Bagian 081


TERDENGARLAH Radite menarik nafas. Ia mengeluh dalam hati melihat kekerasan hati Umbaran.
Namun perlahan-lahan tangannya bergerak membuka topengnya pula. Jawabnya,
“Marilah kita tidak berpura-pura lagi, tidak menjadikan diri kita orang-orang aneh yang hanya mengalutkan orang lain yang melihat kita. Marilah kita kembali kepada diri kita, manusia yang kercil, dan tak berarti. Marilah kita yang kecil ini mempersiapkan diri kita untuk mengharap Yang Maha Agung. Umbaran, berjanjilah. Persoalanmu akan selesai, dan akibatnya persoalan-persoalan lainpun akan selesai pula. Pengikut-pengikutmu pun akan sadar dari kekeliruannya, bahwa apa yang akan dicapainya selama ini tak akan bermanfaat bagi bebrayan manusia.”
Umbaran menggeram. Sekali lagi suara tertawanya terlontar mengerikan, katanya,
“Jangan mengigau lagi, Radite. Bersiaplah.”

Sebelum Radite menjawab, Umbaran telah menyerangnya kembali. Dengan gerak yang dahsyat penuh nafsu kemarahan ia mengamuk sejadi-jadinya. Bahkan mirip dengan orang yang kehilangan akal. Meskipun demikian, gerak-gerak yang dilontarkan menjadi semakin berbahaya. Dalam keputusasaan, ia hanya mampu berpikir,
“Marilah kita mati bersama-sama.”
Radite kemudian telah kehilangan kesempatan untuk mengajak saudara seperguruannya itu menemukan jalan kembali. Kesalahan yang telah dilakukannya beberapa puluh tahun lampau seharusnya tak terulang lagi. Pada saat seakan-akan ia membuka pintu seluas-luasnya kepada Umbaran untuk melakukan kejahatan. Pada saat ia menyerahkan ciri-ciri kekhususan Pasingsingan karena nafsunya yang tak terkendalikan. Meskipun pada saat itu, ia sama sekali tidak menduga, bahwa saudara seperguruannya itu tidak meneruskan naluri gurunya yang bijaksana dan penuh pengabdian kepada manusia, yang di dasarnya dengan sinar cinta yang abadi.

Pertempuran itu kembali berlangsung dengan sengitnya. Umbaran yang putus asa bertempur seperti gelombang laut yang ganas, bergulung-gulung menghantam apapun yang ada di hadapannya, sedang Radite melayaninya seperti seekor burung rajawali, yang setiap saat mampu melontarkan diri ke udara, menghindari ancaman gelombang yang bagaimanapun dahsyatnya, untuk kemudian menukik dengan kuku-kukunya yang tajam dan paruhnya yang runcing, menghantam lawannya. Tak seorangpun yang berani mencampuri pertempuran itu. Apalagi Mantingan, Wirasaba, atau Wilis. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun tak beranjak dari tempatnya. Sedang Widuri masih berpegangan ujung baju ayahnya, seperti anak-anak yang takut hilang di tengah-tengah pasar yang ribut. Arya Salaka masih juga berdiri seperti patung. Namun hatinya berdebar menyaksikan pertempuran yang dahsyat itu. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menyaksikan pertempuran itu dengan tegang pula. Mereka sadar bahwa yang dihadapinya adalah persoalan yang sama sekali berbeda dengan persoalan yang sedang berlangsung di Pamingit. Radite dan Umbaran tidak bertempur karena tanah perdikan Banyubiru, tidak karena mereka berebut Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, tidak karena mereka berdua ingin memiliki kesempatan untuk menuju ke singgasana Demak. Kalau Umbaran bertempur dengan nafsu yang meluap-luap untuk mempertahankan cita-citanya tanpa mengenal surut, maka Radite bertempur dengan harapan untuk mengurangi kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan, menghentikan kejahatan yang akan selalu dilakukan oleh Umbaran.

Radite sendiri sama sekali tidak ada nafsu untuk memiliki pusaka-pusaka Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten, tak ada nafsu untuk menjadi tetua para sakti dan tak ada nafsu untuk menempuh jalan ke singgasana Demak. Sebab ia tahu bahwa itu bukanlah haknya. Setiap orang yang mencoba untuk merebut hak itu tanpa wahyu keraton padanya, tanpa wahyu yang dilimpahkan oleh Yang Maha Esa, maka mereka pasti akan mengalami kegagalan, bahkan kehancuran, apabila mereka tidak segera menyadari kesalahannya. Pertempuran yang sengit itu berlangsung tanpa gangguan. Seakan-akan mereka mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk menyelesaikan masalah mereka. Dalam gelap malam yang semakin pekat itu, bayangan mereka melontar-lontar melingkar-lingkar dengan cepatnya. Kini mereka telah tak bersenjata lagi. Mereka hanya percaya kepada kekuatan mereka, kepada kesaktian mereka. Meskipun demikian mereka sama sekali tak mempergunakan aji mereka, baik Gelap Ngampar maupun Alas Kobar, sebab mereka sadar bahwa ilmu-ilmu itu hanya akan berbenturan tanpa arti. Mereka kini lebih mementingkan kepada kesempatan-kesempatan yang akan ditemuinya apabila lawannya berbuat kesalahan yang meskipun sekejap.
Mendung di langit menjadi semakin tebal dan tebal. Angin dari lembah kini sudah tidak bertiup lagi. Sambaran-sambaran tatit di langit yang kadang-kadang menyobek gelap malam menjadi semakin sering, dan guruhpun menggelegar tak henti-hentinya. 

SESAAT kemudian, meledaklah petir di udara, yang kemudian disusul dengan hujan yang seperti dicurahkan dari langit. Butiran-butiran air yang besar berjatuhan di tanah, di genteng-genteng, di cabang-cabang pepohonan, dan di tubuh mereka yang dengan kaku berdiri di halaman Banyubiru. Hujan yang seperti tertuang dari langit yang yang pecah itu sama sekali tak mereka hiraukan. Bunyinya yang kemersak seperti banjir bandang tak mereka dengar, sebab perhatian mereka sedang terpaku pada pertempuran antara hidup dan mati dari dua orang yang bersaudara seperguruan. Hanya Anggara lah yang kemudian bergerak dari tempatnya, tetapi tidak mencari tempat untuk berteduh. Perlahan-lahan ia melangkah mendekati titik pertempuran, dimana kedua saudara seperguruannya sedang mengadu kesaktian, yang bersumber dari mata air yang sama. Namun dalam arus yang berikutnya, sungai yang satu tetap mengalirkan air yang bening, meskipun ada juga kotoran-kotoran yang hanyut di dalamnya. Sedang sungai yang lain benar-benar telah mengalirkan air yang keruh.

Anggara pun kemudian telah melepaskan topengnya. Ketika kedua saudaranya tak mengenakan topeng lagi. Ia sama sekali tak merasa perlu mempergunakannya. Di sela-sela bunyi gemersik dedaunan yang digerakkan oleh air hujan, kadang-kadang terdengarlah jerit yang memekakkan telinga, yang melontar dari mulut Umbaran dengan penuh kemarahan. Dan bersamaan dengan itu gerakannya pun menjadi semakin liar dan ganas. Namun Radite telah bertekad untuk melayaninya habis-habisan. Meskipun sekali-kali timbul juga penyesalan di hatinya. Seandainya, ya seandainya dirinya pada saat itu tak terlibat dalam nafsu yang telah menjadikannya seolah-olah lupa pada keadaan diri, maka apa yang diprihatinkannya atas Umbaran itu tidak akan terjadi. Tetapi semua sudah terjadi. Yang harus dilakukan adalah menghentikan persoalan yang telah berlarut-larut dan yang menurut Anggara telah hampir terlambat. Terngiang kembali kata adik seperguruannya,
“Kakang, agaknya Kakang telah menunggu anak macan itu menjadi seekor macan yang ganas dan trengginas. Nah akhirnya pekerjaan Kakang akan menjadi sangat berat.”

Ternyata kata-kata itu benar. Pekerjaan Radite benar-benar berat. Umbaran telah menambah ilmunya dengan segala macam ilmu yang didapatnya dari daerah-daerah kelam, dari pohon-pohon beringin tua, dan relung-relung goa dan dari batu-batu besar dari bukit-bukit yang suram. Namun Radite pun telah matang pula dengan ilmunya. Selama ia bersembunyi di antara para petani miskin di Pudak Pungkuran bersama Anggara, sempat juga mereka menempa diri mendalami ajaran-ajaran gurunya lahir dan batin. Meskipun mereka menganggap diri mereka telah hilang dari pergaulan para sakti, namun firasat mereka tetap menuntut untuk menjagai kemungkinan-kemungkinan, bahwa pada suatu saat mereka masih harus menampakkan diri. Karena itulah maka kali inipun Radite tidak dapat didesak oleh Umbaran. Bagaimanapun ganasnya Umbaran, namun dengan tangguhnya Radite melawan hantu yang terkenal dari alas Mentaok itu. Bahkan akhirnya ternyata bahwa Umbaran lambat laun harus merasakan betapa dahsyat ilmu yang dimiliki oleh Radite. Tetapi Umbaran tidak lagi mendapat kesempatan untuk lari. Kalau tatit memancar di udara, jelas dilihatnya. Anggara, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara berdiri tegak di halaman itu. Mereka adalah orang-orang yang mengerikan bagi Umbaran. Mereka adalah orang-orang yang telah terbukti dalam melampaui kesaktian golongannya. Mahesa Jenar yang telah berhasil membunuh Sima Rodra itu terang tak dapat dikalahkan sejak di Gedong Sanga, Kebo Kanigara telah berhasil membunuh Naga Laut yang menamakan diri Nagapasa, sedang Anggara baru saja membinasakan sahabatnya Sura Sarunggi.

Kini ia sendiri harus bertempur melawan Radite. Dan ia merasakan betapa tangan lawannya menjadi sekeras baja dan seberat timah. Setiap sentuhan serasa meremukkan tulang sungsumnya. Namun demikian, hati Umbaran telah benar-benar dikuasai oleh iblis. Ia tidak mau melihat kenyataan. Ia tidak mau mendengarkan panggilan terakhir dari saudara seperguruannya itu. Pada saat-saat terakhir, ternyata bahwa ia semakin terdesak. Di dalam hujan yang semakin lebat, tampaklah ia setapak demi setapak terdesak mundur. Meskipun Umbaran berusaha untuk menguasai keadaan, menyerang dengan dahsyatnya, sedahsyat hujan yang tercurah dari langit, namun Radite tak ubahnya seperti batu karang yang tegak perkasa, tak goyah oleh arus air dan angin yang bagaimanapun kencangnya. Meskipun hujan masih belum surut, namun berangsur-angsur gelap malam menjadi berkurang.

Api di ujung kota telah lama padam. Dari kejauhan, di sela-sela desir hujan di dedaunan dan di atap-atap rumah terdengar ayam jantan berkokok bersahutan. Lamat-lamat namun meyakinkan bahwa hari menjelang pagi. Sesaat kemudian terdengarlah suara riuh di luar halaman. Agaknya laskar Banyubiru yang telah berhasil mengusir orang-orang dari golongan hitam yang telah membakar rumah dan banjar-banjar desa, kini berdatangan di rumah kepala daerahnya. Mendengar suara riuh itu, dan mendengar ayam jantan yang berkokok di kejauhan, Umbaran menjadi bertambah gelisah. Seperti ia datang dari kerajaan setan, maka kedatangan fajar sangat menggelisahkan. Apalagi suara riuh yang semakin lama semakin dekat. Karena itulah maka akhirnya ia menuntut saat terakhir dari pertempuran itu. Seperti orang gila ia menyerang sejadi-jadinya. Kini ia tidak memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang lain, kecuali nafsu kemarahan dan keputusasaan. Karena itulah Umbaran mencoba untuk mempergunakan ajiannya Alas Kobar. Ia mengharap apabila ajinya tak dapat mempengaruhi lawannya atau Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Anggara setidak-tidaknya ia akan dapat membunuh Mantingan, Wilis dan Widuri. 

UDARA panas kembali menyala di halaman itu. Umbaran sengaja mengisar diri mendekati tempat-tempat mereka berdiri. Mantingan, Wirasaba, Wilis dan Arya Salaka. Mahesa Jenar terkejut merasakan udara yang panas itu. Demikian juga Kebo Kanigara. Apalagi Mantingan, Wirasaba dan yang lain-lain. Udara yang panas itu serasa membakar tubuh mereka di antara air hujan yang dingin. Namun Anggara tidak membiarkan hal itu terjadi. Segera ia melipat tangan di dadanya, memusatkan kekuatan batinnya untuk melawan aji Alas Kobar itu dengan kekuatan batin pula, seperti apa yang telah dilakukan. Bagi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, Alas Kobar itu segera mendapat perlawanan dari dalam tubuh mereka, kekuatan-kekuatan di luar kekuatan jasmaniah yang telah disalurkan oleh kekuatan aji Sasra Birawa yang mengendap di dalam dada mereka, yang getaran demi getaran merayap sepanjang urat-urat mereka ke seluruh permukaan tubuh. Namun mereka belum pernah mempelajari ilmu yang sedemikian, sehingga daya perlawanannya tidak saja mengalir ke segenap tubuh mereka, namun dapat memancar mempengaruhi keadaan sekitarnya. Dalam hal ini agaknya Anggara dan Radite memiliki kelebihan daripada mereka itu. Mereka dapat memancarkan kekuatan ilmunya, mempengaruhi keadaan di sekitarnya seperti pancaran aji Alas Kobar itu sendiri. Radite yang pada saat itu sedang bertempur, menjadi cemas. Ia tidak akan dapat memusatkan kekuatan batin dalam perlawanan aji Alas Kobar dengan melipat tangan di dadanya. Ia menjadi cemas kalau aji Alas Kobar ini akan membakar orang-orang yang berdiri di halaman itu.

Karena itu, dalam saat yang pendek ia harus dapat melawan aji Alas Kobar itu dengan cara lain. Ia harus mempengaruhi sumber dari udara panas yang membakar halaman itu. Karena itu ia bertekad untuk melumpuhkan Umbaran pada saat yang pendek. Pada saat itu pulalah maka terpencarlah ajinya Naga Angkasa. Ilmu gerak yang sukar dicari bandingnya. Dengan kecepatan seperti petir yang meloncat di langit, Radite menyerang Umbaran sesaat setelah Umbaran berhasil memancarkan ajinya Alas Kobar. Serangan yang demikian dahsyatnya, demikian cepat dalam taraf tertinggi dari ilmunya Naga Angkasa. Yang terjadi kemudian adalah mengejutkan sekali. Umbaran kehilangan waktu hanya sekejap. Namun yang sekejap itu telah menentukan segala-galanya. Sebuah sambaran yang dahsyat telah menghantam dadanya. Sambaran aji Naga Angkasa. Umbaran yang memiliki kesaktian di atas manusia biasa itu terdorong beberapa langkah surut. Kemudian ia terguling jatuh sambil berteriak ngeri. Namun sesaat kemudian ia berhasil tegak kembali. Tetapi tiba-tiba ia menjadi terhuyung-huyung. Bagaimanapun ia berusaha, akhirnya kekuatan jasmaniahnya tak mengijinkannya lagi. Sehingga kemudian Umbaran itu roboh kembali di atas tanah yang basah oleh air hujan yang melimpah dari langit. Namun Umbaran tidak mau mengerti akan keadaannya. Dengan sekuat tenaga ia berusaha untuk berdiri. Tetapi karena kemampuannya terbatas, maka ia hanya dapat berguling-guling dan meronta-ronta di atas tanah yang becek penuh lumpur. Tergetarlah setiap hati yang melihat peristiwa itu. Melihat Umbaran yang sama sekali tidak ikhlas menerima kenyataan pada dirinya. Radite yang berdiri beberapa langkah darinya, berdiri tegak dengan nafas yang tegang. Tiba-tiba ia meloncat maju, namun segala permusuhannya telah lenyap seperti dihanyutkan oleh air hujan yang seperti dituang dari langit. Dengan hati-hati Radite berusaha untuk menangkap Umbaran, dan kemudian dengan hati-hati pula ditenangkannya orang yang telah dibakar oleh nafsunya itu.
Katanya, “Umbaran, tenanglah.”

Umbaran menggeram. Ia masih berusaha melepaskan diri. Tetapi ia tidak mampu lagi. Nafasnya telah memburu dan dadanya menggelombang tak menentu. Ia tidak lagi dapat berbuat sesuatu ketika Radite meletakkan kepala Umbaran di atas tangannya. Hanya kakinya sajalah yang menyepak-nyepak dan kepalanya menyentak-nyentak.
Sekali lagi terdengar Radite berkata,
“Umbaran, tenanglah. Tak ada yang perlu kau gelisahkan.”
“Setan!” terdengar Umbaran menggeram marah. Matanya memancar merah seperti mata harimau.
“Kau kira bahwa kau dapat mengalahkan aku?”
“Tidak, Umbaran,” jawab Radite,
“Aku tidak dapat mengalahkan kau.”
“Kalau begitu…” kata Umbaran tersengkal-sengkal,
“Kalau begitu, kau harus berlutut di bawah kakiku dan minta maaf kepadaku sebelum kau kubunuh mati, kuikat di belakang kaki kuda.”
“Baiklah, Umbaran, aku minta maaf kepadamu,” sahut Radite. Tiba-tiba Umbaran menjadi agak tenang. Tetapi kemarahannya masih memancar di matanya. Ketika ia menggerakkan tangannya, ternyata ia sudah terlalu lemah, namun orang yang telah hanyut dalam nafsu kebiadaban itu tiba-tiba meludahi muka Radite.
Radite terkejut. Itu adalah suatu penghinaan bagi laki-laki. Namun ia hanya menarik nafas dalam-dalam. Sambil kemudian mengusap mukanya dengan lengan bajunya.
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Anggara pun kemudian melangkah mendekati Radite yang berjongkok di samping Umbaran yang gelisah menghadapi saat-saat yang mengerikan. Anggara, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun berjongkok pula. Beberapa langkah darinya tampak Rara Wilis menunduk, sedang Endang Widuri memalingkan wajahnya. Mereka tidak sampai hati untuk menyaksikan peristiwa yang mengerikan itu.

KEMUDIAN terdengarlah suara parau Umbaran yang terputus-putus,
“Kalian mau mengeroyok aku?”
“Tidak, tidak… Umbaran,” jawab Anggara.
“Ayo majulah bersama-sama Radite, Anggara, Mahesa Jenar dan kawanmu itu. Mantingan dan perempuan-perempuan itu semua bersama-sama. Meskipun kulit kalian berlapis baja dan nyawa kalian berangkap lima, namun Umbaran tak akan mundur selangkah.”
“Tidak, Umbaran…” sahut Radite,
“Aku dan Anggara adalah saudaramu seperguruan.”
“Hem…” Umbaran mengeram. Nafasnya menjadi semakin cepat mengalir lewat lubang-lubang hidung serta mulutnya.
Arya Salaka berdiri tegak seperti tugu. Apa yang disaksikan benar-benar mengaggumkannya. Suatu pameran keluruhan budi yang tak ada taranya. Radite dan Anggara tampaknya sama sekali tak mendendam Umbaran, meskipun selama ini Umbaran telah menyulitkannya. Karena Umbaran lah maka Radite menjadi seorang yang merasa rendah diri dan tak berarti, yang lebih baik bersembunyi di antara para petani, daripada bergaul dengan orang-orang sebayanya, para sakti yang sedang mengemban tugas-tugas kemanusiaan.
Hujan yang lebat masih saja seperti tercurah dari langit. Dedaunan bergoyang-goyang karenanya, dengan disertai oleh suara yang gemersik semakin keras. Di regol halaman berdirilah laskar Banyubiru berjejal-jejal. Mereka berdesakan memasuki halaman. Namun kemudian mereka tertegun diam ketika mereka melihat halaman Banyubiru itu dicengkam oleh suasana ngeri yang mendirikan bulu roma.

Mereka masih sempat melihat dua orang berjubah abu-abu bertempur, kemudian salah seorang darinya terbanting jatuh dan meronta-ronta di tanah. Ketika beberapa orang laskar yang berdiri di bagian belakang mendesak maju, pemimpin laskar itu berteriak,
“Berdiri di tempatmu!” Arya Salaka dan orang-orang yang berada di halaman itu hanya menoleh sebentar kepada laskar yang berjejalan itu. Sesaat kemudian kembali perhatiannya beralih kepada Umbaran.
“Paman…” bisik Kebo Kanigara kepada Radite,
“Bukankah lebih baik Umbaran ini dibawa naik ke pendapa?”
Radite mengangguk-angguk, namun tiba-tiba terdengar Umbaran berteriak,
“Apa? Apa yang akan kalian lakuan. Menipu aku lalu menusuk dari belakang?”
“Tidak, tidak Umbaran,” sahut Radite cepat-cepat.
“Marilah kita naik ke pendapa.”
“Jangan coba mengelabuhi mataku. Aku adalah calon pemimpin dari seluruh golongan hitam, dan akulah orang yang pertama-tama harus memiliki Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Kemudian akulah orangnya yang mampu menguasai seluruh tanah perdikan Banyubiru dan Pamingit. Sebab aku memiliki sipat kandel dari kraton.”
Umbaran itu tiba-tiba berteriak-teriak. Kini ia benar-benar telah mengigau. Tubuhnya semakin lama menjadi semakin lemah namun nafasnya masih belum dapat diendapkan, meskipun agaknya ia telah berada di ambang pintu maut.
“Umbaran…” bisik Radite,
“Berdoalah, supaya maksudmu tercapai.”
“Ha…?” jawab Umbaran,
“Kelinci yang bodoh. Hanya orang yang tak percaya kepada diri sendiri sajalah yang berdoa.”
“Tuhan menentukan segala-galanya,” bisik Radite pula,
“Kalau kau menyebut nama-Nya Yang Agung, kau akan mendapatkan apa yang kau kehendaki.”

Umbaran tidak menjawab. Tubuhnya menjadi semakin lemah, dan nafasnya menjadi semakin berdesakan dan terengah-engah. Beberapa kali ia berusaha untuk menelan ludah dan air hujan yang jatuh di mulutnya. Umbaran masih terbujur di tangan Radite. Kadang-kadang ia masih meronta untuk mencoba merenggutkan diri dari kekuasaan maut yang sudah merabanya.
“Di mana Lawa Ijo…? Tiba-tiba Umbaran berteriak.
“Lawa Ijo telah meninggalkan kau,” jawab Radite.
“Mati…?” teriak Umbaran.
“Sura Sarunggi…?”
“Orang itu mati pula,” jawab Radite seterusnya.
“Mati. Mati. Semua orang telah mati. Gila. Tetapi aku tidak akan mati. Aku akan merajai Nusantara.” Umbaran masih mengigau.
“Berdoalah,” bisik Radite.
“Apakah kalau aku berdoa aku akan menjadi raja?” tanya Umbaran yang semakin payah.
“Lebih dari itu. Kau akan mengenal kerajaan Surga, kerajaan Allah yang jauh lebih indah dan bahagia daripada kerajaan yang kau impikan itu. Di kerajaan Sorga, kau tak mengenal dendam dan benci, tak mengenal keserakahan dan ketamakan,” jawab Radite.
“Aku akan menjadi raja di sana?” tanya Umbaran dalam desahan nafas yang semakin lambat.
“Semua orang menjadi raja. Merajai diri sendiri, menguasai nafsu dan dosa. Pekerjaan yang paling sulit dilakukan di dunia ini. Merajai diri sendiri, menguasai nafsu dan dosa. Jauh lebih sulit daripada merajai orang lain, meskipun beribu-ribu bahkan berjuta-juta. Di kerajaan Sorga, kau akan dapat melakukannya,” bisik Radite.
“Sebutlah nama Tuhan, mohonlah ampunan supaya kau ikut di dalam daerah kerajaan-Nya,” desak Radite.
Umbaran mencoba menarik nafas. Lambat-lambat ia berkata,
“Aku akan berdoa.”
“Sebutlah nama Tuhan, mohonlah ampun supaya kau ikut di dalam daerah kerajaan-Nya,” desak Radite lagi.

Umbaran menjadi semakin payah. Mulutnya tampak bergerak-gerak, namun tak terdengar suaranya. Kini ia menjadi tenang. Ia tidak lagi berusaha melawan maut. Perlawanan yang tak akan berarti. Sebab maut adalah di luar kemampuan manusia untuk mencegahnya apabila ia datang. Radite menjadi berdebar-debar, demikian juga orang-orang lain yang menyaksikan. Mereka tidak tahu apa yang diucapkan oleh Umbaran itu, namun mereka mengharap agar Umbaran dapat mengurangi dosa-dosanya.
Terdengarlah Radite berbisik,
“Mudah-mudahan ia berdoa.”
Pada saat itulah nafas terakhir meluncur dari hidung Umbaran. Namun ia tidak meronta-ronta lagi. Kepalanya di tangan Radite itu kemudian terkulai lemah. Kepala dan wajah tampannya yang selama ini selalu dilapisi dengan topengnya yang kasar dan jelek. Umbaran telah tidak ada lagi, setelah lebih dari setengah abad ia tenggelam dalam arus nafsunya yang melonjak-lonjak. Kebencian yang berakar di dalam relung-relung hatinya, telah memancar dengan ungkapan yang mengerikan. Radite menundukkan wajahnya. Ia merasa bahwa ia ikut serta membebani Umbaran dengan dosa-dosa. Ia merasa bahwa ia telah ikut serta menodai nama Pasingsingan yang telah disemarakkan oleh gurunya dan sebagian dari jerih payahnya. Tetapi ia tidak tahu, bahwa di dalam dada Umbaran tersimpan hati yang hitam, sehitam malam yang paling gelap. Ia tidak tahu. Tak seorangpun yang tahu, bahkan gurunyapun tidak. Seandainya gurunya mengetahuinya, pasti ia tidak akan menerimanya sebagai muridnya.

Sesaat suasana menjadi hening. Hanya titik-titik air hujan sajalah yang terdengar mengusik sepi. Cahaya fajar di timur telah merayap semakin tinggi, dan gelap malam pun mulai disingkirkan. Tak hanya Arya Salaka yang menjadi kagum, namun juga Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menundukkan kepalanya. Mereka menyatakan hormat setinggi-tingginya di dalam hati. Radite tidak membiarkan musuhnya mati dalam kegelapan. Tetapi ia telah berusaha untuk menunjukkan jalan kembali, ke daerah pelukan tangan Yang Maha Pengasih. Sesaat kemudian, diangkatlah mayat yang beku dingin itu ke pendapa. Kemudian diletakkan membujur ke utara di atas tikar pandan di tengah-tengah pendapa itu. Pada saat itulah Mantingan, Wirasaba, Wanamerta dan yang lain-lain seakan-akan terlepas dari suatu ikatan yang erat membelit tubuhnya.
Mereka kemudian bergegas-gegas melangkah naik ke pendapa dan duduk di belakang mereka yang telah mengangkat mayat itu, yaitu Radite, Anggara, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Hanya Arya Salaka yang melangkah ke regol halaman, menerima pemimpin laskarnya yang akan memberikan laporan kepadanya.
“Terima kasih,” jawab Arya Salaka setelah laporan itu selesai.
“Beristirahatlah kalian. Tetapi jangan hilang kewaspadaan. Tempatkan penjagaan-penjagaan di setiap jalan masuk. Rawat kawanmu baik-bak. Nanti aku akan datang ke perkemahanmu.”
Laskar itupun kemudian meninggalkan halaman itu, kembali ke perkemahan mereka untuk beristirahat. Meskipun demikian senjata-senjata mereka tidak terlepas dari genggaman, sebab setiap saat keadaan akan dapat berubah-ubah.

Ketika laskar Banyubiru itu telah hilang di balik dinding halaman, Arya Salaka pun kemudian menyusul naik ke pendapa, dan duduk di belakang gurunya. Hujan pun semakin lama semakin tipis, sejalan dengan cahaya terang yang memancar di ufuk timur. Banyubiru yang terletak di lereng Bukit Telamaya itu seakan-akan mulai memancarkan cahaya yang cerah, secerah cahaya matahari pagi. Awan di langit perlahan-lahan hanyut dibawa angin yang bertiup dari pegunungan. Dalam keheningan itu terdengar Arya berbisik kepada gurunya,
“Paman, apakah kita tidak perlu melihat garis pertempuran di Pangrantunan?”
Mahesa Jenar berpikir sejenak, kemudian ia menjawab,
“Menurut pertimbanganku, keadaan kini tidak lagi terlalu berbahaya, Arya. Kita tidak tergesa-gesa lagi, meskipun lebih baik kalau hari ini kita pergi. Tetapi menurut perhitunganku, tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam itu telah sebagian besar lenyap, Sima Rodra, Nagapasa, Sura Sarunggi dan Umbaran telah tak ada lagi.
Yang tinggal adalah Bugel Kaliki dan Jaka Soka.” Arya Salaka mengangguk-angguk. Demikin juga Kebo Kanigara. Namun dengan demikian mereka teringat akan kehadiran Jaka Soka di halaman ini malam tadi.
Sehingga terloncat dari mulut Endang Widuri,
“Paman, Jaka Soka tadi malam telah datang menjemput Bibi.”
Agaknya gadis itu telah mulai dengan kenakalannya kembali setelah segala sesuatu menjadi lebih tenang dan tidak menegangkan hati.
“Ah…” desah Rara Wilis. Tetapi ia tidak melanjutkan lagi, sedang Mahesa Jenar pun hanya tersenyum saja. 

RADITE dan Anggara masih dalam keadaan seperti semula. Mereka menekuni mayat Umbaran seperti menekuni mayat saudara sendiri. Terkenanglah di dalam hati mereka, masa-masa lampau di perguruan Pasingsingan. Meskipun mereka tidak pernah mengalami suatu masa bergurau bersama-sama, namun terasa bahwa mereka bersama-sama telah meneguk air dari sumber yang sama. Namun demikian, terasa pula oleh mereka, bahwa tak seorang manusiapun yang sempurna. Pasingsingan sepuh adalah orang yang mumpuni putus segala macam ilmu lahir dan batin. Namun ia adalah manusia biasa. Manusia yang kerdil dan kecil. Manusia yang kesinungan sifat khilaf dan alpa. Manusia yang pengetahuannya sangat terbatas. Karena itu maka Pasingsingan berbuat salah. Ia telah menerima Umbaran itu berkhianat. Menodai nama baik perguruannya. Mau tidak mau, noda itu akan terpercik kepada saudara-saudara seperguruannya, Radite dan Anggara. Bahkan noda itu akan terpercik ke gurunya pula. Tetapi tangan Radite telah bergerak dalam usahanya menghentikan pengkhianatan itu. Umbaran telah dibunuhnya dengan ilmu yang pada dasarnya diterima dari gurunya, seperti ilmu Umbaran itu sendiri. Sebab belumlah pasti bahwa orang lain akan mampu membunuhnya. Melihat mereka, Radite dan Anggara masih tenggelam dalam kemuraman. Widuri menyela. Iapun kemudian berdiam diri sambil menundukkan wajahnya. Sehingga untuk beberapa saat pendapa itu kembali menjadi sepi. Baru beberapa saat kemudian terdengar Mahesa Jenar berkata,
“Arya, suruhlah beberapa orang merawat mayat Sura Sarunggi dan orang-orang yang lain. Kuburlah di tempat yang seharusnya, supaya bersihlah tangan kita dari noda-nodanya.”

Arya Salaka pun segera berdiri, menemui beberapa orang di gardu penjagaan yang nampaknya masih sangat payah meskipun mereka tidak berbuat sesuatu. Beberapa kawan-kawan mereka yang terlukapun telah mereka rawat sebaik-baiknya. Kepada mereka, Arya memerintahkan untuk memanggil beberapa orang lain, untuk bersama-sama menyelenggarakan penguburan mayat Sura Sarunggi dan kawan-kawannya. Kemudian ketika Arya kembali ke pendapa, didengarnya Radite berkata,
“Anakmas Mahesa Jenar. Kalau Anakmas tidak keberatan, biarlah mayat Umbaran ini aku bawa ke Pudak Pungkuran.”
Mahesa Jenar mengangkat dahinya. Sambil mengangguk-angguk kecil ia bertanya,
“Kenapa mesti di bawa ke Pudak Pungkuran? Kami di sini pun akan bersedia melaksanakan penguburannya seperti yang Paman kehendaki.”
“Anakmas…” sahut Radite,
“Umbaran adalah saudara seperguruanku. Akulah yang mempunyai kewajiban atas segala-galanya. Meskipun ia terbunuh oleh tanganku, namun biarlah aku dapat menunjukkan kuburnya seandainya pada suatu saat guru datang bertanya kepadaku, di mana Umbaran. Sebab sesaat nanti, guru pasti sudah mendengar berita tentang kematian Pasingsingan. Dan guru pasti akan mencari aku untuk menanyakannya. Sebab Pasingsingan itu terbunuh oleh Pasingsingan pula.”
“Kalau demikian…” jawab Mahesa Jenar, “Terserahlah kepada Paman.”
“Terimakasih Anakmas,” jawab Radite,
“Mudah-mudahan dengan lenyapnya Umbaran, noda-noda yang melekat pada perguruan Pasingsingan akan tidak bertambah lagi.”
“Paman…” jawab Mahesa Jenar,
“Setiap orang akan mengetahui, bahwa bukan Pasingsingan Sepuh lah yang bersalah, juga bukan Pasingsingan yang lain yang bersalah, tetapi Umbaran, manusia yang bernama Umbaran itulah yang berdosa. Dan ia telah menerima hukumannya.”
Kembali mereka berdiam diri. Sesaat kemudian kembali Mahesa Jenar minta agar Arya Salaka menyediakan beberapa orang dan engkrak yang akan mengatar Radite dan Anggara kembali ke Pudak Pungkuran dengan membawa mayat Umbaran.

Ketika matahari memanjat kaki langit sepenggalah, maka Radite dan Anggara itu segera minta diri, katanya,
“Anakmas, barangkali masih ada pekerjaan lain yang harus Anakmas kerjakan. Pekerjaan yang lebih penting daripada menemui aku di sini. Karena itu, aku minta diri, kembali ke Pudak Pungkuran dengan mayat Umbaran.”
Radite dan Anggara tak dapat dicegah lagi. Karena itu segera merekapun berangkat beserta beberapa orang yang menyertainya mengusung Umbaran.
“Lain kali aku datang lagi,” kata Radite,
“Dalam kesempatan yang lebih baik. Syukurlah kalau aku nanti berkesempatan bertemu dengan eyangnya Arya Salaka, Ki Ageng Sora Dipayana. Tetapi orang tua itu pasti tak akan mengenal aku, sebab yang dikenalnya adalah topeng kasar yang jelek itu.”
“Baiklah Eyang,” sahut Arya Salaka,
“Aku akan sampaikan kepada Eyang Sora Dipayana bahwa seseorang yang tak dikenal akan menemuinya.”
Kemudian berjalanlah iring-iringan itu meninggalkan Banyubiru, berjalan menyusur jalan-jalan kota, ke arah timur.
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Arya Salaka dan orang-orang lain mengantar mereka sampai beberapa langkah ke luar alun-alun Banyubiru. Ketika iring-iringan itu telah hilang di kelokkan jalan, maka mereka kembali ke pendapa duduk melingkar di atas tikar pandan. Mantingan menceriterakan apa yang dilihatnya, sejak awal sampai akhir. Sejak ia melihat daun yang bergoyang-goyang, muncullah Wadas Gunung, Lawa Ijo dan Jaka Soka. Kemudian Pasingsingan dan Sura Sarunggi. Disusul dengan hadirnya dua orang yang menyerupai Pasingsingan pula. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka mendengarkan ceritera itu dengan hati yang berdebar-debar. Akhirnya mereka mengucap syukur bahwa Tuhan telah berkenan menyelamatkan orang-orang yang berada di pendapa itu. 

SEHARI itu mereka beristirahat di Banyubiru. Mereka tidak perlu mencemaskan nasib Pangrantunan. Di sana masih ada Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas, Titis Anganten dan laskar yang masih cukup kuat. Nanti apabila matahari telah condong dan panas sudah tidak terasa membakar tubuh mereka di perjalanan, mereka baru akan berangkat ke Pangrantunan. Sehari itu, baik Arya Salaka, Rara Wilis maupun Endang Widuri seakan-akan masih dibayangi oleh bahaya-bahaya yang selalu mengancam mereka. Sebaliknya Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar pun merasa bahwa mereka tidak sampai hati untuk melepaskan mereka yang masih dibayangi oleh kecemasan itu duduk sendiri dengan gelisah.
Widuri, seperti anak-anak yang takut ditinggal pergi oleh ayahnya, selalu mengikutinya ke mana ayahnya pergi. Kebo Kanigara menjadi geli karenanya, meskipun ia dapat merasakan betapa pengaruh keadaan semalam telah sedemikian dalam membekas di dalam dada anaknya itu. Karena itu sambil tertawa ia berkata,
“Widuri, kenapa kau membayangi aku terus-menerus? Apakah aku menjanjikan sesuatu kepadamu?”
“Ah….” Widuri mengeluh. Ia sadar bahwa ia masih terpengaruh oleh kecemasan yang mencengkam seluruh jiwanya semalam.
“Apakah kau kira aku menyembunyikan kain sutera berwarna hijau seperti yang kau impi-impikan?” tanya ayahnya pula.
“Ah….” Kembali Widuri berdesis. Tetapi sebagai anak yang manja justru ia berkata,
“Tentu. Tentu ayah menyembunyikan kain sutera berwarna hijau. Bukankah ayah sanggup membelikan buat aku? Janji ayah telah lebih setahun yang lalu.”
Kebo Kanigara tertawa. Mereka hanya bergurau, sebab Widuri pun sadar bahwa ayahnya tidak akan mampu membeli kain sutera berwarna hijau yang mahal. Namun di ruang itu, Arya Salaka mendengar kelakar itu. Tiba-tiba saja merayap di dalam hatinya suatu janji, apabila nanti ia dapat menggarap sawah dan tegalannya di Banyubiru seperti masa-masa lampau, maka hasilnya pasti cukup untuk membeli kain sutera berwarna hijau. Meskipun ia tidak tahu, apakah Widuri akan menerimanya, seandainya ia nanti memberikannya.
“Gila!” hatinya membantah sendiri,
“Kenapa aku ribut-ribut tentang kain sutera berwarna hijau? Bukankah sekarang kita sedang menghadapi saat-saat terakhir yang menentukan?”
“Apa salahnya…? Jauh di dalam hatinya terdengar suara lain. Arya menggeleng-gelengkan kepalanya, mengusir perasaan yang berdebat di dalam hatinya. Kemudian untuk melenyapkan perasaan itu ia berkata kepada gurunya yang duduk di hadapannya, “Paman, siapakah sebenarnya dua orang yang berpakaian mirip dengan Pasingsingan itu? Agaknya Paman telah mengenal mereka dengan baik.”
Mahesa Jenar mengangguk-angguk.
“Ya, aku telah mengenal mereka,” jawab Mahesa Jenar.
“Mereka adalah saudara-saudara seperguruan Pasingsingan, guru Lawa Ijo, yang sebenarnya bernama Umbaran.”
Seterusnya Mahesa Jenar menceriterakan beberapa hal mengenai Radite dan Anggara. Widuri yang mendengar segera berlari-lari ikut serta mendengarkan ceritera itu. Disamping Mantingan, Wirasaba, Wanamerta dan Sendang Parapat. Kanigara pun kemudian duduk bersama mereka.
“Mereka adalah orang-orang yang luar biasa, yang selama ini tekun mendalami ilmunya. Namun mereka menyembunyikan diri mereka di antara para petani miskin di Pudak Pungkuran, ketika mereka mereka merasa bahwa mereka telah berbuat suatu kesalahan”.
Arya Salaka mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi dalam hatinya ia sedang sibuk menjajagi kedua orang yang bernama Radite dan Anggara itu dengan gurunya. Gurunya pun dahulu tak dapat dikalahkan oleh Pasingsingan di Gedong Sanga, dan kemudian ternyata gurunya berhasil membunuh Sima Rodra. Juga Kebo Kanigara berhasil membunuh Nagapasa. Dengan demikian Arya Salaka mendapat kesimpulan bahwa setidak-tidaknya gurunya memiliki ilmu setingkat dengan Radite dan Anggara.

Memang sebenarnyalah demikian. Namun Arya belum mendengar bahwa Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar benar-benar pernah mencoba menjajagi ilmu kedua orang itu. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pernah bertempur melawan Radite dan Anggara pada saat mereka mencoba untuk menemukan jawaban tentang Pasingsingan sepuh di Pudak Pungkuran. Pada saat itu ternyata bahwa mereka terpaksa memuji ketangguhan masing-masing. Demikianlah mereka sehari-hari itu beristirahat di Banyubiru. Ketika matahari sudah semakin rendah, maka Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka pun mempersiapkan diri untuk kembali ke Pangrantunan. Namun mereka kini sudah tidak gelisah lagi, sebab mereka sudah yakin bahwa golongan hitam akan dapat mereka hancurkan. Tetapi kali ini Widuri tidak mau ditinggalkan oleh ayahnya. Bukan karena ia takut, tetapi anak itu benar-benar ingin melihat apa yang terjadi di Pangrantunan. Kali ini Kebo Kanigara tak dapat menolaknya. Widuri terpaksa ikut serta dalam rombongan itu. Karena kemudian Rara Wilis tak mempunyai kawan lagi apabila ia tinggal di Banyubiru, iapun memutuskan untuk ikut serta di dalam rombongan, apalagi ketika ia tahu bahwa Ki Ageng Pandan Alas berada di Pangrantunan. Dengan demikian ia akan dapat melepaskan rindunya kepada satu-satunya keluarga yang masih ada. Hanya Mantingan, Wirasaba dan Wanamerta beserta Sendang Parapat yang terpaksa tinggal di Banyubiru. Mereka mendapat pesan, apabila ada kekalutan supaya langsung memberitahukan ke Pangrantunan atau Pamingit. Mahesa Jenar menduga bahwa Jaka Soka tak akan datang kembali ke Banyubiru sebab ia sudah tak memiliki kekuatan lagi. Gurunya sudah meninggal dan laskarnya pun tak akan mencukupi. Sedang Bugel Kaliki adalah seorang yang berdiri sendiri. Seorang diri, tanpa laskar dan tanpa pengikut. Menurut perhitungan Mahesa Jenar, orang itupun tak akan datang.. 

AGAKNYA orang bongkok dari lembah gunung Cerme itu telah kehilangan nafsunya untuk mencari Nagasasra dan Sabuk Inten. Atau barangkali justru mempunyai perhitungan lain. Dibiarkannya kawan-kawannya atau lawan-lawannya binasa. Kemudian ia akan dengan leluasa berbuat sendiri, menemukan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Sementara itu golongan hitam telah kehilangan pemimpin-pemimpin mereka.
“Kalau Bugel Kaliki itu datang kemari…” kata Mahesa Jenar kemudian,
“Jangan layani. Biarlah ia berbuat sesuatu. Ia hanya memerlukan Nagasasra dan Sabuk Inten. Dahulu ia pun pernah mengaduk rumah ini, namun ia tidak menemukan apa-apa.”
Mantingan mendengarkan pesan Mahesa Jenar dengan baik. Demikian juga Wirasaba, Wanamerta dan Sendang Parapat. Namun dengan demikian terbayang juga di dalam hati mereka bahwa cahaya yang cerah telah mulai memancar di atas tanah perdikan Banyubiru.
Awan yang kelam perlahan-lahan hanyut dibawa oleh angin yang berhembus tak henti-hentinya. Mantingan jadi teringat pada ceritera-ceritera pewayangan yang sering dibawakannya apabila ia sedang duduk bersila di belakang layar putih. Bahwa betapapun kejahatan itu berkuasa, namun akhirnya kebenaranlah yang akan menang. Sebab kebenaran adalah pancaran dari kehendak Yang Maha Kuasa.
Ketika semua sudah siap, maka segera mereka naik ke punggung kuda. Wilis pun kini telah biasa naik kuda, sedang Widuri karena kenakalannya, ia tidak kalah tangkasnya dengan setiap laki-laki. Ia berani berbuat hal-hal yang aneh-aneh di atas punggung kuda. Bahkan kadang-kadang sampai gerak-gerak yang berbahaya. Tetapi ia tertawa saja apabila ayahnya memperingatkannya.
Maka setelah sekali lagi mereka mohon diri kepada tetua tanah perdikan Banyubiru, Ki Wanamerta beserta Mantingan, Wirasaba dan Sendang Parapat, bergeraklah kuda-kuda itu meninggalkan halaman. Tetapi ketika Arya Salaka hampir sampai di muka regol, tiba-tiba ia menarik kekang kudannya, sehingga kuda itupun berhenti.
“Ada apa Arya?” tanya gurunya, dan semua matapun memandang ke arahnya.
“Pisau,” jawab Arya sambil menunjuk ke pohon sawo yang tumbuh di samping regol. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menarik nafas. Dua bilah pisau menancap di pohon itu. Kedua-duanya berwarna kuning kemilau.
“Kyai Suluh,” desis Mahesa Jenar,
“Ambillah Arya.”

Arya segera meloncat turun dari kudanya. Dengan cekatan, ia memanjat pohon sawo itu beberapa depa. Kemudian diambilnya kedua-duanya. Kedua pisau itu benar-benar mirip satu sama lain, sehingga Arya tak mampu membedakannya.
“Adakah Kyai Suluh itu lebih dari satu?” tanya Arya.
Mahesa Jenar menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Entahlah,” jawabnya.
“Cobalah Arya,” pinta Kebo Kanigara.
Arya segera menyerahkan kedua pisau belati itu. Mantingan pun kemudian berdiri pula di samping Kebo Kanigara. Sebagai seorang dalang banyaklah diketahuinya mengenai batu-batuan dan biji-biji besi. Ia senang mempelajarinya. Juga perasaannya yang lembut, dengan mudahnya dapat menangkap setiap getaran yang memancar dari besi-besi aji.
Kanigara pun agaknya memiliki pengetahuan yang serupa, sehingga akhirnya ia berkata,
“Inilah yang asli.”
Mantingan mengangguk.
“Kakang benar. Aku juga menyangka demikian. Sedang yang lain adalah keturunannya, meskipun keturunannya itupun memiliki kekuatan-kekuatan yang mirip dengan aslinya.”
“Kyai Suluh adalah pusaka yang mempunyai daya kekuatan yang luar biasa.”
Kanigara meneruskan,
“Pengaruhnya atas ketabahan hati serta keberanian dapat diandalkan. Sayang, pengaruh itu pada Umbaran mendapat arah yang salah. Aku kagum akan ketabahan hati serta keberanian Umbaran, namun aku menyesalkan atas tujuan yang akan dicapainya.”
Tak seorangpun yang menyahut. Semua membenarkan kata-kata itu, Umbaran telah menyalahgunakan kekuatan yang tersimpan di dalam pusaka Pasingsingan itu.
“Mahesa Jenar…” kata Kebo Kanigara,
“Siapakah yang berhak menerima pisau-pisau ini?”
“Paman Radite dan Anggara,” jawab Mahesa Jenar.
“Mereka tak memerlukan lagi,” sahut Kebo Kanigara,
“Ternyata mereka membiarkan kedua pusaka ini berada di halaman Banyubiru. Bukankah maksudnya untuk menyerahkan pusaka-pusaka ini kepada penguasa Banyubiru?”
“Mudah-mudahan,” jawab Mahesa Jenar.
“Setidak-tidaknya pusaka-pusaka itu dapat dipinjam. Apabila nanti diperlukan, biarlah keduanya dikembalikan.”
“Baiklah,” kata Kebo Kanigara,
“Agaknya Arya Salaka yang wajib menyimpannya.”

Mahesa Jenar menatap wajah Arya Salaka yang berdiri dua langkah di muka Kebo Kanigara. Wajah yang merah kehitam-hitaman dibakar oleh terik matahari di tengah-tengah perjalanan, di tengah-tengah sawah dan tegalan, di hutan dan di lautan. Namun dari wajah yang kasar itu memancar ketulusan serta kejujuran dan penderitaan murni. Anak yang hidup di tengah-tengah badai kesulitan dan penderitaan itu benar-benar memiliki kesederhanaan berpikir, meskipun otaknya cukup cerdas. Mendengar perkataan Kebo Kanigara itu Mahesa Jenar ikut bergembira, segembira Arya Salaka sendiri. Pusaka semacam itu adalah pusaka yang sulit dicari. Kini Arya akan menerimanya, meskipun belum pasti bahwa pusaka itu akan dimiliki untuk seterusnya.
“Arya…” terdengar Kebo Kanigara meneruskan,
“Simpanlah pusaka ini. Mudah-mudahan akan bermanfaat bagimu. Ketabahan serta keberanian akan memancar ke dalam hatimu. Namun apa yang telah terjadi dapatlah menjadi peringatan bagimu. Umbaran telah berusaha untuk mempergunakan pusaka itu dalam perjalanannya yang sesat.”

DADA Arya menjadi berdebar-debar. Ia maju selangkah, dan dengan tangan yang gemetar diterimanya Kiai Suluh dari tangan Kebo Kanigara, yang berkata pula,
“Kau telah memiliki salah satu dari kebesaran-kebesaran yang pernah dimiliki oleh Pasingsingan.”
“Aku akan selalu mengingatnya, Paman,” jawab Arya Salaka.
“Apa yang telah terjadi dengan Umbaran.” Tiba-tiba terdengar Widuri menyela,
“Ayah, aku juga punya cincin yang bermata merah menyala.”
“Kelabang Sayuta…” desis Mahesa Jenar.
“Ya,” jawab Widuri,
“Lawa Ijo menamakannya demikian.”
“Dari manakah kau mendapat cincin itu?” tanya ayahnya.
“Lawa Ijo,” sahut Widuri. Kemudian ia pun menceriterakan tentang Lawa Ijo. Tentang anak perempuannya yang mati dan tentang prangsangkanya yang salah terhadap istrinya.
Kebo Kanigara, Mahesa Jenar dan Arya Salaka pun mendengarkan ceritera itu dengan seksama. Agaknya Lawa Ijo telah menjadi korban keadaan seperti Umbaran. Menjadi korban keadaan di sekitarnya. Keluarganya, ruang pergaulan dan sahabat-sahabatnya. Bahkan mungkin, selain mereka masih ada lagi berpuluh-puluh, malahan beratus-ratus orang yang menjadi korban seperti itu. Mungkin dalam pergaulan dengan sahabat-sahabatnya, mungkin dalam keadaan yang tak serasi di dalam rumah tangga dan orang tuanya atau mungkin keadaan yang sumbang di perguruannya. Sehingga untuk menjadi manusia yang baik diperlukan panilikan atas tiga daerah hidup manusia sejak masa kanak-kanaknya, yaitu keluarga, lingkungan pergaulan dan tempat mereka menempa diri, yaitu perguruan-perguruan.


<<< Bagian 080                                                                                              Bagian 082 >>>

No comments:

Post a Comment