MASING-masing berusaha untuk tetap menguasai dirinya dengan baik. Tetapi bagaimanapun mereka telah merasa bahwa keadaan tidak menguntungkan. Arya Palindih datang dengan menjunjung kewajiban, sedang Gajah Sora terpaksa terlibat dalam keadaan yang bertentangan dengan tugas tamu-tamunya. Apalagi ketika Arya Palindih kemudian melanjutkan,
“Anakmas,
sebenarnya, perkenankanlah aku menyatakan, bahwa yang ketiga kalinya, dari
keperluanku datang kemari, adalah menjunjung perintah Baginda Sultan Demak,
untuk menerima kembali kedua pusaka Istana yang hilang itu, serta ada bersama
kami, Baginda mengirimkan berbagai hadiah yang seharusnya aku terimakan kepada
Anakmas sebagai tanda terimakasih Baginda kepada Kepala Daerah Perdikan
Banyubiru.
Setelah
berkata demikian, Palindih menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah sesuatu yang
menyekat dadanya telah terlontar keluar. Sebaliknya, dada Gajah Sora kini
bertambah sesak. Ia tidak tahu bagaimana ia harus bertindak. Bagaimanapun ia
seharusnya mentaati perintah Baginda Sultan Demak. Tetapi kedua karis itu
benar-benar telah lenyap. Yang menyulitkan adalah, bahwa Arya Palindih tidak
dapat mempercayai keterangannya. Dalam pada itu, Mahesa Jenar yang mendengarkan
segala pembicaraan Gajah Sora dan Arya Palindih tidak kalah gelisahnya.
Pikirannya pun menjadi kalut. Tidak aneh kalau pada suatu saat mereka saling
tidak dapat menguasai diri, maka akibatnya akan menjadi jelek sekali.
Mahesa Jenar
kenal betul keduanya, kelebihan-kelebihan mereka dan kekurangan-kekurangan
mereka. Mungkin dalam pertempuran seorang lawan seorang, Gajah Sora akan dapat
menguasai lawannya, meskipun tidak dengan begitu mudah. Tetapi dengan beberapa
orang, Arya Palindih merupakan seorang pemimpin yang berbahaya sekali. Usianya
yang telah banyak itu, telah menunjukkan kematangannya. Ditambah dengan
pengalamannya yang jauh lebih banyak daripada Gajah Sora. Apalagi orang-orang
yang dibawa Arya Palindih rata-rata mempunyai kekuatan yang sama. Berbeda
dengan orang-orang Banyubiru, selain Gajah Sora, maka jarak kepandaian mereka
agak jauh.
Dalam
kegelisahannya, Mahesa Jenar hanya dapat berdoa, semoga keadaan berkembang ke
arah yang menguntungkan.
“Paman Arya…”
akhirnya Gajah Sora berkata,
“Seharusnya
aku merasa bahwa aku mendapat kehormatan yang besar menerima hadiah langsung
dari Baginda Sultan Demak. Tetapi sekali lagi, bahwa kali ini terpaksa aku
tidak dapat menyerahkan kedua pusaka itu, karena kedua-duanya sudah tidak
berada di tanganku lagi. Kalau Paman tidak percaya, aku persilahkan Paman
berbuat sekehendak Paman untuk membuktikan kebenaran kata-kataku.
“Maafkanlah
aku, Anakmas,” jawab Palindih,
“Aku kira tak
ada artinya, seandainya aku menggeledah rumah Anakmas ini.”
“Lalu apakah
yang akan Paman lakukan?” tanya Gajah Sora.
Arya Palindih
tidak segera menjawab. Sekali lagi ia memandang berkeliling, seolah-olah sedang
membanding-bandingkan kekuatan prajurit yang dibawanya dengan Laskar Banyubiru
yang berada di pendapa. Baru beberapa saat kemudian ia berkata, dengan nada
yang sudah agak berbeda,
“Anakmas, aku
adalah petugas negara. Sebenarnya aku sama sekali tidak menaruh syak terhadap
Anakmas. Tetapi aku merasa bahwa telah terjadi keanehan-keanehan di sini. Sampai
saat ini orang masih percaya, bahwa Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten bersama akan
dapat merupakan pusaka kebesaran raja-raja di Jawa. Bahkan ada yang percaya,
bahwa hanya mereka yang memiliki pusaka-pusaka itu yang dapat merajai pulau ini
dengan selamat. Karena itu, seandainya Anakmas memiliki kepercayaan yang
sedemikian, hendaknya Anakmas merelakan keinginan Anakmas merajai pulau ini,
sebab disamping pusaka-pusaka itu, ketentuan tahta masih bergantung kepada
wahyu pula.
Kata-kata Arya
Palindih, yang diucapkan dengan jelas itu, setiap patah, seolah-olah merupakan
sebuah tusukan langsung ke arah jantung Gajah Sora. Karena itu ia menjadi
gemetar menahan diri. Mulutnya menjadi seolah-olah terbungkam, meskipun di
dalam dadanya bergulung-gulung keterangan-keterangan yang banyak sekali, yang
seperti banjir akan menjebol tanggul. Sadarlah ia sekarang, bahwa pasti ada
pihak ketiga yang akan memancing ikan di air keruh. Ia jadi curiga, siapakah
yang memberitahukan kepada para pejabat di Istana Demak, bahwa kedua pusaka itu
telah berada di tangannya. Siapapun yang telah mengatur sedemikian cermatnya
sehingga seolah-olah segala sesuatu itu berjalan menurut urutan-urutan yang
sudah ditentukan. Beberapa gerombolan bersama-sama datang menyerbu daerahnya,
sesudah itu, pejabat-pejabat Istana datang kepadanya untuk minta pusaka-pusaka
yang telah lenyap itu. Tetapi justru karena kesadaran akan adanya pihak ketiga
yang sengaja akan mengadudomba dirinya dengan alat-alat negara itu, maka ia
menjadi agak tenang. Karena itu meskipun masih dengan bibir yang gemetar ia
menjawab,
“Paman
Palindih. Sekali lagi aku mohon maaf. Paman telah mengenal aku sejak aku masih
muda. Aku selalu mementingkan kepentingan negara di atas segala-galanya.
Jangankan aku berangan-angan untuk menjadi raja di pulau ini, sedangkan daerah
perdikan yang hanya selebar daun sirih ini pun aku sama sekali tak keberatan
ketika Ayah Sora Dipayana menyatakan untuk membagi dua. Kemudian lebih dari
pada itu aku tak dapat memberikan keterangan lebih banyak lagi. Tetapi harap
Paman ketahui bahwa aku berkata sejujur-jujurnya.”
Arya Palindih
adalah seorang prajurit yang sudah berpengalaman. Wajahnya yang masih tampak
segar itu ditandai oleh kekerasan hati serta sifat kepemimpinan yang tegas.
Namun bagaimanapun ia adalah pengemban tugas negara yang mempunyai batas-batas
tertentu. Sebenarnya ia sama sekali tidak dapat mempercayai ceritera Gajah Sora
itu. Ia mendapat keterangan bahwa pusaka-pusaka itu benar-benar telah berada di
Banyubiru. Dan ceritera tentang serbuan-serbuan itu adalah usaha Gajah Sora
sendiri untuk menyembunyikan kedua pusaka-pusaka itu. Dan ia tidak dapat
mengerti akan keterangan-keterangan yang didengarnya. Apalagi ketika ia melihat
bagaimana teraturnya Laskar Banyubiru menerima kedatangannya, sehingga anehlah
kalau hanya beberapa orang gerombolan liar sampai dapat berhasil merampas kedua
pusaka itu.
Setelah mereka
berdiam diri beberapa saat, kembali Palindih bertanya,
“Anakmas,
bolehkah aku bertanya lagi, kenapa Anakmas tidak segera menyerahkan kedua keris
itu ke Demak setelah Anakmas berhasil merampasnya, sehingga sampai Sultan Demak
terpaksa memerintahkan petugas-petugasnya untuk datang mengambilnya? Untunglah
bahwa Sultan Demak cukup bijaksana sehingga masih juga beliau mengirimkan
hadiah-hadiah untuk Anakmas.”
Pertanyaan
yang demikian, sama sekali tak diduganya. Karena itu Gajah Sora menjadi
bingung. Memang ia merasakan suatu kekhilafan bahwa sampai beberapa hari ia
masih belum menyerahkan keris itu. Tetapi maksudnya mula-mula adalah untuk
menenangkan suasana dahulu. Pada suatu saat secara tiba-tiba ia akan mengejutkan
Baginda dengan penyerahan kedua pusaka itu. Disamping itu ia terlalu percaya
pada kekuatan laskarnya dan lingkungan ayahnya, Sora Dipayana. Namun
bagaimanapun ia telah berbuat suatu kekhilafan. Karena itu, karena ia tidak
mungkin berkata lain, maka dengan jujur ia menjawab,
“Paman, memang
aku telah melakukan kekhilafan.”
JAWABAN Gajah
Sora itu sama sekali juga tidak diduga oleh Palindih, seperti juga Gajah Sora
tidak menduga bahwa ia akan mendapat pertanyaan yang demikian. Dan jawaban ini
telah mengejutkannya. Sebab ia melihat dari mata Gajah Sora bahwa ia telah
berkata sejujur-jujurnya. Karena itu ia jadi bimbang. Namun bagaimanapun
keterangan Gajah Sora tentang hilangnya kedua pusaka itu sangatlah aneh
baginya. Memang, Arya Palindih pernah mendengar nama-nama beberapa orang
penjahat ulung. Bahkan ia mendengar pula bahwa diantaranya pernah berhasil
memasuki Istana Demak dan hampir saja memasuki Gedung Perbendaharaan. Untung
pada saat itu, seorang perwira yang perkasa dari pengawal raja yang bernama Rangga
Tohjaya dapat mencegahnya. Arya Palindih juga pernah mendengar tokoh-tokoh
angkatan yang lebih tua daripada Lawa Ijo yang berhasil memasuki istana itu,
sebagai siluman-siluman yang berbahaya. Namun meskipun demikian, lepas dari
masalah percaya atau tidak percaya, Palindih adalah seorang perwira yang tegas
dan taat akan kewajibannya. Ia adalah prajurit sejati, namun cukup bijaksana.
Karena itu berkatalah Arya Palindih,
“Anakmas,
pengakuan Anakmas bahwa Anakmas khilaf telah membuka pikiranku. Tetapi bagiamanapun
juga aku adalah prajurit yang mendapat tugas untuk meminta kembali
pusaka-pusaka istana itu. Dan aku telah melakukan tugasku. Sayang bahwa menurut
keterangan Anakmas, kedua pusaka itu telah lenyap. Karena aku tidak mendapat
kekuasaan untuk bertindak lebih jauh, maka aku tidak akan melakukan hal-hal
lain kecuali melaporkan peristiwa ini kepada Baginda Sultan. Baru kemudian
kalau ada kewajiban-kewajiban lain serta ketentuan-ketentuan lain, mungkin aku
segera akan datang kembali ke Banyubiru.”
Kata-kata Arya
Palindih itu merupakan angin sejuk yang telah mengendorkan semua wajah-wajah
yang tegang dari semua yang hadir di pendapa itu. Bahkan Mahesa Jenar yang
mendengar percakapan dari balik dinding, juga menarik nafas lega. Dengan
demikian setidak-tidaknya ada waktu sehari dua hari untuk mempertimbangkan
kemungkinan-kemungkinan yang akan datang. Untunglah seandainya dalam waktu yang
singkat itu Ki Ageng Pandan Alas atau Ki Ageng Sora Dipayana setidak-tidaknya
telah mendapat keterangan tentang kedua pusaka yang hilang itu. Gajah Sora yang
dapat menanggapi keadaan serta kebijaksanaan Arya Palindih segera menjawab,
“Paman, aku
sejak semula memang percaya bahwa Paman selalu bertindak bijaksana. Meskipun
demikian aku akan selalu berusaha untuk meyakinkan Paman bahwa aku telah
berkata dengan jujur. Aku berjanji bahwa aku akan berusaha sekuat tenaga serta
kemampuan yang ada di daerah ini, berusaha menemukan kembali kedua keris yang
hilang itu sebagai bukti kesetiaanku kepada negara.”
Arya Palindih
mendengarkan ucapan Gajah Sora itu sambil mengangguk-anggukkan kepala. Di dalam
hatinya menjalar suatu pengertian yang berpengaruh. Akhirnya dengan kata-kata
yang lunak ia berkata,
“Anakmas…,
Anakmas adalah bekas prajurit pilihan pada masa Anakmas masih muda. Bagaimanapun
juga aku tidak bisa mengerti peristiwa yang terjadi menurut ceritera Anakmas,
namun aku percaya bahwa oleh jiwa kepahlawanan yang tersimpan di dalam dada
Anakmas itu, maka Anakmas telah berlaku sebenarnya.”
Baik Gajah
Sora, Arya Palindih, Mahesa Jenar dan semuanya yang hadir di pendapa itu
menyadari, bila sampai terjadi suatu bentrokan, akibatnya pasti akan jelek
sekali. Sebab Laskar Banyubiru tidak dapat dianggap remeh. Laskar yang berakar
pada jiwa rakyat yang setia. Mungkin Demak akan dapat mengatasinya dengan tidak
banyak kesukaran. Tetapi korbannya pasti akan banyak sekali. Tidak saja korban
jiwa, tetapi korban yang lebih besar artinya bagi negara yang pada saat itu
sedang terancam oleh kekuasaan penjajahan Portugis yang sudah membangun
pangkalannya di Malaka. Maka usaha yang pertama, yang harus diutamakan adalah
memperkuat garis armada Banten – Jayakarta – Cirebon – Demak – terus ke timur –
Supit Urang – langsung ke Hitu dan Ambon, sebagai garis utama untuk melumpuhkan
usaha Portugis, terutama di bidang perniagaan laut dan kesiap-siagaan armada,
yang setiap saat dapat menerobos ke wilayah Demak.
Bersandarkan
pada kesadaran itulah, maka kemudian Arya Palindih yang tegas namun bijaksana
itu berkata,
“Anakmas, aku
kira tugasku kali ini sudah selesai, meskipun tidak seperti yang aku harapkan.
Dengan demikian aku akan minta diri, dan mudah-mudahan perkembangan selanjutnya
tidak akan menyulitkan Anakmas dan kami.”
Meskipun Gajah
Sora mencoba menahannya, Arya Palindih sudah memutuskan untuk segera pulang ke
Demak dan melaporkan apa yang sudah terjadi, dengan harapan bersama bahwa
segala sesuatu dapat diselesaikan dengan baik. Sepeninggal Arya Palindih,
segera Gajah Sora mengadakan pertemuan dengan segenap pembantunya serta Mahesa
Jenar. Namun banyak hal yang tak dapat mereka selesaikan. Sebab kuncinya
terletak pada kedua keris yang hilang itu. Tetapi adalah menjadi kewajiban
Gajah Sora untuk memerintahkan kepada semua laskarnya agar tidak berbuat
hal-hal yang dapat mengeruhkan suasana.
Tetapi
bagaimanapun, setelah peristiwa kedatangan utusan dari Demak itu, Gajah Sora
menjadi perenung. Mahesa Jenar yang semula bermaksud meninggalkan Banyubiru,
kemudian menjadi tidak sampai hati. Karena itu ditahankannya dirinya untuk
tetap tinggal di Banyubiru sebagai kawan berunding dan berbincang Gajah Sora.
Hiburan yang utama bagi Gajah Sora adalah anaknya yang kini sudah hampir pulih
kembali. Bahkan sudah mulai lagi dengan tingkahnya yang aneh-aneh dan diluar
kebiasaan anak-anak yang sebaya dengan Arya Salaka, yang kadang-kadang sangat
memusingkan kepala ayahnya. Meskipun pada umumnya Arya tidak berani membantah
peringatan-peringatan ayahnya, tetapi kadang-kadang diluar pengawasan ia
melakukan hal-hal yang berbahaya.
BEBERAPA hari
kemudian tidak terjadi hal-hal yang luar biasa. Rakyat dengan tenang dan
tenteram bekerja di sawah serta ladang mereka. Padi-padi yang sudah mulai
menguning, bahkan ada diantaranya yang sudah masak untuk dipetik.
Berduyun-duyunlah wanita turun ke sawah serta saling menolong memotong padi,
sedang laki-laki bergotong royong bekerja menyiapkan sawah-sawah yang telah
dituai untuk ditanami kembali. Rumah-rumah yang terbakar pada saat penyerbuan
gerombolan-gerombolan liar itu, secara gotong royong telah dibangun kembali.
Bahkan tampak lebih kokoh dan lebih baik daripada yang semula. Kehidupan yang
aman damai telah memancar kembali menjiwai daerah Perdikan Banyubiru.
Tetapi, tidak
demikian halnya dengan perasaan Gajah Sora. Meskipun sehari-hari ia tampak
tenang dan segar, serta seperti biasanya ia ikut serta bekerja dengan rakyat
Banyu Biru untuk kesejahteraan daerahnya, namun didalam hatinya tersimpan duri
yang selalu menusuk-nusuk perasaannya. Bagaimanapun, ia tidak dapat melupakan,
bahwa akan datang saatnya ia harus mempertanggungjawabkan hilangnya kembali
keris Nagasasra dan Sabuk Inten. Meskipun ia dapat mengharapkan etikad baik
dari Arya Palindih, namun bagaimanapun usaha-usaha dari pihak ketiga pasti
masih selalu ada. Usaha-usaha dari golongan yang tidak ingin melihat kehidupan
damai di Banyubiru khususnya, dan Demak pada umumnya. Tidak aneh kalau hal ini
didalangi oleh orang-orang yang sengaja merongrong kebesaran Demak untuk
mendapatkan keuntungan sendiri. Sebab di dalam lingkungan mereka ada
orang-orang yang cukup tangkas otaknya. Pasingsingan, Bugel Kaliki, Sima Rodra
tua dapat mewayangkan orang-orang dalam yang tidak teguh imannya.
Karena itu,
karena kecurigaannya kepada golongan-golongan yang ingin dengan sengaja
mengeruhkan suasana. Gajah Sora telah mengambil kebijaksanaan untuk mengirimkan
beberapa orang kepercayaannya ke Demak untuk mengetahui perkembangan keadaan.
Orang-orang itu bertugas untuk mendengarkan desas-desus tentang keadaan Banyu
Biru yang tersiar dipusat pemerintahan itu, serta kalau perlu mengadakan
perlawanan dengan menceriterakan keadaan yang sebenarnya kepada kalangan yang
seluas-luasnya. Tetapi akhirnya, dengan dada yang gemuruh Gajah Sora mendengar
laporan dari salah seorang kepercayaannya itu, bahwa di Demak telah berkembang
keadaan yang sama sekali tak menguntungkan. Di Demak dengan tak diketahui
sumbernya, telah tersiar berita bahwa kini di Banyubiru telah diadakan latihan
keprajuritan secara teratur dan besar-besaran, sebagai salah satu usaha untuk
tetap mempertahankan Keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Orang-orang Gajah
Sora yang tidak seberapa jumlahnya itu telah berusaha untuk menyebarkan berita
yang sebenarnya, namun rupanya arus kabar yang sengaja mengeruhkan suasana itu
tak dapat dibendungnya. Bahkan akhirnya telah mempengaruhi beberapa pejabat
Istana Demak. Belum lagi Gajah Sora sempat mendalami serta mengupas masalah
itu, datanglah orangnya yang kedua dengan suatu berita yang lebih mengejutkan
lagi, yaitu, bahwa Demak telah mengirim satu pasukan untuk meneliti keadaan di
Banyubiru. Mendengar berita ini, pikiran Gajah Sora seolah-olah menjadi gelap.
Karena itu segera ia memanggil pembantu-pembantunya beserta Mahesa Jenar.
Apakah yang sebaiknya mereka lakukan apabila pasukan dari Demak itu benar-benar
mendatangi Banyubiru.
Persoalan ini
kemudian menjadi buntu. Tak seorangpun yang dapat memberikan ketetapan
pendirian. Tetapi bagaimanapun, mereka merasa bahwa sebenarnya mereka sama
sekali tak bersalah dengan hal ini. Gajah Sora hanyalah berbuat suatu
kekhilafan yang sebenarnya tak begitu besar seandainya akibatnya menjadi lain.
Akhirnya, ketika tak seorangpun yang berhasil memecahkan persoalan itu dengan
sebaik-baiknya, maka satu-satunya kemungkinan adalah menunggu sampai pasukan
dari Demak itu datang, dan kemudian bersama-sama memperbincangkan masalahnya.
Gajah Sora sadar bahwa ia tidak boleh tergesa-gesa mengambil sikap, sebab
kemungkinan-kemungkinan yang tak diinginkan selalu akan terjadi. Maka yang
dapat dilakukan sekarang adalah mempertinggi kewaspadaan. Diantara mereka yang
selalu gelisah karena keadaan, maka yang paling gelisah adalah Mahesa Jenar,
karena ia dapat melihat kebenaran sikap masing-masing. Ia tidak dapat
menyalahkan Ki Ageng Gajah Sora seandainya orang itu tetap merasa tak bersalah.
Sebab ia sendiri telah berjuang mati-matian untuk merampas keris-keris itu, dan
kemudian dengan sekuat tenaga pula telah dipertahankannya. Juga orang-orang
Gajah Sora pasti akan mempertahankan kepala daerah mereka yang mereka segani
dan cintai itu. Tetapi sebaliknya, ia mengerti juga alasan Sultan Demak
seandainya Baginda murka. Sebab Baginda merasa bahwa yang paling berhak atas
kedua pusaka itu adalah pemerintah.
MALAM harinya,
Mahesa Jenar hampir tidak dapat memejamkan mata. Ia selalu berangan-angan
apakah kiranya yang terjadi seandainya pasukan Demak itu telah berada di
Banyubiru. Yang menambah kesulitan pikiran Mahesa Jenar adalah, lalu bagaimana
dengan dirinya sendiri? Baru ketika ayam berkokok untuk ketiga kalinya, Mahesa
Jenar terlena diatas pembaringannya untuk beberapa saat. Sebab sebentar
kemudian ia mendengar hiruk-pikuk di halaman. Segera ia meloncat bangun dan
lari keluar. Dilihatnya beberapa orang telah berada di sana, sedang Ki Ageng
Gajah Sora dengan wajah merah menyala berdiri di ambang pintu rumahnya.
Segera Mahesa
Jenar naik ke pendapa, langsung menuju kepada Gajah Sora.
“Kakang…,
apakah yang terjadi?”
Gajah Sora
memandang Mahesa Jenar dengan pandangan yang gelisah.
“Aku tahu
kesulitanmu Adi, karena itu sebaiknya kau tidak ikut serta,” jawabnya.
“Apakah yang
akan Kakang lakukan?” tanya Mahesa Jenar lebih lanjut.
“Aku tidak
dapat menahan diri lagi,” jawabnya.
“Aku telah
memerintahkan untuk menyiapkan laskar Banyubiru. Aku tidak peduli akan apa yang
terjadi. Aku hormati kebesaran Demak sebagai pimpinan tertinggi atas segala
pemerintahan di daerah-daerah, namun alangkah kerdilnya pikiran mereka.”
Mendengar
jawaban Gajah Sora itu darah Mahesa Jenar serasa berhenti. Dengan penuh
kebingungan ia bertanya kembali,
“Apa yang
telah mereka lakukan?”
Sementara itu
terdengarlah tanda bahaya bergema di seluruh lereng bukit Telamaya, disusul
dengan tanda-tanda supaya laskar Banyubiru berkumpul di alun-alun. Mahesa Jenar
menjadi semakin gelisah mendengar tanda-tanda itu. Apa yang telah mereka
lakukan…?
Gajah Sora
tidak menjawab, tetapi sorot matanya bertambah menyala. Ketika dilihatnya
kudanya telah siap di halaman, tanpa menjawab pertanyaan Mahesa Jenar, ia
berlari melintasi pendapa dan langsung meloncat ke atas punggung kudanya.
Sesaat kemudian Gajah Sora sudah lenyap diantara beberapa orang yang
bersama-sama memacu kudanya ke alun-alun, dimana sudah berkumpul segenap Laskar
Banyubiru.
Untuk beberapa
saat Mahesa Jenar berdiri kebingungan. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Tetapi untunglah bahwa Mahesa Jenar mempunyai otak yang jernih, sehingga
beberapa saat kemudian ia telah berhasil menguasai dirinya kembali.
Maka dengan
tangkasnya ia meloncat ke belakang, ke kandang kuda. Diambilnya kuda abu-abu
yang biasa dipakainya.
Dengan cekatan
ia mempersiapkan pelananya. Dan dalam sekejap kemudian, ia telah berlari diatas
punggung kuda abu-abu itu menyusul Gajah Sora, serta apabila mungkin mencegah
hal-hal yang tak diinginkan.
Tetapi ketika
ia keluar dari halaman, segera di arah timur tampak api menyala-nyala. Mahesa
Jenar terkejut bukan kepalang, sehingga terlontar suatu teriakan tertahan. Tak
mungkin…. Tak mungkin. Tentara Demak bukan gerombolan-gerombolan liar yang biasa
membakar rumah dan merampok isinya.
Maka segera
timbul gambaran di dalam otaknya, bahwa ini pasti suatu usaha pengadu-dombaan.
Walaupun demikian ia bermaksud untuk membuktikan siapakah yang telah berbuat
gila itu. Segera ia menarik kekang kudanya, dan memutar ke arah api yang
menyala-nyala di sebelah timur itu. Kudanya yang lari secepat angin itu, dalam
beberapa saat kemudian telah hampir sampai di tempat api yang menyala-nyala. Di
beberapa tempat, ia bertemu dengan orang-orang yang berusaha mengungsikan diri.
Kepada salah seorang diantaranya, ia bertanya,
“He…, Kakang
yang menjauhkan diri dari keributan, tahukan kau siapakah yang membakari
rumah-rumah itu?”
Orang itu
berhenti sejenak, lalu memandang kepada Mahesa Jenar dengan heran. Tetapi
bagaimanapun ia selalu mengharap perlindungan dari manapun datangnya. Maka
jawabnya,
“Aku tidak
tahu, tetapi mereka selalu berteriak-teriak, bahwa mereka adalah
prajurit-prajurit dari Demak yang mendapat perintah untuk menghancurkan
Banyubiru, sebab Banyubiru akan memberontak terhadap Demak.”
“Bagaimanakah
cara mereka berpakaian?” selidik Mahesa Jenar lebih lanjut.
“Mereka
memakai baju merah, ikat kepala merah dan celana merah pula. Adapun kainnya
berwarna hitam,” jawab pengungsi itu.
Wiratamtama,
desis Mahesa Jenar.
“Terimakasih,
Kakang,” kata Mahesa Jenar kepada orang itu sambil menarik kekang kudanya, yang
kemudian berlari kembali secepat angin ke arah api yang semakin lama semakin
tinggi seolah-olah akan menjilat langit.
Pakaian
orang-orang yang membakar rumah itu, adalah pakaian prajurit Demak dari
kesatuan penggempur yang bernama Wiratamtama, yang terdiri dari orang-orang
pilihan dan perwira, bahkan dapat dikatakan sama dengan pasukan pengawal raja,
yang disebut kesatuan Nara Manggala. Tetapi pakaian mereka agak berbeda. Sebab
Nara Manggala memakai ikat kepala biru, ikat pinggang kuning. Karena itu ia
semakin bernafsu untuk mengetahui siapakah sebenarnya yang telah menamakan diri
mereka prajurit-prajurit dari Demak itu. Ketika matahari mulai bercahaya di
arah timur, Mahesa Jenar sampai di tempat kebakaran. Ternyata orang yang
membakar rumah-rumah itu sebagian besar sudah melarikan diri. Tinggallah di
sana-sini beberapa orang saja yang masih berusaha untuk menemukan barang-barang
yang berharga dari rumah-rumah yang terbakar itu. Melihat kelakuan mereka yang
tak ubahnya dengan anjing yang mengais di keranjang sampah, hati Mahesa Jenar
terbakar oleh kemarahannya yang memuncak. Ia tidak saja merasa marah, bahwa
orang-orang yang menamakan diri prajurit-prajurit itu telah membakar
rumah-rumah penduduk yang tak bersalah, tetapi kelakuan mereka adalah suatu
penghinaan langsung terhadap kebesaran nama Wiratamtama khususnya dan prajurit
Demak umumnya. Karena itu segera ia dapat mengambil kesimpulan, bahwa sama
sekali mereka bukanlah prajurit-prajurit Demak yang sebenarnya. Karena itu
tanpa bertanya-tanya lagi Mahesa Jenar segera menyerbu ke arah mereka.
BEBERAPA orang
yang sedang sibuk mencari barang-barang itu, segera terkejut ketika mereka
mendengar derap kuda mendekati mereka, apalagi ketika dilihatnya seorang yang
belum dikenalnya langsung menuju ke arah mereka, dengan sikap yang garang.
Segera mereka melihat bahaya yang datang. Tetapi karena jumlah mereka yang
banyak itu, mereka sama sekali tidak takut ketika dilihatnya bahwa yang datang
hanyalah seorang. Meskipun demikian mereka bersiap-siap pula menanti kedatangan
Mahesa Jenar. Mahesa Jenar yang memacu kudanya seperti badai, dengan penuh
kemarahan langsung menyerang orang-orang yang menantinya dengan sikap tak acuh
itu. Baru ketika tiga orang bersama-sama terpelanting dengan meninggalkan suara
parau yang terputus, sadarlah mereka bahwa yang datang itu bukan orang
sembarangan. Dengan kebingungan karena terkejut mereka mencoba mempersiapkan
senjata-senjata mereka, tetapi itu tidaklah banyak gunanya, sebab sekejap
kemudian Mahesa Jenar telah mengulangi serangannya. Sekali lagi dua orang
sekaligus terlempar dengan mengumandangkan teriakan tinggi. Orang-orang lain
yang melihat kelima kawannya sudah menggeletak tak bernyawa itu, menjadi
ketakutan, dan dengan tidak menunggu lebih lama lagi segera mereka melarikan
diri bercerai-berai. Mahesa Jenar segera berusaha menangkap salah seorang
diantaranya. Dan kemudian membantingnya di tanah. Dengan ibu jarinya yang kuat
Mahesa Jenar siap menekan leher orang itu. Sementara itu ia bertanya,
“Siapakah kau
sebenarnya?”
Orang itu
menjadi ketakutan setengah mati. Karena itu, meskipun ia berusaha menjawab,
tetapi mulutnya menjadi tergagap-gagap tak keruan. Mahesa Jenar
menyumpah-nyumpah di dalam hati. Karena bagaimanapun ia memaksa, mulut orang
itu pasti tak akan dapat mengeluarkan kata-kata yang dapat dimengerti.
Akhirnya dengan
sangat marah Mahesa Jenar menarik bajunya sehingga orang itu berdiri. Bersamaan
dengan itu darah Mahesa Jenar tersirap sampai ke kepala, ketika dilihatnya,
melingkar perut orang itu sebuah ikat pinggang yang lebar, dengan gambar dua
ekor uling yang saling melilit. Karena itu Mahesa Jenar berteriak nyaring,
“Kau dari
gerombolan Uling Rawa Pening…?”
Mulut orang
itu tampak bergerak-gerak, tapi suara yang keluar dari mulutnya tak ubahnya
seperti suara orang bisu. Meskipun demikian karena kepalanya mengangguk-angguk,
tahulah Mahesa jenar bahwa orang itu benar-benar dari gerombolan Uling Rawa
Pening. Karena itu marahnya semakin membara di dalam dadanya. Alangkah
banyaknya unsur-unsur yang ingin merusak kedamaian tanah perdikan kecil di
lereng bukit Telamaya itu. Tetapi kemudian Mahesa Jenar terkejut ketika ia
mendengar suara tertawa di belakangnya. Ketika ia menoleh, dilihatnya Arya
Salaka agak jauh di belakangnya, duduk di atas kuda hitamnya. Begitu asyiknya
Mahesa Jenar mengurusi tangkapannya, sehinga ia sama sekali tak memperhatikan
kedatangan Arya yang tentu dengan sengaja bersembunyi dan sangat berhati-hati.
“Apa kerjamu
di situ Arya?” teriak Mahesa Jenar.
“Apa pula yang
Paman kerjakan itu?” jawab Arya berteriak pula.
Mendapat
jawaban yang nakal itu, Mahesa Jenar menjadi jengkel.
“Kemarilah,”
panggilnya keras-keras.
Perlahan-lahan
Arya menjalankan kudanya mendekati Mahesa Jenar. Tetapi ia tidak mau dekat
benar, sebab ia mengira bahwa Mahesa Jenar akan marah kepadanya. Dengan masih
memegangi tangkapannya erat-erat, Mahesa Jenar mengulangi pertanyaannya
“Apa kerjamu
disini?”
Arya menjadi
agak bingung, sebab ternyata Mahesa Jenar benar-benar tak senang akan
kehadirannya. Meskipun demikian ia menjawab dengan jujur.
“Aku melihat
Paman memacu kuda ke arah timur. Aku kira pasti ada hal-hal yang menarik
sehingga aku ingin ikut melihatnya.”
“Lalu apa yang
sudah kau lihat?” desak Mahesa Jenar.
“Paman Mahesa
Jenar menangkap kelinci,” jawab Arya. Mau tidak mau Mahesa Jenar menjadi geli
mendengar jawaban Arya. Memang anak itu nakalnya bukan main.
“Nah, ayo
lekas pulang,” perintah Mahesa Jenar.
“Nanti bersama
Paman,” jawab Arya.
Mahesa Jenar
menjadi bertambah jengkel.
“Pulanglah
Arya, supaya ayahmu tidak marah.”
“Aku takut
pulang sendiri,” jawabnya mengelak.
Mahesa Jenar
menggeleng-gelengkan kepala. Ia tahu betul bahwa Arya sama sekali tidak takut.
Maka mau tidak mau ia harus mengantar anak itu pulang. Lalu dengan sebuah
sentakan yang keras Mahesa Jenar mendorong tangkapannya sehingga orang itu
terdorong dan terbanting menelentang. Matanya memancarkan perasaan takut yang
amat sangat, sedang nafasnya seperti berdesak berebut keluar. Arya menjadi geli
melihat orang itu.
“Tidakkah
Paman bermaksud membunuh orang itu?”
Mendengar
kata-kata Arya orang itu menjadi semakin ketakutan, sehingga akhirnya malahan
Mahesa Jenar menjadi kasihan kepadanya. Kalau kau masih mempunyai sisa tenaga,
”pergilah
cepat-cepat menjauhi aku sebelum aku mencekikmu,” katanya.
Orang itu
menjadi ragu-ragu sebentar mendengar kata-kata Mahesa Jenar, seperti ia tidak
percaya pada pendengarannya. Sampai kemudian terdengar,
“Pergilah!”
Orang itu
segera berdiri dan mundur beberapa langkah. Sesaat kemudian ia memutar tubuhnya
dan berlari sekencang-kencangnya menjauhi Mahesa Jenar, seperti kuda pacu di
lapangan pertandingan.
Arya melihat
kelakuan orang itu seperti sebuah permainan yang menyenangkan. Maka timbullah
kenakalannya, untuk menakut-nakuti orang itu.
“Tangkap orang
itu, Paman…, tangkap orang itu. Ia akan melaporkan kepada pemimpinnya bahwa
Paman ada di sini.”
Mendengar Arya
berteriak-teriak, orang itu berlari semakin cepat tanpa menoleh, dibarengi
dengan suara tertawa. Arya bergelak-gelak. Arya baru berhenti tertawa ketika
didengarnya Mahesa Jenar berkata,
“Marilah Arya,
ada kerja yang lebih penting daripada menunggumu bermain-main di sini.”
BELUM lagi
habis kata-kata Mahesa Jenar, sayup-sayup menyusur lereng perbukitan
terdengarlah suara sangkakala bergema. Mahesa Jenar terkejut mendengar suara
itu. Maka tanpa sesadarnya ia berkata
“Itulah
pasukan dari Demak.”
“Dari Demak?”
ulang Arya.
Mahesa Jenar
memandang wajah Arya yang masih memancarkan kebeningan hatinya itu dengan
saksama. Meskipun anak itu nakalnya bukan main, tetapi hatinya bersih, sebersih
hati ayahnya.
“Marilah kita
lihat,” ajaknya.
Kemudian mereka
berdua melarikan kuda mereka naik ke lereng yang lebih tinggi lagi. Dari sana
dapatlah mereka melihat sebuah iring-iringan besar berjalan perlahan-lahan
seperti semut yang merayapi dinding-dinding batu.
Mahesa Jenar
menjadi terkejut bukan kepalang, ketika ia melihat pasukan Demak itu berjalan
sudah dengan gelar perang. Bukan lagi merupakan barisan yang akan mengunjungi
sebuah wilayah kerajaannya. Gelar itu merupakan gelar yang langsung akan dapat
menghantam pertahanan lawan. Yaitu gelar Cakra Byuha.
Hati Mahesa
Jenar berdebar sangat kerasnya. Mungkin beberapa penyelidik dari Demak telah
menangkap tanda bahwa yang sudah dibunyikan oleh Gajah Sora, serta mereka
mungkin salah terima terhadap nyala yang tidak boleh tidak pasti mereka
saksikan. Nyala api yang ditimbulkan oleh kelakuan gerombolang Uling dari
Rawapening, yang merasa sangat berkepentingan apabila di Banyubiru timbul
keributan-keributan. Segera Mahesa Jenar pun teringat bahwa Gajah Sora telah
pula menyiapkan pasukannya. Maka apabila tidak ada pencegahan, pertempuran yang
dahsyat pasti akan terjadi. Karena itu dengan tergesa-gesa Mahesa Jenar
mengajak Arya Salaka untuk segera kembali menemui Ki Ageng Gajah Sora. Dengan
kecepatan penuh, Mahesa Jenar dan Arya Salaka melarikan kuda masing-masing langsung
menuju ke alun-alun Banyubiru. Ketika mereka sudah memasuki kota, kembali dada
Mahesa Jenar terpukul oleh suatu kenyataan bahwa Gajah Sora telah membawa
pasukannya untuk menyongsong pasukan Demak itu dengan gelar yang seimbang.
Yaitu gelar Gajah Meta.
Gajah Sora
tampak garang di atas kuda putihnya. Di tangannya tergenggam erat pusaka
Banyubiru yang sakti, Kyai Bancak. Disampingnya dengan kepala menengadah tampak
orang yang telah agak lanjut usianya, tetapi ialah satu-satunya kepercayaan
yang tak pernah berkisar dari samping Gajah Sora, yaitu Wanamerta. Di sisi yang
lain dengan kepala tegak dan dada yang terbuka, seorang pemuda yang kelak akan
terkenal namanya sebagai seorang perwira, yaitu Penjawi. Di belakangnya
berturut-turut berjalan beberapa perwira pilihan.
Di belakangnya
lagi berkibarlah dengan megahnya bendera-bendera lambang kebesaran tanah
perdikan Banyubiru. Panji-panji di atas dasar merah terlukis gambar seekor
gajah berwarna kuning keemasan. Di samping bendera itu berkibar pula beberapa
panji-panji kemegahan serta umbul-umbul beraneka warna, yang bertangkaikan
tombak-tombak yang sudah tak bersarung. Melihat pasukan itu, sejenak Mahesa
Jenar tertegun. Ia adalah bekas seorang prajurit yang tidak saja satu dua kali
mengalami pertempuran-pertempuran hebat. Tetapi ketika ia melihat tata barisan
Gajah Sora dan gelar Gajah Meta, hatinya kagum juga. Ia jadi percaya bahwa
Laskar Banyubiru merupakan laskar yang sudah masak di bawah pimpinan seorang
yang mempunyai pengetahuan yang cukup. Tetapi ketika ia teringat akan
kemungkinan yang terjadi apabila pasukan ini bertemu dengan pasukan Demak,
darahnya menjadi berdesir cepat. Maka segera ia melarikan kudanya, langsung
menuju ke arah Gajah Sora. Gajah Sora melihat kedatangan Mahesa Jenar, tetapi
sikapnya menjadi agak lain dari biasanya. Dengan pandangan kosong, Gajah Sora
menghentikan kudanya dan bertanya hambar,
”Apakah maksud
Adi Mahesa Jenar menemui aku?”
Mahesa Jenar
merasakan perbedaan sikap ini, tetapi ia tidak peduli. Dengan suara yang
perlahan-lahan tetapi jelas ia menceriterakan apa yang dilihatnya. Orang-orang
yang menyaru sebagai prajurit-prajurit Demak telah membakari rumah-rumah
penduduk. Dengan demikian maka laporan yang sampai kepada Gajah Sora pasti
prajurit-prajurit Demak yang melakukan pembakaran itu. Gajah Sora mendengar
dengan baik kata-kata Mahesa Jenar, tetapi wajahnya sama sekali tidak berubah.
Meskipun demikian ia bertanya,
”Lalu apa kata
Adi Mahesa Jenar terhadap gelar Cakra Byuha itu?”
Mendengar
pertanyaan itu terasa sesuatu berdesir di dada Mahesa Jenar. Rupa-rupanya Gajah
Sora telah mengetahui bahwa prajurit Demak mendekati Banyubiru dalam gelar
perang yang berbahaya. Karena itu untuk beberapa saat ia tidak menjawab. Baru
kemudian Mahesa Jenar berkata,
“Kakang Gajah
Sora, ini adalah suatu kesalahpahaman yang berbahaya.”
“Sudahlah
Adi,” potong Gajah Sora.
“Aku sudah
mengatakan bahwa aku menyadari kesulitan Adi sekarang ini. Karena itu aku
persilahkan Adi kembali saja.”
Sebenarnya
Mahesa Jenar sama sekali tidak senang mendengar kata-kata Gajah Sora itu,
tetapi ketika ia akan menjawab, dilihatnya Gajah Sora melambaikan tangannya,
dan iring-iringan itu mulai bergerak kembali. Iring-iringan raksasa yang
terdiri ribuan prajurit yang terpecah-pecah menjadi bagian-bagian dalam gelar
yang lengkap, Gajah Meta. Mahesa Jenar menjadi bertambah bingung. Ia merasa
bahwa agak terlambat untuk menahan Gajah Sora, namun ia tidak putus asa. Tanpa
mengingat kemungkinan yang dapat terjadi atas dirinya apabila ia bertemu dengan
prajurit-prajurit Demak, Mahesa Jenar mengikuti perjalanan pasukan Banyubiru,
untuk menyongsong kedatangan pasukan-pasukan dari Demak.
Setelah itu
tak sepatah katapun yang terdengar. Masing-masing berjalan tanpa bersuara. Di
kepala masing-masing berputarlah berbagai masalah yang berbeda-beda.
SELANGKAH demi
selangkah Laskar Banyubiru maju terus, dan selangkah demi selangkah mereka
semakin dekat dengan pasukan-pasukan yang datang. Tetapi setiap jengkal mereka
maju, setiap kali pula dada Mahesa Jenar merasa terbentur sesuatu yang
seolah-olah hendak pecah oleh ketegangan yang semakin memuncak. Sebentar
kemudian pasukan itu menyusup, menerobos pepohonan dan kebun-kebun yang sedang
memamerkan buah-buahan yang lebat, menembus pagar-pagar dan meloncati
dinding-dinding rendah untuk tidak mengubah tata barisan mereka, dalam gelar
perang Dirada Meta. Kemudian muncullah pasukan itu di lapangan terbuka, sebuah
padang rumput tempat para penggembala melepaskan binatang-binatang peliharaan.
Masih dalam tata barisan yang teratur, mereka menuruni lereng bukit Telamaya.
Sejenak kemudian Gajah Sora melambaikan tangannya, dan berhentilah
iring-iringan pasukan Banyubiru. Bersamaan dengan itu hampir berbareng
terdengarlah gumam yang seperti mengumandang diantara anggota laskar itu. Sebab
jauh di hadapan mereka, di bawah kaki bukit Telamaya, tampaklah dalam gelar
Cakra Byuha pasukan-pasukan dari Demak. Lebih dari itu semua adalah goncangan
dada Mahesa Jenar. Kini benar-benar dadanya serasa akan meledak. Tidak saja
sedapat mungkin dirinya selalu berusaha untuk menjauhi setiap prajurit dari
Demak, untuk melenyapkan segala kenangan pada masa kebanggaannya sebagai
seorang prajurit pengawal raja, tetapi sekaligus ia merasa terharu melihat
kebesaran pasukan itu. Meskipun masih belum begitu jelas, tetapi bagi Mahesa
Jenar apa yang dilihatnya itu seolah-olah telah melekat di pelupuk matanya.
Dengan
membeda-bedakan warna pakaian mereka yang tampak seperti kelompok-kelompok yang
beraneka warna, Mahesa Jenar segera mengenal pasukan dari kesatuan apa saja
yang telah ditugaskan untuk datang ke Banyubiru. Karena pengenalan itu pula
Mahesa Jenar merasakan suatu tekanan yang dahsyat dalam hatinya. Sebab ia
mengetahui dengan pasti bahwa benar-benar pasukan itu merupakan pasukan tempur
yang kuat sekali. Dalam gelar Cakra Byuha yang merupakan lingkaran bergerak
itu, tampaklah dalam kelompok depan pasukan Wira Tamtama dengan bendera yang
terkenal, Tunggul Dahana, bendera yang mempunyai dasar merah dan bergaris hitam
lintang melintang. Pada gerigi di sebelah kiri tampak pasukan penggempur
Angkatan Laut Demak yang terkenal. Pasukan ini diikutsertakan dengan suatu
kemungkinan terjadi pertempuran di daerah rawa-rawa. Di bawah panji-panji Sura
Pati, yaitu sebuah panji-panji yang berwarna merah bergambar ikan sura raksasa
yang menggigit sebilah keris berwarna putih, pasukan penggempur Angkatan Laut
yang bernama Wira Jala Pati itu merupakan kesatuan yang mengerikan. Yang lebih
menggetarkan dada Mahesa Jenar adalah pasukan yang berada dalam lingkungan
gerigi sebelah kanan. Pasukan ini adalah pasukan yang tak asing lagi baginya.
Sebab ia sendiri pernah menjadi bagian pasukan tersebut, yaitu pasukan Nara
Manggala di bawah panji-panji Garuda Rekta, panji-panji yang berwarna kuning,
dengan lukisan seekor garuda berwarna merah, yaitu pasukan pengawal raja.
Mahesa Jenar
sadar bahwa pasukan inilah yang harus membawa kembali Kyai Nagasasra dan Kyai
Sabuk Inten dengan selamat sampai di Istana. Sedang pada gerigi bagian
belakang, yang jumlahnya tidak begitu banyak, tampaklah pasukan inti dari
pasukan pengawal kota, yang disebut pasukan Manggala Sraya, dengan bendera
merah bergaris silang putih, bernama Tunggul Mega. Tetapi lebih dari segala
itu, lebih dari kemegahan bendera-bendera Tunggul Dahana, Sura Pati, Garuda
Rekta dan Tunggul Mega, adalah panji-panji yang berada di tengah lingkaran yang
bergerigi itu. Sebuah panji-panji yang dikelilingi oleh sekelompok kecil
prajurit dari kesatuan Manggala Pati yang hampir dapat dikatakan kesatuan
berani mati. Panji-panji itu adalah bendera Kerajaan Demak yang berwarna gula
kelapa. Menyaksikan semuanya itu, Mahesa Jenar seolah-olah mendadak menjadi
seorang lumpuh yang duduk di atas kudanya. Kesadarannya hilang, dan ia menurut
saja kemana kudanya berjalan. Hal itu bukanlah disebabkan ia merasa takut
berhadapan dengan kesatuan itu. Sebab ia adalah setingkat dengan setiap perwira
yang memimpin setiap kesatuan dalam pasukan Demak itu. Bahkan mungkin Mahesa
Jenar masih memiliki kelebihan-kelebihan yang langsung diterima dari gurunya.
Tetapi perasaan yang tak dapat disebutkan sebabnya telah menjalari dirinya.
Tanpa disengaja, Mahesa Jenar memandang ke arah Gajah Sora yang masih diam
seperti patung memandangi pasukan Demak yang mendekatinya. Perasaannya bergolak
hebat. Sebenarnya Gajah Sora sama sekali tidak mencemaskan pasukannya. Sebab ia
merasa bahwa kekuatan kedua pasukan itu tidak akan terlalu banyak terpaut.
MESKIPUN nilai
dari setiap anggota Laskar Banyubiru tidak dapat menandingi prajurit-prajurit
dari Demak, Gajah Sora juga mempunyai beberapa orang pilihan dan mempunyai pasukan
yang lebih banyak. Kalau perlu ia dapat mengubah gelarnya dalam gelar Samodra
Rob atau Gelatik Neba seperti banjir melanda pasukan Demak.
Untuk beberapa
saat pasukan Banyubiru di bawah panji-panji Dirada Sakti, yaitu panji-panji
merah berlukiskan gajah yang berwarna kuning emas itu masih diam tak bergerak,
sementara pasukan Demak semakin lama semakin dekat. Karena itu semakin jelaslah
kemudian setiap langkah dari setiap orang dalam gelar Cakra Byuha yang
sempurna. Namun sampai sekian mereka masih belum dapat mengenal orang-orang
yang diserahi tugas memimpin pasukan Demak itu. Sesaat kemudian setelah pasukan
itu menjadi semakin dekat, tampaklah seorang yang duduk diatas kuda berwarna
sawo, yang agaknya memegang pimpinan, melambaikan tangannya. Maka segera
berhentilah pasukan itu. Pemimpin pasukan itu, yang karena jaraknya yang masih
agak jauh, belum dapat dikenal, segera memanggil dua orang pembantunya. Rupanya
mereka sedang merundingkan siasat. Mahesa Jenar kini merasa bahwa ia sudah
tidak akan mampu berbuat sesuatu. Dua pasukan yang sudah berhadapan agaknya
sukar untuk ditahannya. Apalagi ketika yang diduganya benar-benar terjadi.
Menurut perhitungan Mahesa Jenar, pasukan Demak tidak mungkin dapat melawan
pasukan Banyubiru dalam gelar yang demikian, sebab keadaan medan memang
menguntungkan pasukan Banyubiru yang berada di tempat yang lebih tinggi.
Menurut
perhitungan Mahesa Jenar, pasukan Demak harus mengubah tata barisannya sehingga
mereka dapat mencapai tempat yang sama tinggi. Pemimpin pasukan Demak itu
dilihatnya mengangkat kedua tangannya dan kemudian dengan gerak melingkar
tangannya bersilang dan kemudian direntangkan kembali. Itu adalah suatu aba-aba
untuk mengubah tata barisannya. Pasukan Demak adalah pasukan yang terlatih
baik. Karena itu segera setiap pimpinan kelompok dengan serentak mengulangi
aba-aba pimpinan pasukan, dan sesaat kemudian pasukan itu tampaknya menjadi
berserak-serakan tak karuan. Tetapi sebenarnya mereka sedang bergerak untuk
menempati tempat-tempat mereka dalam gelar perang yang baru, Garuda Nglayang.
Meskipun dengan gelar ini pasukan Demak sama sekali tak bermaksud mengepung
pasukan Banyubiru, tetapi mereka berusaha untuk mencapai tempat yang cukup
tinggi, sebab dengan gelar yang memencar ini, sayap-sayap kanan dan kiri akan
dapat maju mendahului induk pasukannya, dan seterusnya menerjang dari arah
lambung.
Melihat
pasukan dari Demak telah memulai dengan gerakannya, setiap laskar Banyubiru
segera menjadi gelisah. Mereka serentak memandang kepada Gajah Sora, untuk
menunggu perintah lebih lanjut, terutama pimpinan-pimpinan kelompok. Sebenarnya
Gajah Sora segera dapat berusaha mencegah maksud pasukan Demak itu dengan
mengubah gelarnya pula. Hal ini disadari oleh setiap pemimpin laskar Banyubiru.
Karena mereka pun telah siaga untuk melaksanakan perubahan gelar itu. Namun
untuk beberapa saat Gajah Sora tidak memberikan perintah sesuatu. Bantaran dan
Sawungrana yang memegang pimpinan sebagai ujung-ujung gading dalam gelar Dirada
Meta, Pandan Kuning dengan beberapa pasukan pilihan sebagai pengawal
panji-panji Dirada Sakti, menjadi semakin gelisah. Wanamerta dan Panjawi pun
tidak dapat mengetahui sebabnya, kenapa mereka masih harus diam menunggu.
Mahesa Jenar juga menebak-nebak di dalam hati, apakah maksud sebenarnya dari
Gajah Sora itu. Ataukah ia mempunyai suatu siasat di luar pengetahuannya?
Andaikata
Mahesa Jenar memegang pimpinan, pasukan Banyubiru harus segera berubah dalam
gelar Wulan Panunggal, untuk menghalangi sayap-sayap gelar Garuda Nglayang yang
melengkung itu, sehingga dapat mengimbangi kekuatan sayap Garuda Nglayang,
apalagi jumlah mereka lebih banyak. Dalam setiap perhitungan perang, waktu
memegang peranan yang penting, sehingga meskipun hanya sekejap, kadang-kadang
mempunyai arti yang besar. Demikianlah pasukan Demak yang terlatih baik itu,
hanya memerlukan waktu yang singkat untuk dapat menempati kedudukannya yang
baru. Bahkan pasukan sayap kanan dan kiri telah mulai mendaki tebing.
Melihat
semuanya itu, Panjawi dan Sawungrana hanya dapat saling memandang, dan sekali dua
kali mereka melemparkan pandangannya kepada Mahesa Jenar yang berada di luar
kedudukan gelar, meskipun ia berada tidak jauh dari mereka itu.
Sebenarnya di
dalam hati Mahesa Jenar tersimpanlah suatu kecemasan yang sangat besar, melihat
tingkah laku Gajah Sora. Mungkinkah ia menjadi mata gelap dan putus asa,
sehingga sejak langkah pertama sudah akan dipergunakan gelar-gelar yang
menentukan seperti gelar Samodra Rob atau Gelatik Neba, yang sebenarnya sama
sekali tidak perlu? Memang, gelar itu akan cepat mencapai penyelesaian, tetapi
korbannya tak akan dapat dihitung lagi. Karena itu Mahesa Jenar menunggu
perkembangan keadaan dengan hati yang berdebar-debar. Tetapi dalam keadaan yang
demikian ia tidak akan mengganggu pemimpin pasukan. Sementara itu, sayap-sayap
kiri dan kanan dari pasukan Demak telah mencapai tempat yang sama tinggi dengan
pasukan Banyubiru.
No comments:
Post a Comment