“WIDURI, agaknya kau telah berhasil merebut hati muridku pada saat-saat terakhirnya. Karena kenangannya yang melambung pada masa lampaunya, pada almarhum istri dan anaknya itulah, maka sejak di Gedong Sanga ia selalu berpesan untuk membebaskan kau dari tanganku. Sebelum mati ia pun berpesan demikian pula untuk tidak mengganggumu. Tetapi Lawa Ijo sekarang sudah tidak ada lagi. Pesannya akan hilang bersama hilangnya nyawamu. Sekarang aku akan melakukan rencanaku. Mengikat kalian di belakang kuda, dan mengantarkan kuda-kuda itu ke Pamingit.”
Setiap hati
yang mendengar kata-kata Pasingsingan itu menjadi bergetar cepat. Mereka
menjadi seperti tersadar dari mimpinya. Ketika mereka mendengar kata-kata
terakhir Lawa Ijo, mereka seolah-olah terlempar ke dalam satu dunia yang asing.
Namun sekarang kembali mereka berdiri di atas tanah. Mereka berhadapan dengan
iblis bertopeng dari Alas Mentaok. Mantingan tiba-tiba meloncat dengan
cepatnya, meraih trisulanya yang masih menggeletak di samping Lawa Ijo setelah
berhasil menyobek dada pemimpin gerombolan yang kehilangan masa depannya itu.
Pedang Rara Wilis juga diangkatnya kembali. Widuri yang masih berjongkok disamping
Lawa Ijo pun berdiri. Dengan hati-hati ia mengenakan cincin pemberian Lawa Ijo
di jarinya, meskipun agak terlalu longgar, namun karena tangannya kemudian
menggenggam ujung rantainya, maka cincin itu tidak akan lari karenanya.
Wirasaba yang
berdiri tegak agak jauh dari mereka, juga segera membelai kapaknya, seolah-olah
ia ingin menanyakan kepada senjata itu, apakah yang dapat dilakukan untuk
melawan orang yang bernama Pasingsingan itu. Yang terdengar kemudian adalah
suara Sura Sarunggi, disamping gelaknya yang riuh.
“Aku menjadi
geli melihat kelinci-kelinci ini mempersiapkan senjata-senjata mereka. Aku
tidak tahu apa yang mereka pikirkan. Apakah mereka sedang menduga-duga
kekuatanmu, Pasingsingan?”
Pasingsingan
tidak menjawab. Malahan ia berkata kepada Jaka Soka,
“Soka,
masihkah kau perlukan perempuan itu?”
Jaka Soka
terkejut. Selama itu ia pun seperti orang yang kehilangan kesadaran. Namun
akhirnya ia menjawab,
“Perempuan itu
sangat berbahaya, Paman.”
Pasingsingan
tertawa.
“Lalu…?” ia
bertanya pula. Jaka Soka menggeleng, jawabnya,
“Selama ia
masih seperti sekarang, aku tidak memerlukan lagi.”
“Bagus,” sahut
Pasingsingan,
“Perempuan
itulah yang pertama-tama akan aku ikat di belakang kuda bersama-sama dengan
gadis yang bernama Widuri itu. Seorang laskar akan memacu kuda itu dan
melepaskannya di Pamingit.”
Tiba-tiba
terdengar Jaka Soka bergumam,
“Sayang.”
Tetapi Pasingsingan sudah tidak mendengarnya lagi.
Topengnya
tiba-tiba tampak menjadi liar. Dipandangnya satu demi satu, Mantingan, Wilis,
Widuri kemudian Wirasaba. Yang terakhir adalah mayat muridnya.
“Ia mati di
luar lingkungan kami,” desisnya.
“Ya,” sahut
Sura Sarunggi.
“Ia mati
setelah menanggalkan kejantanan golongan kami. Aku tidak tahu bagaimana kedua
muridku mati. Mudah-mudahan mereka mati sebagai Uling Rawa Pening.”
“Persetan
semuanya!” Tiba-tiba Pasingsingan berteriak.
“Aku tidak
punya banyak waktu.”
Kata-kata
Pasingsingan itu merupakan aba-aba bagi Mantingan dan kawan-kawannya. Tanpa
berjanji, mereka segera berloncatan merapatkan diri dengan senjata
masing-masing yang siap di tangan. Trisula, pedang tipis ditangan Rara Wilis,
kapak raksasa dan rantai bercakra pemberian Kebo Kanigara. Untuk menghadapi
kekuatan-kekuatan lain, betapa dapat dikalahkan. Keempat senjata itu dalam satu
gabungan, merupakan kekuatan yang dahsyat. Namun bagi Pasingsingan,
senjata-senjata itu tak akan banyak berarti. Meskipun demikian, ia pun
berhati-hati.
“Mulailah
Pasingsingan,” kata Sura Sarunggi,
“Mungkin
orang-orang Pamingit akan segera menyusul kita. Bukankah pekerjaan utama kita
belum selesai?”
“Ya,” jawab
Pasingsingan.
“Aku menduga
kalau keris-keris itu disembunyikan oleh Gajah Sora. Tetapi jangan takut
mengenai orang-orang Pamingit atau Banyubiru yang akan menyusul kita. Aku telah
meletakkan beberapa penjaga untuk memberikan tanda-tanda dengan kentongan
apabila mereka terpancing oleh api di sana.”
SURA SARUNGGI
menyahut,
“Tetapi jangan
membuang-buang waktu.”
“Aku senang
melihat mereka ketakutan,” jawab Pasingsingan.
Sura Sarunggi
pun kemudian tertawa sambil berkata,
“Kau
benar-benar iblis. Tetapi memang benar-benar menyenangkan. Meskipun demikian
jangan terlalu lama. Apakah aku harus membantu? Kau akan kecewa kalau mereka
mati ketakutan sebelum terseret oleh kuda-kuda kita.”
“Bagus,” kata
Pasingsingan pula.
“Aku akan
dengan mudah membunuh mereka bersama-sama. Tetapi aku akan menemui kesulitan
untuk menangkap mereka hidup-hidup. Bantulah supaya pekerjaanku segera
selesai.”
Sura Sarunggi
tertawa. Ia melangkah maju mendekati empat orang yang berdiri dalam satu
lingkaran beradu punggung. Pasingsingan pun melangkah dari arah lain. Udara di
halaman Pendapa Banyubiru itu kemudian diliputi oleh ketegangan. Masing-masing
seakan-akan tidak berani menarik nafas dengan leluasa. Mantingan, Rara Wilis,
Endang Widuri dan Wirasaba telah bertekad untuk bertempur mati-matian. Mereka
lebih baik mati dalam perkelahian itu, daripada harus terserat di belakang kaki
kuda di sepanjang jalan ke Pamingit.
“Mahesa Jenar
dan sahabatnya di Pamingit akan berterima kasih atas hadiah-hadiah kita ini,
Sarunggi,” desis Pasingsingan.
“Hadiah yang
tak ternilai,” jawab Sura Sarunggi.
Namun
tiba-tiba langkah mereka terhenti. Sura Sarunggi yang tinggal beberapa langkah
dari korbannya, tiba-tiba mengangkat wajahnya. Demikian pula Pasingsingan.
“Hem….” geram
Pasingsingan,
“Apakah ini?”
Mata Sura Sarunggi menjadi liar. Mantingan dan kawan-kawannya yang telah hampir
kehilangan harapan untuk dapat menyaksikan matahari terbit di balik bukit-bukit
besok pagi, menjadi heran. Apakah yang mengganggu mereka. Ketika mereka melihat
berkeliling, mereka tidak melihat apapun juga. Yang mereka lihat di langit yang
kelam, mendung mulai mengalir dari arah utara. Satu-satu bintang-bintang yang
gemerlapan itu tertelan dan hilang di belakang tabir yang kelabu. Angin yang
basah bertiup semakin lama semakin keras. Dan udara di atas Banyubiru menjadi
semakin dingin. Tetapi Pasingsingan dan Sura Sarunggi masih belum beranjak dari
tempatnya. Bahkan kemudian Jaka Soka pun menjadi heran. Apakah yang ditunggu
lagi? Tak seorangpun yang akan dapat menghalang-halangi mereka. Apa yang akan
mereka perlakukan…? Sendang Parapat, Wanamerta yang kaku seperti tonggak, para
penjaga di gardu, tak ada yang mampu berbuat apapun. Meskipun Sendang Parapat
dan Wanamerta tak akan tinggal diam. Ternyata dengan senjata-senjata di tangan
mereka. Namun mereka sadar, bahwa terhadap Jaka Soka itupun mereka tak akan
mampu melawan. Tiba-tiba Sura Sarunggi dan Pasingsingan menjadi tegang. Sesaat
kemudian terdengar Sura Sarunggi berkata,
“Jangan
bersembunyi. Siapakah kau? Mahesa Jenar, Pandan Alas, Titis Anganten atau Sura
Dipayana?”
Mendengar
nama-nama itu, tergetarlah dada orang Banyubiru. Mantingan dan kawan-kawannya.
Bahkan Widuri terpekik kecil,
“Ayah
barangkali?”
Tetapi tak ada
jawaban. Karena itu kembali Mantingan dan kawan-kawannya menjadi tegang.
Seperti Sura Sarunggi dan Pasingsingan pun bertambah tegang. Mahesa Jenar,
sahabatnya yang berhasil membunuh Nagapasa, Pandan Alas atau orang-orang lain
pasti tidak akan membiarkan anak-anak mereka, atau sahabat-sahabat mereka itu
menjadi ketakutan. Mereka pasti akan segera menampakkan diri. Bahkan mereka
pasti datang dengan tergesa-gesa di atas kuda yang derap kakinya akan
memberitahukan kehadiran mereka.
“Tetapi
siapakah selain mereka?” bisik Sura Sarunggi di dalam hatinya. Namun
Pasingsingan menjadi gelisah. Ia pernah bertemu dengan orang-orang aneh itu
beberapa saat lampau di Rawa Pening. Ketika ia hampir saja membunuh Mahesa
Jenar beserta empat kawannya. Yang seorang adalah Dalang Mantingan itu. Dua
orang aneh itu berhasil membebaskan mereka. Sekarang, ketika Mantingan berada
di ujung maut, terasa sesuatu yang aneh di halaman itu.
Tiba-tiba
halaman itu seolah-olah bergetar dengan dahsyatnya.
Dari dalam
gelap terdengar suara perlahan-lahan.
“Akulah yang
datang.”
“Siapa?”
teriak Pasingsingan.
“Pasingsingan,”
jawab suara itu. Berdesirlah setiap dada yang mendengar jawaban itu.
Pasingsingan…?
“Ah, orang itu
pasti berolok-olok saja,” pikir mereka. Namun suara itu bergulung-gulung di
dalam perut, seperti suara Pasingsingan. Ketika kemudian kilat memancar di
langit, maka kembali di halaman itu seakan-akan menjadi runtuh karena setiap
orang terkejut karenanya. Dari arah suara itu, di dalam cahaya kilat yang hanya
sesaat tampaklah seorang yang berdiri tegak dengan jubah abu-abu dan bertopeng
yang kasar di wajahnya.
Melihat orang
itu, Pasingsingan menggeram dahsyat sekali. Terdengar ia berteriak nyaring,
“Siapakah kau?
Apakah kau sudah bernyawa rangkap, berani mengenakan pakaian khusus
Pasingsingan?”
“Aku
Pasingsingan,” jawab suara itu.
“Tak ada dua
Pasingsingan di dunia ini,” teriak Pasingsingan.
“Aku
satu-satunya.”
“Kau salah!”
Tiba-tiba terdengar suara itu di arah lain.
“Aku juga
Pasingsingan.”
KETIKA semua
orang menoleh ke arah suara itu, dalam keremangan cahaya obor, tampaklah
seseorang lagi yang berdiri tegak dengan jubah abu-abu dan topeng kasar di
wajahnya, sehingga serasa akan meledaklah dada mereka. Dua orang yang sama-sama
mengenakan jubah abu-abu dan topeng kasar di wajah mereka. Pasingsingan menjadi
marah sekali karenanya, sehingga tiba-tiba tubuhnya menjadi gemetar. Dengan
pandangan liar ia mengawasi kedua orang yang mirip dengan dirinya itu
berganti-ganti. Kemudian sambil menggeram ia berkata,
“Apakah kalian
tidak sadar, bahwa permainan kalian itu akan berakibat maut?”
Kedua orang
yang menamakan diri mereka Pasingsingan itu tidak menjawab, tetapi
perlahan-lahan mereka melangkah mendekat. Seorang di antaranya berdiri di
samping Mantingan dan kawan-kawannya, sedang seorang yang lain berdiri
bertentang pandang dengan Sura Sarunggi.
Namun kemudian
terdengar suara Sura Sarunggi tertawa. Katanya,
“Suatu
permainan yang bagus, Pasingsingan. Tetapi dengan mengenakan jubah abu-abu dan
topeng yang jelek itu, bukankah permainan terakhir bagi kalian? Sebab kalian
pasti akan mengambil keputusan untuk membuktikan bahwa Pasingsingan memang
hanya satu. Kalau sekarang tiba-tiba ada tiga, atau barangkali nanti muncul
yang lain, empat, lima, enam, sepuluh, maka nanti akhirnya Pasingsingan
benar-benar akan tinggal satu.”
“Kau benar,”
sahut Pasingsingan.
“Aku muak
melihat mereka dengan ciri-ciri khusus Pasingsingan itu. Karena itu mereka
harus mati.”
“Kematian
seseorang tidak terletak di tangan orang lain.”
Terdengar
salah seorang dari kedua orang itu menjawab.
“Tetapi
terletak di tangan Yang Maha Agung. Tak seorangpun dapat meramalkan, apakah
satu dari sekian banyak Pasingsingan itu adalah kau. Tak seorangpun yang tahu,
apakah kau dibenarkan untuk tetap hidup. Apakah aku atau orang itu yang juga
menamakan dirinya Pasingsingan.”
Pasingsingan
tertawa. Suaranya nyaring mengerikan seperti rintihan hantu. Yang mendengar
suara itu menjadi bergetar, seolah-olah dadanya terhimpit batu sebesar anak
gajah. Sehingga mereka terpaksa memusatkan kekuatan batin mereka untuk menahan
kesadaran mereka tidak runtuh. Namun beberapa orang penjaga telah terduduk
karenanya. Sendang Parapat yang belum sembuh benar itupun tidak kuat menahan
getaran yang memukul dadanya, sehingga dengan demikian, iapun terpaksa
menyandarkan diri pada tiang pendapa. Meskipun demikian akhirnya iapun terduduk
pula. Sedang Wanamerta terpaksa berpegangan tiang erat-erat. Namun kesadarannya
telah melayap-layap seperti orang yang sedang hanyut menjelang tidur.
Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan Endang Widuri masih dapat bertahan diri,
berdiri tegak dalam lingkaran beradu punggung. Meskipun demikian mereka harus
berjuang mati-matian agar mereka tetap dalam kesadaran. Sebab mereka tidak tahu
apa yang akan terjadi dengan tiga orang yang masing-masing menamakan diri
mereka Pasingsingan. Apakah Pasingsingan yang lain itu tidak kalah jahatnya
dengan Pasingsingan yang pertama. Apakah justru kedua orang yang lain itu lebih
berbahaya bagi mereka. Pasingsingan masih terus tertawa dengan nyaringnya.
Beberapa orang penjaga, bahkan Sendang Parapat, telah kehilangan kesadaran
mereka. Mereka menjadi seperti orang yang terlepas dari keadaan sekitarnya. Dan
karena itu mereka menjadi terbaring lemah tanpa daya. Hatinya menjadi nyeri dan
pedih. Mantingan dan kawan-kawannya pun semakin lama menjadi semakin lemah.
Sadarlah
mereka bahwa Pasingsingan telah melepaskan ajiannya Gelap Ngampar. Bahkan Jaka
Soka sendiripun menjadi gelisah. Semakin lama ia semakin pucat dan gemetar.
Sura Sarunggi berdiri tegak sambil mengangkat dadanya. Sebagai orang sakti ia tidak
banyak terpengaruh oleh aji sahabatnya itu. Bahkan akhirnya ia tersenyum dan
berkata,
“Gelap Ngampar
adalah ilmu ajaib. Pasingsingan yang lain pun mampu berbuat demikian?”
Namun kedua
Pasingsingan yang lain itu tidak menjawab. Mereka tegak seperti patung saja di
tempatnya. Tetapi tiba-tiba terasa udara yang aneh bertiup di halaman itu.
Perlahan-lahan hanyut di sela-sela arus angin basah dari lembah. Pasingsingan
yang berdiri dekat Mantingan itu tampak melipat tangan di dadanya. Sejalan
dengan arus udara yang aneh itu, terasa sesuatu merayap-rayap di dada
Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan Endang Widuri. Seakan-akan mereka menemukan
kesegaran baru di dalam dirinya. Perasaan nyeri dan pedih yang ditusukkan oleh
aji Gelap Ngampar di dalam tubuh mereka perlahan-lahan menjadi berkurang. Dan
angin masih mengalir mengusap tubuh mereka membawakan ketenangan dalam diri.
Bagaimanapun juga Mantingan adalah seorang yang memiliki pengalaman yang cukup.
Ia adalah seorang dalang yang banyak mempelajari keajaiban dan kekuatan-
kekuatan yang tersembunyi di balik alam yang kasatmata. Karena itu tergetarlah
hatinya. Sehingga tak sesadarnya ia berbisik,
“Alangkah
dahsyatnya. Pertempuran ilmu dari orang-orang sakti.”
WIDURI, Wilis
dan Wirasaba mendengar bisikan itu. Karena itu mereka menjadi gelisah. Dua
raksasa dapat bertempur tanpa luka pada kulit mereka, namun kelinci-kelinci
dapat terinjak mati di tengahnya.
“Dahsyat…!”
Tiba-tiba terdengar Sura Suranggi berteriak.
“Aku merasa
Pasingsingan yang lain mampu melawan Aji Gelap Ngampar. Setidak-tidaknya ia
mampu membebaskan dirinya. Bahkan perlawanannya telah berhasil mempengaruhi
orang lain seperti aji Gelap Ngampar itu sendiri, merata ke segenap arah.
Tetapi kekuatan perlawanan ini bukan ciri Pasingsingan. Pasingsingan lah yang
memiliki aji Gelap Ngampar.”
Pasingsingan
menggeram. Tertawanya kini sudah berhenti ketika ia merasa perlawanan yang
kuat. Bahkan telah membebaskan orang-orang di sekitarnya. Karena itu ia menjadi
semakin marah. Sambil menunjuk ke arah topeng kasar dari orang yang berdiri di
samping Mantingan yang melipat tangan di dada itu, ia berkata,
“Setan.
Agaknya kau mampu mengimbangi aji Gelap Ngampar. Tetapi itu bukan suatu bukti
bahwa kau berhak menamakan dirimu Pasingsingan. Sebab Pasingsingan tidak saja
mampu melawan, namun mampu melepaskan. Kalau kau menamakan dirimu Pasingsingan,
dapatkah kau melepaskan aji Gelap Ngampar?”
“Hem…” geram
orang berjubah yang menyilangkan tangannya.
“Kau masih
tidak percaya bahwa aku bernama Pasingsingan.”
“Setiap orang
dapat menyebut dirinya Pasingsingan. Mengenakan jubah abu-abu dan topeng kasar.
Namun aji Gelap Ngampar tak dimiliki oleh setiap orang,” sahut Pasingsingan
hampir berteriak. Orang yang menamakan dirinya Pasingsingan, yang berdiri di
samping Mantingan sambil melipat tangannya itu, mengangkat wajahnya. Terdengar
ia menarik nafas panjang. Perlahan-lahan ia menoleh kepada Pasingsingan yang
seorang lagi.
“Kau juga
bernama Pasingsingan?” Orang itu bertanya dengan suara yang dalam.
“Akulah
Pasingsingan itu,” jawab orang itu.
Pasingsingan
menjadi semakin marah. Katanya lantang,
“Aku tidak
peduli apakah kau menyebut dirimu Pasingsingan atau Setan Belang. Tetapi selama
kau tak mampu menunjukkan ciri-ciri Pasingsingan, maka kau hanya akan
ditertawakan orang sebelum kau terbunuh olehku.”
Namun Sura
Sarunggi terpaksa berpikir. Orang-orang itu berhasil membebaskan dirinya dari
pengaruh Gelap Ngampar, sehingga dengan demikian orang-orang itu bukanlah
kelinci-kelinci seperti Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan Widuri. Apalagi Wanamerta
dan Sendang Parapat yang kini benar-benar seperti orang yang tak tahu keadaan
diri.
“Aji Gelap
Ngampar adalah aji yang dahsyat,” kata orang yang berjubah abu-abu yang berdiri
di sebelah Sura Sarunggi itu. “Tetapi aji Gelap Ngampar adalah aji yang kurang
sempurna. Aji yang tak akan dapat dipergunakan dalam pertempuran besar, dimana
dalam pertempuran itu terdapat kawan dan lawan. Sebab demikian aji itu
dilontarkan, maka tidak saja lawan-lawan kita yang terbunuh, namun kawan
sendiripun akan menderita karenanya.”
“Jangan
mencoba mengajari aku,” bentak Pasingsingan.
“Ki Sanak yang
menamakan diri Pasingsingan, apa yang dapat kau lakukan dengan Gelap Ngampar
sekarang ini? Kalau kau akan membunuh aku, misalnya, dapatkah kau pergunakan
Gelap Ngampar? Dengan aji itu, kau hanya mampu membunuh orang-orang ini, yang
berkerumun ketakutan melihat topeng-topeng kita yang kasar.”
Kembali
Pasingsingan menggeram dahsyat sekali.
“Jangan banyak
bicara. Aku berkata tentang kebenaran dan kenyataan tentang Pasingsingan.” Pasingsingan
yang berdiri di samping Sura Sarunggi itu bertawa terkekeh-kekeh dibalik
topengnya yang jelek, jawabnya,
“Kau mengigau
tentang kebenaran dan kenyataan Pasingsingan? Aku tidak tahu kebenaran dan
kenyataan yang kau maksudkan. Bahkan cara berpikir yang demikian itulah yang
menyebabkan dunia ini selalu bergoncang. Kebenaran yang terpancar dari
kedengkian diri serta kenyataan yang ditabiri oleh pamrih dan nafsu. Kalau
setiap orang berpikir demikian, tak ada ukuran tata pergaulan manusia.
Kebenaran akan bertentangan dengan kebenaran yang lain, menurut kepentingan
diri sendiri.”
“Huh…” potong
Pasingsingan,
“Tak ada orang
yang berbuat sesuatu tanpa pamrih. Dunia ini terbentang di hadapan kita untuk
kita nikmati. Kalau kita tidak berbuat sesuatu adalah salah kita sendiri.
Karena itu sudah sewajarnya kalau kita teguk airnya sepuas-puasnya, dan kita
makan pala gumantung dan pala kependhem sekenyang-kenyangnya. Nah, aku sekarang
sedang menikmati pala keduanya kini. Jangan melintang di jalan yang akan aku
lewati. Aku sedang mendaki puncak kebesaran. Apakah kau kira kenikmatan dan
kebesaran hanya dapat dimiliki oleh seseorang? Huh. Akupun berhak. Dan agaknya
kaupun sedang berusaha.”
“Apa yang
sedang kau usahakan?” tanya Pasingsingan yang berdiri di samping Mantingan.
“Jangan
berpura-pura,” jawab Pasingsingan.
“Hem…” desah
orang yang berdiri di sebelah Sura Sarunggi.
“Apakah kau
sedang mencari Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten?”
“Bukankah kau
juga sedang mencarinya?” potong Pasingsingan.
“Apakah yang
kalian perdebatkan?” sahut Pasingsingan yang berdiri di samping Mantingan.
“Kyai
Nagasasra dan Sabuk Inten? Kalau itu yang kaucari, tak akan kau ketemukan di
sini. Kalau itu yang dimaksud dengan kebesaran yang setiap orang berhak
menikmatinya, bukankah dengan demikian kau bermaksud merajai Demak?”
“APA
PEDULIMU?” bentak Pasingsingan yang berjubah abu-abu, guru Lawa Ijo. Orang
bertopeng di samping Sura Sarunggi itu berkata pula,
“Kalau
keris-keris yang kau kehendaki, mengapa kau berbuat hal yang aneh-aneh? Mengapa
kau akan membunuh orang-orang ini?”
“Mereka
menghalangi maksudku, seperti kau,” jawab Pasingsingan.
“Kalau
seseorang berusaha menemukan keris Nagasasra dan Sabuk Inten untuk diserahkan
kepada yang berhak, kau berusaha untuk dirimu sendiri. Adakah kita akan berpihak
padamu?” tanya Pasingsingan di samping Mantingan.
“Jangan
merintangi aku!” Guru Lawa Ijo hampir berteriak,
“Atau kau akan
tergilas roda perjuanganku. Mati tanpa arti?”
“Kebesaran
yang akan kau dapatkan itu tak akan berarti bagiku, bagi orang-orang ini dan
bagi kawula Demak. Kebesaran itu hanya akan berarti bagimu sendiri, bagi
kawan-kawanmu. Nah, urungkan niatmu,” jawab Pasingsingan di samping Mantingan
itu.
“Persetan
dengan kalian,” sahut Pasingsingan.
“Kita
berhadapan sebagai lawan. Tetapi tunjukkan dahulu bahwa kau berhak bernama
Pasingsingan.”
Tiba-tiba
terdengar Sura Sarunggi tertawa.
“Kalian
berbicara tanpa ujung dan pangkal. Tetapi aku sudah dapat mengambil kesimpulan
bahwa kalian sedang bersaing. Meskipun demikian aku harus mempunyai pilihan.
Nah, aku berpihak pada Pasingsingan yang datang bersama aku di sini. Sebab
bagiku kedua Pasingsingan yang lain tak akan berarti. Meskipun seandainya
mereka mampu melepaskan aji Gelap Ngampar, aji Alas Kobar dan segala macam
ciri-ciri Pasingsingan yang lain.”
“Tetapi aku
akan memberimu kepuasan,” kata Pasingsingan di samping Mantingan.
“Kau ingin
melihat aku melepaskan aji Gelap Ngampar?”
Kepada
Pasingsingan di samping Sura Sarunggi ia berkata,
“Kau juga
ingin melihat kebenaran itu?”
Tak ada
jawaban. Pasingsingan guru Lawa Ijo itu berdebar-debar.
“Apakah
orang-orang itu benar-benar memiliki Gelap Ngampar seperti dirinya?
Dalam
kegelisahannya, ia menebak-nebak, siapakah sebenarnya kedua orang itu. Kalau
mereka itu salah seorang dari Mahesa Jenar, Pandan Alas dan lain-lainnya, pasti
mereka tak akan mampu melepaskan aji Gelap Ngampar. Tetapi yang lebih gelisah
lagi adalah Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan Endang Widuri. Kecuali mereka,
Jaka Soka pun menjadi berdebar-debar. Agaknya benar-benar akan terjadi pertempuran
ilmu yang dapat merontokkan isi dada mereka. Jaka Soka akhirnya mengambil
keputusan untuk meninggalkan tempat itu sebelum ia mati terhimpit dua kekuatan
yang tak dapat dihindarinya. Meskipun demikian, ia harus menunggu sampai saat
yang tepat baginya. Pasingsingan di samping Mantingan itu kemudian mengangkat
wajahnya. Kemudian ia memandang berkeliling. Kepada setiap orang yang berada di
halaman itu. Mulai dari Mantingan dan kawan-kawannya, Wanamerta, Sendang
Parapat dan para penjaga yang sudah kehilangan kesadaran mereka.
“Hem…”
desahnya,
“Kalau aku
melepaskan aji Gelap Ngampar, mereka akan menjadi semakin parah.”
Tiba-tiba
terdengar Pasingsingan guru Lawa Ijo itu tertawa.
“Nah, kau
mencari alasan untuk mengelak?”
“Tidak…
tidak,” sahut Pasingsingan itu.
“Tetapi kalau
aku ingin memetik buahnya, jangan digugurkan daun-daunnya tanpa maksud.”
“Omong kosong.
Apa padulimu dengan daun-daun yang tak berarti?” jawab guru Lawa Ijo.
Sekali lagi
Pasingsingan di samping Mantingan itu memandang berkeliling. Agaknya ia
benar-benar menjadi ragu. Tiba-tiba ia menggeram, dan kepada Pasingsingan yang
berdiri di samping Sura Sarunggi, ia berkata,
“Kalau kau
ingin mencoba menjajarkan diri dengan kami, cobalah melawan aji Alas Kobar
seperti yang aku lakukan.”
“Tidakkah kau
bertanya kepadaku, apakah aku mampu melepaskan aji itu?” kata Pasingsingan di
samping Sura Sarunggi itu.
“Akan datang
saatnya nanti,” sahut guru Lawa Ijo. Meskipun hatinya menjadi gelisah. Apakah
benar kedua-duanya mampu berbuat demikian?
“Menjemukan,”
sela Sura Sarunggi.
“Marilah kita
bertempur, Pasingsingan,” katanya kepada Pasingsingan guru Lawa Ijo.
“Yang mana kau
pilih? Menilik ketahanan mereka, kita harus melawan satu demi satu. Kecuali
kalau mereka mau menyingkir.”
Pasingsingan
belum sempat menjawab, ketika tiba-tiba Pasingsingan di samping Mantingan itu
tertawa. Perlahan-lahan, namun terasa betapa dahsyatnya. Gelombang demi
gelombang menggeletar menggetarkan udara halaman Banyubiru itu, seolah-olah
geteran yang memancar dari pusar bumi, menyebar ke seluruh penjuru. Terasa
disetiap dada goncangan yang tak terkira dahsyatnya. Sehingga runtuhlah
daun-daun yang tak mampu berpegangan lebih erat lagi pada dahan-dahannya. Sura
Sarunggi itu tidaklah seperti suara guru Lawa Ijo yang mengerikan. Suara itu adalah
suara yang sederhana saja, seperti lazimnya orang tertawa. Lunak dan tidak
mengandung kebengisan. Namun yang terasa di dada orang yang mendengarnya adalah
goncangan-goncangan yang dahsyat. Pada saat goncangan-goncangan itu menyerang
dada Mantingan, berdesislah ia,
“Aji Gelap
Ngampar.”
Dan
berusahalah ia menjaga dirinya. Demikian juga Rara Wilis, Wirasaba, Widuri dan
Jaka Soka. Sedang orang-orang lain menjadi tak berdaya untuk berbuat sesuatu,
mengatasi goncangan-goncangan di dada mereka, sehingga tak mampu bertahan lebih
lama lagi. Tubuh mereka pun mulai jatuh terkulai tak sadarkan diri.
MANTINGAN dan
kawan-kawannya, bahkan Jaka Soka pun tak mampu bertahan lebih lama lagi. Tubuh
mereka mulai bergetar, dan tulang-tulang mereka seakan-akan terasa lolos dari
persendian. Mereka mengeluh dalam hati. Mereka berada di medan pertempuran yang
dahsyat, namun mereka tak mampu mengayunkan senjata-senjata mereka untuk turut
serta di dalamnya. Mereka hanya dapat bertahan atas serangan yang dahsyat, yang
jauh berada di atas kemampuan mereka. Sehingga dengan demikian mereka tidak
lebih dari daun-daun kering yang berguguran di halaman itu. Meskipun demikian,
terasa perbedaan pada kedua aji Gelap Ngampar yang sama-sama menggoncangkan
dada mereka. Meskipun keduanya dapat membunuhnya, namun tenaga ini tidak
sekasar tenaga yang pertama. Namun, ketika dada mereka akan runtuh, dari
sela-sela angin basah yang mengalir semakin kencang, menyusuplah di dalam tubuh
mereka, getaran-getaran udara yang segar. Perlahan-lahan namun pasti, membebaskan
mereka dari kengerian aji Gelap Ngampar itu. Dan sejalan dengan itu, suara
tertawa Pasingsingan itupun terhenti pula.
“Hem…”
geramnya,
“Kau mampu
melawan aji Gelap Ngampar,” katanya kepada Pasingsingan yang berdiri di samping
Sura Sarunggi. Orang itu masih tegak di tempatnya sambil menyilangkan kedua
tangannya terlipat di dada. Sebelum orang itu menjawab, terdengar Sura Sarunggi
tertawa,
“Permainan
yang mengasyikkan,” katanya.
“Jangan
bermain-main terlalu lama. Aku tahu bahwa kalian memiliki ilmu yang bersamaan.
Pasingsingan yang datang kemudian berdua adalah seperti seperguruan. Entahlah
hubungan kalian dengan Guru Lawa Ijo itu, sehingga kalian memiliki ilmu Gelap
Ngampar. Meskipun terasa beberapa perbedaan, namun kalian bersumber dari mata
air yang sama.”
Pasingsingan
guru Lawa Ijo itupun berdiri tegak sambil menahan marahnya. Karena itu tubuhnya
tiba-tiba bergetar. Dengan suara yang berat ia berkata pula,
“Gila. Kalian
memiliki aji gelap Ngampar. Jangan berpura-pura, dan yang satu itu jangan mencoba
melepaskan pula. Tetapi itu belum berarti bahwa kau bisa menamakan diri
Pasingsingan.”
“Adakah aku
harus melepaskan aji Alas Kobar?” tanya Pasingsingan di samping Mantingan.
“Mungkin kau
mampu pula, menirukan setelah kau atau gurumu berhasil mencuri ilmu itu. Tetapi
yang tak dapat kau curi adalah pusaka Pasingsingan. Apakah kau memiliki pisau
yang bernama Kyai Suluh?” tanya Pasingsingan dengan pasti. Tiba-tiba kembali
halaman itu bergetar ketika Pasingsingan Guru Lawa Ijo itu berteriak nyaring.
Seperti hantu kelaparan yang kehilangan mangsanya.
“Gila,
darimana kau dapatkan benda itu?”
Semua mata
tertuju kepada Pasingsingan di samping Sura Sarunggi. Di tangannya tergenggam
sebuah pisau belati panjang yang bercahaya kuning menyilaukan.
“Inikah yang
kau maksud?” katanya.
“Hem…” desis
Pasingsingan di samping Mantingan.
“Kalian mau
bermain-main dengan senjata.” Ia tidak berkata lebih lanjut, namun iapun
kemudian mencabut sebuah pisau belati yang mirip benar dengan pisau belati
Pasingsingan yang lain itu.
Pasingsingan
guru Lawa Ijo menjadi semakin marah. Darahnya serasa mendidih di dalam rongga
dadanya. Karena itu tanpa disengaja, tiba-tiba tangannyapun telah menarik
pusakanya. Sebuah belati panjang yang berkilau. Kini ketiga orang yang
menamakan diri Pasingsingan itu masing-masing telah menggenggam senjata yang
serupa. Senjata yang selama ini menjadi ciri Pasingsingan. Pusaka yang ampuh
luar biasa. Namun tiba-tiba Pasingsingan yang selama ini merasa tiada duanya,
menjadi heran, marah dan bingung, ketika ada dua orang yang menamakan diri
Pasingsingan, serta memiliki beberapa ciri kekhususannya Aji Gelap Ngampar
serta pisau belati panjang yang kuning berkilauan. Dengan suara yang bergetar
guru Lawa Ijo itu berkata,
“Setan. Kalian
dapat membuat senjata yang serupa dengan senjata ini. Tetapi ada lagi satu
senjata Pasingsingan yang tak dapat dibuat oleh empu yang bagaimanapun
saktinya. Senjata yang diberikan oleh alam kepadaku. Adakah kalian mempunyai
akik yang berwarna merah menyala dan bernama Kelabang Sajuta?”
Untuk sesaat
halaman itu menjadi hening sepi. Angin lembah semakin lama semakin kencang. Dan
awan yang kelabu menjadi bertambah tebal tergantung di langit. Sekali-kali
guntur bergelegar di kejauhan, memukul-mukul tebing dan pecah menggema
diseluruh relung-relung pegunungan. Sinar-sinar api memancar di udara seperti
Ular Gundala raksasa yang meloncat-loncat dilangit. Menurut ceritera yang
menjalar dari mulut ke mulut, di langit pada saat itu sedang terjadi
pertempuran antara Ular Gundala Seta, senjata Wisnu yang sedang menyelamatkan
bumi dari keangkaramurkaan, melawan Ular Gundala Wereng, senjata Kala yang
sedang berusaha menghancurkan bumi karena ketamakannya. Tetapi pada saat itu,
di halaman Banyubiru itu pun sedang berhadapan dua kekuatan raksasa. Pasingsingan
guru Lawa Ijo dan Sura Sarunggi di satu pihak, dan dua orang Pasingsingan di
pihak lain. Mereka sedang tegak dengan tegangnya dalam pendirian masing-masing.
Ketika kedua orang Pasingsingan itu belum juga berkata sepatah katapun, guru
Lawa Ijo itu tertawa pendek, katanya,
“Ha apa katamu
tentang akik Kelabang Sayuta hadiah alam kepada Pasingsingan?”
Tiba-tiba
Pasingsingan di samping Mantingan itu menjawab,
“Kalau kau
dapat menunjukkan bahwa kau memiliki akik Kelabang Sayuta, akupun akan
membuktikan pula bahwa sebagai Pasingsingan, aku memiliki ciri-ciri yang
lengkap seperti katamu.”
MENDENGAR
jawaban itu, hati Pasingsingan berdesir. Ketika ia meraba jari-jarinya, ia
menjadi berdebar-debar. Namun katanya kemudian,
“Akik itu
sudah aku berikan kepada muridku Lawa Ijo. Sesaat sebelum ia mati, diberikannya
akik itu kepada Endang Widuri.”
“Hem…” desis
Pasingsingan di samping Sura Sarunggi.
“Kau sedang
mengarang sebuah ceritera.”
“Bertanyalah
kepada Endang Widuri.” Pasingsingan itu menegaskan. Pasingsingan di samping
Mantingan itu menoleh kepada Endang Widuri. Kemudian ia berkata,
“Ciri
Pasingsingan hanya melekat pada tubuh Pasingsingan. Tak ada ciri-ciri yang
lain, apalagi yang dimiliki oleh orang lain. Aku dapat menyebut lebih dari
seribu macam pusaka-pusaka ciri yang lain yang tak ada padaku.”
Darah
Pasingsingan bertambah bergelora di jantungnya. Sambil berteriak ia
memaki-maki,
“Setan, iblis,
thethekan. Tetapi akik Kelabang Sayuta itu milikku.”
“Aku tidak
bertanya siapakah yang mula-mula memiliki,” bantah Pasingsingan di samping
Mantingan.
“Tetapi akik
itu sekarang tidak ada padamu, tidak ada padaku, dan tidak ada pada
Pasingsingan yang seorang itu lagi.”
Pasingsingan
di samping Sura Sarunggi tertawa pendek, katanya,
“Sudahlah Ki
Sanak yang menamakan diri Pasingsingan, yang madeg guru di Mentaok. Jangan
terlalu banyak persoalkan di antara kita kini.”
“Diam!” bentak
Pasingsingan guru Lawa Ijo.
“Aku beri kau
waktu sepemakan sirih. Tinggalkan halaman ini. Jangan campuri urusanku.”
“Bukan
demikian adat yang pernah kau lakukan,” sahut Pasingsingan di samping
Mantingan,
“Kalau kau
yakin dapat membunuh kami, kau tak akan melepaskan lagi. Dengan demikian, maka
sekarang kau tak yakin akan kemenanganmu. Karena itu, bukankah lebih baik kita
berbicara sebagai manusia terhadap manusia. Bukan sebagai hantu-hantu yang
berkeliaran dari satu kuburan kelain kuburan, mencari mayat.”
“Hem.
Benar-benar suatu penghinaan,” geram Sura Sarunggi. Kepalanya yang besar itu
terangkat dan dengan lantang ia melanjutkan,
“Jangan merasa
dirimu kadang dewa. Tak ada waktu untuk berbicara sekarang. Pergilah atau kau
akan terkubur di sini.”
“Jangan begitu
Ki Sanak,” jawab Pasingsingan di samping Sura Sarunggi.
“Penyelesaian
dengan pengertian, jauh lebih baik daripada penyelesaian dengan tetesan darah
dari tubuh kita. Sebab dengan demikian, kita akan dikejar oleh rasa dendam yang
tiada akan habis-habisnya. Dendam yang akan dibalas dengan dendam. Dengan
demikian maka sepanjang umur kita, kita tidak akan dapat menikmati ketenangan.”
“Pengecut!”
potong Pasingsingan dari Mentaok.
“Aku adalah
laki-laki. Di tanganku telah tergenggam pusakaku Kyai Suluh. Karena itu kau tak
ada kesempatan lagi untuk kedua kalinya, setelah kau menolak kesempatan yang
pertama.”
“Jangan,”
jawab Pasingsingan di samping Mantingan,
“Kita
masing-masing mempunyai kesempatan yang sama. Jangan mengancam dan
menakut-nakuti. Aku ulangi, marilah kita berbicara sebagai manusia dengan
manusia. Kita berbicara tanpa takbir di wajah kita. Kita bicara antara hati
kita yang dilambari dengan kejujuran pada diri kita masing-masing, betapa
hitamnya noda-noda yang melekat pada tubuh kita masing-masing.”
Mendengar
kata-kata itu, tiba-tiba Pasingsingan dari Mentaok itu menggigil. Ia menjadi
curiga. Sejak orang yang menamakan diri Pasingsingan itu mampu melepaskan Gelap
Ngampar, hatinya telah bergetar. Kini kata-kata itu menambah keyakinannya bahwa
ia telah mengenal kedua orang itu. Meskipun demikian, ia masih mencoba untuk
menyakinkan, apakah dugaannya itu benar. Maka katanya,
“Apakah
alasanmu? Apakah untungnya kita berbicara dari hati ke hati?”
Pasingsingan
di samping Mantingan menarik nafas, katanya,
“Bagaimanapun
kotornya hati kita, namun kita adalah manusia. Kita memiliki hari-hari lampau
dan hari-hari mendatang. Kita memiliki hari-hari yang cemerlang, namun kita
memiliki juga hari-hari yang suram. Karena itu, janganlah kita tenggelam dalam
kegelapan. Putus asa dan bunuh diri dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang
terkutuk terus-menerus.”
Sura Sarunggi
kini benar-benar sudah kehilangan kesabarannya. Dengan suara yang geram ia
berkata,
“Persetan
dengan mimpi yang jahat itu. Jangan mencoba meracuni jiwa kami dengan hiasan
kata-kata.” Kemudian kepada Guru Lawa Ijo ia berkata,
“Sudahkah
senjatamu itu siap?”
Tetapi dada
Pasingsingan menjadi bergetar semakin cepat. Ada perasaan yang lain di dalam
dirinya. Sekarang ia hampir pasti dengan siapa ia berhadapan. Namun di hadapan
Sura Sarunggi, ia masih mencoba untuk bersembunyi. Ia tidak mau orang lain
mengetahui tentang dirinya, apalagi Jaka Soka, Mantingan beserta
kawan-kawannya. Meskipun ia berdiam diri, namun hati di dalam dadanya berteriak
nyaring,
“Hai Umbaran,
yang berdiri di hadapanmu dengan ciri-ciri Pasingsingan adalah Radite dan
Anggara.”
Dalam
kegelisahan itu, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah letusan yang dahsyat.
Ketika ia memandang kepada Sura Sarunggi, dilihatnya sahabatnya itu telah
mengurai ikat pinggangnya, yang kemudian dengan marahnya, ikat pinggang yang
mirip dengan sebuah cemeti itu dilecutkannya. Itulah senjata Sura Sarunggi,
sebagaimana senjata-senjata yang dipergunakan oleh murid-muridnya, Uling Putih
dan Uling Kuning dari Rawa Pening.
PASINGSINGAN,
Guru Lawa Ijo kini tidak mempunyai pilihan lain. Ia mencoba untuk menenangkan
dirinya dengan mereka, apakah yang telah terjadi selama ini. Ia merasa bahwa
pada saat-saat terakhir telah diketemukannya berbagai bentuk yang keras dari
ajinya, Gelap Ngampar, maupun Alas Kobar. Kemajuan-kemajuan yang dicapainya
dalam petualangannya. Lalu apakah yang telah didapatkan oleh kedua saudara
seperguruan itu. Meskipun pada masa-masa lampau, Radite dan Anggara tak dapat
diatasinya, namun kini Pasingsingan yang bernama Umbaran itu bukanlah Umbaran
beberapa tahun yang lampau. Dengan demikian akhirnya ia memutuskan, bahwa ia
harus berjuang dengan senjatanya itu. Kemudian terdengarlah suara meledak untuk
mengatasi getaran-getaran di jantungnya,
“Hai
orang-orang yang tak tahu diri, yang telah menyia-nyiakan kesempatan terakhir
karena kebaikan hatimu. Angkatlah wajahmu. Pandanglah angkasa yang suram
sebagai aba-aba dari isi bumi ini, dan tundukanlah kemudian wajahmu itu sebagai
penghormatan terakhir pada ibu pertiwi. Kemudian hadapilah aku sebagai lawanmu,
yang akan mengantarkan nyawamu menyeberang ke dunia yang tak dikenal.”
Pasingsingan
di samping Mantingan menarik nafas dalam-dalam. Gumamnya,
“Senjata
bukanlah alat terakhir untuk menemukan kesempatan.”
“Tak ada yang
akan disepakatkan,” sahut Sura Sarunggi,
“Kita berdiri
berseberangan. Kita tidak dapat hidup bersama-sama dalam satu naungan langit
yang luas ini.”
Pasingsingan
di samping Sura Sarunggi itu agaknya lebih mudah tersinggung daripada
Pasingsingan yang berdiri di samping Mantingan. Ternyata ia menjawab lantang,
“Tidak adakah
jalan lain? Kalau demikian, kalau kau berpihak pada orang yang menamakan diri
Pasingsingan pemarah itu, maka aku akan berdiri di pihak Pasingsingan yang
seorang lagi. Sesudah itu, biarlah kami menentukan keadaan kami tanpa campur
tanganmu.”
“Tunggu…”
Pasingsingan di samping Mantingan mencoba untuk mencegahnya. Tetapi suaranya
tenggelam dalam pekik lantang Sura Sarunggi.
“Bagus. Itulah
kata-kata jantan. Sudah siapkah kau?”
Pasingsingan
di samping Sura Sarunggi itu menjawab tidak kalah lantangnya,
“Aku lebih
senang menempuh jalan lain. Tetapi kalau kau hadapkan aku pada satu pilihan
yang tak dapat aku elakkan, silahkanlah.”
Sura Sarunggi
tertawa seperti orang mabuk. Katanya,
“Meskipun kau
kekasih dewa-dewa, meskipun kau berperisai guntur dan petir, tetapi kau belum
mampu menjaring angin, maka kau akan kehilangan hidupmu karena tanganku.”
“Aku bukan
kekasih dewa-dewa, namun aku menyerahkan diriku pada Yang Maha Kuasa,” jawab
Pasingsingan itu.
“Kepada-Nya
aku mohon kekuatan untuk melenyapkan keingkaran atas hukum-hukum-Nya.”
Kembali
terdengar iblis dari Rawa Pening itu tertawa. Sesaat kemudian bergema kembali
suara cemetinya menyusur lereng-lereng bukit.
“Hai, langit
yang muram, angin yang kencang. Saksikanlah kutuk yang akan menimpa orang ini.”
Sura Sarunggi
menutup kata-katanya dengan derai tertawa yang mengerikan. Kemudian ia pun
bersiap untuk segera mulai dengan pertempuran melawan orang berjubah abu-abu
dan menyebut dirinya Pasingsingan itu. Sesaat kemudian ia pun meloncat dengan
garangnya. Cemetinya berputar cepat sekali, melampaui kecepatan baling-baling
yang ditiup angin ribut. Namun Pasingsingan itu pun telah bersiap pula. Tangan
di balik jubah abu-abunya berkembang seperti hendak terbang. Pisau belati
panjangnya berkilauan memantulkan cahaya api yang remang-remang. Mereka
tenggelam dalam satu perkelahian yang dahsyat. Sura Sarunggi, iblis dari Rawa
Pening itu bertempur seperti angin topan. Ia meloncat-loncat dengan dahsyatnya
mengelilingi lawannya, dan menyerangnya dari segenap penjuru. Namun
Pasingsingan itupun tidak membiarkan dirinya tersekat dalam lingkaran cemeti
lawannya. Dengan tangkasnya ia melontarkan dirinya, sekali-kali memotong
serangan lawannya. Dan bahkan kadang-kadang ia tegak menghadapi topan seperti
bukit Telamaya yang tak tergoyahkan oleh angin dan badai. Mantingan, Rara
Wilis, Wirasaba dan Widuri memandang perkelahian itu dengan mulut ternganga.
Kedahsyatan ilmu mereka telah menggemparkan dada masing-masing. Demikian
sengitnya perkelahian itu, sehingga akhirnya yang tampak di mata mereka
hanyalah bayang-bayang hitam yang berputar-putar seperti angin pusaran.
Jaka Soka tak
luput pula dari perasaan itu. Heran dan berdebar-debar. Meskipun demikian ia
masih ingat akan keselamatan diri. Sehingga dengan diam-diam ia mencari
kemungkinan, ke mana ia harus melarikan diri. Sebab apabila Pasingsingan yang
sepasang itu terlibat pula dalam pertempuran, serta apabila kemudian Mantingan
dan kawan-kawannya telah berhasil menguasai diri mereka, bersama-sama
menyerangnya, maka sulitlah baginya untuk bertahan. Padahal ia masih ingin
menikmati kebesaran sebagai pimpinan bajak laut yang disegani.
JAKA SOKA
tidak peduli lagi apa yang akan terjadi dengan golongan hitam yang lain. Dengan
laskar Mentaok, Rawa Pening, Gunung Tidar dan lain-lainnya di Pamingit. Karena
itu selama ia masih mendapat kemungkinan, ia harus menyingkir dari halaman itu.
Sementara itu Pasingsingan Guru Lawa Ijo telah mempersiapkan dirinya pula. Ia
melihat betapa sahabatnya telah terlibat dalam suatu pertempuran yang
menentukan. Karena itu ia menggeram dengan marahnya,
“Lihatlah
betapa orang yang berani menyebut dirinya Pasingsingan itu akan hancur lumat
oleh cemeti Sura Sarunggi.”
Pasingsingan
yang berdiri di samping Mantingan masih berdiam diri, meskipun ia mengikuti
pertempuran itu dengan seksama. Namun tak ada tanda-tanda padanya, bahwa ia pun
akan segera mulai bertempur. Tetapi justru karena itulah maka guru Lawa Ijo itu
menjadi semakin gelisah. Untuk merapati kegelisahannya, ia berkata,
“Hai orang
yang sombong, yang berani mengaku bernama Pasingsingan, bersiaplah menghadapi
saat-saat terakhirmu.”
“Jangan
berkata demikian,” jawabnya perlahan-lahan,
“Apakah kau
juga sekasar Sura Sarunggi itu?”
“Jangan
mencoba melunakkan hatiku,” sahut guru Lawa Ijo.
“Aku tahu bahwa
hatimu tak selunak yang aku harapkan,” kata Pasingsingan di samping Mantingan.
“Tetapi jangan
terlalu lama mengelabuhi dirimu. Aku yakin bahwa kau telah mengenal aku.”
Dada guru Lawa
Ijo berdesir keras. Tetapi ia takut melihat kepada dirinya sendiri. Ia menjadi
takut, bahwa akhirnya ia benar-benar menyadari keadaannya. Karena itu ia
berteriak,
“Jangan
mencoba meringankan kesalahanmu. Bersiaplah aku akan mulai.”
“Umbaran…”
tiba-tiba terdengar suara yang lunak, selunak suara seorang kakak terhadap
adiknya. Mendengar nama itu, darah guru Lawa Ijo serasa berhenti mengalir.
Telah bertahun-tahun ia tidak mendengarnya orang memanggil nama yang diberikan
oleh ayah bundanya. Ia lebih senang dan bangga apabila orang menyebutnya dengan
ketakutan,
“Pasingsingan.”
Karena itu tiba-tiba ia menjadi bingung.
Dalam
kebingungan itulah ia berteriak,
“Jangan
mengigau. Umbaran telah mati. Aku, Pasingsingan, yang telah membunuhnya.”
“Ya, Umbaran
telah tak ada lagi,” jawab orang berjubah itu,
“Yang ada
kemudian adalah Pasingsingan. Tetapi, baginya masih ada jalan kembali.”
“Diam!” bentak
guru Lawa Ijo. Darahnya yang beku itu tiba-tiba mendidih kembali.
Radite dan
Anggara yang lenyap dari percaturan orang-orang sakti itu tak akan mampu
menambah ilmunya. Karena itu, ia pasti akan dapat mengatasinya. Tetapi ia
menjadi gelisah kembali ketika orang yang dibentak-bentaknya itu masih tetap
tenang dan berkata,
“Jangan marah
Umbaran. Aku datang kepadamu dengan maksud baik. Kau masih mempunyai kesempatan
kembali ke perguruan kita. Guru kita yang bergelar Pasingsingan dengan
cita-cita yang putih.”
No comments:
Post a Comment