GAJAH SORA dan Mahesa Jenar rupa-rupanya tidak sabar lagi menunggu Wanamerta yang meskipun geraknya termasuk dalam tataran yang tinggi, untuk bergantian masuk lewat pintu yang hanya satu itu. Karena itu Gajah Sora dan Mahesa Jenar dengan kekuatan penuh menerobos dinding gebyok itu sehingga pecah berantakan. Ketika mereka bersama-sama telah sampai di muka ruangan Gajah Sora, rasa-rasanya darah mereka berhenti mengalir.
Mereka masih
sempat menyaksikan Arya Salaka terpelanting dan terbentur dinding. Seketika itu
juga ia terjatuh dan pingsan. Dari mulutnya meleleh darah merah segar. Sedang
di tangannya tergenggam erat sebuah tombak pendek yang juga berlumuran darah.
Tombak itu adalah tombak pusaka Ki Ageng Gajah Sora yang bernama Kyai Bancak,
hadiah dari Pangeran Sabrang Lor, yang juga bergelar Adipati Unus, pada waktu
ia mengikuti pasukan Sabrang Lor itu ke Semenanjung Melayu untuk mengusir
penjajahan Portugis. Kyai Bancak sebenarnya adalah pasangan dari pusaka lain
yang berupa sebuah bende.
Sedang di muka
pintu kamarnya ia melihat sesosok tubuh yang terhuyung-huyung. Di dadanya
tampak luka yang menyemburkan darah. Dalam kejadian yang sekejap itu melayanglah
sebuah bayangan yang hampir tak dapat ditangkap oleh penglihatan, menyambar
orang yang hampir terjatuh karena luka di dadanya itu. Maka berpindahlah dua
buah keris yang dipegang oleh orang yang terluka di dadanya itu ke tangan yang
menyambarnya. Itulah Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten. Gajah Sora, Mahesa Jenar
dan Wanamerta adalah orang-orang yang memiliki kecepatan bergerak dalam
tingkatan yang cukup tinggi. Tetapi terhadap bayangan itu, mereka tak mampu
berbuat sesuatu. Mereka hanya melihat bayangan itu lenyap lewat atap. Meskpun
demikian, Gajah Sora, Mahesa Jenar dan Wanamerta bukanlah orang yang mudah
putus asa. Sambil berteriak nyaring Gajah Sora meloncat memburu bayangan itu,
disusul oleh Mahesa Jenar dan Wanamerta. Tetapi demikian Gajah Sora muncul di
atas atap lewat lobang yang sama, bayangan itu telah lenyap sama sekali. Karena
itu bergetarlah dada mereka bertiga oleh kemarahan dan keheranan yang bercampur
aduk. Bayangan itu seolah-olah adalah bayangan hantu yang tiba-tiba muncul
untuk menambah keributan di Banyubiru dan kemudian lenyap seperti lenyapnya
asap dihembus angin.
Tetapi
bagaimanapun cepatnya bergerak bayangan itu, namun ada sesuatu yang dapat
ditangkap oleh Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Bayangan itu agaknya memakai jubah
abu-abu. Tetapi Gajah Sora dan Mahesa Jenar sama sekali tak dapat melihat
wajahnya. Namun demikian segera perasaan mereka lari kepada Pasingsingan. Orang
itu beberapa saat yang lalu bertempur melawan Ki Ageng Pandan Alas di
alun-alun, tak begitu jauh dari rumah itu. Tetapi bagaimana ia dapat berhasil
melepaskan diri dari pengawasan Pandan Alas? Maka bergulatlah di dalam otak
Gajah Sora dan Mahesa Jenar berbagai pertanyaan. Adakah Pasingsingan berhasil
mengalahkan Pandan Alas…? Pada saat itu, lebih-lebih Gajah Sora yang
menyaksikan pusaka simpanannya dan yang telah direbutnya dengan taruhan
nyawanya hilang tanpa dapat berbuat sesuatu di hadapannya. Juga anaknya dilukai
oleh seseorang yang tak dikenal di rumahnya. Seolah-olah di dalam dadanya
menyalalah api yang berkobar-kobar dan jauh lebih panas dari api yang
menyala-nyala di ujung utara kotanya. Nyala di dalam dadanya ini memancar lewat
matanya yang merah berapi-api, giginya gemeretak, dan bibirnya bergerak-gerak.
Tetapi tak sepatah kata pun yang terucapkan. Otak Gajah Sora yang cerdas segera
dapat meraba apa yang telah terjadi di rumahnya. Rupa-rupanya seseorang telah
berusaha untuk mengambil kedua pusakanya. Tetapi malang baginya, sebab Arya
dapat mengetahui perbuatan itu sehingga anak yang otaknya cemerlang itu mengintipnya
dengan tombak pusaka di tangan.
Rupa-rupanya
pada saat ia keluar dari ruang tidurnya, Arya telah menusuk dada orang itu
dengan Kyai Bancak. Tetapi meskipun demikian orang yang sudah pasti bukan orang
sembarangan itu dengan sisa tenaganya yang sudah lemah, berhasil menghantam
Arya sehingga Arya terlempar dan terbanting membentur dinding. Pada saat itulah
datang orang ketiga yang dengan kecepatan seperti cahaya kilat, berhasil
merampas kedua pusaka itu. Api kemarahan yang membentur dinding perasaan Gajah
Sora itu tidak lagi dapat dibendungnya. Karena itu dengan gerak yang
seolah-olah tak dikuasainya sendiri, ia meloncat terjun dari atap rumahnya.
Dengan tangkasnya ia meloncat sambil berlari, tangannya menggapai tombak
pusakanya dan menariknya dari tangan Arya, langsung keluar halaman dan
sekaligus meloncat ke punggung kudanya. Mahesa Jenar dapat menangkap apa yang
bergolak di dalam dada sahabatnya, sebab memang ia pun mempunyai rabaan yang
sama pula atas kejadian yang baru saja berlalu. Karena itu ia dapat menduga
kemana Gajah Sora akan pergi. Pastilah ia akan melihat apakah Pandan Alas masih
ada di antara Ringin Kurung dan bertempur dengan Pasingsingan, ataukah Pandan
Alas itu sudah tidak berdaya lagi. Maka tanpa berpikir lagi, ia pun meloncat ke
atas punggung kudanya dan lari menyusul Gajah Sora.
Wanamerta yang
meskipun dapat mengambil kesimpulan yang sama atas kejadian yang disaksikannya,
namun ia sama sekali tidak mengetahui tentang orang yang berjubah abu-abu yang
telah dilihat oleh Gajah Sora dan Mahesa Jenar di tengah alun-alun. Karena itu
ia menjadi bingung dan tidak tahu apa yang akan dilakukan. Untunglah sebelum
berangkat Mahesa Jenar sempat berkata kepadanya,
“Paman
Wanamerta. Paman tidak perlu ikut bersama kami, jagalah rumah ini baik-baik. Mungkin
ada suatu perkembangan keadaan. Aduklah seluruh halaman rumah ini, meskipun
kemungkinan untuk menemukan hantu itu tipis sekali.”
Setelah itu
Mahesa Jenar lenyap pula di atas punggung kuda abu-abu yang berlari dengan
derap yang gemuruh seperti badai, mengejar Gajah Sora dengan kuda putihnya.
JARAK antara
rumah Gajah Sora dan pohon beringin yang berdiri tegak di tengah alun-alun,
yang seakan-akan tidak peduli atas apa yang sudah terjadi di sekitarnya itu
tidaklah begitu jauh. Karena itu dalam waktu yang singkat mereka berdua telah
berhasil mendekati ringin kurung itu. Maka mereka menjadi terkejut dan heran
tak habis-habisnya ketika dari jarak yang sudah agak dekat mereka masih melihat
dua bayangan yang berloncat-loncat dan melontar kesana kemari diantara sepasang
beringin itu. Di sana masih jelas dapat disaksikan Pasingsingan dan Ki Ageng
Pandan Alas bertempur. Bahkan semakin sengit. Tetapi jubah yang dipakai oleh
orang yang menyambar kedua keris pusaka itu tepat benar dengan jubah yang
dipakai oleh Pasingsingan. Sebenarnya dalam keadaan yang biasa, Gajah Sora akan
dapat mempertimbangkan bahwa tidak mungkin dalam satu saat Pasingsingan dapat
berada di dua tempat dan melakukan dua pekerjaan sekaligus. Tetapi pada saat
itu, karena kemarahannya yang meluap-luap, ia membutuhkan wadah untuk
menumpahkannya.
Satu-satunya
kemungkinan sebagai tempat penampungan kemarahan Gajah Sora adalah Pasingsingan
yang sedang bertempur dengan Pandan Alas. Meskipun ia tahu bahwa Pasingsingan
bukanlah lawannya, karena orang itu memiliki ilmu yang sejajar dengan Ki Ageng
Sora Dipayana, namun sama sekali Gajah Sora sudah tidak mampu lagi membuat
pertimbangan-pertimbangan. Karena itu, dengan otak yang buntu, ia memacu
kudanya habis-habisan, langsung mengarah kepada kedua orang yang sedang
bertempur itu dengan Kyai Bancak siap di tangan. Melihat sikap Gajah Sora, yang
seolah-olah tidak dapat terkendali itu, Mahesa Jenar menjadi cemas. Sebenarnya
ia sendiri merasa sangat marah atas hilangnya Nagasasra dan Sabuk Inten, tetapi
karena justru hal itu terjadi di rumah Gajah Sora maka Gajah Sora-lah yang
merasa lebih bertanggungjawab. Ditambah lagi cedera yang dialami oleh anak
satu-satunya. Karena itu bagaimanapun hebatnya kemarahan yang bergolak di dada,
Mahesa Jenar masih dapat bersikap lebih tenang. Maka segera Mahesa Jenar
berusaha sekuat-kuatnya untuk memacu kudanya lebih cepat agar dapat menyusul
Gajah Sora, untuk mencoba mencegahnya berbuat sesuatu yang berbahaya.
Dibungkukkannya badannya dalam-dalam sampai melekat ke punggung kudanya. Namun
kuda Gajah Sora bukanlah kuda sembarangan. Larinya bahkan semakin cepat seperti
angin.
Pada saat itu
Gajah Sora sudah tidak dapat berpikir lain, kecuali menyerang Pasingsingan
habis-habisan. Ia sama sekali sudah tidak mempertimbangkan
kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi karena perbuatannya itu. Maka ketika
jarak mereka sudah semakin dekat, segera Gajah Sora mengangkat tombak
pusakanya. Tombak yang jarang sekali keluar dari rangkanya. Tapi kali ini,
tombak yang ujungnya sudah membekas darah itu seolah-olah menjadi semakin haus
dan buas. Untunglah bahwa Gajah Sora tidak bermaksud langsung menyerang
Pasingsingan dengan tombak di tangan. Ternyata bagaimanapun gelap pikirannya,
namun sebagai seorang yang cukup berpengalaman, nalurinya yang tajam masih
dapat mempengaruhi tindakannya. Dengan hati yang dibakar oleh kemarahan, Gajah
Sora mengangkat tombaknya yang bermaksud membinasakan Pasingsingan. Maka dengan
sekuat tenaga, bahkan dengan ilmunya Lebur Seketi yang disalurkan lewat
tangannya yang memegang tombak pusaka itu, ditambah lagi dengan tenaga dorong
dari kecepatan berlari kuda putihnya yang seperti angin, Gajah Sora melepaskan
tombaknya ke arah Pasingsingan, yang sedang sibuk melayani Ki Ageng Pandan
Alas.
Perbuatan
Gajah Sora itu sama sekali tak diduganya. Meskipun Pasingsingan sudah tahu
bahwa Gajah Sora bersenjata, tetapi ia tidak mengira bahwa senjata itu akan
dilemparkan kepadanya. Karena itu ketika ia melihat Gajah Sora mengangkat
tombaknya, Pasingsingan menjadi terkejut. Kalau saja pada saat itu Pasingsingan
berdiri seorang diri, maka serangan Gajah Sora itu tidak akan berarti sama
sekali baginya. Tetapi pada saat itu ia sedang bertempur mati-matian melawan Ki
Ageng Pandan Alas. Untuk melayani lawannya itu saja Pasingsingan sudah harus
mengerahkan segenap tenaganya, apalagi tiba-tiba ia menerima serangan yang
cukup berbahaya. Sebab bagaimanapun Gajah Sora bukanlah anak kemarin sore yang
dengan begitu saja boleh diletakkan di luar garis. Karena itu ketika
Pasingsingan melihat sebatang tombak yang berkilauan, seperti kilat datang
menyambarnya, ia menjadi agak gugup. Meskipun demikian ia adalah seorang tokoh
yang namanya boleh disejajarkan dengan Ki Ageng Pandan Alas, Ki Ageng Sora
Dipayana, Titis Anganten, dan sebagainya. Karena itu, bagaimanapun sulitnya
keadaan, masih saja ia mampu menghindar. Dengan suatu gerakan yang sukar
dilihat dengan mata, Pasingsingan melontarkan diri jauh ke belakang dan
seolah-olah hinggap di atas dinding ringin kurung. Sedang pada saat yang
bersamaan, Ki Ageng Pandan Alas meloncat beberapa langkah ke belakang untuk
menghindarkan diri dari kaki kuda Gajah Sora yang seakan-akan tidak lagi dapat
dikendalikan, seperti pikiran Gajah Sora.
Apalagi ketika
Gajah Sora melihat bahwa serangannya gagal maka hatinya yang sudah terbakar itu
rasa-rasanya menjadi semakin hangus. Dengan sekuat tenaga ia menarik kekang
kudanya dan kemudian memutarnya menghadap ke arah Pasingsingan untuk segera
menyerangnya kembali. Meskipun ia kini sudah tidak bersenjata namun di telapak
tangannya masih tersimpan aji Lebur Seketi. Tetapi tiba-tiba Gajah Sora
terpaksa mengurungkan serangannya, sebab pada saat itu tiba-tiba terdengarlah
Pasingsingan tertawa menggelegar. Meskipun suara tertawanya tidak begitu keras,
getarannya memukul-mukul seperti akan memecahkan dada. Ternyata, meskipun
tombak Gajah Sora tidak mengenai tubuh Pasingsingan, tetapi karena keadaan yang
sulit, Pasingsingan agak terlambat menghindar sehingga tombak yang menyambarnya
itu menyobek jubah abu-abunya. Karena itu, ia merasa terhina sekali oleh
seorang anak-anak saja. Maka ia menjadi marah sekali. Dan terlontarlah
kemarahannya itu lewat suara tertawanya yang mengerikan.
MAHESA JENAR
yang pada saat itu telah sampai pula ke tempat itu segera menghentikan kudanya
dan memusatkan segala kekuatan batinnya untuk melawan pengaruh suara tertawa
Pasingsingan yang mengerikan itu. Tetapi suara tertawa itu ternyata tidak
segera berhenti, malahan semakin berkepanjangan dan merupakan serangan-serangan
yang datang bertubi-tubi dengan dahsyatnya. Ia pernah mendengar Lawa Ijo
menyalurkan kesaktiannya lewat suara tertawa yang menggeletar, sehingga
memerlukan daya perlawanan yang kuat untuk tidak jatuh ke dalam pengaruhnya
yang berbahaya. Tetapi suara tertawa Pasingsingan yang tidak begitu keras itu
mengandung tenaga kesaktian yang jauh lebih hebat dari suara Lawa Ijo. Karena
itu, baik Mahesa Jenar maupun Gajah Sora pada saat itu harus mengerahkan
segenap daya kekuatan batinnya untuk melawan pengaruh suara itu. Namun demikian
kesaktian Pasingsingan yang tersalur lewat bunyi tertawa itu bagaikan jarum
yang menusuk-nusuk ulu hati. Alangkah nyerinya, bahkan panas pula seperti
dijilat lidah api.
Meskipun pada
saat itu Mahesa Jenar dan Gajah Sora telah mengerahkan segala kekuatannya,
namun terasa tubuhnya menggigil dan semakin lama semakin kehilangan kesadaran.
Baik Gajah Sora maupun Mahesa Jenar pernah mendengar kisah dari
sahabat-sahabatnya yang sering mengarungi samodra-samodra besar, bahwa di Laut
Cina terdapat sebuah pulau kecil yang sangat ditakuti, sehingga pulau itu
dinamai pulau hantu. Apabila ada kapal yang terjerumus ke dekat pulau itu, maka
akibatnya akan mengerikan sekali. Dari pulau itu terdengarlah berbagai macam
nada orang tertawa-tawa dengan getaran yang dahsyat sehingga orang yang
mendengarnya akan menjadi gila karenanya. Bahkan tidak jarang diantara
pelaut-pelaut itu kemudian menemui ajalnya dengan cara yang mengerikan. Ada
yang terjun ke laut, ada yang mati lemas, dan ada yang mati karena saling
bertempur dan menggigit. Sekarang, mereka meskipun tidak mendekati pulau hantu
itu, mendengar pula suara tertawa yang mengerikan dan telah hampir berhasil
merontokkan kesadaran mereka.
Tetapi ketika
Gajah Sora dan Mahesa Jenar sudah hampir benar-benar jatuh ke dalam pengaruh
suara itu, tiba-tiba terdengarlah suara tembang yang mengalun seolah-olah
menyusur dedaunan dan sulur-sulur sepasang beringin itu. Kemudian dengan
pengaruh yang sejuk, nada-nada itu menggetarkan udara dan menyusup ke dalam
dada Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Suara tembang itupun mempunyai pengaruh yang
luar biasa pula. Tetapi dayanya berlawanan dengan suara tertawa Pasingsingan.
Suara tembang itu seolah-olah siraman air yang memadamkan api yang
menyala-nyala membakar kesadaran mereka. Maka bersama-sama dengan daya
perlawanan masing-masing, suara tembang itu segera dapat menenangkan pikiran
Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Dan ketika mereka berdua bersama-sama menoleh ke
arah suara itu, dilihatnya Ki Ageng Pandan Alas dengan enaknya duduk di atas
tanah bersandar dinding ringin kurung itu dengan kaki bersilang. Sikapnya
seperti seorang anak gembala yang dengan tenangnya berdendang di bawah pohon
rindang. Ketika itu sinar matahari sedang dengan teriknya memanasi padang
rumput. Lagunya adalah lagu kesayangan orang tua, yang sudah sering didengar
oleh Mahesa Jenar, yaitu lagu Dandanggula. Lewat lagunya itu, Pandan Alas pun
telah memancarkan kesaktiannya pula untuk melawan kesaktian Pasingsingan.
Pasingsingan
yang merasa bahwa serangannya dapat digagalkan oleh Pandan Alas, menjadi
semakin marah. Maka dengan menggeram hebat ia berkata,
“Setan tua….
Tidak dapatkah kau menahan dirimu untuk tidak mencampuri urusanku. Aku telah
mencoba melupakan kelakuanmu di Hutan Tambakbaya beberapa minggu lalu? Kini
kembali kau berbuat gila, Pandan Alas, jangan menunggu sampai kesabaranku
habis.”
Ki Ageng
Pandan Alas seolah-olah tidak mendengar kata-kata Pasingsingan itu. Ia masih
saja berlagu terus sampai kalimat yang terakhir.
Melihat sikap
Pandan Alas yang seolah-olah tidak mempedulikan ancamannya, Pasingsingan
menjadi bertambah marah. Kini kesabarannya telah benar-benar habis. Menurut
anggapannya, Gajah Sora, Mahesa Jenar dan Pandan Alas telah bersepakat untuk
bersama-sama menghinanya. Karena itu ia telah bertekad untuk membuat
perhitungan yang terakhir.
“Pandan Alas…,
biarlah aku berkata kepadamu demi persahabatan kita yang telah berpuluh-puluh
tahun. Kalau kali ini kau tidak mau mendengarkan, biarlah untuk seterusnya kau
tidak akan pernah mendengarnya lagi. Pandan Alas…, coba kau tahan dirimu
sedikit kali ini. Janganlah kau menghalangi aku untuk mengambil Nagasasra dan
Sabuk Inten. Kalau kau sendiri ingin memilikinya, sebaiknya kita berlomba
siapakah yang mendapatkannya lebih dahulu. Juga terhadap kedua anak-anak yang
tidak mempunyai sangkut paut apa-apa dengan kau itu. Biarlah aku bereskan
dahulu. Yang seorang telah menghantam muridku dengan Sasra Birawa di hutan
Tambakbaya, sedang seorang lagi telah menyerang aku sehingga jubahku tersobek,”
kata Pasingsingan.
TERDENGAR
suara Pandan Alas tertawa pendek.
“Pasingsingan…,
benarkah aku pernah bersahabat dengan kau? Kalau dahulu aku mempunyai seorang
sahabat yang bernama Pasingsingan pula, aku kira berbeda dengan Pasingsingan
yang aku hadapi sekarang,” tanya Pandan Alas.
“Maksudmu?”
tanya Pasingsingan. Suaranya terdengar bergetar menahan kemarahan yang sudah
memuncak. Tetapi karena ia memakai kedok maka kesan mukanya tak dapat
diketahui.
“Maksudku
adalah…” jawab Pandan Alas,
“Pasingsingan
yang aku kenal sifatnya sama sekali berbeda dengan Pasingsingan yang sekarang
berdiri di hadapanku. Pasingsingan yang aku kenal dahulu meskipun ujud dan
bentuknya tepat seperti kau ini, tetapi wataknya adalah berlawanan sama sekali.
Menurut perhitunganku, Pasingsingan sahabatku itu tidak mungkin mengambil
seorang murid yang menamakan dirinya Lawa Ijo. Tidak mungkin pula kini bekerja
mati-matian untuk merampas Nagasasra dan sabuk Inten dari tangan murid
sahabatnya yang lain, yang bernama Ki Ageng Pengging Sepuh, serta putra
sahabatnya yang bernama Sora Dipayana.”
Tampaklah
tubuh Pasingsingan menggigil menahan diri. Nafasnya berjalan semakin cepat.
Kembali terdengar suaranya yang dalam, yang seolah-olah melingkar-lingkar di
dalam perutnya.
“Pandan Alas…,
lalu siapakah menurut dugaanmu aku ini?”
Pandan Alas
mengerinyitkan alisnya.
“Kenapa kau
bertanya begitu? Bukankah kau menamakan dirimu Pasingsingan. Aku tidak
membantah bahwa kau bernama Pasingsingan. Tetapi kau bukan Pasingsingan
sahabatku itu, meskipun kau juga mempunyai tanda-tanda yang bersamaan dan ilmu
Gelap Ngampar yang baru saja kau pertunjukkan untuk menjebol dada anak-anak
itu.”
Gajah Sora dan
Mahesa Jenar tak sepatah kata pun berani mencampuri perbantahan mereka. Setelah
mereka berdua mengalami serangan Pasingsingan dengan nada tertawanya yang
bernama Gelap Ngampar itu, mereka merasa betapa kecil diri mereka untuk
menghadapinya. Untunglah bahwa Pandan Alas berhasil menolong mereka
menyelamatkan dari pengaruh ilmu Gelap Ngampar yang dahsyat itu. Sekarang
mereka berdua melihat kedua tokoh itu telah kehilangan kesabaran dan akan
bertempur mati-matian. Maka sebaiknya bahwa mereka untuk sementara tidak usah
mencampurinya.
Maka berdesirlah
dada mereka ketika mereka melihat Pasingsingan yang sedang marah itu, tiba-tiba
dari dalam jubahnya menarik sebilah pisau belati panjang. Pisau ini mirip benar
bentuknya dengan pisau yang sering dipergunakan oleh gerombolan Lawa Ijo,
tetapi pisau ini tidak berwarna putih mengkilap, melainkan kuning
berkilau-kilauan.
Sambil
memegang belati itu, Pasingsingan menggeram,
“Pandan Alas,
aku tidak biasa bertempur dengan senjata kalau tidak sedang mempertimbangkan
untuk memotong kepala seseorang. Sekarang kau di sini bertiga dengan
tikus-tikus itu untuk bersama-sama mengeroyok aku. Biarlah aku tidak akan
mundur. Bahkan aku ingin membawa kepalamu bertiga ke Mentaok sebagai suatu
bukti bahwa Pasingsingan tak dapat dihinakan orang.”
Melihat pisau
belati panjang itu di tangan Pasingsingan serta mendengar kata-katanya, mau
tidak mau hati Gajah Sora dan Mahesa Jenar bergetar hebat. Meskipun mereka
bukan orang-orang kerdil yang takut mati, namun menghadapi seorang seperti
Pasingsingan, mereka merasa gentar juga. Tetapi bagaimanapun apabila keadaan
sudah memaksa maka apapun yang akan terjadi pasti harus dihadapi. Diam-diam
Gajah Sora dan Mahesa Jenar memusatkan segala kemampuannya yang ada lahir
batin, dan disalurkannya menurut saluran masing-masing. Gajah Sora dengan Lebur
Seketi dan Mahesa Jenar dengan Sasra Birawanya.
Pandan Alas
yang sejak tadi tampaknya acuh tak acuh saja, setelah melihat Pasingsingan
bersenjata, menjadi agak terkejut juga. Perlahan-lahan ia berdiri dan dengan
mata yang berapi-api ia memandang Pasingsingan seperti memandang hantu.
Rupa-rupanya orang tua itu pun telah menjadi marah.
“Pasingsingan…,
kau ingat bahwa dahulu kita pernah bertempur?”
Pasingsingan
tidak segera menjawab, agaknya ia sedang mengingat-ingat. Baru beberapa lama
kemudian ia berkata,
“Aku ingat,
Pandan Alas.”
“Barangkali
waktu itu kita baru pertama kali bertempur. Bukankah begitu?”, sambung Pandan
Alas.
Kembali
Pasingsingan mengingat-ingat.
”Apakah
maksudmu dengan menceritakan kembali masa-masa yang telah lama silam itu. Banyak
hal yang sudah tak dapat aku ingat kembali.”
“Aneh…,” sahut
Pandan Alas,
“pertemuan
yang menarik itu, kau kira, baik kau maupun aku tak akan melupakannya.”
“Ya, aku
ingat,” jawab Pasingsingan kesal.
“Waktu itu aku
mengira kalau kau adalah seorang penjahat yang sedang menyembunyikan wajah
aslimu di belakang kedokmu yang jelek itu. Tetapi setelah kita bertempur tiga
hari tiga malam tanpa berkesudahan, barulah kita saling bertanya.”
“Pandan Alas…”
potong Pasingsingan,
“adakah kau
sedang mengorek rasa persahabatanku supaya aku memaafkan kau sekarang ini?
Ketahuilah, aku sudah terlanjur mencabut pisauku ini. Maka pisau ini harus
menemukan korbannya. Kalau kau menyesal telah mencampuri urusanku, kau boleh
pergi. Tetapi tikus-tikus ini tetap di tanganku.”
Mendengar
kata-kata Pasingsingan itu bergeloralah dada Pandan Alas yang biasanya senang
berkelakar. Meskipun demikian ia masih berkata tenang,
”Kenapa kau
takut mendengar ceritera-ceritera masa silam Pasingsingan? Adakah sesuatu yang
telah menyiksa perasaanmu sehingga kau tidak berani mengingatnya lagi?”
“Persetan
dengan masa lampau,” bentak Pasingsingan.
“Masa itu tak
akan kembali lagi. Yang penting bagiku adalah masa kini dan masa depan
perguruanku. Itu sebabnya aku berkeras untuk menemukan Nagasasra dan Sabuk Inten.”
Kembali
terdengar suara tertawa Pandan Alas yang dipaksakan. Katanya,
“tetapi hari
ini adalah kelangsungan dari hari kemarin dan seterusnya. Hidupmu sekarang
adalah kelanjutan dari hidupmu 25 tahun yang lalu.”
“Omongan orang
sekarat,” bantah Pasingsingan.
“Aku pata
menjalani kehidupanku kini tanpa masa lampau itu. Dan masa lampau itu sama
sekali tak berarti bagiku.”
“Sebab masa
lampau dari Pasingsingan itu bukan milikmu,” jawab Pandan Alas.
Jawaban yang
diucapkan meskipun diucapkan alam nada yang rendah, tetapi mempunyai akibat
yang hebat sekali. Pasingsingan yang telah sekian lama menahan kemarahannya,
mendengar kata-kata Pandan Alas dengan darah yang menggelegak.
Maka
dijawabnya hampir berteriak,
“Apa
perdulimu. Bahkan aku sendiri tidak perduli kepada masa lampau itu. Dan
sekarang menghadapi saat terakhirmu kau tidak usah mengigau tentang
Pasingsingan. Apakah aku Pasingsingan sahabatmu ataukah Pasingsingan yang lain
tidaklah penting bagimu. Tetapi Pasingsingan yang sekarang berada dihadapanmu
inilah yang akan menentukan saat terakhirmu bersama-sama dengan kedua orang
yang terlalu sombong itu. Nah bersedialah untuk mati. Aku sudah hampir mulai.”
Ketegangan
yang memuncak telah melibat otak Gajah Sora dan Mahesa Jenar. namun mereka
melihat Pandan Alas tersenyum pahit sambil berkata,
”Nah kalau
demikian aku yang seharusnya menentukan sikap pula. Kau tidak usah menyebut
lagi demi persahabatan kita, sebab persahabatan diantara kita tidak pernah kita
alami. Kalau aku menyebut masa lampau itu hanyalah supaya aku yakin dengan
siapa aku berhadapan. Sebab terhadap Pasingsingan sahabatku itu, tak mungkin
aku bersikap keras. Sekarang silahkan mulai,” lalu tiba-tiba saja ditangan
orang tua itu bercahayalah sinar yang kemilau. Itulah pusaka Pandan Alas yang
dahsyat, yang bernama Kiai Sigar Penjalin.
Suasana segera
menjadi hening sepi, tetapi diliputi oleh ketegangan yang memuncak. Gajah Sora
dan Mahesa Jenar duduk diatas kuda masing-masing seperti patung. Meskipun di
dalam dada mereka bergolak berpuluh macam persoalan yang simpang siur sebab
dihadapan mereka dua orang tokoh sakti akan bertanding mati-matian sehingga
meeka berdua merasa perlu untuk mempergunakan pusaka masing-masing. Karena itu,
maka pertempuran yang akan berlangsung pasti akan merupakan pertempuran antara
hidup dan mati.
Tetapi sampai
beberapa saat, mereka masih berpijak pada tempatnya masing-masing. Tak
seorangpun dari kedua tokoh sakti yang bergerak. Sehingga terdengar kembali
suara Ki Ageng Pandan Alas berkata,
“Pasingsingan,
silahkan mulai. Aku sudah siap.”
Tetapi
Pasingsingan tidak juga bergerak dan tidak menyahut pula. Ketika kata-katanya
tidak mendapat sambutan, kembali Pandan Alas berkata
“Pasingsingan,
kau jangan takut aku akan maju bersama kedua anak-anak itu. Sebenarnya aku
merasa kurang perlu untuk mempergunakan pisau dapur yang tak berharga ini untuk
melawanmu, tetapi aku tidak ingin merendahkanmu, sehingga terpaksa aku
mempergunakannya juga. Meskipun demikian baiklah aku katakan kepadamu, bahwa
mungkin karena kau sama sekali tak menghargai masa lampaumu itulah maka terasa
ilmumu mengalami kemunduran.”
Mendengar kata
Ki Ageng Pandan Alas itu tampaklah tubuh Pasingsingan bergetar serta tangannya
yang memegang pusaka itu menggigil hebat. Ia sama sekali tidak menjawab, tetapi
terdengar ia menggeram hebat untuk menahan marahnya. Meskipun demikian
Pasingsingan masih tidak bergerak dari tempatnya.
Sampai Ki
Ageng Pandan Alas berkata,
“Gajah Sora
dan Mahesa Jenar, kenapa kalian datang kemari?. Tak usahlah kalian menonton
orang tua bermain-main. Barangkali bagi kalian lebih baik apabila kalian
kembali dan menjaga kedua keris itu.”
Mendengar kata
Ki Ageng Pandan Alas tergetarlah dada Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Mereka
segera teringat kepada kedua pusaka yang hilang itu. Maka jawab Gajah Sora
“Ki Ageng,
ketika aku pulang tadi, aku masih sempat menyaksikan pusaka itu dicuri oleh
Pasingsingan, tetapi aku sama sekali tak berdaya untuk menahannya.”
Kata-kata itu
menggelegar seperti guruh yang meledak diatas kepala Ki Ageng Pandan Alas dan
Pasingsingan, sehingga Ki Ageng Pandan Alas terloncat maju mendekati Gajah Sora
sambil berteriak,
“apa katamu?
kedua pusaka itu hilang diambil Pasingsingan?.”
Belum lagi
Gajah Sora menjawab terdengar Pasingsingan menyahut,
“Gila, kau
jangan mencoba memutar balikkan keadaan. Tipu muslihat yang tak berharga itu
jangan kau pamerkan dihadapanku, supaya aku tidak lagi berusaha untuk
mendapatkan pusaka dari tanganmu.”
Maka
terdengarlah Gajah Sora berkata,
“Ki Ageng
Pandan Alas, aku berkata sebenarnya bahwa kedua keris itu telah hilang.”
“Tidak
mungkin,” potong Ki Ageng Pandan Alas.
“Pasingsingan
sejak kau meninggalkan kami masih tetap bersama dengan aku.”
Gajah Sora
menjadi ragu sebentar. Memang tidak mungkinlah bahwa Pasingsingan yang sedang
bertempur dengan Ki Ageng Pandan Alas dapat mengambil kedua keris itu. Karena
itu katanya kemudian dengan jujur,
“Ki Ageng, aku
tidak dapat memastikan dengan jelas siapakah yang telah mengambil kedua keris
itu. Tetapi aku dapat melihat bahwa orang itu memakai jubah abu-abu pula tepat
seperti apa yang dipakai oleh Pasingsingan itu.”
“Apakah orang
itu berkedok pula ?,” tanya Pandan Alas.
“Itulah yang
tidak jelas,” jawab Gajah Sora.
Ki Ageng
Pandan Alas tampak merenung. Rupa-rupanya ia seding berfikir keras apakah
kira-kira yang telah terjadi. Tiba-tiba terdengarlah Pasingsingan berkata,
“Aku dapat
mempercayai omonganmu Gajah Sora. Tampaknya kau memang tidak bermaksud
membohongi kami. Dan rupa-rupanya karena itu pula kau menyerang aku dengan
tombakmu. Nah kalau demikian aku tidak perlu terlalu lama lagi berada di sini,
sebab kedua keris yang aku kehendaki itu sudah tidak ada lagi. Tak ada gunanya
lagi bagiku untuk melayani orang gila macam Pandan Alas. Tetapi meskipun
demikian sekali waktu aku ingin bertemu dengan kau kembali.”
PASINGSINGAN
tidak menunggu jawaban lagi. Dalam waktu sekejap ia telah hilang dari pandangan
mereka. Maka tinggallah kini Ki Ageng Pandan Alas, Gajah Sora dan Mahesa Jenar
yang telah maju pula mendekati Gajah Sora, serta kemudian bersama-sama meloncat
dari punggung kuda masing-masing.
“Mahesa
Jenar…,” kata Ki Ageng Pandan Alas,
“aku berharap
sekali bahwa aku atau kau berdua dapat menyerahkan kembali pusaka-pusaka itu ke
Istana Demak. Tetapi rupa-rupanya keadaan belum mengizinkan.”
Gajah Sora dan
Mahesa Jenar tidak menjawab sepatah kata pun. Mereka berdua merasa bahwa mereka
ternyata tak dapat memenuhi keinginan orang-orang tua. Tampaklah bahwa Ki Ageng
Pandan Alas terguncang pula hatinya. Kepalanya tertunduk dalam-dalam serta
beberapa kali ia menghela nafas panjang. Sementara itu dari arah utara
tampaklah sebuah bayangan yang seolah-olah melayang di udara mendekati mereka
bertiga yang berdiri terpaku diantara kedua batang ringin kurung yang masih
saja acuh tak acuh pada keadaan di sekitarnya.
Ternyata bahwa
yang datang itu adalah Ki Ageng Sora Dipayana. Ketika dilihatnya bahwa Ki Ageng
Pandan Alas berada di situ pula, maka segera ia menyapanya,
“Selamat malam
Adi Pandan Alas, apakah yang telah terjadi di sini?”
Gajah Sora dan
Mahesa Jenar segera membungkuk hormat. Namun dalam dada mereka terasa bahwa
jantung mereka berdenyut semakin cepat.
“Selamat
malam, Kakang,” jawab Pandan Alas.
“Aku baru saja
bermain-main di sini bersama Pasingsingan.”
“Pasingsingan…?”
ulang Sora Dipayana sambil mengerutkan keningnya.
“Rupa-rupanya
ia datang bersama muridnya Lawa Ijo. Rupa-rupanya orang itu benar-benar
menginginkan kedua pusaka Demak yang disimpan oleh putramu,” jawab Ki Ageng
Pandan Alas.
“Tidak hanya
Pasingsingan,” jawab Sora Dipayana.
“Untunglah
bahwa Adi berada pula di sini, sebab aku tadi sedang sibuk melayani tamu dari
Lodaya.”
“Sima Rodra?”
potong Pandan Alas.
“Ya, ia datang
bersama menantunya, dengan maksud yang sama.”
“Hebat…, hebat
sekali,” desis Pandan Alas. Setan dari Lodaya itu memerlukan datang pula.
“Tetapi…”
sambung Pandan Alas setengah berbisik,
“tanyakanlah
kepada putramu apa yang telah terjadi.”
Tampaklah Ki
Ageng Sora Dipayana menarik alisnya sehingga hampir bertemu.
“Ada apa Gajah
Sora…? Agaknya telah terjadi sesuatu?” tanya Ki Ageng Sora Dipayana kepada
Gajah Sora.
Maka segera
Gajah Sora menceriterakan tentang apa yang telah dilihatnya pada saat lenyapnya
Nagasasra dan Sabuk Inten dari rumahnya.
Mendengar
keterangan Gajah Sora, hati Ki Ageng Sora Dipayana terguncang hebat, sampai
tubuhnya menggigil. Wajahnya yang bening itu segera menjadi seolah-olah diaduk
oleh kemarahannya.
“Setan manakah
yang telah mengganggu kami itu?” geramnya.
“Adi Pandan
Alas…” katanya kemudian,
“bukankah kau
tidak melepaskan Pasingsingan itu barang sekejap?”
“Tidak,
Kakang,” jawab Pandan Alas.
“Ia tetap
dalam pengawasanku.”
Kembali
keadaan menjadi sunyi. Kesunyian yang tegang. Masing-masing dikuasai oleh
perasaan yang bercampur baur diantara marah, kesal dan kecewa.
Akhirnya
berkatalah Ki Ageng Sora Dipayana,
“Gajah Sora
dan Mahesa Jenar… memang apa yang terjadi adalah diluar kemampuanmu berdua.
Apalagi kalian, kami yang tua-tua inipun menjadi pusing karenanya. Mungkin ada
sesuatu yang tak beres pada Pasingsingan itu. Bukankah begitu Adi Pandan Alas?”
Pandan Alas
mengangguk mengiyakan. Lalu ia berkata,
“Aku menjadi
sulit untuk mengatakan tentang Pasingsingan. Rasa-rasanya memang ada sesuatu
yang tidak wajar. Meskipun demikian aku masih belum berani meyakinkan bahwa ada
lebih dari satu Pasingsingan.”
“Kalau begitu
marilah kita lihat rumah itu,” ajak Sora Dipayana.
“Barangkali
ada sesuatu yang dapat menunjukkan tanda-tanda siapakah yang telah mengambil
kedua keris itu.”
Maka segera
berangkatlah mereka menuju ke rumah Gajah Sora, setelah Gajah Sora memungut
kembali pusakanya. Mereka menjadi terkejut ketika mereka melihat kesibukan yang
luar biasa. Segera mereka meloncat lebih cepat untuk segera dapat mengetahui
apakah yang telah terjadi. Ternyata di Pringgitan, mereka melihat Wanamerta dan
Sawungrana menggeletak tak sadarkan diri, sedang di sudut yang lain Panjawi
yang luka parah menggeletak tak berdaya. Ketika mereka melangkah memasuki
bagian dalam rumah Gajah Sora, mereka melihat Nyai Ageng Gajah Sora duduk
bersimpuh, sedang di pangkuannya terletak kepala Arya yang masih pingsan.
Melihat
kejadian itu semua, kembali Gajah Sora tergugah kemarahannya. Tetapi ia tidak
mampu berbuat apa-apa, sehingga karena itu giginya terdengar gemeretak dan
nafasnya berjalan semakin cepat. Sebenarnya ketika Sora Dipayana menyaksikan
kejadian itu, hatinya tergetar pula. Tetapi wajahnya nampak tenang-tenang saja.
Perlahan-lahan Sora Dipayana membungkuk, meraba dada Arya dan meneliti
bagian-bagian tubuhnya yang lain. Dari ceritera Gajah Sora, ia sudah tahu
apakah yang menyebabkan Arya luka-luka. Tetapi tentang Wanamerta, Sawungrana,
Panjawi serta beberapa orang pengawal yang lain, belumlah diketahuinya.
Di depan ruang
tidur Gajah Sora masih menggeletak sesosok tubuh yang masih belum dikenal.
“Apakah yang
sudah terjadi dengan Paman Wanamerta dan yang lain-lain?” Tiba-tiba terdengar
suara Gajah Sora gemetar.
ISTRI Gajah
Sora menjawab,
“Ketika aku
mendengar ribut-ribut… aku waktu itu sedang mengatur orang-orang yang mengungsi
ke rumah ini di belakang, segera aku berlari masuk. Aku sudah tidak sempat
menjumpai Kakang Gajah Sora dan Adi Mahesa Jenar yang katanya sedang mengejar
seseorang berjubah abu-abu yang mencuri kedua pusaka simpanan Kakang. Tetapi
tidak beberapa lama, muncullah begitu tiba-tiba saja di hadapan kami. Aku,
Paman Wanamerta dan Paman Sawungrana. Seorang yang pendek bongkok dan berwajah
menakutkan, seolah-olah ia pernah mengalami suatu penyakit yang mengerikan.
Orang itu datang kemari juga untuk mencari Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.
Paman Wanamerta menyatakan bahwa ia tidak tahu-menahu kedua keris itu, serta
menceriterakan dengan betul apa yang sudah terjadi. Tetapi rupa-rupanya orang
itu tidak percaya, sehingga terjadilah pertempuran antara orang itu seorang
melawan Paman Wanamerta berdua dengan Paman Sawungrana yang kemudian dibantu
juga oleh Panjawi dan beberapa orang. Tetapi ternyata bahwa dengan mudahnya
orang itu dapat mengalahkan mereka. Lalu langsung dibongkarnya segala
barang-barang yang ada di rumah ini untuk mendapatkan kedua keris itu. Baru
setelah ia yakin benar-benar bahwa kedua keris itu tak dapat diketemukan, maka
seperti pada saat ia datang, segera ia pun lenyap.”
Mendengar
ceritera itu betapa terkejutnya Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Orang itu pasti
seorang yang mempunyai ilmu yang tinggi pula. Tetapi terlebih-lebih lagi adalah
Sora Dipayana dan Pandan Alas, sehingga nampaklah wajah mereka berubah. Kedua
orang itu hampir bersama-sama menyebutkan suatu nama yang cukup menggetarkan.
“Itulah Bugel
Kaliki dari Gunung Cerme”
Mendengar nama
itu disebut, barulah Gajah Sora dan Mahesa Jenar sadar betapa berbahayanya
orang itu. Ia pernah mendengar nama Bugel Kaliki dari lembah Gunung Cerme itu
dari mulut seorang sakti dari Banyuwangi, Titis Anganten. Dalam sekejap itu
tiba-tiba kesunyian mencengkam suasana. Yang terdengar hanyalah tarikan nafas
mereka yang dengan tegang membayangkan apakah kira-kira yang telah terjadi.
“Rupanya hantu
itu telah mendengar pula tentang Kyai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten”. Akhirnya
terdengar Ki Ageng Pandan Alas berkata perlahan.
“Keadaan telah
menjadi sedemikian rumit serta saling berkait,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana.
“Mengenai
Bugel itu, sudah jelas,” sambung Ki Ageng Pandan Alas.
“Dan ia tidak
mendapatkan apa yang dicari setelah dengan leluasa ia menggeledah setiap sudut
di dalam rumah ini. Dengan demikian ada kemungkinan bahwa ia tidak akan kembali
lagi kemari. Tetapi ia akan mencari di tempat-tempat lain. Yang belum kita
ketahui, justru yang berhasil membawa kedua pusaka itu, seorang yang berjubah
abu-abu seperti jubah yang selalu dipakai oleh Pasingsingan.”
Alis Ki Ageng
Sora Dipayana yang sudah putih itu tampak bergerak-gerak. Rupa-rupanya ia pun
sedang berpikir hebat. Akhirnya terdengarlah ia berkata,
“Gajah Sora
dan Mahesa Jenar…, rupa-rupanya belum saatnya aku yang tua-tua ini menghabiskan
sisa hidup kami untuk menikmati ketenteraman. Rupa-rupanya kini kami tidak
dapat tinggal diam, menyendiri di puncak-puncak bukit. Aku tahu bahwa kau tentu
bingung mengalami peristiwa-peristiwa ini. Jangan cemas, sebab kami pun telah
pula menjadi bingung.”
Ki Ageng
Pandan Alas tersenyum mendengar kata-kata sahabatnya.
“Jadi kalian
mempunyai kawan-kawan yang cukup banyak dalam kebingungan kalian,” sambungnya.
“Akh… kau
badut tua,” potong Sora Dipayana.
“Maksudku,
kami pun menjadi bingung, apalagi kalian, yang masih muda-muda. Nah, sekarang
Gajah Sora… kau dapat mengundang Ki Lemah Telasih. Suruhlah orang itu mengobati
anakmu dan orang-orangmu yang luka parah. Aku yakin bahwa luka-luka anakmu dan
orang-orang itu tidak akan sampai membahayakan jiwanya di tangan Ki Lemah Telasih.
Sekarang aku kira justru Banyubiru ini dapat aku tinggal dengan aman setelah
kedua keris itu lenyap. Tetapi percayalah bahwa kepergianku itu merupakan suatu
usaha untuk menemukannya pula,” sambung Sora Dipayana.
Gajah Sora
menundukkan kepalanya. Kemudian terdengarlah ia menjawab dengan suara yang
dalam dan gemetar,
“Ayah…,
maafkan aku yang sudah setua ini masih saja selalu mengganggu ketenteraman
hidup ayah. Tetapi hal ini adalah benar-benar diluar kemampuanku.”
Terdengarlah
Ki Ageng Sora Dipayana tertawa pendek.
“Jangan
salahkan dirimu. Akulah yang tidak mampu menjadikan kau orang yang luar biasa.
Tak apalah. Sekarang biarlah aku pergi dengan Adi Pandan Alas. Mungkin arah
kita berbeda, tetapi tujuan kita adalah sama. Menemukan kedua keris itu
kembali, sebab permainan ini sudah mulai dicampuri pula oleh orang-orang tua.”
Gajah Sora
tidak dapat menjawab kata-kata ayahnya. Ia menjadi terharu sekali. Sebaliknya
Mahesa Jenar merasakan betapa sepi hidupnya sepeninggal gurunya. Tak ada lagi
orang yang akan menjadi tempat mengadu dan mohon pertolongan. Meskipun ia
merasa bahwa sebagai seorang laki-laki dirinyalah tempat untuk mengadu. Serta
pada dirinya itu pulalah kepercayaan yang terakhir harus dilandaskan.
MENGHADAPI
kenyataan itu, dirasakan betapa pahitnya hidup Mahesa Jenar sebatang kara,
diantara manusia-manusia perkasa yang dalam setiap saat memungkinkan adanya
bentrokan-bentrokan yang hanya dapat diselesaikan dengan mengadu kesaktian.
Tetapi hati Mahesa Jenar agak terhibur juga melihat adanya orang-orang tua
seperti Ki Ageng Pandan Alas, Ki Ageng Sora Dipayana dan Titis Anganten yang
sudah pernah dirasakan betapa persahabatan mereka dengan gurunya melimpah pula
kepada dirinya. Sesaat kemudian terdengarlah Ki Ageng Pandan Alas berkata,
“Gajah Sora
dan Mahesa Jenar…, aku sependapat dengan Kakang Sora Dipayana. Sebab berhadapan
dengan orang-orang tua macam Sima Rodra, Pasingsingan, Bugel Kaliki, harus
orang-orang tua pulalah yang melayaninya. Meskipun bagi kami sebenarnya lebih
senang minum-minum sambil mengunyah jadah jenang alot. Bukan begitu, Kakang?”
Ki Ageng Sora
Dipayana tersenyum, lalu jawabnya,
“Begitulah
kira-kira. Dan sekarang, marilah kita mulai kehidupan kita seperti beberapa
puluh tahun yang lalu. Seperti seekor burung yang lepas di udara, hinggap dari
satu dahan ke lain dahan, dari satu cabang ke lain cabang.”
“Tetapi aku
tak akan sebebas dahulu,” sahut Ki Ageng Pandan Alas.
“Sebab aku
sekarang mempunyai seorang murid. Akan aku bawa muridku itu untuk menambah
pengalamannya.”
“Murid…?”
potong Ki Ageng Sora Dipayana.
“Ya, muridku
seorang pemuda tampan yang masih seperti batu pecahan,” jawab Pandan Alas,
“dan aku harus
mengasahnya sejak gosokan yang pertama. Untunglah bahwa ia memiliki bakat yang
baik.”
Setelah
mengadakan beberapa persiapan dan pesan-pesan, Ki Ageng Sora Dipayana dan Ki
Ageng Pandan Alas segera minta diri untuk memulai penghidupan dalam
pengembaraan yang kedua sejak mereka menghentikan pengembaraan mereka pada masa
muda mereka. Mereka tidak perlu lagi menunggu sampai esok atau lusa. Sebab bagi
seorang pengembara, siang atau malam sama saja. Gajah Sora suami-istri dan
Mahesa Jenar melepas mereka dengan perasaan yang berat dan terharu. Orang-orang
tua yang seharusnya tinggal menikmati hasil lelah masa mudanya, masih harus
bekerja keras untuk kesejahteraan umat manusia.
“Tak ada yang
membatasi umur kita untuk berjuang,” kata Ki Ageng Sora Dipayana ketika ia
melangkah keluar gerbang halaman. Yang disambung oleh Ki Ageng Pandan Alas,
“He, Mahesa
Jenar, adakah kau dahulu memenuhi permintaanku? Menunggu sampai jagungku tua?
Kalau begitu aku akan singgah dahulu ke sana untuk menikmati dua tiga buah
jagung bakar.”
Belum lagi
Mahesa Jenar menjawab, seperti terbang Ki Ageng Pandan Alas segera lenyap di
gelap malam. Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum melihat tingkah laku sahabatnya
itu.
“Memang Adi
Pandan Alas dalam keadaan yang bagaimanapun juga, tetap saja dapat tertawa.
Dengan begitu, rupa-rupanya ia akan panjang umur,” kata Ki Ageng Sora Dipayana.
“Nah Gajah
Sora dan Mahesa Jenar, hati-hatilah dengan pekerjaanmu masing-masing.
Mudah-mudahan semuanya selamat dan baik. Biarlah aku pergi sekarang,” sambung
Ki Ageng kepada Gajah Sora dan Mahesa Jenar.
Gajah Sora dan
Mahesa Jenar bersama-sama mengangguk hormat dan mengucapkan selamat jalan. Maka
berangkatlah Ki Ageng Sora Dipayana ke arah yang bertentangan dengan Ki Ageng
Pandan Alas. Orang tua itu melangkah perlahan-lahan seperti orang yang sedang
berjalan-jalan menghirup kesejukan udara malam.
Setelah Ki
Ageng Sora Dipayana lenyap dari pandangan mereka, dan tenggelam dalam kehitaman
malam, segera Gajah Sora dan Mahesa Jenar masuk kembali ke dalam rumah.
Dilihatnya di sana Ki Lemah Telasih telah datang dan telah mencoba mengobati
Arya Salaka, Wanamerta, Sawungrana, Penjawi dan orang-orang yang terluka, dengan
ramuan dedaunan, dan dengan memijat-mijat berusaha mengembalikan urat-urat yang
salah letak. Ki Lemah Telasih tampaknya masih agak lebih muda dari Ki Asem
Gede, tetapi tubuhnya jauh lebih besar dan lebih tinggi. Hanya matanya sajalah
yang mirip benar dengan Ki Asem Gede, sejuk dan damai. Dengan cekatan ia
merawat orang-orang yang terluka itu berganti-ganti, sehingga beberapa saat
kemudian semua telah diobatinya dan dibaringkannya di tempat yang tenang.
Nyai Gajah
Sora masih saja merenungi putranya yang terbaring di bale-bale tempat tidur
ayahnya dengan tanpa bergerak. Sedang di mata Nyi Ageng Gajah Sora itu
kadang-kadang masih tampak butiran-butiran air mata yang satu-satu menetes
memercikkan kesedihan hatinya. Tetapi karena kepandaian Ki Lemah Telasih, nafas
Arya Salaka telah mulai berjalan teratur dan detak jantungnya sudah mulai
berjalan wajar.
Gajah Sora dan
Mahesa Jenar duduk berdiam diri sebelah-menyebelah dari ruang tidur tempat Arya
terbaring. Wajah-wajah mereka tampak suram serta pandangan mereka seakan-akan
jauh menembus lantai kelam yang tak dikenal. Suasana menjadi sepi. Di kejauhan
terdengar semakin jelas gonggongan anjing-anjing liar bersahut-sahutan,
seolah-olah mereka berkata bahwa malam adalah milik mereka. Sepi malam yang
mencengkam itu kemudian dipecahkan oleh suara Ki Lemah Telasih.
No comments:
Post a Comment