Bagian 049


IA percaya bahwa gadis itu akan mampu untuk menahan serangan Uling Kuning dalam waktu yang cukup lama. Ia mengharap bahwa keadaan akan memungkinkannya untuk membantu. Apalagi ketika dilihatnya Uling Kuning menjadi gelisah karena serangan pertama kaki Widuri yang tepat mengenai bagian bawah perutnya. Ternyata bahwa akibat dari serangan itu sangat menguntungkan. Sebab untuk seterusnya tenaga Uling Kuning sangat terpengaruh oleh perasaan muak dan sakit yang melilit-lilit di dalam rongga perutnya. Tetapi Arya tidak mempunyai kesempatan lebih lama lagi untuk menilai pertempuran antara Widuri dan Uling Kuning. Sebab pada saat itu Uling Putih telah menyerangnya pula, bagaikan badai yang datang bergulung-gulung. Tetapi agaknya badai itu menghantam gunung yang tegak dengan perkasanya, serta tak setapakpun bergeser dari tempatnya. Di tempat yang sepi itu telah terjadi dua lingkaran pertempuran. Uling Putih yang menyesal, bahwa ia tak berhasil mempergunakan saat yang ditunggu-tunggu menjadi semakin marah. Cambuknya berputar-putar semakin cepat. Tetapi lawannya menjadi semakin garang pula. Luka di lengan dan lambung Arya telah menambahnya semakin teguh.

Ujung tombaknya yang bercahaya kebiru-biruan, mematuk-matuk ke segenap bagian tubuh lawan seolah-olah menjadi beribu-ribu mata tombak yang datang dari segala arah. Sejalan dengan itu, dada Uling Putih terasa menjadi semakin sesak. Beberapa kali ia meloncat menjauhi lawannya untuk mendapat kesempatan menarik nafas dalam-dalam. Namun lawannya bukan pula seorang yang tidak mengetahui keadaannya. Karena setiap ia berusaha untuk mendapat kesempatan itu, Arya Salaka selalu dengan garangnya mendesak maju. Kepada lawannya yang sangat berbahaya itu, Arya sama sekali tidak mau memberi kesempatan sama sekali. Bahkan kemudian, tiba-tiba ia teringat pada suatu pagi yang cerah di Banyubiru. Pada saat ia berhasil menangkap seekor Uling dari Rawa Pening. Pada saat itu Mahesa Jenar berkata kepadanya, bahwa bukan Uling seperti yang ditangkapnya itulah yang berbahaya di daerah sekitar Rawa Pening, tetapi sepasang Uling yang sekarang berhadapan melawannya itulah yang dicemaskan. Diingatnya pada saat itu, ia seolah-olah berjanji kepada Mahesa Jenar, bahwa sepasang Uling itupun kelak akan dibunuhnya. Sepasang Uling yang selalu membayangi kekuasaan ayahnya di Banyubiru. Bahkan telah berterus terang kepadanya, bahwa sepasang Uling itupun sekarang sedang dalam perjuangan untuk dapat merebut kedudukan ayahnya itu lewat segala macam lekuk-liku dan cara-cara yang licik. Karena itu, dada Arya Salaka menjadi semakin menggelegak. Baginya tidak ada pilihan lain daripada berusaha untuk memenuhi harapannya, membinasakan sepasang Uling yang berhati hitam itu. Kebulatan tekadnya itu seolah-olah telah mempengaruhi tenaganya. Ia seolah-olah telah mendapat tenaga yang maha besar mengalir lewat pembuluh-pembuluh darahnya ke segenap bagian tubuhnya. Karena itu, maka apa yang terjadi kemudian sangat mengejutkan lawannya. Dengan penuh keyakinan di dalam dadanya, Arya melanda lawannya seperti ombak lautan yang digoncangkan badai. Dengan garangnya, segulung demi segulung, berturut-turut menghantam tebing, yang akhirnya akan runtuh berguguran.

Uling Putih akhirnya merasakan, bahwa tekanan serangan Arya Salaka menjadi semakin dahsyat. Bahkan tiba-tiba ketika ia sedang mati-matian mempertahankan dirinya, terasa tangannya yang memegang cambuk itu bergetar. Dan apa yang dilihatnya sangat mengejutkannya. Ternyata ujung cambuknya telah terpotong oleh ketajaman tombak Arya Salaka. Dengan demikian, Uling Putih menjadi cemas. Satu-satunya senjata yang selama ini dibangga-banggakannya telah terpotong. Ia menjadi bertambah cemas lagi ketika ia melirik ke arah adiknya. Dalam sekilas Arya menyaksikan gadis itu dapat melawan Uling Kuning dengan baiknya setelah UlingKuning dikenainya lebih dahulu. Dengan demikian ia tidak dapat mengharap Uling Kuning akan dapat membantunya. Tetapi Uling Putih adalah seorang yang berhati batu. Meskipun pertempuan yang telah berlangsung itu mengatakan kepadanya bahwa Arya Salaka bukanlah anak-anak yang hanya dapat bermain loncat-loncatan, namun ia telah bertekad untuk memenangkan pertempuran itu dan membunuhnya. Karena itu ia menjadi semakin buas. Geraknya semakin lama menjadi semakin liar. Dalam keadan yang demikian itulah Arya benar-benar berusaha menguasai keadaan. Ia bertempur dengan hati-hati. Ia tidak saja mempergunakan tenaganya, tetapi ia memperhitungkan pula setiap keadaan dan kemungkinan.
Ketika bulan muda telah membenamkan dirinya di balik punggung pegunungan, terdengarlah suatu jeritan ngeri mengumandang membentur dinding-dinding bukit. Jerit ngeri yang patah. Dan kemudian disusul dengan suara tubuh yang jatuh terbanting. Sesaat kemudian kembali malam terlempar ke dalam suasana yang sepi, Arya Salaka tampak tegak berdiri dengan tangan yang gemetar memegang Kiai Bancak yang berlumuran darah. Darah Uling Putih yang kini terbaring tak bernafas di hadapannya. Yang terdengar pada saat itu hanya dengus nafas Arya Salaka yang melonjak-lonjak.

Tetapi Arya Salaka tidak mendapat kesempatan untuk menyaksikan tubuh lawannya itu lebih lama lagi. Sebab tiba-tiba ia melihat sebuah bayangan yang meloncat lari. Itulah Uling Kuning yang setelah tertegun sejenak bersama lawannya, Endang Widuri, yang seperti terpesona, menjadi sadar bahwa bahaya maut telah mengancamnya. Karena itu ia akan berusaha untuk menghindarkan dirinya. Tetapi Arya telah melihat bayangannya. Dengan secepat kilat dikejarnya Uling Kuning itu. Terhadap orang-orang yang demikian itu Arya tidak dapat berbuat lain kecuali membinasakan. Itulah sebabnya maka Arya sama sekali tidak mau lagi memberi kesempatan kepada Uling Kuning untuk meloloskan diri. Demikian pula Endang Widuri. Ia tidak mau pula ketinggalan. Maka segera iapun berlari mengejar kedua bayangan yang berlari berkejar-kejaran. Namun kedua bayangan itu kemudian lenyap menyusup ke dalam semak-semak. Untuk seterusnya Endang Widuri kehilangan jejak. Karena itu ia menjadi bingung. Ia tidak tahu kemana ia harus pergi. Sedang jalan kembalipun tak diketahuinya pula. Untuk beberapa saat Endang Widuri berdiri termangu-mangu. Tiba-tiba, ketika ia sedang mencari-cari jalan terdengarlah gemersik daun di belakangnya. Cepat ia meloncat memutar tubuhnya, dan berdiri dengan teguhnya di atas kedua kakinya yang renggang setengah langkah serta tangannya yang disilangkan di muka dadanya, siap untuk menghadapi setiap kemungkinan yang akan terjadi.

Dalam sepi malam, terdengar langkah itu semakin jelas. Bahkan kemudian dilihatnya dalam gelap malam dua bayangan yang berjalan dengan tetap ke arahnya. Endang Widuri yang baru saja bertempur melawan Uling Kuning, masih saja merasa dipengaruhi oleh suasana perkelahian. Karena itu ia menyambut kedatangan dua bayangan itu dengan sikap yang garang, siap untuk bertempur. Tetapi kemudian ia terkejut ketika didengarnya sebuah tawa yang lunak, yang sudah terlalu sering didengarnya.
“Ayah…!” teriaknya sambil berlari menyambut kedatangan bayangan yang sudah semakin dekat.
“Apa yang kau kerjakan di sini?” tanya Kebo Kanigara.
“Berkelahi,” jawab gadis itu.
“Hem… desis ayahnya. Aku memang sudah mengira. Apalagi ketika aku jumpai sesosok mayat dibalik semak-semak di sebelah.”
“Kakang Arya telah membunuhnya,” jawab Widuri.
Kebo Kanigara memandang wajah Mahesa Jenar, kawannya berjalan dengan wajah yang berkerut. Ia ingin mengetahui bagaimanakah pendapatnya mengenai muridnya.
“Aku sudah menduga pula, bahwa anak itu akan membunuhnya pada suatu saat. Dan sekarang hal itu sudah dilakukannya,” gumam Mahesa Jenar seperti kepada dirinya sendiri.
“Darimana ayah dan Paman Mahesa Jenar tahu bahwa kami berada di sini?” tanya Widuri.
“Ketika hari sudah gelap, dan kau berdua tidak juga datang, aku menjadi cemas. Seseorang telah melihat kau berjalan ke arah ini sore tadi. Dan yang terakhir teriakan seseorang, yang mungkin adalah teriakan Uling Putih pada saat dadanya disobek oleh tombak Arya, telah menuntun aku kemari. Tepat pada saat kami datang, kami melihat kau berlari-lari. Karena itulah maka aku dapat menemukan kau di sini,” jawab ayahnya.
“Tetapi aku kehilangan jejak Kakang Arya Salaka,” sahut Widuri.
“Marilah kita cari. Agaknya ia akan terlibat pula dalam pertempuran melawan Uling Kuning. Padahal tenaganya sudah jauh susut karena kelelahan,” potong Mahesa Jenar.

Mereka tidak berkata-kata lagi. Tetapi segera mereka melangkah menyibak daun-daun yang pekat, yang menghadang di hadapan mereka. Dengan matanya yang tajam, Mahesa Jenar dapat melihat bekas-bekas ranting yang tersibak patah-patah oleh injakan dan sentuhan tubuh Uling Kuning dan Arya Salaka, yang berkejar-kejaran. Dengan demikian meskipun agak sulit dan perlahan-lahan, Mahesa Jenar dapat mencari jejak mereka berdua. Ternyata perjalanan itu cukup panjang. Ketika mereka telah hampir tidak sabar lagi, tiba-tiba kaki mereka menginjak tanah yang gembur basah. Semakin lama semakin dalam. Dan sejalan dengan itu, semak-semaknya pun menjadi bertambah tipis.
“Tanahnya mengandung air,” desis Mahesa Jenar.
“Aku kira kita sampai ke rawa atau telaga,” sahut Kebo Kanigara.
Apa yang mereka perkirakan adalah benar. Sesaat kemudian mereka sampai ke daerah yang ditumbuhi batang-batang ilalang, dan kemudian di hadapan mereka terbentang telaga yang tidak terlampau luas. Agaknya Uling Kuning berusaha melarikan diri dengan bersembunyi di telaga itu.
Ketika mereka sudah berdiri di tepi telaga, serta melayangkan pandangan berkeliling, tiba-tiba terlihatlah sesuatu yang bergerak-gerak di dalam telaga itu.

DEMIKIAN Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara melihat bayangan itu, segera mereka mengerti bahwa yang bergerak-gerak itu pastilah Arya Salaka dan Uling Kuning yang sedang bertempur di dalam air. Untuk sesaat Mahesa Jenar tertegun. Ia menjadi cemas melihat pertempuran di dalam air itu. Apalagi Kebo Kanigara. Sebab mereka tahu bahwa hampir sepanjang hidupnya Uling Kuning berada di sekitar tanah yang berawa-rawa, sehingga baginya, air merupakan tempat berlindung yang terbaik. Kemudian Widuri pun melihat perkelahian itu, namun baginya tidaklah demikian jelas, apakah yang terjadi. Sementara itu, Arya Salaka yang tidak mau melepaskan Uling Kuning, terpaksa mengejarnya pula terjun ke dalam telaga. Ia sadar bahwa Uling Kuning berharap, lewat telaga itu ia akan mampu melepaskan dirinya. Atau kalau terpaksa ia terlibat di dalam perkelahian, maka perkelahian di dalam air akan banyak memberinya keuntungan. Dan apa yang diharapkan itu terjadilah. Arya tidak peduli lagi apa yang akan terjadi, meskipun ia terpaksa berkelahi di dalam air. Demikianlah pertempuran itu berlangsung dengan sengitnya. Disamping mereka harus berjuang untuk tidak terbinasakan oleh lawan, mereka juga harus menjaga diri mereka supaya tidak tenggelam.
Uling Kuning adalah seorang yang seolah-olah dapat hidup di dalam air. Tangan dan kakinya benar-benar dapat dipergunakan dengan baik seperti itik mempergunakan sayap serta kakinya, atau binatang air mempergunakan sirip-siripnya. Karena itu, ia dapat dengan lincahnya bertempur.

Namun sayang bahwa perasaan muak dan nyeri di dalam perutnya tidak juga mau hilang. Apalagi yang dihadapi adalah Arya Salaka. Uling Kuning tidak pernah mimpi bahwa anak itu pernah hidup sebagai anak nelayan di pantai Tegal Arang. Bahkan meskipun tidak begitu lama, namun Arya telah memiliki pengalaman yang cukup untuk menaklukan air. Tidak hanya air setenang air telaga itu, tetapi air yang sedang murka sekalipun. Arya Salaka pernah terjun ke dalam gelombang yang ganas untuk menyelamatkan alat-alat penangkap ikannya bersama-sama kawan-kawannya. Bahkan darah pelaut yang mengalir di dalam tubuh ayahnya, ternyata mengalir pula di dalam tubuhnya. Pada masa kanak-kanaknya ia telah berani berkelahi dengan seekor uling yang cukup besar di dalam rawa. Sedang pada saat ia menginjak dewasa, ia menerjunkan diri dalam dunia kehidupan nelayan. Karena itu, dengan tidak diduga oleh Uling Kuning, Arya Salaka pun dengan dahsyatnya berhasil menyerang lawannya dari arah yang membingungkan. Sekali-kali ia melenyapkan diri dari permukaan air, kemudian muncullah ia di tempat yang tak terduga-duga. Seandainya musuhnya bukan seorang yang memang sejak kecil hidup bergulat dengan air, maka Arya pasti akan dengan mudahnya dapat membinasakan. Tetapi sekarang ia menemukan lawan yang seimbang. Maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Air di sekitar tempat itu menjadi seolah-olah mendidih. Buih-buih yang putih bergolak dengan hebatnya diantara bayangan hitam yang timbul-tenggelam bersama-sama. Bahkan kedua bayangan itu akhirnya seolah-olah berpadu menjadi satu dan bergolak bukan main hebatnya.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara beserta Endang Widuri yang berdiri di tepi telaga menjadi cemas. Apalagi ketika tiba-tiba bayangan yang hitam itu lenyap seperti ditelan putaran air yang melingkar-lingkar. Mahesa Jenar kemudian menjadi tidak sabar lagi menunggui saja di tepi telaga. Karena itu segera ia melepas baju serta kainnya. Hanya dengan celana saja Mahesa Jenar meloncat pula ke dalam air, dan berenang cepat-cepat ke arah kedua bayangan itu tenggelam. Sementara itu Arya berjuang mati-matian melawan maut. Uling Kuning benar-benar tangguh bertempur di dalam air. Tangannya benar-benar dapat melilit seperti seekor Uling yang melilit korbannya. Untunglah bahwa Arya memiliki tenaga raksasa, sehingga dengan pukulan-pukulan yang keras, ia selalu dapat membebaskan diri dari belitan Uling Kuning. Namun akhirnya usaha Uling Kuning itu berhasil. Seperti gila ia tidak menghiraukan sama sekali pukulan-pukulan terakhir yang dilontarkan oleh Arya Salaka yang tenaganya semakin lama semakin kendor. Bahkan tiba-tiba terasa sesuatu menjerat di lehernya. Ternyata Uling Kuning telah berhasil mengurai cambuk lemasnya, dan berhasil membelit leher Arya dengan senjatanya itu. Dengan demikian seolah-olah nafas Arya menjadi tersumbat. Ia meronta sekuat tenaga, namun tenaga Uling Kuning itu semakin erat menarik belitan cambuknya pada leher Arya. Dalam keadaan demikian Arya menjadi marah bukan buatan dan mengamuk sejadi-jadinya. Dengan kakinya ia menangkap tubuh Uling Kuning dan tidak mau melepaskannya lagi. Sedang kedua tangannya berusaha untuk mencekik leher lawannya. Namun sayang ia tidak berhasil. Meskipun demikian kakinya menjadi seperti terkunci dan dengan kerasnya membelit perut lawannya.

Perasaan muak dan nyeri pada perut Uling Kuning menjadi semakin hebat. Dengan sekuat tenaga ia mencoba untuk menahan perasaan itu. Sebab pada hematnya, sebentar lagi Arya pasti sudah tidak akan dapat bernafas dan dengan demikian ia akan bebas. Dalam keadaan yang demikian itulah mereka bersama-sama berputar-putar dan akhirnya bersama-sama tenggelam. Bagi Arya tidak ada jalan lain kecuali mati bersama-sama daripada mati seorang diri. Itulah sebabnya, ketika terasa senjata Uling Kuning membelit lehernya semakin keras, kakinya pun menjadi semakin keras menekan perut lawannya itu, supaya Uling Kuning ikut serta terseret ke dalam air. Sedang tangannya berusaha untuk mengurangi tekanan lilitan cambuk di lehernya. Tetapi dalam pada itu, tiba-tiba ia teringat bahwa pada saat ia menerjunkan diri ke dalam air. Kiai Bancak telah disarungkannya.

TEPAT pada saat-saat terakhir, dengan sisa tenaga yang ada Arya menarik tombak pusaka kebesaran Banyubiru, dan dengan sepenuh nafsu kemarahannya ditekankan ujung tombak itu ke dalam perut lawannya. Terdengarlah suara menggelegak sesaat. Setelah itu terasa tarikan cambuk yang membelit lehernya menjadi semakin kendor. Sadarlah Arya bahwa ia berhasil membunuh Uling Kuning dengan tombaknya. Karena itu dilepaskannya belitan kakinya, dan setelah air di sekitarnya dipenuhi dengan merahnya darah, ia berusaha untuk berenang ke permukaan air. Namun tenaganya sudah sedemikian lemahnya. Bagaimanapun juga ia berusaha, tetapi pada saat ia berhasil menegakkan kepalanya ke permukaan air terasa bahwa matanya menjadi berkunang-kunang. Ketika Arya mencoba memandang bintang-bintang yang gemerlapan di langit, maka yang tampak seolah-olah mendung yang tebal menggantung di udara. Hitam dan kelam. Yang diingatnya pada saat terakhir adalah menyarungkan tombaknya yang baginya sama harganya dengan kepalanya, kembali ke dalam sarungnya. Sesudah itu semuanya seperti lenyap dari ingatannya.

Ketika ia tersadar, terasa seolah-olah sebuah mimpi yang indah membayang di hadapannya. Meskipun tubuhnya masih terasa dingin oleh pakaiannya yang basah, namun dilihatnya beberapa orang duduk di sekitarnya, pada sebuah balai-balai besar. Sebuah lampu minyak yang terang, menyala-nyala dengan riangnya, seolah-olah ikut serta bergembira untuk keselamatan Arya Salaka. Ketika ia sempat mengamat-amati wajah-wajah di sekitarnya, tampaklah gurunya yang sedang merenunginya dengan seksama. Kebo Kanigara, Rara Wilis, Widuri, Wanamerta, Wiradapa dan beberapa orang lagi yang dikenalnya sebagai orang-orang Gedangan. Demikian ia mulai menggerakkan matanya, tampaklah keriangan membersit di wajah-wajah mereka yang dengan kecemasan menungguinya. Apalagi Mahesa Jenar. Dengan tergopoh-gopoh ia bergerak maju dan dengan hati-hati ditempelkannya kupingnya pada dada Arya untuk mendengarkan detak jantung anak itu.
“Arya…” bisiknya.
Arya mencoba tersenyum, namun kulit wajahnya serasa membeku.
“Kakang Wiradapa…” kata Mahesa Jenar perlahan-lahan.
“Pinjamilah anak ini pakaian kering”.
Dengan tergesa-gesa Wiradapa bangkit, dan sesaat kemudian ia telah kembali dengan pakaian-pakaian kering. Dengan kain panjang, tubuh Arya diselimuti rapat-rapat, dan kemudian dilepaskannya pakaian-pakaiannya yang basah. Sesaat kemudian terasa tubuhnya menjadi agak hangat. Tetapi dalam pada itu, ingatannya masih belum pulih benar. Ia masih belum mengerti dimana ia berada. Dinding-dinding ruangan itu nampaknya masih kabur serta dilapisi selaput yang buram.
Dengan susah payah akhirnya terdengar ia berdesis,
“Di manakah aku sekarang…?”
“Kau berada di Kelurahan Gedangan, Arya. Tenangkan pikiranmu. Semuanya sudah selesai,” sahut Mahesa Jenar.
“Uling Kuning…?” bisiknya perlahan.
“Ia tidak akan mengganggumu lagi,” jawab Mahesa Jenar.
“Jadi, aku berhasil…?” sambungnya.
“Ya, kau berhasil,” jawab Mahesa Jenar pula.
Arya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian terdengarlah ia bergumam,
“Tuhan Maha Besar.”

Yang mendengar gumaman Arya itu menjadi terharu. Mereka semakin yakin bahwa anak itu tidak saja akan menjadi seorang yang berjiwa besar, tetapi ia juga akan menjadi seorang pemimpin yang saleh. Seorang pemimpin yang akan membawa rakyatnya berjalan sepanjang jalan Allah. Dalam usianya yang semuda itu, sudah tampaklah sifat-sifat Arya Salaka yang cemerlang. Jauh dari kesombongan dan nafsu membalas dendam. Cinta kepada manusia dan kemanusiaan, serta memandang alam ini dengan penuh cinta kasih pula. Setelah mengucapkan kata-kata itu hati Arya menjadi tenteram. Tetapi bersamaan dengan perasaan itu, tubuhnya mulai berasa betapa penat dan sakitnya. Tulang-tulangnya serasa berderak-derak patah, serta sendi-sendinya seperti terlepas. Luka di lengan serta lambungnya menjadi pedih sekali. Cambuk Uling itu telah menyobek kulitnya. Disamping itu, lehernyapun terasa nyeri. bekas-bekas cambuk Uling Kuning masih meninggalkan bekas-bekas goresan merah. Meskipun demikian Arya Salaka berusaha untuk melupakan semua sakit-sakit yang dideritanya. Tetapi suatu pekerjaan yang berat, bahkan sangat berat telah diselesaikan. Melenyapkan Uling Putih dan Uling Kuning sekaligus. Kemudian tahulah ia, bahwa Mahesa Jenarlah yang telah menolongnya, ketika ia pingsan di tengah-tengah telaga, setelah ia berkelahi melawan Uling Kuning. Gurunya itu datang tepat pada saatnya, yang kemudian menyambarnya dan menariknya ke tepi. Kalau saja Mahesa Jenar terlambat beberapa saat saja, mungkin iapun telah binasa seperti Uling Kuning.
Ketika orang-orang yang mengerumuninya mengetahui bahwa keadaannya telah berangsur baik, maka satu demi satu mereka meninggalkan tempat itu. Yang tinggal kemudian hanya beberapa orang saja. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Rara Wilis, Widuri, Wanamerta dan Wiradapa. Dengan pertolongan beberapa orang, Kebo Kanigara mendapatkan beberapa macam daun-daunan serta akar-akar yang diperlukan untuk mengobati luka Arya. Untunglah bahwa dalam beberapa hal Kebo Kanigara telah belajar pada Panembahan Ismaya, sehingga dengan cekatan ia dapat mengobati luka-luka itu. Beberapa saat kemudian tampaklah keadaan Arya Salaka berangsur baik. Bahkan kemudian ia sudah dapat tidur. Dengan demikian ia dapat beristirahat lahir dan batin.

UNTUK beberapa hari Arya perlu beristirahat benar-benar untuk menyembuhkan luka-lukanya serta memulihkan tenaganya. Sebab setelah ia bertempur mati-matian, terasa seolah–olah tenaganya telah terhisap habis. Dalam saat-saat itu, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara telah berusaha menjadikan orang-orang Gedangan lebih masak lagi. Sebab untuk seterusnya tidaklah selalu Mahesa Jenar, Arya Salaka dan Kebo Kanigara akan dapat berada di tempat itu. Meskipun menurut perhitungan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, musuh tidak akan datang kembali. Orang-orang yang berkepentingan langsung dengan daerah Gedangan telah binasa. Sedangkan laskar Pamingitpun menurut dugaan Mahesa Jenar tidak akan segera kembali. Mereka pasti harus mempertimbangkan kekuatan yang ada di daerah kecil ini. Mereka pada saat-saat yang lalu pasti tidak akan menduga bahwa di daerah ini ada orang-orang seperti Kebo Kanigara dan bahkan orang yang berjubah abu-abu, yang tanpa diduga-duga datang menolong. Setelah Arya sudah pulih kembali kesehatan serta tenaganya, maka mulailah mereka mempertimbangkan apa yang akan dilakukan seterusnya. Menurut pertimbangan Kebo Kanigara, maka yang sebaik baiknya adalah menghadap Panembahan Ismaya dan melaporkan apa yang telah terjadi serta menyatakan keselamatan diri.
Kemudian mereka terpaksa minta diri kepada orang-orang Gedangan, setelah mereka mengalami suka duka bersama, berjuang bersama. Tentu saja orang-orang Gedangan menjadi kecewa atas perpisahan itu. Tetapi perpisahan itu harus terjadi, sebagaimana matahari akan tenggelam pada senja hari setelah sehari penuh sinarnya memancari permukaan bumi. Demikianlah pula setiap pertemuan pasti akan diikuti dengan perpisahan. Cepat atau lambat. Karena tak ada sesuatu yang kekal di muka bumi ini. Setiap kali selalu ada perubahan-perubahan dan putaran-putaran peristiwa. Seperti berputarnya bola bumi itu sendiri. Sekali sebagian wajahnya menjadi terang benderang karena cahaya matahari tetapi sekali menjadi gelap oleh bayangannya sendiri.

Kepada orang-orang Gedangan Mahesa Jenar mencoba untuk menjelaskan hal itu. Kemudian katanya mengakhiri karena itu selagi kita berada ditempat yang terang. janganlah kita bersombong diri. Janganlah kita menganggap bahwa di sana ada dunia yang gelap, yang hanya diperuntukkan bagi mereka yang tidak berhak menikmati terangnya sinar matari. Tetapi dalam keadaan demikian, kita justru harus mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, bahwa kita masih berkesempatan untuk memandang udara yang cerah. Sebab pada saat yang lain, kitapun akan sampai pada daerah yang kelam. Pada saat yang demikian kita harus berdoa, semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu menerangi hati kita menjelang masa depan yang cerah. Akhirnya Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Rara Wilis, Arya Salaka, Endang Widuri dan Wanamerta terpaksa dilepas pergi, meskipun dengan berat hati. Meskipun demikian, mereka berkesempatan untuk mengadakan sekedar selamatan perpisahan, meskipun sederhana.

Ketika cerahnya matahari pagi sedang memercik di atas dedaunan, berjalanlah sebuah rombongan yang kecil meninggalkan desa Gedangan menuju ke pebukitan Karang Tumaritis. Di sepanjang jalan tidaklah banyak yang mereka percakapkan, sebab kepala mereka masing-masing dipenuhi oleh kenangan-kenangan atas peristiwa yang baru saja terjadi. Tetapi tidaklah demikian dengan Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Selain kenangan-kenangan yang sekali-sekali membayang di dalam ingatannya, mereka juga berangan-angan tentang masa depan. Tentang Sawung Sariti beserta ayahnya Ki Ageng Lembu Sora. Tentang daerah perdikan Banyubiru. Dan yang tidak kalah pentingnya, tentang pusaka-pusaka Demak, Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Dengan diketemukannya kedua keris itu, maka banyak hal yang sekaligus dapat diurai. Sebab keadaan Ki Ageng Gajah Sora pun sebagian tergantung pada keris-keris itu. Yang juga terlintas di dalam otak Mahesa Jenar adalah cara penyelesaian yang secepat-cepatnya mengenai Banyubiru. Tidaklah sepantasnya kalau Arya Salaka masih harus menyembunyikan diri terus-menerus. Karena itu bagi Mahesa Jenar, sebaiknya Arya Salaka yang datang ke Banyubiru, dan dengan berterus terang menyatakan diri sebagai pengganti ayahnya, kepala daerah perdikan Banyubiru. Tetapi pelaksanaan rencana itu haruslah diolah semasak-masaknya. Sebab setiap kesalahan akan dapat menimbulkan akibat yang sama sekali tidak diharapkan.

Rombongan kecil itu berjalan menyusur jalan-jalan pegunungan dengan tenangnya. Sekali-kali mereka harus meloncat-loncat di atas batu-batu padas. Dan dengan demikian mereka telah mengejutkan burung-burung liar yang sedang bertengger di atas karang-karang terjal yang menjorok di tebing-tebing pegunungan. Pada saat rombongan kecil, yang terdiri dari Kebo Kanigara beserta putrinya Endang Widuri. Mahesa Jenar, Rara Wilis, Arya Salaka dan Wanamerta sampai di Padepokan Karang Tumaritis, mereka melihat Panembahan Ismaya sedang duduk dikerumuni beberapa orang cantrik. Agaknya Panembahan itu sedang bercakap-cakap atau berceritera tentang suatu hal yang sangat menarik. Sebab tidaklah lazim Panembahan Ismaya memberi wejangan dan pelajaran dengan cara yang demikian. Ketika salah seorang cantrik melihat kedatangan rombongan itu, serta memberitahukan kepada Panembahan Ismaya, maka dengan tergopoh-gopoh Panembahan tua itu berdiri dan menyambut. Dipersilahkannya rombongan itu duduk pula bersama-sama dengan para cantrik. Yang pertama-tama ditanyakan adalah keselamatan mereka yang baru saja datang menghadap. Kebo Kanigaralah yang mewakili menjawab setiap pertanyaan Panembahan Ismaya, serta menyampaikan bakti mereka bersama-sama.

PANEMBAHAN Ismaya mendengarkan semua ceritera Kebo Kanigara dengan penuh perhatian. Kata demi kata seolah-olah dicernakan kembali didalam otaknya untuk dapat menangkap saripatinya.
“Syukurlah kalau kalian selamat,” katanya kemudian, namun wajahnya tampak muram.
“Karena pangestu Panembahan,” jawab Kebo Kanigara.
“Sebenarnya aku telah mendengar apa yang terjadi di Gedangan, dari tembang-rawat-rawat bakul sinambi wara. Juga seorang cantrik yang sedang turun untuk menukarkan hasil pertanian kami, mendengar pula ceritera tentang pertempuran yang terjadi di Gedangan.”
Panembahan Ismaya berhenti sejenak. Wajahnya yang muram itu menatap dengan tajam ke arah mata Kebo Kanigara yang kemudian menundukkan kepalanya.
“Dan aku mendengar pula…” sambung Panembahan Ismaya,
“Bahwa pada kedua belah pihak jatuh korban.”
“Ya.” jawab Kanigara pendek sambil masih menekurkan kepalanya.
“Dalam setiap perselisihan dan kekerasan akan jatuh korban,” sambung Panembahan Ismaya bergumam seperti kepada dirinya sendiri.
“Besar atau kecil, seperti apa yang baru saja terjadi.”

Sekali lagi Panembahan tua itu berhenti, menelan ludahnya. Lalu kemudian ia berkata kepada salah seorang cantrik,
“Kenapa belum kalian sajikan minuman untuk para tamu ini?”
Seorang cantrik segera berdiri dan pergi ke belakang untuk menyiapkan minuman bagi rombongan yang memang kehausan itu. Setelah mengucapkan kata-kata itu. Panembahan Ismaya tidak meneruskan kata-katanya. Bahkan kemudian tampaklah ia menundukkan wajahnya. Agaknya ada sesuatu yang menyumbat kerongkongannya. Yang melihat hal itu, tak seorangpun yang berani mengucapkan sepatah katapun. Meskipun hati mereka diliputi oleh berbagai pertanyaan namun mulut mereka terkatub rapat.
Baru beberapa saat kemudian Panembahan tua itu berkata,
“Anak-anakku semua. Baru saja aku memperkatakan angger Arya Salaka. Aku dengar bahwa angger mengalami peristiwa yang hampir menyeretnya kedalam kesulitan.”
Arya Salaka membungkukkan badannya, dan dengan hormatnya ia menjawab,
“Benar Panembahan. Tetapi Tuhan yang Maha Murah telah membebaskan aku dari cengkeraman maut.”
Panembahan Ismaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya lirih,
“Angger, baru saja memperkatakan angger dengan para cantrik. Peristiwa seperti apa yang terjadi atas daerah Perdikan Banyubiru itu telah berulang kali terjadi. Dalam lingkungan yang besar dan dalam lingkungan yang lebih kecil. Pertentangan yang terjadi diantara keluarga sendiri.”

Panembahan Ismaya berhenti sesaat, seolah-olah hendak menunggu sampai kata-katanya meresap kedalam otak bocah itu. Kemudian ia meneruskan,
“Baru saja aku berceritera kepada para cantrik. Ceritera tentang masa-masa lalu, yang pernah aku dengar dari mulut ke mulut, atau yang pernah aku baca dari lontar-lontar. Keretakan demi keretakan, perselisihan demi perselisihan dan pertempuran demi pertempuran telah berulang kali menusuk jantung kita sendiri. Usaha yang telah dikerjakan dengan bekerja keras dan penuh keprihatinan, akhirnya dihancurkan oleh ketamakan dan pemanjaan nafsu.”
“Kisah tentang kebesaran Baginda Erlangga di Jawa Timur adalah satu diantaranya. Dengan susah payah baginda Erlangga berusaha untuk membina persatuan dari seluruh kerajaannya. Dibekali dengan sakit dan lapar. Dengan mesu raga disepanjang bukit dan hutan. Sehingga oleh Empu Kanwa Baginda dipersamakan dengan Arjuna dalam Kakawin Arjunawiwaha. Tetapi yang kemudian terpaksa membagi daerah yang dengan susah payah disatukan itu menjadi dua. Itu sebenarnya bukanlah peristiwa yang paling menyedihkan didalam hidupnya. Tetapi lebih daripada itu pewaris-pewarisnya ternyata telah menyobek-nyobek dada sendiri. Terutama Janggala, yang semakin lama menjadi semakin surut. Dan akhirnya lenyap dari percaturan sejarah. Sedang Kediri agaknya masih dapat bertahan lebih lama lagi. Namun negara inipun mengalami peristiwa yang sama.”
“Baginda Jayabaya terpaksa harus berperang melawan kadang sendiri, yaitu Jayasaba. Tetapi apa yang mereka dapatkan dari perselisihan-perselisihan itu? Kediri pun semakin lama semakin surut. Dan hanyutlah Kediri pada jaman Baginda Kertajaya, dilanda oleh kekuatan yang tumbuh dari lingkungan yang tak dapat diketahui.”
“Ken Arok, yang kemudian bergelar Rajasa Sang Amurwabhumi. Tetapi kekuatan inipun kemudian terpecah belah. Pertengkaran-pertengkaran timbul. Golongan yang satu melawan golongan yang lain. Pengikut-pengikut Anusapati dari darah Tunggul Ametung melawan golongan Tohjaya dari darah Sang Amurwabhumi dengan isterinya yang kedua Ken Umang. Juga mereka tidak mendapatkan sesuatu dari pertengkaran ini kecuali kelemahan dan mendorong diri sendiri ke tepi jurang keruntuhan. Ketika golongan-golongan itu telah tidak lagi saling berdesak-desakan, datanglah Kertanegara. Tetapi tanpa disangka-sangka, di dalam tubuh kekuasaan Kertanegara terdapatlah Ardaraja, yang membantu kekuatan dari luar untuk menghancurkan Singasari. Juga Singasari kemudian runtuh. Setelah itu lahirlah Majapahit dengan megahnya.”
“Kesatuan dan persatuan dapat dibina dengan cucuran keringat Sang Maha Patih Gajah Mada. Karena itulah Majapahit menjadi mercusuar dari negara-negara yang terserak-serak dari Gurun, Seran, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik dan banyak daerah-daerah lagi. Juga dengan negara-negara tetangga Syangka, Darmanegari, Campa, Kamboja dan masih banyak lagi.”
Sekali lagi Panembahan Ismaya berhenti untuk sesaat. Arya mendengar ceritera Panembahan Ismaya itu dengan penuh perhatian. Beberapa dari ceritera itu pernah didengarnya dari gurunya. Namun kali ini rasa-rasanya ceritera itu lebih meresap daripada yang pernah didengarnya.

PANEMBAHAN Ismaya meneruskan,
“Tetapi Majapahit pun kemudian menjadi surut. Sepeninggal Gajah Mada dan Baginda Hayam Wuruk, Majapahit seolah-olah kehilangan alas. Perang yang timbul diantara keluarga sendiri semakin mempercepat kehancurannya. Perang Saudara yang menyedihkan terjadi, ketika Blambangan tidak mau tunduk lagi. Sebab Adipati Blambangan merasa berhak pula atas tahta Majapahit. Akibat perang saudara yang disebut Perang Paregreg inilah maka Majapahit benar-benar telah menghancurkan dirinya sendiri. Sebab setelah itu Kerajaan Besar yang telah mengalami perang saudara selama 5 tahun itu benar-benar telah lumpuh dan tidak mampu mengembangkan sayapnya kembali. Raja-raja yang ada kemudian sama sekali tidak berarti. Adipati-adipati dan Bupati-bupati kemudian lebih senang memisahkan diri dan mendirikan negara-negara kecil yang terpecah belah.”
“Dalam pada itu, bangkitlah kemudian kerajaan Demak. Nah, dalam hal ini anakmas Mahesa Jenar akan lebih banyak tahu daripada aku. Namun satu hal yang sekarang angat mencemaskan. Kebesaran Demakpun agaknya terganggu. Dua garis keturunan yang aku dengar sekarang ini sedang dalam keadaan yang kurang menyenangkan. Garis keturunan Sultan Trenggana dan garis keturunan Sekar Seda Lepen.”

Panembahan Ismaya mengakhiri ceriteranya. Pandangan matanya yang lunak beredar dari wajah yang satu ke wajah yang lain. Sedangkan mereka yang mendegarkan ceritera itu, dengan cermatnya mengikuti setiap persoalan. Apalagi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Mereka tidak mendengar kisah itu sebagai kisah melulu. Kisah yang harus disesali bahwa hal-hal yang menyedihkan itu telah terjadi. Tetapi lebih daripada itu, masa yang lampau itu hendaknya menjadi cermin atas masa datang perpecahan demi perpecahan, perselisihan demi perselisihan antara keluarga sendiri. Dan itu terjadi sekarang. Ya, sekarang ini. Dan ini mengancam keselamatan kerajaan Demak. Mahesa Jenar menundukkan wajahnya. Demikian pula Kebo Kanigara sebagai seorang bangsawan cucu dari salah seorang yang pernah merajai Majapahit, hatinya tersentuh pula.

Arya Salaka yang tidak mengerti terlalu jauh tentang ceritera itu berusaha untuk menghubungkan dengan peristiwa di daerahnya, Banyubiru. Setiap kali ia merasa, bahwa memang hal yang serupa telah terjadi. Dalam lingkungan yang kecil, Tanah Perdikan Banyubiru. Namun demikian ia tidak tahu, bagaimana seharusnya ia memecahkan masalah yang dihadapinya. Tetapi ia tidak perlu bingung. Sebab nanti akan dapat menanyakan itu kepada gurunya. Dalam keheningan itu tiba-tiba terdengar Panembahan Ismaya berkata dengan nada yang berbeda,
“Nah anak-anak sekalian. Aku terlalu tergesa-gesa untuk berceritera, sampai aku lupa bahwa kalian sedang lelah dan perlu beristirahat. Karena itu, silahkan kalian membersihkan diri, dan kemudian biarlah para cantrik melayani kalian makan bersama. Akupun perlu beristirahat setelah terlalu lama bermain-main dengan para cantrik.”
Kemudian ditinggalkannya Kebo Kanigara beserta rombongannya oleh Panembahan Ismaya untuk mengaso di dalam sanggarnya.

Kemudian merekapun segera menempati tempat mereka masing-masing seperti pada saat mereka berada di tempat itu. Dan untuk waktu-waktu seterusnya, kembalilah mereka menjadi bagian dari masyarakat kecil di atas bukit Karang Tumaritis. Kebo Kanigara kembali dalam kedudukannya sebagai seorang Putut bersama Mahesa Jenar dan Arya Salaka, Wilis dan Widuri pun kembali pula hidup diantara para Endang di padukuhan itu. Tetapi dalam pada itu, ada yang selalu menyentuh-nyentuh perasaan Mahesa Jenar. Ceritera Panembahan Ismaya tentang keadaan Demak sekarang sangat menarik perhatiannya. Ia selalu menghubung-hubungkan ceritera itu dengan pusaka-pusaka Demak yang hilang. Yaitu Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Apakah kalau pusaka itu diketemukan, dan kemudian dimiliki oleh salah seorang dari garis keturunan itu, keadaan lalu jadi tenang? Tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada orang yang berjubah abu-abu, yang pernah datang ke Banyubiru dan mengambil kedua keris itu. Lebih daripada itu. Mahesa Jenar teringat dengan gamblangnya seorang yang berjubah abu-abu pula, yang dijumpainya di perjalanannya pada saat ia sedang kehilangan akal. Pada saat hatinya seolah-olah pecah karena hubungannya dengan Rara Wilis yang pada saat itu diantarkan oleh Sarayuda. Pada saat ia meninggalkan Arya Salaka di perjalanan dan berusaha untuk melupakan anak itu. Pada saat itu dijumpainya orang yang berjubah abu-abu itu. Teringat dengan jelasnya orang itu berkata kepadanya, ketika ia bertanya di mana kedua keris itu berada. Katanya,
“Mahesa Jenar, kedua keris itu berada di dalam kekerasan hatimu serta usahamu”. Lalu orang berjubah itu meneruskan,
“Hati-hatilah kelak kau memilih. Ada dua keturunan yang merasa berhak memiliki keris itu. Keturunan Trenggana dan Keturunan Sekar Seda Lepen. Pilihlah siapa diantara mereka yang mengutamakan kepentingan rakyat serta kesejahteraan negara. Kepadanya keris itu kau serahkan”.

SUARA itu seolah-olah kini terngiang kembali dalam telinganya. Suara orang yang berjubah abu-abu. Tiba-tiba ia menghubungkan pesan orang berjubah abu-abu itu dengan ceritera Panembahan Ismaya. Dua garis keturunan yang diam-diam mengandung pertentangan, garis keturunan Sultan Trenggana dan garis keturunan Sekar Seda Lepen. Hati Mahesa Jenar kemudian menjadi berdebar-debar. Apakah hubungannya antara ceritera Panembahan Ismaya dan orang yang berjubah abu-abu itu. Dan apakah sebabnya maka orang yang berjubah abu-abu itu tiba-tiba saja muncul di dalam pertempuran yang terjadi beberapa saat yang lalu, ketika pasukannya sedang dalam keadaan yang sangat berbahaya? Persoalan-persoalan itu selalu melingkar-lingkar di dalam relung dada Mahesa Jenar, bahkan kemudian telah mendorongnya untuk menilai setiap keadaan paling kecilpun dalam usahanya untuk menemukan jawaban teka-teki yang selalu mengganggu otaknya itu. Malahan lebih daripada itu, ia sudah bertekad untuk menemukan suatu kepastian, bahwa orang yang berjubah abu-abu dan orang yang menamakan dirinya Panembahan Ismaya pastilah ada tali yang menghubungkan mereka itu. Dalam usahanya itu mula-mula Mahesa Jenar tidak ingin berkata kepada seorangpun. Untuk sementara ia ingin bekerja sendiri.

Dihubung-hubungkannya semua yang pernah dilihat dan didengarnya, yang pernah dialami dan pernah dihayati selama ini. Meskipun dalam beberapa hari kemudian tak ada sesuatu yang menjelaskan dugaannya, namun dengan sabarnya ia bekerja terus. Sebab apabila hal itu bisa dipecahkan, akan terbukalah beberapa masalah sekaligus. Tetapi akhirnya kepada Kebo Kanigara, seorang yang telah banyak memberi bantuan kepadanya dalam pencapaiannya atas taraf peresapan ilmunya lebih sempurna lagi, Mahesa Jenar ternyata tidak dapat berahasia. Kepada Kebo Kanigara diceriterakannya semua yang pernah dialami dan semua dugaan yang tersimpan di dalam dadanya. Mendengar semuanya itu, Kanigara mengerutkan keningnya tinggi-tinggi. Wajahnya berubah menjadi tegang. Dan dengan hati-hati ia menjawab,
“Mahesa Jenar, meskipun aku telah agak lama tinggal di padepokan ini, namun banyak hal yang tidak aku ketahui tentang Panembahan Ismaya. Yang aku ketahui adalah, Panembahan Ismaya memang sering meninggalkan padepokan ini. Seterusnya aku tidak tahu.”

Mahesa Jenar dapat mempercayai kata-kata Kebo Kanigara itu. Sebab orang yang berjubah abu-abu itu pasti tidak menginginkan seorangpun mengetahui keadaan sebenarnya. Dalam pada itu tiba-tiba Mahesa Jenar mendapatkan suatu pikiran yang barangkali akan dapat memperjelas persoalan. Dan ketika pikirannya itu disampaikan kepada Kanigara, ia menjadi tersenyum dan menjawab,
“Mahesa Jenar, otakmu benar-benar terang. Dan beruntunglah semua pengalaman yang pernah kau alami dapat kau pergunakan sebaik-baiknya. Aku sependapat dengan rencanamu, dan aku akan membantumu.”
Kemudian bersepakatlah mereka untuk mencoba memecahkan teka-teki yang rumit itu. Kali ini mereka akan menempuh jalan yang sedikit berbahaya. Namun apabila jalan yang dilewatinya benar, akan terpecahkanlah persoalan itu.

Pada suatu malam, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara meninggalkan Padepokan Karang Tumaritis. Kepada Rara Wilis dan Endang Widuri, mereka berpesan bahwa mereka akan menempuh suatu perjalanan yang agak panjang, untuk menyelesaikan banyak persoalan, sehingga mereka tidak perlu ikut. Sedang kepada Arya Salaka, dipesankan untuk menyampaikan kepergian mereka besok pagi, langsung kepada Panembahan Ismaya, tidak kepada orang lain. Juga tidak kepada Rara Wilis dan Endang Widuri. Ketika pada pagi harinya Arya Salaka menyampaikan pesan itu kepada Panembahan Ismaya, panembahan tua itu tiba-tiba mengerutkan keningnya.
Wajahnya berubah membayangkan kecemasan. Kepada Arya, ia bertanya,
“Arya… kapankah mereka berangkat?”
“Semalam Panembahan,” jawab Arya.
“Kenapa mereka tidak mengatakan keperluannya itu kepadaku?”
“Kedua paman itu takut kalau Panembahan tidak mengijinkan. Sebab Panembahan selalu tidak memperkenankan paman-paman itu untuk melakukan kekerasan untuk mencapai maksudnya, apabila tidak terpaksa sekali.”
Kembali Panembahan Ismaya mengerutkan keningnya. Namun karena kebijaksanaannya, Arya tidak dapat mengerti tanggapan apa yang menjalar dalam dada orang tua itu.
“Arya…” kata Panembahan pula,
“Adakah paman-pamanmu itu yakin bahwa mereka akan menemukan apa yang dicarinya?”
“Ya Eyang… kedua paman itu yakin bahwa yang dicarinya itu ada di sana,” jawab Arya.
“Seharusnya mereka minta ijin dulu kepadaku,” gumamnya, lalu katanya meneruskan,
“Tetapi semuanya sudah terlanjur. Kaulah sekarang yang harus menggantikan kedua pamanmu menuntun para cantrik dan semua penghuni padepokan ini.”
Panembahan tua itu menyesali perbuatan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Dalam hal ini, Arya Salaka pun menjadi heran. Apakah salahnya kalau kedua pamannya minta ijin lebih dulu? Kalau masalahnya benar-benar penting, apalagi menyangkut kedua keris pusaka Demak itu, pasti Panembahan Ismaya akan mengijinkan. Tetapi Arya Salaka tidak mau berpikir terlalu panjang. Kalau kedua pamannya itu berbuat demikian, pastilah ada hal yang memaksa mereka melakukan itu.

SEMENTARA itu Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar telah jauh meninggalkan Padepokan Karang Tumaritis. Mereka pergi ke arah timur dan kadang-kadang mereka mengarah ke utara, dengan tujuan Banyubiru. Perjalanan itu memang agak jauh. Lewat tanah-tanah yang berbatu-batu tajam dan kadang-kadang mereka harus mendaki lereng-lereng terjal. Untunglah bahwa sebelum mereka menempuh perjalanan itu mereka sempat singgah di Gedangan untuk mendapatkan dua ekor kuda yang baik. Dengan kuda itulah mereka menempuh perjalanan. Diiringi oleh derap kaki-kaki kuda mereka yang berirama menyentuh batu-batu padas di bawah sinar matahari pagi, setelah mereka beristirahat beberapa lama. Burung-burung yang hinggap di batang-batang pohon liar memandang kedua penunggang kuda itu dengan kagumnya. Seolah-olah mereka sudah mengenalnya dengan baik, bahwa kedua orang itu adalah dua orang perkasa yang sedang dalam perjalanan yang berbahaya. Namun demikian, wajah-wajah mereka itu tampak betapa cerahnya secerah matahari pagi, yang memandang jalan yang terbentang di hadapannya dengan penuh keyakinan. Meskipun batu-batu padas menjorok menghadang perjalanan mereka, mereka sama sekali tidak mempedulikannya.

Kuda-kuda itu berlari dengan kecepatan sedang. Beberapa saat kemudian mereka menyusup hutan-hutan yang tidak begitu lebat. Tetapi semakin mereka menyusup ke jantung hutan itu, terasa bahwa hutan itu menjadi semakin padat. Meskipun demikian perjalanan mereka sama sekali tidak terganggu. Kuda-kuda mereka pun seolah-olah terpengaruh oleh kebesaran tekad para penunggangnya. Ketika matahari menjadi terik, seakan-akan ingin membakar hutan itu. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menghentikan perjalanan mereka, pada saat mereka menjumpai air. Mereka segera membiarkan kuda-kuda mereka minum, sedang mereka berduapun beristirahat pula. Setelah puas, barulah mereka meneruskan perjalanan kembali. Tujuan mereka yang sebenarnya bukanlah kota Banyubiru. Banyubiru bagi Mahesa Jenar hanyalah merupakan ancar-ancar ke arah tujuannya. Karena beberapa orang Banyubiru telah mengenalnya, maka ia sengaja memasuki kota itu, setelah malam menjadi gelap. Dari Banyubiru, Mahesa Jenar menyusup ke utara. Melewati hutan-hutan yang tidak begitu lebat untuk kemudian membelok ke arah Timur. Mendaki lambung Bukit Gajahmungkur dan seterusnya menyusur sepanjang lerengnya ke utara.

Pada sebuah puncak kecil dari bukit-bukit yang merentang membujur ke utara itu Mahesa Jenar berhenti.
”Kakang Kanigara, di sini aku pernah berkelahi melawan orang-orang dari golongan hitam hampir seluruhnya,” kata Mahesa Jenar.
”Siapa saja?” tanya Kebo Kanigara.
”Sima Rodra muda suami istri, sepasang Uling, Lawa Idjo dan Lembu Sora,” jawab Mahesa Jenar.


<<< Bagian 048                                                                                              Bagian 050 >>>

No comments:

Post a Comment