SAMPARAN menarik alisnya tinggi-tinggi, kemudian menjawab,
“Keadilan yang
tertinggi terletak di tangan takdir. Karena itu pembelaan dalam persoalan ini
pun sudah seharusnya kalau didasarkan atas hal itu. Tegasnya, pembelaan itu
hanya dapat dilakukan dengan sebuah pertarungan. Kau boleh memilih seorang
pembela, atau barangkali kau sendiri?
Sedang di
pihak kami pun akan ada seorang yang harus mempertahankan keputusan kami itu.
Nah, kemudian segala sesuatu terserah pada kehendak takdir.”
Kemudian
Samparan menarik nafas panjang-panjang. Ia yakin kalau pihaknya pasti akan
menang. Sebab bagaimana hebatnya Ki Asem Gede, tetapi karena umurnya yang sudah
lanjut itu, tentu tidak akan berbahaya lagi.
“Setan…,”
dengus Ki Asem Gede. Tetapi meskipun demikian ia masih berusaha untuk mendapat
suatu kesempatan.
“Bagus…, aku
terima cara itu. Sekarang aku minta ditetapkan waktu. Minggu depan barangkali?”
Samparan jadi
tertawa terbahak-bahak. Ia menangkap maksud Ki Asem Gede.
“Kau memang
licik sekali. Kau mengharap bahwa kau dapat mencari bantuan orang lain. Atau
dalam kesempatan itu kau dapat membebaskan anakmu. Nah Ki Asem Gede… supaya
persoalan ini tidak berlarut-larut, aku tetapkan hari pertarungan ini adalah
hari ini. Bukankah fajar sudah datang?”
Seperti
disengat ribuan lebah, Ki Asem Gede mendengar putusan Samparan itu. Bahwa setan
itu betul-betul licik, kini telah terbukti. Dan ia sesali ketergesa-gesaannya
tadi. Kalau saja ia tadi membicarakan soal ini dengan sahabat-sahabatnya.
Ki Asem Gede
sendiri bukan berarti takut menghadapi persoalan itu, meskipun misalnya ia
harus menyerahkan nyawanya. Tetapi taruhannya terlalu besar. Kalau ia kalah,
berarti kekalahan itu berlipat dua, sedangkan ia sendiri sadar bahwa tenaganya
sudah mulai surut. Apalagi menghadapi iblis-iblis yang segar dan sedang tumbuh.
Kembali Ki Asem Gede menyesali dirinya. Biasanya ia berlaku tenang. Tetapi
menghadapi persoalan satu-satunya anak yang diharapkan dapat melanjutkan
namanya, ia jadi kehilangan ketenangan itu. Tetapi pada saat ia sedang
kebingungan, tiba-tiba terdengarlah suatu suara yang berat, dan mengandung
pengaruh yang luar biasa.
“Ki Asem Gede
akan menerima ketetapan hari itu. Dan Ki Asem Gede akan menunjuk aku sebagai
pembelanya.”
Mendengar
suara itu, semua yang berada di dalam ruangan segera memandang ke arah pintu di
mana berdiri seorang dengan sikap yang tenang meyakinkan. Itulah Mahesa Jenar.
Melihat kehadiran Mahesa Jenar tanpa diduga-duga itu, Ki Asem Gede menjadi
girang bukan kepalang, sampai hampir-hampir ia berteriak. Cepat-cepat ia
melangkah mendekati dan menggoyang-goyangkan tangan sahabatnya yang baru saja
dikenalnya itu. Sementara itu kelima orang penghuni rumah itu memandang dengan
heran dan mencoba menebak-nebak. Siapakah gerangan orang yang begitu besar
kepala sehingga berani menawarkan diri untuk membela anak Ki Asem Gede itu?
Sedang wajah orang itu belum pernah dikenalnya.
“Siapakah
dia?” tanya Samparan kemudian.
Hampir saja Ki
Asem Gede menyebut gelar Rangga Tohjaya untuk sekaligus menakut-nakuti kelima
orang itu. Tetapi melihat gelagat itu, segera Mahesa Jenar mendahului,
“Aku adalah
Mahesa Jenar, sahabat Ki Asem Gede.”
“Mahesa
Jenar?” ulang Samparan. Nama itu pun sama sekali tak terkenal di daerah ini.
Orang yang paling mereka takuti adalah Dalang Mantingan, yang beberapa waktu
lalu berhasil menangkap tiga serangkai perampok yang bernama tunggal Samber
Nyawa. Dan seandainya Dalang Mantingan pada saat itu ada di situ pun belum
tentu dapat mengalahkan mereka berlima yang merasa mempunyai kekuatan dua kali
lipat dari kekuatan Samber Nyawa itu. Hanya tentu saja kalau Mantingan ada di
situ, ia takkan berani membuat tantangan pertarungan yang demikian. Tetapi
sekarang yang ada hanya orang yang sama sekali tak ternama.
Melihat
keragu-raguan orang-orang itu, serta takut kalau mereka mengubah peraturannya,
segera Mahesa Jenar menambahkan,
“Aku kira tak
ada lagi persoalan. Apapun yang akan terjadi atas diri kami nanti, yang
melaksanakan pertandingan itu, bukanlah suatu soal yang perlu direnungkan. Aku
adalah laki-laki seperti kalian juga.”
Perkataan
Mahesa Jenar ini rupa-rupanya telah berhasil menyentuh harga diri Samparan
serta kawan-kawannya, apalagi mereka telah merasa bahwa kehebatan mereka sukar
mendapat tandingan. Dalam pada itu salah seorang kawan Samparan segera
melangkah setindak maju, dan dengan suaranya yang nyaring berkata,
“Kakang
Samparan, apa yang sudah terucapkan sebaiknya dilaksanakan. Aku belum kenal
orang ini, dan orang ini pun rupa-rupanya belum kenal kami. Baiklah kini kami
saling berkenalan. Aku usulkan sebagai pelaksanaan dari peraturan itu,
pertandingan diadakan di halaman rumah ini secara terbuka. Siapa saja boleh
menyaksikan. Dan satu soal lagi, pertarungan dilaksanakan sampai selesai.
Maksudku, sampai salah satu pihak tak mampu melawan. Jadi tidak boleh menarik
diri. Siapa yang menang mempunyai hak untuk berbuat apapun atas yang kalah, dan
atas barang taruhan.”
Kata-kata itu
diucapkan dengan penuh keyakinan, bahwa Mahesa Jenar merupakan sebuah umpan
yang sangat lunak. Mahesa Jenar menarik nafas panjang. Sedang Ki Asem Gede yang
semula sangat girang, kini menjadi agak cemas juga.
“Kalau…
seandainya… Mahesa Jenar kalah…? Akh tak mungkin,” pikir Ki Asem Gede.
Sementara itu
Samparan tak mengangguk meskipun ia tidak seyakin Watu Gunung, kawannya yang
telah melengkapi peraturan tadi. Ia menduga bahwa orang itu pun sedikit-banyak
mempunyai pegangan sehingga berani menyatakan dirinya sebagai pembela.
BELUM lagi ia
berkata apa-apa kembali Watu Gunung menyambung,
“Nah sekarang
siapakah diantara kami yang pantas melayani kawan itu?”
Mendengar nada
pertanyaan ini, Samparan tahu bahwa Watu Gunung bernafsu untuk menjadi jago
yang harus bertanding dengan Mahesa Jenar. Watu Gunung adalah seorang yang
termasuk paling kuat di antara mereka. Kalau Samparan yang terpilih menjadi
pemimpin, adalah karena dialah yang tertua dan terbanyak mempunyai pengalaman,
baik dalam tata perkelahian maupun dalam lika-liku pembicaraan dan tipu
muslihat. Agar tidak mengalami kegagalan, Samparan pun sependapat dengan Watu
Gunung, bahwa sebaiknya orang yang terkuatlah yang harus melayani orang asing
ini, sehingga tidak ada kemungkinan mengalami kekalahan.
“Baiklah
kawan-kawan …, aku memilih Adi Watu Gunung untuk melayani tamu kita nanti,”
kata Samparan.
Watu Gunung
menjadi gembira mendengar putusan ini. Sebaliknya kawan-kawannya yang lain
merasa kecewa karena tidak dapat bermain-main dengan seorang yang sama sekali
tak bernama tetapi sudah berbesar kepala untuk mencoba-coba menghalang-halangi
kemauan mereka. Tetapi bagaimana pun mereka akan turut merasakan hasil
kemenangan Watu Gunung nanti. Memang, sebenarnya Watu Gunung lah yang paling
berkepentingan pada saat itu. Sebagai seorang pemuda, sebelum meninggalkan
kampung halamannya, dahulu ia pernah berangan-angan untuk dapat mengawini anak
Ki Asem Gede. Tetapi ia kalah beruntung dengan Wirasaba, sehingga ia terpaksa
mengalami patah hati. Sekarang, ia ingin membalas sakit hatinya dengan menculik
Nyi Wirasaba.
Watu Gunung
berperawakan tinggi gagah, bertubuh kekar, dan sebenarnya ia agak tampan juga.
Kalau ia sejak semula menjadi orang baik-baik, mungkin ia juga akan mendapatkan
istri yang cantik. Tetapi sekarang, hampir semua perempuan menjadi pingsan
kalau mendengar nama Watu Gunung disebut orang.
“Sekarang,
sambil menunggu siang, sebaiknya tamu-tamu ini kami persilahkan beristirahat di
gandok sebelah timur. Adi Wisuda, tolong antarkanlah tamu kita ke sana,” kata
Samparan.
Orang yang
dipanggil Wisuda, salah seorang dari lima orang itu, segera mempersilahkan Ki
Asem Gede dan Mahesa Jenar untuk mengikutinya ke gandok sebelah timur. Di sana,
mereka berdua ditinggalkan untuk beristirahat. Ki Asem Gede terpaksa
menggeleng-gelengkan kepala, ketika dilihatnya Mahesa Jenar segera merebahkan
dirinya di amben.
“Ki Asem Gede,
semalaman aku tidak tidur, dan pagi-pagi benar aku sudah harus berpacu kuda
dengan Ki Asem Gede, maka sebaiknya aku tidur sebentar agar aku nanti dapat
melayani Watu Gunung itu dengan sedikit ada kegembiraan,” kata Mahesa Jenar.
Sesudah berdiam diri sebentar, terdengarlah segera nafas Mahesa Jenar mengalir
secara teratur. Ia sudah tertidur. Ki Asem Gede heran bukan main. Sebentar lagi
ia harus mengadu tenaga antara hidup dan mati melawan seorang yang termasuk
mempunyai kehebatan dalam tata pertarungan. Tetapi sekarang, dengan enaknya ia
tidur mendekur.
Ketika hal itu
direnungkan dalam-dalam, ternyata Mahesa Jenar sama sekali tak memandang remeh
calon lawannya. Dengan beristirahat, meskipun hanya sebentar, ia akan dapat
memulihkan tenaganya, sehingga dengan demikian ia akan dapat bertanding dengan
baik. Mendapat pikiran yang demikian ia pun merasa bahwa dirinya juga perlu
mengaso, siapa tahu tenaganya nanti diperlukan. Ternyata hatinya tidak setenang
Mahesa Jenar. Ia tetap kuatir akan nasib anak satu-satunya itu, dan ia juga
khawatir kalau Samparan dan kawan-kawannya berbuat curang. Karena itu ia hanya
berbaring. Matanya sama sekali tak dapat dipejamkan.
Pada saat itu
sinar mahatari pagi telah mulai masuk menyusup lubang-lubang dinding meskipun
masih condong sekali. Sekali dua kali telah terdengar suara gerobak lewat di
jalan di depan rumah itu. Dan di halaman telah sibuk beberapa orang mengatur
arena untuk bertanding siang nanti. Beberapa orang yang lewat, ketika melihat
beberapa tonggak ditancapkan dan tali-tali direntangkan, mereka tahu bahwa akan
ada pertandingan lagi di halaman rumah Samparan yang juga dikenal sebagai rumah
setan. Sebenarnya tak seorang pun yang ingin dekat dengan rumah serta
penghuninya itu, sebab mereka takut kalau entah harta kekayaannya, entah
ternaknya, dan yang ditakuti adalah kalau istri atau gadisnya dikehendaki oleh
iblis-iblis itu. Tetapi di samping itu mereka juga ingin melihat tiap-tiap
pertarungan yang memang sering diadakan di halaman itu, dengan mengharap-harap
sekali waktu ada orang yang dapat mengalahkan, syukur mengubur kelima iblis
penghuni rumah itu. Tetapi sampai sekarang, kalau ada orang yang menuntut istri
atau anaknya, dan terpaksa melewati pertandingan di arena itu, tentu
dibinasakan dengan kejamnya. Sedang istri atau anak mereka, malahan menjadi
barang taruhan yang makin tak berharga. Demang Pucangan sendiri tak dapat
mengatasinya. Dan tak seorangpun berani melaporkan kepada atasan yang
berwenang. Sebab dengan perbuatannya itu nyawanya jadi terancam. Kembali kali
ini akan ada sebuah pertandingan. Orang sudah menduga bahwa hal ini tentu
berhubungan dengan hilangnya Nyi Wirasaba. Tetapi siapakah yang akan memasuki
arena?. Ayahnya, Ki Asem Gedekah? Atau salah seorang muridnya? Atau siapa?
Sementara itu
Mahesa Jenar masih enak-enak tidur. Berbareng matahari semakin tinggi, Ki Asem
Gede semakin gelisah. Adalah di luar dugaannya kalau pada saat itu salah
seorang pelayan Samparan masuk ke gandok itu dengan membawa hidangan minuman
dan makanan. Rupanya mereka akan menunjukkan bahwa mereka adalah orang yang
baik hati, serta perbuatannya itu betul-betul untuk kepentingan penduduk
setempat. Dengan ketajaman hidung seorang ahli obat-obatan, Ki Asem Gede
mencium minuman dan makanan itu, kalau-kalau ada semacam racun atau obat bius
di dalamnya, tetapi ketika menurut pendapatnya tak terdapat apa-apa maka
sedikit demi sedikit ia mencoba mencicipinya sebelum Mahesa Jenar bangun, yang
tentu akan minum dan makan juga. Rupanya minuman dan makanan itu benar-benar
bersih.
“Rupanya Watu
Gunung begitu yakin akan memenangkan pertandingan ini seperti yang
sudah-sudah,” pikir Ki Asem Gede.
Sementara itu
Mahesa Jenar telah menggeliat bangun. Dengan tangannya ia menggosok-gosok matanya
yang nampak merah kurang tidur. Ketika ia melihat adanya beberapa macam
hidangan, ia memandang Ki Asem Gede dengan penuh tanda tanya. KI Asem Gede tahu
bahwa Mahesa Jenar ragu-ragu, sehingga ia segera menjelaskan,
“Anakmas, kita
telah mendapat kehormatan untuk menikmati masakan dari Pucangan. Sebagai orang
yang mendalami masalah obat-obatan, aku telah meyakinkan bahwa makanan ini
bersih dari racun maupun obat bius.”
Mendengar
keterangan itu Mahesa Jenar menjadi tak ragu-ragu lagi. Cepat tangannya
menyambar mangkuk minuman dan segera minum beberapa teguk teh hangat, disusul
beberapa potong makanan. Segera setelah itu, tenaganya terasa telah pulih
kembali, setelah semalam tidak tidur dan berkuda sekian jauhnya.
Berita akan
adanya pertarungan di halaman rumah Samparan itu segera meluas. Beberapa orang
yang pergi ke pasar bergegas untuk segera pulang, supaya dapat menyaksikan
pertandingan itu. Beberapa orang yang merasa mempunyai sedikit kekuatan,
mencibirkan bibir. Mereka menganggap bahwa orang yang berani mencoba melawan
rombongan Samparan adalah orang yang telah jemu hidup. Padahal orang-orang itu
tidak mampu melawan gerombolan Samparan. Sementara itu, Mahesa Jenar yang
diributkan, sama sekali tak menghiraukan kesibukan orang-orang di halaman rumah
Samparan. Pada saat-saat semacam itu, ia merasa perlu menenangkan pikiran dan
memusatkan tenaga. Seperti biasa, Mahesa Jenar sama sekali tak pernah
meremehkan lawannya. Sebab sikap yang demikian akan menghilangkan
kehati-hatiannya. Ketika matahari sudah agak tinggi, selesailah segala
persiapan. Para penonton telah banyak, mengelilingi arena. Sebentar kemudian
terdengar kentongan dipukul orang lima kali–lima kali berturut-turut. Suaranya
memencar menghantam dinding-dinding jurang dan tebing pegunungan, yang kemudian
dilemparkan kembali. Menggema seperti aum harimau kelaparan mencari makan.
Demikianlah suara kentongan itu, seolah seperti suara malaikat pencabut nyawa
yang memanggil-manggil korbannya. Kemudian keluarlah dari pendapa rumah itu,
Samparan beserta empat orang kawannya. Masing-masing dengan pakaian yang hampir
sama. Celana hitam sampai lutut, kain lurik merah soga, sabuk kulit ular
bertimang emas, dan berikat kepala merah soga pula, tanpa baju.
Kelima orang
itu langsung menuju ke arena. Orang-orang yang berkerumun bersibak memberi
jalan. Sementara itu Mahesa Jenar juga sudah dipanggil. Seperti orang yang
segan-segan, ia berjalan bersama Ki Asem Gede menuju ke arena. Pakaiannya
adalah pakaian kusut, dan habis dipakai tidur. Meskipun ia bernama Mahesa
Jenar, anehnya ia suka warna-warna hijau. Kainnya lurik berwarna hijau gadung.
Ikat kepala dan bajunya juga. Mahesa Jenar dengan acuh tak acuh menjawab,
“Selamat pagi
Watu Gunung, aku sengaja tidak mandi, sebab aku takut kalau airmu memperlemah
semangatku, sehingga aku tak dapat melayani permainanmu dengan baik.”
Melihat Mahesa
Jenar, beberapa orang mulai menilai-nilai. Memang agak aneh bagi mereka. Begitu
tenang dan sama sekali tidak gugup. Dipandang dari segi ketegapan tubuhnya,
ternyata Watu Gunung lebih tinggi sedikit dari lawannya, serta otot-ototnya
tampak lebih kuat. Umurnya pun tampaknya tak terpaut banyak. Orang-orang yang
sedang sibuk menilai itu menjadi bingung. Mereka sama sekali tak menemukan satu
hal pun dari Mahesa Jenar yang dapat melebihi lawannya. Tingginya, besarnya,
otot-ototnya dan segalanya. Tetapi ketika mereka memandang matanya seakan-akan
mereka menjadi yakin kalau Mahesa Jenar akan memenangkan pertarungan ini.
Mereka sama sekali tak sampai pada pikiran bahwa mata yang terang-cemerlang itu
memancarkan suatu kebesaran pribadi yang tak ada bandingnya.
Hal ini
rupanya dirasakan juga oleh Samparan dan kawan-kawannya, sehingga ketika Watu
Gunung bertemu pandang dengan Mahesa Jenar, hatinya berdegup. Untuk menutupi
kerisauan hatinya, Watu Gunung berteriak,
“Kakang
Samparan, senjata apa yang pantas aku pakai?”
Samparan yang
tak mengira akan mendapat pertanyaan itu dengan sekenanya saja menjawab,
“Apa yang kau
pilih!”
Kembali Watu
Gunung jadi kebingungan, dan untuk mengatasinya, ia ingin mencari jawab pada
lawannya dan sekaligus untuk lebih merapati kegelisahannya.
“Mahesa Jenar,
senjata apakah yang kau ingin pakai?”
Mahesa Jenar
merenung sebentar, kemudian jawabannya makin menjadikan Watu Gunung
kebingungan.
“Watu Gunung…
senjata adalah barang yang berbahaya. Sedang permainan ini hanya sekadar untuk
menentukan pihak manakah yang dibenarkan Tuhan. Karena itu aku menganggap bahwa
aku tak ingin mempergunakan senjata.”
Watu Gunung
menjadi semakin keripuhan, apalagi ketika Mahesa Jenar menyambung,
“Tetapi
meskipun demikian, kalau kau ingin mempergunakan senjata, kalau itu sudah
menjadi kebiasaanmu, aku sama sekali tak keberatan, sedangkan bagiku sendiri
senjata itu hanya akan merepotkan saja.”
Muka Watu
Gunung menjadi merah seperti darah. Malu dan marah bercampur aduk. Belum pernah
ia direndahkan sedemikian. Dan sekarang orang yang tak bernama itu berani
berbuat demikian. Maka dengan suara lantang penuh kesombongan dan kemarahan, ia
menjawab,
“Aku bukanlah
bangsa pengecut yang hanya berani bermain dengan senjata. Kalau aku bertanya
tentang senjata itu maksudku sudah tegas, berkelahi sampai salah satu diantara
kita mati. Tetapi kalau kau takut melihat tajamnya senjata, baiklah aku juga
tidak akan bersenjata, sebab dengan tanganku ini aku akan dapat mematahkan
lehermu.”
Orang yang
mendengar ucapan ini bulunya berdiri. Watu Gunung sudah terkenal kehebatannya
dan kekejamannya. Apalagi ia sekarang dikendalikan oleh kemarahan yang besar.
Tetapi hal itu bagi Mahesa Jenar adalah suatu keuntungan. Sebab dengan
kemarahan itu Watu Gunung akan kehilangan sebagian dari pengamatan dirinya.
Sementara itu Watu Gunung sudah berteriak,
“Mahesa Jenar
marilah kita mulai.”
Mahesa Jenar
segera mempersiapkan diri. Ia tidak mau dikenai oleh serangan yang pertama kali
dan digerakkan oleh hawa kemarahan, yang tentu akan menambah kekuatan lawannya.
Dan apa yang diduga oleh Mahesa Jenar adalah benar. Belum lagi mulutnya
terkatub rapat, Watu Gunung sudah meloncat maju dan langsung menyerang ulu hati
Mahesa Jenar. Serangan itu begitu garang nampaknya seperti harimau menerkam
mangsanya.
ORANG-ORANG
yang menyaksikan pertarungan itu, darahnya sudah tersirat sampai ke kepala.
Tetapi Mahesa Jenar yang sudah bersiaga, cepat menarik kaki kirinya ke belakang
dan memutar sedikit tubuhnya, sehingga pukulan itu tak mengenai sasarannya.
Gagal dari serangan pertama ini Watu Gunung menyerang pula dengan kakinya ke
arah perut Mahesa Jenar, tetapi juga seperti serangannya yang pertama. Serangan
ini pun dengan mudahnya dapat dihindarkan. Melihat kedua serangannya itu
menyentuh pakaian lawan pun tidak, Watu Gunung menjadi semakin marah. Kembali
ia membuka serangan dengan tangannya ke arah dada, dan sekaligus mempersiapkan
tangan yang lain untuk menutup jalan menghindar. Rupa-rupanya serangan ini hampir
berhasil mengenai lawannya. Tetapi pada saat terakhir ketika tangannya sudah
berjarak setebal jari dari dada, Mahesa Jenar segera menarik tubuhnya ke
belakang dengan satu loncatan yang cepat, ia menghindar ke arah sebelah dari
tangan yang lain. Watu Gunung menjadi semakin uring-uringan. Dan meluncurlah
kemudian serangan-serangan yang cukup dahsyat. Tetapi beberapa orang telah
menjadi cemas. Sebab dalam pandangan mereka, Mahesa Jenar selalu terdesak. Pada
saat terakhir, Mahesa Jenar merasa betul-betul terdesak. Memang lawannya pada
saat itu tidaklah dapat dianggap ringan, meskipun belum sekuat Mantingan,
tetapi Watu Gunung mempunyai keistimewaan juga. Ia begitu percaya kepada
kekuatan jarinya, sehingga berkali-kali ia menyerang dengan menyodok perut,
kening dan mata.
Maka timbullah
keinginan Mahesa Jenar untuk menguji kekuatan daya tahan lawannya. Ketika pada
suatu saat pertahanan dada Watu Gunung terbuka, cepat-cepat Mahesa Jenar
mempergunakan kesempatan ini. Seperti seekor burung menyambar belalang, ia
pergunakan sisi telapak tangannya untuk menghantam dada lawannya. Serangan itu
begitu mendadak dan cepat sehingga lawannya tak sempat menghindarinya. Merasa
kena hantaman di dadanya, cepat-cepat Watu Gunung mundur selangkah. Mulutnya
meringis sebentar menahan sakit. Tetapi oleh daya tahan badannya, segera rasa
sakit itu hilang. Mengalami hal ini, Watu Gunung malahan sekali lagi meloncat
mundur, dan aneh sekali, ia tidak bersiap-siap untuk menyerang atau bertahan,
malahan ia berdiri di atas kedua kakinya yang direnggangkan dan kedua tangannya
bertolak pinggang. Melihat sikap yang demikian, Mahesa Jenar pun menjadi
tertegun heran. Tetapi menghadapi sikap ini ia tidak berani gegabah, sebab
siapa tahu bahwa sikap ini adalah suatu sikap untuk mengelabuinya dan
memancingnya dalam suatu keadaan yang tak menguntungkan. Mahesa Jenar semakin
heran ketika tiba-tiba Watu Gunung tertawa keras dengan suaranya yang nyaring.
Begitu kerasnya ia tertawa sampai menimbulkan getaran-getaran di dada orang
yang mendengarnya.
Sebaliknya
para penonton yang melihat Watu Gunung bersikap demikian, seketika tubuhnya
menjadi gemetar. Sebab dengan demikian Watu Gunung sudah menemukan suatu
kepastian bahwa dalam waktu singkat ia pasti akan dapat menghancurkan lawannya.
Dan, biasanya dipegangnya kedua kaki lawannya itu, diputar di udara, dan dengan
sekali tetak dihantamkan pada pohon sawo di tepi arena itu sehingga kepalanya
menjadi pecah berserakan. Melihat hal itu, Ki Asem Gede ikut menjadi cemas. Ia
melihat nyata-nyata bahwa pukulan Mahesa Jenar tepat mengenai dada, tetapi
pukulan itu tak mengakibatkan apa-apa. Tetapi melihat ketenangan Mahesa Jenar,
Ki Asem Gedepun menjadi agak tenang pula. Satu kesalahan dari Watu Gunung dan
para penonton pertarungan itu adalah bahwa mereka tidak menyadari kalau pukulan
Mahesa Jenar itu hanya mempergunakan sebagian kecil dari seluruh kekuatannya.
Dengan melihat akibat dari pukulan percobaan itu, Mahesa Jenar dapat mengukur
bahwa kalau ia mempergunakan tigaperempat saja dari kekuatannya, dada Watu
Gunung itu sudah pasti akan rontok. Ketika suara tertawa dari Watu Gunung makin
menurun, para penonton pun menjadi semakin gelisah. Sebab, demikian suara itu
berhenti, demikian Watu Gunung akan menyerang dengan dahsyatnya tanpa
menghiraukan hantaman lawan. Dan biasanya pada waktu yang singkat ia telah
berhasil meringkus kaki lawan itu dan membenturkan kepalanya di pohon sawo.
Berbeda dengan
semua pikiran-pikiran itu, tiba-tiba Mahesa Jenar mendapat kesan yang aneh dari
suara tertawa itu. Ia jadi terkenang pada suatu peristiwa yang sangat memalukan
dan hampir-hampir menjatuhkan namanya. Peristiwa itu terjadi beberapa waktu
yang lalu ketika ia masih menjabat sebagai perwira pasukan pengawal raja. Pada
saat Demak sedang membentuk dirinya dan memperkokoh kedudukannya, di mana dibutuhkan
kekuatan yang sebesar-besarnya, maka di daerah pantai selatan berdirilah suatu
himpunan dari beberapa tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam yang ingin
mempergunakan kesempatan untuk kepentingan diri sendiri serta golongannya.
Gerombolan ini diketuai oleh seorang yang sakti dan berkekuatan luar biasa,
yang menamakan dirinya Lawa Ijo. Sehingga gerombolan itu pun kemudian lazim
disebut gerombolan Lawa Ijo. Pada masa jayanya, Lawa Ijo mempunyai daerah
pengaruh yang luas di daerah selatan sepanjang pantai sampai ke daerah Bagelen
dan Banyumas. Menurut kabar, gerombolan ini bersarang di hutan Mentaok.
Demikian merasa dirinya begitu kuat, sampai Lawa Ijo sendiri beserta beberapa
orang kepercayaannya berani melakukan pengacauan di ibukota kerajaan Demak.
Meskipun pasukan keamanan sudah dikerahkan namun Lawa Ijo tak pernah bisa
dijumpai, kecuali hanya bekas-bekas perbuatannya yang kadang-kadang tak
mengenal perikemanusiaan, dan tanda-tanda pengenal yang sengaja ditinggalkan,
yaitu secarik kain yang bergambar seekor kelelawar berwarna hijau dan berkepala
serigala diikatkan pada sebilah pisau, yang agak panjang. Bahkan
kekurangajarannya memuncak lagi dengan usahanya memasuki kamar perbendaharaan
istana, dimana disimpan harta kekayaan istana beserta benda-benda untuk upacara
yang terbuat dari emas, berlian dan permata-permata lainnya. Adalah suatu aib
yang tercoret di muka para pengawal istana, kalau pada saat itu tak seorang pun
yang mengetahui bahwa lima orang gerombolan Lawa Ijo yang dipimpin oleh Lawa
Ijo sendiri sampai dapat memasuki halaman istana bagian dalam. Untunglah bahwa
pada saat-saat dimana gerombolan Lawa Ijo sedang mengganas, pasukan pengawal
istana telah mengambil langkah-langkah seperlunya untuk menghadapi segala
kemungkinan. Sehingga tiap malam tidak hanya para prajurit yang bertugas ronda
keliling, tetapi juga para perwira.
MALAM itu
adalah malam dimana Mahesa Jenar sedang mendapat giliran bertanggungjawab pada
keselamatan raja serta istana seisinya. Dan justru pada malam itu pulalah
gerombolan Lawa Ijo bertindak. Pada malam itu kira-kira hampir tengah malam,
Mahesa Jenar di ruang penjagaannya merasakan angin aneh bertiup perlahan-lahan.
Begitu nyamannya sampai para prajurit merasa kantuk dengan tiba-tiba dan bahkan
menjadi tak kuat lagi menahan matanya. Mahesa Jenar sendiri merasa bahwa ia pun
tak luput dari serangan itu. Tetapi ia adalah seorang prajurit yang
berpengalaman. Begitu ia merasakan suatu ketidakwajaran, hatinya menjadi
curiga. Meskipun demikian ia tidak segera bertindak. Mula-mula ia pusatkan
kekuatan batinnya untuk melawan akibat angin yang aneh itu, sehingga lambat
laun ia berhasil mengatasinya. Kemudian ia sendiri pun berpura-pura merebahkan
diri di samping seorang perwira bawahannya yang sudah hampir tak kuat lagi
menahan kantuknya. Tetapi begitu Mahesa Jenar berbaring, lalu berbisiklah ia
perlahan-lahan sekali kepada perwira bawahannya itu.
“Adi Gadjah
Alit, rupa-rupanya dirimu telah terkena sirep. Sadarlah dan cobalah melawan.”
Mendengar
bisikan Mahesa Jenar ini, Gadjah Alit menjadi seperti tersadar dari kantuknya.
Cepat-cepat ia pun memusatkan seluruh kekuatan batinnya dan dengan sekuat
tenaga ia melawannya. Akhirnya ia pun sedikit demi sedikit berhasil menguasai
dirinya kembali.
Ketika Mahesa
Jenar melihat bahwa Gadjah Alit telah dapat menguasai dirinya, kembali ia
berkata,
“Adi Gadjah
Alit, rupa-rupanya ada sesuatu yang tidak wajar di dalam istana ini. Aku kira
sebagian besar penjaga sudah terlibat dalam cengkeraman sirep itu. Tetapi
baiklah kita tidak usah ribut. Marilah kita berdua berusaha untuk menguasai
keadaan.”
“Lalu apa yang
harus aku lakukan kakang Rangga Tohjaya?” tanya Gadjah Alit.
“Dengan
berpura-pura tidur, mereka tentu tidak mengira kalau kita tengah mengadakan
penyelidikan. Marilah kita berpencar. Lewat pintu belakang dari ruangan ini.
Kau pergi ke utara dan aku ke selatan. Kalau salah satu diantara kita melihat
hal yang mencurigakan dan kiranya kita masing-masing seorang diri tak mampu
mengatasi, sebaiknya kita memberi tanda dengan sebuah suitan.”
“Baiklah
kakang Rangga,” jawab Gadjah Alit.
Dan setelah
beberapa saat tak terjadi apa-apa, perlahan-lahan dan berhati-hati sekali
mereka berdua menyelinap pintu belakang ruang jaga dengan tidak membangunkan
seorang pun, agar orang yang bermaksud jahat itu sama sekali tak menduga bahwa
diantara sekian banyak penjaga itu ada yang terluput dari sirepnya. Dengan
berlindung pada bayang-bayang dan batang-batang tanaman mereka berdua
menyelidiki keadaan taman itu dengan seksama. Gadjah Alit ke utara, sedangkan
Mahesa Jenar atau Rangga Tohjaya ke selatan. Beberapa lama mereka tak menemukan
tanda apa-apa. Malahan halaman dalam istana itu rasanya jauh lebih sepi dari
biasanya. Tapi Mahesa Jenar dan Gadjah Alit adalah orang-orang yang penuh
dengan pengalaman dan mempunyai ketajaman batin yang luar biasa.
Mahesa Jenar
yang meskipun pada waktu itu belum melihat adanya sesuatu yang mencurigakan,
tetapi ia sudah mendapat firasat bahwa ia telah berdekatan dengan apa yang
dicarinya. Itulah sebabnya ia segera diam menenangkan diri di belakang sebuah
tanaman yang agak rimbun. Dipusatkannya segala perhatiannya ke suasana di
sekelilingnya. Angin aneh yang ternyata adalah mengalirnya kekuatan sirep dari
seseorang yang cukup kuat ilmu kebatinannya, masih saja bertiup. Bahkan daya
sirep itu demikian kuatnya sehingga baik Mahesa Jenar maupun Gadjah Alit harus
tetap menyediakan sebagian perhatianya untuk tetap melawan pengaruhnya. Dengan
mengukur kekuatan angin aneh itu, Mahesa Jenar sedikit banyak dapat menjajaki
sampai dimana kehebatan orang yang memasangnya. Dengan demikian Mahesa Jenar
harus betul-betul waspada, sebab ia tahu betul bahwa orang yang memasang sirep
itu tentulah seorang yang mempunyai kesaktian tinggi. Dari tempat
persembunyiannya Mahesa Jenar dapat melihat bahwa tiga orang yang bertugas jaga
di sudut dinding halaman itu telah tertidur semuanya. Tombaknya disandarkan
pada dinding halaman, dan mereka bertiga begitu saja menggeletak tidur di atas
rumput. Maka setelah agak lama Mahesa Jenar menanti, datanglah saat yang
menyebabkan denyut jantung Mahesa Jenar bertambah cepat. Karena pendengarannya
yang sangat tajam itulah maka ia mendengar suara berdesir di atas atap balai
perbendaharaan istana. Ketika dengan matanya yang setajam telinganya itu pula
ia mengamat-amati arah suara itu, darahnya jadi tersirap. Dilihatnya
samar-samar bayangan yang berkerudung hampir seluruh tubuhnya berjalan
mengendap-ngendap. Tiba-tiba bayangan itu berhenti hanya beberapa depa saja di
atasnya. Mahesa Jenar segera mengatur jalan nafasnya supaya tidak didengar oleh
bayangan itu. Dan memang rupa-rupanya bayangan itu sama sekali tidak mengerti
kalau di bawahnya bersembunyi seseorang. Bayangan itu kemudian berdiri dan
terdengarlah suatu suitan nyaring. Setelah itu ia berdiri tegak sambil
memandang ke arah sudut pagar halaman. Tiba-tiba muncullah berturut-turut,
hampir seperti seekor berati yang terbang dan hinggap di atas dinding pagar
yang tingginya satu setengah kali tinggi orang. Dan kemudian terdengarlah tawa
itu. Bayangan di atas balai perbendaharaan itu memperdengarkan suara tertawa
yang walaupun tidak keras tetapi memancarkan suatu pengaruh yang luar biasa,
sehingga seseorang yang mendengarnya hatinya menjadi begitu pedih seperti
mendengar rintihan hantu kubur. Bukan itu saja.
KEEMPAT
bayangan yang muncul kemudian itu memperdengarkan suara tertawa yang sama,
sehingga terpaksa Mahesa Jenar harus segera dengan kekuatan batinnya menutupi
lubang-lubang pendengaran hatinya untuk tidak menerima pengaruh jahat dari
suara itu. Kemudian keempat orang itu meloncat dengan gaya seperti seekor
burung, turun ke halaman. Seperti terapung di udara, mereka berlari ke arah
bayangan di atas atap itu. Sementara itu dari arah lain Mahesa Jenar melihat
bayangan seorang yang pendek bulat berlari seperti batu berguling-guling masuk
jurang begitu cepatnya ke arah empat bayangan itu. Belum lagi Mahesa Jenar
berbuat sesuatu, bayangan itu sudah langsung menyerang. Hati Mahesa Jenar
berdebar bertambah cepat. Bayangan yang gemuk pendek dan menggelinding cepat
sekali tadi sudah pasti adalah Gajah Alit. Rupanya ketika Gajah Alit mendengar
suitan bayangan di atas atap itu, ia mengira kalau Mahesa Jenarlah yang memberi
tanda kepadanya untuk membantunya. Maka ketika ia dengan hati-hati sekali pergi
ke arah suara itu, ia mendengar suara tertawa bersahut-sahutan. Dan ia melihat
keempat bayangan itu seperti terbang mengarah ke balai perbendaharaan. Maka
dengan tidak banyak pertimbangan lagi ia langsung menyerang keempat bayangan
itu.
Keempat
bayangan itu rupa-rupanya sama sekali tidak menduga kalau ia akan mendapat
serangan demikian hebatnya. Sehingga dalam beberapa saat rupa-rupanya Gajah
Alit telah berhasil melukai satu di antaranya. Tetapi ketiga yang lain menjadi
sangat marah dan segeralah terjadi pertempuran yang hebat sekali. Sementara itu
Mahesa Jenar belum memperlihatkan diri. Kecuali keadaan masih belum memerlukan,
rupanya Gajah Alit tidak begitu banyak mengalami kesulitan. Meskipun ia harus
bekerja mati-matian melawan tiga orang yang mempunyai tenaga tempur yang cukup,
ia sendiri memandang perlu untuk tetap mengawasi gerak-gerik bayangan di atas
atap balai perbendaharaan itu. Dan apa yang diduganya ternyata benar. Bayangan
di atas atap itu ternyata adalah pemimpinnya, yaitu Lawa Ijo sendiri. Melihat
keempat orangnya itu tak segera dapat mengatasi lawannya, Lawa Ijo tampaknya
tidak sabar lagi. Tiba-tiba ia mengeluarkan suatu suitan nyaring dan seperti
seekor elang menyambar ia terjun dari atap. Kedua tangannya dikembangkan dan
tampaklah jari-jari tangannya yang kokoh kuat itu siap menerkam Gajah Alit. Mahesa
Jenar yang memang sudah siap, tidak membiarkan Gajah Alit dilukai, segera ia
pun meloncat dari persembunyiannya. Geraknya tampak kuat, tangkas dan teguh
seperti seekor banteng yang terluka menyerang lawannya.
Mendengar
suitan dari atas atap itu, Gajah Alit segera sadar bahwa suitan itu seperti
yang didengarnya tadi, ternyata bukanlah suara Mahesa Jenar. Maka segera ia
melontarkan diri jauh ke belakang sampai empat lima depa, dan segera bersiap
menghadapi kemungkinan dari musuhnya yang baru itu. Melihat gerak yang demikian
cepatnya ketiga musuhnya jadi terkejut, demikian juga Lawa Ijo yang terpaksa
membuat satu gerakan di udara untuk mengubah arah terjunnya. Tetapi kembali di
luar dugaannya bahwa dari arah lain datanglah dengan garangnya suatu serangan
yang dahsyat. Kembali Lawa Ijo mengubah gaya tubuhnya. Meskipun demikian ia tak
mempunyai kekuatan lagi untuk menyerang ke arah yang berlawanan, sehingga
segera ia melipat tangan kanannya untuk melindungi dada, sedangkan tangan
kirinya disiapkan untuk menyerang. Pada saat kaki Lawa Ijo baru saja menyentuh
tanah, datanglah serangan Mahesa Jenar dengan dahsyatnya, sehingga terjadilah
suatu benturan yang sangat hebat dari dua tenaga raksasa. Tetapi rupanya Mahesa
Jenar menang perhitungan, sehingga Lawa Ijo terdorong ke belakang dan
kehilangan keseimbangan. Ia berguling dua kali ke belakang dan barulah ia dapat
tegak kembali. Lawa Ijo merasakan dadanya sangat nyeri, nafasnya agak sesak.
Pukulan Mahesa Jenar yang dilontarkan sepenuh tenaga itu rupanya telah melukai
bagian dalam tubuh Lawa Ijo. Meskipun demikian, pada saat benturan itu terjadi,
tangan kiri Lawa Ijo ternyata telah dapat mengenai pundak Mahesa Jenar,
sehingga tangan kanan Mahesa Jenar pun menjadi sakit dan geraknya menjadi
terbatas.
Gajah Alit
yang melihat munculnya Mahesa Jenar dengan tiba-tiba itu menjadi girang, dan
geraknya bertambah mantap. Sambil menyerang kembali ia sempat berkata,
“Ee.., kakang
Rangga, rupa-rupanya kau mau mengajak main sembunyi-sembunyian.”
Tetapi Mahesa
Jenar diam saja, sebab ia sedang berhadapan dengan lawan yang sangat tangguh.
Segera terjadi
dua kancah pertarungan yang dahsyat. Mahesa Jenar melawan Lawa Ijo, dan Gajah
Alit melawan tiga orang pengikut Lawa Ijo. Mungkin karena Lawa Ijo telah
berhasil dilukainya lebih dahulu, maka pertempuran antara Mahesa Jenar dan Lawa
ijo yang namanya terkenal ke segala pelosok dan ditakuti oleh siapapun,
berhadapan dengan Mahesa Jenar tak dapat berbuat banyak. Sekali dua kali memang
ia bisa mengenai tubuh Mahesa Jenar, tetapi sebaliknya Mahesa Jenar telah
mengenainya dua kali lipat. Karena tangan kanannya terluka, Mahesa Jenar
memusatkan serangannya pada kecepatan gerak kakinya. Dan ternyata ini berbahaya
sekali bagi Lawa Ijo. Pada suatu kali Lawa Ijo dengan dahsyatnya menyerang arah
tenggorokan Mahesa Jenar dengan dua buah jarinya yang dirapatkan. Cepat-cepat
Mahesa Jenar menghindar dengan menarik tubuhnya sedikit ke samping. Tetapi
secepat kilat Lawa Ijo mengubah serangannya dengan suatu tendangan ke arah ulu
hati Mahesa Jenar. Serangan itu datangnya cepat sekali, sehingga hanya dengan
gerakan yang kecepatannya tak dapat dilihat, Mahesa Jenar berhasil menangkis
serangan itu dan dengan tangannya mendorong kaki itu ke dalam. Dorongan itu
begitu kuatnya sehingga Lawa Ijo terputar setengah lingkaran. Maka kembali
Mahesa Jenar mempergunakan kesempatan ini. Belum lagi kaki Lawa Ijo itu
menjejak tanah, Mahesa Jenar telah memberikan suatu tendangan dan dengan
tumitnya ia mengenai lambung lawannya. Kembali Lawa Ijo terlompat beberapa
langkah. Karena dada Lawa Ijo memang sudah terluka, maka pukulan ini rasanya
jauh lebih hebat dari serangan yang pertama, sehingga Lawa Ijo terlompat ke
belakang. Mahesa Jenar yang akan memburunya, terpaksa segera menghentikan
geraknya. Seleret sinar putih terbang menyambar dadanya. Secepat kilat ia
miringkan tubuhnya, dan sinar putih itu lari hanya berjarak setebal daun dari
dadanya, mengenai dinding balai perbendaharaan dan langsung menancap di sana
hampir sampai ke tangkainya.
TERNYATA benda
itu adalah sebilah pisau yang pada tangkainya diikatkan secarik kain yang
bergambar seekor kelelawar hijau dengan kepala serigala. Melihat pisau itu
tertancap begitu dalam, hati Mahesa Jenar tersirap juga. Kalau saja pisau itu
menancap di dadanya, entahlah apa jadinya. Sementara itu terjadilah suatu hal
di luar dugaan. Setelah melemparkan pisaunya, segera Lawa Ijo meloncat ke
belakang dan secepat kilat ia melarikan diri. Mahesa Jenar tentu saja tak
membiarkan Lawa Ijo lari, sehingga ia segera mengejarnya. Tetapi di luar
dugaannya pula, kedua orang yang turut mengeroyok Gajah Alit segera meninggalkannya
dan menghadangnya. Mereka sekarang sudah memegang senjata di tangan
masing-masing. Sebuah belati panjang. Mahesa Jenar menjadi jengkel sekali.
Sedianya ia sama sekali tak ingin melayani orang itu, supaya tidak kehilangan
Lawa Ijo. Tetapi kedua orang itu nekad menyerang Mahesa Jenar. Terpaksa Mahesa
Jenar berhenti untuk melayani kedua orang itu. Baik Mahesa Jenar maupun Gajah
Alit mengerti akan maksud kedua pembantu Lawa Ijo itu, yaitu untuk memberi
kesempatan kepada pemimpinnya supaya dapat meloloskan diri. Karena itu Gajah
Alit pun berusaha untuk menghindari pertarungan dengan lawannya yang tinggal
seorang itu untuk dapat mengejar Lawa Ijo. Tetapi lawannya itu pun sudah
seperti orang kemasukan setan. Maka akhirnya Mahesa Jenar dan Gajah Alit mengambil
keputusan untuk menyelesaikan lawan masing-masing, baru berusaha menangkap Lawa
Ijo.
Tetapi belum
lagi mereka berhasil menyelesaikan pertempuran itu, Lawa Ijo telah meloncat ke
atas dinding halaman. Kemudian kembali terdengar suara tertawa itu, suara
tertawa yang menusuk-nusuk hati begitu pedihnya seperti suara rintihan hantu
kubur. Dengan cepat tertawanya itu makin lama makin terdengar jauh dan lemah. Menyaksikan
hilangnya Lawa Ijo di depan matanya, Mahesa jenar dan Gajah Alit menjadi gusar
bukan kepalang. Dan sekarang kegusarannya itu hanya dapat ditumpahkan kepada
lawannya yang ketika itu juga sudah berusaha untuk melarikan diri. Maka dengan
kekuatan penuh, Mahesa Jenar segera menghantam lawannya. Pisau yang dipegang
oleh kedua orang itu sama sekali tak berarti. Pukulan Mahesa Jenar melayang
mengenai kepala salah seorang di antaranya, sehingga terdengar suatu jerit
ngeri. Disusul teriakan keras dari yang seorang lagi karena tulang-tulang
rusuknya rontok disambar kaki Mahesa Jenar. Maka seperti batang pisang keduanya
roboh di tanah dan tak bergerak-gerak lagi. Belum lagi gema teriakan itu
berhenti, terdengarlah suara keluhan yang tertahan. Rupanya Gajah Alit pun
berhasil menyelesaikan pertempurannya. Hanya saja ia mempunyai cara sendiri
untuk menumpahkan kemarahannya. Dengan tangannya yang pendek kukuh itu ia
menyambar leher lawannya. Lalu dengan ibu jarinya yang kokoh ia menekan leher
itu sampai nafas lawannya putus. Namun meskipun pada pagi harinya terjadi
kegemparan dalam istana, serta hampir tiap-tiap mulut menyatakan pujian
terhadap Mahesa Jenar dan Gajah Alit, yang telah berhasil menggagalkan usaha
Lawa Ijo, bahkan dapat pula membinasakan empat orang anggotanya, tetapi Mahesa
Jenar tetap merasa kagum akan kekuatan tenaga batin lawannya. Meskipun terjadi
perkelahian begitu hebatnya, serta beberapa kali terdengar teriakan dan suitan,
namun tak seorang pun dari mereka yang tertidur karena pengaruh sirep itu
terbangun. Apalagi suara tertawa itu. Alangkah tajamnya, sehingga mempunyai
pengaruh yang luar biasa. Orang yang tidak mempunyai daya tahan yang kuat tentu
akan terpengaruh karenanya, akhirnya menggigil ngeri dan kehilangan tenaga.
Sekarang, pada
saat ia bertanding melawan Watu Gunung untuk kepentingan Ki Asem Gede, kembali
ia mendengar tertawa yang demikian. Mirip sekali dengan suara tertawa Lawa Ijo.
Orang-orang yang tak berkepentingan serta tak terlibat dalam perkelahian itu
pun menjadi menggigil karenanya. Bahkan beberapa orang telah terduduk lemah
tanpa kekuatan lagi untuk dapat berdiri. Mengingat pengalaman berhadapan dengan
Lawa Ijo, kegusaran hati Mahesa Jenar seperti tergugah. Dalam sejarah hidupnya
belum pernah ada seseorang penjahat yang sudah berada di bawah hidungnya
terluput dari tangannya. Meskipun ia sekarang bukan lagi seorang prajurit
Demak, ia tetap memiliki jiwa pengabdian untuk kedamaian hati rakyat. Karena
itu sekali lagi ia ingin bertemu dengan Lawa Ijo, yang sejak peristiwa itu
namanya tak pernah terdengar lagi. Mahesa Jenar yakin, bahwa apabila tak
terbinasakan, pada suatu saat pasti Lawa Ijo akan muncul kembali. Watu Gunung
yang memiliki ciri-ciri khas sama dengan Lawa Ijo, tentu mempunyai hubungan
erat. Mungkin Watu Gunung adalah bekas gerombolan Lawa Ijo, atau mungkin juga
muridnya. Maka timbullah keinginan Mahesa Jenar untuk mempermainkan orang ini
sebagai undangan buat kehadiran Lawa Ijo. Kenangan dan pikiran-pikiran itu
hanya sebentar saja melintas di otak Mahesa Jenar. Sementara itu suara tertawa
Watu Gunung sudah kian lemah, kian lemah. Para penonton pun menjadi kian ngeri
dan ketakutan. Beberapa orang diantaranya terjatuh lemas seperti dicopoti
tulang-tulangnya. Saat yang mengerikan tentu segera tiba. Para penonton yang
mengharap segera berakhir riwayat kelima iblis itu, meratap dalam hati.
Tepat pada
saat mulut Watu Ganung terkatup, matanya segera berubah jadi merah dan liar.
Wajahnya tampak bertambah bengis. Ia memandang Mahesa Jenar dengan tajam.
Tangannya direntangkan ke samping, sedangkan jari-jarinya yang kuat itu
dikembangkan, siap untuk menerkam dan merobek lawannya. Setapak demi setapak ia
maju mendekati umpannya. Sementara Mahesa Jenar pun telah siap, dan telah
mendapat keputusan untuk mempermainkan lawannya. Tetapi ia tetap waspada dan
hati-hati, sebab ia tahu betapa kuatnya Lawa Ijo. Kalau saja orang ini dapat
mewarisi segala kehebatan Lawa Ijo, pertarungan tentu akan menjadi sangat
sengit. Ketika jarak mereka tinggal kira-kira dua depa, Watu Gunung menggeram
hebat. Lalu dengan gerak yang cepat sekali ia melompat menerkam Mahesa Jenar.
Serangan yang dilontarkan dengan sepenuh tenaga, serta dari jarak yang begitu
dekat dengan kecepatan yang tinggi, menjadikan darah para penonton berdesir.
Apalagi ketika mereka melihat Mahesa Jenar tidak sempat menghindari serangan
itu. Ia hanya dapat melindungi dirinya dengan tangannya, yang disilangkan di
muka dadanya untuk menahan terkaman jari-jari Watu Gunung. Memang saat itu
Mahesa Jenar sama sekali tidak berusaha menghindar. Ia hanya mempergunakan
tangannya untuk melindungi dadanya.
KETIKA
serangan itu datang, terdengarlah beberapa jeritan tertahan, justru dari para
penonton. Sedangkan Ki Asem Gede pun tak sempat mengedipkan matanya. Mereka
mengira bahwa akan terjadi suatu benturan yang dahsyat dan tangan Mahesa Jenar
akan dipatahkan. Tetapi apa yang terjadi adalah jauh dari itu. Sama sekali tak
terjadi benturan yang keras. Sebab waktu tangan Watu Gunung menyentuh
tangannya, Mahesa Jenar surut ke belakang selangkah untuk memusnahkan tenaga
lawan. Sesudah itu ia gunakan enam bagian tenaganya untuk mendorong lawannya. Watu
Gunung sama sekali tidak mengira bahwa ia akan mengalami pelayanan yang
demikian. Karena itu seperti bola besi yang dilemparkan ke udara oleh tenaga
seekor banteng, ia melayang sebentar dan terjatuh beberapa depa ke belakang.
Hanya karena kelincahan dan keuletannya saja maka ia tidak terpelanting dan
jatuh bergulingan. Meskipun tubuhnya bergetar, Watu Gunung berhasil tegak di
atas kedua kakinya, bahkan ia telah siap pula dengan sebuah pertahanan.
“Bagus. Ulet
juga orang ini,” desis Mahesa Jenar.
Tetapi Mahesa
Jenar tidak mau memberi kesempatan lagi. Watu Gunung geragapan, cepat-cepat ia
rendahkan tubuhnya dan melindungi lambungnya dengan siku. Tapi rupanya Mahesa
Jenar tidak betul-betul menyerang lambung itu, sebab sebentar kemudian tangan
kanannya sudah berputar mengenai tengkuk Watu Gunung. Kembali Watu Gunung
terhuyung-huyung ke samping. Dikerahkannya semua tenaganya untuk menahan
tubuhnya supaya tidak jatuh, dan dengan susah payah ia berhasil juga.
Perubahan yang
terjadi demikian cepatnya itu, menyebabkan para penonton terkejut bukan
kepalang. Malahan kemudian ada yang tidak percaya pada apa yang terjadi. Setan
mana yang telah membantu Mahesa Jenar mendapat kekuatan itu. Samparan beserta
ketiga kawannya sampai berdiri. Sebagai orang yang penuh pengalaman, Samparan
segera melihat kekuatan Mahesa Jenar yang luar biasa itu. Kalau mula-mula
Mahesa Jenar tampak lemah dan tak bertenaga, itu karena ia sedang menjajagi
sampai di mana kekuatan lawannya. Kalau mula-mula ia merasa yakin bahwa Watu
Gunung akan berhasil, sekarang adalah sebaliknya, ia menjadi yakin kalau Watu
Gunung akan binasa, atau setidak-tidaknya namanyalah yang binasa. Rupanya
ketiga kawannya pun berpikir demikian. Apalagi Mahesa Jenar telah mendesak
demikian hebatnya. Anehnya, serangan serangan Mahesa Jenar tidak tampak
membahayakan. Pada suatu kali, ketika Mahesa Jenar meloncat dengan dahsyatnya
ke udara, kakinya bergerak menyambar kepala Watu Gunung, sehingga Watu Gunung
terpaksa merendahkan diri untuk menghindar.
No comments:
Post a Comment