“KENAPA?” tanya Mantingan dan Gajah Alit hampir berbareng.
“Carilah
kawan-kawan kalian,” desak Mahesa Jenar,
“dan cegahlah
kalau mereka benar-benar bertemu dan bertempur seperti kalian tadi. Aku
menunggu kalian di sini”.
Kemudian
terdengar Gajah Alit tertawa riuh.
“Untunglah aku
bertemu Kakang di sini. Melihat gelagatnya pasti Kakang Mahesa Jenar telah
menemukan tempat itu”.
“Tepat!” sambung
Mantingan, Aku juga menduga demikian.
Mahesa Jenar
pun kemudian tertawa.
“Mungkin
kalian benar, karena itu kalian harus cepat-cepat menemukan kawan-kawan
kalian”.
“Baiklah,”
jawab mereka berbareng.
Ketika mereka
telah tidak tampak lagi, segera Mahesa Jenar mencari tempat untuk beristirahat.
Direbahkannya dirinya di atas sebuah batu besar, sambil memandang bulan dan
bintang-bintang yang bertebaran di langit. Untuk beberapa lama pikirannya
sempat melayang mondar-mandir dari waktu ke waktu, dari peristiwa yang satu ke
peristiwa yang lain. Menjelang tengah malam, Mahesa Jenar mendengar langkah
orang mendekati tempatnya berbaring. Cepat ia bangkit dan memandang ke arah
suara itu. Tetapi kemudian ia menarik nafas panjang ketika ia melihat bayangan
dua orang mendekatinya, serta keduanya membawa senjata ciri perguruan Ki Ageng
Supit, yaitu trisula. Jelaslah bagi Mahesa Jenar bahwa kedua orang itu pasti
Mantingan dan Wiraraga. Maka demikian kedua orang itu sampai di hadapan Mahesa
Jenar, demikian Mantingan memperkenalkan kakak seperguruannya kepada Mahesa
Jenar dengan sebutan Rangga Tohjaya. Mendengar nama itu segera Wiraraga
membungkuk hormat sambil berkata,
“Berbesarlah
hatiku dapat berkenalan dengan seseorang yang pernah menggemparkan istana,
karena berhasil menggagalkan pencurian pusaka di gedung perbendaharaan. Juga
yang telah banyak menyelamatkan rakyat dari gangguan kejahatan”.
Mendengar
pujian itu Mahesa Jenar tersenyum sambil membungkuk hormat pula.
“Terimakasih
Kakang, tetapi perguruan Kakang adalah perguruan yang terkenal pula. Karena itu
seharusnya akulah yang merasa beruntung berkenalan dengan Kakang”.
Kembali
Wiraraga mengangguk. Wajahnya yang ketua-tuaan itu tampak tersenyum-senyum.
Meskipun umurnya tidak terpaut banyak dari Mantingan, tetapi nampaknya Wiraraga
telah jauh lebih tua. Rambutnya telah mulai ditumbuhi uban. Matanya memancar
lembut, tetapi dalam.
Tubuhnya kekar
meskipun tidak begitu tinggi. Wiraraga memang benar-benar seorang pendiam.
Tidak banyak ia berkata-kata. Ia lebih senang mendengarkan Mantingan berbicara
daripada ia sendiri yang berbicara. Maka karena sifat-sifatnya itulah maka
Wiraraga nampak jauh lebih tua dari umur yang sebenarnya. Tidak lama kemudian,
tampaklah Gajah Alit datang pula bersama-sama dengan Paningron. Bagi Paningron,
kehadiran Mahesa Jenar di situ sangat mengejutkan. Agaknya Gajah Alit belum
memberitahukan lebih dahulu, sehingga suasana kemudian menjadi riuh. Setelah
pertemuan itu menjadi lebih tenang, barulah mereka berbicara tentang
tokoh-tokoh hitam yang akan mengadakan pertemuan pada purnama penuh yang akan
datang, serta tempat pertemuan mereka. Dengan teliti Mahesa Jenar memberikan
gambaran tentang lapangan yang akan dipergunakan, serta memberitahukan bahwa
dalam pertemuan itu akan hadir Pasingsingan dan Sima Rodra. Dua orang angkatan
tua yang setingkat dengan guru-guru mereka. Karena itu mereka harus sangat
berhati-hati. Dalam pertemuan itu mereka memutuskan untuk pada saat itu juga
pergi ke tempat yang akan dipergunakan untuk mengadakan pertemuan itu serta
seterusnya mengatur agar setiap saat tempat itu dapat diawasi bergiliran.
Demikianlah maka segera mereka berlima pergi bersama untuk melihat keadaan
serta kemungkinan-kemungkinan yang akan mereka lakukan. Sejak saat itu,
mulailah rombongan Mahesa Jenar itu mengadakan pengawasan dengan teliti
berganti-ganti. Mereka telah berhasil menemukan tempat yang sangat baik.
TEMPAT itu
agak menjorok ke atas, tetapi ditumbuhi pepohonan yang agak lebat. Dari tempat
itu, mereka akan dapat melihat apa saja yang terjadi di lapangan rumput yang
terbentang di hadapannya. Meskipun pada siang hari, tempat itu akan tetap
merupakan tempat yang tersembunyi. Mereka yang sedang bertugas mengadakan
pengawasan harus memanjat sebuah pohon yang tak begitu tinggi, namun berdaun
rimbun. Sedang yang lain dapat dengan aman beristirahat tidak lebih dari dua
puluh langkah dari tempat itu, sambil menikmati ketupat sambal, bekal yang
dibawa oleh Mantingan atau jadah jenang alot, bekal Gajah Alit. Pada siang hari
itu, Mahesa Jenar dan kawan-kawannya melihat betapa orang-orang Uling Rawa
Pening berusaha keras menyelesaikan pekerjaan mereka, bahkan pada malam harinya
pun pekerja-pekerja itu tetap melakukan tugas mereka sampai barak-barak itu
siap dipergunakan.
Maka pada hari
berikutnya, menjelang purnama penuh, tampaklah di tempat itu
kesibukan-kesibukan yang padat. Uling Putih dan Uling Kuning sendiri datang menjelang
hari sepenggalah. Ketika matahari telah mencapai puncaknya, maka mulailah
penjagaan-penjagaan sekeliling tempat itu semakin ditertibkan. Sri Gunting
sendiri yang memimpinnya. Beberapa orang telah diperintahkan untuk meronda
keliling, serta beberapa orang lagi ditempatkan di tempat-tempat yang dianggap
perlu. Dalam pada itu, Mahesa Jenar dan kawan-kawannya tidak berani lagi
berbuat seenaknya. Sebab setiap saat ada kemungkinan para peronda melintasi
tempat mereka bersembunyi. Karena itu, daripada mereka harus selalu
memperhatikan keadaan di sekeliling mereka, maka mereka lebih menganggap aman
apabila mereka semuanya memanjat pohon. Dengan demikian mereka tidak perlu lagi
bersusah payah menegangkan urat syaraf mereka. Berdasarkan atas pikiran itu,
maka segera mereka berlima memilih tempat mereka masing-masing. Tidak terlalu
dekat satu sama lain, tetapi juga tidak terlalu jauh. Beberapa saat, perasaan
mereka dihinggapi oleh ketegangan yang semakin lama semakin memuncak, karena
mereka harus menunggu suatu peristiwa yang cukup penting. Sedang di bawah
mereka beberapa peronda sudah lebih dari dua kali lewat hilir-mudik. Namun
untunglah bahwa tak seorang pun dari mereka merasa perlu untuk menyelidiki
dahan-dahan kayu di atas mereka.
Ketika
matahari telah condong ke barat, mulailah rombongan yang pertama datang ke
tempat itu. Rombongan yang datang paling awal adalah rombongan dari Gunung
Tidar. Beberapa waktu yang lampau Mahesa Jenar pernah menyaksikan orang-orang
dari golongan hitam ini berkumpul, tetapi agaknya kali ini pertemuan mereka
lebih bersifat resmi. Suami-istri Sima Rodra itu datang bersama beberapa
pengiring, di bawah pimpinan seorang yang bertubuh pendek dengan otot-otot yang
menjorok, membuat garis-garis di wajah kulitnya yang hitam. Dengan demikian
nampak betapa kokohnya ia, bahkan mirip seekor orang hutan. Uling Putih dan
Uling Kuning sendiri datang menyambut rombongan itu, serta langsung dibawa ke
salah satu barak yang terbesar, yang agaknya merupakan ruang pertemuan. Setelah
mereka berbicara beberapa saat, rombongan itu kemudian dipersilahkan memasuki
salah satu barak yang lain, yang rupa-rupanya menjadi tempat penginapan.
Demikian
datanglah berturut-turut rombongan dari hutan Tambakbaya. Lawa Ijo bersama-sama
dengan Wadas Gunung, Carang Lampit, Cemoro Aking, Bagolan dan beberapa orang
lagi. Disusul oleh kedatangan Ki Ageng Lembu Sora beserta para pengiringnya.
Meskipun Mahesa Jenar telah menduga sebelumnya bahwa Lembu Sora pasti akan
hadir juga dalam pertemuan itu, namun hatinya berdebar-debar pula menyaksikan
kedatangannya. Tetapi satu hal yang Mahesa Jenar masih menunggu-nunggu. Yaitu
kehadiran Jaka Soka. Sampai matahari rendah sekali, Ular Laut dari
Nusakambangan itu belum menampakkan diri. Sedangkan Pasingsingan dan Sima Rodra
menurut perhitungan Mahesa Jenar pasti akan muncul ketika pertemuan itu sudah
akan dimulai.
Sesaat
kemudian matahari tenggelam dengan damainya, disusul oleh cahaya purnama penuh
yang memancar dari sebuah bola yang melayang-layang di langit. Pada saat yang
demikian, agaknya pertemuan antara golongan hitam itu sudah akan dimulai.
Beberapa orang telah keluar dari barak-barak mereka, dan berkumpul di pinggir
lapangan rumput itu. Uling Putih dan Uling Kuning untuk penghabisan kali
memeriksa tempat pertemuan itu. Setelah ia merasa bahwa segala sesuatunya tidak
ada kekurangan, maka segera terdengar sebuah kentongan dipukul perlahan-lahan.
Sesaat kemudian muncullah tokoh-tokoh hitam dari barak mereka masing-masing
menuju ke lapangan. Juga Ki Ageng Lembu Sora yang akan mengikuti pertemuan itu.
Tetapi diantara mereka masih belum nampak Jaka Soka, Pasingsingan dan Sima
Rodra.
Uling Putih
sebagai tuan rumah segera mempersilahkan tamu-tamunya di tempat yang telah
direncanakan. Lembu Sora sebagai tamu kehormatan menempati sisi sebelah barat
bersama-sama dengan Uling Rawa Pening. Bagian selatan disediakan untuk
Rombongan dari Gunung Tidar, sedangkan Bagian timur untuk gerombolan Hutan
Tambakbaya. Bagian utara yang disediakan untuk rombongan dari Nusakambangan
masih tampak kosong. Sedang tempat-tempat yang disediakan untuk Pasingsingan
dan Sima Rodra pun masih tampak kosong. Tetapi belum lagi mereka selesai
menempatkan diri, tiba-tiba dari arah utara muncullah satu rombongan, yang di
depan mereka berjalan seorang muda yang berwajah tampan. Ialah Jaka Soka yang
datang sambil tersenyum-senyum, beserta beberapa pengiringnya.
DENGAN
munculnya Jaka Soka, tiba-tiba suasana segera berubah menjadi tegang, meskipun
orang itu sendiri selalu tersenyum-senyum. Apalagi Lembu Sora tiba-tiba tidak
dapat menguasai dirinya. Dengan serta merta ia berdiri sambil mencabut pedang
panjangnya. Tanpa menunggu apapun ia langsung berlari menyerang Jaka Soka yang
baru saja datang. Jaka Soka, ketika melihat serangan itu menjadi terkejut.
Tetapi segera ia menyadari bahwa hal yang demikian memang wajar terjadi, sebab
pasti Lembu Sora masih sakit hati kepadanya, karena ia sama sekali tidak
berusaha untuk mencegah pada saat Mahesa Jenar akan membunuhnya, bahkan agaknya
Jaka Soka pada waktu itu menunjukkan bahwa ia bersenang hati atas peristiwa
itu. Karena itu, Jaka Soka pun segera menyambut serangan Lembu Sora. Dengan
cepatnya, ia memutar tongkatnya, dan sesaat kemudian tangan kanannya telah
memegang sebuah pedang yang lentur, sedang tangan kiri memegang tongkatnya yang
dipergunakannya sebagai perisai.
Pada saat itu
Lembu Sora telah berdiri di hadapan Jaka Soka. Pedangnya yang besar itu terayun
deras mengarah ke leher Jaka Soka. Tetapi ternyata Jaka Soka cukup gesit,
sehingga demikian pedang itu menyambar, Jaka Soka segera merendahkan diri
sambil menjulurkan tangan kanannya untuk menyerang lambung Lembu Sora dengan
pedangnya. Melihat ujung pedang Jaka Soka itu tetap mengejarnya, Lembu Sora
segera meluruskan tangannya pula. Dan karena pedangnya lebih panjang dari
pedang Jaka Soka, maka terpaksa Jaka Soka menarik serangannya. Lembu Sora tidak
mau melepaskan kesempatan itu. Segera pedangnya yang besar serta panjang
melampaui ukuran biasa itu, diputarnya seperti memutar lidi, sehingga
menimbulkan bunyi berdesingan dan angin yang menyambar-nyambar menyertai
putaran pedangnya. Mendapat serangan yang dahsyat itu Jaka Soka terpaksa
menangkis dengan kedua tangannya, dengan pedang lenturnya serta tongkat hitam
yang juga merupakan rangka dari pedangnya. Tetapi ia adalah seorang pemimpin bajak
laut yang terkenal. Karena itu ia segera dapat mencapai keseimbangan. Bahkan
serangannya menjadi semakin berbahaya pula. Sesaat itu, orang-orang hitam yang
menyaksikan gerakan Lembu Sora yang tak mereka duga, menjadi terkejut dan tidak
tahu apa yang harus mereka kerjakan. Baru setelah mereka menyaksikan
perkelahian mati-matian antara keduanya, mereka menjadi sadar atas apa yang
terjadi.
Uling Kuning
yang pernah bertengkar pula dengan Jaka soka, hatinya menjadi terbakar pula.
Hampir saja ia ikut serta menyerang Jaka Soka, kalau sekali lagi kakaknya Uling
Putih tidak memperingatkan.
“Biarkanlah
mereka,” kata Uling Putih.
“Adalah baik
sekali kalau salah seorang, atau kedua-duanya binasa”.
Dengan
pandangan tidak mengerti, Uling Kuning menatap wajah kakaknya. Sehingga dengan
tertawa pendek Uling Putih perlu menjelaskan,
“Aku setuju
dengan pendapat Jaka Soka, bahwa akhirnya kita akan saling berusaha untuk
membinasakan. Kalau salah seorang atau kedua-duanya binasa, bukankah saingan
kita berkurang? Kalau Lembu Sora binasa, Banyubiru akan dengan mudah kita
kuasai. Sedang Pamingit mungkin akan jatuh ke dalam pengaruh Sima Rodra. Tetapi
Sima Rodra itu kelak harus kita binasakan pula, cepat atau lambat, sebelum atau
sesudah Demak sendiri binasa”.
Mendengar
keterangan kakaknya itu, Uling Kuning ikut tertawa pula. Serta tak sengaja ia
memandang Lawa Ijo dan Sima Rodra berganti-ganti. Ternyata mereka sama sekali
tidak beranjak dari tempatnya. Agaknya mereka pun mempunyai perhitungan yang
sama sehingga mereka tidak menganggap perlu untuk melerainya. Sementara itu
pertempuran antara Jaka Soka dan Lembu Sora menjadi semakin dahsyat. Laskar
Lembu Sora yang melihat pemimpinnya bertempur serentak bergerak maju. Tetapi
segera mereka terhenti ketika mereka melihat para pengiring Jaka Soka
menyiapkan panah mereka. Agaknya para bajak laut itu biasa mempergunakan
senjata jarak jauh dalam pekerjaan mereka sehari-hari, bila mereka sedang
merompak dan membajak kapal-kapal yang berlayar di daerah kerja mereka. Tetapi
orang-orang Lembu Sora ternyata memiliki kelicinan seperti pemimpinnya pula.
Begitu mereka tertahan karena ancaman panah, segera mereka bubar berpencaran ke
segala penjuru. Tentu saja hal ini agak menyulitkan orang-orang Jaka Soka.
Namun para bajak laut itu pun terdiri dari orang-orang yang berhati keras.
Ketika mereka merasa bahwa senjata panah mereka kurang berguna, segera mereka
menyiapkan golok-golok mereka. Demikianlah maka suasana menjadi bertambah
tegang. Tidak saja laskar Pamingit dan para pengiring Jaka Soka saja yang
kemudian bersiaga, tetapi juga orang-orang Lawa Ijo, Sima Rodra dan Gerombolan
Uling Rawa Pening segera bersiaga penuh. Sebab tidak mustahil kalau salah satu
pihak akan mengambil kesempatan dalam kekisruhan yang terjadi itu.
TAK seorang
pun dari orang-orang Lembu Sora atau Jaka Soka yang berani memulai sebelum
mereka mendapat perintah dari pemimpin-pemimin mereka. Sedang Lembu Sora maupun
Jaka Soka agaknya ingin menyelesaikan masalah itu seorang diri, tanpa bantuan
orang lain. Sebab dengan demikian akan puaslah hati mereka masing-masing yang
berhasil membinasakan lawannya karena tangan sendiri. Perkelahian antara Jaka
Soka dan Lembu Sora semakin lama makin bertambah dahsyat. Masing-masing
mengeluarkan segala kepandaiannya untuk membinasakan lawannya. Mereka sama
sekali sudah tidak ragu-ragu lagi, seandainya lawan masing-masing terpenggal
lehernya atau tersobek dadanya. Lembu Sora yang kuat dan garang seperti singa
itu menyerang semakin dahsyat dengan pedang yang terayun kian-kemari, sedang
Jaka Soka berkelahi benar-benar seperti seekor ular yang membelit, menjalur dan
mematuk-matuk berbahaya sekali. Semua yang menyaksikan pertempuran itu terpaksa
menahan nafas. Mau tidak mau mereka harus mengagumi keperkasaan kedua orang
yang sedang bertanding. Lembu Sora percaya akan kekuatan tubuhnya melawan Jaka
Soka yang mempunyai cara bertempur yang lemas sekali.
Sesaat
kemudian pertempuran itu sampai ke taraf yang menentukan. Baik Jaka Soka maupun
Lembu Sora telah mengerahkan segenap tenaganya secara berlebih-lebihan,
sehingga dalam waktu yang singkat mereka telah merasa bahwa tenaga mereka
seakan-akan telah terperas habis. Karena itu sebelum mereka jatuh dan tidak
bertenaga lagi, mereka telah sedemikian bernafsu untuk membinasakan lawannya.
Maka pada saat yang demikian, pada saat semua yang hadir lagi menahan nafas,
tiba-tiba muncullah orang yang selama ini mereka nanti-nantikan, ialah
Pasingsingan dan Sima Rodra. Melihat Lembu Sora dan Jaka Soka sedang dengan
dahsyatnya mempertaruhkan nyawanya, Pasingsingan dan Sima Rodra mengernyitkan
alisnya. Tiba-tiba hampir tak diketahui apa yang sudah dilakukan oleh
Pasingsingan, Jaka Soka dan Lembu Sora terpental bersama-sama beberapa langkah,
dan kemudian mereka jatuh bergulingan. Ketika mereka bangun, mata mereka
menunjukkan kemarahan yang luar biasa. Tetapi ketika mereka melihat
Pasingsingan telah berdiri diantara mereka, wajah mereka yang merah itu segera
menjadi pucat dan ketakutan.
“Apa yang
telah kalian lakukan?” bentak Pasingsingan.
Lembu Sora dan
Jaka Soka sama sekali tidak menjawab. Dan karena mereka tidak menjawab,
Pasingsingan segera memanggil Lawa Ijo, dan bertanya kepadanya,
“Kenapa mereka
berkelahi?”
Dengan singkat
Lawa Ijo menceriterakan apa yang telah terjadi, pertentangan antara Jaka Soka
dan Lembu Sora pada saat mereka sedang mencegat pasukan-pasukan dari Demak
beberapa waktu berselang. Mendengar ceritera Lawa Ijo, sekali lagi Pasingsingan
menyernyitkan alisnya, kemudian katanya,
“Kenapa kalian
diam saja melihat perkelahian itu?”
Lawa Ijo,
Sepasang Uling Rawa Pening, dan Sima Rodra terkejut mendengar pertanyaan itu,
sehingga tak seorang pun yang dapat menjawabnya.
“Kalian tak
usah berbohong, sebab kalian akan bersyukur kalau salah seorang sekutu kalian
atau kedua-duanya binasa,” lanjut Pasingsingan.
Yang mendengar
kata-kata Pasingsingan itu semakin diam, sebab Pasingsingan langsung dapat
menebak isi hati mereka. Kemudian Pasingsingan menoleh kepada Jaka Soka dan
Lembu Sora.
“Kalian telah
merusak suasana malam purnama ini,” katanya.
Lembu Sora dan
Jaka Soka tidak berkata sepatah pun. Mereka menundukkan kepala mereka
dalam-dalam.
“Kembalilah ke
tempat kalian masing-masing,” perintah Pasingsingan.
Mendengar
perintah itu segera Lembu Sora berjalan menuju ke tempatnya semula. Sedang para
pengiringnya kemudian juga pergi ke tempat masing-masing.
Sementara itu
Lawa Ijo, Sima Rodra muda telah mengambil tempatnya pula, sedang sepadang Uling
Rawa Pening sibuk mempersilahkan Jaka Soka untuk menempatkan diri beserta para
pengirinya di sisi utara. Adapun Pasingsingan kemudian dipersilahkan duduk
bersama-sama dengan Sima Rodra tua di sisi sebelah barat, di samping tempat
duduk Uling Rawa Pening. Setelah suasana menjadi tenang kembali, serta para
peserta pertemuan itu telah duduk di tikar pandan di sisi-sisi yang telah
ditentukan, berkatalah Pasingsingan dengan nyaringnya,
“Kalian, orang
yang disebut golongan hitam, tetapi yang sebenarnya bercita-cita luhur seperti
lazimnya manusia yang selalu ingin mencapai tingkatan tertinggi dalam
kehidupan, bersyukurlah di dalam hati kalian bahwa pada malam hari ini kalian
dapat berkumpul bersama-sama. Tetapi kalian pasti tak akan dapat berbuat
sesuatu, sebab tidak ada diantara kalian yang pantas menjadi pemimpin diantara
kita. Terbukti bahwa tidak seorang pun diantara kalian yang berhasil membawa
keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten itu kemari”.
Pasingsingan
diam sebentar. Pandangannya beredar dari setiap wajah yang berada di sekitar
lapangan kecil itu. Sejenak kemudian ia melanjutkan,
“Kalau kalian
ingin mendapatkan tingkatan itu dengan mengadu kepandaian, maka cara itu pun
tidak akan menyelesaikan masalahnya. Sebab suatu pertarungan diantara kalian
dalam saat ini pasti hanya akan memakan waktu berlarut-larut. Coba lihat apa
yang dilakukan oleh Jaka Soka dengan Ki Ageng Lembu Sora. Andaikata mereka
dibiarkan bertempur terus pasti mereka akan mati kelelahan kedua-duanya,
bersama-sama, atau kalau mereka menghemat tenaga mereka, pertempuran semacam
itu akan dapat berlangsung berhari-hari”.
Kembali
Pasingsingan diam sejenak, lalu ia melanjutkan,
“Yang penting
sekarang kesatuan diantara kita masih kita perlukan. Marilah kita ubah
persetujuan kita, dengan mengadakan persetujuan baru. Barang siapa yang
terdahulu menemukan Keris Nagasasra dan Sabuk Inten, dialah yang segera diumumkan
dan kita angkat menjadi pemimpin kita, dan kita dukung perjuangannya melawan
pemerintah Demak”.
SUASANA
kemudian menjadi hening sepi. Tetapi dalam pada itu degup jantung Mahesa Jenar
serta kawan-kawannya bertambah cepat. Apalagi Mahesa Jenar, Gajah Alit dan
Paningron yang datang sebagai prajurit-prajurit Demak. Tetapi bagaimanapun
mereka harus menahan diri, sebab di hadapan mereka berkumpul tokoh-tokoh hitam
yang kuat, ditambah lagi dengan Pasingsingan dan Sima Rodra yang pernah mereka
dengar namanya. Tetapi lebih terkejut lagi mereka berlima ketika Pasingsingan
kemudian melanjutkan, “Sedangkan sekarang kalian mempunyai pekerjaan yang lebih
penting. Pertemuan ini dapat kalian lanjutkan nanti setelah pekerjaan kita
selesai. Nanti kita dapat mengatur siasat, menentukan sikap dan sebagainya,
setelah orang-orang lain yang tidak kita undang tidak turut serta mendengarkan
pembicaraan kita”.
Yang mendengar
kata-kata Pasingsingan itu menjadi sibuk berpikir serta menduga-duga. Demikian
pula Mahesa Jenar dan kawan-kawannya yang dengan lamat-lamat dapat mendengarkan
setiap pembicaraan mereka, menjadi sibuk berpikir pula, sampai Pasingsingan
berkata lebih lanjut,
“Kalian
ternyata terlalu sibuk memikirkan bagaimana cara kalian untuk membinasakan
kawan sendiri daripada berhati-hati menghadapi lawan”.
Orang-orang
golongan hitam itu menjadi bertambah bingung, sedang Mahesa Jenar dan
kawan-kawannya, jantungnya bertambah cepat bergetar. Apakah kehadiran mereka
telah diketahui oleh Pasingsingan? Melihat kebingungan orang-orang yang
berkumpul di sisi-sisi lapangan itu, terdengar Sima Rodra tua tertawa pendek.
“Apakah yang
akan kalian banggakan untuk dapat menemukan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten
yang tidak tentu di mana sekarang berada. Apakah benar-benar telah hilang dari
Banyubiru atau hanya disembunyikan saja oleh si Gajah Sora atau si tua bangka
Sora Dipayana, ayah Lembu Sora itu. Sedangkan apa yang ada di hadapan hidung
kalian saja tidak kalian ketahui,” katanya.
Perasaan
mereka yang mendengarkan kata-kata itu menjadi semakin kisruh. Melihat keadaan
itu agaknya Pasingsingan tidak sabar lagi.
“Berdirilah
kalian dan berjalanlah kalian ke arah tenggara. Lihatlah setiap pohon yang
tumbuh di sana, kalian akan menemukan orang yang telah kalian sangka mati
terguling ke dalam jurang beserta empat orang kawannya,” katanya keras-keras.
Tampaklah
betapa terkejutnya tokoh-tokoh hitam yang sedang berkumpul itu. Tetapi tidak
kurang pula terkejutnya Mahesa Jenar dengan kawan-kawannya. Ternyata kehadiran
mereka telah diketahui oleh Pasingsingan dan Sima Rodra. Bagaimanapun mereka
terpaksa mengakui betapa tinggi ilmu kedua orang dari angkatan tua itu.
Di samping
itu, kata-kata Pasingsingan merupakan suatu peringatan bagi Mahesa Jenar
beserta kawan-kawannya, untuk tidak mempunyai pilihan selain berjuang
mati-matian untuk mempertahankan hidup masing-masing, meskipun mereka sadar
bahwa seandainya Pasingsingan dan Sima Rodra ikut campur maka tak ada jalan
untuk melepaskan diri dari maut. Meskipun demikian, kemungkinan-kemungkinan itu
memang sudah terpikirkan sejak mereka berangkat. Karena itu, satu-satunya jalan
adalah mencari korban sebanyak-banyaknya sebelum dirinya binasa. Karena itu
sebelum mereka terkunci di atas pohon, maka segera dengan cepat Mahesa Jenar
turun diikuti oleh kawan-kawannya. Demikian mereka sampai di atas tanah, segera
mereka menyiapkan senjata masing-masing. Gajah Alit segera menimbang-nimbang
bola besinya yang bertangkai rantai, Paningron bersenjata sebuah tombak yang
berkait kecil, sedang Mantingan dan Wiraraga tampak menggosok-gosok trisula
masing-masing, seolah-olah sedang membesarkan hati senjata-senjata itu. Hanya
Mahesa Jenar sendirilah yang tidak bersenjata, tetapi di sisi telapak tangannya
tersimpan senjata yang dahsyat, yaitu Aji Sasra Birawa. Sementara itu,
tokoh-tokoh hitam yang terdiri dari tujuh orang, Sima Rodra muda suami-istri,
kakak-beradik Uling, Lawa Ijo, Jaka Soka dan Lembu Sora segera berloncatan
berlari-lari ke arah yang ditunjukkan oleh Pasingsingan.
Ketika
tokoh-tokoh hitam itu sedang mendekati Mahesa Jenar dengan kawan-kawannya,
terdengarlah Sima Rodra berteriak dengan suaranya yang gemetar,
“He, kalian
laskar yang mengikuti pemimpin-pemimpin kalian kemarin. Janganlah kalian
menjadi penonton saja. Kepunglah orang-orang yang telah memberanikan diri
bertindak sombong dan merendahkan kita sekalian”.
Mendengar
perintah Sima Rodra tua, segera laskar-laskar golongan hitam itu bubar
berlari-larian memencar ke segenap arah untuk mengepung Mahesa Jenar dan
kawan-kawannya. Gajah Alit yang merasa bahwa senjatanya kurang menguntungkan
bila dipergunakan di tempat yang berpohon-pohon, segera berkata,
“Kakang Mahesa
Jenar, aku kira lebih baik aku menyongsong mereka di tempat terbuka supaya
rantaiku tidak melilit-lilit pepohonan”.
Belum lagi
Mahesa Jenar menjawab, Gajah Alit telah menghambur lari seperti sebuah batu
yang menggelinding cepat sekali. Mahesa Jenar beserta kawan-kawannya yang lain,
agaknya tidak tega melepaskan Gajah Alit menyongsong seorang diri. Karena itu,
ia segera menyusulnya, menyongsong lawan-lawan mereka di tempat yang terbuka.
Yang mula-mula sekali sampai adalah Lawa Ijo. Hatinya yang panas melebihi bara
itu tidak dapat dikendalikan lagi. Dendamnya kepada Mahesa Jenar
bertimbun-timbun sampai menyentuh langit. Tetapi di antara gerumbul di tepi
lapangan itu yang muncul pertama-tama adalah Gajah Alit. Tanpa menanyakan
apa-apa lagi, Gajah Alit langsung menyerangnya. Lawa Ijo terpaksa membatalkan
maksudnya untuk mencari Mahesa Jenar, karena ia harus melayani Gajah Alit yang
menilik geraknya, ternyata sangat berbahaya.
LAWA IJO tidak
berani menganggap enteng kepada lawannya yang gemuk pendek hampir bulat itu.
Apalagi ketika Lawa Ijo mendengar desing bola besi yang berputar-putar
mengerikan melibat tubuhnya. Cepat-cepat ia meloncat mundur dan cepat ia
berdiri di atas tanah, kedua tangannya telah memegang pisau belati panjangnya.
Dengan senjata-senjata itulah ia bertempur melawan Gajah Alit. Yang menyusul di
belakang Lawa Ijo adalah Sepasang Uling dari Rawa Pening. Sambil memutar-mutar
cemetinya, mereka menyerang dengan ganas sekali. Tetapi segera mereka terhenti
ketika Mantingan dan Wiraraga menghadangnya. Agaknya sepasang Uling itu sudah
menjadi sedemikian marahnya sehingga langsung mereka menghantam Wiraraga dan
Mantingan, dua orang yang kini tidak dapat direndahkan. Mereka telah dibekali
dengan sebuah ilmu yang sukar tandingannya, yaitu Pacar Wutah. Melihat sepasang
Uling itu menyerang berpasangan, segera Wiraraga dan Mantinganpun melawan nya
dengan berpasangan pula. Paningron agaknya lebih suka melawan seorang yang
bertubuh besar dan tinggi serta berkumis dan berjanggut lebat. Ialah Sima Rodra
Muda dari Gunung Tidar.
Yang datang
terakhir adalah Lembu Sora dan Jaka Soka, yang sudah hampir kehabisan tenaga
setelah mereka bertempur sendiri, beserta isteri Sima Rodra. Karena semuanya
telah mempunyai lawannya masing-masing, maka Mahesa Jenar mau tidak mau harus
bertempur melawan ketiga orang itu untuk mencegah bantuan mereka kepada
tokoh-tokoh yang sedang mengadu tenaga. Adalah suatu keuntungan besar bahwa
Lembu Sora dan Jaka Soka baru saja bertempur mati-matian sehingga hampir tiga
perempat bagian tenaganya telah terperas habis. Juga karena pertentangan
diantara mereka itu pula, maka pasangan mereka tidak begitu tertib sehingga
Mahesa Jenar tidak begitu banyak mengalami kesulitan untuk melawan mereka
bertiga. Sejenak kemudian terjadilah lingkaran-lingkaran pertempuran yang hebat
di tepi lapangan itu. Lawa Ijo dengan kedua pisau di tangannya menyerang
bertubi-tubi dengan marahnya. Ia bermaksud untuk membinasakan Gajah Alit
secepat-cepatnya supaya segera ia dapat melawan Mahesa Jenar. Di hadapan
gurunya, Lawa Ijo menjadi bertambah garang, sebab ia tidak perlu lagi takut
terhadap aji Sasra Birawa. Karena itu gerakannya menjadi bertambah sengit.
Tetapi Gajah Alit adalah perwira dari pasukan Nara Manggala, pasukan pengawal
raja. Karena itu kepandaiannya hampir mumpuni, dan sama sekali tidak berada di
bawah Lawa Ijo. Apalagi tangan yang pendek-pendek itu diperpanjang dengan
rantainya yang berkepala bola besi, yang seakan-akan bola besi itu mempunyai
mata, sehingga seolah-olah selalu mengejar kepala Lawa Ijo ke mana kepala itu
disingkirkan. Dengan demikian untuk sementara Lawa Ijo harus melupakan Mahesa
Jenar, sebab orang yang dihadapi itu pun merupakan seorang yang perkasa.
Di bagian
lain, Uling Putih dan Uling Kuning bertempur berpasangan melawan Wiraraga dan
Mantingan yang bertempur berpasangan pula. Di bawah cahaya purnama penuh,
perkelahian itu tampak betapa berbahayanya apabila salah seorang menjadi lengah
sedikit saja. Mereka berloncatan, sambar-menyambar dengan hebatnya. Sepasang
cemeti di tangan kedua Uling itu berputar-putar dan terayun-ayun ke segenap
penjuru, seolah-olah menjadi gumpalan-gumpalan asap yang melibat isi-mengisi
satu sama lain. Tetapi sementara itu dua Trisula di tangan Wiraraga dan
Mantinganpun bergerak berkilat-kilat memantulkan cahaya bulan. Ujungnya yang
bermata masing-masing 3 buah itu seakan-akan berubah menjadi ratusan bahkan
ribuan, yang oleh kedahsyatan ilmu Pacar Wutah menjadi benar-benar seperti
genggaman demi genggaman bulan pacar yang ditebarkan, sehingga sangat sulit
untuk menghindarinya. Paningron mempunyai cara sendiri dalam pertempurannya
melawan Sima Rodra muda yang bersenjatakan pusakanya, sebuah tombak pendek yang
dinamainya Kala Tadah. Ia tidak begitu banyak bergerak. Di atas kedua kakinya,
ia berdiri teguh, sedang tombak berkaitnya tergenggam di tangannya. Ia hanya
berkisar setapak demi setapak menghadapi lawannya yang bertubuh tinggi besar
itu. Dan apabila serangan datang, tangannyalah yang bergerak tangkas sekali.
Tetapi meskipun demikian, apabila tampak padanya kesempatan, seperti kilat ia
meloncat dan menyerang dengan garangnya. Tetapi Sima Rodra pun adalah seorang
yang cukup berpengalaman, sehingga segera ia menyesuaikan diri dengan lawannya.
Ia tidak berani banyak membuang tenaga yang tidak perlu, sebab dengan demikian,
lawannya akan dapat membinasakan apabila tenaganya sudah separoh habis.
Sedangkan
Mahesa Jenar yang menghadapi tiga orang sekaligus, bertempur seperti banteng
terluka. Ia masih mencoba mengalahkan lawannya tanpa Aji Sasra Birawa yang
mengerikan itu. Sebab gurunya selalu berpesan kepadanya bahwa apabila nyawanya
tidak terancam benar-benar, sebaiknya ia tidak mempergunakan Sasra Birawa itu.
Tetapi kemudian ternyata bahwa ketiga lawannya meskipun sudah tidak mempunyai
tenaga penuh, namun akhirnya, karena mereka bersama-sama harus mempertahankan
jiwa mereka, gerak mereka pun menjadi garang. Agaknya Lembu Sora dan Jaka Soka
untuk sesaat dapat melupakan pertentangan mereka, ditambah dengan istri Sima
Rodra yang bertempur dengan jari-jarinya yang mengembang dan di ujung-ujung
jari itu tampak kuku-kukunya yang panjang dan bersalutkan logam yang pasti
beracun. Itulah senjatanya yang ditakuti lawan-lawannya. Lembu Sora dengan
pedang panjangnya dan Jaka Soka dengan pedang lenturnya merupakan bahaya-bahaya
yang setiap saat dapat mencabut jiwa Mahesa Jenar. Sementara itu laskar
golongan hitam dari tingkat yang paling bawah sampai pada orang-orang seperti
Wadas Gunung, Sri Gunting, Sakayon, Carang Lampit dan sebagainya menyaksikan
pertempuran itu dengan mata tanpa berkedip. 12 Orang yang perkasa sedang
bergulat mati-matian antara hidup dan mati. Diantara kilatan senjata serta
sambaran-sambaran angin yang ditimbulkan oleh pertempuran itu, berkali kali
terdengar dentangan senjata serta teriakan-teriakan nyaring, yang bahkan kadang
menimbulkan percikan bunga api memancar-mancar.
PASINGSINGAN
dan Sima Rodra pun mengikuti pertempuran itu dengan saksama. Tetapi sampai sekian
jauh ia masih belum memerintahkan kepada laskar-laskar golongan hitam itu untuk
turut serta dalam pertempuran itu, sebab hal itu belum pasti akan
menguntungkan, malahan mungkin akan merepotkan saja. Dalam ketegangan yang
semakin lama semakin memuncak itu, seolah-olah waktu berjalan lambat sekali.
Agaknya bulan pun ingin menyaksikan pertempuran yang hebat itu sehingga
perjalanannya agak terganggu. Tetapi sesaat kemudian Sima Rodra dan
Pasingsingan menjadi agak cemas melihat jalannya pertempuran. Sudah sampai
sekian lama, namun orang-orangnya masih belum ada tanda-tanda dapat menguasai
lawannya. Apalagi ketika tiba-tiba mereka menyaksikan Mahesa Jenar, yang
ternyata akhirnya merasa terdesak, telah mengambil sikap. Kakinya diangkat dan
ditekuk ke depan, satu tangannya menyilang dada sedang tangannya yang lain
diangkat tinggi-tinggi. Segera pula ia mengatur pernafasannya dan memusatkan
tenaganya pada sisi telapak tangannya. Itu adalah pertanda bahwa Mahesa Jenar
telah memutuskan untuk mempergunakan senjatanya yang tersimpan di dalam sisi
telapak tangannya, Sasra Birawa.
Lembu Sora,
Jaka Soka dan Istri Sima Rodra, yang menyaksikan sikap Mahesa Jenar itu segera
berloncatan mundur dan berpencaran. Mereka sadar bahwa apabila salah seorang
dari mereka sampai tersentuh tubuhnya maka mereka tidak dapat mengharapkan
untuk dapat menyaksikan terbitnya matahari fajar besok. Karena itu mereka
menjadi semakin hati-hati, dan tidak berani menyerang sekenanya, meskipun
mereka masing-masing bersenjata. Melihat keadaan itu, Sima Rodra ternyata tidak
mau membiarkan tokoh-tokoh hitam itu kehilangan hati. Maka segera terdengar ia
mengaum hebat. Akibatnyapun hebat sekali. Suara itu rasanya seperti mengguncang
isi dada. Pasingsingan yang melihat Sima Rodra tua itu sudah akan bertindak, ia
pun tidak tinggal diam. Meskipun bukanlah sewajarnya kalau orang-orang angkatan
tua itu harus melawan Mahesa Jenar, namun bagi mereka tidak akan ada banyak
bedanya, apakah Lawa Ijo dan kawan-kawannya, apakah Pasingsingan dan Sima Rodra
yang membinasakan, meskipun mula-mula ia mengharap bahwa anak muridnya beserta
kawan-kawannya dapat menyelesaikan masalah mereka sendiri untuk tidak
membawa-bawa namanya. Tetapi sekarang, terpaksa ia terjun ke dalam pertempuran
itu.
Tetapi baru
saja ia meloncat, terdengarlah Sima Rodra berkata,
”Pasingsingan,
kau jangan memperkecil perananku dalam pembunuhan yang akan aku lakukan. Kau
tinggal pilih, aku atau kau yang membunuh kelima ekor kelinci yang sombong
itu”.
Mendengar
teriakan Sima Rodra itu Pasingsingan tertawa.
“Apakah
bedanya? Kau yang membunuh kelima-limanya, atau aku, atau kita berdua?”
jawabnya.
Terdengarlah
Sima Rodra menggeram. Kemudian katanya,
“Baiklah….
Marilah kita berlomba. Siapakah diantara kita orang tua-tua ini yang masih
cukup kuat bergerak. Kau atau aku yang terbanyak dapat membunuh kelima orang
yang sudah jemu memandang purnama malam ini”.
Kembali
terdengar Pasingsingan tertawa. Suara tertawanya seolah-olah menyusup ke dalam
tulang dan daging, sehingga menimbulkan perasaan nyeri dan pedih. Ketika suara
tertawanya itu lenyap, terdengarlah suara suitan nyaring diikuti oleh suatu
auman dahsyat. Dan seperti kilat berloncatanlah Pasingsingan dan Sima Rodra
memasuki arena. Mahesa Jenar yang masih menunggu kesempatan beserta keempat
kawannya mendengar seluruh percakapan itu. Mau tidak mau hati mereka tergetar
hebat.
Ternyata
sekarang Pasingsingan dan Sima Rodra akan ikut serta dalam pertempuran itu.
Mereka sama sekali bukanlah orang-orang yang takut mati, tetapi sebentar lagi
mereka harus binasa sebelum dapat berbuat sesuatu atas tokoh-tokoh hitam itu.
Itulah yang menggelisahkan hati mereka. Tetapi kenyataan itu sama sekali tak
dapat diingkari lagi. Segera darah mereka bergolak ketika mereka mendengar
suitan Pasingsingan yang disusul dengan auman dahsyat Sima Rodra. Apalagi
ketika dengan aba-aba itu, tokoh-tokoh hitam yang sedang bertempur itu segera
berloncatan menjauhkan diri dari lawan masing-masing, agar tidak mengganggu
kedua tokoh angkatan tua yang akan terjun dalam pertempuran. Mahesa Jenar beserta
kawan-kawannya sadar bahwa saat terakhir telah hampir tiba. Ketika lawan-lawan
mereka berloncatan pergi, untuk sesaat mereka tertegun, tetapi sesaat kemudian
tanpa sesuatu tanda apapun, agaknya mereka mempunyai persamaan perhitungan,
sehingga seolah-olah digerakkan oleh satu tenaga, mereka berloncatan saling
mendekat, untuk dapat bersama-sama melawan kedua orang tokoh dari angkatan tua
itu.
Melihat mereka
berkumpul dalam satu lingkaran, terdengarlah Pasingsingan dan Sima Rodra
tertawa hampir berbareng.
“Suatu
kesetiakawanan yang mengagumkan. Meskipun kalian berdatangan dari perguruan
yang berbeda-beda, tetapi karena nasib kalian telah akan kami tentukan, maka
kalian dapat bekerja sama dengan rapi sekali. Nah sekarang, lawanlah kami
berdua yang tak bersenjata ini dengan segenap kemampuan kalian, sebelum kalian
tak sempat menikmati lezatnya madu,” kata Pasingsingan.
Kata-kata itu
hebat akibatnya. Bunyinya terdengar lebih dahsyat dari seribu guruh yang
meledak bersama-sama. Tetapi justru karena itu maka setiap hati dari kelima
orang itu menjadi pasrah pada garis hidupnya masing-masing. Dengan demikian
maka lenyaplah segala perasaan gentar dan cemas. Yang ada dalam dada mereka
hanyalah satu kepercayaan bahwa pintu sorga akan terbuka bagi mereka yang gugur
dalam menunaikan tugas mereka untuk membela kebenaran dan kebajikan. Karena itu
mereka menjadi lebih mantap menggenggam senjata masing-masing yang siap
diayunkan. Sesaat kemudian tampillah Pasingsingan dan Sima Rodra bersama-sama,
berbareng dengan bergeraknya setiap senjata kawan-kawan Mahesa Jenar. Segera
berkobarlah suatu pertempuran yang dahsyat. Kedua orang dari angkatan tua itu
memang ternyata memiliki ketinggian ilmu yang luar biasa, sehingga dengan
tertawa-tawa saja Pasingsingan dan Sima Rodra dengan senangnya mempermainkan
korbannya. Dalam pada itu Mahesa Jenar dan kawan-kawannya telah bertempur
mati-matian untuk mempertahankan diri. Mereka sama sekali tidak mempunyai
kesempatan untuk menyerang. Pasingsingan dan Sima Rodra yang hanya dua orang
itu seolah-olah seperti angin ribut yang melanda dari segenap penjuru, sedang
suara tertawa mereka mengumandang dari segala arah. Semakin lama Mahesa Jenar
dan kawan-kawannya menjadi semakin bingung. Mereka sudah tidak tahu lagi di
mana lawan-lawan mereka berada. Tetapi tahu-tahu tubuh mereka telah tersentuh
oleh tangan-tangan yang panasnya melampaui panas api.
Mereka sadar
bahwa Pasingsingan dan Sima Rodra sampai saat itu baru sampai pada taraf
menggoda saja, serta menimbulkan kebingungan dan kesakitan yang semakin lama
semakin merata di segenap tubuh Mahesa Jenar dan kawan-kawannya. Sehingga
akhirnya Mahesa Jenar dan kawan-kawannya itu bertempur seperti orang gila yang
mengayun-ayunkan senjata tanpa tujuan, bahkan hampir-hampir saja mereka telah
mengenai satu sama lain. Sementara itu suara tertawa Pasingsingan dan Sima
Rodra semakin lama menjadi semakin mengerikan dan menggoncang-goncang dada.
Mahesa Jenar dan kawan-kawannya semakin lama menjadi semakin tak terkendalikan.
Mereka bergerak berputaran tanpa tujuan dan hampir diluar kesadaran mereka
masing-masing. Sesaat kemudian agaknya Pasingsingan dan Sima Rodra telah jemu
dengan permainan mereka. Karena itu segera terdengar Pasingsingan berkata,
“Sima Rodra, agaknya kelinci-kelinci itu sudah hampir gila. Apakah kita perlu
membunuhnya ataukah kita buat saja mereka benar-benar gila? Buat apa kita
menonton orang-orang gila berkeliaran di daerah ini?”
“Baiklah, kita
bunuh saja mereka dengan senjata mereka sendiri,” jawab Sima Rodra.
Mendengar
percakapan Pasingsingan dengan Sima Rodra itu, Mahesa Jenar dengan keempat
kawannya meremang seluruh tubuhnya. Tetapi juga karena itu darah mereka
meluap-luap karena marah. Dengan sisa-sisa kesadaran yang masih ada, mereka
pasrahkan jiwa dan raga kepada kekuasaan yang Tinggi. Dan sesudah itu mereka
bersiap untuk menghadapi saat-saat terakhir.
Mahesa Jenar
serta keempat kawannya itu masih sempat menyaksikan di bawah remang-remang
cahaya purnama yang disaput mega, bayangan Pasingsingan dan Sima Rodra
menyambar ke arah mereka, dan sejenak kemudian mereka melihat kedua orang itu
berdiri sambil tertawa nyaring beberapa langkah di hadapan mereka dengan sebuah
tombak berkait di tangan Pasingsingan serta sebuah trisula di tangan Sima
Rodra.
“Nah…” kata
Pasingsingan,
“Jangan
salahkan aku kalau kalian mati karena senjata kawan sendiri. Yang mula-mula
harus membuat perhitungan adalah Mahesa Jenar. Kau telah membunuh Watu Gunung,
melukai Lawa Ijo, dan dengan Gajah Sora kalian menyerang aku di Banyubiru.
Kaulah orang yang pertama-tama harus binasa. Setelah itu sebenarnya bagiku
sudah tidak ada soal lagi, apakah aku atau Sima Rodra yang akan membelah perut
kalian”.
Mahesa Jenar
mendengarkan kata-kata itu dengan dada yang bergetar. Bukan oleh ketakutan
bahwa maut akan melibatnya, tetapi karena ia harus meninggalkan tugas-tugas
sucinya sebelum seujung kuku dapat diselesaikan. Namun bagaimanapun ia adalah
seorang jantan, karena itu ia tidak akan ada artinya. Maka segera ia pun
mempersiapkan dirinya dengan apa yang ada padanya.
Mendengar
kata-kata Pasingsingan itu, agaknya keempat kawan Mahesa Jenar tidak akan
membiarkan Mahesa Jenar menjadi korban yang pertama-tama. Karena itu seperti
orang yang berebutan, mereka tiba-tiba berloncatan mengelilinginya. Mahesa
Jenar menjadi terharu melihat kesetiakawanan yang sedemikian tinggi. Meskipun
Paningron dan Wiraraga kini sudah tidak bersenjata lagi, tetapi mereka sama
sekali tidak gentar menghadapi kemungkinan yang akan datang. Melihat kejadian
itu Pasingsingan menjadi marah.
“Ke tepilah
kalian yang tidak berkepentingan. Atau kalian semuanya akan bersama-sama
binasa,” katanya.
Tak seorangpun
menjawab, tetapi tak seorangpun beranjak dari tempatnya. Hal itu menjadikan
Pasingsingan semakin marah. Tetapi belum lagi ia berkata sesuatu, Sima Rodra
yang agaknya tidak sabar lagi, menggeram.
“Mereka
ternyata benar-benar telah gila dan tidak mampu berkata-kata. Karena itu buat
apa kita memilih korban. Marilah bersama-sama kita binasakan mereka sekaligus”.
Pasingsingan
tidak menjawab. Tetapi segera mereka berdua bergerak dan seperti petir mereka
menyambar bersama-sama. Tetapi sementara itu Mahesa Jenar dan kawan-kawannya
tidak berdiam diri saja sambil menunggu dada mereka tertembus senjata. Mereka
pun segera berusaha untuk melawan sekuat-kuat tenaga mereka. Maka segera
terjadilah sekali lagi pertempuran yang maha dahsyat. Tetapi adalah di luar
dugaan mereka semuanya, bahwa tiba-tiba saja Mahesa Jenar dapat memberikan
perlawanan yang mengerikan. Dengan sebatang dahan kayu ia menyambar, melompat,
menangkis dan menyerang dengan dahsyatnya hampir di luar kemampuan manusia.
MAHESA JENAR
seolah-olah berada di segala tempat dan dapat menggagalkan segala serangan
Pasingsingan dan Sima Rodra, walaupun tidak diarahkan kepadanya. Sehingga baik
kawan-kawan Mahesa Jenar sendiri maupun Pasingsingan dan Sima Rodra menjadi
terheran-heran. Mantingan, Gajah Alit, Wiraraga dan Paningron sampai-sampai
terpaksa berhenti bertempur karena Mahesa Jenar selalu bergerak dan seolah-olah
melayang-layang di hadapan mereka, pada setiap waktu nyawa mereka terancam,
sehingga di dalam lingkaran pertempuran itu seakan-akan ada beribu-ribu Mahesa
Jenar yang bertempur bersama-sama. Karena itu dada mereka sekarang tergoncang
hebat, tidak karena Pasingsingan dan Sima Rodra, tetapi justru karena Mahesa
Jenar yang berubah menjadi ribuan Mahesa Jenar dengan kesaktiannya yang dapat
menandingi Pasingsingan dan Sima Rodra. Sebaliknya Pasingsingan dan Sima Rodra
menjadi terheran-heran tak keruan. Menghadapi lima orang yang sebenarnya bagi
mereka sama sekali tak berarti itu, tiba-tiba saja menjadi agak kerepotan.
Serangan-serangan
mereka yang seharusnya sudah tidak mungkin dielakkan oleh orang-orang yang
setingkat dengan Mahesa Jenar dan kawan-kawannya itu, tiba-tiba dapat
dimusnahkan hanya oleh sepotong dahan kayu. Karena itu mereka menjadi semakin
marah. Apalagi ketika mereka melihat kelima orang yang melawannya itu bergerak
berputaran melingkar dan melibat satu sama lain dengan gerak yang tak
terduga-duga dan membingungkan. Sebenarnya kawan-kawan Mahesa Jenar itu sama
sekali tidak mampu mengadakan gerakan-gerakan yang sedemikian rumitnya, tetapi
Mahesa Jenar lah yang mendorong mendesak dan kadang-kadang menarik mereka untuk
membuat gerakan-gerakan yang aneh-aneh. Akhirnya Pasingsingan menjadi tidak
sabar lagi, demikian juga Sima Rodra. Segera mereka melemparkan senjata-senjata
rampasan itu, dan tiba-tiba di tangan Pasingsingan telah tergenggam sebilah
pisau belati panjang yang berwarna kuning gemerlapan, sedang di jari-jari Sima
Rodra seolah-olah tumbuhlah kuku-kukunya yang panjang dan bersalut logam.
Agaknya kedua orang itu telah sedemikian marahnya sehingga mereka merasa perlu
mempergunakan senjata-senjata simpanan mereka.
No comments:
Post a Comment