Bagian 088


DADA Arya Salaka berguncang. Mahesa Jenar dan Ki Ageng Gajah Sora Dipayanapun segera berjongkok di sampingnya. Mereka sudah tidak dapat mempertahankan nyawa itu. Tuhan telah memanggilnya. Karena itu Ki Ageng Sora Dipayana berbisik di telinga anak muda itu.
“Sebutlah nama Tuhan. Tuhan Maha Pengampun.”
“….Tuhan Maha Pengampun…..”
Kata kata itu hampir tak terdengar, namun Sawung Sariti telah mengucapkannya. Dengan tenangnya ia menutup matanya.
Sebuah jerit yang tinggi membelah keheningan suasana. Nyai Ageng Lembu Sora memekik dan memanggil nama anaknya. Namun Sawung Sariti telah pergi.
Dengan air mata yang berlinang Nyai Ageng Gajah Sora mencoba menenangkan hati adik iparnya. Namun usahanya sia sia. Sawung Sariti adalah satu-satunya anak yang akan menyambung hidupnya. Yang akan dapat menjadi tempat menumpahkan harapan serta cita-citanya. Namun anak itu kini telah pergi dan tak akan kembali. Karena itu seakan-akan nyawanya sendirilah yang telah lepas dari tubuhnya. Kalau demikian maka akan lebih baik baginya seandainya nyawa anaknya dapat ditukar dengan nyawanya. Seandainya ia sendiri boleh menggantikan anaknya menghadap Tuhannya.

Lembu Sora masih berdiri seperti patung. Bibirnya bergetar dan tubuhnya menggigil. Matanya yang tajam menjadi suram dan berlapis air. Beberapa kali ia menggigit bibirnya, tetapi kemudian bibir itu bergetar kembali. Dipandanginya wajah anaknya yang pucat pasi. Namun bibir yang pucat itu membayangkan senyum keihlasan. Dan tiba tiba diwajah yang pucat itu seakan akan memancar gambaran peristiwa yang pernah terjadi. Anak itu terlampau jauh tersesat. Tetapi bukan salah anak itu. Dialah yang telah mendorongnya tampil ke depan. Dengan penuh harapan dan khayalan masa mendatang. Dimana dikayalkan kepada anak itu, kekuasaan dan kamukten yang sempurna. Tanah Perdikan Pangratunan. Ki Ageng Lembu Sora menggeram. Penyesalan yang tak terkira telah menghentak dadanya seperti akan pecah. Dahsyatnya perasaan itu mencekam jiwanya, sehingga tiba-tiba tubuhnya mejadi lemah. Perlahan lahan ia melangkah ke sudut ruangan itu. Kedua tangannya menutupi wajahnya, seolah hendak menyembunyikan segenap kenangan yang datang silih berganti. Hanya sesaat saat ia mendengar jerit tangis isterinya yang memenuhi ruangan itu. Arya Salakapun tak dapat menahan rasa harunya. Meskipun nyawanya sendiri hampir direnggut tangan adiknya namun ia tak sampai hati melihat mayatnya terbujur diam dihadapannya. Karena itu, maka tanpa disadarinya ia berdiri dan perlahan lahan melangkah keluar meninggalkan ruangan itu. Di bawah pohon sawo ia terhenti. Suara tangis bibinya masih terdengar jelas. Akhirnya ia berdiri saja disitu, bersandar pada pokok sawo yang jauh lebih besar daripada tubuhnya sendiri.

Seluruh Pamingit menjadi berkabung. Putera satu-satunya kepala daerah perdikan mereka gugur pada saat anak muda yang berani itu bertempur melawan Bugel Kaliki. Tidak saja orang Pamingit, namun orang Banyubiru pun ikut berkabung. Mereka ikut merasakan betapa daerah perdikan belahan tanah Banyubiru itu kehilangan pemimpinnya. Hari itu suasana Pamingit menjadi suram. Mereka disibukkan oleh persiapan pemakaman jenasah pahlawan yang masih muda itu, yang gugur dalam pengabdian dalam melawan Hantu Bongkok yang sakti. Ketika fajar pagi berikutnya pecah di Timur, semua persiapan telah selesai. Hari itu akan diselenggarakan pemakaman Sawung Sariti dengan upacara kebesaran. Seluruh penduduk Pamingit tumplak blak berjejal di sepanjang jalan yang akan dilewati iringan jenazah. Mereka ingin memberikan penghormatan terakhir terhadap pahlawannya, yang telah menjadi tawur bagi kesejahteraan dan kebesaran rakyat Pamingit. Upacara itu menjadi bertambah hidmad dengan hadirnya dua perwira pasukan Demak, Paningron dan Gajah Alit. Keranda jenazah Sawung Sariti diletakkan di tengah-tengah reruntuhan pendapa rumahnya. Dengan sengaja reruntuhan itu tidak dibersihkan lebih dahulu. Para pemimpin Pamingit dan Banyu Biru, bahkan kedua tamu dari Demak itu duduk saja di atas balok kayu yang berserak-serakan disekitar keranda itu.
Di keempat penjuru tampaklah beberapa orang laskar Pamingit berjaga-jaga dengan tombak di tangan. Sedang di alun-alun telah siap laskar kehormatan yang akan mengantarkan jenasah sampai ke peristirahatannya terakhir.

Keranda pahlawan dengan latar belakang reruntuhan dan abu merupakan perpaduan pandangan yang menggetarkan. Laskar yang berdiri tegak dengan senjata di tangan serta para pemimpin yang duduk bertebaran, panji-panji dan tunggul, rontek dan rangkaian bunga telah mencekam hati seluruh rakyat Pamingit dan Banyu Biru yang sedang berada di Pamingit. Ketika matahari telah memanjat sampai ke ujung cemara di sisi alun-alun, maka sampailah waktunya jenasah itu diberangkatkan. Sesaat kemudian menggemalah bunyi kentongan di banjar desa disahut oleh setiap kentongan yang berada di Pamingit, yang berada di gardu-gardu, di langgar, dan di setiap rumah yang memilikinya. Dan dari sisi keranda itu menggemalah bunyi sangkakala. Maka bersiaplah laskar Pamingit dan Banyu Biru untuk mengawal jenasah pahlawan yang berani itu. Ketika jenasah diangkat oleh beberapa orang, diantaranya Wulungan, Bantaran, Penjawi dan kehormatan yang diberikan untuk pahlawan itu oleh Titis Anganten, Ki Ageng Pandan Alas, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, maka berbicaralah Gajah Alit atas nama pemerintahan Demak. Gajah Alit yang memakai pakaian kebesaran pasukan Nara Manggala itu menyatakan betapa besar terimakasih dan penghargaan Demak terhadap kesediaan pengabdian yang diberikan oleh Sawung Sariti. Dengan darahnya ia telah mempertahankan tanahnya, rakyatnya dan kebesarannya.

Lembu Sora mendengarkan sesorah Gajah Alit dengan dada yang bergejolak. Ia mendengar sesorah itu dirangkapi suara hatinya sendiri. Ia melihat luka yang tergores di lengan anaknya. Ia melihat pula luka yang tergores didada Arya Salaka. Karena itu ia menjadi bimbang karenanya. Apakah yang telah terjadi. Namun adakah karunia Tuhan telah berkenan membersihkan nama anaknya pada saat-saat terakhir. Kini anaknya gugur sebagai pahlawan. Karena tangan Bugel Kalikilah yang telah membunuhnya. Dan sudah pastilah bahwa anaknya telah bertempur melawan demit itu. Maka ketika datang saatnya jenazah itu diberangkatkan, sekali lagi Nyai Ageng Lembu Sora memekik tinggi. Ia kemudian meronta-ronta di tangan Nyai Ageng Gajah Sora dan Rara Wilis. Lembu Sora yang melihat keadaan isterinya menjadi sangat beriba hati. Didekatinya isterinya itu, dipegangnya pundaknya dan dibisikkan di telinganya kata-kata pemupus,
“Sudahlah Nyai anakmu pergi menghadap Tuhannya dengan bekal yang cukup. Ia gugur sebagai pahlawan. Ikhlaskan dia supaya ia menghadap Tuhan dengan tenang”.
Nyai Ageng Lembu Sora mendengarkan kata-kata suaminya. Namun amatlah sulit baginya untuk memadukan perasaannya dengan nalar. Karena itu, justru oleh sentuhan tangan suaminya, hatinya makin bergelora. Cepat-cepat ia membalikkan tubuhnya menjatuhkan dirinya di tangan suaminya. Setelah itu Nyai Ageng Lembu Sora tak tahu lagi apa yang terjadi. Pingsan.
Beberapa orang menjadi sibuk mengurusnya. Diangkatnya tubuh itu masuk ke Banjar Desa.

Dalam pada itu keranda jenazah mulai bergerak. Di ujung barisan berjalanlah seorang anak muda yang tegap perkasa, dengan tombak tak berwrangka di tangannya. Itulah Arya Salaka yang mandi tombak pusaka Banyu Biru Kiyai Bancak. Sekali-sekali ia menengadahkan wajahnya. Dan sekali sekali ia menunduk. Beribu-ribu masalah berputar-putar di otaknya. Sesekali ia bersyukur kepada Tuhan yang telah menyelamatkannya, dan sesekali ia berdoa semoga Tuhan menerima adiknya di sisinya. Kalau kemudian matanya terasa panas, Arya segera mengangkat mukanya seolah-olah ada yang dicarinya di antara belaian mega yang putih dihembus angin lembut dari pegunungan. Hampir setiap wanita yang berdiri berhimpitan di tepi jalan meneteskan air matanya. Mereka melepas pahlawan dengan hati yang sedih. Mereka tahu bahwa Sawung Sariti adalah satu-satunya putera kepala daerah perdikan mereka, bahkan putera yang agak terlalu dimanjakan.
“Betapa sedih ibunya. Betapa sedih ayahnya,” desis mereka.
Namun Sawung Sariti itu berjalan terus. Tubuhnya berjalan ketempat pemakaman, sedang arwahnya berjalan menghadap Tuhannya. Di belakang keranda itu berjalanlah kedua perwira dari Pasukan Demak, di sisinya Ki Ageng Sora Dipayana dengan kepala tertunduk, sedang Ki Ageng Gajah Sora berjalan pula di belakangnya dan disampingnya adalah Ki Ageng Lembu Sora.

Barisan pengiring semakin lama semakin panjang. Setiap orang yang dilaluinya dengan serta merta mengikuti di belakangnya mengantar sampai ke makam. Pamingit benar-benar berkabung. Demikianlah Sawung Sariti telah mendapatkan penghormatan terakhir sebagai seorang pahlawan. Apapun yang pernah dilakukan, namun ia adalah anak yang berani. Sehingga setelah ia gugur, adalah menegakkan pemerintahan di tanah kelahirannya. Di belakang mereka yang sedang mengantarkan jenazah itu, di dalam pondok yang kecil, terbaringlah Galunggung dengan lemahnya. Beberapa orang duduk di sampingnya dan mencoba membangunkan ia dari pingsannya. Beberapa kali ia membukakan matanya, namun kemudian ia pingsan kembali.  Tetapi ketika nafasnya telah berangsur baik, maka Galunggungpun menjadi sadar. Sadar akan dirinya. Perlahan ia bangkit dan duduk ditepi pembaringannya. Ketika ia mencoba untuk minum, didengarnya bunyi kentongan.
“Tanda apakah itu?,” terdengar ia bertanya lemah.
“Jenazah Sawung Sariti akan diberangkatkan,” jawab salah seorang bawahannya yang sedang merawatnya.
“Apa katamu?,” kata Galunggung membelalakkan matanya. Bawahan Galunggung itu terkejut melihat sikapnya. Namun ia menjawab juga,
“Ya jenazah angger Sawung Sariti dimakamkan.”
“Jadi kau maksud Sawung Sariti telah meninggal?”
“Ya”
“Omong Kosong!,” bentaknya.
Bawahannya menjadi semakin tidak mengerti. Dan ia mencoba menjelaskan,
“Angger Sawung Sariti terbunuh ketika ia sedang bertempur melawan Bugel Kaliki.”
“Gila, gila!,” Galunggung tiba-tiba mencoba untuk berdiri sambil memaki habis habisan. Tetapi tenaganya lemah sekali sehingga ia terbanting di tempat pembaringan. Pingsan.

Tetapi tidak lama kemudian Galunggung membuka matanya kembali. Ia segera bangkit dan merenggut kain penyejuk di kepalanya. Matanya memandang berkeliling ruangan yang sempit itu. Tetapi mata itu kini menjadi merah. Seperti orang kehilangan ingatan ia berdiri tegak dan berteriak.
“He, kau tahu kenapa Sawung Sariti mati?”
Bawahannya menjadi cemas. Sambil menggeleng ia menjawab sekenanya,
“tidak.”
“Sawung Sariti mati karena penghianatan. Ternyata Bugel Kaliki bekerja sama dengan Arya Salaka. Mereka bersama-sama membunuh Sawung Sariti!,” teriak Galunggung dengan mata bertambah liar.
“Tetapi mereka bersama-sama bertempur melawan Bugel Kaliki,” sahut bawahannya.
“Bodoh, Bodoh kalian,” teriak Galunggung.
“Kalian tahu apa. Akulah yang paling tahu keadaannya, karena itu aku harus membalas dendam.”
Bawahannya semakin tidak mengerti. Mereka menjadi bingung. Dan mereka menjadi terkejut ketika tiba-tiba Galunggung menyambar pedang salah satu dari mereka dan tiba-tiba ia meloncati pintu dan berlari sekencang-kencangnya menyeberangi halaman. Sesaat kemudian ia sudah hilang di balik regol halaman itu.
Beberapa orang bawahannya menjadi bingung. Untuk sesaat mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tetapi sesaat kemudian mereka sadar Galunggung menjadi orang berbahaya. Karena itu mereka harus berusaha mencegahnya. Setidak-tidaknya melaporkan kepada Ki Ageng Lembu Sora. Karena itu maka merekapun bergegas meninggalkan halaman itu.
“Kemana?,” tanya salah seorang dari mereka.
“Menyusul ke makam,” jawab yang lain.
Dengan berlari-lari kecil merekapun segera pergi ke makam, dimana jenazah pahlawan yang masih sangat muda itu di makamkan.

Pada saat itu, keranda jenazah berhenti di samping liang kubur yang sudah dipersiapkan. Ketika jenazah sudah dibaringkan, doapun dipanjatkan. Pemakaman itu berlangsung dengan selamat. Segala sesuatu seperti yang direncanakan. Ketika mereka akan meninggalkan onggokan tanah yang masih merah serta sepasang maejan yang masih baru pula, mereka melihat Arya Salaka berjongkok di samping gundukan tanah itu. Bibirnya bergerak mengucapkan beberapa patah kata, namun tak seorangpun yang mendengarnya. Lembu Sora sendiri agaknya telah berhasil menguasai perasaannya. Ia tidak dapat berbuat lain daripada menerima segala peristiwa ini sebagai suatu peringatan baginya. Meskipun peringatan itu terasa terlalu berat. Satu-satunya anak telah dilepaskan, sedangkan daerah perdikan menjadi hancur berantakan. 

SESAAT kemudian makam itu telah sunyi kembali. Seonggok tanah dan sepasang maejan baru berada di tengah-tengahnya. Di atasnya bergerak-gerak dalam belaian angin pegunungan, daun-daun dan bunga-bunga kamboja yang putih bersih. Sepi, sesepi hati Lembu Sora. Hanya kadang-kadang terdengar ciap burung pipit yang beterbangan mencari makanan buat anak-anaknya yang ditinggalkan di atas sarang. Di perjalanan pulang itulah mereka melihat tiga orang berjalan bergegas-gegas ke arah mereka. Ki Ageng Sora Dipayana yang berjalan di paling depan bersama-sama dengan Paningron dan Gajah Alit segera bertanya kepada mereka.
“Apa yang terjadi?”.
Orang itu pun berceramah tentang Galunggung. Mereka menyangka bahwa Galunggung telah pergi ke makam dan mengamuk di sana. Tetapi ternyata Galunggung tidak ada diantara mereka, karena itu mereka menjadi sangat cemas karenanya. Galunggung adalah gambaran diri seorang yang mabuk pada kekuasaan, pangkat dan penghargaan. Ia dapat berbuat apa saja untuk mencapai maksudnya. Dan sekarang orang itu agaknya kehilangan keseimbangan pikirannya. Sebab dengan hilangnya Sawung Sariti, segala cita-citanya ikut lenyap pula.
“Wulungan….”, Ki Ageng Lembu Sora memanggil. Wulungan pun segera berjalan di sampingnya.
“Lihatlah, apa yang dilakukan oleh anak gila itu,” desisnya.
“Baik Ki Ageng,” jawab Wulungan. Dan Wulungan pun segera berjalan mendahului orang-orang yang pulang dari makam itu.

Ketika Galunggung meninggalkan regol halaman, ia memang tidak bermaksud pergi ke makam. Otaknya yang dipengaruhi oleh bermacam-macam persoalan itu ternyata tidak dapat lagi bekerja dengan baik. Dengan pedang telanjang ia berlari-lari ke banjar desa. Di dalam banjar desa itu, beberapa orang perempuan sedang mencoba menenangkan hati Nyai Ageng Lembu Sora yang beberapa kali jatuh pingsang kembali. Sekali-kali ia menangis melolong-lolong, seperti anak-anak yang kehilangan golek kesayangannya. Namun semakin lama ia menjadi semakin tenang. Tetapi sesaat kemudian, mereka digaduhkan oleh kedatangan Galunggung. Pedangnya yang telanjang itu diayun-ayunkan sambil berteriak memaki-maki. Dan karena itu bubarlah perempuan-perempuan desa itu bercerai berai. Perempuan-perempuan itu berteriak-teriak dan berlari-larian. Mereka pada umumnya telah mengenal siapakah Galunggung itu. Seorang yang menakutkan bagi perempuan-perempuan, apalagi perempuan-perempuan muda. Sekarang orang yang menakutkan itu membawa pedang sambil berteriak memaki-maki.
Nyai Ageng Lembu Sora terkejut juga melihat kedatangan Galunggung. Sesaat ia lupa pada keadaan dirinya sendiri. Ketika sebagian dari perempuan-perempuan itu telah berlarian keluar, maka Galunggung pun masuklah ke banjar desa sambil berkata, “He, di mana Arya Salaka?”.
“Galunggung!”, panggil Nyai Ageng Lembu Sora.
“Aku mencari Arya Salaka”, jawab Galunggung.
“Kenapa dengan Arya Salaka?”, tanya Nyai Ageng.
“Pengkhianat. Dibunuhnya Sawung Sariti bersama-sama dengan Bugel Kaliki,” jawab Galunggung.

Nyai Ageng Lembu Sora mengerutkan keningnya. Katanya,
“Kau keliru Galunggung. Mereka berdua telah berjuang bersama-sama melawan Bugel Kaliki itu.”
“Omong kosong!”, bentak Galunggung.
“Galunggung!”, potong Nyai Ageng Lembu Sora, “Kau kenal aku bukan?”
“Ya, ya. Nyai Ageng Lembu Sora,” jawab Galunggung.
“Nah, kalau demikian dengar kata-kataku,” sahut Nyai Ageng Lembu Sora,
“Kau terlalu letih barangkali. Beristirahatlah.”
“Tidak!” jawab Galunggung, matanya semakin bertambah liar.
“Aku harus membunuh Arya Salaka.”
“Jangan sembunyikan monyet itu,” bentaknya.
“Jangan membentak-bentak aku Galunggung,” jawab Nyai Ageng Lembu Sora,
“Aku adalah ibu Sawung Sariti itu, dan aku adalah Nyai Ageng Lembu Sora, istri kepala daerah perdikanmu.”

SEJENAK Galunggung terdiam. Ia berhadapan dengan istri kepala daerah perdikannya. Tetapi sesaat kemudian otaknya yang sudah tidak wajar lagi itu menyentak-nyentak kembali. Dan tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak. Suaranya menggelegar seperti suara hantu yang kegirangan.
“Diam!” bentak Nyai Ageng Lembu Sora. Tetapi Galunggung tidak mau diam. Tertawanya bertambah keras.
“Nah, katanya kau juga sudah berkhianat seperti Arya Salaka. Kalau demikian, akulah tinggal satu-satunya orang yang setia. Setia kepada Sawung Sariti dan setia kepada cita-citanya. Mempersatukan tanah perdikan Banyubiru dan Pamingit. Ki Ageng Lembu Sora sendiri pun sudah tidak setia lagi. Kalau begitu semua harus aku lenyapkan. Arya Salaka, Lembu Sora dan monyet bangkok yang sudah dibebaskan dari Demak itu.”
“Galunggung!” teriak Nyai Ageng Lembu Sora, “Kau sudah gila!”
Tetapi Galunggung tertawa terus. Di antara derai tertawanya ia berkata,
“Kalian, perempuan-perempuan ini pun akan aku bunuh pula, sebab kalian tidak mau menunjukkan di mana Arya Salaka berada.” “Jangan mengigau,” potong Nyai Ageng Lembu Sora, tetapi hatinya pun menjadi bergetar. Juga Nyai Ageng Gajah Sora, menjadi gemetar. Galunggung agaknya telah benar-benar kehilangan pikiran wajarnya. Dan ketika pedangnya itu diayun-ayunkan, bergetarlah setiap dada orang yang melihatnya. Beberapa orang menjadi menggigil dan yang lain menjadi lemas tak berdaya.
“Kalian tak akan dapat lari. Kalau kalian mencoba meloncat keluar, aku akan dapat mengejar kalian. Dan kalian akan aku bunuh satu persatu. Satu demi satu!”

Kembali suara tertawanya membelah ruangan banjar desa yang tidak terlalu lebar itu.
“Galunggung…” kata Nyai Ageng Lembu Sora. Namun suaranya sudah agak gemetar,
“Kau telah mengkhianati Ki Ageng Lembu Sora. Kepala daerah perdikanmu.”
“Akan aku bunuh dia. Sebab orang itu tidak setia kepada cita-citanya. Kenapa tidak dibunuhnya Arya Salaka. Dan kenapa dibiarkannya Gajah Sora itu kembali? Pengkhianat!” teriaknya.
Nyai Ageng Lembu Sora tak dapat berbuat apa-apa lagi. Galunggung telah menjadi gila dan tidak dapat mendengarkan kata-katanya. Karena itu, ia pun menjadi semakin ngeri. Apalagi ketika kemudian setapak demi setapak sambil tertawa berkepanjangan, Galunggung melangkah maju.
“Tak ada gunanya kalian lari.”
Tetapi perempuan-perempuan itu memekik-mekik dan mereka menghambur keluar dari ruangan itu. Beberapa orang yang masih sadar mencoba menarik tangan Nyai Ageng Lembu Sora dan Nyai Ageng Gajah Sora sambil berbisik,
“Selamatkan diri Nyai Ageng berdua.”
“O!” teriak Galunggung. “Kemana kalian akan menyelamatkan diri?”

Nyai Ageng Lembu Sora dan Nyai Ageng Gajah Sora benar-benar tak melihat jalan untuk menyelamatkan diri. Agaknya mereka berdualah yang pertama-tama harus dibinasakan. Karena itu mereka pun menjadi ketakutan dan gemetar sehingga keduanya menjadi saling berpegangan dengan eratnya. Namun di antara perempuan-perempuan itu, tidaklah semua menjadi ketakutan dan kehilangan akal. Tidak semua berlari-lari sambil berteriak-teriak. Ketika Galunggung benar-benar tak dapat mendengarkan kata-kata Nyai Ageng Lembu Sora, dan ketika ia melangkah maju setapak demi setapak, maka tanpa berjanji tampillah dua orang gadis, berdiri tegak dengan tenangnya di hadapan dan membelakangi Nyai Ageng Lembu Sora dan Nyai Gajah Sora itu. Keduanya adalah Rara Wilis dan Endang Widuri. Maka terdengarlah bisik Rara Wilis perlahan,
“Tenangkan hati Nyai. Akan aku coba mencegah perbuatan orang itu.”
Nyai Ageng Lembu Sora dan Nyai Ageng Gajah Sora terkejut, bahkan Galunggung yang gila itu pun terkejut melihat ketenangan dua orang gadis itu. Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora masih belum mengenal terlalu banyak, siapakah mereka itu. Yang mereka ketahui hanyalah nama kedua gadis itu, dan bahwa kedua gadis itu bukanlah gadis Pamingit dan bukan pula gadis Banyubiru.
“Nini…” panggil Nyai Gajah Sora,
“Kemarilah.”
Tetapi Rara Wilis dan Endang Widuri tidak bergerak lagi dari tempatnya. Bahkan menoleh pun tidak. Pandangan mereka tertuju ke mata pedang Galunggung yang berkilat-kilat tajam. Meskipun demikian Rara Wilis menjawab,
“Biarlah aku coba, Nyai.”
“Jangan Nini,” Nyai Ageng Lembu Sora pun mencoba mencegahnya. Ia tahu benar betapa berbahayanya Galunggung bagi perempuan. Apalagi gadis-gadis cantik itu.

SEJENAK Galungung memandangi keduanya. Mula-mula matanya menjadi bersinar-sinar. Sambil tertawa dalam gilanya,
“Hai gadis-gadis cantik, jangan berdiri di situ. Biarlah aku selesaikan urusanku. Nanti kau boleh ngunggah-unggahi. Kau akan menjadi istri kepala daerah perdikan Pamingit dan Banyubiru. Kau dan aku.”
Ujung pedangnya bergerak-gerak menunjuk ke wajah Rara Wilis dan Endang Widuri. Namun kedua gadis itu tidak beranjak dari tempatnya.
“Nini,” panggil Nyai Ageng Lembu Sora cemas, “Menyingkirlah.”
Wilis menarik nafas. Ia sudah beberapa kali menghadapi lawan. Bahkan ia pernah behadapan dengan orang yang sedang terganggu syarafnya. Gila. Meskipun demikian ia masih mencoba untuk menenangkan hati Galunggung,katanya, “Galunggung, kalau ada persoalan biarlah persoalan itu diselesaikan. Persoalan antara kau dan Arya Salaka atau antara kau dan Paman Lembu Sora. Tetapi kami perempuan-perempuan di sini, tidaklah tahu persoalan itu. Dan kalau kau bunuh kami pun persoalanmu tidak akan selesai.”

Sekali lagi Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora menjadi keheran-heranan. Kata-kata Rara Wilis diucapkan las-lasan, kata demi kata. Sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda kecemasan apalagi ketakutan. Galunggung mengerutkan keningnya. Matanya tiba-tiba menjadi suram. Meskipun otaknya tak wajar lagi, namun lamat-lamat ia menjadi teringat bahwa ia pernah melihat gadis-gadis itu. Satu atau dua kali tetapi dimana dan kapan. Akhirnya wajahnya menjadi tegang ketika kemudian teringat olehnya, dimana ia bertemu dengan kedua gadis itu. Sehingga terlontarlah dari mulutnya,
“He bukankah kau gadis-gadis gila dari Gedangan?”
“Kau masih mengenal kami?” jawab Widuri.
“Bukankah kau pernah mengunjungi kami di Gedangan? Bersama Harimau betina dari Gunung Tidar dan kemudian Sepasang Uling dari Rawa Pening?”
“Gila!” teriak Galunggung. Matanya menjadi liar kembali. Kedua gadis itu ternyata pernah menghadapi laskarnya sebagai lawan yang tangguh. Bahkan bukankah mereka pernah bertempur melawan Jaka Soka dan istri Sima Rodra? Tetapi otak Galunggung itu benar-benar telah tidak dapat berputar. Pikirannya hanyalah sesaat terpencar di kepalanya. Kemudian kembali gilanya mempengaruhinya. Karena itu maka sekali lagi ia tertawa,
“Bagus, bagus. Kalian akan menjadi istri yang baik. Menepilah, jangan biarkah perempuan itu melarikan diri.”
“Jangan maju lagi,” potong Rara Wilis. Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora sekali lagi terkejut. Mereka tidak percaya apa yang dikatakan oleh Rara Wilis. Tetapi sekali lagi mereka mendengar gadis itu memerintah,
“Galunggung, tetap di tempatmu.”

Galunggung yang hampir saja melangkah maju, terhenti juga. Dipandangnya Rara Wilis dengan tajamnya. Matanya telah memerah, semerah darah. Kemudian ia berteriak nyaring,
“Pergilah atau kau akan lebih dahulu mati?”
Nyai Ageng berdua di belakang kedua gadis itu benar-benar menjadi cemas, mereka tidak mau mengorbankan orang lain untuk keselamatan mereka. Karena itu Nyai Ageng Gajah Sora berkata,
“Biarlah kami selesaikan urusan kami nini. Menyingkirlah.”
“Tenangkan hati Nyai Ageng berdua,” sahut Wilis, dan kedua perempuan yang ketakutan itu menjadi semakin tidak mengerti. Dalam pada itu Rara Wilis dan Widuri sudah tidak melihat kesempatan lain, kecuali mengusir orang gila itu dengan kekerasan. Karena itu tiba-tiba Widuri berbisik,
“Serahkanlah kepadaku, Bibi.”
Rara Wilis meredupkan matanya. Ia menjadi ragu-ragu. Gadis kecil ini masih terlalu sukar untuk mengendalikan dirinya. Kalau kemudian Galunggung itu terbunuh oleh Widuri, masih belum diketahui apakah Ki Ageng Lembu Sora membenarkannya. Karena itu maka ia menjawab,
“Aku sajalah yang menyelesaikannya, Widuri.”
“Ia bersenjata,” jawab Widuri,
“sedangkan bibi tidak. Apalagi bibi tidak siap dengan pakaian wajar untuk bertempur.”
“Kau juga tidak Widuri,” sahut Wilis.

Ketika Galunggung kemudian tertawa kembali sambil melangkah maju. Wilis berkata,
“Berikan kalungmu itu kepadaku. Aku pernah menggunakan segala macam senjata, selain kekhususan dalam bermain pedang. Rantaimu itu akan lebih baik daripada sulur-sulur kayu yang pernah aku pakai berlatih dengan eyang Pandan Alas.”
Widuri ragu-ragu sejenak. namun Wilis berkata tegas,
“serahkanlah. Orang gila itu sudah hampir mulai.” Widuri tidak dapat berbuat lain daripada melepaskan kalung peraknya. Kemudian ia melangkah surut berdiri disamping Nyai Ageng Gajah Sora yang menjadi bertambah cemas.
“Pergilah, pergilah,” teriaknya.
“Biarlah nyai,” sahut Widuri,
“bibi Wilis akan dapat menjaga diri.”

Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora tak dapat berbuat apa-apa lagi. Galunggung sudah berdiri selangkah di muka Wilis. Pada saat itu, Rara Wilis terpaksa menyangkut ujung kain panjangnya pada sabuknya. Pada saat itulah pedang Galunggung teracung di dadanya. Sambil tertawa ia berkata,
“sayang dada ini akan tembus oleh senjataku.”
Rara Wilis mengerutkan keningnya, mata orang itu benar-benar mengerikan. Namun Rara Wilis adalah gadis yang tabah. Karena itu ia bergeser dari tempatnya. Bahkan ia telah bersiap menghadapi setiap kemungkinan. Ia tidak memegang rantai Widuri di pangkalnya dan menggunakan Cakra yang tersangkut dirantai itu untuk melawan Galunggung. Tetapi Rara Wilis memegang pada ujungnya dimana cakra itu tersangkut. Bahkan Cakra itu dilepaskannya, dan diserahkan kepada Widuri. Widuri melihat bagaimana Rara Wilis mempergunakan senjatanya. Karena itu ia segera memakluminya, bahwa Rara Wilis agaknya hanya ingin mengusir Galunggung dari banjar desa.
Ketika sekali lagi suara Galunggung menggelegar, Rara Wilis membentaknya dengan nada yang tinggi,
“Diam, dan tinggalkan tempat ini!.”
Tiba-tiba tawa Galunggung berhenti. Ia memandang Rara Wilis dengan mata merah, katanya,
“Apa maumu?.”
“Tinggalkan tempat ini,” ulang Rara Wilis.

Galunggung memandang semakin tajam. Gadis ini memang cantik. tapi baginya lebih baik menjadi Kepala Perdikan yang kaya raya daripada menuruti perintah itu. Jarak jangkau pada kedudukan kepala daerah perdikan disangkanya terlampau pendek. Bukankah tinggal membunuh Arya Salaka, Gajah Sora dan Lembu Sora saja. Mudah sekali, mudah sekali. Karena itu ia menggeram,
“jangan gila. Jangan menghalangi aku!”
“Kau yang gila,” bantah Rara Wilis. Galunggung menjadi benar-benar marah. Dan tiba-tiba ia menakut-nakuti Wilis dengan pedangnya. Pedang yang telanjang itu diacung-acungkannya dengan gerakan menghentak-hentak.  Berdesirlah dada Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora. Namun Rara Wilis bergeserpun tidak.
“Jangan berlaku seperti Buta Terong,” teriak Widuri yang tidak dapat menahan gelinya melihat solah Galunggung. Mendengar kata-kata itu Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora menjadi heran. Galunggung yang marah dalam kegilaannya itu dianggap sebagai suatu pertunjukan yang mengasyikkan oleh gadis ini.

Meskipun Galunggung telah hampir gila, namun kata-kata Widuri itu telah memanaskan kupingnya. Karena itu ia berteriak,
”tutup mulutmu atau aku akan menyobeknya.”
Widuri benar-benar nakal. Ia malahan tertawa kecil. Dan karena Galunggung tak dapat menahan diri lagi. Langsung ia meloncat dengan pedang terulur, tidak menyerang Rara Wilis tetapi menyerang Endang Widuri. 
Bagaimanapun Galunggung mencoba mempergunakan setiap kemampuan yang ada dalam dirinya, namun dengan lincahnya Widuri berhasil menghindarkan dirinya. Seperti seekor kijang ia melompat ke samping. Tetapi ia tidak berani menentang maksud Rara Wilis, karena itu ia tidak membalasnya. Malahan ia lari seperti seekor kelinci dan bersembunyi di belakang Rara Wilis. Namun tawanya masih saja terdengar, meskipun gadis nakal itu berusaha untuk menahannya.
Wilis melihat sikap Widuri itu dengan menahan nafas. Ketika Widuri sudah berdiri dibelakangnya ia berbisik,
”Jangan terlampau nakal Widuri.”
“Aku tidak dapat menahan geli bibi,” jawabnya.
Galunggung telah benar-benar menjadi marah. Pedangnya kemudian diputar-putarnya di atas kepala. Sambil berteriak-teriak ia meloncat menyerang Rara Wilis. Namun Rara Wilis sudah bersedia. Dengan cepatnya ia meloncat ke samping, kemudian rantai di tangannyapun diurainya.

NYAI AGENG Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora meskipun tidak memiliki kemampuan bertempur dan tata bela diri namun mereka adalah istri-istri kepala daerah perdikan, yang dalam kedudukannya sekali dua kali pernah dilihatnya perkelahian, meskipun hanya dalam latihan-latihan laskar-laskar mereka. Karena itu, ketika mereka melihat bagaimana Endang Widuri menghindar dan bagaimana Rara Wilis dengan gerak sederhana membebaskan dirinya dari serangan Galunggung, mereka pun menyadari, bahwa wajarlah kalau kedua gadis itu sama sekali tidak takut menghadapi Galunggung.
Ternyata dalam perkelahian berikutnya, Galunggung tidak lebih daripada seorang raksasa rucah yang bertempur melawan kesatria-kesatria Pandawa. Meskipun ia berjuang mati-matian, namun yang dapat dilakukan hanyalah meloncat-loncat tak karuan. Bahkan sekali dua kali rantai Rara Wilis telah menyentuh tubuhnya, dan membuat bekas luka yang nyeri. Kulitnya seperti terkelupas dan darah menetes dari luka-luka itu. Namun Wilis tidak benar-benar hendak melukainya, karena itu, sengatan rantai itu pun tidak terlampau berbahaya. Tetapi ketika Galunggung menjadi semakin menggila, Rara Wilis pun menjadi muak. Karena itu serangannya dipertajam, dan Galunggung menjadi semakin terdesak. Meskipun demikian masih saja ia berteriak dan memaki-maki.

Akhirnya serangan Rara Wilis semakin terasa berat. Pangkal rantai perak itu mematuk-matuk seluruh permukaan kulitnya. Bahkan pipinya, hidungnya dan dahinya. Kulit Galunggung itu telah dipenuhi oleh jalur-jalur merah dan lecet-lecet berdarah. Dalam kesibukannya mempertahankan diri itulah Galunggung mendengar suara Rara Wilis,
“Tinggalkan tempat ini. Menghadaplah Ki Ageng Lembu Sora, dan mintalah maaf kepadanya.”
“Persetan dengan orang itu,” jawab Galunggung, tetapi belum lagi mulutnya terkatub, pangkal rantai itu benar-benar mengenai bibirnya.
“Gila!” teriaknya, dan darah mengalir dari bibir yang tebal itu.
“Jagalah mulutmu,” bentak Rara Wilis, “Pergi dan turuti perintahku.”
Galunggung tidak menjawab. Tetapi terasa bahwa ia tak akan dapat melawan gadis itu. Karena itu tiba-tiba matanya yang liar melingkar-lingkar mencari pintu keluar dari ruangan yang celaka itu.
Sesaat kemudian ketika beberapa kali lagi tubuhnya disakiti oleh rantai Rara Wilis, Galunggung meloncati pintu dan berlari ke halaman. Rara Wilis tidak segera mengejarnya ketika ia melihat Galunggung berhenti. Orang gila itu berdiri dengan mengacung-acungkan pedangnya kepada Rara Wilis yang berdiri di pintu sambil memaki habis-habisan. Akhirnya Galunggung berkata,
“Aku tidak dapat membunuhmu. Sayang, kau terlalu cantik. Tetapi kalau lain kali kau berani melawan aku lagi, aku tidak mau memaafkan.”

Sekali lagi Widuri tidak dapat menahan geli hatinya. Ia tertawa tertahan-tahan, sedang kedua tangannya menutup mulutnya
“Jangan banyak tingkah,” teriak Galunggung dari halaman.
“Gadis kecil itu akan aku lumatkan kalau ia berani menghina aku lagi, kepala daerah perdikan Pangrantunan lama.”
Rara Wilis tidak menjawab. Ia melangkah setapak maju sambil memutar rantainya. Melihat sikap Rara Wilis, Galunggung mundur beberapa langkah. Kemudian tiba-tiba ia memutar tubuhnya dan menghambur lari menyusup regol. Namun di kejauhan suaranya masih terdengar,
“Awas kalau kau sekali lagi berani melawan aku. Aku cerai kau.”
Wilis tertegun di tempatnya. Apakah ia harus menangkap orang gila itu. Ia akan menjadi sangat berbahaya bagi penduduk dan orang-orang yang akan dijumpainya. Beruntunglah kalau ia bertemu Arya Salaka atau Lembu Sora. Tetapi kalau para prajurit mengeroyoknya beramai-ramai, maka nasibnya akan sangat menyedihkan.

Pada saat ia termangu-mangu itulah terasa dua pasang tangan memeluknya sambil terisak-isak. Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora mengucapkan terima kasihnya dengan uraian air mata.
“Duduklah Nyai Ageng,” kata Wilis, lalu kepada Widuri ia berkata,
“Widuri, lihatlah di luar regol, kalau-kalau Galunggung berbuat sesuatu terhadap orang-orang yang ditemuinya, tetapi jangan berbuat terlampau jauh.”
“Baik, Bibi,” jawab Widuri. Dan ia pun segera melangkah keluar setelah ia menerima rantainya kembali.
Dengan langkah yang cepat, Widuri berjalan di jalan kecil di muka halaman banjar desa itu. Kemudian ia membelok ke kanan, menyusur jalan satu-satunya itu. Tiba-tiba ia berhenti. Di kejauhan ia melihat Galunggung berdiri berhadap-hadapan dengan seorang yang bertubuh tinggi dan besar. Dengan tangkasnya Widuri menyelinap, dan kemudian menyusup halaman, ia pergi mendekati orang gila itu.

SEKALI-KALI Widuri harus meloncati pagar-pagar batu, dan sekali-kali ia harus menyusup gerumbul-gerumbul liar yang masih berserakan di sana-sini, di halaman-halaman yang kosong dan terbentang di antara rumah-rumah kecil. Ketika ia sudah mendekati tempat Galunggung berdiri, maka ia pun mendengar apa yang dipercakapkan mereka.
“Galunggung…” terdengar orang yang tinggi besar itu berkata,
“Marilah kita pergi ke banjar desa. Sebentar lagi Ki Ageng Lembu Sora akan datang. Darinya kau akan mendengar beberapa keterangan yang perlu.”
Yang terdengar adalah derai tertawa Galunggung. Kemudian jawabnya,
“Aku temui di sini seorang pengkhianat lagi.”
“Jangan berkata begitu,” sahut lawan bicaranya, orang tinggi itu.
Ketika Widuri sempat mengintip mereka, maka tahulah Widuri, bahwa orang yang tinggi itu adalah salah seorang pemimpin laskar Pamingit, yang pernah didengarnya dipanggil dengan nama Wulungan, meskipun ia belum mengenal langsung.
“Kau tinggal memilih Kakang Wulungan, Lembu Sora, Gajah Sora, Arya Salaka atau Galunggung,” kata Galunggung kemudian.
“Apanya yang harus aku pilih?” tanya Wulungan.
“Mereka adalah pengkhianat-pengkhianat. Sepeninggal Sawung Sariti, akulah yang paling berhak atas kedudukan yang sudah dicapainya. Sebab akulah kawan yang paling setia. Dan akulah yang telah memberinya berbagai jalan untuk mencapai cita-citanya itu,” jawab Wulungan.

Wulungan pun kemudian melihat mata Galunggung yang liar itu. Maka katanya,
“Katakanlah itu kepada Ki Ageng.”
“Akulah kepala daerah perdikan sekarang,” kata Galunggung.
“Atas nama kepala daerah perdikan Pamingit, ikutlah aku.” Wulungan menjadi tidak sabar lagi.
“Apa kau bilang?” bantah Galunggung,
“Atas nama kepala daerah perdikan Pamingit? Omong kosong. Akulah kepala daerah perdikan itu.” Mata Galunggung menjadi semakin merah dan liar, bahkan ujung pedangnya sudah mulai bergerak-gerak. Kemudian orang gila itu berteriak,
“Pengkhianat ini harus aku selesaikan.”
Sebelum Wulungan sempat berkata sesuatu, Galunggung sudah menyerangnya. Untunglah Wulungan cekatan. Ia berhasil menghindar dan sekali lagi ia mencoba mencegah Galunggung.
“Jangan berbuat sesuatu yang akan mencelakakan dirimu sendiri. Ki Ageng Lembu Sora akan menghukummu.”
Sekali lagi Galunggung menyerang sambil berteriak,
“Akulah yang akan menghukumnya.”

Sekali lagi Wulungan telah melawannya dengan pedang pula, maka Widuri tidak menampakkan diri. Ia masih saja berada di balik pagar sambil mengintip apa yang terjadi. Tetapi akhirnya ia tidak puas dengan lubang retak pagar batu itu, sehingga kemudian ia meloncat dan duduk dengan enaknya di atas pagar.
Wulungan dan Galunggung melihat kehadirannya. Mata Galunggung yang liar itu menyambarnya beberapa kali. Kemudian ia berteriak,
“He gadis gila. Kubunuh kau.”
Widuri tertawa sambil menggoyang-goyangkan kakinya yang berjuntai. Tetapi ketika ia akan menjawab, terdengar Wulungan berkata,
“He Ngger, kembalilah ke banjar desa. Orang ini dapat berbahaya bagimu.”
Tetapi Widuri tidak beranjak dari tempatnya. Kakinya masih berjuntai. Sambil tersenyum ia menjawab,
“Tidak, Paman Wulungan. Aku tidak takut kepadanya, karena di sini ada Paman Wulungan.”

“Ah,” desis Wulungan. Sekali lagi matanya menyambar gadis itu. Tampaknya Widuri memang tidak takut sama sakali. Namun Wulungan tidak begitu senang melihat sikapnya, semata-mata karena Wulungan mencemaskan keselamatan gadis itu. Sebab Wulungan masih belum tahu, siapa sebenarnya Endang Widuri.
Tetapi ia tidak mendapat kesempatan untuk memikirkan nasib Widuri. Serangan Galunggung semakin lama menjadi semakin garang, bahkan kemudian membabi buta. Mula-mula Wulungan selalu mencoba untuk mempertahankan diri saja, sambil menunggu kedatangan rombongan dari makam, dengan demikian ia mengharap dapat menangkap Galunggung hidup-hidup. Tetapi agaknya tidak dapat berlaku demikian. Serangan Galunggung benar-benar berbahaya baginya. Karena itu, Wulungan kemudian terpaksa membalas setiap serangan Galunggung. Sehingga akhirnya pertempuran itu pun menjadi bertambah sengit. Meskipun demikian, Wulungan yang otaknya tidak terganggu, masih selalu berusaha untuk berhati-hati. Serangan-serangannya tidak mengarah ke tempat-tempat yang berbahaya. Ia ingin melumpuhkan lawannya tanpa membahayakan jiwanya.

Tetapi Wulungan bukanlah Rara Wilis atau Endang Widuri. Wulungan dalam ilmu tata bela diri berada dalam tataran yang sama dengan Galunggung. Karena Wulungan tidak bertempur dalam puncak ilmu yang dimilikinya, maka dengan tidak disangka-sangka, sebuah goresan menyobek pundaknya. Wulungan terkejut dan dengan satu lontaran panjang ia melangkah surut. Terasa betapa pedihnya pundak kiri yang terluka itu. Ketika ia sempat melihat luka itu, betapa ia menjadi marah. Darahnya mengalir melumuri baju dan menetes membasahi tanah kelahirannya oleh tangan kawan sendiri. Karena itu tiba-tiba ia menggeram pendek, dengan suara gemetar.
“Galunggung, apakah kau sudah benar-benar gila?.”
Galunggung tertawa keras, sambil menunjuk luka di pundak itu ia berkata,
“Kakang Wulungan, luka itu hanyalah sebuah luka yang kecil. Meski demikian kau telah menjadi pucat dan ketakutan. Karena itu berjongkoklah. Inilah kepala daerah perdikan yang baru.”

Wulungan tidak dapat menahan hatinya yang bergelora meskipun ia telah lama bergaul dan paham sifat Galunggung,
“atas nama Ki Ageng Lembu Sora, aku memperingatkan kau sekali lagi untuk yang terakhir.”
“Persetan dengan Lembu Sora. Sebentar lagi aku bunuh dia sesudah aku membunuhmu,” jawab Galunggung dengan sombongnya.
Mendengar jawaban itu, hati Wulungan benar-benar terbakar. Ternyata Galunggung benar-benar gila. Gila dengan pedang di tangan adalah sangat berbahaya. Karena itu, maka Wulungan tidak menunggu Galunggung menyerangnya. Wulungan menyerang. Pedangnya terjulur. Meskipun demikian pedang itu tidak mengarah lambung, dada atau leher lawan. Betapapun marahnya Wulungan, namun ia tidak bermaksud membunuh lawannya itu.

Tetapi karena keragu-raguan itulah maka Galunggung sempat menghindarkan diri. Pedang Wulungan yang mengarah kepala itu dapat dihindarinya. Dengan tertawa nyaring Galunggung memutar pedangnya, dan dengan dahsyatnya ia membalas serangan Wulungan. Tetapi Galunggung tidak berpikir wajar. Ia tidak ragu-ragu dalam setiap ayunan pedangnya. Karena itu serangannya sangat berbahaya. Wulungan terkejut melihat sambaran pedang Galunggung. Untunglah ia sempat membungkukkan kepalanya. Dan berdesing pedang itu tidak lebih senyari diatas kepalanya. Dengan demikian akhirnya Wulungan mengambil keputusan untuk melawan Galunggung dengan segenap kemampuan yang ada padanya. Ia harus menyelamatkan dirinya, meskipun seandainya ia terpaksa membunuh lawannya. Maka, kemudian adalah perkelahian yang seru. Galunggung menyerang seperti angin ribut, sedang Wulungan bertahan dan menyerang kembali seperti Srigala yang marah.

Widuri yang melihat pertempuran itu kini tidak tertawa-tawa lagi. Ia melihat bahaya yang mengancam keduanya. Justru karena ilmu yang mereka miliki berada pada tingkatan yang sama, maka mereka berdua mempunyai kesempatan yang sama. Membunuh atau di bunuh. Dalam kebimbangan itu Widuri menyaksikan perkelahian itu berlangsung. Apakah ia harus mencegah perkelahian itu, membantu Wulungan atau membiarkannya. Dalam kebimbangan itu Widuri menyaksikan perkelahian itu berlangsung terus. Desak-mendesak silih berganti. Keduanya mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada diri masing-masing, sebab mereka masing-masing tidak mau dadanya ditembus oleh pedang lawan. Dalam keadaan itu, Wulungan sudah tidak teringat lagi, apakah Galunggung itu akan ditangkapnya hidup atau mati. Yang ada dikepalanya adalah pilihan hidup atau mati. Gemercing pedang beradu telah mengejutkan daun-daun dan bunga-bunga luar disekitarnya. Burung-burung dan belalang beterbangan menjauhi bunyi yang mengerikan itu yang sesekali diselingi oleh teriakan Galunggung memaki.

Dalam keadaan yang demikian, Widuri menjadi semakin berbimbang hati. Tetapi lambat laun dilihatnya bahwa keseimbangan itu meskipun perlahan-lahan sekali. Wulungan ternyata memiliki suatu keuntungan, bahwa Galunggung tidak menggunakan otaknya dengan baik. Dalam nafsu gilanya, Galunggung telah kehilangan sebagian pengamatan diri, sehingga ia bertempur tanpa mempergunakan otaknya dengan baik. Sedang Wulungan, meskipun kemarahan telah memuncak dan membakar dadanya, namun dalam olah pedang ia masih dapat melihat segala kemungkinan dengan baik. Widuri yang melihat perkelahian itu menarik nafas lega. Ia benar-benar gadis aneh, namun kadang berbuat seperti orang dewasa. Memang umurnya sedang menginjak masa peralihan. Sebelah kakinya memasuki masa kedewasaan, sebelah kakinya masih berada di dunia anak-anak. Dalam masa pancaroba itu Widuri sering berbuat yang aneh-aneh. Sekali nafsunya untuk berkelahi melonjak lonjak di dalam dadanya, tetapi ia kadang menunjukkan sifat keibuan yang sejuk. Pada saat itu Widuri dapat melihat keadaan dengan baik.


<<< Bagian 087                                                                                              Bagian 089 >>>

No comments:

Post a Comment