DENGAN tangkasnya orang itu menghindari serangan Karebet, dan bahkan dengan kecepatan tak terduga orang itu menggeliat dan kaki kirinya berputar setengah lingkaran menyambar lambungnya. Karebet sama sekali tidak menyangka, bahwa orang itu mampu bergerak secepat itu. Karenanya, maka ia samasekali tak dapat menghindari. Dengan tangannya ia menangkis serangan kaki itu. Namun alangkah terkejutnya ketika sebuah benturan terjadi, maka Karebet terdorong beberapa langkah surut. Sedang orang itu masih saja tegak ditempatnya, bahkan sesaat kemudian meluncurlah serangannya susul menyusul seperti deru ombak dilautan, menyentuh pantai.
Karebet yang
juga bernama Jaka Tingkir itu terkejut bukan kepalang. Ternyata orang yang
datang kepadanya itu memiliki ilmu yang tinggi. Maka dugaannya bahwa orang itu
adalah Tumenggung Prabasemi lenyap. Ia pernah melihat Tumenggung bertempur. Ia
pernah menilai ilmu Tumenggungnya. Dan sudah pasti Tumenggungya itu tidak akan
mampu berbuat demikian. Karena itu Karebet terpaksa meloncat surut beberapa
kali. Dengan cemas ia melihat serangan serangan mengalir melanda dirinya.
Sehingga karena ingin secepatnya mengakhiri pertempuran, maka segera ia
mengetrapkan ilemu tersembunyi didalam dirinya, ilmu yang jarang dimiliki oleh
siapapun, apalagi oleh Tumenggung Prabasemi. Aji Lembu Sekilan.
Ketika
serangan berikutnya beruntun mengejarnya, maka Karebet sengaja tidak
menghindarinya. Ia ingin menundukkan lawannya segera, setelah lawannya
mengetahui, bahwa ia memiliki ilmu yang dahsyat itu. Maka berturut-turut
beberapa serangan lawannya mengenai dirinya. Namun Karebet itu seakan-akan
telah menjadi kebal, sehingga serangan-serangan lawannya itu tak berdaya
melumpuhkannya. Orang yang bertutup kain di wajahnya itu melontar mundur.
Dengan heran ia memandang wajah Karebet dengan tajamnya. Terdengar ia berdesis,
“Lembu
Sekilan?” Karebet tersenyum. Dengan bangga ia berkata kepada Putri bungsu yang
menggigil ketakutan,
“Masuklah
Putri, orang ini tidak akan mengganggu. Biarlah urusan kami, kami selesaikan
tanpa sepengetahuan Putri.”
Putri itupun
tidak segera beranjak dari tempatnya. Terasa seluruh tubuhnya bergetar. Dan
karena itu maka seakan-akan kakinya tak sanggup lagi untuk melangkah. Sehingga
kemudian terdengar Karebet itu mengulangi,
“Masuklah Tuan
Putri.”
Putri itu pun
seolah-olah menjadi sadar dari kecemasannya yang telah memuncak. Dilihatnya
lawan Karebet itu masih berdiri di tempatnya, sehingga karena itu ia menjadi
ragu-ragu untuk bergerak. Ketika orang yang berkerudung itu memandang wajah
Putri Sultan. Karebet membentaknya,
“Jangan
menakut-nakuti. Kaulah yang harus berjongkok dan menyerah.”
Tetapi Karebet
terkejut ketika kemudian orang itu pun tertawa. Katanya,
“Kenapa kau
tiba-tiba menganggap aku sebagai tawananmu? Apakah karena Lembu Sekilan itu?”
“Aku bukan anak-anak
yang takut melihat hantu,” jawabnya,
“Karena itu
jangan menakut-nakuti aku dengan ilmu yang dapat dicari di tepi-tepi parit.”
Bukan main
marahnya Mas Karebet. Ilmu Lembu Sekilan adalah ilmu yang jarang-jarang
dimiliki oleh siapa pun. Bahkan orang-orang dari Karang Tumaritis pernah
mengagumi ilmu itu, pada saat ia berkelahi melawan Surayuda, Demang
Gunungkidul. Tetapi tiba-tiba orang yang tak dikenalnya itu kini menghinanya.
Karena itu, maka kini Mas Karebet itu telah kehilangan segenap pengekangan yang
memuncak, maka disergapnya orang yang telah menghinanya. Kini sekali lagi
pertempuran seorang lawan seorang itu berkobar semakin sengit. Dengan Lembu
Sekilan, maka Mas Karebet memiliki kesempatan yang lebih luas dari lawannya.
Hampir setiap serangan lawannya tak dapat menyentuh tubuhnya, karena lambaran
ilmu Lembu Sekilan itu. Namun lawannya itu pun lincah bukan buatan. Betapa pun
Karebet mengerahkan segenap kemampuannya, namun orang itu pun sangat sukar
untuk dikenainya. Semakin lama, Karebet pun menjadi semakin marah. Namun
kecemasannya pun semakin tebal melingkar-lingkar di hatinya. Seandainya pada
saat itu, peronda dari Nara Manggala melihat mereka, maka ia tidak akan dapat
menghindarkan diri dari mala petaka. Karena itu selagi sempat ia berkata sambil
bertempur,
“Tuan Putri
masuklah. Tinggalkan tempat ini.”
Namun suaranya
itu disahut oleh lawannya,
“Tuan Putri
apakah Tuan Putri tidak ingin melihat tamu Tuan Puteri ini sampai pada saat
terakhir. Mungkin ia masih akan memberikan beberapa pesan sebelum ia mengakhiri
hidupnya.”
“Jangan
mengigau,” potong Karebet dengan marahnya. Dan darahnya serasa mendidih ketika
didengarnya orang itu tertawa berkepanjangan sambil menghindari setiap
serangannya. Karena itu, maka Karebet menjadi semakin memperketat geraknya.
Serangannya menjadi semakin lama semakin dahsyat. Bergulung-gulung seperti
angin prahara dipadang-padang rumput.
NAMUN lawannya
benar-benar selincah sikatan, selicin belut. Betapapun ia berusaha untuk
menyentuhnya, namun sentuhan sentuhan serangannya seolah-olah tidak dapat
menyakiti tubuh lawannya, karena serangan itu seakan-akan tergelincir. Tubuh
lawannya itu benar-benar licin. Meskipun sekali-kali Karebet berhasil menangkap
tangan atau kaki lawannya, namun ia tidak dapat menggenggamnya. Tubuh lawannya
itu dengan mudah, meluncur diantara jarinya, betapapun kuatnya ia menggenggam.
Akhirnya Karebet yang memiliki Aji Lembu Sekilan itu menyadari bahwa lawannya
itu tidak bertempur dengan tenaganya melulu. Namun iapun semakin benyak
berkeringat mengalir dari tubuhnya, tubuhnya itupun menjadi semakin licin.
Karena itu dengan geramnya ia mendesis,
“Aji Welut
Putih.”
Lawannya itu
tertawa pendek. Tetapi ia tidak berkata apa-apapun. Namun pertempuran itu
semakin dahsyat. Keduanya seakan tidak dapat disentuh oelh serangan lawannya.
Dengan demikian maka pertempuran itu tidak dapat dibayangkan kapan berakhir.
Itulah yang sangat mencemaskan Karebet. Betapa ia berusaha memeras segenap
kemampuan yang ada padanya. Kelincahan, kekuatan dan segenap tenaganya. Namun
orang itupun selalu mengimbanginya.
Orang itu,
yang tidak lain adalah Sultan Trenggana sendiri sebenarnya menjadi heran pula.
Karebet, anak yang dipungutnya dari tepi jalan itu ternyata memiliki kemampuan
yang dahsyat. Baginda itu menjadi angat terkejut ketika menyadari Karebet
memiliki ilmu Lembu Sekilan meskipun belum sempurna. Ilmu yang sudah jarang
diketemukan. Namun kini Baginda itu melihat, bahwa ilmu itu tersembunyi di
dalam tubuh anak itu. Karena itu Baginda menjadi sangat menyesal atas peristiwa
itu. Seandainya, Karebet itu tidak mendahuluinya, masuk keputren sebelum
diijinkannya, maka kesempatan anak itu di dalam jabatan keprajuritan sangat
besar. Dengan mengalami sendiri perkelahian dengan Karebet, Baginda segera
menilai kemampuannya. Ternyata anak itu, dalam olah kanuragan telah melampau
Tumenggung Prabasemi. Sehingga kemungkinan yang akan datang sangatlah luas bagi
Karebet. Namun sayang bahwa anak muda itu kini ditemukan di keputren.
Perkelahian
itu berlangsung dengan serunya. Masing-masing mampun melakukan perlawanan dan
tekanan yang mengagumkan. Masing-masing telah menunjukkan kelebihan dari orang
kebanyakan. Dan karena itulah Mas Karebetpun menjadi semakin cemas. Sehingga
akhirnya terasa bahwa ia tidak mampu mengalahkannya, meskipun ia menyangka,
bahwa dalam keadaan demikian, lawannyapun tidak dapat mengalahkannya pula.
Tetapi akhirnya terasa oleh mas Karebet, bahwa tekanan lawannya menjadi semakin
berat. Gerak lawannya semakin lincah, dan keringatnya semakin banyak, sehingga
tubuhnya menjadi semakin licin pula. Sebenarnyalah Baginda pun sedang berusaha
untuk mengakhiri pertempuran. Baginda adalah seorang prajurit yang mumpuni.
Beberapa macam ilmu tersimpan dalam dirinya, sebagaimanapun ia harus memiliki
berbagai macam bekal dalam perjalanannya sebagai seorang raja dan sekaligus
Senapati Perang. Karebet merasakan tekanan lawannya semakin tajam. Sejalan
dengan itu kecemasan di dadanyapun semakin melonjak. Ia menjadi heran, bahwa
tiba-tiba saja ia berhadapan dengan seorang sakti yang mampu menghadapi
ilmunya, Lembu Sekilan. Karena itupun Karebet mencoba mengingat nama semua yang
pernah dikenalnya. Para Perwira Nara Manggala, para Perwira dari Wira Tamtama
dan beberapa orang yang lain. Gajah Alit, Prabasemi, Paningron, Danapati,
Palindih dan yang lain-lain.
Namun
seandainya mereka, apakah dengan mudahnya melawan Lembu Sekilan, tanpa
melepaskan ilmu-ilmu mereka yang lain? Ternyata orang ini mampu. Bukan saja
dengan ilmu Welut Putih, namun serangan tanpa dilambari ilmupun berhasil
mendesaknya pula. Dan Bahkan kemudian terasa bahwa serangan serangannya mampu
mengetuk dinding Lembu Sekilannya. Meskipun tidak begitu tajam, namun Karebet
merasa, ada kekuatan yang mapu menerobos pertahanan ilmunya. Karena itupun
Karebet menjadi bingung. Orang ini pasti orang luar biasa. Dan tiba-tiba saja
Karebet mencoba mencari nama orang sakti diluar istana. Orang-orang golongan
hitam hampir semua dikenali cirinya, sehingga orang ini pastilah bukan salah
seorang dari mereka. Namun adakah orang sakti dari daerah lain?, atau mungkin
justru pamannya yang sedang mencoba mengujinya? Paman Kebo Kanigara? Namun
akhirnya Karebetpun pasti bahwa orang itu bukan Kebo Kanigara.
Akhirnya
Karebet yang menjadi sedemikian bingungnya. Ia tidak mau tertangkap oleh
siapapun. karena itu ia tidak punya pilihan lain daripada melumpuhkan orang
itu. Kemudian menyembunyikan puteri di keputren dan membuat cerita yang masuk
akal, tentang seseorang memasuki istana berkerudung ikat kepala. Meskipun
seandainya orang itu adalah perwira Nara Manggala sekalipun namun ia tidak
dalam kelengkapan pakaian Nara Manggala. Karena itu Karebet yang sudah
kehabisan akal itu dengan serta merta meloncat surut. Dengan cepatnya ia
mempersiapkan diri dari puncak ilmu yang dimilikinya. Ilmu yang dipelajari
dalam suasanya aneh. Ilmu yang disusunya tanpa seorang gurupun. Dan dinamainya
sendiri ilmu itu Aji Rog-Rog Asem. Nama yang ditemukan dalam daerah
penggembalaan, apabila para gembala sedang berebut asem. Namun Karebet itu
tidak pernah berebut dahulu mendahului, namun dengan ilmunya, Karebet mampu
menggetarkan pohon asam yang betapapun besarnya, sehingga hampir segenap
buahnya rontok karenanya. Meskipun demikian belum pernah seorang temanpun
melihat perbuatannya. Mereka hanya menyangka bahwa angin pusaran telah
merontokkan pohon asam itu.
Ilmu itupun
pada dasarnya berpangkal pada pengungkapan kekuatan. Namun ilmu Karebet tidak
saja mendasarkan pada kekuatan yang mampu meremukkan iga, namun juga mampu
meremas tulang-tulang lawannya, memutar tubuh lawannya sehingga tulamg belakangnya
patah. Itulah keajaiban ilmu Rog-Rog Asem. Ilmu dari seorang anak gembala yang
aneh bernama Mas Karebet. Kali ini, Karebet tidak melihat kemungkinan lain.
betapapun licinnya Aji Welut Putih, namun ia yakin bahwa Rog-Rog Asem akan
dapat menembusnya. Betapapun kuatnya orang itu apabila tersentuh Aji Rog-Rog
Asem, maka sudah pasti bahwa ia akan lumpuh. Sultan yang telah merasakan
tekanan tekanannya berhasil, menjadi heran melihat Karebet meloncat mundur. Ia
melihat anak itu menggosokkan kedua telapak tangannya, kemudian dengan
garangnya anak muda itu meloncat dengan kaki renggang, menekuk kedua lututnya,
siap melontarkan sebuah serangan. Baginda yang telah kenyang makan garam
perkelahian dan pertempuran itupun segera mengenal, bahwa anak muda itu telah
siap dalam puncak ilmunya. Karena itu sultanpun menjadi cemas. Ia belum dapat
menilai sampai berapa jauh ilmu yang dimiliki Karebet itu. Kalau kemudian
baginda melawan ilmu itu dengan ilmunya yang didasari dengan kekuatan dan
tenaga, apakah kira-kira yang akan terjadi? seandainya ilmu itu tidak seimbang,
dan ilmu Baginda itu jauh lebih dahsyat dari ilmu lawannya, maka terjadi suatu
pembunuhan. Dan Baginda tidak ingin membunuhnya. Meski membunuh anak itu sangat
menarik perhatiannya.
Karena itu
Baginda tidak segera mengetrapkan ilmunya yang dahsyat yang dinamainya Bajra
Geni, tetapi Baginda segera mateg ilmu yang lain. Ilmu Tameng Waja. Menurut
perhitungan Baginda, betapapun dahsyatnya ilmu lawannya, namun menilik usianya,
maka ilmu itupun belum pasti akan berhasil meruntuhkan pertahanan ilmu Tameng
Waja. Maka dengan demikian, ketika Baginda melihat Karebet meloncat sambil
mengayunkan ilmunya, Rog-Rog-Asem, justru baginda berdiri tegak bertolak
ilmunya Aji Tameng Waja dalam puncak kekuatannya. Sesaat kemudian terjadilah
benturan dahsyat. Benturan dari Rog-Rog-Asem menghantam benteng pertahanan
Baginda dalam ilmu Aji Tameng Waja. Baginda telah dipenuhi pelbagai pengalaman
dan pengetahuan dari pelbagai macam ilmu itupun terkejut mengalami hantaman Aji
Rog-Rog-Asem. Aji yang dilontarkan oleh seorang anak muda yang pantas menjadi
anaknya. Terasa di dada Baginda sebuah benturan yang seakan-akan merontokkan
seluruh iganya. Karena itu dengan mata yang berkunang-kunang Baginda terdorong
beberapa langkah surut. Terasa nafasnya menjadi sesak, dan hampir tidak dapat
menguasai keseimbangan. Dengan terhuyung-huyung akhirnya Baginda berhasil tegak
dalam keadaan keseimbangan yang mantap.
Maka kini
Baginda itu berdiri dengan kokohnya di atas kedua kakinya yang merenggang. Meskipun
debar di dadanya masih menggetarkan jantungnya, namun Baginda kini sudah mulai
tenang kembali setelah mengalami goncangan-goncangan yang tajam. Tetapi
goncangan-goncangan tubuh Baginda itu, masih belum menyamai goncangan perasaan
Baginda. Hampir Baginda tak percaya, seandainya Baginda sendiri tidak merasakan
bahwa isi dadanya seakan-akan menjadi rontok karenanya. Anak muda itu ternyata
memiliki kedahsyatan ilmu yang mengagumkan.
SEJAK semula
Baginda memang telah mengira, bahwa anak yang mampu meloncat mundur melampaui
blumbang sambil berjongkok, pasti bukan anak kebanyakan, namun Baginda sama
sekali tidak menyangka bahwa anak itu menyimpan ilmu yang sedemikian
dahsyatnya. Tetapi alangkah menyesalnya Baginda, bahwa anak itu berada di
keputren di malam hari tanpa setahu Baginda. Pada saat benturan itu terjadi,
Karebet pun terkejut bukan kepalang. Aji Rog-rog Asem, yang mampu merontokkan
buah-buah asem pada batangnya yang sebesar apapun itu, ternyata hanya mampu
mendorong surut lawannya beberapa langkah. Bahkan tangannya itu seakan-akan
telah membentur selapis dinding baja yang sama sekali tak tergoyahkan, sehingga
kekuatan yang tersalur lewat tangannya itu sebagian telah melontar kembali
melemparkan Karebet beberapa langkah mundur. Bahkan kemudian terasa, tangannya
itu nyeri dan nafasnya menjadi sesak. Sesaat Karebet itu berdiri kaku.
Kepalanya menjadi pening, dan seakan-akan bintang-bintang di langit itu
beterbangan turun mengerumuni kepalanya. Ketika perlahan-lahan kesadarannya
telah pulih kembali, dilihatnya lawannya itu masih tegak beberapa langkah di
hadapannya. Betapa Karebet menjadi semakin marah, sehingga matanya itu
seakan-akan menjadi menyala. Baginda, seorang yang memiliki berbagai
pengetahuan, kini sekali lagi terkejut ketika ditatapnya mata Karebet. Mata itu
benar-benar seperti mata kucing di malam yang gelap. Seakan-akan cahaya yang
biru hijau memancar dari dalamnya. Dan karena itulah maka Baginda menjadi
semakin menyesali keadaan.
Anak itu
benar-benar anak luar biasa. Dengan demikian Baginda menjadi semakin tertarik
kepadanya. Tetapi bagi seorang raja dan sebagai seorang ayah, Baginda tidak
dapat membiarkan peristiwa ini terjadi tanpa persoalan. Sebab dengan demikian,
maka baik Baginda sebagai raja maupun sebagai ayah, akan kehilangan nilai-nilainya
yang wajar, apabila persoalan yang tak pada tempatnya itu dibiarkannya.
Seandainya, ya, seandainya pada saat itu Baginda menjumpai orang lain, bukan
Karebet dan tidak memiliki ilmu sedahsyat Aji Rog-rog Asem serta Lembu Sekilan,
serta dari matanya tidak membayang cahaya yang biru kehijauan, maka Baginda
pasti sudah akan bersikap lain. Mungkin Baginda akan memaksa putrinya untuk
masuk ke bilik bundanya, dan menangkap anak itu sebagai seorang pencuri atau
apapun yang masuk ke dalam istana. Dengan demikian, maka orang itu akan dapat
dihukum berat.
Tetapi kini
yang dihadapi adalah seorang anak muda yang jarang-jarang ditemuinya. Alangkah
baiknya anak itu dalam kedudukannya dalam pasukan Wira Tamtama. Namun,
betapapun ia harus mendapat hukuman dari perbuatannya itu. Baginda tidak sempat
berangan-angan. Tiba-tiba ia melihat Karebet meloncat seperti serigala lapar
menerkam mangsanya. Namun Baginda bukan sekadar anak kambing yang hanya mampu
mengembik. Ketika Baginda menyadari betapa berbahayanya serangan yang masih
dilambari dengan Aji Rog-rog Asem itu, maka Baginda segera mengelak. Namun
Baginda kini berhasrat untuk segera menyelesaikan perkelahian itu sebelum orang
lain melihatnya. Sebab apabila orang lain melihat perkelahian itu, melihat
putri dan Karebet, maka Baginda tidak akan menyelamatkan nama putrinya dari aib
yang mencoreng kening, dan wajah Baginda pun akan tercoreng karenanya. Karena
itu, segera Baginda mateg aji kebanggaannya, Bajra Geni. Aji yang ampuh bukan
buatan. Namun Baginda benar-benar tidak mau membunuh atau melukai Karebet.
Karena itu, Baginda mengambil cara yang tidak berbahaya bagi lawannya. Dengan
kecepatan yang tak disangka-sangka oleh Karebet, Baginda melontar menyusul arah
lawannya yang terbang beberapa jengkal di sampingnya, karena terkamannya
dihindari. Dengan Aji yang dahsyat itu, Baginda memukul Karebet, namun tidak
pada tubuhnya. Baginda sengaja mengayunkan tangannya di wajah Karebet, tanpa
menyentuhnya.
Tetapi
alangkah terkejutnya Karebet. Baginda tidak melepaskan Aji Bajra Geni
sepenuhnya, namun getarannya telah cukup kuat untuk menggetarkan tubuh Karebet.
Karebet pun terkejut bukan kepalang. Terasa wajahnya seakan-akan disiram api.
Karena itu, maka dengan serta merta ia meloncat beberapa langkah surut. Dengan
tubuh gemetar ia memandang orang yang sebagian wajahnya terselubung oleh kain
ikat kepala itu. Dan didengarnya orang itu tertawa.
“Alangkah
dahsyatnya,” geram Karebet di dalam hatinya.
“Tangannya
sama sekali tidak menyentuh tubuhku. Namun getaran serta panas ilmunya telah
mampu menembus Aji Lembu Sekilan.
ORANG itu
masih tertawa berkepanjangan meskipun tidak terlalu keras. Kemudian terdengar
ia berkata,
“Bagaimana Aji
Lembu Sekilan. Apakah kau masih akan membanggakan Aji Lembu Sekilan yang
setengah matang itu. Aku belum menyentuh kulitmu, tetapi agaknya kau telah
merasakan akibatnya. Bahwa kekuatan Ajiku mampu menembus pertahanan Lembu
Sekilanmu.”
Karebet tidak
menjawab. Dengan marahnya ia menggeram. Tetapi ia benar-benar telah dapat
mengambil suatu kepastian, bahwa ia tidak akan mampu mengalahkan orang itu.
Karena itu Karebet menjadi semakin cemas. Ia sama sekali tidak mencemaskan
nasibnya, bahkan sampai mati sekalipun. Namun bagaimana kemudian dengan putri
itu? Belum lagi ia menemukan cara untuk menyelamatkan Putri itu, maka terdengar
orang yang berdiri di hadapannya itu berkata,
“Nah, apakah
kau masih akan melawan?”
“Jangan
menyombongkan diri. Kau lihat aku masih tegak di hadapanmu,” sahut Karebet.
“Hem,” desah
orang itu,
“Kau memang
keras kepala. Meskipun demikian aku beri kau kesempatan hidup. Tetapi serahkan
putri itu kepadaku.”
“Apa?”
Kata-kata Karebet tersangkut di kerongkongan karena kemarahannya yang
meluap-luap.
Sedang Putri
Sultan itu menjadi bertambah menggigil ketakutan. Perlahan-lahan wajahnya
beredar di antara batang-batang perdu di petamanan. Namun hatinya menjadi
bingung. Ia akan dapat berteriak memanggil beberapa peronda. Tetapi apa katanya
tentang Karebet dan orang yang berselubung kain itu? Dalam kebingungan Putri
itu mendengar orang berselubung itu berkata,
“Apakah Putri
akan memanggil Nara Manggala?”
“Ya,” sahut
putri itu tiba-tiba.
Kembali orang
itu tertawa. Jawabnya,
“Mereka akan
menangkap Karebet dan orang yang berselubung kain itu?”
Telinga
Karebet menjadi merah karenanya. Kemarahannya telah benar-benar sampai kepuncak
kepalanya. Apalagi ketika ia mendengar orang itu mengulangi,
“Anak muda.
Tak ada gunanya kau melawan. Ajimu kedua-duanya adalah ilmu yang sama sekali
tak berarti bagiku. Dengan duduk bertopang dagu aku pasti akan dapat
memunahkannya. Tetapi apakah kau mampu bertahan terhadap ilmuku meskipun kau
membentengi dirimu dengan Lembu Sekilan?”
Sekali lagi
Karebet mencoba melihat siapakah yang berdiri di hadapannya. Pamannya? Mahesa
Jenar? Pasti bukan. Mungkin orang-orang sakti yang lain? Di istana tidak banyak
dijumpai orang-orang yang pernah menggetarkan hatinya. Beberapa orang sakti
dari para prajurit berbagai kesatuan telah dikenalnya. Dan orang ini bukanlah
salah seorang dari mereka.
Sebelum
Karebet mampu memecahkan teka-teki itu. Karebet mendengar orang yang berdiri
dihadapannya itu berkata pula,
“Jangan
menunggu aku marah. Biarlah putri itu aku bawa.”
Sekali lagi
Karebet menggeram. Sahutnya,
“Lampaui
dahulu mayatku. Baru kau bawa Tuan Putri.”
Orang itu
mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
“Kau
benar-benar keras kepala.”
“Adalah akibat
dari perbuatanku. Tebusannya maut,” sahut Karebet, dan diteruskan,
“Apakah kau
sangka, sesudah aku, kau akan dapat melepaskan diri dari halaman ini? Kau mati
dipenggal oleh Nara Manggala.”
“Tak seorang pun
mampu menangkap aku,” jawab orang itu.
“Karebet
tidak. Gajah Alit tidak dan Panji Danapati pun tidak.”
Karebet
menarik alisnya. Orang itu dapat menyebut beberapa nama perwira dari Nara
Manggala. Karena itu tiba-tiba menjadi bercuriga. Apakah orang itu orang dalam?
Gajah Alit pasti bukan. Panji Danapatipun bukan. Siapa? Dalam kebingungan itu
kembali Karebet mendengar orang itu berkata,
“Ayo Karebet.
Katakan kepadaku, siapakah dari seluruh Demak mampu mengalahkan aku?”
Karebet
benar-benar mengigil mendengar kata-kata itu. Hampir saja ia menyebut beberapa
nama yang pernah dikenalnya di Karang Tumaritis. Namun niatnya diurungkannya.
Yang terdengar kemudian hanyalah gemeretak giginya beradu. Tetapi seperti
mendengar seribu guntur meledak bersama di atas kepalanya, kemudian Karebet
mendengar orang itu berkata,
“Karebet,
katakan, siapa yang mampu melawan Aji Bajra Geni?”
“Bajra Geni.
Bajra Geni.” Tanpa sadar Karebet mengulangi kata-kata itu.
“Ya,” sahut
orang itu pendek.
Tubuh
Karebetpun kemudian menjadi gemetar. Dengan ragu-ragu ia memandang orang yang
berdiri di hadapannya. Bajra Geni adalah nama ilmu yang dahsyat, sedahsyat ilmu
pamannya dan Mahesa Jenar. Setingkat pula dengan ilmu-ilmu luar biasa lainnya,
Lebur Seketi, Cunda Manik dan lain lainnya. Tetapi lebih daripada itu. Aji
Bajra Geni dikenal sebagai ilmu yang dimiliki oleh Sultan Trenggana. Karena itu
betapa debar jantung Karebet seakan-akan terhenti. Bahkan darahnyapun seakan
tidak mengalir lagi.
Sebelum
Karebet menyadari apa yang terjadi, maka tangan orang yang berdiri dihadapannya
itupun kemudian meraih kain yang menutupi wajahnya. Dengan sekali gerak, maka
kain itupun telah direnggutkan. Orang yang tegak berdiri dengan gagahnya itu
menarik tutup wajahnya, terdengar puteri Sultan itu menjerit kecil. Sesaat ia
memandangi wajah itu dengan tajamnya, namun sesaat berikutnya dengan serta
merta puteri menjatuhkan dirinya di kaki Baginda sambil menangis
sejadi-jadinya. Sedang Karebetpun kemudian berlutut pula pada kedua lututnya
sambil menyembah hampir mencium tanah.
“Jangan
menangis!,” bentak baginda.
“Diam atau
kututup mulutmu!”
Dengan sekuat
tenaga dan penuh ketakutan, Puteri mencoba meredakan tangisnya. Tetapi karena
itu maka tangis itu seakan-akan malahan meledak-ledak. Baginda masih juga
berdiri diatas kakinya yang renggang. Dipandangnya wajah Karebet dengan tajam,
setajam ujung pedang. Dan Karebetpun menundukkan wajahnya dalam-dalam.
“Ayahanda,”
terdengar puteri berkata diantara sendunya.
“Apakah kau
masih berhak menyebut aku sebagai ayahandamu?,” sahut baginda.
“Ayahanda,”
kembali terdengar kata-kata itu meloncat dari bibir Puteri yang sedang menangis
itu.
Namun Sultan
Trenggana itu tidak menjawab. Bahkan kemudian ia berkata kepada Karebet,
“Karebet,
apakah aku harus melampaui mayatmu?.”
“Ampun, Baginda,”
sahut Karebet gemetar,
“aku tidak
menyangka bahwa aku berhadapan dengan Baginda.”
“He, jadi
kalau tidak ada aku kau dapat berbuat sekehendakmu? Jadi kalau berhadapan
dengan orang lain, kau mengagung-agungkan kekuatanmu? Lembu Sekilan atau Aji
apa lagi yang kau miliki itu?”
“Ampun
Baginda,” Karebet semakin tertunduk.
Kini
harapannya untuk keluar dari kaputren menjadi lenyap. Ia tinggal menunggu besok
atau lusa, seorang algojo akan memenggal lehernya, atau menaikkan ke tiang
gantungan.
Apalagi ketika
didengarnya Baginda berkata,
“Karebet
itukah tanda terimakasihmu kepadaku. Bukankah kau telah aku pungut dari pinggir
jalan, kemudian aku coba untuk menjadikan kau seorang anak muda yang memiliki
kebanggaan dengan menyerahkanmu kepada Prabasemi dan kesatuannya. Kini ternyata
kau telah menyentuh kehormatanku. Sebagai seorang ayah dan seorang raja.”
Mendengar
kata-kata baginda itu tiba-tiba Karebet teringat kepada Tumenggung Prabasemi.
Hampir saja ia mengatakan persoalan Tumenggung kepada untuk mengurangi kemarahan
baginda kepadanya, tetapi kemudian niat itupun diurungkannya.
“Tak ada
gunanya,” katanya dalam hati. Dan kini ia tinggal pasrah kepada nasib yang
membawanya kearah maut. Tak ada hukuman lain yang pantas diberikan kepadanya
selain hukuman mati. Apalagi telah berani bertempur melawan Baginda.
“Mungkin
baginda sendiri yang akan membunuhku.” pikirnya.
Sebenarnya
baginda marah sekali kepada Karebet dan Puterinya. Tetapi terasa sesuatu yang
aneh menyelip dihati baginda. Justru setelah bertempur melawan Karebet,
kesaktian anak itu benar-benar menarik perhatiannya, sehingga bagindapun
berkata di dalam hatinya,
“Sayang, anak
ini memiliki kemungkinan dihari depannya. Kemungkinan yang tidak terbatas.
Kalau ia mampu mematangkan aji Lembu Sekilan dengan ilmu rangkapannya itu, maka
ia menjadi seorang sakti yang pilih tanding.”
Baginda
sendiri mempunyai dua orang putera disamping puterinya. Yang sulung, adalah
seorang yang sakti pula. Namun sayang, karena sesuatu hal, maka Pangeran itu
mempunyai penyakit berat di dalam rongga dadanya. Sedang puteranya yang seorang
lagi, masih terlalu muda, dan agaknya tidak akan menyamai kakak sulung.
Tetapi Baginda
tidak mau terpengaruh oleh perasaannya itu. Tetapi kemudian Baginda berkata
lantang kepada puterinya, \
“Cepat masuk kekeputren.
Jangan keluar dari pintu kalau bukan ibunda yang menjemputmu.”
Puteri itupun
menyembah sambil menangis. Tetapi ketika akan menjawab, Baginda membentaknya,
“Masuk ke
keputren!.”
Puteri Baginda
itu tidak berani mengangkat wajahnya. Sekali lagi ia menyembah, dan dengan
wajah tunduk serta airmata berhamburan, Puteri tertatih-tatih masuk ke
biliknya. Langsung direbahkannya dirinya di pembaringan menelungkup. Dan kepada
pembaringan serta dinding-dinding biliknya ia mengadukan nasibnya yang malang.
Betapa kecewanya dan menyesal hati puteri itu. Tetapi semuanya telah terlanjur
dilakukan. Dan ayahanda Baginda sendiri telah melihat langsung apa yang
terjadi. Di luar Keputren Karebet duduk bersila dengan wajah tepekur. Anak muda
ini menyesal pula atas semuanya yang telah terjadi. Namun, semuanya telah
berlalu. Dan yang dapat dilakukan kini tinggallah menunggu hukuman yang harus
disandangnya. Sesaat kemudian Bagindapun menjadi bimbanmg. Bagaimanapun anak
muda itu mempunyai tempat tersendiri di dalam hatinya sehingga dengan demikian,
mau tidak mau segala keputusan yang akan diambil oleh baginda sangat
terpengaruh oleh perasaannya itu.
“Karebet, ikut
aku ke Ksatriaan,” berkata Baginda kemudian.
“Hamba
tuanku,” sahut Karebet sambil menyembah.
Dan Baginda
tidak menunggu apapun lagi ditempat itu. Segera Baginda berjalan di antara
rimbunnya daun-daun perdu di halaman, supaya tidak seorangpun melihatnya.
Kepada Karebet, Baginda itu berkata,
“ikuti aku.
Jangan ada seorangpun yang melihatmu. Apabila demikian, maka nasibmu akan aku
serahkan kepada penjaga itu.”
Karebet
menyembah sambil menyahut,
“Hamba,
Baginda.”
Maka
keduanyapun berjalan mengendap endap menghindari peronda dari pengawal baginda.
Sehingga tak seorangpun yang mengetahuinya, maka berdua telah memasuki Ksatrian
dari pintu samping.
“Karebet,”
berkata Baginda setelah mereka di dalam bilik ksatrian.
“Tinggal di
sini. Jangan coba melarikan diri. Tak ada gunanya. Aku segera dapat menangkapmu
kemana saja kau bersembunyi. Sebab setelah ini, akan aku perintahkan segenap
peronda Nara Manggala untuk lebih berhati-hati. Tak seorangpun boleh
meninggalakan halaman istana. Apapun alasannya.”
“Hamba
tuanku,” jawab Karebet.
“Hamba tidak
akan berani melanggar perintah Baginda.”
Sesaat
kemudian Bagindapun mengenakan baju keprajuritan yang berada di Ksatrian.
Dengan pakaian itu kemudian baginda pergi meninggalkan bilik. Karebet yang
berada di dalam bilik itu menjadi bingung. Apakah yang akan dikatakan nanti
dipagi hari, jika beberapa orang emban atau jajar masuk ke dalam bilik untuk
membersihkannya. Dan apapula jawabnya jika Pangeran Timur nanti datang pula
kemari?
Tetapi Karebet
lebih takut lagi akan perintah baginda. Karena itu betapapun ia menjadi cemas,
namun ia tidak berani beranjak dari biliknya. Dengan lesu dijatuhkannya
badannya di atas lantai yang licin bersih dan mengkilap. Dengan berbagai macam
perasaan bercampur baur, Karebet memandang ke dinding yang kokoh kuat sekuat
baja.
“Dengan rogrog
Asem aku pasti mampu menjebol pintu ini, “ terdengar suara didalam hatinya.
“Gila,” jawab
suara yang lain
Dan kembali
Karebet dengan lemahnya duduk bersandar di dinding. Namun hatinya meronta-ronta
seperti api yang menyala-nyala. Ia tidak tahu apa yang telah dilakukan Baginda
setelah itu.
Dan kenapa
Baginda tiba-tiba mengenakan pakaian keprajuritan. Apakah nanti malam ini juga
Baginda akan melakukan hukuman atas dirinya? dan Sultan sendiri yang akan
menanganinya? Tetapi ternyata Karebet adalah anak yang aneh. Betapun
gelisahnya, namun ia tiba-tiba menguap. Dan setelah menggeliat, ia bergumam,
“Persetan
dengan segala macam hukuman. Lebih baik aku tidur. Dengan segala macam
kegelisahan dan penyesalan, soalku tidak selesai.”
Sesaat
kemudian, ia sudah tidur mendekur.
Betapa
terkejutnya penjaga dari kesatuan Nara Manggala ketika melihat baginda sendiri
lengkap dengan pakaian keprajuritan datang kepada mereka. Dengan tergesa-gesa
mereka segera berloncatan menyambut kedatangan baginda.
Beberapa orang
menjadi pucat, dan beberapa orang lagi menjadi cemas. Apakah yang akan terjadi
sehingga Baginda datang sendiri kepada mereka.
“Atas namaku,
panggil Prabasemi dari Wira Tamtama.”
“Hamba tuanku,
apakah Tumenggung Prabasemi harus menghadap baginda malam ini?”
“Ya!,”
“Hamba
Tuanku.”
Kemudian
ketika Baginda melangkah kembali ke Ksatrian, dua dari Nara Manggala segera
bersiap untuk mengantarkan. Namun mereka terkejut ketika Baginda berkata,
“Aku datang
sendiri. Aku kembali sendiri.”
Penjaga
menjadi heran. Tidak menjadi kebiasaan Sultan berbuat demikian. Tetapi tak
seorangpun berani bertanya. Dan mata mereka dipenuhi beribu-ribu pertanyaan
mengiringi Baginda lenyap dalam bayang-bayang pohon Sawo Kecik. Sepeninggal
Baginda, beberapa orang saling berbisik diantaranya.
“Aneh, kenapa
baginda memanggil Prabasemi di malam hari begini?”
Yang lain
menggeleng,
“memang aneh.”
“Tadi aku
melihat Karebet masuk istana, katanya kaki baginda terkilir.”
“Lalu sekarang
Prabasemi dipanggil, kenapa bukan Karebet yang harus memanggilnya? bukankah ia
prajurit Wira Tamtama?”
Kawannya hanya
dapat mengangkat bahunya sambil berkata,
“entahlah. Ada
sesuatu yang kurang wajar terjadi.”
“Apaaa?”
Orang itu
menggeleng,
“kalau aku
mengetahuinya kau pasti mengetahuinya juga.”
Mereka
kemudian terdiam. Masing-masing berjalan kembali masuk ke gardu peronda. Baru
saja mereka duduk, Nara Manggala tertua berteriak,
“bodoh kalian,
Kenapa kalian tidak berangkat memanggil Prabasemi?”
“Oh, hampir
aku lupa kepada perintah.”
Kemudian
dengan tergesa-gesa dua orang Nara Manggala segera bersiap untuk berangkat
menjemput Prabasemi. Mereka segera memperbaiki pakaian mereka, melengkapi tanda
keprajuritan. Dengan pedang di lambung masing-masing berdua segera pergi
menjemput Tumenggung Prabasemi. Meskipun tak seorangpun yang bercakap-cakap,
namun sebenarnya mereka saling bertanya di dalam hati, apakah yang sebenarnya
terjadi?
Sementara itu,
dari Gardu Penjaga, Baginda langsung masuk ke dalam biliknya dimana Permaisuri
dan dua orang emban sedang menunggu. Ketika permaisuri melihat kedatangan
Baginda, maka terdengar sebuah tarikan napas panjang.
“Nah, bukankah
aku masih utuh?,” kata Baginda
Sekali lagi
Permaisuri menarik napas. Katanya,
“Hamba menjadi
gelisah.”
Baginda
kemudian memandangi kedua emban yang duduk bersimpuh sambil menundukkan
wajahnya dalam-dalam. Sesaat kemudian berkatalah baginda
“Kembalilah ke
bilikmu masing masing emban.”
Kedua emban
itu terkejut. Dan bersamaan mereka menyembah sambil membungukkan badan mereka,
“Hamba
Baginda.”
“Tetapi,
ingat, apabila seseorang mendengar tentang puteri itu, kau berdualah yang akan
aku pancung di alun-alun.”
Kedua emban
menjadi pucat. Dengan gemetar, sekali lagi mereka menyembah dengan takjimnya.
“Nah
tinggalkan bilik ini.”
Keduanya tidak
menjawab. Namun setelah sekali lagi mereka menyembah, maka segera mereka meninggalkan
bilik itu.
“ALANGKAH
malangnya nasibku,” kata emban Permaisuri,
“Kalau aku
tadi tidak berjumpa dengan kau, maka aku tidak akan mengalami bencana ini.
Coba, apabila laki-laki itu atau Putri sendiri yang berceritera tentang
peristiwa itu, maka apabila ada orang lain yang mendengarnya, kamilah yang akan
dipancung. Hi, mengerikan.”
Emban yang
lain tidak menjawab. Terbesit pula penyesalan didalam dirinya. Tetapi apabila
dibayangkannya rumah yang megah dari Tumenggung Prabasemi serta segala macam
penghormatan yang akan didapatnya, maka emban itu sersenyum di dalam hati.
Putri itu pasti akan mendapat hukumannya. Setidak-tidaknya akan mengalami
pingitan yang lebih ketat. Sehingga dengan demikian, maka Prabasemi itu pasti
akan melupakannya. Kedua emban itu meninggalkan bilik Baginda, maka segera
Baginda mengatakan apa yang telah dialaminya serta apa yang telah terjadi.
Ketika
Permaisuri mendengar, bahwa berita yang dibawa oleh emban itu benar-benar
terjadi, maka dengan serta merta, pecahlah tangisnya. Alangkah hinanya. Apabila
Putri itu adalah putri seorang raja yang namanya ditakuti oleh lawan dan
disegani oleh kawan. Tetapi putrinya sendiri, sama sekali telah mengabaikannya.
“Kenapa hal
ini terjadi, Baginda?” tanya Permaisuri.
“Padahal
menurut hemat hamba, maka tidak kuranglah cara hamba untuk menjadikannya
seorang putri yang berbudi. Justru dalam masa pingitan, serta masa-masa
perkembangan jasmaniah dan rohaniah, bencana itu terjadi.”
Baginda tidak
menjawab. Bahkan wajahnya ditundukkannya, seakan-akan sedang menghitung
jari-jari kakinya. Sebagai seorang ayah, maka hampir-hampir Baginda tak dapat
menahan kemarahannya terhadap Karebet. Tetapi, sebagai seorang Senapati Perang,
maka Baginda dapat melihat kekuatan yang tersembunyi di dalam tubuh Karebet
yang telah berani melangkahi pagar kaputren itu. Bahkan sebagai seorang raja,
Baginda melihat masa depan dari kerajaannya, Demak, yang sampai kini masih
belum diketemukannya seorang sakti yang mempunyai kemungkinan yang tak terbatas
dimasa depannya. Pernah juga Baginda mendengar nama-nama, diantaranya Mahesa
Jenar yang bergelar Rangga Tohjaya. Namun orang itu telah lama membuang diri
dalam satu pengabdian yang luhur. Berusaha menemukan pusaka-pusaka Keraton yang
lolos dari perbendaharaan Istana.
“Tetapi orang
itu sama sekali bukan keluarga istana,” desis Baginda di dalam hatinya.
“Ah!”
Tiba-tiba Baginda terkejut sendiri oleh angan-angannya. Kemudian katanya di
dalam hati,
“Apakah
Karebet itu juga keluarga istana?”
Baginda
tiba-tiba menggeleng-gelengkan kepalanya. Sesuatu bergolak di dalam dadanya.
Dicobanya berkali-kali untuk mengusir perasaan yang mengetuk-ngetuk jantungnya.
Karebet itu adalah anak yang diketemukan di pinggir jalan. Tidak lebih. Bukan
kadang, bukan sentana.
“Tetapi ia
putra Ki Kebo Kenanga.” Kembali terdengar kata-kata jauh di dasar hatinya.
“Kebo Kenanga
adalah putra Pangeran Handayaningrat. Apakah dengan demikian tidak ada saluran
darah Majapahit di dalam tubuhnya?”
“Hem.” Baginda
menarik nafas dalam-dalam. Ketika Baginda itu berpaling, dilihatnya Permaisuri
masih menyeka kedua belah matanya yang basah.
“Sudahlah,”
hibur Baginda,
“Aku akan
mencoba mencari cara sebaik-baiknya untuk menolong keadaan.”
“Apakah cara
itu?” tanya Permaisuri.
“Aku belum
tahu,” sahut Baginda,
“Tetapi
mula-mula adalah menutup setiap kemungkinan, Putrimu itu dapat bertemu dengan
Karebet.”
Permaisuri
menganggukkan kepalanya.
“Besok,
Putriku akan aku bawa masuk ke dalam bilikku. Biarlah ia mengalami pingitan
yang lebih seksama.”
“Aku
sependapat,” sahut Baginda,
“Dan biarlah
anak muda yang bernama Karebet itu aku singkirkan pula dari Demak.”
“Akan
diapakan?”
“Biarlah anak
itu aku ambil dari Prabasemi, dan aku serahkan kepada Palindih di Bergota.”
“Hanya itu?”
Baginda
terdiam. Disadarinya, bahwa Pemaisuri itu benar-benar merasa terhina. Namun
Baginda tidak akan dapat mengatakan alasan-alasan yang dapat dimengerti oleh
Permaisuri secara keseluruhan. Sebab Permaisuri tidak merasakan kedahsyatan
ajian anak muda itu, tidak merasakan bahwa di dalam diri anak itu tersimpan Aji
Lembu Sekilan dan dari matanya memancarkan cahaya biru kehijauan seperti mata
seekor harimau yang garang di malam hari. Permaisuri tidak dapat mengerti bahwa
Demak memerlukan orang yang demikian itu. Orang yang mempunyai kemungkinan yang
tidak terbatas. Meskipun di seluruh wilayah Demak, banyak terdapat orang-orang
sakti, namun tidak seorang pun dari mereka yang pernah mempengaruhi perasaan
Baginda sebegitu dalam seperti Karebet, putra Ki Kebo Kenanga.
Sebelum Sultan
Trenggana menemukan jawaban atas pertanyaan Permaisuri itu, maka kembali
Permaisuri bertanya,
“hukuman apa
yang akan baginda berikan terhadap Karebet. Apakah hukuman itu cukup seimbang
dengan kesalahannya?.”
Baginda
menarik nafas, kemudian jawabnya,
“Hukuman itu
adalah hukuman sementara. Mungkin aku akan membuat pertimbangan lain. Namun
hukuman itu harus sesuai dengan keduanya. Sebab kesalahan itu tidak saja
terletak pada Karebet, tetapi pada Puteri juga.”
Tiba-tiba
Permaisuri mengangkat wajahnya. Sebagai seorang puteri, terasa kata-kata
baginda agak janggal. Karena itu katanya, “Baginda, apakah yang akan dilakukan
puteri kalau Karebet tidak memulainya? Aku yakin bahwa anak muda itu
memanfaatkan kesempatan. Apabila Baginda memanggilnya, maka dimanfaatkan
kesempatan itu sebaik-baiknya. Puteri adalah anak pingitan. Jarang-jarang ia
melihat anak muda di dalam biliknya yang sempit. Maka ketika dilihatnya Karebet
itu maka langsung mempengaruhi hatinya.”
Permaisuri itu
berhenti sejenak. Ditatapnya wajah baginda yang tunduk. Kali ini mereka tidak
berbicara sebagai Raja terhadap Permaisuri tetapi sebagai ayah dan seorang ibu.
Seorang ibu yang merasa tersinggung karena perbuatan seorang anak muda atas
puterinya dan seorang ayah yang melihatnya dari cakupan yang luas.
Maka dengan
hati-hati Bgainda berkata,
“Tetapi
apabila puterimu tidak memanggapinya, maka tidak terjadi sesuatu diantara
mereka berdua. Setiap hubungan antara anak muda dan gadis-gadis, pasti dimulai
dari kedua ujung hati masing-masing. Apabila tidak, maka hubungan itu tidak
akan terjadi.”
“Oh,” sahut
permaisuri.
“Baginda telah
berbicara tentang hati laki-laki, yang melihat perempuan dari sudut seperti
Karebet. Tetapi baginda tidak mau mendalami hati perempuan.”
“Mungkin
puteri mula-mula sama sekali tidak menanggapi sikap Karebet. tetapi lambat
laun, apabila Karebet mulai menyentuh hatinya, maka hati itu pasti cair.
Mungkin sikap itu mula-mula tidak lebih dari sikap gadis yang merasa kasihan
terhadap seorang anak muda yang terbakar hatinya.”
“Atau mungkin
Karebet sengaja membuat dirinya seakan-akan tidak mampu hidup tanpa puteri.
Atau apapun yang dilakukannya sebagai suatu cara meruntuhkan hati seorang
gadis. Meratap, mengancam, membangkitkan cemburu, bermanja-manja atau merayu.”
sahut Permaisuri.
Sekali lagi
Baginda menarik nafas.
“Kalau gadis
itu teguh hati, maka ia akan tetap dalam pendiriannya.”
“Betapapun
keras batu karang, namun titik-titik air akan dapat membuat lubang padanya.”
Sahut permaisuri.
Kali ini
Baginda mengangguk-anggukkan kepalanya. Belum pernah Permaisuri bersikap keras
kepadanya. Sebagai seorang permaisuri, setiap kali yang dilakukan adalah
menghambakan perintah Baginda. Mendengarkan kata-kata baginda dengan wajah
tunduk, kemudian tersenyum kalau baginda tersenyum, dan berduka kalau baginda
berduka. Namun Baginda bukanlah seorang laki-laki berhati batu.
Baginda dapat
mengetahui sepenuhnya perasaan Permaisurinya, dan bahkan berterimakasih pula
kepada permaisurinya itu. Namun kali ini Baginda menjumpai sikap yang jauh
berbeda. Permaisuri itu menjawab kata dengan kata, kalimat dengan kalimat.
Karena itu, maka baginda dapat mengerti, betapa pedih luka di hati
permaisurinya sehingga dilupakannya suba sita.
Meskipun
demikian, Baginda masih ingin untuk dapat menerangkan apakah sebabnya, maka
Karebet itu masih diberinya kesempatan, meskipun dijauhkan dari Demak. Tetapi
tidak saat ini, sebab apabila perempuan itu telah dikuasai oleh perasaannya,
maka setiap pertimbangan akan tersisihkan. Demikian juga Permaisuri kali ini.
Karena itulah maka dengan tersenyum Baginda berkata,
“Baiklah.
Biarlah aku pertimbangkan sekali lagi. Tetapi janganlah aku yang
dipersalahkan.”
Kata-kata itu
tiba-tiba menyadarkan Permaisuri akan dirinya. Ia sedang berhadapan dengan
seorang raja yang memiliki segala kekuasaan di tangannya. Tiba-tiba Permaisuri
menyembah sambil berkata,
“Ampun
Baginda. Aku telah berpendapat terlalu jauh. Namun aku hanya sekedar menuangkan
perasaan ibu atas bencana yang menimpa puterinya.”
Baginda
mengangguk-anggukan kepalanya,
“Aku mengerti.
Sebab aku bukan saja seorang Raja, Senapati Perang dan segala macam jabatan
pemerintahan, tetapi aku adalah seorang ayah pula.”
Black Titanium Weddingbands by Toto - TOTO - TOTO
ReplyDeleteFind black mens titanium necklace titanium weddingbands at titanium damascus knives TOTO. We titanium glasses buy wedding gear columbia titanium pants at TOTO. TOTO.com. Watch and order wedding gear online. camillus titanium