BARU kemudian ketika Manahan itu telah melangkah pergi dan mengajak muridnya, Wiradapa segera menjejerinya, meskipun ia masih berdiam diri. Pada pagi hari berikutnya, atas permintaan Mahesa Jenar, diselenggarakanlah pemakaman Sima Rodra muda yang sebenarnya bernama Ki Panutan, dengan baik. Bagaimanapun jahatnya orang itu, namun pada saat terakhirnya, ia sudah menemukan dirinya kembali. Karena itu wajarlah bahwa terhadap jenazah itu tidak perlu dilakukan pembalasan dendam. Namun bagaimanapun, pada hari itu perasaan Manahan seolah-olah sedang diselimuti oleh kabut tebal. Ia merasa bahwa dirinya telah dihanyutkan oleh keadaan yang sama sekali tak menguntungkan. Adalah suatu kebetulan yang sangat menyulitkan bahwa orang yang pertama-tama dibinasakan adalah Sima Rodra, ayah Rara Wilis.
Meskipun
demikian, dengan penuh kesadaran Mahesa Jenar yang juga bernama Manahan itu,
tetap pada pendiriannya. Bahwa mereka yang termasuk dalam golongan hitam harus
dibinasakan, terutama pemimpinnya, yang mempunyai nama menggetarkan seperti
Lawa Ijo, sepasang Uling dari Rawa Pening, Jaka Soka dari Nusakambangan, dan
tidak ketinggalan Istri Sima Rodra yang masih tidak kalah berbahayanya. Maka
karena semuanya itu pula Mahesa Jenar teringat pada kesanggupannya untuk
mencari Keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Diketemukannya kedua keris
itu, akan dapat membuktikan pula bahwa Gajah Sora tidak bersalah. Karena itu
maka ia bermaksud untuk secepatnya meninggalkan Gedangan meneruskan perjalanan.
Tetapi kemana…? Dari Wiradapa ia pernah mendengar seorang yang menamakan diri
Panembahan Ismaya. Menurut Wiradapa, berdasarkan kabar yang baru-baru saja
didengarnya, orang itu adalah seorang yang sangat luas pengetahuannya. Meskipun
Panembahan Ismaya itu hampir tidak meninggalkan pertapaannya, namun ia adalah
seorang yang sakti, yang mungkin dapat menunjukkan di manakah keris-keris Kyai
Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, atau setidak-tidaknya petunjuk ke mana ia harus
mencari, atau bagaimanakah caranya untuk menemukannya. Dengan demikian maka
timbullah keinginan Manahan untuk bertemu dengan orang yang disebut Panembahan
Ismaya itu. Seandainya orang itu tidak dapat menunjukkan pusaka-pusaka yang
hilang itu, namun setidak-tidaknya pertemuan dengan seorang Panembahan akan
banyak memberinya manfaat. Maka segera Manahan mengemukakan hasratnya itu
kepada Wiradapa, untuk mendapat petunjuk-petunjuk ke mana ia harus pergi serta
syarat-syarat yang diperlukan untuk menemui Panembahan Ismaya.
Setelah ia
mendapat beberapa petunjuk maka segera ia minta diri untuk menghadap Panembahan
itu, serta seterusnya melanjutkan perjalanannya. Tentu saja Wiradapa merasa
keberatan, tetapi bagaimanapun juga Manahan terpaksa meninggalkan padukuhan
kecil itu. Setelah Manahan memberikan beberapa petunjuk untuk mengatasi
kesulitan-kesulitan yang mungkin datang, baik dari pihak Sawung Sariti maupun
dari pihak istri Sima Rodra, dengan memberikan latihan-latihan singkat kepada
beberapa orang, barulah Manahan tega meninggalkan pedukuhan Gedangan. Sebab
kemungkinan yang paling baik adalah mempergunakan senjata-senjata jarak jauh
dengan mengandalkan jumlah yang banyak. Sebab tidak mungkin mereka melakukan
perlawanan perseorangan terhadap orang-orang seperti Sawung Sariti ataupun
Istri Sima Rodra.
Di suatu pagi
yang cerah, berangkatlah Manahan dan Bagus Handaka meninggalkan Gedangan untuk
menghadap seorang yang menamakan dirinya Panembahan Ismaya, dengan diantar oleh
berduyun-duyun penduduk yang ditinggalkan sampai ke ujung desa. Mereka melepas
Manahan bersama muridnya dengan hati yang berat. Sedang sebenarnya Manahan pun
merasa khawatir pula. Tetapi ia mengharap bahwa apabila masih ada orang-orang
yang mendendam, dendam mereka tidak ditujukan kepada rakyat Gedangan, tetapi
kepada dirinya yang telah bertekad menghadapi segala akibat dari perbuatannya.
Sebaliknya, dengan perjalanan itu, Handaka menemukan kegembiraannya kembali.
Berjalan di alam luas, di bawah langit yang terentang tanpa batas. Batu-batu
yang menjorok di lereng-lereng bukit, serta semak-semak yang terserak-serak
diantara padang-padang ilalang, tampaknya sangat mengagumkan di bawah cahaya
pagi. Gemersik daun-daun yang bergerak ditiup angin, terdengar seperti suara
orang yang berbisik-bisik, terpesona oleh kebesaran alam serta Maha
Penciptanya. Di lereng-lereng bukit, di kehijauan rumput yang basah oleh embun,
tampak berloncat-loncatan, dan kemudian menghilang di dalam semak anak-anak
kijang yang keriangan. Tetapi perjalanan mereka kali ini bukanlah perjalanan
yang terlalu jauh. Setelah mereka bermalam satu malam di perjalanan, maka pada
keesokan harinya, tanda-tanda yang pertama dari padepokan yang dicarinya telah
tampak. Di sebuah puncak bukit kecil, tampaklah dari kejauhan sebatang pohon
beringin tua yang menghijau diantara batu-batu padas yang berwarna sawo. Itulah
padepokan yang dinamai oleh penghuninya Karang Tumaritis. Di situlah Panembahan
Ismaya mengolah diri, bertapa mesuraga. Belum lagi matahari mencapai titik tertinggi
di langit, mereka telah menyusur jalan setapak yang melingkar-lingkar menaiki
lereng bukit kecil itu.
Sampai di
lambung bukit, Manahan dan Bagus Handaka telah dipesonakan oleh tanam-tanaman
berbunga yang asri. Di sana sini tampaklah taman-taman yang teratur rapi,
diwarnai oleh dedaunan yang berseling-seling. Tanam-tanaman yang berdaun lebar,
berdaun sedang dan tanam-tanaman yan berdaun sempit. Dari yang berwarna hijau
muda, hijau tua dan berwarna kemerah-merahan. Manahan dan Bagus Handaka
berjalan di antara keindahan taman bunga yang digarap oleh tangan yang pasti
sangat mencintai alam. Beberapa lama kemudian tampaklah dua orang cantrik
menuruni lereng itu. Wajahnya jernih cerah dan masih sangat muda, sebaya dengan
Bagus Handaka. Meskipun pakaian mereka sangat sederhana, namun tampaknya bersih
dan serasi. Tetapi mereka menjadi terkejut sekali ketika mereka melihat Manahan
dan Bagus Handaka menaiki bukit itu. Bahkan mereka kemudian terpaku seperti
patung dengan pandangan yang bertanya-tanya. Melihat sikap mereka, segera
Manahan mengetahuinya, bahwa pasti bukit kecil yang terpencil ini sangat jarang
dikunjungi orang. Untuk segera menghilangkan kesan yang kurang baik, segera
Manahan dan Bagus Handaka mengangguk hormat. Melihat tamunya mengangguk, kedua cantrik
itupun segera menanggapinya, dan dengan ramahnya berkata,
“Tuan… apakah
keperluan Tuan berdua mengunjungi tempat kami yang tak berarti ini?”
Dengan ramah
pula Manahan menjawab,
“Ki Sanak,
kedatangan kami kemari adalah terdorong dari keinginan kami untuk menghadap
yang terhormat Panembahan Ismaya yang bertapa di bukit Karang Tumaritis.
Bukankah bukit ini yang bernama Karang …?”
Kedua cantrik
itu tersenyum. Salah seorang diantaranya menjawab,
“Benar Tuan,
bukit kecil ini memang bernama Karang Tumaritis. Dan di bukit ini pula tinggal
Panembahan Ismaya. Kami adalah cantrik-cantrik yang mengabdikan diri pada
Panembahan. Kalau Tuan-tuan ingin menghadap, baiklah kami sampaikan nama
Tuan-tuan berdua kepada Panembahan Ismaya. Sedang Tuan-tuan kami persilahkan untuk
menanti di bawah beringin itu”.
“Baiklah Ki
Sanak,” sahut Manahan.
“Nama kami
adalah Manahan dan Bagus Handaka”.
Setelah
mengangguk sekali lagi, segera kedua cantrik itu berlalu untuk menyampaikan
permintaan kedua orang tamu yang akan menghadap Panembahan. Di bawah beringin
tua, Manahan dan Bagus Handaka menanti, sambil menikmati keindahan lembah dan
ngarai yang terbentang di bawah bukit kecil itu. Pandangan mata mereka beredar
dari relung-relung lembah, padang-padang rumput di dataran yang berseling
dengan semak-semak, kemudian merayapi lereng-lereng bukit kecil itu sendiri dan
akhirnya taman bunga di sekitar mereka. Tiba-tiba mereka terkejut ketika mereka
melihat beberapa bagian dari taman itu tersulam beberapa jenis tanaman baru.
Bukan karena jenis tanaman baru itu akan menambah keasriannya, tetapi jelas
bahwa sulaman itu disebabkan karena kerusakan. Dugaan mereka bertambah kuat
pula ketika mereka melihat pagar-pagar hidup yang membatasi jalan-jalan sempit
di pekarangan itu terdapat beberapa sulaman pula. Siapakah kira-kira yang
merusakkan tanaman-tanaman yang begitu rapi itu…?
BELUM lagi
Manahan dan Bagus Handaka selesai menikmati seluruh isi halaman itu, tampaklah
kedua cantrik yang menemuinya tadi berjalan mendekatinya. Dua cantrik itu baru
saja muncul dari sebuah rumah kecil yang berdinding kayu, dan beratap ijuk.
Meskipun rumah itu sederhana saja, tetapi tampak betapa cermat pemeliharaannya.
Beberapa langkah di depannya, kedua cantrik itu berhenti. Dan setelah
membungkuk hormat, berkatalah salah seorang,
“Tuan, marilah
Tuan berdua kami persilahkan menungu di gubug kami dahulu. Panembahan tengah
merendam diri di telaga Pangawikan di bagian selatan bukit ini. Nanti apabila
matahari telah surut beliau baru kembali”.
“Ki Sanak…”
jawab Manahan,
“Biarlah kami
menunggu di sini saja. Alangkah sejuknya udara, dan alangkah indahnya
pemandangan”.
Kedua cantrik
itu tersenyum, maka berkata yang lain,
“Tuan terlalu
memuji. Tetapi Panembahan selalu tidak puas dengan hasil kerja kami”.
“Pastilah
Panembahan Ismaya seorang yang cinta pada alam,” sahut Manahan.
“Tuan benar,”
jawab salah seorang cantrik itu. Sesaat kemudian ia melanjutkan,
“Namun begitu
marilah kami persilahkan beristirahat di gubug kecil itu sambil menunggu
kedatangan Panembahan”.
Tidak
sepantasnyalah kalau Manahan menolak ajakan itu. Maka bersama-sama dengan Bagus
Handaka segera mereka diantar memasuki rumah kayu yang beratap ijuk itu.
Meskipun rumah itu pendek dan beratap ijuk, namun kesejukan udara terasa
meresap ke dalamnya. Mereka berdua dipersilahkan duduk di atas bale-bale bambu
yang besar di sisi pintu.
“Tuan…” kata
salah seorang,
“Kami
persilahkan Tuan menunggu sebentar, kami akan minta diri untuk menyelesaikan
pekerjaan kami”.
“Silahkan,”
kata Manahan sambil mengangguk.
Kedua orang
itu segera meninggalkan Manahan dan Bagus Handaka, tetapi sementara itu,
muncullah seorang cantrik yang lain, yang agak lebih tua dari kedua cantrik
tadi. Dengan senyum ramah pula ia menyapa,
“Tuankah yang
bernama Mahesa Jenar dan Arya Salaka?”
Mendengar
pertanyaan itu Manahan dan Bagus Handaka serentak terbelalak karena terkejut.
Mereka memperkenalkan diri sebagai Manahan dan Bagus Handaka, tetapi cantrik
itu menyebut nama-nama mereka yang sebenarnya. Karena itu dada mereka jadi
tergetar.
Sebaliknya,
cantrik itupun menjadi terkejut pula. Ia tertegun berdiri di pintu seperti
kebingungan. Tiba-tiba berkatalah ia,
“Tuan… kalau
demikian agaknya aku salah duga. Mungkin ada tamu yang lain yang bernama
seperti yang aku sebutkan tadi. Sebab Panembahan telah memerintahkan kepadaku
untuk datang mendahului kemari menemui kedua orang tamu yang bernama Mahesa
Jenar dan Arya Salaka, putra Kepala Daerah Perdikan Banyubiru. Maka maafkanlah
kesalahan ini. Selanjutnya siapakah Tuan berdua yang barangkali akan menemui
Panembahan?”
Manahan dan
Bagus Handaka menjadi semakin kisruh. Agaknya Panembahan Ismaya telah
mengetahuinya, bahkan sampai pada orang tua Arya Salaka. Karena itu maka
Manahan menjadi berterus terang,
“Ki Sanak,
benarlah kami berdua yang bernama Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Putra Kepala
Daerah Perdikan Banyubiru”.
Cantrik itulah
kemudian yang tampak bingung. Lalu katanya dengan tarikan nafas dalam-dalam,
“Syukurlah,
tetapi agaknya Tuan terkejut ketika aku menyebut nama Tuan”.
Mendapat
pertanyaan itu, Manahan bertambah sibuk. Namun akhirnya ia berkata dengan
jujur,
“Ki Sanak,
pada saat aku datang, aku memperkenalkan diriku dengan nama yang akhir-akhir
ini kami pakai dalam pengembaraan kami, yaitu Manahan dan Bagus Handaka. Karena
itulah kami terkejut ketika Ki Sanak menyebut nama-nama kami yang sebenarnya.
“O….” desis
cantrik itu.
“Aku juga
tidak mengerti, dari mana Panembahan tahu nama-nama Tuan yang sebenarnya”.
Mendengar
keterangan itu, Manahan dan Bagus Handaka menjadi terpesona. Mereka merasa
bahwa mereka benar-benar akan bertemu dengan Panembahan Ismaya yang waskita.
Kalau demikian… cantrik itu melanjutkan,
“Biarlah aku
menemani Tuan-tuan di sini seperti perintah Panembahan, sebelum beliau datang”.
Kemudian
duduklah cantrik itu bersama-sama dengan Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Dari
cantrik itu pula, Mahesa Jenar tahu bahwa seorang cantrik telah memberitahukan
kehadirannya kepada Panembahan yang sedang merendam diri di telaga Pangawikan,
yang kemudian memerintahkan cantrik itu untuk menemuinya. Maka kemudian mereka
bercakap-cakap tentang berbagai-bagai masalah, bergeser dari yang satu kepada
yang lain. Dari jenis tanam-tanaman sampai berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang
mengandung manfaat untuk obat-obatan. Akhirnya sampailah pembicaraan mereka
kepada tanam-tanaman yang tumbuh di halaman serta sulaman-sulaman barunya. Maka
berkatalah cantrik yang bernama Jatirono,
“Tuan,
beberapa waktu berselang, taman kami itu telah dirusakkan oleh beberapa orang
berkuda yang tidak kenal keindahan. Mereka datang dengan kuda-kuda mereka
menerjang tanaman kami setelah mereka marah-marah dan memaki-maki. Aku tidak
tahu apakah sebabnya. Tetapi setelah mereka menghadap Panembahan, agaknya
mereka merasa kecewa karena beberapa sebab. Lalu seorang diantaranya yang
sebaya dengan Tuan Muda putra Banyubiru itu, marah-marah. Mereka tidak saja
merusak taman kami, tetapi mereka juga merusak beberapa perabot rumah kami”.
“Tidakkah
seorangpun dapat mencegahnya?” tanya Arya Salaka, meskipun ia agak canggung
atas sebutan yang diucapkan oleh cantrik itu.
Cantrik itu
menggelengkan kepalanya.
“Siapakah
diantara kami yang mampu mencegah seorang yang perkasa itu? Kami adalah
orang-orang lemah yang bertekun diri di padepokan ini untuk suatu pengabdian
rokhaniah. Karena itu kami hanya dapat menyaksikan apa yang dilakukan oleh anak
muda itu dengan hati yang berdebar-debar”.
MAHESA Jenar
dan Arya Salaka yang sebenarnya lebih senang disebut Bagus Handaka, menarik
nafas untuk mengendorkan perasaan mereka. Sebab mereka sudah pasti bahwa anak
muda yang merusak-rusak itu adalah Sawung Sariti. Demikian sombongnya anak itu,
sehingga mereka berani melakukan hal-hal yang sama sekali tak berkesopanan, di
hadapan seorang Panembahan. Tetapi semuanya itu telah lampau, sehingga keduanya
hanya dapat menahan perasaan mereka yang melonjak-lonjak. Ketika mereka sedang
bercakap-cakap dengan asyiknya, masuklah seorang gadis kecil menjinjing sebuah
nampan berisi minuman dan makanan. Dengan cermatnya gadis itu menyuguhkan
mangkok tanah yang berisi air jeruk serta makanan dan buah-buahan kepada
tamunya. Dan kemudian membungkuk hormat, berjalan meninggalkan mereka. Mahesa
Jenar tersenyum melihat keprigelan gadis yang baru berumur belasan tahun itu,
sehingga meloncatlah pertanyaannya,
“Alangkah
tangkasnya gadis kecil itu. Apakah ia salah seorang endhang di padepokan ini?”
Jatirono
tertawa kecil. Gadis kecil itu adalah satu-satunya putri cucu Panembahan
Ismaya. Saudaranya laki-laki adalah tetua kami para cantrik. Namanya Putut
Karang Tunggal, yang sekarang sedang menemani Panembahan berendam di telaga
Pangawikan.
“O…” sahut
Mahesa Jenar.
“Karena itulah
maka wajahnya bercahaya”.
“Siapakah nama
gadis kecil cucu Panembahan itu?”
“Endang
Widuri,” jawab Jatirono.
“Endang
Widuri?” ulang Mahesa Jenar.
“Suatu nama
yang bagus. Tetapi lebih dari pada itu, Endang Widuri adalah seorang gadis yang
lincah dan cakap, di bawah tuntunan yang sempurna pula”.
“Mudah-mudahan
demikianlah,” jawah Jatirono,
“Meskipun
sebagai anak-anak, nakalnya bukan alang kepalang”.
Setelah Mahesa
Jenar dan Arya Salaka menikmati hidangan yang disuguhkan oleh Endang Widuri,
maka berkatalah Jatirono,
“Tuan berdua,
kami persilahkan tuan beristirahat di sini. Sebentar lagi Panembahan Ismaya
akan sudah dapat menerima Tuan-tuan. Karena itu biarlah aku menengoknya
sebentar”.
Maka pergilah
Jatirono meninggalkan Mahesa Jenar dan Arya Salaka untuk menengok apakah
Panembahan Ismaya telah siap menerima tamunya. Hanya sebentar kemudian masuklah
ke dalam rumah kecil itu seorang pemuda tampan, bertubuh gagah serta berdada
bidang. Namun geraknya halus dan sopan. Ia tidak berpakaian seperti para
cantrik yang lain, tetapi ia mengenakan sebuah jubah putih. Dengan penuh hormat
ia berkata,
“Tuan, Eyang
Panembahan Ismaya sudah selesai merendam diri. Sekarang beliau sedang bersiap
untuk menerima Tuan-tuan. Karena itu kami persilahkan tuan bersama aku
menghadap”.
Bagaimanapun
juga hati Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar. Ia adalah seorang ksatria yang
biasa bergaul dengan para kesatria pula, sewaktu ia masih berada di lingkungan
istana. Sehingga dengan demikian jaranglah baginya bergaul dengan seorang
Panembahan seperti Panembahan Ismaya. Sedang Arya Salaka, justru karena selama
ini ia hidup diantara para petani dan nelayan, ia sama sekali tidak merasakan
suatu kejanggalan apapun. Meskipun dari gurunya ia selalu menerima
petunjuk-petunjuk yang berharga tentang sopan santun dan tata pergaulan. Dari
pondok kecil itu mereka menyusur jalan sempit diantara tanam-tanaman hijau
dihiasi oleh bunga-bunga dari berbagai warna, menuju ke sebuah pondok lain yang
agak lebih besar. Namun pondok ini pun dibuatnya dari kayu dan beratap ijuk
pula.
“Di rumah
itulah Eyang Panembahan akan menerima Tuan-tuan,” kata pemuda yang bertubuh
tegap itu.
Menilik
sebutan yang diucapkan, maka Mahesa Jenar dapat mengetahui bahwa pemuda yang
sedikit lebih tua dari Arya Salaka itulah yang bernama Putut Karang Tunggal,
saudara laki-laki dari Endang Widuri. Ketika mereka memasuki rumah itu segera
mereka melihat seorang yang telah lanjut usia duduk di atas sebuah batu hitam
yang dialasi oleh kulit kayu. Meskipun kesan wajahnya yang telah tua, serta
rambutnya telah memutih kapas, namun tubuhnya masih nampak segar. Agaknya orang
itu tampak jauh lebih muda dari umur yang sesungguhnya. Mahesa Jenar dan Arya
Salaka segera mengerti, bahwa orang itulah yang disebut Panembahan Ismaya.
Karena itu mereka berlaku sangat sopan dan hati-hati. Tetapi Mahesa Jenar dan
Arya Salaka terkejut ketika tiba-tiba, setelah Panembahan Ismaya itu melihat
mereka, segera ia berdiri sambil tergesa-gesa menyongsongnya. Dengan sangat
hormat ia menyambut tangan Mahesa Jenar untuk bersalaman. Mahesa Jenar menjadi
agak kaku dan heran, kenapa seorang Panembahan sampai sedemikian menghormati
tamunya. Apalagi dirinya yang tidak menunjukkan tanda-tanda kebesaran apapun,
malahan agaknya tidak cukup pantas untuk mendapat kehormatan bertemu dengan
seorang Panembahan.
“Silahkan
Anakmas, silahkan….” Panembahan Ismaya menyilahkan Mahesa Jenar dan Arya Salaka
yang menjadi semakin keheran-heranan. Apalagi ketika Panembahan itu meneruskan,
“Alangkah
bersyukurnya hari ini ketika aku mendapat kabar bahwa Anakmas akan mengunjungi
tempat kami yang tak berarti ini”.
Untuk
menghilangkan kekakuan, Mahesa Jenar pun mengangguk dengan takzimnya sambil
menjawab,
“Berbahagialah
aku mendapat kesempatan untuk menghadap Panembahan”.
Tetapi apa
yang dikatakan oleh Panembahan Ismaya itu semakin mengejutkan Mahesa Jenar,
“Bagiku
kedatangan Anakmas adalah suatu kurnia. Sebab aku sama sekali tidak bermimpi
bahwa tempat ini akan mendapat kunjungan dari seorang perwira istana seperti
Anakmas Rangga Tohjaya”.
MAHESA Jenar
menjadi semakin sibuk menduga-duga, alangkah jauh dari dugaannya tentang
Panembahan itu. Namun demikian Mahesa Jenar menjadi bertambah tidak mengerti,
darimanakah orang tua itu dapat mengenalnya sebagai seorang prajurit dan
bernama Rangga Tohjaya? Dalam kebingungan itu terdengar Panembahan Ismaya
berkata kembali,
“Marilah
Anakmas….”
Seperti orang
yang kehilangan kesadaran Mahesa Jenar melangkah masuk diikuti oleh Arya
Salaka. Mereka berdua kemudian duduk pula di atas batu hitam yang juga
beralaskan kulit kayu. Sedang pemuda tampan yang mengantar mereka tadi dengan
takzimnya duduk bersila di lantai di belakang Panembahan Ismaya. Setelah
Panembahan Ismaya menanyakan keselamatan Mahesa Jenar, serta beberapa hal
tentang dirinya serta perjalanannya mendaki bukit kecil itu, akhirnya
Panembahan Ismaya sampai pada sebuah pertanyaan tentang keperluan Mahesa Jenar.
Untuk beberapa lama Mahesa Jenar diam. Ia masih ragu. Apakah perlu ia
mengutarakan keperluannya. Bukankah Panembahan Ismaya yang bijaksana itu telah
dapat membaca perasaan yang tersimpan di dalam dadanya. Melihat Mahesa Jenar
termangu berkatalah Panembahan itu,
“Anakmas,
kedatangan Anakmas ke bukit kecil ini pastilah mempunyai suatu maksud. Meskipun
tidak sewajarnya kalau aku yang tak berarti ini memberanikan diri untuk
menerima pertanyaan Anakmas. Sebab apakah yang dapat aku kerjakan? Aku adalah
seorang tua yang tak pernah meninggalkan bukit ini, sehingga pasti yang aku
ketahui tidaklah lebih dari katak di bawah tempurung”.
Namun
bagaimanapun juga Mahesa Jenar menganggap bahwa Panembahan Ismaya itu
seolah-olah memiliki indera keenam, yang dapat melihat barang yang tak
kasatmata. Karena itu dengan takzimnya ia menjawab,
“Panembahan
telah mengetahui apa yang tidak pernah aku katakan kepada Panembahan, yaitu
tentang nama kami berdua. Tetapi karena ketajaman indera Panembahan, Panembahan
telah dapat mengetahuinya. Adalah sama sekali tidak pantas kalau aku harus
mengatakan keperluanku menghadap Panembahan, seolah-olah aku tidak percaya akan
ketajaman pandangan Panembahan”.
Mendengar kata
Mahesa Jenar, Panembahan Ismaya itu tertawa lirih.
“Anakmas telah
salah duga. Sebenarnya tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui perasaan
orang lain dengan tepat, selain Yang Maha Tahu. Tentang nama Anakmas dan cucu
Arya Salaka, bukanlah karena aku dapat melihat apa yang belum terjadi, tetapi
karena semata-mata nama Anakmas berdua telah demikian tenarnya di sekitar bukit
ini. Seorang cantrik yang turun untuk mendapatkan perbekalan kami telah
mendengar nama Anakmas berdua sebagai penyelamat di padukuhan Gedangan. Dan
hampir setiap mulut dari penduduk pedukuhan itu selalu menyebut nama Tuan yang
rangkap, bahkan nama Anakmas sebagai bekas prajurit Demak. Bukankah nama itu disebut-sebut
pula oleh anak Sima Rodra yang Anakmas bunuh?
Mahesa Jenar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Hal itu memang mungkin sekali. Tetapi
bagaimanapun juga Mahesa Jenar tidak dapat melarikan diri dari sinar mata tajam
yang seolah-olah menusuk sampai ke segala relung jantungnya. Meskipun demikian,
maka tak ada cara lain yang baik baginya daripada memenuhi permintaan
Panembahan Ismaya, mengutarakan maksud kedatangannya. Maka dengan agak berat
Mahesa Jenar berkata,
“Bapa
Panembahan, aku mendengar tentang kewaskitaan Panembahan dari seorang yang
bernama Wiradapa, penduduk dan sekarang menjadi lurah di padukuhan Gedangan.
Karena itu aku memberanikan diri menghadap Panembahan untuk memohon petunjuk,
barangkali Panembahan berkenan memberitahukan kepada kami berdua, di manakah
atau cara bagaimanakah kami berdua dapat menemukan Keris Kyai Nagasasra dan
Kyai Sabuk Inten yang lenyap dari perbendaharaan istana dan pernah menjadi
rebutan dari mereka yang menggolongkan diri dalam suatu gerombolan yang ingin
merebut pemerintahan dengan segala cara, termasuk Sima Rodra yang beberapa
waktu lalu terbunuh di Gedangan”.
Mendengar
pertanyaan Mahesa Jenar itu Panembahan Ismaya mengernyitkan alisnya.
Perlahan-lahan ia mengangguk-anggukkan kepalanya, dan kemudian dengan tersenyum
berkata,
“Anakmas,
dalam waktu yang singkat ada dua orang yang mempunyai pertanyaan yang sama.
Beberapa waktu yang lalu, datang padaku seorang yang menyatakan dirinya putra
Kepala Daerah Perdikan Pamingit dan Banyubiru. Dan ternyata anak muda itu
terlibat dalam suatu bentrokan dengan Anakmas berdua di Gedangan, menurut
berita yang sampai di bukit ini. Anak muda yang bernama Sawung Sariti itu,
ternyata menanyakan juga kedua keris yang bernama Nagasasra dan Sabuk Inten.
Tetapi sayang bahwa aku tak dapat menunjukkannya, sehingga marahlah anak muda
itu. Sekarang Anakmas datang pula dengan pertanyaan yang sama. Tentu saja
pertanyaan itu amat mencemaskan hatiku. Sebab jangan-jangan Anakmas akan marah
pula kepadaku”.
Mahesa Jenar
menundukkan kepalanya sambil menyahut,
“Bapa
Panembahan, apakah hakku marah kepada Panembahan. Bahwa aku telah mendapat
kesempatan untuk menghadap Panembahan, bagiku telah merupakan suatu kesempatan
yang tak dapat aku lupakan”.
Mendengar
jawaban Mahesa Jenar, Panembahan Ismaya itu kembali mengangguk-anggukkan
kepalanya, katanya pula,
“Aku sudah
mengira, bahwa Anakmas tidak akan marah kepadaku seperti anak muda itu. Namun
begitu aku sangat menyesal bahwa tak ada pengetahuanku tentang kedua keris itu,
yang Anakmas kehendaki itu”.
Bagaimanapun juga
Mahesa Jenar mencoba menyembunyikan perasaannya namun di wajahnya membayang
pula kekecewaan hatinya, apalagi Arya Salaka. Meskipun demikian, Mahesa Jenar
sama sekali tak ada perasaan menyalahkan kepada Panembahan Ismaya. Sebab
bagaimanapun juga waskitanya seseorang, namun pasti bahwa tidak semua sudut
dunia ini dapat diketahuinya.
AGAKNYA
perasaan Mahesa Jenar itu dapat diketahui oleh Panembahan Ismaya, yang kemudian
berkata meneruskan,
“Anakmas, aku
tahu bahwa Anakmas menjadi kecewa. Hal itu disebabkan karena berita yang
berlebih-lebihan tentang diriku. Orang menganggap bahwa aku dapat melihat
segala isi dunia ini, dari yang paling kasar sampai yang paling halus. Meskipun
demikian, aku mempunyai satu permintaan pada Anakmas berdua yang tidak aku
sampaikan kepada anak muda yang bernama Sawung Sariti, untuk sementara tinggal
bersama-sama aku di Bukit Karang Tumaritis ini. Aku tidak tahu apakah dengan
demikian akan ada tanda-tanda yang dapat menunjukkan jalan atas maksud-maksud
Anakmas itu. Tetapi pada saat aku melihat Anakmas berdua, aku merasa bahwa aku
mempunyai kewajiban untuk membantu”.
Mendengar
keterangan Panembahan Ismaya yang terakhir itu, mata Mahesa Jenar menjadi
bercahaya. Kata-kata itu diucapkan oleh seorang Panembahan. Karena itu ia yakin
bahwa artinya pun tidak sesederhana kata-kata itu sendiri. Maka karena itu
segera ia menundukkan kepalanya dalam-dalam sambil menjawab,
“Panembahan
adalah bijaksana. Apa yang Panembahan anggap baik, pastilah amat baik bagi
kami. Apalagi kemurahan hati Panembahan untuk memberikan tempat berteduh bagi
kami berdua, pasti akan kami junjung tinggi”.
Panembahan itu
tersenyum, lalu katanya meneruskan,
“Anakmas
berdua terlalu rendah hati. Namun janganlah Anakmas menjadi kecewa kalau
akhirnya aku tak dapat berbuat apa-apa atas keinginanku membantu, yang hanya
dibekali oleh kemauan melulu”.
Sekali lagi
Mahesa Jenar mengangguk sambil berkata,
“Kemauan
Panembahan bagi kami adalah jauh lebih berharga dari apapun juga”.
Akhirnya
Mahesa Jenar dan Arya Salaka diperkenankan untuk beristirahat. Selanjutnya
memenuhi permintaan Panembahan Ismaya, mereka berdua untuk beberapa lama
tinggal bersama-sama di Karang Tumaritis. Mereka berdua hidup dan bergaul
dengan beberapa orang cantrik yang melayani Panembahan Ismaya dengan rajinnya
di bawah pimpinan Putut Karang Tunggal. Namun setelah tujuh hari mereka tinggal
di situ, Panembahan Ismaya sama sekali belum pernah menyinggung-nyinggung
tentang kedua pusaka itu. Kalau mereka bertemu, maka apa yang dibicarakan oleh
Panembahan Ismaya adalah hal-hal yang sama sekali tak berarti. Bahkan
kesempatan untuk bertemu pun sangat terbatas. Panembahan Ismaya selalu menyepi
di ruang samadinya. Meskipun demikian Mahesa Jenar percaya, bahwa Panembahan
Ismaya pada suatu hari akan dapat memberinya bantuan untuk menemukan kedua
keris itu. Selama mereka berada di Karang Tumaritis, mereka mendapat kesempatan
untuk mengunjungi setiap lekuk liku pegunungan itu. Sebagai tuan rumah, para
cantrik amatlah ramahnya, sehingga Mahesa Jenar dan Arya Salaka merasa seperti
di rumah sendiri. Bahkan di bukit itu pun Arya Salaka masih sempat untuk
menerima pelajaran-pelajaran dari gurunya, meskipun mereka terpaksa mencari
tempat yang agak tersembunyi. Sebab ternyata penghuni bukit itu agaknya tidak
pernah membayangkan adanya gerak-gerak kekerasan yang dapat bermanfaat bagi
kehidupan mereka, kecuali menelaah masalah-masalah kerohanian di bawah tuntunan
Panembahan Ismaya.
Tetapi pada
beberapa hari kemudian, terjadilah suatu peristiwa yang sama sekali di luar
dugaan Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Ketika mereka sedang berjalan-jalan
menyusur tebing bukit itu, dilihatnya agak jauh di lembah di belakang bukit
itu, beberapa perkemahan yang sedang dipersiapkan. Mula-mula mereka sama sekali
tidak menaruh perhatian sama sekali, sebab mereka menyangka bahwa kemah dari
batang-batang ilalang itu telah dibuat oleh para pemburu. Tetapi ketika
ternyata di bagian-bagian yang lain di sekitar bukit itu dibuat pula
kemah-kemah yang serupa, maka Mahesa Jemar mulai curiga. Apalagi ketika akhirnya
ia mempunyai kesimpulan bahwa bukit Karang Tumaritis itu telah dikepung rapat,
sehingga setiap jengkal tanah mendapat pengawasan dengan saksama. Mau tidak mau
Mahesa Jenar terpaksa menebak-nebak. Siapakah yang telah membuat perkemahan
itu, dan apakah maksudnya. Pada malam itu, hati Mahesa Jenar menjadi
berdebar-debar ketika ia mendapat undangan dari Panembahan Ismaya untuk
menghadap. Maka bersama dengan Jatirono dan Arya Salaka Mahesa Jenar pergi
memenuhi undangan itu. Sebagai biasa Panembahan Ismaya menyambut kedatangannya
dengan penuh hormat, serta mempersilahkan Mahesa Jenar dan Arya Salaka duduk di
atas batu hitam yang beralaskan kulit kayu. Setelah itu dimintanya Jatirono
meninggalkan mereka.
“Anakmas…”
kata Panembahan Ismaya kemudian setelah menanyakan keadaan Mahesa Jenar selama
tidak bertemu.
“Perkenankanlah
aku menyampaikan suatu berita yang barangkali agak tidak kita harap-harapkan….”
Panembahan
Ismaya berhenti sejenak, sedang Mahesa Jenar dengan penuh perhatian
mendengarkan setiap patah kata yang meluncur dari mulut orang tua itu. Tetapi
meskipun Panembahan Ismaya belum menyampaikan berita apakah yang tidak
menyenangkan itu, namun Mahesa Jenar sudah dapat meraba bahwa yang dimaksudkan
pasti adanya beberapa perkemahan yang mengelilingi bukit itu. Dan ternyata apa
yang dirabanya itu benar.
“Di sekeliling
bukit ini…” Panembahan itu meneruskan,
“Ada beberapa
orang yang membangun perkemahan. Barangkali hal itu telah dapat Anakmas lihat
pula”.
“Benar Bapa
Panembahan,” jawab Mahesa Jenar.
“Aku telah melihat
perkemahan itu, yang seolah-olah berusaha mengepung bukit kecil ini”.
Panembahan
Ismaya menarik nafas. Kemudian katanya pula,
“Tak ada
diantara kita yang mengetahui apakah maksud orang-orang yang telah melakukan
itu. Dan karena itulah maka aku ingin minta tolong kepada Anakmas”.
Sampai sekian
Panembahan tua itu berhenti pula.
MENDENGAR
permintaan itu, tentu saja Mahesa Jenar tidak akan menolaknya. Maka jawabnya,
“Bapa
Panembahan, aku akan selalu bersedia untuk melakukan apapun yang mungkin.
Apalagi apabila ada hubungannya dengan kemah-kemah yang memang sangat menarik
hati itu”.
“Benar
Anakmas, sambung Panembahan, Memang aku bermaksud untuk mengetahui siapakah
yang telah membangun perkemahan itu. Aku kira mereka mempunyai maksud-maksud
yang tidak dapat mereka katakan secara berterus terang. Sebab apabila demikian,
maka mereka pasti tidak akan melakukannya. Kalau persoalan mereka dapat
dilakukan dengan baik pastilah mereka akan langsung menaiki bukit ini”.
“Lalu apakah
yang harus aku lakukan Bapa…?” tanya Mahesa Jenar.
“Anakmas…”
jawab Panembahan itu,
“Nanti apabila
hari telah larut, aku ingin melihat perkemahan itu. Sudikah Anakmas
mengantarkan aku?”
Mendengar
permintaan itu Mahesa Jenar terkejut. Panembahan Ismaya sendiri akan pergi
melihat perkemahan dari orang-orang yang sama sekali belum dikenalnya. Karena
itu segera ia menjawab,
“Bapa
Panembahan. Sebenarnya tidaklah perlu Bapa Panembahan sendiri pergi untuk
menyaksikan kemah-kemah itu. Biarlah aku dan Arya saja yang melakukan. Sedang
hasilnya akan aku laporkan kepada Panembahan”.
Panembahan
Ismaya tersenyum mendengar jawaban Mahesa Jenar. Maka katanya,
“Hal itu tak
dapat aku benarkan Anakmas. Anakmas adalah tamu di bukit ini. Bukankah tidak
semestinya kalau aku sebagai tuan rumah membebankan suatu pekerjaan kepada
tamunya melulu, sedang tuan rumah sendiri akan berpangku tangan”.
“Panembahan…”
sela Mahesa Jenar,
“Kalau
demikian, bukankah Panembahan dapat menunjuk salah seorang cantrik pergi
bersama kami?”
Panembahan
Ismaya menggelengkan kepala. Katanya,
“Itupun tidak
mungkin. Para cantrik adalah anak-anak yang keselamatannya ada di dalam
tanggungjawabku. Aku masih belum tahu, apakah pekerjaan yang akan kita lakukan
itu berbahaya atau tidak. Karena itu aku tidak dapat menugaskan orang lain
dalam hal ini. Kalau aku berani minta kepada Anakmas, adalah karena aku yakin
bahwa Anakmas memiliki kemampuan melampaui manusia biasa. Terus terang saja,
bahwa Anakmas mungkin akan dapat melindungi diriku apabila ada hal-hal yang
sangat tidak menyenangkan, meskipun seharusnya aku percaya bahwa keselamatan
seseorang sangat tergantung kepada garis yang telah digoreskan oleh Yang Maha
Kuasa. Dan bukan pula seharusnya aku menaruh curiga kepada hal-hal yang belum
pasti”.
Hati Mahesa
Jenar tergerak mendengar kata-kata itu. Meskipun Panembahan Ismaya itu telah
sedemikian lanjut, namun sebagai seorang yang memegang pimpinan dalam
bidangnya, ia sangat melindungi orang-orangnya. Karena itu, Mahesa Jenar merasa
bahwa apabila ia terpaksa menolak, pasti akan menyinggung perasaan orang tua
itu.
Maka yang
dapat dikatakan hanyalah,
“Panembahan,
kalau demikian maka aku tidak dapat berbuat lain dari pada memenuhi permintaan
Bapa”.
“Nah, kalau
demikian akan senanglah hatiku. Meskipun aku merasa bahwa di dalam hati Anakmas
pasti mentertawakan aku, seorang yang menamakan dirinya Panembahan, namun masih
mencemaskan keselamatannya”.
Mahesa Jenar
tidak menjawab, kecuali menunddukkan kepalanya. Sebenarnya ia agak tidak
sependapat dengan pernyataan Panembahan Ismaya itu.
Sebagai
seorang prajurit, ia membenarkan pada setiap usaha untuk keselamatan diri
maupun pasukannya. Hal itu sama sekali bukanlah sesuatu yang perlu disesalkan.
Tetapi disamping itu ia mencoba untuk memahami pula alam pikiran Panembahan
Ismayaa yang tidak mementingkan persoalan lahiriah. Maka ketika malam telah
larut, Panembahan tua itu kemudian berkemas-kemas untuk turun dari bukit Karang
Tumaritis. Orang tua itu sengaja melepaskan jubah putihnya, dan menggantinya
dengan kain hitam supaya tidak jelas terlihat di dalam gelapnya malam. Ketika
itu di langit bertaburan jutaan bintang yang berkedip-kedip dengan
cemerlangnya. Angin pegunungan yang silir, perlahan-lahan mengusap tubuh mereka
yang dengan sangat hati-hati menuruni tebing-tebing bukit Karang Tumaritis.
Mereka, Panembahan Ismaya, Mahesa Jenar dan Arya Salaka, tidak melewati
jalan-jalan yang biasa, tetapi mereka menempuh arah yang lain. Sebenarnya
Mahesa Jenar sama sekali tak sampai hati melihat Panembahan Ismaya, pada malam
yang gelap itu, tertatih-tatih dengan tongkatnya menuruni lambung bukit yang
agak sulit itu. Namun kemauan orang itu sama sekali sudah tak dapat diubahnya.
Bagi Mahesa Jenar, tebing itu sama sekali tak berarti apa-apa. Juga bagi Arya
Salaka. Tetapi lainlah Panembahan Ismaya yang telah lanjut usia. Karena itulah
maka perjalanan mereka sangat perlahan-lahan. Seolah-olah mereka sama sekali
tidak maju-maju dari satu titik. Kadang-kadang apabila tebing itu agak terlalu
terjal, Mahesa Jenar dan Arya Salaka bersama-sama menolong Panembahan Ismaya,
supaya tidak jatuh terperosok. Meskipun demikian, ketika bintang Gubug Penceng
telah melampaui garis tegaknya, mereka bertiga telah sampai dikaki bukit kecil
itu. Nafas Panembahan tua itu terdengar agak terlalu cepat karena kelelahan.
Namun demikian sambil tersenyum ia berkata,
“Anakmas,
bukankah aku mempunyai bakat untuk menjadi prajurit?”
Mahesa Jenar
tertawa lirih, lalu sahutnya,
“Kalau
Panembahan masih semuda aku ini, barangkali Panembahan jauh lebih kuat
daripadaku”.
Mendengar
jawaban Mahesa Jenar, Panembahan Ismaya tertawa terkekeh-kekeh, sehingga
tubuhnya terguncang-guncang. Karena itulah Mahesa Jenar kemudian menjadi cemas,
jangan-jangan suara itu didengar oleh orang-orang yang berada di dalam
perkemahan yang sudah tidak begitu jauh lagi, sedangkan untuk menegurnya Mahesa
Jenar agak segan.
PANEMBAHAN
Ismaya kemudian sadar dengan sendirinya. Katanya berbisik-bisik,
“Celaka….
Apakah mereka mendengar suaraku…?”
Setelah mereka
berdiam diri beberapa saat, ternyata mereka tak mendengar suara apapun. Maka
legalah hati mereka, karena ternyata suara Panembahan Ismaya itu tak terdengar
oleh orang-orang di dalam kemah-kemah di seberang padang ilalang.
“Panembahan…”
kata Mahesa Jenar kemudian,
“Aku
persilahkan Panembahan menunggu di sini. Biarlah aku mendekati salah satu dari perkemahan
mereka yang terdekat itu”.
“Uh..!” keluh
Panembahan Ismaya,
“Aku sudah
sampai di sini. Apakah salahnya kalau aku ikut serta”.
Sebenarnya
Mahesa Jenar agak cemas membiarkan Panembahan Ismaya mendekati perkemahan itu.
Mereka masih belum tahu siapakah yang berada di dalamnya. Kalau mereka terdiri
dari orang-orang yang cukup berilmu maka kedatangan mereka pasti akan ketahuan,
sebab Panembahan Ismaya agaknya kurang dapat mengendalikan geraknya sebagai
dirinya atau Arya Salaka, yang sudah biasa berlatih diri. Tetapi ia tidak dapat
mengutarakan pikirannya itu berterus terang. Sehingga akhirnya ia terpaksa
berkesimpulan, bahwa ia harus benar-benar melindungi Panembahan itu atas segala
sesuatu yang mungkin terjadi. Karena itu, maka kemudian mereka bersama-sama
dengan hati-hati sekali mendekati kemah yang terdekat di depan mereka. Adalah
suatu kebetulan bahwa kemah yang mereka pilih adalah kemah yang agak lebih
besar dari kemah-kemah yang lain. Dengan sangat perlahan-lahan Mahesa Jenar
merangkak paling depan menguakkan batang-batang ilalang dan kadang-kadang
gerumbul-gerumbul kecil di garis perjalanannya. Di belakangnya merangkak pula
Panembahan Ismaya, dan di belakang sekali Arya Salaka, yang kadang-kadang
terpaksa tersenyum geli melihat orang tua di depannya.
Ketika jarak
kemah itu sudah tidak begitu jauh, Mahesa Jenar sudah mulai mencium bau asap.
Agaknya orang-orang itu sedang menghangatkan dirinya di tepi perapian.
Karenanya Mahesa Jenar harus bertambah hati-hati. Ia berusaha bahwa setiap
geraknya tidak menimbulkan suara. Baginya hal yang demikian itu tidak begitu
sulit, namun tidaklah demikian bagi Panembahan Ismaya. Untunglah bahwa sampai
sedemikian jauh, kedatangan mereka masih belum diketahui. Ketika sekali lagi
Mahesa Jenar menguak batang-batang ilalang, maka tiba-tiba ia surut selangkah.
Di depannya tampak dua tiga orang sedang duduk mengelilingi api yang sudah
hampir padam. Meskipun perlahan-lahan namun percakapan mereka dapat didengar
oleh Mahesa Jenar dengan jelas. Dengan gerak Mahesa Jenar memberi tanda kepada
Panembahan tua itu agar berhenti dan berhati-hati. Panembahan Ismaya agaknya
mengetahui pula. Karena itu segera ia berhenti dan duduk bersila. Ia tampaknya
sudah demikian lelah. Mahesa Jenar pun segera duduk di sampingnya, dan agak ke
dalam tampak Arya Salaka duduk sambil memeluk lututnya. Di situ mereka merasa
aman terlindung oleh batang-batang ilalang yang cukup tinggi dan padat.
Sedangkan dari tempat itu pula mereka dapat mendengar setiap pembicaraan dari
ketiga orang yang sedang menghangatkan tubuhnya itu.
Untuk beberapa
lama pembicaraan orang-orang itu sama sekali tidak menyangkut kepentingan
mereka berkemah di situ. Mereka hanya membicarakan diri mereka masing-masing.
Mereka saling menyombongkan diri tentang kecakapan mereka berburu, berolah
senjata dan jumlah orang yang telah pernah mereka bunuh. Meskipun demikian dari
percakapan itu Mahesa Jenar dapat menerka bahwa rombongan itu bukanlah
rombongan orang baik-baik. Rombongan itu pasti termasuk dalam golongan para
penjahat, bahkan bukan penjahat-penjahat kecil, tetapi mereka termasuk dalam
gerombolan yang cukup besar. Mula-mula Mahesa Jenar hampir menganggap bahwa
para penjahat itu hanya melulu menginginkan kekayaan yang mereka sangka banyak
terdapat di puncak bukit kecil itu. Kalau demikian halnya maka soalnya akan
menjadi sederhana dan mudah. Arya Salaka sendiri mungkin akan sudah cukup untuk
dapat menakut-nakuti mereka. Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar terperanjat oleh
percakapan berikutnya. Ketika salah seorang dari mereka menguap dan berdiri
akan meninggalkan perapian itu, berkatalah ia,
“Hati-hatilah
kawan. Jangan sampai orang itu lolos. Aku akan tidur sebentar. Kalau lurah kita
nanti kehilangan orang itu, mungkin kepala kalian yang akan menjadi gantinya.
Ingat, jangan coba menyelesaikan sendiri. Pukul kentongan kalau kau lihat dia.
Sebab baginya kau tidak lebih dari seekor tikus tak berarti”.
Orang yang
masih duduk di tepi perapian yang sudah hampir padam itu tertawa tinggi. Lalu
jawabnya,
“Macam apakah
orang itu, yang menganggap kita seekor tikus? Justru karena itu aku ingin
melihat orangnya. Kalau ia kuat mengayunkan penggadaku ini dengan sebelah
tangan seperti yang aku lakukan, aku akan menyembahnya tujuh kali”.
Orang yang
berdiri itulah kemudian yang tertawa nyaring. Katanya,
“Aku akan
berdoa mudah-mudahan permintaanmu itu dapat terkabul”. Setelah itu ia melangkah
pergi memasuki kemah yang agak lebih besar dari kemah-kemah yang lain.
DUA orang yang
masih duduk itu menggerutu tak habis-habisnya. Salah seorang darinya berkata,
“Aku kagumi
ketangkasan Kakang Sakayon. Sayang hatinya terlalu kecil”.
Mendengar
kata-kata itu hati Mahesa Jenar berdesir hebat. Ia ingat dengan jelas bahwa
orang yang bernama Sakayon adalah salah seorang dari kepercayaan Sima Rodra di
Gunung Tidar. Kalau demikian maka orang-orang yang mengepung bukit itu pasti
gerombolan Sima Rodra. Mendapat pikiran itu ia menjadi berdebar-debar. Cepat ia
menghubungkannya dengan peristiwa yang baru saja lampau, dimana Sima Rodra
telah terbunuh olehnya di padukuhan Gedangan. Maka pikirannya bekerja dengan
cepatnya. Yang dihadapi itu hanyalah anak buah gerombolan yang telah diketahui
kekuatannya. Karena itu, apakah tidak lebih baik kalau gerombolan itu segera
dihancurkannya sama sekali? Panembahan Ismaya yang melihat kegelisahan Mahesa
Jenar berbisik perlahan-lahan,
“Apakah yang
telah Anakmas ketahui tentang percakapan mereka?”
“Panembahan…”
jawab Mahesa Jenar berbisik pula,
“Mereka adalah
gerombolan Sima Rodra dari Gunung Tidar. Aku telah mengenal salah seorang
diantara mereka. Dan aku mendapat pikiran untuk menghancurkan mereka sekaligus
sekarang juga, kemah demi kemah tanpa mereka ketahui. Sebab benar-benar mereka
tidak lebih daripada tikus-tikus yang sangat rakus”.
Tiba-tiba
Panembahan itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Wajahnya menjadi cemas. Katanya
tergagap perlahan-lahan,
“Jangan
anakmas, jangan dipakai kekerasan”.
Mendengar
kata-kata Panembahan Ismaya, Mahesa Jenar menjadi bingung. Bagaimana mungkin
menghadapi gerombolan Sima Rodra itu tanpa kekerasan. Karena itu untuk beberapa
saat ia menjadi kebingungan dan tidak tahu apa yang akan dikatakan. Dan karena
Mahesa Jenar berdiam diri, Panembahan Ismaya meneruskan,
“Anakmas,
bukankah dengan demikian akan terjadi pertempuran?”
Hampir tidak
sadar Mahesa Jenar berkata,
“Ya
Panembahan, pertempuran dan pertumpahan darah”.
“O ngger…, aku
akan mati ketakutan melihat pertempuran. Maksudku semata-mata hanyalah untuk
mengetahui apakah maksud mereka mengepung bukit ini. Setelah itu biarlah aku
selesaikan kemudian. Dengan mengetahui maksud itu, bukankah aku telah mempunyai
ancang-ancang untuk berbicara dengan mereka?”
Mahesa Jenar
menjadi bertambah bingung. Meskipun ia dapat mengerti jalan pikiran Panembahan
itu, namun sebenarnya ia sangat keberatan untuk melepaskan kesempatan ini.
Orang-orang dari gerombolan hitam yang dalam keadaan terpisah-pisah seperti
itu, akan dengan mudahnya untuk digilas, seperti membunuh cacing.
No comments:
Post a Comment