IA percaya bahwa gadis itu akan mampu untuk menahan serangan Uling Kuning dalam waktu yang cukup lama. Ia mengharap bahwa keadaan akan memungkinkannya untuk membantu. Apalagi ketika dilihatnya Uling Kuning menjadi gelisah karena serangan pertama kaki Widuri yang tepat mengenai bagian bawah perutnya. Ternyata bahwa akibat dari serangan itu sangat menguntungkan. Sebab untuk seterusnya tenaga Uling Kuning sangat terpengaruh oleh perasaan muak dan sakit yang melilit-lilit di dalam rongga perutnya. Tetapi Arya tidak mempunyai kesempatan lebih lama lagi untuk menilai pertempuran antara Widuri dan Uling Kuning. Sebab pada saat itu Uling Putih telah menyerangnya pula, bagaikan badai yang datang bergulung-gulung. Tetapi agaknya badai itu menghantam gunung yang tegak dengan perkasanya, serta tak setapakpun bergeser dari tempatnya. Di tempat yang sepi itu telah terjadi dua lingkaran pertempuran. Uling Putih yang menyesal, bahwa ia tak berhasil mempergunakan saat yang ditunggu-tunggu menjadi semakin marah. Cambuknya berputar-putar semakin cepat. Tetapi lawannya menjadi semakin garang pula. Luka di lengan dan lambung Arya telah menambahnya semakin teguh.
Ujung
tombaknya yang bercahaya kebiru-biruan, mematuk-matuk ke segenap bagian tubuh
lawan seolah-olah menjadi beribu-ribu mata tombak yang datang dari segala arah.
Sejalan dengan itu, dada Uling Putih terasa menjadi semakin sesak. Beberapa
kali ia meloncat menjauhi lawannya untuk mendapat kesempatan menarik nafas
dalam-dalam. Namun lawannya bukan pula seorang yang tidak mengetahui
keadaannya. Karena setiap ia berusaha untuk mendapat kesempatan itu, Arya
Salaka selalu dengan garangnya mendesak maju. Kepada lawannya yang sangat
berbahaya itu, Arya sama sekali tidak mau memberi kesempatan sama sekali.
Bahkan kemudian, tiba-tiba ia teringat pada suatu pagi yang cerah di Banyubiru.
Pada saat ia berhasil menangkap seekor Uling dari Rawa Pening. Pada saat itu Mahesa
Jenar berkata kepadanya, bahwa bukan Uling seperti yang ditangkapnya itulah
yang berbahaya di daerah sekitar Rawa Pening, tetapi sepasang Uling yang
sekarang berhadapan melawannya itulah yang dicemaskan. Diingatnya pada saat
itu, ia seolah-olah berjanji kepada Mahesa Jenar, bahwa sepasang Uling itupun
kelak akan dibunuhnya. Sepasang Uling yang selalu membayangi kekuasaan ayahnya
di Banyubiru. Bahkan telah berterus terang kepadanya, bahwa sepasang Uling
itupun sekarang sedang dalam perjuangan untuk dapat merebut kedudukan ayahnya
itu lewat segala macam lekuk-liku dan cara-cara yang licik. Karena itu, dada
Arya Salaka menjadi semakin menggelegak. Baginya tidak ada pilihan lain
daripada berusaha untuk memenuhi harapannya, membinasakan sepasang Uling yang berhati
hitam itu. Kebulatan tekadnya itu seolah-olah telah mempengaruhi tenaganya. Ia
seolah-olah telah mendapat tenaga yang maha besar mengalir lewat
pembuluh-pembuluh darahnya ke segenap bagian tubuhnya. Karena itu, maka apa
yang terjadi kemudian sangat mengejutkan lawannya. Dengan penuh keyakinan di
dalam dadanya, Arya melanda lawannya seperti ombak lautan yang digoncangkan
badai. Dengan garangnya, segulung demi segulung, berturut-turut menghantam
tebing, yang akhirnya akan runtuh berguguran.
Uling Putih
akhirnya merasakan, bahwa tekanan serangan Arya Salaka menjadi semakin dahsyat.
Bahkan tiba-tiba ketika ia sedang mati-matian mempertahankan dirinya, terasa
tangannya yang memegang cambuk itu bergetar. Dan apa yang dilihatnya sangat
mengejutkannya. Ternyata ujung cambuknya telah terpotong oleh ketajaman tombak
Arya Salaka. Dengan demikian, Uling Putih menjadi cemas. Satu-satunya senjata
yang selama ini dibangga-banggakannya telah terpotong. Ia menjadi bertambah
cemas lagi ketika ia melirik ke arah adiknya. Dalam sekilas Arya menyaksikan
gadis itu dapat melawan Uling Kuning dengan baiknya setelah UlingKuning
dikenainya lebih dahulu. Dengan demikian ia tidak dapat mengharap Uling Kuning
akan dapat membantunya. Tetapi Uling Putih adalah seorang yang berhati batu.
Meskipun pertempuan yang telah berlangsung itu mengatakan kepadanya bahwa Arya
Salaka bukanlah anak-anak yang hanya dapat bermain loncat-loncatan, namun ia
telah bertekad untuk memenangkan pertempuran itu dan membunuhnya. Karena itu ia
menjadi semakin buas. Geraknya semakin lama menjadi semakin liar. Dalam keadan
yang demikian itulah Arya benar-benar berusaha menguasai keadaan. Ia bertempur
dengan hati-hati. Ia tidak saja mempergunakan tenaganya, tetapi ia
memperhitungkan pula setiap keadaan dan kemungkinan.
Ketika bulan
muda telah membenamkan dirinya di balik punggung pegunungan, terdengarlah suatu
jeritan ngeri mengumandang membentur dinding-dinding bukit. Jerit ngeri yang
patah. Dan kemudian disusul dengan suara tubuh yang jatuh terbanting. Sesaat
kemudian kembali malam terlempar ke dalam suasana yang sepi, Arya Salaka tampak
tegak berdiri dengan tangan yang gemetar memegang Kiai Bancak yang berlumuran
darah. Darah Uling Putih yang kini terbaring tak bernafas di hadapannya. Yang
terdengar pada saat itu hanya dengus nafas Arya Salaka yang melonjak-lonjak.
Tetapi Arya
Salaka tidak mendapat kesempatan untuk menyaksikan tubuh lawannya itu lebih
lama lagi. Sebab tiba-tiba ia melihat sebuah bayangan yang meloncat lari.
Itulah Uling Kuning yang setelah tertegun sejenak bersama lawannya, Endang
Widuri, yang seperti terpesona, menjadi sadar bahwa bahaya maut telah
mengancamnya. Karena itu ia akan berusaha untuk menghindarkan dirinya. Tetapi
Arya telah melihat bayangannya. Dengan secepat kilat dikejarnya Uling Kuning
itu. Terhadap orang-orang yang demikian itu Arya tidak dapat berbuat lain
kecuali membinasakan. Itulah sebabnya maka Arya sama sekali tidak mau lagi
memberi kesempatan kepada Uling Kuning untuk meloloskan diri. Demikian pula
Endang Widuri. Ia tidak mau pula ketinggalan. Maka segera iapun berlari
mengejar kedua bayangan yang berlari berkejar-kejaran. Namun kedua bayangan itu
kemudian lenyap menyusup ke dalam semak-semak. Untuk seterusnya Endang Widuri
kehilangan jejak. Karena itu ia menjadi bingung. Ia tidak tahu kemana ia harus
pergi. Sedang jalan kembalipun tak diketahuinya pula. Untuk beberapa saat
Endang Widuri berdiri termangu-mangu. Tiba-tiba, ketika ia sedang mencari-cari
jalan terdengarlah gemersik daun di belakangnya. Cepat ia meloncat memutar tubuhnya,
dan berdiri dengan teguhnya di atas kedua kakinya yang renggang setengah
langkah serta tangannya yang disilangkan di muka dadanya, siap untuk menghadapi
setiap kemungkinan yang akan terjadi.
Dalam sepi
malam, terdengar langkah itu semakin jelas. Bahkan kemudian dilihatnya dalam
gelap malam dua bayangan yang berjalan dengan tetap ke arahnya. Endang Widuri
yang baru saja bertempur melawan Uling Kuning, masih saja merasa dipengaruhi
oleh suasana perkelahian. Karena itu ia menyambut kedatangan dua bayangan itu
dengan sikap yang garang, siap untuk bertempur. Tetapi kemudian ia terkejut
ketika didengarnya sebuah tawa yang lunak, yang sudah terlalu sering
didengarnya.
“Ayah…!”
teriaknya sambil berlari menyambut kedatangan bayangan yang sudah semakin dekat.
“Apa yang kau
kerjakan di sini?” tanya Kebo Kanigara.
“Berkelahi,”
jawab gadis itu.
“Hem… desis
ayahnya. Aku memang sudah mengira. Apalagi ketika aku jumpai sesosok mayat
dibalik semak-semak di sebelah.”
“Kakang Arya
telah membunuhnya,” jawab Widuri.
Kebo Kanigara
memandang wajah Mahesa Jenar, kawannya berjalan dengan wajah yang berkerut. Ia
ingin mengetahui bagaimanakah pendapatnya mengenai muridnya.
“Aku sudah
menduga pula, bahwa anak itu akan membunuhnya pada suatu saat. Dan sekarang hal
itu sudah dilakukannya,” gumam Mahesa Jenar seperti kepada dirinya sendiri.
“Darimana ayah
dan Paman Mahesa Jenar tahu bahwa kami berada di sini?” tanya Widuri.
“Ketika hari
sudah gelap, dan kau berdua tidak juga datang, aku menjadi cemas. Seseorang
telah melihat kau berjalan ke arah ini sore tadi. Dan yang terakhir teriakan
seseorang, yang mungkin adalah teriakan Uling Putih pada saat dadanya disobek
oleh tombak Arya, telah menuntun aku kemari. Tepat pada saat kami datang, kami
melihat kau berlari-lari. Karena itulah maka aku dapat menemukan kau di sini,”
jawab ayahnya.
“Tetapi aku
kehilangan jejak Kakang Arya Salaka,” sahut Widuri.
“Marilah kita
cari. Agaknya ia akan terlibat pula dalam pertempuran melawan Uling Kuning.
Padahal tenaganya sudah jauh susut karena kelelahan,” potong Mahesa Jenar.
Mereka tidak
berkata-kata lagi. Tetapi segera mereka melangkah menyibak daun-daun yang
pekat, yang menghadang di hadapan mereka. Dengan matanya yang tajam, Mahesa
Jenar dapat melihat bekas-bekas ranting yang tersibak patah-patah oleh injakan
dan sentuhan tubuh Uling Kuning dan Arya Salaka, yang berkejar-kejaran. Dengan
demikian meskipun agak sulit dan perlahan-lahan, Mahesa Jenar dapat mencari
jejak mereka berdua. Ternyata perjalanan itu cukup panjang. Ketika mereka telah
hampir tidak sabar lagi, tiba-tiba kaki mereka menginjak tanah yang gembur
basah. Semakin lama semakin dalam. Dan sejalan dengan itu, semak-semaknya pun
menjadi bertambah tipis.
“Tanahnya
mengandung air,” desis Mahesa Jenar.
“Aku kira kita
sampai ke rawa atau telaga,” sahut Kebo Kanigara.
Apa yang
mereka perkirakan adalah benar. Sesaat kemudian mereka sampai ke daerah yang
ditumbuhi batang-batang ilalang, dan kemudian di hadapan mereka terbentang
telaga yang tidak terlampau luas. Agaknya Uling Kuning berusaha melarikan diri
dengan bersembunyi di telaga itu.
Ketika mereka
sudah berdiri di tepi telaga, serta melayangkan pandangan berkeliling,
tiba-tiba terlihatlah sesuatu yang bergerak-gerak di dalam telaga itu.
DEMIKIAN
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara melihat bayangan itu, segera mereka mengerti
bahwa yang bergerak-gerak itu pastilah Arya Salaka dan Uling Kuning yang sedang
bertempur di dalam air. Untuk sesaat Mahesa Jenar tertegun. Ia menjadi cemas
melihat pertempuran di dalam air itu. Apalagi Kebo Kanigara. Sebab mereka tahu
bahwa hampir sepanjang hidupnya Uling Kuning berada di sekitar tanah yang
berawa-rawa, sehingga baginya, air merupakan tempat berlindung yang terbaik.
Kemudian Widuri pun melihat perkelahian itu, namun baginya tidaklah demikian
jelas, apakah yang terjadi. Sementara itu, Arya Salaka yang tidak mau
melepaskan Uling Kuning, terpaksa mengejarnya pula terjun ke dalam telaga. Ia
sadar bahwa Uling Kuning berharap, lewat telaga itu ia akan mampu melepaskan
dirinya. Atau kalau terpaksa ia terlibat di dalam perkelahian, maka perkelahian
di dalam air akan banyak memberinya keuntungan. Dan apa yang diharapkan itu
terjadilah. Arya tidak peduli lagi apa yang akan terjadi, meskipun ia terpaksa
berkelahi di dalam air. Demikianlah pertempuran itu berlangsung dengan
sengitnya. Disamping mereka harus berjuang untuk tidak terbinasakan oleh lawan,
mereka juga harus menjaga diri mereka supaya tidak tenggelam.
Uling Kuning
adalah seorang yang seolah-olah dapat hidup di dalam air. Tangan dan kakinya
benar-benar dapat dipergunakan dengan baik seperti itik mempergunakan sayap
serta kakinya, atau binatang air mempergunakan sirip-siripnya. Karena itu, ia
dapat dengan lincahnya bertempur.
Namun sayang
bahwa perasaan muak dan nyeri di dalam perutnya tidak juga mau hilang. Apalagi
yang dihadapi adalah Arya Salaka. Uling Kuning tidak pernah mimpi bahwa anak
itu pernah hidup sebagai anak nelayan di pantai Tegal Arang. Bahkan meskipun
tidak begitu lama, namun Arya telah memiliki pengalaman yang cukup untuk
menaklukan air. Tidak hanya air setenang air telaga itu, tetapi air yang sedang
murka sekalipun. Arya Salaka pernah terjun ke dalam gelombang yang ganas untuk
menyelamatkan alat-alat penangkap ikannya bersama-sama kawan-kawannya. Bahkan
darah pelaut yang mengalir di dalam tubuh ayahnya, ternyata mengalir pula di
dalam tubuhnya. Pada masa kanak-kanaknya ia telah berani berkelahi dengan
seekor uling yang cukup besar di dalam rawa. Sedang pada saat ia menginjak
dewasa, ia menerjunkan diri dalam dunia kehidupan nelayan. Karena itu, dengan
tidak diduga oleh Uling Kuning, Arya Salaka pun dengan dahsyatnya berhasil
menyerang lawannya dari arah yang membingungkan. Sekali-kali ia melenyapkan
diri dari permukaan air, kemudian muncullah ia di tempat yang tak terduga-duga.
Seandainya musuhnya bukan seorang yang memang sejak kecil hidup bergulat dengan
air, maka Arya pasti akan dengan mudahnya dapat membinasakan. Tetapi sekarang
ia menemukan lawan yang seimbang. Maka pertempuran itu semakin lama menjadi
semakin sengit. Air di sekitar tempat itu menjadi seolah-olah mendidih.
Buih-buih yang putih bergolak dengan hebatnya diantara bayangan hitam yang
timbul-tenggelam bersama-sama. Bahkan kedua bayangan itu akhirnya seolah-olah
berpadu menjadi satu dan bergolak bukan main hebatnya.
Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara beserta Endang Widuri yang berdiri di tepi telaga menjadi
cemas. Apalagi ketika tiba-tiba bayangan yang hitam itu lenyap seperti ditelan
putaran air yang melingkar-lingkar. Mahesa Jenar kemudian menjadi tidak sabar
lagi menunggui saja di tepi telaga. Karena itu segera ia melepas baju serta
kainnya. Hanya dengan celana saja Mahesa Jenar meloncat pula ke dalam air, dan
berenang cepat-cepat ke arah kedua bayangan itu tenggelam. Sementara itu Arya
berjuang mati-matian melawan maut. Uling Kuning benar-benar tangguh bertempur
di dalam air. Tangannya benar-benar dapat melilit seperti seekor Uling yang
melilit korbannya. Untunglah bahwa Arya memiliki tenaga raksasa, sehingga
dengan pukulan-pukulan yang keras, ia selalu dapat membebaskan diri dari belitan
Uling Kuning. Namun akhirnya usaha Uling Kuning itu berhasil. Seperti gila ia
tidak menghiraukan sama sekali pukulan-pukulan terakhir yang dilontarkan oleh
Arya Salaka yang tenaganya semakin lama semakin kendor. Bahkan tiba-tiba terasa
sesuatu menjerat di lehernya. Ternyata Uling Kuning telah berhasil mengurai
cambuk lemasnya, dan berhasil membelit leher Arya dengan senjatanya itu. Dengan
demikian seolah-olah nafas Arya menjadi tersumbat. Ia meronta sekuat tenaga,
namun tenaga Uling Kuning itu semakin erat menarik belitan cambuknya pada leher
Arya. Dalam keadaan demikian Arya menjadi marah bukan buatan dan mengamuk
sejadi-jadinya. Dengan kakinya ia menangkap tubuh Uling Kuning dan tidak mau
melepaskannya lagi. Sedang kedua tangannya berusaha untuk mencekik leher
lawannya. Namun sayang ia tidak berhasil. Meskipun demikian kakinya menjadi
seperti terkunci dan dengan kerasnya membelit perut lawannya.
Perasaan muak
dan nyeri pada perut Uling Kuning menjadi semakin hebat. Dengan sekuat tenaga
ia mencoba untuk menahan perasaan itu. Sebab pada hematnya, sebentar lagi Arya
pasti sudah tidak akan dapat bernafas dan dengan demikian ia akan bebas. Dalam
keadaan yang demikian itulah mereka bersama-sama berputar-putar dan akhirnya
bersama-sama tenggelam. Bagi Arya tidak ada jalan lain kecuali mati
bersama-sama daripada mati seorang diri. Itulah sebabnya, ketika terasa senjata
Uling Kuning membelit lehernya semakin keras, kakinya pun menjadi semakin keras
menekan perut lawannya itu, supaya Uling Kuning ikut serta terseret ke dalam
air. Sedang tangannya berusaha untuk mengurangi tekanan lilitan cambuk di
lehernya. Tetapi dalam pada itu, tiba-tiba ia teringat bahwa pada saat ia
menerjunkan diri ke dalam air. Kiai Bancak telah disarungkannya.
TEPAT pada
saat-saat terakhir, dengan sisa tenaga yang ada Arya menarik tombak pusaka
kebesaran Banyubiru, dan dengan sepenuh nafsu kemarahannya ditekankan ujung
tombak itu ke dalam perut lawannya. Terdengarlah suara menggelegak sesaat.
Setelah itu terasa tarikan cambuk yang membelit lehernya menjadi semakin
kendor. Sadarlah Arya bahwa ia berhasil membunuh Uling Kuning dengan tombaknya.
Karena itu dilepaskannya belitan kakinya, dan setelah air di sekitarnya
dipenuhi dengan merahnya darah, ia berusaha untuk berenang ke permukaan air. Namun
tenaganya sudah sedemikian lemahnya. Bagaimanapun juga ia berusaha, tetapi pada
saat ia berhasil menegakkan kepalanya ke permukaan air terasa bahwa matanya
menjadi berkunang-kunang. Ketika Arya mencoba memandang bintang-bintang yang
gemerlapan di langit, maka yang tampak seolah-olah mendung yang tebal
menggantung di udara. Hitam dan kelam. Yang diingatnya pada saat terakhir
adalah menyarungkan tombaknya yang baginya sama harganya dengan kepalanya,
kembali ke dalam sarungnya. Sesudah itu semuanya seperti lenyap dari
ingatannya.
Ketika ia
tersadar, terasa seolah-olah sebuah mimpi yang indah membayang di hadapannya.
Meskipun tubuhnya masih terasa dingin oleh pakaiannya yang basah, namun
dilihatnya beberapa orang duduk di sekitarnya, pada sebuah balai-balai besar.
Sebuah lampu minyak yang terang, menyala-nyala dengan riangnya, seolah-olah
ikut serta bergembira untuk keselamatan Arya Salaka. Ketika ia sempat
mengamat-amati wajah-wajah di sekitarnya, tampaklah gurunya yang sedang
merenunginya dengan seksama. Kebo Kanigara, Rara Wilis, Widuri, Wanamerta,
Wiradapa dan beberapa orang lagi yang dikenalnya sebagai orang-orang Gedangan.
Demikian ia mulai menggerakkan matanya, tampaklah keriangan membersit di
wajah-wajah mereka yang dengan kecemasan menungguinya. Apalagi Mahesa Jenar.
Dengan tergopoh-gopoh ia bergerak maju dan dengan hati-hati ditempelkannya
kupingnya pada dada Arya untuk mendengarkan detak jantung anak itu.
“Arya…”
bisiknya.
Arya mencoba
tersenyum, namun kulit wajahnya serasa membeku.
“Kakang
Wiradapa…” kata Mahesa Jenar perlahan-lahan.
“Pinjamilah
anak ini pakaian kering”.
Dengan
tergesa-gesa Wiradapa bangkit, dan sesaat kemudian ia telah kembali dengan
pakaian-pakaian kering. Dengan kain panjang, tubuh Arya diselimuti rapat-rapat,
dan kemudian dilepaskannya pakaian-pakaiannya yang basah. Sesaat kemudian
terasa tubuhnya menjadi agak hangat. Tetapi dalam pada itu, ingatannya masih
belum pulih benar. Ia masih belum mengerti dimana ia berada. Dinding-dinding
ruangan itu nampaknya masih kabur serta dilapisi selaput yang buram.
Dengan susah
payah akhirnya terdengar ia berdesis,
“Di manakah
aku sekarang…?”
“Kau berada di
Kelurahan Gedangan, Arya. Tenangkan pikiranmu. Semuanya sudah selesai,” sahut
Mahesa Jenar.
“Uling
Kuning…?” bisiknya perlahan.
“Ia tidak akan
mengganggumu lagi,” jawab Mahesa Jenar.
“Jadi, aku
berhasil…?” sambungnya.
“Ya, kau
berhasil,” jawab Mahesa Jenar pula.
Arya menarik
nafas dalam-dalam. Kemudian terdengarlah ia bergumam,
“Tuhan Maha
Besar.”
Yang mendengar
gumaman Arya itu menjadi terharu. Mereka semakin yakin bahwa anak itu tidak
saja akan menjadi seorang yang berjiwa besar, tetapi ia juga akan menjadi
seorang pemimpin yang saleh. Seorang pemimpin yang akan membawa rakyatnya
berjalan sepanjang jalan Allah. Dalam usianya yang semuda itu, sudah tampaklah
sifat-sifat Arya Salaka yang cemerlang. Jauh dari kesombongan dan nafsu
membalas dendam. Cinta kepada manusia dan kemanusiaan, serta memandang alam ini
dengan penuh cinta kasih pula. Setelah mengucapkan kata-kata itu hati Arya menjadi
tenteram. Tetapi bersamaan dengan perasaan itu, tubuhnya mulai berasa betapa
penat dan sakitnya. Tulang-tulangnya serasa berderak-derak patah, serta
sendi-sendinya seperti terlepas. Luka di lengan serta lambungnya menjadi pedih
sekali. Cambuk Uling itu telah menyobek kulitnya. Disamping itu, lehernyapun
terasa nyeri. bekas-bekas cambuk Uling Kuning masih meninggalkan bekas-bekas
goresan merah. Meskipun demikian Arya Salaka berusaha untuk melupakan semua
sakit-sakit yang dideritanya. Tetapi suatu pekerjaan yang berat, bahkan sangat
berat telah diselesaikan. Melenyapkan Uling Putih dan Uling Kuning sekaligus.
Kemudian tahulah ia, bahwa Mahesa Jenarlah yang telah menolongnya, ketika ia
pingsan di tengah-tengah telaga, setelah ia berkelahi melawan Uling Kuning.
Gurunya itu datang tepat pada saatnya, yang kemudian menyambarnya dan
menariknya ke tepi. Kalau saja Mahesa Jenar terlambat beberapa saat saja,
mungkin iapun telah binasa seperti Uling Kuning.
Ketika
orang-orang yang mengerumuninya mengetahui bahwa keadaannya telah berangsur
baik, maka satu demi satu mereka meninggalkan tempat itu. Yang tinggal kemudian
hanya beberapa orang saja. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Rara Wilis, Widuri,
Wanamerta dan Wiradapa. Dengan pertolongan beberapa orang, Kebo Kanigara mendapatkan
beberapa macam daun-daunan serta akar-akar yang diperlukan untuk mengobati luka
Arya. Untunglah bahwa dalam beberapa hal Kebo Kanigara telah belajar pada
Panembahan Ismaya, sehingga dengan cekatan ia dapat mengobati luka-luka itu.
Beberapa saat kemudian tampaklah keadaan Arya Salaka berangsur baik. Bahkan
kemudian ia sudah dapat tidur. Dengan demikian ia dapat beristirahat lahir dan
batin.
UNTUK beberapa
hari Arya perlu beristirahat benar-benar untuk menyembuhkan luka-lukanya serta
memulihkan tenaganya. Sebab setelah ia bertempur mati-matian, terasa
seolah–olah tenaganya telah terhisap habis. Dalam saat-saat itu, Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara telah berusaha menjadikan orang-orang Gedangan lebih masak
lagi. Sebab untuk seterusnya tidaklah selalu Mahesa Jenar, Arya Salaka dan Kebo
Kanigara akan dapat berada di tempat itu. Meskipun menurut perhitungan Mahesa
Jenar dan Kebo Kanigara, musuh tidak akan datang kembali. Orang-orang yang
berkepentingan langsung dengan daerah Gedangan telah binasa. Sedangkan laskar
Pamingitpun menurut dugaan Mahesa Jenar tidak akan segera kembali. Mereka pasti
harus mempertimbangkan kekuatan yang ada di daerah kecil ini. Mereka pada
saat-saat yang lalu pasti tidak akan menduga bahwa di daerah ini ada
orang-orang seperti Kebo Kanigara dan bahkan orang yang berjubah abu-abu, yang
tanpa diduga-duga datang menolong. Setelah Arya sudah pulih kembali kesehatan
serta tenaganya, maka mulailah mereka mempertimbangkan apa yang akan dilakukan
seterusnya. Menurut pertimbangan Kebo Kanigara, maka yang sebaik baiknya adalah
menghadap Panembahan Ismaya dan melaporkan apa yang telah terjadi serta
menyatakan keselamatan diri.
Kemudian
mereka terpaksa minta diri kepada orang-orang Gedangan, setelah mereka
mengalami suka duka bersama, berjuang bersama. Tentu saja orang-orang Gedangan
menjadi kecewa atas perpisahan itu. Tetapi perpisahan itu harus terjadi,
sebagaimana matahari akan tenggelam pada senja hari setelah sehari penuh
sinarnya memancari permukaan bumi. Demikianlah pula setiap pertemuan pasti akan
diikuti dengan perpisahan. Cepat atau lambat. Karena tak ada sesuatu yang kekal
di muka bumi ini. Setiap kali selalu ada perubahan-perubahan dan
putaran-putaran peristiwa. Seperti berputarnya bola bumi itu sendiri. Sekali
sebagian wajahnya menjadi terang benderang karena cahaya matahari tetapi sekali
menjadi gelap oleh bayangannya sendiri.
Kepada
orang-orang Gedangan Mahesa Jenar mencoba untuk menjelaskan hal itu. Kemudian
katanya mengakhiri karena itu selagi kita berada ditempat yang terang. janganlah
kita bersombong diri. Janganlah kita menganggap bahwa di sana ada dunia yang
gelap, yang hanya diperuntukkan bagi mereka yang tidak berhak menikmati
terangnya sinar matari. Tetapi dalam keadaan demikian, kita justru harus
mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, bahwa kita masih berkesempatan
untuk memandang udara yang cerah. Sebab pada saat yang lain, kitapun akan
sampai pada daerah yang kelam. Pada saat yang demikian kita harus berdoa,
semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu menerangi hati kita menjelang masa depan yang
cerah. Akhirnya Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Rara Wilis, Arya Salaka, Endang
Widuri dan Wanamerta terpaksa dilepas pergi, meskipun dengan berat hati.
Meskipun demikian, mereka berkesempatan untuk mengadakan sekedar selamatan
perpisahan, meskipun sederhana.
Ketika
cerahnya matahari pagi sedang memercik di atas dedaunan, berjalanlah sebuah
rombongan yang kecil meninggalkan desa Gedangan menuju ke pebukitan Karang
Tumaritis. Di sepanjang jalan tidaklah banyak yang mereka percakapkan, sebab
kepala mereka masing-masing dipenuhi oleh kenangan-kenangan atas peristiwa yang
baru saja terjadi. Tetapi tidaklah demikian dengan Mahesa Jenar dan Arya
Salaka. Selain kenangan-kenangan yang sekali-sekali membayang di dalam
ingatannya, mereka juga berangan-angan tentang masa depan. Tentang Sawung
Sariti beserta ayahnya Ki Ageng Lembu Sora. Tentang daerah perdikan Banyubiru.
Dan yang tidak kalah pentingnya, tentang pusaka-pusaka Demak, Kyai Nagasasra
dan Kyai Sabuk Inten. Dengan diketemukannya kedua keris itu, maka banyak hal
yang sekaligus dapat diurai. Sebab keadaan Ki Ageng Gajah Sora pun sebagian
tergantung pada keris-keris itu. Yang juga terlintas di dalam otak Mahesa Jenar
adalah cara penyelesaian yang secepat-cepatnya mengenai Banyubiru. Tidaklah sepantasnya
kalau Arya Salaka masih harus menyembunyikan diri terus-menerus. Karena itu
bagi Mahesa Jenar, sebaiknya Arya Salaka yang datang ke Banyubiru, dan dengan
berterus terang menyatakan diri sebagai pengganti ayahnya, kepala daerah
perdikan Banyubiru. Tetapi pelaksanaan rencana itu haruslah diolah
semasak-masaknya. Sebab setiap kesalahan akan dapat menimbulkan akibat yang
sama sekali tidak diharapkan.
Rombongan
kecil itu berjalan menyusur jalan-jalan pegunungan dengan tenangnya.
Sekali-kali mereka harus meloncat-loncat di atas batu-batu padas. Dan dengan
demikian mereka telah mengejutkan burung-burung liar yang sedang bertengger di
atas karang-karang terjal yang menjorok di tebing-tebing pegunungan. Pada saat
rombongan kecil, yang terdiri dari Kebo Kanigara beserta putrinya Endang
Widuri. Mahesa Jenar, Rara Wilis, Arya Salaka dan Wanamerta sampai di Padepokan
Karang Tumaritis, mereka melihat Panembahan Ismaya sedang duduk dikerumuni
beberapa orang cantrik. Agaknya Panembahan itu sedang bercakap-cakap atau
berceritera tentang suatu hal yang sangat menarik. Sebab tidaklah lazim
Panembahan Ismaya memberi wejangan dan pelajaran dengan cara yang demikian.
Ketika salah seorang cantrik melihat kedatangan rombongan itu, serta
memberitahukan kepada Panembahan Ismaya, maka dengan tergopoh-gopoh Panembahan
tua itu berdiri dan menyambut. Dipersilahkannya rombongan itu duduk pula
bersama-sama dengan para cantrik. Yang pertama-tama ditanyakan adalah
keselamatan mereka yang baru saja datang menghadap. Kebo Kanigaralah yang
mewakili menjawab setiap pertanyaan Panembahan Ismaya, serta menyampaikan bakti
mereka bersama-sama.
PANEMBAHAN
Ismaya mendengarkan semua ceritera Kebo Kanigara dengan penuh perhatian. Kata
demi kata seolah-olah dicernakan kembali didalam otaknya untuk dapat menangkap
saripatinya.
“Syukurlah
kalau kalian selamat,” katanya kemudian, namun wajahnya tampak muram.
“Karena
pangestu Panembahan,” jawab Kebo Kanigara.
“Sebenarnya
aku telah mendengar apa yang terjadi di Gedangan, dari tembang-rawat-rawat
bakul sinambi wara. Juga seorang cantrik yang sedang turun untuk menukarkan
hasil pertanian kami, mendengar pula ceritera tentang pertempuran yang terjadi
di Gedangan.”
Panembahan
Ismaya berhenti sejenak. Wajahnya yang muram itu menatap dengan tajam ke arah
mata Kebo Kanigara yang kemudian menundukkan kepalanya.
“Dan aku
mendengar pula…” sambung Panembahan Ismaya,
“Bahwa pada
kedua belah pihak jatuh korban.”
“Ya.” jawab
Kanigara pendek sambil masih menekurkan kepalanya.
“Dalam setiap
perselisihan dan kekerasan akan jatuh korban,” sambung Panembahan Ismaya
bergumam seperti kepada dirinya sendiri.
“Besar atau
kecil, seperti apa yang baru saja terjadi.”
Sekali lagi
Panembahan tua itu berhenti, menelan ludahnya. Lalu kemudian ia berkata kepada
salah seorang cantrik,
“Kenapa belum
kalian sajikan minuman untuk para tamu ini?”
Seorang
cantrik segera berdiri dan pergi ke belakang untuk menyiapkan minuman bagi
rombongan yang memang kehausan itu. Setelah mengucapkan kata-kata itu.
Panembahan Ismaya tidak meneruskan kata-katanya. Bahkan kemudian tampaklah ia
menundukkan wajahnya. Agaknya ada sesuatu yang menyumbat kerongkongannya. Yang
melihat hal itu, tak seorangpun yang berani mengucapkan sepatah katapun.
Meskipun hati mereka diliputi oleh berbagai pertanyaan namun mulut mereka
terkatub rapat.
Baru beberapa
saat kemudian Panembahan tua itu berkata,
“Anak-anakku
semua. Baru saja aku memperkatakan angger Arya Salaka. Aku dengar bahwa angger
mengalami peristiwa yang hampir menyeretnya kedalam kesulitan.”
Arya Salaka
membungkukkan badannya, dan dengan hormatnya ia menjawab,
“Benar
Panembahan. Tetapi Tuhan yang Maha Murah telah membebaskan aku dari cengkeraman
maut.”
Panembahan
Ismaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya lirih,
“Angger, baru
saja memperkatakan angger dengan para cantrik. Peristiwa seperti apa yang
terjadi atas daerah Perdikan Banyubiru itu telah berulang kali terjadi. Dalam
lingkungan yang besar dan dalam lingkungan yang lebih kecil. Pertentangan yang
terjadi diantara keluarga sendiri.”
Panembahan
Ismaya berhenti sesaat, seolah-olah hendak menunggu sampai kata-katanya meresap
kedalam otak bocah itu. Kemudian ia meneruskan,
“Baru saja aku
berceritera kepada para cantrik. Ceritera tentang masa-masa lalu, yang pernah
aku dengar dari mulut ke mulut, atau yang pernah aku baca dari lontar-lontar.
Keretakan demi keretakan, perselisihan demi perselisihan dan pertempuran demi
pertempuran telah berulang kali menusuk jantung kita sendiri. Usaha yang telah
dikerjakan dengan bekerja keras dan penuh keprihatinan, akhirnya dihancurkan
oleh ketamakan dan pemanjaan nafsu.”
“Kisah tentang
kebesaran Baginda Erlangga di Jawa Timur adalah satu diantaranya. Dengan susah
payah baginda Erlangga berusaha untuk membina persatuan dari seluruh
kerajaannya. Dibekali dengan sakit dan lapar. Dengan mesu raga disepanjang
bukit dan hutan. Sehingga oleh Empu Kanwa Baginda dipersamakan dengan Arjuna
dalam Kakawin Arjunawiwaha. Tetapi yang kemudian terpaksa membagi daerah yang
dengan susah payah disatukan itu menjadi dua. Itu sebenarnya bukanlah peristiwa
yang paling menyedihkan didalam hidupnya. Tetapi lebih daripada itu
pewaris-pewarisnya ternyata telah menyobek-nyobek dada sendiri. Terutama
Janggala, yang semakin lama menjadi semakin surut. Dan akhirnya lenyap dari
percaturan sejarah. Sedang Kediri agaknya masih dapat bertahan lebih lama lagi.
Namun negara inipun mengalami peristiwa yang sama.”
“Baginda
Jayabaya terpaksa harus berperang melawan kadang sendiri, yaitu Jayasaba.
Tetapi apa yang mereka dapatkan dari perselisihan-perselisihan itu? Kediri pun
semakin lama semakin surut. Dan hanyutlah Kediri pada jaman Baginda Kertajaya,
dilanda oleh kekuatan yang tumbuh dari lingkungan yang tak dapat diketahui.”
“Ken Arok,
yang kemudian bergelar Rajasa Sang Amurwabhumi. Tetapi kekuatan inipun kemudian
terpecah belah. Pertengkaran-pertengkaran timbul. Golongan yang satu melawan
golongan yang lain. Pengikut-pengikut Anusapati dari darah Tunggul Ametung
melawan golongan Tohjaya dari darah Sang Amurwabhumi dengan isterinya yang
kedua Ken Umang. Juga mereka tidak mendapatkan sesuatu dari pertengkaran ini
kecuali kelemahan dan mendorong diri sendiri ke tepi jurang keruntuhan. Ketika
golongan-golongan itu telah tidak lagi saling berdesak-desakan, datanglah
Kertanegara. Tetapi tanpa disangka-sangka, di dalam tubuh kekuasaan Kertanegara
terdapatlah Ardaraja, yang membantu kekuatan dari luar untuk menghancurkan
Singasari. Juga Singasari kemudian runtuh. Setelah itu lahirlah Majapahit
dengan megahnya.”
“Kesatuan dan
persatuan dapat dibina dengan cucuran keringat Sang Maha Patih Gajah Mada.
Karena itulah Majapahit menjadi mercusuar dari negara-negara yang
terserak-serak dari Gurun, Seran, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali,
Sunda, Palembang, Tumasik dan banyak daerah-daerah lagi. Juga dengan
negara-negara tetangga Syangka, Darmanegari, Campa, Kamboja dan masih banyak
lagi.”
Sekali lagi
Panembahan Ismaya berhenti untuk sesaat. Arya mendengar ceritera Panembahan
Ismaya itu dengan penuh perhatian. Beberapa dari ceritera itu pernah
didengarnya dari gurunya. Namun kali ini rasa-rasanya ceritera itu lebih
meresap daripada yang pernah didengarnya.
PANEMBAHAN
Ismaya meneruskan,
“Tetapi
Majapahit pun kemudian menjadi surut. Sepeninggal Gajah Mada dan Baginda Hayam
Wuruk, Majapahit seolah-olah kehilangan alas. Perang yang timbul diantara
keluarga sendiri semakin mempercepat kehancurannya. Perang Saudara yang
menyedihkan terjadi, ketika Blambangan tidak mau tunduk lagi. Sebab Adipati
Blambangan merasa berhak pula atas tahta Majapahit. Akibat perang saudara yang
disebut Perang Paregreg inilah maka Majapahit benar-benar telah menghancurkan
dirinya sendiri. Sebab setelah itu Kerajaan Besar yang telah mengalami perang
saudara selama 5 tahun itu benar-benar telah lumpuh dan tidak mampu
mengembangkan sayapnya kembali. Raja-raja yang ada kemudian sama sekali tidak
berarti. Adipati-adipati dan Bupati-bupati kemudian lebih senang memisahkan
diri dan mendirikan negara-negara kecil yang terpecah belah.”
“Dalam pada
itu, bangkitlah kemudian kerajaan Demak. Nah, dalam hal ini anakmas Mahesa
Jenar akan lebih banyak tahu daripada aku. Namun satu hal yang sekarang angat
mencemaskan. Kebesaran Demakpun agaknya terganggu. Dua garis keturunan yang aku
dengar sekarang ini sedang dalam keadaan yang kurang menyenangkan. Garis
keturunan Sultan Trenggana dan garis keturunan Sekar Seda Lepen.”
Panembahan
Ismaya mengakhiri ceriteranya. Pandangan matanya yang lunak beredar dari wajah
yang satu ke wajah yang lain. Sedangkan mereka yang mendegarkan ceritera itu,
dengan cermatnya mengikuti setiap persoalan. Apalagi Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara. Mereka tidak mendengar kisah itu sebagai kisah melulu. Kisah yang
harus disesali bahwa hal-hal yang menyedihkan itu telah terjadi. Tetapi lebih
daripada itu, masa yang lampau itu hendaknya menjadi cermin atas masa datang perpecahan
demi perpecahan, perselisihan demi perselisihan antara keluarga sendiri. Dan
itu terjadi sekarang. Ya, sekarang ini. Dan ini mengancam keselamatan kerajaan
Demak. Mahesa Jenar menundukkan wajahnya. Demikian pula Kebo Kanigara sebagai
seorang bangsawan cucu dari salah seorang yang pernah merajai Majapahit,
hatinya tersentuh pula.
Arya Salaka
yang tidak mengerti terlalu jauh tentang ceritera itu berusaha untuk
menghubungkan dengan peristiwa di daerahnya, Banyubiru. Setiap kali ia merasa,
bahwa memang hal yang serupa telah terjadi. Dalam lingkungan yang kecil, Tanah
Perdikan Banyubiru. Namun demikian ia tidak tahu, bagaimana seharusnya ia
memecahkan masalah yang dihadapinya. Tetapi ia tidak perlu bingung. Sebab nanti
akan dapat menanyakan itu kepada gurunya. Dalam keheningan itu tiba-tiba
terdengar Panembahan Ismaya berkata dengan nada yang berbeda,
“Nah anak-anak
sekalian. Aku terlalu tergesa-gesa untuk berceritera, sampai aku lupa bahwa
kalian sedang lelah dan perlu beristirahat. Karena itu, silahkan kalian
membersihkan diri, dan kemudian biarlah para cantrik melayani kalian makan
bersama. Akupun perlu beristirahat setelah terlalu lama bermain-main dengan
para cantrik.”
Kemudian
ditinggalkannya Kebo Kanigara beserta rombongannya oleh Panembahan Ismaya untuk
mengaso di dalam sanggarnya.
Kemudian
merekapun segera menempati tempat mereka masing-masing seperti pada saat mereka
berada di tempat itu. Dan untuk waktu-waktu seterusnya, kembalilah mereka
menjadi bagian dari masyarakat kecil di atas bukit Karang Tumaritis. Kebo
Kanigara kembali dalam kedudukannya sebagai seorang Putut bersama Mahesa Jenar
dan Arya Salaka, Wilis dan Widuri pun kembali pula hidup diantara para Endang
di padukuhan itu. Tetapi dalam pada itu, ada yang selalu menyentuh-nyentuh perasaan
Mahesa Jenar. Ceritera Panembahan Ismaya tentang keadaan Demak sekarang sangat
menarik perhatiannya. Ia selalu menghubung-hubungkan ceritera itu dengan
pusaka-pusaka Demak yang hilang. Yaitu Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.
Apakah kalau pusaka itu diketemukan, dan kemudian dimiliki oleh salah seorang
dari garis keturunan itu, keadaan lalu jadi tenang? Tiba-tiba Mahesa Jenar
teringat kepada orang yang berjubah abu-abu, yang pernah datang ke Banyubiru
dan mengambil kedua keris itu. Lebih daripada itu. Mahesa Jenar teringat dengan
gamblangnya seorang yang berjubah abu-abu pula, yang dijumpainya di
perjalanannya pada saat ia sedang kehilangan akal. Pada saat hatinya
seolah-olah pecah karena hubungannya dengan Rara Wilis yang pada saat itu
diantarkan oleh Sarayuda. Pada saat ia meninggalkan Arya Salaka di perjalanan
dan berusaha untuk melupakan anak itu. Pada saat itu dijumpainya orang yang
berjubah abu-abu itu. Teringat dengan jelasnya orang itu berkata kepadanya,
ketika ia bertanya di mana kedua keris itu berada. Katanya,
“Mahesa Jenar,
kedua keris itu berada di dalam kekerasan hatimu serta usahamu”. Lalu orang
berjubah itu meneruskan,
“Hati-hatilah
kelak kau memilih. Ada dua keturunan yang merasa berhak memiliki keris itu.
Keturunan Trenggana dan Keturunan Sekar Seda Lepen. Pilihlah siapa diantara
mereka yang mengutamakan kepentingan rakyat serta kesejahteraan negara.
Kepadanya keris itu kau serahkan”.
SUARA itu
seolah-olah kini terngiang kembali dalam telinganya. Suara orang yang berjubah
abu-abu. Tiba-tiba ia menghubungkan pesan orang berjubah abu-abu itu dengan
ceritera Panembahan Ismaya. Dua garis keturunan yang diam-diam mengandung
pertentangan, garis keturunan Sultan Trenggana dan garis keturunan Sekar Seda
Lepen. Hati Mahesa Jenar kemudian menjadi berdebar-debar. Apakah hubungannya
antara ceritera Panembahan Ismaya dan orang yang berjubah abu-abu itu. Dan
apakah sebabnya maka orang yang berjubah abu-abu itu tiba-tiba saja muncul di
dalam pertempuran yang terjadi beberapa saat yang lalu, ketika pasukannya
sedang dalam keadaan yang sangat berbahaya? Persoalan-persoalan itu selalu
melingkar-lingkar di dalam relung dada Mahesa Jenar, bahkan kemudian telah
mendorongnya untuk menilai setiap keadaan paling kecilpun dalam usahanya untuk
menemukan jawaban teka-teki yang selalu mengganggu otaknya itu. Malahan lebih
daripada itu, ia sudah bertekad untuk menemukan suatu kepastian, bahwa orang
yang berjubah abu-abu dan orang yang menamakan dirinya Panembahan Ismaya
pastilah ada tali yang menghubungkan mereka itu. Dalam usahanya itu mula-mula
Mahesa Jenar tidak ingin berkata kepada seorangpun. Untuk sementara ia ingin
bekerja sendiri.
Dihubung-hubungkannya
semua yang pernah dilihat dan didengarnya, yang pernah dialami dan pernah
dihayati selama ini. Meskipun dalam beberapa hari kemudian tak ada sesuatu yang
menjelaskan dugaannya, namun dengan sabarnya ia bekerja terus. Sebab apabila
hal itu bisa dipecahkan, akan terbukalah beberapa masalah sekaligus. Tetapi
akhirnya kepada Kebo Kanigara, seorang yang telah banyak memberi bantuan
kepadanya dalam pencapaiannya atas taraf peresapan ilmunya lebih sempurna lagi,
Mahesa Jenar ternyata tidak dapat berahasia. Kepada Kebo Kanigara
diceriterakannya semua yang pernah dialami dan semua dugaan yang tersimpan di
dalam dadanya. Mendengar semuanya itu, Kanigara mengerutkan keningnya
tinggi-tinggi. Wajahnya berubah menjadi tegang. Dan dengan hati-hati ia
menjawab,
“Mahesa Jenar,
meskipun aku telah agak lama tinggal di padepokan ini, namun banyak hal yang
tidak aku ketahui tentang Panembahan Ismaya. Yang aku ketahui adalah,
Panembahan Ismaya memang sering meninggalkan padepokan ini. Seterusnya aku
tidak tahu.”
Mahesa Jenar
dapat mempercayai kata-kata Kebo Kanigara itu. Sebab orang yang berjubah
abu-abu itu pasti tidak menginginkan seorangpun mengetahui keadaan sebenarnya.
Dalam pada itu tiba-tiba Mahesa Jenar mendapatkan suatu pikiran yang barangkali
akan dapat memperjelas persoalan. Dan ketika pikirannya itu disampaikan kepada
Kanigara, ia menjadi tersenyum dan menjawab,
“Mahesa Jenar,
otakmu benar-benar terang. Dan beruntunglah semua pengalaman yang pernah kau
alami dapat kau pergunakan sebaik-baiknya. Aku sependapat dengan rencanamu, dan
aku akan membantumu.”
Kemudian
bersepakatlah mereka untuk mencoba memecahkan teka-teki yang rumit itu. Kali
ini mereka akan menempuh jalan yang sedikit berbahaya. Namun apabila jalan yang
dilewatinya benar, akan terpecahkanlah persoalan itu.
Pada suatu
malam, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara meninggalkan Padepokan Karang Tumaritis.
Kepada Rara Wilis dan Endang Widuri, mereka berpesan bahwa mereka akan menempuh
suatu perjalanan yang agak panjang, untuk menyelesaikan banyak persoalan,
sehingga mereka tidak perlu ikut. Sedang kepada Arya Salaka, dipesankan untuk
menyampaikan kepergian mereka besok pagi, langsung kepada Panembahan Ismaya,
tidak kepada orang lain. Juga tidak kepada Rara Wilis dan Endang Widuri. Ketika
pada pagi harinya Arya Salaka menyampaikan pesan itu kepada Panembahan Ismaya,
panembahan tua itu tiba-tiba mengerutkan keningnya.
Wajahnya berubah
membayangkan kecemasan. Kepada Arya, ia bertanya,
“Arya…
kapankah mereka berangkat?”
“Semalam
Panembahan,” jawab Arya.
“Kenapa mereka
tidak mengatakan keperluannya itu kepadaku?”
“Kedua paman
itu takut kalau Panembahan tidak mengijinkan. Sebab Panembahan selalu tidak
memperkenankan paman-paman itu untuk melakukan kekerasan untuk mencapai
maksudnya, apabila tidak terpaksa sekali.”
Kembali
Panembahan Ismaya mengerutkan keningnya. Namun karena kebijaksanaannya, Arya
tidak dapat mengerti tanggapan apa yang menjalar dalam dada orang tua itu.
“Arya…” kata
Panembahan pula,
“Adakah
paman-pamanmu itu yakin bahwa mereka akan menemukan apa yang dicarinya?”
“Ya Eyang…
kedua paman itu yakin bahwa yang dicarinya itu ada di sana,” jawab Arya.
“Seharusnya
mereka minta ijin dulu kepadaku,” gumamnya, lalu katanya meneruskan,
“Tetapi
semuanya sudah terlanjur. Kaulah sekarang yang harus menggantikan kedua pamanmu
menuntun para cantrik dan semua penghuni padepokan ini.”
Panembahan tua
itu menyesali perbuatan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Dalam hal ini, Arya
Salaka pun menjadi heran. Apakah salahnya kalau kedua pamannya minta ijin lebih
dulu? Kalau masalahnya benar-benar penting, apalagi menyangkut kedua keris
pusaka Demak itu, pasti Panembahan Ismaya akan mengijinkan. Tetapi Arya Salaka
tidak mau berpikir terlalu panjang. Kalau kedua pamannya itu berbuat demikian,
pastilah ada hal yang memaksa mereka melakukan itu.
SEMENTARA itu
Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar telah jauh meninggalkan Padepokan Karang
Tumaritis. Mereka pergi ke arah timur dan kadang-kadang mereka mengarah ke
utara, dengan tujuan Banyubiru. Perjalanan itu memang agak jauh. Lewat
tanah-tanah yang berbatu-batu tajam dan kadang-kadang mereka harus mendaki
lereng-lereng terjal. Untunglah bahwa sebelum mereka menempuh perjalanan itu
mereka sempat singgah di Gedangan untuk mendapatkan dua ekor kuda yang baik.
Dengan kuda itulah mereka menempuh perjalanan. Diiringi oleh derap kaki-kaki
kuda mereka yang berirama menyentuh batu-batu padas di bawah sinar matahari
pagi, setelah mereka beristirahat beberapa lama. Burung-burung yang hinggap di
batang-batang pohon liar memandang kedua penunggang kuda itu dengan kagumnya.
Seolah-olah mereka sudah mengenalnya dengan baik, bahwa kedua orang itu adalah
dua orang perkasa yang sedang dalam perjalanan yang berbahaya. Namun demikian,
wajah-wajah mereka itu tampak betapa cerahnya secerah matahari pagi, yang
memandang jalan yang terbentang di hadapannya dengan penuh keyakinan. Meskipun
batu-batu padas menjorok menghadang perjalanan mereka, mereka sama sekali tidak
mempedulikannya.
Kuda-kuda itu
berlari dengan kecepatan sedang. Beberapa saat kemudian mereka menyusup
hutan-hutan yang tidak begitu lebat. Tetapi semakin mereka menyusup ke jantung
hutan itu, terasa bahwa hutan itu menjadi semakin padat. Meskipun demikian
perjalanan mereka sama sekali tidak terganggu. Kuda-kuda mereka pun seolah-olah
terpengaruh oleh kebesaran tekad para penunggangnya. Ketika matahari menjadi
terik, seakan-akan ingin membakar hutan itu. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
menghentikan perjalanan mereka, pada saat mereka menjumpai air. Mereka segera
membiarkan kuda-kuda mereka minum, sedang mereka berduapun beristirahat pula.
Setelah puas, barulah mereka meneruskan perjalanan kembali. Tujuan mereka yang
sebenarnya bukanlah kota Banyubiru. Banyubiru bagi Mahesa Jenar hanyalah
merupakan ancar-ancar ke arah tujuannya. Karena beberapa orang Banyubiru telah
mengenalnya, maka ia sengaja memasuki kota itu, setelah malam menjadi gelap.
Dari Banyubiru, Mahesa Jenar menyusup ke utara. Melewati hutan-hutan yang tidak
begitu lebat untuk kemudian membelok ke arah Timur. Mendaki lambung Bukit
Gajahmungkur dan seterusnya menyusur sepanjang lerengnya ke utara.
Pada sebuah
puncak kecil dari bukit-bukit yang merentang membujur ke utara itu Mahesa Jenar
berhenti.
”Kakang
Kanigara, di sini aku pernah berkelahi melawan orang-orang dari golongan hitam
hampir seluruhnya,” kata Mahesa Jenar.
”Siapa saja?”
tanya Kebo Kanigara.
”Sima Rodra
muda suami istri, sepasang Uling, Lawa Idjo dan Lembu Sora,” jawab Mahesa
Jenar.
No comments:
Post a Comment