Bagian 068


SENDANG PAPAT tidak bertanya lagi. Alasan Arya Salaka dan cara yang akan dilakukan memang masuk akal, meskipun Arya Salaka terpaksa memutar balik, agar laskarnya tidak dikecewakan.
“Baik….” Akhirnya Sendang Papat menjawab,
“Akan aku siapkan beberapa orang pelopor yang apabila keadaan memaksa akan menembus pasukan Pamingit langsung ke arah tanda-tanda yang akan kau berikan, untuk membantu. Sedang yang lain akan aku kerahkan untuk memberi tekanan kepada mereka, sampai kau dan Tuan Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Kiai Wanamerta dapat membebaskan diri.”
“Bagus,” jawab Arya,
“Kami akan berangkat. Beritahu kepada sayap-sayap laskar ini, supaya mereka tidak terkejut melihat tanda-tanda apabila terpaksa aku berikan, siapkan sayap-sayap itu.”
Setelah memberikan beberapa pesan-pesan, serta menempatkan Rara Wilis sebagai penasehat Sendang Papat, maka berangkatlah rombongan kecil itu. Di muka sekali seorang pembawa obor besar merupakan penerang jalan, kemudian berkuda di belakangnya Wanamerta dan Arya Salaka. Dekat di belakangnya berjajar Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Kemudian yang terakhir juga seorang pembawa obor. Rombongan itu sangat menarik perhatian laskar Banyubiru. Mereka saling bertanya-tanya apakah yang akan dilakukan oleh rombongan kecil itu, sehingga sesaat kemudian para pemimpin laskar itu mendengar penjelasan dari Sendang Papat. Dengan demikian mereka tidak gelisah oleh usaha-usaha yang mereka anggap tak akan berarti.

Dalam waktu yang singkat, rombongan Arya Salaka telah terpisah jauh dari laskarnya. Mereka berjalan di jalan-jalan persawahan yang membujur diantara tanah-tanah yang diterangi oleh batang-batang padi yang sedang berbunga. Sedang dekat di hadapan mereka tampaklah seperti bukit-bukit kecil, desa-desa yang pertama. Dari desa-desa itulah sore tadi Endang Widuri melihat cahaya yang berkilat-kilat bersahut-sahutan. Dalam keheningan malam itu terdengarlah suara Mahesa Jenar perlahan-lahan,
“Arya, batang-batang padi sedang berbunga.”
“Ya,” jawab Arya singkat.
“Kalau kau berjalan beriring dengan laskarmu dalam gelar perang, atau orang-orang Pamingit yang maju dalam gelar pula, batang-batang padi yang sedang berbunga itu akan binasa oleh kaki-kaki laskar yang akan bergulat diantara hidup dan mati. Tetapi disamping laskar itupun masih ada lagi orang-orang yang akan bergulat melawan lapar, sebab tanah harapannya telah hancur dilanda arus peperangan. Perempuan-perempuan akan menangis karena kehilangan suami, sedang anak-anak mereka akan menangis karena lapar.”
Terasa sesuatu menggores di dalam dada Arya. Peperangan adalah peristiwa yang terkutuk. Yang dapat mematahkan cinta antara manusia, cinta antara keluarga, cinta antara suami istri dan anak-anak mereka. Tetapi gurunya itupun pernah berkata kepadanya,
“Arya, ada beberapa tingkat dalam bercinta. Cinta kita kepada sesama, cinta antara pria dan wanita, cinta antara orang tua dan anak-anak, cinta antara manusia. Kemudian meningkatlah cinta kita kepada tanah kelahiran, kepada kampung halaman, kepada tanah air dan bangsa. Tanah yang diberikan oleh Tuhan kepada kita serta lingkungan hidup di atasnya. Dan tingkat yang tertinggi dari cinta kita adalah cinta kita kepada sumber cinta itu sendiri. Kepada yang memberi kita gairah atas sesama manusia, yang memberikan tanah tumpah darah dan lingkungan hidup di atasnya. Yaitu cinta kita kepada Tuhan itu sendiri. Cinta kita kepada Yang Maha Pencipta. Tak ada yang dapat dipertentangkan dengan cinta kita kepada Tuhan Yang Maha Esa. Cinta itu adalah cinta yang paling luhur. Tetapi kadang-kadang kita dihadapkan kepada persoalan yang seolah-olah merupakan pertentangan antara kedua pancarannya. Cinta kita kepada tanah tumpah darah, cinta kita kepada bangsa yang seolah-olah bertentangan kepentingan dengan cinta kita pada kemanusiaan dan manusia.”
“Tidak,” kata gurunya itu,
“Kita bisa menempatkan kedua-duanya. Kita harus menempatkan cinta kita kepada tanah tumpah darah berdasarkan cinta kita kepada manusia. Kepada manusia yang akan kita lahirkan. Kepada manusia yang akan mewarisi hidup kita kelak, supaya mereka dapat menikmati hidup mereka. Supaya mereka dapat menikmati cinta yang kudus. Cinta kepada Tuhannya tanpa merasa takut dan cemas. Tanpa terganggu oleh persoalan-persoalan duniawi.”

Arya menarik nafas dalam-dalam. Memang peperangan harus dicegah. Tetapi kalau ia harus pecah, maka hendaknya perang itu dilandaskan kepada kepentingan kemanusiaan. Bukan kepentingan diri dan keinginan-keinginan untuk diri sendiri. Kalau peperangan antara laskarnya melawan laskar Pamingit. Perang ini memang dapat menimbulkan perlawanan atas rasa cinta, tetapi ia harus dilandaskan pada kecintaan dan pengabdian yang lebih luhur. Karena itulah maka Arya sadar, bahwa gurunya bukan bermaksud menganjurkan kepadanya untuk menerima nasibnya, nasib rakyatnya. Tetapi gurunya hanya mencoba mencegah timbulnya pertentangan apabila kemungkinan itu masih bisa dicapai.
Tiba-tiba tersentak dari lamunannya, ketika dengan tiba-tiba orang berkuda yang berjalan di mukanya itu mendadak berhenti.
“Ada apa?” ia bertanya. Orang itu menujuk ke depan. Di pojok desa tampaklah beberapa orang berdiri.
Kemudian terdengarlah salah seorang dari mereka berteriak,
“Berhentilah di situ.”
Arya kemudian mendorong kudanya, mengambil tempat terdepan. Ia masih maju beberapa langkah. Tetapi kemudian iapun terpaksa berhenti ketika sebuah tombak melayang dan menancap di tanah, hanya dua langkah dari kaki kudanya.

DEMIKIAN asyiknya Arya menganyam angan-angannya, sehingga ia tidak melihat sebelumnya, orang-orang yang menghadang perjalanannya itu. Ia tahu betul isyarat yang diberikan oleh orang-orang itu. Kalau ia tidak berhenti, maka tombak yang kedua akan diarahkan kepadanya. Karena Arya tidak menghendaki bentrokan terjadi, maka iapun mematuhi isyarat itu. Ketika rombongan kecil itu telah berhenti, majulah beberapa orang bersenjata mendekati mereka. Sementara itu Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara telah berada dekat di belakang Arya Salaka. Sedang Wanamerta pun kemudian menempatkan dirinya di samping anak muda yang membawa tombak Kyai Bancak itu. Beberapa orang itu kemudian berdiri mengitari Arya Salaka dan rombongannya, seolah-olah mereka hendak mengepung rapat-rapat. Salah seorang yang agaknya menjadi pemimpinnya maju selangkah, lalu dengan bertolak pinggang ia berkata,
“Siapakah kalian? Kemana kalian akan pergi? Dan apakah maksud kalian?”
Sesaat kemudian Arya Salaka menjawab,
“Ki Sanak, kami adalah orang-orang Banyubiru. Adakah Ki Sanak juga orang Banyubiru?”
“Ya,” jawabnya singkat.
“Kalau begitu kalian seharusnya mengenal kami,” sambung Arya.
Orang itu mengangkat alisnya. Tetapi tiba-tiba dari dalam rombongan itu meloncat seseorang sambil berteriak,
“Kalian merasa diri kalian orang-orang Banyubiru?”
“Ya,” jawab Arya.
“Aku orang Banyubiru sejak lahir,” katanya lantang penuh kebanggaan.
“Aku percaya, Ira. Kau memang lahir di Banyubiru, dibesarkan di Banyubiru, dan dewasa di Banyubiru,” sahut Wanamerta,
“Dan agaknya kau sekarang sedang mencoba untuk membalas budi kepada tanah yang telah memberikan kepadanya makan, di saat lapar dan memberimu air di saat kau haus.”

Orang itu terkejut. Memang matanya agak kurang jelas di dalam gelap, sehingga ia terlambat mengenal Wanamerta. Ketika ia mendengar suara itu, serta suara itu menyebut namanya dengan tepat, barulah ia berusaha mengenalnya baik-baik. Tiba-tiba terpekik dan berlari memeluk kaki orang tua itu.
“Bukankah Tuan… Kiai Wanamerta?”
“Akulah,” jawab Wanamerta.
“Maafkan aku Kiai. Aku kurang mengenal Kiai di malam yang gelap ini,” kata orang itu.
“He, Ira…” bentak pemimpin rombongan itu,
“Apa yang sedang kau lakukan?”
“Orang ini adalah Kiai Wanamerta,” jawab Ira,
“Ia adalah tetua tanah perdikan ini.”
“Tidak!” bentak pemimpin itu.
“Tak ada yang pantas disujudi di tanah ini selain Ki Ageng Lembu Sora.”
“Tetapi Kiai Wanamerta adalah emban kepala perdikan ini sejak aku lahir, sejak pemerintahan tanah perdikan ini dipegang oleh Ki Ageng Sora Dipayana.”
“Jangan menggurui aku,” bentak pemimpin itu, yang ternyata orang Pamingit.
“Akupun kenal Kiai Wanamerta. Agaknya benar itulah orangnya. Semula memang aku agak kurang mengenalnya kembali setelah ia menjadi bertambah tua. Tetapi Wanamerta adalah orang yang tak berarti bagi Banyubiru.”

Orang Banyubiru yang bernama Ira itu agaknya kurang senang mendengar kata-kata pemimpinnya itu. Maka iapun berkata,
“Jangan berkata begitu. Supaya aku tetap menghormatmu.”
“Apa…?” jawab orang Pamingit itu sambil membelalakkan matanya.
“Kau akan melawan pemimpinmu?”
Oleh bentakan itu, sadarlah Ira, bahwa bagaimanapun juga ia berada di bawah perintah orang Pamingit itu. Karena itu iapun terpaksa berdiam diri menahan hati. Tetapi dengan demikian, sadarlah ia bahwa apa yang dilakukannya selama ini ternyata bertentangan dengan suara hatinya. Ia hanya sekadar hanyut dalam arus yang tak dimengertinya sendiri. Ia mendengar segala macam ceritera dan caci maki terhadap orang-orang Banyubiru yang tidak mau menerima Lembu Sora memegang pemerintahan atas Pamingit dan Banyubiru. Pada saat itu ia mengira bahwa orang-orang itu memang benar-benar orang-orang yang akan membuat kacau saja. Apalagi kemudian berita tentang kehadiran Bantaran di tanah lapang di ujung kota, dan membuat onar tanpa mengetahui keadaan sebenarnya. Sebab yang tersiar hanyalah berita tentang Bantaran ngamuk. Tetapi tak ada yang mengatakan bahwa sebenarnya seorang Pamingit yang buas sedang berusaha untuk merendahkan kehormatan seorang wanita Banyubiru, yang kebetulan wanita itu adalah istri Panjawi. Disusul kemudian berita tentang Wanamerta, Sendang Papat dan Sendang Parapat, yang seolah-olah merupakan suatu kelompok yang akan merampok keramaian gila-gilaan ditanah lapang yang sama, bahkan kemudian Sendang Papat telah membakar seperangkat gamelan. Juga dalam kabar-kabar yang tersiar itu tak terdapat kata-kata, seorang telah menusuk lambung Sendang Parapat ketika Sendang bersuadara itu sedang melindungi seorang dari kemarahan orang-orang Banyubiru. Tetapi sekarang ketika Ira berhadapan dengan Wanamerta, tiba-tiba terasa bahwa berita itu sama sekali tidak benar. Orang seperti Wanamerta ini, tidak akan mungkin melakukan kebiadaban atas rakyat yang dicintainya, atas rakyat yang dibelanya sejak ia menempatkan dirinya di atas segala kepentingan pribadi.
Di dalam gelap malam itu terasa betapa sejuk wajah yang tua itu, dan betapa manis mata itu memandangnya, seolah olah terasa udara sejuk menusuk sampai ke tulang sungsumnya. Berbeda benar dengan pemimpinnya orang Pamingit, yang keras dan kasar itu. Keadaan yang hening itu tiba-tiba pecah oleh suara bentakan pemimpin rombongan pengawal itu,
“Sekali lagi aku bertanya, siapakah kalian selain Kiai Wanamerta?”
Arya mengangguk perlahan, jawabnya lambat,
“Aku Arya Salaka.”
“Arya Salaka….” kembali Ira terpekik.

TIBA-TIBA rontoklah hati orang Banyubiru itu setelah berhadapan dengan Arya Salaka, yang selama ini telah dianggap hilang. Memang ada diantara orang-orang Banyubiru yang dengan sadar menempatkan dirinya diantara orang-orang Pamingit, tetapi orang-orang seperti Ira inipun banyak sekali jumlahnya. Orang yang tak tahu arti perbuatannya sendiri. Tetapi Ira takut pula kepada pemimpinnya. Sebab dengan demikian, ia dapat kehilangan pekerjaan yang dapat dipakainya sebagai alat untuk berbangga diri terhadap kawan-kawannya. Berbeda dengan orang-orang Pamingit yang lain. Ketika mereka mendengar nama Arya Salaka, merekapun segera mendesak maju. Pemimpin pengawal itupun kemudian mendengus,
“Jadi kaulah orang yang mengaku bernama Arya Salaka?”
“Kenapa mengaku?” tanya Arya.
Orang Pamingit itu tertawa. Kemudian kepada anak buahnya ia berkata,
“Bersiaplah. Ada pekerjaan yang harus kalian lakukan. Inilah dia orangnya yang mengaku bernama Arya Salaka. Tidakkah kalian ingin menangkapnya?”
Para pengawal itupun semakin maju. Beberapa orang yang semula masih berdiri di pojok desa segera mendekat pula dengan senjata terhunus.
“Satu, dua tiga, empat, lima enam.”
Salah seorang diantara mereka menghitung jumlah rombongan kecil itu.
“Hanya enam orang. Aneh, apakah memang mereka ini sedang bunuh diri karena putus asa?”
“Ki Sanak…” kata Arya Salaka tenang,
“Jangan mengganggu kami. Sebab kamipun tidak mengganggu kalian malam ini. Kami hanya ingin minta kesempatan menghadap Eyang Sora Dipayana. Sesudah itu kami akan kembali.”
“Apa perlunya kalian menghadap Ki Ageng Sora Dipayana?” tanya pemimpin pengawal itu.
“Sebagai seorang cucu, aku harus berbakti kepadanya,” sahut Arya Salaka.

Orang itu tertawa kembali. Masih dengan bertolak pinggang ia menjawab,
“Jangan membuat alasan yang aneh-aneh. Dengarlah anak muda yang menamakan diri Arya Salaka, kalau kau lolos dari penjagaanku ini, kaupun akan binasa di gardu pengawal yang kedua, yang lebih rapat dan keras. Lihat itu, di bawah rumpun wregu di sana. Itulah gardu penjagaan kedua, dan disamping gardu itu pulalah laskar Pamingit bersiap untuk menerima kedatangan laskarmu besok pagi.”
“Tidakkah kita dapat menunda persoalan besok pagi, sampai pada waktunya?” tanya Arya.
“Sekarang aku akan menghadap eyangku sebagai seorang cucu.”
Orang itu menggeleng.
Perintahnya,
“Turun dari kuda kalian. Aku harus menangkap kalian, hidup atau mati.”
Diam-diam Wanamerta memanggil kedua orang yang membawa obor untuk mendekat. Setiap saat ia perlukan api obor itu untuk menjalankan panah apinya apabila diperlukan. Sesaat kemudian terdengarlah orang itu berkata pula,
“Duapuluh lima bahu tanah yang akan kami terima apabila kami berhasil menangkap orang yang menamakan diri Arya Salaka.”
Dada Arya Salaka berdesir mendengar kata-kata itu. Namun demikian dengan tersenyum ia berkata,
“Ah, betapa mahalnya kepalaku yang tak berarti ini. Duapuluh lima bahu tanah adalah cukup luas. Tetapi kalau yang duapuluh lima bahu itu tanah di sekitar Rawa Pening, maka aku kira kau akan keberatan.”
Tetapi hatinya berkata,
“Suatu usaha yang tak kenal kesopanan. Janji itu agaknya telah menutup kemungkinan untuk mengadakan pembicaraan wajar. Mereka pasti akan mencari-cari alasan untuk menimbulkan pertengkaran, dan kemudian menangkapnya hidup atau mati.”

Diam-diam Arya Salakapun menghitung jumlah mereka. Tidak kurang dari limabelas orang. Tetapi sebenarnya limabelas orang itu tak banyak berarti bagi rombongan kecil yang hanya berjumlah enam orang itu. Terdengar kemudian orang Pamingit yang sudah mulai kehilangan kesabaran itu membentak,
“Aku punya wewenang untuk menangkap kau. Kalau mungkin hidup, kalau tidak, matipun tak akan mengurangi hadiah yang sudah dijanjikan.”
“Bagaimana kalau kau yang mati? Adakah kau akan menerima hadiah pula?” Tiba-tiba Wanamerta bertanya.
“Diam!” bentak orang Pamingit itu marah.
“Meskipun tak ada hadiah yang dijanjikan buat kau, namun aku ingin juga menyobek mulutmu itu.”
Wanamerta mengangkat alisnya yang sudah mulai keputih-putihan. Tetapi kesan wajahnya masih tetap saja, sejuk. Bahkan wajah Ira lah yang menjadi tegang mendengar kata-kata kasar dari pemimpinnya itu.
Tetapi sekali lagi ia tidak mau berbuat apa-apa yang dapat merugikan kedudukannya.
Dalam ketegangan itu terdengarlah Wanamerta berkata,
“Adakah kau mendengar ceritera tentang tanah lapang beberapa hari lampau? Pada saat itu aku dan Sendang Papat pun telah hampir mati dikeroyok oleh orang-orang Pamingit. Tetapi tiba-tiba datang beberapa orang pemuda. Salah seorang daripadanya dapat memecahkan kepala kuda dengan tangannya. Waktu orang-orang Pamingit keheranan dan ketakutan, ia berkata, “Arya Salaka pun mampu berbuat demikian. Nah, adakah kau dengar. Sekarang biarlah Arya Salaka mencoba. Karena kau bersikap permusuhan biarlah kepalamu saja yang dipecahkan.”

ARYA SALAKA sendiri geli mendengar kata-kata itu, namun ternyata ada juga akibatnya. Memang orang Pamingit itu pernah mendengar peristiwa dari kawan-kawannya. Tanpa sadar Arya Salaka mengamat-amati tangan anak muda itu. Di dalam gelap ia melihat tangan itu tidak lebih dari tangan-tangan yang lain. Tidak sebesar tangan raksasa, dan tidak terbuat dari baja.
“Omong kosong!” Tiba-tiba pemuda itu bergumam, namun hatinya sendiri ragu. Tetapi bukankah ia mempunyai banyak kawan? Dan bukankah dengan memukul kentongan, gardu penjagaan kedua akan memberinya bantuan? Bahkan dengan isyarat ia dapat menyiapkan laskar Pamingit yang nanti tengah malam akan membuat gelar perang, untuk melawan laskar Arya Salaka. Karena pikiran itu, pemuda itu menjadi tenang kembali. Dengan beraninya ia berteriak,
“Sekali lagi aku peringatkan, turun dari kuda kalian.”
Kali ini agaknya orang Pamingit itu sudah tidak mau berbicara lagi. Mungkin ia akan langsung menyerang atau akan memukul tanda bahaya. Kemungkinan yang kedua itulah yang pasti akan dilakukan segera apabila ia tahu bahwa di dalam rombongan kecil itu ada Mahesa Jenar dan ada orang yang pernah bertempur melawan beberapa orang berkuda sekaligus ditanah lapang, Kebo Kanigara. Arya Salaka pun tidak mau membuang-buang waktu, sebab tengah malam ia harus sudah berada diantara laskarnya kembali. Karena itu ketika ia sudah tidak mempunyai pilihan lain, kecuali dengan kekerasan atau tindakan-tindakan semacam itu, maka segera iapun meloncat turun. Tetapi demikian ia menjejak tanah, demikian ia melangkah dengan lincahnya menangkap pergelangan orang Pamingit itu.

Orang itu terkejut bukan main. Sama sekali tak diduganya bahwa anak muda itu dapat bergerak sedemikian tangkasnya seperti burung lawet yang menari-nari di udara. Tetapi segala sesuatu telah terlambat. Tangan orang Pamingit itu terasa seperti terhimpit besi. Perasaan nyeri dari pergelangan tangan itu menjalari tubuhnya sampai ke ujung ubun-ubun. Terdengar orang itu mendesah menahan sakit. Tetapi ia adalah pemimpin rombongan pengawal. Tentu saja ia tidak mau menunjukkan kelemahannya di hadapan anak buahnya. Dengan tangan kirinya ia mencoba menghantam dada Arya Salaka. Arya melihat tangan yang terayun ke arah dadanya. Namun kekuatan orang Pamingit itu sebagian besar telah lenyap karena perasaan sakitnya. Dengan demikian, ayunan tangannya itu sama sekali sudah tak berarti. Arya Salaka pun sama sekali tidak menghindar ketika dadanya dibentur oleh pukulan itu. Bahkan dengan tertawa pendek ia berkata,
“Jangan meronta-ronta anak nakal. Sekali-kali kau perlu mendapat pelajaran.”
Bukan main panasnya hati orang Pamingit itu mendengar kata-kata Arya Salaka. Dengan mengerahkan tenaganya ia berusaha melepaskan tangannya. Tetapi semakin ia berusaha, semakin sakit tangan Arya Salaka menghimpitnya. Meskipun demikian ia tidak putus asa, dengan kakinya ia mencoba menyerang. Namun dengan satu putaran, ia menjadi tidak berdaya. Orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu seperti terpaku di tempatnya. Mereka seperti melihat pertunjukan yang aneh. Tiba-tiba saja mereka melihat pemimpinnya terpilin tangannya dan kemudian mengaduh tanpa dapat melawan. Ketika mereka sadar, segera merekapun bergerak maju. Mereka sudah siap menyerang bersama-sama.

Tetapi dalam pada itu terdengar Arya berkata,
“Tidakkah kau dapat mengajari anak buahmu untuk tidak berbuat hal-hal yang dapat membawa bencana bagimu?”
Orang Pamingit itu tahu benar maksud Arya Salaka itu. Namun ia masih mencoba menggertaknya, katanya,
“Biarlah kau merasakan betapa tajamnya tombak orang-orang Pamingit. Kalau kau tak segera melepaskan tanganku, umurmu akan menjadi semakin pendek.”
Arya Salaka tertawa.
“Kau dengar?” katanya kepada para pengawal,
“Pemimpinmu akan memberi perintah kepadamu.”
“Bohong,” bantah pemimpin pengawal itu, ia masih akan berkata lagi ketika tiba-tiba Arya menekan lambungnya dengan tangkai tombaknya. Orang Pamingit itu menyeringai kesakitan. Tangkai tombak itu benar-benar menyesakkan nafasnya. Apalagi ketika terdengar Arya berkata,
“Tombak orang Banyubiru agaknya memang tidak begitu tajam seperti tombak orang-orang Pamingit, namun tombak inipun akan dapat merontokkan tulang igamu.”
Ternyata orang Pamingit itu masih sayang kepada tulang iganya. Dengan segan-segan ia terpaksa berkata agak keras,
“Jangan berbuat sesuatu demi keselamatanku.”
Para pengawal itupun tertegun. Mereka jadi bingung, apa yang akan mereka lakukan. Kalau mereka menyerang bersama-sama, mungkin pemimpinnya itu akan mati. Tetapi kalau mereka tidak berbuat apa-apa, bukankah mereka telah berbuat kesalahan, dan sekaligus mimpi mereka tentang tanah yang duapuluh bahu itu akan lenyap?
Dalam keraguan itu terdengarlah Arya berkata,
“Dengarlah para pengawal yang belum mengenal kawan-kawan seperjalananku. Kecuali aku dan Eyang Wanamerta terdapat juga seorang yang pernah kau dengar namanya, yaitu Paman Mahesa Jenar. Di sampingnya adalah orang yang pernah menggemparkan tanah lapang itu pula. Ketika itu orang-orang Pamingit mencoba menangkap Bantaran.” Pemimpin pengawal itu menggeliat.
“Setan!” Ia mengumpat di dalam hati. Pada saat itu iapun ikut serta mengeroyok orang itu. Tetapi tidak kurang dari sepuluh orang berkuda sama sekali tak berhasil menangkapnya. Bahkan beberapa orang kawannya telah jatuh menjadi korban. Sedang para pengawal yang lainpun pernah juga mendengar ceritera itu dari kawan-kawan mereka atau dari pemimpinnya itu.
“Masihkah kalian akan melawan kami?” tanya Arya Salaka.

MEREKA diam seperti patung. Ternyata di dalam rombongan itu terdapat orang-orang yang bagi mereka hanya pernah mereka kenal sebagai tokoh-tokoh dalam ceritera-ceritera kepahlawanan yang sakti tiada taranya. Hanya pemimpin rombongan pengawal itu sajalah yang benar-benar menyaksikan betapa Kebo Kanigara bertempur melawan mereka. Karena itu nafsu perlawanan merekapun menjadi lenyap. Mereka memang dapat memukul tanda bahaya, dan mengundang kawan-kawan mereka dengan tanda-tanda itu. Namun melawan tokoh-tokoh sakti yang seolah-olah sudah bukan manusia biasa lagi, mereka agaknya menjadi segan, sebab sebelum kawan-kawan mereka datang, nyawa mereka pasti sudah beterbangan. Arya Salaka merasakan betapa dalam pengaruh kata-katanya itu. Karena itu segera ia mempergunakan kesempatan. Katanya,
“Ki Sanak. Marilah antarkan aku sampai ke rumah Paman Lembu Sora. Bukankah sudah tidak begitu jauh lagi? Setidak-tidaknya untuk melampaui gardu penjagaan dan tempat-tempat pemusatan laskar Pamingit itu.”
Pemimpin rombongan itu menggeram. Ia menjadi marah sekali. Tetapi tak satupun yang dapat dilakukan. Sebab ia tahu benar, bahwa tombak anak muda itu setiap saat dapat menembus jantungnya.
“Marilah…” kata Arya,
“Berkuda bersama-sama dengan aku.”
Sungguh suatu pekerjaan yang tak menyenangkan. Tetapi ia masih ingin dapat melihat bintang-bintang yang bertebaran di langit biru. Karena itu ia tidak membantah. Selagi ia masih hidup, ia masih mempunyai harapan untuk melepaskan diri. Dengan langkah yang kosong pemimpin pengawal itu didorong oleh Arya Salaka ke kudanya untuk kemudian meloncat ke punggung kuda itu dan menaikinya bersama-sama. Kemudian kuda-kuda itupun bergerak.
“Kau tahu apa yang harus kau lakukan untuk menyelamatkan jiwamu?” bisik Arya kepada orang Pamingit itu. Orang itu tidak menjawab. Tetapi kupingnya serasa tersentuh api.
Meskipun demikian ia berkata,
“Jangan berbuat sesuatu, supaya aku tidak memecatmu.”
“Padamkan obor,” perintah Arya seterusnya. Ketika obor-obor mereka telah padam, mereka meneruskan perjalanan mereka yang penuh dengan bahaya. Sebab mereka sama sekali tidak menduga bahwa telah diundangkan suatu hadiah yang menarik untuk menangkap Arya Salaka. Hal itu akan sangat mempengaruhi cara berpikir orang-orang Pamingit dan orang-orang Banyubiru yang berhati goyah. Sementara itu Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara memuji di dalam hati mereka. Ternyata Arya memiliki ketangkasan berpikir yang cukup. Dalam keadaan yang demikian, ia dapat mengatasinya tanpa banyak keributan.
“Pandai juga anak itu menghemat tenaga,” bisik Kebo Kanigara.
Mahesa Jenar tersenyum sambil mengangguk, jawabnya,
“Agaknya ia tidak mau merepotkan orang-orang tua ini.”

Kemudian mereka berdiam diri, Wanamerta berada rapat di belakang Arya Salaka. Dua orang yang membawa obor itupun kemudian dipanggilnya mendekat.
“Sediakan titikanmu,” perintah Wanamerta.
“Setiap saat kita perlukan api. Kalau keadaan memburuk harus kita kirimkan tanda-tanda dengan panah sendaren dan panah api.”
Orang itupun segera menyediakan titikan, emput dan dimik belerang. Supaya dalam keadaan yang tergesa-gesa mereka dapat segera menyalakan tanda-tanda apabila diperlukan.
“Kalau terjadi perkelahian jangan hiraukan lawan-lawan kita, tugasmu menyalakan api.” Wanamerta meneruskan.
“Baik Kiai,” jawab orang itu. Perjalanan menyusur tepi desa itu semakin lama semakin dalam masuk kota Banyubiru. Meski demikian alangkah sepinya. Tak ada nyala api sama sekali dalam rumah-rumah di tepi jalan. Agaknya mereka dalam ketakutan yang sangat. Atau barangkali rumah-rumah di tepi jalan itu sudah tidak berpenghuni. Barangkali mereka telah mengungsi jauh-jauh untuk menghindarkan diri dari rumah-rumah mereka yang mungkin akan menjadi ajang perang yang mengerikan.
Orang-orang Pamingit ternyata tidak mempunyai kebesaran tekad seperti orang-orang Banyubiru. Mereka sedikit banyak menggantungkan pekerjaan yang dilakukan pada upah yang mereka terima. Mereka bekerja pada Lembu Sora bukanlah karena jiwa pengabdian mereka kepada tanah kelahiran mereka, atau kepada suatu keyakinan mereka terhadap kebenaran yang dapat diperjuangkan oleh para pemimpinnya. Mereka bekerja bukan semata-mata karena para pemimpinnya, tetapi mereka bekerja semata-mata karena mereka menerima upah. Itulah sebabnya orang Pamingit yang berkuda bersama-sama dengan Arya itupun lebih senang memelihara hidupnya daripada melakukan tugasnya dengan jantan. Ia masih mengharap untuk dapat hidup dan melepaskan diri. Pekerjaannya kemudian hanyalah mereka-reka alasan untuk membebaskan dirinya dari kemarahan atasannya.

Ketika kuda-kuda itu menjadi semakin dekat dengan gardu penjagaan, hati orang itupun menjadi semakin gelisah. Apakah yang akan dikatakan kepada mereka kalau orang-orang di gardu penjagaan itu menghentikan rombongan ini. Sedang kalau mereka akhirnya tahu, bahwa rombongan ini terdiri dari Arya Salaka dan kawan-kawannya, maka mereka pasti akan mengambil tindakan. Dengan demikian, maka jiwanyapun terancam pula oleh ujung tombak Arya Salaka.
Karena itu,demi keselamatan diri, ia berkata perlahan-lahan,
“Kita ambil jalan simpang.”
“Jangan menjebak kami,” sahut Arya Salaka.
“Aku belum gila,” bantah orang itu.
“Apakah yang akan kau katakan di hadapan gardu itu nanti kalau kita melewatinya?”
“Itu bukan urusanku tetapi urusanmu kalau kau masih ingin hidup seterusnya,” jawab Arya
“Karena itu, kita lewat jalan simpang yang sempit disamping pohon Wregu itu,” sahut orang itu.
“Apakah tidak mencurigakan?”, tanya Arya.
“Lebih aman bagimu,” jawab orang Pamingit itu.
“Dan bagimu juga,” Arya meneruskan sambil tertawa.
Tiba tiba terdengar dari gardu penjagaan yang sudah tidak jauh lagi sebuah teriakan,
”He, kemana arah angin?”.
Arya tahu bahwa kata-kata itu adalah pertanyaan sandi. Ketika orang Pamingit itu belum menjawab, Arya meneruskan ujung tombaknya sambil berbisik,
”terserah kepadamu.”
Orang itu semakin marah, tetapi mulutnya berteriak juga untuk keselamatannya,
“Kelaut!”.
“Dimana letak bintang Waluku?” terdengar suara dari Gardu.
“Tenggara”, jawab orang Pamingit itu.
“He!,” kembali orang di gardu berteriak,
“Siapa kau?”
“Dari gardu pertama mengantar orang Banyubiru yang meninjau medan,” jawab orang yang berkuda bersama Arya itu berteriak.
“Kenapa lewat jalan sempit itu?,” bertanya suara itu pula.
“Ia akan singgah ke rumahnya sebentar. Makan dan mengambil kambingnya yang tertinggal ketika keluarganya mengungsi,” jawabnya.

Orang di gardu itu diam. Mereka membiarkan rombongan itu lewat meskipun didalam hati bertanya tanya,
“kenapa demikian banyak?,” Tetapi karena mereka dapat menjawab kata kata sandi itu, maka merekapun menjadi tidak bercuriga. Bahkan kemudian terdengar salah seorang berteriak,
” Bawa kambing kemari, kita panggang disini.”
“Baik,” jawab orang Pamingit itu.
Dengan demikian, mereka selamat melampau penjagaan itu. Mereka menyususup jalan sempit kemudian lewat beberapa halaman, mereka sampai ke jalan kecil yang lain.
“Terimakasih,” bisik Arya,
“Kau adalah penunjuk jalan yang baik. Tetapi dimanakah pemusatan laskar Pamingit?”
“Sudah lampau. Diseberang gardu penjagaan tadi,” jawabnya.
Arya percaya. Dia tertawa dalam hatinya. Beginilah nilai kesetiaan orang Pamingit. Mereka tidak lebih daripada laskar bayaran yang tak kenal pengabdian. Ketika mereka sudah mencapai jalan kecil itu, segera Arya mengenalnya, kemana ia harus pergi.
Tetapi meskipun demikian ia masih belum melepaskan orang pamingit itu. Suara telapak kuda terdengar gemeretak diatas tanah yang berbatu padas. Di dalam malam yang sepi terdengar seperti suara prajurit yang berpuluh jumlahnya maju ke medan perang.
Tiba tiba ketika mereka masih asik berangan angan tentang diri masing masing, terdengarlah dari arahgardu pertama, suara kentongan yang berbunyi dua kali tiga ganda, sehingga orang dalam rombongan berkuda itu menjadi terkejut karenanya.
Orang Pamingit itu menjadi gelisah. Siapakah yang telah memberikan tanda. Bahkan kemudian tanda itu disaut oleh gardu kedua.
“Tanda bahaya?” desis orang Pamingit itu.
“Bahaya apa?,” desak Arya.
“Mereka bersiap siap,” jawabnya.
“Bohong,” potong Arya Salaka,
“mereka memberi tanda bahwa ada musuh masuk ke dalam pertahanan mereka.”

Orang Pamingit itu diam. Keringat dinginnya mengalir membasahi punggungnya. Ia sama sekali tidak menduga bahwa anak buahnya akan membunyikan tanda itu, yang baginya adalah tanda bahwa maut telah menerkamnya. Tiba tiba terasa tengkuknya meremang seperti dirayapi oleh berjuta-juta semut. Apalagi ketika ujung tombak Arya semakin lekat di lambungnya.
“Kau masih menduga bahwa tombak orang Banyubiru tidak setajam tombak orang Pamingit?, tanya Arya.
Orang Pamingit yang semula marah itu kemudian kehilangan kemarahannya, bahkan dengan menggigil ia menjawab
“Tidak, tidak. itu samasekali bukan salahku. Aku melarang mereka untuk berbuat hal yang tidak kalian kehendaki.”
“Bohong!,” bentak Arya,
“kau pasti memberikan tanda tanda rahasia kepada mereka.”
“Tidak, tidak,” orang itu benar benar menggigil. Ia masih senang untuk tetap hidup. Apalagi upahnya bulan ini masih belum diterimanya sama sekali. Alangkah mengerikannya kalau malam ini ia terpaksa mati. Lalu bagaimana dengan anak isterinya?.
“Bukan, bukan salahku. Aku masih ingin hidup. Bukankah aku telah membawa kalian melampaui gardu kedua?”
Arya harus cepat mengambil keputusan. Suara kentongan itu menjadi semakin merata. Untunglah bahwa ia sudah mengenal jalan jalan di Banyubiru itu dengan baik. Karena itu, segera ia mengambil keputusan untuk secepat cepatnya sampai kerumah pamannya. Mudah mudahan pamannya dapat mengerti alasan kedatangannya dan dapat menerimanya untuk beberapa saat saja, untuk berbakti kepada kakeknya dan apabila mungkin membawa ibunya keluar dari sarang sarang orang orang licik itu. Sebab tidak mustahil kalau ibunya akan dijadikan kambing hitam kemarahan pamannya, atau malahan dijadikan tanggungannya.
“Kita harus sampai secepatnya,” katanya kepada Wanamerta.
Orang Pamingit itu menjadi semakin gemetar……

ORANG Pamingit itu menjadi semakin gemetar. Seolah-olah ujung tombak Arya itu telah masuk sejari ke dalam perutnya.
“Bagaimana dengan kau?” bentak Arya kepada orang Pamingit itu.
“Bukan salahku. Aku masih ingin hidup,” pintanya dengan suara menggigil ketakutan.
Arya menjadi kasihan juga melihat orang itu.
“Anakku lima orang,” sambungnya,
“Yang terkecil baru berumur 3 bulan. Hidupilah aku. Aku akan tunduk segala perintahmu.”
Kata-kata itu meluncur saja tanpa terkendali. Meskipun hatinya sendiri merasa ragu. Sebab kalau ia menghadapi keadaan seperti itu, pasti orang itu akan dibunuhnya. Karena itu ia mencoba meyakinkan,
“Anak-anakku akan kelaparan kalau aku mati. Aku tidak punya sawah dan istriku bukan juragan. Karena itu aku harus bekerja menjadi laskar Ki Ageng Lembu Sora, meskipun itu bertentangan dengan jiwaku sendiri. Sebenarnya aku….”
Orang itu tidak sempat menyelesaikan kata-kata ketika tiba-tiba ia merasa tangan Arya mendorongnya. Ia merasa terlempar dari punggung kuda itu dan sekali terguling. Kemudian ia hanya dapat menyaksikan kuda-kuda itu berlari semakin kencang dan meninggalkan kepulan debu yang putih. Untuk beberapa saat ia masih duduk di tanah. Nafasnya bergelora tak teratur. Namun ketika ia meraba lambungnya, dan tidak terdapat luka sama sekali, ia menarik nafas dalam-dalam. Rupa-rupanya ia masih tetap hidup. Sambil mengangguk-angguk ia berkata kepada diri sendiri,
“Agaknya anak itu benar-benar tidak mau membunuh aku. Aneh.”

Suara derap kuda itupun menjadi semakin lambat dan akhirnya menghilang di kejauhan. Orang Pamingit itu berdiri perlahan-lahan. Punggungnya terasa sakit. Agaknya ia benar-benar jatuh terbanting. Namun ia masih tetap hidup. Tiba-tiba ia menjadi sangat terharu. Ia masih mempunyai harapan untuk bertemu dengan anak istrinya. Mudah-mudahan kalau besok benar-benar terjadi pertempuran, ia dapat hidup pula. \
“Tuhan Maha Pengasih,” desisnya.
Ia terkejut sendiri mendengar kata-katanya. Sudah berapa tahun ia tidak pernah menyebut nama Tuhan. Dan tiba-tiba ia berjanji pada diri sendiri, kalau ia masih dikaruniai umur panjang, ia akan rajin mengunjungi masjid. Bahkan ia berjanji untuk memperbaiki masjid di desanya yang selama ini tak terpelihara.
Ketika ia sedang mengusap air matanya yang tiba-tiba saja membasahi pipinya, tiba-tiba terdengarlah hiruk pikuk. Ia mendengar langkah orang berlari-lari. Dari tikungan muncullah beberapa orang bersenjata dan langsung datang kepadanya.
“Siapa kau?” bentak salah seorang.
“Srengga,” jawab orang Pamingit itu.
“Apa kerjamu di sini?” tanya orang itu pula. Orang Pamingit itu menjadi bingung. Lalu ia menjawab saja sekenanya,
“Aku terjatuh di sini, lihat ini luka di kakiku.”
“Terjatuh dari mana?” tanya orang itu. Srengga semakin bingung ketika tiba-tiba seseorang bertanya,
“Kau yang melampaui gardu kedua bersama-sama dengan orang-orang Banyubiru?”
“Ya,” jawabnya kosong.
Akhirnya ia sadar bahwa ia harus menyelamatkan diri pula.
“Aku ditipunya.”
“Bohong,” bentak orang itu.
“Anak buahmu datang kepada kami dan menceriterakan apa yang sudah terjadi.”
Dada orang itu berdesir. Namun ia masih mencoba untuk mengurangi kesalahannya.
Katanya,
“Nah, kalau kau sudah tahu kenapa kalian bertanya. Coba katakan kepadaku kalau salah seorang dari kalian mengalami keadaan seperti yang aku alami. Apa yang akan kalian lakukan? Membunuh diri dan membiarkan orang itu lari sesudah mengetahui keadaan medan? Apakah kalian dengan kaki-kaki kalian dapat mengejar derap lari kuda mereka?”
“Pengecut,” bentak salah seorang.
“Berapakah jumlah mereka? Dan berapakah jumlah kalian di gardu pertama?”
“Jumlah kami ada 15 orang,” jawab Srengga.
“Limabelas orang dengan orang-orang seperti Ira, Prana, Wreditama yang hanya bisa jual tampang, Sungsang yang bermata merah tetapi takut melihat darah.”
“Dipimpin oleh Srengga, yang lebih senang memeluk daging panggang daripada senjatanya,” potong seseorang.
“Jangan banyak bicara,” Srengga mulai marah.
“Kau belum tahu siapa mereka. Coba katakan berapa orang di gardu kedua? Berapa?”
“Juga 15 orang. Tetapi 15 orang di gardu kedua tidak takut melawan limabelas orang berkuda. Jangankan empat,” jawab yang ditanya.
“Omong kosong,” bentak Srengga.
“Dengar. Dengan apa yang telah aku lakukan, aku telah menyelamatkan kalian. Kau tahu siapa yang berkuda tadi?”

Orang-orang dari gardu kedua itu tertawa terbahak-bahak. Salah seorang berkata mengejek,
“Menyelamatkan kami? Apakah yang empat orang itu terdiri dari jin? Atau setan, hantu… atau tetekan?” “Lebih dari itu,” potong Srengga.
“Mereka adalah Arya Salaka.”
“He…?” semuanya terkejut mendengar nama itu.
“Kalau benar kau benar-benar gila. Duapuluh lima bahu dijanjikan untuk menangkapnya, hidup atau mati. Dan duapuluh lima bahu itu kau sia-siakan?”
“Aku belum selesai,” sahut Srengga,
“Yang lain adalah Kiai Wanamerta, yang mempunyai takaran tiga empat orang darimu.”
“Masih cukup banyak?” sela seseorang.
“Yang lain lagi…,” Srengga meneruskan,
“Orang itu tidak lain adalah Mahesa Jenar.”
“Mahesa Jenar…?” Mereka berbareng mengulang.
“Ya,” jawab Srengga.
“Dan yang seorang lagi adalah orang yang melindungi Bantaran di tanah lapang beberapa minggu yang lalu.”

ORANG dari gardu kedua itu tiba-tiba terdiam.
“Nah…” Srengga meneruskan,
“Hitunglah berapa orang harus disiapkan untuk melawan mereka. Paling-paling kalian hanya berani melawan orang-orang yang membawa obor itu. Mahesa Jenar dan yang seorang lagi, ditambah dengan Arya Salaka agaknya akan dapat membunuh kami tigapuluh orang tanpa kesukaran sebelum kami sempat memukul tanda bahaya.”
Mereka masih tetap diam. Srengga merasa bahwa orang-orang itu membenarkan sikapnya.
Katanya meneruskan,
“Nah, aku bekerja dengan otakku. Aku tidak melawan mereka. Aku antarkan mereka masuk lebih dalam ke daerah Banyubiru. Maksudku aku akan membawanya ke alun-alun. Di sana laskar kita akan berpesta. Bukankah Ki Ageng Lembu Sora, Sawung Sariti, dan kalau perlu Ki Ageng Sora Dipayana ada?”
Orang dari gardu itu mengangguk-angguk.
Salah seorang dari mereka berkata,
“Agaknya kau pandai bersiasat, Srengga.”
“Itulah,” jawab Srengga,
“Karena ketololan kalian dengan membunyikan tanda-tanda itu, mereka melarikan diri. Aku dilemparkan dari punggung kuda tanpa dapat berbuat sesuatu.”
“Ke mana mereka?” tanya orang-orang dari gardu kedua.
“Kau akan mengejar mereka?” tanya Srengga pula.
Orang-orang di gardu kedua itu diam.
“Kembalilah ke gardu kalian.” Tiba-tiba Srengga memerintah.
“Aku akan kembali ke garduku. Lupakan mimpi burukmu. Tanah duapuluhlima bahu itu. Sebab kalau kepalamu telah terpisah dari lehermu, kau tidak akan dapat menikmatinya.”

Srengga tidak menunggu jawaban. Ia langsung kembali ke gardunya. Di sepanjang jalan sempit itu tiba-tiba ia teringat pada kata-katanya sendiri. Kalau Arya Salaka pergi ke alun-alun, ia benar-benar dapat dikeroyok oleh laskar Pamingit, bahkan mungkin dengan Lembu Sora dan Sawung Sariti.
Tanpa sadar, merayaplah suatu perasaan yang belum pernah dirasakan Srengga sebelumnya. Ia tiba-tiba merasa cemas terhadap keselamatan lawannya. Baru kali ini hal itu terjadi. Namun ia tidak mampu berbuat apa-apa, kecuali tanpa sadar pula ia berdoa di dalam hatinya, semoga Tuhan Yang Maha Esa melindungi Arya Salaka dan kawan-kawannya.
Dalam pada itu, laskar Banyubiru yang sedang beristirathat tidak jauh dari perbatasan kota, mendengar pula tanda-tanda yang dibunyikan oleh orang-orang Pamingit di Banyubiru. Demikian mereka mendengar bunyi itu, demikian mereka menjadi gelisah. Sebelum pemimpin-pemimpin mereka memberikan perintah apapun, mereka telah menyiapkan diri. Semua orang di dalam pasukan itu, apalagi orang-orang yang telah dipilih oleh Sendang Papat untuk menjadi pelopor laskarnya, telah bersiap diri. Mereka berdiri tegak dengan tekad yang teguh memandangi lambung bukit di hadapannya. Di leher mereka melingkar kain putih memplak bergambar gajah berwarna kuning emas sebagai pertanda kesediaan mereka untuk mati bagi tanah mereka.
Yang paling depan dari mereka itu adalah Sendang Papat sendiri. Tangannya yang gemetar telah melekat di tangkai pedangnya. Tetapi ia belum melihat tanda apapun. Ia belum mendengar bunyi sendaren atau melihat panah api naik ke udara. Namun karena itulah ia menjadi semakin gelisah, jangan-jangan Arya Salaka tidak sempat memberikan tanda-tanda itu.
“Mustahil,” gumamnya. Di sayap kiri, Bantaran pun menjadi gelisah. Meskipun Ki Dalang Mantingan tampaknya tenang-tenang saja, namun di dalam dadanya pun bergolak perasaan cemasnya, dan di tangannya tergenggam erat-erat trisulanya.
Di sayap kanan, Penjawi berjalan hilir mudik di hadapan anak buahnya yang telah memegang senjata masing-masing. Wirasaba duduk di atas sebuah batu, dan meletakkan dagunya pada tangkai kapaknya. Sesekali dua kali ia menarik nafas dalam-dalam untuk mencoba menekan hatinya yang gelisah. Namun merekapun belum melihat tanda apapun yang melontar ke udara.

Sedang pada saat itu kuda Arya Salaka beserta rombongan meluncur lewat jalan-jalan sempit di dalam kota. Mereka menjadi semakin dekat dengan alun-alun Banyubiru, tempat Arya bermain pada masa kanak-kanaknya. Suara kaki-kaki kuda itu berderak-derak memukul jalan-jalan berbatu memecah sepinya malam. Beberapa orang yang masih tinggal di rumah masing-masing menjadi semakin ngeri. Seolah-olah mereka mendegar gemuruhnya gunung yang meledak di hadapan mereka.
“Adakah laskar Arya Salaka telah datang…” bisik mereka.
Seorang ibu sambil memeluk anaknya di pembaringan bergumam,
“Apakah kira-kira yang akan terjadi…?”
Suaminya, lelaki tua yang duduk di sisinya menjawab lirih,
“Pertempuran akan berkobar di perbatasan. Mudah-mudahan mereka tidak akan menginjak halaman rumah kita.”

LELAKI tua itu berdiri dan berjalan ke amben di sebelah. Ia melihat selosin anak-anaknya yang lain sedang tidur nyenyak. Ia menarik nafas panjang. Kalau rumahnya itu terpaksa dibakar orang, entah orang Pamingit entah orang Banyubiru, dan dirinya sendiri terpaksa diseret di sepanjang jalan, entah oleh orang Pamingit entah oleh oleh orang Banyubiru, lalu apakah yang akan terjadi dengan anak-anak itu. Peperangan adalah sesuatu yang terkutuk. lebih-lebih bagi anak-anak. Anak-anak yang ingin menikmati kebesaran alam, yang diperuntukkan bagi mereka oleh Maha Penciptanya. Dalam bentrokan-bentrokan yang demikian itu segala sesuatu dapat terjadi. Orang yang tangannya telah dibasahi darah, kadang-kadang menjadi kehilangan kesadaran. Orang-orang yang dalam hidupnya sehari-hari tidak sampai hati membunuh seekor tikus pun, dalam peperangan kadang-kadang akan dapat melakukan perbuatan-perbuatan terkutuk. Membunuh, menyiksa dan bahkan terhadap anak-anak.


<<< Bagian 067                                                                                              Bagian 069 >>>

No comments:

Post a Comment