Bagian 079


“WIDURI, agaknya kau telah berhasil merebut hati muridku pada saat-saat terakhirnya. Karena kenangannya yang melambung pada masa lampaunya, pada almarhum istri dan anaknya itulah, maka sejak di Gedong Sanga ia selalu berpesan untuk membebaskan kau dari tanganku. Sebelum mati ia pun berpesan demikian pula untuk tidak mengganggumu. Tetapi Lawa Ijo sekarang sudah tidak ada lagi. Pesannya akan hilang bersama hilangnya nyawamu. Sekarang aku akan melakukan rencanaku. Mengikat kalian di belakang kuda, dan mengantarkan kuda-kuda itu ke Pamingit.”
Setiap hati yang mendengar kata-kata Pasingsingan itu menjadi bergetar cepat. Mereka menjadi seperti tersadar dari mimpinya. Ketika mereka mendengar kata-kata terakhir Lawa Ijo, mereka seolah-olah terlempar ke dalam satu dunia yang asing. Namun sekarang kembali mereka berdiri di atas tanah. Mereka berhadapan dengan iblis bertopeng dari Alas Mentaok. Mantingan tiba-tiba meloncat dengan cepatnya, meraih trisulanya yang masih menggeletak di samping Lawa Ijo setelah berhasil menyobek dada pemimpin gerombolan yang kehilangan masa depannya itu. Pedang Rara Wilis juga diangkatnya kembali. Widuri yang masih berjongkok disamping Lawa Ijo pun berdiri. Dengan hati-hati ia mengenakan cincin pemberian Lawa Ijo di jarinya, meskipun agak terlalu longgar, namun karena tangannya kemudian menggenggam ujung rantainya, maka cincin itu tidak akan lari karenanya.

Wirasaba yang berdiri tegak agak jauh dari mereka, juga segera membelai kapaknya, seolah-olah ia ingin menanyakan kepada senjata itu, apakah yang dapat dilakukan untuk melawan orang yang bernama Pasingsingan itu. Yang terdengar kemudian adalah suara Sura Sarunggi, disamping gelaknya yang riuh.
“Aku menjadi geli melihat kelinci-kelinci ini mempersiapkan senjata-senjata mereka. Aku tidak tahu apa yang mereka pikirkan. Apakah mereka sedang menduga-duga kekuatanmu, Pasingsingan?”
Pasingsingan tidak menjawab. Malahan ia berkata kepada Jaka Soka,
“Soka, masihkah kau perlukan perempuan itu?”
Jaka Soka terkejut. Selama itu ia pun seperti orang yang kehilangan kesadaran. Namun akhirnya ia menjawab,
“Perempuan itu sangat berbahaya, Paman.”
Pasingsingan tertawa.
“Lalu…?” ia bertanya pula. Jaka Soka menggeleng, jawabnya,
“Selama ia masih seperti sekarang, aku tidak memerlukan lagi.”
“Bagus,” sahut Pasingsingan,
“Perempuan itulah yang pertama-tama akan aku ikat di belakang kuda bersama-sama dengan gadis yang bernama Widuri itu. Seorang laskar akan memacu kuda itu dan melepaskannya di Pamingit.”
Tiba-tiba terdengar Jaka Soka bergumam,
“Sayang.” Tetapi Pasingsingan sudah tidak mendengarnya lagi.
Topengnya tiba-tiba tampak menjadi liar. Dipandangnya satu demi satu, Mantingan, Wilis, Widuri kemudian Wirasaba. Yang terakhir adalah mayat muridnya.
“Ia mati di luar lingkungan kami,” desisnya.
“Ya,” sahut Sura Sarunggi.
“Ia mati setelah menanggalkan kejantanan golongan kami. Aku tidak tahu bagaimana kedua muridku mati. Mudah-mudahan mereka mati sebagai Uling Rawa Pening.”
“Persetan semuanya!” Tiba-tiba Pasingsingan berteriak.
“Aku tidak punya banyak waktu.”

Kata-kata Pasingsingan itu merupakan aba-aba bagi Mantingan dan kawan-kawannya. Tanpa berjanji, mereka segera berloncatan merapatkan diri dengan senjata masing-masing yang siap di tangan. Trisula, pedang tipis ditangan Rara Wilis, kapak raksasa dan rantai bercakra pemberian Kebo Kanigara. Untuk menghadapi kekuatan-kekuatan lain, betapa dapat dikalahkan. Keempat senjata itu dalam satu gabungan, merupakan kekuatan yang dahsyat. Namun bagi Pasingsingan, senjata-senjata itu tak akan banyak berarti. Meskipun demikian, ia pun berhati-hati.
“Mulailah Pasingsingan,” kata Sura Sarunggi,
“Mungkin orang-orang Pamingit akan segera menyusul kita. Bukankah pekerjaan utama kita belum selesai?”
“Ya,” jawab Pasingsingan.
“Aku menduga kalau keris-keris itu disembunyikan oleh Gajah Sora. Tetapi jangan takut mengenai orang-orang Pamingit atau Banyubiru yang akan menyusul kita. Aku telah meletakkan beberapa penjaga untuk memberikan tanda-tanda dengan kentongan apabila mereka terpancing oleh api di sana.” 

SURA SARUNGGI menyahut,
“Tetapi jangan membuang-buang waktu.”
“Aku senang melihat mereka ketakutan,” jawab Pasingsingan.
Sura Sarunggi pun kemudian tertawa sambil berkata,
“Kau benar-benar iblis. Tetapi memang benar-benar menyenangkan. Meskipun demikian jangan terlalu lama. Apakah aku harus membantu? Kau akan kecewa kalau mereka mati ketakutan sebelum terseret oleh kuda-kuda kita.”
“Bagus,” kata Pasingsingan pula.
“Aku akan dengan mudah membunuh mereka bersama-sama. Tetapi aku akan menemui kesulitan untuk menangkap mereka hidup-hidup. Bantulah supaya pekerjaanku segera selesai.”
Sura Sarunggi tertawa. Ia melangkah maju mendekati empat orang yang berdiri dalam satu lingkaran beradu punggung. Pasingsingan pun melangkah dari arah lain. Udara di halaman Pendapa Banyubiru itu kemudian diliputi oleh ketegangan. Masing-masing seakan-akan tidak berani menarik nafas dengan leluasa. Mantingan, Rara Wilis, Endang Widuri dan Wirasaba telah bertekad untuk bertempur mati-matian. Mereka lebih baik mati dalam perkelahian itu, daripada harus terserat di belakang kaki kuda di sepanjang jalan ke Pamingit.
“Mahesa Jenar dan sahabatnya di Pamingit akan berterima kasih atas hadiah-hadiah kita ini, Sarunggi,” desis Pasingsingan.
“Hadiah yang tak ternilai,” jawab Sura Sarunggi.

Namun tiba-tiba langkah mereka terhenti. Sura Sarunggi yang tinggal beberapa langkah dari korbannya, tiba-tiba mengangkat wajahnya. Demikian pula Pasingsingan.
“Hem….” geram Pasingsingan,
“Apakah ini?” Mata Sura Sarunggi menjadi liar. Mantingan dan kawan-kawannya yang telah hampir kehilangan harapan untuk dapat menyaksikan matahari terbit di balik bukit-bukit besok pagi, menjadi heran. Apakah yang mengganggu mereka. Ketika mereka melihat berkeliling, mereka tidak melihat apapun juga. Yang mereka lihat di langit yang kelam, mendung mulai mengalir dari arah utara. Satu-satu bintang-bintang yang gemerlapan itu tertelan dan hilang di belakang tabir yang kelabu. Angin yang basah bertiup semakin lama semakin keras. Dan udara di atas Banyubiru menjadi semakin dingin. Tetapi Pasingsingan dan Sura Sarunggi masih belum beranjak dari tempatnya. Bahkan kemudian Jaka Soka pun menjadi heran. Apakah yang ditunggu lagi? Tak seorangpun yang akan dapat menghalang-halangi mereka. Apa yang akan mereka perlakukan…? Sendang Parapat, Wanamerta yang kaku seperti tonggak, para penjaga di gardu, tak ada yang mampu berbuat apapun. Meskipun Sendang Parapat dan Wanamerta tak akan tinggal diam. Ternyata dengan senjata-senjata di tangan mereka. Namun mereka sadar, bahwa terhadap Jaka Soka itupun mereka tak akan mampu melawan. Tiba-tiba Sura Sarunggi dan Pasingsingan menjadi tegang. Sesaat kemudian terdengar Sura Sarunggi berkata,
“Jangan bersembunyi. Siapakah kau? Mahesa Jenar, Pandan Alas, Titis Anganten atau Sura Dipayana?”
Mendengar nama-nama itu, tergetarlah dada orang Banyubiru. Mantingan dan kawan-kawannya. Bahkan Widuri terpekik kecil,
“Ayah barangkali?”

Tetapi tak ada jawaban. Karena itu kembali Mantingan dan kawan-kawannya menjadi tegang. Seperti Sura Sarunggi dan Pasingsingan pun bertambah tegang. Mahesa Jenar, sahabatnya yang berhasil membunuh Nagapasa, Pandan Alas atau orang-orang lain pasti tidak akan membiarkan anak-anak mereka, atau sahabat-sahabat mereka itu menjadi ketakutan. Mereka pasti akan segera menampakkan diri. Bahkan mereka pasti datang dengan tergesa-gesa di atas kuda yang derap kakinya akan memberitahukan kehadiran mereka.
“Tetapi siapakah selain mereka?” bisik Sura Sarunggi di dalam hatinya. Namun Pasingsingan menjadi gelisah. Ia pernah bertemu dengan orang-orang aneh itu beberapa saat lampau di Rawa Pening. Ketika ia hampir saja membunuh Mahesa Jenar beserta empat kawannya. Yang seorang adalah Dalang Mantingan itu. Dua orang aneh itu berhasil membebaskan mereka. Sekarang, ketika Mantingan berada di ujung maut, terasa sesuatu yang aneh di halaman itu.
Tiba-tiba halaman itu seolah-olah bergetar dengan dahsyatnya.
Dari dalam gelap terdengar suara perlahan-lahan.
“Akulah yang datang.”
“Siapa?” teriak Pasingsingan.
“Pasingsingan,” jawab suara itu. Berdesirlah setiap dada yang mendengar jawaban itu. Pasingsingan…?
“Ah, orang itu pasti berolok-olok saja,” pikir mereka. Namun suara itu bergulung-gulung di dalam perut, seperti suara Pasingsingan. Ketika kemudian kilat memancar di langit, maka kembali di halaman itu seakan-akan menjadi runtuh karena setiap orang terkejut karenanya. Dari arah suara itu, di dalam cahaya kilat yang hanya sesaat tampaklah seorang yang berdiri tegak dengan jubah abu-abu dan bertopeng yang kasar di wajahnya.
Melihat orang itu, Pasingsingan menggeram dahsyat sekali. Terdengar ia berteriak nyaring,
“Siapakah kau? Apakah kau sudah bernyawa rangkap, berani mengenakan pakaian khusus Pasingsingan?”
“Aku Pasingsingan,” jawab suara itu.
“Tak ada dua Pasingsingan di dunia ini,” teriak Pasingsingan.
“Aku satu-satunya.”
“Kau salah!” Tiba-tiba terdengar suara itu di arah lain.
“Aku juga Pasingsingan.” 

KETIKA semua orang menoleh ke arah suara itu, dalam keremangan cahaya obor, tampaklah seseorang lagi yang berdiri tegak dengan jubah abu-abu dan topeng kasar di wajahnya, sehingga serasa akan meledaklah dada mereka. Dua orang yang sama-sama mengenakan jubah abu-abu dan topeng kasar di wajah mereka. Pasingsingan menjadi marah sekali karenanya, sehingga tiba-tiba tubuhnya menjadi gemetar. Dengan pandangan liar ia mengawasi kedua orang yang mirip dengan dirinya itu berganti-ganti. Kemudian sambil menggeram ia berkata,
“Apakah kalian tidak sadar, bahwa permainan kalian itu akan berakibat maut?”
Kedua orang yang menamakan diri mereka Pasingsingan itu tidak menjawab, tetapi perlahan-lahan mereka melangkah mendekat. Seorang di antaranya berdiri di samping Mantingan dan kawan-kawannya, sedang seorang yang lain berdiri bertentang pandang dengan Sura Sarunggi.
Namun kemudian terdengar suara Sura Sarunggi tertawa. Katanya,
“Suatu permainan yang bagus, Pasingsingan. Tetapi dengan mengenakan jubah abu-abu dan topeng yang jelek itu, bukankah permainan terakhir bagi kalian? Sebab kalian pasti akan mengambil keputusan untuk membuktikan bahwa Pasingsingan memang hanya satu. Kalau sekarang tiba-tiba ada tiga, atau barangkali nanti muncul yang lain, empat, lima, enam, sepuluh, maka nanti akhirnya Pasingsingan benar-benar akan tinggal satu.”
“Kau benar,” sahut Pasingsingan.
“Aku muak melihat mereka dengan ciri-ciri khusus Pasingsingan itu. Karena itu mereka harus mati.”
“Kematian seseorang tidak terletak di tangan orang lain.”
Terdengar salah seorang dari kedua orang itu menjawab.
“Tetapi terletak di tangan Yang Maha Agung. Tak seorangpun dapat meramalkan, apakah satu dari sekian banyak Pasingsingan itu adalah kau. Tak seorangpun yang tahu, apakah kau dibenarkan untuk tetap hidup. Apakah aku atau orang itu yang juga menamakan dirinya Pasingsingan.”

Pasingsingan tertawa. Suaranya nyaring mengerikan seperti rintihan hantu. Yang mendengar suara itu menjadi bergetar, seolah-olah dadanya terhimpit batu sebesar anak gajah. Sehingga mereka terpaksa memusatkan kekuatan batin mereka untuk menahan kesadaran mereka tidak runtuh. Namun beberapa orang penjaga telah terduduk karenanya. Sendang Parapat yang belum sembuh benar itupun tidak kuat menahan getaran yang memukul dadanya, sehingga dengan demikian, iapun terpaksa menyandarkan diri pada tiang pendapa. Meskipun demikian akhirnya iapun terduduk pula. Sedang Wanamerta terpaksa berpegangan tiang erat-erat. Namun kesadarannya telah melayap-layap seperti orang yang sedang hanyut menjelang tidur. Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan Endang Widuri masih dapat bertahan diri, berdiri tegak dalam lingkaran beradu punggung. Meskipun demikian mereka harus berjuang mati-matian agar mereka tetap dalam kesadaran. Sebab mereka tidak tahu apa yang akan terjadi dengan tiga orang yang masing-masing menamakan diri mereka Pasingsingan. Apakah Pasingsingan yang lain itu tidak kalah jahatnya dengan Pasingsingan yang pertama. Apakah justru kedua orang yang lain itu lebih berbahaya bagi mereka. Pasingsingan masih terus tertawa dengan nyaringnya. Beberapa orang penjaga, bahkan Sendang Parapat, telah kehilangan kesadaran mereka. Mereka menjadi seperti orang yang terlepas dari keadaan sekitarnya. Dan karena itu mereka menjadi terbaring lemah tanpa daya. Hatinya menjadi nyeri dan pedih. Mantingan dan kawan-kawannya pun semakin lama menjadi semakin lemah.

Sadarlah mereka bahwa Pasingsingan telah melepaskan ajiannya Gelap Ngampar. Bahkan Jaka Soka sendiripun menjadi gelisah. Semakin lama ia semakin pucat dan gemetar. Sura Sarunggi berdiri tegak sambil mengangkat dadanya. Sebagai orang sakti ia tidak banyak terpengaruh oleh aji sahabatnya itu. Bahkan akhirnya ia tersenyum dan berkata,
“Gelap Ngampar adalah ilmu ajaib. Pasingsingan yang lain pun mampu berbuat demikian?”
Namun kedua Pasingsingan yang lain itu tidak menjawab. Mereka tegak seperti patung saja di tempatnya. Tetapi tiba-tiba terasa udara yang aneh bertiup di halaman itu. Perlahan-lahan hanyut di sela-sela arus angin basah dari lembah. Pasingsingan yang berdiri dekat Mantingan itu tampak melipat tangan di dadanya. Sejalan dengan arus udara yang aneh itu, terasa sesuatu merayap-rayap di dada Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan Endang Widuri. Seakan-akan mereka menemukan kesegaran baru di dalam dirinya. Perasaan nyeri dan pedih yang ditusukkan oleh aji Gelap Ngampar di dalam tubuh mereka perlahan-lahan menjadi berkurang. Dan angin masih mengalir mengusap tubuh mereka membawakan ketenangan dalam diri. Bagaimanapun juga Mantingan adalah seorang yang memiliki pengalaman yang cukup. Ia adalah seorang dalang yang banyak mempelajari keajaiban dan kekuatan- kekuatan yang tersembunyi di balik alam yang kasatmata. Karena itu tergetarlah hatinya. Sehingga tak sesadarnya ia berbisik,
“Alangkah dahsyatnya. Pertempuran ilmu dari orang-orang sakti.” 

WIDURI, Wilis dan Wirasaba mendengar bisikan itu. Karena itu mereka menjadi gelisah. Dua raksasa dapat bertempur tanpa luka pada kulit mereka, namun kelinci-kelinci dapat terinjak mati di tengahnya.
“Dahsyat…!” Tiba-tiba terdengar Sura Suranggi berteriak.
“Aku merasa Pasingsingan yang lain mampu melawan Aji Gelap Ngampar. Setidak-tidaknya ia mampu membebaskan dirinya. Bahkan perlawanannya telah berhasil mempengaruhi orang lain seperti aji Gelap Ngampar itu sendiri, merata ke segenap arah. Tetapi kekuatan perlawanan ini bukan ciri Pasingsingan. Pasingsingan lah yang memiliki aji Gelap Ngampar.”
Pasingsingan menggeram. Tertawanya kini sudah berhenti ketika ia merasa perlawanan yang kuat. Bahkan telah membebaskan orang-orang di sekitarnya. Karena itu ia menjadi semakin marah. Sambil menunjuk ke arah topeng kasar dari orang yang berdiri di samping Mantingan yang melipat tangan di dada itu, ia berkata,
“Setan. Agaknya kau mampu mengimbangi aji Gelap Ngampar. Tetapi itu bukan suatu bukti bahwa kau berhak menamakan dirimu Pasingsingan. Sebab Pasingsingan tidak saja mampu melawan, namun mampu melepaskan. Kalau kau menamakan dirimu Pasingsingan, dapatkah kau melepaskan aji Gelap Ngampar?”
“Hem…” geram orang berjubah yang menyilangkan tangannya.
“Kau masih tidak percaya bahwa aku bernama Pasingsingan.”
“Setiap orang dapat menyebut dirinya Pasingsingan. Mengenakan jubah abu-abu dan topeng kasar. Namun aji Gelap Ngampar tak dimiliki oleh setiap orang,” sahut Pasingsingan hampir berteriak. Orang yang menamakan dirinya Pasingsingan, yang berdiri di samping Mantingan sambil melipat tangannya itu, mengangkat wajahnya. Terdengar ia menarik nafas panjang. Perlahan-lahan ia menoleh kepada Pasingsingan yang seorang lagi.
“Kau juga bernama Pasingsingan?” Orang itu bertanya dengan suara yang dalam.
“Akulah Pasingsingan itu,” jawab orang itu.
Pasingsingan menjadi semakin marah. Katanya lantang,
“Aku tidak peduli apakah kau menyebut dirimu Pasingsingan atau Setan Belang. Tetapi selama kau tak mampu menunjukkan ciri-ciri Pasingsingan, maka kau hanya akan ditertawakan orang sebelum kau terbunuh olehku.”

Namun Sura Sarunggi terpaksa berpikir. Orang-orang itu berhasil membebaskan dirinya dari pengaruh Gelap Ngampar, sehingga dengan demikian orang-orang itu bukanlah kelinci-kelinci seperti Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan Widuri. Apalagi Wanamerta dan Sendang Parapat yang kini benar-benar seperti orang yang tak tahu keadaan diri.
“Aji Gelap Ngampar adalah aji yang dahsyat,” kata orang yang berjubah abu-abu yang berdiri di sebelah Sura Sarunggi itu. “Tetapi aji Gelap Ngampar adalah aji yang kurang sempurna. Aji yang tak akan dapat dipergunakan dalam pertempuran besar, dimana dalam pertempuran itu terdapat kawan dan lawan. Sebab demikian aji itu dilontarkan, maka tidak saja lawan-lawan kita yang terbunuh, namun kawan sendiripun akan menderita karenanya.”
“Jangan mencoba mengajari aku,” bentak Pasingsingan.
“Ki Sanak yang menamakan diri Pasingsingan, apa yang dapat kau lakukan dengan Gelap Ngampar sekarang ini? Kalau kau akan membunuh aku, misalnya, dapatkah kau pergunakan Gelap Ngampar? Dengan aji itu, kau hanya mampu membunuh orang-orang ini, yang berkerumun ketakutan melihat topeng-topeng kita yang kasar.”
Kembali Pasingsingan menggeram dahsyat sekali.
“Jangan banyak bicara. Aku berkata tentang kebenaran dan kenyataan tentang Pasingsingan.” Pasingsingan yang berdiri di samping Sura Sarunggi itu bertawa terkekeh-kekeh dibalik topengnya yang jelek, jawabnya,
“Kau mengigau tentang kebenaran dan kenyataan Pasingsingan? Aku tidak tahu kebenaran dan kenyataan yang kau maksudkan. Bahkan cara berpikir yang demikian itulah yang menyebabkan dunia ini selalu bergoncang. Kebenaran yang terpancar dari kedengkian diri serta kenyataan yang ditabiri oleh pamrih dan nafsu. Kalau setiap orang berpikir demikian, tak ada ukuran tata pergaulan manusia. Kebenaran akan bertentangan dengan kebenaran yang lain, menurut kepentingan diri sendiri.”
“Huh…” potong Pasingsingan,
“Tak ada orang yang berbuat sesuatu tanpa pamrih. Dunia ini terbentang di hadapan kita untuk kita nikmati. Kalau kita tidak berbuat sesuatu adalah salah kita sendiri. Karena itu sudah sewajarnya kalau kita teguk airnya sepuas-puasnya, dan kita makan pala gumantung dan pala kependhem sekenyang-kenyangnya. Nah, aku sekarang sedang menikmati pala keduanya kini. Jangan melintang di jalan yang akan aku lewati. Aku sedang mendaki puncak kebesaran. Apakah kau kira kenikmatan dan kebesaran hanya dapat dimiliki oleh seseorang? Huh. Akupun berhak. Dan agaknya kaupun sedang berusaha.”
“Apa yang sedang kau usahakan?” tanya Pasingsingan yang berdiri di samping Mantingan.
“Jangan berpura-pura,” jawab Pasingsingan.
“Hem…” desah orang yang berdiri di sebelah Sura Sarunggi.
“Apakah kau sedang mencari Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten?”
“Bukankah kau juga sedang mencarinya?” potong Pasingsingan.
“Apakah yang kalian perdebatkan?” sahut Pasingsingan yang berdiri di samping Mantingan.
“Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten? Kalau itu yang kaucari, tak akan kau ketemukan di sini. Kalau itu yang dimaksud dengan kebesaran yang setiap orang berhak menikmatinya, bukankah dengan demikian kau bermaksud merajai Demak?” 

“APA PEDULIMU?” bentak Pasingsingan yang berjubah abu-abu, guru Lawa Ijo. Orang bertopeng di samping Sura Sarunggi itu berkata pula,
“Kalau keris-keris yang kau kehendaki, mengapa kau berbuat hal yang aneh-aneh? Mengapa kau akan membunuh orang-orang ini?”
“Mereka menghalangi maksudku, seperti kau,” jawab Pasingsingan.
“Kalau seseorang berusaha menemukan keris Nagasasra dan Sabuk Inten untuk diserahkan kepada yang berhak, kau berusaha untuk dirimu sendiri. Adakah kita akan berpihak padamu?” tanya Pasingsingan di samping Mantingan.
“Jangan merintangi aku!” Guru Lawa Ijo hampir berteriak,
“Atau kau akan tergilas roda perjuanganku. Mati tanpa arti?”
“Kebesaran yang akan kau dapatkan itu tak akan berarti bagiku, bagi orang-orang ini dan bagi kawula Demak. Kebesaran itu hanya akan berarti bagimu sendiri, bagi kawan-kawanmu. Nah, urungkan niatmu,” jawab Pasingsingan di samping Mantingan itu.
“Persetan dengan kalian,” sahut Pasingsingan.
“Kita berhadapan sebagai lawan. Tetapi tunjukkan dahulu bahwa kau berhak bernama Pasingsingan.”
Tiba-tiba terdengar Sura Sarunggi tertawa.
“Kalian berbicara tanpa ujung dan pangkal. Tetapi aku sudah dapat mengambil kesimpulan bahwa kalian sedang bersaing. Meskipun demikian aku harus mempunyai pilihan. Nah, aku berpihak pada Pasingsingan yang datang bersama aku di sini. Sebab bagiku kedua Pasingsingan yang lain tak akan berarti. Meskipun seandainya mereka mampu melepaskan aji Gelap Ngampar, aji Alas Kobar dan segala macam ciri-ciri Pasingsingan yang lain.”
“Tetapi aku akan memberimu kepuasan,” kata Pasingsingan di samping Mantingan.
“Kau ingin melihat aku melepaskan aji Gelap Ngampar?”
Kepada Pasingsingan di samping Sura Sarunggi ia berkata,
“Kau juga ingin melihat kebenaran itu?”
Tak ada jawaban. Pasingsingan guru Lawa Ijo itu berdebar-debar.
“Apakah orang-orang itu benar-benar memiliki Gelap Ngampar seperti dirinya?

Dalam kegelisahannya, ia menebak-nebak, siapakah sebenarnya kedua orang itu. Kalau mereka itu salah seorang dari Mahesa Jenar, Pandan Alas dan lain-lainnya, pasti mereka tak akan mampu melepaskan aji Gelap Ngampar. Tetapi yang lebih gelisah lagi adalah Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan Endang Widuri. Kecuali mereka, Jaka Soka pun menjadi berdebar-debar. Agaknya benar-benar akan terjadi pertempuran ilmu yang dapat merontokkan isi dada mereka. Jaka Soka akhirnya mengambil keputusan untuk meninggalkan tempat itu sebelum ia mati terhimpit dua kekuatan yang tak dapat dihindarinya. Meskipun demikian, ia harus menunggu sampai saat yang tepat baginya. Pasingsingan di samping Mantingan itu kemudian mengangkat wajahnya. Kemudian ia memandang berkeliling. Kepada setiap orang yang berada di halaman itu. Mulai dari Mantingan dan kawan-kawannya, Wanamerta, Sendang Parapat dan para penjaga yang sudah kehilangan kesadaran mereka.
“Hem…” desahnya,
“Kalau aku melepaskan aji Gelap Ngampar, mereka akan menjadi semakin parah.”
Tiba-tiba terdengar Pasingsingan guru Lawa Ijo itu tertawa.
“Nah, kau mencari alasan untuk mengelak?”
“Tidak… tidak,” sahut Pasingsingan itu.
“Tetapi kalau aku ingin memetik buahnya, jangan digugurkan daun-daunnya tanpa maksud.”
“Omong kosong. Apa padulimu dengan daun-daun yang tak berarti?” jawab guru Lawa Ijo.

Sekali lagi Pasingsingan di samping Mantingan itu memandang berkeliling. Agaknya ia benar-benar menjadi ragu. Tiba-tiba ia menggeram, dan kepada Pasingsingan yang berdiri di samping Sura Sarunggi, ia berkata,
“Kalau kau ingin mencoba menjajarkan diri dengan kami, cobalah melawan aji Alas Kobar seperti yang aku lakukan.”
“Tidakkah kau bertanya kepadaku, apakah aku mampu melepaskan aji itu?” kata Pasingsingan di samping Sura Sarunggi itu.
“Akan datang saatnya nanti,” sahut guru Lawa Ijo. Meskipun hatinya menjadi gelisah. Apakah benar kedua-duanya mampu berbuat demikian?
“Menjemukan,” sela Sura Sarunggi.
“Marilah kita bertempur, Pasingsingan,” katanya kepada Pasingsingan guru Lawa Ijo.
“Yang mana kau pilih? Menilik ketahanan mereka, kita harus melawan satu demi satu. Kecuali kalau mereka mau menyingkir.”
Pasingsingan belum sempat menjawab, ketika tiba-tiba Pasingsingan di samping Mantingan itu tertawa. Perlahan-lahan, namun terasa betapa dahsyatnya. Gelombang demi gelombang menggeletar menggetarkan udara halaman Banyubiru itu, seolah-olah geteran yang memancar dari pusar bumi, menyebar ke seluruh penjuru. Terasa disetiap dada goncangan yang tak terkira dahsyatnya. Sehingga runtuhlah daun-daun yang tak mampu berpegangan lebih erat lagi pada dahan-dahannya. Sura Sarunggi itu tidaklah seperti suara guru Lawa Ijo yang mengerikan. Suara itu adalah suara yang sederhana saja, seperti lazimnya orang tertawa. Lunak dan tidak mengandung kebengisan. Namun yang terasa di dada orang yang mendengarnya adalah goncangan-goncangan yang dahsyat. Pada saat goncangan-goncangan itu menyerang dada Mantingan, berdesislah ia,
“Aji Gelap Ngampar.”
Dan berusahalah ia menjaga dirinya. Demikian juga Rara Wilis, Wirasaba, Widuri dan Jaka Soka. Sedang orang-orang lain menjadi tak berdaya untuk berbuat sesuatu, mengatasi goncangan-goncangan di dada mereka, sehingga tak mampu bertahan lebih lama lagi. Tubuh mereka pun mulai jatuh terkulai tak sadarkan diri.

MANTINGAN dan kawan-kawannya, bahkan Jaka Soka pun tak mampu bertahan lebih lama lagi. Tubuh mereka mulai bergetar, dan tulang-tulang mereka seakan-akan terasa lolos dari persendian. Mereka mengeluh dalam hati. Mereka berada di medan pertempuran yang dahsyat, namun mereka tak mampu mengayunkan senjata-senjata mereka untuk turut serta di dalamnya. Mereka hanya dapat bertahan atas serangan yang dahsyat, yang jauh berada di atas kemampuan mereka. Sehingga dengan demikian mereka tidak lebih dari daun-daun kering yang berguguran di halaman itu. Meskipun demikian, terasa perbedaan pada kedua aji Gelap Ngampar yang sama-sama menggoncangkan dada mereka. Meskipun keduanya dapat membunuhnya, namun tenaga ini tidak sekasar tenaga yang pertama. Namun, ketika dada mereka akan runtuh, dari sela-sela angin basah yang mengalir semakin kencang, menyusuplah di dalam tubuh mereka, getaran-getaran udara yang segar. Perlahan-lahan namun pasti, membebaskan mereka dari kengerian aji Gelap Ngampar itu. Dan sejalan dengan itu, suara tertawa Pasingsingan itupun terhenti pula.
“Hem…” geramnya,
“Kau mampu melawan aji Gelap Ngampar,” katanya kepada Pasingsingan yang berdiri di samping Sura Sarunggi. Orang itu masih tegak di tempatnya sambil menyilangkan kedua tangannya terlipat di dada. Sebelum orang itu menjawab, terdengar Sura Sarunggi tertawa,
“Permainan yang mengasyikkan,” katanya.
“Jangan bermain-main terlalu lama. Aku tahu bahwa kalian memiliki ilmu yang bersamaan. Pasingsingan yang datang kemudian berdua adalah seperti seperguruan. Entahlah hubungan kalian dengan Guru Lawa Ijo itu, sehingga kalian memiliki ilmu Gelap Ngampar. Meskipun terasa beberapa perbedaan, namun kalian bersumber dari mata air yang sama.”

Pasingsingan guru Lawa Ijo itupun berdiri tegak sambil menahan marahnya. Karena itu tubuhnya tiba-tiba bergetar. Dengan suara yang berat ia berkata pula,
“Gila. Kalian memiliki aji gelap Ngampar. Jangan berpura-pura, dan yang satu itu jangan mencoba melepaskan pula. Tetapi itu belum berarti bahwa kau bisa menamakan diri Pasingsingan.”
“Adakah aku harus melepaskan aji Alas Kobar?” tanya Pasingsingan di samping Mantingan.
“Mungkin kau mampu pula, menirukan setelah kau atau gurumu berhasil mencuri ilmu itu. Tetapi yang tak dapat kau curi adalah pusaka Pasingsingan. Apakah kau memiliki pisau yang bernama Kyai Suluh?” tanya Pasingsingan dengan pasti. Tiba-tiba kembali halaman itu bergetar ketika Pasingsingan Guru Lawa Ijo itu berteriak nyaring. Seperti hantu kelaparan yang kehilangan mangsanya.
“Gila, darimana kau dapatkan benda itu?”
Semua mata tertuju kepada Pasingsingan di samping Sura Sarunggi. Di tangannya tergenggam sebuah pisau belati panjang yang bercahaya kuning menyilaukan.
“Inikah yang kau maksud?” katanya.
“Hem…” desis Pasingsingan di samping Mantingan.
“Kalian mau bermain-main dengan senjata.” Ia tidak berkata lebih lanjut, namun iapun kemudian mencabut sebuah pisau belati yang mirip benar dengan pisau belati Pasingsingan yang lain itu.

Pasingsingan guru Lawa Ijo menjadi semakin marah. Darahnya serasa mendidih di dalam rongga dadanya. Karena itu tanpa disengaja, tiba-tiba tangannyapun telah menarik pusakanya. Sebuah belati panjang yang berkilau. Kini ketiga orang yang menamakan diri Pasingsingan itu masing-masing telah menggenggam senjata yang serupa. Senjata yang selama ini menjadi ciri Pasingsingan. Pusaka yang ampuh luar biasa. Namun tiba-tiba Pasingsingan yang selama ini merasa tiada duanya, menjadi heran, marah dan bingung, ketika ada dua orang yang menamakan diri Pasingsingan, serta memiliki beberapa ciri kekhususannya Aji Gelap Ngampar serta pisau belati panjang yang kuning berkilauan. Dengan suara yang bergetar guru Lawa Ijo itu berkata,
“Setan. Kalian dapat membuat senjata yang serupa dengan senjata ini. Tetapi ada lagi satu senjata Pasingsingan yang tak dapat dibuat oleh empu yang bagaimanapun saktinya. Senjata yang diberikan oleh alam kepadaku. Adakah kalian mempunyai akik yang berwarna merah menyala dan bernama Kelabang Sajuta?”
Untuk sesaat halaman itu menjadi hening sepi. Angin lembah semakin lama semakin kencang. Dan awan yang kelabu menjadi bertambah tebal tergantung di langit. Sekali-kali guntur bergelegar di kejauhan, memukul-mukul tebing dan pecah menggema diseluruh relung-relung pegunungan. Sinar-sinar api memancar di udara seperti Ular Gundala raksasa yang meloncat-loncat dilangit. Menurut ceritera yang menjalar dari mulut ke mulut, di langit pada saat itu sedang terjadi pertempuran antara Ular Gundala Seta, senjata Wisnu yang sedang menyelamatkan bumi dari keangkaramurkaan, melawan Ular Gundala Wereng, senjata Kala yang sedang berusaha menghancurkan bumi karena ketamakannya. Tetapi pada saat itu, di halaman Banyubiru itu pun sedang berhadapan dua kekuatan raksasa. Pasingsingan guru Lawa Ijo dan Sura Sarunggi di satu pihak, dan dua orang Pasingsingan di pihak lain. Mereka sedang tegak dengan tegangnya dalam pendirian masing-masing. Ketika kedua orang Pasingsingan itu belum juga berkata sepatah katapun, guru Lawa Ijo itu tertawa pendek, katanya,
“Ha apa katamu tentang akik Kelabang Sayuta hadiah alam kepada Pasingsingan?”
Tiba-tiba Pasingsingan di samping Mantingan itu menjawab,
“Kalau kau dapat menunjukkan bahwa kau memiliki akik Kelabang Sayuta, akupun akan membuktikan pula bahwa sebagai Pasingsingan, aku memiliki ciri-ciri yang lengkap seperti katamu.”

MENDENGAR jawaban itu, hati Pasingsingan berdesir. Ketika ia meraba jari-jarinya, ia menjadi berdebar-debar. Namun katanya kemudian,
“Akik itu sudah aku berikan kepada muridku Lawa Ijo. Sesaat sebelum ia mati, diberikannya akik itu kepada Endang Widuri.”
“Hem…” desis Pasingsingan di samping Sura Sarunggi.
“Kau sedang mengarang sebuah ceritera.”
“Bertanyalah kepada Endang Widuri.” Pasingsingan itu menegaskan. Pasingsingan di samping Mantingan itu menoleh kepada Endang Widuri. Kemudian ia berkata,
“Ciri Pasingsingan hanya melekat pada tubuh Pasingsingan. Tak ada ciri-ciri yang lain, apalagi yang dimiliki oleh orang lain. Aku dapat menyebut lebih dari seribu macam pusaka-pusaka ciri yang lain yang tak ada padaku.”
Darah Pasingsingan bertambah bergelora di jantungnya. Sambil berteriak ia memaki-maki,
“Setan, iblis, thethekan. Tetapi akik Kelabang Sayuta itu milikku.”
“Aku tidak bertanya siapakah yang mula-mula memiliki,” bantah Pasingsingan di samping Mantingan.
“Tetapi akik itu sekarang tidak ada padamu, tidak ada padaku, dan tidak ada pada Pasingsingan yang seorang itu lagi.”
Pasingsingan di samping Sura Sarunggi tertawa pendek, katanya,
“Sudahlah Ki Sanak yang menamakan diri Pasingsingan, yang madeg guru di Mentaok. Jangan terlalu banyak persoalkan di antara kita kini.”
“Diam!” bentak Pasingsingan guru Lawa Ijo.
“Aku beri kau waktu sepemakan sirih. Tinggalkan halaman ini. Jangan campuri urusanku.”
“Bukan demikian adat yang pernah kau lakukan,” sahut Pasingsingan di samping Mantingan,
“Kalau kau yakin dapat membunuh kami, kau tak akan melepaskan lagi. Dengan demikian, maka sekarang kau tak yakin akan kemenanganmu. Karena itu, bukankah lebih baik kita berbicara sebagai manusia terhadap manusia. Bukan sebagai hantu-hantu yang berkeliaran dari satu kuburan kelain kuburan, mencari mayat.”
“Hem. Benar-benar suatu penghinaan,” geram Sura Sarunggi. Kepalanya yang besar itu terangkat dan dengan lantang ia melanjutkan,
“Jangan merasa dirimu kadang dewa. Tak ada waktu untuk berbicara sekarang. Pergilah atau kau akan terkubur di sini.”
“Jangan begitu Ki Sanak,” jawab Pasingsingan di samping Sura Sarunggi.
“Penyelesaian dengan pengertian, jauh lebih baik daripada penyelesaian dengan tetesan darah dari tubuh kita. Sebab dengan demikian, kita akan dikejar oleh rasa dendam yang tiada akan habis-habisnya. Dendam yang akan dibalas dengan dendam. Dengan demikian maka sepanjang umur kita, kita tidak akan dapat menikmati ketenangan.”
“Pengecut!” potong Pasingsingan dari Mentaok.
“Aku adalah laki-laki. Di tanganku telah tergenggam pusakaku Kyai Suluh. Karena itu kau tak ada kesempatan lagi untuk kedua kalinya, setelah kau menolak kesempatan yang pertama.”
“Jangan,” jawab Pasingsingan di samping Mantingan,
“Kita masing-masing mempunyai kesempatan yang sama. Jangan mengancam dan menakut-nakuti. Aku ulangi, marilah kita berbicara sebagai manusia dengan manusia. Kita berbicara tanpa takbir di wajah kita. Kita bicara antara hati kita yang dilambari dengan kejujuran pada diri kita masing-masing, betapa hitamnya noda-noda yang melekat pada tubuh kita masing-masing.”

Mendengar kata-kata itu, tiba-tiba Pasingsingan dari Mentaok itu menggigil. Ia menjadi curiga. Sejak orang yang menamakan diri Pasingsingan itu mampu melepaskan Gelap Ngampar, hatinya telah bergetar. Kini kata-kata itu menambah keyakinannya bahwa ia telah mengenal kedua orang itu. Meskipun demikian, ia masih mencoba untuk menyakinkan, apakah dugaannya itu benar. Maka katanya,
“Apakah alasanmu? Apakah untungnya kita berbicara dari hati ke hati?”
Pasingsingan di samping Mantingan menarik nafas, katanya,
“Bagaimanapun kotornya hati kita, namun kita adalah manusia. Kita memiliki hari-hari lampau dan hari-hari mendatang. Kita memiliki hari-hari yang cemerlang, namun kita memiliki juga hari-hari yang suram. Karena itu, janganlah kita tenggelam dalam kegelapan. Putus asa dan bunuh diri dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang terkutuk terus-menerus.”
Sura Sarunggi kini benar-benar sudah kehilangan kesabarannya. Dengan suara yang geram ia berkata,
“Persetan dengan mimpi yang jahat itu. Jangan mencoba meracuni jiwa kami dengan hiasan kata-kata.” Kemudian kepada Guru Lawa Ijo ia berkata,
“Sudahkah senjatamu itu siap?”

Tetapi dada Pasingsingan menjadi bergetar semakin cepat. Ada perasaan yang lain di dalam dirinya. Sekarang ia hampir pasti dengan siapa ia berhadapan. Namun di hadapan Sura Sarunggi, ia masih mencoba untuk bersembunyi. Ia tidak mau orang lain mengetahui tentang dirinya, apalagi Jaka Soka, Mantingan beserta kawan-kawannya. Meskipun ia berdiam diri, namun hati di dalam dadanya berteriak nyaring,
“Hai Umbaran, yang berdiri di hadapanmu dengan ciri-ciri Pasingsingan adalah Radite dan Anggara.”
Dalam kegelisahan itu, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah letusan yang dahsyat. Ketika ia memandang kepada Sura Sarunggi, dilihatnya sahabatnya itu telah mengurai ikat pinggangnya, yang kemudian dengan marahnya, ikat pinggang yang mirip dengan sebuah cemeti itu dilecutkannya. Itulah senjata Sura Sarunggi, sebagaimana senjata-senjata yang dipergunakan oleh murid-muridnya, Uling Putih dan Uling Kuning dari Rawa Pening.

PASINGSINGAN, Guru Lawa Ijo kini tidak mempunyai pilihan lain. Ia mencoba untuk menenangkan dirinya dengan mereka, apakah yang telah terjadi selama ini. Ia merasa bahwa pada saat-saat terakhir telah diketemukannya berbagai bentuk yang keras dari ajinya, Gelap Ngampar, maupun Alas Kobar. Kemajuan-kemajuan yang dicapainya dalam petualangannya. Lalu apakah yang telah didapatkan oleh kedua saudara seperguruan itu. Meskipun pada masa-masa lampau, Radite dan Anggara tak dapat diatasinya, namun kini Pasingsingan yang bernama Umbaran itu bukanlah Umbaran beberapa tahun yang lampau. Dengan demikian akhirnya ia memutuskan, bahwa ia harus berjuang dengan senjatanya itu. Kemudian terdengarlah suara meledak untuk mengatasi getaran-getaran di jantungnya,
“Hai orang-orang yang tak tahu diri, yang telah menyia-nyiakan kesempatan terakhir karena kebaikan hatimu. Angkatlah wajahmu. Pandanglah angkasa yang suram sebagai aba-aba dari isi bumi ini, dan tundukanlah kemudian wajahmu itu sebagai penghormatan terakhir pada ibu pertiwi. Kemudian hadapilah aku sebagai lawanmu, yang akan mengantarkan nyawamu menyeberang ke dunia yang tak dikenal.”
Pasingsingan di samping Mantingan menarik nafas dalam-dalam. Gumamnya,
“Senjata bukanlah alat terakhir untuk menemukan kesempatan.”
“Tak ada yang akan disepakatkan,” sahut Sura Sarunggi,
“Kita berdiri berseberangan. Kita tidak dapat hidup bersama-sama dalam satu naungan langit yang luas ini.”

Pasingsingan di samping Sura Sarunggi itu agaknya lebih mudah tersinggung daripada Pasingsingan yang berdiri di samping Mantingan. Ternyata ia menjawab lantang,
“Tidak adakah jalan lain? Kalau demikian, kalau kau berpihak pada orang yang menamakan diri Pasingsingan pemarah itu, maka aku akan berdiri di pihak Pasingsingan yang seorang lagi. Sesudah itu, biarlah kami menentukan keadaan kami tanpa campur tanganmu.”
“Tunggu…” Pasingsingan di samping Mantingan mencoba untuk mencegahnya. Tetapi suaranya tenggelam dalam pekik lantang Sura Sarunggi.
“Bagus. Itulah kata-kata jantan. Sudah siapkah kau?”
Pasingsingan di samping Sura Sarunggi itu menjawab tidak kalah lantangnya,
“Aku lebih senang menempuh jalan lain. Tetapi kalau kau hadapkan aku pada satu pilihan yang tak dapat aku elakkan, silahkanlah.”
Sura Sarunggi tertawa seperti orang mabuk. Katanya,
“Meskipun kau kekasih dewa-dewa, meskipun kau berperisai guntur dan petir, tetapi kau belum mampu menjaring angin, maka kau akan kehilangan hidupmu karena tanganku.”
“Aku bukan kekasih dewa-dewa, namun aku menyerahkan diriku pada Yang Maha Kuasa,” jawab Pasingsingan itu.
“Kepada-Nya aku mohon kekuatan untuk melenyapkan keingkaran atas hukum-hukum-Nya.”
Kembali terdengar iblis dari Rawa Pening itu tertawa. Sesaat kemudian bergema kembali suara cemetinya menyusur lereng-lereng bukit.
“Hai, langit yang muram, angin yang kencang. Saksikanlah kutuk yang akan menimpa orang ini.”

Sura Sarunggi menutup kata-katanya dengan derai tertawa yang mengerikan. Kemudian ia pun bersiap untuk segera mulai dengan pertempuran melawan orang berjubah abu-abu dan menyebut dirinya Pasingsingan itu. Sesaat kemudian ia pun meloncat dengan garangnya. Cemetinya berputar cepat sekali, melampaui kecepatan baling-baling yang ditiup angin ribut. Namun Pasingsingan itu pun telah bersiap pula. Tangan di balik jubah abu-abunya berkembang seperti hendak terbang. Pisau belati panjangnya berkilauan memantulkan cahaya api yang remang-remang. Mereka tenggelam dalam satu perkelahian yang dahsyat. Sura Sarunggi, iblis dari Rawa Pening itu bertempur seperti angin topan. Ia meloncat-loncat dengan dahsyatnya mengelilingi lawannya, dan menyerangnya dari segenap penjuru. Namun Pasingsingan itupun tidak membiarkan dirinya tersekat dalam lingkaran cemeti lawannya. Dengan tangkasnya ia melontarkan dirinya, sekali-kali memotong serangan lawannya. Dan bahkan kadang-kadang ia tegak menghadapi topan seperti bukit Telamaya yang tak tergoyahkan oleh angin dan badai. Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan Widuri memandang perkelahian itu dengan mulut ternganga. Kedahsyatan ilmu mereka telah menggemparkan dada masing-masing. Demikian sengitnya perkelahian itu, sehingga akhirnya yang tampak di mata mereka hanyalah bayang-bayang hitam yang berputar-putar seperti angin pusaran.
Jaka Soka tak luput pula dari perasaan itu. Heran dan berdebar-debar. Meskipun demikian ia masih ingat akan keselamatan diri. Sehingga dengan diam-diam ia mencari kemungkinan, ke mana ia harus melarikan diri. Sebab apabila Pasingsingan yang sepasang itu terlibat pula dalam pertempuran, serta apabila kemudian Mantingan dan kawan-kawannya telah berhasil menguasai diri mereka, bersama-sama menyerangnya, maka sulitlah baginya untuk bertahan. Padahal ia masih ingin menikmati kebesaran sebagai pimpinan bajak laut yang disegani.

JAKA SOKA tidak peduli lagi apa yang akan terjadi dengan golongan hitam yang lain. Dengan laskar Mentaok, Rawa Pening, Gunung Tidar dan lain-lainnya di Pamingit. Karena itu selama ia masih mendapat kemungkinan, ia harus menyingkir dari halaman itu. Sementara itu Pasingsingan Guru Lawa Ijo telah mempersiapkan dirinya pula. Ia melihat betapa sahabatnya telah terlibat dalam suatu pertempuran yang menentukan. Karena itu ia menggeram dengan marahnya,
“Lihatlah betapa orang yang berani menyebut dirinya Pasingsingan itu akan hancur lumat oleh cemeti Sura Sarunggi.”
Pasingsingan yang berdiri di samping Mantingan masih berdiam diri, meskipun ia mengikuti pertempuran itu dengan seksama. Namun tak ada tanda-tanda padanya, bahwa ia pun akan segera mulai bertempur. Tetapi justru karena itulah maka guru Lawa Ijo itu menjadi semakin gelisah. Untuk merapati kegelisahannya, ia berkata,
“Hai orang yang sombong, yang berani mengaku bernama Pasingsingan, bersiaplah menghadapi saat-saat terakhirmu.”
“Jangan berkata demikian,” jawabnya perlahan-lahan,
“Apakah kau juga sekasar Sura Sarunggi itu?”
“Jangan mencoba melunakkan hatiku,” sahut guru Lawa Ijo.
“Aku tahu bahwa hatimu tak selunak yang aku harapkan,” kata Pasingsingan di samping Mantingan.
“Tetapi jangan terlalu lama mengelabuhi dirimu. Aku yakin bahwa kau telah mengenal aku.”
Dada guru Lawa Ijo berdesir keras. Tetapi ia takut melihat kepada dirinya sendiri. Ia menjadi takut, bahwa akhirnya ia benar-benar menyadari keadaannya. Karena itu ia berteriak,
“Jangan mencoba meringankan kesalahanmu. Bersiaplah aku akan mulai.”
“Umbaran…” tiba-tiba terdengar suara yang lunak, selunak suara seorang kakak terhadap adiknya. Mendengar nama itu, darah guru Lawa Ijo serasa berhenti mengalir. Telah bertahun-tahun ia tidak mendengarnya orang memanggil nama yang diberikan oleh ayah bundanya. Ia lebih senang dan bangga apabila orang menyebutnya dengan ketakutan,
“Pasingsingan.” Karena itu tiba-tiba ia menjadi bingung.
Dalam kebingungan itulah ia berteriak,
“Jangan mengigau. Umbaran telah mati. Aku, Pasingsingan, yang telah membunuhnya.”
“Ya, Umbaran telah tak ada lagi,” jawab orang berjubah itu,
“Yang ada kemudian adalah Pasingsingan. Tetapi, baginya masih ada jalan kembali.”
“Diam!” bentak guru Lawa Ijo. Darahnya yang beku itu tiba-tiba mendidih kembali.

Radite dan Anggara yang lenyap dari percaturan orang-orang sakti itu tak akan mampu menambah ilmunya. Karena itu, ia pasti akan dapat mengatasinya. Tetapi ia menjadi gelisah kembali ketika orang yang dibentak-bentaknya itu masih tetap tenang dan berkata,
“Jangan marah Umbaran. Aku datang kepadamu dengan maksud baik. Kau masih mempunyai kesempatan kembali ke perguruan kita. Guru kita yang bergelar Pasingsingan dengan cita-cita yang putih.”


<<< Bagian 078                                                                                              Bagian 080 >>>

No comments:

Post a Comment