SETELAH mereka mencuci muka serta sekadar minum air dari sumber yang ditemukannya di dekat mereka beristirahat, mulailah mereka melanjutkan perjalanan. Mula-mula mereka akan singgah ke Pangrantunan untuk menemui Ki Ageng Sora Dipayana. Tetapi setelah dipertimbangkan untung-ruginya, mereka membatalkan maksud itu. Di perjalanan pulang itu, barulah mereka mengetahui bahwa wajah-wajah mereka tampaknya seperti berubah. Beberapa noda biru dan bengkak-bengkak tampak di sana-sini. Hal itu menunjukkan betapa hebatnya perkelahian mereka semalam. Sehingga apabila mereka saling memandang, mereka menjadi tertawa sendiri. Di samping itu, dalam hati masing-masing timbullah rasa kagum satu sama lain. Sebab dalam pertempuran dan perkelahian yang mereka alami sebelum itu, jarang tubuh mereka dapat disakiti, apalagi sampai biru-biru dan bengkak-bengkak
Perasaan Gajah
Sora dan Mahesa Jenar juga menjadi geli bercampur heran. Kenapa Ki Ageng Sora
Dipayana begitu yakin bahwa cara perkenalan yang aneh itu tidak akan membawa
akibat yang dapat berbahaya. Sebab rupanya, dengan memberi banyak petunjuk
kepada Mahesa Jenar, Ki Ageng Sora Dipayana memang bermaksud untuk mempertemukannya
dengan Gajah Sora yang kebetulan juga sedang disuruhnya mengambil kedua pusaka
itu, tanpa memberitahukan lebih dahulu. Dengan wajah-wajah yang demikian,
apabila mereka singgah di Pangrantunan, tentu akan menimbulkan kecurigaan. Baik
kepada mereka sendiri maupun kepada Ki Ageng Sora Dipayana yang menyamar
sebagai seorang petani miskin. Karena itu mereka berketetapan hati untuk
melangsungkan saja perjalanan mereka ke Banyu Biru. Pada malam berikutnya
mereka bermalam pula di tengah-tengah hutan. Sengaja mereka tidak menuruti
jalan ke Bergota karena mereka merasa bahwa barang-barang yang mereka bawa
adalah bukan barang biasa, yang apabila sampai diketahui orang akan dapat
banyak menimbulkan kerepotan. Seperti juga malam kemarin, karena lelah dan mereka
belum pulih seluruhnya, Gajah Sora dan Mahesa Jenar demikian meletakkan
tubuhnya, demikian mereka mendengkur nyenyak sekali. Tetapi malam ini ternyata
tidak setenteram malam kemarin. Belum lagi mereka melampaui tengah malam,
mendadak terasa tubuh mereka dikenai sesuatu. Gajah Sora dan Mahesa Jenar
adalah orang-orang yang pernah mengalami latihan-latihan jasmaniah maupun
kesiagaan batin. Maka demikian tubuh mereka kena sentuhan yang tidak wajar,
demikian mereka meloncat berdiri dan dalam sekejap mereka telah bersiaga.
Tepat pada
saatnya, terdengarlah gemerisik dedaunan disamping mereka, dan dengan suatu
auman yang dahsyat meloncatlah seekor harimau hitam yang besarnya bukan
kepalang, menerkam Mahesa Jenar. Untunglah bahwa tubuh Mahesa Jenar telah agak
terasa baik, sehingga dengan menjatuhkan diri ia bebas dari terkaman harimau
hitam itu. Bahkan tiba-tiba ia menjadi marah sekali atas gangguan yang mendadak
datangnya. Karena itu ia tidak menanti lebih lama lagi. Saat itu pula segera ia
mengatur jalan pernafasan menurut ajaran gurunya, menyilangkan tangan kirinya
di muka dada serta mengangkat tangan kanannya, satu kakinya ditekuk ke depan.
Dan dengan menggeram penuh kemarahan, ia meloncat ke arah harimau yang baru
saja menjejakkan kakinya ke atas tanah itu, berbareng dengan mengayunkan
pukulan Sasra Birawa. Tetapi ketika tangannya sudah hampir menyentuh tubuh
harimau itu, tiba-tiba dengan gerakan aneh harimau itu berguling-guling tangkas
sekali sehingga pukulan Mahesa Jenar yang dilambari kekuatan ilmu Sasra Birawa
itu tidak mengenai sasarannya. Dengan demikian ia terseret oleh kekuatannya
sendiri sehingga hampir saja ia kehilangan keseimbangan. Untunglah bahwa dengan
cepat Mahesa Jenar dapat menguasai dirinya kembali sehingga ia tidak jatuh
tertelungkup. Tetapi pada saat yang demikian, pada saat dimana Mahesa Jenar
masih belum dapat menguasai keseimbangan sepenuhnya, harimau itu telah siap
merobek-robeknya. Untunglah bahwa kawan seperjalanannya bukan pula orang
kebanyakan. Ia menyaksikan kegagalan Mahesa Jenar dengan penuh keheranan. Heran
atas sikap seekor harimau yang dengan tangkas dapat membebaskan dirinya dari
pukulan maut Mahesa Jenar, bahkan harimau itu telah siap pula untuk
menerkamnya.
Karena itu
Gajah Sora tidak mau kehilangan waktu. Cepat seperti kilat ia meloncat sambil
merentangkan tangannya, yang sesaat kemudian telah menyilang dadanya. Dengan
suatu gerakan melingkar lewat atas kepalanya ia menghantam harimau itu dengan
dahsyatnya. Bahkan Gajah Sora telah mempergunakan ilmunya Lebur Sakethi. Melihat
serangan yang tiba-tiba datang itu, harimau hitam biasa meloncat menghindari
pukulan Lebur Saketi yang tidak pula kalah dahsyatnya. Juga kali ini Gajah Sora
tak berhasil mengenainya. Tetapi sementara itu, Mahesa Jenar telah dapat
menguasai diri sepenuhnya. Sehingga demikian ia melihat harimau itu berhasil
menghindari pukulah Gajah Sora, demikian Mahesa Jenar mengulangi serangannya
dengan ilmunya Sasra Birawa. Kali ini harimau hitam yang sedang mengelak itu
tidak sempat berbuat apa-apa. Tangan Mahesa Jenar berhasil mengenai tengkuknya.
Harimau itu meloncat tinggi-tinggi dan mengaum hebat sekali. Gajah Sora, yang
menjadi marah pula, tidak mau membiarkan harimau itu, karenanya sebelum harimau
itu jatuh di tanah ia telah mengulangi pula serangannya dengan aji Lebur
Sakethi. Akibat dari dua pukulan maha dahsyat itu hebat sekali. Harimau hitam
itu terpental beberapa langkah. Tetapi alangkah terkejut mereka berdua, ketika
Gajah Sora dan Mahesa Jenar menyaksikan harimau itu jatuh berguling-guling dan
kemudian menggeliat dan seperti melenting ia meloncat dan bangun berdiri. Ya,
berdiri di atas dua kaki seperti manusia berdiri. Akhirnya, barulah Gajah Sora
dan Mahesa Jenar sempat menyaksikan bahwa yang berdiri di hadapannya sama
sekali bukanlah seekor harimau hitam, tetapi benar-benar seorang manusia yang
berkerudung kulit harimau berwarna hitam.
Karena itu
darah mereka bergolak hebat. Manusia itu, yang berdiri di hadapannya, pasti
bukan manusia biasa, sebab ia telah dapat membebaskan dirinya dari akibat
pukulan-pukulan Lebur Sakethi dan sekaligus Sasra Birawa. Orang yang
berkerudung kulit harimau hitam itu berdiri dengan angkuhnya. Tubuhnya gagah
besar melampaui ukuran yang biasa. Jambang dan janggutnya tidaklah begitu
lebat, tetapi hampir memenuhi seluruh mukanya. Matanya tampak bercahaya di
dalam gelap, benar-benar seperti mata seekor harimau. Dalam cahaya bintang yang
samar-samar, Mahesa Jenar dan Gajah Sora yang berpandangan tajam itu dapat
menyaksikan bahwa wajah orang itu pastilah bengis dan kejam. Sebentar kemudian
terdengarlah ia menggeram perlahan-lahan, lalu terdengarlah suaranya dalam
sekali,
“Pukulan
kalian luar biasa dahsyatnya. Terasa betapa sakit dan nyerinya. Karena itu, kau
telah berbuat kesalahan dalam dua hal. Mengambil kedua pusaka itu dan menyakiti
tubuhku. Akibatnya adalah dua hal pula, kembalikan keris itu dan aku akan
membalas pukulan kalian. Kalau kalian mati karena pukulanku bukanlah salahku.”
MENDENGAR
kata-kata itu, Gajah Sora dan Mahesa Jenar menjadi gemetar karena marah.
Biarpun orang itu tidak dapat dibunuhnya karena kesaktian andalan mereka yang
terakhir, tetapi mereka bukanlah anak-anak kecil yang harus menerima saja
hukuman dari orang tuanya. Karena itu Gajah Sora dan Mahesa Jenar segera
menyiagakan diri untuk bersama-sama menghadapi bahaya yang besar, dan untuk
taruhan yang besar pula, yaitu kedua keris Pusaka Demak dan nyawa mereka.
Menurut pertimbangan Gajah Sora dan Mahesa Jenar, tidaklah mereka bersalah
apabila mereka terpaksa mempergunakan keris-keris yang sedang mereka
pertahankan mati-matian itu. Karena itu, tangan Mahesa Jenar dan Gajah Sora
segera melekat pada ukiran keris yang mereka bawa masing-masing. Melihat
gelagat itu, orang yang berkerudung kulit harimau itu berdesis,
“Hem.., kalian
akan mempergunakan Kiai Naga Sasra dan Sabuk Inten itu untuk melawan aku.
Bagus. Memang tak seorangpun di dunia ini yang akan dapat tetap hidup meskipun
hanya tergores seujung rambut saja. Tetapi aku harus meyakinkan kalian, bahwa
kalian tak akan dapat menyentuh tubuhku dengan kedua pusaka itu.”
Habis
mengucapkan kata-kata itu, orang itu segera bersiap untuk menyerang Gajah Sora
dan Mahesa Jenar. Bagaimanapun beraninya Gajah Sora dan Mahesa Jenar, hati
mereka bergetar juga. Tergetar karena menghadapi bahaya yang mungkin akan dapat
menggagalkan tugas mereka untuk menyelamatkan Kiai Naga Sasra dan Sabuk Inten.
Sejenak
kemudian seperti angin menyambar, orang itu mulai dengan serangannya. Alangkah
dahsyatnya, Gajah Sora dan Mahesa Jenar segera memencarkan diri, dan tak ada
pilihan lain kecuali mencabut kedua pusaka yang mereka bawa yang kemudian
sejenak diungkulkan di atas kepala masing-masing. Kiai Naga Sasra berbentuk
seekor naga bersisik emas, yang memancarkan cahaya kuning menyilaukan, sedang
Kiai Sabuk Inten yang ber-luk 11 tampak berkilat-kilat memancarkan cahaya yang
kebiru-biruan. Gajah Sora dan Mahesa Jenar meskipun tidak dapat menyamai
kecepatan gerak lawannya tetapi mereka bukan pula anak-anak ingusan. Apalagi di
tangan mereka sekarang bercahaya-cahaya pusaka yang tiada taranya. Karena itu orang
yang berkerudung kulit harimau itupun tidak berani merendahkan. Segera mereka
bertiga terlibat dalam satu pertempuran yang luar biasa hebatnya. Tampaklah
sebuah bayangan hitam menyelinap menyusup dan kemudian meloncati
gumpalan-gumpalan cahaya kuning yang silau dan cahaya biru yang gemerlapan.
Itulah cahaya dari kedua pusaka itu di tangan orang-orang yang hampir sempurna
olah senjata. Tetapi ternyata apa yang dikatakan orang itu benar-benar terjadi.
Mahesa Jenar dan Gajah Sora yang sudah bekerja mati-matian, sama sekali tak
berhasil menyentuh kulit lawannya dengan senjata-senjatanya. Hanya untunglah
bahwa karena kedua pusaka itu pula, lawan mereka belum juga berhasil dapat
mengenai tubuh mereka. Kalau saja Gajah Sora atau Mahesa Jenar sampai
tersinggung oleh tangan hantu itu, pastilah kulit mereka akan robek. Akhirnya,
ketika pertempuran itu sudah berlangsung beberapa saat, dan masih saja Gajah
Sora dan Mahesa Jenar memberikan perlawanan yang sengit, orang yang berkerudung
kulit harimau itu tidak sabar lagi. Ia meloncat beberapa langkah ke belakang,
dan dengan gerak yang menakutkan ia menggetarkan tubuhnya sambil mengaum
mengerikan. Sesaat kemudian ia telah siap untuk mengadakan serangan-serangan
terakhir yang mematikan.
Meskipun Gajah
Sora dan Mahesa Jenar tidak mengerti arti dari gerakan-gerakan itu, mereka
yakin bahwa saat yang menentukan segera akan tiba. Gajah Sora dan Mahesa Jenar
pun segera mempersiapkan diri. Mereka berdiri kira-kira berjarak 3 sampai 4
langkah, yang dapat dicapainya dalam satu loncatan. Mereka sudah bertekad untuk
bertempur sampai kemungkinan yang terakhir. Kalau mereka berdua harus mati,
maka setan itu pun harus dapat dilukainya pula dengan salah satu dari kedua
keris itu, sehingga ia pun pasti akan mati pula. Orang yang berkerudung kulit
harimau itu setelah berhenti mengaum segera bersikap seperti akan menerkam.
Tangannya terjulur ke depan, sedangkan jari-jarinya dikembangkan. Melihat sikap
itu, segera Gajah Sora dan Mahesa Jenar teringat kepada istri Sima Rodra yang
bertempur dengan cara yang serupa. Tetapi orang ini ternyata mempunyai
ketinggian ilmu yang berlipat-lipat. Sejenak kemudian, hampir pada saat orang
itu meloncati Gajah Sora, tiba-tiba terdengarlah suara tertawa yang nyaring
meskipun tidak terlalu keras. Kemudian disusul gemerisik daun-daun yang
tergetar karena suara tertawa itu. Alangkah besar tenaga yang dilontarkan lewat
suara yang tidak begitu keras itu. Mendengar suara itu, orang berkerudung kulit
harimau itu tampak terkejut bukan main. Dan keadaan itu sangat mengejutkan
Gajah Sora dan Mahesa Jenar pula. Mereka telah terkejut karena getaran suara
itu, disusul oleh sikap orang yang berkerudung itu.
ORANG
berkerudung itu kemudian menegakkan kepalanya. Ia menggeram hebat menunjukkan
kemarahannya. Kemudian terdengar ia berkata,
“Hem…, apa
kepentinganmu dengan mengganggu pekerjaanku?”
Dan
terdengarlah jawaban yang lunak halus hampir seperti suara perempuan.
”Terhadap
anak-anak itu kau sudah akan mempergunakan ajimu Macan Liwung?” katanya.
“Apa
pedulimu?” jawab orang itu.
“Banyak
kepentinganku atasnya, mereka adalah murid-murid sahabatku. Dan bukankah
persoalan itu adalah persoalan anak-anak. Sebaiknya orang tua tidak usah ikut
campur,” jawab suara itu.
“Sebaiknya kau
mengurus kepentinganmu sendiri,” sahut orang berkerudung itu.
“Ini juga
termasuk kepentinganku,” jawab suara itu pula.
“Aku tidak
pedulikan kau,” potong orang berkerudung itu.
“Tetapi aku
mempedulikan kau. Kalau kau memaksa pula untuk mencampuri perkara anak-anak.
Baiklah kita yang tua-tua ini membuka permainan sendiri. Sedang anak-anak
biarlah mereka belajar menyelesaikan masalah mereka.”
“Gila….
Selamanya kau gila. Kau berharap dapat mengalahkan aku sekarang?”
“Tidak. Aku
tahu bahwa aku tak akan mengalahkan kau. Tetapi setidak-tidaknya kau juga tidak
akan dapat mengalahkan aku. Dan permainan itu akan memberi kesempatan kepada
anak-anak itu untuk berlindung pada bapak-bapaknya. Karena ada seorang bapak
telah ikut campur pula,” jawab orang itu.
Suara orang
asing yang lunak dan mirip suara perempuan itu terang berasal dari belakang
Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Meskipun demikian, Gajah Sora dan Mahesa Jenar
tidak berani menoleh ke belakang. Mereka tahu bahwa orang itu pasti tidak akan
bermaksud jahat, sebab kalau demikian sudah sejak tadi ia dapat membunuhnya dari
arah punggung. Apalagi ketika mereka berdua mendengar pembiaraannya dengan
orang yang berkerudung itu, hati mereka seperti disiram embun. Tetapi meskipun
demikian mereka hampir tak berani berkedip. Sebab setiap saat orang yang
berkerudung itu dapat meloncatinya dan merebut pusaka-pusaka itu, yang
barangkali malahan dapat dipergunakan untuk melawan orang yang berada di
belakangnya itu. Sebentar kemudian kembali orang berkerudung itu menggeram.
“Jangan coba
halangi aku,” katanya.
Sesudah itu
terjadilah suatu hal diluar daya pengamatan Gajah Sora dan Mahesa Jenar.
Meskipun mereka berdua termasuk orang-orang yang disegani karena kesaktiannya,
tetapi mereka samasekali tidak dapat menangkap gerakan orang berkerudung itu.
Apa yang dilihatnya hanyalah seperti pancaran kilat yang membelah langit,
sedemikian tiba-tiba dan berlangsung cepat sekali.
Orang
berkerudung itu tahu-tahu rasanya sudah melekat di pelupuk mata Gajah Sora.
Kemudian segera disusul dengan peristiwa yang sama cepatnya. Sebuah benturan
yang luar biasa dahsyat terjadi di hadapan mata Gajah Sora dan Mahesa Jenar
tanpa dapat diketahui permulaannya. Apa yang mereka ketahui kemudian adalah
orang berkerudung itu telah berdiri berhadap-hadapan dengan seorang yang
berperawakan kecil. Sikapnya pun mirip dengan suaranya. Sama sekali tidak gagah
dan garang, tetapi justru mirip sikap seorang perempuan.
Orang itu
berdiri dengan tubuh masih bergetar diantara Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Dan
dihadapannya berdiri orang berkerudung itu, yang juga tampak sedang berusaha
menguasai keseimbangannya.
“Kau
benar-benar akan mencampuri urusanku?” bentak orang berkerudung itu.
“Sudah aku
katakan sejak tadi,” jawab orang yang mirip dengan perempuan itu.
Kemudian
tampaklah orang berkerudung itu memandangi berganti-ganti Gajah Sora, Mahesa
Jenar dan orang asing itu. Mukanya yang hampir seluruhnya ditumbuhi rambut yang
jarang-jarang itu tampak berkerut. Lalu katanya dengan suara parau,
“Baiklah, aku
tidak dapat melawan kalian bertiga. Tetapi jangan mengira bahwa aku telah
melepaskan kepentinganku atas kedua anak-anak yang bermain-main dengan
pusaka-pusaka itu.”
Setelah
berkata demikian, segera ia meloncat tak ubahnya seekor harimau dan kemudian
menyusup lenyap di gerumbul liar.
Setelah orang
berkerudung itu tidak nampak lagi, berkatalah orang asing itu kepada Gajah Sora
dan Mahesa Jenar.
“Guru kalian
ternyata kurang hati-hati. Untunglah aku melihat harimau itu, sedang kalian
tidur nyenyak. Sehingga aku terpaksa membangunkan kalian dengan batu.
Seharusnya guru kalian tidak melepaskan kalian tanpa pengawasannya.”
Gajah Sora dan
Mahesa Jenar kemudian dengan membungkuk hormat mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya, dan dengan agak berdebar-debar Gajah Sora mencoba bertanya,
“Bolehkan aku
mengetahui, siapakah Tuan?”
Orang itu
tersenyum.
“Tidaklah
gurumu pernah berceritera tentang aku?” jawabnya.
Gajah Sora
mengernyitkan alisnya sambil mengingat-ingat ceritera gurunya tentang
sahabat-sahabatnya. Mahesa Jenar juga mencoba untuk menebak-nebak siapakah
kiranya yang berdiri dihadapannya itu. Tiba-tiba mereka hampir bersamaan
teringat kepada ceritera guru masing-masing. Pendekar sakti yang menurut
istilah guru mereka, sama sekali tampangnya tak berarti. Mungkin orang inilah
yang dimaksud. Maka dengan hampir bersamaan pula mereka mengucapkan sebuah
nama,
“Tuankah yang
bergelar Titis Anganten dari Banyuwangi?”
Kembali orang
itu tersenyum.
“Nah ternyata
kalian kenal aku. Guru-gurumu pasti pernah berkata tentang orang yang
tampangnya tak berarti,” jawabnya lagi.
Lalu
terdengarlah ia tertawa nyaring.
“Aku dengar
Kakang Pengging Sepuh telah wafat,” katanya tiba-tiba kepada Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar tertegun. Rupanya dengan tepat orang itu mengetahui bahwa Macan
Ireng itu berada di sini.
Gajah Sora
segera menjawab,
“Mungkin Tuan,
sebab Guru tak pernah menyebutkan itu.”
“MUNGKIN,”
sahut orang yang ternyata adalah Titis Anganten. Sebab kedatangannya belum
seberapa lama.
“Ketika aku
ketahui bahwa alas Lodaya kosong, segera aku pergi ke Gunung Tidar. Ketahuilah
bahwa orang itulah yang sebenarnya bernama Sima Rodra. Ia adalah ayah dari
isteri Sima Rodra yang sekarang. Dan terkaanku adalah tepat. Ia pergi
mengunjungi anak perempuannya di Gunung Tidar. Beberapa lama aku terpaksa
mengeram mengawasinya. Jadi aku dapat melihat seluruhnya yang terjadi di muka
goa Sima Rodra. Aku dapat melihat kedatangan kalian dari arah yang berbeda. Dan
aku terpaksa membantu ketajaman sirep yang kau sebarkan, sebab Sima Rodra
itupun telah mencoba melawannya. Dan karena kami lakukan berdua, maka sirep
kamipun menang. Untunglah bahwa Sima Rodra berdua itu berlari ke dalam pintu
rahasia, sehingga ayahnya memerlukan waktu untuk keluar melalui lobang yang
lain sehingga ia baru dapat menyusul kalian sekarang ini. Dan agaknya karena
kedatangannya itu ingin dirahasiakan, dan karena kepercayaannya kepada anaknya,
ia tidak merasa perlu untuk membantu,” lanjut Titis Anganten.
Persoalannya
menjadi jelas bagi Mahesa Jenar dan Gajah Sora. Ternyata ketika mereka tertidur
nyenyak, mereka telah dibangunkan oleh Titis Anganten. Itulah sebabnya mereka
merasa seperti dilempar dengan batu. Dan apa yang mereka hasilkan sekarang,
sebagian adalah karena jasa orang itu pula. Karena itu, sekali lagi mereka
mengucapkan terima kasih yang tak terhingga.
“Tetapi…
sampai sekarang aku masih belum mengenal nama-nama kalian. Siapakah namamu anak
muda?” tanya Titis Anganten kepada Mahesa Jenar.
“Namaku Mahesa
Jenar, Tuan. Sebagai seorang prajurit aku disebut Ronggo Tohjaya,” jawab Mahesa
Jenar.
Titis Anganten
mengangguk-angguk.
“Sudah lama
sekali aku tak bertemu dengan Kakang Pengging Sepuh, sehingga aku belum
mengenal nama murid-muridnya.
Sedang apa
yang kau lakukan terhadap lawan-lawanmu dengan Sasra Birawa yang terkenal itu,
kau benar-benar mengingatkan aku kepada gurumu. Kelak kalau telah mengendap
benar-benar dan dapat menguasai setiap saluran nafasmu dengan baik, maka dapat
diharapkan bahwa kau setidak-tidaknya akan dapat menyamai gurumu. Hanya sayang
bahwa gurumu itu tidak lagi berkesempatan menuntunmu lebih lama lagi, sehingga
kau harus berjuang sendiri untuk mencapai kesempurnaan,” kata Titis Anganten
kepada Mahesa Jenar.
Kemudian Titis
Anganten bertanya kepada Gajah Sora,
“Ilmumu Lebur
Seketi ternyata sedikit lebih masak dari Mahesa Jenar. Siapakah namamu?”
“Aku bernama
Gajah Sora,” Tuan, jawab Gajah Sora.
Titis Anganten
mengernyitkan alisnya.
“Namamu mirip
dengan nama gurumu. Mungkin kau tidak saja muridnya. Menilik wajahmu yang mirip
dengan wajah Kakang Sora, aku sejak tadi sudah mengira bahwa kau adalah
anaknya,” katanya kemudian.
“Benar Tuan…
aku adalah anaknya yang sulung,” jawab Gajah Sora.
Kembali Titis
Anganten mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Mungkin
karena gurumu yang bahkan ayahmu masih selalu dapat mendampingimu itulah maka
ilmumu agak lebih masak sedikit dari Mahesa Jenar. Tetapi bagaimanapun aku
telah dapat menyaksikan suatu pertunjukan yang luar biasa. Sasra Birawa beradu
dengan Lebur Seketi. Dua macam ilmu yang tak ada bandingnya,” lanjutnya.
Mendengar
pujian itu, Mahesa Jenar dan Gajah Sora agak canggung pula.
“Nah sekarang
sarungkan pusaka-pusaka itu,” kata Titis Anganten lebih lanjut.
Kata-kata itu
telah menyadarkan Gajah Sora dan Mahesa Jenar bahwa sejak tadi kedua pusaka
keramat itu masih saja digenggamnya erat-erat. Karena itu maka setelah
diungkupkan di atas kepala masing-masing, keris itu kemudian disarungkan
kembali.
“Sekarang…,”
kata Titis Anganten melanjutkan,
“untuk
sementara kalian akan aman. Macan Ireng itu pasti tidak akan mengganggumu lagi.
Tetapi untuk seterusnya kau harus berhati-hati. Sebab ilmunya yang dinamainya
Macan Liwung itu tak kalah pula dahsyatnya. Mungkin ilmu itu masih belum
diturunkan kepada anak atau menantunya. Tetapi dengan kejadian-kejadian ini
tidak mustahil bahwa ia akan menurunkan ilmunya itu segera untuk mendapat
tenaga-tenaga yang akan membantunya melawan angkatan tua dan kalian. Akibatnya,
pastilah besar. Apalagi kalau Sima Rodra itu menghubungi sahabat-sahabatnya.
Misalnya Bugel Kaliki dari Lembah Gunung Cerme.”
“Mungkin juga
dengan Ki Pasingsingan dari Mentaok,” sela Mahesa Jenar.
Mendengar
kata-kata Mahesa Jenar itu tampaklah Titis Anganten agak terkejut. Tetapi
akhirnya ia menjawab juga,
“Ya… Tuan,
Pasingsingan, guru Lawa Ijo di Mentaok. Ah, barangkali kau keliru Mahesa
Jenar,” kata Titis Anganten,
“Tidakkah
gurumu sering mengatakan kepadamu bahwa Pasingsingan itu termasuk salah seorang
dari kami?”
“Benar, Tuan,”
Mahesa Jenar menjelaskan.
“Tetapi
ternyata ia telah mengambil seorang murid yang terkenal dengan sebutan Lawa
Ijo, yang termasuk dalam golongan hitam.”
Kembali wajah
Titis Anganten berubah. Rupanya ia tidak menyetujui keterangan Mahesa Jenar.
“Siapakah yang
mengatakan itu kepadamu?” tanyanya.
“Aku pernah
melukai Lawa Ijo itu dengan Sasra Birawa,” jawab Mahesa Jenar.
“Hal itu
terpaksa aku lakukan karena Lawa Ijo mempergunakan cincin bermata akik yang
merah menyala dan beracun.
Pada saat
itulah muncul Pasingsingan yang akan membunuhku. Untunglah bahwa pada saat itu
hadir pula Ki Ageng Pandan Alas, meskipun tidak menampakkan diri.”
“Pandan Alas?”
potong Titis Anganten. Dan tiba-tiba wajahnya menjadi terang oleh suatu kesan
yang lucu terhadap Pandan Alas.
“Ya, Ki Ageng
Pandan Alas telah memberikan tanda-tanda kehadirannya dengan sebuah tembang
Dandanggula,” sambung Mahesa Jenar.
“Ah, masih
saja orang tua itu senang pada tembang. Masihkah suaranya baik dan nadanya
tidak sumbang?”
Terdengarlah
Titis Anganten tertawa lirih.
“Bagus-bagus,
orang tua jenaka itu rupanya masih akan panjang umur. Tetapi bagaimana dengan
Pasingsingan?”
MENDENGAR
pertanyaan itu segera Mahesa Jenar menjawab,
”Orang itu
memakai kedok kayu yang kasar.”
“Betul…, kau
betul. Pasingsingan itu mungkin berwajah bopeng sehingga ia malu menampakkan
wajahnya. Kami sahabat-sahabatnya pun belum pernah mengenal wajahnya yang asli.
Dan batu merah yang disebutnya akik Kelabang Sayuta itu benar-benar miliknya.
Tetapi…,” Titis Anganten berhenti sebentar, lalu melanjutkannya,
“Aneh kalau ia
termasuk aliran hitam.”
“Menurut Ki
Ageng Pandan Alas, beliau meragukan keaslian Pasingsingan itu,” sahut Mahesa
Jenar.
“He…?” kembali
Titis Anganten terkejut.
“Mungkin…,
mungkin. Tetapi setan mana yang berani mengaku Pasingsingan itu? Pasti ia
termasuk dalam tingkatan orang tua itu pula. Kalau tidak, barangkali umurnya
tidak akan lebih dari satu hari saja.”
Titis Anganten
berhenti berbicara. Tampaklah ia sedang berpikir.
Lalu tiba-tiba
katanya,
“Nah Gajah
Sora dan Mahesa Jenar, pulanglah kalian. Sebaiknya Kakang Sora Dipayana segera
diberi tahu mengenai kehadiran Sima Rodra. Perkara Pasingsingan biarlah diurus
oleh Pandan Alas, yang sudah tidak punya urusan apa-apa lagi kecuali bertanam
jagung. Ya, memang ia suka menanam jagung sejak muda. Itulah pokok makanannya.
Ia sama sekali tidak pernah makan beras.”
Kemudian
terdengarlah Titis Anganten itu tertawa. Lalu sambungnya,
“Kalau Kakang
Sora Dipayana sudah tahu, selesailah tugasku. Aku ingin melanjutkan perjalanan
ke barat, mumpung aku sudah sampai di sini. Aku ingin mengunjungi Kakang di
Gunung Slamet.”
“Tetapi
tidakkah Tuan hendak singgah di rumahku?” sahut Gajah Sora.
“Dan mungkin
Tuan akan dapat bertemu dengan ayah. Barangkali pertemuan itu dapat
menggembirakan ayah.”
Titis Anganten
menggelengkan kepalanya.
“Pertemuan
semacam itu selalu menjadi pembicaraan orang. Apalagi di daerah yang sedang
ribut ini. Katakanlah bahwa aku akan datang besok kalau aku akan pulang ke
Banyuwangi. Ketahuilah bahwa di sini segala sesuatu tak dapat dirahasiakan
kalau kita tidak melakukannya dengan sembunyi-sembunyi. Sekarang, aku sudah
lelah setelah bersembunyi beberapa hari mengintip Sima Rodra. Nah selamat
berpisah. Salam buat ayahmu Gajah Sora,” katanya.
Setelah itu,
Gajah Sora dan Mahesa Jenar tidak sempat lagi untuk mengatakan sesuatu, sebab
segera Titis Anganten melangkah pergi menyelinap diantara dedaunan, dan hilang
ditelan gelap. Tinggallah kini Gajah Sora dan Mahesa Jenar, yang segera
teringat kepada pekerjaannya. Karena itu segera mereka pun melanjutkan
perjalanan.
Makin cepat
mereka sampai ke Banyubiru, makin amanlah keris yang dipertaruhkannya itu.
Sampai di
Sarapadan, segera mereka memotong jalan ke Bergota. Mereka berjalan dengan
cepat tanpa berhenti. Sebab bagaimanapun kemungkinan Sima Rodra akan menyusul
mereka masih tetap ada, meskipun Titis Anganten telah mengatakan bahwa untuk
sementara mereka dapat merasa aman. Mereka berjalan tanpa berhenti, sehingga
pada hari berikutnya, ketika matahari sudah condong ke barat, mereka dengan
selamat sampai ke Banyubiru. Beberapa orang yang sedang bekerja di sawah segera
berhenti memandang ke arah Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Bahkan beberapa orang
datang berlari-lari menyambut kepala daerah perdikan mereka. Segera jalan-jalan
yang akan mereka lewati menjadi ramai. Mereka menyambut dengan tulus dan bangga
atas kepala daerah mereka, yang mereka taati. Tetapi tak seorangpun dari mereka
yang mengetahui bahwa kepala daerah mereka itu baru saja menyelesaikan suatu
pekerjaan yang hampir membawa nyawanya. Beberapa orang yang berdiri di tepi
jalan itu bersorak-sorak ramai sekali, tetapi ada pula yang berbisik,
“Dari manakah
Ki Ageng Gajah Sora itu…? Dan siapakah kawan seperjalanannya itu…?”
Tampaklah
kesibukan yang luar biasa. Hal ini disebabkan tak seorang pun dari penduduk
Banyubiru yang mengetahui bahwa Ki Ageng Gajah Sora pergi meninggalkan kota.
Tiba-tiba mereka melihat Ki Ageng Gajah Sora telah kembali. Mahesa Jenar menyaksikan
sambutan rakyat yang meriah itu dengan hati yang berdebar-debar. Tampaklah
betapa Ki Ageng Gajah Sora memiliki sifat kepemimpinan yang tinggi, sehingga
rakyatnya sangat mencintainya. Di kiri kanan jalan, di balik pagar manusia yang
menyambutnya, tampaklah halaman-halaman yang luas-luas dan bersih. Dan di atas
halaman-halaman itu berdiri rumah-rumah yang besar dan bagus. Hal itu memberi
pertanda bahwa Banyubiru tergolong daerah yang bercukupan.
Apalagi ketika
Mahesa Jenar menyaksikan bahwa pada umumnya lumbung-lumbung mereka sama sekali
tak berdinding, malahan ada yang bentuknya hanya seperti payung yang berdaun
lebar. Maka dapatlah diambil kesimpulan bahwa daerah itu merupakan daerah yang
aman dan makmur.
BANYUBIRU
terletak di lambung bukit Telamaya di kaki Gunung Merbabu sebelah utara. Di
hadapannya terbentang dataran tinggi yang dibagi dalam dua jenis tanah. Di
sebelah barat merupakan tanah persawahan yang subur, sedang di sebelah timur
terdapat sebuah rawa yang besar. Kemudian di bagian utara dari rawa-rawa itu
ditumbuhi pohon-pohon liar yang lebat, disambung dengan hutan-hutan belukar. Di
dalam hutan-hutan belukar yang berawa-rawa itulah bersembunyi gerombolan Uling
yang terkenal dengan nama Sepasang Uling dari Rawa Pening. Daerahnya merupakan
daerah yang sangat sulit dicapai. Meskipun demikian, Sepasang Uling itu telah
membuat sendiri jalan rahasia menuju ke sarangnya. Bagi rakyat Banyubiru, sawah
serta Rawa Pening itu merupakan sumber penghasilan yang utama. Rawa Pening
terkenal banyak sekali menyimpan ikan-ikan rawa yang besar-besar. Sehingga
dengan demikian penghidupan mereka agak dapat terjamin pula. Sedangkan
gerombolan Uling itu, sama sekali tidak berani mengganggu mereka, sebab di
bawah pimpinan Ki Ageng Gajah Sora, rakyat Banyubiru merupakan rakyat yang kuat
lahir dan batinnya. Demikianlah maka Ki Ageng Gajah Sora di sepanjang jalan
melambai-lambaikan tangannya untuk menyambut sorak-sorai rakyatnya. Tiada lama
berselang, terdengarlah derap beberapa ekor kuda yang datang dari arah depan.
Dan muncullah dari kelokan jalan, beberapa orang berkuda menyongsong kedatangan
Ki Ageng Gajah Sora dan Mahesa Jenar.
Demikian
kuda-kuda itu mendekati Ki Ageng Gajah Sora, meloncatlah seorang yang bertubuh
agak pendek dan gemuk dari atas kudanya. Wajahnya, meskipun sudah ditandai
dengan garis-garis umur, tetapi tampak kekanak-kanakan dan jenaka. Kecuali kuda
yang dinaikinya, orang itu masih menuntun seekor kuda lagi yang berwarna putih,
sudah lengkap dengan pelananya. Ketika yang lain melihat orang itu meloncat
turun, maka berloncatan pulalah mereka dari atas kuda-kuda mereka. Maka
berkatalah orang yang pendek gemuk itu dengan suara berderai,
“Anakmas Gajah
Sora, hampir Rawa Pening aku suruh aduk untuk mencari Anakmas, kalau-kalau
sedang mandi di sana. Bahkan Gunung Gajahmungkur itu aku suruh balikkan,
mungkin Anakmas terselip di dalamnya. Sungguh pandai Anakmas membikin orang tua
bingung. Kemanakah Anakmas selama beberapa hari ini?”
Ki Ageng Gajah
Sora tersenyum.
”Tetapi tak
sesuatu yang Paman lakukan. Untunglah aku selamat,” jawabnya.
Alis orang tua
yang sudah memutih itu bergerak-gerak.
“Aku sudah
memerintahkan. Tetapi Nyi Ageng melarangnya. Katanya aku disuruh menunggu
sampai seminggu ini. Kalau tidak, Nyi Ageng sendiri akan memberi perintah untuk
mencari Anakmas,” katanya.
Kembali Gajah
Sora tersenyum.
“Dan sekarang
aku sudah kembali, Paman.”
Kembali orang
tua itu berkata,
“Aku memang
sudah mendapat kesimpulan, bahwa Anakmas pergi untuk sesuatu tugas yang tak
seorang pun boleh mengetahui, kecuali Nyi Ageng. Kalau tidak, pastilah Nyi
Ageng Gajah Sora sudah ribut sejak semula.”
Lalu
terdengarlah suara orang itu tertawa berderai.
“Karena itu
aku tidak berusaha lagi untuk mencari Anakmas. Dan sekarang Anakmas sudah
pulang dengan selamat bersama-sama seorang yang belum aku kenal,” sambungnya.
Lalu
membungkuklah orang itu kepada Mahesa Jenar.
“Bolehkah aku
memperkenalkan diri Anakmas…? Namaku Wanamerta,” tanya orang itu sambil
memperkenalkan diri.
Mahesa Jenar
membalas hormat orang tua itu.
“Aku bernama
Mahesa Jenar, yang oleh kebaikan hati Ki Ageng Gajah Sora, aku mendapat
kehormatan singgah di Banyubiru.”
Orang itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya kepada Ki Ageng Gajah Sora,
“Anakmas Gajah
Sora, karena aku tidak tahu bahwa Anakmas datang berdua, maka aku hanya membawa
seekor kuda untuk Anakmas. Maka baiklah kalau Anakmas Mahesa Jenar ini
mempergunakan kudaku saja untuk bersama-sama dengan Anakmas Gajah Sora.”
“Lalu Paman…?”
tanya Gajah Sora.
“Biarlah aku
memakai salah satu dari kuda anak-anak itu,” jawabnya.
Maka
dipersilahkannya Mahesa Jenar mempergunakan kuda Wanamerta yang berwarna
abu-abu agak kemerah-merahan, sedang Gajah Sora mempergunakan kudanya sendiri
yang berwarna putih. Meskipun mereka sekarang berkuda, tetapi mereka berjalan
perlahan-lahan juga, sebab masih saja orang-orang menyambut mereka di kiri
kanan jalan.
Setelah
beberapa lama mereka berjalan diantara rakyat Banyubiru, sampailah
iring-iringan berkuda itu ke sebuah lapangan luas, yang di tengah-tengahnya
tumbuh sepasang pohon beringin. Lewat tengah-tengah lapangan yang tak lain
adalah Alun-alun Banyubiru, mereka menuju ke sebuah rumah besar yang berpendapa
luas dan bertiang ukir-ukiran. Itulah tempat kediaman Ki Ageng Gajah Sora.
Di muka
pendapa itu telah banyak orang berjajar-jajar menanti. Diantara mereka berdiri
seorang perempuan. Ketika iring-iringan itu sampai di muka pendapa, segera Ki
Ageng Gajah Sora dan Mahesa Jenar turun dari kuda, dan berjalan ke arah para
penyambut. Sampai di muka tangga, perempuan itu segera mengambil siwur dan
mencuci kaki Ki Ageng Gajah Sora. Orang itulah Nyi Ageng Gajah Sora. Setelah
Nyi Ageng Gajah Sora mencuci kaki suaminya maka dipersilahkan Mahesa Jenar
mencuci kakinya, dan seterusnya berganti-ganti dengan mereka yang turut serta
menjemput kedatangan Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Setelah itu Gajah Sora
suami-istri bersama-sama dengan Mahesa Jenar langsung menuju ke Pringgitan.
Mereka jadi
tertegun sejenak ketika mereka melihat di dalam Pringgitan itu duduk seorang
yang telah lanjut usianya, berkain kotak-kotak dan berbaju lurik hijau
bergaris-garis besar. Dari wajahnya memancar keagungan pribadinya yang
berwibawa.
Melihat orang
itu, segera Gajah Sora berlutut sebagai pernyataan bakti dari seorang putra
kepada ayahnya. Orang itulah Kiai Ageng Sora Dipayana.
MAHESA JENAR
pun segera membungkuk hormat. Ia sudah pernah bertemu dengan Ki Ageng Sora
Dipayana itu di Pangrantunan. Bahkan ia banyak memberikan petunjuk-petunjuk
untuk mendapatkan Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten, meskipun harus melalui suatu
ujian, bertempur melawan Gajah Sora. Tetapi orang yang sama itu, sekarang
nampak jauh berbeda dengan yang pernah ditemuinya di Pangrantunan dahulu. Kalau
saja ia tidak mengenal jenggotnya yang panjang, rambutnya serta alisnya yang
telah memutih seluruhnya, juga tidak di rumah Ki Ageng Gajah Sora, maka
besarlah kemungkinan bahwa ia sudah tidak dapat mengenal lagi. Melihat
kedatangan anaknya serta Mahesa Jenar, Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum.
Setelah Mahesa Jenar dan Gajah Sora suami-istri mengambil tempat duduk di atas
sebuah tikar pandan di hadapan Ki Ageng Sora Dipayana, berkatalah orang tua
itu,
”Selamatlah
kedatangan kalian setelah menunaikan kewajiban kalian yang berat.”
Maka
berceriteralah Gajah Sora atas segala pengalaman-pengalaman mereka berdua
selama mereka berusaha untuk menemukan kedua keris pusaka dari Demak itu. Dan
yang terakhir diceritakan pula kehadiran Sima Rodra dari Alas Lodaya yang
berusaha untuk merebut kembali kedua keris itu. Juga diceriterakan bahwa mereka
mendapat pertolongan Pendekar Sakti dari Banyuwangi. Mendengar cerita Gajah
Sora itu Ki Ageng Sora Dipayana mengernyitkan alisnya yang sudah putih.
Tampaklah bahwa orang tua itu sedang sibuk berpikir.
“Kau memang
beruntung Gajah Sora, bahwa Titis Anganten sempat membebaskan engkau dari
tangan Sima Rodra itu. Kalau saja Pendekar Banyuwangi itu tidak menyaksikan
pertemuanmu dengan Sima Rodra, kau berdua meskipun mempergunakan Kiai Nagasasra
dan Sabuk Inten maka tidak ada kemungkinan kau berdua dapat membebaskan diri
dari padanya. Kalau hal itu terjadi maka kesalahan yang terbesar adalah
terletak di pundakku. Aku terlalu menyisihkan diri dan yang terakhir terlalu
sibuk dengan urusan-urusan kecil di Pangrantunan sehingga aku tidak tahu atas
kedatangan Harimau Hitam itu. Dan yang pasti Pandan Alas pun masih belum tahu
akan hal itu, sebab kalau ia tahu maka setidak-tidaknya ia akan mencegah Mahesa
Jenar mendekati Gunung Tidar,” ujar Ki Ageng Sora Dipayana.
Kemudian
kembali Ki Ageng Sora Dipayana itu merenung. Mungkin ia sedang memecahkan cara
untuk mengusir Sima Rodra itu dari Gunung Tidar. Tetapi Sima Rodra bukanlah
seorang yang dapat diremehkan. Ia mempunyai kesaktian yang setingkat dengan Ki
Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas, Pasingsingan dan sebagainya. Tetapi
bagaimanapun, dengan diketahuinya bahwa Sima Rodra ada di Bukit Tidar merupakan
suatu hal yang sangat menguntungkan. Sebab dengan demikian dapatlah diadakan
persiapan-persiapan seperlunya untuk menghindari kemungkinan kemungkinan yang
tidak diharapkan.
“Baiklah Gajah
Sora…,” kata Ki Ageng Sora Dipayana kemudian.
“Urusan Sima
Rodra serahkan saja padaku. Itu merupakan soal orang tua-tua. Sekarang yang
penting simpanlah Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten itu di tempat yang baik,
sehingga keduanya aman sampai dapat kalian serahkan kepada kalangan Istana,
jagalah bahwa hal itu merupakan rahasia sehingga tak seorangpun, meskipun orang
dalam, boleh mengetahuinya, juga adikmu Lembu Sora.”
Maka segera Ki
Ageng Gajah Sora melaksanakan petunjuk-petunjuk ayahnya. Disimpannya Kiai
Nagasasra dan Sabuk Inten di dalam ruang tidurnya. Setelah itu, setelah
semuanya dilaksanakan dengan baik, segera Ki Ageng Sora Dipayana minta diri.
Gajah Sora yang telah mengetahui tabiat ayahnya, sama sekali tidak menahannya.
Sebab ia tahu betul bahwa apa yang dilakukan ayahnya sebagian besar adalah atas
perhitungannya yang tepat.
Karena itu
maka diantarkannya Ki Ageng Sora Dipayana itu sampai ke halaman belakang,
bersama-sama dengan Mahesa Jenar. Dan pergilah orang tua itu tanpa ada yang
mengetahuinya, kecuali mereka bertiga. Setelah itu, Gajah Sora dan Mahesa Jenar
segera pergi ke pendapa, menemui orang-orang yang sudah lama menanti untuk
mendengarkan kemana Gajah Sora selama ini pergi. Tetapi apa yang dikatakan
Gajah Sora hanya sekadar memuaskan hati mereka, sedangkan kepentingan yang
sebenarnya sama sekali tak disinggung-singgung. Meskipun demikian pembicaraan
itu ternyata menarik juga. Pertanyaan-pertanyaan datang bertubi-tubi, yang
kadang-kadang memang agak merepotkan. Tetapi dengan sedikit berputar balik,
akhirnya puaslah semua orang. Maka setelah pertemuan itu berlangsung beberapa
saat, segera Gajah Sora dan tamunya minta waktu untuk beristirahat, sehingga
sesaat kemudian bubarlah pertemuan itu.
Gajah Sora
kemudian mempersilahkan tamunya untuk beristirahat di Gandok sebelah timur
dimana sudah disediakan ruangan untuk Mahesa Jenar. Disana ia akan tinggal
untuk beberapa waktu, memenuhi permintaan Ki Ageng Gajah Sora. Keluarga Gajah
Sora seluruhnya hanyalah terdiri dari tiga orang kecuali pembantu-pembantunya.
Gajah Sora dan istrinya yang ramah selalu melakukan kewajibannya dengan baik
selaku seorang istri kepala Daerah Perdikan. Ia mengerti apa yang harus
dilakukan, tidak hanya terhadap suaminya tetapi juga kepada rakyatnya. Ia
selalu siap memberikan pertolongan-pertolongan yang diperlukan oleh penduduk
wilayahnya. Kemudian seorang anak laki-laki, putra Gajah Sora. Mahesa Jenar
mengenal anak itu pertama kali ketika ia sedang duduk bersama-sama Ki Ageng
Gajah Sora di halaman depan rumahnya. Tiba-tiba dari atas pohon melayanglah
sebuah bayangan ke arah Gajah Sora. Mahesa Jenar yang tidak tahu-menahu, hampir
saja menangkap bayangan itu. Tetapi ketika dilihatnya Gajah Sora tidak
bergerak, Mahesa Jenar pun mengurungkan niatnya.
BAYANGAN itu
kemudian dengan kuatnya melekat di punggung Ki Ageng Gajah Sora. Ternyata ia
adalah seorang anak laki-laki yang berumur sekitar 13 tahun. Badannya tampak
kuat dan agak gemuk. Wajahnya bulat mirip benar dengan wajah ayahnya. Ia sudah
agak besar, tetapi karena ia putra satu-satunya, tampaklah bahwa ia agak manja
juga meskipun tidak berlebih-lebihan. Menilik sikap dan geraknya, pastilah ia
sudah banyak menerima pendidikan dan pelajaran-pelajaran dari ayahnya. Ki Ageng
Gajah Sora sendiri, umurnya agak terpaut sedikit dari Mahesa Jenar. Mereka setuju
untuk memanggil dengan sebutan kekeluargaan. Karena Gajah Sora agak lebih tua
dari Mahesa Jenar, maka Mahesa Jenar memanggilnya Kakang.
Di rumah Ki
Ageng Gajah Sora, Mahesa Jenar merasakan ketenteraman hidup kekeluargaan.
Berbeda sekali dengan jalan hidup yang ditempuhnya akhir-akhir ini. Pergi dari
satu tempat ke tempat lain. Mengalami bermacam-macam kejadian yang sebagian
besar adalah di luar kehendaknya.
Sekali-kali
kalau ia sedang terbaring di ruang tidurnya, yang bersih dan teratur segala
perabotnya. Timbullah iri hatinya kepada mereka yang berhasil membangun rumah
tangga yang baik. Dalam saat-saat yang demikian, kadang-kadang merayap pula di
dalam dadanya suatu keinginan untuk dapat menikmati kehidupan seperti ini.
Ketika ingatan Mahesa Jenar yang kadang-kadang melayang itu sampai kepada
masa-masa yang baru saja dilampauinya, terbayang kembali dengan jelas satu
persatu peristiwa-peristiwa itu muncul berganti-ganti di dalam angan-angannya.
Teringatlah ia kepada sebuah halaman yang sejuk dan nyaman dari rumah Wirasaba
yang digarap oleh istrinya yang cantik dan setia, yang karena kebodohannya,
terpaksa terjadi kesalah-pahaman. Suaminya, seorang yang tinggi hati, yang
tidak mau mendapat pertolongan dari orang lain. Tetapi hatinya merasa lega,
kalau diingatnya bahwa orang itu telah menemukan kesadarannya.
Kemudian
ingatan Mahesa Jenar terlempar kepada suatu peristiwa di hutan Tambak Baya.
Pertemuannya dengan Jaka Sora dan Lawa Ijo. Dan tiba-tiba ia menjadi
berdebar-debar ketika terbayang wajah seorang gadis yang ketakutan dan yang
kemudian akan membunuh dirinya sendiri dengan keris Sigar Penjalin. Dan
jantungnya terasa berdegup keras sekali ketika ia mencoba mengingat-ingat gadis
itu, yang sedang tidur nyenyak di hadapannya. Tetapi kemudian Rara Wilis itu lenyap
pula. Yang ada kini hanyalah dirinya. Dipandanginya kulitnya yang berwarna
merah tembaga terbakar terik matahari. Tiba-tiba terasa bahwa belum waktunya
bagi Mahesa Jenar untuk membayangkan ketenteraman hidup berkeluarga. Karena
itu, maka jalan sebaik-baiknya adalah melanjutkan usahanya untuk melaksanakan
tujuan hidupnya, bekerja keras diantara rakyat untuk kepentingan rakyat.
Membebaskan mereka dari segenap gangguan kejahatan yang dilakukan oleh
gerombolan-gerombolan liar dan jahat.
Ketika Mahesa
Jenar bangun dari tidurnya pada suatu pagi yang cerah, ia mendengar derap kuda
memasuki halaman. Dari celah-celah pintu yang kemudian dibukanya sedikit, ia
dapat melihat rombongan orang-orang berkuda langsung menuju ke pendapa. Ketika
Mahesa Jenar melihat orang yang paling depan, ia mengernyitkan dahinya. Ia
sendiri tidak menyadari bahwa ia menjadi muak melihat wajah itu. Berbeda sekali
dengan Ki Ageng Gajah Sora yang tampak agung dan berwibawa. Tetapi orang ini,
meskipun dari tetesan darah yang sama, sama sekali tak mempunyai ciri-ciri
kebesaran seperti kakaknya. Karena itu Mahesa Jenar acuh tak acuh saja atas
kedatangan adik Ki Ageng Gajah Sora, yaitu Ki Ageng Lembu Sora dengan beberapa
pengiringnya. Kembali pintu gandok itu ditutup. Kemudian Mahesa Jenar melemparkan
dirinya di atas amben bambu yang panjang di sisi ruang tempat tidurnya.
No comments:
Post a Comment