INI berarti bahwa Lawa Ijo selalu berusaha untuk memperdalam segala ilmunya sampai sedalam-dalamnya. Apalagi di bawah asuhan seorang sakti yang bernama Pasingsingan. Lalu bagaimanakah dengan dirinya? Dengan terbunuhnya salah seorang anggota gerombolan Lawa Ijo, bahkan saudara muda seperguruannya, berarti Mahesa Jenar sudah berhadapan langsung dengan golongan itu. Golongan Lawa Ijo yang bersarang di hutan Mentaok. Karena itulah maka Mahesa Jenar mulai menilai dirinya kembali. Sebenarnya ia tidak ingin lagi mempergunakan tenaganya dan ilmu tata berkelahi yang pernah dipelajarinya untuk memecahkan soal. Tetapi berhadapan dengan gerombolan Lawa Ijo, soalnya menjadi lain. Terhadap gerombolan itu, dan gerombolan hitam umumnya, ia tak dapat berbuat lain, kecuali harus mempersiapkan diri dalam keadaan siaga tempur. Maka, dengan tak sesadarnya Mahesa Jenar mengamat-amati tangannya dengan jari-jarinya yang kokoh kuat. Telah berapa jiwa melayang karenanya, selama ia berusaha menegakkan keadilan dan kemanusiaan. Dan sekarang, tangan ini harus siap membunuh pula, juga untuk menegakkan keadilan dan kemanusiaan. Bahkan alangkah menariknya untuk mengetahui pula kejadian-kejadian dalam pertemuan yang akan diselenggarakan oleh golongan hitam itu, pada saat purnama naik, bulan terakhir tahun ini.
Maka dengan
tidak sengaja pula, Mahesa Jenar bangkit dan berjalan mondar-mandir di dalam
ruangan itu. Malam sudah begitu dalam dan sepi. Kecuali suara-suara binatang
malam yang sekali-kali memecah sunyi. Pada saat yang demikian tiba-tiba saja
timbullah keinginan Mahesa Jenar untuk mencoba kembali kekuatan tenaganya.
Mungkin akan berguna nanti. Kalau ada kesempatan, bukankah suatu hal yang baik
sekali untuk membinasakan segala tokoh-tokoh hitam pada saat mereka berkumpul?
Tetapi mereka pun bukanlah kumpulan anak-anak kecil yang dapat ditakut-takuti
oleh seekor anjing yang sedang menggonggong. Belum lagi Mahesa Jenar mendapat
sasaran untuk memulai, tiba-tiba didengarnya sayup-sayup suara yang bergetar
panjang, mendirikan bulu roma. Suara itu menggetarkan udara seperti getaran
gelombang pantai. Bagi penduduk Pucangan, suara itu memang sering terdengar.
Bahkan hampir setiap malam, apabila kademangan itu telah terbenam dalam sunyi
malam. Setiap penduduk kademangan yang mendengar suara mengerikan itu tubuhnya
tentu akan menggigil karenanya. Tetapi sebaliknya adalah Mahesa Jenar.
Mendengar suara itu tiba-tiba timbullah kegembiraannya. Dengan lincahnya ia
segera meloncat turun ke halaman. Untuk beberapa saat ia berdiri mendengarkan
dari mana arah suara yang menggeletar itu. Mahesa Jenar merasa bahwa ia akan
mendapat kawan berlatih yang baik. Maka kemudian dengan tidak berpikir panjang
lagi. Segera ia meloncat dan seperti kilat berlari ke arah suara yang menarik
hati itu, agak jauh di luar pedesaan. Ketika sekali lagi suara itu terdengar
semakin panjang, Mahesa Jenar menjadi bertambah gembira, sehingga ia semakin
mempercepat langkahnya. Tampaklah ia kemudian seperti bayangan yang terbang
dalam kegelapan. Setelah beberapa lama berlari, Mahesa Jenar menghentikan
langkahnya. Dari sinilah arah suara tadi terdengar. Dengan hati-hati dan penuh
kewaspadaan, ia mengamat-amati keadaan di sekitarnya, yang penuh semak-semak
dan rumput-rumput ilalang yang tumbuh liar.
Tiba-tiba
telinga Mahesa Jenar yang tajam menangkap suara berdesir dari dalam semak-semak
itu. Cepat ia membalikkan diri ke arah suara itu, dan bersiaga. Apa yang
dicari, kini telah muncul dari balik batang-batang ilalang. Mahesa Jenar
tersenyum, ketika dilihatnya seekor harimau loreng sangat besar, hampir sebesar
kerbau, memandangnya dengan keheran-heranan. Matanya yang kehijau-hijauan
memancar seperti lentera yang menyorot kepadanya. Untuk beberapa saat harimau
itu berdiri mematung. Agaknya harimau itu heran, manusia manakah yang telah
mengantarkan dirinya sendiri untuk menjadi santapan malamnya. Ketika harimau
itu perlahan-lahan maju ke depan, darah Mahesa Jenar berdesir juga. Alangkah besar
dan garangnya. Dan dengan tidak sesadarnya, kembali Mahesa Jenar mengawasi
tangannya serta jari-jarinya yang kokoh kuat. Pada telapak tangan Mahesa Jenar,
seolah-olah terbayang apa yang pernah terjadi pada saat terakhir, sebelum
gurunya melenyapkan diri dan kemudian ternyata wafat. Pada saat ia mendapat
warisan ilmu yang sebenarnya sangat hebat. Suatu ilmu yang dapat dikatakan
tersimpan di tangan Mahesa Jenar. Sebab kalau ia ingin menerapkan ilmu itu,
haruslah dipergunakan sisi telapak tangannya. Meskipun pada dasarnya ilmu itu
mempergunakan kekuatan jasmaniah, tetapi tidaklah demikian seluruhnya.
Bertahun-tahun Mahesa Jenar melatih diri meyakinkan ilmu itu, yang
mempergunakan unsur-unsur gerak pendahuluan 10 macam. Sebelum itu ia masih
harus membiasakan keadaan jasmaniahnya. Setiap pagi dan sore menghantamkan sisi
telapak tangannya pada bermacam-macam benda. Dari pasir, kayu, sampai ke batu.
Sepuluh unsur gerak pendahuluan itu hanyalah sekadar patokan untuk menekan
lawannya sampai sedemikian rupa sehingga pada saat yang terakhir dimana keadaan
sudah memungkinkan, dilontarkanlah pukulan dengan sisi telapak tangan. Tetapi
pukulan itu tidak akan memenuhi harapan, bila saat itu tidak dibarengi dengan
suatu kekuatan batin yang luar biasa besarnya, serta pemusatan tenaga. Inilah
sebenarnya yang sulit dilaksanakan. Untuk dapat melakukan ini semua, Mahesa
Jenar harus bekerja keras beberapa tahun lamanya.
LATIHAN-LATIHAN
itulah yang sangat terasa berat. Pada taraf permulaan Mahesa Jenar harus
melatih mengatur pernafasan, kemudian pemusatan pikiran dan terakhir
menggabungkan segenap kekuatan lahir batin. Semua itu untuk disalurkan lewat
sisi telapak tangannya. Dalam pelaksanaannya tidaklah mesti 10 unsur gerak itu
dilakukan berurutan. Tetapi unsur yang hanya sekadar merupakan patokan yang
dapat dibolak-balik, diambil beberapa bagiannya saja menurut kebutuhan. Bahkan
dapat dimasuki dan digabungkan dengan unsur-unsur gerak yang lain. Setelah
Mahesa Jenar menjalani semua latihan-latihan itu, hasilnya sangat hebat. Tangan
Mahesa Jenar, bila dikehendaki seolah-olah dapat berubah menjadi palu besi yang
sangat berat. Tetapi meskipun demikian, sampai saat itu Mahesa Jenar belum
pernah mempergunakan ilmunya itu untuk melawan sesama manusia. Ia baru mencoba
menghantam-hancurkan kayu dan bahkan batu. Tetapi terhadap sesama manusia,
Mahesa Jenar masih belum sampai hati mempergunakannya. Sebab, akibatnya dapat
dibayangkan. Namun sekarang Mahesa Jenar merasa berhadapan dengan lawan yang
tak dapat diabaikan. Apalagi Lawa Ijo adalah murid Pasingsingan. Lebih-lebih
kalau Pasingsingan sendiri ikut campur dalam urusan ini. Karena itu, Mahesa
Jenar memutuskan, bahwa ia harus mempersiapkan ilmunya itu. Ilmu yang pernah
dipelajarinya dengan sungguh-sungguh dan bersusah payah.
Sekarang, ia
mendapat sasaran yang tepat. Seekor harimau loreng yang sangat besar sekali,
yang pasti sangat mengganggu penduduk di sekitar daerah ini. Sebab seekor
harimau yang hampir sebesar kerbau ini tentu akan senang menangkap ternak para
petani. Meskipun kekuatan jasmaniah harimau sebesar itu, jauh berlipat dari
kekuatan jasmaniah manusia biasa, Mahesa Jenar yakin bahwa ia akan dapat
mengatasinya, dengan ilmunya yang oleh gurunya disebut Sasra Birawa.
Sementara itu,
Mahesa Jenar segera tersadar oleh suara gemersik kaki harimau yang berdiri
tidak jauh di hadapannya. Harimau itu telah merunduk sangat rendah, dan siap
menerkam. Sambil mengaum keras, harimau itu dengan garangnya meloncat akan
menerkam Mahesa Jenar. Kedua kaki depannya menjulur hampir lurus dengan tubuhnya.
Kuku-kukunya yang tajam siap merobek-robek mangsanya. Sedang taring-taringnya
yang tajam-runcing, menyeringai. Mengerikan sekali.
Tetapi Mahesa
Jenar adalah seorang yang telah terlatih baik untuk menghadapi setiap
kemungkinan dan segala macam bahaya. Maka ketika dilihatnya harimau itu
meluncur menerkamnya, dengan cekatan Mahesa Jenar merendahkan diri dan meloncat
ke samping.
Harimau itu
kembali mengaum dengan hebatnya. Rupanya ia sangat marah ketika mangsanya
terlepas dari terkamannya. Tetapi selama harimau itu masih mengapung di udara,
ia sama sekali tak dapat mengubah geraknya. Ketika harimau itu mendarat di
tanah, ia menjadi terkejut sekali. Tidak saja karena sasarannya telah
menghindarkan diri, tetapi juga karena tiba-tiba saja terasakan sesuatu yang menghantam
punggungnya, dan bahkan seperti melekat dengan eratnya. Setelah Mahesa Jenar
berhasil menghindarkan diri, maka tepat pada saat harimau itu menjejakkan
kakinya di atas tanah, dengan kecepatan luar biasa Mahesa Jenar meloncat ke
atas punggung harimau itu, dan menghantamnya sekali. Seterusnya kedua tangannya
dengan eratnya berpegangan pada leher harimau itu. Tetapi harimau adalah
binatang yang mempunyai kekuatan yang luar biasa. Pantaslah kalau disebut raja
hutan. Apalagi seekor harimau yang sedang marah, seperti yang sedang dihadapi
oleh Mahesa Jenar. Harimau itu menggeliat dengan sepenuh tenaga untuk
melepaskan pegangan Mahesa Jenar. Tetapi Mahesa Jenar dengan eratnya
mencengkeram leher harimau itu, sehingga tangan itu tidak terlepas. Akhirnya harimau
yang sudah mencapai puncak kemarahannya itu meloncat tinggi. Setelah terjun
kembali, segera menjatuhkan diri dan bergulingan di tanah. Bagaimanapun eratnya
pegangan Mahesa Jenar, tetapi mengalami hal yang demikian tak urung tangannya
terlepas juga. Bahkan ia terlempar ke samping, sampai beberapa langkah dan
jatuh berguling-guling. Untunglah bahwa Mahesa Jenar memiliki keuletan yang
luar biasa. Mahesa Jenar jatuh terguling beberapa kali, segera ia meloncat dan
tegak kembali tepat pada saatnya. Sebab pada saat itu, harimau yang marah itu
telah siap kembali menerkam. Tetapi setelah mengalami kegagalan, rupanya
harimau itu mendapat suatu pengalaman, bahwa dengan suatu terkaman dari jarak
yang jauh, ia tak berhasil menguasai mangsanya. Maka kali ini harimau itu tidak
lagi merunduk lalu meloncat. Perlahan-lahan tetapi pasti, harimau itu mendekati
lawannya.
Mahesa Jenar
bertambah berhati-hati melihat perubahan sikap harimau itu. Untuk melawan
langsung seekor harimau sangatlah berbahaya. Kuku-kukunya serta gigi-gigi yang
tajam itu dapat merobek kulitnya. Maka diputuskannya untuk segera mengakhiri
perkelahian. Mahesa Jenar segera bersikap. Tanpa mempergunakan unsur-unsur
pendahuluan untuk menekan lawannya. Ia berdiri di atas satu kakinya, menghadap
langsung pada harimau itu. Satu kaki lainnya diangkat dan ditekuk ke depan.
Sebelah tangannya menyilang dada, sedangkan tangan kanannya diangkat
tinggi-tinggi. Mahesa Jenar secepatnya mengatur peredaran nafasnya, memusatkan
pikiran dan menyalurkan segala kekuatan lahir dan batin ke sisi telapak
tangannya. Maka ketika harimau itu mengaum dahsyat, serta dengan garangnya
menerkamnya, Mahesa Jenar pun telah siap dan terdengar ia berteriak nyaring. Ia
memutar kaki yang diangkatnya itu setengah lingkaran dan membuat satu loncatan
kecil kesamping. Berbareng dengan itu, tangan kanannya terayun deras sekali
menghantam tengkuk harimau itu. Akibatnya adalah dahsyat sekali. Harimau itu
mengaum lebih keras lagi dibarengi dengan gemeretak tulang patah. Sekejap
kemudian harimau itu melenting tinggi, dan sesaat lagi terdengarlah gemuruh
tubuhnya jatuh ke tanah, tidak bergerak lagi selama-lamanya. Harimau itu mati
karena patah tulang lehernya oleh kekuatan tangan Mahesa Jenar yang telah
mempergunakan ilmu Sasra Birawa. Sesaat kemudian malam menjadi sunyi kembali.
Yang terdengar, kecuali tarikan nafas Mahesa Jenar, adalah suara-suara binatang
malam dan belalang bersahutan. Di langit, bintang-bintang gemerlapan, seperti
permata yang ditaburkan di atas selembar permadani biru kelam.
DENGAN tajamnya
Mahesa Jenar mengawasi lawannya yang sudah tidak bernyawa lagi itu. Ia dapat
sedikit berbangga hati, bahwa sampai sekarang ia mendapat kebahagiaan untuk
memiliki ilmu gurunya yang dahsyat itu. Seandainya yang dikenai itu manusia
biasa, maka dapatlah dibayangkan, bahwa manusia itu akan hancur lebur tanpa
sisa. Belum lagi Mahesa Jenar puas menikmati kemenangannya, tiba-tiba
terdengarlah suara gemersik ilalang di belakangnya. Cepat-cepat ia memutar
tubuhnya dan segera bersiaga. Tetapi ketika ia melihat siapakah yang berdiri di
belakangnya, ia menjadi terkejut bukan kepalang. Kalau misalnya Lawa Ijo yang
berada di situ, ia tidak akan seterkejut pada saat itu. Ternyata yang berdiri
di belakangnya, dengan wajah cerah, secerah bintang yang gemerlapan di langit,
adalah Nyai Wirasaba.
Dalam beberapa
saat Mahesa Jenar tidak dapat mengucapkan sepatah katapun, sedang Nyai Wirasaba
tertunduk malu. Tetapi kemudian, Mahesa Jenar berhasil menguasai perasaannya,
dan dengan sedikit tergagap ia bertanya.
“Nyai
Wirasaba, kedatangan Nyai sangat mengejutkan aku.”
Nyai Wirasaba
masih diam tertunduk. Sampai Mahesa Jenar meneruskan,
“Apakah yang
Nyai maksudkan, sehingga Nyai memerlukan datang kemari?”
Akhirnya Nyai
Wirasaba menjadi seperti tersadar dari sebuah mimpi. Memang kedatangannya pun
adalah seperti peristiwa dalam mimpi. Nyai Wirasaba, pada saat sebelum
perkawinannya, sangat mengagumi suaminya karena ketangguhan, kejantanan serta
keberaniannya. Tetapi kemudian suaminya menjadi lumpuh, sehingga tak ada lagi
yang dapat dikaguminya. Meskipun demikian ia tetap mencintainya.
Tiba-tiba
muncullah seorang yang menurut anggapannya sangat mengagumkan pula, berani dan
bersifat jantan. Ketika Mahesa Jenar keluar dari ruang tidurnya dan berdiri di
halaman, sebenarnya Nyai Wirasaba sudah berada di halaman pula, untuk
membeningkan pikirannya yang kusut. Mendadak pada saat itu terdengarlah aum
harimau di kejauhan. Ketika dilihatnya Mahesa Jenar, menjadi gembira dan
berlari ke arah suara itu, tanpa sadar ia segera mengikutinya untuk sekadar
dapat menyaksikan sikap jantan Mahesa Jenar. Meskipun ia tidak berlari secepat
Mahesa Jenar, arah suara harimau yang mengaum berkali-kali itu telah
menuntunnya sampai ke tempat pertarungan itu. Apalagi ketika ia menyaksikan
bagaimana Mahesa Jenar membunuh lawannya. Hatinya menjadi melonjak dan tak
dapat dikuasainya lagi. Karena itulah, ketika ia mendengar pertanyaan Mahesa
Jenar, ia menjadi agak bingung. Tetapi kemudian dijawabnya juga dengan penuh
kejujuran.
“Aku tidak
tahu, kenapa aku kemari.”
“Tidak tahu?”
sahut Mahesa Jenar heran.
“Ya, aku tidak
tahu. Mungkin hanyalah terdorong oleh keinginanku menyaksikan suatu peristiwa
yang dapat mengungkat kembali suatu kenang kenangan yang indah pada masa muda.”
“Apa yang Nyai
Wirasaba lakukan adalah sangat berbahaya. Bagaimana kalau aku tidak dapat
memenangkan pertandingan ini? Barangkali Nyai Wirasaba pun akan menjadi
santapan macan loreng itu,” kata Mahesa Jenar kemudian.
“Tidak
mungkin. Aku yakin kalau harimau itu akan terbunuh,” jawab Nyai Wirasaba.
“Nyai Wirasaba
yakin?” tanya Mahesa Jenar. Matanya memancarkan berbagai pertanyaan.
Kembali Nyai
Wirasaba tertunduk diam. Dia sendiri tidak tahu kenapa ia mempunyai perasaan
demikian.
“Nah,
sebaiknya Nyai Wirasaba sekarang pulang. Adalah berbahaya sekali bagi Nyai untuk
tetap berada disini.” Mahesa Jenar menasehati seperti anak kecil yang kemalaman
bermain.
Tetapi Nyai
Wirasaba tetap tak bergerak. Bahkan tiba-tiba saja perasaannya terbang ke alam
angan-angan yang pahit. Tiba-tiba saja ia rindukan kembali masa gadisnya
beberapa tahun lampau. Saat-saat pertemuan dan perkenalannya dengan Ki
Wirasaba, serta cita-citanya untuk dapat menimang seorang anak laki-laki yang
segagah, seberani dan sejantan ayahnya. Tetapi sekarang, selama Wirasaba
lumpuh, hampir seluruh bagian bawah tubuhnya, selama itu pula ia tak dapat
mengharap menimang seorang anak laki-laki seperti yang dirindukannya. Kembali
perasaan Nyai Wirasaba melonjak dan tak dapat dikendalikan, sehingga tiba-tiba
ia tersedan. Mahesa Jenar adalah seorang laki-laki yang mempunyai
perbendaharaan pengalaman yang luas sekali. Tetapi meskipun ia pernah
berkenalan dengan banyak sekali wanita, ia sendiri belum pernah bergaul terlalu
rapat. Sehingga wanita baginya adalah makhluk yang asing, yang mempunyai
perasaan di luar kemampuannya untuk menjajaginya. Apalagi ia sendiri belum
beristri. Maka ketika dilihatnya Nyai Wirasaba menangis, hatinya menjadi
bingung kalang kabut. Mahesa Jenar menjadi semakin tidak mengerti apa yang
harus dilakukannya. Ia sendiri tidak merasakan adanya suatu kesalahan yang
dapat menusuk perasaan. Karena itu untuk beberapa saat ia hanya dapat berdiri
diam seperti patung, sedangkan perasaannya bergolak menebak-nebak, apakah
sebabnya Nyai Wirasaba menangis. Akhirnya ia sampai pada suatu kesimpulan yang
sangat ditakutinya.
KARENA
pengetahuan Mahesa jenar tentang perasaan seorang wanita sangat sempit, maka ia
telah mempunyai tanggapan yang salah terhadap Nyai Wirasaba. Karena itulah ia
bertambah cemas.
“Nyai, aku
telah mengorbankan harga diriku dengan tidak menerima tantangan Ki Wirasaba,
sekedar untuk mengembalikan suasana ketenteraman rumah tangga kalian. Dan
sekarang, ketenteraman yang sudah hampir pulih kembali itu akan terganggu pula,
apabila kita berdua pada malam begini berada di tempat ini. Karena itu pulanglah
dan lupakanlah segala angan angan itu,” kata Mahesa Jenar dengan suara gemetar.
Nyai Wirasaba
adalah seorang wanita yang berperasaan halus, sehalus rambut dibelah tujuh.
Ditambah pula sudah beberapa tahun ia meladeni suaminya yang cacat kaki, sehingga
ia menjadi semakin perasa.
Maka ketika ia
mendengar perkataan Mahesa Jenar, ia terperanjat. Meskipun Mahesa Jenar sama
sekali tak bermaksud jahat, dan perkataannya itu diucapkan dengan jujur menurut
perasaannya, tetapi akibatnya seperti sembilu yang lansung membelah ulu hati
Nyai Wirasaba. Sebagai seorang wanita yang dididik oleh seorang saleh seperti
Ki Asem Gede, maka sudah tentu ia mementingkan sifat-sifat keutamaan seorang
wanita. Diantaranya sifat setia dan bakti kepada suaminya.
Dengan
demikian, maka perkataan Mahesa Jenar telah menggelorakan darahnya. Ia merasa
tersinggung dengan anggapan itu. Meskipun ia sangat mengagumi keperwiraan
seseorang, namun ia menjadi gusar juga karena tuduhan itu. Maka dijawabnya
kata-kata Mahesa Jenar itu dengan suara yang bergetar.
“Tuan, aku
telah mengagumi keperwiraan Tuan, keberanian dan kejantanan Tuan. Dan dengan
tidak sadar pula aku telah mengikuti Tuan sampai ke tempat ini untuk
menyaksikan keperwiraan Tuan. Hal ini mungkin disebabkan aku terlalu mengagumi
kejantanan suamiku pada masa muda kami berdua. Dengan menyaksikan kejantanan
Tuan, aku mendapat suatu jembatan yang dapat menghubungkan kembali kepada
kenangan masa silam. Suatu masa yang penuh dengan harapan dan cita-cita. Tetapi
Tuan telah menuduh aku dengan tuduhan yang menyakitkan hatiku.” Suara Nyai
Wirasaba tersekat di kerongkongan oleh air matanya yang mendesak.
Mendengar
jawaban itu Mahesa Jenar tidak kurang terperanjatnya. Tetapi ia tetap tidak
dapat mengerti, Kalau demikian halnya, mengapa seorang wanita seperti Nyai
Wirasaba sampai bersusah payah mengikutinya. Karena Mahesa Jenar adalah seorang
yang berdada terbuka serta tidak suka menyembunyikan perasaannya, maka
berkatalah ia,
“Tetapi sampai
demikian perlukah Nyai Wirasaba pergi ke tempat ini pada malam begini?”
Sekali lagi
dada Nyai Wirasaba yang penuh itu terguncang. Ia menjadi bertambah gusar
mendengar kata-kata Mahesar Jenar itu. Tetapi seperti halnya Mahesa Jenar yang
tak dapat menjajagi perasaannya, Nyi Wirasaba pun tidak tahu sama sekali akan
ketulusan hati Mahesa Jenar. Bahkan ia menyangka bahwa dalam kesempatan itu
Mahesa Jenar ingin memancing-mancing untuk meraba-raba perasaannya. Karena itu
dengan marahnya ia berkata,
“Tuan, aku
tidak menyangka bahwa hati Tuan ternyata palsu. Maka baru sekarang aku mengerti
kenapa suamiku berkata, bahwa tak mungkin seseorang menyabung nyawanya tanpa
pamrih. Tetapi Tuan jangan mimpikan air mengalir ke udik.”
Sekarang
Mahesa Jenar yang merasa dadanya terguncang. Ia tidak dapat membayangkan bahwa
wanita cantik seperti Nyai Wirasaba itu dapat sedemikian marahnya sehingga
mengeluarkan kata-kata yang menusuk perasaan demikian pedihnya. Karena itu,
seluruh tubuh Mahesa Jenar menggigil karena ia berusaha menahan diri. Disamping
itu ia mulai merasa bahwa mungkin perkataan-perkataannya telah menyinggung
perasaan Nyai Wirasaba. Maka dalam kebingungan itu, ia hanya dapat berdiri
terpaku seperti patung. Tak ada sepatah katapun yang diucapkan. Sampai Nyai
Wirasaba menyambung pula,
“Tuan,
barangkali Tuan menyangka bahwa suamiku hanya dapat bermain main dengan suatu
permainan yang jelek dengan Samparan. Tetapi ketahuilah Tuan, bahwa aku
mengharap ia lekas sembuh. Dan sesudah itu aku tidak tahu apakah aku masih
dapat mengagumi ketangkasan Tuan di hadapan suamiku.”
Sekali lagi
dada Mahesa Jenar terguncang. Ia adalah seorang laki laki yang mengutamakan
keperwiraan seorang ksatria. Ia sudah menahan dirinya sekian lama sejak ia
menerima sindiran-sindiran Wirasaba di hadapan Mantingan dan Ki Asem Gede.
Seandainya Nyai Wirasaba tidak langsung menyinggung harga dirinya sebagai
seorang laki-laki, mungkin ia masih dapat menahan dirinya, meskipun dadanya
akan menjadi sesak. Tetapi sekarang, Nyai Wirasaba yang karena marahnya, telah
langsung merendahkan harga dirinya sebagai seorang laki-laki dengan
memperbandingkannya dengan Wirasaba. Karena itulah maka Mahesa Jenar tidak
dapat lagi membendung aliran perasaannya yang semakin deras mendesak dan telah
cukup lama tertahan. Meskipun demikian ia masih berusaha untuk menyambut
tantangan itu dengan sebaik mungkin, meskipun nafasnya menjadi berdesakan.
“Mudah-mudahan
Ki Wirasaba lekas sembuh. Dan aku akan mencoba melayaninya, meskipun barangkali
aku tidak akan dapat memberi kepuasan… dan ….”
Sebenarnya
masih banyak yang akan diucapkan Mahesa Jenar, tetapi ia tidak tahu bagaimana
melakukannya. Sedangkan yang keluar dari mulutnya adalah,
“Nyai, kalau
ada kesalahanku maafkanlah, tak ada gunanya aku lebih lama tinggal di sini.
Perkenankanlah aku pergi. Tolong pamitkan kepada mereka berdua, dan lain kali
aku mengharap dapat bertemu kembali. Juga kepada Ki Wirasaba, sampaikan
salamku, sampai bertemu apabila ia telah sembuh kembali.”
Belum lagi
Mahesa Jenar mengucapkan seluruh kata-katanya, terdengar suara Nyai Wirasaba
hampir berteriak,
“Salahkulah
kalau aku sampai datang kemari, apapun sebabnya, karena aku seorang wanita.”
Kemudian
diluar dugaan Mahesa Jenar, Nyai Wirasaba segera berlari meninggalkan tempat
itu.
Mahesa Jenar
terpaku di tempatnya.
“Alangkah
tumpulnya perasaanku. Sungguh aku tidak mengerti, apa yang baru saja terjadi,”
gumamnya.
Belum lagi
Mahesa Jenar menemukan jawaban, didengarnya dari arah samping suara gemersik
rumput kering. Cepat ia memutar tubuhnya menghadap ke arah suara itu.
TERNYATA apa
yang dijumpainya mengejutkannya pula. Orang yang datang itu adalah Ki Dalang
Mantingan. Sesaat darah Mahesa Jenar jadi berdegupan. Kalau ada orang ketiga
yang menyaksikan hadirnya Nyai Wirasaba di tempat itu, dapatlah menimbulkan
bermacam-macam kemungkinan. Tetapi karena ia percaya bahwa sahabatnya itu tidak
akan menjelekkan namanya, maka segera ia pun dapat menguasai dirinya kembali.
Sementara itu
terdengar Mantingan berkata,
“Adimas,
maafkanlah kalau kedatanganku sangat mengejutkan Adimas.”
“Tidak. Tidak
seberapa Kakang Mantingan. Tetapi sudah lamakah kakang berada di sini?” jawab
Mahesa Jenar sambil menggeleng lemah.
“Sudah… Sudah
lama. Aku menyaksikan semua yang terjadi. Sejak Adimas membunuh harimau itu
dengan tangan, sampai perselisihan paham yang terjadi antara Adimas dan Nyai
Wirasaba,” sahut Mantingan.
Mahesa Jenar
menundukkan kepalanya sambil kembali menggeleng lemah. Kemudian katanya,
“Aku tidak
mengerti kenapa hal-hal serupa itu bisa terjadi. Kau dengar seluruh pembicaraan
kami Kakang?”
“Seluruhnya.
Aku datang ke tempat ini bersamaan waktunya dengan Nyai Wirasaba,” jawab
Mantingan.
“Kau tahu
bahwa aku di sini?” tanya Mahesa Jenar lebih lanjut.
“Ya, sebab
ketika aku mendengar aum harimau dan terbangun dari tidurku, aku tidak melihat
Adimas di pembaringan. Segera aku pergi mencarinya. Ketika aku turun ke
halaman, aku melihat Nyai Wirasaba sedang berlari dengan kencangnya ke arah
suara harimau itu. Tentu saja aku tidak dapat membiarkan hal semacam itu.
Segera aku pun pergi menyusulnya. Dan seterusnya seperti apa yang terjadi di
sini.”
Mendengar
keterangan Mantingan, Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Kemudian untuk
beberapa saat mereka berdiam diri, tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Sampai kembali Mantingan berkata,
“Adimas,
sebenarnya apa yang terjadi hanyalah karena kesalah-pahaman belaka.”
“Apa pendapat
Kakang tentang hal itu?” sela Mahesa Jenar.
“Maafkanlah
kalau aku katakan, bahwa tidak banyak yang Adimas ketahui tentang perasaan
seorang wanita. Sebaliknya Nyai Wirasaba menerima keterbukaan dada Adimas itu
dengan kemasgulan dan kegusaran. Sebenarnya tak ada persoalan apa-apa antara
Adimas dan Nyai Wirasaba. Karena itu tak ada alasan bagi Adimas untuk
tergesa-gesa pergi.”
Mahesa Jenar
diam sejenak. Ia mencoba mencerna keterangan Ki Dalang Mantingan.
Tetapi
akhirnya kembali ia menggeleng lemah. Katanya,
“Kakang
Mantingan, aku kira lebih baik aku pergi. Banyak hal yang tidak menguntungkan
apabila aku tetap tinggal di sini. Kakang tahu bahwa aku bukanlah seorang yang
sabar dan pradah untuk menerima perangsang perangsang yang dapat membakar
perasaanku. Aku juga masih belum tahu apakah Wirasaba sudah puas dengan
kematian Samparan.”
Kembali mereka
berdiam diri. Udara malam yang lembab di daerah pegunungan mengalir dibawa arus
angin perlahan-lahan. Dan dalam keheningan itu kembali suara-suara malam
bertambah jelas. Sebenarnya sangatlah berat perasaan Mantingan untuk melepas
Mahesa Jenar pergi. Meskipun baru beberapa hari ia mengenalnya, namun
seolah-olah hatinya telah tergenggam erat dalam tali persahabatan. Karena itu
ia berusaha keras untuk menahan Mahesa Jenar.
“Adimas,”
katanya sejenak kemudian mengusik sepi malam,
“kalau Adimas
berkeras untuk meninggalkan tempat ini, bukankah lebih baik Adimas pergi ke
Prambanan? Kakang Demang Penanggalan akan merasa berbahagia kalau Adimas sudi
tinggal beberapa hari di rumahnya.”
Mahesa Jenar
tidak segera menjawab ajakan itu. Memang pernyataan yang demikian itu mungkin
sekali. Tetapi mengingat kemungkinan-kemungkinan lain, dimana Ki Asem Gede
turut berkepentingan, adalah kurang pada tempatnya. Sedangkan ia sama sekali
tidak mengerti persoalannya. Tidaklah enak perasaan Mahesa Jenar untuk
meninggalkan keluarga Ki Asem Gede dan kemudian tinggal pada keluarga
Mantingan. Dengan demikian suasana menjadi kaku, seperti garis-garis karang di
tebing-tebing pegunungan yang merupakan lukisan-lukisan hitam di atas dasar
kebiruan langit yang ditaburi bintang-bintang. Akhirnya Mahesa Jenar mengambil
suatu ketetapan. Ia harus pergi meninggalkan daerah itu.
“Kakang
Mantingan, terpaksa aku tidak dapat mengubah keputusanku. Banyak hal yang dapat
aku lakukan kalau aku melanjutkan perjalananku. Mungkin aku dapat menemukan
sarang Lawa Ijo di hutan Mentaok atau gerombolan orang-orang berkuda yang
membuat upacara-upacara aneh dengan mengorbankan gadis-gadis itu.”
Sampai sekian Mantingan
sudah menduga bahwa sulitlah baginya untuk tetap menahan Mahesa Jenar.
Sementara itu Mahesa Jenar meneruskan,
“Kakang
Mantingan, meskipun aku bukan lagi seorang prajurit, namun aku masih tetap
ingin mengabdikan diriku. Sebab pengabdian yang sebenarnya tidak harus melulu
ditujukan kepada raja, tetapi sebenarnyalah bahwa pengabdian harus ditujukan
kepada rakyat. Karena itu aku akan merasa berbahagia sekali kalau aku dapat
berbuat sesuatu untuk ketenteraman hati rakyat. Nah kakang Mantingan, sampai sekian
saja pertemuan ini.”
Tak sepatah
katapun yang dapat diucapkan Mantingan. Betapa kagumnya ia terhadap Mahesa
Jenar yang telah menemukan garis tujuan bagi hidupnya. Meskipun ia sendiri juga
selalu berusaha untuk melakukan hal-hal yang serupa, yaitu membasmi kejahatan,
tetapi apa yang dilakukannya itu adalah diluar kesadaran bagi sesuatu tujuan
yang besar. Karena itu apa yang dilakukannya adalah suatu perbuatan
sepotong-sepotong tanpa suatu garis penghubung dari yang satu dengan yang lain.
Kemudian terdengar
kembali Mahesa Jenar berkata,
“Kakang
Mantingan, sampai di sini kita berpisah. Mudah-mudahan kita dapat bertemu lagi.
Kalau Kakang Mantingan tidak berkeberatan, di akhir tahun ini, dua hari sebelum
purnama penuh, kita bertemu di sekitar Banyu Biru dan Rawa Pening. Bukankah
pada saat itu akan terjadi sesuatu yang penting?”
Seperti
diperingatkan akan kelalaiannya, Mantingan menjawab,
“Baiklah
Adimas. Baiklah kita menyaksikan pertemuan para tokoh-tokoh sakti dari aliran
hitam itu. Sementara itu masih ada waktu bagiku untuk sedikit menambah
pengetahuanku yang sangat picik ini. Sesudah itu aku juga akan segera kembali
ke Wanakerta. Mudah-mudahan aku diizinkan oleh guruku, Ki Ageng Supit.”
“AkuU kira Ki
Ageng Supit tidak akan keberatan, selama apa yang kita lakukan tidak
bertentangan dengan garis kebijaksanaan negara. Nah, Kakang Mantingan, selamat
tinggal. Salamku buat Ki Asem Gede dan Demang Penanggalan.”
Dengan
perasaan yang sangat berat Mantingan melepas Mahesa Jenar pergi. Sebenarnya
Mahesa Jenar pun merasa betapa beratnya meninggalkan daerah ini, meskipun ia
mengalami banyak hal yang tak menyenangkan. Tetapi justru karena itu ia akan
tetap terkenang pada sahabat-sahabatnya, dimana ia sendiri sedang mengalami
kesulitan. Kini kembali Mahesa Jenar dengan pengembaraannya. Mula-mula ia
berjalan menyusur jalan yang dilaluinya ketika ia mengikuti Ki Asem Gede.
Tetapi ia tidak mau terus sampai ke Prambanan. Karena itu, ketika jalan ini
akan memasuki belukar, ia mengambil jurusan lain. Ia memilih jalan yang membelok
ke barat, menyeberangi Sungai Opak. Meskipun ia sama sekali belum mengenal
daerah yang dilaluinya, tetapi sedikit banyak ia mengenal ilmu perbintangan
yang diharapkan dapat menuntunnya ke arah yang dikehendaki. Demikianlah Mahesa
Jenar sebagai seorang perantau berjalan dari desa ke desa, dari kademangan yang
satu ke kademangan yang lain. Dilewatinya desa-desa Semboyan, Kalimati, Temu
Agal, terus ke selatan, lewat daerah Si Lempu dan Cupu Watu. Terus kembali
membelok ke barat tanpa berhenti. Maka pada saat fajar menyingsing sampailah
Mahesa Jenar ke depan mulut hutan yang lebat, yang terkenal dengan nama Alas
Tambak Baya. Sampai daerah ini Mahesa Jenar berhenti sejenak. Dipandanginya
hutan lebat yang terbentang di hadapannya. Meskipun hutan itu tidak begitu
besar, tetapi sangat berbahaya. Di dalamnya bersarang banyak jenis binatang
berbisa. Karena itu jarang orang yang lewat. Sebab kecuali binatang-binatang
berbisa yang dengan sekali sengat dapat membunuh seseorang, juga di dalam hutan
itu banyak bersarang penyamun-penyamun dan perampok-perampok. Hanya rombongan
yang agak besar dengan kawalan yang kuat sajalah yang berani menyeberangi hutan
ini. Kebanyakan mereka adalah pedagang-pedagang dari pesisir utara yang membawa
barang-barang untuk dipertukarkan dengan hasil-hasil hutan. Tetapi meskipun
rombongan-rombongan itu telah menyewa beberapa orang pengawal yang dianggapnya
kuat, namun tidak jarang diantara mereka yang tak berhasil keluar lagi dari
hutan ini.
Pada saat nama
Lawa Ijo sedang cemerlang beberapa saat yang lalu, daerah ini pun merupakan
daerah pengaruhnya. Tetapi tiba-tiba ia seakan-akan menarik diri dan melepaskan
semua hak-haknya atas beberapa daerah. Ternyata apa yang dilakukan oleh Lawa
Ijo adalah memusatkan perhatian dan waktunya untuk memperebutkan dan menemukan
pusaka-pusaka Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten, di samping
persiapan-persiapan untuk menghadapi pertemuan puncak dari tokoh-tokoh sakti
aliran hitam. Karena itu timbullah kesan seakan-akan kekosongan pemerintahan di
wilayah pengaruh Lawa Ijo. Penjahat-penjahat kecil yang semula harus tunduk
pada setiap peraturan yang dibuat oleh Lawa Ijo, sekarang merasa bebas dan
dapat berbuat sekehendak hati mereka. Tidak jarang terjadi bentrokan-bentrokan
dan pertempuran-pertempuran antara satu golongan dengan golongan yang lain,
untuk memperebutkan rezeki. Demikian kira-kira isi hutan lebat yang bernama
Tambak Baya, yang sebenarnya hanya merupakan anak dari induk hutan yang lebih
besar dan dahsyat, yaitu Alas Mentaok. Tetapi, meskipun seakan-akan Lawa Ijo
telah menghentikan sebagian besar dari kegiatannya, namun tak segolongan pun
dari para penjahat kecil yang berani melakukan pekerjaannya di hutan induk yang
lebat ketat itu. Sebab bagaimanapun, mereka masih menghormati pusat kebesaran
kerajaan Lawa Ijo. Sementara itu Mahesa Jenar masih tegak memandang kehijauan
hutan di hadapannya, yang berkilat-kilat terkena cahaya matahari, karena
pantulan embun pagi yang sedang mulai menguap. Dalam keheningan udara pagi,
hutan itu tampaknya seakan-akan tubuh raksasa yang sedang terbujur lelap.
Mengerikan. Untuk menyeberangi hutan itu Mahesa Jenar memerlukan waktu beberapa
hari, sampai dijumpainya pedesaan kecil di daerah Pliridan. Sesudah itu ia akan
sampai ke bagian hutan yang bernama Beringan dan di bagian selatan yang penuh
dengan rawa-rawa, bernama Pecetokan. Untuk melampaui kedua daerah ini pun
diperlukannya waktu beberapa hari pula. Kalau ia ingin menemui padukuhan, ia
harus menyusup ke selatan, ke daerah Nglipura dan Mangir.
Mengingat itu
semua, Mahesa Jenar merasa perlu untuk mendapat bekal makanan secukupnya. Maka
sebelum memasuki hutan itu diperlukannya untuk singgah di pedukuhan yang
terdekat untuk membeli bahan makanan sekadarnya. Disamping itu ia mengharap
pula bahwa di dalam hutan itu pun akan tersedia bahan makanan, terutama daging.
Di sebuah gardu di tepi sebuah desa, dilihatnya banyak orang sedang berjualan.
Rupanya gardu itu merupakan tempat berkumpul bagi mereka yang akan menyeberangi
hutan. Mereka menunggu sampai jumlah yang cukup, kemudian bersama-sama mengupah
beberapa orang yang kuat untuk mengawal mereka sampai ke Nglipura, Mangir atau
daerah Begelen di seberang hutan Mentaok setelah melintasi pegunungan Manoreh.
Lalu lintas ini mulai ramai kembali sejak Lawa Ijo melepaskan beberapa daerah
pengaruhnya. Sedangkan terhadap perampokan-perampokan kecil, para pengawal
bersama-sama para pedagang dalam jumlah yang cukup besar, merasa mampu untuk
menandingi perampok-perampok itu. Diantara mereka yang berkumpul di situ
terdapat beberapa orang saudagar, beberapa orang yang barangkali akan
mengunjungi sanak saudara di tempat yang jauh. Mereka semua menyandang senjata.
Ada yang membawa tombak, kapak, pedang yang berjuntai di pinggang, keris, dan
sebagainya.
Yang menarik
perhatian Mahesa Jenar, diantara mereka ada seorang gadis yang cantik. Menilik
pakaiannya, ia pasti termasuk salah seorang dari keluarga yang cukup. Tetapi
melihat wajahnya, tampaklah betapa suram dan sayu. Mungkin ada sesuatu masalah
yang memaksanya untuk melawat demikian jauhnya sehingga terpaksa harus
menyeberangi hutan Tambak Baya.
SELAIN gadis
itu, Mahesa Jenar juga tertarik kepada seorang muda yang berwajah tampan dan
bersih. Umurnya tak banyak terpaut dengan umurnya sendiri. Pemuda itu
berpakaian rapi seperti seorang pedagang kaya. Kainnya lurik berwarna cerah,
sedangkan bajunya agak gelap berkotak-kotak. Dari celah-celah bajunya tampaklah
timang emasnya berteretes intan. Serasi benar dengan kulitnya yang kuning
bersih. Namun agaknya ia terlalu berani dengan menonjolkan kekayaannya melewati
daerah yang berbahaya itu.
Kedatangan
Mahesa Jenar diantara mereka sama sekali tidak menarik perhatian. Baik bagi
mereka yang akan mengadakan perjalanan maupun para pengawal yang tampaknya
telah siap. Sebab, keadaan Mahesa Jenar dengan pakaiannya yang kusut serta
janggut dan kumisnya yang serba tak teratur itu, tampak seperti seorang
perantau yang biasanya memang mencari kesempatan untuk dapat berbareng dengan
rombongan-rombongan yang demikian. Para pengawal sudah sering melihat hal yang
serupa. Dan dari para perantau semacam ini sama sekali tak dapat diharap untuk
menambah upah mereka. Tetapi karena biasanya para perantau itu tidak pernah
mengganggu, maka para pengawal pun tak pernah merasa keberatan, malahan hampir
tak peduli. Bahkan dari para perantau ini dapat pula diambil keuntungannya,
dengan menambah jumlah orang dalam rombongan itu, yang juga berarti menambah
satu tenaga apabila sesuatu terjadi. Mula-mula Mahesa Jenar sama sekali tak
menaruh perhatian atas rombongan itu, sebab ia tidak mempunyai kepentingan
apa-apa. Tetapi karena diantara orang-orang itu agaknya ada yang menarik
perhatiannya, maka ia pun mencoba untuk mendekati mereka dengan berpura-pura
membeli beberapa macam makanan. Semakin dekat semakin jelaslah kedukaan yang
menggores di wajah gadis cantik itu. Menurut dugaan Mahesa Jenar, gadis itu
umurnya berkisar diantara 20 tahun. Menilik sikap, kata-kata dan beberapa
gerak-geriknya, gadis itu adalah gadis yang manja. Tetapi karena itu pulalah
maka Mahesa Jenar menjadi bertambah heran. Mengapa gadis manja ini menempuh perjalanan
yang berbahaya? Pada saat itu Mahesa Jenar masih belum tahu, apakah gadis itu
mempunyai kawan seperjalanan diantara rombongan itu. Sedangkan pemuda tampan
itu pun semakin menarik perhatiannya pula. Meskipun pemuda itu berwajah tampan
dan bersih serta bersikap sopan, tetapi ketika Mahesa Jenar sempat memandang
matanya, ia menjadi curiga. Mata yang redup dan selalu bergerak-gerak bukanlah
mata orang baik-baik. Bibirnya yang tipis dan selalu menyungging senyum yang
aneh itu pun telah menyatakan bahwa ia mempunyai sifat yang tidak berterus
terang dan meremehkan orang lain. Karena itulah maka Mahesa Jenar kemudian
membatalkan niatnya untuk mendahului rombongan itu. Ia merasa tertarik untuk
mengikuti iring-iringan itu. Ketajaman perasaannya mengatakan bahwa ada hal
yang tidak wajar pada pemuda tampan itu.
Ternyata
Mahesa Jenar tidak perlu menunggu lama, sebab sebentar kemudian terdengarlah
aba-aba dari pimpinan pengawal yang sudah setengah umur untuk menyiapkan
kawan-kawannya yang terdiri dari kira-kira 10 orang, untuk segera berangkat,
mumpung hari masih pagi. Semakin curigalah Mahesa Jenar terhadap pemuda itu,
karena kemudian tampak sikapnya yang semakin sopan berlebih-lebihan. Dengan
sangat cekatan ia membantu kawan-kawan dalam rombongan itu, terutama gadis
cantik yang juga menarik perhatian Mahesa Jenar itu. Sebentar kemudian siaplah
semuanya. Beberapa orang pengawal membawa beban masing-masing, disamping
senjata mereka. Dan hampir setiap orang dalam rombongan itu membawa bungkusan
besar dan kecil. Tetapi tidak demikianlah pemuda itu. Kecuali pakaian yang
melekat di tubuhnya, tak sehelai benang pun dibawanya. Namun di tangannya
tergenggam sebatang tongkat yang agak panjang, berwarna hitam mengkilap.
Kembali terdengar pemimpin rombongan itu memberikan aba-aba. Sesaat kemudian
mulailah iring-iringan itu bergerak. Jumlah orang yang ikut serta dalam
rombongan itu, kecuali para pengawal, kira-kira berjulmah 25 orang. Diantaranya
hanya terdapat tiga orang wanita. Dua diantaranya berjalan dengan suami
masing-masing. Sedangkan gadis cantik yang menarik perhatian Mahesa Jenar,
ternyata hanya seorang diri. Mahesa Jenar segera mengikuti rombongan itu. Dan
dengan tidak diduganya sama sekali, seorang wanita yang berjalan dengan
suaminya, memanggilnya. Mahesa Jenar ragu-ragu sebentar. Tetapi agar tidak
mencurigakan, ia mendatangi wanita itu.
“Bapak,
sukakah Bapak membawa beberapa bebanku ini? Nanti aku akan memberi sekadar
upah,” kata wanita itu kepada Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar
bimbang sebentar. Hatinya menjadi geli.
“Barangkali
kau mau menentukan berapa besarnya upah yang kau minta?” sambung suaminya.
Cepat-cepat
Mahesa Jenar membungkuk hormat. Lalu jawabnya,
“Akh ..,
terserahlah kepada Tuan. Berapapun besarnya upah yang akan Tuan berikan, pasti
akan sangat menyenangkan. Dengan demikian aku akan dapat membeli sekadar
oleh-oleh buat anak-anakku.”
SUAMI-ISTRI
itu mengangguk-angguk. Lalu diserahkannya beberapa bebannya kepada Mahesa
Jenar. Hal ini sebenarnya menguntungkan Mahesa Jenar, sebab dengan demikian ia
dapat mendekati rombongan itu tanpa suatu kecurigaan. Tetapi ia terpaksa
mendongkol juga. Sebenarnya ia lebih senang jalan berlenggang daripada membawa
beban yang cukup berat itu. Meskipun sebenarnya Mahesa Jenar bertubuh kuat,
namun ia pun harus ber-pura-pura merasa berat. Setelah beberapa saat mereka
mengikuti jalan setapak di tengah-tengah rimba liar itu, mulailah perjalanan
mereka agak sulit. Beberapa kali pemimpin rombongan itu memperingatkan supaya
mereka berhati-hati terhadap segala jenis serangga, lebih-lebih ular. Rupanya
pemimpin rombongan itu sudah amat berpengalaman menempuh perjalanan demikian.
Karena itu tampaklah betapa bijaksana ia membawa orang-orang yang di bawah
tanggung jawabnya itu. Apabila jalan amat sulit, tidak segan-segan ia menolong,
bahkan menggendong para wanita dalam rombongan itu. Meskipun pemimpin rombongan
itu rambutnya telah berwarna dua, tapi ia masih tampak sehat, tangkas dan kuat.
Demikianlah
rombongan itu berjalan sangat pelan, sehingga kemajuan yang dicapainya amat
lambat pula. Pada hari itu, perjalanan tak menemui gangguan apapun. Ketika
matahari hampir terbenam, segera pemimpin rombongan memerintahkan tiga orang
pengawal berpencar untuk mendapatkan tempat berkemah yang aman. Sebentar
kemudian tempat itu pun telah diketemukan, dan mulailah rombongan itu mengatur
tempat peristirahatan buat malam harinya. Dengan senjata masing-masing mereka
membersihkan rumput-rumput liar dan akar-akar pohon-pohon besar untuk kemudian
dibentangkan tikar. Sebenarnya Mahesa Jenar sangat merasa tidak sabar berjalan
bersama dengan rombongan ini. Kalau ia berjalan sendiri, mungkin jarak yang
ditempuhnya adalah 2 atau 3 kali lipat. Tetapi sekarang, setelah ia terikat
dengan rombongan itu, maka ia tidak dapat berbuat lain daripada mengikuti
dengan menahan diri. Ketika malam telah gelap, para pengawal segera menyalakan
api. Sebentar kemudian lidah api itu pun telah menjilat-jilat ke udara. Panas
yang dipancarkan terasa nyaman sekali pada malam yang dingin itu. Dan sebentar
kemudian, karena kelelahan, beberapa orang telah jatuh tertidur.
Tetapi Mahesa
Jenar sama sekali tak tertarik untuk tidur. Meskipun ia juga merasakan lelah.
Oleh pemilik barang yang dibawanya, Mahesa Jenar mendapat pinjaman sehelai
tikar. Dan di atas tikar itu ia merebahkan dirinya. Malam semakin lama menjadi
semakin dalam. Binatang-binatang hutan mulai keluar dari sarangnya. Suaranya
terdengar bersahut-sahutan. Ada yang aneh kedengarannya, tetapi ada pula yang
mengerikan, seperti teriakan bayi yang kehausan air susu ibunya. Dalam
keremangan cahaya api, mata Mahesa Jenar yang tajam melihat betapa gadis cantik
itu menjadi ketakutan. Sebentar-sebentar ia duduk, sebentar berbaring. Tetapi
sebentar kemudian ia membenamkan kepalanya diantara bungkusan-bungkusan kecil
yang dibawanya. Sebab tidak ada seorang pun di dalam rombongan itu yang dapat
dimintai perlindungan seperti kedua wanita yang lain, kecuali bulat-bulat ia
menggantungkan dirinya kepada para pengawal. Tetapi yang terlebih menarik
perhatian adalah si pemuda tampan. Tampak sekali betapa gelisahnya. Ia sama
sekali tak membawa apapun, kecuali tongkatnya. Karena itu ia sama sekali tak
berbaring. Sebentar ia duduk, sebentar kemudian berdiri dan berjalan
mondar-mandir. Baru setelah lewat tengah malam, tampaknya ia agak tenang. Ia
duduk di atas sebuah batu dan bersandar pada sebatang kayu. Tidak lama kemudian
tampaklah pernafasannya berjalan perlahan dan teratur. Rupanya ia tertidur.
Melihat pemuda yang aneh itu tertidur, Mahesa Jenar pun menjadi agak tenang.
Dan tidak atas kehendaknya sendiri, Mahesa Jenar pun tertidur pulas. Malam
kemudian menjadi bertambah kelam. Setitik demi setitik embun mulai menggantung
di dedaunan. Suara binatang hutan sudah mulai berkurang. Hanya kadang-kadang
saja masih terdengar aum harimau yang kemudian disusul jerit ngeri beberapa
ekor anjing hutan. Tetapi dalam keadaan bagaimanapun, para pengawal itu tetap
pada tugasnya. Mereka bergiliran tidur. Tiap-tiap kali tiga orang yang tetap
bangun dan dengan penuh tanggung jawab melakukan tugasnya. Selain itu pemimpin
rombongan itu pun kadang-kadang bangun menemani mereka yang kebetulan sedang
mendapat giliran. Sedangkan mereka yang telah merasa mengupah orang untuk
menjaga dirinya, merasa bahwa keadaan mereka telah aman. Karena itu mereka
tidak lagi merasa perlu untuk tetap bangun semalam suntuk.
Ketika malam
sudah menjadi semakin jauh, telinga Mahesa Jenar yang tajam sekali itu,
mendengar suatu suara yang aneh. Meskipun pada saat itu ia sedang tertidur,
tetapi suara itu dapat didengarnya, bahkan telah menyadarkannya. Perlahan-lahan
ia membuka matanya sedikit. Dan apa yang dilihatnya dari celah-celah kelopak
matanya adalah sangat mengejutkan sekali. Tetapi meskipun demikian ia tidak
segera bertindak. Dilihatnya pada waktu itu, tiga orang yang bergiliran jaga
dan duduk di dekat perapian, telah menggeletak tak bergerak. Sedangkan
disampingnya berjongkok si pemuda tampan.
“Alangkah
hebatnya pemuda ini,” pikir Mahesa Jenar. Ia dapat merobohkan ketiga-tiganya
tanpa banyak ribut-ribut. Untunglah bahwa telinganya telah terlatih baik untuk
menghadapi segala kemungkinan. Melihat hal yang demikian, Mahesa Jenar menjadi
semakin waspada. Apalagi ketika pemuda tampan itu kemudian berdiri dan
memandang berkeliling. Dan apa yang diduganya adalah benar.
No comments:
Post a Comment