menyenangkan
hatinya.
Yang sudah
bulat hatinya adalah Sawung Sariti. Hidup atau matinya telah dipertaruhkan
untuk mencapai maksudnya. Demikianlah maka ketika darahnya telah bergelora
membakar kepalanya, terdengarlah ia berteriak,
“Kakang Arya
Salaka. Melawan atau tidak melawan, aku akan menyerangmu dan berusaha
membunuhmu. Itu adalah ketetapan hatiku. Dan aku telah menantimu di sini.”
ARYA tidak
sempat menjawab ketika ia melihat Sawung Sariti meloncat maju ke hadapannya.
Beberapa langkah saja dimukanya dengan pedang yang terjulur lurus ke depan.
Dengan gerak naluriah Arya mundur selangkah. Tangannya sudah siap mencabut
pusaka Kyai Suluh. Namun sebelum itu dilakukan terdengarlah Karang Tunggal
berkata,
“Biarlah
perkelahian ini menjadi adil. Kalian berdua tidak bersenjata, atau kalian
berdua memegang pedang.”
Sawung Sariti
dan Arya Salaka tidak segera menjawab. Mereka masih berdiri di atas kaki
masing-masing yang renggang. Namun sepintas lalu, berkisarlah di otak Karang
Tunggal. Ia telah mendengar ilmu Sasra Birawa yang dimiliki oleh Arya Salaka
dan ilmu Lebur Saketi di dalam diri Sawung Sariti. Agaknya kedua ilmu itu lebih
berbahaya daripada pedang. Dengan demikian mereka tidak akan mempergunakan
ilmu-ilmu yang dahsyat itu. Apabila mereka akan mempergunakan, mereka harus
melepaskan senjatanya, sehingga dengan demikian ada kesempatan padanya untuk
mencegah terbenturnya kedua ilmu itu. Sedang pertempuran dengan pedang antara
dua orang yang selincah Sawung Sariti dan Arya Salaka, biasanya tidak akan
sampai pada bahaya yang sebenarnya terhadap jiwa mereka. Ia akan dapat
mencegahnya apabila perlu, juga apabila salah seorang darinya telah terluka dan
meneteskan darah.
Karena itu,
segera ia berkata,
“Adi Arya,
pakailah pedang ini.”
Karang Tunggal
tidak menunggu jawaban. Segera ia meloncat dan menyerahkan pedang Galunggung
kepada Arya Salaka. Seperti orang yang terbius oleh keadaan yang dihadapinya,
Arya menerima pedang itu dengan hati yang kosong.
“Nah, di
tangan kalian telah tergenggam pedang,” kata Karang Tunggal,
“Terserah
kapan kalian akan mulai. Tetapi setetes darah yang mengalir dari tubuh kalian,
akan merupakan keputusan jantan. Dan kalian harus menerima keputusan itu tanpa
syarat.”
Arya Salaka
dapat mengerti arti kata-kata Karang Tunggal. Namun Sawung Sariti sudah tidak
mau mendengarnya. Ketika ditangan Arya telah tergenggam pedang, maka ia tidak
menunggu lebih lama lagi. Dengan kecepatan kilat ia meloncat dan menusuk dada
kakak sepupunya.
Namun Arya
Salaka telah membayangkan bahwa hal yang demikian itu akan terjadi. Karena itu
segera ia menghindar. Pedang Galunggung di tangannya itupun segara bergerak
menyambar seperti elang di udara. Sawung Sariti segara meloncat ke samping.
Matanya telah menjadi merah oleh api kemarahan dan nafsu. Karena itu kemudian
kembali ia melontarkan dirinya menyerang Arya Salaka seperti datangnya angin
ribut. Maka keduanya tenggelam dalam perkelahian yang dahsyat. Arya Salaka dan
Sawung Sariti adalah anak-anak muda yang sedang tumbuh. Tenaga jasmaniah mereka
sedang berkembang dengan suburnya. Perkembangan tubuh yang selalu dipupuk dan
dipelihara dalam cara masing-masing. Arya Salaka telah berkembang dalam
lingkaran ilmu keturunan Pengging, sedang Sawung Sariti menjadi perkasa karena
ilmu keturunan Pangrantunan. Dua ilmu yang dahsyat, yang pada masa-masa lampau
menjadi pasangan yang mengerikan untuk menghadapi kekuatan golongan hitam.
Karang Tunggal menyaksikan pertempuran itu dengan seksama. Ia melihat betapa
keduanya sambar-menyambar dengan tangkasnya seperti sepasang burung rajawali
yang bertempur di udara. Namun sesaat kemudian keduanya telah berubah menjadi
seekor harimau yang garang dengan kuku-kukunya yang tajam melawan seekor
banteng yang kokoh kuat dengan tanduk-tanduknya yang runcing mengerikan. Tetapi
Karang Tunggal sama sekali tidak mencemaskan mereka. Ia melihat kekuatan dan
ketangkasan pada kedua belah pihak. Karena itu ia bersyukur bahwa keduanya
telah bertempur dengan senjata. Kalau saja mereka bertempur dengan tangan
mereka, maka ia pasti akan melihat bahwa tiba-tiba saja akan berbenturanlah
ilmu Sasra Birawa dan Lebur Saketi. Kalau ilmu itu tidak seimbang maka salah
seorang di antaranya pasti akan hancur lumat bagian dalam tubuhnya.
PEDANG di
tangan Sawung Sariti berputar dengan cepatnya. Semakin lama menjadi semakin
cepat dan membingungkan. Bahkan kemudian seakan-akan berubah menjadi ribuan
mata pedang yang menusuk dari ribuan arah. Namun Arya Salaka adalah murid dari
perguruan Pengging lewat seorang yang bernama Mahesa Jenar. Karena itu
pedangnya pun mampu membentengi dirinya seperti sebuah bola baja yang
melingkari tubuhnya. Tak seujung jarum pun dapat ditembus oleh tajam pedang
lawannya. Bahkan Arya Salaka tidak saja mampu mengurung dirinya dengan bola
baja yang kokoh dan kuat, namun sekali-kali serangannya pun menyambar dengan
dahsyatnya. Tidak terlalu sering, namun setiap sambaran pedangnya cukup
mendebarkan hati lawannya. Mereka tenggelam semakin dalam, dalam pertempuran
yang menyeramkan itu. Masing-masing telah mengerahkan segala tenaga dan
kemampuannya. Mereka melingkar-lingkar dan berputar-putar dalam satu daerah
yang dilindungi oleh rimbunnya pohon nyamplung. Sekali-kali mereka berloncatan
sambar-menyambar, mengelilingi pokok pohon nyamplung yang besar itu. Pedang
mereka berkilat-kilat seperti tatit yang beterbangan di langit.
Benturan-benturan kedua senjata itu sedemikian dahsyatnya sehingga bunga api
memercik di udara.
Karang Tunggal
akhirnya mengagumi juga ketangkasan mereka. Kelincahan dan keprigelan Sawung
Sariti dan ketangguhan serta ketangkasan Arya Salaka merupakan tanding yang
dapat menghentikan denyut jatung. Namun kekuatan jasmaniah Arya Salaka ternyata
melampaui kemampuan Sawung Sariti. Tempaan yang bertahun-tahun disepanjang
perantauan, menuruni lembah dan tebing-tebing, perburuan di hutan-hutan dan
pergulatan melawan ombak lautan, telah menjadikan tubuh Arya Salaka sekokoh
belit karang. Otot-ototnya seakan-akan telah mengeras, sekeras besi. Kulitnya
yang merah kehitam-hitaman terbakar matahari setiap hari itu seolah-olah
menjadi lapisan tembaga yang melindungi tubuhnya dari setiap bahaya yang
menyentuhnya. Karena itulah maka akhirnya kesegaran tubuh Arya Salaka telah
ikut serta menentukan pertempuran itu. Benturan-benturan yang terjadi di antara
kedua pedang itu tampak, bahwa keadaan Arya Salaka masih lebih baik daripada
Sawung Sariti.
Pada suatu
ketika, Sawung Sariti kehilangan keseimbangan sesaat setelah pedangnya beradu
dengan pedang Arya Salaka. Karena dorongan yang keras, Sawung Sariti terdesak
selangkah surut, serta tubuhnya terputar setengah lingkaran. Pada saat yang
demikian, dengan kecepatan yang luar biasa pedang Arya Salaka terjulur ke
dadanya. Sawung Sariti cepat berusaha menghindarkan diri. Ia memutar tubuhnya
setengah lingkaran pula dalam arah yang sama, sedang ia mengangkat pedangnya,
berusaha untuk menangkis serangan lawannya. Sebagian Sawung Sariti berhasil.
Pedangnya memukul pedang Arya Salaka ke samping. Namun kekuatan Sawung Sariti
pada saat ia melingkar tidaklah sepenuh kekuatan Arya Salaka. Sehingga dengan
demikian, pedang Arya masih menyentuh pundak kanannya. Sebuah goresan telah
menyobek kulit Sawung Sariti. Dan dari luka itu melelehlah cairan yang berwarna
merah segar. Darah. Sawung Sariti terkejut, ketika terasa sebuah goresan
menyengat pundaknya. Ia segera meloncat mundur. Tanpa disengaja tangan kirinya
meraba pundaknya. Dan cairan yang hangat terasa di telapak tangannya.
Terdengarlah ia menggeram dan giginya gemeretak. Pada saat itu Karang Tunggal
meloncat ke depan dan berdiri di antara mereka. Dengan lantang ia berkata,
“Keputusan
telah jatuh. Darah telah menetes dari luka.”
Sawung Sariti
memandang Karang Tunggal dengan mata yang berapi-api. Darahnya serasa mendidih
di dalam dadanya. Katanya tidak kalah lantangnya,
“Apa
maksudmu?”
“Perjanjian
kita mengatakan, keputusan diambil secara jantan. Kalau darah telah menetes,
pertempuran berakhir, dan selesailah persoalan kalian,” sahut Karang Tunggal.
“Apa keputusan
itu?” tanya Sawung Sariti.
“Seperti yang
kita janjikan. Bukankah kalian sedang bertaruh di atas tanah Pamingit dan
Banyubiru?” jawab Karang Tunggal.
Mata Sawung
Sariti menjadi semakin menyala. Kemarahannya kini telah benar-benar memuncak.
“Tidak ada
pertaruhan apa-apa!”
Tiba-tiba
terdengar suara Arya Salaka yang sudah berhasil menenangkan diri.
“Marilah kita
lupakan persoalan kita.”
Karang Tunggal
mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum. Betapa besar jiwa
sahabatnya itu.
“Bagus,”
katanya, “Kalian tetap pada kedudukan kalian masing-masing sebagai putra kepala
daerah perdikan yang terpisah.”
BAGI Sawung Sariti
semuanya itu seakan-akan merupakan ejekan atas kekalahannya. Didorong oleh
harga diri dan dilambari oleh nafsu yang melonjak lonjak, maka Sawung Sariti
telah lupa pada segalanya. Lupa pada keadaannya, lupa pada darahnya yang
bersumber dari saluran yang sama dengan Arya Salaka. Lupa akan sifat
kepribadian yang sejak lama mencekam tata kehidupan daerah ini. Ia sudah tidak
memperdulikan lagi segala galanya. Dengan suara nyaring ia berkata
“Laki laki
tidak mengenal darah yang menetes dari luka. Ayo kakang Arya Salaka,
bersiaplah. Kita bertempur antara hidup dan mati.”
Dada Arya
bergetar mendengar tantangan ini, ia tidak menghendaki hal demikian terjadi.
Namun terasa pula bahwa dendam yang membara di dada adiknya itu tak akan padam.
Karena itu ia menjadi bingung. Apa yang harus dilakukan? Ia menyesal mengapa
tidak mengajak gurunya atau ayahnya menjemput ibunya. Kalau demikian keadaannya
mungkin berbeda. Tetapi di dalam hatinya melontarlah kata-kata
“kalau Sawung
Sariti tidak melakukannya sekarang, maka akan akan datanglah saatnya
pertentangan yang memuncak. bara api yang tersimpan di dalam dada anak itu
bagai bara api yang tersembunyi di dalam sekam. Setiap saat akan berkobar
membakar dirinya.”
Dalam pada itu
Karang Tunggalpun menjadi kecewa. Sawung Sariti ternyata tidak berjiwa besar.
Karena itu akhirnya ia berkata
“kenapa kau
mengingkari janji ?”.
“Aku tidak
pernah berjanji. Dan aku sudah berkata, melawan atau tidak, aku akan bunuh
kakang Arya Salaka,” jawab anak muda yang mata gelap itu.
Suasana
dibawah pohon nyamplung kini benar benar dicekam oleh ketegangan yang memuncak.
Gemersik daun daunnya yang rimbun terdengar seperti lagu maut yang membelai
hati ketiga anak-anak muda yang sedang berdiri mematung dibawahnya. Arya Salaka
masih berdiri dalam kebimbangan hati. Apa yang harus dilakukan?
Tiba-tiba
terdengar Sawung Sariti berkata seperti guruh dimulai hujan.
”Jangan tegak
seperti patung. Aku ulangi, melawan atau tidak, aku akan membunuhmu.
Bersiaplah. Aku akan mulai.”
“Tunggu dulu,”
sahut Arya Salaka.
Tetapi Sawung
Sariti sudah tidak mau mendengarkan lagi. Ia telah meloncat seperti seekor
serigala lapar menerkam mangsanya. Demikian cepat dan tiba-tiba sehingga Arya
dan Karang Tunggal menjadi terkejut karenanya. Arya sama sekali tidak menduga
Sawung benar-benar akan mengancam jiwanya pada saat ia sedang mencoba mencegah
perkelahian. Karena itu ia agak gugup. Ia melihat pedang adik sepupunya yang
besar dan panjang tiba-tiba saja terjulur ke dadanya. Dengan segala kemampuan
yang ada padanya ia mencoba memukul pedang tersebut. Namun terlambat, pedang
Sawung berhasil mematuk dadanya.
Kemudian
sebuah goresan yang panjang membekas menyilang. Perasaan pedih menjalar
menyusur segenap sarafnya. Arya berdesis perlahan. Untunglah ia tangkas,
sehingga goresannya tidak dalam. Namun demikian darah yang mengalir dari luka
itu, seakan akan minyak yang akan menyiram api kemarahan anak muda dari
Banyubiru. Arya Salaka bukan anak dewa ataupun malaikat dari langit. Akhirnya
Arya telah kehilangan semua kesabaran serta kelunakan hati. Yang di dalam
dadanya kini adalah kemarahan yang menyala nyala seperti api membakar hutan
kering di lereng bukit dalam arus angin yang kencang. Karena itulah maka sambil
menggeram keras Arya meloncat dengan tangkasnya, kemudian seperti badai ia
menyerang Sawung Sariti.
Namun Sawung
telah bertekad bulat untuk bertempur mati-matian. Kakak sepupunya atau ia yang
harus mati. Maka terulang kembali pertempuran sengit di bawah pohon nyamplung.
Pertempuran antara dua anak muda yang darahnya sedang mendidih sampai ke
kepala. Karang Tunggal kini berdiri seperti tonggak. Ia benar-benar menjadi
kecewa. Ia kini tidak bisa berharap bahwa dendam di antara keduanya akan
terhapus karena ucapan jantan. Karena itulah ia melangkah perlahan-lahan menepi
dan duduk di tepi jalan bersandar pokok pohon nyamplung.
UNTUK
menghilangkan kejengkelan hatinya, tiba-tiba Karang Tunggal berteriak
keras-keras,
“Aku tidak
peduli lagi dengan kalian. Apa yang terjadi kemudian, aku tidak turut campur.
Juga seandainya kalian mati bersama-sama, aku akan berdendang lagu Kinanti,
sama sekali bukan Megatruh!”
Meskipun
kata-kata Karang Tunggal itu bergetar memenuhi udara, namun Sawung Sariti dan
Arya Salaka tak mendengarnya. Perhatian mereka sepenuhnya telah tertumpah pada
perjuangan mereka untuk mempertahankan hidup masing-masing. Pertempuran kali
inipun semakin lama menjadi semakin memuncak. Masing-masing telah melepaskan
segenap ilmu pedang mereka. Ilmu pedang dari perguruan Pengging melawan ilmu
pedang dari perguruan Pangrantunan. Dua ilmu yang seimbang dan dimiliki oleh
dua orang anak muda dalam tataran yang seimbang pula. Sekali lagi nampak,
betapa kekuatan jasmaniah Arya Salaka berada selapis lebih dari Sawung Sariti.
Itulah sebabnya maka Sawung Sariti berusaha mempergunakan kelincahannya untuk
memukul lawannya. Namun agaknya Sawung Sariti tidak akan berhasil. Sebab Arya
Salaka pun mampu bertempur dalam kelincahan yang mengagumkan. Bahkan kemudian
keduanya seakan-akan berubah menjadi bayangan yang melayang-layang secepat
sikatan menyambar belalang. Pedang Sawung Sariti bergerak dalam bidang-bidang
yang mendatar, mematuk dan kemudian berputar seperti baling-baling. Sedangkan
pedang Arya Salaka mengambil garis-garis silang untuk mematahkan serangan
Sawung Sariti dan kemudian bergerak melingkari dirinya, untuk kemudian dengan
dahsyatnya, sedahsyat angin pusaran, pedang itu melibat lawannya. Dalam
benturan-benturan yang terjadi, semakin jelas, betapa kekuatan tubuh Arya
Salaka melampaui kekuatan lawannya. Maka ketika Arya Salaka tidak lagi dapat
mengendalikan diri, pedangnya menyambar dengan cepat dan kerasnya ke arah lehar
lawannya. Namun kelincahan Sawung Sariti pun tidak kalah daripada lawannya.
Cepat ia merendahkan diri dan pedangnya menyilang, melindungi tubuhnya.
Terjadilah suatu benturan yang dahsyat. Seperti bunga api menghambur di udara.
Dalam benturan itu, Arya telah mengerahkan segenap kekuatannya, bahkan ia telah
mempergunakan ayunan pedangnya serta berat badannya untuk memperkuat
serangannya. Dengan demikian, kekuatan yang menghantam pedang Sawung Sariti
jauh melampaui kekuatan Sawung Sariti. Dengan demikian, ia terlontar mundur,
sedang pedangnya bergetar cepat.
Terasa
jari-jarinya menjadi panas dan nyeri. Cepat ia berusaha untuk memperbaiki
keadaannya, namun secepat itu pula sekali lagi pedang Arya Salaka memukul
pedang Sawung Sariti. Kali ini Sawung Sariti tak dapat lagi menyelamatkan
pedangnya. Dengan kerasnya pedangnya terpukul jatuh di tanah. Sawung Sariti
menggeram keras karena terkejut dan nyeri-nyeri di tangannya. Dengan cepatnya
ia melontar mundur sejauh-jauhnya. Namun Arya pun mampu bergerak secepat itu,
sehingga ketika Sawung Sariti berjejak di atas tanah, ujung pedang Arya
seakan-akan telah melekat di dadanya. Sekali lagi ia mencoba menjauhkan diri
dari ujung pedang itu, namun Arya Salaka pun melontar maju dengan kecepatan
yang sama. Akhirnya Sawung Sariti berhenti. Tangannya bergetar, namun tak
sesuatu dapat dilakukan. Sedang ujung pedang Arya masih saja menekan dadanya.
Melihat keadaan kedua anak muda yang bertempur itu, Karang Tunggal menjadi
tegang. Tanpa sesadarnya, ia meloncat berdiri dengan wajah tegang menanti apa
yang akan terjadi. Pada saat itu, Arya benar-benar telah menguasai lawannya.
Dengan satu gerakan yang sederhana, ujung pedangnya akan menembus dada adik
sepupunya itu.
Namun
tiba-tiba tatit dari ujung langit memancar di udara. Seleret sinar jatuh di
wajah adiknya yang tegang kaku. Bergetarlah dada anak muda dari Banyubiru itu.
Ia pernah melihat wajah yang sedemikian itu di Gedangan, beberapa tahun lampau.
Kalau ia mau, pada saat itu Sawung Sariti telah terbunuh dengan ujung tombak
pusakanya. Tetapi pada saat itu ia tidak dapat membunuhnya. Perasaannya
dirisaukan oleh kenangan masa-masa silam. Masa kanak-kanak dan masa-masa mereka
bergaul sebagai saudara. Seperti juga pada saat yang serupa, kini tangan Arya
Salaka yang memegang pedang itu bergetar, bergetar karena getaran di dalam
jiwanya. Getaran perasaan seorang kakak. Betapa pun kemarahan telah membakar
dadanya, namun Arya masih sadar, bahwa Sawung Sariti adalah adik sepupunya.
Dalam kerisauan itu tiba-tiba terdengar suara Sawung Sariti lantang, seperti
apa yang dikatakan beberapa tahun yang lampau,
“Kakang Arya
Salaka. Bunuhlah aku.”
Arya Salaka
memandang wajah adiknya. Tangannya masih bergetar. Namun mulutnya tiba-tiba
seperti terkunci. Bahkan kemudian kembali terdengar Sawung Sariti berkata,
“Kali ini
bunuhlah aku, supaya aku tidak membunuhmu kelak.”
NAFAS Arya
Salaka berjalan semakin cepat. Bukan karena kelelahan, tetapi karena
perasaannya yang bergolak demikian dahsyatnya. Bergolakan perasaan yang telah
menggoncangkan nalarnya. Dengan mata yang suram ia mengamat-amati wajah adiknya
dengan seksama. Wajah yang masih memancarkan perasaan dendam dan benci. Namun
karena itulah maka Arya Salaka menjadi kasihan melihatnya. Ia menangkap getaran
perasaan adiknya. Betapa ia tidak rela menerima keadaan itu. Karena itu
tiba-tiba terdengarlah suaranya gemetar,
“Adi Sawung
Sariti. Berjanjilah demi Tuhan Yang Maha Tahu, bahwa kau akan melupakan
gegayuhan yang sesat itu. Kemudian biarlah kita menikmati hidup tenang. Lepas
dari rasa dendam dan prasangka.”
“Kakang,”
jawab Sawung Sariti,
“Aku sudah
berkata, kau atau aku yang harus lenyap. Kita tak akan dapat hidup bersama di
bawah cahaya matahari yang sama.”
Arya Salaka
mengangkat alisnya. Dadanya berdentang keras mendengar jawaban Sawung Sariti.
Karebet pun
menjadi heran melihat peristiwa itu. Alangkah bersih jiwa Arya Salaka.
Sebaliknya, betapa keras kepala adik sepupunya itu. Dengan demikian, Karang
Tunggal pun terpaksa menahan nafasnya, menanti apa yang kira-kira akan terjadi.
Di dalam lumpur yang becek, Galunggung masih duduk dengan mulut ternganga. Pertempuran
yang terjadi benar-benar telah merampas segenap kesadarannya. Dan kini ia
melihat Sawung Sariti dalam bahaya.
Arya Salaka
masih tegak di tempatnya. Pedangnya masih melekat di dada adiknya dengan
gemetar. Secepat getaran di dadanya sendiri. Bahkan tiba-tiba tangannya menjadi
lemas, dan karena itu pedangnyapun semakin tunduk ke tanah. Sawung Sariti
melihat keadaan kakaknya. Ia melihat pedang itu semakin renggang dan tunduk.
Mula-mula ia merasa aneh, kenapa kakaknya itu tidak membunuhnya, seperti beberapa
tahun yang lalu, meskipun ia telah mengancamnya. Kemudian ia merasakan sesuatu
yang tak dapat dimengerti sendiri menjalar di hatinya. Perasaan segan dan lebih
dari itu. Meskipun demikian Sawung Sariti tidak mau dipengaruhi oleh
perasaannya. Ia tidak mau disebut sebagai seorang pengecut, yang takut
menentang maut. Karena itu ia masih mencoba berkata,
“Jangan
menjadi laki-laki cengeng. Aku telah mengangkat dadaku. Bunuhlah aku.”
Namun suara
Sawung Sariti sudah tidak selantang tadi. Bahkan suara itu terasa bergetar dan
ragu.
“Hem!” Arya
Salaka menggeram. Kini pedangnya sudah benar-benar terkulai. Dengan mata yang
sayu ia berkata,
“Adi Sawung
Sariti, masihkah hatimu segelap itu?”
Kembali terasa
sesuatu berdesir di dada Sawung Sariti. Kakaknya itu benar-benar tak mau
membunuhnya. Tetapi ia berkata tidak seperti getaran-getaran di hatinya,
“Apa pedulimu
tentang hatiku? Kalau kau sobek dadaku, akan kau lihat warna hati itu.”
Arya menjadi
kecewa. Seperti Karang Tunggal juga menjadi sangat kecewa. Karena itu Arya
berkata putus asa,
“Baiklah Adi.
Ambillah pedangmu. Kita tentukan sekali lagi. Siapakah yang akan mati di antara
kita.”
Sekali lagi
dada Sawung Sariti bergoncang. Kesempatan itu masih didapatnya. Aneh. Apakah
Arya Salaka tidak melihat kemungkinan dadanya sendiri, akan tembus oleh
pedangnya, atau barangkali kakaknya itu yakin bahwa ia tak akan dapat
mengalahkannya? Namun bagaimanapun juga, kesempatan itu benar-benar mengacaukan
perasaannya. Dan karena itulah ia tidak segera bergerak memungut pedangnya. Malahan
matanya dengan penuh pertanyaan memandang Arya dan Karebet berganti-ganti.
Getaran di
dalam dadanya semakin lama menjadi semakin keras. Akhirnya terdengarlah suara
lamat-lamat jauh dari dalam relung hatinya berbisik,
“Sawung
Sariti, alangkah luasnya hati Arya Salaka, seluas lautan yang sanggup menampung
air dari mana pun datangnya.”
Dan karena
itulah maka ia masih berdiri mematung.
Dalam kesepian
yang mencekam itu, tiba-tiba terdengarlah dari balik gerumbul-gerumbul di tepi
parit, seseorang berkata, “Persetan kalian, perempuan-perempuan cengeng.”
Semua yang
mendengar suara itu terkejut. Serentak mereka menoleh ke arahnya. Dan tampaklah
sebuah bayangan yang bergerak-gerak di balik gerumbul-gerumbul di tepi parit.
Dan suara itu berkata lagi,
“Aku telah mencoba
menyabarkan diri, menunggu kalian saling membunuh. Tetapi aku tidak telaten.
Kalian berperasaan seperti perempuan cengeng. Kenapa kalian tidak bertempur dan
membunuh secara jantan?”
Dada ketiga
anak muda yang berdiri di bawah pohon nyamplung itu menjadi semakin
berdebar-debar, dan bayangan itu masih saja berada di sana sambil meneruskan
kata-katanya,
“Aku telah
menunggu untuk mengurangi darah yang melumuri tanganku. Setidak-tidaknya aku
hanya tinggal membunuh dua di antara kalian bertiga atau satu, apabila kalian
laki-laki dan bertempur seperti laki-laki. Tetapi tidaklah demikian. Karena itu
maka kalian telah memberatkan pekerjaanku. Membunuh kalian bertiga dengan
tanganku.”
Tidak seorang
pun dari ketiga orang di bawah pohon nyamplung itu yang bergerak. Semua berdiri
mematung dengan hati yang tegang. Mereka menunggu untuk mengetahui siapakah
yang berbicara itu. Berdesirlah dada mereka, dan darah mereka seakan-akan
membeku ketika mereka melihat bayangan di belakang gerumbul itu meloncat dengan
tangkasnya, melangkahi pohon-pohon perdu seperti seekor burung gagak yang
berwarna kelam di malam yang gelap. Mereka menjadi semakin terkejut lagi ketika
bayangan itu telah berdiri di antara mereka, di bawah pohon nyamplung itu.
Ternyata bayangan itu adalah seorang yang bertubuh bongkok dan berwajah
mengerikan, seperti wajah hantu.
“Bugel
Kaliki,” desis Sawung Sariti.
Orang bongkok
dari lembah Gunung Cerme itu tertawa berderai.
Katanya,
“Kau pasti
mengenal aku dengan baik.”
Dada Arya
Salaka berdesir mendengar kata-kata itu. Kemudian hantu bongkok itu berkata
pula,
“Nah, aku juga
ingin melihat bahwa kau dan anak murid Mahesa Jenar ini laki-laki. Tetapi aku
kecewa. Karena itu biarlah aku yang membunuhmu. Dan yang seorang ini aku tidak
tahu, apakah hubunganmu dengan kedua anak ini. Namun karena kau hadir juga di
sini, maka kau pun akan aku binasakan.”
Karang Tunggal
pun pernah mendengar tentang Bugel Kaliki. Ia tahu benar bahwa Bugel Kaliki
adalah tokoh sakti dari golongan hitam seperti Pasingsingan, Sima Rodra tua, Sura
Sarunggi dan sebagainya. Namun terdorong oleh jiwa kejantanannya yang
meluap-luap dalam dadanya, seperti sifat-sifatnya yang melonjak-lonjak dipenuhi
oleh daya hidupnya, maka ia pun marah bukan buatan. Dengan berdiri tegak dan
bertolak pinggang, ia berkata lantang,
“Hai Bugel
Kaliki, kalau kau belum mengenal aku, akulah yang bernama Karang Tunggal, yang
disebut juga Mas Karebet dalam panggilan Jaka Tingkir.”
Bugel Kaliki
mengerutkan keningnya. Ia menjadi heran melihat sikap anak muda yang
seakan-akan tak mengenal takut kepadanya itu. Maka katanya,
“Sudahkah kau
kenal nama Bugel Kaliki dengan baik?”
“Aku sudah
cukup mengenal,” jawab Karebet,
“Bugel Kaliki
adalah tokoh sakti dari lembah Gunung Cerme.”
Bugel Kaliki
tertawa. Katanya di antara derai tertawanya,
“Bagus, kau
telah mengenal namaku. Tetapi kenapa kau berani bertolak pinggang di
hadapanku?”
Kemarahan
Karebet menjadi semakin memuncak. Jawabnya,
“Aku tidak mau
kau hinakan dengan kata-katamu. Apakah kau kira membunuh kami bertiga ini
semudah membunuh cacing?”
Sekali lagi
Bugel Kaliki tertawa, lebih keras dari semula, sehingga tubuhnya
berguncang-guncang.
No comments:
Post a Comment