Bagian 075


DENGAN demikian, kelebihan yang seorang itu, akan mempunyai banyak akibatnya. Nagapasa dapat membantu salah seorang dari tokoh-tokoh hitam itu, memusnahkan lawan-lawan mereka satu demi satu dengan cepat.
“Apa yang kau renungkan?” tanya Ki Ageng Pandan Alas.
“Bukan apa-apa,” sahut Pasingsingan.
“Aku sedang berbangga.”
“Apa yang kau banggakan?” desak Pandan Alas.
“Laskarku dari Mentaok. Sekarang mereka akan menghancurkan laskar Banyubiru dan Pamingit. Lusa mereka akan menghancurkan laskar Demak,” jawab Pasingsingan.
Ki Ageng Pandan Alas tertawa.
“Jangan mimpi. Kau kira Demak itu seperti apa? Itulah contohnya, satu di antara prajuritnya yang bernama Rangga Tohjaya. Bahkan seandainya kau dapat mengalahkan laskar Banyubiru dan Pamingit sekalipun, maka Banyubiru dan Pamingit berhak mendapat perlindungan dari Demak, seandainya mereka benar-benar tak mampu mengatasi kesulitan mereka.
Nah apa katamu? Apakah arti laskar alasan itu?” Pasingsingan menjadi marah.
“Lihat, sebagian dari laskar gabungan kami. Kami masih menyimpan tenaga cadangan di Pamingit dan di daerah kami sendiri-sendiri.”
“Bagus. Agaknya kau benar-benar menghemat. Sedikit-sedikit saja orangmu yang bunuh diri di medan ini, supaya kau sempat berbuat aneh-aneh didalam pertempuran. Kau agaknya dapat melepaskan nafsu-nafsu yang aneh di sini. Bau darah dan teriakan-teriakan yang mengerikan dapat menyegarkan tubuhmu,” sahut Pandan Alas.
“Gila. Jangan banyak bicara lagi. Tinggal pilih, kembali ke asalmu atau mati berkubur debu di sini,” gertak Pasingsingan.
Pandan Alas tidak menjawab. dengan tersenyum ia bersiaga. Dan apa yang diduga benar-benar segera terjadi. Dengan garangnya Pasingsingan mengembangkan tangannya, dan dalam satu loncatan ia menerkam lawannya. Cepat Pandan Alas mengelak dengan satu langkah ke samping sambil merendahkan dirinya. Tangan kanan Pasingsingan menyambar di atas kepalanya dengan cepatnya seperti desis angin yang keras. Tetapi dalam sekejap Pandan Alas telah memutar tubuhnya dan kaki kanannya melontar ke arah lambung Pasingsingan. Pasingsingan menggeliat dengan lincahnya, dengan sikunya ia melindungi dirinya. Kedua orang itu segera terlibat dalam perkelahian pula seperti yang lain-lain. Mereka masing-masing mempunyai kekhususan yang sulit diketahui. Sekali-kali mereka melontar kian-kemari, namun di saat lain mereka berbenturan dengan hebatnya. Serangan Pasingsingan benar-benar seperti topan yang dahsyat, namun Ki Ageng Pandan Alas tidak kurang dari angin ribut yang mengerikan.

Kedua orang itu berjuang dengan segenap kekuatan dan tenaga, dengan segenap kepandaian dan kemampuan. Ketika keringat mereka mulai mengalir membasahi pakaian-pakaian mereka maka pertempuran itu menjadi kian sengit. Bahkan kemudian yang tampak seakan-akan seperti gulungan asap yang berputar-putar dengan cepatnya, seperti gulungan awan mendung dilangit. Sekali-kali terdengar benturan-benturan seperti ledakan guntur menjelang datangnya prahara. Daerah pertempuran itupun menjadi kabur oleh hamburan debu yang melingkar-lingkar menaburi kedua orang yang sedang berjuang di antara hidup dan mati. Sedang gerak kedua bayangan di dalam lingkaran debu itu tak dapat diamati lagi.
Di sayap kiri gelar Sapit Urang dari laskar gabungan antara Pamingit dan Banyubiru itu pun terjadi pertempuran yang dahsyat. Laskar golongan hitam bertempur membabi buta. Siapapun dan apapun yang ada di hadapannya pasti akan dihancurkannya. Namun mereka terpaksa menelan ludah mereka, ketika mereka membentur laskar Banyubiru. Bantaran di ujung sapit, Jaladri di tengah-tengah, dan Panjawi di pangkalnya, merupakan benteng-benteng yang kokoh kuat, yang tak tergoyahkan oleh arus banjir dari orang-orang golongan hitam itu.
Di antara mereka itu terdapatlah Sima Rodra yang sedang mengaum-ngaum dengan kerasnya. Betapa ia mencurahkan dendam di dadanya kepada orang yang bernama Mahesa Jenar itu. Orang yang telah membunuh menantunya serta membebaskan tawanan anaknya di bukit Karang Tumaritis. Selain itu, ternyata bahwa Rara Wilis, yang dalam pengertian Sima Rodra diselamatkan oleh Mahesa Jenar di Karang Tumaritis itulah yang membunuh anak perempuannya. Karena itu ia ingin melepaskan beban yang selama ini menghimpit jantungnya kepada Mahesa Jenar. Tetapi sekali dadanya berguncang ketika ia mendengar Mahesa Jenar tertawa. Tidak terlalu keras, namun nadanya hampir memecahkan dadanya.
“Gila…!” teriaknya.
“Apa yang kau tertawakan?”
“Bukan apa-apa,” jawab Mahesa Jenar.
“Aku hanya menyatakan kegembiraan hatiku setelah lama kita tak bertemu.”
“Bukan saatnya bergurau. Lebih baik kau menyebut nama nenek moyangmu selagi kau sempat,” geram harimau dari Lodaya itu.
“Kau ingin melunakkan hatiku? Jangan kau sangka bahwa hatiku sekecil hati kelinci dan selunak hati kucing yang dihadapi daging. Aku adalah Sima Rodra dari Alas Lodaya,” teriak harimau itu dengan garangnya.
“Aku sudah tahu dan aku sudah mengenalmu sejak lama. Sejak kau mencegat aku di jalan silang ke Bergota dari Gunung Tidar bersama Kakang Gajah Sora. Kemudian di Gedangan kita bertemu lagi,” jawab Mahesa Jenar, tetapi ia lupa bahwa Kebo Kanigara berperankan diri di Karang Tumaritis membebaskan Wilis. Karena itu Sima Rodra berteriak, “Kau ingin mengurangi kesalahanmu. Di Karang Tumiritis kau telah menghinakan kami. Kau berhasil membebaskan perempuan tawanan anakku, cucu Pandan Alas. Bahkan karenanya akhirnya perempuan itu membunuh anakku.”

Ketika Mahesa Jenar teringat peristiwa itu, kembali ia tertawa. Ia mencoba tertawa seperti Kebo Kanigara tertawa. Katanya,
“Inilah murid perguruan Pengging. Mahesa Jenar.”
Kembali dada Sima Rodra terguncang. Tertawa yang demikian itu pulalah yang didengarnya pada saat itu di bukit Karang Tumaritis, ketika seorang yang menamakan diri Mahesa Jenar tiba-tiba seperti terbang dan hinggap di atas batu karang sambil berkata,
“Inilah Mahesa Jenar, murid perguruan Pengging.”
“Gila. Jangan kau berbangga atas kemenanganmu saat itu. Kau memang mempunyai kelebihan dari kami dalam hal melarikan diri dan bersembunyi,” bentak Sima Rodra.
“Tetapi marilah kita sekarang berhadapan. Tidak melarikan diri dan tidak bersembunyi.”
“Kali ini aku tidak akan bersembunyi dan melarikan diri. Aku kini berdiri di antara laskar yang sedang bertempur. Karena itu akupun harus bertempur seperti mereka. Menang atau kalah, marilah kita serahkan kepada keputusan tertinggi. Sebab aku yakin, kebenaran tak akan dapat ditindas oleh kejahatan,” jawab Mahesa Jenar.
“Huh, pandangan hidup yang didasarkan pada keputusasaan. Bagiku menang atau kalah tergantung kepada kita sendiri. Dan bahwa suatu ketika kebenaran akan lenyap oleh kejahatan dan di atasnya akan aku bangun kebenaran yang baru menurut seleraku,” bantah Sima Rodra.

Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Sima Rodra akan membangun kebenaran di atas bangkai-bangkai dan kejahatan. Benar-benar seorang yang tidak tanggung-tanggung. Kebenaran baginya tidak lebih dari pemuasan nafsu sendiri. Akhirnya ia menjawab,
“Semakin banyak orang seperti kau di dunia ini, semakin parahlah tata kehidupan manusia. Peradaban yang kau bina, seperti yang dilakukan oleh anak menantumu di Gunung Baka, di kaki bukit Karang Tumaritis, dan barangkali di seribu tempat lain, menunjukkan betapa kau telah menghilangkan batas antara manusia dan binatang, antara manusia dan setan. Pemanjaan nafsu, pemutarbalikan tata kesopanan, pemujaan pada kekejaman dengan mengorbankan gadis-gadis di atas batu-batu pemujaan yang kau buat, dengan mengalirkan darahnya.”
“Jangan berlagak seperti malaikat yang bersih suci,” potong Sima Rodra.
“Hidupku dan hidupmu tidak akan lebih dari kisaran satu abad. Kenapa tidak kau nikmati hidupmu yang pendek itu?” 

TIBA-TIBA tubuh Mahesa Jenar bergetar karena tekanan perasaannya. Ia melihat orang yang berdiri di hadapannya dengan baju kulit harimau hitam, seperti ia melihat campur baur dari segala kejahatan dan nafsu. Karena itu ia bergumam seperti kepada diri sendiri,
“Aku harus menghentikannya sebelum ia menjadi berkembang.”
Sima Rodra tertawa. Keras sekali.
“Apa yang akan kau hentikan?”
“Untuk membunuh harimau, jangan ditunggu harimau itu menjadi besar,” sahut Mahesa Jenar.
“Kau akan membunuh aku? Ha, kaupun telah mimpi untuk menjadi seorang pembunuh,” kata Sima Rodra.
“Apa bedanya? Membunuh kau sama artinya dengan menegakkan kemanusiaan, karena kau ingin memperkosa kemanusiaan itu. Dan karena sifat-sifatmulah maka aku menolak adamu,” jawab Mahesa Jenar.
“Terlalu berbelit-belit,” jawab Sima Rodra.
“Yang aku ketahui, kalau kita berkelahi, aku atau kau yang menjadi pembunuh.”
“Otakmu terlalu beku. Atau sama sekali diselimuti oleh noda-noda hitam dalam hidupmu…?” Mahesa Jenar menyela.
“Persetan. Jangan gurui aku. Menyerahlah, aku akan membunuhmu dengan cepat,” jawab Sima Rodra.
“Bagaimana kalau sebaliknya?” bantah Mahesa Jenar.
“Hem, kalau begitu aku akan melukai wajahmu yang tampan, dan membiarkan kau mati perlahan-lahan,” geram Sima Rodra dengan marahnya.
“Tak ada pilihan lain,” sahut Mahesa Jenar.

Sima Roda kemudian mengaum keras sekali. Beberapa orang di sekitarnya terkejut, meskipun laskar dari golongan hitam sendiri. Hanya orang-orang dari Gunung Tidar sajalah yang bertambah semangat di dalam dada mereka mendengar auman yang mengerikan itu.
Dengan suatu loncatan yang buas, sebuas harimau lapar, Sima Rodra menyerang langsung kepada Mahesa Jenar. Demikian cepatnya serangan itu, sehingga Mahesa Jenar agak terkejut. Namun hanya sesaat. Sesaat kemudian ia seakan-akan menancapkan kedua kaki dalam-dalam, menyiapkan diri menyambut serangan itu. Ia sengaja tidak menghindar, tetapi ia ingin membentur tangan lawannya untuk menjajagi sampai di mana kekuatan Sima Rodra yang pernah menggemparkan itu. Kalau hal itu terjadi beberapa tahun lalu, maka Mahesa Jenar pasti akan terlempar dan terbanting mati, karena Sima Rodra dengan marahnya telah mengerahkan kekuatannya.
Tetapi yang terjadi adalah berbeda, Mahesa Jenar telah menemukan kekuatan yang tersembunyi di dalam tubuhnya, setelah ia mesu diri di Bukit Karang Tumaritis. Maka yang terjadi adalah benturan yang dahsyat. Demikian dahsyat sehingga seakan-akan terjadi benturan guntur di langit. Tubuh masing-masing tergetar dan kemudian terdorong selangkah surut. Sekali lagi Sima Rodra mengaum dahsyat. Meskipun ia tidak mengalami cidera, namun betapa herannya melihat Mahesa Jenar masih tegak berdiri di hadapannya. Karena itu sekali lagi ia menyerang dengan dahsyatnya. Namun kali ini Mahesa Jenar telah menemukan nilai-nilai kekuatan lawannya, sehingga ia dengan sempurna dapat menempatkan diri pada keadaan yang seharusnya. Dengan tangkas Mahesa Jenar menghindarkan diri, dengan meloncat ke samping. Namun harimau yang hampir gila itu benar-benar tangkas. Demikian kakinya menyentuh tanah, kakinya yang lain diputar ke arah lambung lawannya. Sekali lagi Mahesa Jenar terpaksa menarik tubuhnya condong ke belakang. Tetapi sekali lagi harimau tua itu menyerangnya dengan tendangan ganda. Kali ini Mahesa Jenar tidak dapat hanya menyondongkan dirinya. Ia pun terpaksa melompat mundur. Tetapi dengan demikian ia menemukan kelemahan lawannya. Sekali lagi kaki Sima Rodra mesih terjulur, Mahesa Jenar menangkapnya pada bagian bawah lututnya. Namun Harimau Lodaya itupun tangkas pula. Ia tidak mau membiarkan hal itu terjadi. Ketika tangan Mahesa Jenar menyentuh kakinya, segera ia melipatnya, sehingga dengan demikian tangan Mahesa Jenar menjadi terjepit. Mahesa Jenar menggeram perlahan-lahan, tetapi segera ia mendorong tubuh lawannya yang tegap besar itu dengan siku tangannya yang lain di arah lambung. Demikian kerasnya sehingga Sima Rodra dan Mahesa Jenar bersama-sama jatuh terguling. Tetapi dengan demikian, Mahesa Jenar telah melepaskan jepitan lawannya, bahkan ketika ia melihat Sima Rodra meloncat bangkit, Mahesa Jenar pun telah berdiri pula. Maka segera mereka terlibat kembali dalam perkelahian. Masing-masing adalah orang-orang perkasa, yang mempunyai kelebihan dari orang lain.

Sima Rodra dengan penuh nafsu kebuasan bertempur mati-matian. Sebab ia sadar bahwa orang-orang seperti Mahesa Jenar adalah penghalang utamanya. Di pihak lain, Mahesa Jenar pun bertempur dengan penuh kesadaran akan kewajibannya sebagai manusia yang mengabdikan diri pada kemanusiaan. Kegagalannya kali ini, lebih-lebih kegagalan laskar Pamingit dan Banyubiru berarti runtuhnya martabat manusia, setidak-tidaknya di Pamingit dan Banyubiru. Dengan demikian, ia bertekad untuk bertempur yang terakhir kalinya dengan Harimau Gila itu. Biarlah ia terbunuh kalau ia tidak berhasil, namun kalau ia berhasil, maka telah diletakkannya satu di antara berjuta-juta batu yang akan membentuk bangunan kemanusiaan. Pertempuran itu semakin lama semakin dahsyat. Sima Rodra dengan mengaum-aum mengerikan, menyerang dengan buasnya. Tangannya kadang-kadang mengembang seperti sayap, tetapi kemudian terjulur untuk menerkam lawannya seperti harimau. Jari-jarinya yang kokoh dan kuat merupakan bahaya yang setiap saat dapat menembus daging lawannya. 

DALAM pertempuran yang hiruk pikuk itu, Sima Rodra tampak sebagai seekor harimau hitam di antara beratus-ratus kelinci yang sedang berjejal-jejalan. Namun lawan yang dihadapinya kini bukan kelinci-kelinci itu. Tetapi lawannya adalah seekor banteng yang tangguh. Seekor Banteng yang dengan tenang dan yakin pada dirinya atas lambaran kebenaran, berjuang menegakkan sendi-sendi kemanusiaan. Sehingga dengan demikian maka pertempuran di antara mereka, adalah pertempuran yang akan diakhiri dengan lenyapnya salah satu dari keduanya. Pertempuran yang melambangkan pertempuran yang akan terjadi di sepanjang jaman. Kebenaran melawan kemungkaran dan kejahatan. Pertempuran di antara mereka yang berjalan dijalan Allah, melawan mereka yang melawan cinta Tuhan. Tetapi Tuhan Maha Pengampun. Karena itu, bagi siapa saja yang bertobat serta menyebut nama-Nya dengan ikhlas serta penyerahan yang tulus, maka pintu Rumah-Nya selalu terbuka.

Sejalan dengan matahari yang semakin tinggi, semakin seru pulalah pertempuran itu. Setiap senjata telah menjadi merah oleh darah. Darah sesama manusia. Dan tanah telah menjadi merah pula oleh siraman darah yang merah segar. Tetapi karena bau darah itulah maka mereka menjadi semakin buas. Mereka tinggal memilih dua kemungkinan di dalam peperangan itu. Mati terbunuh atau terpaksa membunuh. Tetapi mereka telah bertindak atas suatu keyakinan. Bagi golongan hitam, membunuh adalah pekerjaan mereka untuk mendapatkan kepuasan nafsu dan kemungkinan yang menimbulkan harapan. Kali ini mereka mengharap untuk mendapat bagian dari tanah yang mereka perebutkan. Pamingit, dan lusa Banyubiru, serta segala kekayaan di atasnya. Bahkan atas setiap laki-laki untuk diperintahnya dan berkuasa atas setiap perempuan untuk diperlakukan dengan sekehendak hati mereka. Sedang masa mendatang, mereka mendapat harapan yang lebih baik lagi apabila benar-benar mereka dapat memecahkan kerajaan Demak. Siapa tahu mereka akan dapat pangkat Tumenggung, dengan rumah yang besar-besar dan selusin isteri yang cantik-cantik. Sebaliknya, laskar Banyubiru dan Pamingit berjuang atas keyakinan mereka pula. Mereka terpaksa membunuh untuk menghentikan kebuasan manusia atas manusia. Mempertahankan tanah mereka dan milik mereka. Mempertahankan karunia Tuhan untuk mereka. Karena itulah maka, kedua belah pihak bertempur mati-matian. Siapa yang lengah, dadanya akan tertembus senjata. Dan mataharipun seakan-akan menjadi suram karena sinarnya yang ditakbiri oleh debu yang mengepul di udara seperti kabut. Di antara deru senjata dan teriakan penuh nafsu, terdapatlah beberapa titik-titik perkelahian yang paling dahsyat. Ki Ageng Sora Dipayana melawan Bugel Kaliki yang berputar seperti angin pusaran. Ki Ageng Pandan Alas melawan Pasingsingan seperti beradunya angin prahara yang bertentangan arah. Titis Anganten melawan Sura Sarunggi yang seolah-olah menjadi tenggelam dalam kabut yang gelap.

Di bagian lain, Mahesa Jenar bertempur melawan Sima Rodra demikian dahsyatnya seperti guntur di langit yang saling sambar menyambar. Tetapi ada di antara mereka, tokoh yang dahsyat dari golongan hitam itu yang masih berdiri saja di antara kedua laskar yang bertempur. Hanya sekali-kali saja ia menggerakkan tangannya untuk melawan serangan-serangan laskar Banyubiru, dan sekali-kali ia terpaksa menghindar kalau dua tiga orang yang gagah berani menyerangnya bersama-sama. Namun tangannya benar-benar seperti tangan hantu. Sekali ia berhasil merampas sebuah pedang, dan menancapkan pedang itu dengan mudahnya di dada pemiliknya. Dengan tertawa menyeringai ia berpaling sambil bergumam, “Tikus yang sombong.” Kemudian ia melangkah pergi di antara kacau-balaunya pertempuran, seperti berjalan di dalam kesibukan pasar saja. Ia melihat betapa sahabat-sahabatnya bertempur mati-matian. Ia melihat betapa Sima Rodra berjuang sekuat tenaga melawan Mahesa Jenar.

Orang itupun menjadi heran pula. Bagaimana mungkin Mahesa Jenar dapat mengimbangi Sima Rodra yang ganas itu. Terhadap Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas dan Titis Anganten ia tidak perlu heran. Pertempuran diantara mereka dapat berlangsung lama. Sehari, dua hari, bahkan tanpa batas, seperti kalau ia sendiri tanpa lawan. Karena itu ia sedang berpikir apakah yang harus dilakukan. Membunuh sebanyak-banyaknya, atau membantu salah seorang dari keempat sahabatnya. Ia harus yakin bahwa kawan-kawannya itupun dapat membawa diri. Karena itu biarlah ia bekerja sendiri. Tetapi membunuh laskar-laskar kecil yang berserak-serakan seperti tikus itupun tak akan berarti.

Sebagai seorang tokoh yang ditakuti tidak saja di Nusa Kambangan, ia merasa terlalu berharga untuk berperang melawan laskar-laskar Banyubiru yang tak berarti itu. Sekali-kali ia memandang jauh ke sapit sebelah kanan. Terhadap muridnya Jaka Soka pun ia tidak terlalu cemas. Seandainya Jaka Soka itu harus berhadapan dengan Lembu Sora sekalipun. Karena itu tidak ada kerja lain baginya daripada membunuh. Bukankah di dalam peperangan yang berjumlah besar, membunuh siapapun yang ada didekatnya bukan berarti merendahkan diri. Pertempuran yang demikian adalah pertempuran yang kacau. Setiap senjata dapat mengarah setiap dada lawan. Maka akhirnya Nagapasa itupun menjadi puas terhadap pendiriannya. Daripada berdiri saja di situ, memang lebih baik berbuat sesuatu yang dapat memperingan pekerjaan laskar dari golongan hitam. Kemudian setelah ia mendapat ketetapan hati, mulailah ia bergerak sekali sambar, kembali ia merampas sebuah tombak. Ia memutar tombak itu sekali diudara kemudian dengan satu gerakan kemungkinan untuk menghindar. Demikian cepat dan keras. Tetapi tiba-tiba Nagapasa menarik kembali tombak itu ketika tiba-tiba ia mendengar seseorang menyapanya,
“Alangkah dahsyatnya Tuan.” 

NAGAPASA menoleh. Ia melihat seorang bertubuh tegap kekar berdiri di sampingnya. Orang itu belum pernah dikenalnya. Karena itu ia mengacuhkannya. Maka kembali ia mencari orang yang hampir terbelah dadanya oleh tombaknya sendiri. Tetapi orang itu sudah lari menghilang di antara hiruk pikuk pertempuran, mencari lawan yang tak bertangan hantu. Nagapasa kecewa. Ia menggeram dan sekali lagi menoleh kepada orang yang menyapanya. Tiba-tiba ia menjadi muak melihat wajahnya yang tenang. Orang itu pasti salah seorang dari laskar Banyubiru. Tetapi tiba-tiba Nagapasa kehilangan nafsu untuk membunuh orang itu.
“Mungkin ia belum mengenal aku. Biarlah aku bermain-main dahulu. Biarlah ia menjadi ngeri dan baru kemudian aku akan membunuhnya setelah ia melihat bagaimanakah caranya aku membunuh,” pikirnya.
Mendapat pikiran itu, segera Nagapasa mendesak maju ke dalam laskar Banyubiru. Ia akan berbuat hal-hal yang aneh untuk menakut-nakuti orang yang menyapanya dengan tenang. Tetapi orang itu mengikutinya dalam jarak yang dekat sekali. Seakan-akan ia melekat pada jarak yang ditetapkan. Namun Nagapasa tidak memperdulikannya, bahkan lebih baiklah bila orang itu dapat melihat dengan seksama bagaimana ia dapat mematahkan leher seorang dengan tangannya, mencukil matanya dengan jari-jarinya, dan memecahkan kepala itu dengan pukulan tangannya. Ketika seseorang bertempur di dekatnya, iapun segera meloncat menangkap orang Banyubiru. Tangannya mencekik leher, sedang tangannya yang lain terayun ke dahi orang itu. Benar-benar suatu pemandangan yang mengerikan. Tetapi kembali Nagapasa mengurungkan niatnya, ketika ia mendengar orang yang mengikutinya itu tertawa. Meskipun suaranya lunak sekali namun nadanya benar-benar tak menyenangkan.
Kemudian terdengar ia berkata,
“Tidak tanggung-tanggung. Suatu pameran kekuatan yang luar biasa.”
Nagapasa memandang orang itu dengan seksama, sementara tangannya masih mencekik leher. Ia mengamat-amati orang itu dengan tanpa berkedip. Benar-benar orang itu belum pernah dikenalnya. Tetapi menilik sikapnya, orang itu pasti bukan orang kebanyakan atau salah seorang dari laskar biasa dari Banyubiru.
“He, kau siapa?” tanya Nagapasa acuh tak acuh.
Orang itu mengerutkan keningnya. Jawabnya,
“Laskar Banyubiru.”
“Aku sudah tahu,” bentak Nagapasa marah.
“Namamu dan jabatanmu?”
“Kebo Kanigara,” jawabnya.
“Laskar biasa.” Nagapasa menggeram.

Nama itu benar-benar belum pernah dikenalnya. Tetapi sikap orang itu sangat menyakitkan hatinya.
“Sudahkah kau mengenal aku?” tanya Nagapasa.
“Ya, aku kenal,” jawab Kanigara.
“Bukankah Tuan yang menamakan diri Nagapasa?”
Nagapasa menjadi semakin jengkel. Ternyata orang itu telah mengenalnya, tetapi kenapa ia sedemikian berani menghadapinya.
“Bagus,” kata Nagapasa lebih lanjut.
“Kalau demikian kau kenal juga dari mana Nagapasa datang?” “Ya,” jawab Kanigara pula.
“Nagapasa berasal dari Nusakambangan dengan muridnya yang bernama Jaka Soka. Nagapasa adalah seorang yang sakti, sejajar kesaktiannya dengan Pasingsingan, Sima Rodra, Sura Sarunggi dan Bugel Kaliki.”
Nagapasa mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menjadi semakin heran. Orang yang bernama Kebo Kanigara itu mengenalnya dengan lengkap, namun ia masih berani menyapa seenaknya saja. Apakah orang ini benar-benar ingin bunuh diri?
“Kalau demikian…” Nagapasa berkata pula,
“Apa maksudmu mengikuti aku?”
“He…” Kanigara berpura-pura terkejut, meskipun ia tahu apa yang tersirat di dalam pikiran Nagapasa itu,
“Bukankah kita berada di dalam peperangan. Dan bukankah setiap kita dari Banyubiru dan dari golongan hitam dapat menjadi lawan?”
Nagapasa menjadi semakin marah mendengar jawaban itu, katanya,
“Kau akan melawan aku?”
“Apa aku harus memilih lawan” sahut Kanigara.
“Siapa yang ada di hadapanku adalah lawanku.”
“Kau sudah menjadi gila,” teriak Nagapasa.
“Lihat betapa orang ini hampir mati karena tanganku. Aku dapat memperlakukan berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus orang seperti ini.”
“Ya, aku percaya,” jawab Kanigara.
“Kau ingin aku berbuat demikian terhadapmu?” bentak Nagapasa semakin keras.
“Tidak,” jawab Kanigara. Kejengkelan Nagapasa menjadi semakin memuncak.
“Lalu apa maumu?” Ia berteriak lebih keras lagi.
“Kita berperang. Mauku bertempur melawan Tuan,” sahut Kanigara.
“Orang ini agaknya orang gila,” pikir Nagapasa. Dengan demikian ia kehilangan nafsu untuk berbuat sesuatu. Melawan orang gila baginya hanya akan membuang-buang waktu saja. 

KEMBALI Nagapasa berpaling kepada orang yang dicekiknya. Kepada orang itu ia akan menumpahkan kejengkelannya. Dengan menggeram ia berkata,
“Nasibmu tak begitu baik, tikus yang malang. Berdoalah sebelum kepalamu aku pecahkan.” Kemudian terayunlah kembali tangan Hantu Laut dari Nusakambangan itu. Sedang orang yang dicekiknya telah kehilangan harapan untuk dapat hidup. Ia kenal siapakah Nagapasa itu. Dan menyesallah bahwa ia kurang berhati-hati, bertempur di dekat orang bertangan maut itu. Namun akhirnya ia memejamkan matanya pasrah diri. Dalam perjuangan maut adalah tantangan. Kalau maut itu datang, biarlah ia menelannya. Namun ia yakin bahwa ia telah berjuang menegakkan kebenaran. Tetapi tiba-tiba terjadilah suatu hal yang tak terduga-duga. Ketika tangan Nagapasa hampir saja memecahkan kepala orang yang telah pasrah diri itu, terjadilah suatu benturan yang keras. Tangan Nagapasa terasa bergetar hebat. Ia merasa bahwa tangannya telah mengenai sesuatu, tetapi sama sekali bukan kepala orang yang dicekiknya. Dan kepala itu sama sekali tidak dipecahkannya, malahan tangannya sendiri merasa tergetar.
Belum lagi ia sadar akan peristiwa itu, kembali terasa sebuah pukulan yang dahsyat mengenai tangannya yang lain, yang sedang mencekik orang yang telah berputus asa itu, demikian kerasnya sehingga tanpa disengaja tangannya terlepas, dan orang yang dicekiknya itu terpental beberapa langkah dan jatuh berguling-guling.

Nagapasa melompat selangkah mundur. Ia telah berpuluh tahun hidup dalam kancah perkelahian, pertempuran dan pembunuhan. Karena itu ia telah memiliki pengalaman yang tak terkira banyaknya. Sehingga dengan demikian segera ia sadar, bahwa sesuatu telah terjadi, sesuatu yang berada di luar perhitungan. Ketika ia sadar memandang berkeliling, yang dilihatnya hanyalah orang yang bernama Kebo Kanigara itu, selain beberapa orang yang sedang bertempur melawan lawan masing-masing. Dengan demikian ia dapat mengambil kesimpulan, bahwa Kebo Kanigara lah orangnya, yang telah mencoba membentur tangannya. Nagapasa menjadi marah sekali. Wajahnya tiba-tiba menjadi merah, semerah darah. Meskipun bibirnya terkatup rapat, namun terdengar betapa giginya gemeretak. Dengan tangan yang bergetar ia menunjuk wajah Kebo Kanigara sambil berkata dengan gemetar,
“Kau…?”
Kebo Kanigara masih setenang tadi. Sambil mengangguk ia menjawab singkat, sesingkat pertanyaannya,
“Ya.”
Nagapasa sadar bahwa orang yang bernama Kebo Kanigara itu bukan orang gila seperti yang disangkanya. Tetapi Kebo Kanigara benar-benar orang perkasa, yang telah menempatkan diri sebagai lawannya dalam pertempuran itu dengan penuh kesadaran. Dengan demikian darahnya kini telah benar-benar mendidih. Karena itu ia sudah tidak mampu lagi untuk bertanya-tanya.

Dengan memekik tinggi ia meluncur seperti ular yang mematuk lawannya, dengan tangan terjulur ke arah wajah Kebo Kanigara. Tetapi Kebo Kanigara bukan anak-anak yang terkejut melihat ular sawah yang melingkar di pematang. Ia cukup dewasa untuk menghadapi setiap kemungkinan. Karena itu, ketika ia mendapat serangan dari Nagapasa, sama sekali tidak menjadi gugup. Dengan tenangnya Kebo Kanigara membuat perhitungan yang tepat. Ketika serangan Nagapasa itu hampir menyentuhnya, tiba-tiba ia menjatuhkan dirinya menelentang. Kedua kakinya segera menyambar perut lawannya, dan dengan lemparan yang keras, Nagapasa terpelanting ke udara. Tetapi Nagapasa pun cukup mempunyai bekal untuk bertempur melawan Kebo Kanigara. Ia mula-mula terkejut mengalami peristiwa itu, namun segera ia menguasai dirinya kembali. Dengan sebuah putaran ke udara, ia telah mencapai keseimbangannya. Karena itu Nagapasa dapat dengan baiknya menjatuhkan diri di atas kedua kakinya. Tetapi ketika ia berhasrat untuk meloncat menyerang lawannya, Kebo Kanigara pun telah siap pula tegak seperti bukit karang yang tak tergoyahkan oleh badai yang betapapun dahsyatnya. Sesaat kemudian, kembali Nagapasa menyerang dengan kerasnya dibarengi dengan sebuah teriakan tinggi. Dan kembali Kebo Kanigara melawannya dengan tenang, namun penuh gairah. Sebab Kebo Kanigara pun yakin, bahwa orang-orang seperti Nagapasa adalah sumber dari segala macam bencana bagi umat manusia. Maka karena itulah pertempuran antara kedua orang perkasa itu segara menjadi semakin dahsyat.

Nagapasa bertempur seperti seekor naga. Tubuhnya seolah-olah menjadi lemas dan dapat bergerak ke segenap arah. Tulang-tulangnya seakan-akan menjadi selemas daun. Begitu baiknya Nagapasa menguasai tubuhnya, sehingga setiap bagiannya dapat berubah menjadi senjata yang berbahaya. Jari-jarinya, sikunya, kepalanya, lutut dan jari kakinya, tumitnya dan segala bagian yang lain. Ia dapat meluncur dengan cepatnya, melingkar-lingkar seperti pusaran air yang menghisap segenap benda yang tersentuh jari-jari lingkarannya, menelannya dan menghancur-lumatkannya. Demikian dahsyatnya Nagapasa bertempur sehingga benar-benar mirip seekor naga raksasa yang bertempur didalam lautan yang digelorakan oleh ombak yang dahsyat. Tetapi lawannya adalah Kebo Kanigara. Seorang yang telah memiliki ilmu yang sempurna. Benarlah kata orang, yang bahkan almarhum Ki Ageng Pengging Sepuh sendiri mengakui, bahwa sebenarnya Kebo Kanigara telah melampaui kemampuannya. Kebo Kanigara telah menemukan cara untuk menempa diri dengan dahsyatnya. Ia hanya memerlukan waktu tidak lebih dari semperempat waktu yang diperlukan oleh Ki Ageng Pengging Sepuh dengan caranya. Karena itulah maka Kebo Kanigara benar-benar memiliki sifat yang luar biasa. Ia dapat bertempur selincah anak kijang di padang rumput, namun ia dapat garang seperti singa. Di saat-saat yang lain Kebo Kanigara bertempur seperti seekor garuda dengan sayap-sayapnya yang kokoh seperti baja namun trengginas seperti sikatan. 

SEPERTI Mahesa Jenar, Kebo Kanigara juga memiliki kekhususan. Ia benar-benar tangguh sebagaimana ciri-ciri khusus Perguruan Pengging. Seakan-akan berkulit tembaga, bertulang besi. Serta apabila keringatnya telah membasahi punggungnya, tandangnya menjadi semakin garang, seperti banteng ketaton. Ketika matahari memanjat langit semakin tinggi, pertempuran itupun menjadi semakin sengit. Kebo Kanigara dan Nagapasa telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Namun disamping kemarahan yang semakin memuncak, Nagapasa pun menjadi heran. Apakah ia sebenarnya sedang bertempur melawan seorang manusia, ataukah tiba-tiba saja ada malaikat yang menjelma dan melawannya?
“Persetan dengan malaikat. Aku tidak takut melawan malaikat seandainya ia benar-benar ada.”
Nagapasa mengumpat di dalam hati, namun di dalam relung hatinya yang terdalam ia mengeluh,
“Gila benar orang ini. Siapakah sebenarnya dia?”
Kebo Kanigara pun berjuang terus. Ia sadar bahwa lawannya adalah seorang yang luar biasa. Hantu Laut yang memiliki kesaktian dan pengalaman yang mengerikan. Karena itu, Kebo Kanigara pun cukup berhati-hati. Namun sedikit demi sedikit, akhirnya ia berhasil mengetahui segi-segi kedahsyatan ilmu lawannya, tetapi juga segi kelemahan-kelemahannya. Suatu hal yang tak dapat dilihat oleh orang biasa. Kebo Kanigara memiliki daya pengamatan yang lebih tajam dari manusia kebanyakan. Dengan demikian, apa yang selama ini tak diketahui orang, dapatlah diketahuinya, dan apa yang tak dapat dikerjakan orang lain, ia dapat melakukannya.

Pertempuran di lereng Gunung Merbabu itupun menjadi semakin riuh. Percikan darah berhambur-hamburan membasahi tanah pegunungan dan rumput-rumput liar. Kedua belah pihak berjuang semakin gigih. Sebab tak ada pilihan lain, apabila seseorang telah berada di tengah-tengah api peperangan. Debu mengepul semakin tinggi di udara. Putih gelap, seperti kabut ampak-ampak di lereng-lereng bukit.
Ki Ageng Sora Dipayana masih bertempur melawan Bugel Kaliki. Silih ungkih, singa lena. Desak-mendesak, serang-menyerang silih berganti. Tetapi keduanya sadar, bahwa kesaktian mereka benar-benar berimbang. Sekali-kali, baik Ki Ageng Sora Dipayana maupun Bugel Kaliki, berusaha untuk menebarkan pandangannya ke bagian-bagian pertempuran yang lain, seperti juga apa yang dilakukan oleh Ki Ageng Pandan Alas dan Pasingsingan, Titis Anganten dan Sura Sarunggi. Sekali-kali merekapun ingin mengetahui apa yang telah terjadi di bagian-bagian yang lain. Dari celah-celah deru senjata, Ki Ageng Sora Dipayana, yang bertempur seorang diri di antara laskar Banyubiru dan Pamingit yang saling bertempur pula. Semula Ki Ageng Sora Dipayana mencemaskan nasib Mahesa Jenar, tetapi kemudian ia menjadi heran. Mereka telah cukup lama bertempur, namun agaknya Mahesa Jenar masih tetap bertahan dengan gigihnya.
“Apakah yang telah terjadi dengan Angger Mahesa Jenar selama ini?” pikirnya.
Dan tiba-tiba sesaat kemudian orang tua itupun terkejut pula.
“Apakah yang sudah dilakukan oleh Kebo Kanigara itu? Timbul pertanyaan pula di dalam hatinya. Bahkan ia menjadi semakin heran ketika melihat, bahwa Kebo Kanigara dapat bertempur melawan Nagapasa sebaik dirinya sendiri atau orang-orang seangkatannya. Bahkan karena darah yang jauh lebih muda daripada darahnya dan orang-orang seangkatannya, Kebo Kanigara tampak betapa tangkas dan perkasanya.
“Hem…” desisnya,
“Siapakah sebenarnya orang itu?”
Ternyata di bagian lainpun terdengar Ki Ageng Pandan Alas berdesis,
“Benar-benar Angger Kebo Kanigara sakti tiada taranya.”
Di bagian lain lagi Titis Anganten bergumam,
“Aneh. Belum pernah aku mengenalnya. Namun tiba-tiba ia telah mengejutkan kami.”

Bukan saja orang-orang Banyubiru dan Pamingit yang keheran-heranan melihat keperkasaan Kebo Kanigara, namun orang-orang dari golongan hitampun menjadi cemas melihat tandangnya. Ketika orang-orang lain sedang sibuk menilai dirinya, Kebo Kanigara sempat menyaksikan betapa Mahesa Jenar berjuang di antara hidup dan mati. Tanpa sesadarnya merayaplah perasaan bangga di dalam dirinya. Ia melihat benih subur tumbuh di dalam tubuh Mahesa Jenar yang kemudian bahkan telah berkembang dengan rimbunnya. Ia melihat Mahesa Jenar itu telah dapat menguasai ilmunya. Tidak saja Mahesa Jenar itu telah dapat mensejajarkan diri dengan almarhum gurunya, namun dalam penglihatan Kebo Kanigara, Mahesa Jenar bahkan telah melampauinya. Masa-masa pembajaan diri yang dahsyat telah menempa Mahesa Jenar dan muridnya sedemikian dahsyat pula. Dan sekarang Mahesa Jenar mencoba menerapkan ilmunya dalam suatu perjuangan yang menentukan. Dalam suatu kesempatan yang lain, Kebo Kanigara melihat bagaimana Arya Salaka bertempur melawan Lawa Ijo. Anak muda itupun menunjukkan betapa gigihnya ia berjuang melawan kejahatan. Tombaknya yang bernama Kyai Bancak itu menyambar-nyambar seperti seribu mata tombak bersama-sama, melawan sepasang pisau belati panjang yang berkilat-kilat di tangan Hantu Alas Mentaok. Namun Arya Salaka telah tumbuh menjadi anak muda yang perkasa. Apapun yang dilakukan lawannya, dengan baiknya Arya dapat melayaninya. Kegarangan dan kekasaran Lawa Ijo sama sekali tak mempengaruhi langkahnya. Apalagi Arya telah membumbui ilmunya dengan segala macam tingkah laku binatang-binatang liar yang pernah menarik perhatiannya. Bagaimana seekor tikus berhasil menyelamatkan dirinya dari gigi-gigi ular berbisa, dan bagaimana seekor kijang yang lemah berhasil membebaskan dirinya dari terkaman serigala-serigala lapar. Namun Arya Salaka pun tahu, bagaimana seekor banteng dengan tanduknya, dalam ketenangan yang luar biasa, berhasil merobek perut seekor harimau yang justru menyerangnya dengan garang. 

MELIHAT pertempuran itu Kebo Kanigara menarik nafas. Ia menjadi bertambah tenang, sebab dengan demikian ia hampir pasti, bahwa setidak-tidaknya Lawa Ijo tidak akan berhasil membunuh anak muda itu. Mahesa Jenar pun sempat melihat bagaimana muridnya itu bertempur. Dengan semangat yang menyala-nyala serta kepercayaan pada Keadilan yang Maha Tinggi. Arya Salaka bertempur mati-matian berlandaskan pada suatu keyakinan bahwa bagaimanapun juga kebenaran akan memenangkan kemungkaran. Ki Ageng Lembu Sora pun bertempur dengan gigihnya di bagian lain. Dibebani oleh rasa tanggungjawab atas tanah serta kampung halamannya, serta perasaan-perasaan lain yang memburunya selama ini, kekhilafan-kekhilafan yang pernah dilakukannya serta nafsu-nafsu yang memalukan telah mengetuk-ngetuk dinding hatinya. Seakan-akan terdengar suara yang berputar di udara, “Lembu Sora, kau harus mampu memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah kau lakukan. Lihatlah betapa anak yang akan kau singkirkan itu kini berjuang tanpa pamrih untukmu. Lalu apa yang akan kau lakukan?”
“Akan aku bunuh kawan-kawanku kini.” Lembu Sora menggeram.
“Mereka adalah orang-orang yang menyeretku ke dalam tindakan-tindakan yang hina.”
Lawannya, Ular Laut dari Nusakambangan, terkejut mendengar Lembu Sora tiba-tiba menggeram. Tetapi kemudia iapun tersenyum. Katanya, “Hati-hatilah Ki Ageng Lembu Sora, jangan melamun. Pedang tipisku ini dapat merobek dadamu.”
Kembali Lembu Sora menggeram. Betapa bencinya ia kepada Jaka Soka. Apalagi sejak nyawanya berada di ujung kerisnya sendiri, yang ditekankan ke lambungnya oleh Mahesa Jenar, pada saat laskarnya mencegat laskar Demak yang sedang membawa Gajah Sora. Pada saat itu, seolah-olah ia telah bersumpah, bahwa pada suatu saat ia harus dapat membunuh Jaka Soka dengan tangannya. Tetapi Jaka Soka itupun bukanlah anak-anak yang baru mampu berdiri. Ia adalah seorang bajak laut yang buas. Meskipun wajahnya selalu membayangkan senyuman yang menarik, namun di balik senyumnya itu tersembunyi kejahatan dan kebengisan yang bertimbun-timbun. Hanya karena seorang gadis yang cantik dalam penilaiannya, dan bernama Rara Wilis di hutan Tambakbaya, ia berhasrat untuk membunuh semua orang yang berada di tempat itu, tanpa sebab. Hanya karena mereka mengetahui bahwa ia menginginkan gadis itu. Maka pertempuran di antara merekapun menjadi semakin sengit. Dendam yang membara di dalam dada Lembu Sora telah mendorongnya untuk berjuang sekuat tenaga, sedang Jaka Soka menjadi semakin berani, karena saat itu gurunya yang dibangga-banggakan berada pula di dalam pertempuran itu, Nagapasa.

Akhirnya mataharipun perlahan-lahan melampau puncak langit. Semakin lama menjadi semakin condong ke barat. Angin pegunungan berdesir lembut mengusap daun-daun pepohonan di ujung-ujung senjata. Setiap orang dalam pertempuran itu berusaha untuk memusnahkan lawan-lanan mereka secepat-cepatnya. Masing-masing berjuang dengan gigih dan tanpa pengendalian diri. Namun tak seorangpun dari mereka yang dengan senang hati menyerahkan nyawanya. Karena itulah maka pertempuran itu bertambah-tambah riuh dan ribut. Keringat dan debu yang melekat pada tubuh mereka, bercampur darah yang meleleh dari luka, sama sekali tak mereka hiraukan. Perasaan sakit dan pedih yang ditimbulkan oleh goresan-goresan ujung senjata sama sekali tak terasa, selagi merka masih dapat berdiri dan mengayunkan senjata-senjata mereka, maka tak ada kesempatan untuk bermanja-manja. Bagi mereka yang telah menjadi lemas karena darah yang terperas hilanglah harapan mereka untuk dapat melihat matahari terbit esok hari. Mereka akan terjatuh dan diinjak-injak. Mungkin oleh lawan dan mungkin oleh kawan. Meskipun demikian, apabila maut belum saatnya datang, ada saja di antara mereka yang berhasil merangkak-rangkak membebaskan diri dari kancah pertempuran, atau seorang kawan yang sempat memapahnya dan menyingkirkannya. Sawung Sariti tak pula kalah garangnya. Wadas Gunung, murid Pasingsingan yang muda itu agaknya bertempur pula penuh nafsu dan kemarahan. Tetapi Wadas Gunung tidak segarang Lawa Ijo. Karena itu ia sendiri segera terdesak oleh cucu dan sekaligus murid Ki Ageng Sora Dipayana yang masih sangat muda itu. Namun tiba-tiba seorang yang bertubuh pendek gemuk dengan otot-otot yang menonjol seperti orang hutan, datang membantunya dengan senjata-senjata yang mengerikan. Bola-bola besi yang bertangkai. Orang yang bertubuh bulat itu adalah Bagolan. Bola besinya bergerak dengan garangnya, menyambar-nyambar di antara kilauan dua pisau belati panjang di tangan Wadas Gunung.

PEDANG Sawung Sariti seolah-olah mempunyai mata. Ke mana keempat senjata lawannya itu mengarah, terdengarlah dentang senjata mereka beradu. Seperti ayahnya, Sawung Sariti dapat berbangga diri karena kekuatan tubuhnya. Meskipun Wadas Gunung bertubuh tegap kuat dan Bagolan memiliki lengan yang berbongkah-bongkah seperti orang hutan, namun Sawung Sariti dapat membentur kekuatan mereka dengan keseimbangan yang cukup. Pedang Sawung Sariti seperti juga pedang ayahnya, berukuran tidak wajar. Pedangnya lebih besar dan lebih panjang daripada pedang biasa. Meskipun pedang itu tidak setajam pedang Jaka Soka, namun dengan pedang itu Sawung Sariti mampu mematahkan besi gligen. Dengan hadirnya Bagolan, maka pertempuran itu menjadi seimbang. Meskipun semula Wadas Gunung agak malu-malu juga bertempur melawan anak semuda itu berdua. Namun dalam saat-saat hidup dan mati menjadi taruhannya, maka perasaan itupun lenyap tanpa bekas. Dengan baiknya mereka berdua bertempur berpasangan. Maju bersama-sama dari arah yang berbeda. Tetapi pedang Sawung Sariti berputar seperti lingkaran angin yang melindungi tubuhnya, sedemikian rapatnya sehingga tak seujung jarumpun dapat ditembus oleh senjata lawannya.

Wulungan ternyata seorang jantan. Ia bertempur seperti seekor elang. Dengan garangnya ia menggerakkan pedangnya menyambar-nyambar. Sedang di bagian lain, Galunggung pun tidak mengecewakan. Orang itu bersenjata pedang pula seperti Wulungan. Dengan tangkasnya ia meloncat kesana kemari, menggerakkan pedangnya dengan lincahnya, mematuk-matuk seperti lidah api yang dihembus angin. Beberapa orang dari golongan hitam telah mengenalnya. Mereka telah pernah bekerja bersama-sama dalam usaha mereka memusnahkan Arya Salaka. Namun sekarang mereka harus berhadapan sebagai lawan. Seorang yang bertubuh pendek, kasar dan menjemukan, menempatkan diri sebagai lawan Galunggung. Orang itu adalah Sakajon. Tokoh kepercayaan Sima Rodra dari Gunung Tidar. Mereka berdua bertempur dengan penuh nafsu. Sakajon dengan pedang pendek namun besar, bertempur seperti seekor babi hutan yang garang, sedang Galunggung melayanipun seperti seekor serigala lapar. Laskar golongan hitam yang bertempur berhadapan dengan sayap kiri laskar Banyubiru menjadi terkejut ketika mereka merasa terbentur pada kekuatan yang tak mereka duga. Sri Gunting dari Rawa Pening, yang semula dengan bangga dapat mendesak laskar Pamingit dari Sumber Panas, kini benar-benar membentur dinding baja. Dengan marahnya Sri Gunting mencoba untuk memusnahkan pimpinan kelompok lawannya. Tetapi orang yang bersenjata tombak bermata dua itu benar-benar tangkas.

Jaladri, yang mempimpin kelompok di bagian tengah sapit kiri itu, dengan gigihnya bertempur melawan tokoh pertama sesudah Uling Rawa Pening. Bahkan tiba-tiba Jaladri menjadi bergirang hati. Setelah sekian lama ia menempa diri di bawah penilikan Ki Dalang Mantingan dan Ki Wirasaba, yang kemudian ditambah dengan beberapa pengetahuan yang berharga dari Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, kini ia mendapat kesempatan untuk mengamalkannya. Menumpas golongan hitam.
Demikian juga Bantaran yang berada di ujung Sapit kiri. Ia berusaha dengan gigih untuk memotong gerakan lawannya yang mencoba melingkari ujung sayap itu, dan menyerang dari samping dan belakang. Karena keprigelannya maka ia berhasil dalam usahanya itu. Meskipun ia sendiri harus bertempur mati-matian melawan Welang Jrabang, salah seorang kepercayaan Jaka Soka. Namun Bantaran telah memiliki pengetahuan yang cukup untuk dapat menyelamatkan dirinya.
Di bagian yang lebih padat, tampaklah Penjawi bertempur dengan penuh tekad. Tak ada persoalan hidup atau mati di dalam kepalanya. Ia hanya menyerahkan diri dalam satu pengabdian. Seterusnya ia pasrah diri setelah berjuang sekuat kemampuannya. Namun karena itu, ia menjadi tenang. Dan ketenangannya itulah yang menyebabkan Penjawi menjadi seperti burung alap-alap, yang menyambar-nyambar dengan kuku-kukunya yang runcing tajam.
Laskar Banyubiru benar-benar menakjubkan. Tidak saja lawan-lawan mereka menjadi cemas, tetapi agaknya orang-orang Pamingit yang sempat melihat betapa anak-anak Banyubiru itu bertempur, menjadi bersyukur di dalam hati. Bagaimanakah kiranya seandainya mereka, orang-orang dari Pamingit terpaksa bertempur melawan laskar Banyubiru itu? Laskar yang semula mereka anggap tidak lebih dari sekelompok pemuda yang hanya pandai mencegat pedagang-pedagang yang pergi ke pasar, atau merampok warung-warung penjual makanan untuk menyambung hidup mereka. Kini ternyata bahwa laskar Banyubiru yang berada di sekitar Candi Gedong Sanga itu adalah benar-benar pejuang yang mengabdikan diri pada cita-citanya.


<<< Bagian 074                                                                                              Bagian 076 >>>

No comments:

Post a Comment