DENGAN demikian, kelebihan yang seorang itu, akan mempunyai banyak akibatnya. Nagapasa dapat membantu salah seorang dari tokoh-tokoh hitam itu, memusnahkan lawan-lawan mereka satu demi satu dengan cepat.
“Apa yang kau
renungkan?” tanya Ki Ageng Pandan Alas.
“Bukan
apa-apa,” sahut Pasingsingan.
“Aku sedang
berbangga.”
“Apa yang kau
banggakan?” desak Pandan Alas.
“Laskarku dari
Mentaok. Sekarang mereka akan menghancurkan laskar Banyubiru dan Pamingit. Lusa
mereka akan menghancurkan laskar Demak,” jawab Pasingsingan.
Ki Ageng
Pandan Alas tertawa.
“Jangan mimpi.
Kau kira Demak itu seperti apa? Itulah contohnya, satu di antara prajuritnya
yang bernama Rangga Tohjaya. Bahkan seandainya kau dapat mengalahkan laskar
Banyubiru dan Pamingit sekalipun, maka Banyubiru dan Pamingit berhak mendapat
perlindungan dari Demak, seandainya mereka benar-benar tak mampu mengatasi
kesulitan mereka.
Nah apa
katamu? Apakah arti laskar alasan itu?” Pasingsingan menjadi marah.
“Lihat,
sebagian dari laskar gabungan kami. Kami masih menyimpan tenaga cadangan di
Pamingit dan di daerah kami sendiri-sendiri.”
“Bagus.
Agaknya kau benar-benar menghemat. Sedikit-sedikit saja orangmu yang bunuh diri
di medan ini, supaya kau sempat berbuat aneh-aneh didalam pertempuran. Kau
agaknya dapat melepaskan nafsu-nafsu yang aneh di sini. Bau darah dan
teriakan-teriakan yang mengerikan dapat menyegarkan tubuhmu,” sahut Pandan
Alas.
“Gila. Jangan
banyak bicara lagi. Tinggal pilih, kembali ke asalmu atau mati berkubur debu di
sini,” gertak Pasingsingan.
Pandan Alas
tidak menjawab. dengan tersenyum ia bersiaga. Dan apa yang diduga benar-benar
segera terjadi. Dengan garangnya Pasingsingan mengembangkan tangannya, dan
dalam satu loncatan ia menerkam lawannya. Cepat Pandan Alas mengelak dengan
satu langkah ke samping sambil merendahkan dirinya. Tangan kanan Pasingsingan
menyambar di atas kepalanya dengan cepatnya seperti desis angin yang keras.
Tetapi dalam sekejap Pandan Alas telah memutar tubuhnya dan kaki kanannya
melontar ke arah lambung Pasingsingan. Pasingsingan menggeliat dengan
lincahnya, dengan sikunya ia melindungi dirinya. Kedua orang itu segera
terlibat dalam perkelahian pula seperti yang lain-lain. Mereka masing-masing
mempunyai kekhususan yang sulit diketahui. Sekali-kali mereka melontar
kian-kemari, namun di saat lain mereka berbenturan dengan hebatnya. Serangan
Pasingsingan benar-benar seperti topan yang dahsyat, namun Ki Ageng Pandan Alas
tidak kurang dari angin ribut yang mengerikan.
Kedua orang
itu berjuang dengan segenap kekuatan dan tenaga, dengan segenap kepandaian dan
kemampuan. Ketika keringat mereka mulai mengalir membasahi pakaian-pakaian
mereka maka pertempuran itu menjadi kian sengit. Bahkan kemudian yang tampak
seakan-akan seperti gulungan asap yang berputar-putar dengan cepatnya, seperti
gulungan awan mendung dilangit. Sekali-kali terdengar benturan-benturan seperti
ledakan guntur menjelang datangnya prahara. Daerah pertempuran itupun menjadi
kabur oleh hamburan debu yang melingkar-lingkar menaburi kedua orang yang
sedang berjuang di antara hidup dan mati. Sedang gerak kedua bayangan di dalam
lingkaran debu itu tak dapat diamati lagi.
Di sayap kiri
gelar Sapit Urang dari laskar gabungan antara Pamingit dan Banyubiru itu pun
terjadi pertempuran yang dahsyat. Laskar golongan hitam bertempur membabi buta.
Siapapun dan apapun yang ada di hadapannya pasti akan dihancurkannya. Namun
mereka terpaksa menelan ludah mereka, ketika mereka membentur laskar Banyubiru.
Bantaran di ujung sapit, Jaladri di tengah-tengah, dan Panjawi di pangkalnya,
merupakan benteng-benteng yang kokoh kuat, yang tak tergoyahkan oleh arus
banjir dari orang-orang golongan hitam itu.
Di antara
mereka itu terdapatlah Sima Rodra yang sedang mengaum-ngaum dengan kerasnya.
Betapa ia mencurahkan dendam di dadanya kepada orang yang bernama Mahesa Jenar
itu. Orang yang telah membunuh menantunya serta membebaskan tawanan anaknya di
bukit Karang Tumaritis. Selain itu, ternyata bahwa Rara Wilis, yang dalam
pengertian Sima Rodra diselamatkan oleh Mahesa Jenar di Karang Tumaritis itulah
yang membunuh anak perempuannya. Karena itu ia ingin melepaskan beban yang
selama ini menghimpit jantungnya kepada Mahesa Jenar. Tetapi sekali dadanya
berguncang ketika ia mendengar Mahesa Jenar tertawa. Tidak terlalu keras, namun
nadanya hampir memecahkan dadanya.
“Gila…!”
teriaknya.
“Apa yang kau
tertawakan?”
“Bukan
apa-apa,” jawab Mahesa Jenar.
“Aku hanya
menyatakan kegembiraan hatiku setelah lama kita tak bertemu.”
“Bukan saatnya
bergurau. Lebih baik kau menyebut nama nenek moyangmu selagi kau sempat,” geram
harimau dari Lodaya itu.
“Kau ingin
melunakkan hatiku? Jangan kau sangka bahwa hatiku sekecil hati kelinci dan
selunak hati kucing yang dihadapi daging. Aku adalah Sima Rodra dari Alas
Lodaya,” teriak harimau itu dengan garangnya.
“Aku sudah
tahu dan aku sudah mengenalmu sejak lama. Sejak kau mencegat aku di jalan
silang ke Bergota dari Gunung Tidar bersama Kakang Gajah Sora. Kemudian di
Gedangan kita bertemu lagi,” jawab Mahesa Jenar, tetapi ia lupa bahwa Kebo
Kanigara berperankan diri di Karang Tumaritis membebaskan Wilis. Karena itu
Sima Rodra berteriak, “Kau ingin mengurangi kesalahanmu. Di Karang Tumiritis
kau telah menghinakan kami. Kau berhasil membebaskan perempuan tawanan anakku,
cucu Pandan Alas. Bahkan karenanya akhirnya perempuan itu membunuh anakku.”
Ketika Mahesa
Jenar teringat peristiwa itu, kembali ia tertawa. Ia mencoba tertawa seperti
Kebo Kanigara tertawa. Katanya,
“Inilah murid
perguruan Pengging. Mahesa Jenar.”
Kembali dada
Sima Rodra terguncang. Tertawa yang demikian itu pulalah yang didengarnya pada
saat itu di bukit Karang Tumaritis, ketika seorang yang menamakan diri Mahesa
Jenar tiba-tiba seperti terbang dan hinggap di atas batu karang sambil berkata,
“Inilah Mahesa
Jenar, murid perguruan Pengging.”
“Gila. Jangan
kau berbangga atas kemenanganmu saat itu. Kau memang mempunyai kelebihan dari
kami dalam hal melarikan diri dan bersembunyi,” bentak Sima Rodra.
“Tetapi
marilah kita sekarang berhadapan. Tidak melarikan diri dan tidak bersembunyi.”
“Kali ini aku
tidak akan bersembunyi dan melarikan diri. Aku kini berdiri di antara laskar
yang sedang bertempur. Karena itu akupun harus bertempur seperti mereka. Menang
atau kalah, marilah kita serahkan kepada keputusan tertinggi. Sebab aku yakin,
kebenaran tak akan dapat ditindas oleh kejahatan,” jawab Mahesa Jenar.
“Huh,
pandangan hidup yang didasarkan pada keputusasaan. Bagiku menang atau kalah
tergantung kepada kita sendiri. Dan bahwa suatu ketika kebenaran akan lenyap
oleh kejahatan dan di atasnya akan aku bangun kebenaran yang baru menurut seleraku,”
bantah Sima Rodra.
Mahesa Jenar
mengerutkan keningnya. Sima Rodra akan membangun kebenaran di atas
bangkai-bangkai dan kejahatan. Benar-benar seorang yang tidak
tanggung-tanggung. Kebenaran baginya tidak lebih dari pemuasan nafsu sendiri.
Akhirnya ia menjawab,
“Semakin
banyak orang seperti kau di dunia ini, semakin parahlah tata kehidupan manusia.
Peradaban yang kau bina, seperti yang dilakukan oleh anak menantumu di Gunung
Baka, di kaki bukit Karang Tumaritis, dan barangkali di seribu tempat lain, menunjukkan
betapa kau telah menghilangkan batas antara manusia dan binatang, antara
manusia dan setan. Pemanjaan nafsu, pemutarbalikan tata kesopanan, pemujaan
pada kekejaman dengan mengorbankan gadis-gadis di atas batu-batu pemujaan yang
kau buat, dengan mengalirkan darahnya.”
“Jangan
berlagak seperti malaikat yang bersih suci,” potong Sima Rodra.
“Hidupku dan
hidupmu tidak akan lebih dari kisaran satu abad. Kenapa tidak kau nikmati
hidupmu yang pendek itu?”
TIBA-TIBA
tubuh Mahesa Jenar bergetar karena tekanan perasaannya. Ia melihat orang yang
berdiri di hadapannya dengan baju kulit harimau hitam, seperti ia melihat
campur baur dari segala kejahatan dan nafsu. Karena itu ia bergumam seperti
kepada diri sendiri,
“Aku harus
menghentikannya sebelum ia menjadi berkembang.”
Sima Rodra
tertawa. Keras sekali.
“Apa yang akan
kau hentikan?”
“Untuk
membunuh harimau, jangan ditunggu harimau itu menjadi besar,” sahut Mahesa
Jenar.
“Kau akan
membunuh aku? Ha, kaupun telah mimpi untuk menjadi seorang pembunuh,” kata Sima
Rodra.
“Apa bedanya?
Membunuh kau sama artinya dengan menegakkan kemanusiaan, karena kau ingin
memperkosa kemanusiaan itu. Dan karena sifat-sifatmulah maka aku menolak
adamu,” jawab Mahesa Jenar.
“Terlalu
berbelit-belit,” jawab Sima Rodra.
“Yang aku ketahui,
kalau kita berkelahi, aku atau kau yang menjadi pembunuh.”
“Otakmu
terlalu beku. Atau sama sekali diselimuti oleh noda-noda hitam dalam hidupmu…?”
Mahesa Jenar menyela.
“Persetan.
Jangan gurui aku. Menyerahlah, aku akan membunuhmu dengan cepat,” jawab Sima
Rodra.
“Bagaimana
kalau sebaliknya?” bantah Mahesa Jenar.
“Hem, kalau
begitu aku akan melukai wajahmu yang tampan, dan membiarkan kau mati
perlahan-lahan,” geram Sima Rodra dengan marahnya.
“Tak ada
pilihan lain,” sahut Mahesa Jenar.
Sima Roda kemudian
mengaum keras sekali. Beberapa orang di sekitarnya terkejut, meskipun laskar
dari golongan hitam sendiri. Hanya orang-orang dari Gunung Tidar sajalah yang
bertambah semangat di dalam dada mereka mendengar auman yang mengerikan itu.
Dengan suatu
loncatan yang buas, sebuas harimau lapar, Sima Rodra menyerang langsung kepada
Mahesa Jenar. Demikian cepatnya serangan itu, sehingga Mahesa Jenar agak
terkejut. Namun hanya sesaat. Sesaat kemudian ia seakan-akan menancapkan kedua
kaki dalam-dalam, menyiapkan diri menyambut serangan itu. Ia sengaja tidak
menghindar, tetapi ia ingin membentur tangan lawannya untuk menjajagi sampai di
mana kekuatan Sima Rodra yang pernah menggemparkan itu. Kalau hal itu terjadi
beberapa tahun lalu, maka Mahesa Jenar pasti akan terlempar dan terbanting
mati, karena Sima Rodra dengan marahnya telah mengerahkan kekuatannya.
Tetapi yang
terjadi adalah berbeda, Mahesa Jenar telah menemukan kekuatan yang tersembunyi
di dalam tubuhnya, setelah ia mesu diri di Bukit Karang Tumaritis. Maka yang
terjadi adalah benturan yang dahsyat. Demikian dahsyat sehingga seakan-akan
terjadi benturan guntur di langit. Tubuh masing-masing tergetar dan kemudian
terdorong selangkah surut. Sekali lagi Sima Rodra mengaum dahsyat. Meskipun ia
tidak mengalami cidera, namun betapa herannya melihat Mahesa Jenar masih tegak
berdiri di hadapannya. Karena itu sekali lagi ia menyerang dengan dahsyatnya.
Namun kali ini Mahesa Jenar telah menemukan nilai-nilai kekuatan lawannya,
sehingga ia dengan sempurna dapat menempatkan diri pada keadaan yang
seharusnya. Dengan tangkas Mahesa Jenar menghindarkan diri, dengan meloncat ke
samping. Namun harimau yang hampir gila itu benar-benar tangkas. Demikian
kakinya menyentuh tanah, kakinya yang lain diputar ke arah lambung lawannya.
Sekali lagi Mahesa Jenar terpaksa menarik tubuhnya condong ke belakang. Tetapi
sekali lagi harimau tua itu menyerangnya dengan tendangan ganda. Kali ini
Mahesa Jenar tidak dapat hanya menyondongkan dirinya. Ia pun terpaksa melompat
mundur. Tetapi dengan demikian ia menemukan kelemahan lawannya. Sekali lagi
kaki Sima Rodra mesih terjulur, Mahesa Jenar menangkapnya pada bagian bawah
lututnya. Namun Harimau Lodaya itupun tangkas pula. Ia tidak mau membiarkan hal
itu terjadi. Ketika tangan Mahesa Jenar menyentuh kakinya, segera ia
melipatnya, sehingga dengan demikian tangan Mahesa Jenar menjadi terjepit.
Mahesa Jenar menggeram perlahan-lahan, tetapi segera ia mendorong tubuh
lawannya yang tegap besar itu dengan siku tangannya yang lain di arah lambung.
Demikian kerasnya sehingga Sima Rodra dan Mahesa Jenar bersama-sama jatuh
terguling. Tetapi dengan demikian, Mahesa Jenar telah melepaskan jepitan
lawannya, bahkan ketika ia melihat Sima Rodra meloncat bangkit, Mahesa Jenar
pun telah berdiri pula. Maka segera mereka terlibat kembali dalam perkelahian.
Masing-masing adalah orang-orang perkasa, yang mempunyai kelebihan dari orang
lain.
Sima Rodra
dengan penuh nafsu kebuasan bertempur mati-matian. Sebab ia sadar bahwa
orang-orang seperti Mahesa Jenar adalah penghalang utamanya. Di pihak lain,
Mahesa Jenar pun bertempur dengan penuh kesadaran akan kewajibannya sebagai
manusia yang mengabdikan diri pada kemanusiaan. Kegagalannya kali ini,
lebih-lebih kegagalan laskar Pamingit dan Banyubiru berarti runtuhnya martabat manusia,
setidak-tidaknya di Pamingit dan Banyubiru. Dengan demikian, ia bertekad untuk
bertempur yang terakhir kalinya dengan Harimau Gila itu. Biarlah ia terbunuh
kalau ia tidak berhasil, namun kalau ia berhasil, maka telah diletakkannya satu
di antara berjuta-juta batu yang akan membentuk bangunan kemanusiaan.
Pertempuran itu semakin lama semakin dahsyat. Sima Rodra dengan mengaum-aum
mengerikan, menyerang dengan buasnya. Tangannya kadang-kadang mengembang
seperti sayap, tetapi kemudian terjulur untuk menerkam lawannya seperti
harimau. Jari-jarinya yang kokoh dan kuat merupakan bahaya yang setiap saat
dapat menembus daging lawannya.
DALAM
pertempuran yang hiruk pikuk itu, Sima Rodra tampak sebagai seekor harimau
hitam di antara beratus-ratus kelinci yang sedang berjejal-jejalan. Namun lawan
yang dihadapinya kini bukan kelinci-kelinci itu. Tetapi lawannya adalah seekor
banteng yang tangguh. Seekor Banteng yang dengan tenang dan yakin pada dirinya
atas lambaran kebenaran, berjuang menegakkan sendi-sendi kemanusiaan. Sehingga
dengan demikian maka pertempuran di antara mereka, adalah pertempuran yang akan
diakhiri dengan lenyapnya salah satu dari keduanya. Pertempuran yang
melambangkan pertempuran yang akan terjadi di sepanjang jaman. Kebenaran
melawan kemungkaran dan kejahatan. Pertempuran di antara mereka yang berjalan
dijalan Allah, melawan mereka yang melawan cinta Tuhan. Tetapi Tuhan Maha
Pengampun. Karena itu, bagi siapa saja yang bertobat serta menyebut nama-Nya
dengan ikhlas serta penyerahan yang tulus, maka pintu Rumah-Nya selalu terbuka.
Sejalan dengan
matahari yang semakin tinggi, semakin seru pulalah pertempuran itu. Setiap
senjata telah menjadi merah oleh darah. Darah sesama manusia. Dan tanah telah
menjadi merah pula oleh siraman darah yang merah segar. Tetapi karena bau darah
itulah maka mereka menjadi semakin buas. Mereka tinggal memilih dua kemungkinan
di dalam peperangan itu. Mati terbunuh atau terpaksa membunuh. Tetapi mereka
telah bertindak atas suatu keyakinan. Bagi golongan hitam, membunuh adalah
pekerjaan mereka untuk mendapatkan kepuasan nafsu dan kemungkinan yang
menimbulkan harapan. Kali ini mereka mengharap untuk mendapat bagian dari tanah
yang mereka perebutkan. Pamingit, dan lusa Banyubiru, serta segala kekayaan di
atasnya. Bahkan atas setiap laki-laki untuk diperintahnya dan berkuasa atas
setiap perempuan untuk diperlakukan dengan sekehendak hati mereka. Sedang masa
mendatang, mereka mendapat harapan yang lebih baik lagi apabila benar-benar
mereka dapat memecahkan kerajaan Demak. Siapa tahu mereka akan dapat pangkat
Tumenggung, dengan rumah yang besar-besar dan selusin isteri yang
cantik-cantik. Sebaliknya, laskar Banyubiru dan Pamingit berjuang atas
keyakinan mereka pula. Mereka terpaksa membunuh untuk menghentikan kebuasan
manusia atas manusia. Mempertahankan tanah mereka dan milik mereka.
Mempertahankan karunia Tuhan untuk mereka. Karena itulah maka, kedua belah
pihak bertempur mati-matian. Siapa yang lengah, dadanya akan tertembus senjata.
Dan mataharipun seakan-akan menjadi suram karena sinarnya yang ditakbiri oleh
debu yang mengepul di udara seperti kabut. Di antara deru senjata dan teriakan
penuh nafsu, terdapatlah beberapa titik-titik perkelahian yang paling dahsyat.
Ki Ageng Sora Dipayana melawan Bugel Kaliki yang berputar seperti angin
pusaran. Ki Ageng Pandan Alas melawan Pasingsingan seperti beradunya angin
prahara yang bertentangan arah. Titis Anganten melawan Sura Sarunggi yang
seolah-olah menjadi tenggelam dalam kabut yang gelap.
Di bagian
lain, Mahesa Jenar bertempur melawan Sima Rodra demikian dahsyatnya seperti
guntur di langit yang saling sambar menyambar. Tetapi ada di antara mereka,
tokoh yang dahsyat dari golongan hitam itu yang masih berdiri saja di antara
kedua laskar yang bertempur. Hanya sekali-kali saja ia menggerakkan tangannya
untuk melawan serangan-serangan laskar Banyubiru, dan sekali-kali ia terpaksa
menghindar kalau dua tiga orang yang gagah berani menyerangnya bersama-sama.
Namun tangannya benar-benar seperti tangan hantu. Sekali ia berhasil merampas
sebuah pedang, dan menancapkan pedang itu dengan mudahnya di dada pemiliknya.
Dengan tertawa menyeringai ia berpaling sambil bergumam, “Tikus yang sombong.”
Kemudian ia melangkah pergi di antara kacau-balaunya pertempuran, seperti
berjalan di dalam kesibukan pasar saja. Ia melihat betapa sahabat-sahabatnya
bertempur mati-matian. Ia melihat betapa Sima Rodra berjuang sekuat tenaga
melawan Mahesa Jenar.
Orang itupun
menjadi heran pula. Bagaimana mungkin Mahesa Jenar dapat mengimbangi Sima Rodra
yang ganas itu. Terhadap Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas dan Titis
Anganten ia tidak perlu heran. Pertempuran diantara mereka dapat berlangsung
lama. Sehari, dua hari, bahkan tanpa batas, seperti kalau ia sendiri tanpa
lawan. Karena itu ia sedang berpikir apakah yang harus dilakukan. Membunuh
sebanyak-banyaknya, atau membantu salah seorang dari keempat sahabatnya. Ia
harus yakin bahwa kawan-kawannya itupun dapat membawa diri. Karena itu biarlah
ia bekerja sendiri. Tetapi membunuh laskar-laskar kecil yang berserak-serakan
seperti tikus itupun tak akan berarti.
Sebagai
seorang tokoh yang ditakuti tidak saja di Nusa Kambangan, ia merasa terlalu
berharga untuk berperang melawan laskar-laskar Banyubiru yang tak berarti itu.
Sekali-kali ia memandang jauh ke sapit sebelah kanan. Terhadap muridnya Jaka
Soka pun ia tidak terlalu cemas. Seandainya Jaka Soka itu harus berhadapan
dengan Lembu Sora sekalipun. Karena itu tidak ada kerja lain baginya daripada
membunuh. Bukankah di dalam peperangan yang berjumlah besar, membunuh siapapun
yang ada didekatnya bukan berarti merendahkan diri. Pertempuran yang demikian
adalah pertempuran yang kacau. Setiap senjata dapat mengarah setiap dada lawan.
Maka akhirnya Nagapasa itupun menjadi puas terhadap pendiriannya. Daripada
berdiri saja di situ, memang lebih baik berbuat sesuatu yang dapat memperingan
pekerjaan laskar dari golongan hitam. Kemudian setelah ia mendapat ketetapan
hati, mulailah ia bergerak sekali sambar, kembali ia merampas sebuah tombak. Ia
memutar tombak itu sekali diudara kemudian dengan satu gerakan kemungkinan
untuk menghindar. Demikian cepat dan keras. Tetapi tiba-tiba Nagapasa menarik
kembali tombak itu ketika tiba-tiba ia mendengar seseorang menyapanya,
“Alangkah
dahsyatnya Tuan.”
NAGAPASA
menoleh. Ia melihat seorang bertubuh tegap kekar berdiri di sampingnya. Orang
itu belum pernah dikenalnya. Karena itu ia mengacuhkannya. Maka kembali ia
mencari orang yang hampir terbelah dadanya oleh tombaknya sendiri. Tetapi orang
itu sudah lari menghilang di antara hiruk pikuk pertempuran, mencari lawan yang
tak bertangan hantu. Nagapasa kecewa. Ia menggeram dan sekali lagi menoleh
kepada orang yang menyapanya. Tiba-tiba ia menjadi muak melihat wajahnya yang
tenang. Orang itu pasti salah seorang dari laskar Banyubiru. Tetapi tiba-tiba
Nagapasa kehilangan nafsu untuk membunuh orang itu.
“Mungkin ia
belum mengenal aku. Biarlah aku bermain-main dahulu. Biarlah ia menjadi ngeri
dan baru kemudian aku akan membunuhnya setelah ia melihat bagaimanakah caranya
aku membunuh,” pikirnya.
Mendapat
pikiran itu, segera Nagapasa mendesak maju ke dalam laskar Banyubiru. Ia akan
berbuat hal-hal yang aneh untuk menakut-nakuti orang yang menyapanya dengan
tenang. Tetapi orang itu mengikutinya dalam jarak yang dekat sekali.
Seakan-akan ia melekat pada jarak yang ditetapkan. Namun Nagapasa tidak
memperdulikannya, bahkan lebih baiklah bila orang itu dapat melihat dengan
seksama bagaimana ia dapat mematahkan leher seorang dengan tangannya, mencukil
matanya dengan jari-jarinya, dan memecahkan kepala itu dengan pukulan
tangannya. Ketika seseorang bertempur di dekatnya, iapun segera meloncat
menangkap orang Banyubiru. Tangannya mencekik leher, sedang tangannya yang lain
terayun ke dahi orang itu. Benar-benar suatu pemandangan yang mengerikan.
Tetapi kembali Nagapasa mengurungkan niatnya, ketika ia mendengar orang yang
mengikutinya itu tertawa. Meskipun suaranya lunak sekali namun nadanya
benar-benar tak menyenangkan.
Kemudian
terdengar ia berkata,
“Tidak
tanggung-tanggung. Suatu pameran kekuatan yang luar biasa.”
Nagapasa
memandang orang itu dengan seksama, sementara tangannya masih mencekik leher.
Ia mengamat-amati orang itu dengan tanpa berkedip. Benar-benar orang itu belum
pernah dikenalnya. Tetapi menilik sikapnya, orang itu pasti bukan orang
kebanyakan atau salah seorang dari laskar biasa dari Banyubiru.
“He, kau
siapa?” tanya Nagapasa acuh tak acuh.
Orang itu
mengerutkan keningnya. Jawabnya,
“Laskar
Banyubiru.”
“Aku sudah
tahu,” bentak Nagapasa marah.
“Namamu dan
jabatanmu?”
“Kebo
Kanigara,” jawabnya.
“Laskar
biasa.” Nagapasa menggeram.
Nama itu
benar-benar belum pernah dikenalnya. Tetapi sikap orang itu sangat menyakitkan
hatinya.
“Sudahkah kau
mengenal aku?” tanya Nagapasa.
“Ya, aku
kenal,” jawab Kanigara.
“Bukankah Tuan
yang menamakan diri Nagapasa?”
Nagapasa
menjadi semakin jengkel. Ternyata orang itu telah mengenalnya, tetapi kenapa ia
sedemikian berani menghadapinya.
“Bagus,” kata
Nagapasa lebih lanjut.
“Kalau
demikian kau kenal juga dari mana Nagapasa datang?” “Ya,” jawab Kanigara pula.
“Nagapasa
berasal dari Nusakambangan dengan muridnya yang bernama Jaka Soka. Nagapasa
adalah seorang yang sakti, sejajar kesaktiannya dengan Pasingsingan, Sima
Rodra, Sura Sarunggi dan Bugel Kaliki.”
Nagapasa
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menjadi semakin heran. Orang yang bernama
Kebo Kanigara itu mengenalnya dengan lengkap, namun ia masih berani menyapa
seenaknya saja. Apakah orang ini benar-benar ingin bunuh diri?
“Kalau
demikian…” Nagapasa berkata pula,
“Apa maksudmu
mengikuti aku?”
“He…” Kanigara
berpura-pura terkejut, meskipun ia tahu apa yang tersirat di dalam pikiran
Nagapasa itu,
“Bukankah kita
berada di dalam peperangan. Dan bukankah setiap kita dari Banyubiru dan dari
golongan hitam dapat menjadi lawan?”
Nagapasa
menjadi semakin marah mendengar jawaban itu, katanya,
“Kau akan
melawan aku?”
“Apa aku harus
memilih lawan” sahut Kanigara.
“Siapa yang
ada di hadapanku adalah lawanku.”
“Kau sudah
menjadi gila,” teriak Nagapasa.
“Lihat betapa
orang ini hampir mati karena tanganku. Aku dapat memperlakukan berpuluh-puluh
bahkan beratus-ratus orang seperti ini.”
“Ya, aku
percaya,” jawab Kanigara.
“Kau ingin aku
berbuat demikian terhadapmu?” bentak Nagapasa semakin keras.
“Tidak,” jawab
Kanigara. Kejengkelan Nagapasa menjadi semakin memuncak.
“Lalu apa
maumu?” Ia berteriak lebih keras lagi.
“Kita
berperang. Mauku bertempur melawan Tuan,” sahut Kanigara.
“Orang ini
agaknya orang gila,” pikir Nagapasa. Dengan demikian ia kehilangan nafsu untuk
berbuat sesuatu. Melawan orang gila baginya hanya akan membuang-buang waktu
saja.
KEMBALI
Nagapasa berpaling kepada orang yang dicekiknya. Kepada orang itu ia akan
menumpahkan kejengkelannya. Dengan menggeram ia berkata,
“Nasibmu tak
begitu baik, tikus yang malang. Berdoalah sebelum kepalamu aku pecahkan.”
Kemudian terayunlah kembali tangan Hantu Laut dari Nusakambangan itu. Sedang
orang yang dicekiknya telah kehilangan harapan untuk dapat hidup. Ia kenal
siapakah Nagapasa itu. Dan menyesallah bahwa ia kurang berhati-hati, bertempur
di dekat orang bertangan maut itu. Namun akhirnya ia memejamkan matanya pasrah
diri. Dalam perjuangan maut adalah tantangan. Kalau maut itu datang, biarlah ia
menelannya. Namun ia yakin bahwa ia telah berjuang menegakkan kebenaran. Tetapi
tiba-tiba terjadilah suatu hal yang tak terduga-duga. Ketika tangan Nagapasa
hampir saja memecahkan kepala orang yang telah pasrah diri itu, terjadilah
suatu benturan yang keras. Tangan Nagapasa terasa bergetar hebat. Ia merasa
bahwa tangannya telah mengenai sesuatu, tetapi sama sekali bukan kepala orang
yang dicekiknya. Dan kepala itu sama sekali tidak dipecahkannya, malahan
tangannya sendiri merasa tergetar.
Belum lagi ia
sadar akan peristiwa itu, kembali terasa sebuah pukulan yang dahsyat mengenai
tangannya yang lain, yang sedang mencekik orang yang telah berputus asa itu,
demikian kerasnya sehingga tanpa disengaja tangannya terlepas, dan orang yang
dicekiknya itu terpental beberapa langkah dan jatuh berguling-guling.
Nagapasa
melompat selangkah mundur. Ia telah berpuluh tahun hidup dalam kancah
perkelahian, pertempuran dan pembunuhan. Karena itu ia telah memiliki
pengalaman yang tak terkira banyaknya. Sehingga dengan demikian segera ia
sadar, bahwa sesuatu telah terjadi, sesuatu yang berada di luar perhitungan.
Ketika ia sadar memandang berkeliling, yang dilihatnya hanyalah orang yang
bernama Kebo Kanigara itu, selain beberapa orang yang sedang bertempur melawan
lawan masing-masing. Dengan demikian ia dapat mengambil kesimpulan, bahwa Kebo
Kanigara lah orangnya, yang telah mencoba membentur tangannya. Nagapasa menjadi
marah sekali. Wajahnya tiba-tiba menjadi merah, semerah darah. Meskipun
bibirnya terkatup rapat, namun terdengar betapa giginya gemeretak. Dengan
tangan yang bergetar ia menunjuk wajah Kebo Kanigara sambil berkata dengan
gemetar,
“Kau…?”
Kebo Kanigara
masih setenang tadi. Sambil mengangguk ia menjawab singkat, sesingkat
pertanyaannya,
“Ya.”
Nagapasa sadar
bahwa orang yang bernama Kebo Kanigara itu bukan orang gila seperti yang
disangkanya. Tetapi Kebo Kanigara benar-benar orang perkasa, yang telah
menempatkan diri sebagai lawannya dalam pertempuran itu dengan penuh kesadaran.
Dengan demikian darahnya kini telah benar-benar mendidih. Karena itu ia sudah
tidak mampu lagi untuk bertanya-tanya.
Dengan memekik
tinggi ia meluncur seperti ular yang mematuk lawannya, dengan tangan terjulur
ke arah wajah Kebo Kanigara. Tetapi Kebo Kanigara bukan anak-anak yang terkejut
melihat ular sawah yang melingkar di pematang. Ia cukup dewasa untuk menghadapi
setiap kemungkinan. Karena itu, ketika ia mendapat serangan dari Nagapasa, sama
sekali tidak menjadi gugup. Dengan tenangnya Kebo Kanigara membuat perhitungan
yang tepat. Ketika serangan Nagapasa itu hampir menyentuhnya, tiba-tiba ia
menjatuhkan dirinya menelentang. Kedua kakinya segera menyambar perut lawannya,
dan dengan lemparan yang keras, Nagapasa terpelanting ke udara. Tetapi Nagapasa
pun cukup mempunyai bekal untuk bertempur melawan Kebo Kanigara. Ia mula-mula
terkejut mengalami peristiwa itu, namun segera ia menguasai dirinya kembali.
Dengan sebuah putaran ke udara, ia telah mencapai keseimbangannya. Karena itu
Nagapasa dapat dengan baiknya menjatuhkan diri di atas kedua kakinya. Tetapi
ketika ia berhasrat untuk meloncat menyerang lawannya, Kebo Kanigara pun telah
siap pula tegak seperti bukit karang yang tak tergoyahkan oleh badai yang
betapapun dahsyatnya. Sesaat kemudian, kembali Nagapasa menyerang dengan
kerasnya dibarengi dengan sebuah teriakan tinggi. Dan kembali Kebo Kanigara
melawannya dengan tenang, namun penuh gairah. Sebab Kebo Kanigara pun yakin, bahwa
orang-orang seperti Nagapasa adalah sumber dari segala macam bencana bagi umat
manusia. Maka karena itulah pertempuran antara kedua orang perkasa itu segara
menjadi semakin dahsyat.
Nagapasa
bertempur seperti seekor naga. Tubuhnya seolah-olah menjadi lemas dan dapat
bergerak ke segenap arah. Tulang-tulangnya seakan-akan menjadi selemas daun.
Begitu baiknya Nagapasa menguasai tubuhnya, sehingga setiap bagiannya dapat
berubah menjadi senjata yang berbahaya. Jari-jarinya, sikunya, kepalanya, lutut
dan jari kakinya, tumitnya dan segala bagian yang lain. Ia dapat meluncur
dengan cepatnya, melingkar-lingkar seperti pusaran air yang menghisap segenap
benda yang tersentuh jari-jari lingkarannya, menelannya dan
menghancur-lumatkannya. Demikian dahsyatnya Nagapasa bertempur sehingga
benar-benar mirip seekor naga raksasa yang bertempur didalam lautan yang
digelorakan oleh ombak yang dahsyat. Tetapi lawannya adalah Kebo Kanigara.
Seorang yang telah memiliki ilmu yang sempurna. Benarlah kata orang, yang
bahkan almarhum Ki Ageng Pengging Sepuh sendiri mengakui, bahwa sebenarnya Kebo
Kanigara telah melampaui kemampuannya. Kebo Kanigara telah menemukan cara untuk
menempa diri dengan dahsyatnya. Ia hanya memerlukan waktu tidak lebih dari
semperempat waktu yang diperlukan oleh Ki Ageng Pengging Sepuh dengan caranya.
Karena itulah maka Kebo Kanigara benar-benar memiliki sifat yang luar biasa. Ia
dapat bertempur selincah anak kijang di padang rumput, namun ia dapat garang
seperti singa. Di saat-saat yang lain Kebo Kanigara bertempur seperti seekor
garuda dengan sayap-sayapnya yang kokoh seperti baja namun trengginas seperti
sikatan.
SEPERTI Mahesa
Jenar, Kebo Kanigara juga memiliki kekhususan. Ia benar-benar tangguh
sebagaimana ciri-ciri khusus Perguruan Pengging. Seakan-akan berkulit tembaga,
bertulang besi. Serta apabila keringatnya telah membasahi punggungnya,
tandangnya menjadi semakin garang, seperti banteng ketaton. Ketika matahari
memanjat langit semakin tinggi, pertempuran itupun menjadi semakin sengit. Kebo
Kanigara dan Nagapasa telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Namun
disamping kemarahan yang semakin memuncak, Nagapasa pun menjadi heran. Apakah
ia sebenarnya sedang bertempur melawan seorang manusia, ataukah tiba-tiba saja
ada malaikat yang menjelma dan melawannya?
“Persetan
dengan malaikat. Aku tidak takut melawan malaikat seandainya ia benar-benar
ada.”
Nagapasa
mengumpat di dalam hati, namun di dalam relung hatinya yang terdalam ia
mengeluh,
“Gila benar
orang ini. Siapakah sebenarnya dia?”
Kebo Kanigara pun
berjuang terus. Ia sadar bahwa lawannya adalah seorang yang luar biasa. Hantu
Laut yang memiliki kesaktian dan pengalaman yang mengerikan. Karena itu, Kebo
Kanigara pun cukup berhati-hati. Namun sedikit demi sedikit, akhirnya ia
berhasil mengetahui segi-segi kedahsyatan ilmu lawannya, tetapi juga segi
kelemahan-kelemahannya. Suatu hal yang tak dapat dilihat oleh orang biasa. Kebo
Kanigara memiliki daya pengamatan yang lebih tajam dari manusia kebanyakan.
Dengan demikian, apa yang selama ini tak diketahui orang, dapatlah
diketahuinya, dan apa yang tak dapat dikerjakan orang lain, ia dapat
melakukannya.
Pertempuran di
lereng Gunung Merbabu itupun menjadi semakin riuh. Percikan darah
berhambur-hamburan membasahi tanah pegunungan dan rumput-rumput liar. Kedua
belah pihak berjuang semakin gigih. Sebab tak ada pilihan lain, apabila
seseorang telah berada di tengah-tengah api peperangan. Debu mengepul semakin
tinggi di udara. Putih gelap, seperti kabut ampak-ampak di lereng-lereng bukit.
Ki Ageng Sora
Dipayana masih bertempur melawan Bugel Kaliki. Silih ungkih, singa lena.
Desak-mendesak, serang-menyerang silih berganti. Tetapi keduanya sadar, bahwa
kesaktian mereka benar-benar berimbang. Sekali-kali, baik Ki Ageng Sora
Dipayana maupun Bugel Kaliki, berusaha untuk menebarkan pandangannya ke
bagian-bagian pertempuran yang lain, seperti juga apa yang dilakukan oleh Ki
Ageng Pandan Alas dan Pasingsingan, Titis Anganten dan Sura Sarunggi.
Sekali-kali merekapun ingin mengetahui apa yang telah terjadi di bagian-bagian yang
lain. Dari celah-celah deru senjata, Ki Ageng Sora Dipayana, yang bertempur
seorang diri di antara laskar Banyubiru dan Pamingit yang saling bertempur
pula. Semula Ki Ageng Sora Dipayana mencemaskan nasib Mahesa Jenar, tetapi
kemudian ia menjadi heran. Mereka telah cukup lama bertempur, namun agaknya
Mahesa Jenar masih tetap bertahan dengan gigihnya.
“Apakah yang
telah terjadi dengan Angger Mahesa Jenar selama ini?” pikirnya.
Dan tiba-tiba
sesaat kemudian orang tua itupun terkejut pula.
“Apakah yang
sudah dilakukan oleh Kebo Kanigara itu? Timbul pertanyaan pula di dalam
hatinya. Bahkan ia menjadi semakin heran ketika melihat, bahwa Kebo Kanigara
dapat bertempur melawan Nagapasa sebaik dirinya sendiri atau orang-orang
seangkatannya. Bahkan karena darah yang jauh lebih muda daripada darahnya dan
orang-orang seangkatannya, Kebo Kanigara tampak betapa tangkas dan perkasanya.
“Hem…”
desisnya,
“Siapakah
sebenarnya orang itu?”
Ternyata di
bagian lainpun terdengar Ki Ageng Pandan Alas berdesis,
“Benar-benar
Angger Kebo Kanigara sakti tiada taranya.”
Di bagian lain
lagi Titis Anganten bergumam,
“Aneh. Belum
pernah aku mengenalnya. Namun tiba-tiba ia telah mengejutkan kami.”
Bukan saja
orang-orang Banyubiru dan Pamingit yang keheran-heranan melihat keperkasaan Kebo
Kanigara, namun orang-orang dari golongan hitampun menjadi cemas melihat
tandangnya. Ketika orang-orang lain sedang sibuk menilai dirinya, Kebo Kanigara
sempat menyaksikan betapa Mahesa Jenar berjuang di antara hidup dan mati. Tanpa
sesadarnya merayaplah perasaan bangga di dalam dirinya. Ia melihat benih subur
tumbuh di dalam tubuh Mahesa Jenar yang kemudian bahkan telah berkembang dengan
rimbunnya. Ia melihat Mahesa Jenar itu telah dapat menguasai ilmunya. Tidak
saja Mahesa Jenar itu telah dapat mensejajarkan diri dengan almarhum gurunya,
namun dalam penglihatan Kebo Kanigara, Mahesa Jenar bahkan telah melampauinya.
Masa-masa pembajaan diri yang dahsyat telah menempa Mahesa Jenar dan muridnya
sedemikian dahsyat pula. Dan sekarang Mahesa Jenar mencoba menerapkan ilmunya
dalam suatu perjuangan yang menentukan. Dalam suatu kesempatan yang lain, Kebo
Kanigara melihat bagaimana Arya Salaka bertempur melawan Lawa Ijo. Anak muda
itupun menunjukkan betapa gigihnya ia berjuang melawan kejahatan. Tombaknya
yang bernama Kyai Bancak itu menyambar-nyambar seperti seribu mata tombak
bersama-sama, melawan sepasang pisau belati panjang yang berkilat-kilat di
tangan Hantu Alas Mentaok. Namun Arya Salaka telah tumbuh menjadi anak muda
yang perkasa. Apapun yang dilakukan lawannya, dengan baiknya Arya dapat
melayaninya. Kegarangan dan kekasaran Lawa Ijo sama sekali tak mempengaruhi
langkahnya. Apalagi Arya telah membumbui ilmunya dengan segala macam tingkah
laku binatang-binatang liar yang pernah menarik perhatiannya. Bagaimana seekor
tikus berhasil menyelamatkan dirinya dari gigi-gigi ular berbisa, dan bagaimana
seekor kijang yang lemah berhasil membebaskan dirinya dari terkaman
serigala-serigala lapar. Namun Arya Salaka pun tahu, bagaimana seekor banteng
dengan tanduknya, dalam ketenangan yang luar biasa, berhasil merobek perut
seekor harimau yang justru menyerangnya dengan garang.
MELIHAT
pertempuran itu Kebo Kanigara menarik nafas. Ia menjadi bertambah tenang, sebab
dengan demikian ia hampir pasti, bahwa setidak-tidaknya Lawa Ijo tidak akan
berhasil membunuh anak muda itu. Mahesa Jenar pun sempat melihat bagaimana
muridnya itu bertempur. Dengan semangat yang menyala-nyala serta kepercayaan
pada Keadilan yang Maha Tinggi. Arya Salaka bertempur mati-matian berlandaskan
pada suatu keyakinan bahwa bagaimanapun juga kebenaran akan memenangkan
kemungkaran. Ki Ageng Lembu Sora pun bertempur dengan gigihnya di bagian lain.
Dibebani oleh rasa tanggungjawab atas tanah serta kampung halamannya, serta
perasaan-perasaan lain yang memburunya selama ini, kekhilafan-kekhilafan yang
pernah dilakukannya serta nafsu-nafsu yang memalukan telah mengetuk-ngetuk
dinding hatinya. Seakan-akan terdengar suara yang berputar di udara, “Lembu
Sora, kau harus mampu memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah kau lakukan.
Lihatlah betapa anak yang akan kau singkirkan itu kini berjuang tanpa pamrih
untukmu. Lalu apa yang akan kau lakukan?”
“Akan aku
bunuh kawan-kawanku kini.” Lembu Sora menggeram.
“Mereka adalah
orang-orang yang menyeretku ke dalam tindakan-tindakan yang hina.”
Lawannya, Ular
Laut dari Nusakambangan, terkejut mendengar Lembu Sora tiba-tiba menggeram.
Tetapi kemudia iapun tersenyum. Katanya, “Hati-hatilah Ki Ageng Lembu Sora,
jangan melamun. Pedang tipisku ini dapat merobek dadamu.”
Kembali Lembu
Sora menggeram. Betapa bencinya ia kepada Jaka Soka. Apalagi sejak nyawanya
berada di ujung kerisnya sendiri, yang ditekankan ke lambungnya oleh Mahesa
Jenar, pada saat laskarnya mencegat laskar Demak yang sedang membawa Gajah
Sora. Pada saat itu, seolah-olah ia telah bersumpah, bahwa pada suatu saat ia
harus dapat membunuh Jaka Soka dengan tangannya. Tetapi Jaka Soka itupun
bukanlah anak-anak yang baru mampu berdiri. Ia adalah seorang bajak laut yang
buas. Meskipun wajahnya selalu membayangkan senyuman yang menarik, namun di
balik senyumnya itu tersembunyi kejahatan dan kebengisan yang bertimbun-timbun.
Hanya karena seorang gadis yang cantik dalam penilaiannya, dan bernama Rara
Wilis di hutan Tambakbaya, ia berhasrat untuk membunuh semua orang yang berada
di tempat itu, tanpa sebab. Hanya karena mereka mengetahui bahwa ia
menginginkan gadis itu. Maka pertempuran di antara merekapun menjadi semakin
sengit. Dendam yang membara di dalam dada Lembu Sora telah mendorongnya untuk
berjuang sekuat tenaga, sedang Jaka Soka menjadi semakin berani, karena saat
itu gurunya yang dibangga-banggakan berada pula di dalam pertempuran itu,
Nagapasa.
Akhirnya
mataharipun perlahan-lahan melampau puncak langit. Semakin lama menjadi semakin
condong ke barat. Angin pegunungan berdesir lembut mengusap daun-daun pepohonan
di ujung-ujung senjata. Setiap orang dalam pertempuran itu berusaha untuk
memusnahkan lawan-lanan mereka secepat-cepatnya. Masing-masing berjuang dengan
gigih dan tanpa pengendalian diri. Namun tak seorangpun dari mereka yang dengan
senang hati menyerahkan nyawanya. Karena itulah maka pertempuran itu
bertambah-tambah riuh dan ribut. Keringat dan debu yang melekat pada tubuh
mereka, bercampur darah yang meleleh dari luka, sama sekali tak mereka
hiraukan. Perasaan sakit dan pedih yang ditimbulkan oleh goresan-goresan ujung
senjata sama sekali tak terasa, selagi merka masih dapat berdiri dan
mengayunkan senjata-senjata mereka, maka tak ada kesempatan untuk
bermanja-manja. Bagi mereka yang telah menjadi lemas karena darah yang terperas
hilanglah harapan mereka untuk dapat melihat matahari terbit esok hari. Mereka
akan terjatuh dan diinjak-injak. Mungkin oleh lawan dan mungkin oleh kawan.
Meskipun demikian, apabila maut belum saatnya datang, ada saja di antara mereka
yang berhasil merangkak-rangkak membebaskan diri dari kancah pertempuran, atau
seorang kawan yang sempat memapahnya dan menyingkirkannya. Sawung Sariti tak
pula kalah garangnya. Wadas Gunung, murid Pasingsingan yang muda itu agaknya
bertempur pula penuh nafsu dan kemarahan. Tetapi Wadas Gunung tidak segarang
Lawa Ijo. Karena itu ia sendiri segera terdesak oleh cucu dan sekaligus murid
Ki Ageng Sora Dipayana yang masih sangat muda itu. Namun tiba-tiba seorang yang
bertubuh pendek gemuk dengan otot-otot yang menonjol seperti orang hutan,
datang membantunya dengan senjata-senjata yang mengerikan. Bola-bola besi yang
bertangkai. Orang yang bertubuh bulat itu adalah Bagolan. Bola besinya bergerak
dengan garangnya, menyambar-nyambar di antara kilauan dua pisau belati panjang
di tangan Wadas Gunung.
PEDANG Sawung
Sariti seolah-olah mempunyai mata. Ke mana keempat senjata lawannya itu
mengarah, terdengarlah dentang senjata mereka beradu. Seperti ayahnya, Sawung
Sariti dapat berbangga diri karena kekuatan tubuhnya. Meskipun Wadas Gunung
bertubuh tegap kuat dan Bagolan memiliki lengan yang berbongkah-bongkah seperti
orang hutan, namun Sawung Sariti dapat membentur kekuatan mereka dengan
keseimbangan yang cukup. Pedang Sawung Sariti seperti juga pedang ayahnya,
berukuran tidak wajar. Pedangnya lebih besar dan lebih panjang daripada pedang
biasa. Meskipun pedang itu tidak setajam pedang Jaka Soka, namun dengan pedang
itu Sawung Sariti mampu mematahkan besi gligen. Dengan hadirnya Bagolan, maka
pertempuran itu menjadi seimbang. Meskipun semula Wadas Gunung agak malu-malu
juga bertempur melawan anak semuda itu berdua. Namun dalam saat-saat hidup dan
mati menjadi taruhannya, maka perasaan itupun lenyap tanpa bekas. Dengan
baiknya mereka berdua bertempur berpasangan. Maju bersama-sama dari arah yang
berbeda. Tetapi pedang Sawung Sariti berputar seperti lingkaran angin yang
melindungi tubuhnya, sedemikian rapatnya sehingga tak seujung jarumpun dapat
ditembus oleh senjata lawannya.
Wulungan
ternyata seorang jantan. Ia bertempur seperti seekor elang. Dengan garangnya ia
menggerakkan pedangnya menyambar-nyambar. Sedang di bagian lain, Galunggung pun
tidak mengecewakan. Orang itu bersenjata pedang pula seperti Wulungan. Dengan
tangkasnya ia meloncat kesana kemari, menggerakkan pedangnya dengan lincahnya,
mematuk-matuk seperti lidah api yang dihembus angin. Beberapa orang dari
golongan hitam telah mengenalnya. Mereka telah pernah bekerja bersama-sama
dalam usaha mereka memusnahkan Arya Salaka. Namun sekarang mereka harus
berhadapan sebagai lawan. Seorang yang bertubuh pendek, kasar dan menjemukan,
menempatkan diri sebagai lawan Galunggung. Orang itu adalah Sakajon. Tokoh
kepercayaan Sima Rodra dari Gunung Tidar. Mereka berdua bertempur dengan penuh
nafsu. Sakajon dengan pedang pendek namun besar, bertempur seperti seekor babi
hutan yang garang, sedang Galunggung melayanipun seperti seekor serigala lapar.
Laskar golongan hitam yang bertempur berhadapan dengan sayap kiri laskar
Banyubiru menjadi terkejut ketika mereka merasa terbentur pada kekuatan yang
tak mereka duga. Sri Gunting dari Rawa Pening, yang semula dengan bangga dapat
mendesak laskar Pamingit dari Sumber Panas, kini benar-benar membentur dinding
baja. Dengan marahnya Sri Gunting mencoba untuk memusnahkan pimpinan kelompok
lawannya. Tetapi orang yang bersenjata tombak bermata dua itu benar-benar
tangkas.
Jaladri, yang
mempimpin kelompok di bagian tengah sapit kiri itu, dengan gigihnya bertempur
melawan tokoh pertama sesudah Uling Rawa Pening. Bahkan tiba-tiba Jaladri
menjadi bergirang hati. Setelah sekian lama ia menempa diri di bawah penilikan
Ki Dalang Mantingan dan Ki Wirasaba, yang kemudian ditambah dengan beberapa
pengetahuan yang berharga dari Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, kini ia mendapat
kesempatan untuk mengamalkannya. Menumpas golongan hitam.
Demikian juga
Bantaran yang berada di ujung Sapit kiri. Ia berusaha dengan gigih untuk
memotong gerakan lawannya yang mencoba melingkari ujung sayap itu, dan
menyerang dari samping dan belakang. Karena keprigelannya maka ia berhasil
dalam usahanya itu. Meskipun ia sendiri harus bertempur mati-matian melawan
Welang Jrabang, salah seorang kepercayaan Jaka Soka. Namun Bantaran telah
memiliki pengetahuan yang cukup untuk dapat menyelamatkan dirinya.
Di bagian yang
lebih padat, tampaklah Penjawi bertempur dengan penuh tekad. Tak ada persoalan
hidup atau mati di dalam kepalanya. Ia hanya menyerahkan diri dalam satu
pengabdian. Seterusnya ia pasrah diri setelah berjuang sekuat kemampuannya.
Namun karena itu, ia menjadi tenang. Dan ketenangannya itulah yang menyebabkan
Penjawi menjadi seperti burung alap-alap, yang menyambar-nyambar dengan
kuku-kukunya yang runcing tajam.
Laskar
Banyubiru benar-benar menakjubkan. Tidak saja lawan-lawan mereka menjadi cemas,
tetapi agaknya orang-orang Pamingit yang sempat melihat betapa anak-anak
Banyubiru itu bertempur, menjadi bersyukur di dalam hati. Bagaimanakah kiranya
seandainya mereka, orang-orang dari Pamingit terpaksa bertempur melawan laskar
Banyubiru itu? Laskar yang semula mereka anggap tidak lebih dari sekelompok
pemuda yang hanya pandai mencegat pedagang-pedagang yang pergi ke pasar, atau
merampok warung-warung penjual makanan untuk menyambung hidup mereka. Kini
ternyata bahwa laskar Banyubiru yang berada di sekitar Candi Gedong Sanga itu
adalah benar-benar pejuang yang mengabdikan diri pada cita-citanya.
No comments:
Post a Comment