SENDANG PAPAT tidak bertanya lagi. Alasan Arya Salaka dan cara yang akan dilakukan memang masuk akal, meskipun Arya Salaka terpaksa memutar balik, agar laskarnya tidak dikecewakan.
“Baik….”
Akhirnya Sendang Papat menjawab,
“Akan aku
siapkan beberapa orang pelopor yang apabila keadaan memaksa akan menembus
pasukan Pamingit langsung ke arah tanda-tanda yang akan kau berikan, untuk
membantu. Sedang yang lain akan aku kerahkan untuk memberi tekanan kepada
mereka, sampai kau dan Tuan Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Kiai Wanamerta
dapat membebaskan diri.”
“Bagus,” jawab
Arya,
“Kami akan
berangkat. Beritahu kepada sayap-sayap laskar ini, supaya mereka tidak terkejut
melihat tanda-tanda apabila terpaksa aku berikan, siapkan sayap-sayap itu.”
Setelah
memberikan beberapa pesan-pesan, serta menempatkan Rara Wilis sebagai penasehat
Sendang Papat, maka berangkatlah rombongan kecil itu. Di muka sekali seorang
pembawa obor besar merupakan penerang jalan, kemudian berkuda di belakangnya
Wanamerta dan Arya Salaka. Dekat di belakangnya berjajar Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara. Kemudian yang terakhir juga seorang pembawa obor. Rombongan itu
sangat menarik perhatian laskar Banyubiru. Mereka saling bertanya-tanya apakah
yang akan dilakukan oleh rombongan kecil itu, sehingga sesaat kemudian para
pemimpin laskar itu mendengar penjelasan dari Sendang Papat. Dengan demikian
mereka tidak gelisah oleh usaha-usaha yang mereka anggap tak akan berarti.
Dalam waktu
yang singkat, rombongan Arya Salaka telah terpisah jauh dari laskarnya. Mereka
berjalan di jalan-jalan persawahan yang membujur diantara tanah-tanah yang
diterangi oleh batang-batang padi yang sedang berbunga. Sedang dekat di hadapan
mereka tampaklah seperti bukit-bukit kecil, desa-desa yang pertama. Dari
desa-desa itulah sore tadi Endang Widuri melihat cahaya yang berkilat-kilat
bersahut-sahutan. Dalam keheningan malam itu terdengarlah suara Mahesa Jenar
perlahan-lahan,
“Arya,
batang-batang padi sedang berbunga.”
“Ya,” jawab
Arya singkat.
“Kalau kau
berjalan beriring dengan laskarmu dalam gelar perang, atau orang-orang Pamingit
yang maju dalam gelar pula, batang-batang padi yang sedang berbunga itu akan
binasa oleh kaki-kaki laskar yang akan bergulat diantara hidup dan mati. Tetapi
disamping laskar itupun masih ada lagi orang-orang yang akan bergulat melawan
lapar, sebab tanah harapannya telah hancur dilanda arus peperangan.
Perempuan-perempuan akan menangis karena kehilangan suami, sedang anak-anak
mereka akan menangis karena lapar.”
Terasa sesuatu
menggores di dalam dada Arya. Peperangan adalah peristiwa yang terkutuk. Yang
dapat mematahkan cinta antara manusia, cinta antara keluarga, cinta antara
suami istri dan anak-anak mereka. Tetapi gurunya itupun pernah berkata
kepadanya,
“Arya, ada
beberapa tingkat dalam bercinta. Cinta kita kepada sesama, cinta antara pria
dan wanita, cinta antara orang tua dan anak-anak, cinta antara manusia.
Kemudian meningkatlah cinta kita kepada tanah kelahiran, kepada kampung
halaman, kepada tanah air dan bangsa. Tanah yang diberikan oleh Tuhan kepada
kita serta lingkungan hidup di atasnya. Dan tingkat yang tertinggi dari cinta
kita adalah cinta kita kepada sumber cinta itu sendiri. Kepada yang memberi
kita gairah atas sesama manusia, yang memberikan tanah tumpah darah dan
lingkungan hidup di atasnya. Yaitu cinta kita kepada Tuhan itu sendiri. Cinta
kita kepada Yang Maha Pencipta. Tak ada yang dapat dipertentangkan dengan cinta
kita kepada Tuhan Yang Maha Esa. Cinta itu adalah cinta yang paling luhur.
Tetapi kadang-kadang kita dihadapkan kepada persoalan yang seolah-olah
merupakan pertentangan antara kedua pancarannya. Cinta kita kepada tanah tumpah
darah, cinta kita kepada bangsa yang seolah-olah bertentangan kepentingan
dengan cinta kita pada kemanusiaan dan manusia.”
“Tidak,” kata
gurunya itu,
“Kita bisa
menempatkan kedua-duanya. Kita harus menempatkan cinta kita kepada tanah tumpah
darah berdasarkan cinta kita kepada manusia. Kepada manusia yang akan kita
lahirkan. Kepada manusia yang akan mewarisi hidup kita kelak, supaya mereka
dapat menikmati hidup mereka. Supaya mereka dapat menikmati cinta yang kudus.
Cinta kepada Tuhannya tanpa merasa takut dan cemas. Tanpa terganggu oleh
persoalan-persoalan duniawi.”
Arya menarik
nafas dalam-dalam. Memang peperangan harus dicegah. Tetapi kalau ia harus
pecah, maka hendaknya perang itu dilandaskan kepada kepentingan kemanusiaan.
Bukan kepentingan diri dan keinginan-keinginan untuk diri sendiri. Kalau peperangan
antara laskarnya melawan laskar Pamingit. Perang ini memang dapat menimbulkan
perlawanan atas rasa cinta, tetapi ia harus dilandaskan pada kecintaan dan
pengabdian yang lebih luhur. Karena itulah maka Arya sadar, bahwa gurunya bukan
bermaksud menganjurkan kepadanya untuk menerima nasibnya, nasib rakyatnya.
Tetapi gurunya hanya mencoba mencegah timbulnya pertentangan apabila
kemungkinan itu masih bisa dicapai.
Tiba-tiba
tersentak dari lamunannya, ketika dengan tiba-tiba orang berkuda yang berjalan
di mukanya itu mendadak berhenti.
“Ada apa?” ia
bertanya. Orang itu menujuk ke depan. Di pojok desa tampaklah beberapa orang
berdiri.
Kemudian
terdengarlah salah seorang dari mereka berteriak,
“Berhentilah
di situ.”
Arya kemudian
mendorong kudanya, mengambil tempat terdepan. Ia masih maju beberapa langkah.
Tetapi kemudian iapun terpaksa berhenti ketika sebuah tombak melayang dan
menancap di tanah, hanya dua langkah dari kaki kudanya.
DEMIKIAN
asyiknya Arya menganyam angan-angannya, sehingga ia tidak melihat sebelumnya,
orang-orang yang menghadang perjalanannya itu. Ia tahu betul isyarat yang
diberikan oleh orang-orang itu. Kalau ia tidak berhenti, maka tombak yang kedua
akan diarahkan kepadanya. Karena Arya tidak menghendaki bentrokan terjadi, maka
iapun mematuhi isyarat itu. Ketika rombongan kecil itu telah berhenti, majulah
beberapa orang bersenjata mendekati mereka. Sementara itu Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara telah berada dekat di belakang Arya Salaka. Sedang Wanamerta pun
kemudian menempatkan dirinya di samping anak muda yang membawa tombak Kyai
Bancak itu. Beberapa orang itu kemudian berdiri mengitari Arya Salaka dan
rombongannya, seolah-olah mereka hendak mengepung rapat-rapat. Salah seorang
yang agaknya menjadi pemimpinnya maju selangkah, lalu dengan bertolak pinggang
ia berkata,
“Siapakah
kalian? Kemana kalian akan pergi? Dan apakah maksud kalian?”
Sesaat
kemudian Arya Salaka menjawab,
“Ki Sanak,
kami adalah orang-orang Banyubiru. Adakah Ki Sanak juga orang Banyubiru?”
“Ya,” jawabnya
singkat.
“Kalau begitu
kalian seharusnya mengenal kami,” sambung Arya.
Orang itu
mengangkat alisnya. Tetapi tiba-tiba dari dalam rombongan itu meloncat
seseorang sambil berteriak,
“Kalian merasa
diri kalian orang-orang Banyubiru?”
“Ya,” jawab
Arya.
“Aku orang
Banyubiru sejak lahir,” katanya lantang penuh kebanggaan.
“Aku percaya,
Ira. Kau memang lahir di Banyubiru, dibesarkan di Banyubiru, dan dewasa di
Banyubiru,” sahut Wanamerta,
“Dan agaknya
kau sekarang sedang mencoba untuk membalas budi kepada tanah yang telah memberikan
kepadanya makan, di saat lapar dan memberimu air di saat kau haus.”
Orang itu
terkejut. Memang matanya agak kurang jelas di dalam gelap, sehingga ia
terlambat mengenal Wanamerta. Ketika ia mendengar suara itu, serta suara itu
menyebut namanya dengan tepat, barulah ia berusaha mengenalnya baik-baik.
Tiba-tiba terpekik dan berlari memeluk kaki orang tua itu.
“Bukankah
Tuan… Kiai Wanamerta?”
“Akulah,”
jawab Wanamerta.
“Maafkan aku
Kiai. Aku kurang mengenal Kiai di malam yang gelap ini,” kata orang itu.
“He, Ira…”
bentak pemimpin rombongan itu,
“Apa yang
sedang kau lakukan?”
“Orang ini
adalah Kiai Wanamerta,” jawab Ira,
“Ia adalah
tetua tanah perdikan ini.”
“Tidak!”
bentak pemimpin itu.
“Tak ada yang
pantas disujudi di tanah ini selain Ki Ageng Lembu Sora.”
“Tetapi Kiai
Wanamerta adalah emban kepala perdikan ini sejak aku lahir, sejak pemerintahan
tanah perdikan ini dipegang oleh Ki Ageng Sora Dipayana.”
“Jangan
menggurui aku,” bentak pemimpin itu, yang ternyata orang Pamingit.
“Akupun kenal
Kiai Wanamerta. Agaknya benar itulah orangnya. Semula memang aku agak kurang
mengenalnya kembali setelah ia menjadi bertambah tua. Tetapi Wanamerta adalah
orang yang tak berarti bagi Banyubiru.”
Orang
Banyubiru yang bernama Ira itu agaknya kurang senang mendengar kata-kata
pemimpinnya itu. Maka iapun berkata,
“Jangan
berkata begitu. Supaya aku tetap menghormatmu.”
“Apa…?” jawab
orang Pamingit itu sambil membelalakkan matanya.
“Kau akan
melawan pemimpinmu?”
Oleh bentakan
itu, sadarlah Ira, bahwa bagaimanapun juga ia berada di bawah perintah orang
Pamingit itu. Karena itu iapun terpaksa berdiam diri menahan hati. Tetapi
dengan demikian, sadarlah ia bahwa apa yang dilakukannya selama ini ternyata
bertentangan dengan suara hatinya. Ia hanya sekadar hanyut dalam arus yang tak
dimengertinya sendiri. Ia mendengar segala macam ceritera dan caci maki
terhadap orang-orang Banyubiru yang tidak mau menerima Lembu Sora memegang
pemerintahan atas Pamingit dan Banyubiru. Pada saat itu ia mengira bahwa
orang-orang itu memang benar-benar orang-orang yang akan membuat kacau saja.
Apalagi kemudian berita tentang kehadiran Bantaran di tanah lapang di ujung
kota, dan membuat onar tanpa mengetahui keadaan sebenarnya. Sebab yang tersiar
hanyalah berita tentang Bantaran ngamuk. Tetapi tak ada yang mengatakan bahwa
sebenarnya seorang Pamingit yang buas sedang berusaha untuk merendahkan
kehormatan seorang wanita Banyubiru, yang kebetulan wanita itu adalah istri
Panjawi. Disusul kemudian berita tentang Wanamerta, Sendang Papat dan Sendang
Parapat, yang seolah-olah merupakan suatu kelompok yang akan merampok keramaian
gila-gilaan ditanah lapang yang sama, bahkan kemudian Sendang Papat telah
membakar seperangkat gamelan. Juga dalam kabar-kabar yang tersiar itu tak
terdapat kata-kata, seorang telah menusuk lambung Sendang Parapat ketika
Sendang bersuadara itu sedang melindungi seorang dari kemarahan orang-orang
Banyubiru. Tetapi sekarang ketika Ira berhadapan dengan Wanamerta, tiba-tiba
terasa bahwa berita itu sama sekali tidak benar. Orang seperti Wanamerta ini,
tidak akan mungkin melakukan kebiadaban atas rakyat yang dicintainya, atas
rakyat yang dibelanya sejak ia menempatkan dirinya di atas segala kepentingan
pribadi.
Di dalam gelap
malam itu terasa betapa sejuk wajah yang tua itu, dan betapa manis mata itu
memandangnya, seolah olah terasa udara sejuk menusuk sampai ke tulang
sungsumnya. Berbeda benar dengan pemimpinnya orang Pamingit, yang keras dan
kasar itu. Keadaan yang hening itu tiba-tiba pecah oleh suara bentakan pemimpin
rombongan pengawal itu,
“Sekali lagi
aku bertanya, siapakah kalian selain Kiai Wanamerta?”
Arya
mengangguk perlahan, jawabnya lambat,
“Aku Arya
Salaka.”
“Arya
Salaka….” kembali Ira terpekik.
TIBA-TIBA
rontoklah hati orang Banyubiru itu setelah berhadapan dengan Arya Salaka, yang
selama ini telah dianggap hilang. Memang ada diantara orang-orang Banyubiru
yang dengan sadar menempatkan dirinya diantara orang-orang Pamingit, tetapi
orang-orang seperti Ira inipun banyak sekali jumlahnya. Orang yang tak tahu
arti perbuatannya sendiri. Tetapi Ira takut pula kepada pemimpinnya. Sebab
dengan demikian, ia dapat kehilangan pekerjaan yang dapat dipakainya sebagai
alat untuk berbangga diri terhadap kawan-kawannya. Berbeda dengan orang-orang
Pamingit yang lain. Ketika mereka mendengar nama Arya Salaka, merekapun segera
mendesak maju. Pemimpin pengawal itupun kemudian mendengus,
“Jadi kaulah
orang yang mengaku bernama Arya Salaka?”
“Kenapa
mengaku?” tanya Arya.
Orang Pamingit
itu tertawa. Kemudian kepada anak buahnya ia berkata,
“Bersiaplah.
Ada pekerjaan yang harus kalian lakukan. Inilah dia orangnya yang mengaku
bernama Arya Salaka. Tidakkah kalian ingin menangkapnya?”
Para pengawal
itupun semakin maju. Beberapa orang yang semula masih berdiri di pojok desa
segera mendekat pula dengan senjata terhunus.
“Satu, dua
tiga, empat, lima enam.”
Salah seorang
diantara mereka menghitung jumlah rombongan kecil itu.
“Hanya enam
orang. Aneh, apakah memang mereka ini sedang bunuh diri karena putus asa?”
“Ki Sanak…”
kata Arya Salaka tenang,
“Jangan
mengganggu kami. Sebab kamipun tidak mengganggu kalian malam ini. Kami hanya
ingin minta kesempatan menghadap Eyang Sora Dipayana. Sesudah itu kami akan
kembali.”
“Apa perlunya
kalian menghadap Ki Ageng Sora Dipayana?” tanya pemimpin pengawal itu.
“Sebagai
seorang cucu, aku harus berbakti kepadanya,” sahut Arya Salaka.
Orang itu
tertawa kembali. Masih dengan bertolak pinggang ia menjawab,
“Jangan
membuat alasan yang aneh-aneh. Dengarlah anak muda yang menamakan diri Arya
Salaka, kalau kau lolos dari penjagaanku ini, kaupun akan binasa di gardu
pengawal yang kedua, yang lebih rapat dan keras. Lihat itu, di bawah rumpun
wregu di sana. Itulah gardu penjagaan kedua, dan disamping gardu itu pulalah
laskar Pamingit bersiap untuk menerima kedatangan laskarmu besok pagi.”
“Tidakkah kita
dapat menunda persoalan besok pagi, sampai pada waktunya?” tanya Arya.
“Sekarang aku
akan menghadap eyangku sebagai seorang cucu.”
Orang itu
menggeleng.
Perintahnya,
“Turun dari
kuda kalian. Aku harus menangkap kalian, hidup atau mati.”
Diam-diam
Wanamerta memanggil kedua orang yang membawa obor untuk mendekat. Setiap saat
ia perlukan api obor itu untuk menjalankan panah apinya apabila diperlukan.
Sesaat kemudian terdengarlah orang itu berkata pula,
“Duapuluh lima
bahu tanah yang akan kami terima apabila kami berhasil menangkap orang yang
menamakan diri Arya Salaka.”
Dada Arya
Salaka berdesir mendengar kata-kata itu. Namun demikian dengan tersenyum ia
berkata,
“Ah, betapa
mahalnya kepalaku yang tak berarti ini. Duapuluh lima bahu tanah adalah cukup
luas. Tetapi kalau yang duapuluh lima bahu itu tanah di sekitar Rawa Pening,
maka aku kira kau akan keberatan.”
Tetapi hatinya
berkata,
“Suatu usaha
yang tak kenal kesopanan. Janji itu agaknya telah menutup kemungkinan untuk
mengadakan pembicaraan wajar. Mereka pasti akan mencari-cari alasan untuk
menimbulkan pertengkaran, dan kemudian menangkapnya hidup atau mati.”
Diam-diam Arya
Salakapun menghitung jumlah mereka. Tidak kurang dari limabelas orang. Tetapi
sebenarnya limabelas orang itu tak banyak berarti bagi rombongan kecil yang
hanya berjumlah enam orang itu. Terdengar kemudian orang Pamingit yang sudah
mulai kehilangan kesabaran itu membentak,
“Aku punya
wewenang untuk menangkap kau. Kalau mungkin hidup, kalau tidak, matipun tak
akan mengurangi hadiah yang sudah dijanjikan.”
“Bagaimana
kalau kau yang mati? Adakah kau akan menerima hadiah pula?” Tiba-tiba Wanamerta
bertanya.
“Diam!” bentak
orang Pamingit itu marah.
“Meskipun tak
ada hadiah yang dijanjikan buat kau, namun aku ingin juga menyobek mulutmu
itu.”
Wanamerta
mengangkat alisnya yang sudah mulai keputih-putihan. Tetapi kesan wajahnya
masih tetap saja, sejuk. Bahkan wajah Ira lah yang menjadi tegang mendengar
kata-kata kasar dari pemimpinnya itu.
Tetapi sekali
lagi ia tidak mau berbuat apa-apa yang dapat merugikan kedudukannya.
Dalam
ketegangan itu terdengarlah Wanamerta berkata,
“Adakah kau
mendengar ceritera tentang tanah lapang beberapa hari lampau? Pada saat itu aku
dan Sendang Papat pun telah hampir mati dikeroyok oleh orang-orang Pamingit.
Tetapi tiba-tiba datang beberapa orang pemuda. Salah seorang daripadanya dapat
memecahkan kepala kuda dengan tangannya. Waktu orang-orang Pamingit keheranan
dan ketakutan, ia berkata, “Arya Salaka pun mampu berbuat demikian. Nah, adakah
kau dengar. Sekarang biarlah Arya Salaka mencoba. Karena kau bersikap
permusuhan biarlah kepalamu saja yang dipecahkan.”
ARYA SALAKA
sendiri geli mendengar kata-kata itu, namun ternyata ada juga akibatnya. Memang
orang Pamingit itu pernah mendengar peristiwa dari kawan-kawannya. Tanpa sadar
Arya Salaka mengamat-amati tangan anak muda itu. Di dalam gelap ia melihat
tangan itu tidak lebih dari tangan-tangan yang lain. Tidak sebesar tangan
raksasa, dan tidak terbuat dari baja.
“Omong
kosong!” Tiba-tiba pemuda itu bergumam, namun hatinya sendiri ragu. Tetapi
bukankah ia mempunyai banyak kawan? Dan bukankah dengan memukul kentongan,
gardu penjagaan kedua akan memberinya bantuan? Bahkan dengan isyarat ia dapat
menyiapkan laskar Pamingit yang nanti tengah malam akan membuat gelar perang,
untuk melawan laskar Arya Salaka. Karena pikiran itu, pemuda itu menjadi tenang
kembali. Dengan beraninya ia berteriak,
“Sekali lagi
aku peringatkan, turun dari kuda kalian.”
Kali ini
agaknya orang Pamingit itu sudah tidak mau berbicara lagi. Mungkin ia akan
langsung menyerang atau akan memukul tanda bahaya. Kemungkinan yang kedua
itulah yang pasti akan dilakukan segera apabila ia tahu bahwa di dalam
rombongan kecil itu ada Mahesa Jenar dan ada orang yang pernah bertempur
melawan beberapa orang berkuda sekaligus ditanah lapang, Kebo Kanigara. Arya
Salaka pun tidak mau membuang-buang waktu, sebab tengah malam ia harus sudah
berada diantara laskarnya kembali. Karena itu ketika ia sudah tidak mempunyai
pilihan lain, kecuali dengan kekerasan atau tindakan-tindakan semacam itu, maka
segera iapun meloncat turun. Tetapi demikian ia menjejak tanah, demikian ia
melangkah dengan lincahnya menangkap pergelangan orang Pamingit itu.
Orang itu
terkejut bukan main. Sama sekali tak diduganya bahwa anak muda itu dapat
bergerak sedemikian tangkasnya seperti burung lawet yang menari-nari di udara.
Tetapi segala sesuatu telah terlambat. Tangan orang Pamingit itu terasa seperti
terhimpit besi. Perasaan nyeri dari pergelangan tangan itu menjalari tubuhnya
sampai ke ujung ubun-ubun. Terdengar orang itu mendesah menahan sakit. Tetapi
ia adalah pemimpin rombongan pengawal. Tentu saja ia tidak mau menunjukkan
kelemahannya di hadapan anak buahnya. Dengan tangan kirinya ia mencoba
menghantam dada Arya Salaka. Arya melihat tangan yang terayun ke arah dadanya.
Namun kekuatan orang Pamingit itu sebagian besar telah lenyap karena perasaan
sakitnya. Dengan demikian, ayunan tangannya itu sama sekali sudah tak berarti.
Arya Salaka pun sama sekali tidak menghindar ketika dadanya dibentur oleh
pukulan itu. Bahkan dengan tertawa pendek ia berkata,
“Jangan
meronta-ronta anak nakal. Sekali-kali kau perlu mendapat pelajaran.”
Bukan main
panasnya hati orang Pamingit itu mendengar kata-kata Arya Salaka. Dengan
mengerahkan tenaganya ia berusaha melepaskan tangannya. Tetapi semakin ia
berusaha, semakin sakit tangan Arya Salaka menghimpitnya. Meskipun demikian ia
tidak putus asa, dengan kakinya ia mencoba menyerang. Namun dengan satu
putaran, ia menjadi tidak berdaya. Orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu
seperti terpaku di tempatnya. Mereka seperti melihat pertunjukan yang aneh.
Tiba-tiba saja mereka melihat pemimpinnya terpilin tangannya dan kemudian
mengaduh tanpa dapat melawan. Ketika mereka sadar, segera merekapun bergerak
maju. Mereka sudah siap menyerang bersama-sama.
Tetapi dalam
pada itu terdengar Arya berkata,
“Tidakkah kau
dapat mengajari anak buahmu untuk tidak berbuat hal-hal yang dapat membawa
bencana bagimu?”
Orang Pamingit
itu tahu benar maksud Arya Salaka itu. Namun ia masih mencoba menggertaknya,
katanya,
“Biarlah kau
merasakan betapa tajamnya tombak orang-orang Pamingit. Kalau kau tak segera
melepaskan tanganku, umurmu akan menjadi semakin pendek.”
Arya Salaka
tertawa.
“Kau dengar?”
katanya kepada para pengawal,
“Pemimpinmu akan
memberi perintah kepadamu.”
“Bohong,”
bantah pemimpin pengawal itu, ia masih akan berkata lagi ketika tiba-tiba Arya
menekan lambungnya dengan tangkai tombaknya. Orang Pamingit itu menyeringai
kesakitan. Tangkai tombak itu benar-benar menyesakkan nafasnya. Apalagi ketika
terdengar Arya berkata,
“Tombak orang
Banyubiru agaknya memang tidak begitu tajam seperti tombak orang-orang
Pamingit, namun tombak inipun akan dapat merontokkan tulang igamu.”
Ternyata orang
Pamingit itu masih sayang kepada tulang iganya. Dengan segan-segan ia terpaksa
berkata agak keras,
“Jangan
berbuat sesuatu demi keselamatanku.”
Para pengawal
itupun tertegun. Mereka jadi bingung, apa yang akan mereka lakukan. Kalau
mereka menyerang bersama-sama, mungkin pemimpinnya itu akan mati. Tetapi kalau
mereka tidak berbuat apa-apa, bukankah mereka telah berbuat kesalahan, dan
sekaligus mimpi mereka tentang tanah yang duapuluh bahu itu akan lenyap?
Dalam keraguan
itu terdengarlah Arya berkata,
“Dengarlah
para pengawal yang belum mengenal kawan-kawan seperjalananku. Kecuali aku dan
Eyang Wanamerta terdapat juga seorang yang pernah kau dengar namanya, yaitu
Paman Mahesa Jenar. Di sampingnya adalah orang yang pernah menggemparkan tanah
lapang itu pula. Ketika itu orang-orang Pamingit mencoba menangkap Bantaran.”
Pemimpin pengawal itu menggeliat.
“Setan!” Ia
mengumpat di dalam hati. Pada saat itu iapun ikut serta mengeroyok orang itu.
Tetapi tidak kurang dari sepuluh orang berkuda sama sekali tak berhasil
menangkapnya. Bahkan beberapa orang kawannya telah jatuh menjadi korban. Sedang
para pengawal yang lainpun pernah juga mendengar ceritera itu dari kawan-kawan
mereka atau dari pemimpinnya itu.
“Masihkah
kalian akan melawan kami?” tanya Arya Salaka.
MEREKA diam
seperti patung. Ternyata di dalam rombongan itu terdapat orang-orang yang bagi
mereka hanya pernah mereka kenal sebagai tokoh-tokoh dalam ceritera-ceritera
kepahlawanan yang sakti tiada taranya. Hanya pemimpin rombongan pengawal itu
sajalah yang benar-benar menyaksikan betapa Kebo Kanigara bertempur melawan
mereka. Karena itu nafsu perlawanan merekapun menjadi lenyap. Mereka memang
dapat memukul tanda bahaya, dan mengundang kawan-kawan mereka dengan
tanda-tanda itu. Namun melawan tokoh-tokoh sakti yang seolah-olah sudah bukan
manusia biasa lagi, mereka agaknya menjadi segan, sebab sebelum kawan-kawan
mereka datang, nyawa mereka pasti sudah beterbangan. Arya Salaka merasakan
betapa dalam pengaruh kata-katanya itu. Karena itu segera ia mempergunakan
kesempatan. Katanya,
“Ki Sanak.
Marilah antarkan aku sampai ke rumah Paman Lembu Sora. Bukankah sudah tidak
begitu jauh lagi? Setidak-tidaknya untuk melampaui gardu penjagaan dan
tempat-tempat pemusatan laskar Pamingit itu.”
Pemimpin
rombongan itu menggeram. Ia menjadi marah sekali. Tetapi tak satupun yang dapat
dilakukan. Sebab ia tahu benar, bahwa tombak anak muda itu setiap saat dapat
menembus jantungnya.
“Marilah…”
kata Arya,
“Berkuda
bersama-sama dengan aku.”
Sungguh suatu
pekerjaan yang tak menyenangkan. Tetapi ia masih ingin dapat melihat
bintang-bintang yang bertebaran di langit biru. Karena itu ia tidak membantah.
Selagi ia masih hidup, ia masih mempunyai harapan untuk melepaskan diri. Dengan
langkah yang kosong pemimpin pengawal itu didorong oleh Arya Salaka ke kudanya
untuk kemudian meloncat ke punggung kuda itu dan menaikinya bersama-sama.
Kemudian kuda-kuda itupun bergerak.
“Kau tahu apa
yang harus kau lakukan untuk menyelamatkan jiwamu?” bisik Arya kepada orang
Pamingit itu. Orang itu tidak menjawab. Tetapi kupingnya serasa tersentuh api.
Meskipun
demikian ia berkata,
“Jangan
berbuat sesuatu, supaya aku tidak memecatmu.”
“Padamkan
obor,” perintah Arya seterusnya. Ketika obor-obor mereka telah padam, mereka
meneruskan perjalanan mereka yang penuh dengan bahaya. Sebab mereka sama sekali
tidak menduga bahwa telah diundangkan suatu hadiah yang menarik untuk menangkap
Arya Salaka. Hal itu akan sangat mempengaruhi cara berpikir orang-orang
Pamingit dan orang-orang Banyubiru yang berhati goyah. Sementara itu Mahesa
Jenar dan Kebo Kanigara memuji di dalam hati mereka. Ternyata Arya memiliki
ketangkasan berpikir yang cukup. Dalam keadaan yang demikian, ia dapat
mengatasinya tanpa banyak keributan.
“Pandai juga
anak itu menghemat tenaga,” bisik Kebo Kanigara.
Mahesa Jenar
tersenyum sambil mengangguk, jawabnya,
“Agaknya ia
tidak mau merepotkan orang-orang tua ini.”
Kemudian
mereka berdiam diri, Wanamerta berada rapat di belakang Arya Salaka. Dua orang
yang membawa obor itupun kemudian dipanggilnya mendekat.
“Sediakan
titikanmu,” perintah Wanamerta.
“Setiap saat
kita perlukan api. Kalau keadaan memburuk harus kita kirimkan tanda-tanda
dengan panah sendaren dan panah api.”
Orang itupun
segera menyediakan titikan, emput dan dimik belerang. Supaya dalam keadaan yang
tergesa-gesa mereka dapat segera menyalakan tanda-tanda apabila diperlukan.
“Kalau terjadi
perkelahian jangan hiraukan lawan-lawan kita, tugasmu menyalakan api.”
Wanamerta meneruskan.
“Baik Kiai,”
jawab orang itu. Perjalanan menyusur tepi desa itu semakin lama semakin dalam
masuk kota Banyubiru. Meski demikian alangkah sepinya. Tak ada nyala api sama
sekali dalam rumah-rumah di tepi jalan. Agaknya mereka dalam ketakutan yang
sangat. Atau barangkali rumah-rumah di tepi jalan itu sudah tidak berpenghuni.
Barangkali mereka telah mengungsi jauh-jauh untuk menghindarkan diri dari
rumah-rumah mereka yang mungkin akan menjadi ajang perang yang mengerikan.
Orang-orang
Pamingit ternyata tidak mempunyai kebesaran tekad seperti orang-orang
Banyubiru. Mereka sedikit banyak menggantungkan pekerjaan yang dilakukan pada
upah yang mereka terima. Mereka bekerja pada Lembu Sora bukanlah karena jiwa
pengabdian mereka kepada tanah kelahiran mereka, atau kepada suatu keyakinan
mereka terhadap kebenaran yang dapat diperjuangkan oleh para pemimpinnya.
Mereka bekerja bukan semata-mata karena para pemimpinnya, tetapi mereka bekerja
semata-mata karena mereka menerima upah. Itulah sebabnya orang Pamingit yang
berkuda bersama-sama dengan Arya itupun lebih senang memelihara hidupnya
daripada melakukan tugasnya dengan jantan. Ia masih mengharap untuk dapat hidup
dan melepaskan diri. Pekerjaannya kemudian hanyalah mereka-reka alasan untuk
membebaskan dirinya dari kemarahan atasannya.
Ketika kuda-kuda
itu menjadi semakin dekat dengan gardu penjagaan, hati orang itupun menjadi
semakin gelisah. Apakah yang akan dikatakan kepada mereka kalau orang-orang di
gardu penjagaan itu menghentikan rombongan ini. Sedang kalau mereka akhirnya
tahu, bahwa rombongan ini terdiri dari Arya Salaka dan kawan-kawannya, maka
mereka pasti akan mengambil tindakan. Dengan demikian, maka jiwanyapun terancam
pula oleh ujung tombak Arya Salaka.
Karena
itu,demi keselamatan diri, ia berkata perlahan-lahan,
“Kita ambil
jalan simpang.”
“Jangan
menjebak kami,” sahut Arya Salaka.
“Aku belum
gila,” bantah orang itu.
“Apakah yang
akan kau katakan di hadapan gardu itu nanti kalau kita melewatinya?”
“Itu bukan
urusanku tetapi urusanmu kalau kau masih ingin hidup seterusnya,” jawab Arya
“Karena itu,
kita lewat jalan simpang yang sempit disamping pohon Wregu itu,” sahut orang
itu.
“Apakah tidak
mencurigakan?”, tanya Arya.
“Lebih aman
bagimu,” jawab orang Pamingit itu.
“Dan bagimu
juga,” Arya meneruskan sambil tertawa.
Tiba tiba
terdengar dari gardu penjagaan yang sudah tidak jauh lagi sebuah teriakan,
”He, kemana
arah angin?”.
Arya tahu
bahwa kata-kata itu adalah pertanyaan sandi. Ketika orang Pamingit itu belum
menjawab, Arya meneruskan ujung tombaknya sambil berbisik,
”terserah
kepadamu.”
Orang itu
semakin marah, tetapi mulutnya berteriak juga untuk keselamatannya,
“Kelaut!”.
“Dimana letak
bintang Waluku?” terdengar suara dari Gardu.
“Tenggara”,
jawab orang Pamingit itu.
“He!,” kembali
orang di gardu berteriak,
“Siapa kau?”
“Dari gardu pertama
mengantar orang Banyubiru yang meninjau medan,” jawab orang yang berkuda
bersama Arya itu berteriak.
“Kenapa lewat
jalan sempit itu?,” bertanya suara itu pula.
“Ia akan
singgah ke rumahnya sebentar. Makan dan mengambil kambingnya yang tertinggal
ketika keluarganya mengungsi,” jawabnya.
Orang di gardu
itu diam. Mereka membiarkan rombongan itu lewat meskipun didalam hati bertanya
tanya,
“kenapa
demikian banyak?,” Tetapi karena mereka dapat menjawab kata kata sandi itu,
maka merekapun menjadi tidak bercuriga. Bahkan kemudian terdengar salah seorang
berteriak,
” Bawa kambing
kemari, kita panggang disini.”
“Baik,” jawab
orang Pamingit itu.
Dengan
demikian, mereka selamat melampau penjagaan itu. Mereka menyususup jalan sempit
kemudian lewat beberapa halaman, mereka sampai ke jalan kecil yang lain.
“Terimakasih,”
bisik Arya,
“Kau adalah
penunjuk jalan yang baik. Tetapi dimanakah pemusatan laskar Pamingit?”
“Sudah lampau.
Diseberang gardu penjagaan tadi,” jawabnya.
Arya percaya.
Dia tertawa dalam hatinya. Beginilah nilai kesetiaan orang Pamingit. Mereka
tidak lebih daripada laskar bayaran yang tak kenal pengabdian. Ketika mereka
sudah mencapai jalan kecil itu, segera Arya mengenalnya, kemana ia harus pergi.
Tetapi
meskipun demikian ia masih belum melepaskan orang pamingit itu. Suara telapak
kuda terdengar gemeretak diatas tanah yang berbatu padas. Di dalam malam yang
sepi terdengar seperti suara prajurit yang berpuluh jumlahnya maju ke medan
perang.
Tiba tiba
ketika mereka masih asik berangan angan tentang diri masing masing,
terdengarlah dari arahgardu pertama, suara kentongan yang berbunyi dua kali
tiga ganda, sehingga orang dalam rombongan berkuda itu menjadi terkejut
karenanya.
Orang Pamingit
itu menjadi gelisah. Siapakah yang telah memberikan tanda. Bahkan kemudian
tanda itu disaut oleh gardu kedua.
“Tanda
bahaya?” desis orang Pamingit itu.
“Bahaya apa?,”
desak Arya.
“Mereka
bersiap siap,” jawabnya.
“Bohong,”
potong Arya Salaka,
“mereka
memberi tanda bahwa ada musuh masuk ke dalam pertahanan mereka.”
Orang Pamingit
itu diam. Keringat dinginnya mengalir membasahi punggungnya. Ia sama sekali
tidak menduga bahwa anak buahnya akan membunyikan tanda itu, yang baginya
adalah tanda bahwa maut telah menerkamnya. Tiba tiba terasa tengkuknya meremang
seperti dirayapi oleh berjuta-juta semut. Apalagi ketika ujung tombak Arya
semakin lekat di lambungnya.
“Kau masih
menduga bahwa tombak orang Banyubiru tidak setajam tombak orang Pamingit?,
tanya Arya.
Orang Pamingit
yang semula marah itu kemudian kehilangan kemarahannya, bahkan dengan menggigil
ia menjawab
“Tidak, tidak.
itu samasekali bukan salahku. Aku melarang mereka untuk berbuat hal yang tidak
kalian kehendaki.”
“Bohong!,”
bentak Arya,
“kau pasti
memberikan tanda tanda rahasia kepada mereka.”
“Tidak,
tidak,” orang itu benar benar menggigil. Ia masih senang untuk tetap hidup.
Apalagi upahnya bulan ini masih belum diterimanya sama sekali. Alangkah
mengerikannya kalau malam ini ia terpaksa mati. Lalu bagaimana dengan anak
isterinya?.
“Bukan, bukan
salahku. Aku masih ingin hidup. Bukankah aku telah membawa kalian melampaui
gardu kedua?”
Arya harus
cepat mengambil keputusan. Suara kentongan itu menjadi semakin merata.
Untunglah bahwa ia sudah mengenal jalan jalan di Banyubiru itu dengan baik.
Karena itu, segera ia mengambil keputusan untuk secepat cepatnya sampai kerumah
pamannya. Mudah mudahan pamannya dapat mengerti alasan kedatangannya dan dapat
menerimanya untuk beberapa saat saja, untuk berbakti kepada kakeknya dan
apabila mungkin membawa ibunya keluar dari sarang sarang orang orang licik itu.
Sebab tidak mustahil kalau ibunya akan dijadikan kambing hitam kemarahan
pamannya, atau malahan dijadikan tanggungannya.
“Kita harus
sampai secepatnya,” katanya kepada Wanamerta.
Orang Pamingit
itu menjadi semakin gemetar……
ORANG Pamingit
itu menjadi semakin gemetar. Seolah-olah ujung tombak Arya itu telah masuk
sejari ke dalam perutnya.
“Bagaimana
dengan kau?” bentak Arya kepada orang Pamingit itu.
“Bukan
salahku. Aku masih ingin hidup,” pintanya dengan suara menggigil ketakutan.
Arya menjadi
kasihan juga melihat orang itu.
“Anakku lima
orang,” sambungnya,
“Yang terkecil
baru berumur 3 bulan. Hidupilah aku. Aku akan tunduk segala perintahmu.”
Kata-kata itu
meluncur saja tanpa terkendali. Meskipun hatinya sendiri merasa ragu. Sebab kalau
ia menghadapi keadaan seperti itu, pasti orang itu akan dibunuhnya. Karena itu
ia mencoba meyakinkan,
“Anak-anakku
akan kelaparan kalau aku mati. Aku tidak punya sawah dan istriku bukan juragan.
Karena itu aku harus bekerja menjadi laskar Ki Ageng Lembu Sora, meskipun itu
bertentangan dengan jiwaku sendiri. Sebenarnya aku….”
Orang itu
tidak sempat menyelesaikan kata-kata ketika tiba-tiba ia merasa tangan Arya
mendorongnya. Ia merasa terlempar dari punggung kuda itu dan sekali terguling.
Kemudian ia hanya dapat menyaksikan kuda-kuda itu berlari semakin kencang dan
meninggalkan kepulan debu yang putih. Untuk beberapa saat ia masih duduk di
tanah. Nafasnya bergelora tak teratur. Namun ketika ia meraba lambungnya, dan
tidak terdapat luka sama sekali, ia menarik nafas dalam-dalam. Rupa-rupanya ia
masih tetap hidup. Sambil mengangguk-angguk ia berkata kepada diri sendiri,
“Agaknya anak
itu benar-benar tidak mau membunuh aku. Aneh.”
Suara derap
kuda itupun menjadi semakin lambat dan akhirnya menghilang di kejauhan. Orang
Pamingit itu berdiri perlahan-lahan. Punggungnya terasa sakit. Agaknya ia
benar-benar jatuh terbanting. Namun ia masih tetap hidup. Tiba-tiba ia menjadi
sangat terharu. Ia masih mempunyai harapan untuk bertemu dengan anak istrinya.
Mudah-mudahan kalau besok benar-benar terjadi pertempuran, ia dapat hidup pula.
\
“Tuhan Maha
Pengasih,” desisnya.
Ia terkejut
sendiri mendengar kata-katanya. Sudah berapa tahun ia tidak pernah menyebut
nama Tuhan. Dan tiba-tiba ia berjanji pada diri sendiri, kalau ia masih
dikaruniai umur panjang, ia akan rajin mengunjungi masjid. Bahkan ia berjanji
untuk memperbaiki masjid di desanya yang selama ini tak terpelihara.
Ketika ia
sedang mengusap air matanya yang tiba-tiba saja membasahi pipinya, tiba-tiba
terdengarlah hiruk pikuk. Ia mendengar langkah orang berlari-lari. Dari
tikungan muncullah beberapa orang bersenjata dan langsung datang kepadanya.
“Siapa kau?”
bentak salah seorang.
“Srengga,”
jawab orang Pamingit itu.
“Apa kerjamu
di sini?” tanya orang itu pula. Orang Pamingit itu menjadi bingung. Lalu ia
menjawab saja sekenanya,
“Aku terjatuh
di sini, lihat ini luka di kakiku.”
“Terjatuh dari
mana?” tanya orang itu. Srengga semakin bingung ketika tiba-tiba seseorang
bertanya,
“Kau yang
melampaui gardu kedua bersama-sama dengan orang-orang Banyubiru?”
“Ya,” jawabnya
kosong.
Akhirnya ia
sadar bahwa ia harus menyelamatkan diri pula.
“Aku
ditipunya.”
“Bohong,”
bentak orang itu.
“Anak buahmu
datang kepada kami dan menceriterakan apa yang sudah terjadi.”
Dada orang itu
berdesir. Namun ia masih mencoba untuk mengurangi kesalahannya.
Katanya,
“Nah, kalau
kau sudah tahu kenapa kalian bertanya. Coba katakan kepadaku kalau salah
seorang dari kalian mengalami keadaan seperti yang aku alami. Apa yang akan
kalian lakukan? Membunuh diri dan membiarkan orang itu lari sesudah mengetahui
keadaan medan? Apakah kalian dengan kaki-kaki kalian dapat mengejar derap lari
kuda mereka?”
“Pengecut,”
bentak salah seorang.
“Berapakah
jumlah mereka? Dan berapakah jumlah kalian di gardu pertama?”
“Jumlah kami
ada 15 orang,” jawab Srengga.
“Limabelas
orang dengan orang-orang seperti Ira, Prana, Wreditama yang hanya bisa jual
tampang, Sungsang yang bermata merah tetapi takut melihat darah.”
“Dipimpin oleh
Srengga, yang lebih senang memeluk daging panggang daripada senjatanya,” potong
seseorang.
“Jangan banyak
bicara,” Srengga mulai marah.
“Kau belum
tahu siapa mereka. Coba katakan berapa orang di gardu kedua? Berapa?”
“Juga 15
orang. Tetapi 15 orang di gardu kedua tidak takut melawan limabelas orang berkuda.
Jangankan empat,” jawab yang ditanya.
“Omong
kosong,” bentak Srengga.
“Dengar.
Dengan apa yang telah aku lakukan, aku telah menyelamatkan kalian. Kau tahu
siapa yang berkuda tadi?”
Orang-orang
dari gardu kedua itu tertawa terbahak-bahak. Salah seorang berkata mengejek,
“Menyelamatkan
kami? Apakah yang empat orang itu terdiri dari jin? Atau setan, hantu… atau
tetekan?” “Lebih dari itu,” potong Srengga.
“Mereka adalah
Arya Salaka.”
“He…?”
semuanya terkejut mendengar nama itu.
“Kalau benar
kau benar-benar gila. Duapuluh lima bahu dijanjikan untuk menangkapnya, hidup
atau mati. Dan duapuluh lima bahu itu kau sia-siakan?”
“Aku belum
selesai,” sahut Srengga,
“Yang lain
adalah Kiai Wanamerta, yang mempunyai takaran tiga empat orang darimu.”
“Masih cukup
banyak?” sela seseorang.
“Yang lain
lagi…,” Srengga meneruskan,
“Orang itu
tidak lain adalah Mahesa Jenar.”
“Mahesa
Jenar…?” Mereka berbareng mengulang.
“Ya,” jawab
Srengga.
“Dan yang
seorang lagi adalah orang yang melindungi Bantaran di tanah lapang beberapa
minggu yang lalu.”
ORANG dari
gardu kedua itu tiba-tiba terdiam.
“Nah…” Srengga
meneruskan,
“Hitunglah
berapa orang harus disiapkan untuk melawan mereka. Paling-paling kalian hanya
berani melawan orang-orang yang membawa obor itu. Mahesa Jenar dan yang seorang
lagi, ditambah dengan Arya Salaka agaknya akan dapat membunuh kami tigapuluh
orang tanpa kesukaran sebelum kami sempat memukul tanda bahaya.”
Mereka masih
tetap diam. Srengga merasa bahwa orang-orang itu membenarkan sikapnya.
Katanya
meneruskan,
“Nah, aku
bekerja dengan otakku. Aku tidak melawan mereka. Aku antarkan mereka masuk
lebih dalam ke daerah Banyubiru. Maksudku aku akan membawanya ke alun-alun. Di
sana laskar kita akan berpesta. Bukankah Ki Ageng Lembu Sora, Sawung Sariti,
dan kalau perlu Ki Ageng Sora Dipayana ada?”
Orang dari
gardu itu mengangguk-angguk.
Salah seorang
dari mereka berkata,
“Agaknya kau
pandai bersiasat, Srengga.”
“Itulah,”
jawab Srengga,
“Karena
ketololan kalian dengan membunyikan tanda-tanda itu, mereka melarikan diri. Aku
dilemparkan dari punggung kuda tanpa dapat berbuat sesuatu.”
“Ke mana
mereka?” tanya orang-orang dari gardu kedua.
“Kau akan
mengejar mereka?” tanya Srengga pula.
Orang-orang di
gardu kedua itu diam.
“Kembalilah ke
gardu kalian.” Tiba-tiba Srengga memerintah.
“Aku akan
kembali ke garduku. Lupakan mimpi burukmu. Tanah duapuluhlima bahu itu. Sebab
kalau kepalamu telah terpisah dari lehermu, kau tidak akan dapat menikmatinya.”
Srengga tidak
menunggu jawaban. Ia langsung kembali ke gardunya. Di sepanjang jalan sempit
itu tiba-tiba ia teringat pada kata-katanya sendiri. Kalau Arya Salaka pergi ke
alun-alun, ia benar-benar dapat dikeroyok oleh laskar Pamingit, bahkan mungkin
dengan Lembu Sora dan Sawung Sariti.
Tanpa sadar,
merayaplah suatu perasaan yang belum pernah dirasakan Srengga sebelumnya. Ia
tiba-tiba merasa cemas terhadap keselamatan lawannya. Baru kali ini hal itu
terjadi. Namun ia tidak mampu berbuat apa-apa, kecuali tanpa sadar pula ia
berdoa di dalam hatinya, semoga Tuhan Yang Maha Esa melindungi Arya Salaka dan
kawan-kawannya.
Dalam pada
itu, laskar Banyubiru yang sedang beristirathat tidak jauh dari perbatasan
kota, mendengar pula tanda-tanda yang dibunyikan oleh orang-orang Pamingit di
Banyubiru. Demikian mereka mendengar bunyi itu, demikian mereka menjadi
gelisah. Sebelum pemimpin-pemimpin mereka memberikan perintah apapun, mereka
telah menyiapkan diri. Semua orang di dalam pasukan itu, apalagi orang-orang
yang telah dipilih oleh Sendang Papat untuk menjadi pelopor laskarnya, telah
bersiap diri. Mereka berdiri tegak dengan tekad yang teguh memandangi lambung
bukit di hadapannya. Di leher mereka melingkar kain putih memplak bergambar
gajah berwarna kuning emas sebagai pertanda kesediaan mereka untuk mati bagi
tanah mereka.
Yang paling
depan dari mereka itu adalah Sendang Papat sendiri. Tangannya yang gemetar
telah melekat di tangkai pedangnya. Tetapi ia belum melihat tanda apapun. Ia
belum mendengar bunyi sendaren atau melihat panah api naik ke udara. Namun
karena itulah ia menjadi semakin gelisah, jangan-jangan Arya Salaka tidak
sempat memberikan tanda-tanda itu.
“Mustahil,”
gumamnya. Di sayap kiri, Bantaran pun menjadi gelisah. Meskipun Ki Dalang
Mantingan tampaknya tenang-tenang saja, namun di dalam dadanya pun bergolak
perasaan cemasnya, dan di tangannya tergenggam erat-erat trisulanya.
Di sayap
kanan, Penjawi berjalan hilir mudik di hadapan anak buahnya yang telah memegang
senjata masing-masing. Wirasaba duduk di atas sebuah batu, dan meletakkan
dagunya pada tangkai kapaknya. Sesekali dua kali ia menarik nafas dalam-dalam
untuk mencoba menekan hatinya yang gelisah. Namun merekapun belum melihat tanda
apapun yang melontar ke udara.
Sedang pada
saat itu kuda Arya Salaka beserta rombongan meluncur lewat jalan-jalan sempit
di dalam kota. Mereka menjadi semakin dekat dengan alun-alun Banyubiru, tempat
Arya bermain pada masa kanak-kanaknya. Suara kaki-kaki kuda itu berderak-derak
memukul jalan-jalan berbatu memecah sepinya malam. Beberapa orang yang masih
tinggal di rumah masing-masing menjadi semakin ngeri. Seolah-olah mereka
mendegar gemuruhnya gunung yang meledak di hadapan mereka.
“Adakah laskar
Arya Salaka telah datang…” bisik mereka.
Seorang ibu
sambil memeluk anaknya di pembaringan bergumam,
“Apakah
kira-kira yang akan terjadi…?”
Suaminya, lelaki
tua yang duduk di sisinya menjawab lirih,
“Pertempuran
akan berkobar di perbatasan. Mudah-mudahan mereka tidak akan menginjak halaman
rumah kita.”
LELAKI tua itu
berdiri dan berjalan ke amben di sebelah. Ia melihat selosin anak-anaknya yang
lain sedang tidur nyenyak. Ia menarik nafas panjang. Kalau rumahnya itu
terpaksa dibakar orang, entah orang Pamingit entah orang Banyubiru, dan dirinya
sendiri terpaksa diseret di sepanjang jalan, entah oleh orang Pamingit entah
oleh oleh orang Banyubiru, lalu apakah yang akan terjadi dengan anak-anak itu.
Peperangan adalah sesuatu yang terkutuk. lebih-lebih bagi anak-anak. Anak-anak
yang ingin menikmati kebesaran alam, yang diperuntukkan bagi mereka oleh Maha
Penciptanya. Dalam bentrokan-bentrokan yang demikian itu segala sesuatu dapat
terjadi. Orang yang tangannya telah dibasahi darah, kadang-kadang menjadi
kehilangan kesadaran. Orang-orang yang dalam hidupnya sehari-hari tidak sampai
hati membunuh seekor tikus pun, dalam peperangan kadang-kadang akan dapat melakukan
perbuatan-perbuatan terkutuk. Membunuh, menyiksa dan bahkan terhadap anak-anak.
No comments:
Post a Comment