Bagian 019


GAJAH SORA dan Mahesa Jenar rupa-rupanya tidak sabar lagi menunggu Wanamerta yang meskipun geraknya termasuk dalam tataran yang tinggi, untuk bergantian masuk lewat pintu yang hanya satu itu. Karena itu Gajah Sora dan Mahesa Jenar dengan kekuatan penuh menerobos dinding gebyok itu sehingga pecah berantakan. Ketika mereka bersama-sama telah sampai di muka ruangan Gajah Sora, rasa-rasanya darah mereka berhenti mengalir.
Mereka masih sempat menyaksikan Arya Salaka terpelanting dan terbentur dinding. Seketika itu juga ia terjatuh dan pingsan. Dari mulutnya meleleh darah merah segar. Sedang di tangannya tergenggam erat sebuah tombak pendek yang juga berlumuran darah. Tombak itu adalah tombak pusaka Ki Ageng Gajah Sora yang bernama Kyai Bancak, hadiah dari Pangeran Sabrang Lor, yang juga bergelar Adipati Unus, pada waktu ia mengikuti pasukan Sabrang Lor itu ke Semenanjung Melayu untuk mengusir penjajahan Portugis. Kyai Bancak sebenarnya adalah pasangan dari pusaka lain yang berupa sebuah bende.

Sedang di muka pintu kamarnya ia melihat sesosok tubuh yang terhuyung-huyung. Di dadanya tampak luka yang menyemburkan darah. Dalam kejadian yang sekejap itu melayanglah sebuah bayangan yang hampir tak dapat ditangkap oleh penglihatan, menyambar orang yang hampir terjatuh karena luka di dadanya itu. Maka berpindahlah dua buah keris yang dipegang oleh orang yang terluka di dadanya itu ke tangan yang menyambarnya. Itulah Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten. Gajah Sora, Mahesa Jenar dan Wanamerta adalah orang-orang yang memiliki kecepatan bergerak dalam tingkatan yang cukup tinggi. Tetapi terhadap bayangan itu, mereka tak mampu berbuat sesuatu. Mereka hanya melihat bayangan itu lenyap lewat atap. Meskpun demikian, Gajah Sora, Mahesa Jenar dan Wanamerta bukanlah orang yang mudah putus asa. Sambil berteriak nyaring Gajah Sora meloncat memburu bayangan itu, disusul oleh Mahesa Jenar dan Wanamerta. Tetapi demikian Gajah Sora muncul di atas atap lewat lobang yang sama, bayangan itu telah lenyap sama sekali. Karena itu bergetarlah dada mereka bertiga oleh kemarahan dan keheranan yang bercampur aduk. Bayangan itu seolah-olah adalah bayangan hantu yang tiba-tiba muncul untuk menambah keributan di Banyubiru dan kemudian lenyap seperti lenyapnya asap dihembus angin.

Tetapi bagaimanapun cepatnya bergerak bayangan itu, namun ada sesuatu yang dapat ditangkap oleh Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Bayangan itu agaknya memakai jubah abu-abu. Tetapi Gajah Sora dan Mahesa Jenar sama sekali tak dapat melihat wajahnya. Namun demikian segera perasaan mereka lari kepada Pasingsingan. Orang itu beberapa saat yang lalu bertempur melawan Ki Ageng Pandan Alas di alun-alun, tak begitu jauh dari rumah itu. Tetapi bagaimana ia dapat berhasil melepaskan diri dari pengawasan Pandan Alas? Maka bergulatlah di dalam otak Gajah Sora dan Mahesa Jenar berbagai pertanyaan. Adakah Pasingsingan berhasil mengalahkan Pandan Alas…? Pada saat itu, lebih-lebih Gajah Sora yang menyaksikan pusaka simpanannya dan yang telah direbutnya dengan taruhan nyawanya hilang tanpa dapat berbuat sesuatu di hadapannya. Juga anaknya dilukai oleh seseorang yang tak dikenal di rumahnya. Seolah-olah di dalam dadanya menyalalah api yang berkobar-kobar dan jauh lebih panas dari api yang menyala-nyala di ujung utara kotanya. Nyala di dalam dadanya ini memancar lewat matanya yang merah berapi-api, giginya gemeretak, dan bibirnya bergerak-gerak. Tetapi tak sepatah kata pun yang terucapkan. Otak Gajah Sora yang cerdas segera dapat meraba apa yang telah terjadi di rumahnya. Rupa-rupanya seseorang telah berusaha untuk mengambil kedua pusakanya. Tetapi malang baginya, sebab Arya dapat mengetahui perbuatan itu sehingga anak yang otaknya cemerlang itu mengintipnya dengan tombak pusaka di tangan.

Rupa-rupanya pada saat ia keluar dari ruang tidurnya, Arya telah menusuk dada orang itu dengan Kyai Bancak. Tetapi meskipun demikian orang yang sudah pasti bukan orang sembarangan itu dengan sisa tenaganya yang sudah lemah, berhasil menghantam Arya sehingga Arya terlempar dan terbanting membentur dinding. Pada saat itulah datang orang ketiga yang dengan kecepatan seperti cahaya kilat, berhasil merampas kedua pusaka itu. Api kemarahan yang membentur dinding perasaan Gajah Sora itu tidak lagi dapat dibendungnya. Karena itu dengan gerak yang seolah-olah tak dikuasainya sendiri, ia meloncat terjun dari atap rumahnya. Dengan tangkasnya ia meloncat sambil berlari, tangannya menggapai tombak pusakanya dan menariknya dari tangan Arya, langsung keluar halaman dan sekaligus meloncat ke punggung kudanya. Mahesa Jenar dapat menangkap apa yang bergolak di dalam dada sahabatnya, sebab memang ia pun mempunyai rabaan yang sama pula atas kejadian yang baru saja berlalu. Karena itu ia dapat menduga kemana Gajah Sora akan pergi. Pastilah ia akan melihat apakah Pandan Alas masih ada di antara Ringin Kurung dan bertempur dengan Pasingsingan, ataukah Pandan Alas itu sudah tidak berdaya lagi. Maka tanpa berpikir lagi, ia pun meloncat ke atas punggung kudanya dan lari menyusul Gajah Sora.
Wanamerta yang meskipun dapat mengambil kesimpulan yang sama atas kejadian yang disaksikannya, namun ia sama sekali tidak mengetahui tentang orang yang berjubah abu-abu yang telah dilihat oleh Gajah Sora dan Mahesa Jenar di tengah alun-alun. Karena itu ia menjadi bingung dan tidak tahu apa yang akan dilakukan. Untunglah sebelum berangkat Mahesa Jenar sempat berkata kepadanya,
“Paman Wanamerta. Paman tidak perlu ikut bersama kami, jagalah rumah ini baik-baik. Mungkin ada suatu perkembangan keadaan. Aduklah seluruh halaman rumah ini, meskipun kemungkinan untuk menemukan hantu itu tipis sekali.”
Setelah itu Mahesa Jenar lenyap pula di atas punggung kuda abu-abu yang berlari dengan derap yang gemuruh seperti badai, mengejar Gajah Sora dengan kuda putihnya.

JARAK antara rumah Gajah Sora dan pohon beringin yang berdiri tegak di tengah alun-alun, yang seakan-akan tidak peduli atas apa yang sudah terjadi di sekitarnya itu tidaklah begitu jauh. Karena itu dalam waktu yang singkat mereka berdua telah berhasil mendekati ringin kurung itu. Maka mereka menjadi terkejut dan heran tak habis-habisnya ketika dari jarak yang sudah agak dekat mereka masih melihat dua bayangan yang berloncat-loncat dan melontar kesana kemari diantara sepasang beringin itu. Di sana masih jelas dapat disaksikan Pasingsingan dan Ki Ageng Pandan Alas bertempur. Bahkan semakin sengit. Tetapi jubah yang dipakai oleh orang yang menyambar kedua keris pusaka itu tepat benar dengan jubah yang dipakai oleh Pasingsingan. Sebenarnya dalam keadaan yang biasa, Gajah Sora akan dapat mempertimbangkan bahwa tidak mungkin dalam satu saat Pasingsingan dapat berada di dua tempat dan melakukan dua pekerjaan sekaligus. Tetapi pada saat itu, karena kemarahannya yang meluap-luap, ia membutuhkan wadah untuk menumpahkannya.

Satu-satunya kemungkinan sebagai tempat penampungan kemarahan Gajah Sora adalah Pasingsingan yang sedang bertempur dengan Pandan Alas. Meskipun ia tahu bahwa Pasingsingan bukanlah lawannya, karena orang itu memiliki ilmu yang sejajar dengan Ki Ageng Sora Dipayana, namun sama sekali Gajah Sora sudah tidak mampu lagi membuat pertimbangan-pertimbangan. Karena itu, dengan otak yang buntu, ia memacu kudanya habis-habisan, langsung mengarah kepada kedua orang yang sedang bertempur itu dengan Kyai Bancak siap di tangan. Melihat sikap Gajah Sora, yang seolah-olah tidak dapat terkendali itu, Mahesa Jenar menjadi cemas. Sebenarnya ia sendiri merasa sangat marah atas hilangnya Nagasasra dan Sabuk Inten, tetapi karena justru hal itu terjadi di rumah Gajah Sora maka Gajah Sora-lah yang merasa lebih bertanggungjawab. Ditambah lagi cedera yang dialami oleh anak satu-satunya. Karena itu bagaimanapun hebatnya kemarahan yang bergolak di dada, Mahesa Jenar masih dapat bersikap lebih tenang. Maka segera Mahesa Jenar berusaha sekuat-kuatnya untuk memacu kudanya lebih cepat agar dapat menyusul Gajah Sora, untuk mencoba mencegahnya berbuat sesuatu yang berbahaya. Dibungkukkannya badannya dalam-dalam sampai melekat ke punggung kudanya. Namun kuda Gajah Sora bukanlah kuda sembarangan. Larinya bahkan semakin cepat seperti angin.

Pada saat itu Gajah Sora sudah tidak dapat berpikir lain, kecuali menyerang Pasingsingan habis-habisan. Ia sama sekali sudah tidak mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi karena perbuatannya itu. Maka ketika jarak mereka sudah semakin dekat, segera Gajah Sora mengangkat tombak pusakanya. Tombak yang jarang sekali keluar dari rangkanya. Tapi kali ini, tombak yang ujungnya sudah membekas darah itu seolah-olah menjadi semakin haus dan buas. Untunglah bahwa Gajah Sora tidak bermaksud langsung menyerang Pasingsingan dengan tombak di tangan. Ternyata bagaimanapun gelap pikirannya, namun sebagai seorang yang cukup berpengalaman, nalurinya yang tajam masih dapat mempengaruhi tindakannya. Dengan hati yang dibakar oleh kemarahan, Gajah Sora mengangkat tombaknya yang bermaksud membinasakan Pasingsingan. Maka dengan sekuat tenaga, bahkan dengan ilmunya Lebur Seketi yang disalurkan lewat tangannya yang memegang tombak pusaka itu, ditambah lagi dengan tenaga dorong dari kecepatan berlari kuda putihnya yang seperti angin, Gajah Sora melepaskan tombaknya ke arah Pasingsingan, yang sedang sibuk melayani Ki Ageng Pandan Alas.

Perbuatan Gajah Sora itu sama sekali tak diduganya. Meskipun Pasingsingan sudah tahu bahwa Gajah Sora bersenjata, tetapi ia tidak mengira bahwa senjata itu akan dilemparkan kepadanya. Karena itu ketika ia melihat Gajah Sora mengangkat tombaknya, Pasingsingan menjadi terkejut. Kalau saja pada saat itu Pasingsingan berdiri seorang diri, maka serangan Gajah Sora itu tidak akan berarti sama sekali baginya. Tetapi pada saat itu ia sedang bertempur mati-matian melawan Ki Ageng Pandan Alas. Untuk melayani lawannya itu saja Pasingsingan sudah harus mengerahkan segenap tenaganya, apalagi tiba-tiba ia menerima serangan yang cukup berbahaya. Sebab bagaimanapun Gajah Sora bukanlah anak kemarin sore yang dengan begitu saja boleh diletakkan di luar garis. Karena itu ketika Pasingsingan melihat sebatang tombak yang berkilauan, seperti kilat datang menyambarnya, ia menjadi agak gugup. Meskipun demikian ia adalah seorang tokoh yang namanya boleh disejajarkan dengan Ki Ageng Pandan Alas, Ki Ageng Sora Dipayana, Titis Anganten, dan sebagainya. Karena itu, bagaimanapun sulitnya keadaan, masih saja ia mampu menghindar. Dengan suatu gerakan yang sukar dilihat dengan mata, Pasingsingan melontarkan diri jauh ke belakang dan seolah-olah hinggap di atas dinding ringin kurung. Sedang pada saat yang bersamaan, Ki Ageng Pandan Alas meloncat beberapa langkah ke belakang untuk menghindarkan diri dari kaki kuda Gajah Sora yang seakan-akan tidak lagi dapat dikendalikan, seperti pikiran Gajah Sora.

Apalagi ketika Gajah Sora melihat bahwa serangannya gagal maka hatinya yang sudah terbakar itu rasa-rasanya menjadi semakin hangus. Dengan sekuat tenaga ia menarik kekang kudanya dan kemudian memutarnya menghadap ke arah Pasingsingan untuk segera menyerangnya kembali. Meskipun ia kini sudah tidak bersenjata namun di telapak tangannya masih tersimpan aji Lebur Seketi. Tetapi tiba-tiba Gajah Sora terpaksa mengurungkan serangannya, sebab pada saat itu tiba-tiba terdengarlah Pasingsingan tertawa menggelegar. Meskipun suara tertawanya tidak begitu keras, getarannya memukul-mukul seperti akan memecahkan dada. Ternyata, meskipun tombak Gajah Sora tidak mengenai tubuh Pasingsingan, tetapi karena keadaan yang sulit, Pasingsingan agak terlambat menghindar sehingga tombak yang menyambarnya itu menyobek jubah abu-abunya. Karena itu, ia merasa terhina sekali oleh seorang anak-anak saja. Maka ia menjadi marah sekali. Dan terlontarlah kemarahannya itu lewat suara tertawanya yang mengerikan.

MAHESA JENAR yang pada saat itu telah sampai pula ke tempat itu segera menghentikan kudanya dan memusatkan segala kekuatan batinnya untuk melawan pengaruh suara tertawa Pasingsingan yang mengerikan itu. Tetapi suara tertawa itu ternyata tidak segera berhenti, malahan semakin berkepanjangan dan merupakan serangan-serangan yang datang bertubi-tubi dengan dahsyatnya. Ia pernah mendengar Lawa Ijo menyalurkan kesaktiannya lewat suara tertawa yang menggeletar, sehingga memerlukan daya perlawanan yang kuat untuk tidak jatuh ke dalam pengaruhnya yang berbahaya. Tetapi suara tertawa Pasingsingan yang tidak begitu keras itu mengandung tenaga kesaktian yang jauh lebih hebat dari suara Lawa Ijo. Karena itu, baik Mahesa Jenar maupun Gajah Sora pada saat itu harus mengerahkan segenap daya kekuatan batinnya untuk melawan pengaruh suara itu. Namun demikian kesaktian Pasingsingan yang tersalur lewat bunyi tertawa itu bagaikan jarum yang menusuk-nusuk ulu hati. Alangkah nyerinya, bahkan panas pula seperti dijilat lidah api.

Meskipun pada saat itu Mahesa Jenar dan Gajah Sora telah mengerahkan segala kekuatannya, namun terasa tubuhnya menggigil dan semakin lama semakin kehilangan kesadaran. Baik Gajah Sora maupun Mahesa Jenar pernah mendengar kisah dari sahabat-sahabatnya yang sering mengarungi samodra-samodra besar, bahwa di Laut Cina terdapat sebuah pulau kecil yang sangat ditakuti, sehingga pulau itu dinamai pulau hantu. Apabila ada kapal yang terjerumus ke dekat pulau itu, maka akibatnya akan mengerikan sekali. Dari pulau itu terdengarlah berbagai macam nada orang tertawa-tawa dengan getaran yang dahsyat sehingga orang yang mendengarnya akan menjadi gila karenanya. Bahkan tidak jarang diantara pelaut-pelaut itu kemudian menemui ajalnya dengan cara yang mengerikan. Ada yang terjun ke laut, ada yang mati lemas, dan ada yang mati karena saling bertempur dan menggigit. Sekarang, mereka meskipun tidak mendekati pulau hantu itu, mendengar pula suara tertawa yang mengerikan dan telah hampir berhasil merontokkan kesadaran mereka.

Tetapi ketika Gajah Sora dan Mahesa Jenar sudah hampir benar-benar jatuh ke dalam pengaruh suara itu, tiba-tiba terdengarlah suara tembang yang mengalun seolah-olah menyusur dedaunan dan sulur-sulur sepasang beringin itu. Kemudian dengan pengaruh yang sejuk, nada-nada itu menggetarkan udara dan menyusup ke dalam dada Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Suara tembang itupun mempunyai pengaruh yang luar biasa pula. Tetapi dayanya berlawanan dengan suara tertawa Pasingsingan. Suara tembang itu seolah-olah siraman air yang memadamkan api yang menyala-nyala membakar kesadaran mereka. Maka bersama-sama dengan daya perlawanan masing-masing, suara tembang itu segera dapat menenangkan pikiran Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Dan ketika mereka berdua bersama-sama menoleh ke arah suara itu, dilihatnya Ki Ageng Pandan Alas dengan enaknya duduk di atas tanah bersandar dinding ringin kurung itu dengan kaki bersilang. Sikapnya seperti seorang anak gembala yang dengan tenangnya berdendang di bawah pohon rindang. Ketika itu sinar matahari sedang dengan teriknya memanasi padang rumput. Lagunya adalah lagu kesayangan orang tua, yang sudah sering didengar oleh Mahesa Jenar, yaitu lagu Dandanggula. Lewat lagunya itu, Pandan Alas pun telah memancarkan kesaktiannya pula untuk melawan kesaktian Pasingsingan.

Pasingsingan yang merasa bahwa serangannya dapat digagalkan oleh Pandan Alas, menjadi semakin marah. Maka dengan menggeram hebat ia berkata,
“Setan tua…. Tidak dapatkah kau menahan dirimu untuk tidak mencampuri urusanku. Aku telah mencoba melupakan kelakuanmu di Hutan Tambakbaya beberapa minggu lalu? Kini kembali kau berbuat gila, Pandan Alas, jangan menunggu sampai kesabaranku habis.”
Ki Ageng Pandan Alas seolah-olah tidak mendengar kata-kata Pasingsingan itu. Ia masih saja berlagu terus sampai kalimat yang terakhir.
Melihat sikap Pandan Alas yang seolah-olah tidak mempedulikan ancamannya, Pasingsingan menjadi bertambah marah. Kini kesabarannya telah benar-benar habis. Menurut anggapannya, Gajah Sora, Mahesa Jenar dan Pandan Alas telah bersepakat untuk bersama-sama menghinanya. Karena itu ia telah bertekad untuk membuat perhitungan yang terakhir.
“Pandan Alas…, biarlah aku berkata kepadamu demi persahabatan kita yang telah berpuluh-puluh tahun. Kalau kali ini kau tidak mau mendengarkan, biarlah untuk seterusnya kau tidak akan pernah mendengarnya lagi. Pandan Alas…, coba kau tahan dirimu sedikit kali ini. Janganlah kau menghalangi aku untuk mengambil Nagasasra dan Sabuk Inten. Kalau kau sendiri ingin memilikinya, sebaiknya kita berlomba siapakah yang mendapatkannya lebih dahulu. Juga terhadap kedua anak-anak yang tidak mempunyai sangkut paut apa-apa dengan kau itu. Biarlah aku bereskan dahulu. Yang seorang telah menghantam muridku dengan Sasra Birawa di hutan Tambakbaya, sedang seorang lagi telah menyerang aku sehingga jubahku tersobek,” kata Pasingsingan.

TERDENGAR suara Pandan Alas tertawa pendek.
“Pasingsingan…, benarkah aku pernah bersahabat dengan kau? Kalau dahulu aku mempunyai seorang sahabat yang bernama Pasingsingan pula, aku kira berbeda dengan Pasingsingan yang aku hadapi sekarang,” tanya Pandan Alas.
“Maksudmu?” tanya Pasingsingan. Suaranya terdengar bergetar menahan kemarahan yang sudah memuncak. Tetapi karena ia memakai kedok maka kesan mukanya tak dapat diketahui.
“Maksudku adalah…” jawab Pandan Alas,
“Pasingsingan yang aku kenal sifatnya sama sekali berbeda dengan Pasingsingan yang sekarang berdiri di hadapanku. Pasingsingan yang aku kenal dahulu meskipun ujud dan bentuknya tepat seperti kau ini, tetapi wataknya adalah berlawanan sama sekali. Menurut perhitunganku, Pasingsingan sahabatku itu tidak mungkin mengambil seorang murid yang menamakan dirinya Lawa Ijo. Tidak mungkin pula kini bekerja mati-matian untuk merampas Nagasasra dan sabuk Inten dari tangan murid sahabatnya yang lain, yang bernama Ki Ageng Pengging Sepuh, serta putra sahabatnya yang bernama Sora Dipayana.”
Tampaklah tubuh Pasingsingan menggigil menahan diri. Nafasnya berjalan semakin cepat. Kembali terdengar suaranya yang dalam, yang seolah-olah melingkar-lingkar di dalam perutnya.
“Pandan Alas…, lalu siapakah menurut dugaanmu aku ini?”

Pandan Alas mengerinyitkan alisnya.
“Kenapa kau bertanya begitu? Bukankah kau menamakan dirimu Pasingsingan. Aku tidak membantah bahwa kau bernama Pasingsingan. Tetapi kau bukan Pasingsingan sahabatku itu, meskipun kau juga mempunyai tanda-tanda yang bersamaan dan ilmu Gelap Ngampar yang baru saja kau pertunjukkan untuk menjebol dada anak-anak itu.”
Gajah Sora dan Mahesa Jenar tak sepatah kata pun berani mencampuri perbantahan mereka. Setelah mereka berdua mengalami serangan Pasingsingan dengan nada tertawanya yang bernama Gelap Ngampar itu, mereka merasa betapa kecil diri mereka untuk menghadapinya. Untunglah bahwa Pandan Alas berhasil menolong mereka menyelamatkan dari pengaruh ilmu Gelap Ngampar yang dahsyat itu. Sekarang mereka berdua melihat kedua tokoh itu telah kehilangan kesabaran dan akan bertempur mati-matian. Maka sebaiknya bahwa mereka untuk sementara tidak usah mencampurinya.
Maka berdesirlah dada mereka ketika mereka melihat Pasingsingan yang sedang marah itu, tiba-tiba dari dalam jubahnya menarik sebilah pisau belati panjang. Pisau ini mirip benar bentuknya dengan pisau yang sering dipergunakan oleh gerombolan Lawa Ijo, tetapi pisau ini tidak berwarna putih mengkilap, melainkan kuning berkilau-kilauan.

Sambil memegang belati itu, Pasingsingan menggeram,
“Pandan Alas, aku tidak biasa bertempur dengan senjata kalau tidak sedang mempertimbangkan untuk memotong kepala seseorang. Sekarang kau di sini bertiga dengan tikus-tikus itu untuk bersama-sama mengeroyok aku. Biarlah aku tidak akan mundur. Bahkan aku ingin membawa kepalamu bertiga ke Mentaok sebagai suatu bukti bahwa Pasingsingan tak dapat dihinakan orang.”
Melihat pisau belati panjang itu di tangan Pasingsingan serta mendengar kata-katanya, mau tidak mau hati Gajah Sora dan Mahesa Jenar bergetar hebat. Meskipun mereka bukan orang-orang kerdil yang takut mati, namun menghadapi seorang seperti Pasingsingan, mereka merasa gentar juga. Tetapi bagaimanapun apabila keadaan sudah memaksa maka apapun yang akan terjadi pasti harus dihadapi. Diam-diam Gajah Sora dan Mahesa Jenar memusatkan segala kemampuannya yang ada lahir batin, dan disalurkannya menurut saluran masing-masing. Gajah Sora dengan Lebur Seketi dan Mahesa Jenar dengan Sasra Birawanya.
Pandan Alas yang sejak tadi tampaknya acuh tak acuh saja, setelah melihat Pasingsingan bersenjata, menjadi agak terkejut juga. Perlahan-lahan ia berdiri dan dengan mata yang berapi-api ia memandang Pasingsingan seperti memandang hantu. Rupa-rupanya orang tua itu pun telah menjadi marah.
“Pasingsingan…, kau ingat bahwa dahulu kita pernah bertempur?”
Pasingsingan tidak segera menjawab, agaknya ia sedang mengingat-ingat. Baru beberapa lama kemudian ia berkata,
“Aku ingat, Pandan Alas.”
“Barangkali waktu itu kita baru pertama kali bertempur. Bukankah begitu?”, sambung Pandan Alas.

Kembali Pasingsingan mengingat-ingat.
”Apakah maksudmu dengan menceritakan kembali masa-masa yang telah lama silam itu. Banyak hal yang sudah tak dapat aku ingat kembali.”
“Aneh…,” sahut Pandan Alas,
“pertemuan yang menarik itu, kau kira, baik kau maupun aku tak akan melupakannya.”
“Ya, aku ingat,” jawab Pasingsingan kesal.
“Waktu itu aku mengira kalau kau adalah seorang penjahat yang sedang menyembunyikan wajah aslimu di belakang kedokmu yang jelek itu. Tetapi setelah kita bertempur tiga hari tiga malam tanpa berkesudahan, barulah kita saling bertanya.”
“Pandan Alas…” potong Pasingsingan,
“adakah kau sedang mengorek rasa persahabatanku supaya aku memaafkan kau sekarang ini? Ketahuilah, aku sudah terlanjur mencabut pisauku ini. Maka pisau ini harus menemukan korbannya. Kalau kau menyesal telah mencampuri urusanku, kau boleh pergi. Tetapi tikus-tikus ini tetap di tanganku.”
Mendengar kata-kata Pasingsingan itu bergeloralah dada Pandan Alas yang biasanya senang berkelakar. Meskipun demikian ia masih berkata tenang,
”Kenapa kau takut mendengar ceritera-ceritera masa silam Pasingsingan? Adakah sesuatu yang telah menyiksa perasaanmu sehingga kau tidak berani mengingatnya lagi?”
“Persetan dengan masa lampau,” bentak Pasingsingan.
“Masa itu tak akan kembali lagi. Yang penting bagiku adalah masa kini dan masa depan perguruanku. Itu sebabnya aku berkeras untuk menemukan Nagasasra dan Sabuk Inten.”

Kembali terdengar suara tertawa Pandan Alas yang dipaksakan. Katanya,
“tetapi hari ini adalah kelangsungan dari hari kemarin dan seterusnya. Hidupmu sekarang adalah kelanjutan dari hidupmu 25 tahun yang lalu.”
“Omongan orang sekarat,” bantah Pasingsingan.
“Aku pata menjalani kehidupanku kini tanpa masa lampau itu. Dan masa lampau itu sama sekali tak berarti bagiku.”
“Sebab masa lampau dari Pasingsingan itu bukan milikmu,” jawab Pandan Alas.
Jawaban yang diucapkan meskipun diucapkan alam nada yang rendah, tetapi mempunyai akibat yang hebat sekali. Pasingsingan yang telah sekian lama menahan kemarahannya, mendengar kata-kata Pandan Alas dengan darah yang menggelegak.
Maka dijawabnya hampir berteriak,
“Apa perdulimu. Bahkan aku sendiri tidak perduli kepada masa lampau itu. Dan sekarang menghadapi saat terakhirmu kau tidak usah mengigau tentang Pasingsingan. Apakah aku Pasingsingan sahabatmu ataukah Pasingsingan yang lain tidaklah penting bagimu. Tetapi Pasingsingan yang sekarang berada dihadapanmu inilah yang akan menentukan saat terakhirmu bersama-sama dengan kedua orang yang terlalu sombong itu. Nah bersedialah untuk mati. Aku sudah hampir mulai.”

Ketegangan yang memuncak telah melibat otak Gajah Sora dan Mahesa Jenar. namun mereka melihat Pandan Alas tersenyum pahit sambil berkata,
”Nah kalau demikian aku yang seharusnya menentukan sikap pula. Kau tidak usah menyebut lagi demi persahabatan kita, sebab persahabatan diantara kita tidak pernah kita alami. Kalau aku menyebut masa lampau itu hanyalah supaya aku yakin dengan siapa aku berhadapan. Sebab terhadap Pasingsingan sahabatku itu, tak mungkin aku bersikap keras. Sekarang silahkan mulai,” lalu tiba-tiba saja ditangan orang tua itu bercahayalah sinar yang kemilau. Itulah pusaka Pandan Alas yang dahsyat, yang bernama Kiai Sigar Penjalin.
Suasana segera menjadi hening sepi, tetapi diliputi oleh ketegangan yang memuncak. Gajah Sora dan Mahesa Jenar duduk diatas kuda masing-masing seperti patung. Meskipun di dalam dada mereka bergolak berpuluh macam persoalan yang simpang siur sebab dihadapan mereka dua orang tokoh sakti akan bertanding mati-matian sehingga meeka berdua merasa perlu untuk mempergunakan pusaka masing-masing. Karena itu, maka pertempuran yang akan berlangsung pasti akan merupakan pertempuran antara hidup dan mati.

Tetapi sampai beberapa saat, mereka masih berpijak pada tempatnya masing-masing. Tak seorangpun dari kedua tokoh sakti yang bergerak. Sehingga terdengar kembali suara Ki Ageng Pandan Alas berkata,
“Pasingsingan, silahkan mulai. Aku sudah siap.”
Tetapi Pasingsingan tidak juga bergerak dan tidak menyahut pula. Ketika kata-katanya tidak mendapat sambutan, kembali Pandan Alas berkata
“Pasingsingan, kau jangan takut aku akan maju bersama kedua anak-anak itu. Sebenarnya aku merasa kurang perlu untuk mempergunakan pisau dapur yang tak berharga ini untuk melawanmu, tetapi aku tidak ingin merendahkanmu, sehingga terpaksa aku mempergunakannya juga. Meskipun demikian baiklah aku katakan kepadamu, bahwa mungkin karena kau sama sekali tak menghargai masa lampaumu itulah maka terasa ilmumu mengalami kemunduran.”
Mendengar kata Ki Ageng Pandan Alas itu tampaklah tubuh Pasingsingan bergetar serta tangannya yang memegang pusaka itu menggigil hebat. Ia sama sekali tidak menjawab, tetapi terdengar ia menggeram hebat untuk menahan marahnya. Meskipun demikian Pasingsingan masih tidak bergerak dari tempatnya.
Sampai Ki Ageng Pandan Alas berkata,
“Gajah Sora dan Mahesa Jenar, kenapa kalian datang kemari?. Tak usahlah kalian menonton orang tua bermain-main. Barangkali bagi kalian lebih baik apabila kalian kembali dan menjaga kedua keris itu.”

Mendengar kata Ki Ageng Pandan Alas tergetarlah dada Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Mereka segera teringat kepada kedua pusaka yang hilang itu. Maka jawab Gajah Sora
“Ki Ageng, ketika aku pulang tadi, aku masih sempat menyaksikan pusaka itu dicuri oleh Pasingsingan, tetapi aku sama sekali tak berdaya untuk menahannya.”
Kata-kata itu menggelegar seperti guruh yang meledak diatas kepala Ki Ageng Pandan Alas dan Pasingsingan, sehingga Ki Ageng Pandan Alas terloncat maju mendekati Gajah Sora sambil berteriak,
“apa katamu? kedua pusaka itu hilang diambil Pasingsingan?.”
Belum lagi Gajah Sora menjawab terdengar Pasingsingan menyahut,
“Gila, kau jangan mencoba memutar balikkan keadaan. Tipu muslihat yang tak berharga itu jangan kau pamerkan dihadapanku, supaya aku tidak lagi berusaha untuk mendapatkan pusaka dari tanganmu.”
Maka terdengarlah Gajah Sora berkata,
“Ki Ageng Pandan Alas, aku berkata sebenarnya bahwa kedua keris itu telah hilang.”
“Tidak mungkin,” potong Ki Ageng Pandan Alas.
“Pasingsingan sejak kau meninggalkan kami masih tetap bersama dengan aku.”
Gajah Sora menjadi ragu sebentar. Memang tidak mungkinlah bahwa Pasingsingan yang sedang bertempur dengan Ki Ageng Pandan Alas dapat mengambil kedua keris itu. Karena itu katanya kemudian dengan jujur,
“Ki Ageng, aku tidak dapat memastikan dengan jelas siapakah yang telah mengambil kedua keris itu. Tetapi aku dapat melihat bahwa orang itu memakai jubah abu-abu pula tepat seperti apa yang dipakai oleh Pasingsingan itu.”
“Apakah orang itu berkedok pula ?,” tanya Pandan Alas.
“Itulah yang tidak jelas,” jawab Gajah Sora.
Ki Ageng Pandan Alas tampak merenung. Rupa-rupanya ia seding berfikir keras apakah kira-kira yang telah terjadi. Tiba-tiba terdengarlah Pasingsingan berkata,
“Aku dapat mempercayai omonganmu Gajah Sora. Tampaknya kau memang tidak bermaksud membohongi kami. Dan rupa-rupanya karena itu pula kau menyerang aku dengan tombakmu. Nah kalau demikian aku tidak perlu terlalu lama lagi berada di sini, sebab kedua keris yang aku kehendaki itu sudah tidak ada lagi. Tak ada gunanya lagi bagiku untuk melayani orang gila macam Pandan Alas. Tetapi meskipun demikian sekali waktu aku ingin bertemu dengan kau kembali.”

PASINGSINGAN tidak menunggu jawaban lagi. Dalam waktu sekejap ia telah hilang dari pandangan mereka. Maka tinggallah kini Ki Ageng Pandan Alas, Gajah Sora dan Mahesa Jenar yang telah maju pula mendekati Gajah Sora, serta kemudian bersama-sama meloncat dari punggung kuda masing-masing.
“Mahesa Jenar…,” kata Ki Ageng Pandan Alas,
“aku berharap sekali bahwa aku atau kau berdua dapat menyerahkan kembali pusaka-pusaka itu ke Istana Demak. Tetapi rupa-rupanya keadaan belum mengizinkan.”
Gajah Sora dan Mahesa Jenar tidak menjawab sepatah kata pun. Mereka berdua merasa bahwa mereka ternyata tak dapat memenuhi keinginan orang-orang tua. Tampaklah bahwa Ki Ageng Pandan Alas terguncang pula hatinya. Kepalanya tertunduk dalam-dalam serta beberapa kali ia menghela nafas panjang. Sementara itu dari arah utara tampaklah sebuah bayangan yang seolah-olah melayang di udara mendekati mereka bertiga yang berdiri terpaku diantara kedua batang ringin kurung yang masih saja acuh tak acuh pada keadaan di sekitarnya.

Ternyata bahwa yang datang itu adalah Ki Ageng Sora Dipayana. Ketika dilihatnya bahwa Ki Ageng Pandan Alas berada di situ pula, maka segera ia menyapanya,
“Selamat malam Adi Pandan Alas, apakah yang telah terjadi di sini?”
Gajah Sora dan Mahesa Jenar segera membungkuk hormat. Namun dalam dada mereka terasa bahwa jantung mereka berdenyut semakin cepat.
“Selamat malam, Kakang,” jawab Pandan Alas.
“Aku baru saja bermain-main di sini bersama Pasingsingan.”
“Pasingsingan…?” ulang Sora Dipayana sambil mengerutkan keningnya.
“Rupa-rupanya ia datang bersama muridnya Lawa Ijo. Rupa-rupanya orang itu benar-benar menginginkan kedua pusaka Demak yang disimpan oleh putramu,” jawab Ki Ageng Pandan Alas.
“Tidak hanya Pasingsingan,” jawab Sora Dipayana.
“Untunglah bahwa Adi berada pula di sini, sebab aku tadi sedang sibuk melayani tamu dari Lodaya.”
“Sima Rodra?” potong Pandan Alas.
“Ya, ia datang bersama menantunya, dengan maksud yang sama.”
“Hebat…, hebat sekali,” desis Pandan Alas. Setan dari Lodaya itu memerlukan datang pula.
“Tetapi…” sambung Pandan Alas setengah berbisik,
“tanyakanlah kepada putramu apa yang telah terjadi.”

Tampaklah Ki Ageng Sora Dipayana menarik alisnya sehingga hampir bertemu.
“Ada apa Gajah Sora…? Agaknya telah terjadi sesuatu?” tanya Ki Ageng Sora Dipayana kepada Gajah Sora.
Maka segera Gajah Sora menceriterakan tentang apa yang telah dilihatnya pada saat lenyapnya Nagasasra dan Sabuk Inten dari rumahnya.
Mendengar keterangan Gajah Sora, hati Ki Ageng Sora Dipayana terguncang hebat, sampai tubuhnya menggigil. Wajahnya yang bening itu segera menjadi seolah-olah diaduk oleh kemarahannya.
“Setan manakah yang telah mengganggu kami itu?” geramnya.
“Adi Pandan Alas…” katanya kemudian,
“bukankah kau tidak melepaskan Pasingsingan itu barang sekejap?”
“Tidak, Kakang,” jawab Pandan Alas.
“Ia tetap dalam pengawasanku.”
Kembali keadaan menjadi sunyi. Kesunyian yang tegang. Masing-masing dikuasai oleh perasaan yang bercampur baur diantara marah, kesal dan kecewa.

Akhirnya berkatalah Ki Ageng Sora Dipayana,
“Gajah Sora dan Mahesa Jenar… memang apa yang terjadi adalah diluar kemampuanmu berdua. Apalagi kalian, kami yang tua-tua inipun menjadi pusing karenanya. Mungkin ada sesuatu yang tak beres pada Pasingsingan itu. Bukankah begitu Adi Pandan Alas?”
Pandan Alas mengangguk mengiyakan. Lalu ia berkata,
“Aku menjadi sulit untuk mengatakan tentang Pasingsingan. Rasa-rasanya memang ada sesuatu yang tidak wajar. Meskipun demikian aku masih belum berani meyakinkan bahwa ada lebih dari satu Pasingsingan.”
“Kalau begitu marilah kita lihat rumah itu,” ajak Sora Dipayana.
“Barangkali ada sesuatu yang dapat menunjukkan tanda-tanda siapakah yang telah mengambil kedua keris itu.”
Maka segera berangkatlah mereka menuju ke rumah Gajah Sora, setelah Gajah Sora memungut kembali pusakanya. Mereka menjadi terkejut ketika mereka melihat kesibukan yang luar biasa. Segera mereka meloncat lebih cepat untuk segera dapat mengetahui apakah yang telah terjadi. Ternyata di Pringgitan, mereka melihat Wanamerta dan Sawungrana menggeletak tak sadarkan diri, sedang di sudut yang lain Panjawi yang luka parah menggeletak tak berdaya. Ketika mereka melangkah memasuki bagian dalam rumah Gajah Sora, mereka melihat Nyai Ageng Gajah Sora duduk bersimpuh, sedang di pangkuannya terletak kepala Arya yang masih pingsan.
Melihat kejadian itu semua, kembali Gajah Sora tergugah kemarahannya. Tetapi ia tidak mampu berbuat apa-apa, sehingga karena itu giginya terdengar gemeretak dan nafasnya berjalan semakin cepat. Sebenarnya ketika Sora Dipayana menyaksikan kejadian itu, hatinya tergetar pula. Tetapi wajahnya nampak tenang-tenang saja. Perlahan-lahan Sora Dipayana membungkuk, meraba dada Arya dan meneliti bagian-bagian tubuhnya yang lain. Dari ceritera Gajah Sora, ia sudah tahu apakah yang menyebabkan Arya luka-luka. Tetapi tentang Wanamerta, Sawungrana, Panjawi serta beberapa orang pengawal yang lain, belumlah diketahuinya.
Di depan ruang tidur Gajah Sora masih menggeletak sesosok tubuh yang masih belum dikenal.
“Apakah yang sudah terjadi dengan Paman Wanamerta dan yang lain-lain?” Tiba-tiba terdengar suara Gajah Sora gemetar.

ISTRI Gajah Sora menjawab,
“Ketika aku mendengar ribut-ribut… aku waktu itu sedang mengatur orang-orang yang mengungsi ke rumah ini di belakang, segera aku berlari masuk. Aku sudah tidak sempat menjumpai Kakang Gajah Sora dan Adi Mahesa Jenar yang katanya sedang mengejar seseorang berjubah abu-abu yang mencuri kedua pusaka simpanan Kakang. Tetapi tidak beberapa lama, muncullah begitu tiba-tiba saja di hadapan kami. Aku, Paman Wanamerta dan Paman Sawungrana. Seorang yang pendek bongkok dan berwajah menakutkan, seolah-olah ia pernah mengalami suatu penyakit yang mengerikan. Orang itu datang kemari juga untuk mencari Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Paman Wanamerta menyatakan bahwa ia tidak tahu-menahu kedua keris itu, serta menceriterakan dengan betul apa yang sudah terjadi. Tetapi rupa-rupanya orang itu tidak percaya, sehingga terjadilah pertempuran antara orang itu seorang melawan Paman Wanamerta berdua dengan Paman Sawungrana yang kemudian dibantu juga oleh Panjawi dan beberapa orang. Tetapi ternyata bahwa dengan mudahnya orang itu dapat mengalahkan mereka. Lalu langsung dibongkarnya segala barang-barang yang ada di rumah ini untuk mendapatkan kedua keris itu. Baru setelah ia yakin benar-benar bahwa kedua keris itu tak dapat diketemukan, maka seperti pada saat ia datang, segera ia pun lenyap.”
Mendengar ceritera itu betapa terkejutnya Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Orang itu pasti seorang yang mempunyai ilmu yang tinggi pula. Tetapi terlebih-lebih lagi adalah Sora Dipayana dan Pandan Alas, sehingga nampaklah wajah mereka berubah. Kedua orang itu hampir bersama-sama menyebutkan suatu nama yang cukup menggetarkan.
“Itulah Bugel Kaliki dari Gunung Cerme”
Mendengar nama itu disebut, barulah Gajah Sora dan Mahesa Jenar sadar betapa berbahayanya orang itu. Ia pernah mendengar nama Bugel Kaliki dari lembah Gunung Cerme itu dari mulut seorang sakti dari Banyuwangi, Titis Anganten. Dalam sekejap itu tiba-tiba kesunyian mencengkam suasana. Yang terdengar hanyalah tarikan nafas mereka yang dengan tegang membayangkan apakah kira-kira yang telah terjadi.
“Rupanya hantu itu telah mendengar pula tentang Kyai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten”. Akhirnya terdengar Ki Ageng Pandan Alas berkata perlahan.
“Keadaan telah menjadi sedemikian rumit serta saling berkait,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana.
“Mengenai Bugel itu, sudah jelas,” sambung Ki Ageng Pandan Alas.
“Dan ia tidak mendapatkan apa yang dicari setelah dengan leluasa ia menggeledah setiap sudut di dalam rumah ini. Dengan demikian ada kemungkinan bahwa ia tidak akan kembali lagi kemari. Tetapi ia akan mencari di tempat-tempat lain. Yang belum kita ketahui, justru yang berhasil membawa kedua pusaka itu, seorang yang berjubah abu-abu seperti jubah yang selalu dipakai oleh Pasingsingan.”

Alis Ki Ageng Sora Dipayana yang sudah putih itu tampak bergerak-gerak. Rupa-rupanya ia pun sedang berpikir hebat. Akhirnya terdengarlah ia berkata,
“Gajah Sora dan Mahesa Jenar…, rupa-rupanya belum saatnya aku yang tua-tua ini menghabiskan sisa hidup kami untuk menikmati ketenteraman. Rupa-rupanya kini kami tidak dapat tinggal diam, menyendiri di puncak-puncak bukit. Aku tahu bahwa kau tentu bingung mengalami peristiwa-peristiwa ini. Jangan cemas, sebab kami pun telah pula menjadi bingung.”
Ki Ageng Pandan Alas tersenyum mendengar kata-kata sahabatnya.
“Jadi kalian mempunyai kawan-kawan yang cukup banyak dalam kebingungan kalian,” sambungnya.
“Akh… kau badut tua,” potong Sora Dipayana.
“Maksudku, kami pun menjadi bingung, apalagi kalian, yang masih muda-muda. Nah, sekarang Gajah Sora… kau dapat mengundang Ki Lemah Telasih. Suruhlah orang itu mengobati anakmu dan orang-orangmu yang luka parah. Aku yakin bahwa luka-luka anakmu dan orang-orang itu tidak akan sampai membahayakan jiwanya di tangan Ki Lemah Telasih. Sekarang aku kira justru Banyubiru ini dapat aku tinggal dengan aman setelah kedua keris itu lenyap. Tetapi percayalah bahwa kepergianku itu merupakan suatu usaha untuk menemukannya pula,” sambung Sora Dipayana.
Gajah Sora menundukkan kepalanya. Kemudian terdengarlah ia menjawab dengan suara yang dalam dan gemetar,
“Ayah…, maafkan aku yang sudah setua ini masih saja selalu mengganggu ketenteraman hidup ayah. Tetapi hal ini adalah benar-benar diluar kemampuanku.”
Terdengarlah Ki Ageng Sora Dipayana tertawa pendek.
“Jangan salahkan dirimu. Akulah yang tidak mampu menjadikan kau orang yang luar biasa. Tak apalah. Sekarang biarlah aku pergi dengan Adi Pandan Alas. Mungkin arah kita berbeda, tetapi tujuan kita adalah sama. Menemukan kedua keris itu kembali, sebab permainan ini sudah mulai dicampuri pula oleh orang-orang tua.”
Gajah Sora tidak dapat menjawab kata-kata ayahnya. Ia menjadi terharu sekali. Sebaliknya Mahesa Jenar merasakan betapa sepi hidupnya sepeninggal gurunya. Tak ada lagi orang yang akan menjadi tempat mengadu dan mohon pertolongan. Meskipun ia merasa bahwa sebagai seorang laki-laki dirinyalah tempat untuk mengadu. Serta pada dirinya itu pulalah kepercayaan yang terakhir harus dilandaskan.

MENGHADAPI kenyataan itu, dirasakan betapa pahitnya hidup Mahesa Jenar sebatang kara, diantara manusia-manusia perkasa yang dalam setiap saat memungkinkan adanya bentrokan-bentrokan yang hanya dapat diselesaikan dengan mengadu kesaktian. Tetapi hati Mahesa Jenar agak terhibur juga melihat adanya orang-orang tua seperti Ki Ageng Pandan Alas, Ki Ageng Sora Dipayana dan Titis Anganten yang sudah pernah dirasakan betapa persahabatan mereka dengan gurunya melimpah pula kepada dirinya. Sesaat kemudian terdengarlah Ki Ageng Pandan Alas berkata,
“Gajah Sora dan Mahesa Jenar…, aku sependapat dengan Kakang Sora Dipayana. Sebab berhadapan dengan orang-orang tua macam Sima Rodra, Pasingsingan, Bugel Kaliki, harus orang-orang tua pulalah yang melayaninya. Meskipun bagi kami sebenarnya lebih senang minum-minum sambil mengunyah jadah jenang alot. Bukan begitu, Kakang?”
Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum, lalu jawabnya,
“Begitulah kira-kira. Dan sekarang, marilah kita mulai kehidupan kita seperti beberapa puluh tahun yang lalu. Seperti seekor burung yang lepas di udara, hinggap dari satu dahan ke lain dahan, dari satu cabang ke lain cabang.”
“Tetapi aku tak akan sebebas dahulu,” sahut Ki Ageng Pandan Alas.
“Sebab aku sekarang mempunyai seorang murid. Akan aku bawa muridku itu untuk menambah pengalamannya.”
“Murid…?” potong Ki Ageng Sora Dipayana.
“Ya, muridku seorang pemuda tampan yang masih seperti batu pecahan,” jawab Pandan Alas,
“dan aku harus mengasahnya sejak gosokan yang pertama. Untunglah bahwa ia memiliki bakat yang baik.”

Setelah mengadakan beberapa persiapan dan pesan-pesan, Ki Ageng Sora Dipayana dan Ki Ageng Pandan Alas segera minta diri untuk memulai penghidupan dalam pengembaraan yang kedua sejak mereka menghentikan pengembaraan mereka pada masa muda mereka. Mereka tidak perlu lagi menunggu sampai esok atau lusa. Sebab bagi seorang pengembara, siang atau malam sama saja. Gajah Sora suami-istri dan Mahesa Jenar melepas mereka dengan perasaan yang berat dan terharu. Orang-orang tua yang seharusnya tinggal menikmati hasil lelah masa mudanya, masih harus bekerja keras untuk kesejahteraan umat manusia.
“Tak ada yang membatasi umur kita untuk berjuang,” kata Ki Ageng Sora Dipayana ketika ia melangkah keluar gerbang halaman. Yang disambung oleh Ki Ageng Pandan Alas,
“He, Mahesa Jenar, adakah kau dahulu memenuhi permintaanku? Menunggu sampai jagungku tua? Kalau begitu aku akan singgah dahulu ke sana untuk menikmati dua tiga buah jagung bakar.”
Belum lagi Mahesa Jenar menjawab, seperti terbang Ki Ageng Pandan Alas segera lenyap di gelap malam. Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum melihat tingkah laku sahabatnya itu.
“Memang Adi Pandan Alas dalam keadaan yang bagaimanapun juga, tetap saja dapat tertawa. Dengan begitu, rupa-rupanya ia akan panjang umur,” kata Ki Ageng Sora Dipayana.
“Nah Gajah Sora dan Mahesa Jenar, hati-hatilah dengan pekerjaanmu masing-masing. Mudah-mudahan semuanya selamat dan baik. Biarlah aku pergi sekarang,” sambung Ki Ageng kepada Gajah Sora dan Mahesa Jenar.
Gajah Sora dan Mahesa Jenar bersama-sama mengangguk hormat dan mengucapkan selamat jalan. Maka berangkatlah Ki Ageng Sora Dipayana ke arah yang bertentangan dengan Ki Ageng Pandan Alas. Orang tua itu melangkah perlahan-lahan seperti orang yang sedang berjalan-jalan menghirup kesejukan udara malam.

Setelah Ki Ageng Sora Dipayana lenyap dari pandangan mereka, dan tenggelam dalam kehitaman malam, segera Gajah Sora dan Mahesa Jenar masuk kembali ke dalam rumah. Dilihatnya di sana Ki Lemah Telasih telah datang dan telah mencoba mengobati Arya Salaka, Wanamerta, Sawungrana, Penjawi dan orang-orang yang terluka, dengan ramuan dedaunan, dan dengan memijat-mijat berusaha mengembalikan urat-urat yang salah letak. Ki Lemah Telasih tampaknya masih agak lebih muda dari Ki Asem Gede, tetapi tubuhnya jauh lebih besar dan lebih tinggi. Hanya matanya sajalah yang mirip benar dengan Ki Asem Gede, sejuk dan damai. Dengan cekatan ia merawat orang-orang yang terluka itu berganti-ganti, sehingga beberapa saat kemudian semua telah diobatinya dan dibaringkannya di tempat yang tenang.
Nyai Gajah Sora masih saja merenungi putranya yang terbaring di bale-bale tempat tidur ayahnya dengan tanpa bergerak. Sedang di mata Nyi Ageng Gajah Sora itu kadang-kadang masih tampak butiran-butiran air mata yang satu-satu menetes memercikkan kesedihan hatinya. Tetapi karena kepandaian Ki Lemah Telasih, nafas Arya Salaka telah mulai berjalan teratur dan detak jantungnya sudah mulai berjalan wajar.

Gajah Sora dan Mahesa Jenar duduk berdiam diri sebelah-menyebelah dari ruang tidur tempat Arya terbaring. Wajah-wajah mereka tampak suram serta pandangan mereka seakan-akan jauh menembus lantai kelam yang tak dikenal. Suasana menjadi sepi. Di kejauhan terdengar semakin jelas gonggongan anjing-anjing liar bersahut-sahutan, seolah-olah mereka berkata bahwa malam adalah milik mereka. Sepi malam yang mencengkam itu kemudian dipecahkan oleh suara Ki Lemah Telasih.


<<< Bagian 018                                                                                              Bagian 020 >>>

No comments:

Post a Comment