Bagian 082


NAMUN tiba-tiba di antara mereka terdengar suara Mantingan bergumam,
“Takdir telah menentukan atas kedua pusaka itu.”
Semua orang menoleh kepadanya. Di antara mereka ada yang bertanya-tanya di dalam hati. Tetapi Mantingan tidak meneruskan kata-katanya. Hanya Kebo Kanigara, Mahesa Jenar dan Wanamerta lah yang menangkap maksud kata-kata itu. Kata-kata yang terlanjur melontar demikian saja dari mulut Mantingan, sehingga dengan demikian Mantingan sendiri agak menyesal karenanya. Namun ketika dilihatnya Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar tersenyum, Mantingan ikut tersenyum pula. Malahan Kiai Wanamerta berkata perlahan-lahan,
“Kami orang-orang tua hanya berdoa, semoga anak-anak muda mendapat jalan terang.”
Yang lain tak dapat mengerti apa yang mereka maksudkan. Arya Salaka, Widuri, bahkan Rara Wilis menyangka bahwa Wanamerta sedang berdoa untuk kemenangan mereka melawan orang-orang dari golongan hitam. Namun sebagai seorang ayah, Kebo Kanigara berpikir,
“Apakah kedua pusaka, yang masing-masing berada di tangan Arya dan Endang Widuri itu akan menjadi perlambang dan menentukan jalan hidup mereka?”
Tetapi ia tidak berkata apa-apa. Mahesa Jenar tidak berkata apa-apa. Malahan kemudian kembali mereka teringat kepada perjalanan yang akan mereka tempuh, sehingga dengan demikian kembali Mahesa Jenar mohon diri untuk meneruskan perjalanan itu. Maka merekapun segera berkemas. Kyai Suluh kini berada di pinggang Arya Salaka, sedang tangannya masih menggenggam tombak Banyubiru.
Sedang pusaka keturunan Kyai Suluh masih di bawa oleh Kebo Kanigara. Meskipun ia sendiri tidak memerlukannya, namun belum ada orang yang akan diserahinya untuk menyimpan pusaka itu. Di sepanjang perjalanan, Kebo Kanigara berusaha untuk dapat menasehati putrinya mengenai Kelabang Sayuta itu.

Seperti juga Kyai Suluh, Kelabang Sayuta adalah batu akik yang mempunyai pengaruh yang jelas kepada pemiliknya. Akik itu akan dapat mempengaruhi keuletan dan keterampilan berpikir. Rombongan itu berjalan dengan kecepatan sedang. Paling depan tampak Arya Salaka di atas kuda hitam, kemudian Rara Wilis dan Endang Widuri yang menjajarinya. Di belakang mereka, berkuda berdua Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Mereka kini merasa bahwa sebagian dari pekerjaan mereka yang terberat sudah selesai. Golongan hitam telah 8 dari 10 bagian hancur. Lebih dari itu, bagi Mahesa Jenar yang paling membesarkan hatinya, adalah sikap Lembu Sora. Agaknya Ki Ageng Lembu Sora telah menyadari kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya. Agaknya orang itu telah menemukan jalan untuk kembali. Kembali kepada Tuhan, dan kembali kepada kesadaran diri atas segala ketamakan dan keserakahannya. Matahari semakin lama menjadi semakin rendah, seakan-akan kini bola langit itu bertengger di atas pegunungan di sebelah barat. Sinarnya yang kemerah-merahan memancar ke segenap arah, ke wajah langit dan ke wajah bumi. Daun-daun yang hijau menjadi semburat merah. Namun cahaya merah itupun semakin lama semakin pudar. Akhirnya tinggal menyangkut di ujung-ujung daun hijau di lereng-lereng bukit, untuk seterusnya tenggelam di balik pegunungan. Di langit kini bermunculan bintang-bintang. Satu demi satu. Namun akhirnya jumlahnya tak terhitung lagi. Bintang-bintang berpencaran dari ujung langit ke ujung yang lain. Awan yang kelabu sehelai-helai mengalir ke utara. Yang kemudian seakan-akan berkumpul menjadi satu. Awan-awan yang basah itu kemudian menjadi semakin tebal dan menjadilah lapisan mendung di langit yang luas.
Rombongan kecil itu mempercepat perjalanan mereka. Mereka takut kehujanan. Semalam, hampir seperempat malam mereka membiarkan diri mereka terbenam dalam hujan yang lebat. Kini mereka tidak ingin kedinginan lagi. Lebih baik berbaring di samping perapian sambil merebus ketela pohon daripada harus menempuh perjalanan di hujan yang dingin. 

BEBERAPA saat kemudian tampaklah di kejauhan api yang menyala. Agaknya itu adalah perapian dari anak-anak Pamingit atau Banyubiru di Pangrantunan. Karena itu kuda mereka berlari semakin cepat. Perapian itu tampaknya hanya satu dua saja. Tidak seperti kemarin. Berpuluh-puluh di sekitar desa Pangrantunan. Ketika kuda Arya memasuki daerah itu, ia benar-benar terkejut. Yang dilihatnya hanyalah beberapa kelompok orang-orang yang sedang menghangatkan diri. Ke manakah laskar Pamingit dan Banyubiru yang banyak itu? Arya menarik kekang kudanya. Ia berhenti agak jauh dari desa. Wilis dan Widuri pun berhenti pula. Tetapi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mendahuluinya sampai ke tempat Arya Salaka berhenti.
“Kenapa sesepi ini, Paman…?” bisik Arya. Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar mengamati keadaan dengan seksama. Kata Mahesa Jenar, “Apakah orang-orang itu orang-orang Pamingit atau Banyubiru…?”
“Entahlah,” jawab Arya. Kembali mereka berdiam diri. Dengan tajamnya Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mencoba untuk mengetahui apa yang sedang dihadapinya. Juga orang-orang yang kemudian berdiri di samping perapian itu. Apakah mereka kawan apakah lawan. Sedang orang-orang yang berada di perapian itu pun bersiaga ketika mereka mengetahui ada rombongan orang-orang berkuda datang ke dekat mereka. Mahesa Jenar mendorong kudanya beberapa langkah maju. Dan orang-orang di tepi perapian itupun menyongsongnya dengan tombak yang tunduk.
“Siapakah kalian?” tanya salah seorang dari mereka. Mahesa Jenar tidak segera menjawab. Ia membiarkan orang-orang itu menjadi semakin dekat.
“Siapakah kalian…?” terdengar kembali pertanyaan salah seorang dari mereka.
Kini Mahesa Jenar tidak ragu-ragu lagi. Menilik bayangan pakaian yang melekat di tubuh mereka, pastilah mereka bukan dari golongan hitam. Karena itu ia menyahut,
“Mahesa Jenar bersama Arya Salaka dan rombongan.”
“O….” sahut orang itu, dan tombak mereka menjadi semakin tunduk.
“Laskar manakah kau?” tanya Mahesa Jenar kemudian.
“Pamingit,” jawab orang itu,
“Kami mendapat tugas untuk menanti kedatangan Tuan.”

Mahesa Jenar menjadi berlega hati. Dengan isyarat tangan ia memanggil Arya, Wilis dan Widuri. Segera mereka pun mendekat.
“Kenapa sepi?” tanya Arya Salaka.
“Silahkanlah Tuan singgah sebentar. Kami mendapat tugas untuk menanti Tuan-tuan dan membawa Tuan-tuan ke induk pasukan,” jawab orang itu.
Namun nampaknya orang itu sedemikian tenang sehingga Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mendapat kesan yang baik. Mahesa Jenar beserta rombongannya kemudian mengikuti orang yang mempersilahkan itu. Mereka dibawa ke pondok yang semula dipergunakan untuk Ki Ageng Sora Dipayana selagi memegang pimpinan pertempuran.
Ketika mereka memasuki halaman, muncullah seseorang di muka pintu pondok itu. Dengan bergegas dan hormat ia berkata, “Silahkan Tuan-tuan.” Arya Salaka dan rombongan, telah mengenal orang itu, Wulungan.
Karena itu Arya Salaka menjadi semakin tenang dan tidak berprasangka. Maka segera mereka meloncat turun dari kuda-kuda mereka dan langsung masuk ke dalam pondok itu, duduk di atas bale-bale yang besar, hampir memenuhi ruangan.
“Sehari penuh kami menunggu Tuan-tuan,” kata Wulungan.
“Kami mengira bahwa Tuan akan datang pagi tadi. Karena itu, ketika Tuan-tuan tidak segera datang, kami menjadi cemas. Ki Ageng Sora Dipayana berpesan, apabila malam nanti Tuan-tuan tidak datang, kami harus menyusul bersama-sama dengan Ki Ageng Sora Dipayana sendiri.”
“Atas pangestumu, kami selamat, Wulungan,” sahut Mahesa Jenar, kemudian ia bertanya,
“Kami terkejut ketika kami melihat daerah ini sedemikian sepi.
“Semuanya sudah selesai,” jawab Wulungan.
“Selesai…?” ulang Arya Salaka.
“Ya. Pekerjaan kami sudah selesai. Orang-orang dari golongan hitam telah meninggalkan seluruh daerah Pamingit. Mereka menghindarkan diri dari pertempuran kemarin. Ketika kami maju ke garis perang, pertahanan mereka telah kosong. Seorang pengawas melihat, sekelompok demi sekelompok, mereka meninggalkan daerah ini, namun pengawas itu belum yakin bahwa mereka seluruhnya telah pergi,” jawab Wulungan.

Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka menarik nafas. Namun Widuri nampak mengernyitkan alisnya, katanya,
“Jadi aku sudah terlambat?”
“Apa yang terlambat?” tanya ayahnya.
“Aku tidak dapat melihat pertempuran itu,” sahut Widuri.
“Beruntunglah kau,” kata ayahnya pula.
“Salah ayah. Kenapa aku tidak boleh berangkat dahulu bersama-sama dengan laskar Banyubiru beberapa hari yang lalu,” jawab Widuri.
“Beruntunglah kau,” ulang ayahnya,
“Kau akan ngeri melihat pertempuran itu. Kau akan melihat darah mengalir, melihat orang mengerang kesakitan karena terluka.”
“Beruntunglah aku, karena aku hampir mati ditelan Pasingsingan,” Widuri meneruskan. Kebo Kanigara tersenyum, Mahesa Jenar pun tersenyum.
“Tetapi bukankah kau masih utuh?” sambung ayahnya. Widuri tidak berkata-kata lagi. Yang lain pun untuk sesaat berdiam diri sehingga ruangan itu menjadi sepi.
“Nah, Tuan-tuan…” Wulungan memecah kesepian,
“Beristirahatlah. Besok pagi-pagi Tuan-tuan kami antar ke Pamingit. Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Lembu Sora dan tamu-tamu mereka menunggu Tuan-tuan.

“SIAPAKAH tamu-tamu itu?” tanya Arya.
“Bukan tamu baru. Ki Ageng Pandan Alas, Titis Anganten” jawab Wulungan. Kemudian Wulungan meninggalkan mereka untuk beristirahat. Awan yang basah di langit telah bersih disapu oleh angin. Tetapi udara terasa betapa panasnya.
Arya Salaka, yang tidak begitu tahan akan udara yang panas itu, bangkit berdiri. Maksudnya hanya untuk menyejukkan diri di luar pintu. Namun kemudian ia tertarik untuk berjalan-jalan di halaman. Di kejauhan, api masih tampak menyala-nyala. Agaknya laskar Pamingit itu masih merasa perlu untuk menghangatkan tubuh. Memang di udara yang terbuka, udara terasa lebih sejuk dan dingin daripada di dalam rumah. Selain itu, agaknya mereka sedang merebus jagung. Arya berjalan saja tanpa tujuan. Ketika ia sampai di jalur-jalur jalan desa, ia pun mengikutinya. Kedua senjatanya ditinggalkan di pondoknya. Sebab ia mengira bahwa keadaan di Pangrantunan itu telah benar-benar aman. Dengan demikian ia berjalan saja seenaknya tanpa kecurigaan apa-apa. Namun yang tak diketahuinya, beberapa pasang mata sedang mengikutinya. Kemana ia berjalan, berpasang-pasang mata itupun lalu menyertainya. Mereka berlindung di balik pepohonan dan bayang-bayang gerumbul-gerumbul kecil di kiri-kanan jalan desa itu. Menilik gerak-gerik mereka, mereka bukanlah orang-orang yang dapat diabaikan. Ternyata telah sekian lama mereka mengikuti langkah Arya Salaka. Arya masih belum menyadarinya.

Sehingga dengan demikian, orang-orang itupun semakin lama menjadi semakin berani. Mereka kini lebih merapat lagi di belakang Arya Salaka yang sedang kehilangan kewaspadaan. Tetapi pancaindera Arya Salaka ternyata telah benar-benar terlatih. Meskipun ia tidak berprasangka apa-apa, namun didengarnya gemersik daun-daun kering di kiri-kanan jalan sempit itu. Dan gemersik itu selalu mengikutinya kemana ia pergi. Arya Salaka tidak segera menoleh atau mengamat-amati suara itu. Ia masih akan meyakinkan tanpa diketahui orang lain, bahkan seandainya ada orang yang mengikuti, orang itu pun tidak akan mengetahuinya bahwa Arya Salaka telah menyadari kehadiran mereka. Kalau Arya Salaka mempercepat langkahnya, gemersik itupun menjadi semakin cepat, dan apabila Arya memperlambatnya dengan pura-pura memperhatikan sesuatu pada tubuhnya, gemersik itupun lambat pula. Akhirnya Arya berhenti, perlahan-lahan ia memutuar tubuhnya yang berjalan kembali lewat jalan itu pula. Suara gemersik itupun berhenti dan berputar pula mengikutinya. Namun Arya telah berbuat sesuatu dengan perhitungan. Ia mengharap teka-teki itu segera dapat ditebaknya. Kalau orang itu akan menyerang atau berkepentingan dengan dirinya, maka orang itu pasti akan segera melakukannya, sebelum ia menjadi semakin dekat dengan pondoknya. Tetapi seandainya orang-orang itu hanya akan mengintainya, suara itu pasti akan lenyap dan berhenti. Dengan demikian menjadi kewajibannya untuk mengejar dan menangkap mereka atau salah satu dari mereka. Apa yang diharapkan Arya itupun terjadi. Agaknya orang yang mengikuti Arya Salaka itu tak membuang waktu, dan tak mau menunggu sampai Arya menjadi semakin dekat dengan pondoknya, di mana telah menunggu Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan beberapa orang lagi. Tiba-tiba Arya mendengar langkah yang menjadi semakin jelas, dan tiba-tiba seseorang telah meloncat tepat di belakangnya. Arya adalah seorang yang cukup memiliki bekal pengetahuan beladiri. Apalagi ia telah sengaja memancing orang itu keluar dari persembunyiannya. Karena itu, segera ia memutar diri menghadapi setiap kemungkinan yang bakal datang. Tetapi ketika ia melihat orang yang berdiri di hadapannya, ia menjadi terkejut bukan buatan. Bagaimanapun beraninya, namun dada Arya Salaka berdesir pula.

Di hadapannya kini berdiri seseorang berkerudung kain yang kehitam-hitaman dan bertopeng kulit kayu kasar.
“Pasingsingan,” desis Arya. Orang itu tertawa. Suaranya berat dan kasar. Katanya,
“Apakah hanya Pasingsingan yang memiliki topeng di dunia ini?”
Arya menyadari kesalahannya. Pasingsingan memiliki tanda-tanda khusus. Jubah abu-abu dan topeng kayu yang jelek dan kasar. Sedangkan orang yang berdiri di hadapannya itu berciri lain. Ia tidak mengenakan jubah, dan topengnya dibuat dari klika kayu yang sangat sederhana.
“Siapa kau?” tanya Arya Salaka.
“Aku kleyang kabur kanginan. Berkandang langit, berselimut mega,” jawabnya.
“Jangan banyak berputar-putar. Kalau kau sengaja menyembunyikan dirimu, apa maksudmu?” tanya Arya pula.
“Bukankah kau Arya Salaka…?” tanya orang bertopeng itu.
Ia pun menjawab dengan jujur,
“Ya, aku Arya Salaka.” 

ORANG itu tertawa.
“Jadi kaulah yang mengaku anak kepala daerah perdikan Banyubiru?”
“Karena kau sangka aku mengaku-aku..?” sahut Arya Salaka.
“Aku tidak akan mengaku demikian seandainya ayahku bukan kepala daerah perdikan Banyubiru.”
Kembali orang itu tertawa. Suaranya sangat menyakitkan hati. Katanya
“Di mana ayahmu sekarang?” Pertanyaan itu benar-benar menyakitkan hati Arya Salaka. Karena itu ia menjawab,
“Jangan banyak bicara. Apa maksudmu?”
“Ikut aku,” kata orang itu.
“Lalu…?” sela Arya.
“Jangan bertanya,” jawab orang itu.
“Adalah hakku untuk mengerti apa yang akan aku kerjakan,” kata Arya.
“Hanya ada dua pilihan bagimu. Mau atau tidak?” desak orang itu pula.
“Tidak,” jawab Arya tegas.
“Kalau begitu aku harus memaksamu. Dengan kekerasan. Kalau perlu akan aku bawa meskipun kau telah menjadi mayat,” kata orang itu. Arya masih sibuk berpikir. Siapakah orang ini. Apakah ia dari golongan hitam atau dari golongan lain yang tak menyukainya. Apakah hal ini ada hubungannya dengan kedudukannya sebagai satu-satunya orang yang berhak atas tanah perdikan Banyubiru? Tetapi Arya tak berkesempatan untuk berpikir lebih lama. Sebab orang itu membentaknya,
“Bersiaplah!”

Arya tak sempat menjawab. Ia melihat orang itu meluncur dengan cepat menyerangnya. Namun Arya Salaka pun telah bersiap pula. Karena itu dengan tangkasnya ia mengelak, dan bahkan dengan lincahnya ia pun membalas menyerang lawannya. Maka segera terjadi perkelahian di antara mereka. Arya Salaka mula-mula masih meragukan lawannya. Namun ketika lawannya itu bertempur dengan kerasnya, maka ia pun tak mempunyai pilihan lain daripada melayaninya dengan sekuat tenaganya. Orang bertopeng itu bertempur dengan gigih. Ia tidak banyak bergerak, namun serangan-serangannya yang datang tak ubahnya seperti gunung yang runtuh. Segumpal-segumpal beruntun berguguran. Namun Arya telah bertempur selincah kijang. Dengan cepat dan tangkas ia selalu berhasil menghindarkan diri dari setiap serangan yang datang. Bahkan serangan-serangannya pun datang seperti badai yang dahsyat. Mengalir tanpa berhenti. Gelombang demi gelombang. Karena itupun maka pertempuran itu menjadi semakin seru. Masing-masing telah bekerja sekuat tenaga untuk mengalahkan lawannya. Arya bertempur seperti banteng ketaton. Tetap, tangguh dan tanggon. Namun lawannya pun bertempur seperti seekor gajah yang demikian percaya pada kekuatan tubuhnya. Pertempuran itu berjalan semakin sengit. Arya Salaka ternyata memiliki ketangkasan yang cukup dapat mengimbangi lawannya. Namun meskipun demikian, ia selalu waspada. Tadi ia mendengar gemersik itu di kiri dan kanan jalan. Sehingga kesimpulannya, orang yang mengintainya tidak hanya seorang. Ia pasti mempunyai kawan. Dengan demikian ia harus selalu waspada, sebab setiap saat kawannya itu akan dapat muncul dan menyerangnya bersama-sama.

Tetapi meskipun sudah sekian lama Arya bertempur, orang yang lain belum muncul juga. Sehingga Arya menjadi curiga. Apakah mereka akan menyerangnya apabila ia telah benar-benar kelelahan. Karena itu, Arya menjadi marah, dengan lantang berkata, “Hai, orang yang licik. Ayo keluarlah dari persembunyianmu. Kalau kalian akan bertempur bersama-sama, majulah bersama-sama. Jangan main sembunyi-sembunyian.”
Namun tak ada jawaban. Hanya seorang itu sajalah yang bertempur melawannya. Ketika ia mendengar Arya berkata dengan marah, ia pun menyahut,
“Jangan sombong, kau kira bahwa di dunia ini hanya ada seorang laki-laki yang bernama Arya Salaka…?”
“Aku tak berkata demikian,” jawab Arya sambil bertempur.
“Aku ingin kalian bertempur dengan jujur. Jangan mengambil kesempatan yang licik.”
“Aku bukan betina,” kata orang bertopeng sederhana itu. Namun dengan itu gerakannya menjadi semakin keras. Seperti angin pusakanya bergerak berputar-putar. Kini ia menjadi bertambah lincah dan bertambah garang. Tetapi Arya Salaka pun telah kehilangan kesabarannya, karena kemarahannya telah memuncak. Arya tidak tahu dengan siapa ia berhadapan, namun agaknya lawannya benar-benar bertempur antara hidup dan mati. Karena itu ia pun bertempur mati-matian. Ia tidak mau menjadi korban dalam persoalan yang gelap. Pertempuran itu sudah berlangsung beberapa lama. Namun tak seorangpun yang tampak akan dapat memenangkan perkelahian itu. Kedua-duanya telah mengerahkan segenap tenaga yang mereka miliki, namun perlawanan merekapun menjadi semakin bertambah sengit. Tetapi lambat laun, Arya merasakan sesuatu yang aneh pada lawannya. Seolah-olah ia pernah mengenal gerak-gerak yang demikian itu. Mula-mula lawannya mempergunakan tata berkelahi yang asing baginya. Aneh dan bercampur baur. Tetapi ketika Arya mendesak terus, lawannya itu tak mampu lagi mempergunakan tata gerak yang aneh-aneh dan bercampur baur. Sehingga akhirnya lawan Arya yang bertopeng itu terpaksa mempertahankan dirinya dengan ilmu yang sesungguhnya dimilikinya. 

ARYA SALAKA mencoba mengamati setiap gerak dan perlawanan lawannya itu. Bagaimana ia menyilangkan tangannya di bawah dadanya, bagaimana ia meloncat miring dan bagaima ia memutar sikunya apabila ia mencoba melindungi lambungnya. Serangan-serangannya pun seakan-akan pernah dikenalnya. Dengan tangan yang mengepal berkali-kali menyambar dagu, dengan ujung-ujung jari dari keempat jarinya yang lurus mengarah ke bagian bawah leher dan perut. Dengan sisi-sisi telapak tangan, dan dengan siku dalam jarak-jarak yang pendek. Kaki Arya pun dengan lincahnya bergerak dan meloncat. Kadang-kadang seakan-akan tertancap di tanah seperti tonggak besi yang tak tergoyahkan. Namun kadang-kadang tumitnya tiba-tiba menyambar lambung. Arya sempat mengingat-ingat sambil berkelahi. Meskipun kadang-kadang serangan lawannya itu datang dengan dahsyat. Sekali-kali ia terdesak mudur, sebuah demi sebuah serangan lawannya itu mengejarnya. Ketika kaki lawannya itu menyambar dadanya, ia menarik tubuhnya dan berputar, namun lawannya meloncat maju. Dengan kaki yang lain, orang bertopeng itu menyapu kakinya yang baru saja menginjak tanah. Demikian cepat sehingga Arya tak sempat mengelak. Karena sapuan itu, Arya kehilangan keseimbangan, namun ia adalah seorang yang cukup terlatih. Dengan demikian, ia dapat menjatuhkan dirinya dengan baik dan berguling satu kali, untuk kemudian melenting berdiri.

Tetapi ia terkejut ketika demikian ia tegak, sebuah pukulan menyambar dagunya. Terdengar giginya gemertak. Ia hanya sempat menarik wajahnya untuk mengurangi tekanan pukulan lawannya, namun wajahnya itupun terangkat pula. Perasaan sakit seperti menyengat dagunya itu. Ia terdorong selangkah surut. Lawannya tidak mau kehilangan kesempatan, dengan tangkasnya ia meloncat maju. Namun kali ini Arya tidak mau menjadi sasaran terus-menerus. Dengan tak diduga oleh lawannya, sekali lagi Arya meloncat ke samping, kemudian dengan lincahnya ia memutar tubuhnya, dan kakinya menyambar perut lawannya. Terdengar lawannya mengaduh perlahan. Disusul dengan serangan kedua ke arah dada. Sekali lagi orang itu terdorong ke belakang. Dan Arya mengejarnya terus. Dengan demikian pertempuran itu kian seru dan berbahaya. Apalagi bagi Arya, sebab ia terpaksa menyimpan sebagian perhatiannya untuk menghadapi setiap serangan yang tiba-tiba dari orang-orang yang masih bersembunyi di balik-balik pagar. Meskipun demikian Arya tak dapat dikalahkan dengan segera. Bahkan tampaklah bahwa Arya dapat melawan dengan baiknya dalam keseimbangan yang setingkat. Tiba-tiba dada Arya berdesir. Tiba-tiba pula ia mengingatnya. Serangan-serangan yang demikian dahsyat itu pernah dirasakan di Gedangan. Sawung Sariti. Gerakan-gerakan ini demikian mirip dengan ilmu saudara sepupunya itu. Tetapi apakah lawannya itu Sawung Sariti?

Ia mencoba mengamat-amati tubuh lawannya itu, dari kaki hingga ujung kepalanya. Ia bertubuh tinggi tegap dan berdada bidang. Orang itu agaknya terlalu besar bagi Sawung Sariti. Namun karena orang itu berkerudung kain yang kehitam-hitaman, sehingga dengan demikian ia tak dapat menilainya dengan jelas. Meskipun dapat masuk di akal, apabila tiba-tiba Sawung Sariti menyeranganya, namun ia tidak berani berprasangka demikian. Apalagi ia meragukan bentuk tubuh lawannya itu. Ketika ia teringat pengalamannya di pantai Tegal Arang, apakah kali ini eyangnya yang mencoba menjajagi kekuatannya. Bahkan ilmu Sawung Sariti itu diterima dari eyangnya. Tetapi tubuh eyangnya pun tak sebesar itu. Eyangnya bertubuh kecil dan tidak terlalu tinggi. Jadi siapa? Apakah pamannya? Paman Lembu Sora? Tak mungkin.
“Tidak,” hatinya melonjak, “Mudah-mudahan bukan Paman.”
Sambil berteka-teki Arya melayani lawannya. Meskipun pamannya bertubuh tinggi besar dan berdada bidang, namun ia tidak menyangka bahwa orang itu pamannya. Pundak pamannya tidak setinggi itu dan leher pamannya agak lebih panjang. Tetapi sepengetahuannya, orang yang memiliki ilmu keturunan eyangnya hanyalah pamannya dan Sawung Sariti. Ia tidak memperhitungkan pengawal Sawung Sariti yang berwajah bengis dan bernama Galunggung. Sebab ia tidak yakin bahwa Galunggung memiliki ilmu sedemikian tinggi. Arya juga tidak dapat menyangka bahwa orang itu Wulungan. Sebab Wulungan pun tak akan mampu mempergunakan ilmu Pangrantunan sampai tingkat itu. Apakah Wulungan dalam penilaiannya adalah orang yang baik dan jujur. Jujur dalam menilai diri sendiri, jujur dalam menilai kesalahan-kesalahan sendiri.
“Siapa…? Siapa….?” Pertanyaan itu berputar-putar di kepala Arya Salaka. Siapakah orang ini dan siapakah yang bersembunyi di balik pagar. Tiba-tiba ia melihat bayangan obor di kejauhan. Obor orang-orang Pamingit yang bertugas menunggunya di Pangarantunan sekaligus mengawal daerah kecil itu. Orang-orang Pamingit itu mungkin akan nganglang atau mempunyai keperluan lain di pondok penginapannya, atau barangkali mereka kebetulan adalah orang Pangrantunan yang akan mempunyai kepentingan dimalam yang gelap itu. Dalam kesibukan pertempuran itu, Arya Salaka sempat melihat daun-daun yang bergoyang di pagar dekat tempat mereka bertempur. Matanya yang tajam melihat sebuah bayangan yang merapat di pagar bambu yang telah rusak. Pikirannya yang cepat segera mengetahui, bahwa orang itu pasti akan menghadang orang yang membawa obor dan yang semakin lama semakin dekat.

ARYA SALAKA menjadi cemas. Orang yang membawa obor itu tidak tahu apa yang terjadi. Bahkan orang yang membawa obor itu mungkin seorang atau dua orang laskar biasa, sehingga apabila ia mendapat serangan yang tiba-tiba, maka akan terancamlah jiwanya. Karena itu Arya tidak mau membiarkan hal itu terjadi, sehingga ia harus berbuat sesuatu untuk menyelamatkannya. Tetapi sampai saat ini ia masih sibuk melayani lawannya yang menyerangnya seperti air sungai yang mengalir tak henti-hentinya. Karena itu tiba-tiba dalam kecemasannya mengenai nasib orang yang membawa obor itu, Arya Salaka berteriak,
“Hai, siapa yang membawa obor itu?”
“Kenapa kau berteriak-teriak?” tanya orang yang bertopeng.
“Hai, orang yang membawa obor itu. Jangan mendekat. Bahaya sedang menanti di sini,” sambung Arya tanpa memperdulikan kata-kata orang bertopeng.
“Kau mencari kawan?” sindir orang bertopeng itu.
Arya tidak menjawab. Yang terdengar di kejauhan suara orang yang membawa obor,
“Ada apa di situ?”
“Jangan mendekat,” teriak Arya sambil bertempur terus. Obor itu berhenti. Arya menjadi agak berlega hati. Namun terdengar orang di balik pagar berdesis,
“Curang. Kau tidak memberi kesempatan aku bertempur.”
“Siapa kau?” tanya Arya.
“Jangan ribut!” bentak orang di balik pagar itu. Arya melihat obor di kejauhan itu menjadi semakin jauh. Malahan kemudian tampak obor itu terbang cepat sekali. Agaknya orang yang membawa obor itu telah berlari sekencang-kencangnya.
Ketika obor itu telah hilang di balik bayangan pohon-pohonan, Arya berkata,
“Nah, jangan menunggu laskar-laskar yang tak tahu-menahu itu terjebak. Sekali lagi aku bertanya, siapakah kalian?”

Orang bertopeng itu tertawa. Ia tidak menjawab, tetapi serangannya menjadi semakin sengit. Namun perlawanan Arya menjadi semakin rapat dan serangan-serangan balasan Arya pun datang seperti ombak di lautan, beruntun menghantam tebing. Semakin lama tampaklah tenaga Arya Salaka semakin mantap. Serangan-serangannya menjadi semakin berbahaya, setelah ia mengetahui kekuatan dan kekurangan tata gerak lawannya. Hal inipun dirasakan pula oleh lawannya, berkali-kali ia terpaksa melontarkan diri surut, berputar dan menghindar. Meskipun ia berusaha sekuat tenaganya, namun ia tak dapat menekan Arya Salaka yang muda itu. Meskipun demikian, orang di balik pagar itu tidak muncul untuk membantu kawannya. Sehingga Arya menjadi bertambah pusing. Kalau orang itu ingin membinasakan, kenapa orang di balik pagar yang barangkali lebih dari seorang itu tidak menyerangnya bersama-sama. Namun ia tidak boleh lengah. Ia harus tetap waspada, apabila orang-orang di balik pagar itu menunggu saat yang setepat-tepatnya bagi mereka. Ataukah ia berhadapan dengan laki-laki yang tinggi hati?
Pertempuran itu berlangsung terus. Bertempur sambil berteka-teki. Orang yang membawa obor itu adalah orang Pangrantunan. Ia bukanlah laskar Pamingit. Karena itu ketika ia mendengar teriakan Arya, ia menjadi ketakutan. Sebenarnya ia hanya ingin ke sungai, ketika perutnya tak dapat diajak menunggu sampai besok. Ketika ia berlari-lari, dijumpainya dua orang laskar yang sedang nganglang. Sambil terengah-engah ia berkata,
“Ki Sanak, ada bahaya di jalan ini.”
Laskar itu pun bertanya,
“Dari mana kau tahu?”
“Aku akan lewat di jalan ini. Tetapi dikejauhan aku mendengar seseorang berteriak, Jangan mendekat…!” jawab orang itu.
Kedua orang itu mengangguk-angguk.
“Marilah kita bawa Kakang Wulungan.”
“Ayolah,” jawab yang pertama. Kedua orang itupun cepat-cepat berputar lewat jalan lain menuju ke pondok Wulungan. Di sana ditemuinya Wulungan berdiri di halaman bersama Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.
Ketika Wulungan melihat orang itu bergegas, bertanyalah ia,
“Apa yang terjadi?”
Laskar itu melaporkan apa yang didengarnya.
“Nah, itulah…” sahut Mahesa Jenar,
“Kami juga mendengar seseorang berteriak. Tetapi tidak jelas apa yang diteriakkan.”
“Marilah kita lihat,” desis Kebo Kanigara. Mahesa Jenar mengangguk, katanya kepada Wulungan,
“Kau tetap di sini. Jaga setiap kemungkinan. Bunyikan tanda kalau kau perlukan kami.”
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun segera melangkah pergi. Sedang Wulungan tetap berdiri di halaman untuk mengamati keadaan di sekitarnya. Diperintahkannya memanggil beberapa orang yang masih enak-enak duduk di samping perapian sambil merebus jagung muda. Kepada mereka Wulungan minta, agar mereka meningkatkan kewaspadaan. Setiap saat dapat terjadi hal-hal yang tak mereka kehendaki. 

MAHESA JENAR dan Kebo Kanigara tidak mau mendekati tempat yang ditunjukkan oleh kedua orang laskar Pamingit itu lewat jalan desa. Sebagai seorang yang banyak makan garam, mereka sadar bahwa jalan itu berbahaya. Karena itu mereka justru memilih kebun dan gerumbul-gerumbul kecil sebagai jalan yang sebaik-baiknya. Arya Salaka masih saja sibuk melayani lawannya. Namun lambat laun, terasa bahwa nafasnya agak mulai lebih baik daripada nafas lawannya. Perlahan-lahan namun pasti, ia mulai mendesak orang bertopeng itu, meskipun untuk berbuat demikian Arya harus berjuang ngetog kekuatan dan ilmunya. Disamping kemenangannya yang datang lambat sekali itu, Arya masih harus memperhitungkan apa yang kira-kira dapat dilakukan apabila orang-orang di balik pagar itu datang membantu. Tetapi apa yang ditunggunya itu akhirnya datang. Orang-orang di balik pagar itu benar-benar meloncat dari dalam kelam. Seorang, lalu disusul seorang lagi. Melihat mereka, Arya segera menyiapkan diri. Arya belum pernah melihat mereka berdua. Yang seorang agak pendek bulat, yang seorang bertubuh gagah, tinggi. Menilik gerak mereka, Arya mencoba untuk menjajagi keprigelan mereka.
“Setidak-tidaknya mereka bertiga ini setingkat,” pikir Arya,
“Kalau demikian aku akan mengalami kesulitan untuk melawannya.”
Di dalam gelap malam, Arya tidak memperhatikan wajah-wajah mereka dengan seksama. Apalagi Arya masih harus bertempur pula. Karena itu ia sama sekali tidak mendapat kesan apa-apa mengenai wajah kedua orang itu. Karena itu maka sekali lagi Arya ingin mendapat kepastian dari lawan-lawan mereka, sebelum ia mengambil sikap terakhir.
“Ki Sanak, apapun yang akan kalian lakukan, berkatalah siapakah kalian dan apakah maksud kalian?”
Orang bertopeng itu berdesis, jawabnya,
“Tutup mulutmu.”
“Adakah kalian benar-benar bermaksud jahat?” Arya meneruskan seperti tak mendengar jawaban orang bertopeng itu.
“Apa salahku, dan apakah hubungan antara kita?” sahut Arya.
“Kau mengaku anak kepala daerah perdikan Banyubiru. Tanah itu akan aku miliki,” jawab orang bertopeng itu.
“Jangan mengigau. Marilah kita berbicara, tidak bertempur. Kalau kau benar-benar ingin tanah ini, mengakulah siapa kau.”
Arya bertambah curiga. Ia ingat kemauan yang tak terkendalikan dari adik sepupunya. Apakah orang ini benar-benar adiknya yang membawa orang-orang asing untuk membunuhnya?
“Tutup mulutmu. Kami bertiga sudah siap membunuhmu,” bentak orang bertopeng itu.

Sedang dalam pada itu kedua kawan-kawannya pun telah bergerak pula mendekati titik perkelahian itu. Arya kini benar-benar harus menentukan sikap terakhir. Siapapun yang berdiri di hadapannya, kalau orang-orang itu benar-benar akan membinasakannya apapun alasannya ia harus membela dirinya mati-matian.

Sebagai seorang laki-laki yang diasuh oleh Mahesa Jenar, sebenarnya Arya cukup berlapang dada. Namun iapun tak mau mati. Meskipun dalam keraguan, ia berusaha untuk tidak berprasangka terhadap Sawung Sariti. Tubuhnya, suaranya dan kata-katanya bukan tubuh suara dan kata-kata adiknya. Adiknya tidak berkata sekasar itu, namun lebih licin, licik dan menyakitkan hati. Tatageraknya pun agak berbeda. Adiknya licin dan cekatan, orang itu tangguh meskipun cepat bergerak pula. Tetapi akhirnya ia tidak peduli lagi, siapapun yang dihadapi. Ketika dua orang kawannya mulai bergerak, Arya tidak mempunyai pilihan lain daripada mempertaruhkan segenap ilmunya. Kedua orang yang membantu orang bertopeng itu ternyata bertatagerak lain. Lain sekali dengan orang bertopeng itu. Mereka agaknya sama sekali tak ada hubungan perguruan.
Dalam saat-saat terakhir terasa bahwa Arya tak dapat mampu mempertahankan dirinya. Maka daripada mati sebelum segenap tugasnya selesai, Arya telah memilih keputusan yang terakhir. Ia melontar mundur agak jauh dari lawannya, dipusatkannya segala daya kekuatannya, pikirannya dan diaturnya nafasnya menurut saluran ilmu terakhirnya, Sasra Birawa.
Tetapi kembali ia dikejutkan oleh peristiwa yang tak dapat dimengertinya. Ketiga orang itu sama sekali tak mengejarnya. Bahkan orang bertopeng itu tiba-tiba berteriak,
“Arya, jangan. Jangan.”

Pemusatan pikiran Arya agak terganggu. Namun kembali ia mengatur tata pernafasannya. Ia tidak mau gagal karena pengaruh perasaannya. Namun kali ini ia benar-benar terpaksa mengurungkan niatnya, sebelum getaran di dadanya menjalar ke sisi telapak tangan kanannya. Tiba-tiba dari dalam kelam di balik pepohonan terdengar suara, “Jangan Arya. Salurkan ilmumu kembali, redakan getaran di dalam dirimu sebelum kau terbenam di dalamnya.”
Dalam hal yang demikian, Arya tak dapat berbuat lain daripada menurut perintah itu. Kakinya yang hampir diangkatnya, diletakkannya kembali di atas tanah. Kemudian tangan kanannya yaag sudah mulai bergerak, disilangkannya di muka dadanya untuk meredakan getaran-getaran yang telah mulai bergerak di dalam dirinya. Perlahan-lahan ilmu yang dahsyat itu mengendor kembali sebelum menguasai tubuh Arya sepenuhnya. 

ARYA SALAKA melihat dua orang perlahan-lahan menyusup di bawah pagar bambu di tepi jalan, dekat di sampingnya. Mereka adalah Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Keduanya sama sekali tidak mengesankan ketegangan yang dialaminya selama ia bertempur melawan orang bertopeng itu. Bahkan dengan perlahan-lahan Mahesa Jenar menepuk pundaknya sambil berkata,
“Bersyukurlah. Kau mendapat lawan yang luar biasa.”
Dua orang kawan orang bertopeng itu melangkah surut. Mereka mencoba bersembunyi di dalam kelam di bawah pepohonan yang rimbun, sedang orang bertopeng itu berdiri tegak seperti patung. Arya menjadi keheran-heranan melihat sikap gurunya, yang seakan-akan tak terjadi suatu apapun di sini.
Dirasanya dalam malam yang gelap dingin itu tubuhnya dibasahi oleh keringatnya yang mengalir dari segenap wajah kulitnya. Namun Mahesa Jenar menganggap apa yang terjadi agaknya seperti suatu permainan yang menyenangkan. Arya kemudian mencoba untuk menilai sikap gurunya. Barangkali gurunya yakin bahwa orang yang bertempur melawannya itu tidak lebih daripada dirinya. Mungkin gurunya tahu pula bahwa kedua kawan orang bertopeng itu adalah orang-orang yang tak berarti apa-apa bagi gurunya dan Kebo Kanigara.

Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar berkata,
“Arya, siapakah lawanmu itu?”
“Aku tidak tahu, Paman,” jawab Arya. Mahesa Jenar menoleh kepada orang bertopeng kulit kayu yang sederhana itu, yang seakan-akan dibuat dengan tergesa-gesa. Sebuah klika kayu yang dilubangi di kedua lubang mata, kemudian diikat pada kepalanya dengan tali dan ikat kepalanya.
“Tidakkah kau mengenal tata gerak yang dipergunakan untuk melawanmu?” tanya Mahesa Jenar pula.
“Ya, aku mengenal Paman,” jawab Arya.
“Nah, ilmu siapakah itu?” desak gurunya.
“Ilmu keturunan dari perguruan Pangrantunan,” jawab Arya.
“Sekarang cobalah kau ingat-ingat, siapakah yang memiliki ilmu itu.”
Arya diam sejenak. Tak ada tiga empat. Lembu Sora dan Sawung Sariti. Mula-mula ia ragu-ragu untuk menjawab, namum kemudian meloncatlah kata-kata dari bibirnya,
“Ada dua, Paman. Paman Lembu Sora dan Adi Sawung Sariti.”
“Siapakah di antara mereka?” tanya Mahesa Jenar lebih lanjut. Arya menjadi semakin beragu. Sekali lagi ia melihat orang bertopeng itu dengan seksama. Dari ujung jari-jari kaki sampai kepalanya. Tetapi dalam gelap malam itu tak dapat ditebaknya dengan pasti siapakah orang yang bertopeng itu. Orang bertopeng itu berdiri seperti patung. Dua orang kawannya tampak merapatkan diri masing-masing dengan pagar di tepi jalan.
Akhirnya Arya menebak saja sekenanya.
“Paman, orang itu bukan adi Sawung Sariti.”
“Jadi…?” desak Mahesa Jenar. Arya Salaka menjadi tergagap menjawab,
“Jadi, jadi agaknya Paman Lembu Sora.”
“Apakah kau pasti?” tanya Mahesa Jenar.

Arya kini benar-benar bingung. Bingung sekali. Ia tahu bahwa bentuk pamannya tak seperti orang itu, meskipun juga bertubuh tinggi dan besar. Namun lehernya dan pundaknya agak berbeda. Dalam keragu-raguan itu terdengar Mahesa Jenar berkata,
“Agaknya kau tidak pasti Arya.”
Arya mengangguk.
“Nah, kalau demikian, siapakah orang lain yang memiliki ilmu keturunan dari Pangrantunan?”
Terdengar orang bertopeng itu menggeram.
“Tak ada,” jawab Arya. Mahesa Jenar tertawa. Sekali-kali pandangannya menyambar dua orang yang merapat di tepi jalan. Katanya kepada kedua orang itu,
“Jangan terlalu merapat pagar Ki Sanak. Barangkali seekor ulat akan melekat di leher kalian.”
“Hem….” kedua orang itupun menggeram.
“Arya…” kata Mahesa Jenar,
“Adakah kau pernah menerima dasar-dasar dari perguruan Pangrantunan?”
Dada Arya tiba-tiba berdesir. Teringatlah pada masa kanak-kanaknya, ia pernah mempelajari ilmu-ilmu dasar tata gerak dari perguruan Pangrantunan. Karena itu tiba-tiba ia menjawab,
“Pernah, Paman.”
“Siapakah yang memberimu pelajaran?” Arya kini teringat, bahwa memang ada orang lain yang memiliki ilmu itu, jawabnya,
“Ada orang yang memiliki ilmu itu, Paman, tetapi…” kata-kata Arya terputus.
Orang itu adalah ayahnya. Dan ayahnya kini sedang berada di Demak. Diingatnya kata-kata ayahnya pada saat ia meninggalkannya di hadapan laskar Banyubiru yang siap dalam gelar Dirada. Katanya pada saat itu,
“Arya, aku akan pergi. Jauh sekali, dan belum tentu kapan akan kembali.”

TIBA-TIBA tubuh orang bertopeng itu bergetar. Terdengarlah sekali ia menggeram. Kemudian tiba-tiba saja tangannya bergerak merenggut topeng yang dikenakannya. Agaknya ia tidak dapat lagi menahan hatinya. Demikian topengnya terlepas dari wajahnya, berkatalah orang itu, “Arya, aku adalah orang ketiga yang memiliki ilmu perguruan Pangrantunan.”
Suara itu di telinga Arya Salaka terdengar seperti suara runtuhnya gunung Merbabu. Dadanya bergetar keras sekali, dan jantungnya bergelora seperti akan meledak. Dan tiba-tiba pula meloncatlah kata-katanya, hampir berteriak,
“Ayah!”
“Ya,” jawab orang bertopeng itu,
“Aku adalah ayahmu.”
Sesaat Arya mengamat-amati wajah itu. Meskipun di dalam gelapnya malam, namun wajah ayahnya telah tercetak di dalam hatinya. Sehingga, dengan segera ia dapat mengenal kembali, meskipun hanya garis lekuk-lekuk wajah itu. Hampir tak ada perubahan sejak kira-kira lima enam-tahun yang lampau. Karena itu tiba-tiba darahnya seperti melonjak-lonjak.
Dan tanpa sesadarnya Arya melompat maju, menjatuhkan diri di kaki ayahnya sambil berkata gemetar.
“Ayah, betulkah ayahku, ayah Gajah Sora.”
Terdengarlah suara orang itu perlahan-lahan, tidak kasar dan tidak mengandung nada permusuhan,
“Kau masih mengenal aku dengan baik bukan, Arya?”
Arya ingin menjawab. Di dadanya tiba-tiba penuh dengan kata-kata yang akan melontar keluar, namun mulutnya segera tersumbat oleh sesuatu yang menyekat. Karena itu yang terlontar keluar hanyalah sepatah kata,
“Ya.”
Gajah Sora menepuk bahu anaknya dengan bangga. Kemudian anak itupun ditariknya berdiri. Sambil berkata ia memandang kepada Mahesa Jenar,
“Hampir aku tak percaya, bahwa anak inilah yang pernah aku tinggalkan lima tahun yang lampau.”

Mahesa Jenar tidak menyahut, tetapi ia melangkah maju. Diulurkannya kedua tangannya, yang segera disambut oleh Gajah Sora dengan penuh gairah. Disambutnya salam Mahesa Jenar itu dengan sepenuh hati. Dan terasalah oleh Mahesa Jenar bahwa tangan itu gemetar. Mahesa Jenar pun haru. Ketika ia melihat Arya hampir bertiarap di kaki ayahnya, matanya terasa panas. Perpisahan yang sekian lama dan tanpa harapan untuk dapat bertemu pada saat-saat yang demikian ini. Tiba-tiba orang itu berdiri di hadapannya. Kemudian Mahesa Jenar menoleh kepada dua orang yang berdiri merapat pagar.
“Apakah kalian akan tetap berdiri di situ?”
Terdengar kedua orang itu tertawa. Salah seorang daripadanya menjawab,
“Permainanmu ternyata lebih baik daripada permainan Kakang Gajah Sora, Kakang.”
Mahesa Jenar pun tertawa, jawabnya,
“Hampir aku tidak tahan bersembunyi di balik gerumbul itu. Nyamuknya bukan main. Sedang kalian berdua masih saja ingin melihat, bagaimana Arya menjadi semakin bingung.”
Kedua orang itupun kemudian melangkah maju. Seorang bertubuh gemuk bulat, sedang yang lain agak lencir. Keduanya ternyata berpakaian lengkap, sebagaimana dua orang prajurit yang datang dari Demak.

Kedua orang itu mengulurkan tangannya pula, yang disambut oleh Mahesa Jenar bergantian. Kemudian mereka itu diperkenalkan pula kepada Kebo Kanigara. Ternyata mereka itupun pernah mendengar nama itu, namun baru kali inilah mereka berhadapan dengan putra Ki Ageng Pengging Sepuh.
“Marilah kita mencari tempat yang lebih baik Kakang Gajah Sora,” ajak Mahesa Jenar,
“Barangkali Kakang Gajah Sora dapat menceriterakan sesuatu kepada kami, suatu ceritera yang menarik.” Meskipun demikian hati Mahesa Jenar masih belum terang, apakah kedua prajurit Demak itu mempunyai tugas khusus mengawal Gajah Sora.
Namun ia berkata,
“Mari Adi Gajah Alit dan Adi Paningron. Aku mempersilahkan kalian.”
Gajah Sora menoleh kepada dua orang prajurit yang ternyata Gajah Alit dan Paningron. Kedua orang prajurit itupun mengangguk, sedang Gajah Alit berkata,
“Marilah, akupun tidak tahan lagi. Nyamuk Pangrantunan benar-benar buas dan besar-besar.”
“Tidak Adi,” sahut Mahesa Jenar,
“Tetapi barangkali Adi tidak biasa digigit nyamuk.”
“Ah…” desis Gajah Alit,
“Bukankah Kakang Mahesa Jenar tadi juga hampir tidak tahan oleh nyamuk?” Mahesa Jenar tertawa. Gajah Alit memang senang berkelakar sejak masa persahabatan mereka dahulu di Demak. Kemudian berjalanlah mereka beriringan ke pondok. Ketika mereka memasuki halaman, mereka melihat Wulungan masih berdiri di muka pintu. Dua orang yang lain tampak berjaga-jaga di dalam gelap. Ketika Wulungan melihat Mahesa Jenar, segera iapun melangkah menyambutnya,
“Apakah yang terjadi?”
“Seseorang telah mencoba menyerang Arya Salaka,” Mahesa Jenar menjawab, namun sambil tersenyum. Katanya meneruskan,
“Inilah orangnya. Pernahkah kau mengenalnya?”

Wulungan mengerutkan keningnya. Nyala obor di muka rumah itu lamat-lamat mencapainya. Sehingga wajah Gajah Sora itupun dapat dilihatnya. Orang itu bertubuh gagah tegap, berdada bidang, meskipun agak kurus namun jelas betapa baik bentuk tubuhnya. Kumisnya lebat meskipun tidak sepanjang kumis Ki Ageng Lembu Sora. Tiba-tiba Wulungan itupun menundukkan kepalanya. Demikian hormat sambil berkata,
“Selamat datang Ki Ageng Gajah Sora. Kedatangan Ki Ageng adalah sedemikian tiba-tiba. Salam baktiku untuk Ki Ageng.”
“Masih kau ingat bentuk tubuh yang kurus kering ini, Wulungan?” tanya Gajah Sora.


<<< Bagian 081                                                                                              Bagian 083 >>>

No comments:

Post a Comment