NAMUN tiba-tiba di antara mereka terdengar suara Mantingan bergumam,
“Takdir telah
menentukan atas kedua pusaka itu.”
Semua orang
menoleh kepadanya. Di antara mereka ada yang bertanya-tanya di dalam hati.
Tetapi Mantingan tidak meneruskan kata-katanya. Hanya Kebo Kanigara, Mahesa
Jenar dan Wanamerta lah yang menangkap maksud kata-kata itu. Kata-kata yang
terlanjur melontar demikian saja dari mulut Mantingan, sehingga dengan demikian
Mantingan sendiri agak menyesal karenanya. Namun ketika dilihatnya Kebo
Kanigara dan Mahesa Jenar tersenyum, Mantingan ikut tersenyum pula. Malahan
Kiai Wanamerta berkata perlahan-lahan,
“Kami
orang-orang tua hanya berdoa, semoga anak-anak muda mendapat jalan terang.”
Yang lain tak
dapat mengerti apa yang mereka maksudkan. Arya Salaka, Widuri, bahkan Rara
Wilis menyangka bahwa Wanamerta sedang berdoa untuk kemenangan mereka melawan
orang-orang dari golongan hitam. Namun sebagai seorang ayah, Kebo Kanigara
berpikir,
“Apakah kedua
pusaka, yang masing-masing berada di tangan Arya dan Endang Widuri itu akan
menjadi perlambang dan menentukan jalan hidup mereka?”
Tetapi ia
tidak berkata apa-apa. Mahesa Jenar tidak berkata apa-apa. Malahan kemudian
kembali mereka teringat kepada perjalanan yang akan mereka tempuh, sehingga
dengan demikian kembali Mahesa Jenar mohon diri untuk meneruskan perjalanan
itu. Maka merekapun segera berkemas. Kyai Suluh kini berada di pinggang Arya Salaka,
sedang tangannya masih menggenggam tombak Banyubiru.
Sedang pusaka
keturunan Kyai Suluh masih di bawa oleh Kebo Kanigara. Meskipun ia sendiri
tidak memerlukannya, namun belum ada orang yang akan diserahinya untuk
menyimpan pusaka itu. Di sepanjang perjalanan, Kebo Kanigara berusaha untuk
dapat menasehati putrinya mengenai Kelabang Sayuta itu.
Seperti juga
Kyai Suluh, Kelabang Sayuta adalah batu akik yang mempunyai pengaruh yang jelas
kepada pemiliknya. Akik itu akan dapat mempengaruhi keuletan dan keterampilan
berpikir. Rombongan itu berjalan dengan kecepatan sedang. Paling depan tampak
Arya Salaka di atas kuda hitam, kemudian Rara Wilis dan Endang Widuri yang
menjajarinya. Di belakang mereka, berkuda berdua Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara. Mereka kini merasa bahwa sebagian dari pekerjaan mereka yang terberat
sudah selesai. Golongan hitam telah 8 dari 10 bagian hancur. Lebih dari itu,
bagi Mahesa Jenar yang paling membesarkan hatinya, adalah sikap Lembu Sora.
Agaknya Ki Ageng Lembu Sora telah menyadari kesalahan-kesalahan yang pernah
dilakukannya. Agaknya orang itu telah menemukan jalan untuk kembali. Kembali
kepada Tuhan, dan kembali kepada kesadaran diri atas segala ketamakan dan
keserakahannya. Matahari semakin lama menjadi semakin rendah, seakan-akan kini
bola langit itu bertengger di atas pegunungan di sebelah barat. Sinarnya yang
kemerah-merahan memancar ke segenap arah, ke wajah langit dan ke wajah bumi.
Daun-daun yang hijau menjadi semburat merah. Namun cahaya merah itupun semakin
lama semakin pudar. Akhirnya tinggal menyangkut di ujung-ujung daun hijau di
lereng-lereng bukit, untuk seterusnya tenggelam di balik pegunungan. Di langit
kini bermunculan bintang-bintang. Satu demi satu. Namun akhirnya jumlahnya tak
terhitung lagi. Bintang-bintang berpencaran dari ujung langit ke ujung yang
lain. Awan yang kelabu sehelai-helai mengalir ke utara. Yang kemudian
seakan-akan berkumpul menjadi satu. Awan-awan yang basah itu kemudian menjadi
semakin tebal dan menjadilah lapisan mendung di langit yang luas.
Rombongan
kecil itu mempercepat perjalanan mereka. Mereka takut kehujanan. Semalam,
hampir seperempat malam mereka membiarkan diri mereka terbenam dalam hujan yang
lebat. Kini mereka tidak ingin kedinginan lagi. Lebih baik berbaring di samping
perapian sambil merebus ketela pohon daripada harus menempuh perjalanan di
hujan yang dingin.
BEBERAPA saat
kemudian tampaklah di kejauhan api yang menyala. Agaknya itu adalah perapian
dari anak-anak Pamingit atau Banyubiru di Pangrantunan. Karena itu kuda mereka
berlari semakin cepat. Perapian itu tampaknya hanya satu dua saja. Tidak
seperti kemarin. Berpuluh-puluh di sekitar desa Pangrantunan. Ketika kuda Arya
memasuki daerah itu, ia benar-benar terkejut. Yang dilihatnya hanyalah beberapa
kelompok orang-orang yang sedang menghangatkan diri. Ke manakah laskar Pamingit
dan Banyubiru yang banyak itu? Arya menarik kekang kudanya. Ia berhenti agak
jauh dari desa. Wilis dan Widuri pun berhenti pula. Tetapi Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara mendahuluinya sampai ke tempat Arya Salaka berhenti.
“Kenapa sesepi
ini, Paman…?” bisik Arya. Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar mengamati keadaan
dengan seksama. Kata Mahesa Jenar, “Apakah orang-orang itu orang-orang Pamingit
atau Banyubiru…?”
“Entahlah,”
jawab Arya. Kembali mereka berdiam diri. Dengan tajamnya Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara mencoba untuk mengetahui apa yang sedang dihadapinya. Juga orang-orang
yang kemudian berdiri di samping perapian itu. Apakah mereka kawan apakah
lawan. Sedang orang-orang yang berada di perapian itu pun bersiaga ketika
mereka mengetahui ada rombongan orang-orang berkuda datang ke dekat mereka.
Mahesa Jenar mendorong kudanya beberapa langkah maju. Dan orang-orang di tepi
perapian itupun menyongsongnya dengan tombak yang tunduk.
“Siapakah
kalian?” tanya salah seorang dari mereka. Mahesa Jenar tidak segera menjawab.
Ia membiarkan orang-orang itu menjadi semakin dekat.
“Siapakah
kalian…?” terdengar kembali pertanyaan salah seorang dari mereka.
Kini Mahesa
Jenar tidak ragu-ragu lagi. Menilik bayangan pakaian yang melekat di tubuh
mereka, pastilah mereka bukan dari golongan hitam. Karena itu ia menyahut,
“Mahesa Jenar
bersama Arya Salaka dan rombongan.”
“O….” sahut
orang itu, dan tombak mereka menjadi semakin tunduk.
“Laskar
manakah kau?” tanya Mahesa Jenar kemudian.
“Pamingit,”
jawab orang itu,
“Kami mendapat
tugas untuk menanti kedatangan Tuan.”
Mahesa Jenar
menjadi berlega hati. Dengan isyarat tangan ia memanggil Arya, Wilis dan
Widuri. Segera mereka pun mendekat.
“Kenapa sepi?”
tanya Arya Salaka.
“Silahkanlah
Tuan singgah sebentar. Kami mendapat tugas untuk menanti Tuan-tuan dan membawa
Tuan-tuan ke induk pasukan,” jawab orang itu.
Namun
nampaknya orang itu sedemikian tenang sehingga Arya Salaka, Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara mendapat kesan yang baik. Mahesa Jenar beserta rombongannya
kemudian mengikuti orang yang mempersilahkan itu. Mereka dibawa ke pondok yang
semula dipergunakan untuk Ki Ageng Sora Dipayana selagi memegang pimpinan
pertempuran.
Ketika mereka
memasuki halaman, muncullah seseorang di muka pintu pondok itu. Dengan bergegas
dan hormat ia berkata, “Silahkan Tuan-tuan.” Arya Salaka dan rombongan, telah
mengenal orang itu, Wulungan.
Karena itu
Arya Salaka menjadi semakin tenang dan tidak berprasangka. Maka segera mereka
meloncat turun dari kuda-kuda mereka dan langsung masuk ke dalam pondok itu,
duduk di atas bale-bale yang besar, hampir memenuhi ruangan.
“Sehari penuh
kami menunggu Tuan-tuan,” kata Wulungan.
“Kami mengira
bahwa Tuan akan datang pagi tadi. Karena itu, ketika Tuan-tuan tidak segera
datang, kami menjadi cemas. Ki Ageng Sora Dipayana berpesan, apabila malam
nanti Tuan-tuan tidak datang, kami harus menyusul bersama-sama dengan Ki Ageng
Sora Dipayana sendiri.”
“Atas
pangestumu, kami selamat, Wulungan,” sahut Mahesa Jenar, kemudian ia bertanya,
“Kami terkejut
ketika kami melihat daerah ini sedemikian sepi.
“Semuanya
sudah selesai,” jawab Wulungan.
“Selesai…?”
ulang Arya Salaka.
“Ya. Pekerjaan
kami sudah selesai. Orang-orang dari golongan hitam telah meninggalkan seluruh
daerah Pamingit. Mereka menghindarkan diri dari pertempuran kemarin. Ketika
kami maju ke garis perang, pertahanan mereka telah kosong. Seorang pengawas
melihat, sekelompok demi sekelompok, mereka meninggalkan daerah ini, namun
pengawas itu belum yakin bahwa mereka seluruhnya telah pergi,” jawab Wulungan.
Mahesa Jenar,
Kebo Kanigara dan Arya Salaka menarik nafas. Namun Widuri nampak mengernyitkan
alisnya, katanya,
“Jadi aku
sudah terlambat?”
“Apa yang
terlambat?” tanya ayahnya.
“Aku tidak
dapat melihat pertempuran itu,” sahut Widuri.
“Beruntunglah
kau,” kata ayahnya pula.
“Salah ayah.
Kenapa aku tidak boleh berangkat dahulu bersama-sama dengan laskar Banyubiru
beberapa hari yang lalu,” jawab Widuri.
“Beruntunglah
kau,” ulang ayahnya,
“Kau akan
ngeri melihat pertempuran itu. Kau akan melihat darah mengalir, melihat orang
mengerang kesakitan karena terluka.”
“Beruntunglah
aku, karena aku hampir mati ditelan Pasingsingan,” Widuri meneruskan. Kebo
Kanigara tersenyum, Mahesa Jenar pun tersenyum.
“Tetapi
bukankah kau masih utuh?” sambung ayahnya. Widuri tidak berkata-kata lagi. Yang
lain pun untuk sesaat berdiam diri sehingga ruangan itu menjadi sepi.
“Nah,
Tuan-tuan…” Wulungan memecah kesepian,
“Beristirahatlah.
Besok pagi-pagi Tuan-tuan kami antar ke Pamingit. Ki Ageng Sora Dipayana, Ki
Ageng Lembu Sora dan tamu-tamu mereka menunggu Tuan-tuan.
“SIAPAKAH
tamu-tamu itu?” tanya Arya.
“Bukan tamu
baru. Ki Ageng Pandan Alas, Titis Anganten” jawab Wulungan. Kemudian Wulungan
meninggalkan mereka untuk beristirahat. Awan yang basah di langit telah bersih
disapu oleh angin. Tetapi udara terasa betapa panasnya.
Arya Salaka,
yang tidak begitu tahan akan udara yang panas itu, bangkit berdiri. Maksudnya
hanya untuk menyejukkan diri di luar pintu. Namun kemudian ia tertarik untuk
berjalan-jalan di halaman. Di kejauhan, api masih tampak menyala-nyala. Agaknya
laskar Pamingit itu masih merasa perlu untuk menghangatkan tubuh. Memang di
udara yang terbuka, udara terasa lebih sejuk dan dingin daripada di dalam
rumah. Selain itu, agaknya mereka sedang merebus jagung. Arya berjalan saja
tanpa tujuan. Ketika ia sampai di jalur-jalur jalan desa, ia pun mengikutinya.
Kedua senjatanya ditinggalkan di pondoknya. Sebab ia mengira bahwa keadaan di
Pangrantunan itu telah benar-benar aman. Dengan demikian ia berjalan saja
seenaknya tanpa kecurigaan apa-apa. Namun yang tak diketahuinya, beberapa
pasang mata sedang mengikutinya. Kemana ia berjalan, berpasang-pasang mata
itupun lalu menyertainya. Mereka berlindung di balik pepohonan dan
bayang-bayang gerumbul-gerumbul kecil di kiri-kanan jalan desa itu. Menilik
gerak-gerik mereka, mereka bukanlah orang-orang yang dapat diabaikan. Ternyata
telah sekian lama mereka mengikuti langkah Arya Salaka. Arya masih belum
menyadarinya.
Sehingga
dengan demikian, orang-orang itupun semakin lama menjadi semakin berani. Mereka
kini lebih merapat lagi di belakang Arya Salaka yang sedang kehilangan
kewaspadaan. Tetapi pancaindera Arya Salaka ternyata telah benar-benar
terlatih. Meskipun ia tidak berprasangka apa-apa, namun didengarnya gemersik
daun-daun kering di kiri-kanan jalan sempit itu. Dan gemersik itu selalu
mengikutinya kemana ia pergi. Arya Salaka tidak segera menoleh atau
mengamat-amati suara itu. Ia masih akan meyakinkan tanpa diketahui orang lain,
bahkan seandainya ada orang yang mengikuti, orang itu pun tidak akan
mengetahuinya bahwa Arya Salaka telah menyadari kehadiran mereka. Kalau Arya
Salaka mempercepat langkahnya, gemersik itupun menjadi semakin cepat, dan
apabila Arya memperlambatnya dengan pura-pura memperhatikan sesuatu pada
tubuhnya, gemersik itupun lambat pula. Akhirnya Arya berhenti, perlahan-lahan
ia memutuar tubuhnya yang berjalan kembali lewat jalan itu pula. Suara gemersik
itupun berhenti dan berputar pula mengikutinya. Namun Arya telah berbuat
sesuatu dengan perhitungan. Ia mengharap teka-teki itu segera dapat ditebaknya.
Kalau orang itu akan menyerang atau berkepentingan dengan dirinya, maka orang
itu pasti akan segera melakukannya, sebelum ia menjadi semakin dekat dengan
pondoknya. Tetapi seandainya orang-orang itu hanya akan mengintainya, suara itu
pasti akan lenyap dan berhenti. Dengan demikian menjadi kewajibannya untuk
mengejar dan menangkap mereka atau salah satu dari mereka. Apa yang diharapkan
Arya itupun terjadi. Agaknya orang yang mengikuti Arya Salaka itu tak membuang
waktu, dan tak mau menunggu sampai Arya menjadi semakin dekat dengan pondoknya,
di mana telah menunggu Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan beberapa orang lagi.
Tiba-tiba Arya mendengar langkah yang menjadi semakin jelas, dan tiba-tiba
seseorang telah meloncat tepat di belakangnya. Arya adalah seorang yang cukup
memiliki bekal pengetahuan beladiri. Apalagi ia telah sengaja memancing orang
itu keluar dari persembunyiannya. Karena itu, segera ia memutar diri menghadapi
setiap kemungkinan yang bakal datang. Tetapi ketika ia melihat orang yang
berdiri di hadapannya, ia menjadi terkejut bukan buatan. Bagaimanapun
beraninya, namun dada Arya Salaka berdesir pula.
Di hadapannya
kini berdiri seseorang berkerudung kain yang kehitam-hitaman dan bertopeng kulit
kayu kasar.
“Pasingsingan,”
desis Arya. Orang itu tertawa. Suaranya berat dan kasar. Katanya,
“Apakah hanya
Pasingsingan yang memiliki topeng di dunia ini?”
Arya menyadari
kesalahannya. Pasingsingan memiliki tanda-tanda khusus. Jubah abu-abu dan topeng
kayu yang jelek dan kasar. Sedangkan orang yang berdiri di hadapannya itu
berciri lain. Ia tidak mengenakan jubah, dan topengnya dibuat dari klika kayu
yang sangat sederhana.
“Siapa kau?”
tanya Arya Salaka.
“Aku kleyang
kabur kanginan. Berkandang langit, berselimut mega,” jawabnya.
“Jangan banyak
berputar-putar. Kalau kau sengaja menyembunyikan dirimu, apa maksudmu?” tanya
Arya pula.
“Bukankah kau
Arya Salaka…?” tanya orang bertopeng itu.
Ia pun
menjawab dengan jujur,
“Ya, aku Arya
Salaka.”
ORANG itu tertawa.
“Jadi kaulah
yang mengaku anak kepala daerah perdikan Banyubiru?”
“Karena kau
sangka aku mengaku-aku..?” sahut Arya Salaka.
“Aku tidak
akan mengaku demikian seandainya ayahku bukan kepala daerah perdikan
Banyubiru.”
Kembali orang
itu tertawa. Suaranya sangat menyakitkan hati. Katanya
“Di mana
ayahmu sekarang?” Pertanyaan itu benar-benar menyakitkan hati Arya Salaka.
Karena itu ia menjawab,
“Jangan banyak
bicara. Apa maksudmu?”
“Ikut aku,”
kata orang itu.
“Lalu…?” sela
Arya.
“Jangan
bertanya,” jawab orang itu.
“Adalah hakku
untuk mengerti apa yang akan aku kerjakan,” kata Arya.
“Hanya ada dua
pilihan bagimu. Mau atau tidak?” desak orang itu pula.
“Tidak,” jawab
Arya tegas.
“Kalau begitu
aku harus memaksamu. Dengan kekerasan. Kalau perlu akan aku bawa meskipun kau
telah menjadi mayat,” kata orang itu. Arya masih sibuk berpikir. Siapakah orang
ini. Apakah ia dari golongan hitam atau dari golongan lain yang tak
menyukainya. Apakah hal ini ada hubungannya dengan kedudukannya sebagai
satu-satunya orang yang berhak atas tanah perdikan Banyubiru? Tetapi Arya tak
berkesempatan untuk berpikir lebih lama. Sebab orang itu membentaknya,
“Bersiaplah!”
Arya tak
sempat menjawab. Ia melihat orang itu meluncur dengan cepat menyerangnya. Namun
Arya Salaka pun telah bersiap pula. Karena itu dengan tangkasnya ia mengelak,
dan bahkan dengan lincahnya ia pun membalas menyerang lawannya. Maka segera
terjadi perkelahian di antara mereka. Arya Salaka mula-mula masih meragukan
lawannya. Namun ketika lawannya itu bertempur dengan kerasnya, maka ia pun tak
mempunyai pilihan lain daripada melayaninya dengan sekuat tenaganya. Orang
bertopeng itu bertempur dengan gigih. Ia tidak banyak bergerak, namun
serangan-serangannya yang datang tak ubahnya seperti gunung yang runtuh. Segumpal-segumpal
beruntun berguguran. Namun Arya telah bertempur selincah kijang. Dengan cepat
dan tangkas ia selalu berhasil menghindarkan diri dari setiap serangan yang
datang. Bahkan serangan-serangannya pun datang seperti badai yang dahsyat.
Mengalir tanpa berhenti. Gelombang demi gelombang. Karena itupun maka
pertempuran itu menjadi semakin seru. Masing-masing telah bekerja sekuat tenaga
untuk mengalahkan lawannya. Arya bertempur seperti banteng ketaton. Tetap,
tangguh dan tanggon. Namun lawannya pun bertempur seperti seekor gajah yang
demikian percaya pada kekuatan tubuhnya. Pertempuran itu berjalan semakin
sengit. Arya Salaka ternyata memiliki ketangkasan yang cukup dapat mengimbangi
lawannya. Namun meskipun demikian, ia selalu waspada. Tadi ia mendengar gemersik
itu di kiri dan kanan jalan. Sehingga kesimpulannya, orang yang mengintainya
tidak hanya seorang. Ia pasti mempunyai kawan. Dengan demikian ia harus selalu
waspada, sebab setiap saat kawannya itu akan dapat muncul dan menyerangnya
bersama-sama.
Tetapi
meskipun sudah sekian lama Arya bertempur, orang yang lain belum muncul juga.
Sehingga Arya menjadi curiga. Apakah mereka akan menyerangnya apabila ia telah
benar-benar kelelahan. Karena itu, Arya menjadi marah, dengan lantang berkata,
“Hai, orang yang licik. Ayo keluarlah dari persembunyianmu. Kalau kalian akan
bertempur bersama-sama, majulah bersama-sama. Jangan main sembunyi-sembunyian.”
Namun tak ada
jawaban. Hanya seorang itu sajalah yang bertempur melawannya. Ketika ia
mendengar Arya berkata dengan marah, ia pun menyahut,
“Jangan
sombong, kau kira bahwa di dunia ini hanya ada seorang laki-laki yang bernama
Arya Salaka…?”
“Aku tak
berkata demikian,” jawab Arya sambil bertempur.
“Aku ingin
kalian bertempur dengan jujur. Jangan mengambil kesempatan yang licik.”
“Aku bukan
betina,” kata orang bertopeng sederhana itu. Namun dengan itu gerakannya
menjadi semakin keras. Seperti angin pusakanya bergerak berputar-putar. Kini ia
menjadi bertambah lincah dan bertambah garang. Tetapi Arya Salaka pun telah
kehilangan kesabarannya, karena kemarahannya telah memuncak. Arya tidak tahu
dengan siapa ia berhadapan, namun agaknya lawannya benar-benar bertempur antara
hidup dan mati. Karena itu ia pun bertempur mati-matian. Ia tidak mau menjadi
korban dalam persoalan yang gelap. Pertempuran itu sudah berlangsung beberapa
lama. Namun tak seorangpun yang tampak akan dapat memenangkan perkelahian itu.
Kedua-duanya telah mengerahkan segenap tenaga yang mereka miliki, namun
perlawanan merekapun menjadi semakin bertambah sengit. Tetapi lambat laun, Arya
merasakan sesuatu yang aneh pada lawannya. Seolah-olah ia pernah mengenal
gerak-gerak yang demikian itu. Mula-mula lawannya mempergunakan tata berkelahi
yang asing baginya. Aneh dan bercampur baur. Tetapi ketika Arya mendesak terus,
lawannya itu tak mampu lagi mempergunakan tata gerak yang aneh-aneh dan
bercampur baur. Sehingga akhirnya lawan Arya yang bertopeng itu terpaksa
mempertahankan dirinya dengan ilmu yang sesungguhnya dimilikinya.
ARYA SALAKA
mencoba mengamati setiap gerak dan perlawanan lawannya itu. Bagaimana ia
menyilangkan tangannya di bawah dadanya, bagaimana ia meloncat miring dan
bagaima ia memutar sikunya apabila ia mencoba melindungi lambungnya.
Serangan-serangannya pun seakan-akan pernah dikenalnya. Dengan tangan yang
mengepal berkali-kali menyambar dagu, dengan ujung-ujung jari dari keempat
jarinya yang lurus mengarah ke bagian bawah leher dan perut. Dengan sisi-sisi
telapak tangan, dan dengan siku dalam jarak-jarak yang pendek. Kaki Arya pun
dengan lincahnya bergerak dan meloncat. Kadang-kadang seakan-akan tertancap di
tanah seperti tonggak besi yang tak tergoyahkan. Namun kadang-kadang tumitnya
tiba-tiba menyambar lambung. Arya sempat mengingat-ingat sambil berkelahi.
Meskipun kadang-kadang serangan lawannya itu datang dengan dahsyat. Sekali-kali
ia terdesak mudur, sebuah demi sebuah serangan lawannya itu mengejarnya. Ketika
kaki lawannya itu menyambar dadanya, ia menarik tubuhnya dan berputar, namun
lawannya meloncat maju. Dengan kaki yang lain, orang bertopeng itu menyapu
kakinya yang baru saja menginjak tanah. Demikian cepat sehingga Arya tak sempat
mengelak. Karena sapuan itu, Arya kehilangan keseimbangan, namun ia adalah
seorang yang cukup terlatih. Dengan demikian, ia dapat menjatuhkan dirinya
dengan baik dan berguling satu kali, untuk kemudian melenting berdiri.
Tetapi ia
terkejut ketika demikian ia tegak, sebuah pukulan menyambar dagunya. Terdengar
giginya gemertak. Ia hanya sempat menarik wajahnya untuk mengurangi tekanan
pukulan lawannya, namun wajahnya itupun terangkat pula. Perasaan sakit seperti
menyengat dagunya itu. Ia terdorong selangkah surut. Lawannya tidak mau
kehilangan kesempatan, dengan tangkasnya ia meloncat maju. Namun kali ini Arya
tidak mau menjadi sasaran terus-menerus. Dengan tak diduga oleh lawannya,
sekali lagi Arya meloncat ke samping, kemudian dengan lincahnya ia memutar
tubuhnya, dan kakinya menyambar perut lawannya. Terdengar lawannya mengaduh
perlahan. Disusul dengan serangan kedua ke arah dada. Sekali lagi orang itu
terdorong ke belakang. Dan Arya mengejarnya terus. Dengan demikian pertempuran
itu kian seru dan berbahaya. Apalagi bagi Arya, sebab ia terpaksa menyimpan
sebagian perhatiannya untuk menghadapi setiap serangan yang tiba-tiba dari
orang-orang yang masih bersembunyi di balik-balik pagar. Meskipun demikian Arya
tak dapat dikalahkan dengan segera. Bahkan tampaklah bahwa Arya dapat melawan
dengan baiknya dalam keseimbangan yang setingkat. Tiba-tiba dada Arya berdesir.
Tiba-tiba pula ia mengingatnya. Serangan-serangan yang demikian dahsyat itu
pernah dirasakan di Gedangan. Sawung Sariti. Gerakan-gerakan ini demikian mirip
dengan ilmu saudara sepupunya itu. Tetapi apakah lawannya itu Sawung Sariti?
Ia mencoba
mengamat-amati tubuh lawannya itu, dari kaki hingga ujung kepalanya. Ia
bertubuh tinggi tegap dan berdada bidang. Orang itu agaknya terlalu besar bagi
Sawung Sariti. Namun karena orang itu berkerudung kain yang kehitam-hitaman,
sehingga dengan demikian ia tak dapat menilainya dengan jelas. Meskipun dapat
masuk di akal, apabila tiba-tiba Sawung Sariti menyeranganya, namun ia tidak
berani berprasangka demikian. Apalagi ia meragukan bentuk tubuh lawannya itu.
Ketika ia teringat pengalamannya di pantai Tegal Arang, apakah kali ini
eyangnya yang mencoba menjajagi kekuatannya. Bahkan ilmu Sawung Sariti itu
diterima dari eyangnya. Tetapi tubuh eyangnya pun tak sebesar itu. Eyangnya
bertubuh kecil dan tidak terlalu tinggi. Jadi siapa? Apakah pamannya? Paman
Lembu Sora? Tak mungkin.
“Tidak,”
hatinya melonjak, “Mudah-mudahan bukan Paman.”
Sambil
berteka-teki Arya melayani lawannya. Meskipun pamannya bertubuh tinggi besar
dan berdada bidang, namun ia tidak menyangka bahwa orang itu pamannya. Pundak
pamannya tidak setinggi itu dan leher pamannya agak lebih panjang. Tetapi
sepengetahuannya, orang yang memiliki ilmu keturunan eyangnya hanyalah pamannya
dan Sawung Sariti. Ia tidak memperhitungkan pengawal Sawung Sariti yang
berwajah bengis dan bernama Galunggung. Sebab ia tidak yakin bahwa Galunggung
memiliki ilmu sedemikian tinggi. Arya juga tidak dapat menyangka bahwa orang
itu Wulungan. Sebab Wulungan pun tak akan mampu mempergunakan ilmu Pangrantunan
sampai tingkat itu. Apakah Wulungan dalam penilaiannya adalah orang yang baik
dan jujur. Jujur dalam menilai diri sendiri, jujur dalam menilai
kesalahan-kesalahan sendiri.
“Siapa…?
Siapa….?” Pertanyaan itu berputar-putar di kepala Arya Salaka. Siapakah orang
ini dan siapakah yang bersembunyi di balik pagar. Tiba-tiba ia melihat bayangan
obor di kejauhan. Obor orang-orang Pamingit yang bertugas menunggunya di
Pangarantunan sekaligus mengawal daerah kecil itu. Orang-orang Pamingit itu
mungkin akan nganglang atau mempunyai keperluan lain di pondok penginapannya,
atau barangkali mereka kebetulan adalah orang Pangrantunan yang akan mempunyai
kepentingan dimalam yang gelap itu. Dalam kesibukan pertempuran itu, Arya
Salaka sempat melihat daun-daun yang bergoyang di pagar dekat tempat mereka
bertempur. Matanya yang tajam melihat sebuah bayangan yang merapat di pagar
bambu yang telah rusak. Pikirannya yang cepat segera mengetahui, bahwa orang
itu pasti akan menghadang orang yang membawa obor dan yang semakin lama semakin
dekat.
ARYA SALAKA
menjadi cemas. Orang yang membawa obor itu tidak tahu apa yang terjadi. Bahkan
orang yang membawa obor itu mungkin seorang atau dua orang laskar biasa,
sehingga apabila ia mendapat serangan yang tiba-tiba, maka akan terancamlah
jiwanya. Karena itu Arya tidak mau membiarkan hal itu terjadi, sehingga ia
harus berbuat sesuatu untuk menyelamatkannya. Tetapi sampai saat ini ia masih
sibuk melayani lawannya yang menyerangnya seperti air sungai yang mengalir tak
henti-hentinya. Karena itu tiba-tiba dalam kecemasannya mengenai nasib orang
yang membawa obor itu, Arya Salaka berteriak,
“Hai, siapa
yang membawa obor itu?”
“Kenapa kau
berteriak-teriak?” tanya orang yang bertopeng.
“Hai, orang
yang membawa obor itu. Jangan mendekat. Bahaya sedang menanti di sini,” sambung
Arya tanpa memperdulikan kata-kata orang bertopeng.
“Kau mencari
kawan?” sindir orang bertopeng itu.
Arya tidak
menjawab. Yang terdengar di kejauhan suara orang yang membawa obor,
“Ada apa di
situ?”
“Jangan
mendekat,” teriak Arya sambil bertempur terus. Obor itu berhenti. Arya menjadi
agak berlega hati. Namun terdengar orang di balik pagar berdesis,
“Curang. Kau
tidak memberi kesempatan aku bertempur.”
“Siapa kau?”
tanya Arya.
“Jangan
ribut!” bentak orang di balik pagar itu. Arya melihat obor di kejauhan itu
menjadi semakin jauh. Malahan kemudian tampak obor itu terbang cepat sekali.
Agaknya orang yang membawa obor itu telah berlari sekencang-kencangnya.
Ketika obor
itu telah hilang di balik bayangan pohon-pohonan, Arya berkata,
“Nah, jangan
menunggu laskar-laskar yang tak tahu-menahu itu terjebak. Sekali lagi aku
bertanya, siapakah kalian?”
Orang
bertopeng itu tertawa. Ia tidak menjawab, tetapi serangannya menjadi semakin
sengit. Namun perlawanan Arya menjadi semakin rapat dan serangan-serangan
balasan Arya pun datang seperti ombak di lautan, beruntun menghantam tebing.
Semakin lama tampaklah tenaga Arya Salaka semakin mantap. Serangan-serangannya menjadi
semakin berbahaya, setelah ia mengetahui kekuatan dan kekurangan tata gerak
lawannya. Hal inipun dirasakan pula oleh lawannya, berkali-kali ia terpaksa
melontarkan diri surut, berputar dan menghindar. Meskipun ia berusaha sekuat
tenaganya, namun ia tak dapat menekan Arya Salaka yang muda itu. Meskipun
demikian, orang di balik pagar itu tidak muncul untuk membantu kawannya.
Sehingga Arya menjadi bertambah pusing. Kalau orang itu ingin membinasakan,
kenapa orang di balik pagar yang barangkali lebih dari seorang itu tidak
menyerangnya bersama-sama. Namun ia tidak boleh lengah. Ia harus tetap waspada,
apabila orang-orang di balik pagar itu menunggu saat yang setepat-tepatnya bagi
mereka. Ataukah ia berhadapan dengan laki-laki yang tinggi hati?
Pertempuran itu
berlangsung terus. Bertempur sambil berteka-teki. Orang yang membawa obor itu
adalah orang Pangrantunan. Ia bukanlah laskar Pamingit. Karena itu ketika ia
mendengar teriakan Arya, ia menjadi ketakutan. Sebenarnya ia hanya ingin ke
sungai, ketika perutnya tak dapat diajak menunggu sampai besok. Ketika ia
berlari-lari, dijumpainya dua orang laskar yang sedang nganglang. Sambil
terengah-engah ia berkata,
“Ki Sanak, ada
bahaya di jalan ini.”
Laskar itu pun
bertanya,
“Dari mana kau
tahu?”
“Aku akan
lewat di jalan ini. Tetapi dikejauhan aku mendengar seseorang berteriak, Jangan
mendekat…!” jawab orang itu.
Kedua orang
itu mengangguk-angguk.
“Marilah kita
bawa Kakang Wulungan.”
“Ayolah,”
jawab yang pertama. Kedua orang itupun cepat-cepat berputar lewat jalan lain
menuju ke pondok Wulungan. Di sana ditemuinya Wulungan berdiri di halaman
bersama Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.
Ketika
Wulungan melihat orang itu bergegas, bertanyalah ia,
“Apa yang
terjadi?”
Laskar itu
melaporkan apa yang didengarnya.
“Nah, itulah…”
sahut Mahesa Jenar,
“Kami juga
mendengar seseorang berteriak. Tetapi tidak jelas apa yang diteriakkan.”
“Marilah kita
lihat,” desis Kebo Kanigara. Mahesa Jenar mengangguk, katanya kepada Wulungan,
“Kau tetap di
sini. Jaga setiap kemungkinan. Bunyikan tanda kalau kau perlukan kami.”
Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara pun segera melangkah pergi. Sedang Wulungan tetap berdiri di
halaman untuk mengamati keadaan di sekitarnya. Diperintahkannya memanggil
beberapa orang yang masih enak-enak duduk di samping perapian sambil merebus
jagung muda. Kepada mereka Wulungan minta, agar mereka meningkatkan
kewaspadaan. Setiap saat dapat terjadi hal-hal yang tak mereka kehendaki.
MAHESA JENAR
dan Kebo Kanigara tidak mau mendekati tempat yang ditunjukkan oleh kedua orang
laskar Pamingit itu lewat jalan desa. Sebagai seorang yang banyak makan garam,
mereka sadar bahwa jalan itu berbahaya. Karena itu mereka justru memilih kebun
dan gerumbul-gerumbul kecil sebagai jalan yang sebaik-baiknya. Arya Salaka
masih saja sibuk melayani lawannya. Namun lambat laun, terasa bahwa nafasnya
agak mulai lebih baik daripada nafas lawannya. Perlahan-lahan namun pasti, ia
mulai mendesak orang bertopeng itu, meskipun untuk berbuat demikian Arya harus
berjuang ngetog kekuatan dan ilmunya. Disamping kemenangannya yang datang
lambat sekali itu, Arya masih harus memperhitungkan apa yang kira-kira dapat
dilakukan apabila orang-orang di balik pagar itu datang membantu. Tetapi apa
yang ditunggunya itu akhirnya datang. Orang-orang di balik pagar itu benar-benar
meloncat dari dalam kelam. Seorang, lalu disusul seorang lagi. Melihat mereka,
Arya segera menyiapkan diri. Arya belum pernah melihat mereka berdua. Yang
seorang agak pendek bulat, yang seorang bertubuh gagah, tinggi. Menilik gerak
mereka, Arya mencoba untuk menjajagi keprigelan mereka.
“Setidak-tidaknya
mereka bertiga ini setingkat,” pikir Arya,
“Kalau
demikian aku akan mengalami kesulitan untuk melawannya.”
Di dalam gelap
malam, Arya tidak memperhatikan wajah-wajah mereka dengan seksama. Apalagi Arya
masih harus bertempur pula. Karena itu ia sama sekali tidak mendapat kesan
apa-apa mengenai wajah kedua orang itu. Karena itu maka sekali lagi Arya ingin
mendapat kepastian dari lawan-lawan mereka, sebelum ia mengambil sikap
terakhir.
“Ki Sanak,
apapun yang akan kalian lakukan, berkatalah siapakah kalian dan apakah maksud
kalian?”
Orang
bertopeng itu berdesis, jawabnya,
“Tutup
mulutmu.”
“Adakah kalian
benar-benar bermaksud jahat?” Arya meneruskan seperti tak mendengar jawaban
orang bertopeng itu.
“Apa salahku,
dan apakah hubungan antara kita?” sahut Arya.
“Kau mengaku
anak kepala daerah perdikan Banyubiru. Tanah itu akan aku miliki,” jawab orang
bertopeng itu.
“Jangan
mengigau. Marilah kita berbicara, tidak bertempur. Kalau kau benar-benar ingin
tanah ini, mengakulah siapa kau.”
Arya bertambah
curiga. Ia ingat kemauan yang tak terkendalikan dari adik sepupunya. Apakah
orang ini benar-benar adiknya yang membawa orang-orang asing untuk membunuhnya?
“Tutup
mulutmu. Kami bertiga sudah siap membunuhmu,” bentak orang bertopeng itu.
Sedang dalam
pada itu kedua kawan-kawannya pun telah bergerak pula mendekati titik
perkelahian itu. Arya kini benar-benar harus menentukan sikap terakhir.
Siapapun yang berdiri di hadapannya, kalau orang-orang itu benar-benar akan
membinasakannya apapun alasannya ia harus membela dirinya mati-matian.
Sebagai
seorang laki-laki yang diasuh oleh Mahesa Jenar, sebenarnya Arya cukup
berlapang dada. Namun iapun tak mau mati. Meskipun dalam keraguan, ia berusaha
untuk tidak berprasangka terhadap Sawung Sariti. Tubuhnya, suaranya dan
kata-katanya bukan tubuh suara dan kata-kata adiknya. Adiknya tidak berkata
sekasar itu, namun lebih licin, licik dan menyakitkan hati. Tatageraknya pun
agak berbeda. Adiknya licin dan cekatan, orang itu tangguh meskipun cepat
bergerak pula. Tetapi akhirnya ia tidak peduli lagi, siapapun yang dihadapi.
Ketika dua orang kawannya mulai bergerak, Arya tidak mempunyai pilihan lain
daripada mempertaruhkan segenap ilmunya. Kedua orang yang membantu orang
bertopeng itu ternyata bertatagerak lain. Lain sekali dengan orang bertopeng
itu. Mereka agaknya sama sekali tak ada hubungan perguruan.
Dalam
saat-saat terakhir terasa bahwa Arya tak dapat mampu mempertahankan dirinya.
Maka daripada mati sebelum segenap tugasnya selesai, Arya telah memilih
keputusan yang terakhir. Ia melontar mundur agak jauh dari lawannya,
dipusatkannya segala daya kekuatannya, pikirannya dan diaturnya nafasnya
menurut saluran ilmu terakhirnya, Sasra Birawa.
Tetapi kembali
ia dikejutkan oleh peristiwa yang tak dapat dimengertinya. Ketiga orang itu
sama sekali tak mengejarnya. Bahkan orang bertopeng itu tiba-tiba berteriak,
“Arya, jangan.
Jangan.”
Pemusatan
pikiran Arya agak terganggu. Namun kembali ia mengatur tata pernafasannya. Ia
tidak mau gagal karena pengaruh perasaannya. Namun kali ini ia benar-benar
terpaksa mengurungkan niatnya, sebelum getaran di dadanya menjalar ke sisi
telapak tangan kanannya. Tiba-tiba dari dalam kelam di balik pepohonan
terdengar suara, “Jangan Arya. Salurkan ilmumu kembali, redakan getaran di
dalam dirimu sebelum kau terbenam di dalamnya.”
Dalam hal yang
demikian, Arya tak dapat berbuat lain daripada menurut perintah itu. Kakinya
yang hampir diangkatnya, diletakkannya kembali di atas tanah. Kemudian tangan
kanannya yaag sudah mulai bergerak, disilangkannya di muka dadanya untuk
meredakan getaran-getaran yang telah mulai bergerak di dalam dirinya.
Perlahan-lahan ilmu yang dahsyat itu mengendor kembali sebelum menguasai tubuh
Arya sepenuhnya.
ARYA SALAKA
melihat dua orang perlahan-lahan menyusup di bawah pagar bambu di tepi jalan,
dekat di sampingnya. Mereka adalah Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Keduanya
sama sekali tidak mengesankan ketegangan yang dialaminya selama ia bertempur
melawan orang bertopeng itu. Bahkan dengan perlahan-lahan Mahesa Jenar menepuk
pundaknya sambil berkata,
“Bersyukurlah.
Kau mendapat lawan yang luar biasa.”
Dua orang
kawan orang bertopeng itu melangkah surut. Mereka mencoba bersembunyi di dalam
kelam di bawah pepohonan yang rimbun, sedang orang bertopeng itu berdiri tegak
seperti patung. Arya menjadi keheran-heranan melihat sikap gurunya, yang
seakan-akan tak terjadi suatu apapun di sini.
Dirasanya
dalam malam yang gelap dingin itu tubuhnya dibasahi oleh keringatnya yang
mengalir dari segenap wajah kulitnya. Namun Mahesa Jenar menganggap apa yang
terjadi agaknya seperti suatu permainan yang menyenangkan. Arya kemudian
mencoba untuk menilai sikap gurunya. Barangkali gurunya yakin bahwa orang yang
bertempur melawannya itu tidak lebih daripada dirinya. Mungkin gurunya tahu
pula bahwa kedua kawan orang bertopeng itu adalah orang-orang yang tak berarti
apa-apa bagi gurunya dan Kebo Kanigara.
Kemudian
terdengarlah Mahesa Jenar berkata,
“Arya,
siapakah lawanmu itu?”
“Aku tidak
tahu, Paman,” jawab Arya. Mahesa Jenar menoleh kepada orang bertopeng kulit
kayu yang sederhana itu, yang seakan-akan dibuat dengan tergesa-gesa. Sebuah
klika kayu yang dilubangi di kedua lubang mata, kemudian diikat pada kepalanya
dengan tali dan ikat kepalanya.
“Tidakkah kau
mengenal tata gerak yang dipergunakan untuk melawanmu?” tanya Mahesa Jenar pula.
“Ya, aku
mengenal Paman,” jawab Arya.
“Nah, ilmu
siapakah itu?” desak gurunya.
“Ilmu
keturunan dari perguruan Pangrantunan,” jawab Arya.
“Sekarang
cobalah kau ingat-ingat, siapakah yang memiliki ilmu itu.”
Arya diam
sejenak. Tak ada tiga empat. Lembu Sora dan Sawung Sariti. Mula-mula ia
ragu-ragu untuk menjawab, namum kemudian meloncatlah kata-kata dari bibirnya,
“Ada dua,
Paman. Paman Lembu Sora dan Adi Sawung Sariti.”
“Siapakah di
antara mereka?” tanya Mahesa Jenar lebih lanjut. Arya menjadi semakin beragu.
Sekali lagi ia melihat orang bertopeng itu dengan seksama. Dari ujung jari-jari
kaki sampai kepalanya. Tetapi dalam gelap malam itu tak dapat ditebaknya dengan
pasti siapakah orang yang bertopeng itu. Orang bertopeng itu berdiri seperti
patung. Dua orang kawannya tampak merapatkan diri masing-masing dengan pagar di
tepi jalan.
Akhirnya Arya
menebak saja sekenanya.
“Paman, orang
itu bukan adi Sawung Sariti.”
“Jadi…?” desak
Mahesa Jenar. Arya Salaka menjadi tergagap menjawab,
“Jadi, jadi
agaknya Paman Lembu Sora.”
“Apakah kau
pasti?” tanya Mahesa Jenar.
Arya kini
benar-benar bingung. Bingung sekali. Ia tahu bahwa bentuk pamannya tak seperti
orang itu, meskipun juga bertubuh tinggi dan besar. Namun lehernya dan
pundaknya agak berbeda. Dalam keragu-raguan itu terdengar Mahesa Jenar berkata,
“Agaknya kau
tidak pasti Arya.”
Arya
mengangguk.
“Nah, kalau
demikian, siapakah orang lain yang memiliki ilmu keturunan dari Pangrantunan?”
Terdengar
orang bertopeng itu menggeram.
“Tak ada,”
jawab Arya. Mahesa Jenar tertawa. Sekali-kali pandangannya menyambar dua orang
yang merapat di tepi jalan. Katanya kepada kedua orang itu,
“Jangan
terlalu merapat pagar Ki Sanak. Barangkali seekor ulat akan melekat di leher
kalian.”
“Hem….” kedua
orang itupun menggeram.
“Arya…” kata
Mahesa Jenar,
“Adakah kau
pernah menerima dasar-dasar dari perguruan Pangrantunan?”
Dada Arya
tiba-tiba berdesir. Teringatlah pada masa kanak-kanaknya, ia pernah mempelajari
ilmu-ilmu dasar tata gerak dari perguruan Pangrantunan. Karena itu tiba-tiba ia
menjawab,
“Pernah,
Paman.”
“Siapakah yang
memberimu pelajaran?” Arya kini teringat, bahwa memang ada orang lain yang
memiliki ilmu itu, jawabnya,
“Ada orang
yang memiliki ilmu itu, Paman, tetapi…” kata-kata Arya terputus.
Orang itu
adalah ayahnya. Dan ayahnya kini sedang berada di Demak. Diingatnya kata-kata
ayahnya pada saat ia meninggalkannya di hadapan laskar Banyubiru yang siap
dalam gelar Dirada. Katanya pada saat itu,
“Arya, aku
akan pergi. Jauh sekali, dan belum tentu kapan akan kembali.”
TIBA-TIBA
tubuh orang bertopeng itu bergetar. Terdengarlah sekali ia menggeram. Kemudian
tiba-tiba saja tangannya bergerak merenggut topeng yang dikenakannya. Agaknya
ia tidak dapat lagi menahan hatinya. Demikian topengnya terlepas dari wajahnya,
berkatalah orang itu, “Arya, aku adalah orang ketiga yang memiliki ilmu
perguruan Pangrantunan.”
Suara itu di
telinga Arya Salaka terdengar seperti suara runtuhnya gunung Merbabu. Dadanya
bergetar keras sekali, dan jantungnya bergelora seperti akan meledak. Dan
tiba-tiba pula meloncatlah kata-katanya, hampir berteriak,
“Ayah!”
“Ya,” jawab
orang bertopeng itu,
“Aku adalah
ayahmu.”
Sesaat Arya
mengamat-amati wajah itu. Meskipun di dalam gelapnya malam, namun wajah ayahnya
telah tercetak di dalam hatinya. Sehingga, dengan segera ia dapat mengenal
kembali, meskipun hanya garis lekuk-lekuk wajah itu. Hampir tak ada perubahan
sejak kira-kira lima enam-tahun yang lampau. Karena itu tiba-tiba darahnya
seperti melonjak-lonjak.
Dan tanpa
sesadarnya Arya melompat maju, menjatuhkan diri di kaki ayahnya sambil berkata
gemetar.
“Ayah,
betulkah ayahku, ayah Gajah Sora.”
Terdengarlah
suara orang itu perlahan-lahan, tidak kasar dan tidak mengandung nada
permusuhan,
“Kau masih
mengenal aku dengan baik bukan, Arya?”
Arya ingin
menjawab. Di dadanya tiba-tiba penuh dengan kata-kata yang akan melontar
keluar, namun mulutnya segera tersumbat oleh sesuatu yang menyekat. Karena itu
yang terlontar keluar hanyalah sepatah kata,
“Ya.”
Gajah Sora
menepuk bahu anaknya dengan bangga. Kemudian anak itupun ditariknya berdiri.
Sambil berkata ia memandang kepada Mahesa Jenar,
“Hampir aku
tak percaya, bahwa anak inilah yang pernah aku tinggalkan lima tahun yang
lampau.”
Mahesa Jenar
tidak menyahut, tetapi ia melangkah maju. Diulurkannya kedua tangannya, yang segera
disambut oleh Gajah Sora dengan penuh gairah. Disambutnya salam Mahesa Jenar
itu dengan sepenuh hati. Dan terasalah oleh Mahesa Jenar bahwa tangan itu
gemetar. Mahesa Jenar pun haru. Ketika ia melihat Arya hampir bertiarap di kaki
ayahnya, matanya terasa panas. Perpisahan yang sekian lama dan tanpa harapan
untuk dapat bertemu pada saat-saat yang demikian ini. Tiba-tiba orang itu
berdiri di hadapannya. Kemudian Mahesa Jenar menoleh kepada dua orang yang
berdiri merapat pagar.
“Apakah kalian
akan tetap berdiri di situ?”
Terdengar
kedua orang itu tertawa. Salah seorang daripadanya menjawab,
“Permainanmu
ternyata lebih baik daripada permainan Kakang Gajah Sora, Kakang.”
Mahesa Jenar
pun tertawa, jawabnya,
“Hampir aku
tidak tahan bersembunyi di balik gerumbul itu. Nyamuknya bukan main. Sedang
kalian berdua masih saja ingin melihat, bagaimana Arya menjadi semakin
bingung.”
Kedua orang
itupun kemudian melangkah maju. Seorang bertubuh gemuk bulat, sedang yang lain
agak lencir. Keduanya ternyata berpakaian lengkap, sebagaimana dua orang
prajurit yang datang dari Demak.
Kedua orang
itu mengulurkan tangannya pula, yang disambut oleh Mahesa Jenar bergantian.
Kemudian mereka itu diperkenalkan pula kepada Kebo Kanigara. Ternyata mereka
itupun pernah mendengar nama itu, namun baru kali inilah mereka berhadapan
dengan putra Ki Ageng Pengging Sepuh.
“Marilah kita
mencari tempat yang lebih baik Kakang Gajah Sora,” ajak Mahesa Jenar,
“Barangkali
Kakang Gajah Sora dapat menceriterakan sesuatu kepada kami, suatu ceritera yang
menarik.” Meskipun demikian hati Mahesa Jenar masih belum terang, apakah kedua
prajurit Demak itu mempunyai tugas khusus mengawal Gajah Sora.
Namun ia
berkata,
“Mari Adi
Gajah Alit dan Adi Paningron. Aku mempersilahkan kalian.”
Gajah Sora
menoleh kepada dua orang prajurit yang ternyata Gajah Alit dan Paningron. Kedua
orang prajurit itupun mengangguk, sedang Gajah Alit berkata,
“Marilah,
akupun tidak tahan lagi. Nyamuk Pangrantunan benar-benar buas dan besar-besar.”
“Tidak Adi,”
sahut Mahesa Jenar,
“Tetapi
barangkali Adi tidak biasa digigit nyamuk.”
“Ah…” desis
Gajah Alit,
“Bukankah
Kakang Mahesa Jenar tadi juga hampir tidak tahan oleh nyamuk?” Mahesa Jenar
tertawa. Gajah Alit memang senang berkelakar sejak masa persahabatan mereka
dahulu di Demak. Kemudian berjalanlah mereka beriringan ke pondok. Ketika
mereka memasuki halaman, mereka melihat Wulungan masih berdiri di muka pintu.
Dua orang yang lain tampak berjaga-jaga di dalam gelap. Ketika Wulungan melihat
Mahesa Jenar, segera iapun melangkah menyambutnya,
“Apakah yang
terjadi?”
“Seseorang
telah mencoba menyerang Arya Salaka,” Mahesa Jenar menjawab, namun sambil
tersenyum. Katanya meneruskan,
“Inilah
orangnya. Pernahkah kau mengenalnya?”
Wulungan
mengerutkan keningnya. Nyala obor di muka rumah itu lamat-lamat mencapainya.
Sehingga wajah Gajah Sora itupun dapat dilihatnya. Orang itu bertubuh gagah
tegap, berdada bidang, meskipun agak kurus namun jelas betapa baik bentuk
tubuhnya. Kumisnya lebat meskipun tidak sepanjang kumis Ki Ageng Lembu Sora.
Tiba-tiba Wulungan itupun menundukkan kepalanya. Demikian hormat sambil
berkata,
“Selamat
datang Ki Ageng Gajah Sora. Kedatangan Ki Ageng adalah sedemikian tiba-tiba.
Salam baktiku untuk Ki Ageng.”
“Masih kau
ingat bentuk tubuh yang kurus kering ini, Wulungan?” tanya Gajah Sora.
No comments:
Post a Comment