DADA Arya Salaka berguncang. Mahesa Jenar dan Ki Ageng Gajah Sora Dipayanapun segera berjongkok di sampingnya. Mereka sudah tidak dapat mempertahankan nyawa itu. Tuhan telah memanggilnya. Karena itu Ki Ageng Sora Dipayana berbisik di telinga anak muda itu.
“Sebutlah nama
Tuhan. Tuhan Maha Pengampun.”
“….Tuhan Maha
Pengampun…..”
Kata kata itu
hampir tak terdengar, namun Sawung Sariti telah mengucapkannya. Dengan
tenangnya ia menutup matanya.
Sebuah jerit
yang tinggi membelah keheningan suasana. Nyai Ageng Lembu Sora memekik dan
memanggil nama anaknya. Namun Sawung Sariti telah pergi.
Dengan air
mata yang berlinang Nyai Ageng Gajah Sora mencoba menenangkan hati adik
iparnya. Namun usahanya sia sia. Sawung Sariti adalah satu-satunya anak yang
akan menyambung hidupnya. Yang akan dapat menjadi tempat menumpahkan harapan
serta cita-citanya. Namun anak itu kini telah pergi dan tak akan kembali.
Karena itu seakan-akan nyawanya sendirilah yang telah lepas dari tubuhnya.
Kalau demikian maka akan lebih baik baginya seandainya nyawa anaknya dapat
ditukar dengan nyawanya. Seandainya ia sendiri boleh menggantikan anaknya
menghadap Tuhannya.
Lembu Sora
masih berdiri seperti patung. Bibirnya bergetar dan tubuhnya menggigil. Matanya
yang tajam menjadi suram dan berlapis air. Beberapa kali ia menggigit bibirnya,
tetapi kemudian bibir itu bergetar kembali. Dipandanginya wajah anaknya yang
pucat pasi. Namun bibir yang pucat itu membayangkan senyum keihlasan. Dan tiba
tiba diwajah yang pucat itu seakan akan memancar gambaran peristiwa yang pernah
terjadi. Anak itu terlampau jauh tersesat. Tetapi bukan salah anak itu. Dialah
yang telah mendorongnya tampil ke depan. Dengan penuh harapan dan khayalan masa
mendatang. Dimana dikayalkan kepada anak itu, kekuasaan dan kamukten yang
sempurna. Tanah Perdikan Pangratunan. Ki Ageng Lembu Sora menggeram. Penyesalan
yang tak terkira telah menghentak dadanya seperti akan pecah. Dahsyatnya
perasaan itu mencekam jiwanya, sehingga tiba-tiba tubuhnya mejadi lemah.
Perlahan lahan ia melangkah ke sudut ruangan itu. Kedua tangannya menutupi
wajahnya, seolah hendak menyembunyikan segenap kenangan yang datang silih
berganti. Hanya sesaat saat ia mendengar jerit tangis isterinya yang memenuhi
ruangan itu. Arya Salakapun tak dapat menahan rasa harunya. Meskipun nyawanya
sendiri hampir direnggut tangan adiknya namun ia tak sampai hati melihat
mayatnya terbujur diam dihadapannya. Karena itu, maka tanpa disadarinya ia
berdiri dan perlahan lahan melangkah keluar meninggalkan ruangan itu. Di bawah
pohon sawo ia terhenti. Suara tangis bibinya masih terdengar jelas. Akhirnya ia
berdiri saja disitu, bersandar pada pokok sawo yang jauh lebih besar daripada
tubuhnya sendiri.
Seluruh
Pamingit menjadi berkabung. Putera satu-satunya kepala daerah perdikan mereka
gugur pada saat anak muda yang berani itu bertempur melawan Bugel Kaliki. Tidak
saja orang Pamingit, namun orang Banyubiru pun ikut berkabung. Mereka ikut
merasakan betapa daerah perdikan belahan tanah Banyubiru itu kehilangan
pemimpinnya. Hari itu suasana Pamingit menjadi suram. Mereka disibukkan oleh
persiapan pemakaman jenasah pahlawan yang masih muda itu, yang gugur dalam
pengabdian dalam melawan Hantu Bongkok yang sakti. Ketika fajar pagi berikutnya
pecah di Timur, semua persiapan telah selesai. Hari itu akan diselenggarakan
pemakaman Sawung Sariti dengan upacara kebesaran. Seluruh penduduk Pamingit
tumplak blak berjejal di sepanjang jalan yang akan dilewati iringan jenazah.
Mereka ingin memberikan penghormatan terakhir terhadap pahlawannya, yang telah
menjadi tawur bagi kesejahteraan dan kebesaran rakyat Pamingit. Upacara itu
menjadi bertambah hidmad dengan hadirnya dua perwira pasukan Demak, Paningron
dan Gajah Alit. Keranda jenazah Sawung Sariti diletakkan di tengah-tengah
reruntuhan pendapa rumahnya. Dengan sengaja reruntuhan itu tidak dibersihkan
lebih dahulu. Para pemimpin Pamingit dan Banyu Biru, bahkan kedua tamu dari
Demak itu duduk saja di atas balok kayu yang berserak-serakan disekitar keranda
itu.
Di keempat
penjuru tampaklah beberapa orang laskar Pamingit berjaga-jaga dengan tombak di
tangan. Sedang di alun-alun telah siap laskar kehormatan yang akan mengantarkan
jenasah sampai ke peristirahatannya terakhir.
Keranda
pahlawan dengan latar belakang reruntuhan dan abu merupakan perpaduan pandangan
yang menggetarkan. Laskar yang berdiri tegak dengan senjata di tangan serta
para pemimpin yang duduk bertebaran, panji-panji dan tunggul, rontek dan
rangkaian bunga telah mencekam hati seluruh rakyat Pamingit dan Banyu Biru yang
sedang berada di Pamingit. Ketika matahari telah memanjat sampai ke ujung
cemara di sisi alun-alun, maka sampailah waktunya jenasah itu diberangkatkan.
Sesaat kemudian menggemalah bunyi kentongan di banjar desa disahut oleh setiap
kentongan yang berada di Pamingit, yang berada di gardu-gardu, di langgar, dan
di setiap rumah yang memilikinya. Dan dari sisi keranda itu menggemalah bunyi
sangkakala. Maka bersiaplah laskar Pamingit dan Banyu Biru untuk mengawal
jenasah pahlawan yang berani itu. Ketika jenasah diangkat oleh beberapa orang,
diantaranya Wulungan, Bantaran, Penjawi dan kehormatan yang diberikan untuk
pahlawan itu oleh Titis Anganten, Ki Ageng Pandan Alas, Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara, maka berbicaralah Gajah Alit atas nama pemerintahan Demak. Gajah Alit
yang memakai pakaian kebesaran pasukan Nara Manggala itu menyatakan betapa
besar terimakasih dan penghargaan Demak terhadap kesediaan pengabdian yang
diberikan oleh Sawung Sariti. Dengan darahnya ia telah mempertahankan tanahnya,
rakyatnya dan kebesarannya.
Lembu Sora
mendengarkan sesorah Gajah Alit dengan dada yang bergejolak. Ia mendengar
sesorah itu dirangkapi suara hatinya sendiri. Ia melihat luka yang tergores di
lengan anaknya. Ia melihat pula luka yang tergores didada Arya Salaka. Karena
itu ia menjadi bimbang karenanya. Apakah yang telah terjadi. Namun adakah
karunia Tuhan telah berkenan membersihkan nama anaknya pada saat-saat terakhir.
Kini anaknya gugur sebagai pahlawan. Karena tangan Bugel Kalikilah yang telah
membunuhnya. Dan sudah pastilah bahwa anaknya telah bertempur melawan demit
itu. Maka ketika datang saatnya jenazah itu diberangkatkan, sekali lagi Nyai
Ageng Lembu Sora memekik tinggi. Ia kemudian meronta-ronta di tangan Nyai Ageng
Gajah Sora dan Rara Wilis. Lembu Sora yang melihat keadaan isterinya menjadi
sangat beriba hati. Didekatinya isterinya itu, dipegangnya pundaknya dan
dibisikkan di telinganya kata-kata pemupus,
“Sudahlah Nyai
anakmu pergi menghadap Tuhannya dengan bekal yang cukup. Ia gugur sebagai
pahlawan. Ikhlaskan dia supaya ia menghadap Tuhan dengan tenang”.
Nyai Ageng
Lembu Sora mendengarkan kata-kata suaminya. Namun amatlah sulit baginya untuk
memadukan perasaannya dengan nalar. Karena itu, justru oleh sentuhan tangan
suaminya, hatinya makin bergelora. Cepat-cepat ia membalikkan tubuhnya
menjatuhkan dirinya di tangan suaminya. Setelah itu Nyai Ageng Lembu Sora tak
tahu lagi apa yang terjadi. Pingsan.
Beberapa orang
menjadi sibuk mengurusnya. Diangkatnya tubuh itu masuk ke Banjar Desa.
Dalam pada itu
keranda jenazah mulai bergerak. Di ujung barisan berjalanlah seorang anak muda
yang tegap perkasa, dengan tombak tak berwrangka di tangannya. Itulah Arya
Salaka yang mandi tombak pusaka Banyu Biru Kiyai Bancak. Sekali-sekali ia
menengadahkan wajahnya. Dan sekali sekali ia menunduk. Beribu-ribu masalah berputar-putar
di otaknya. Sesekali ia bersyukur kepada Tuhan yang telah menyelamatkannya, dan
sesekali ia berdoa semoga Tuhan menerima adiknya di sisinya. Kalau kemudian
matanya terasa panas, Arya segera mengangkat mukanya seolah-olah ada yang
dicarinya di antara belaian mega yang putih dihembus angin lembut dari
pegunungan. Hampir setiap wanita yang berdiri berhimpitan di tepi jalan
meneteskan air matanya. Mereka melepas pahlawan dengan hati yang sedih. Mereka
tahu bahwa Sawung Sariti adalah satu-satunya putera kepala daerah perdikan
mereka, bahkan putera yang agak terlalu dimanjakan.
“Betapa sedih
ibunya. Betapa sedih ayahnya,” desis mereka.
Namun Sawung
Sariti itu berjalan terus. Tubuhnya berjalan ketempat pemakaman, sedang
arwahnya berjalan menghadap Tuhannya. Di belakang keranda itu berjalanlah kedua
perwira dari Pasukan Demak, di sisinya Ki Ageng Sora Dipayana dengan kepala
tertunduk, sedang Ki Ageng Gajah Sora berjalan pula di belakangnya dan
disampingnya adalah Ki Ageng Lembu Sora.
Barisan
pengiring semakin lama semakin panjang. Setiap orang yang dilaluinya dengan
serta merta mengikuti di belakangnya mengantar sampai ke makam. Pamingit
benar-benar berkabung. Demikianlah Sawung Sariti telah mendapatkan penghormatan
terakhir sebagai seorang pahlawan. Apapun yang pernah dilakukan, namun ia
adalah anak yang berani. Sehingga setelah ia gugur, adalah menegakkan
pemerintahan di tanah kelahirannya. Di belakang mereka yang sedang mengantarkan
jenazah itu, di dalam pondok yang kecil, terbaringlah Galunggung dengan lemahnya.
Beberapa orang duduk di sampingnya dan mencoba membangunkan ia dari pingsannya.
Beberapa kali ia membukakan matanya, namun kemudian ia pingsan kembali. Tetapi ketika nafasnya telah berangsur baik,
maka Galunggungpun menjadi sadar. Sadar akan dirinya. Perlahan ia bangkit dan
duduk ditepi pembaringannya. Ketika ia mencoba untuk minum, didengarnya bunyi
kentongan.
“Tanda apakah
itu?,” terdengar ia bertanya lemah.
“Jenazah
Sawung Sariti akan diberangkatkan,” jawab salah seorang bawahannya yang sedang
merawatnya.
“Apa katamu?,”
kata Galunggung membelalakkan matanya. Bawahan Galunggung itu terkejut melihat
sikapnya. Namun ia menjawab juga,
“Ya jenazah
angger Sawung Sariti dimakamkan.”
“Jadi kau
maksud Sawung Sariti telah meninggal?”
“Ya”
“Omong
Kosong!,” bentaknya.
Bawahannya
menjadi semakin tidak mengerti. Dan ia mencoba menjelaskan,
“Angger Sawung
Sariti terbunuh ketika ia sedang bertempur melawan Bugel Kaliki.”
“Gila, gila!,”
Galunggung tiba-tiba mencoba untuk berdiri sambil memaki habis habisan. Tetapi
tenaganya lemah sekali sehingga ia terbanting di tempat pembaringan. Pingsan.
Tetapi tidak
lama kemudian Galunggung membuka matanya kembali. Ia segera bangkit dan
merenggut kain penyejuk di kepalanya. Matanya memandang berkeliling ruangan
yang sempit itu. Tetapi mata itu kini menjadi merah. Seperti orang kehilangan
ingatan ia berdiri tegak dan berteriak.
“He, kau tahu
kenapa Sawung Sariti mati?”
Bawahannya
menjadi cemas. Sambil menggeleng ia menjawab sekenanya,
“tidak.”
“Sawung Sariti
mati karena penghianatan. Ternyata Bugel Kaliki bekerja sama dengan Arya
Salaka. Mereka bersama-sama membunuh Sawung Sariti!,” teriak Galunggung dengan
mata bertambah liar.
“Tetapi mereka
bersama-sama bertempur melawan Bugel Kaliki,” sahut bawahannya.
“Bodoh, Bodoh
kalian,” teriak Galunggung.
“Kalian tahu
apa. Akulah yang paling tahu keadaannya, karena itu aku harus membalas dendam.”
Bawahannya
semakin tidak mengerti. Mereka menjadi bingung. Dan mereka menjadi terkejut
ketika tiba-tiba Galunggung menyambar pedang salah satu dari mereka dan
tiba-tiba ia meloncati pintu dan berlari sekencang-kencangnya menyeberangi
halaman. Sesaat kemudian ia sudah hilang di balik regol halaman itu.
Beberapa orang
bawahannya menjadi bingung. Untuk sesaat mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Tetapi sesaat kemudian mereka sadar Galunggung menjadi orang berbahaya. Karena
itu mereka harus berusaha mencegahnya. Setidak-tidaknya melaporkan kepada Ki
Ageng Lembu Sora. Karena itu maka merekapun bergegas meninggalkan halaman itu.
“Kemana?,”
tanya salah seorang dari mereka.
“Menyusul ke
makam,” jawab yang lain.
Dengan
berlari-lari kecil merekapun segera pergi ke makam, dimana jenazah pahlawan
yang masih sangat muda itu di makamkan.
Pada saat itu,
keranda jenazah berhenti di samping liang kubur yang sudah dipersiapkan. Ketika
jenazah sudah dibaringkan, doapun dipanjatkan. Pemakaman itu berlangsung dengan
selamat. Segala sesuatu seperti yang direncanakan. Ketika mereka akan
meninggalkan onggokan tanah yang masih merah serta sepasang maejan yang masih
baru pula, mereka melihat Arya Salaka berjongkok di samping gundukan tanah itu.
Bibirnya bergerak mengucapkan beberapa patah kata, namun tak seorangpun yang
mendengarnya. Lembu Sora sendiri agaknya telah berhasil menguasai perasaannya.
Ia tidak dapat berbuat lain daripada menerima segala peristiwa ini sebagai
suatu peringatan baginya. Meskipun peringatan itu terasa terlalu berat.
Satu-satunya anak telah dilepaskan, sedangkan daerah perdikan menjadi hancur
berantakan.
SESAAT
kemudian makam itu telah sunyi kembali. Seonggok tanah dan sepasang maejan baru
berada di tengah-tengahnya. Di atasnya bergerak-gerak dalam belaian angin
pegunungan, daun-daun dan bunga-bunga kamboja yang putih bersih. Sepi, sesepi
hati Lembu Sora. Hanya kadang-kadang terdengar ciap burung pipit yang
beterbangan mencari makanan buat anak-anaknya yang ditinggalkan di atas sarang.
Di perjalanan pulang itulah mereka melihat tiga orang berjalan bergegas-gegas
ke arah mereka. Ki Ageng Sora Dipayana yang berjalan di paling depan bersama-sama
dengan Paningron dan Gajah Alit segera bertanya kepada mereka.
“Apa yang
terjadi?”.
Orang itu pun
berceramah tentang Galunggung. Mereka menyangka bahwa Galunggung telah pergi ke
makam dan mengamuk di sana. Tetapi ternyata Galunggung tidak ada diantara
mereka, karena itu mereka menjadi sangat cemas karenanya. Galunggung adalah
gambaran diri seorang yang mabuk pada kekuasaan, pangkat dan penghargaan. Ia
dapat berbuat apa saja untuk mencapai maksudnya. Dan sekarang orang itu agaknya
kehilangan keseimbangan pikirannya. Sebab dengan hilangnya Sawung Sariti,
segala cita-citanya ikut lenyap pula.
“Wulungan….”,
Ki Ageng Lembu Sora memanggil. Wulungan pun segera berjalan di sampingnya.
“Lihatlah, apa
yang dilakukan oleh anak gila itu,” desisnya.
“Baik Ki Ageng,”
jawab Wulungan. Dan Wulungan pun segera berjalan mendahului orang-orang yang
pulang dari makam itu.
Ketika
Galunggung meninggalkan regol halaman, ia memang tidak bermaksud pergi ke
makam. Otaknya yang dipengaruhi oleh bermacam-macam persoalan itu ternyata
tidak dapat lagi bekerja dengan baik. Dengan pedang telanjang ia berlari-lari
ke banjar desa. Di dalam banjar desa itu, beberapa orang perempuan sedang
mencoba menenangkan hati Nyai Ageng Lembu Sora yang beberapa kali jatuh
pingsang kembali. Sekali-kali ia menangis melolong-lolong, seperti anak-anak
yang kehilangan golek kesayangannya. Namun semakin lama ia menjadi semakin
tenang. Tetapi sesaat kemudian, mereka digaduhkan oleh kedatangan Galunggung.
Pedangnya yang telanjang itu diayun-ayunkan sambil berteriak memaki-maki. Dan
karena itu bubarlah perempuan-perempuan desa itu bercerai berai.
Perempuan-perempuan itu berteriak-teriak dan berlari-larian. Mereka pada
umumnya telah mengenal siapakah Galunggung itu. Seorang yang menakutkan bagi
perempuan-perempuan, apalagi perempuan-perempuan muda. Sekarang orang yang
menakutkan itu membawa pedang sambil berteriak memaki-maki.
Nyai Ageng
Lembu Sora terkejut juga melihat kedatangan Galunggung. Sesaat ia lupa pada
keadaan dirinya sendiri. Ketika sebagian dari perempuan-perempuan itu telah
berlarian keluar, maka Galunggung pun masuklah ke banjar desa sambil berkata,
“He, di mana Arya Salaka?”.
“Galunggung!”,
panggil Nyai Ageng Lembu Sora.
“Aku mencari
Arya Salaka”, jawab Galunggung.
“Kenapa dengan
Arya Salaka?”, tanya Nyai Ageng.
“Pengkhianat.
Dibunuhnya Sawung Sariti bersama-sama dengan Bugel Kaliki,” jawab Galunggung.
Nyai Ageng
Lembu Sora mengerutkan keningnya. Katanya,
“Kau keliru
Galunggung. Mereka berdua telah berjuang bersama-sama melawan Bugel Kaliki
itu.”
“Omong
kosong!”, bentak Galunggung.
“Galunggung!”,
potong Nyai Ageng Lembu Sora, “Kau kenal aku bukan?”
“Ya, ya. Nyai
Ageng Lembu Sora,” jawab Galunggung.
“Nah, kalau
demikian dengar kata-kataku,” sahut Nyai Ageng Lembu Sora,
“Kau terlalu
letih barangkali. Beristirahatlah.”
“Tidak!” jawab
Galunggung, matanya semakin bertambah liar.
“Aku harus
membunuh Arya Salaka.”
“Jangan
sembunyikan monyet itu,” bentaknya.
“Jangan
membentak-bentak aku Galunggung,” jawab Nyai Ageng Lembu Sora,
“Aku adalah
ibu Sawung Sariti itu, dan aku adalah Nyai Ageng Lembu Sora, istri kepala
daerah perdikanmu.”
SEJENAK
Galunggung terdiam. Ia berhadapan dengan istri kepala daerah perdikannya.
Tetapi sesaat kemudian otaknya yang sudah tidak wajar lagi itu
menyentak-nyentak kembali. Dan tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak. Suaranya
menggelegar seperti suara hantu yang kegirangan.
“Diam!” bentak
Nyai Ageng Lembu Sora. Tetapi Galunggung tidak mau diam. Tertawanya bertambah
keras.
“Nah, katanya
kau juga sudah berkhianat seperti Arya Salaka. Kalau demikian, akulah tinggal
satu-satunya orang yang setia. Setia kepada Sawung Sariti dan setia kepada
cita-citanya. Mempersatukan tanah perdikan Banyubiru dan Pamingit. Ki Ageng
Lembu Sora sendiri pun sudah tidak setia lagi. Kalau begitu semua harus aku lenyapkan.
Arya Salaka, Lembu Sora dan monyet bangkok yang sudah dibebaskan dari Demak
itu.”
“Galunggung!”
teriak Nyai Ageng Lembu Sora, “Kau sudah gila!”
Tetapi
Galunggung tertawa terus. Di antara derai tertawanya ia berkata,
“Kalian,
perempuan-perempuan ini pun akan aku bunuh pula, sebab kalian tidak mau
menunjukkan di mana Arya Salaka berada.” “Jangan mengigau,” potong Nyai Ageng
Lembu Sora, tetapi hatinya pun menjadi bergetar. Juga Nyai Ageng Gajah Sora,
menjadi gemetar. Galunggung agaknya telah benar-benar kehilangan pikiran
wajarnya. Dan ketika pedangnya itu diayun-ayunkan, bergetarlah setiap dada
orang yang melihatnya. Beberapa orang menjadi menggigil dan yang lain menjadi
lemas tak berdaya.
“Kalian tak
akan dapat lari. Kalau kalian mencoba meloncat keluar, aku akan dapat mengejar
kalian. Dan kalian akan aku bunuh satu persatu. Satu demi satu!”
Kembali suara
tertawanya membelah ruangan banjar desa yang tidak terlalu lebar itu.
“Galunggung…”
kata Nyai Ageng Lembu Sora. Namun suaranya sudah agak gemetar,
“Kau telah
mengkhianati Ki Ageng Lembu Sora. Kepala daerah perdikanmu.”
“Akan aku
bunuh dia. Sebab orang itu tidak setia kepada cita-citanya. Kenapa tidak
dibunuhnya Arya Salaka. Dan kenapa dibiarkannya Gajah Sora itu kembali?
Pengkhianat!” teriaknya.
Nyai Ageng
Lembu Sora tak dapat berbuat apa-apa lagi. Galunggung telah menjadi gila dan
tidak dapat mendengarkan kata-katanya. Karena itu, ia pun menjadi semakin
ngeri. Apalagi ketika kemudian setapak demi setapak sambil tertawa
berkepanjangan, Galunggung melangkah maju.
“Tak ada
gunanya kalian lari.”
Tetapi
perempuan-perempuan itu memekik-mekik dan mereka menghambur keluar dari ruangan
itu. Beberapa orang yang masih sadar mencoba menarik tangan Nyai Ageng Lembu
Sora dan Nyai Ageng Gajah Sora sambil berbisik,
“Selamatkan
diri Nyai Ageng berdua.”
“O!” teriak
Galunggung. “Kemana kalian akan menyelamatkan diri?”
Nyai Ageng
Lembu Sora dan Nyai Ageng Gajah Sora benar-benar tak melihat jalan untuk
menyelamatkan diri. Agaknya mereka berdualah yang pertama-tama harus dibinasakan.
Karena itu mereka pun menjadi ketakutan dan gemetar sehingga keduanya menjadi
saling berpegangan dengan eratnya. Namun di antara perempuan-perempuan itu,
tidaklah semua menjadi ketakutan dan kehilangan akal. Tidak semua berlari-lari
sambil berteriak-teriak. Ketika Galunggung benar-benar tak dapat mendengarkan
kata-kata Nyai Ageng Lembu Sora, dan ketika ia melangkah maju setapak demi
setapak, maka tanpa berjanji tampillah dua orang gadis, berdiri tegak dengan
tenangnya di hadapan dan membelakangi Nyai Ageng Lembu Sora dan Nyai Gajah Sora
itu. Keduanya adalah Rara Wilis dan Endang Widuri. Maka terdengarlah bisik Rara
Wilis perlahan,
“Tenangkan
hati Nyai. Akan aku coba mencegah perbuatan orang itu.”
Nyai Ageng
Lembu Sora dan Nyai Ageng Gajah Sora terkejut, bahkan Galunggung yang gila itu
pun terkejut melihat ketenangan dua orang gadis itu. Nyai Ageng Gajah Sora dan
Nyai Ageng Lembu Sora masih belum mengenal terlalu banyak, siapakah mereka itu.
Yang mereka ketahui hanyalah nama kedua gadis itu, dan bahwa kedua gadis itu
bukanlah gadis Pamingit dan bukan pula gadis Banyubiru.
“Nini…”
panggil Nyai Gajah Sora,
“Kemarilah.”
Tetapi Rara
Wilis dan Endang Widuri tidak bergerak lagi dari tempatnya. Bahkan menoleh pun
tidak. Pandangan mereka tertuju ke mata pedang Galunggung yang berkilat-kilat
tajam. Meskipun demikian Rara Wilis menjawab,
“Biarlah aku
coba, Nyai.”
“Jangan Nini,”
Nyai Ageng Lembu Sora pun mencoba mencegahnya. Ia tahu benar betapa
berbahayanya Galunggung bagi perempuan. Apalagi gadis-gadis cantik itu.
SEJENAK
Galungung memandangi keduanya. Mula-mula matanya menjadi bersinar-sinar. Sambil
tertawa dalam gilanya,
“Hai
gadis-gadis cantik, jangan berdiri di situ. Biarlah aku selesaikan urusanku.
Nanti kau boleh ngunggah-unggahi. Kau akan menjadi istri kepala daerah perdikan
Pamingit dan Banyubiru. Kau dan aku.”
Ujung
pedangnya bergerak-gerak menunjuk ke wajah Rara Wilis dan Endang Widuri. Namun
kedua gadis itu tidak beranjak dari tempatnya.
“Nini,”
panggil Nyai Ageng Lembu Sora cemas, “Menyingkirlah.”
Wilis menarik
nafas. Ia sudah beberapa kali menghadapi lawan. Bahkan ia pernah behadapan
dengan orang yang sedang terganggu syarafnya. Gila. Meskipun demikian ia masih
mencoba untuk menenangkan hati Galunggung,katanya, “Galunggung, kalau ada
persoalan biarlah persoalan itu diselesaikan. Persoalan antara kau dan Arya
Salaka atau antara kau dan Paman Lembu Sora. Tetapi kami perempuan-perempuan di
sini, tidaklah tahu persoalan itu. Dan kalau kau bunuh kami pun persoalanmu
tidak akan selesai.”
Sekali lagi Nyai
Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora menjadi keheran-heranan. Kata-kata
Rara Wilis diucapkan las-lasan, kata demi kata. Sama sekali tak menunjukkan
tanda-tanda kecemasan apalagi ketakutan. Galunggung mengerutkan keningnya.
Matanya tiba-tiba menjadi suram. Meskipun otaknya tak wajar lagi, namun
lamat-lamat ia menjadi teringat bahwa ia pernah melihat gadis-gadis itu. Satu
atau dua kali tetapi dimana dan kapan. Akhirnya wajahnya menjadi tegang ketika
kemudian teringat olehnya, dimana ia bertemu dengan kedua gadis itu. Sehingga
terlontarlah dari mulutnya,
“He bukankah
kau gadis-gadis gila dari Gedangan?”
“Kau masih
mengenal kami?” jawab Widuri.
“Bukankah kau
pernah mengunjungi kami di Gedangan? Bersama Harimau betina dari Gunung Tidar
dan kemudian Sepasang Uling dari Rawa Pening?”
“Gila!” teriak
Galunggung. Matanya menjadi liar kembali. Kedua gadis itu ternyata pernah
menghadapi laskarnya sebagai lawan yang tangguh. Bahkan bukankah mereka pernah
bertempur melawan Jaka Soka dan istri Sima Rodra? Tetapi otak Galunggung itu
benar-benar telah tidak dapat berputar. Pikirannya hanyalah sesaat terpencar di
kepalanya. Kemudian kembali gilanya mempengaruhinya. Karena itu maka sekali
lagi ia tertawa,
“Bagus, bagus.
Kalian akan menjadi istri yang baik. Menepilah, jangan biarkah perempuan itu
melarikan diri.”
“Jangan maju
lagi,” potong Rara Wilis. Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora
sekali lagi terkejut. Mereka tidak percaya apa yang dikatakan oleh Rara Wilis.
Tetapi sekali lagi mereka mendengar gadis itu memerintah,
“Galunggung,
tetap di tempatmu.”
Galunggung
yang hampir saja melangkah maju, terhenti juga. Dipandangnya Rara Wilis dengan
tajamnya. Matanya telah memerah, semerah darah. Kemudian ia berteriak nyaring,
“Pergilah atau
kau akan lebih dahulu mati?”
Nyai Ageng
berdua di belakang kedua gadis itu benar-benar menjadi cemas, mereka tidak mau
mengorbankan orang lain untuk keselamatan mereka. Karena itu Nyai Ageng Gajah
Sora berkata,
“Biarlah kami
selesaikan urusan kami nini. Menyingkirlah.”
“Tenangkan hati
Nyai Ageng berdua,” sahut Wilis, dan kedua perempuan yang ketakutan itu menjadi
semakin tidak mengerti. Dalam pada itu Rara Wilis dan Widuri sudah tidak
melihat kesempatan lain, kecuali mengusir orang gila itu dengan kekerasan.
Karena itu tiba-tiba Widuri berbisik,
“Serahkanlah
kepadaku, Bibi.”
Rara Wilis
meredupkan matanya. Ia menjadi ragu-ragu. Gadis kecil ini masih terlalu sukar
untuk mengendalikan dirinya. Kalau kemudian Galunggung itu terbunuh oleh
Widuri, masih belum diketahui apakah Ki Ageng Lembu Sora membenarkannya. Karena
itu maka ia menjawab,
“Aku sajalah
yang menyelesaikannya, Widuri.”
“Ia
bersenjata,” jawab Widuri,
“sedangkan
bibi tidak. Apalagi bibi tidak siap dengan pakaian wajar untuk bertempur.”
“Kau juga
tidak Widuri,” sahut Wilis.
Ketika
Galunggung kemudian tertawa kembali sambil melangkah maju. Wilis berkata,
“Berikan
kalungmu itu kepadaku. Aku pernah menggunakan segala macam senjata, selain
kekhususan dalam bermain pedang. Rantaimu itu akan lebih baik daripada
sulur-sulur kayu yang pernah aku pakai berlatih dengan eyang Pandan Alas.”
Widuri
ragu-ragu sejenak. namun Wilis berkata tegas,
“serahkanlah.
Orang gila itu sudah hampir mulai.” Widuri tidak dapat berbuat lain daripada
melepaskan kalung peraknya. Kemudian ia melangkah surut berdiri disamping Nyai
Ageng Gajah Sora yang menjadi bertambah cemas.
“Pergilah,
pergilah,” teriaknya.
“Biarlah
nyai,” sahut Widuri,
“bibi Wilis
akan dapat menjaga diri.”
Nyai Ageng
Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora tak dapat berbuat apa-apa lagi. Galunggung
sudah berdiri selangkah di muka Wilis. Pada saat itu, Rara Wilis terpaksa
menyangkut ujung kain panjangnya pada sabuknya. Pada saat itulah pedang
Galunggung teracung di dadanya. Sambil tertawa ia berkata,
“sayang dada
ini akan tembus oleh senjataku.”
Rara Wilis
mengerutkan keningnya, mata orang itu benar-benar mengerikan. Namun Rara Wilis
adalah gadis yang tabah. Karena itu ia bergeser dari tempatnya. Bahkan ia telah
bersiap menghadapi setiap kemungkinan. Ia tidak memegang rantai Widuri di
pangkalnya dan menggunakan Cakra yang tersangkut dirantai itu untuk melawan
Galunggung. Tetapi Rara Wilis memegang pada ujungnya dimana cakra itu
tersangkut. Bahkan Cakra itu dilepaskannya, dan diserahkan kepada Widuri.
Widuri melihat bagaimana Rara Wilis mempergunakan senjatanya. Karena itu ia
segera memakluminya, bahwa Rara Wilis agaknya hanya ingin mengusir Galunggung
dari banjar desa.
Ketika sekali
lagi suara Galunggung menggelegar, Rara Wilis membentaknya dengan nada yang
tinggi,
“Diam, dan
tinggalkan tempat ini!.”
Tiba-tiba tawa
Galunggung berhenti. Ia memandang Rara Wilis dengan mata merah, katanya,
“Apa maumu?.”
“Tinggalkan
tempat ini,” ulang Rara Wilis.
Galunggung
memandang semakin tajam. Gadis ini memang cantik. tapi baginya lebih baik
menjadi Kepala Perdikan yang kaya raya daripada menuruti perintah itu. Jarak
jangkau pada kedudukan kepala daerah perdikan disangkanya terlampau pendek.
Bukankah tinggal membunuh Arya Salaka, Gajah Sora dan Lembu Sora saja. Mudah
sekali, mudah sekali. Karena itu ia menggeram,
“jangan gila.
Jangan menghalangi aku!”
“Kau yang
gila,” bantah Rara Wilis. Galunggung menjadi benar-benar marah. Dan tiba-tiba
ia menakut-nakuti Wilis dengan pedangnya. Pedang yang telanjang itu
diacung-acungkannya dengan gerakan menghentak-hentak. Berdesirlah dada Nyai Ageng Gajah Sora dan
Nyai Ageng Lembu Sora. Namun Rara Wilis bergeserpun tidak.
“Jangan
berlaku seperti Buta Terong,” teriak Widuri yang tidak dapat menahan gelinya
melihat solah Galunggung. Mendengar kata-kata itu Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai
Ageng Lembu Sora menjadi heran. Galunggung yang marah dalam kegilaannya itu
dianggap sebagai suatu pertunjukan yang mengasyikkan oleh gadis ini.
Meskipun
Galunggung telah hampir gila, namun kata-kata Widuri itu telah memanaskan
kupingnya. Karena itu ia berteriak,
”tutup mulutmu
atau aku akan menyobeknya.”
Widuri
benar-benar nakal. Ia malahan tertawa kecil. Dan karena Galunggung tak dapat
menahan diri lagi. Langsung ia meloncat dengan pedang terulur, tidak menyerang
Rara Wilis tetapi menyerang Endang Widuri.
Bagaimanapun
Galunggung mencoba mempergunakan setiap kemampuan yang ada dalam dirinya, namun
dengan lincahnya Widuri berhasil menghindarkan dirinya. Seperti seekor kijang
ia melompat ke samping. Tetapi ia tidak berani menentang maksud Rara Wilis,
karena itu ia tidak membalasnya. Malahan ia lari seperti seekor kelinci dan
bersembunyi di belakang Rara Wilis. Namun tawanya masih saja terdengar,
meskipun gadis nakal itu berusaha untuk menahannya.
Wilis melihat
sikap Widuri itu dengan menahan nafas. Ketika Widuri sudah berdiri
dibelakangnya ia berbisik,
”Jangan
terlampau nakal Widuri.”
“Aku tidak
dapat menahan geli bibi,” jawabnya.
Galunggung
telah benar-benar menjadi marah. Pedangnya kemudian diputar-putarnya di atas
kepala. Sambil berteriak-teriak ia meloncat menyerang Rara Wilis. Namun Rara
Wilis sudah bersedia. Dengan cepatnya ia meloncat ke samping, kemudian rantai
di tangannyapun diurainya.
NYAI AGENG
Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora meskipun tidak memiliki kemampuan
bertempur dan tata bela diri namun mereka adalah istri-istri kepala daerah
perdikan, yang dalam kedudukannya sekali dua kali pernah dilihatnya
perkelahian, meskipun hanya dalam latihan-latihan laskar-laskar mereka. Karena
itu, ketika mereka melihat bagaimana Endang Widuri menghindar dan bagaimana
Rara Wilis dengan gerak sederhana membebaskan dirinya dari serangan Galunggung,
mereka pun menyadari, bahwa wajarlah kalau kedua gadis itu sama sekali tidak
takut menghadapi Galunggung.
Ternyata dalam
perkelahian berikutnya, Galunggung tidak lebih daripada seorang raksasa rucah
yang bertempur melawan kesatria-kesatria Pandawa. Meskipun ia berjuang
mati-matian, namun yang dapat dilakukan hanyalah meloncat-loncat tak karuan.
Bahkan sekali dua kali rantai Rara Wilis telah menyentuh tubuhnya, dan membuat
bekas luka yang nyeri. Kulitnya seperti terkelupas dan darah menetes dari
luka-luka itu. Namun Wilis tidak benar-benar hendak melukainya, karena itu,
sengatan rantai itu pun tidak terlampau berbahaya. Tetapi ketika Galunggung
menjadi semakin menggila, Rara Wilis pun menjadi muak. Karena itu serangannya dipertajam,
dan Galunggung menjadi semakin terdesak. Meskipun demikian masih saja ia
berteriak dan memaki-maki.
Akhirnya
serangan Rara Wilis semakin terasa berat. Pangkal rantai perak itu
mematuk-matuk seluruh permukaan kulitnya. Bahkan pipinya, hidungnya dan
dahinya. Kulit Galunggung itu telah dipenuhi oleh jalur-jalur merah dan
lecet-lecet berdarah. Dalam kesibukannya mempertahankan diri itulah Galunggung
mendengar suara Rara Wilis,
“Tinggalkan
tempat ini. Menghadaplah Ki Ageng Lembu Sora, dan mintalah maaf kepadanya.”
“Persetan
dengan orang itu,” jawab Galunggung, tetapi belum lagi mulutnya terkatub,
pangkal rantai itu benar-benar mengenai bibirnya.
“Gila!”
teriaknya, dan darah mengalir dari bibir yang tebal itu.
“Jagalah
mulutmu,” bentak Rara Wilis, “Pergi dan turuti perintahku.”
Galunggung
tidak menjawab. Tetapi terasa bahwa ia tak akan dapat melawan gadis itu. Karena
itu tiba-tiba matanya yang liar melingkar-lingkar mencari pintu keluar dari
ruangan yang celaka itu.
Sesaat
kemudian ketika beberapa kali lagi tubuhnya disakiti oleh rantai Rara Wilis,
Galunggung meloncati pintu dan berlari ke halaman. Rara Wilis tidak segera
mengejarnya ketika ia melihat Galunggung berhenti. Orang gila itu berdiri
dengan mengacung-acungkan pedangnya kepada Rara Wilis yang berdiri di pintu
sambil memaki habis-habisan. Akhirnya Galunggung berkata,
“Aku tidak
dapat membunuhmu. Sayang, kau terlalu cantik. Tetapi kalau lain kali kau berani
melawan aku lagi, aku tidak mau memaafkan.”
Sekali lagi
Widuri tidak dapat menahan geli hatinya. Ia tertawa tertahan-tahan, sedang
kedua tangannya menutup mulutnya
“Jangan banyak
tingkah,” teriak Galunggung dari halaman.
“Gadis kecil
itu akan aku lumatkan kalau ia berani menghina aku lagi, kepala daerah perdikan
Pangrantunan lama.”
Rara Wilis tidak
menjawab. Ia melangkah setapak maju sambil memutar rantainya. Melihat sikap
Rara Wilis, Galunggung mundur beberapa langkah. Kemudian tiba-tiba ia memutar
tubuhnya dan menghambur lari menyusup regol. Namun di kejauhan suaranya masih
terdengar,
“Awas kalau
kau sekali lagi berani melawan aku. Aku cerai kau.”
Wilis tertegun
di tempatnya. Apakah ia harus menangkap orang gila itu. Ia akan menjadi sangat
berbahaya bagi penduduk dan orang-orang yang akan dijumpainya. Beruntunglah
kalau ia bertemu Arya Salaka atau Lembu Sora. Tetapi kalau para prajurit
mengeroyoknya beramai-ramai, maka nasibnya akan sangat menyedihkan.
Pada saat ia
termangu-mangu itulah terasa dua pasang tangan memeluknya sambil terisak-isak.
Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora mengucapkan terima kasihnya
dengan uraian air mata.
“Duduklah Nyai
Ageng,” kata Wilis, lalu kepada Widuri ia berkata,
“Widuri,
lihatlah di luar regol, kalau-kalau Galunggung berbuat sesuatu terhadap
orang-orang yang ditemuinya, tetapi jangan berbuat terlampau jauh.”
“Baik, Bibi,”
jawab Widuri. Dan ia pun segera melangkah keluar setelah ia menerima rantainya
kembali.
Dengan langkah
yang cepat, Widuri berjalan di jalan kecil di muka halaman banjar desa itu.
Kemudian ia membelok ke kanan, menyusur jalan satu-satunya itu. Tiba-tiba ia
berhenti. Di kejauhan ia melihat Galunggung berdiri berhadap-hadapan dengan
seorang yang bertubuh tinggi dan besar. Dengan tangkasnya Widuri menyelinap,
dan kemudian menyusup halaman, ia pergi mendekati orang gila itu.
SEKALI-KALI Widuri
harus meloncati pagar-pagar batu, dan sekali-kali ia harus menyusup
gerumbul-gerumbul liar yang masih berserakan di sana-sini, di halaman-halaman
yang kosong dan terbentang di antara rumah-rumah kecil. Ketika ia sudah
mendekati tempat Galunggung berdiri, maka ia pun mendengar apa yang
dipercakapkan mereka.
“Galunggung…”
terdengar orang yang tinggi besar itu berkata,
“Marilah kita
pergi ke banjar desa. Sebentar lagi Ki Ageng Lembu Sora akan datang. Darinya
kau akan mendengar beberapa keterangan yang perlu.”
Yang terdengar
adalah derai tertawa Galunggung. Kemudian jawabnya,
“Aku temui di
sini seorang pengkhianat lagi.”
“Jangan
berkata begitu,” sahut lawan bicaranya, orang tinggi itu.
Ketika Widuri
sempat mengintip mereka, maka tahulah Widuri, bahwa orang yang tinggi itu
adalah salah seorang pemimpin laskar Pamingit, yang pernah didengarnya
dipanggil dengan nama Wulungan, meskipun ia belum mengenal langsung.
“Kau tinggal
memilih Kakang Wulungan, Lembu Sora, Gajah Sora, Arya Salaka atau Galunggung,”
kata Galunggung kemudian.
“Apanya yang
harus aku pilih?” tanya Wulungan.
“Mereka adalah
pengkhianat-pengkhianat. Sepeninggal Sawung Sariti, akulah yang paling berhak
atas kedudukan yang sudah dicapainya. Sebab akulah kawan yang paling setia. Dan
akulah yang telah memberinya berbagai jalan untuk mencapai cita-citanya itu,”
jawab Wulungan.
Wulungan pun
kemudian melihat mata Galunggung yang liar itu. Maka katanya,
“Katakanlah
itu kepada Ki Ageng.”
“Akulah kepala
daerah perdikan sekarang,” kata Galunggung.
“Atas nama kepala
daerah perdikan Pamingit, ikutlah aku.” Wulungan menjadi tidak sabar lagi.
“Apa kau
bilang?” bantah Galunggung,
“Atas nama
kepala daerah perdikan Pamingit? Omong kosong. Akulah kepala daerah perdikan
itu.” Mata Galunggung menjadi semakin merah dan liar, bahkan ujung pedangnya
sudah mulai bergerak-gerak. Kemudian orang gila itu berteriak,
“Pengkhianat
ini harus aku selesaikan.”
Sebelum
Wulungan sempat berkata sesuatu, Galunggung sudah menyerangnya. Untunglah
Wulungan cekatan. Ia berhasil menghindar dan sekali lagi ia mencoba mencegah
Galunggung.
“Jangan
berbuat sesuatu yang akan mencelakakan dirimu sendiri. Ki Ageng Lembu Sora akan
menghukummu.”
Sekali lagi
Galunggung menyerang sambil berteriak,
“Akulah yang
akan menghukumnya.”
Sekali lagi
Wulungan telah melawannya dengan pedang pula, maka Widuri tidak menampakkan
diri. Ia masih saja berada di balik pagar sambil mengintip apa yang terjadi.
Tetapi akhirnya ia tidak puas dengan lubang retak pagar batu itu, sehingga
kemudian ia meloncat dan duduk dengan enaknya di atas pagar.
Wulungan dan
Galunggung melihat kehadirannya. Mata Galunggung yang liar itu menyambarnya
beberapa kali. Kemudian ia berteriak,
“He gadis
gila. Kubunuh kau.”
Widuri tertawa
sambil menggoyang-goyangkan kakinya yang berjuntai. Tetapi ketika ia akan
menjawab, terdengar Wulungan berkata,
“He Ngger,
kembalilah ke banjar desa. Orang ini dapat berbahaya bagimu.”
Tetapi Widuri
tidak beranjak dari tempatnya. Kakinya masih berjuntai. Sambil tersenyum ia
menjawab,
“Tidak, Paman
Wulungan. Aku tidak takut kepadanya, karena di sini ada Paman Wulungan.”
“Ah,” desis
Wulungan. Sekali lagi matanya menyambar gadis itu. Tampaknya Widuri memang
tidak takut sama sakali. Namun Wulungan tidak begitu senang melihat sikapnya,
semata-mata karena Wulungan mencemaskan keselamatan gadis itu. Sebab Wulungan
masih belum tahu, siapa sebenarnya Endang Widuri.
Tetapi ia
tidak mendapat kesempatan untuk memikirkan nasib Widuri. Serangan Galunggung
semakin lama menjadi semakin garang, bahkan kemudian membabi buta. Mula-mula
Wulungan selalu mencoba untuk mempertahankan diri saja, sambil menunggu
kedatangan rombongan dari makam, dengan demikian ia mengharap dapat menangkap
Galunggung hidup-hidup. Tetapi agaknya tidak dapat berlaku demikian. Serangan
Galunggung benar-benar berbahaya baginya. Karena itu, Wulungan kemudian
terpaksa membalas setiap serangan Galunggung. Sehingga akhirnya pertempuran itu
pun menjadi bertambah sengit. Meskipun demikian, Wulungan yang otaknya tidak
terganggu, masih selalu berusaha untuk berhati-hati. Serangan-serangannya tidak
mengarah ke tempat-tempat yang berbahaya. Ia ingin melumpuhkan lawannya tanpa
membahayakan jiwanya.
Tetapi
Wulungan bukanlah Rara Wilis atau Endang Widuri. Wulungan dalam ilmu tata bela
diri berada dalam tataran yang sama dengan Galunggung. Karena Wulungan tidak
bertempur dalam puncak ilmu yang dimilikinya, maka dengan tidak
disangka-sangka, sebuah goresan menyobek pundaknya. Wulungan terkejut dan
dengan satu lontaran panjang ia melangkah surut. Terasa betapa pedihnya pundak
kiri yang terluka itu. Ketika ia sempat melihat luka itu, betapa ia menjadi
marah. Darahnya mengalir melumuri baju dan menetes membasahi tanah kelahirannya
oleh tangan kawan sendiri. Karena itu tiba-tiba ia menggeram pendek, dengan
suara gemetar.
“Galunggung,
apakah kau sudah benar-benar gila?.”
Galunggung
tertawa keras, sambil menunjuk luka di pundak itu ia berkata,
“Kakang
Wulungan, luka itu hanyalah sebuah luka yang kecil. Meski demikian kau telah
menjadi pucat dan ketakutan. Karena itu berjongkoklah. Inilah kepala daerah
perdikan yang baru.”
Wulungan tidak
dapat menahan hatinya yang bergelora meskipun ia telah lama bergaul dan paham
sifat Galunggung,
“atas nama Ki
Ageng Lembu Sora, aku memperingatkan kau sekali lagi untuk yang terakhir.”
“Persetan
dengan Lembu Sora. Sebentar lagi aku bunuh dia sesudah aku membunuhmu,” jawab
Galunggung dengan sombongnya.
Mendengar
jawaban itu, hati Wulungan benar-benar terbakar. Ternyata Galunggung
benar-benar gila. Gila dengan pedang di tangan adalah sangat berbahaya. Karena
itu, maka Wulungan tidak menunggu Galunggung menyerangnya. Wulungan menyerang.
Pedangnya terjulur. Meskipun demikian pedang itu tidak mengarah lambung, dada
atau leher lawan. Betapapun marahnya Wulungan, namun ia tidak bermaksud
membunuh lawannya itu.
Tetapi karena
keragu-raguan itulah maka Galunggung sempat menghindarkan diri. Pedang Wulungan
yang mengarah kepala itu dapat dihindarinya. Dengan tertawa nyaring Galunggung
memutar pedangnya, dan dengan dahsyatnya ia membalas serangan Wulungan. Tetapi
Galunggung tidak berpikir wajar. Ia tidak ragu-ragu dalam setiap ayunan
pedangnya. Karena itu serangannya sangat berbahaya. Wulungan terkejut melihat
sambaran pedang Galunggung. Untunglah ia sempat membungkukkan kepalanya. Dan
berdesing pedang itu tidak lebih senyari diatas kepalanya. Dengan demikian
akhirnya Wulungan mengambil keputusan untuk melawan Galunggung dengan segenap
kemampuan yang ada padanya. Ia harus menyelamatkan dirinya, meskipun seandainya
ia terpaksa membunuh lawannya. Maka, kemudian adalah perkelahian yang seru.
Galunggung menyerang seperti angin ribut, sedang Wulungan bertahan dan
menyerang kembali seperti Srigala yang marah.
Widuri yang
melihat pertempuran itu kini tidak tertawa-tawa lagi. Ia melihat bahaya yang
mengancam keduanya. Justru karena ilmu yang mereka miliki berada pada tingkatan
yang sama, maka mereka berdua mempunyai kesempatan yang sama. Membunuh atau di
bunuh. Dalam kebimbangan itu Widuri menyaksikan perkelahian itu berlangsung.
Apakah ia harus mencegah perkelahian itu, membantu Wulungan atau membiarkannya.
Dalam kebimbangan itu Widuri menyaksikan perkelahian itu berlangsung terus.
Desak-mendesak silih berganti. Keduanya mengerahkan segenap kemampuan yang ada
pada diri masing-masing, sebab mereka masing-masing tidak mau dadanya ditembus
oleh pedang lawan. Dalam keadaan itu, Wulungan sudah tidak teringat lagi,
apakah Galunggung itu akan ditangkapnya hidup atau mati. Yang ada dikepalanya
adalah pilihan hidup atau mati. Gemercing pedang beradu telah mengejutkan
daun-daun dan bunga-bunga luar disekitarnya. Burung-burung dan belalang
beterbangan menjauhi bunyi yang mengerikan itu yang sesekali diselingi oleh
teriakan Galunggung memaki.
Dalam keadaan
yang demikian, Widuri menjadi semakin berbimbang hati. Tetapi lambat laun
dilihatnya bahwa keseimbangan itu meskipun perlahan-lahan sekali. Wulungan
ternyata memiliki suatu keuntungan, bahwa Galunggung tidak menggunakan otaknya
dengan baik. Dalam nafsu gilanya, Galunggung telah kehilangan sebagian
pengamatan diri, sehingga ia bertempur tanpa mempergunakan otaknya dengan baik.
Sedang Wulungan, meskipun kemarahan telah memuncak dan membakar dadanya, namun
dalam olah pedang ia masih dapat melihat segala kemungkinan dengan baik. Widuri
yang melihat perkelahian itu menarik nafas lega. Ia benar-benar gadis aneh,
namun kadang berbuat seperti orang dewasa. Memang umurnya sedang menginjak masa
peralihan. Sebelah kakinya memasuki masa kedewasaan, sebelah kakinya masih
berada di dunia anak-anak. Dalam masa pancaroba itu Widuri sering berbuat yang
aneh-aneh. Sekali nafsunya untuk berkelahi melonjak lonjak di dalam dadanya,
tetapi ia kadang menunjukkan sifat keibuan yang sejuk. Pada saat itu Widuri
dapat melihat keadaan dengan baik.
No comments:
Post a Comment