Bagian 093


DENGAN tangkasnya orang itu menghindari serangan Karebet, dan bahkan dengan kecepatan tak terduga orang itu menggeliat dan kaki kirinya berputar setengah lingkaran menyambar lambungnya. Karebet sama sekali tidak menyangka, bahwa orang itu mampu bergerak secepat itu. Karenanya, maka ia samasekali tak dapat menghindari. Dengan tangannya ia menangkis serangan kaki itu. Namun alangkah terkejutnya ketika sebuah benturan terjadi, maka Karebet terdorong beberapa langkah surut. Sedang orang itu masih saja tegak ditempatnya, bahkan sesaat kemudian meluncurlah serangannya susul menyusul seperti deru ombak dilautan, menyentuh pantai.

Karebet yang juga bernama Jaka Tingkir itu terkejut bukan kepalang. Ternyata orang yang datang kepadanya itu memiliki ilmu yang tinggi. Maka dugaannya bahwa orang itu adalah Tumenggung Prabasemi lenyap. Ia pernah melihat Tumenggung bertempur. Ia pernah menilai ilmu Tumenggungnya. Dan sudah pasti Tumenggungya itu tidak akan mampu berbuat demikian. Karena itu Karebet terpaksa meloncat surut beberapa kali. Dengan cemas ia melihat serangan serangan mengalir melanda dirinya. Sehingga karena ingin secepatnya mengakhiri pertempuran, maka segera ia mengetrapkan ilemu tersembunyi didalam dirinya, ilmu yang jarang dimiliki oleh siapapun, apalagi oleh Tumenggung Prabasemi. Aji Lembu Sekilan.

Ketika serangan berikutnya beruntun mengejarnya, maka Karebet sengaja tidak menghindarinya. Ia ingin menundukkan lawannya segera, setelah lawannya mengetahui, bahwa ia memiliki ilmu yang dahsyat itu. Maka berturut-turut beberapa serangan lawannya mengenai dirinya. Namun Karebet itu seakan-akan telah menjadi kebal, sehingga serangan-serangan lawannya itu tak berdaya melumpuhkannya. Orang yang bertutup kain di wajahnya itu melontar mundur. Dengan heran ia memandang wajah Karebet dengan tajamnya. Terdengar ia berdesis,
“Lembu Sekilan?” Karebet tersenyum. Dengan bangga ia berkata kepada Putri bungsu yang menggigil ketakutan,
“Masuklah Putri, orang ini tidak akan mengganggu. Biarlah urusan kami, kami selesaikan tanpa sepengetahuan Putri.”

Putri itupun tidak segera beranjak dari tempatnya. Terasa seluruh tubuhnya bergetar. Dan karena itu maka seakan-akan kakinya tak sanggup lagi untuk melangkah. Sehingga kemudian terdengar Karebet itu mengulangi,
“Masuklah Tuan Putri.”
Putri itu pun seolah-olah menjadi sadar dari kecemasannya yang telah memuncak. Dilihatnya lawan Karebet itu masih berdiri di tempatnya, sehingga karena itu ia menjadi ragu-ragu untuk bergerak. Ketika orang yang berkerudung itu memandang wajah Putri Sultan. Karebet membentaknya,
“Jangan menakut-nakuti. Kaulah yang harus berjongkok dan menyerah.”
Tetapi Karebet terkejut ketika kemudian orang itu pun tertawa. Katanya,
“Kenapa kau tiba-tiba menganggap aku sebagai tawananmu? Apakah karena Lembu Sekilan itu?”
“Aku bukan anak-anak yang takut melihat hantu,” jawabnya,
“Karena itu jangan menakut-nakuti aku dengan ilmu yang dapat dicari di tepi-tepi parit.”

Bukan main marahnya Mas Karebet. Ilmu Lembu Sekilan adalah ilmu yang jarang-jarang dimiliki oleh siapa pun. Bahkan orang-orang dari Karang Tumaritis pernah mengagumi ilmu itu, pada saat ia berkelahi melawan Surayuda, Demang Gunungkidul. Tetapi tiba-tiba orang yang tak dikenalnya itu kini menghinanya. Karena itu, maka kini Mas Karebet itu telah kehilangan segenap pengekangan yang memuncak, maka disergapnya orang yang telah menghinanya. Kini sekali lagi pertempuran seorang lawan seorang itu berkobar semakin sengit. Dengan Lembu Sekilan, maka Mas Karebet memiliki kesempatan yang lebih luas dari lawannya. Hampir setiap serangan lawannya tak dapat menyentuh tubuhnya, karena lambaran ilmu Lembu Sekilan itu. Namun lawannya itu pun lincah bukan buatan. Betapa pun Karebet mengerahkan segenap kemampuannya, namun orang itu pun sangat sukar untuk dikenainya. Semakin lama, Karebet pun menjadi semakin marah. Namun kecemasannya pun semakin tebal melingkar-lingkar di hatinya. Seandainya pada saat itu, peronda dari Nara Manggala melihat mereka, maka ia tidak akan dapat menghindarkan diri dari mala petaka. Karena itu selagi sempat ia berkata sambil bertempur,
“Tuan Putri masuklah. Tinggalkan tempat ini.”
Namun suaranya itu disahut oleh lawannya,
“Tuan Putri apakah Tuan Putri tidak ingin melihat tamu Tuan Puteri ini sampai pada saat terakhir. Mungkin ia masih akan memberikan beberapa pesan sebelum ia mengakhiri hidupnya.”
“Jangan mengigau,” potong Karebet dengan marahnya. Dan darahnya serasa mendidih ketika didengarnya orang itu tertawa berkepanjangan sambil menghindari setiap serangannya. Karena itu, maka Karebet menjadi semakin memperketat geraknya. Serangannya menjadi semakin lama semakin dahsyat. Bergulung-gulung seperti angin prahara dipadang-padang rumput.

NAMUN lawannya benar-benar selincah sikatan, selicin belut. Betapapun ia berusaha untuk menyentuhnya, namun sentuhan sentuhan serangannya seolah-olah tidak dapat menyakiti tubuh lawannya, karena serangan itu seakan-akan tergelincir. Tubuh lawannya itu benar-benar licin. Meskipun sekali-kali Karebet berhasil menangkap tangan atau kaki lawannya, namun ia tidak dapat menggenggamnya. Tubuh lawannya itu dengan mudah, meluncur diantara jarinya, betapapun kuatnya ia menggenggam. Akhirnya Karebet yang memiliki Aji Lembu Sekilan itu menyadari bahwa lawannya itu tidak bertempur dengan tenaganya melulu. Namun iapun semakin benyak berkeringat mengalir dari tubuhnya, tubuhnya itupun menjadi semakin licin. Karena itu dengan geramnya ia mendesis,
“Aji Welut Putih.”
Lawannya itu tertawa pendek. Tetapi ia tidak berkata apa-apapun. Namun pertempuran itu semakin dahsyat. Keduanya seakan tidak dapat disentuh oelh serangan lawannya. Dengan demikian maka pertempuran itu tidak dapat dibayangkan kapan berakhir. Itulah yang sangat mencemaskan Karebet. Betapa ia berusaha memeras segenap kemampuan yang ada padanya. Kelincahan, kekuatan dan segenap tenaganya. Namun orang itupun selalu mengimbanginya.

Orang itu, yang tidak lain adalah Sultan Trenggana sendiri sebenarnya menjadi heran pula. Karebet, anak yang dipungutnya dari tepi jalan itu ternyata memiliki kemampuan yang dahsyat. Baginda itu menjadi angat terkejut ketika menyadari Karebet memiliki ilmu Lembu Sekilan meskipun belum sempurna. Ilmu yang sudah jarang diketemukan. Namun kini Baginda itu melihat, bahwa ilmu itu tersembunyi di dalam tubuh anak itu. Karena itu Baginda menjadi sangat menyesal atas peristiwa itu. Seandainya, Karebet itu tidak mendahuluinya, masuk keputren sebelum diijinkannya, maka kesempatan anak itu di dalam jabatan keprajuritan sangat besar. Dengan mengalami sendiri perkelahian dengan Karebet, Baginda segera menilai kemampuannya. Ternyata anak itu, dalam olah kanuragan telah melampau Tumenggung Prabasemi. Sehingga kemungkinan yang akan datang sangatlah luas bagi Karebet. Namun sayang bahwa anak muda itu kini ditemukan di keputren.

Perkelahian itu berlangsung dengan serunya. Masing-masing mampun melakukan perlawanan dan tekanan yang mengagumkan. Masing-masing telah menunjukkan kelebihan dari orang kebanyakan. Dan karena itulah Mas Karebetpun menjadi semakin cemas. Sehingga akhirnya terasa bahwa ia tidak mampu mengalahkannya, meskipun ia menyangka, bahwa dalam keadaan demikian, lawannyapun tidak dapat mengalahkannya pula. Tetapi akhirnya terasa oleh mas Karebet, bahwa tekanan lawannya menjadi semakin berat. Gerak lawannya semakin lincah, dan keringatnya semakin banyak, sehingga tubuhnya menjadi semakin licin pula. Sebenarnyalah Baginda pun sedang berusaha untuk mengakhiri pertempuran. Baginda adalah seorang prajurit yang mumpuni. Beberapa macam ilmu tersimpan dalam dirinya, sebagaimanapun ia harus memiliki berbagai macam bekal dalam perjalanannya sebagai seorang raja dan sekaligus Senapati Perang. Karebet merasakan tekanan lawannya semakin tajam. Sejalan dengan itu kecemasan di dadanyapun semakin melonjak. Ia menjadi heran, bahwa tiba-tiba saja ia berhadapan dengan seorang sakti yang mampu menghadapi ilmunya, Lembu Sekilan. Karena itupun Karebet mencoba mengingat nama semua yang pernah dikenalnya. Para Perwira Nara Manggala, para Perwira dari Wira Tamtama dan beberapa orang yang lain. Gajah Alit, Prabasemi, Paningron, Danapati, Palindih dan yang lain-lain.

Namun seandainya mereka, apakah dengan mudahnya melawan Lembu Sekilan, tanpa melepaskan ilmu-ilmu mereka yang lain? Ternyata orang ini mampu. Bukan saja dengan ilmu Welut Putih, namun serangan tanpa dilambari ilmupun berhasil mendesaknya pula. Dan Bahkan kemudian terasa bahwa serangan serangannya mampu mengetuk dinding Lembu Sekilannya. Meskipun tidak begitu tajam, namun Karebet merasa, ada kekuatan yang mapu menerobos pertahanan ilmunya. Karena itupun Karebet menjadi bingung. Orang ini pasti orang luar biasa. Dan tiba-tiba saja Karebet mencoba mencari nama orang sakti diluar istana. Orang-orang golongan hitam hampir semua dikenali cirinya, sehingga orang ini pastilah bukan salah seorang dari mereka. Namun adakah orang sakti dari daerah lain?, atau mungkin justru pamannya yang sedang mencoba mengujinya? Paman Kebo Kanigara? Namun akhirnya Karebetpun pasti bahwa orang itu bukan Kebo Kanigara.

Akhirnya Karebet yang menjadi sedemikian bingungnya. Ia tidak mau tertangkap oleh siapapun. karena itu ia tidak punya pilihan lain daripada melumpuhkan orang itu. Kemudian menyembunyikan puteri di keputren dan membuat cerita yang masuk akal, tentang seseorang memasuki istana berkerudung ikat kepala. Meskipun seandainya orang itu adalah perwira Nara Manggala sekalipun namun ia tidak dalam kelengkapan pakaian Nara Manggala. Karena itu Karebet yang sudah kehabisan akal itu dengan serta merta meloncat surut. Dengan cepatnya ia mempersiapkan diri dari puncak ilmu yang dimilikinya. Ilmu yang dipelajari dalam suasanya aneh. Ilmu yang disusunya tanpa seorang gurupun. Dan dinamainya sendiri ilmu itu Aji Rog-Rog Asem. Nama yang ditemukan dalam daerah penggembalaan, apabila para gembala sedang berebut asem. Namun Karebet itu tidak pernah berebut dahulu mendahului, namun dengan ilmunya, Karebet mampu menggetarkan pohon asam yang betapapun besarnya, sehingga hampir segenap buahnya rontok karenanya. Meskipun demikian belum pernah seorang temanpun melihat perbuatannya. Mereka hanya menyangka bahwa angin pusaran telah merontokkan pohon asam itu.

Ilmu itupun pada dasarnya berpangkal pada pengungkapan kekuatan. Namun ilmu Karebet tidak saja mendasarkan pada kekuatan yang mampu meremukkan iga, namun juga mampu meremas tulang-tulang lawannya, memutar tubuh lawannya sehingga tulamg belakangnya patah. Itulah keajaiban ilmu Rog-Rog Asem. Ilmu dari seorang anak gembala yang aneh bernama Mas Karebet. Kali ini, Karebet tidak melihat kemungkinan lain. betapapun licinnya Aji Welut Putih, namun ia yakin bahwa Rog-Rog Asem akan dapat menembusnya. Betapapun kuatnya orang itu apabila tersentuh Aji Rog-Rog Asem, maka sudah pasti bahwa ia akan lumpuh. Sultan yang telah merasakan tekanan tekanannya berhasil, menjadi heran melihat Karebet meloncat mundur. Ia melihat anak itu menggosokkan kedua telapak tangannya, kemudian dengan garangnya anak muda itu meloncat dengan kaki renggang, menekuk kedua lututnya, siap melontarkan sebuah serangan. Baginda yang telah kenyang makan garam perkelahian dan pertempuran itupun segera mengenal, bahwa anak muda itu telah siap dalam puncak ilmunya. Karena itu sultanpun menjadi cemas. Ia belum dapat menilai sampai berapa jauh ilmu yang dimiliki Karebet itu. Kalau kemudian baginda melawan ilmu itu dengan ilmunya yang didasari dengan kekuatan dan tenaga, apakah kira-kira yang akan terjadi? seandainya ilmu itu tidak seimbang, dan ilmu Baginda itu jauh lebih dahsyat dari ilmu lawannya, maka terjadi suatu pembunuhan. Dan Baginda tidak ingin membunuhnya. Meski membunuh anak itu sangat menarik perhatiannya.

Karena itu Baginda tidak segera mengetrapkan ilmunya yang dahsyat yang dinamainya Bajra Geni, tetapi Baginda segera mateg ilmu yang lain. Ilmu Tameng Waja. Menurut perhitungan Baginda, betapapun dahsyatnya ilmu lawannya, namun menilik usianya, maka ilmu itupun belum pasti akan berhasil meruntuhkan pertahanan ilmu Tameng Waja. Maka dengan demikian, ketika Baginda melihat Karebet meloncat sambil mengayunkan ilmunya, Rog-Rog-Asem, justru baginda berdiri tegak bertolak ilmunya Aji Tameng Waja dalam puncak kekuatannya. Sesaat kemudian terjadilah benturan dahsyat. Benturan dari Rog-Rog-Asem menghantam benteng pertahanan Baginda dalam ilmu Aji Tameng Waja. Baginda telah dipenuhi pelbagai pengalaman dan pengetahuan dari pelbagai macam ilmu itupun terkejut mengalami hantaman Aji Rog-Rog-Asem. Aji yang dilontarkan oleh seorang anak muda yang pantas menjadi anaknya. Terasa di dada Baginda sebuah benturan yang seakan-akan merontokkan seluruh iganya. Karena itu dengan mata yang berkunang-kunang Baginda terdorong beberapa langkah surut. Terasa nafasnya menjadi sesak, dan hampir tidak dapat menguasai keseimbangan. Dengan terhuyung-huyung akhirnya Baginda berhasil tegak dalam keadaan keseimbangan yang mantap.
Maka kini Baginda itu berdiri dengan kokohnya di atas kedua kakinya yang merenggang. Meskipun debar di dadanya masih menggetarkan jantungnya, namun Baginda kini sudah mulai tenang kembali setelah mengalami goncangan-goncangan yang tajam. Tetapi goncangan-goncangan tubuh Baginda itu, masih belum menyamai goncangan perasaan Baginda. Hampir Baginda tak percaya, seandainya Baginda sendiri tidak merasakan bahwa isi dadanya seakan-akan menjadi rontok karenanya. Anak muda itu ternyata memiliki kedahsyatan ilmu yang mengagumkan.

SEJAK semula Baginda memang telah mengira, bahwa anak yang mampu meloncat mundur melampaui blumbang sambil berjongkok, pasti bukan anak kebanyakan, namun Baginda sama sekali tidak menyangka bahwa anak itu menyimpan ilmu yang sedemikian dahsyatnya. Tetapi alangkah menyesalnya Baginda, bahwa anak itu berada di keputren di malam hari tanpa setahu Baginda. Pada saat benturan itu terjadi, Karebet pun terkejut bukan kepalang. Aji Rog-rog Asem, yang mampu merontokkan buah-buah asem pada batangnya yang sebesar apapun itu, ternyata hanya mampu mendorong surut lawannya beberapa langkah. Bahkan tangannya itu seakan-akan telah membentur selapis dinding baja yang sama sekali tak tergoyahkan, sehingga kekuatan yang tersalur lewat tangannya itu sebagian telah melontar kembali melemparkan Karebet beberapa langkah mundur. Bahkan kemudian terasa, tangannya itu nyeri dan nafasnya menjadi sesak. Sesaat Karebet itu berdiri kaku. Kepalanya menjadi pening, dan seakan-akan bintang-bintang di langit itu beterbangan turun mengerumuni kepalanya. Ketika perlahan-lahan kesadarannya telah pulih kembali, dilihatnya lawannya itu masih tegak beberapa langkah di hadapannya. Betapa Karebet menjadi semakin marah, sehingga matanya itu seakan-akan menjadi menyala. Baginda, seorang yang memiliki berbagai pengetahuan, kini sekali lagi terkejut ketika ditatapnya mata Karebet. Mata itu benar-benar seperti mata kucing di malam yang gelap. Seakan-akan cahaya yang biru hijau memancar dari dalamnya. Dan karena itulah maka Baginda menjadi semakin menyesali keadaan.

Anak itu benar-benar anak luar biasa. Dengan demikian Baginda menjadi semakin tertarik kepadanya. Tetapi bagi seorang raja dan sebagai seorang ayah, Baginda tidak dapat membiarkan peristiwa ini terjadi tanpa persoalan. Sebab dengan demikian, maka baik Baginda sebagai raja maupun sebagai ayah, akan kehilangan nilai-nilainya yang wajar, apabila persoalan yang tak pada tempatnya itu dibiarkannya. Seandainya, ya, seandainya pada saat itu Baginda menjumpai orang lain, bukan Karebet dan tidak memiliki ilmu sedahsyat Aji Rog-rog Asem serta Lembu Sekilan, serta dari matanya tidak membayang cahaya yang biru kehijauan, maka Baginda pasti sudah akan bersikap lain. Mungkin Baginda akan memaksa putrinya untuk masuk ke bilik bundanya, dan menangkap anak itu sebagai seorang pencuri atau apapun yang masuk ke dalam istana. Dengan demikian, maka orang itu akan dapat dihukum berat.

Tetapi kini yang dihadapi adalah seorang anak muda yang jarang-jarang ditemuinya. Alangkah baiknya anak itu dalam kedudukannya dalam pasukan Wira Tamtama. Namun, betapapun ia harus mendapat hukuman dari perbuatannya itu. Baginda tidak sempat berangan-angan. Tiba-tiba ia melihat Karebet meloncat seperti serigala lapar menerkam mangsanya. Namun Baginda bukan sekadar anak kambing yang hanya mampu mengembik. Ketika Baginda menyadari betapa berbahayanya serangan yang masih dilambari dengan Aji Rog-rog Asem itu, maka Baginda segera mengelak. Namun Baginda kini berhasrat untuk segera menyelesaikan perkelahian itu sebelum orang lain melihatnya. Sebab apabila orang lain melihat perkelahian itu, melihat putri dan Karebet, maka Baginda tidak akan menyelamatkan nama putrinya dari aib yang mencoreng kening, dan wajah Baginda pun akan tercoreng karenanya. Karena itu, segera Baginda mateg aji kebanggaannya, Bajra Geni. Aji yang ampuh bukan buatan. Namun Baginda benar-benar tidak mau membunuh atau melukai Karebet. Karena itu, Baginda mengambil cara yang tidak berbahaya bagi lawannya. Dengan kecepatan yang tak disangka-sangka oleh Karebet, Baginda melontar menyusul arah lawannya yang terbang beberapa jengkal di sampingnya, karena terkamannya dihindari. Dengan Aji yang dahsyat itu, Baginda memukul Karebet, namun tidak pada tubuhnya. Baginda sengaja mengayunkan tangannya di wajah Karebet, tanpa menyentuhnya.
Tetapi alangkah terkejutnya Karebet. Baginda tidak melepaskan Aji Bajra Geni sepenuhnya, namun getarannya telah cukup kuat untuk menggetarkan tubuh Karebet. Karebet pun terkejut bukan kepalang. Terasa wajahnya seakan-akan disiram api. Karena itu, maka dengan serta merta ia meloncat beberapa langkah surut. Dengan tubuh gemetar ia memandang orang yang sebagian wajahnya terselubung oleh kain ikat kepala itu. Dan didengarnya orang itu tertawa.
“Alangkah dahsyatnya,” geram Karebet di dalam hatinya.
“Tangannya sama sekali tidak menyentuh tubuhku. Namun getaran serta panas ilmunya telah mampu menembus Aji Lembu Sekilan.

ORANG itu masih tertawa berkepanjangan meskipun tidak terlalu keras. Kemudian terdengar ia berkata,
“Bagaimana Aji Lembu Sekilan. Apakah kau masih akan membanggakan Aji Lembu Sekilan yang setengah matang itu. Aku belum menyentuh kulitmu, tetapi agaknya kau telah merasakan akibatnya. Bahwa kekuatan Ajiku mampu menembus pertahanan Lembu Sekilanmu.”
Karebet tidak menjawab. Dengan marahnya ia menggeram. Tetapi ia benar-benar telah dapat mengambil suatu kepastian, bahwa ia tidak akan mampu mengalahkan orang itu. Karena itu Karebet menjadi semakin cemas. Ia sama sekali tidak mencemaskan nasibnya, bahkan sampai mati sekalipun. Namun bagaimana kemudian dengan putri itu? Belum lagi ia menemukan cara untuk menyelamatkan Putri itu, maka terdengar orang yang berdiri di hadapannya itu berkata,
“Nah, apakah kau masih akan melawan?”
“Jangan menyombongkan diri. Kau lihat aku masih tegak di hadapanmu,” sahut Karebet.
“Hem,” desah orang itu,
“Kau memang keras kepala. Meskipun demikian aku beri kau kesempatan hidup. Tetapi serahkan putri itu kepadaku.”
“Apa?” Kata-kata Karebet tersangkut di kerongkongan karena kemarahannya yang meluap-luap.

Sedang Putri Sultan itu menjadi bertambah menggigil ketakutan. Perlahan-lahan wajahnya beredar di antara batang-batang perdu di petamanan. Namun hatinya menjadi bingung. Ia akan dapat berteriak memanggil beberapa peronda. Tetapi apa katanya tentang Karebet dan orang yang berselubung kain itu? Dalam kebingungan Putri itu mendengar orang berselubung itu berkata,
“Apakah Putri akan memanggil Nara Manggala?”
“Ya,” sahut putri itu tiba-tiba.
Kembali orang itu tertawa. Jawabnya,
“Mereka akan menangkap Karebet dan orang yang berselubung kain itu?”
Telinga Karebet menjadi merah karenanya. Kemarahannya telah benar-benar sampai kepuncak kepalanya. Apalagi ketika ia mendengar orang itu mengulangi,
“Anak muda. Tak ada gunanya kau melawan. Ajimu kedua-duanya adalah ilmu yang sama sekali tak berarti bagiku. Dengan duduk bertopang dagu aku pasti akan dapat memunahkannya. Tetapi apakah kau mampu bertahan terhadap ilmuku meskipun kau membentengi dirimu dengan Lembu Sekilan?”
Sekali lagi Karebet mencoba melihat siapakah yang berdiri di hadapannya. Pamannya? Mahesa Jenar? Pasti bukan. Mungkin orang-orang sakti yang lain? Di istana tidak banyak dijumpai orang-orang yang pernah menggetarkan hatinya. Beberapa orang sakti dari para prajurit berbagai kesatuan telah dikenalnya. Dan orang ini bukanlah salah seorang dari mereka.

Sebelum Karebet mampu memecahkan teka-teki itu. Karebet mendengar orang yang berdiri dihadapannya itu berkata pula,
“Jangan menunggu aku marah. Biarlah putri itu aku bawa.”
Sekali lagi Karebet menggeram. Sahutnya,
“Lampaui dahulu mayatku. Baru kau bawa Tuan Putri.”
Orang itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
“Kau benar-benar keras kepala.”
“Adalah akibat dari perbuatanku. Tebusannya maut,” sahut Karebet, dan diteruskan,
“Apakah kau sangka, sesudah aku, kau akan dapat melepaskan diri dari halaman ini? Kau mati dipenggal oleh Nara Manggala.”
“Tak seorang pun mampu menangkap aku,” jawab orang itu.
“Karebet tidak. Gajah Alit tidak dan Panji Danapati pun tidak.”
Karebet menarik alisnya. Orang itu dapat menyebut beberapa nama perwira dari Nara Manggala. Karena itu tiba-tiba menjadi bercuriga. Apakah orang itu orang dalam? Gajah Alit pasti bukan. Panji Danapatipun bukan. Siapa? Dalam kebingungan itu kembali Karebet mendengar orang itu berkata,
“Ayo Karebet. Katakan kepadaku, siapakah dari seluruh Demak mampu mengalahkan aku?”

Karebet benar-benar mengigil mendengar kata-kata itu. Hampir saja ia menyebut beberapa nama yang pernah dikenalnya di Karang Tumaritis. Namun niatnya diurungkannya. Yang terdengar kemudian hanyalah gemeretak giginya beradu. Tetapi seperti mendengar seribu guntur meledak bersama di atas kepalanya, kemudian Karebet mendengar orang itu berkata,
“Karebet, katakan, siapa yang mampu melawan Aji Bajra Geni?”
“Bajra Geni. Bajra Geni.” Tanpa sadar Karebet mengulangi kata-kata itu.
“Ya,” sahut orang itu pendek.
Tubuh Karebetpun kemudian menjadi gemetar. Dengan ragu-ragu ia memandang orang yang berdiri di hadapannya. Bajra Geni adalah nama ilmu yang dahsyat, sedahsyat ilmu pamannya dan Mahesa Jenar. Setingkat pula dengan ilmu-ilmu luar biasa lainnya, Lebur Seketi, Cunda Manik dan lain lainnya. Tetapi lebih daripada itu. Aji Bajra Geni dikenal sebagai ilmu yang dimiliki oleh Sultan Trenggana. Karena itu betapa debar jantung Karebet seakan-akan terhenti. Bahkan darahnyapun seakan tidak mengalir lagi.

Sebelum Karebet menyadari apa yang terjadi, maka tangan orang yang berdiri dihadapannya itupun kemudian meraih kain yang menutupi wajahnya. Dengan sekali gerak, maka kain itupun telah direnggutkan. Orang yang tegak berdiri dengan gagahnya itu menarik tutup wajahnya, terdengar puteri Sultan itu menjerit kecil. Sesaat ia memandangi wajah itu dengan tajamnya, namun sesaat berikutnya dengan serta merta puteri menjatuhkan dirinya di kaki Baginda sambil menangis sejadi-jadinya. Sedang Karebetpun kemudian berlutut pula pada kedua lututnya sambil menyembah hampir mencium tanah.
“Jangan menangis!,” bentak baginda.
“Diam atau kututup mulutmu!”
Dengan sekuat tenaga dan penuh ketakutan, Puteri mencoba meredakan tangisnya. Tetapi karena itu maka tangis itu seakan-akan malahan meledak-ledak. Baginda masih juga berdiri diatas kakinya yang renggang. Dipandangnya wajah Karebet dengan tajam, setajam ujung pedang. Dan Karebetpun menundukkan wajahnya dalam-dalam.
“Ayahanda,” terdengar puteri berkata diantara sendunya.
“Apakah kau masih berhak menyebut aku sebagai ayahandamu?,” sahut baginda.
“Ayahanda,” kembali terdengar kata-kata itu meloncat dari bibir Puteri yang sedang menangis itu.

Namun Sultan Trenggana itu tidak menjawab. Bahkan kemudian ia berkata kepada Karebet,
“Karebet, apakah aku harus melampaui mayatmu?.”
“Ampun, Baginda,” sahut Karebet gemetar,
“aku tidak menyangka bahwa aku berhadapan dengan Baginda.”
“He, jadi kalau tidak ada aku kau dapat berbuat sekehendakmu? Jadi kalau berhadapan dengan orang lain, kau mengagung-agungkan kekuatanmu? Lembu Sekilan atau Aji apa lagi yang kau miliki itu?”
“Ampun Baginda,” Karebet semakin tertunduk.
Kini harapannya untuk keluar dari kaputren menjadi lenyap. Ia tinggal menunggu besok atau lusa, seorang algojo akan memenggal lehernya, atau menaikkan ke tiang gantungan.
Apalagi ketika didengarnya Baginda berkata,
“Karebet itukah tanda terimakasihmu kepadaku. Bukankah kau telah aku pungut dari pinggir jalan, kemudian aku coba untuk menjadikan kau seorang anak muda yang memiliki kebanggaan dengan menyerahkanmu kepada Prabasemi dan kesatuannya. Kini ternyata kau telah menyentuh kehormatanku. Sebagai seorang ayah dan seorang raja.”

Mendengar kata-kata baginda itu tiba-tiba Karebet teringat kepada Tumenggung Prabasemi. Hampir saja ia mengatakan persoalan Tumenggung kepada untuk mengurangi kemarahan baginda kepadanya, tetapi kemudian niat itupun diurungkannya.
“Tak ada gunanya,” katanya dalam hati. Dan kini ia tinggal pasrah kepada nasib yang membawanya kearah maut. Tak ada hukuman lain yang pantas diberikan kepadanya selain hukuman mati. Apalagi telah berani bertempur melawan Baginda.
“Mungkin baginda sendiri yang akan membunuhku.” pikirnya.
Sebenarnya baginda marah sekali kepada Karebet dan Puterinya. Tetapi terasa sesuatu yang aneh menyelip dihati baginda. Justru setelah bertempur melawan Karebet, kesaktian anak itu benar-benar menarik perhatiannya, sehingga bagindapun berkata di dalam hatinya,
“Sayang, anak ini memiliki kemungkinan dihari depannya. Kemungkinan yang tidak terbatas. Kalau ia mampu mematangkan aji Lembu Sekilan dengan ilmu rangkapannya itu, maka ia menjadi seorang sakti yang pilih tanding.”
Baginda sendiri mempunyai dua orang putera disamping puterinya. Yang sulung, adalah seorang yang sakti pula. Namun sayang, karena sesuatu hal, maka Pangeran itu mempunyai penyakit berat di dalam rongga dadanya. Sedang puteranya yang seorang lagi, masih terlalu muda, dan agaknya tidak akan menyamai kakak sulung.

Tetapi Baginda tidak mau terpengaruh oleh perasaannya itu. Tetapi kemudian Baginda berkata lantang kepada puterinya, \
“Cepat masuk kekeputren. Jangan keluar dari pintu kalau bukan ibunda yang menjemputmu.”
Puteri itupun menyembah sambil menangis. Tetapi ketika akan menjawab, Baginda membentaknya,
“Masuk ke keputren!.”
Puteri Baginda itu tidak berani mengangkat wajahnya. Sekali lagi ia menyembah, dan dengan wajah tunduk serta airmata berhamburan, Puteri tertatih-tatih masuk ke biliknya. Langsung direbahkannya dirinya di pembaringan menelungkup. Dan kepada pembaringan serta dinding-dinding biliknya ia mengadukan nasibnya yang malang. Betapa kecewanya dan menyesal hati puteri itu. Tetapi semuanya telah terlanjur dilakukan. Dan ayahanda Baginda sendiri telah melihat langsung apa yang terjadi. Di luar Keputren Karebet duduk bersila dengan wajah tepekur. Anak muda ini menyesal pula atas semuanya yang telah terjadi. Namun, semuanya telah berlalu. Dan yang dapat dilakukan kini tinggallah menunggu hukuman yang harus disandangnya. Sesaat kemudian Bagindapun menjadi bimbanmg. Bagaimanapun anak muda itu mempunyai tempat tersendiri di dalam hatinya sehingga dengan demikian, mau tidak mau segala keputusan yang akan diambil oleh baginda sangat terpengaruh oleh perasaannya itu.
“Karebet, ikut aku ke Ksatriaan,” berkata Baginda kemudian.
“Hamba tuanku,” sahut Karebet sambil menyembah.

Dan Baginda tidak menunggu apapun lagi ditempat itu. Segera Baginda berjalan di antara rimbunnya daun-daun perdu di halaman, supaya tidak seorangpun melihatnya. Kepada Karebet, Baginda itu berkata,
“ikuti aku. Jangan ada seorangpun yang melihatmu. Apabila demikian, maka nasibmu akan aku serahkan kepada penjaga itu.”
Karebet menyembah sambil menyahut,
“Hamba, Baginda.”
Maka keduanyapun berjalan mengendap endap menghindari peronda dari pengawal baginda. Sehingga tak seorangpun yang mengetahuinya, maka berdua telah memasuki Ksatrian dari pintu samping.
“Karebet,” berkata Baginda setelah mereka di dalam bilik ksatrian.
“Tinggal di sini. Jangan coba melarikan diri. Tak ada gunanya. Aku segera dapat menangkapmu kemana saja kau bersembunyi. Sebab setelah ini, akan aku perintahkan segenap peronda Nara Manggala untuk lebih berhati-hati. Tak seorangpun boleh meninggalakan halaman istana. Apapun alasannya.”
“Hamba tuanku,” jawab Karebet.
“Hamba tidak akan berani melanggar perintah Baginda.”

Sesaat kemudian Bagindapun mengenakan baju keprajuritan yang berada di Ksatrian. Dengan pakaian itu kemudian baginda pergi meninggalkan bilik. Karebet yang berada di dalam bilik itu menjadi bingung. Apakah yang akan dikatakan nanti dipagi hari, jika beberapa orang emban atau jajar masuk ke dalam bilik untuk membersihkannya. Dan apapula jawabnya jika Pangeran Timur nanti datang pula kemari?
Tetapi Karebet lebih takut lagi akan perintah baginda. Karena itu betapapun ia menjadi cemas, namun ia tidak berani beranjak dari biliknya. Dengan lesu dijatuhkannya badannya di atas lantai yang licin bersih dan mengkilap. Dengan berbagai macam perasaan bercampur baur, Karebet memandang ke dinding yang kokoh kuat sekuat baja.
“Dengan rogrog Asem aku pasti mampu menjebol pintu ini, “ terdengar suara didalam hatinya.
“Gila,” jawab suara yang lain
Dan kembali Karebet dengan lemahnya duduk bersandar di dinding. Namun hatinya meronta-ronta seperti api yang menyala-nyala. Ia tidak tahu apa yang telah dilakukan Baginda setelah itu.

Dan kenapa Baginda tiba-tiba mengenakan pakaian keprajuritan. Apakah nanti malam ini juga Baginda akan melakukan hukuman atas dirinya? dan Sultan sendiri yang akan menanganinya? Tetapi ternyata Karebet adalah anak yang aneh. Betapun gelisahnya, namun ia tiba-tiba menguap. Dan setelah menggeliat, ia bergumam,
“Persetan dengan segala macam hukuman. Lebih baik aku tidur. Dengan segala macam kegelisahan dan penyesalan, soalku tidak selesai.”
Sesaat kemudian, ia sudah tidur mendekur.
Betapa terkejutnya penjaga dari kesatuan Nara Manggala ketika melihat baginda sendiri lengkap dengan pakaian keprajuritan datang kepada mereka. Dengan tergesa-gesa mereka segera berloncatan menyambut kedatangan baginda.
Beberapa orang menjadi pucat, dan beberapa orang lagi menjadi cemas. Apakah yang akan terjadi sehingga Baginda datang sendiri kepada mereka.
“Atas namaku, panggil Prabasemi dari Wira Tamtama.”
“Hamba tuanku, apakah Tumenggung Prabasemi harus menghadap baginda malam ini?”
“Ya!,”
“Hamba Tuanku.”

Kemudian ketika Baginda melangkah kembali ke Ksatrian, dua dari Nara Manggala segera bersiap untuk mengantarkan. Namun mereka terkejut ketika Baginda berkata,
“Aku datang sendiri. Aku kembali sendiri.”
Penjaga menjadi heran. Tidak menjadi kebiasaan Sultan berbuat demikian. Tetapi tak seorangpun berani bertanya. Dan mata mereka dipenuhi beribu-ribu pertanyaan mengiringi Baginda lenyap dalam bayang-bayang pohon Sawo Kecik. Sepeninggal Baginda, beberapa orang saling berbisik diantaranya.
“Aneh, kenapa baginda memanggil Prabasemi di malam hari begini?”
Yang lain menggeleng,
“memang aneh.”
“Tadi aku melihat Karebet masuk istana, katanya kaki baginda terkilir.”
“Lalu sekarang Prabasemi dipanggil, kenapa bukan Karebet yang harus memanggilnya? bukankah ia prajurit Wira Tamtama?”
Kawannya hanya dapat mengangkat bahunya sambil berkata,
“entahlah. Ada sesuatu yang kurang wajar terjadi.”
“Apaaa?”
Orang itu menggeleng,
“kalau aku mengetahuinya kau pasti mengetahuinya juga.”

Mereka kemudian terdiam. Masing-masing berjalan kembali masuk ke gardu peronda. Baru saja mereka duduk, Nara Manggala tertua berteriak,
“bodoh kalian, Kenapa kalian tidak berangkat memanggil Prabasemi?”
“Oh, hampir aku lupa kepada perintah.”
Kemudian dengan tergesa-gesa dua orang Nara Manggala segera bersiap untuk berangkat menjemput Prabasemi. Mereka segera memperbaiki pakaian mereka, melengkapi tanda keprajuritan. Dengan pedang di lambung masing-masing berdua segera pergi menjemput Tumenggung Prabasemi. Meskipun tak seorangpun yang bercakap-cakap, namun sebenarnya mereka saling bertanya di dalam hati, apakah yang sebenarnya terjadi?
Sementara itu, dari Gardu Penjaga, Baginda langsung masuk ke dalam biliknya dimana Permaisuri dan dua orang emban sedang menunggu. Ketika permaisuri melihat kedatangan Baginda, maka terdengar sebuah tarikan napas panjang.
“Nah, bukankah aku masih utuh?,” kata Baginda
Sekali lagi Permaisuri menarik napas. Katanya,
“Hamba menjadi gelisah.”

Baginda kemudian memandangi kedua emban yang duduk bersimpuh sambil menundukkan wajahnya dalam-dalam. Sesaat kemudian berkatalah baginda
“Kembalilah ke bilikmu masing masing emban.”
Kedua emban itu terkejut. Dan bersamaan mereka menyembah sambil membungukkan badan mereka,
“Hamba Baginda.”
“Tetapi, ingat, apabila seseorang mendengar tentang puteri itu, kau berdualah yang akan aku pancung di alun-alun.”
Kedua emban menjadi pucat. Dengan gemetar, sekali lagi mereka menyembah dengan takjimnya.
“Nah tinggalkan bilik ini.”
Keduanya tidak menjawab. Namun setelah sekali lagi mereka menyembah, maka segera mereka meninggalkan bilik itu.

“ALANGKAH malangnya nasibku,” kata emban Permaisuri,
“Kalau aku tadi tidak berjumpa dengan kau, maka aku tidak akan mengalami bencana ini. Coba, apabila laki-laki itu atau Putri sendiri yang berceritera tentang peristiwa itu, maka apabila ada orang lain yang mendengarnya, kamilah yang akan dipancung. Hi, mengerikan.”
Emban yang lain tidak menjawab. Terbesit pula penyesalan didalam dirinya. Tetapi apabila dibayangkannya rumah yang megah dari Tumenggung Prabasemi serta segala macam penghormatan yang akan didapatnya, maka emban itu sersenyum di dalam hati. Putri itu pasti akan mendapat hukumannya. Setidak-tidaknya akan mengalami pingitan yang lebih ketat. Sehingga dengan demikian, maka Prabasemi itu pasti akan melupakannya. Kedua emban itu meninggalkan bilik Baginda, maka segera Baginda mengatakan apa yang telah dialaminya serta apa yang telah terjadi.

Ketika Permaisuri mendengar, bahwa berita yang dibawa oleh emban itu benar-benar terjadi, maka dengan serta merta, pecahlah tangisnya. Alangkah hinanya. Apabila Putri itu adalah putri seorang raja yang namanya ditakuti oleh lawan dan disegani oleh kawan. Tetapi putrinya sendiri, sama sekali telah mengabaikannya.
“Kenapa hal ini terjadi, Baginda?” tanya Permaisuri.
“Padahal menurut hemat hamba, maka tidak kuranglah cara hamba untuk menjadikannya seorang putri yang berbudi. Justru dalam masa pingitan, serta masa-masa perkembangan jasmaniah dan rohaniah, bencana itu terjadi.”
Baginda tidak menjawab. Bahkan wajahnya ditundukkannya, seakan-akan sedang menghitung jari-jari kakinya. Sebagai seorang ayah, maka hampir-hampir Baginda tak dapat menahan kemarahannya terhadap Karebet. Tetapi, sebagai seorang Senapati Perang, maka Baginda dapat melihat kekuatan yang tersembunyi di dalam tubuh Karebet yang telah berani melangkahi pagar kaputren itu. Bahkan sebagai seorang raja, Baginda melihat masa depan dari kerajaannya, Demak, yang sampai kini masih belum diketemukannya seorang sakti yang mempunyai kemungkinan yang tak terbatas dimasa depannya. Pernah juga Baginda mendengar nama-nama, diantaranya Mahesa Jenar yang bergelar Rangga Tohjaya. Namun orang itu telah lama membuang diri dalam satu pengabdian yang luhur. Berusaha menemukan pusaka-pusaka Keraton yang lolos dari perbendaharaan Istana.
“Tetapi orang itu sama sekali bukan keluarga istana,” desis Baginda di dalam hatinya.
“Ah!” Tiba-tiba Baginda terkejut sendiri oleh angan-angannya. Kemudian katanya di dalam hati,
“Apakah Karebet itu juga keluarga istana?”

Baginda tiba-tiba menggeleng-gelengkan kepalanya. Sesuatu bergolak di dalam dadanya. Dicobanya berkali-kali untuk mengusir perasaan yang mengetuk-ngetuk jantungnya. Karebet itu adalah anak yang diketemukan di pinggir jalan. Tidak lebih. Bukan kadang, bukan sentana.
“Tetapi ia putra Ki Kebo Kenanga.” Kembali terdengar kata-kata jauh di dasar hatinya.
“Kebo Kenanga adalah putra Pangeran Handayaningrat. Apakah dengan demikian tidak ada saluran darah Majapahit di dalam tubuhnya?”
“Hem.” Baginda menarik nafas dalam-dalam. Ketika Baginda itu berpaling, dilihatnya Permaisuri masih menyeka kedua belah matanya yang basah.
“Sudahlah,” hibur Baginda,
“Aku akan mencoba mencari cara sebaik-baiknya untuk menolong keadaan.”
“Apakah cara itu?” tanya Permaisuri.
“Aku belum tahu,” sahut Baginda,
“Tetapi mula-mula adalah menutup setiap kemungkinan, Putrimu itu dapat bertemu dengan Karebet.”
Permaisuri menganggukkan kepalanya.
“Besok, Putriku akan aku bawa masuk ke dalam bilikku. Biarlah ia mengalami pingitan yang lebih seksama.”
“Aku sependapat,” sahut Baginda,
“Dan biarlah anak muda yang bernama Karebet itu aku singkirkan pula dari Demak.”
“Akan diapakan?”
“Biarlah anak itu aku ambil dari Prabasemi, dan aku serahkan kepada Palindih di Bergota.”
“Hanya itu?”

Baginda terdiam. Disadarinya, bahwa Pemaisuri itu benar-benar merasa terhina. Namun Baginda tidak akan dapat mengatakan alasan-alasan yang dapat dimengerti oleh Permaisuri secara keseluruhan. Sebab Permaisuri tidak merasakan kedahsyatan ajian anak muda itu, tidak merasakan bahwa di dalam diri anak itu tersimpan Aji Lembu Sekilan dan dari matanya memancarkan cahaya biru kehijauan seperti mata seekor harimau yang garang di malam hari. Permaisuri tidak dapat mengerti bahwa Demak memerlukan orang yang demikian itu. Orang yang mempunyai kemungkinan yang tidak terbatas. Meskipun di seluruh wilayah Demak, banyak terdapat orang-orang sakti, namun tidak seorang pun dari mereka yang pernah mempengaruhi perasaan Baginda sebegitu dalam seperti Karebet, putra Ki Kebo Kenanga.
Sebelum Sultan Trenggana menemukan jawaban atas pertanyaan Permaisuri itu, maka kembali Permaisuri bertanya,
“hukuman apa yang akan baginda berikan terhadap Karebet. Apakah hukuman itu cukup seimbang dengan kesalahannya?.”
Baginda menarik nafas, kemudian jawabnya,
“Hukuman itu adalah hukuman sementara. Mungkin aku akan membuat pertimbangan lain. Namun hukuman itu harus sesuai dengan keduanya. Sebab kesalahan itu tidak saja terletak pada Karebet, tetapi pada Puteri juga.”

Tiba-tiba Permaisuri mengangkat wajahnya. Sebagai seorang puteri, terasa kata-kata baginda agak janggal. Karena itu katanya, “Baginda, apakah yang akan dilakukan puteri kalau Karebet tidak memulainya? Aku yakin bahwa anak muda itu memanfaatkan kesempatan. Apabila Baginda memanggilnya, maka dimanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya. Puteri adalah anak pingitan. Jarang-jarang ia melihat anak muda di dalam biliknya yang sempit. Maka ketika dilihatnya Karebet itu maka langsung mempengaruhi hatinya.”
Permaisuri itu berhenti sejenak. Ditatapnya wajah baginda yang tunduk. Kali ini mereka tidak berbicara sebagai Raja terhadap Permaisuri tetapi sebagai ayah dan seorang ibu. Seorang ibu yang merasa tersinggung karena perbuatan seorang anak muda atas puterinya dan seorang ayah yang melihatnya dari cakupan yang luas.
Maka dengan hati-hati Bgainda berkata,
“Tetapi apabila puterimu tidak memanggapinya, maka tidak terjadi sesuatu diantara mereka berdua. Setiap hubungan antara anak muda dan gadis-gadis, pasti dimulai dari kedua ujung hati masing-masing. Apabila tidak, maka hubungan itu tidak akan terjadi.”
“Oh,” sahut permaisuri.
“Baginda telah berbicara tentang hati laki-laki, yang melihat perempuan dari sudut seperti Karebet. Tetapi baginda tidak mau mendalami hati perempuan.”
“Mungkin puteri mula-mula sama sekali tidak menanggapi sikap Karebet. tetapi lambat laun, apabila Karebet mulai menyentuh hatinya, maka hati itu pasti cair. Mungkin sikap itu mula-mula tidak lebih dari sikap gadis yang merasa kasihan terhadap seorang anak muda yang terbakar hatinya.”
“Atau mungkin Karebet sengaja membuat dirinya seakan-akan tidak mampu hidup tanpa puteri. Atau apapun yang dilakukannya sebagai suatu cara meruntuhkan hati seorang gadis. Meratap, mengancam, membangkitkan cemburu, bermanja-manja atau merayu.” sahut Permaisuri.

Sekali lagi Baginda menarik nafas.
“Kalau gadis itu teguh hati, maka ia akan tetap dalam pendiriannya.”
“Betapapun keras batu karang, namun titik-titik air akan dapat membuat lubang padanya.” Sahut permaisuri.
Kali ini Baginda mengangguk-anggukkan kepalanya. Belum pernah Permaisuri bersikap keras kepadanya. Sebagai seorang permaisuri, setiap kali yang dilakukan adalah menghambakan perintah Baginda. Mendengarkan kata-kata baginda dengan wajah tunduk, kemudian tersenyum kalau baginda tersenyum, dan berduka kalau baginda berduka. Namun Baginda bukanlah seorang laki-laki berhati batu.
Baginda dapat mengetahui sepenuhnya perasaan Permaisurinya, dan bahkan berterimakasih pula kepada permaisurinya itu. Namun kali ini Baginda menjumpai sikap yang jauh berbeda. Permaisuri itu menjawab kata dengan kata, kalimat dengan kalimat. Karena itu, maka baginda dapat mengerti, betapa pedih luka di hati permaisurinya sehingga dilupakannya suba sita.

Meskipun demikian, Baginda masih ingin untuk dapat menerangkan apakah sebabnya, maka Karebet itu masih diberinya kesempatan, meskipun dijauhkan dari Demak. Tetapi tidak saat ini, sebab apabila perempuan itu telah dikuasai oleh perasaannya, maka setiap pertimbangan akan tersisihkan. Demikian juga Permaisuri kali ini. Karena itulah maka dengan tersenyum Baginda berkata,
“Baiklah. Biarlah aku pertimbangkan sekali lagi. Tetapi janganlah aku yang dipersalahkan.”
Kata-kata itu tiba-tiba menyadarkan Permaisuri akan dirinya. Ia sedang berhadapan dengan seorang raja yang memiliki segala kekuasaan di tangannya. Tiba-tiba Permaisuri menyembah sambil berkata,
“Ampun Baginda. Aku telah berpendapat terlalu jauh. Namun aku hanya sekedar menuangkan perasaan ibu atas bencana yang menimpa puterinya.”
Baginda mengangguk-anggukan kepalanya,
“Aku mengerti. Sebab aku bukan saja seorang Raja, Senapati Perang dan segala macam jabatan pemerintahan, tetapi aku adalah seorang ayah pula.”


<<< Bagian 092                                                                                              Bagian 094 >>>

1 comment:

  1. Black Titanium Weddingbands by Toto - TOTO - TOTO
    Find black mens titanium necklace titanium weddingbands at titanium damascus knives TOTO. We titanium glasses buy wedding gear columbia titanium pants at TOTO. TOTO.com. Watch and order wedding gear online. camillus titanium

    ReplyDelete