TERDENGARLAH Radite menarik nafas. Ia mengeluh dalam hati melihat kekerasan hati Umbaran.
Namun
perlahan-lahan tangannya bergerak membuka topengnya pula. Jawabnya,
“Marilah kita
tidak berpura-pura lagi, tidak menjadikan diri kita orang-orang aneh yang hanya
mengalutkan orang lain yang melihat kita. Marilah kita kembali kepada diri
kita, manusia yang kercil, dan tak berarti. Marilah kita yang kecil ini
mempersiapkan diri kita untuk mengharap Yang Maha Agung. Umbaran, berjanjilah.
Persoalanmu akan selesai, dan akibatnya persoalan-persoalan lainpun akan
selesai pula. Pengikut-pengikutmu pun akan sadar dari kekeliruannya, bahwa apa
yang akan dicapainya selama ini tak akan bermanfaat bagi bebrayan manusia.”
Umbaran
menggeram. Sekali lagi suara tertawanya terlontar mengerikan, katanya,
“Jangan
mengigau lagi, Radite. Bersiaplah.”
Sebelum Radite
menjawab, Umbaran telah menyerangnya kembali. Dengan gerak yang dahsyat penuh
nafsu kemarahan ia mengamuk sejadi-jadinya. Bahkan mirip dengan orang yang
kehilangan akal. Meskipun demikian, gerak-gerak yang dilontarkan menjadi
semakin berbahaya. Dalam keputusasaan, ia hanya mampu berpikir,
“Marilah kita
mati bersama-sama.”
Radite
kemudian telah kehilangan kesempatan untuk mengajak saudara seperguruannya itu
menemukan jalan kembali. Kesalahan yang telah dilakukannya beberapa puluh tahun
lampau seharusnya tak terulang lagi. Pada saat seakan-akan ia membuka pintu seluas-luasnya
kepada Umbaran untuk melakukan kejahatan. Pada saat ia menyerahkan ciri-ciri
kekhususan Pasingsingan karena nafsunya yang tak terkendalikan. Meskipun pada
saat itu, ia sama sekali tidak menduga, bahwa saudara seperguruannya itu tidak
meneruskan naluri gurunya yang bijaksana dan penuh pengabdian kepada manusia,
yang di dasarnya dengan sinar cinta yang abadi.
Pertempuran
itu kembali berlangsung dengan sengitnya. Umbaran yang putus asa bertempur
seperti gelombang laut yang ganas, bergulung-gulung menghantam apapun yang ada
di hadapannya, sedang Radite melayaninya seperti seekor burung rajawali, yang
setiap saat mampu melontarkan diri ke udara, menghindari ancaman gelombang yang
bagaimanapun dahsyatnya, untuk kemudian menukik dengan kuku-kukunya yang tajam
dan paruhnya yang runcing, menghantam lawannya. Tak seorangpun yang berani
mencampuri pertempuran itu. Apalagi Mantingan, Wirasaba, atau Wilis. Mahesa
Jenar dan Kebo Kanigara pun tak beranjak dari tempatnya. Sedang Widuri masih
berpegangan ujung baju ayahnya, seperti anak-anak yang takut hilang di
tengah-tengah pasar yang ribut. Arya Salaka masih juga berdiri seperti patung.
Namun hatinya berdebar menyaksikan pertempuran yang dahsyat itu. Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara menyaksikan pertempuran itu dengan tegang pula. Mereka sadar
bahwa yang dihadapinya adalah persoalan yang sama sekali berbeda dengan
persoalan yang sedang berlangsung di Pamingit. Radite dan Umbaran tidak
bertempur karena tanah perdikan Banyubiru, tidak karena mereka berebut Kyai Nagasasra
dan Kyai Sabuk Inten, tidak karena mereka berdua ingin memiliki kesempatan
untuk menuju ke singgasana Demak. Kalau Umbaran bertempur dengan nafsu yang
meluap-luap untuk mempertahankan cita-citanya tanpa mengenal surut, maka Radite
bertempur dengan harapan untuk mengurangi kesalahan-kesalahan yang pernah
dilakukan, menghentikan kejahatan yang akan selalu dilakukan oleh Umbaran.
Radite sendiri
sama sekali tidak ada nafsu untuk memiliki pusaka-pusaka Kyai Nagasasra dan
Sabuk Inten, tak ada nafsu untuk menjadi tetua para sakti dan tak ada nafsu
untuk menempuh jalan ke singgasana Demak. Sebab ia tahu bahwa itu bukanlah
haknya. Setiap orang yang mencoba untuk merebut hak itu tanpa wahyu keraton
padanya, tanpa wahyu yang dilimpahkan oleh Yang Maha Esa, maka mereka pasti
akan mengalami kegagalan, bahkan kehancuran, apabila mereka tidak segera
menyadari kesalahannya. Pertempuran yang sengit itu berlangsung tanpa gangguan.
Seakan-akan mereka mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk menyelesaikan
masalah mereka. Dalam gelap malam yang semakin pekat itu, bayangan mereka
melontar-lontar melingkar-lingkar dengan cepatnya. Kini mereka telah tak
bersenjata lagi. Mereka hanya percaya kepada kekuatan mereka, kepada kesaktian
mereka. Meskipun demikian mereka sama sekali tak mempergunakan aji mereka, baik
Gelap Ngampar maupun Alas Kobar, sebab mereka sadar bahwa ilmu-ilmu itu hanya
akan berbenturan tanpa arti. Mereka kini lebih mementingkan kepada
kesempatan-kesempatan yang akan ditemuinya apabila lawannya berbuat kesalahan
yang meskipun sekejap.
Mendung di
langit menjadi semakin tebal dan tebal. Angin dari lembah kini sudah tidak
bertiup lagi. Sambaran-sambaran tatit di langit yang kadang-kadang menyobek
gelap malam menjadi semakin sering, dan guruhpun menggelegar tak henti-hentinya.
SESAAT
kemudian, meledaklah petir di udara, yang kemudian disusul dengan hujan yang
seperti dicurahkan dari langit. Butiran-butiran air yang besar berjatuhan di
tanah, di genteng-genteng, di cabang-cabang pepohonan, dan di tubuh mereka yang
dengan kaku berdiri di halaman Banyubiru. Hujan yang seperti tertuang dari
langit yang yang pecah itu sama sekali tak mereka hiraukan. Bunyinya yang
kemersak seperti banjir bandang tak mereka dengar, sebab perhatian mereka
sedang terpaku pada pertempuran antara hidup dan mati dari dua orang yang
bersaudara seperguruan. Hanya Anggara lah yang kemudian bergerak dari
tempatnya, tetapi tidak mencari tempat untuk berteduh. Perlahan-lahan ia
melangkah mendekati titik pertempuran, dimana kedua saudara seperguruannya
sedang mengadu kesaktian, yang bersumber dari mata air yang sama. Namun dalam
arus yang berikutnya, sungai yang satu tetap mengalirkan air yang bening,
meskipun ada juga kotoran-kotoran yang hanyut di dalamnya. Sedang sungai yang
lain benar-benar telah mengalirkan air yang keruh.
Anggara pun
kemudian telah melepaskan topengnya. Ketika kedua saudaranya tak mengenakan
topeng lagi. Ia sama sekali tak merasa perlu mempergunakannya. Di sela-sela
bunyi gemersik dedaunan yang digerakkan oleh air hujan, kadang-kadang
terdengarlah jerit yang memekakkan telinga, yang melontar dari mulut Umbaran
dengan penuh kemarahan. Dan bersamaan dengan itu gerakannya pun menjadi semakin
liar dan ganas. Namun Radite telah bertekad untuk melayaninya habis-habisan.
Meskipun sekali-kali timbul juga penyesalan di hatinya. Seandainya, ya
seandainya dirinya pada saat itu tak terlibat dalam nafsu yang telah
menjadikannya seolah-olah lupa pada keadaan diri, maka apa yang
diprihatinkannya atas Umbaran itu tidak akan terjadi. Tetapi semua sudah
terjadi. Yang harus dilakukan adalah menghentikan persoalan yang telah
berlarut-larut dan yang menurut Anggara telah hampir terlambat. Terngiang
kembali kata adik seperguruannya,
“Kakang,
agaknya Kakang telah menunggu anak macan itu menjadi seekor macan yang ganas
dan trengginas. Nah akhirnya pekerjaan Kakang akan menjadi sangat berat.”
Ternyata
kata-kata itu benar. Pekerjaan Radite benar-benar berat. Umbaran telah menambah
ilmunya dengan segala macam ilmu yang didapatnya dari daerah-daerah kelam, dari
pohon-pohon beringin tua, dan relung-relung goa dan dari batu-batu besar dari
bukit-bukit yang suram. Namun Radite pun telah matang pula dengan ilmunya.
Selama ia bersembunyi di antara para petani miskin di Pudak Pungkuran bersama
Anggara, sempat juga mereka menempa diri mendalami ajaran-ajaran gurunya lahir
dan batin. Meskipun mereka menganggap diri mereka telah hilang dari pergaulan
para sakti, namun firasat mereka tetap menuntut untuk menjagai
kemungkinan-kemungkinan, bahwa pada suatu saat mereka masih harus menampakkan
diri. Karena itulah maka kali inipun Radite tidak dapat didesak oleh Umbaran.
Bagaimanapun ganasnya Umbaran, namun dengan tangguhnya Radite melawan hantu
yang terkenal dari alas Mentaok itu. Bahkan akhirnya ternyata bahwa Umbaran
lambat laun harus merasakan betapa dahsyat ilmu yang dimiliki oleh Radite.
Tetapi Umbaran tidak lagi mendapat kesempatan untuk lari. Kalau tatit memancar
di udara, jelas dilihatnya. Anggara, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara berdiri
tegak di halaman itu. Mereka adalah orang-orang yang mengerikan bagi Umbaran.
Mereka adalah orang-orang yang telah terbukti dalam melampaui kesaktian
golongannya. Mahesa Jenar yang telah berhasil membunuh Sima Rodra itu terang
tak dapat dikalahkan sejak di Gedong Sanga, Kebo Kanigara telah berhasil
membunuh Naga Laut yang menamakan diri Nagapasa, sedang Anggara baru saja
membinasakan sahabatnya Sura Sarunggi.
Kini ia
sendiri harus bertempur melawan Radite. Dan ia merasakan betapa tangan lawannya
menjadi sekeras baja dan seberat timah. Setiap sentuhan serasa meremukkan
tulang sungsumnya. Namun demikian, hati Umbaran telah benar-benar dikuasai oleh
iblis. Ia tidak mau melihat kenyataan. Ia tidak mau mendengarkan panggilan
terakhir dari saudara seperguruannya itu. Pada saat-saat terakhir, ternyata
bahwa ia semakin terdesak. Di dalam hujan yang semakin lebat, tampaklah ia
setapak demi setapak terdesak mundur. Meskipun Umbaran berusaha untuk menguasai
keadaan, menyerang dengan dahsyatnya, sedahsyat hujan yang tercurah dari
langit, namun Radite tak ubahnya seperti batu karang yang tegak perkasa, tak
goyah oleh arus air dan angin yang bagaimanapun kencangnya. Meskipun hujan
masih belum surut, namun berangsur-angsur gelap malam menjadi berkurang.
Api di ujung
kota telah lama padam. Dari kejauhan, di sela-sela desir hujan di dedaunan dan
di atap-atap rumah terdengar ayam jantan berkokok bersahutan. Lamat-lamat namun
meyakinkan bahwa hari menjelang pagi. Sesaat kemudian terdengarlah suara riuh
di luar halaman. Agaknya laskar Banyubiru yang telah berhasil mengusir
orang-orang dari golongan hitam yang telah membakar rumah dan banjar-banjar
desa, kini berdatangan di rumah kepala daerahnya. Mendengar suara riuh itu, dan
mendengar ayam jantan yang berkokok di kejauhan, Umbaran menjadi bertambah gelisah.
Seperti ia datang dari kerajaan setan, maka kedatangan fajar sangat
menggelisahkan. Apalagi suara riuh yang semakin lama semakin dekat. Karena
itulah maka akhirnya ia menuntut saat terakhir dari pertempuran itu. Seperti
orang gila ia menyerang sejadi-jadinya. Kini ia tidak memperhitungkan
kemungkinan-kemungkinan yang lain, kecuali nafsu kemarahan dan keputusasaan.
Karena itulah Umbaran mencoba untuk mempergunakan ajiannya Alas Kobar. Ia
mengharap apabila ajinya tak dapat mempengaruhi lawannya atau Mahesa Jenar,
Kebo Kanigara dan Anggara setidak-tidaknya ia akan dapat membunuh Mantingan,
Wilis dan Widuri.
UDARA panas
kembali menyala di halaman itu. Umbaran sengaja mengisar diri mendekati
tempat-tempat mereka berdiri. Mantingan, Wirasaba, Wilis dan Arya Salaka.
Mahesa Jenar terkejut merasakan udara yang panas itu. Demikian juga Kebo
Kanigara. Apalagi Mantingan, Wirasaba dan yang lain-lain. Udara yang panas itu
serasa membakar tubuh mereka di antara air hujan yang dingin. Namun Anggara
tidak membiarkan hal itu terjadi. Segera ia melipat tangan di dadanya,
memusatkan kekuatan batinnya untuk melawan aji Alas Kobar itu dengan kekuatan
batin pula, seperti apa yang telah dilakukan. Bagi Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara, Alas Kobar itu segera mendapat perlawanan dari dalam tubuh mereka,
kekuatan-kekuatan di luar kekuatan jasmaniah yang telah disalurkan oleh
kekuatan aji Sasra Birawa yang mengendap di dalam dada mereka, yang getaran
demi getaran merayap sepanjang urat-urat mereka ke seluruh permukaan tubuh.
Namun mereka belum pernah mempelajari ilmu yang sedemikian, sehingga daya
perlawanannya tidak saja mengalir ke segenap tubuh mereka, namun dapat memancar
mempengaruhi keadaan sekitarnya. Dalam hal ini agaknya Anggara dan Radite
memiliki kelebihan daripada mereka itu. Mereka dapat memancarkan kekuatan
ilmunya, mempengaruhi keadaan di sekitarnya seperti pancaran aji Alas Kobar itu
sendiri. Radite yang pada saat itu sedang bertempur, menjadi cemas. Ia tidak
akan dapat memusatkan kekuatan batin dalam perlawanan aji Alas Kobar dengan
melipat tangan di dadanya. Ia menjadi cemas kalau aji Alas Kobar ini akan
membakar orang-orang yang berdiri di halaman itu.
Karena itu,
dalam saat yang pendek ia harus dapat melawan aji Alas Kobar itu dengan cara
lain. Ia harus mempengaruhi sumber dari udara panas yang membakar halaman itu.
Karena itu ia bertekad untuk melumpuhkan Umbaran pada saat yang pendek. Pada
saat itu pulalah maka terpencarlah ajinya Naga Angkasa. Ilmu gerak yang sukar
dicari bandingnya. Dengan kecepatan seperti petir yang meloncat di langit,
Radite menyerang Umbaran sesaat setelah Umbaran berhasil memancarkan ajinya
Alas Kobar. Serangan yang demikian dahsyatnya, demikian cepat dalam taraf
tertinggi dari ilmunya Naga Angkasa. Yang terjadi kemudian adalah mengejutkan sekali.
Umbaran kehilangan waktu hanya sekejap. Namun yang sekejap itu telah menentukan
segala-galanya. Sebuah sambaran yang dahsyat telah menghantam dadanya. Sambaran
aji Naga Angkasa. Umbaran yang memiliki kesaktian di atas manusia biasa itu
terdorong beberapa langkah surut. Kemudian ia terguling jatuh sambil berteriak
ngeri. Namun sesaat kemudian ia berhasil tegak kembali. Tetapi tiba-tiba ia
menjadi terhuyung-huyung. Bagaimanapun ia berusaha, akhirnya kekuatan
jasmaniahnya tak mengijinkannya lagi. Sehingga kemudian Umbaran itu roboh
kembali di atas tanah yang basah oleh air hujan yang melimpah dari langit.
Namun Umbaran tidak mau mengerti akan keadaannya. Dengan sekuat tenaga ia
berusaha untuk berdiri. Tetapi karena kemampuannya terbatas, maka ia hanya dapat
berguling-guling dan meronta-ronta di atas tanah yang becek penuh lumpur.
Tergetarlah setiap hati yang melihat peristiwa itu. Melihat Umbaran yang sama
sekali tidak ikhlas menerima kenyataan pada dirinya. Radite yang berdiri
beberapa langkah darinya, berdiri tegak dengan nafas yang tegang. Tiba-tiba ia
meloncat maju, namun segala permusuhannya telah lenyap seperti dihanyutkan oleh
air hujan yang seperti dituang dari langit. Dengan hati-hati Radite berusaha
untuk menangkap Umbaran, dan kemudian dengan hati-hati pula ditenangkannya
orang yang telah dibakar oleh nafsunya itu.
Katanya,
“Umbaran, tenanglah.”
Umbaran
menggeram. Ia masih berusaha melepaskan diri. Tetapi ia tidak mampu lagi.
Nafasnya telah memburu dan dadanya menggelombang tak menentu. Ia tidak lagi
dapat berbuat sesuatu ketika Radite meletakkan kepala Umbaran di atas
tangannya. Hanya kakinya sajalah yang menyepak-nyepak dan kepalanya
menyentak-nyentak.
Sekali lagi
terdengar Radite berkata,
“Umbaran,
tenanglah. Tak ada yang perlu kau gelisahkan.”
“Setan!”
terdengar Umbaran menggeram marah. Matanya memancar merah seperti mata harimau.
“Kau kira
bahwa kau dapat mengalahkan aku?”
“Tidak,
Umbaran,” jawab Radite,
“Aku tidak
dapat mengalahkan kau.”
“Kalau
begitu…” kata Umbaran tersengkal-sengkal,
“Kalau begitu,
kau harus berlutut di bawah kakiku dan minta maaf kepadaku sebelum kau kubunuh
mati, kuikat di belakang kaki kuda.”
“Baiklah,
Umbaran, aku minta maaf kepadamu,” sahut Radite. Tiba-tiba Umbaran menjadi agak
tenang. Tetapi kemarahannya masih memancar di matanya. Ketika ia menggerakkan
tangannya, ternyata ia sudah terlalu lemah, namun orang yang telah hanyut dalam
nafsu kebiadaban itu tiba-tiba meludahi muka Radite.
Radite
terkejut. Itu adalah suatu penghinaan bagi laki-laki. Namun ia hanya menarik nafas
dalam-dalam. Sambil kemudian mengusap mukanya dengan lengan bajunya.
Mahesa Jenar,
Kebo Kanigara dan Anggara pun kemudian melangkah mendekati Radite yang
berjongkok di samping Umbaran yang gelisah menghadapi saat-saat yang
mengerikan. Anggara, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun berjongkok pula.
Beberapa langkah darinya tampak Rara Wilis menunduk, sedang Endang Widuri
memalingkan wajahnya. Mereka tidak sampai hati untuk menyaksikan peristiwa yang
mengerikan itu.
KEMUDIAN
terdengarlah suara parau Umbaran yang terputus-putus,
“Kalian mau
mengeroyok aku?”
“Tidak, tidak…
Umbaran,” jawab Anggara.
“Ayo majulah
bersama-sama Radite, Anggara, Mahesa Jenar dan kawanmu itu. Mantingan dan
perempuan-perempuan itu semua bersama-sama. Meskipun kulit kalian berlapis baja
dan nyawa kalian berangkap lima, namun Umbaran tak akan mundur selangkah.”
“Tidak,
Umbaran…” sahut Radite,
“Aku dan
Anggara adalah saudaramu seperguruan.”
“Hem…” Umbaran
mengeram. Nafasnya menjadi semakin cepat mengalir lewat lubang-lubang hidung
serta mulutnya.
Arya Salaka
berdiri tegak seperti tugu. Apa yang disaksikan benar-benar mengaggumkannya.
Suatu pameran keluruhan budi yang tak ada taranya. Radite dan Anggara tampaknya
sama sekali tak mendendam Umbaran, meskipun selama ini Umbaran telah menyulitkannya.
Karena Umbaran lah maka Radite menjadi seorang yang merasa rendah diri dan tak
berarti, yang lebih baik bersembunyi di antara para petani, daripada bergaul
dengan orang-orang sebayanya, para sakti yang sedang mengemban tugas-tugas
kemanusiaan.
Hujan yang
lebat masih saja seperti tercurah dari langit. Dedaunan bergoyang-goyang
karenanya, dengan disertai oleh suara yang gemersik semakin keras. Di regol
halaman berdirilah laskar Banyubiru berjejal-jejal. Mereka berdesakan memasuki
halaman. Namun kemudian mereka tertegun diam ketika mereka melihat halaman
Banyubiru itu dicengkam oleh suasana ngeri yang mendirikan bulu roma.
Mereka masih
sempat melihat dua orang berjubah abu-abu bertempur, kemudian salah seorang
darinya terbanting jatuh dan meronta-ronta di tanah. Ketika beberapa orang
laskar yang berdiri di bagian belakang mendesak maju, pemimpin laskar itu
berteriak,
“Berdiri di
tempatmu!” Arya Salaka dan orang-orang yang berada di halaman itu hanya menoleh
sebentar kepada laskar yang berjejalan itu. Sesaat kemudian kembali
perhatiannya beralih kepada Umbaran.
“Paman…” bisik
Kebo Kanigara kepada Radite,
“Bukankah
lebih baik Umbaran ini dibawa naik ke pendapa?”
Radite
mengangguk-angguk, namun tiba-tiba terdengar Umbaran berteriak,
“Apa? Apa yang
akan kalian lakuan. Menipu aku lalu menusuk dari belakang?”
“Tidak, tidak
Umbaran,” sahut Radite cepat-cepat.
“Marilah kita
naik ke pendapa.”
“Jangan coba
mengelabuhi mataku. Aku adalah calon pemimpin dari seluruh golongan hitam, dan
akulah orang yang pertama-tama harus memiliki Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk
Inten. Kemudian akulah orangnya yang mampu menguasai seluruh tanah perdikan
Banyubiru dan Pamingit. Sebab aku memiliki sipat kandel dari kraton.”
Umbaran itu
tiba-tiba berteriak-teriak. Kini ia benar-benar telah mengigau. Tubuhnya
semakin lama menjadi semakin lemah namun nafasnya masih belum dapat diendapkan,
meskipun agaknya ia telah berada di ambang pintu maut.
“Umbaran…”
bisik Radite,
“Berdoalah,
supaya maksudmu tercapai.”
“Ha…?” jawab
Umbaran,
“Kelinci yang
bodoh. Hanya orang yang tak percaya kepada diri sendiri sajalah yang berdoa.”
“Tuhan
menentukan segala-galanya,” bisik Radite pula,
“Kalau kau
menyebut nama-Nya Yang Agung, kau akan mendapatkan apa yang kau kehendaki.”
Umbaran tidak
menjawab. Tubuhnya menjadi semakin lemah, dan nafasnya menjadi semakin
berdesakan dan terengah-engah. Beberapa kali ia berusaha untuk menelan ludah
dan air hujan yang jatuh di mulutnya. Umbaran masih terbujur di tangan Radite.
Kadang-kadang ia masih meronta untuk mencoba merenggutkan diri dari kekuasaan
maut yang sudah merabanya.
“Di mana Lawa
Ijo…? Tiba-tiba Umbaran berteriak.
“Lawa Ijo
telah meninggalkan kau,” jawab Radite.
“Mati…?”
teriak Umbaran.
“Sura
Sarunggi…?”
“Orang itu
mati pula,” jawab Radite seterusnya.
“Mati. Mati.
Semua orang telah mati. Gila. Tetapi aku tidak akan mati. Aku akan merajai
Nusantara.” Umbaran masih mengigau.
“Berdoalah,”
bisik Radite.
“Apakah kalau
aku berdoa aku akan menjadi raja?” tanya Umbaran yang semakin payah.
“Lebih dari
itu. Kau akan mengenal kerajaan Surga, kerajaan Allah yang jauh lebih indah dan
bahagia daripada kerajaan yang kau impikan itu. Di kerajaan Sorga, kau tak
mengenal dendam dan benci, tak mengenal keserakahan dan ketamakan,” jawab
Radite.
“Aku akan
menjadi raja di sana?” tanya Umbaran dalam desahan nafas yang semakin lambat.
“Semua orang
menjadi raja. Merajai diri sendiri, menguasai nafsu dan dosa. Pekerjaan yang
paling sulit dilakukan di dunia ini. Merajai diri sendiri, menguasai nafsu dan
dosa. Jauh lebih sulit daripada merajai orang lain, meskipun beribu-ribu bahkan
berjuta-juta. Di kerajaan Sorga, kau akan dapat melakukannya,” bisik Radite.
“Sebutlah nama
Tuhan, mohonlah ampunan supaya kau ikut di dalam daerah kerajaan-Nya,” desak
Radite.
Umbaran
mencoba menarik nafas. Lambat-lambat ia berkata,
“Aku akan
berdoa.”
“Sebutlah nama
Tuhan, mohonlah ampun supaya kau ikut di dalam daerah kerajaan-Nya,” desak
Radite lagi.
Umbaran
menjadi semakin payah. Mulutnya tampak bergerak-gerak, namun tak terdengar
suaranya. Kini ia menjadi tenang. Ia tidak lagi berusaha melawan maut.
Perlawanan yang tak akan berarti. Sebab maut adalah di luar kemampuan manusia
untuk mencegahnya apabila ia datang. Radite menjadi berdebar-debar, demikian
juga orang-orang lain yang menyaksikan. Mereka tidak tahu apa yang diucapkan
oleh Umbaran itu, namun mereka mengharap agar Umbaran dapat mengurangi
dosa-dosanya.
Terdengarlah
Radite berbisik,
“Mudah-mudahan
ia berdoa.”
Pada saat
itulah nafas terakhir meluncur dari hidung Umbaran. Namun ia tidak meronta-ronta
lagi. Kepalanya di tangan Radite itu kemudian terkulai lemah. Kepala dan wajah
tampannya yang selama ini selalu dilapisi dengan topengnya yang kasar dan
jelek. Umbaran telah tidak ada lagi, setelah lebih dari setengah abad ia
tenggelam dalam arus nafsunya yang melonjak-lonjak. Kebencian yang berakar di
dalam relung-relung hatinya, telah memancar dengan ungkapan yang mengerikan.
Radite menundukkan wajahnya. Ia merasa bahwa ia ikut serta membebani Umbaran
dengan dosa-dosa. Ia merasa bahwa ia telah ikut serta menodai nama Pasingsingan
yang telah disemarakkan oleh gurunya dan sebagian dari jerih payahnya. Tetapi
ia tidak tahu, bahwa di dalam dada Umbaran tersimpan hati yang hitam, sehitam
malam yang paling gelap. Ia tidak tahu. Tak seorangpun yang tahu, bahkan
gurunyapun tidak. Seandainya gurunya mengetahuinya, pasti ia tidak akan
menerimanya sebagai muridnya.
Sesaat suasana
menjadi hening. Hanya titik-titik air hujan sajalah yang terdengar mengusik
sepi. Cahaya fajar di timur telah merayap semakin tinggi, dan gelap malam pun
mulai disingkirkan. Tak hanya Arya Salaka yang menjadi kagum, namun juga Mahesa
Jenar dan Kebo Kanigara menundukkan kepalanya. Mereka menyatakan hormat
setinggi-tingginya di dalam hati. Radite tidak membiarkan musuhnya mati dalam
kegelapan. Tetapi ia telah berusaha untuk menunjukkan jalan kembali, ke daerah
pelukan tangan Yang Maha Pengasih. Sesaat kemudian, diangkatlah mayat yang beku
dingin itu ke pendapa. Kemudian diletakkan membujur ke utara di atas tikar
pandan di tengah-tengah pendapa itu. Pada saat itulah Mantingan, Wirasaba,
Wanamerta dan yang lain-lain seakan-akan terlepas dari suatu ikatan yang erat
membelit tubuhnya.
Mereka
kemudian bergegas-gegas melangkah naik ke pendapa dan duduk di belakang mereka
yang telah mengangkat mayat itu, yaitu Radite, Anggara, Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara. Hanya Arya Salaka yang melangkah ke regol halaman, menerima pemimpin
laskarnya yang akan memberikan laporan kepadanya.
“Terima
kasih,” jawab Arya Salaka setelah laporan itu selesai.
“Beristirahatlah
kalian. Tetapi jangan hilang kewaspadaan. Tempatkan penjagaan-penjagaan di
setiap jalan masuk. Rawat kawanmu baik-bak. Nanti aku akan datang ke
perkemahanmu.”
Laskar itupun
kemudian meninggalkan halaman itu, kembali ke perkemahan mereka untuk beristirahat.
Meskipun demikian senjata-senjata mereka tidak terlepas dari genggaman, sebab
setiap saat keadaan akan dapat berubah-ubah.
Ketika laskar
Banyubiru itu telah hilang di balik dinding halaman, Arya Salaka pun kemudian
menyusul naik ke pendapa, dan duduk di belakang gurunya. Hujan pun semakin lama
semakin tipis, sejalan dengan cahaya terang yang memancar di ufuk timur.
Banyubiru yang terletak di lereng Bukit Telamaya itu seakan-akan mulai
memancarkan cahaya yang cerah, secerah cahaya matahari pagi. Awan di langit
perlahan-lahan hanyut dibawa angin yang bertiup dari pegunungan. Dalam
keheningan itu terdengar Arya berbisik kepada gurunya,
“Paman, apakah
kita tidak perlu melihat garis pertempuran di Pangrantunan?”
Mahesa Jenar
berpikir sejenak, kemudian ia menjawab,
“Menurut
pertimbanganku, keadaan kini tidak lagi terlalu berbahaya, Arya. Kita tidak
tergesa-gesa lagi, meskipun lebih baik kalau hari ini kita pergi. Tetapi
menurut perhitunganku, tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam itu telah sebagian
besar lenyap, Sima Rodra, Nagapasa, Sura Sarunggi dan Umbaran telah tak ada
lagi.
Yang tinggal
adalah Bugel Kaliki dan Jaka Soka.” Arya Salaka mengangguk-angguk. Demikin juga
Kebo Kanigara. Namun dengan demikian mereka teringat akan kehadiran Jaka Soka
di halaman ini malam tadi.
Sehingga
terloncat dari mulut Endang Widuri,
“Paman, Jaka
Soka tadi malam telah datang menjemput Bibi.”
Agaknya gadis
itu telah mulai dengan kenakalannya kembali setelah segala sesuatu menjadi
lebih tenang dan tidak menegangkan hati.
“Ah…” desah
Rara Wilis. Tetapi ia tidak melanjutkan lagi, sedang Mahesa Jenar pun hanya
tersenyum saja.
RADITE dan
Anggara masih dalam keadaan seperti semula. Mereka menekuni mayat Umbaran
seperti menekuni mayat saudara sendiri. Terkenanglah di dalam hati mereka,
masa-masa lampau di perguruan Pasingsingan. Meskipun mereka tidak pernah
mengalami suatu masa bergurau bersama-sama, namun terasa bahwa mereka
bersama-sama telah meneguk air dari sumber yang sama. Namun demikian, terasa
pula oleh mereka, bahwa tak seorang manusiapun yang sempurna. Pasingsingan
sepuh adalah orang yang mumpuni putus segala macam ilmu lahir dan batin. Namun
ia adalah manusia biasa. Manusia yang kerdil dan kecil. Manusia yang kesinungan
sifat khilaf dan alpa. Manusia yang pengetahuannya sangat terbatas. Karena itu
maka Pasingsingan berbuat salah. Ia telah menerima Umbaran itu berkhianat.
Menodai nama baik perguruannya. Mau tidak mau, noda itu akan terpercik kepada
saudara-saudara seperguruannya, Radite dan Anggara. Bahkan noda itu akan terpercik
ke gurunya pula. Tetapi tangan Radite telah bergerak dalam usahanya
menghentikan pengkhianatan itu. Umbaran telah dibunuhnya dengan ilmu yang pada
dasarnya diterima dari gurunya, seperti ilmu Umbaran itu sendiri. Sebab
belumlah pasti bahwa orang lain akan mampu membunuhnya. Melihat mereka, Radite
dan Anggara masih tenggelam dalam kemuraman. Widuri menyela. Iapun kemudian
berdiam diri sambil menundukkan wajahnya. Sehingga untuk beberapa saat pendapa
itu kembali menjadi sepi. Baru beberapa saat kemudian terdengar Mahesa Jenar
berkata,
“Arya,
suruhlah beberapa orang merawat mayat Sura Sarunggi dan orang-orang yang lain.
Kuburlah di tempat yang seharusnya, supaya bersihlah tangan kita dari
noda-nodanya.”
Arya Salaka
pun segera berdiri, menemui beberapa orang di gardu penjagaan yang nampaknya
masih sangat payah meskipun mereka tidak berbuat sesuatu. Beberapa kawan-kawan
mereka yang terlukapun telah mereka rawat sebaik-baiknya. Kepada mereka, Arya
memerintahkan untuk memanggil beberapa orang lain, untuk bersama-sama
menyelenggarakan penguburan mayat Sura Sarunggi dan kawan-kawannya. Kemudian
ketika Arya kembali ke pendapa, didengarnya Radite berkata,
“Anakmas
Mahesa Jenar. Kalau Anakmas tidak keberatan, biarlah mayat Umbaran ini aku bawa
ke Pudak Pungkuran.”
Mahesa Jenar
mengangkat dahinya. Sambil mengangguk-angguk kecil ia bertanya,
“Kenapa mesti
di bawa ke Pudak Pungkuran? Kami di sini pun akan bersedia melaksanakan
penguburannya seperti yang Paman kehendaki.”
“Anakmas…”
sahut Radite,
“Umbaran
adalah saudara seperguruanku. Akulah yang mempunyai kewajiban atas
segala-galanya. Meskipun ia terbunuh oleh tanganku, namun biarlah aku dapat
menunjukkan kuburnya seandainya pada suatu saat guru datang bertanya kepadaku,
di mana Umbaran. Sebab sesaat nanti, guru pasti sudah mendengar berita tentang
kematian Pasingsingan. Dan guru pasti akan mencari aku untuk menanyakannya.
Sebab Pasingsingan itu terbunuh oleh Pasingsingan pula.”
“Kalau
demikian…” jawab Mahesa Jenar, “Terserahlah kepada Paman.”
“Terimakasih
Anakmas,” jawab Radite,
“Mudah-mudahan
dengan lenyapnya Umbaran, noda-noda yang melekat pada perguruan Pasingsingan
akan tidak bertambah lagi.”
“Paman…” jawab
Mahesa Jenar,
“Setiap orang
akan mengetahui, bahwa bukan Pasingsingan Sepuh lah yang bersalah, juga bukan
Pasingsingan yang lain yang bersalah, tetapi Umbaran, manusia yang bernama
Umbaran itulah yang berdosa. Dan ia telah menerima hukumannya.”
Kembali mereka
berdiam diri. Sesaat kemudian kembali Mahesa Jenar minta agar Arya Salaka
menyediakan beberapa orang dan engkrak yang akan mengatar Radite dan Anggara
kembali ke Pudak Pungkuran dengan membawa mayat Umbaran.
Ketika
matahari memanjat kaki langit sepenggalah, maka Radite dan Anggara itu segera
minta diri, katanya,
“Anakmas,
barangkali masih ada pekerjaan lain yang harus Anakmas kerjakan. Pekerjaan yang
lebih penting daripada menemui aku di sini. Karena itu, aku minta diri, kembali
ke Pudak Pungkuran dengan mayat Umbaran.”
Radite dan
Anggara tak dapat dicegah lagi. Karena itu segera merekapun berangkat beserta
beberapa orang yang menyertainya mengusung Umbaran.
“Lain kali aku
datang lagi,” kata Radite,
“Dalam
kesempatan yang lebih baik. Syukurlah kalau aku nanti berkesempatan bertemu
dengan eyangnya Arya Salaka, Ki Ageng Sora Dipayana. Tetapi orang tua itu pasti
tak akan mengenal aku, sebab yang dikenalnya adalah topeng kasar yang jelek
itu.”
“Baiklah
Eyang,” sahut Arya Salaka,
“Aku akan
sampaikan kepada Eyang Sora Dipayana bahwa seseorang yang tak dikenal akan
menemuinya.”
Kemudian
berjalanlah iring-iringan itu meninggalkan Banyubiru, berjalan menyusur
jalan-jalan kota, ke arah timur.
Mahesa Jenar,
Kebo Kanigara, Arya Salaka dan orang-orang lain mengantar mereka sampai
beberapa langkah ke luar alun-alun Banyubiru. Ketika iring-iringan itu telah
hilang di kelokkan jalan, maka mereka kembali ke pendapa duduk melingkar di
atas tikar pandan. Mantingan menceriterakan apa yang dilihatnya, sejak awal
sampai akhir. Sejak ia melihat daun yang bergoyang-goyang, muncullah Wadas
Gunung, Lawa Ijo dan Jaka Soka. Kemudian Pasingsingan dan Sura Sarunggi.
Disusul dengan hadirnya dua orang yang menyerupai Pasingsingan pula. Mahesa
Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka mendengarkan ceritera itu dengan hati yang
berdebar-debar. Akhirnya mereka mengucap syukur bahwa Tuhan telah berkenan menyelamatkan
orang-orang yang berada di pendapa itu.
SEHARI itu
mereka beristirahat di Banyubiru. Mereka tidak perlu mencemaskan nasib
Pangrantunan. Di sana masih ada Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas,
Titis Anganten dan laskar yang masih cukup kuat. Nanti apabila matahari telah
condong dan panas sudah tidak terasa membakar tubuh mereka di perjalanan,
mereka baru akan berangkat ke Pangrantunan. Sehari itu, baik Arya Salaka, Rara
Wilis maupun Endang Widuri seakan-akan masih dibayangi oleh bahaya-bahaya yang
selalu mengancam mereka. Sebaliknya Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar pun merasa
bahwa mereka tidak sampai hati untuk melepaskan mereka yang masih dibayangi
oleh kecemasan itu duduk sendiri dengan gelisah.
Widuri,
seperti anak-anak yang takut ditinggal pergi oleh ayahnya, selalu mengikutinya
ke mana ayahnya pergi. Kebo Kanigara menjadi geli karenanya, meskipun ia dapat
merasakan betapa pengaruh keadaan semalam telah sedemikian dalam membekas di
dalam dada anaknya itu. Karena itu sambil tertawa ia berkata,
“Widuri,
kenapa kau membayangi aku terus-menerus? Apakah aku menjanjikan sesuatu
kepadamu?”
“Ah….” Widuri
mengeluh. Ia sadar bahwa ia masih terpengaruh oleh kecemasan yang mencengkam
seluruh jiwanya semalam.
“Apakah kau
kira aku menyembunyikan kain sutera berwarna hijau seperti yang kau
impi-impikan?” tanya ayahnya pula.
“Ah….” Kembali
Widuri berdesis. Tetapi sebagai anak yang manja justru ia berkata,
“Tentu. Tentu
ayah menyembunyikan kain sutera berwarna hijau. Bukankah ayah sanggup
membelikan buat aku? Janji ayah telah lebih setahun yang lalu.”
Kebo Kanigara
tertawa. Mereka hanya bergurau, sebab Widuri pun sadar bahwa ayahnya tidak akan
mampu membeli kain sutera berwarna hijau yang mahal. Namun di ruang itu, Arya
Salaka mendengar kelakar itu. Tiba-tiba saja merayap di dalam hatinya suatu
janji, apabila nanti ia dapat menggarap sawah dan tegalannya di Banyubiru
seperti masa-masa lampau, maka hasilnya pasti cukup untuk membeli kain sutera
berwarna hijau. Meskipun ia tidak tahu, apakah Widuri akan menerimanya,
seandainya ia nanti memberikannya.
“Gila!”
hatinya membantah sendiri,
“Kenapa aku
ribut-ribut tentang kain sutera berwarna hijau? Bukankah sekarang kita sedang
menghadapi saat-saat terakhir yang menentukan?”
“Apa
salahnya…? Jauh di dalam hatinya terdengar suara lain. Arya
menggeleng-gelengkan kepalanya, mengusir perasaan yang berdebat di dalam
hatinya. Kemudian untuk melenyapkan perasaan itu ia berkata kepada gurunya yang
duduk di hadapannya, “Paman, siapakah sebenarnya dua orang yang berpakaian
mirip dengan Pasingsingan itu? Agaknya Paman telah mengenal mereka dengan
baik.”
Mahesa Jenar
mengangguk-angguk.
“Ya, aku telah
mengenal mereka,” jawab Mahesa Jenar.
“Mereka adalah
saudara-saudara seperguruan Pasingsingan, guru Lawa Ijo, yang sebenarnya bernama
Umbaran.”
Seterusnya
Mahesa Jenar menceriterakan beberapa hal mengenai Radite dan Anggara. Widuri
yang mendengar segera berlari-lari ikut serta mendengarkan ceritera itu.
Disamping Mantingan, Wirasaba, Wanamerta dan Sendang Parapat. Kanigara pun kemudian
duduk bersama mereka.
“Mereka adalah
orang-orang yang luar biasa, yang selama ini tekun mendalami ilmunya. Namun
mereka menyembunyikan diri mereka di antara para petani miskin di Pudak
Pungkuran, ketika mereka mereka merasa bahwa mereka telah berbuat suatu
kesalahan”.
Arya Salaka
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi dalam hatinya ia sedang sibuk menjajagi
kedua orang yang bernama Radite dan Anggara itu dengan gurunya. Gurunya pun
dahulu tak dapat dikalahkan oleh Pasingsingan di Gedong Sanga, dan kemudian
ternyata gurunya berhasil membunuh Sima Rodra. Juga Kebo Kanigara berhasil
membunuh Nagapasa. Dengan demikian Arya Salaka mendapat kesimpulan bahwa
setidak-tidaknya gurunya memiliki ilmu setingkat dengan Radite dan Anggara.
Memang
sebenarnyalah demikian. Namun Arya belum mendengar bahwa Kebo Kanigara dan
Mahesa Jenar benar-benar pernah mencoba menjajagi ilmu kedua orang itu. Mahesa
Jenar dan Kebo Kanigara pernah bertempur melawan Radite dan Anggara pada saat
mereka mencoba untuk menemukan jawaban tentang Pasingsingan sepuh di Pudak
Pungkuran. Pada saat itu ternyata bahwa mereka terpaksa memuji ketangguhan
masing-masing. Demikianlah mereka sehari-hari itu beristirahat di Banyubiru.
Ketika matahari sudah semakin rendah, maka Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya
Salaka pun mempersiapkan diri untuk kembali ke Pangrantunan. Namun mereka kini
sudah tidak gelisah lagi, sebab mereka sudah yakin bahwa golongan hitam akan
dapat mereka hancurkan. Tetapi kali ini Widuri tidak mau ditinggalkan oleh
ayahnya. Bukan karena ia takut, tetapi anak itu benar-benar ingin melihat apa
yang terjadi di Pangrantunan. Kali ini Kebo Kanigara tak dapat menolaknya.
Widuri terpaksa ikut serta dalam rombongan itu. Karena kemudian Rara Wilis tak
mempunyai kawan lagi apabila ia tinggal di Banyubiru, iapun memutuskan untuk
ikut serta di dalam rombongan, apalagi ketika ia tahu bahwa Ki Ageng Pandan
Alas berada di Pangrantunan. Dengan demikian ia akan dapat melepaskan rindunya
kepada satu-satunya keluarga yang masih ada. Hanya Mantingan, Wirasaba dan
Wanamerta beserta Sendang Parapat yang terpaksa tinggal di Banyubiru. Mereka
mendapat pesan, apabila ada kekalutan supaya langsung memberitahukan ke
Pangrantunan atau Pamingit. Mahesa Jenar menduga bahwa Jaka Soka tak akan
datang kembali ke Banyubiru sebab ia sudah tak memiliki kekuatan lagi. Gurunya
sudah meninggal dan laskarnya pun tak akan mencukupi. Sedang Bugel Kaliki
adalah seorang yang berdiri sendiri. Seorang diri, tanpa laskar dan tanpa
pengikut. Menurut perhitungan Mahesa Jenar, orang itupun tak akan datang..
AGAKNYA orang
bongkok dari lembah gunung Cerme itu telah kehilangan nafsunya untuk mencari
Nagasasra dan Sabuk Inten. Atau barangkali justru mempunyai perhitungan lain.
Dibiarkannya kawan-kawannya atau lawan-lawannya binasa. Kemudian ia akan dengan
leluasa berbuat sendiri, menemukan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.
Sementara itu golongan hitam telah kehilangan pemimpin-pemimpin mereka.
“Kalau Bugel
Kaliki itu datang kemari…” kata Mahesa Jenar kemudian,
“Jangan
layani. Biarlah ia berbuat sesuatu. Ia hanya memerlukan Nagasasra dan Sabuk
Inten. Dahulu ia pun pernah mengaduk rumah ini, namun ia tidak menemukan
apa-apa.”
Mantingan
mendengarkan pesan Mahesa Jenar dengan baik. Demikian juga Wirasaba, Wanamerta
dan Sendang Parapat. Namun dengan demikian terbayang juga di dalam hati mereka
bahwa cahaya yang cerah telah mulai memancar di atas tanah perdikan Banyubiru.
Awan yang
kelam perlahan-lahan hanyut dibawa oleh angin yang berhembus tak
henti-hentinya. Mantingan jadi teringat pada ceritera-ceritera pewayangan yang
sering dibawakannya apabila ia sedang duduk bersila di belakang layar putih.
Bahwa betapapun kejahatan itu berkuasa, namun akhirnya kebenaranlah yang akan
menang. Sebab kebenaran adalah pancaran dari kehendak Yang Maha Kuasa.
Ketika semua
sudah siap, maka segera mereka naik ke punggung kuda. Wilis pun kini telah
biasa naik kuda, sedang Widuri karena kenakalannya, ia tidak kalah tangkasnya
dengan setiap laki-laki. Ia berani berbuat hal-hal yang aneh-aneh di atas
punggung kuda. Bahkan kadang-kadang sampai gerak-gerak yang berbahaya. Tetapi
ia tertawa saja apabila ayahnya memperingatkannya.
Maka setelah
sekali lagi mereka mohon diri kepada tetua tanah perdikan Banyubiru, Ki
Wanamerta beserta Mantingan, Wirasaba dan Sendang Parapat, bergeraklah
kuda-kuda itu meninggalkan halaman. Tetapi ketika Arya Salaka hampir sampai di
muka regol, tiba-tiba ia menarik kekang kudannya, sehingga kuda itupun
berhenti.
“Ada apa
Arya?” tanya gurunya, dan semua matapun memandang ke arahnya.
“Pisau,” jawab
Arya sambil menunjuk ke pohon sawo yang tumbuh di samping regol. Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara menarik nafas. Dua bilah pisau menancap di pohon itu.
Kedua-duanya berwarna kuning kemilau.
“Kyai Suluh,”
desis Mahesa Jenar,
“Ambillah
Arya.”
Arya segera
meloncat turun dari kudanya. Dengan cekatan, ia memanjat pohon sawo itu
beberapa depa. Kemudian diambilnya kedua-duanya. Kedua pisau itu benar-benar
mirip satu sama lain, sehingga Arya tak mampu membedakannya.
“Adakah Kyai
Suluh itu lebih dari satu?” tanya Arya.
Mahesa Jenar
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Entahlah,”
jawabnya.
“Cobalah
Arya,” pinta Kebo Kanigara.
Arya segera
menyerahkan kedua pisau belati itu. Mantingan pun kemudian berdiri pula di
samping Kebo Kanigara. Sebagai seorang dalang banyaklah diketahuinya mengenai
batu-batuan dan biji-biji besi. Ia senang mempelajarinya. Juga perasaannya yang
lembut, dengan mudahnya dapat menangkap setiap getaran yang memancar dari
besi-besi aji.
Kanigara pun
agaknya memiliki pengetahuan yang serupa, sehingga akhirnya ia berkata,
“Inilah yang
asli.”
Mantingan
mengangguk.
“Kakang benar.
Aku juga menyangka demikian. Sedang yang lain adalah keturunannya, meskipun
keturunannya itupun memiliki kekuatan-kekuatan yang mirip dengan aslinya.”
“Kyai Suluh
adalah pusaka yang mempunyai daya kekuatan yang luar biasa.”
Kanigara
meneruskan,
“Pengaruhnya
atas ketabahan hati serta keberanian dapat diandalkan. Sayang, pengaruh itu
pada Umbaran mendapat arah yang salah. Aku kagum akan ketabahan hati serta
keberanian Umbaran, namun aku menyesalkan atas tujuan yang akan dicapainya.”
Tak seorangpun
yang menyahut. Semua membenarkan kata-kata itu, Umbaran telah menyalahgunakan
kekuatan yang tersimpan di dalam pusaka Pasingsingan itu.
“Mahesa
Jenar…” kata Kebo Kanigara,
“Siapakah yang
berhak menerima pisau-pisau ini?”
“Paman Radite
dan Anggara,” jawab Mahesa Jenar.
“Mereka tak
memerlukan lagi,” sahut Kebo Kanigara,
“Ternyata
mereka membiarkan kedua pusaka ini berada di halaman Banyubiru. Bukankah
maksudnya untuk menyerahkan pusaka-pusaka ini kepada penguasa Banyubiru?”
“Mudah-mudahan,”
jawab Mahesa Jenar.
“Setidak-tidaknya
pusaka-pusaka itu dapat dipinjam. Apabila nanti diperlukan, biarlah keduanya
dikembalikan.”
“Baiklah,”
kata Kebo Kanigara,
“Agaknya Arya
Salaka yang wajib menyimpannya.”
Mahesa Jenar
menatap wajah Arya Salaka yang berdiri dua langkah di muka Kebo Kanigara. Wajah
yang merah kehitam-hitaman dibakar oleh terik matahari di tengah-tengah
perjalanan, di tengah-tengah sawah dan tegalan, di hutan dan di lautan. Namun
dari wajah yang kasar itu memancar ketulusan serta kejujuran dan penderitaan
murni. Anak yang hidup di tengah-tengah badai kesulitan dan penderitaan itu
benar-benar memiliki kesederhanaan berpikir, meskipun otaknya cukup cerdas.
Mendengar perkataan Kebo Kanigara itu Mahesa Jenar ikut bergembira, segembira
Arya Salaka sendiri. Pusaka semacam itu adalah pusaka yang sulit dicari. Kini
Arya akan menerimanya, meskipun belum pasti bahwa pusaka itu akan dimiliki
untuk seterusnya.
“Arya…”
terdengar Kebo Kanigara meneruskan,
“Simpanlah
pusaka ini. Mudah-mudahan akan bermanfaat bagimu. Ketabahan serta keberanian
akan memancar ke dalam hatimu. Namun apa yang telah terjadi dapatlah menjadi
peringatan bagimu. Umbaran telah berusaha untuk mempergunakan pusaka itu dalam
perjalanannya yang sesat.”
DADA Arya
menjadi berdebar-debar. Ia maju selangkah, dan dengan tangan yang gemetar
diterimanya Kiai Suluh dari tangan Kebo Kanigara, yang berkata pula,
“Kau telah
memiliki salah satu dari kebesaran-kebesaran yang pernah dimiliki oleh
Pasingsingan.”
“Aku akan
selalu mengingatnya, Paman,” jawab Arya Salaka.
“Apa yang
telah terjadi dengan Umbaran.” Tiba-tiba terdengar Widuri menyela,
“Ayah, aku
juga punya cincin yang bermata merah menyala.”
“Kelabang
Sayuta…” desis Mahesa Jenar.
“Ya,” jawab
Widuri,
“Lawa Ijo
menamakannya demikian.”
“Dari manakah
kau mendapat cincin itu?” tanya ayahnya.
“Lawa Ijo,”
sahut Widuri. Kemudian ia pun menceriterakan tentang Lawa Ijo. Tentang anak
perempuannya yang mati dan tentang prangsangkanya yang salah terhadap istrinya.
Kebo Kanigara,
Mahesa Jenar dan Arya Salaka pun mendengarkan ceritera itu dengan seksama.
Agaknya Lawa Ijo telah menjadi korban keadaan seperti Umbaran. Menjadi korban
keadaan di sekitarnya. Keluarganya, ruang pergaulan dan sahabat-sahabatnya.
Bahkan mungkin, selain mereka masih ada lagi berpuluh-puluh, malahan
beratus-ratus orang yang menjadi korban seperti itu. Mungkin dalam pergaulan
dengan sahabat-sahabatnya, mungkin dalam keadaan yang tak serasi di dalam rumah
tangga dan orang tuanya atau mungkin keadaan yang sumbang di perguruannya.
Sehingga untuk menjadi manusia yang baik diperlukan panilikan atas tiga daerah
hidup manusia sejak masa kanak-kanaknya, yaitu keluarga, lingkungan pergaulan
dan tempat mereka menempa diri, yaitu perguruan-perguruan.
No comments:
Post a Comment