DIPANGGILNYA beberapa orang pengiringnya untuk diberi perintah-perintah. Setelah itu segera orang-orangnya meloncat ke atas kuda masing-masing dan sekejap kemudian mereka telah lenyap di balik regol halaman. Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Ia lega melihat kecepatan bertindak Gajah Sora. Tetapi ia sama sekali tidak berani mencampurinya apabila tidak diminta.
Ketika
orang-orang itu telah pergi, Wanamerta kembali ke pendapa, untuk mengadakan
pembicaraan-pembicaraan dengan Ki Ageng Gajah Sora.
Sementara itu
wajah langit di sebelah barat mulai membayang cahaya kemerah-merahan. Dan
sejalan dengan semakin rendahnya matahari, hati Mahesa Jenar menjadi semakin
tegang pula. Teringat jelas kata-kata Sima Rodra tua bahwa ia sama sekali belum
melepaskan keinginannya untuk memiliki kembali keris Nagasasra dan Sabuk Inten.
Mahesa Jenar mulai menghubung-hubungkan, apakah orang-orang berkuda itu
mempunyai hubungan dengan kata-kata Sima Rodra itu. Belum lagi ia mendapat
suatu kesimpulan apapun, maka masuklah seseorang ke dalam ruangannya untuk
meminta Mahesa Jenar naik ke pendapa. Di dalam pendapa itu ternyata telah hadir
pula kecuali Wanamerta, juga Ki Ageng Lembu Sora dan beberapa orang
pengiringnya. Juga tampak beberapa orang pembantu Gajah Sora dalam melakukan
tugasnya sebagai kepala daerah perdikan. Menghadapi beberapa tokoh itu, Mahesa
Jenar teringat pada masa-masa ia masih menjadi seorang prajurit. Sesudah itu,
ia biasa menghadapi setiap masalah seorang diri. Dan sekarang ia akan
menghadapi suatu masalah, dimana ia tidak berdiri sendiri. Karena itu disamping
ketegangan yang ada di dalam hatinya, sedikit membersit kegembiraannya pula.
Ternyata Ki
Ageng Gajah Sora pada saat itu sedang membicarakan masalah orang-orang berkuda
yang berada di sekitar kota. Orang-orang berkuda itu tidak saja datang dari
arah timur seperti yang ditemui oleh Mahesa Jenar, tetapi menurut laporan,
orang-orang berkuda semacam itu datang pula dari arah barat. Maka jelaslah
sudah bahwa mereka mempunyai maksud yang jahat. Pada pertemuan itu Mahesa Jenar
mendengar pula kesediaan Ki Ageng Lembu Sora untuk tidak pulang pada hari itu.
Ia bermaksud untuk turut serta berjaga-jaga apabila ada hal-hal yang tidak
dikehendaki.
“Adi Mahesa
Jenar… sebenarnya aku tidak mau mengganggu kesenangan Adi di Banyu Biru ini
sebagai seorang tamu. Tetapi tiba-tiba keadaan orang-orang itu mendatangi
daerah yang tak berarti sama sekali ini. Kalau mereka bermaksud merampas harta
benda, maka di daerah miskin ini sama sekali akan mengecewakan mereka. Tetapi
bagaimanapun kami terpaksa mempertahankan diri terhadap apapun yang pernah kami
miliki,” kata Gajah Sora beberapa saat kemudian.
Kata-kata itu
tegas bagi Mahesa Jenar. Meskipun Gajah Sora tidak menyebut-nyebut tentang
kedua pusaka simpanannya, tetapi ia telah minta kepada Mahesa Jenar untuk
bersama-sama mempertahankan pusaka-pusaka itu.
Sementara itu,
terdengarlah derap kuda dengan kencangnya berlari memasuki halaman. Seorang
pemuda yang tegap kuat segera menghentikan kuda itu dan langsung meloncat
turun. Dengan langkah yang tergesa-gesa ia naik ke pendapa menghadap Ki Ageng
Gajah Sora. Menilik wajahnya, pasti ia membawa sesuatu berita yang penting.
Untuk beberapa lama ia tidak berkata apa-apa sambil memandangi orang-orang yang
hadir. Tampaknya ia ragu-ragu untuk menyampaikan sesuatu. Ki Ageng Gajah Sora
melihat keragu-raguannya, maka katanya,
“Katakanlah
apa yang telah kau lihat.”
“Ki Ageng…”
katanya di sela-sela nafasnya yang mengalir cepat,
“Pasukan Paman
Sanepa telah terlibat dalam suatu pertempuran dengan kira-kira 30 orang berkuda
yang datang dari arah barat.”
“Tigapuluh…?”
ulang Gajah Sora.
“Ya, Ki
Ageng,” jawab pemuda itu.
“Berapa orang
yang dibawa oleh pamanmu?” tanya Ki Ageng.
“25 Orang, Ki
Ageng,” jawabnya.
“Seimbang,”
kata Ki Ageng.
”Tetapi kau
boleh membawa orang-orang Sanjaya bersamamu. Nah, pergilah. Di sana ada 10
orang.”
“Baik, Ki
Ageng.” Lalu dengan tangkasnya ia meloncat turun dan dengan kecepatan luar
biasa, ia naik ke punggung kudanya. Sekejap kemudian derap kuda itu telah
semakin jauh dan lenyap.
“Kita sudah
mulai,” kata Gajah Sora yang tampaknya masih tenang saja.
“Kakang
Wanamerta,” sambung Gajah Sora,
”Suruhlah
membunyikan tanda bahaya, supaya orang-orang kita di segenap arah mempersiapkan
diri dan mengerti bahwa di salah satu sudut kota ini telah terjadi bentrokan.”
Wanamerta
segera memerintahkan seorang untuk membunyikan tanda bahaya. Dan sebentar
kemudian telah meraung-raung hampir di seluruh kota Banyubiru, bunyi titir yang
bersahut-sahutan. Orang-orang yang duduk di pendapa itu wajahnya menjadi
bertambah tegang. Mereka masih menanti perintah, apakah yang harus mereka
kerjakan. Tetapi Ki Ageng Gajah Sora sendiri dapat melakukan tugasnya dengan
tenang dan tidak tergesa-gesa. Pada saat itu gelap malam telah mulai turun.
Batang-batang pohon di halaman menjadi semakin kabur diselubungi oleh kehitaman
malam yang bertambah pekat. Tiba-tiba di daerah utara tampaklah langit berwarna
darah. Disusul oleh bunyi kentongan tiga kali lima kali ganda, berturut-turut.
“Kebakaran,”
kata Wanamerta.
Dengan mata
yang memancarkan kemarahan Ki Ageng Gajah Sora memandang ke arah langit yang
membara di arah utara itu. Tetapi meskipun demikian ia masih bersikap tenang.
“Siapakah yang
berada di sana?” tanya Gajah Sora kepada Wanamerta.
“Adi Pandan
Kuning,” jawab Wanamerta singkat.
“Pandan
Kuning…?” ulang Gajah Sora.
“Ya.”
“Kalau begitu
mereka pasti terdiri dari orang-orang pilihan pula, sehingga di hadapan Paman
Pandan Kuning, mereka berhasil membakar rumah,” kata Gajah Sora hampir
bergumam.
“Paman…,” kata
Gajah Sora kemudian,
“Suruh
seseorang sediakan kuda-kuda kami.”
Meskipun
kata-kata itu diucapkan dengan perlahan-lahan tetapi artinya adalah besar
sekali. Gajah Sora sendiri telah merasa perlu untuk sewaktu-waktu bertindak.
Menurut perhitungannya, orang-orang yang mendatangi Banyubiru itu pasti terdiri
dari orang-orang yang tak dapat direndahkan. Wanamerta tidak lagi mau membuang
waktu. Maka segera diperintahkan seorang untuk menyiapkan kuda-kuda mereka.
Berbareng dengan itu Ki Ageng Lembu Sorapun telah memerintahkan orangnya untuk
mempersiapkan kuda-kuda mereka pula.
SAAT
orang-orang itu menyiapkan kuda di halaman, muncullah diantara mereka Arya
dengan dua ekor kuda di tangannya. Seekor berwarna hitam mengkilat dan yang
seekor lagi berwarna abu-abu.
“Inilah kuda
Paman,” teriaknya kepada Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar
terkejut melihat Arya hadir dalam kesibukan itu.
“Kau mau
kemana, Arya?” tanya Mahesa Jenar.
“Aku ikut
Paman ke tempat kebakaran itu,” jawabnya.
“Arya…,”
potong Gajah Sora,
“Kau jangan
menambah kesibukanku dan pamanmu. Masuklah ke dalam. Kalau kau mau pergi juga,
seterusnya aku tak mau mengajari kau sama sekali.”
Arya memandang
ayahnya dengan penuh kecewa. Tetapi ia sama sekali tidak berani membantah.
Sebab dalam saat-saat yang demikian ayahnya memang dapat bertindak agak keras
terhadapnya. Sementara itu keributan semakin menjadi-jadi. Orang-orang
Banyubiru adalah orang-orang yang cukup terlatih di bawah pimpinan Gajah Sora.
Karena itu di beberapa tempat yang juga timbul pertempuran-pertempuran, Laskar
Banyubiru segera dapat menguasai keadaan. Tetapi di bagian barat dan utara,
ternyata kekuatan mereka tak dapat dianggap ringan.
Di pendapa, Ki
Ageng Gajah Sora beberapa kali menerima penghubung-penghubung dari daerah
pertempuran, dan dengan cermatnya ia memberikan perintah dan petunjuk-petunjuk.
Tetapi tiba-tiba orang-orang yang berada di pendapa itu bersama-sama digetarkan
oleh bunyi kentongan dua-tiga-dua-tiga dari arah utara, sedangkan api tampak
semakin menjalar ke beberapa arah. Mendengar bunyi kentongan itu, kemarahan
Gajah Sora tak dapat dikendalikan lagi. Bunyi kentong dua-tiga-dua-tiga
mempunyai arti yang sama sekali tidak menyenangkan. Tanda itu mengatakan bahwa
Laskar Banyubiru terdesak hebat. Dengan gigi yang terkatub rapat, Gajah Sora
terloncat dari duduknya. Setan manakah yang mencoba mengganggu ketenteraman
Banyubiru? katanya geram.
“Paman
Wanamerta…” kata Gajah Sora kepada Wanamerta,
”Aku akan
pergi ke tempat itu. Rupanya kekuatan lawan dipusatkan di sana. Berilah tanda
supaya sebagian dari pasukan cadangan dikerahkan ke utara.”
Segera
Wanamerta memerintahkan memukul kentongan dua-empat-dua-empat berturut-turut.
Bersama dengan itu Gajah Sora meloncat ke atas kudanya.
“Adi Lembu
Sora dan Mahesa Jenar, marilah kita lihat daerah itu,” katanya.
Mahesa Jenar
nampak ragu sebentar. Kalau mereka seluruhnya meninggalkan tempat itu, lalu
bagaimanakah dengan keris yang disimpan oleh Gajah Sora?
Rupanya
keragu-raguan itu diketahui oleh Gajah Sora.
“Tak seorang
pun yang akan dapat mengalahkan Paman Pandan Kuning kalau bukan seorang yang
luar biasa hebatnya. Jadi menurut perhitunganku, pimpinan dari gerombolan itu
berada di sana. Biarlah rumah ini aku serahkan kepada Paman Wanamerta dan Paman
Sawungrana. Aku percaya kepada Paman berdua dengan beberapa orang pasukannya.
Berilah aku tanda kalau keadaan memaksa. Ingat Paman, tak seorangpun boleh
menginjakkan kakinya di halaman rumah ini.”
“Baik Anakmas,
aku akan menjaganya,” jawab Wanamerta.
“Siapa yang di
halaman belakang?” tanya Gajah Sora.
“Panjawi
dengan laskarnya,” jawab Wanamerta.
“Bagus, aku
percaya pula pada anak muda itu. Kelak ia pasti menjadi seorang prajurit
pilihan. Nah, Paman… aku akan berangkat.”
Sekejap
kemudian Gajah Sora mendera kudanya dan lari dengan kencangnya. Lembu Sora
dengan beberapa pengiringnya segera menyusul dan yang paling belakang adalah
Mahesa Jenar dengan kuda abu-abu yang dibawa oleh Arya tadi. Maka segera
iring-iringan itu meluncur seperti angin ke arah tempat kebakaran di sebelah
utara Banyubiru di kaki bukit Telamaya. Dari tempat yang agak tinggi di luar
halaman, mereka dapat melihat dengan jelas api yang berkobar-kobar di beberapa
tempat. Melihat nyala api itu, hati Gajah sora menjadi semakin panas. Ia memacu
kudanya lebih laju lagi. Kuda yang telah berlari sekuat tenaga itu menurut
perasaan Gajah Sora seperti ular yang merambat di dedaunan. Lambat sekali.
Tetapi
akhirnya dengan menahan kekesalan hati, mereka sampai juga di tempat
pertempuran. Dari jarak yang cukup, Gajah Sora dengan rombongannya dapat
melihat arena pertempuran yang terjadi di pinggir sebuah perkampungan. Rupanya
pertempuran itu telah berlangsung dengan serunya. Di kedua belah pihak telah
jatuh beberapa orang korban. Ternyata, pasukan-pasukan cadangan Banyubiru yang
dipimpin oleh Ki Bantaran telah tiba di tempat itu dan telah pula melibatkan
diri dalam pertempuran. Dalam pengamatan yang sebentar itu Gajah Sora melihat
betapa kuatnya pihak lawan. Dilihat dari bekas-bekasnya, ternyata bahwa arena
pertempuran itu telah bergeser agak jauh mendekati perkampungan. Bahkan
beberapa orang dari mereka telah membakar rumah-rumah penduduk yang tak
bersalah. Kemarahan hati Gajah Sora semakin menggelora. Karena itu setelah ia
menemukan pertimbangan mengenai keseluruhan pertempuran itu, segera ia
memberikan perintah.
”Lembu Sora…
bawalah anak buahmu ke sebelah kiri. Lingkari arena ini, dan kau harus dapat
menguasai jalan kecil di ujung sawah itu. Kalau aku berhasil mendesak mereka,
usahakan jangan dibiarkan mereka lolos. Aku ingin tahu siapa mereka. Bawalah
beberapa orang bersamamu.”
“Baik Kakang,”
jawab Lembu Sora. Setelah itu iapun segera pergi ke tempat yang telah
ditentukan. Ia melingkar menyusup perkampungan untuk kemudian muncul kembali
menuju ke jalan kecil di ujung sawah.
Dalam
keremangan cahaya api yang menjilat ke udara, arena pertempuran itu seolah-olah
sengaja dijadikan daerah yang diterangi oleh ribuan obor di sekitarnya.
SEPENINGGAL
Lembu Sora, Gajah Sora dan Mahesa Jenar berdiri mengawasi medan. Mahesa Jenar
adalah bekas prajurit pengawal raja. Karena itu ia mempunyai pandangan yang
cukup masak mengenai keadaan medan. Maka segera ia melihat kelemahan Laskar
Banyubiru.
“Kakang,
menurut pengamatanku, letak kesalahan Laskar Banyubiru adalah, beberapa orang
yang cukup masak berkumpul di dalam satu titik. Sehingga di bagian-bagian lain
banyak terdapat kelemahan,” kata Mahesa Jenar.
Gajah Sora
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kau benar Adi
Mahesa Jenar. Aku melihat pula kelemahan itu. Tetapi pastilah mereka menghadapi
keadaan darurat. Bahkan Bantaran pun telah terlibat dalam perkelahian di titik
itu,” jawabnya.
“Siapakah yang
bersenjatakan pedang panjang serta melompat-lompat dengan lincahnya itu?” tanya
Mahesa Jenar.
“Itulah Pandan
Kuning,” jawab Gajah Sora.
“Yang
bersenjata tombak itu adalah Bantaran. Lainnya adalah orang-orang pilihan dari
Laskar Banyubiru.”
“Kakang…”
tiba-tiba Mahesa Jenar berkata agak terkejut,
“Rupanya
mereka hanya melawan satu orang saja.”
Gajah Sora
mempertajam pandangannya. Nyala api yang berkobar-kobar di sekitar daerah
pertempuran itu membuat ratusan bayangan dari orang-orang yang bertempur itu,
beraneka ragam. Ada yang panjang, ada yang besar seperti raksasa yang
meloncat-loncat menerkam mangsanya. Karena itu keadaan medan menjadi agak
kabur.
“Aku kira
tidak hanya seorang, Adi, tetapi dua orang,” jawab Gajah Sora.
“Ya, dua
orang,” sambung Mahesa Jenar hampir berteriak,
”Dan aku
pernah mengenal kedua orang itu.”
Hampir saja
Mahesa Jenar meloncat menyerbu. Tetapi tiba-tiba dilihatnya Lembu Sora telah
mendahuluinya dari arah belakang. Lembu Sora menyambar dari atas kudanya
seperti seekor elang yang sedang marah. Geraknya tangkas dan tangguh. Rupanya
ia adalah seorang yang ahli bertempur di atas kuda. Pandan Kuning, Bantaran,
dan lebih dari tujuh orang bertempur bersama-sama melawan dua orang. Tetapi dua
orang itu ternyata tangguh sekali. Sehingga sampai sekian lama kedua orang itu
masih tampak segar dan lincah. Sekarang mereka mendapat bantuan Lembu Sora.
Ternyata Lembu Sora juga tidak mengecewakan. Ia bersenjatakan sebuah pedang
yang panjang dan besar. Pedang itu di tangannya yang kokoh kuat, hanya seperti
setangkai lidi yang berputar-putar dan berkilauan kena cahaya api. Dari jarak
yang agak jauh itu, terdengar tidak jelas Lembu Sora memberikan aba-aba, dan
sebentar kemudian keadaan segera berubah dengan cepatnya. Pandan Kuning dengan
kawan-kawannya segera memotong batas kedua lawannya, sedang Lembu Sora dengan
garangnya menyerang yang seorang dari mereka. Maka segera terjadi dua lingkaran
pertempuran. Lembu Sora melawan seorang, sedang seorang lagi harus melayani
Pandan Kuning dan kawan-kawannya.
“Anak itu
punya otak juga,” gumam Gajah Sora.
“Ia pasti
bermaksud membunuh seorang demi seorang.”
“Bukankah ia
putra Ki Ageng Sora Dipayana pula?” kata Mahesa Jenar.
Gajah Sora
tersenyum.
“Sayang ia
agak bengal,” jawabnya.
Mahesa Jenar
tidak menjawab, perhatiannya terikat sekali pada pertempuran yang berlangsung
dengan hebatnya. Tetapi kemudian ia menjadi agak bingung melihat
ketidak-wajaran dalam pertempuran itu. Kakang Gajah Sora, tidakkah Kakang
melihat sesuatu yang tidak pada tempatnya?
“Ya.” jawab
Gajah Sora.
“Rupa-rupanya
ada pertempuran segitiga di daerah ini.”
“Tepat,
Kakang,” kata Mahesa Jenar.
“Lalu apakah
yang akan kita lakukan?”
“Biarlah Lembu
Sora dan Paman Pandan Kuning melayani lawannya yang rupa-rupanya tidak terlalu
membahayakan,” jawab Gajah Sora.
“Marilah kita
bersihkan saja yang lain, baru kita membantu menangkap kedua orang itu,” kata Gajah
Sora selanjutnya. Sehabis berkata demikian, Gajah Sora mendera kudanya langsung
terjun ke dalam kancah pertempuran.
Sepeninggal
Gajah Sora, Mahesa Jenar masih beberapa saat berdiri mengawasi medan. Rupanya
Gajah Sora ingin mempergunakan siasat lawan untuk memukul mereka kembali.
Pemimpin-pemimpin gerombolan penyerbu itu agaknya telah mengatur siasat dengan
cermatnya. Mereka berhasil memancing tokoh-tokoh Laskar Banyubiru untuk
berkumpul di dalam satu lingkaran, sedang orang-orangnya akan menjadi agak leluasa
untuk menjalankan pengacauan dan pembakaran. Gajah Sora memaklumi siasat itu.
Dan ia juga tidak dapat menyalahkan pemimpin pemimpin laskarnya untuk mengepung
pimpinan gerombolan yang tangguh itu. Sebab apabila mereka tidak menghadapi
bersama-sama, maka dengan mudahnya mereka akan dibinasakan satu demi satu.
Karena itu,
Gajah Sora berhasrat memecahkan siasat itu dengan merusak barisan laskar
gerombolan itu. Dengan demikian pemimpin-pemimpin mereka pasti akan
mendatanginya tanpa diminta. Sebab pastilah mereka menyangka bahwa tak seorang
pun akan mampu menahan laskar mereka yang mereka perkuat, meskipun ada laskar
lain yang ada diluar perhitungan, sehingga terpaksa terjadi pertempuran
segitiga. Namun salah satu dari mereka ternyata telah berhasil dengan siasat
mereka, dan membakar rumah penduduk yang tak berdaya. Sedang di dalam
perhitungan mereka, Gajah Sora sendiri akan tetap berada di rumahnya untuk
menjaga pusaka-pusaka yang disimpannya. Tetapi yang masih belum dapat
dipecahkan, baik oleh Mahesa Jenar maupun Gajah Sora, adalah adanya dua laskar
yang dalam waktu bersamaan menyerang Banyubiru. Sedang mereka bertempur pula
satu sama lain, meskipun maksud mereka hampir jelas, yaitu menginginkan
pusaka-pusaka Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Kecuali itu Mahesa Jenar
juga sangat tertarik ketangguhan dua orang tokoh gerombolan yang dengan
tangkasnya dapat mempertahankan diri dari kepungan Pandan Kuning serta
kawan-kawannya.
PERTEMPURAN
berlangsung terus dengan hebatnya. Laskar Banyu Biru telah berjuang mati-matian
untuk mencoba mempertahankan tanah mereka serta seluruh isinya. Dengan
munculnya Lembu Sora, keadaan sudah mulai berubah. Lembu Sora ternyata juga
merupakan seorang laki-laki yang luar biasa. Pedangnya yang terlalu besar
menurut ukuran biasa itu berputar seperti baling-baling yang dengan dahsyatnya
selalu melingkari lawannya dengan serangan-serangan maut. Tetapi lawan Lembu
Sora pun memiliki kelincahan yang luar biasa. Sayang bahwa jarak mereka agak
jauh dari Mahesa Jenar. Apalagi prajurit-prajurit yang sedang bertempur itu
selalu bergerak-gerak membayangi pandangannya, sehingga ia tidak dapat melihat
dengan jelas. Karena tertarik kepada kedua orang pemimpin gerombolan yang
perkasa itu, Mahesa Jenar ingin lebih mendekat lagi. Maka segera ia turun dari
kudanya dan mengikatkan kuda itu pada sebatang pohon. Dengan perlahan-lahan, ia
menerobos medan yang sedang ribut, ia berjalan mendekati Lembu Sora. Beberapa
kali Mahesa Jenar mendapat serangan dari laskar-laskar gerombolan itu, tetapi
dengan satu-dua gerakan saja Mahesa Jenar telah dapat merobohkan mereka.
Di bagian
lain, di tengah pertempuran itu tiba-tiba terdengar sorak sorai yang riuh
rendah. Rupanya Laskar Banyubiru ketika melihat kepala daerah mereka yang
perkasa terjun ke arena, mereka menjadi gembira sekali. Tiba-tiba, seolah-olah
tubuh mereka masing-masing mendapat tambahan kekuatan yang hebat. Karena itu
mereka bersorak-sorak gemuruh. Dan bersamaan dengan itu gerak mereka menjadi
lebih dahsyat. Sorak sorai itu segera disambut oleh hampir seluruh Laskar
Banyubiru yang berada di arena itu. Dengan kehadiran Lembu Sora, Gajah Sora dan
Mahesa Jenar, segera keadaan medan menjadi berubah. Laskar dari kedua
gerombolan yang semula bertempur satu sama lain, memusatkan kekuatan mereka
untuk menggempur Laskar Banyubiru. Meskipun demikian, Laskar Banyubiru kini
kekuatannya sudah jauh bertambah. Sejalan dengan itu, lawan Pandan Kuning yang
semula bertempur berpasangan, dan kemudian harus melawan seorang diri,
merasakan juga tekanan yang semakin berat. Karena itu ia bertempur semakin seru
serta mengerahkan seluruh tenaganya. Apalagi ketika didengarnya Laskar
Banyubiru bersorak-sorak. Tiba-tiba dari arah lain terdengarlah sebuah suitan
nyaring. Disusul dengan bunyi suitan pula dari orang yang sedang bertempur melawan
Pandan Kuning.
Rupanya
suitan-suitan itu merupakan tanda-tanda dan perintah. Segera tampaklah beberapa
laskar gerombolan berlontaran menyerbu Pandan Kuning dan kawan-kawannya. Mereka
mencoba untuk mengganti kedudukan pemimpinnya yang dengan satu gerakan dahsyat
memecahkan kepungan Pandan Kuning dan kawan-kawannya. Ia melepaskan diri dari
pertempuran itu untuk dapat langsung menghadapi Gajah Sora. Maka ketika orang
itu telah berdiri di luar lingkaran, Mahesa Jenar segera dapat melihatnya
dengan jelas. Dan pada saat itu pula rasanya jantung Mahesa Jenar menggelegak
hebat. Orang yang memimpin gerombolan itu, dan yang telah bertempur dengan
gagahnya, adalah seorang yang bertubuh kekar, berkumis setebal ibu jari, dan di
kedua belah tangannya tergenggam dua bilah pisau belati panjang.
“Lawa Ijo….”
geram Mahesa Jenar diantara suara gemeretak giginya yang beradu dengan
kerasnya.
Maka dengan
gerak tanpa sadar, Mahesa Jenar meloncat lebih dekat lagi untuk mengenali
pasangan Lawa Ijo yang sedang bertempur melawan Lembu Sora dengan kekuatan yang
seimbang. Orang itu pasti memiliki kekuatan setidak-tidaknya sama dengan Lawa
Ijo. Ketika Mahesa Jenar sudah menjadi semakin dekat dan dapat melihat lawan
Lembu Sora itu agak jelas, ia menjadi bertambah terkejut lagi. Orang itu adalah
seorang laki-laki tampan, dengan sebuah tongkat hitam di tangan kiri yang
dipergunakan sebagai perisai, sedang di tangan kanannya tampak sebilah pedang
tipis yang lentur.
Sebuah
permainan gila-gilaan, desis Mahesa Jenar. Tubuhnya menjadi gemetar menahan
deru darahnya yang menggelora seperti gemuruhnya air bah. Dengan tak
disangka-sangka, tiba-tiba ia bertemu dengan orang-orang yang menjadi musuh
utamanya. Terutama Lawa Ijo, yang sampai dua kali berhasil melepaskan diri dari
Mahesa Jenar. Meskipun demikian di dalam hati Mahesa Jenar memuji kekuatan daya
tahan tubuh Lawa Ijo yang besar sekali. Beberapa saat yang lalu ia berhasil
menghantam Lawa Ijo dengan senjata andalannya, yaitu Sasra Birawa. Tetapi
sekarang ia melihat Lawa Ijo telah segar bugar kembali. Bagaimanapun hebatnya
daya pengobatan Pasingsingan, namun kalau di dalam tubuh Lawa Ijo itu sendiri
belum dialasi oleh kekuatan yang hebat, pastilah ia memerlukan waktu
berbulan-bulan untuk dapat sembuh kembali.
SEKARANG,
kedua orang itu, Lawa Ijo dan Jaka Soka, yang sebenarnya merupakan saingan yang
hebat sekali, untuk sementara dapat bekerja bersama-sama, untuk dapat merampas
Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten. Karena itu, tidak ada suatu hasrat pun yang
bergolak di dalam dada Mahesa Jenar pada saat itu, kecuali membinasakan Lawa
Ijo dan sekaligus kalau mungkin Jaka Soka. Sebab orang-orang yang berciri watak
demikian, merupakan duri yang selamanya selalu akan menyakiti tubuh masyarakat.
Pada saat itu Jaka Soka sedang bertempur mati-matian melawan Lembu Sora.
Kekuatan keduanya benar-benar seimbang. Lembu Sora kini sudah turun dari
kudanya untuk melawan Jaka Soka yang bertempur seolah-olah melilit dan
melingkar-lingkar seperti ular. Tetapi dalam pertempuran itu, Jaka Soka
benar-benar tak mampu mendekati lawannya yang dapat mengurung dirinya dalam
lingkaran sambaran pedangnya yang besar itu.
Maka untuk
sementara Mahesa Jenar dapat melepaskan Jaka Soka. Syukurlah apabila Lembu Sora
berhasil membinasakannya. Tetapi setidak-tidaknya pertempuran itu akan
berlangsung lama, sehingga ia akan mendapat kesempatan untuk menemaninya
bermain, setelah ia membinasakan Lawa Ijo. Mahesa Jenar pada saat itu telah
memutuskan untuk tidak memperpanjang waktu. Ia sudah bersedia untuk
mempergunakan ilmunya Sasra Birawa dalam pukulannya yang pertama. Ia tidak mau
didahului oleh Gajah Sora dengan Lebur Seketinya untuk membinasakan Lawa Ijo.
Tetapi kembali dadanya terguncang. Ketika ia sudah hampir meloncat ke arah Lawa
Ijo, tiba-tiba dari antara laskar yang bertempur itu meloncatlah seorang yang
berperawakan tinggi besar berambut lebat dengan kumis dan janggut yang lebat
pula. Ia bersenjata tombak pendek. Dan bersamaan dengan serangannya yang
menderu seperti angin ribut itu, terdengar suaranya mengaum dahsyat seperti
seekor harimau yang sedang marah.
“Kau gila Lawa
Ijo…, teriaknya. Jangan mencoba menghalangi aku atau mendahului maksudku.”
Lawa Ijo
tampaknya agak terkejut mendapat serangan itu. Tetapi ia adalah seorang yang
tangkas. Karena itu, dengan satu loncatan ia berhasil membebaskan dirinya.
Bahkan kemudian terdengarlah suara tertawanya yang menyeramkan.
“Kita
sama-sama mengail di satu kolam, Harimau jelek,” katanya kemudian.
“Apakah
salahnya?”
“Tetapi akulah
yang paling berhak atas keris-keris itu,” jawab orang yang tinggi besar itu,
yang tidak lain adalah Sima Rodra muda dari Gunung Tidar.
Kembali Lawa
Ijo tertawa pendek,
“Salahmulah
bahwa keris-keris itu sampai terlepas dari tanganmu.”
Sima Rodra
muda itu tidak menjawab, tetapi segera ia melanjutkan serangannya dengan tombak
pendeknya yang dinamainya Kyai Kalatadah, yang pernah hampir saja dicuri oleh
anak buah sepasang Uling dari Rawa Pening. Serangan itu datangnya cepat sekali
sehingga Lawa Ijo tidak sempat mengelak. Segera ia menggerakkan kedua pisau
belatinya untuk menangkis serangan Sima Rodra. Dua kekuatan yang dahsyat saling
beradu. Terdengarlah suara gemerincing nyaring dan bunga api berpencaran di
udara. Mahesa Jenar tertegun melihat kejadian itu. Segera ia mengurungkan
niatnya. Dan tiba-tiba saja timbul keinginannya untuk menyaksikan dua tokoh
golongan hitam itu mengadu tenaga. Maka segera terjadilah pertempuran yang
dahsyat. Kedua-duanya percaya pada kekuatan tubuhnya sehingga tampaknya mereka
berdua segan untuk mengelakkan diri dari benturan-benturan. Kedua tangan Lawa
Ijo yang memegang dua bilah pisau belati panjang itu menyambar-nyambar,
seolah-olah berdatangan dari segala arah. Sedang Sima Rodra dengan dahsyatnya
pula memutar tombak pendeknya mengarah ke segenap bagian tubuh Lawa Ijo. Kedua
orang tokoh hitam itu, apabila tidak dikendalikan oleh kemarahan yang
meluap-luap, pastilah mereka akan menghindari pertempuran. Sebab mereka telah
merasa bahwa kekuatan mereka seimbang, sehingga perkelahian yang semacam itu
hanya akan membuang-buang waktu saja. Beberapa waktu yang lalu Lawa Ijo sudah
pernah bertempur melawan Sima Rodra. Tetapi tak seorang pun yang dapat
mengatasi yang lain. Kemudian setelah beberapa lama mereka berpisah merendam
diri untuk mempersiapkan pertemuan terakhir tahun ini, tiba-tiba mereka bertemu
dalam satu tujuan yang sama.
Meskipun
masing-masing telah mendapat tambahan ilmu yang cukup banyak, namun ternyata
kekuatan mereka masih tetap seimbang. Melihat pertempuran itu, hati Mahesa
Jenar tergetar juga. Seandainya ia tidak memiliki ilmu sakti Sasra Birawa,
mungkin sulit baginya untuk dapat mengalahkan baik Lawa Ijo maupun Sima Rodra.
Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin seru. Keduanya ingin dapat
menjatuhkan lawannya dengan segera. Tetapi yang agak mengherankan Mahesa Jenar,
kenapa Sima Rodra baru saat itu muncul di arena. Apakah kerjanya sebelum itu…?
Padahal sesaat sebelum ia menyerang Lawa Ijo, laskarnya sudah jauh terdesak
oleh Laskar Banyubiru yang merasa mendapat tenaga baru dengan hadirnya Gajah
Sora. Di lain bagian dari pertempuran itu nampak Lembu Sora dan Jaka Soka
bekerja keras untuk dapat menguasai lawannya. Tetapi ternyata keduanya pun
memiliki kekuatan yang seimbang. Hanya keseimbangan pertempuran diantara
laskar-laskar mereka kini telah berubah sama sekali. Laskar Banyubiru dalam
waktu yang dekat pasti akan dapat menguasai keadaan, apalagi pada saat itu
Gajah Sora dan Mahesa Jenar ada didalam barisan Laskar Banyubiru tanpa ada yang
dapat menghalangi gerakan-gerakan mereka. Tetapi sementara itu, tiba-tiba agak
jauh di ujung desa, Mahesa Jenar melihat bayangan yang bergerak-gerak dengan
kecepatan yang luar biasa. Gerakan-gerakan mereka jauh lebih cepat dan lincah
daripada gerakan-gerakan Sima Rodra maupun Lawa Ijo.
SEGERA Mahesa
Jenar tertarik pada bayangan itu. Dan untuk sementara ia lupa bahwa ia sedang
menonton pertempuran antara dua orang tokoh hitam yang gagah itu. Oleh karena
itu ia segera meloncat memburu ke arah bayangan yang tampaknya hanya
samar-samar, dan selalu bergerak-gerak itu. Ketika sudah dekat, barulah ia
dapat melihat agak jelas bahwa dalam kepekatan malam yang hanya dapat dicapai
samar-samar oleh sinar-sinar api yang masih berkobar-kobar itu, ada dua orang
yang sedang bertempur pula. Tetapi pertempuran ini sangat mengejutkan hati
Mahesa Jenar. Kedua orang yang sedang bertempur itu ternyata memiliki kesaktian
yang sangat tinggi. Mereka bergerak-gerak, berputar-putar dan meloncat-loncat
seperti tubuhnya tidak memiliki berat. Bahkan kadang-kadang kedua orang itu
meloncat tinggi berputar di udara, dan kadang-kadang hampir seperti
terapung-apung untuk beberapa saat. Tetapi kadang-kadang mereka berubah menjadi
dua orang yang seolah-olah bertubuh besi yang saling membentur, menghantam
dengan kuatnya, seakan-akan mereka bukan manusia-manusia yang tubuhnya terdiri
dari daging dan tulang-tulang yang dapat patah. Melihat bayangan yang bertempur
dengan hebatnya itu Mahesa Jenar tertegun heran. Pastilah kedua orang itu
memiliki ilmu yang tinggi.
Sementara itu,
rupanya Gajah Sora melihat pula dua orang yang sedang bertempur itu. Ternyata
seperti juga Mahesa Jenar, ia pun berusaha untuk mendekat.
“Siapakah
mereka?” tanya Gajah Sora.
Mahesa Jenar
menggelengkan kepala.
“Entahlah,”
jawabnya.
“Marilah
dengan hati-hati kita dekati, mereka pasti tergolong dalam angkatan yang jauh
di atas kita,” sambung Gajah Sora.
Mahesa Jenar
tidak menjawab, tetapi apa yang dikatakan oleh Gajah Sora itu memang sudah
terpikir olehnya. Karena itu segera ia pun menyusup ke sebuah halaman dan
dengan mengendap-endap bersama Gajah Sora, berusaha untuk mendekati dua orang
yang sedang bertempur dengan hebatnya itu. Untuk mendekati tempat pertarungan
itu tidaklah sulit bagi Mahesa Jenar dan Gajah Sora, sebab mereka bertempur di
satu tempat yang sempit tanpa berkisar dari satu titik, yaitu di tengah jalan
dusun di ujung desa. Semakin dekat mereka dengan titik pertarungan itu, menjadi
semakin jelas pula ketinggian ilmu kedua orang yang bertanding itu. Mereka
saling menghantam, menangkap dan membanting lawannya. Tetapi demikian salah
seorang terlempar ke atas tanah, demikian ia melenting dan tegak kembali untuk
dalam sekejap telah dapat membalas menyerang pula. Gajah Sora dan Mahesa Jenar
tergolong orang-orang yang memiliki kesaktian yang tidak kecil artinya di
kalangan orang-orang perkasa. Tetapi melihat cara kedua orang itu bertempur
terasalah bahwa ilmu mereka itu baru merupakan ilmu yang permulaan saja. Ketika
mereka berdua, Gajah Sora dan Mahesa Jenar, sedang terikat oleh pertempuran
itu, tiba-tiba terdengarlah salah seorang diantara mereka berkata,
“Hei, apa kerjamu
di sini?”
Gajah Sora dan
Mahesa Jenar terkejut bukan main. Mereka berdua berada di tempat yang
terlindung dan gelap. Sedangkan mereka berdua saja masih belum sempat
menyaksikan kedua orang yang berdiri di tengah jalan itu dengan baik, tetapi
justru salah seorang diantaranya sudah dapat melihat mereka yang berlindung.
Untuk sementara Gajah Sora dan Mahesa Jenar masih berdiam diri. Mungkin bukan
mereka yang disapa.
“Rupa-rupanya
kau sengaja memanggilnya supaya membantumu,” jawab yang lain masih sambil
bertempur.
“Tutup
mulutmu,” bentak yang lain pula.
“Jangan
terlalu sombong. Kau kira bahwa aku tak mampu melawanmu.”
Yang lain diam
tak menjawab, tetapi rasanya mereka bertempur semakin seru.
Ketika sesaat
kemudian Gajah Sora dan Mahesa Jenar masih belum menjawab, kembali terdengar
suara orang yang pertama.
“Hai Gajah
Sora dan Mahesa Jenar, kenapa kau berdiri seperti patung di situ?”
Mendengar nama
mereka disebut, baru Gajah Sora dan Mahesa Jenar yakin bahwa benar-benar mereka
berdualah yang disapa oleh orang itu. Tetapi belum lagi salah seorang menjawab,
terdengar suara orang kedua,
“Hei, kenapa
kalian tak membantu bapakmu yang sudah hampir kehabisan napas?”
Mendengar
kata-kata itu, Gajah Sora dan Mahesa Jenar tersentak. Mereka tidak perlu lagi
bersembunyi-sembunyi. Karena itu mereka berdua meloncat mendekat. Ketika mereka
sudah demikian dekat, barulah mereka tahu bahwa benar-benar Ki Ageng Sora
Dipayana yang sedang bertempur dengan dahsyatnya itu melawan seorang bertubuh
raksasa yang mempunyai kesaktian sejajar pula. Tetapi rasa-rasanya mereka masih
belum mengenal orang itu.
“Gajah Sora…”
kata Ki Ageng Sora Dipayana tanpa mengalihkan perhatiannya sedikitpun dari
lawan-lawannya.
“Kenapa kau
begitu bodoh meninggalkan rumahmu tak terjaga?”
“Paman
Wanamerta, Sawungrana dan Panjawi dengan pasukannya berjaga-jaga di sana,
Ayah,” jawabnya.
“Apa arti dari
mereka bertiga. Pulanglah. Ajak Mahesa Jenar. Tinggalkan Lembu Sora bersamaku
di sini,” perintahnya.
“Bukankah
laskarmu di sini tidak banyak menderita kekalahan?”
“Mereka
memberikan tanda kekalahan itu, Ayah,” jawab Gajah Sora.
“Akh… kau
memang terlalu muda digugah kemarahan Gajah Sora. Prajurit Banyubiru meskipun
terpaksa menarik pasukannya beberapa kali tetapi masih belum memberi tanda
kekalahan. Paling-paling mereka akan minta bantuan laskar cadangan.”
“Tetapi tanda
itu telah dibunyikan, Ayah….” Gajah Sora mencoba menjelaskan.
KI AGENG Sora
Dipayana masih melayani lawannya dengan gigih. Mereka bertempur dengan cara
yang agak membingungkan bagi Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Tubuh mereka
seolah-olah menjadi kebal dan tidak dapat disakiti oleh pukulan yang
bagaimanapun kerasnya. Karena itu baik Gajah Sora maupun Mahesa Jenar tidak
tahu bagaimana terbuka kemungkinan untuk dapat memenangkan pertempuran itu.
“Gajah Sora…
yang membunyikan tanda itu bukanlah Laskar Banyubiru. Tetapi itu hanyalah suatu
cara buat menarikmu untuk datang ke daerah pertempuran ini,” kata Ki Ageng Sora
Dipayana.
Mendengar
keterangan ayahnya, hati Gajah Sora terguncang hebat. Karena itu segera ia meloncat
meninggalkan tempat itu untuk segera kembali ke rumahnya.
“Gajah Sora…”
panggil ayahnya sebelum Gajah Sora jauh. Gajah Sora berhenti sejenak.
“Suruhlah
Pandan Kuning, Bantaran, Panunggal dan beberapa orang kemari. Suruhlah mereka
membawa tali yang kuat untuk mengikat kucing sakit-sakitan ini.”
“Hemmm….!”
geram lawannya.
“Kau kira kau
bisa menangkap aku?”
“Kalau dalam
keadaan keseimbangan… setetes air akan mempunyai pengaruh untuk mengubah
keseimbangan itu. Maka kedatangan beberapa orang yang tak berarti itu pasti
mempunyai akibat yang tak kau harapkan,” jawab Sora Dipayana.
“Setan tua…,
kau licik sekali!”, Kembali orang itu menggeram berusaha menangkap seorang
penyerang.
“Apakah itu
licik?”, jawab Sora Dipayana.
“Nah Gajah
Sora dan Mahesa Jenar, berangkatlah,” katanya kepada Gajah Sora dan Mahesa
Jenar.
Gajah Sora dan
Mahesa Jenar segera berlari meninggalkan tempat itu, sambil memberi aba-aba
kepada Pandan Kuning dan kawan-kawannya. Apalagi pada waktu itu keadaan
pertempuran seolah-olah sudah hampir seluruhnya dapat dikuasai oleh Laskar
Banyubiru, kecuali pertarungan antara Sima Rodra muda dengan Lawa Ijo serta
Jaka Soka melawan Lembu Sora.
Gajah Sora
cepat-cepat melompat ke kuda putihnya, sedang Mahesa Jenar berlari
kencang-kencang ke kudanya yang ditambatkannya tadi. Dan sejenak kemudian
mereka telah berpacu ke arah rumah Ki Ageng Gajah Sora. Seperti pada saat
mereka berangkat, demikian pula pada saat itu, rasanya kuda-kuda itu berjalan
demikian lambatnya. Beberapa kali mereka mendera kuda mereka untuk segera
sampai di rumah. Sebab kalau sampai Ki Ageng Sora Dipayana merasa khawatir,
maka pastilah ada sesuatu yang mengancam keselamatan pusaka-pusaka yang
disimpannya. Pada saat mereka meninggalkan arena pertempuran itu, mereka masih
dapat mendengar suara lawan Ki Ageng Soradipayana itu mengaum seperti seekor
harimau, dan sesaat kemudian disahut oleh auman yang menyeramkan pula dari Sima
Rodra muda. Ketika mereka menoleh, tampaklah sebagian dari laskar yang sedang
bertempur itu berloncatan meninggalkan gelanggang, seperti air laut yang sedang
surut. Maka dengan cepatnya jumlah laskar itu menjadi berkurang. Tetapi mereka
sudah tidak punya waktu lagi untuk memperhatikan perubahan itu dengan seksama,
sebab pikiran mereka telah lari mendahului ke arah pusaka-pusaka yang mereka
simpan.
Namun demikian
Gajah Sora sambil memacu kudanya masih sempat bertanya,
“Adi Mahesa
Jenar, siapakah kira-kira yang bertempur melawan ayah itu? ”
Mahesa Jenar
menarik keningnya. Lalu jawabnya,
“Aku tak dapat
mengatakan dengan pasti Kakang. Tetapi aku kira ia adalah Sima Rodra tua dari
Lodaya.”
“Tepat seperti
dugaanku,” sahut Gajah Sora.
“Bulu-bulu
yang jarang-jarang yang tumbuh di wajahnya, tubuhnya yang besar seperti
raksasa, dan akhirnya teriakannya yang seperti aum seekor harimau. Hanya saja
ia tidak mengenakan kerudung kulit harimau hutan seperti pada saat kita jumpai
pertama kali. Itu adalah usahanya untuk menyamar sebagai laskar biasa, Kakang.”
“Untunglah
bahwa Ki Ageng Sora Dipayana tidak membiarkan daerah ini,” kata Mahesa Jenar.
Gajah Sora
tidak menjawab lagi. Kudanya dipacu semakin kencang. Kudanya adalah kuda
pilihan, yang memiliki kecepatan berlari seperti anak panah. Tetapi pada saat
itu rasa-rasanya kuda itu berlari seperti keong yang merayap-rayap di batu-batu
berlumut. Semakin dekat mereka dengan halaman rumah Gajah Sora, hati mereka
menjadi semakin tegang. Pikiran mereka dipenuhi oleh berbagai macam gambaran
yang mungkin terjadi pada kedua keris pusaka yang disimpannya. Akhirnya ketika
mereka muncul dari sebuah kelokan jalan, terbentanglah di hadapan mereka
Alun-alun Banyubiru, dan setelah menyeberangi jalan-jalan itu, mereka akan
sampai di rumah Gajah Sora. Dari kejauhan, rumah itu nampaknya sepi saja. Tak
ada sesuatu yang mencurigakan, apalagi keributan-keributan. Tetapi meskipun
demikian hati mereka malahan semakin bergelora. Tiba-tiba tampaklah di hadapan
mereka, di tengah-tengah alun-alun, di antara dua batang beringin tua yang
tumbuh di alun-alun itu, meloncat-loncat dua bayangan dengan gerakan-gerakan
aneh.
TERNYATA
mereka adalah dua orang yang sedang bertempur pula. Gerakan-gerakan mereka
tampak aneh dan cepat seperti dua ekor burung yang sedang berlaga, sambar
menyambar. Sebentar mereka berloncatan dan berkelahi diatas dinding pohon
beringin yang hanya secengkal tebalnya. Tetapi seolah-olah kaki mereka memiliki
alat perekat, sehingga mereka tidak dapat jatuh. Yang mengagumkan kadang-kadang
mereka berloncatan dan berkejaran diantara ranting-ranting dan sulur beringin
tua itu, dengan gerakan yang seolah-olah mereka berada diatas tanah saja.
Melihat mereka yang bertempur itu Gajah Sora dan Mahesa Jenar menarik kekang
kudanya, dan berhenti beberapa langkah dari pohon beringin itu. Didalam gelap
malam serta gerak-gerak yang melontar kesana kemari, agak sulitlah bagi Mahesa
Jenar dan Gajah Sora untuk segera mengenal orang yang sedang berkelahi itu.
Tetapi menilik gerak serta cara mereka, pastilah mereka tergolong dalam tataran
yang sama tinggi dengan Ki Ageng Sora Dipayana. Beberapa kali Gajah Sora dan
Mahesa Jenar melarikan kudanya melingkari pohon beringin itu. Tetapi setiap
kali mereka hanya melihat bayangan yang berloncatan dan lenyap di balik pohon
beringin itu. Namun bagaimanapun, Gajah Sora dan Mahesa Jenar telah memiliki
dasar-dasar ilmu kepandaian yang cukup, sehingga meskipun agak lama akhirnya
dengan terperanjat sekali mereka melihat salah seorang diantaranya mengenakan
jubah abu-abu dan bertopeng kayu yang kasar buatannya, sehingga mirip dengan
wajah hantu.
“Pasingsingan,”
desis Mahesa Jenar.
“Ya, Pasingsingan,”
ulang Gajah Sora.
Belum lagi
mereka dapat mengenal dengan baik yang satu lagi, terdengarlah lawan
Pasingsingan itu berkata,
‘Hai anak-anak
bodoh, jangan menonton seperti menonton adu jago. Lebih baik kau pulang dan
lihat barang-barangmu.”
Mendengar suara
orang itu, darah Mahesa Jenar tersirap. Ia pernah mendengar suara itu dan
bahkan ia pernah menerima perintahnya untuk mencari keris Nagasasra dan Sabuk
Inten. Maka dengan tak disengaja ia berteriak,
“Bukankah tuan
Ki Ageng Pandan Alas”
Maka jawab orang
itu,
“Ingatanmu
baik sekali Mahesa Jenar, tetapi lekaslah pergi.”
Mahesa Jenar
tidak menjawab lagi. Dua tokoh sakti telah memperingatkan mereka mengenai
pusaka-pusaka itu. Maka segera mereka memutar kuda mereka dan dilarikan menuju
ke halaman rumah Gajah Sora. Dalam waktu yang pendek itu Gajah Sora sempat
bertanya,
“Beliaukah Ki
Ageng Pandan Alas?”
“Ya,
beliaulah. Apakah Kakang Gajah Sora belum pernah mengenalnya?” kata Mahesa
Jenar.
“Pernah,
tetapi sudah lama sekali,” jawab Gajah Sora.
Sementara itu
kuda mereka telah sampai di muka pintu gerbang halaman rumah Gajah Sora. Dua
orang penjaga gerbang masih berdiri dengan tegapnya. Ketika mereka melihat Ki
Ageng Gajah Sora dan Mahesa Jenar datang, segera kedua penjaga itu membungkuk
hormat. Gajah Sora tidak dapat menunggu lebih lama lagi untuk menanyakan
tentang keamanan rumahnya, maka kepada dua orang penjaga itu ia bertanya,
“Apakah yang
sudah terjadi?”
“Tidak ada
apa-apa yang terjadi, Ki Ageng,” jawabnya.
Mendengar
jawaban itu perasaan Gajah Sora dan Mahesa Jenar agak lega sedikit, tetapi
dalam lubuk hati mereka yang paling dalam tersembunyi suatu kebimbangan atas
kebenaran keterangan penjaga itu. Mereka berdua seolah-olah mendapat suatu
firasat yang kurang menenteramkan hati mereka. Maka mereka berdua segera
memasuki halaman dan langsung menuju ke pendapa. Di pendapa itu tampak
Wanamerta dan Sawungrana masih duduk dengan tenangnya. Ketika mereka melihat
Gajah Sora dan Mahesa Jenar, segera mereka berdua pun berdiri menyambutnya.
“Paman
Wanamerta… tidak adakah sesuatu yang terjadi di sini?” tanya Gajah Sora tidak
sabar.
“Pangestu
Anakmas tak ada sesuatu yang terjadi,” jawab Wanamerta.
Gajah Sora
menarik nafas dalam-dalam. Agaknya ia tambah lega mendengar jawaban itu. Sebab
Wanamerta dan Sawungrana bukanlah anak kecil yang dapat dipermainkan.
Di halaman
rumah itu masih nampak beberapa orang laskar yang berjaga-jaga berjalan hilir
mudik dengan senjata siap di tangan, sedangkan di gandok kulon, tempat pondokan
Ki Ageng Lembu Sora pun masih nampak beberapa orangnya ikut berjaga-jaga.
“Bagaimanakah
dengan Panjawi?” tanya Gajah Sora pula.
“Agaknya juga
tidak mengalami sesuatu, Anakmas. Baru saja Adi Sawungrana nganglang ke
belakang rumah, dan di sana Panjawi tampak selalu bersiaga,” jawab Wanamerta,
“Syukurlah,” desis
Gajah Sora.
Mendengar
semua keterangan itu, gelora perasaan Gajah Sora dan Mahesa Jenar terasa agak
mengendor sedikit, setelah mereka mengalami ketegangan perasaan beberapa saat
lamanya. Memang sulit untuk dapat memasuki halaman itu tanpa dilihat oleh salah
seorang pengawal. Sebab dinding halaman Gajah Sora cukup tinggi dan gerbangnya
pun terjaga rapat.
Beberapa orang
pengawal berjaga-jaga di sekeliling halaman, di setiap tujuh delapan langkah
seorang dan melekat dinding halaman. Kalau demikian, maka agaknya
peringatan-peringatan yang diberikan oleh Ki Ageng Sora Dipayana maupun Ki
Ageng Pandan Alas hanyalah sikap hati-hati dari orang-orang tua saja. Tetapi
belum lagi Gajah Sora dan Mahesa Jenar puas menarik nafas lega, tiba-tiba
dikejutkan oleh jerit Arya Salaka dari dalam rumah. Serentak mereka berdiri dan
dengan kecepatan yang luar biasa mereka meloncat ke arah suara Arya. Wanamerta
dan dua tiga orang yang berdiri paling dekat dengan pintu segera mendorongnya
dan meloncat masuk.
No comments:
Post a Comment