IA bahkan menjadi malu dan kaku. Ketika ia berkesempatan menghadap baginda, yang pertama ditanyakan adalah kedua ekor naga yang bersisik emas dan berbalut intan. Tetapi dengan menyesal, baginda bersabda, Naga Hitam.., kedua saudaramu itu telah meninggalkan kerajaan bumi di luar pengetahuan kami, seorang menteri yang melihatnya, menanyakan kemana mereka pergi. Naga bersisik emas menjawab bahwa ia akan pergi tanpa tujuan, sebab ia telah merasa bersalah menghinakan engkau. Sedangkan naga yang berbalut intan berkata bahwa ia minta maaf kepadamu. Juga mereka merasa malu sekali bahwa mereka tak dapat memenuhi janjinya, mengusir laki-laki dari bintang itu. Naga hitam itu menjadi sedih sekali. Hampir saja ia meneteskan air mata. Untunglah bahwa ia sadar, kalau ia sedang berada diantara mereka yang menyambutnya dengan penuh kebesaran. Dari baginda, naga hitam itu mendapat hadiah sebuah gua yang indah sekali, yang berdinding emas dan bertahtakan intan berlian. Tetapi naga hitam itu masih saja senang berkeliaran di rawa-rawa dan hutan-hutan, sebagai daerah permainannya masa kanak-kanak. Sekali waktu masih terasa kesedihan hatinya mengenang kedua ekor naga yang pergi meninggalkannya.
KI ARDI
menghentikan ceritanya sejenak. Ia membetulkan duduknya sambil kembali
mengamat-amati pahatannya, seolah-olah ingin memahami kesesuaian antara bentuk
pahatannya serta isi ceriteranya. Sagotra meskipun orang yang kasar, namun rupanya
ia gemar juga mendengarkan dongeng tentang kesaktian-kesaktian. Karena itu
ketika beberapa saat Ki Ardi masih belum melanjutkan ceriteranya, ia berkata,
“Ki Ardi
ceriteramu bagus sekali. Tetapi rupanya kau sengaja menjengkelkan kami dengan
memutus-mutus ceritera itu.”
Sekali lagi Ki
Ardi tertawa terkekeh-kekeh. Lalu jawabnya,
“Sabarlah
Sagotra, pastilah ceritera itu aku lanjutkan…. Nah dengarlah baik-baik.”
“Naga hitam
itu sepanjang waktunya masih dipergunakan untuk mengharap pada suatu saat
bertemu kembali dengan kedua Naga yang dirasanya senasib. Apalagi setelah
keduanya mengaku bersalah terhadapnya.”
“Tetapi
akhirnya yang paling menyedihkan adalah, ketika ia mendengar kabar bahwa
terjadilah kerusuhan-kerusuhan di istana raja bumi. Banyak bangsawan dan
kesatria saling bertengkar, bertempur, bahkan saling membunuh. Soalnya adalah
karena mereka berebut untuk mendapatkan putri baginda yang pernah jatuh cinta
pada laki-laki bintang kemukus. Sedemikian hebatnya perebutan itu sehingga para
bangsawan dan kesatria tidak malu-malu lagi mempergunakan laskar pengikut
masing-masing untuk mencapai maksudnya. Sehingga memang kadang-kadang
terjadilah pertempuran-pertempuran kecil diantara mereka.”
“Hampir saja
naga hitam itu marah, dan mengambil keputusan untuk memusnahkan sekalian
bangsawan dan kesatria, malahan kerajaan bumi sekaligus. Tetapi untunglah bahwa
ia dapat menyabarkan diri. Sebab ia pun pernah merasa berjuang untuknya.”
“Adapun naga
yang bersisik emas serta naga yang bersalut intan memang sebenarnya pergi
meninggalkan kerajaan bumi karena menyesal dan malu. Mereka pergi merantau
tanpa arah dan tujuan, dengan maksud untuk bertapa dan menjauhkan diri dari
masalah-masalah lahiriah. Sebab ternyata tanda-tanda kebesaran yang mereka
miliki tidaklah dapat dipergunakan untuk mengatasi lawan yang cukup sakti,
bahkan tidak berguna sama sekali.”
“Kabar
kepergian kedua ekor naga itu menggemparkan kerajaan-kerajaan di luar bumi.
Yaitu kerajaan di bawah tanah, di bawah lautan dan di lapisan-lapisan langit.
Serentak mereka menyebar panglima-panglimanya untuk menemukan serta membujuk
kedua ekor naga untuk berpihak kepada mereka masing-masing.”
“Dengan
perhitungan kesaktian kedua ekor naga itu digabungkan dengan
kesaktian-kesaktian yang telah ada pastilah dapat mengalahkan kerajaan bumi,
walaupun dibantu oleh naga hitam yang sakti.”
“Pada suatu
saat sampailah ia di suatu daerah yang kelam. Daerah yang sama sekali tak
dikenal.”
Kembali Ki
Ardi berhenti. Dan kembali pula ia memandangi pahatannya. Sebentar kemudian
katanya,
”Nah, pada
bagian inilah ceritera itu aku ambil sebagai bahan pahatanku ini. Daerah kelam
itu dikuasai oleh dua ekor harimau raksasa yang berkulit hitam legam. Ternyata
kedua ekor harimau ini pun ingin dapat menguasai kedua ekor naga itu. Baik
secara halus ataupun secara kasar.”
“Ketika
ternyata kedua ekor naga itu menolak bekerja sama dengan mereka, terjadilah
suatu perselisihan. Sehingga akhirnya pertempuranpun tak dapat dihindarkan.
Sebenarnya kedua ekor harimau itu tak dapat menguasai lawannya, kalau saja
daerah mereka tidak menguntungkan. Daerah kelam yang penuh rahasia itu sangat
membingungkan kedua ekor naga itu. Sehingga akhirnya naga itu pun hanya
bertahan apabila diserang. Tetapi setelah ia terjebak ke dalam daerah itu,
sulit bagi mereka untuk mencari jalan keluar.”
Sampai sekian
Ki Ardi menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya legalah hatinya, seolah-olah ia
telah melahirkan suatu rahasia yang selama ini disimpannya.
Tetapi
sementara itu Sagotra pun mendesak,
“Tidakkah Ki
Ardi akan mengakhiri dongeng itu?”
“Mengakhiri…?
Bagaimana aku akan mengakhiri? Kejadian itu memang baru sampai sekian,” jawab
Ki Ardi.
“Baru sampai
sekian…?” tanya Sagotra heran.
Mahesa Jenar
pun tidak kalah herannya. Apalagi ketika dilihatnya perubahan garis wajah Ki
Ardi. Kesan-kesan kejenakaan yang selama ini selalu tersembul diantara tawanya,
lenyap sama sekali. Bahkan ketika Mahesa Jenar memandang matanya, yang sejak
semula sudah mengagumkan, kini seakan-akan dunia ini ada di dalamnya.
Tetapi rupanya
Sagotra tidak melihat perubahan itu, sehingga masih saja ia mendesak,
“Ki Ardi…
katakanlah akhir dari dongeng itu. Nanti aku akan memuji pahatanmu itu pula.”
Ki Ardi
tersenyum, tetapi senyumnya kosong. Malahan tiba-tiba ia berkata sambil
berdiri,
“Tunggulah
Sagotra, akhir dari cerita ini masih agak lama. Sekarang aku akan masuk
sebentar. Kawanilah Tuan ini.”
Rupanya
Sagotra ingin lekas-lekas mendengar akhir ceritera itu sehingga ia menggerutu
tak habis-habisnya. Meskipun demikian Ki Ardi seolah-olah tidak mau lagi
mendengarkan. Ia berjalan perlahan-lahan masuk ke dalam goa dan sejenak
kemudian lenyaplah ia ditelan gelap. Mahesa Jenar yang melihat perubahan itu,
menjadi curiga. Tetapi ia sama sekali tak menunjukkan kecurigaannya. Hanya saja
karena mungkin segala sesuatu dapat terjadi, maka haruslah ia bersiaga. Apalagi
ketika sampai beberapa lama, Ki Ardi masih juga belum muncul. Kecurigaan Mahesa
Jenar semakin bertambah. Kembali terasa betapa bodohnya, sehingga ia dapat
dipermainkan oleh keadaan. Ataukah ia sudah berubah menjadi seorang penakut,
yang selalu diliputi oleh perasaan was-was dan curiga…? Sagotra pun akhirnya
merasa tidak sabar, hanya masalahnya yang berbeda. Maka segera ia pun berdiri
dan memanggil-manggil Ki Ardi. Tetapi tidak ada terdengar orang menyahut.
Tampaknya Sagotra telah terbiasa bergaul dengan Ki Ardi. Tampaknya telah pula
Sagotra terbiasa masuk-keluar rumahnya. Maka, ketika panggilannya tiada
mendapat sambutan, segera Mahesa Jenar pun berdiri dan melangkah menuju ke
mulut goa. Dan sejenak kemudian ia pun telah lenyap ditelan gelap.
SAAT itu,
Mahesa Jenar tinggal duduk seorang diri disamping api yang masih menyala-nyala.
Bayangan-bayangan yang ditimbulkan tampak selalu bergerak-gerak. Kadang-kadang
membesar bagai akan menerkam, dan kadang-kadang mengecil seperti akan lenyap.
Suasana malam itu rasanya diliputi oleh suatu rahasia. Dan ini sangat
menggelisahkan Mahesa Jenar. Aneh, bahwa pada saat itu ia merasa kehilangan
ketenangan. Sejenak kemudian, apa yang digelisahkan ternyata terjadi. Tiba-tiba
dengan tak diketahui arahnya, di atas bukit kapur kecil itu tampaklah sesosok
tubuh manusia yang berdiri tegap. Meskipun cahaya api itu samar-samar
mencapainya, tetapi tidak dilihatnya wajah orang itu dengan jelas, meskipun
Mahesa Jenar yang berpandangan sangat tajam. Segera Mahesa Jenar pun meloncat
berdiri. Ia tidak tahu maksud orang itu. Tetapi pastilah ia tergolong orang
sakti, sehingga dengan begitu saja, tanpa diketahui arahnya, ia sudah hadir di
situ. Sehingga untuk menjaga diri dari segala kemungkinan, segera Mahesa Jenar
memusatkan pikirannya, mengatur pernafasannya serta menyalurkan segala
kekuatannya ke sisi telapak tangannya, meskipun ia belum bersikap. Melihat
kesiagaan Mahesa Jenar, orang itu tertawa lirih. Bunyi tertawanya lunak dan
menyenangkan. Ketika kemudian orang itu berkata, Mahesa Jenar menjadi terkejut,
sampai tubuhnya gemetar. Suara orang itu ternyata kecil dan nyaring.
“Mahesa Jenar,
tidak perlu kau kerahkan ilmumu Sasra Birawa, aku tak bermaksud apa-apa.
Maafkan kalau aku mengejutkan engkau.”
Ternyata suara
itu pernah didengarnya. Ya, bahkan baru saja. Suara itu adalah suara Ki Ardi.
Jadi ternyata benarlah dugaannya, bahwa Ki Ardi bukanlah orang sembarangan.
Apalagi ketika orang itu melambaikan sebilah keris yang tampaknya seperti
membara di kegelapan malam. Jantung Mahesa Jenar serasa akan berhenti.
“Kalau begitu,
Tuan adalah Ki Ageng Pandan Alas,” sahut Mahesa Jenar tergagap.
“Ya… sengaja
aku bersembunyi di sini untuk membayangi setiap gerak Pasingsingan yang aku
sangsikan keasliannya. Sebab Pasingsingan, adalah sahabatku dimasa muda,
tidaklah tergolong dalam aliran hitam. Dan sementara ini, Pasingsingan
memelihara murid kesayangannya yang kau lukai, biarlah aku mengurus keluargaku
pula. Kau sementara ini dapat tinggal di sini. Seminggu lagi kau dapat menuai
jagung di belakang bukit ini. Baru setelah itu kau lanjutkan perjalanmu.
Sayanglah jagung itu kalau tak ada yang memetiknya,” ujar orang itu.
Dengan tak
sengaja Mahesa Jenar melangkah maju mendekati bukit kapur itu. Tetapi segera Ki
Ardi yang ternyata juga Ki Ageng Pandan Alas mencegahnya.
“Mahesa Jenar,
aku masih belum mempunyai waktu untuk menemuimu. Yang penting kau ketahui
adalah tak perlu Sagotra kau beritahu masalah ini. Mungkin ia sudah berubah
pikiran, tetapi di dalam keadaan terpaksa sulitlah ia menyimpan rahasia. Juga
kau tak perlu menjelentrehkan ceritera yang baru saja aku ceritakan. Aku
percaya bahwa pasti kau tahu maksudnya, kalau aku katakan bahwa Naga Hitam itu
kemudian dikenal dengan nama Kyai Sengkelat.”
“Nah, Mahesa
Jenar,” kata Ki Ardi kemudian, baiklah aku pergi dahulu, aku harap kita dapat
bertemu lagi dalam keadaan yang lebih baik.
Belum lagi
Mahesa Jenar sempat menjawab, Ki Ageng Pandan Alas telah pergi dengan cepatnya
dan segera lenyap ditelan gelap. Sepeninggal Ki Ageng Pandan Alas, kembali
Mahesa Jenar merasa, bahwa apabila ia berhadapan dengan tokoh-tokoh itu,
alangkah kecil dirinya. Ki Ageng Pandan Alas, Ki Pasingsingan dan yang pernah
didengarnya lagi dari gurunya tentang orang-orang yang setingkat dengan mereka
itu, kecuali gurunya sendiri almarhum juga yang terkenal dengan sebutan
Pangeran Gunung Slamet, Ki Ageng Sora Dipayana dari pinggang Gunung Merbabu
yang kemudian hampir tak pernah terdengar namanya, dan juga yang terkenal
dengan sebutan yang aneh Titis Angentan yang berasal dari Banyuwangi yang
memiliki kesaktian seperti Adipati Blambangan Wirabumi yang hanya dapat
dikalahkan oleh Raden Gajah pada waktu itu. Tetapi sementara Mahesa Jenar
merenungkan dirinya, teringatlah ia akan pesan Ki Ageng Pandan Alas tentang dongengannya
yang dihubungkannya dengan Kyai Sengkelat. Cepat-cepat ingatan Mahesa Jenar
bekerja. Akhirnya diketemukanlah hubungan dongengan Ki Ardi itu dengan cerita
yang pernah didengarnya. Yaitu tentang Naga yang bersisik emas dan bersalut
intan pastilah yang dimaksud Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, yang pada
waktu itu, untuk menyembuhkan penyakit seorang putri Majapahit, terpaksa pada
suatu malam bertempur di udara dengan sebilah keris sakti pula yang bernama
Kyai Condong Campur.Tetapi kedua keris itu tak dapat menyelesaikan tugasnya,
malahan Kyai Sabuk Inten agak mengalami luka-luka, patah sedikit ujungnya.
Sementara itu Kyai Sangkelat yang dapat mengusir Kyai Condong Campur sehingga
menjelma menjadi bintang kemukus yang masih mendendam kepada umat manusia
dengan memancarkan bermacam-macam kuman penyakit.
Juga jelaslah
sudah sekarang dimana Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten itu berada. Pastilah
kedua keris itu ada di tangan suami-istri Sima Rodra dari Gunung Tidar. Dengan
menceriterakan itu pastilah maksud Ki Ageng Pandan Alas minta kepadanya untuk
menemukan kembali kedua keris itu. Tentu saja Mahesa Jenar menerima tugas ini
dengan penuh tanggung jawab. Sementara itu tampaklah Sagotra keluar dari dalam
goa. Ia masih saja menggerutu. Orang itu gila, dimana ia bersembunyi, gumamnya.
“Tuan… orang
itu tidak ada di dalam rumahnya. Sudah aku aduk sampai ke sudut-sudutnya tetapi
aku tak bisa menemukannya. Memang kalau orang itu sedang kambuh gilanya, rumah
ini sering ditinggalkan begitu saja sampai berhari-hari. Mungkin kini tiba-tiba
sakitnya itu datang lagi”, kata Sagotra kepada Mahesa Jenar.
“SUDAHLAH
Sagotra,” jawab Mahesa Jenar
“janganlah kau
pikirkan orang tua itu. Biarlah ia mendapatkan kepuasan dengan caranya sendiri.
Sekarang baiklah kita bicarakan masalah kita sendiri, masalahmu dan masalahku.”
Tiba-tiba
tersadarlah Sagotra terhadap keadaannya, sehingga membelitlah kembali
kegelisahan hatinya.
“Sagotra,”
kata Mahesa Jenar melanjutkan,
“apakah kau
akan kembali kepada kawan-kawanmu ?. Kalau demikian pertimbanganmu, sekarang
aku kira belum begitu terlambat. Tentang diriku terserah kepadamu. Apakah akan
kau laporkan kepada kawan-kawanmu apakah tidak.”
Tampaklah
Sagotra diam-diam menimbang-nimbang dipikirkannya setiap segi yang mungkin
menguntungkan dan yang mungkin mencelakakan. Bagaimanakah akibatnya kalau ia
kembali kedalam gerombolannya. sedangkan kalau tidak lalu kemanakah ia akan
pergi?. Setelah Sagotra berkenalan dengan seorang seperti Mahesa Jenar,
terasalah betapa miskinnya hidup dalam sarang gerombolan. Meskipun ia tidak
pernah merasakan kekurangan akan sandang dan pangan, tetapi ternyata bukanlah
itu-itu melulu yang diperlukan bagi pemenuhan kebutuhan hidup. Karena itu,
timbulah keinginannya untuk dapat menemukan suatu kehidupan baru.
“Tuan,” katanya
kemudian,
“sebenarnya
aku tidak lagi mempunyai keinginan untuk kembali kepada gerombolanku. Tetapi
karena selama ini aku hanya mengenal penghidupan yang sedemikian, aku menjadi
bingung, bagaimana aku harus memulai penghidupan baru. Atau barangkali kalau
tuan menghendaki, aku dapat ikut serta dengan tuan kemana tuan pergi.”
Mendengar
permintaan Sagotra, Mahesa Jenar menjadi agak kebingungan. Sudah wajarlah kalau
Sagotra merasa canggung untuk memulai suatu macam penghidupan yang lain
daripada selama ini dilakukannya. Tetapi iapun tidak akan dapat menerima
Sagotra selalu bersamanya. Sebab banyaklah hal-hal yang tidak boleh dimengerti
oleh orang lain, yang harus dikerjakan. Tiba-tiba Mahesa Jenar mendapat suatu
pikiran yang dapat menolong menemukan jalan keluar. Katanya
“Sagotra, kau
tidak dapat terus menerus bersamaku. Sebab akupun tidaklah tahu pasti akan masa
depanku. Tetapi aku mau menunjukkan kau suatu jalan keluar yang barangkali
dapat kau tempuh, apabila benar-benar kau menghendaki jalan keluar dari penghidupanmu
yang hitam sekarang ini. Dan sekaligus kau dapat menolong aku pula, maukah kau
?”
Sagotra
memandang Mahesa Jenar dengan mata yang hampir tak dapat berkedip. Permintaan
Mahesa Jenar untuk menolongnya adalah suatu penghormatan baginya. Karena itu
dijawabnya kemudian
“Tuan, apa
yang tuan perintahkan pasti akan aku lakukan dengan sepenuh kemampuan yang ada
padaku. Nah katakankah tuan.”
“Sagotra,”
kata Mahesa Jenar selanjutnya
“tolonglah aku
menyampaikan kabar kepada sahabatku. Pergilah kau menyeberang hutan Tambak
Baya. Terserahlah jalan mana yang akan kau ambil. Tetapi arahnya adalah arah
diamana kau temukan aku tadi, sedikit agak ke utara. Kau akan sampai disebuah
desa diseberang hutan Tambak Baya yang bernama Cupu Watu. Dari sana kau
langsung menuju ke arah timur. Lewat sebuah candi yang terkenal dengan nama
Candi Tara, bekas tempat pemujaan dewi Tara. Dari sana kau langsung menuju
Prambanan. Temuilah Demang yang bernama Pananggalan. Sampaikan salam
keselamatanku kepadanya. Dan katakanlah aku mengharap kedatangan adiknya Ki
Dalang Mantingan di daerah Rawa Pening, dua hari sebelum purnama penuh, pada
bulan terakhir tahun ini.”
“Katakanlah
bahwa Ki Dalang Mantingan sudah tahu kepentingannya. Selanjutnya atas
tanggunganku mintalah perlindungan kepadanya untuk dapat hidup dalam lingkungan
keluarga Kademangan itu. Asal kau mau mencurahkan segala ketulusan serta
keikhlasan hati, pastilah kau akan diterima dengan baik.”
Sagotra agak
berbimbang sebentar mendengar kata-kata Mahesa Jenar. Memang ia selalu ragu-ragu
untuk dapat mempercayai dirinya sendiri. tetapi ia tidak mau mengecewakan
Mahesa Jenar. Karena itu ia berjanji dalam hatinya, bahwa ia akan memenuhi
permintaan itu sedapat-dapatnya. Maka setelah segala petunjuk-petunjuk yang
diperlukan telah diberikan oleh Mahesa Jenar, segera Sagotra pun bersiap untuk
menempuh suatu perjalanan yang cukup berbahaya bagi dirinya. Tetapi sebenarnya
Sagotra bukanlah seorang penakut. Dan ia termasuk tokoh yang ke 6 sesudah Wadas
Gunung, Carang Lampit dan sebagainya diantara ke-20 orang yang sedang mencegat
Mahesa Jenar. Karena itu setelah berketetapan hati untuk menempuh perjalanan
itu, maka iapun tak pula mengenal gentar. Karena perjalanan didaerah hutan itu
akan berlangsung beberapa hari, meskipun dengan agak malu-malu sedikit
diperlukannya juga mengambil beberapa ontong jagung sebagai bekal
perjalanannya. Dan berangkatlah Sagotra pada malam itu juga supaya tidak
terlambat. Sebab apabila ditunggu sampai besok pastilah beberapa lawannya sudah
mencarinya. Sepeninggal Sagotra, Mahesa Jenar segera merasa betapa sepinya
tinggal seorang diri di tengah padang, dibawah sebuah bukit kapur. Tetapi
bagaimana juga ia ingin memenuhi permintaan Ki Ageng Pandan Alas untuk tinggal
kira-kira seminggu di tempat itu. Rupanya Ki Ageng Pandan Alas merasa sayang
pula pada tanaman-tanamannya kalau tak ada yang memetiknya. Tetapi karena
menunggu jagung itulah maka Mahesa Jenar terpaksa terikat dalam keadaan yang
sulit.
Pada hari
pertama, Mahesa Jenar memerlukan untuk mengenal seluruh daerah di sekitar bukit
kapur itu. Benarlah kata Ki Ageng Pandan Alas, bahwa di belakang bukit itu
banyak terdapat tanaman jagung yang subur. Sedangkan agak kesamping sedikit
terdapat sebuah blumbang yang berair jernih. Mahesa Jenar berusaha untuk
menyesuaikan diri dengan kehidupan Ki Ardi. Merebus jagung dan membakar daging
hasil buruan semalam. Kemudian mengelilingi tanaman jagung, kalau-kalau
diganggu burung, makan pagi, berburu dan seterusnya. Pada hari kedelapan ia
telah mulai merasa jemu. Apalagi sebuah tugas yang besar, yaitu membebaskan
keris Nagasasra dan Sabuk Inten masih menantinya. Tetapi meskipun demikian
disabarkan juga hatinya sebab jagung yang sudah mulai kuning itu dua hari lagi
pasti sudah masak untuk dipetiknya.
Tetapi pada
hari ke 9 terjadilah suatu hal yang dapat merubah rencananya. Pada hari itu
Mahesa Jenar sedang sibuk menyalakan api sebagaimana dilakukan tiap-tiap hari
apabila malam tiba, seperti juga yang dilakukan oleh Ki Ardi. Tiba-tiba
telinganya yang tajam menangkap suara beberapa orang yang dihanyutkan angin
utara. Suara itu semakin lama semakin jelas, sehingga dapat diterka bahwa
orang-orang itu sedang mendekatinya. Mahesa Jenar tidak tahu siapakah kira-kira
orang-orang yang datang itu. Untuk tidak menimbulkan hal-hal yang tidak dikehendaki
maka segera Mahesa Jenar menyelinap masuk ke dalam goa. Dari sana, dari dalam
gelap, ia akan dapat melihat siapakah mereka itu, apabila mereka mendekati
perapian. Benarlah dugaannya. Beberapa orang datang beriring-iringan mendekati
perapian. Di muka sendiri berdiri seorang gagah tegap. Sedang di belakangnya
berjalan seorang yang tinggi agak kekurus-kurusan. Di belakangnya lagi berjalan
seorang yang pendek bulat dan berkumis lebat. Di belakang mereka berjalan
beberapa orang yang tampak garang-garang. Melihat orang yang berjalan paling
depan darah Mahesa Jenar berdegupan. Segera teringatlah ia akan wajah seseorang
yang pernah dibinasakannya. Yaitu Watu Gunung. Teringatlah Mahesa Jenar akan
kata-kata Sagotra bahwa seorang saudara kembar Watu Gunung, yaitu Wadas Gunung,
sedang mencarinya. Kalau demikian pastilah orang yang berjalan paling depan itu
Wadas Gunung, sedangkan yang lain adalah sebagian dari rombongan gerombolan
Lawa Ijo yang berjumlah 18 orang. Mahesa Jenar masih saja berdiri di dalam
gelap. Kalau tidak perlu, ia akan menghindari bentrokan-bentrokan yang akan
terjadi.
Tiba-tiba
orang yang pendek bulat itu berteriak dengan nyaringnya.
“Ardi…, Ki
Ardi…!”
Mahesa Jenar
jadi bimbang. Perlukah panggilan itu dijawab? Kalau demikian halnya, pastilah
segera dikenal bahwa suaranya lain dengan suara Ki Ardi. Karena itu maka ia
berdiam diri saja.
Karena tidak
mendapat jawaban, orang pendek itu mengulangi lagi, teriaknya.
“Ardi…, hai Ki
Ardi. Jangan main-main. Kali ini waktu kami hanya sedikit. Kami hanya ingin mendapat
beberapa ontong jagung untuk makan kami besok. Sesudah itu kami akan pergi.”
Kembali suara
itu tidak mendapat jawaban.
“Orang tua
gila. Masih saja ia suka bermain gila dalam waktu yang begini.”
“Ki Ardi…!
Kami sedang sibuk dengan tugas kami. Keluarlah! Jangan bermain gila-gilaan
selagi kami tergesa-gesa,” teriak yang tinggi kurus itu kemudian.
Juga teriakan
ini lenyap ditelan malam tanpa ada jawaban. Rupanya Wadas Gunung menjadi
jengkel.
“Carang Lampit
dan Bagolan. Masuklah. Seret orang itu keluar dan ambil saja persediaan makanan
yang ada. Aku masih ingin menunggu setan itu sampai tiga hari,” kata Wadas
Gunung.
Mahesa Jenar
segera menangkap isi kata-kata Wadas Gunung. Rupanya dalam menunggu
kedatangannya, rombongan itu kehabisan makanan. Sedang yang dimaksud dengan
setan yang ditunggu itu, pastilah dirinya. Kembali Mahesa Jenar bimbang. Apakah
yang akan dilakukan? Untuk tetap berdiam diri di dalam goa adalah sangat
berbahaya. Apabila benar-benar ada diantara mereka yang masuk dan mengenalnya,
maka pasti akan terjadi perkelahian. Dan perkelahian melawan beberapa orang, di
ruangan yang sempit tidaklah menguntungkan baginya. Karena itu, segera sebelum
orang yang disebut Carang Lampit dan Bagolan itu memasuki goa, Mahesa Jenar
telah lebih dahulu meloncat ke mulut goa. Kehadiran Mahesa Jenar yang tiba-tiba
itu sangat mengejutkan seluruh rombongan Lawa Ijo. Juga Bagolan yang pendek
bulat, Carang Lampit yang tinggi kekurus-kurusan, bahkan juga Wadas Gunung
sendiri. Baru setelah beberapa saat Wadas Gunung dapat mengatur perasaannya
bertanyalah ia,
“Siapakah kau
yang berada di rumah Ki Ardi?”
“Aku adalah
anaknya,” jawab Mahesa Jenar.
Wadas Gunung
mengerutkan alisnya, kemudian katanya,
“Sudah sejak
lama aku mengenal Ki Ardi. Tetapi tak pernah aku mendengar bahwa ia mempunyai
seorang anak.”
“Aku kira
tidak ada perlunya untuk menceriterakan anak-anaknya kepada orang lain,” jawab
Mahesa Jenar
Kembali Wadas
Gunung menarik alisnya tinggi-tinggi. Tetapi sementara itu ia pun tidak
habis-habisnya mengamat-amati tubuh Mahesa Jenar. Akhirnya diketemukannya
ciri-ciri yang cocok dengan keterangan yang diterimanya dari Ki Pasingsingan.
Karena itu tiba-tiba saja ia bertolak pinggang dan dari mulutnya berderailah
sebuah tawa yang mengerikan yang menusuk-nusuk ulu hati, seperti suara jeritan
hantu kubur. Melihat sikap Wadas Gunung serta mendengar derai tertawanya,
tahulah Mahesa Jenar, bahwa Wadas Gunung telah mengenalnya. Karena itu ia pun
segera bersiap menghadapi segala kemungkinan.
SETELAH
beberapa lama surutlah suara tertawanya. Dan demikian suara itu berhenti,
berteriaklah Wadas Gunung itu dengan suaranya yang nyaring.
“Hai, seluruh
rombongan yang sedang mencari seorang yang bernama Rangga Tohjaya. Pantaslah,
bahwa orang ini dapat memperpanjang umurnya sampai sembilan hari, karena ia
disembunyikan oleh Ki Ardi. Tetapi bagaimanapun akhirnya orang itu dapat kami
temukan juga. Nah, sekarang pandanglah orang ini dengan baik, amatilah dengan
saksama, sebab sebentar lagi ia harus kita binasakan. Sekarang kita boleh
mengaguminya sebagai seorang yang perkasa, yang telah berhasil membunuh saudara
kembarku Watu Gunung dan yang dapat melukai pemimpin kami Lawa Ijo. Dendam kami
adalah setinggi gunung, sedalam lautan. Sekarang bersiaplah dan jangan lepaskan
orang ini. Juga setelah orang ini binasa, harus dibinasakan juga Ki Ardi, yang
telah berusaha membebaskan orang ini dari tangan kita.”
Mendengar
kata-kata Wadas Gunung, segera setiap orang anggota gerombolan itu
mempersiapkan diri dan mencabut senjata masing-masing. Sebagian besar dari mereka
bersenjatakan sebilah belati panjang sebagai senjata yang khusus diperuntukkan
anggota rombongan Lawa Ijo. Tetapi diantaranya ada juga yang bersenjata dua. Di
tangan kirinya ia memegang pisau belati panjang, sedang tangan kanannya
menggenggam sepotong carang pring ori sebesar ibujari kaki, tetapi panjangnya
tidak lebih dari lima jengkang. Bagolan, di kedua belah tangannya menggenggam
bola besi bertangkai. Wadas Gunung sendiri ternyata juga tidak mau memandang
ringan kepada Mahesa Jenar. Ia pun memegang dua buah senjata di kedua belah
tangannya. Yaitu belati panjang.
Melihat semua
lawannya bersenjata, Mahesa Jenar mulai menimbang diri. Hatinya terasa
berdegupan juga. Sebab orang-orang seperti Wadas Gunung, Carang Lampit, Bagolan
dan sebagainya tampaknya bukan pula orang sembarangan. Apalagi kini mereka
menggenggam senjata masing-masing. Maka mulailah Mahesa Jenar berpikir. Di
manakah tempat yang paling menguntungkan untuk melawan mereka ?
Di mulut goa,
ia tidak akan dapat diserang dari samping dan belakang. Tetapi kalau
ujung-ujung senjata itu bersama menyerangnya dari depan, sulit baginya untuk
menghindar. Maka lebih baik baginya apabila bertempur di tempat terbuka. Ia
akan dapat mempergunakan kegesitan, serta mudah-mudahan gelap malam di luar
membantunya. Mendapat pikiran itu, sebelum Mahesa Jenar mendapat serangan,
segera ia meloncat dengan kecepatan yang luar biasa, menerobos orang-orang yang
mengepungnya. Dan tahu-tahu Mahesa Jenar telah berada di belakang mereka, di
dekat api yang menyala-nyala. Secepat kilat tangannya memegang dua batang kayu
yang sedang dimakan api. Dengan kedua batang cabang kayu sebesar lengan itulah
ia siap menghadapi segala kemungkinan. Melihat kecepatan Mahesa Jenar bergerak,
hampir semua orang sangat heran sampai terdiam seperti patung. Dengan loncatan
yang hampir tak dapat dilihat, kepungan mereka dengan begitu saja sudah dapat
ditembus. Menyaksikan buruannya telah berada di luar jaring, Wadas Gunung
menjadi marah sekali. Sehingga dengan teriakan keras ia memerintahkan kepada
anak buahnya segera untuk mengepung kembali. Wadas Gunung sendiri bersama-sama
Carang Lampit, Bagolan, Seco Ireng, Cemara Aking, dan Tembini, langsung
menyerang. Meski dikurangi Sagotra, tujuh tokoh itu merupakan tenaga gabungan
yang luar biasa kuatnya, meskipun tidak lengkap. Senjata mereka tampak
gemerlapan memenuhi udara dan seolah-olah bergulung-gulung melanda Mahesa Jenar
dengan dahsyatnya. Mahesa Jenar segera melihat bahaya yang akan datang. Sudah
pasti Mahesa Jenar tidak akan dapat sekaligus menangkis serangan dari enam
orang yang mempunyai kekuatan yang cukup. Karena itu segera Mahesa Jenar
mencari akal. Maka dengan tiba-tiba tanpa diduga oleh seorangpun, Mahesa Jenar
dengan kedua cabang kayu di tangannya memukul api yang sedang menyala-nyala ke arah
penyerang-penyerangnya. Segera bara-bara api serta potongan-potongan kayu yang
masih menyala bertebaran di udara dan mengarah kepada lawan-lawannya. Wadas
Gunung beserta kawan-kawannya terkejut bukan alang kepalang. Sama sekali tak
terlintas di dalam pikirannya, bahwa serangan mereka akan mendapat sambutan
begitu panas. Karena itu segera mereka sibuk menghindarkan diri dari serangan
api. Mereka yang sempat menghindar segera berloncatan kian kemari, sedang
mereka yang tidak lagi mempunyai kesempatan, segera berusaha memukul api itu
dengan senjata masing-masing. Melihat kebingungan itu Mahesa Jenar tidak
menyia-nyiakan waktu. Segera ia melompat serta memutar kedua potong kayunya,
menyerang keenam orang yang masih belum sempat mempersiapkan diri. Serangannya
ini ternyata mempunyai hasil yang cukup baik. Kayu di tangan kirinya dengan
derasnya menyambar Cemara Aking.
Melihat
serangan yang datang tiba-tiba itu Cemara Aking tidak sempat menghindar. Maka
yang dapat dilakukan hanyalah menangkis serangan Mahesa Jenar dengan kedua
pisau belati panjangnya yang disilangkan di muka kepalanya. Tetapi pukulan
Mahesa Jenar demikian kerasnya sehingga tangan Cemara Aking tidak mampu untuk
melawannya. Ia tak berhasil menghindarkan kepalanya dari benturan kayu Mahesa
Jenar. Segera pemandangannya menjadi kuning berputaran, serta kepalanya
seolah-olah ditindih batu yang besar sekali. Cemara Aking terhuyung-huyung
surut beberapa langkah ke belakang dan akhirnya ia terduduk lemah. Dalam saat
yang bersamaan pula, tangan kanan Mahesa Jenar sempat menyambar lambung Carang
Lampit. Tetapi Carang Lapit ternyata mempunyai kekuatan yang cukup pula
sehingga ia berhasil mengurangi tekanan serangan Mahesa Jenar dengan carang
orinya. Meskipun demikian lambungnya terasa sakit bukan kepalang. Dan ini telah
banyak mengurangi kebebasan geraknya. Melihat kedua kawannya dikenai dalam saat
yang sangat singkat Wadas Gunung menjadi bertambah marah, disamping perasaan
keheranan serta keseganan yang merambati hatinya. Segera iapun membuka sebuah
serangan dengan menusuk dada Mahesa Jenar.
MAHESA JENAR
dengan gerakan yang sedikit saja, dengan menarik tubuhnya miring tanpa mengubah
letak kakinya, telah dapat menghindari serangan Wadas Gunung. Malahan dengan
tangan kirinya ia sempat menyodokkan batang kayunya ke perut lawannya. Melihat
serangannya gagal serta malahan mendapat serangan balasan, segera Wadas Gunung
meloncat ke samping. Pada saat itu, serangan Tembini datang sangat mendadak,
dengan sebuah tombak terkait. Melihat kilatan senjata yang dengan cepatnya
mengarah ke perutnya, Mahesa Jenar agak terkejut. Rupanya Tembini yang masih
muda ini mempunyai kegesitan yang luar biasa. Tetapi segera Mahesa Jenar
melihat kekurangan lawannya. Belum lagi ia yakin bahwa serangannya akan
berhasil, ia sudah mempergunakan seluruh kekuatannya, sehingga ia tidak lagi
mempunyai tenaga cadangan. Melihat hal itu segera Mahesa Jenar dengan sebagian
besar kekuatannya menghantam mata tombak Tembini dengan kayunya, sehingga
terjadilah suatu benturan yang dahsyat. Tangan Tembini bergetar hebat sampai
terasa sakit, sedang tombaknya menancap ke kayu Mahesa Jenar. Belum lagi
Tembini sadar, Mahesa Jenar telah merenggut kayunya sehingga terseretlah tombak
Tembini itu, dan terlepas dari tangannya. Tetapi belum lagi Mahesa Jenar
menangkap tombak pendek itu, Bagolan orang yang pendek bulat, dengan garangnya
meloncat sambil memutar bola besinya yang bertangkai. Mahesa Jenar melihat
serangan yang akan datang. Tangan kanannya yang memegang kayu dimana tombak
Tembini menancap, pastilah belum dapat dipergunakan dengan baik. Maka sebelum
Bagolan mencapai jarak yang cukup untuk mempergunakan senjatanya, Mahesa Jenar
dengan kekuatan yang hampir penuh melemparkan kayu di tangan kirinya ke arah
Bagolan. Kayu itu meluncur cepat, sehingga Bagolan tidak lagi dapat berbuat
lain daripada menangkis serangan itu dengan kedua bola besinya. Tetapi serangan
Mahesa Jenar terlalu deras dan keras. Maka ketika terjadi benturan yang hebat,
salah satu bolabesi Bagolan ikut serta terlempar bersama kayu Mahesa Jenar, sehingga
menimbulkan rasa nyeri yang tak terhingga pada telapak tangan Bagolan. Dengan
demikian maka terpaksalah ia mengurungkan serangannya dan berlari-lari
mengambil bola besinya yang terjatuh. Dalam saat yang sekejap itu Mahesa Jenar
telah dapat mencabut tombak berkait Tembini yang menancap di batang kayunya.
Mendapat senjata yang cukup baik itu, Mahesa Jenar menjadi bertambah garang.
Meskipun pada saat itu segera datang pula serangan Wadas Gunung dan Seco Ireng
bersama-sama, tetapi serangan-serangan itu dapat pula satu demi satu
dipunahkan.
Pertempuran
itu menjadi semakin dahsyat. Api yang dinyalakan Mahesa Jenar sudah tidak lagi
menyala. Hal ini sangat menguntungkan Mahesa Jenar yang berpandangan tajam
sekali. Ia melawan kerubutan itu dengan berloncatan kesana-kemari, menyusup
diantara mereka dan kadang-kadang meloncat menjauhi. Tetapi lawannya bukan
orang-orang sembarangan. Ternyata Wadas Gunung mempunyai kecakapan sejajar
dengan Watu Gunung. Sedangkan Carang Lampit hanya sedikit berada di bawah Wadas
Gunung. Untunglah orang ini telah dilukainya lebih dulu sehingga geraknya
tidaklah berbahaya sekali. Bagolanpun ternyata tidak kalah gesitnya dengan
Gagak Bangah yang bersama-sama dengan Watu Gunung dulu mengerubutnya. Ditambah
lagi dengan Seco Ireng, Tembini dan Cemara Aking yang baru dapat bergerak
sedikit-sedikit saja, karena kepalanya masih pening sekali. Disamping itu
mereka masih mempunyai tenaga cadangan yang siap menyerangnya dari segala
jurusan. Ketika pertempuran itu sedang berlangsung dengan dahsyatnya, dimana
masing-masing pihak berusaha untuk mengalahkan lawannya. Maka di sebelah timur
membayanglah warna fajar. Langit yang kelam menjadi kemerah-merahan, sedangkan
bintang fajar memancar dengan cemerlangnya. Melihat cahaya merah itu, hati
Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar. Apabila sebentar lagi langit menjadi
terang, akan sulitlah kedudukannya. Apalagi sampai saat itu saja sudah terasa
bahwa tenaganya sebagai manusia biasa adalah sangat terbatas. Melawan 6 orang
cukup kuat, ditambah lagi yang lain-lain yang telah pula mulai bergerak
mengeroyoknya, adalah suatu pekerjaan yang barangkali diluar kemampuan
tenaganya yang biasa. Tekanan yang kuat dari Wadas Gunung, serangan yang
tiba-tiba dari Tembini yang telah bersenjatakan pisau belati panjang, gempuran-gempuran
bola bertangkai Bagolan, sambaran-sambaran carang ori yang tidak kalah
berbahayanya, serta tusukan-tusukan parang Seco Ireng yang dahsyat adalah
bahaya-bahaya yang setiap saat dapat merenggut jiwanya. Dalam keadaan gelap,
mereka masih agak ragu-ragu mempergunakan senjata itu, sebab Mahesa Jenar
selalu berusaha untuk membelit lawan-lawannya. Tetapi kalau matahari sudah
terbit, akan berbedalah keadaannya. Mungkin ia tak akan mampu melawan sampai
tengah hari saja. Karena itu mengingat keselamatan diri, tugas yang masih harus
diselesaikan serta pertimbangan yang sebaik-baiknya, adalah membinasakan
gerombolan hitam itu.
TERLINTAS
dalam pikiran Mahesa Jenar untuk segera menyelesaikan pertempuran ini sebelum
fajar. Adapun cara satu-satunya adalah dengan mempergunakan ilmunya Sasra
Birawa, di sisi telapak tangan kanannya, digabungkan dengan kemahirannya
mempergunakan segala macam senjata dengan tangan kirinya. Dan untunglah pada
saat itu ia memegang sebuah tombak berkait. Dengan mempergunakan gabungan kedua
macam kekuatan itu ia memperhitungkan bahwa ia akan dapat mengakhiri
pertempuran sebelum cahaya matahari yang pertama. Tetapi belum lagi ia
melaksanakan maksudnya, tiba-tiba terjadilah suatu hal yang sangat mengejutkan
dan tak terduga-duga. Pada saat itu, pada saat pengikut Lawa Ijo siap untuk
menyerang Mahesa Jenar bersama-sama, terjunlah seseorang ke kancah pertempuran.
Meskipun Mahesa Jenar tidak berkesempatan untuk mengenal orang baru itu dengan
seksama, tetapi sepintas ia melihat bahwa orang itu berperawakan sedang, serta
bersenjatakan sebuah kapak sangat besar. Tampaknya ia tidak begitu lincah,
tetapi mendengar desing ayunan kapaknya dapat diduga betapa besar tenaganya.
Dengan kekuatan yang luar biasa, ia memutar kapaknya, dan langsung menyerang pengikut-pengikut
Wadas Gunung. Sejenak kemudian terjadilah dua lingkaran pertempuran yang amat
dahsyat. Dengan hadirnya orang baru, yang masih belum sempat dikenalnya, Mahesa
Jenar merasa bahwa pekerjaannya menjadi berkurang. Sebab mau tidak mau
perhatian Wadas Gunung sebagai pemimpin rombongan menjadi terpecah, sehingga ia
tidak lagi dengan sepenuhnya mengadakan tekanan kepada Mahesa Jenar. Apalagi
ternyata luka di lambung Carang Lampit tidak dapat dianggap ringan. Di arah
luka itu terasa makin lama semakin sakit. Karena itu gerakan-gerakannya menjadi
semakin lemah dan hampir tak berarti. Demikian juga keadaan Cemara Aking. Di
dalam dua lingkaran pertempuran itu, Mahesa Jenar harus melawan tokoh-tokoh
gerombolan Lawa Ijo yang sudah tidak begitu penuh lagi kekuatannya, sedang
anggota-anggota gerombolan itu terpaksa tidak dapat turut serta mengeroyok
Mahesa Jenar, sebab mereka harus melayani pendatang baru yang dengan garangnya
menghantam mereka dengan kapaknya. Mengalami perubahan keadaan ini, Mahesa
Jenar pun merasa masih belum waktunya mempergunakan ilmunya Sasra Birawa. Sebab
ia merasa bahwa bersama dengan orang baru itu ia akan dapat mematahkan kekuatan
Wadas Gunung.
Perhitungan
Mahesa Jenar memanglah tepat. Meskipun orang baru itu tidak begitu lincah,
tetapi tiba-tiba sambaran kapaknya selalu diikuti dengan berdesingnya angin
maut. Anggota-anggota gerombolan Lawa Ijo yang mencoba menangkis ayunan kapak
itu, senjatanya terlepas dan terpatahkan. Melihat keadaan itu Wadas Gunung
menjadi marah sekali. Tetapi ia tidak dapat meninggalkan Mahesa Jenar yang
bagaimanapun dirasakan lebih berbahaya, apalagi kepadanyalah ia menyimpan
dendam. Karena itu dengan teriakan nyaring ia memerintahkan Bagolan untuk
melawan orang berkapak itu. Mendengar perintah Wadas Gunung segera Bagolan
dengan loncatan panjang meninggalkan gelanggang dan segera terjun ke lingkaran
pertempuran lain. Ternyata Bagolan pun mempunyai tenaga raksasa. Sehingga dalam
pertempurannya melawan orang berkapak itu seringkali terjadi benturan-benturan
yang dahsyat antara bola besi bertangkai dengan kapak raksasa itu. Bagaimanapun
perkasanya orang berkapak itu, ketika ia harus melawan keroyokan yang
sedemikian banyaknya ditambah lagi dengan seorang tokoh seperti Bagolan,
akhirnya tampak juga bahwa ia agak terdesak. Sebaliknya Mahesa Jenar yang
lawannya berkurang lagi seorang menjadi semakin leluasa bergerak. Tetapi dalam
pada itu segera ia melihat kerepotan orang yang bersenjatakan kapak itu. Maka
segera iapun menjadi cemas. Meskipun ia sama sekali belum mengenalnya, tetapi
pada saat ia melibatkan diri dalam pertempuran itu, adalah sangat
menguntungkannya. Karena itu ia tidak dapat membiarkan saja ketika ia melihat
orang berkapak itu terdesak. Untuk mengimbangkan keadaan, Mahesa Jenar berpikir
bahwa sebaiknya pertempuran tidak terbagi. Ia dan orang berkapak itu harus
berada dalam satu lingkaran pertempuran menghadapi seluruh gerombolan. Dengan
demikian ruang pertempuran menjadi bertambah sempit. Mendapat pikiran yang
demikian segera Mahesa Jenar memutar tombaknya, dan dengan gerakan kilat ia
meloncat menembus kepungan lawan. Selanjutnya dengan cepat sekali ia meloncat
kesamping orang yang bersenjata kapak itu, sambil berkata,
“Ki Sanak,
baiklah kita bekerja bersama. Kau hadapi separo lingkaran, aku separo.
Disamping itu kita pergunakan setiap kesempatan untuk menghantam lawan.”
Orang berkapak
itu tidak menjawab tetapi ia tahu maksud Mahesa Jenar, maka segera ia pun
menempatkan diri beradu punggung dengan Mahesa Jenar. Kembali hati Wadas Gunung
terperanjat melihat kelincahan Mahesa Jenar. Mengertilah ia sekarang kenapa
Pasingsingan memaksanya membawa 20 orang anak buahnya bersama-sama untuk
menangkap satu orang saja. Ternyata buruannya memang bukan orang biasa. Tetapi
Wadas Gunung adalah orang yang berpengalaman cukup, sehingga ketika ia melihat
sikap Mahesa Jenar dan orang berkapak itu saling membelakang, tahulah ia
maksudnya. Untuk mencegah kesulitan-kesulitan selanjutnya, cepat-cepat ia
memerintahkan untuk menghantam lawan sebelum mereka mencapai keseimbangan dalam
bekerja bersama. Ia sendiri beserta tokoh-tokoh rombongan itu segera
melancarkan serangan-serangan yang berbahaya. Tetapi karena perubahan keadaan
yang demikian cepatnya itu, tidak semua anak buah Wadas Gunung dapat mengikuti
jalan pikiran pimpinannya, sehingga dalam pelaksanaannya terjadilah kekacauan.
Karena lawan mereka berkumpul pada satu titik, maka ketika mereka akan
menyerang bersama-sama, terjadilah desak-mendesak diantara mereka, sehingga
mereka tidak leluasa mempergunakan senjata masing-masing. Dalam keadaan yang
demikian, segera Mahesa Jenar mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya.
MAHESA JENAR
segara meloncat maju, dan memutar tombak berkaitnya seperti baling-baling.
Kemudian dengan gerakan yang sangat mengejutkan lawannya, Mahesa Jenar langsung
menyerang beberapa orang yang berdiri di hadapannya. Mendapat serangan yang tak
terduga-duga ini, tak seorang pun sempat mengelak diri, sehingga dalam satu
ayunan Mahesa Jenar sekaligus dapat melukai 4 orang anggota gerombolan Lawa
Ijo, dan melemparkan beberapa senjata dari tangan pemiliknya. Melihat kejadian
itu, tergetarlah hati para anggota gerombolan Lawa Ijo, sehingga hampir
serentak mereka berdesakan mundur. Untunglah bahwa para pemimpin gerombolan itu
cepat bertindak. Serentak mereka berloncatan maju dan dengan dahsyatnya mereka
melakukan serangan-serangan balasan. Melihat orang ini tampil, segera Mahesa
Jenar menarik diri serta menyesuaikan kedudukannya dengan orang yang
bersenjatakan kapak, yang ternyata telah pula memutar kapaknya untuk melindungi
dirinya dan sekali-sekali menyambar mereka yang berani mendekatinya. Dalam
siasat perkelahian ternyata Wadas Gunung pun tak kalah cerdiknya. Untuk memecah
kerja sama lawannya, segera Wadas Gunung memerintahkan untuk melumpuhkan
kedudukan yang lemah. Karena itu berkumpullah tokoh-tokoh mereka untuk
menyerang orang berkapak itu bersama-sama. Tetapi maksud ini pun segera
diketahui oleh Mahesa Jenar, karena itu katanya kepada orang berkapak itu,
“Ki Sanak,
baiklah kita selalu bergerak, supaya tak dapat mereka patahkan batas diantara
kita.”
Kali ini orang
berkapak itu pun tidak menjawab, tetapi rupanya ia pun mengerti maksud Mahesa
Jenar. Maka ketika Mahesa Jenar mulai dengan loncatan loncatannya
kesana-kemari, orang itu pun selalu menyesuaikan dirinya, meskipun ia tidak
selincah Mahesa Jenar. Melihat perubahan cara bertempur Mahesa Jenar, Wadas
Gunung mengeluh dalam hati. Belum lagi rencananya dapat berjalan lancar, ia
harus sudah menghadapi keadaan baru. Sehingga kembali timbul kekacauan di
barisannya. Kesempatan ini pun dipergunakan oleh Mahesa Jenar dan orang
berkapak itu. Dengan deras sekali kapak raksasa itu terayun, dan tiga buah
senjata melesat dari tangan pemiliknya, dan sekaligus dua orang tersobek
dadanya. Disamping itu dengan lincahnya pula Mahesa Jenar mengadakan serangan.
Tombaknya mematuk-matuk membingungkan. Dalam serangan ini pun ia berhasil
melukai dua orang sekaligus. Bahkan dalam serangan berikutnya, pundak Tembini
tergores oleh tombaknya sendiri.
Mengalami hal
itu, Tembini menjadi marah bukan buatan. Matanya merah menyala. Tetapi baru
saja ia akan meloncat menerkam lawannya dengan kedua pisau belatinya, mendadak
Wadas Gunung yang tidak pula kalah marahnya menyaksikan Tembini dilukai, telah
mendahuluinya mengadakan serangan yang dahsyat sekali. Mendapat serangan Wadas
Gunung dengan penuh kekuatan, segera Mahesa Jenar menarik diri, meloncat kecil
ke samping, dan dengan satu putaran mengait senjata-senjata di tangan Wadas
Gunung. Tetapi Wadas Gunung pun cukup siaga. Segera ia menarik kedua tangannya.
Sayang bahwa ia agak terlambat sehingga satu dari pisaunya tak dapat
dipertahankan sehingga jatuh dari tangannya. Wadas Gunung adalah seorang
pemarah yang keras hati. Bahkan karena marahnya, kadang-kadang ia kehilangan
perhitungan. Juga pada saat itu. Ia pun menjadi mata gelap. Dengan sebuah pisau
yang masih ada di tangannya, ia meloncat menyerang Mahesa Jenar sejadi-jadinya.
Serangan ini ternyata sangat menguntungkan Mahesa Jenar, sebab belati Wadas
Gunung lebih pendek dari tombak berkait yang dipegang oleh Mahesa Jenar. Karena
itu Mahesa Jenar sama sekali tidak menghindar. Hanya tombaknya yang dijulurkan
menanti terkaman Wadas Gunung. Melihat mata tombak mengarah ke dadanya, Wadas
Gunung terperanjat. Tetapi ia telah terlanjur meloncat keras sekali. Maka
segera ditariknya pisaunya untuk menangkis tombak Mahesa Jenar. Tetapi tangan
Mahesa Jenar adalah tangan yang perkasa, sehingga pukulan pisau Wadas Gunung,
yang tak dapat dilakukan dengan sepenuh tenaga, karena ia sendiri baru dalam
keadaan meloncat, tidaklah banyak artinya. Tetapi pada saat terakhir, Bagolan
telah berusaha menyelamatkan pemimpinnya. Dengan sekuat tenaga ia melemparkan
bola besinya ke arah kepala Mahesa Jenar. Melihat bola besi bertangkai itu
melayang ke arahnya sedemikian kerasnya, maka mau tidak mau Mahesa Jenar harus
berusaha menghindar dengan menggerakkan kepalanya. Dan tepat pada saatnya,
kembali Tembini yang meskipun sudah terluka, menunjukkan kegesitannya bergerak.
Dengan satu loncatan Tembini memukul tombak berkait Mahesa Jenar yang sedang
berusaha menghindari bola besi itu, sekuat-kuat tenaganya. Maka terdengarlah
suara berdentang senjata beradu. Oleh pukulan Tembini dengan kedua buah pisau
belati panjangnya, ujung tombak Mahesa Jenar berhasil digerakkan. Meskipun
demikian Wadas Gunung tak dapat membebaskan dirinya sama sekali, sehingga ujung
tombak berkait itu merobek paha kanannya. Sambil mengerang kesakitan, Wadas
Gunung meloncat beberapa langkah mundur. Tetapi karena kesakitan yang amat
sangat, ia pun beberapa kali terhuyung-huyung hampir jatuh.
Kejadian itu
rupanya sangat berpengaruh pada semangat bertempur Wadas Gunung. Meskipun ia
menyesal sekali tak dapat membalaskan dendam adiknya serta pemimpinnya, tetapi
tak adalah yang dapat dilakukan. Ia juga menjadi marah sekali kepada orang
berkapak yang telah mencampuri urusannya. Selain itu juga kepada Sagotra, salah
seorang anak buahnya, ia menjadi marah sekali, serta berjanji dalam hatinya,
bahwa anak itu diketemukan pastilah akan dikupas kulit kepalanya. Sebab dalam
keadaan yang sedemikian sulit, ia sama sekali tidak menampakkan dirinya.
No comments:
Post a Comment