RACUN Lawa Ijo yang didapatkannya dari Pasingsingan pun tak berhasil membunuhnya, apalagi jenis racun yang lain, yang tidak berasal dari orang seperti Pasingsingan. Kedatangan Mahesa Jenar sangat mengejutkan mereka yang sedang bertempur, sehingga suami-istri Sima Rodra berloncatan mundur. Lawannya pun sejenak berdiri termangu, sehingga untuk sesaat suasana jadi hening, sepi seperti daerah kematian yang mengerikan. Tetapi hal yang sedemikian itu tidak berlangsung lama, sebab terdengar suara parau Sima Rodra membentak Mahesa Jenar.
“Hei, siapakah
kau yang ikut serta mengantarkan nyawa?”
Mahesa Jenar
tidak menyahut pertanyaan itu, tetapi ia berkata kepada lawan Sima Rodra,
“Aku belum
mengenal Tuan, tetapi aku berdiri di pihak Tuan.”
Sebelum orang
itu menjawab, terdengar teriak istri Sima Rodra,
“Kita bunuh
kalian berdua.”
Istri Sima
Rodra tidak menantikan lagi jawaban, tetapi dengan loncatan yang garang ia
menyerang dengan kuku-kukunya yang diarahkan kepada Mahesa Jenar.
Segera
pertempuran itu dimulai kembali. Tetapi sekarang Sima Rodra tidak dapat lagi
mengurung lawannya, sebab sekarang mereka harus berhadapan satu lawan satu.
Meskipun demikian, tidak segera dapat dilihat siapakah yang akan dapat
memenangkan pertempuran itu. Suami-istri Sima Rodra yang menjadi semakin marah
itu bertempur semakin garang pula. Mereka segera mengerahkan tenaga serta
kesaktian mereka untuk segera dapat membinasakan lawan-lawannya yang berani
memasuki daerahnya, apalagi berani menantangnya. Dalam keadaan demikian, lawan
Sima Rodra itu sempat juga menyaksikan Mahesa Jenar bertempur. Menyaksikan
kelincahannya, keperkasaannya, serta kepercayaannya kepada diri seperti
lazimnya seorang perwira, ia pun menjadi berpikir tentang Mahesa Jenar. Sebab
orang yang memiliki kehebatan yang sampai ke tingkat itu, pastilah bukan orang
sembarangan.
Pertempuran
itu berlangsung terus. Tetapi dalam beberapa saat kemudian tampaklah bahwa
Mahesa Jenar berhasil menguasai lawannya, sebaliknya orang yang telah bertempur
itupun, setelah lawannya berkurang seorang, dapat pula sedikit demi sedikit
mendesak musuhnya. Dengan demikian pertempuran itu ternyata sudah tidak
seimbang lagi. Dalam kemarahannya, suami-istri Sima Rodra itu bertempur semakin
buas, liar dan kasar. Sedang lawannya, tampaknya tetap tenang dan yakin. Sesaat
kemudian terdengar suara yang aneh keluar dari mulut Sima Rodra. Suara jeritan
yang mirip dengan aba-aba. Apalagi setelah itu, tampak pula gerak-gerak mereka
yang mencurigakan. Meskipun mereka bertempur terus, tampak bahwa mereka sedang
berusaha untuk mendekati lobang goa. Mahesa Jenar maupun lawan yang seorang
lagi, dapat segera menangkap maksud itu, karena itu mereka menjadi lebih waspada.
Dan apa yang dicurigakan itu memang ternyata benar. Untunglah bahwa kawan
bertempur Mahesa Jenar memiliki kecepatan bergerak yang luar biasa. Sehingga
ketika pada suatu saat, dengan sekali gerakan suami-istri Sima Rodra itu
meloncat akan memasuki goanya, secepat itu pula kawan bertempur Mahesa Jenar
itu telah meloncat menghalang-halangi. Kembali Sima Rodra mengaum hebat karena
marahnya. Bersamaan dengan itu geraknya menjadi semakin liar. Tetapi keadaan
itu tetap tidak menolong dirinya, sehingga mereka tetap terdesak terus. Dalam
keadaan yang demikian sekali lagi terdengar suara aneh dari harimau liar itu.
Tetapi kali ini ternyata mereka lebih berhati-hati. Demikian teriakan itu
berhenti demikian mereka meloncat cepat seperti didera halilintar ke balik
sebuah batu besar di samping goanya. Segera Mahesa Jenar dan kawan bertempurnya
itu memburu. Tetapi terlambat.
Sesaat
kemudian terdengar deru yang hebat dibalik batu itu, dan berguguranlah tanah di
sekitarnya menyeret batu besar itu seolah-olah terhisap kedalam sebuah lobang
besar di bawah tanah. Agar tidak turut terseret ke dalamnya, maka Mahesa Jenar
bersama dengan lawan Sima Rodra itu serentak meloncat mundur. Selanjutnya untuk
beberapa lama mereka hanya merenungi onggokan tanah bekas guguran itu. \
“Sebuah pintu
rahasia,” desis orang itu.
Memang sejak
semula Mahesa Jenar juga menduganya demikian, apabila yang berkepentingan sudah
ada di dalamnya, dengan sedikit sentuhan pada alat yang diperlukan, gugurlah
tanah di atas pintu itu, dan menutup lubangnya sehingga mereka tidak akan dapat
dikejar, untuk selanjutnya keluar dari pintu rahasia yang lain.
Sebentar
kemudian kembali orang itu berkata,
“Terimakasih
atas pertolongan Tuan.”
“Aku hanya
membantu mempercepat penyelesaian saja, sebab tanpa aku pun tampaknya Ki Sanak
pasti dapat menyelesaikan seorang diri,” jawab Mahesa jenar.
Orang itu
tertawa lirih.
“Tuan terlalu
menyanjung aku. Tetapi sebenarnya bahwa kedatangan tuan menyelamatkan nyawaku.
Hanya sayanglah bahwa aku terpaksa tidak dapat terlalu lama menemui Tuan, sebab
ada satu pekerjaan yang harus aku selesaikan,” katanya kemudian.
Jantung Mahesa
Jenar berdesir lembut. Apakah gerangan yang akan dilakukannya? Karena itu ia
mencoba bertanya,
“Apakah yang
memaksa Ki Sanak begitu tergesa-gesa?”
“Suatu pekerjaan
yang tak berarti. Aku hanya ingin memeriksa keadaan di dalam goa,” jawabnya.
Mahesa Jenar
mulai melihat adanya sesuatu rahasia pada orang itu. Karenanya ia tidak
bertanya tentang siapakah dia dan dari manakah datangnya, sebab pertanyaan yang
demikian tentu tidak akan mendapat jawaban. Maka kemudian ia hanya berkata,
“Bolehkah aku
turut serta masuk kedalam goa?”
Orang itu
tampak ragu-ragu sejenak, baru ia menjawab dengan mengajukan sebuah pertanyaan,
“Tuan, apakah
sebenarnya yang akan Tuan lakukan di atas bukit kecil ini?”
Mendengar
pertanyaan orang itu, Mahesa Jenar menjadi agak bingung. Tetapi pasti bahwa ia
tidak akan menyebutkan keperluan yang sebenarnya. Maka dijawabnya dengan
sekenanya saja,
“Aku datang
untuk menuntut balas atas kematian kakakku di Pangrantunan.”
“Pangrantunan?”
sahut orang itu.
“Ya,” jawab
Mahesa Jenar.
Tampaklah
orang itu berpikir sejenak. Lalu katanya kemudian,
“Tuan… orang
Pangrantunan?”
“Ya,” jawab
Mahesa Jenar pendek.
Sayanglah
bahwa Mahesa Jenar tak dapat melihat sorot mata orang itu di dalam gelap. Kalau
saja ia mengetahui, dapatlah ia mengerti bahwa orang itu curiga kepadanya.
SEJENAK
kemudian orang itu berkata,
“Apakah yang
Tuan lakukan seterusnya? Tuan pasti tidak akan dapat menemukan Suami-Istri itu
untuk beberapa lama.”
“Tak apalah.
Tetapi aku hanya ingin melihat-lihat saja,” jawab Mahesa Jenar.
“Mudah-mudahan
apa yang Tuan katakan benar. Silahkan Tuan melihat. Seterusnya aku berjanji
untuk membalas budi Tuan membinasakan suami-istri Sima Rodra pada kesempatan
lain. Semoga Tuan benar-benar tidak mempunyai kepentingan lain kecuali itu,”
gumam orang itu. Kemudian orang itu pergi bersama Mahesa Jenar, memasuki goa
Sima Rodra dengan hati-hati. Mungkin terdapat berbagai rahasia di dalamnya. Goa
itu sebenarnya tidaklah begitu dalam. Tetapi di dalamnya terdapat beberapa
ruang yang dindingnya dilapisi papan, tak ubahnya seperti ruang-ruang rumah
biasa. Ruang itu diterangi dengan oncor-oncor. Dua ruang sudah mereka masuki,
tetapi mereka tak menemukan sesuatu. Maka sampailah mereka pada ruang yang
ketiga, yang tidak seperti ruang-ruang lain. Ruang ini mempergunakan pintu yang
ditutup rapat. Ternyata pintu ini tidak hanya ditutup rapat, tetapi juga
dikancing dengan kancing yang tak dapat diketahui oleh orang lain.
Ketika sudah beberapa
lama mereka tak berhasil membukanya, mereka menjadi tidak sabar lagi. Mereka
berdua sepakat untuk membuka pintu itu dengan paksa. Mereka mempergunakan kaki
mereka untuk bersama-sama menjebol pintu kayu yang terkancing itu. Dengan satu
tendangan yang hampir bersamaan mereka dapat memecahkan pintu itu, yang dengan
suara gemeretak pecah berserakan. Tetapi meskipun pintu itu sudah menganga
lebar, mereka tidak tergesa-gesa masuk. Sebab bukanlah mustahil bahwa ada
apa-apa di dalamnya. Setelah beberapa saat tak ditemukan apapun, maka dengan
langkah yang sangat hati-hati mereka melangkah masuk. Tetapi demikian mereka
melangkahkan kakinya melewati lundak pintu, serentak bulu roma mereka berdiri.
Di sudut ruangan itu mereka melihat sebuah nampan di atas sebuah meja yang
dialasi dengan kain beludru buatan Tiongkok yang berwarna kuning keemasan. Dan
yang mengejutkan mereka adalah cahaya yang biru kekuning-kuningan, yang
memancar dari dua keris yang diletakkan di atas kain beludru itu. Karena itu,
untuk sesaat mereka tegak berdiri seperti patung. Mahesa Jenar, sebagai seorang
perwira istana, sudah pasti bahwa apa yang dilihatnya itu sangat mengharukan
hatinya. Ia yakin sekarang bahwa Nagasasra dan Sabuk Inten itu adalah
keris-keris yang asli.
Mahesa jenar
memang pernah melihat keris itu beberapa kali, dahulu sebelum lenyap dari
Istana Demak. Memang tidak semua prajurit bahkan perwira yang beruntung dapat
menyaksikan keris itu. Karena Mahesa Jenar saat itu menjadi pengawal raja dan
istana, maka ia diberi kesempatan untuk menyaksikan pada saat keris itu
dimandikan pada hari pertama setiap tahun. Karena itu ia hampir tidak dapat
lagi mengendalikan diri. Hampir saja ia meloncat mendekati keris-keris itu
kalau saja orang yang berdiri di sampingnya itu tidak menggamitnya.
“Apakah Tuan
berkepentingan dengan keris-keris itu?” kata orang itu.
Mahesa Jenar
kini tak dapat mengelak lagi. Kedua keris yang dicarinya sudah ada di
hadapannya. Maka apapun yang terjadi haruslah dihadapinya.
“Benar Ki
Sanak, aku datang untuk kedua keris ini. Aku harap Tuan mempunyai kepentingan
yang tidak sama dengan kepentinganku,” jawab Mahesa Jenar tegas.
“Hem….!” orang
itu menggeram.
“Aku sudah
menduga. Tetapi sayang bahwa kepentingan kita sama.”
Mendengar
kata-kata orang itu seharusnya Mahesa Jenar tidak lagi terkejut, namun demikian
darahnya bergelora hebat.
“Ki Sanak,
maafkanlah, aku tidak dapat melepaskannya lagi,” kata Mahesa Jenar sambil
menahan diri.
Orang itu
merenung sejenak. Dalam keremangan cahaya oncor-oncor, Mahesa Jenar melihat betapa
gelisah perasaannya, sehingga akhirnya keluarlah kata dari mulutnya,
“Tuan, aku
telah berhutang budi kepada Tuan. Tetapi aku akan tetap pada pendirianku untuk
mendapatkan benda-benda keramat dari Istana Demak itu.”
Mahesa Jenar
tidak tahu siapakah orang itu sebagaimana orang itu tidak mengenal Mahesa
Jenar. Karena itu mereka saling berketetapan hati untuk dapat menguasai kedua
pusaka itu.
Bagaimanapun
Mahesa Jenar menyabarkan diri, namun akhirnya terloncat pula kata-katanya yang
tajam,
“Ki Sanak,
seharusnya tadi aku membiarkan Tuan bertempur seorang diri dan sekaligus
dibinasakan oleh suami-istri Sima Rodra itu.”
“Kalau
demikian… Tuan akan berbuat kesalahan. Bukankah lebih mudah untuk melawan aku
seorang menurut pertimbangan Tuan daripada melawan mereka berdua?” jawab orang
itu, yang meskipun nampaknya masih setenang semula, tetapi isi kata-katanya
tidak kalah runcingnya.
Sekali lagi
darah Mahesa Jenar menggelegak. Ternyata orang itu dapat dengan cepat menebak
perhitungannya.
“Ki Sanak
benar, memang demikianlah apa yang akan aku lakukan,” jawab Mahesa Jenar tanpa
tedeng aling-aling.
“Baik Tuan.
Tetapi sebaiknya Tuan mempertimbangkan sekali lagi,” sahut orang itu.
“Tidak ada
pertimbangan lain,” jawab Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar
sudah pasti sekarang, bahwa ia harus bertempur melawan orang itu. Sebenarnya ia
masih bimbang terhadap bakal lawannya. Menilik sikap serta kata-katanya, agak
aneh kalau ia termasuk golongan hitam yang lain, yang menginginkan
pusaka-pusaka itu. Sebentar kemudian Mahesa Jenar teringat pula keramahan Jaka
Soka pada waktu ia akan menyertai rombongan orang-orang yang akan melintas
hutan Tambakbaya, juga suami-istri Sima Rodra itu sendiri, yang dengan ramah
minta menginap di Kademangan Prambanan. Karena itu ia tidak akan menilai orang
itu dari sikap serta kata-katanya.
Sementara itu
orang itu menjawab,
“Kalau
demikian, marilah kita tentukan bersama, siapakah yang berhak untuk menguasai
kedua keris itu.”
Mahesa Jenar
sudah yakin bahwa memang demikianlah yang akan terjadi. Tetapi meskipun demikian
ketika mendengar kata-kata itu keluar dari mulut orang itu, mau tak mau ia
terpaksa menaruh hormat kepadanya.
“Kata-kata
Tuan adalah kata-kata jantan. Mudah-mudahan aku dapat mengimbangi kejantanan
Tuan,” jawab Mahesa Jenar kemudian.
YANG
mengherankan, tetapi juga agak menjengkelkan Mahesa Jenar, orang itu masih saja
tertawa lirih.
“Marilah kita
keluar, supaya kita tidak harus berdesak desakan dengan dinding-dinding ruang
ini,” katanya.
Mahesa Jenar
tidak menjawab. Ia langsung melangkah keluar diikuti oleh orang itu. Sambil
berjalan Mahesa Jenar menimbang-nimbang tentang lawannya. Pastilah orang ini
berilmu tinggi dan pasti orang itu pula yang telah menyebarkan sirep sedemikian
tajamnya. Ketika mereka sudah sampai di luar goa, segera mereka saling berhadapan
dengan taruhan yang besar. Juga masing-masing menyadari bahwa mereka akan
berhadapan dengan lawan yang cukup tangguh. Karena itu tidak ada pilihan lain
kecuali bekerja mati-matian untuk memperebutkan kedua pusaka itu. Apalagi
Mahesa Jenar yang langsung atau tidak langsung ikut serta bertanggung jawab
akan keselamatan pusaka itu. Maka taruhannya untuk mendapatkan kedua keris itu
adalah nyawanya. Sejenak kemudian setelah mereka bersiap, terdengarlah orang
itu berkata,
“Marilah Tuan,
permainan kita mulai.”
“Silahkan,”
jawab Mahesa Jenar pendek.
Dan segera
terjadilah suatu pertarungan yang dahsyat. Meskipun mula-mula mereka tampaknya
agak segan-segan, tetapi ketika mereka merasakan benturan-benturan serta
tekanan-tekanan dari masing-masing pihak, akhirnya mereka tidak lagi
mengendalikan diri. Lawan Mahesa Jenar itu ternyata memang orang perkasa luar
biasa.
Gerakan-gerakannya
serba cepat dan mempunyai tenaga yang hebat, sehingga menimbulkan
desiran-desiran angin yang menyambar-nyambar mengiringi setiap gerak dari
tubuhnya. Sedang Mahesa Jenar adalah seorang yang mempunyai pengalaman yang
cukup baik, sehingga setiap gerakan tangan serta kakinya selalu mempunyai arti
serta membahayakan. Tubuhnya yang tidak sebesar lawannya itu, bergerak-gerak
seperti bayangan yang dengan lincahanya menari-nari mengitari lawannya dengan
belaian maut. Lawannya yang bertubuh tegap itu lebih mempercayakan diri pada
kekuatannya, sehingga beberapa kali ia dengan beraninya menyerang dengan
mempergunakan kedua tangannya, bahkan dengan serangan-serangan berganda,
sehingga suatu ketika Mahesa Jenar tidak sempat lagi mengelakkan diri. Pukulan
orang itu, ditambah sekaligus dengan berat tubuhnya yang besar, mengenai
pelipis Mahesa Jenar demikian kerasnya, sehingga Mahesa Jenar terdorong beberapa
langkah ke belakang. Tetapi rupanya ia tidak saja berhenti sampai sekian.
Sebelum Mahesa Jenar dapat memperbaiki keadaannya, kembali ia berhasil mengenai
lambung Mahesa Jenar dengan kakinya. Kembali Mahesa Jenar terhuyung-huyung
surut beberapa langkah. Untunglah bahwa ia mempunyai ilmu yang tinggi sehingga
meskipun dengan agak kesulitan, dalam sekejap ia telah berhasil tegak di atas
kedua kakinya yang kokoh kuat bagaikan tonggak baja. Karena beberapa pukulan
yang dapat mengenainya itu, Mahesa Jenar menjadi marah bukan buatan. Wajahnya
tampak menyala, serta matanya menyorotkan sinar-sinar yang memancarkan
pergolakan darahnya. Sekali ia melompat ke depan, dan dengan sebuah gerak
tipuan yang bagus ia berhasil menarik perhatian lawannya pada tangan-tangannya
yang menyerang ke arah kepala. Kemudian dengan kecepatan yang hampir tidak
tampak, ia mengangkat kaki kanannya dan langsung menghantam dada lawannya.
Demikian keras serangan itu, sehinggam lawannya terpental beberapa langkah.
Tetapi demikian ia tegak, ia telah bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan.
Bahkan sesaat
kemudian ia telah melangkah maju, dan dengan kuatnya ia menghantam ke arah dada
Mahesa Jenar. Dengan satu langkah, Mahesa Jenar bergerak ke samping, dan
demikian pukulan itu tidak mengenai sasarannya demikian Mahesa Jenar membalas
dengan sebuah pukulan pada wajah orang itu. Kali ini Mahesa Jenar sekali lagi
tak berhasil mengenainya, sehingga orang itu terdorong mundur. Mahesa Jenar
tidak mau memberi kesempatan lagi, sekali lagi ia menyodok perut lawannya,
sehingga orang itu menggeliat kesakitan dan meloncat beberapa langkah ke
samping. Tetapi Mahesa Jenar tidak mau kehilangan kesempatan yang baik itu. Ia
pun sekali lagi meloncat dan dengan bergelombang ia menyerang bertubi-tubi
sehingga orang itu terdesak mundur dan mundur. Tetapi rupanya keadaannya
tidaklah tetap demikian. Tiba-tiba orang itu menggeliat ke samping, dan dengan
suatu putaran yang cepat ia berhasil membingungkan Mahesa Jenar, yang ingin
memotong putaran itu. Cepat ia mempergunakan kesempatan ini untuk meloncat ke
samping lawannya, dan dengan suatu gerakan yang tangkas ia merendahkan diri.
Setengah lingkaran ia memutar tubuhnya untuk langsung menyerang Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar terkejut melihat gerakan-gerakan yang berubah-ubah itu, sehingga
ketika sebuah pukulan melayang ke wajahnya, ia tidak sempat mengelakkan diri.
Demikian kerasnya pukulan itu sehingga Mahesa Jenar terdorong beberapa langkah.
Pukulan itu terasa sakitnya bukan main. Sebagai seorang perwira, tubuh Mahesa
Jenar cukup mempunyai daya tahan yang kuat. Tetapi dikenai oleh pukulan ini
wajahnya menjadi panas dan sejenak pandangan matanya agak kabur. Ketika ia
mengusap wajah itu dengan tangannya, terasa sesuatu yang cair dan hangat
meleleh dari hidungnya.
Darah.
Mengalami kenyataan itu, marahnya semakin memuncak. Ia benar-benar harus
berkelahi dengan mengerahkan segenap kemampuannya. Maka ketika orang itu
menyerangnya kembali, Mahesa Jenar segera merendahkan diri. Dengan pangkal
telapak tangannya ia berhasil menghantam dagu lawannya. Terdengarlah suara
gemeratak gigi beradu. Demikian kerasnya serta dibarengi kemarahan, maka
pukulan Mahesa Jenar seperti berlipat-lipat dahsyatnya, sehingga muka orang itu
terangkat tinggi-tinggi. Mahesa Jenar tidak mengabaikan kesempatan berikutnya.
Selagi muka orang itu masih terangkat, ia meloncat maju menumbukkan dirinya
sambil menghantam perut orang itu dengan lututnya. Terdengarlah orang itu
mengaduh tertahan dan terlontar surut. Mahesa Jenar langsung memburu dan
menghantamnya bertubi-tubi.
ORANG itu
terdorong terus hingga suatu ketika ia tidak dapat mundur lagi karena
punggungnya sudah melekat dengan dinding padas. Mahesa Jenar melihat kesempatan
itu. Ia tidak mau melepaskan lawannya kali ini. Maka dengan kekuatan penuh ia
meloncat maju dan menghantamkan muka orang itu dengan kedua tangannya
sekaligus. Tetapi orang itu ternyata tidak menyerah demikian saja. Tiba-tiba,
ketika Mahesa Jenar meloncat, orang itu pun menyerang dengan kakinya ke arah
perut Mahesa Jenar. Serangan yang sama sekali tak diduga oleh Mahesa Jenar.
Karenanya, serangan itu bulat-bulat telah melemparkannya dan ia jatuh terguling
beberapa kali. Mahesa Jenar telah mengalami pertempuran dengan lawan yang
beraneka macam. Pada saat ia bertempur dengan Lawa Ijo, seorang tokoh hitam
yang perkasa, ia pun mengerahkan segenap tenaganya. Tetapi bagaimanapun ia
tidak merasakan adanya tekanan-tekanan yang sedemikian hebatnya seperti saat
ini. Tidak saja ia tidak berhasil menekan lawannya, tetapi benar-benar ia
merasakan bahwa tubuhnya menjadi sakit-sakit dan nyeri. Mengingat bahwa yang
dipertaruhkan adalah pusaka-pusaka istana, serta kesadarannya akan
pertanggungjawabannya sebagai seorang yang merasa turut serta membina
kesejahteraan rakyat, maka ia merasakan kengerian yang sangat apabila
pusaka-pusaka itu sampai jatuh ke golongan hitam yang manapun. Karena itu tidak
ada jalan lain bagi Mahesa Jenar kecuali membinasakan orang itu. Pada saat ia
tidak dapat menguasai lawannya, maka cara satu-satunya adalah mempergunakan
ilmunya Sasra Birawa. Maka ketika tidak ada pilihan lain, segera ia meloncat
bangkit dan segera ia memusatkan segala kekuatan batinnya serta mengatur
pernafasannya, memusatkan segala kekuatan lahir-batin pada telapak tangan
kanannya.
Ia berdiri di
atas satu kakinya, sedang kakinya yang lain ditekuk ke depan. Tangan kirinya
disilangkannya di muka dadanya, sedang tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi.
Kemudian demikian cepat bagai sambaran kilat ia meloncat maju dan dengan
dahsyat ia mengayunkan tangan kanannya ke arah kepala lawannya. Melihat sikap
itu, lawan Mahesa Jenar terkejut bukan buatan. Segera ia meloncat mundur sambil
berteriak,
“Tahan… Tuan,
tahankan dulu.”
Tetapi Mahesa
Jenar sudah terlanjur bergerak. Kalau ia menahan serangannya maka kekuatan yang
sudah tersalur itu pasti akan memukul dirinya sendiri lewat bagian dalam
tubuhnya. Karena itu tidak ada cara lain kecuali melanjutkan serangannya untuk
membinasakan lawannya. Melihat Mahesa Jenar tidak mengubah serangannya,
tiba-tiba orang itu pun segera bersiap, tidak menghindarkan diri, karena tidak
ada kesempatan lagi, melainkan ia berdiri di atas kedua kakinya yang melangkah
setengah langkah ke depan, lutut kaki kanannya diteuk sedikit. Mula-mula ia
merentangkan kedua tangannya, tapi ketika pukulan Mahesa Jenar sudah melayang,
segera ia menyilangkan kedua tangannya di muka wajahnya.
Melihat sikap
itu, jantung Mahesa Jenar seperti berhenti berdenyut karena terkejut. Tetapi
segala sesuatu sudah terlambat. Sebab tangan Mahesa Jenar sudah tinggal
berjarak beberapa cengkang saja dari orang itu. Dengan satu gerakan pendek,
kedua tangan yang disilangkan di muka wajahnya, orang itu menahan hantaman
tangan Mahesa Jenar. Dan sesaat kemudian terjadilah suatu benturan yang maha
dahsyat seperti berbenturnya halilintar.
Akibatnya dahsyat
pula. Orang itu terlempar jauh ke belakang dan bulat-bulat terbanting di tanah
tanpa dapat berbuat sesuatu. Matanya menjadi gelap dan nafasnya tersekat di
kerongkongan. Sebentar kemudian ia tak dapat merasakan sesuatu. Pingsan. Mahesa
Jenar sendiri, yang menghantamkan ilmunya Sasra Birawa, merasakan bahwa
tangannya seolah-olah tertahan oleh selapis baja yang tebalnya lebih dari
sedepa. Karena itu kekuatan yang dilontarkan itu seolah-olah membalik dan
memukul bagian dalam tubuhnya, ditambah dengan desakan dari orang yang
dipukulnya itu. Karena itu Mahesa Jenar juga terlempar, tidak hanya seperti
sebuah balok yang melayang, tetapi seperti kayu yang oleh kekuatan raksasa
dihantamkan ke punggung padas yang ada di belakangnya. Demikian dahsyatnya
Mahesa Jenar terbanting sehingga pada saat itu juga, pada saat ia terhempas, ia
sudah tak dapat lagi merasakan apa-apa kecuali kepekatan yang dahsyat menerkam
dirinya. Dan ia pun pingsan. Keadaan segera menjadi senyap. Hanya desir angin
di rerumputan serta semak-semak yang kedengaran gemeresik lembut. Di kejauhan
terdengar suara binatang malam, serta gonggong anjing yang berebutan mangsa. Di
mulut goa Sima Rodra itu menggeletak sebelah-menyebelah dua sosok tubuh yang
sama sekali tak sadarkan diri. Baru beberapa saat kemudian, oleh kesegaran
angin yang mengusap wajahnya, orang itu, yang telah bertempur mati-matian
melawan Mahesa Jenar, yang ternyata mempunyai ketahanan tubuh yang luar biasa,
sehingga dialah yang pertama-tama dapat menarik nafas dan perlahan-lahan menggerakkan
tubuhnya. Tetapi demikian ia berusaha bergerak terdengarlah ia mengeluh
perlahan. Ternyata tubuhnya terasa nyeri dan sakit seluruhnya.
UNTUK beberapa
saat orang itu terpaksa berdiam diri, mengatur jalan pernafasannya serta
berusaha untuk menguasai kembali pikirannya. Angin masih berhembus
perlahan-lahan. Dan ini telah menolong menyegarkan tubuh orang itu, sehingga
beberapa saat kemudian ia berhasil dengan susah payah mengangkat tubuhnya dan
duduk bersandar pada kedua tangannya. Berkali-kali ia menarik nafas panjang.
Keringat dingin masih saja mengalir membasahi seluruh pakaiannya. Baru setelah
tubuhnya terasa bertambah segar ia perlahan-lahan bangkit berdiri. Ketika ia
memandang ke daerah sekelilingnya, tiba-tiba matanya tertumbuk pada tubuh yang
masih terbaring tak bergerak, beberapa langkah dari mulut goa. Sekali lagi ia
menarik nafas. Ia tahu benar bahwa pukulan lawannya itu adalah pukulan yang tak
ada taranya dahsyatnya. Perlahan-lahan dan tertatih-tatih ia berjalan selangkah
demi selangkah mendekati Mahesa Jenar yang masih belum sadar. Dengan mata yang
bercahaya orang itu memandangi tubuh Mahesa Jenar dari ujung kakinya sampai ke
ujung kepalanya. Memandangi tubuh yang meskipun tidak setinggi dia, tetapi
tampak kokoh kuat bagai seekor banteng. Ketika orang itu melangkah selangkah
lagi mendekati Mahesa Jenar, terasa bahwa tubuhnya semakin terasa sakit. Karena
itu ia berhenti dan duduk di atas padas beberapa langkah dari tubuh Mahesa
Jenar yang masih terbujur tak bergerak. Ia terpaksa menahan diri, tidak segera
mendekatinya sampai tubuhnya sendiri agak terasa kuat. Karena itu dibiarkannya
Mahesa Jenar terbaring tak bergerak beberapa langkah di hadapannya.
Ketika sekali
lagi angin malam membelai tubuh-tubuh yang sedang kesakitan itu, tampak bahwa
Mahesa Jenar mulai bergerak-gerak. Dan sesaat kemudian ia sudah dapat membuka
matanya, meskipun masih samar-samar. Apalagi di dalam kegelapan malam. Yang
pertama-tama dilihatnya adalah bintang-bintang yang bertaburan di langit, dan
sesudah itu matanya tertumbuk pada tubuh tinggi tegap berdada lebar, duduk di
atas padas di hadapannya, yang dengan tajam memandanginya seperti sebuah
bayangan hantu hitam yang akan menerkamnya. Tetapi pada saat itu ia sama sekali
tak dapat berbuat sesuatu. Seluruh tubuhnya terasa sakit dan nyeri.
Sambungan-sambungan tulangnya terasa seperti lepas dan tak dapat dikuasainya.
Karena itu kalau terjadi sesuatu ia sama sekali tak akan dapat membela diri.
Maka sekali lagi Mahesa Jenar memejamkan matanya untuk mengumpulkan ingatannya.
Dan perlahan-lahan ketika tubuhnya terasa semakin segar karena angin malam yang
lembut, ingatannya pun sedikit demi sedikit menjadi cerah kembali meskipun
kepalanya masih saja pening dan seperti berputar-putar. Apa yang baru saja
dialami menjadi semakin jelas dalam kepalanya. Bagaimana ia mempergunakan ilmu
kepercayaannya Sasra Birawa dan bagaimana orang yang dihantamnya itu
merentangkan tangannya dan selanjutnya disilangkan di muka wajahnya. Dan
sekarang, orang yang dikenai ilmunya itu ternyata masih saja hidup dan duduk di
dekatnya. Mengingat hal itu, Mahesa Jenar tiba-tiba merasa gembira sekali. Dan
kegembiraannya itu telah sangat mempengaruhi keadaannya, sehingga tiba-tiba ia
dapat duduk, meskipun dengan susah payah untuk menegakkan tubuhnya yang duduk
lemah seperti tak bertulang. Meskipun demikian, wajah Mahesa jenar tampak cerah
dan matanya menyorotkan cahaya segar.
Demikian pula
orang yang duduk di atas padas itu. Ketika ia menyaksikan Mahesa Jenar telah
dapat duduk, ia pun menjadi gembira. Senyum yang tulus telah menggerakkan
bibirnya. Perlahan-lahan dengan suara parau ia menyapa,
“Tidakkah tuan
mengalami sesuatu?”
Mahesa Jenar
tersenyum pula, meskipun agak kecut.
“Bagaimana aku
mengatakan bahwa aku tidak mengalami sesuatu kalau bangun saja rasanya seperti
tidak mungkin, jawab Mahesa Jenar.”
Orang itu
menundukkan kepalanya seperti menyesali dirinya.
“Maafkan aku,”
katanya kemudian.
Mendengar
kata-kata itu segera Mahesa Jenar menyahut,
“Jangan Tuan
menyalahkan diri sendiri. Akulah yang seharusnya minta maaf kepada Tuan, sebab
akulah yang pertama-tama mulai. Berbahagialah aku bahwa Tuan ternyata sehat
walafiat karena kesaktian Tuan.”
“Tuan salah
duga. Aku pun mengalami keadaan seperti Tuan. Sampai sekarang aku masih belum
berhasil untuk mencapai jarak ke dekat Tuan terbaring, karena seluruh sendi
tulang-tulangku sakit bukan kepalang, karena di dalam tangan Tuan tersimpan aji
Sasra Birawa,” sahut orang itu sambil tertawa lirih.
Mahesa Jenar
menarik nafas dalam-dalam.
”Sekali lagi,
maafkan aku,” katanya.
“Tak apalah…
malahan aku merasakan suatu keuntungan, mendapat kehormatan mencicipi ilmu Tuan
yang maha dahsyat itu. Dan dengan demikian aku mengenal Tuan, yang pasti salah
seorang murid dari Paman Pengging Sepuh,” jawab orang itu.
Mahesa Jenar
mengangguk perlahan.
“Benar Tuan,
aku tinggal satu-satunya murid yang masih harus menjunjung tinggi nama
kebesaran Ki Ageng Pengging Sepuh Almarhum. Untung jugalah bahwa aku tidak
binasa kali ini. Kalau hal itu terjadi, berakhirlah nama perguruan Pengging.
Bukankah Tuan telah mempergunakan aji Lebur Sekethi?”
“Terpaksa.
Hanya sekadar supaya aku tidak lumat,” gumam orang itu seperti kepada diri
sendiri.
“Benar Tuan…,
Tuan sama sekali benar. Akulah yang terlalu lancang. Tetapi siapakah sebenarnya
Tuan? Bukankah Lebur Sakethi itu menurut guruku Almarhum dan yang kukenal
adalah milik Ki Ageng Dipayana?” potong Mahesa Jenar.
“Tuan menebak
dengan tepat. Karena itu ketika Tuan mengatakan bahwa Tuan adalah orang
Pangrantunan, segera aku menjadi curiga. Sebab Pangrantunan adalah daerah masa
kanak-kanakku. Aku adalah anak Ki Ageng Sora Dipayana,” jawab orang itu.
“Apakah Tuan
yang disebut Ki Ageng Gajah Sora?” tanya Mahesa Jenar.
“Benar Tuan.
Akulah yang bernama Gajah Sora,” jawab orang itu.
MENDENGAR
jawaban itu, Mahesa Jenar jadi merenung. Untunglah bahwa tak terjadi sesuatu
dalam pertempuran tadi. Kalau saja ada salah langkah, maka akibatnya akan
mengerikan. Salah satu diantaranya pasti binasa. Sebab ajian seperti Sasra
Birawa dan Lebur Sakethi mempunyai daya yang dahsyatnya luar biasa. Tidak hanya
sebagai ajian yang tidak saja dipergunakan menyerang, tetapi juga bertahan.
Sejenak
kemudian terdengarlah Ki Ageng Gajah Sora bertanya kepadanya,
“Tetapi sampai
sekarang Tuan belum menyebut nama Tuan.”
Mahesa Jenar
seperti tersadar dari renungannya, maka jawabnya,
“Namaku adalah
Mahesa Jenar.”
“Mahesa
Jenar?” ulang Gajah Sora.
“Aku belum
pernah mendengar nama ini dari ayahku yang sering menyebut-nyebut nama
sahabat-sahabatnya serta murid-muridnya. Bukankah seorang murid Ki Ageng
Pengging itu terbunuh…?”
“Ya,” jawab
Mahesa Jenar,
“Bahkan tidak
saja ia muridnya, tetapi juga putranya.”
Gajah Sora
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ki Kebo
Kenanga…. Bukankah begitu?” katanya.
“Ya,” jawab
Mahesa Jenar pendek.
“Kakaknya, Ki
Kebo Kanigara, kabarnya lenyap tak meninggalkan bekas,” sambung Gajah Sora.
“Dan Tuan?
Adakah Tuan mempunyai sebutan yang lain?”
“Semua yang
Tuan katakan adalah benar. Akulah yang sedikit sekali mengenal sahabat-sahabat
guruku. Mungkin ini disebabkan Guru sudah lama melenyapkan diri, dan akhirnya
diketahui bahwa beliau telah wafat, sehingga tidak banyak yang dapat
diceritakan kepadaku. Adapun mengenai aku sendiri, memang benarlah kata Tuan,
sebab sejak aku menjadi prajurit, aku selalu dipanggil dengan nama Tohjaya.”
“Tohjaya…, ya
Tohjaya,” ulang Gajah Sora,
“Kalau nama
ini memang pernah aku dengar. Tidak saja dari ayahku, tetapi hampir setiap
orang menyebutnya sebagai pengawal raja. Tetapi kenapa Tuan sampai di sini?”
Akhirnya
dengan singkat Mahesa Jenar bercerita tentang segala-galanya yang pernah
dialami. Juga tentang pertemuannya dengan Ki Ageng Sora Dipayana di
Pangrantunan dan pertemuannya dengan Ki Ageng Lembu Sora.
“Memang, anak
itu agak bengal,” sahut Gajah Sora kemudian.
“Biarlah lain
kali aku mengurusnya. Juga tentang sepasang Uling, yang sampai sekarang masih
aku biarkan saja sambil menunggu orang-orang golongan hitam itu berkumpul.
Tetapi yang penting sekarang, apakah yang kita lakukan?”
Mahesa Jenar
mengangguk-anggukkan kepala sambil memandangi mulut goa yang masih saja
ternganga seperti mulut seekor naga raksasa yang siap menelannya. Beberapa saat
ia agak kebingungan. Tetapi akhirnya ia berkata,
“Kalau saja
tadi aku tahu bahwa Tuan adalah Ki Ageng Gajah Sora, maka aku kira aku tidak
akan mengganggu Tuan. Nah Tuan, sekarang terserah kepada Tuan akan kedua keris
itu.”
“Tidak,” jawab
Gajah Sora,
“Tuan lebih
berhak untuk mengambilnya serta menyerahkan kembali ke Istana Demak.”
“Aku adalah
seorang perantau,” sahut Mahesa Jenar,
“Aku kira
lebih aman kalau Tuan yang menyimpannya sampai datang waktunya untuk diserahkan
kepada yang berhak nanti.”
Tampaklah
sejenak Gajah Sora merenung menimbang-nimbang. Akhirnya ia berkata,
“Baiklah,
sekarang kedua pusaka itu kita ambil dan kita bawa pulang. Bukankah Tuan sudi
singgah ke Banyu Biru sehari dua hari…? Atau sampai pada saat pertemuan
kalangan hitam. Di sana dengan aman segala sesuatu dapat kita bicarakan.”
Tentu saja
Mahesa Jenar tidak dapat menolak ajakan itu. Karena itu ia pun segera
mengiakan. Maka setelah itu, setelah mereka merasa bahwa tubuh mereka telah
dapat dibawa berjalan, masuklah mereka dengan sangat hati-hati ke dalam goa itu
dan langsung menuju ke ruang dimana kedua pusaka Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk
Inten disimpan.
Setelah
menyembah beberapa kali, maka diambillah kedua pusaka itu dan dibawa keluar
seorang satu, dengan tujuan untuk membawanya ke Banyu Biru, ke rumah Ki Ageng
Gajah Sora yang untuk selanjutnya akan dibicarakan penyerahannya kepada yang
berhak di Istana Demak.
Tetapi belum
lagi mereka sempat meninggalkan daerah bukit Tidar, tiba-tiba mereka mendengar
derap langkah kuda yang cukup banyak mendaki Gunung Tidar dari arah utara.
Kedatangan mereka ini sudah pasti sangat mengejutkan Mahesa Jenar maupun Ki
Ageng Gajah Sora.
“Siapakah
mereka?” tanya Mahesa Jenar.
“Entahlah,”
jawab Ki Ageng Gajah Sora sambil menggelengkan kepalanya. Derap kuda itu
semakin lama semakin dekat, dan tampaknya mereka langsung menuju ke arah goa.
“Mereka menuju
kemari,” desis Gajah Sora.
“Ya, mereka
menuju kemari,” ulang Mahesa Jenar.
“Lalu
bagaimanakah sebaiknya sikap kita?” Gajah Sora ingin mendapat pertimbangan.
Dalam kondisi
tubuh mereka yang hampir remuk itu, sudah pasti bahwa mereka tak akan cepat
berbuat apa-apa seandainya yang datang itu akan membahayakan. Karena itu yang
sebaik-baiknya bagi mereka adalah menghindari orang-orang berkuda itu.
“Dengan
keadaan kita seperti ini, sebaiknyalah kalau kita menghindari mereka,” kata
Mahesa Jenar.
“Baiklah.
Marilah kita bersembunyi,” jawab Gajah Sora.
Sementara itu,
kuda-kuda itu semakin dekat. Segera Gajah Sora dan Mahesa Jenar mencari tempat
untuk berlindung, di bawah semak yang rimbun.
Belum lagi
mereka selesai menempatkan diri, muncullah dari balik-balik padas beberapa
orang berkuda. Meskipun gelap malam masih menyeluruh, tetapi remang-remang
mereka dapat juga menyaksikan tubuh-tubuh orang-orang berkuda itu.
TEPAT di muka
goa mereka menghentikan kuda mereka, dan langsung dengan suara lantang
terdengar salah seorang dari mereka berteriak,
“Hei Sima
Rodra, sudah gilakah engkau. Kau biarkan semua penjaga-penjagamu tidur?”
Suara itu
melontar memukul dinding-dinding padas dan dipantulkan kembali berturut-turut
beberapa kali. Namun tak ada jawaban yang terdengar. Berkali-kali orang itu
berteriak-teriak memanggil, tetapi juga tak pernah ada jawaban. Akhirnya mereka
berhenti berteriak-teriak.
“Ada sesuatu
yang tidak beres. Hai salah seorang dari kamu, bangunkan semua orang yang
tidur. Juga pengawal-pengawal gerbang,” kata salah seorang diantara orang-orang
itu kepada pengikutnya.
“Baik Ki Lurah,”
jawab salah satu diantaranya. Dan sejenak kemudian terdengar langkah seekor
kuda menjauh.
Sementara itu
Gajah Sora dan Mahesa Jenar beruntung dapat menyaksikan orang-orang berkuda itu
dengan jelas. Yang berkuda paling depan adalah dua orang yang gagah tegap,
meskipun badannya tidak begitu besar. Mukanya tampak panjang meruncing, dan
masing-masing menggenggam sebuah cemeti panjang. Mereka tampaknya hampir
seperti dua orang kembar.
Ketika Mahesa
Jenar sedang menduga-duga, terdengarlah Gajah Sora berbisik,
“Itulah
Sepasang Uling dari Rawa Pening. Yang di sebelah kanan itulah yang tua, yang
disebut Uling Putih, sedang yang lain adalah Uling Kuning.”
Mahesa Jenar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Itulah mereka yang bernama Uling Putih dan
Uling Kuning. Kedatangan mereka sudah pasti untuk menuntut dendam akibat
terbunuhnya salah seorang kepercayaannya. Sebentar kemudian datanglah beberapa
orang berlari-lari ke arah goa itu pula. Mereka adalah anak buah Sima Rodra
yang tertidur karena kekuatan sirep Gajah Sora. Salah seorang diantaranya, yang
gemuk agak pendek, bertubuh kuat seperti seekor orang hutan, maju mendekati
sepasang Uling yang masih saja duduk di atas kudanya.
“Salam kami
untuk Sepasang Uling dari Rawa Pening,” katanya.
Rupanya
kakak-beradik Uling itu sama sekali tak memperhatikan sapa itu. Bahkan salah
seorang dari mereka membentak,
“Hai, Sakayon,
di manakah suami-istri macan liar itu?”
Rupanya yang
dipanggil Sakayon itu tersinggung juga hatinya.
“Buat apa kau
cari mereka?” jawabnya.
“Jangan banyak
cakap. Cari mereka,” bentak Uling Kuning.
Terdengar
Sakayon mendengus,
“Hemm…. Kau
kira kau bisa memerintah aku…? Tanyakan dengan baik, aku akan menyuruh salah
seorang untuk memanggilnya.”
Sepasang Uling
yang kasar itu menjadi marah.
“Kalau kau
masih juga berlagak, aku patahkan lehermu,” teriaknya.
Tetapi Sakayon
sama sekali tidak takut. Malahan terdengar ia tertawa.
“Kau jangan
main sekarat di sini. Katakan apa perlumu. Kalau suami-istri Sima Rodra tidak
ada, akulah yang harus menyelesaikan semua soal.”
Ternyata Uling
Kuning hatinya lebih mudah terbakar daripada kakaknya. Hampir saja ia memutar
cemetinya kalau Uling Putih tidak mencegahnya. Sedang Sakayon pun telah pula
menarik pedang pendek tetapi besar seperti tubuhnya.
“Jangan layani
dia, Kuning,” kata Uling Putih, sambil menarik kekang kudanya dan melangkah
beberapa langkah maju.
“Baiklah
Sakayon… aku tunduk kepada peraturanmu. Tolong, katakan kepada Suami-Istri Sima
Rodra bahwa aku ingin menemui mereka,” kata Uling Kuning.
Sakayon yang
merasa mendapat kemenangan, membusungkan dadanya sambil menjawab,
“Itulah
namanya tamu yang tahu diri.”
Lalu katanya
kepada salah seorang anak buahnya,
“Panggilkan Ki
Lurah. Katakan bahwa kakak-beradik dari Rawa Pening ingin menemuinya.”
Orang yang
disuruhnya itu segera berlari ke dalam goa. Tetapi sebentar kemudian ia telah
muncul kembali dengan nafas yang terengah-engah.
“Kakang
Sakayon…, Ki Lurah tidak ada di dalam goa. Bahkan ruang penyimpanan yang tidak
pernah terbuka itu pun tampaknya telah dibuka dengan paksa,” katanya gugup.
“Hei…!” teriak
Sakayon terkejut. Tanpa mengucapkan sepatah katapun lagi ia meloncat dengan
tangkasnya masuk ke dalam goa. Menilik geraknya maka Sakayon pun pasti termasuk
orang yang berilmu tinggi. Mungkin ia adalah kepercayaan Suami-Istri Sima
Rodra. Sakayon telah keluar dari dalam goa. Gerak-geriknya menunjukkan
kegelisahan hatinya. Sejenak kemudian tanpa berkata apapun ia berlari ke
samping goa dimana Sima Rodra tadi lenyap.
“Mereka telah
mempergunakan pintu rahasia ini. Pasti terjadi sesuatu atas mereka,” teriaknya.
Kemudian
kembali ia berlari ke arah tamu-tamunya.
“Mereka telah
lenyap. Untuk tiga hari setidak-tidaknya kalian tak akan dapat menemui mereka.
Sedangkan kedua pusaka yang disimpannya itu telah lenyap pula. Kalau yang
mengambil Suami-Istri Sima Rodra, mereka tidak perlu memecahkan pintu,” katanya
dengan nafas yang memburu.
“Keris itu
lenyap…?” tanya Uling Putih. Suaranya pun menunjukkan suatu kecemasan yang
sangat. Kalau kata-katanya betul, pasti akan menimbulkan suasana yang panas dalam
pertemuan kami nanti, katanya.
ULING KUNING
yang lebih kasar itu tidak berkata apapun, tetapi segera ia meloncat turun dari
kudanya dan langsung masuk goa.
”Kau tidak
percaya?,” teriak Sakayon,
“Baiklah,
lihatlah sendiri.”
Rupanya Uling
Putih tidak tega membiarkan adiknya memasuki goa seorang diri. Sebab mungkin
ada hal-hal yang tidak beres. Karena itu ia pun segera meloncat turun dan
cepat-cepat menyusul memasuki goa itu. Sejenak suasana menjadi sepi.
Masing-masing diam sambil menunggu kakak-beradik itu keluar dari mulut goa.
Sementara itu, ketika semua perhatian dicurahkan ke mulut goa, berbisiklah
Gajah Sora,
“Tuan,
bukankah kita dapat mempergunakan kesempatan ini untuk menyingkir dari kandang
macan ini? “
Rupanya Mahesa
Jenar pun telah memperhitungkan demikian, sehingga ia segera menyetujuinya.
“Baik Tuan,
tetapi jalan mana yang akan kita lalui?”
“Apakah Tuan
belum melihat gerbang dari benteng Sima Rodra ini?” tanya Gajah Sora.
“Belum,” jawab
Mahesa Jenar, Aku memasuki halaman ini dengan memanjat dinding belakang.
Tampaklah
Gajah Sora tersenyum.
“Akh, Tuan
kurang hati-hati. Seharusnya Tuan mengetahui lebih dahulu sebelum berbuat
sesuatu, arah-arah mana yang dapat Tuan lewati kalau bahaya datang. Atau
setidaknya Tuan telah memiliki pengetahuan tentang itu,” katanya.
Mahesa Jenar
tersenyum pula.
“Tuan benar.
Aku memang kurang hati-hati. Tetapi apakah sekarang kita dapat melewati
gerbang?” sahutnya.
“Tentu,” jawab
Gajah Sora,
“Orang-orang
yang menjaganya sedang berkumpul di sini.”
“Kalau
demikian marilah kita pergi,” sahut Mahesa Jenar lagi.
Maka sebentar
kemudian, Gajah Sora dan Mahesa Jenar dengan hati-hati sekali menyelinap dari
satu rumpun ke rumpun yang lain, dari balik padas yang satu ke padas yang lain.
Selangkah demi selangkah mereka berhasil mendekati gerbang yang menghadap ke
utara. Gerbang ini dalam keadaan biasanya selalu dijaga dengan kuatnya oleh
orang-orang kepercayaan Sima Rodra. Tetapi orang-orang itu sekarang sedang
berkumpul di depan goa untuk dapat mencegah kalau sepasang Uling itu akan
berbuat sesuatu. Maka dengan tidak banyak mendapat kesulitan, Gajah Sora dan
Mahesa Jenar berhasil keluar melewati gerbang yang menganga tak terjaga.
Setelah itu, setelah mereka berada di luar, segera mereka meloncat ke dalam
semak-semak dan menjauhi benteng Sima Rodra itu dengan mengambil jalan menyusup
rumpun-rumpun liar dan menjauhi jalan yang semestinya. Dengan keadaan tubuh
mereka yang hampir remuk itu, mereka harus dengan hati-hati sekali menuruni
tebing yang curam serta menloncati padas-padas yang rumpil. Untunglah bahwa
mereka berdua mempunyai dasar kecekatan yang cukup, sehingga meskipun dengan
susah payah pula mereka dalam waktu singkat telah dapat mencapai dataran di
sebelah bukit kecil itu. Tetapi demikian mereka merasa bahwa jalan yang akan
mereka lalui tidak lagi sulit, mereka mendengar lamat-lamat derap kuda yang
keluar dari gerbang benteng bukit Tidar, yang semakin lama terdengar semakin
jauh. Rupanya sepasang Uling dari Rawa Pening itu ketika sudah yakin bahwa
Suami-Istri Sima Rodra tak dapat mereka temui, serta sepasang keris itu tidak
lagi berada di tangan mereka, mereka merasa bahwa tak ada gunanya lagi tinggal
terlalu lama di Bukit Tidar.
Setelah suara
derap kuda itu lenyap, kembali Gajah Sora dan Mahesa Jenar melanjutkan
perjalanan untuk secepat-cepatnya menjauhi gunung Tidar. Untuk menghilangkah
jejak, mereka tidak langsung berjalan ke timur, tetapi mula-mula mereka
melingkar ke barat untuk selanjutnya membelok ke utara, ke Banyu Biru.
Di perjalanan,
ternyata bahwa Gajah Sora dan Mahesa Jenar yang baru saja berkenalan itu
menjadi begitu akrab, seolah-olah mereka telah berkenalan bertahun-tahun. Dalam
banyak hal mereka selalu bersamaan pendapat dan perhitungan. Setelah beberapa
lama mereka berjalan, serta mereka sudah yakin benar bahwa orang-orang Sima
Rodra tidak lagi dapat menemukan mereka, mereka merasa perlu untuk
beristirahat, untuk menyegarkan tubuh mereka. Maka dicarilah tempat yang sesuai
untuk sekadar melepaskan lelah. Tetapi demikian mereka duduk bersandar di
pepohonan, karena lelah dan tegang yang dialaminya beberapa saat yang lalu,
segera mereka jatuh tertidur. Demikian nyenyaknya, sehingga mereka sama sekali
tak merasa bahwa malam telah lama lewat, dan matahari telah tinggi di langit. Ketika
cahaya matahari itu, menerobos daun-daun dan memanaskan tubuh mereka, kedua
orang yang kelelahan itu baru terbangun. Terasalah sesudah mereka beristirahat
benar-benar, meskipun hanya sebentar, tubuh mereka menjadi bertambah segar.
Meskipun masih saja terasa agak kaku-kaku dan nyeri, namun mereka telah sanggup
untuk berdiri tegak dan melangkah dengan tangkas, berkat daya tahan tubuh
mereka yang cukup kuat.
No comments:
Post a Comment