SEKALI lagi Mahesa Jenar terguncang hatinya. Anak itu benar-benar telah menguasai Sasra Birawa dengan baik dalam bentuk lahirnya. Tetapi baginya adalah sudah terlalu cukup. Namun ia masih mencoba menahan perasaannya. Seakan-akan ia sama sekali tidak menaruh perhatian atas muridnya itu, tetapi ia bahkan duduk di tengah dengan enaknya sambil mengeluarkan pisaunya. Dengan tenangnya Mahesa Jenar mulai mencukur janggut dan kumisnya. Arya mula-mula tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh gurunya. Tetapi sikap acuh tak acuh itu telah mengecilkan hatinya pula, dan disamping itu ia semakin tidak mengerti pada sifat gurunya yang menjadi aneh dan lain.
Dalam
kebimbangan itu, kadang-kadang terselip di sudut hatinya suatu pertanyaan,
apakah orang yang menuntunnya selama ini benar-benar gurunya yang membawanya
mengembara dari satu tempat ke tempat lain, sejak melarikannya dari Banyubiru?
Alangkah jauh bedanya. Sejak ia terpisah di dalam salah sebuah saluran di dalam
goa ini, kemudian tersesat masuk ke dalam ruangan ini, ia merasakan bahwa
gurunya menjadi berubah sifat. Beberapa hari ia tinggal sendiri di dalam
ruangan ini, sampai kemudian gurunya menemukannya disini. Yang mula-mula di
dengar dari mulut gurunya bukanlah pernyataan gembira, tetapi bentakan-bentakan
kasar dan marah. Apakah Mahesa Jenar dapat berbuat demikian…? Dan apakah dalam
beberapa hari itu, sudah cukup waktu untuk menjadikan gurunya berwajah gelap
oleh kumis dan janggut yang tumbuh demikian lebatnya…? Sekarang ia melihat
orang yang meragukan itu mencukur janggut dan kumisnya. Tetapi kemudian ia
menjadi kecewa sekali. Sebab setelah orang yang diragukan itu berwajah bersih,
benarlah, ia adalah Mahesa Jenar. Gurunya yang membawanya pergi dari Banyubiru.
Yang menuntunnya dengan penuh kasih sayang. Tetapi yang akhir-akhir ini selalu
kecewa kepadanya. Kecewa kepada kelambatannya. Sampai beberapa saat ia masih
saja kaku berdiri memandangi Mahesa Jenar membersihkan wajahnya. Sekarang Arya
tidak ragu-ragu lagi. Memang orang itulah Mahesa Jenar. Meskipun ruang itu
sudah semakin suram, namun garis-garis wajah itu sudah sangat dikenalnya.
“Arya…”
tiba-tiba ia mendengar gurunya berkata,
“Meskipun
tingkat ilmunya masih agak mengecewakan, tetapi pada saat ini aku sudah
menganggap cukup. Kau sudah dapat melayani Putut Karang Tunggal meskipun belum
seimbang benar. Dan barangkali jarak yang ada di antara kau berdua tidak
semakin pendek, bahkan akan menjadi semakin jauh, karena Putut itu bukanlah
anak-anak sewajarnya. Apa yang kau pertunjukkan pada saat terakhir tadi telah
menunjukkan kemajuan yang besar selama kau berada di dalam ruang ini. Karena
itu, sebentar lagi kau boleh mengikuti aku keluar dari ruang ini.”
Mendengar
kata-kata gurunya, Arya menjadi gembira sekali. Kegembiraan yang hampir tak
dapat ditahankan, sehingga hampir-hampir saja ia menjerit kegirangan. Tetapi
segera ia berusaha sekuat tenaga untuk menahannya. Ia tidak tahu apakah halyang
demikian itu akan dibenarkan oleh gurunya. Karena itulah maka, yang terpancar
kemudian hanyalah nyala di matanya. Bahkan mata itu kemudian menjadi basah. Dan
hampir saja Arya Salaka yang telah mampu memecahkan batu sebesar kepalanya itu
menangis. Untunglah bahwa ruang itu telah menjadi semakin gelap sehingga Mahesa
Jenar tidak lagi melihat mata itu. Tidak lagi melihat air yang membayang di
mata muridnya. Sebab apabila mata yang sayu itu dilihatnya menjadi basah,
mungkin Mahesa Jenar tidak lagi dapat menahan perasaannya. Perasaan seorang
guru, ia bahkan hampir seperti perasaan seorang bapa terhadap anak tunggalnya
yang selama ini dibawanya merantau untuk menyelamatkan dari usaha-usaha untuk
membinasakannya.
Sekarang
Mahesa Jenar melihat kemungkinan menjadi lain. Anak itu sekarang sudah dapat
menjaga dirinya sendiri, serta mempunyai bekal yang cukup buat masa depannya.
Mahesa Jenar menjadi berbangga atas muridnya itu. Kalau nanti pada suatu
ketika, ia bertemu dengan Gajah Sora, maka ia akan dapat menyerahkan Arya
Salaka tanpa mengecewakan sahabatnya itu. Sesaat kemudian Mahesa Jenarpun
berdiri dan melangkah keluar ruangan sambil berkata acuh tak acuh,
“Arya,
ikutilah”.
Sekali lagi
kegembiraan melonjak di dalam dada Arya. Segera ia pun mengikuti gurunya
dekat-dekat supaya ia tidak lagi kehilangan jalan. Kemudian sampailah mereka ke
dalam ruangan dimana Mahesa Jenar bertemu dengan Putut Karang Tunggal waktu ia
berjalan bersama Kebo Kanigara. Benarlah dari ruangan itu ia melihat bayangan
cahaya api. Segera Mahesa Jenar berjalan menyusur jalan-jalan goa yang sempit
ke arah api itu. Ketika mereka sampai, dilihatnya Putut Karang Tunggal seorang
diri memegangi sebuah obor.
“Selamat sore
Paman Mahesa Jenar,” sapanya sambil membungkuk hormat.
“Selamat sore
Karang Tunggal,” jawab Mahesa Jenar. Mula-mula ia ingin menanyakan di mana Kebo
Kanigara. Tetapi maksud itu diurungkan. Namun bagaimanapun juga ia menjadi
sangat berterima kasih di dalam hatinya, bahwa untuk kepentingannya serta
muridnya, Kebo Kanigara bekerja keras dan melakukan hal-hal yang aneh. Tetapi
lebih dari pada itu adalah untuk kesuburan persemaian perguruan Pengging.
Sejenak
kemudian Putut itu berkata pula,
“Paman,
marilah kita tinggalkan goa ini. Ada sesuatu yang penting yang akan disampaikan
oleh Eyang Ismaya”.
Mahesa Jenar
menjadi beragu. Ia tidak tahu apakah Putut itu berkata sebenarnya, ataukah
hanya merupakan suatu alasan untuk membawanya keluar dari dalam goa itu. Karena
itu ia berdiam diri sampai Putut itu melanjutkan,
“Seseorang
yang baru saja datang kemari ingin bertemu dengan Paman”.
“Siapakah
dia?” tanya Mahesa Jenar sekenanya.
“Paman Kebo
Kanigara,” jawab Putut Karang Tunggal.
“Itukah yang
penting?” tanya Mahesa Jenar pula.
“Bukan itu
saja,” jawab Putut Karang Tunggal.
“Ada dua tiga
soal yang lain”.
Mahesa Jenar
tidak menjawab lagi. Dipersilahkannya Putut yang membawa obor itu berjalan
dahulu, kemudian ia pun mengikutinya bersama Arya Salaka yang masih berdiam
diri saja. Setelah mereka berjalan berliku-liku, akhirnya sampailah mereka ke
ruang yang sering dipergunakannya bermain para cantrik. Dari sana mereka
menerobos sebuah lubang yang di luarnya tertutup oleh dedaunan yang rimbun.
Demikian mereka tegak di luar goa itu, terasalah udara malam yang segar
memercik ke wajah mereka. Sedang di atas kepala mereka, bertaburan
bintang-bintang yang berpencaran memenuhi langit yang biru hitam. Seleret awan
putih membujur dari kutub ke kutub seolah-olah membagi langit menjadi dua
bagian. Sedang dari semak-semak di sekitar mereka, terdengarlah bunyi jangkrik
bersautan di antara nyanyi belalang. Bersamaan dengan itu terlonjak pula hati
Arya Salaka, yang merasa telah menyelesaikan suatu kewajiban yang berat. Kalau
mula-mula ia menjadi bingung atas kelakuan gurunya, maka akhirnya ia mengira
bahwa hal itu adalah merupakan suatu tahap yang memang harus dilalui. Tetapi
sebenarnya bukan saja Arya Salaka yang mempunyai perasaan demikian. Mahesa
Jenar pun seolah-olah merasa terlepas dari suatu daerah sepi yang penuh dengan
pemerasan keringat dan pikiran.
Mengingat hal
itu Mahesa Jenar menjadi tersenyum sendiri. Apalagi kalau ia dengan sepintas
lalu memandang wajah Arya Salaka. Ia menjadi geli. Anak itu merasa seolah-olah
telah mendapat gemblengan yang berat dari padanya, padahal ia sendiri sedang
melakukan hal yang serupa. Menggembleng diri sendiri. Beberapa lama kemudian
sampailah mereka ke rumah dimana mereka selalu diterima oleh Panembahan Ismaya.
Di dalam rumah itu tampak memancar cahaya pelita yang berkedip-kedip karena
permainan angin pegunungan. Cahayanya yang kuning kemerahan menembus
lubang-lubang dinding membuat garis-garis lurus yang berpencaran. Ketika mereka
memasuki rumah itu, tampaklah Panembahan Ismaya duduk di atas batu hitamnya
yang dialasi dengan kulit kayu. Demikian orang tua itu melihat kehadirannya
segera ia bangkit dan menyambut dengan hormatnya, sambil mempersilahkannya
duduk.
“Agaknya
Anakmas tidak begitu senang tinggal di dalam goa yang gelap itu,” kata Ismaya
kemudian.
“Ternyata
Anakmas dan Cucu Arya Salaka menjadi kurus”.
Mahesa Jenar
tersenyum. Ia menjadi agak sulit untuk menjawab, karena itu katanya,
“Tidak
Panembahan, kami senang tinggal di dalam goa itu”.
Panembahan tua
itu mengangguk-angguk. Lalu sambungnya,
“Tetapi aku
girang bahwa Anakmas dan Cucu Arya Salaka tetap segar. Bukankah tiada sesuatu
selama ini?”
“Tidak
Panembahan, tidak,” jawab Mahesa Jenar.
“Demikianlah
yang aku kehendaki,” sahut Panembahan Ismaya pula.
“Tetapi
ketahuilah Anakmas, apa yang anakmas takutkan ternyata benar-benar terjadi.
Orang-orang yang mengepung bukit ini menyerbu naik”.
Dada Mahesa
Jenar tergetar mendengar keterangan itu. Maka iapun bertanya pula,
“Adakah mereka
memperlakukan Panembahan dengan kasar?”
“Tidak begitu
kasar,” jawab Panembahan Ismaya.
”Tetapi mereka
mengaduk hampir segala sudut bukit ini”.
“Dan
Panembahan tidak memberitahukan itu kepadaku…?” sahut Mahesa Jenar.
“Aku hanya
memberitahukan kepada Anakmas kalau mereka akan menyakiti kami,” jawab
Panembahan itu pula.
“Tetapi
ternyata mereka hanya mencari-cari saja”.
MAHESA JENAR
akan mendesak pula dengan berbagai pertanyaan, tetapi diurungkannya ketika ia
ingat bahwa di sini ada Kebo Kanigara dan Putut Karang Tunggal. Sehingga
seandainya Panembahan Ismaya ingin melawannya dengan kekerasan, maka tidak pula
ada perlunya untuk memanggilnya. Karena itu kemudian ia tidak berkata-kata
lagi. Ia bahkan merasa malu bahwa seolah-olah di bukit kecil itu tak ada orang
lain yang mampu menyelamatkannya selain daripada dirinya. Maka untuk beberapa
saat suasana menjadi hening sepi. Desir angin di dedaunan menimbulkan suara
lirih seperti dendang seorang ibu yang menidurkan anaknya. Maka kemudian
kesepian itu dipecahkan oleh suara Panembahan Ismaya yang berkata,
“Anakmas,
agaknya malam telah larut. Karena itu beristirahat di pondok lain”.
“Baiklah
Panembahan,” jawab Mahesa Jenar.
“Kalau Anakmas
keluar dari ruangan ini, Anakmas akan melihat rumah di sebelah barat. Di
situlah Anakmas beristirahat,” sambung Panembahan Ismaya pula.
“Di sana
Anakmas akan beristirahat bersama dengan Kebo Kanigara”.
Setelah sekali
lagi Mahesa Jenar mengiyakan, maka melangkahlah ia keluar ruangan itu. Tidak
beberapa jauh di sebelah barat tampak sebuah rumah yang lebih kecil dari rumah
itu. Dari dalamnya memancar pula cahaya api yang redup. Di dalam rumah itu
ditemuinya Kebo Kanigara telah membaringkan dirinya. Ketika ia melihat Mahesa
Jenar berkatalah ia,
“Mahesa Jenar,
duduklah. Tutup pintu itu supaya tidak terlalu dingin. Dan dengarlah aku
berceritera”.
Mahesa Jenar
memandang wajah Kanigara yang tersenyum-senyum dan sudah bersih pula seperti
wajahnya. Ia menjadi curiga. Tetapi ia melangkah juga menutup pintu dan
kemudian duduk di sampingnya.
“Kau ingat
pada waktu aku pertama-tama kaulihat?” tanya Kebo Kanigara.
“Ya,” jawab
Mahesa Jenar singkat sambil mengangguk.
“Di mana
muridmu sekarang?” tanya Kanigara tiba-tiba.
“Di rumah
sebelah bersama-sama dengan Karang Tunggal,” jawabnya singkat.
“Bagus, suatu
kebetulan. Karang Tunggal itu suka sekali berceritera. Pengetahuannya sangat
luas, sebab ia sangat gemar menyepi dan merantau. Jarang-jarang sekali ia
tinggal di rumah. Sehingga ibu angkatnya, Nyai Tingkir selalu marah kepadanya”.
Kanigara
berhenti sebentar lalu meneruskan,
“Arya akan
senang bersama dia. Lalu seterusnya mengenai urusanmu. Dengarlah. Kau lihat
bahwa aku pada saat itu atas nama Mahesa Jenar melarikan seorang gadis?”
Mendengar
pertanyaan itu hati Mahesa Jenar berdesir. Dengan kaku ia mengangguk
mengiyakan.
“Gadis itu aku
sembunyikan. Sejak malam itu aku belum pernah menemuinya. Aku takut kalau ia
mengenal aku yang ternyata bukan Mahesa Jenar. Dan aku juga takut kalau
tiba-tiba aku merasa bahwa akulah sebenarnya Mahesa Jenar itu”. Kanigara
meneruskan sambil tersenyum. Mahesa Jenarpun tersenyum pula. Tersenyum kaku.
“Kau harus
menemuinya,” sambung Kanigara pula.
Mahesa Jenar
mengangguk saja tanpa sesadarnya.
“Biarlah
anakku mengantarkanmu nanti,” kata Kanigara pula. Mahesa Jenar terperanjat.
Sehingga ia pun bertanya,
“Siapakah
Kakang Kanigara itu?”
“Seorang anak
perempuan,” jawab Kanigara,
“Namanya
Widuri”.
“Widuri…?
Endang Widuri? Jadi adakah anak itu putri Kakang Kanigara?” tanya Mahesa Jenar
pula.
“Ya,” jawab
Kanigara singkat.
“Aku belum
pernah mendengar sebelumnya,” kata Mahesa Jenar.
“Adakah anak
itu dilahirkan di Demak?”
“Aku
meninggalkan Demak sejauh umur anak itu,” jawab Kanigara.
“Sebenarnya
aku tidak pernah menginginkan untuk meninggalkan kota itu. Tetapi keadaan
memaksa aku berbuat demikian”.
Mahesa Jenar
mendengarkan dengan penuh perhatian. Agaknya karena itulah maka Kebo Kanigara
belasan tahun yang lalu lenyap dari pecaturan masyarakat Demak. Sesaat kemudian
Kanigara meneruskan,
“Kemudian aku
bawa istriku meninggalkan Demak. Anak itu lahir di perjalanan. Sedang beberapa
tahun kemudian ibunya meninggal dunia. Untunglah bahwa aku bertemu dengan
seseorang yang kemudian menerima kami tinggal bersama, Panembahan Ismaya”.
Terbayanglah
di mata Kebo Kanigara, suatu masa yang pahit di dalam hidupnya. Kehilangan
istri pada masa putrinya masih memerlukan kasih sayang seorang ibu.
“Bahkan
beberapa tahun kemudian…” kata Kanigara pula,
“Aku sudah
harus mewakili menunggu bukit kecil ini kalau Panembahan Ismaya harus bepergian
jauh untuk mencari obat-obatan dan menambah kewaskitaannya di hampir seluruh
sudut negeri ini. Dan sejak itu pula tak pernah menampakkan diriku lagi di
antara tata masyarakat Demak”.
Kanigara kemudian
diam, Mahesa Jenar pun diam. Betapa hati mereka mengenyam kembali masa-masa
yang silam itu. Masa-masa yang penuh dengan kesedihan bagi Kebo Kanigara.
Tetapi
tiba-tiba Kebo Kanigara berkata nyaring,
“He, aku telah
membelok dari arah pembicaraan semula. Aku akan berceritera tentang seorang
gadis yang aku larikan, bukan tentang aku”.
Mahesa Jenar
terkejut juga mendengar arah percakapan yang tiba-tiba menikung tegak. Sehingga
duduknya tergeser maju. Namun kemudian iapun tersenyum kecut. Tetapi bersamaan
dengan itu denyut jantungnya bertambah cepat.
“Nah Mahesa
Jenar…” sambung Kanigara tiba-tiba,
“Kau akan
dapat menemuinya bersama Widuri”.
Mahesa Jenar
tidak menjawab, namun hatinya bergetar hebat.
“Tidak banyak
yang harus aku pesankan kepadamu. Sebab aku tidak pernah berkata satu patah
katapun. Karena itu anggaplah bahwa memang sebelum ini kau belum pernah bertemu
dengannya”. Kanigara meneruskan,
“Kecuali pada
saat kau melarikan malam itu”.
MAHESA JENAR
Jenar masih belum menjawab. Tetapi Kanigara pun tidak meneruskan kata-katanya.
Dengan malasnya ia bangkit dan kemudian berjalan mondar-mandir. Akhirnya ia
berhenti dan memasang telinganya baik-baik.
“Kau mendengar
suara tembang?” tiba-tiba ia bertanya.
Mahesa Jenar
kemudian mencoba menangkap setiap suara yang menyusup ke dalam pondok kecil
itu. Jawabnya kemudian,
“Ya aku
dengar. Jauh sekali.”
“Kau tahu
tembang apa itu?” tanya Kanigara pula.
Sekali lagi
Mahesa Jenar memperhatikan suara lagu yang hanya lamat-lamat sampai. Ketika ia
sudah mendapat suatu kepastian, hatinya menjadi berdebar-debar.
“Dandanggula,”
desisnya.
“Ya,
Dandanggula,” ulang Kanigara.
“Sudah
beberapa malam berturut-turut aku mendengar lagu itu dari arah yang
berbeda-beda.”
Tiba-tiba
Mahesa Jenar berdiri tegak. Mula-mula ia ragu-ragu untuk mengatakan sesuatu.
Tetapi karena sinar mata Kanigara yang seolah-olah mendesaknya, akhirnya ia
berkata,
“Kau kenal
orang itu.”
“Ki Ageng
Pandan Alas,” jawab Mahesa Jenar.
“Pandan Alas?”
tanya Kanigara pula, tetapi ia tidak terkejut.
“Aku kagumi
suaranya. Meskipun ia sudah tua, namun suaranya masih mengingatkan aku
kepadanya belasan tahun yang lalu. Ya sahabat ayahku.”
Mahesa Jenar
mengangguk mengiyakan.
“Apakah yang
dicarinya?” kata Kanigara kosong, meskipun ia sudah mengerti jawabnya. Sebab ia
tahu betul bahwa Pudak Wangi, yang nama sebenarnya Rara Wilis, adalah cucu
orang tua itu.
“Ia pasti
mengira bahwa aku masih disini. Dengan demikian ia mengharap aku datang
kepadanya mengembalikan cucunya yang dikiranya benar-benar aku larikan,” jawab
Mahesa Jenar.
Kanigara
mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian ia bertanya,
“Nah terserah
kepadamu. Apakah gadis itu akan kau kembalikan apa tidak.”
“Kenapa baru
beberapa hari ini ia datang?” tanya Mahesa Jenar, seolah-olah kepada dirinya
sendiri.
“Mungkin ia
menunggu sampai rombongan Sima Rodra itu meninggalkan bukit ini, setelah
mencarimu dengan sia-sia,” jawab Kanigara.
“Tidakkah
Kakang menangkap mereka?” tanya Mahesa Jenar pula.
“Aku juga
bersembunyi. Panembahan Ismaya tidak mau melihat pertumpahan darah di atas
padepokan Karang Tumaritis,” jawabnya.
Mahesa Jenar
tidak bertanya lebih lanjut tentang gerombolan Sima Rodra dan Jaka Soka.
Pikirannya sedang dikacaukan oleh suara tembang itu. Ia menjadi bimbang, apakah
sebaiknya ia datang menemui atau tidak. Di dalam kebimbangan itu, ia mendengar
suara Dandang Gula itu semakin jelas. Suara itu tiba-tiba menyusul ke dalam
dada Mahesa Jenar, membawa suatu kenangan pada masa-masa yang silam. Yang
mula-mula diingatnya adalah, Ki Ageng Pandan Alas pernah marah kepadanya ketika
ia meninggalkan Rara Wilis tanpa pamit. Ia tahu betapa sakit hati orang tua
itu, oleh tuduhannya yang barangkali sama sekali tak beralasan tentang cucunya.
Tetapi bagaimanapun juga, ia merasa bahwa tidak enaklah rasanya menerima
kemarahan itu. Didalam kesepian malam itu, semakin mengumandanglah suara Ki
Ageng Pandan Alas. Seorang tokoh sakti sahabat gurunya yang pernah kecewa
terhadapnya. Namun tiba-tiba diingatnya pula, pertama kali ia mendengar suara
itu. Pada saat jiwanya sudah berada di ujung tangan seorang tokoh hitam yang
menamakan dirinya Pasingsingan, yang sebenarnya bernama Umbaran, maka
terdengarlah suara itu. Dan karena suara itu pula agaknya Umbaran mengurungkan
niatnya untuk membunuhnya. Karena itu tiba-tiba terasalah bahwa bagaimanapun
juga orang tua itu pernah menyelamatkannya.
“Aku akan
datang kepadanya,” gumamnya seolah-olah belum merupakan suatu kepastian.
Kanigara
tersenyum.
“Datanglah.
Jangan kau bawa dahulu cucunya. Barangkali ada beberapa hal yang akan kau
bicarakan dengan orang tua itu. Sebab sepengetahuanku, ada orang ketiga yang
berdiri diantara kau dan gadis itu,” katanya.
Mahesa Jenar
memandang Kanigara dengan tajamnya. Ia agak heran mengapa orang itu mengetahui
hampir segala seluk beluk hidupnya.
Tetapi ia
tidak bertanya sesuatu ketika dilihatnya Kanigara tersenyum sambil berkata
pula,
“Jangan
memandang aku begitu tajam. Aku jadi takut karenanya. Nah, pergilah. Kalau kau
tak keberatan aku akan ikut serta.”
“Tidak, sama
sekali tak keberatan,” jawab Mahesa Jenar.
“Akulah
satu-satunya orang yang berhak jadi wakil orang tuamu,” sambung Kanigara sambil
tertawa pendek.
“Ah…” Mahesa
Jenar tidak meneruskan.
“Kenapa kau
mengeluh?” tanya Kanigara seperti bersungguh-sungguh.
“Tidak,” sahut
Mahesa Jenar.
“Suara tertawa
Kakang yang lunak itu amat memusingkan kepalaku.”
Sekali lagi
Kanigara tertawa.
“Ayolah,”
katanya.
MEREKA berdua
pergi menembus hitam malam ke arah suara Ki Ageng Pandan Alas yang seolah-olah
melingkar-lingkar menyusur lereng-lereng bukit Karang Tumaritis. Tetapi karena
telinga Kanigara dan Mahesa Jenar sedemikian tajamnya, maka segera mereka
mengetahui darimana datangnya sumber suara itu. Ketika jarak mereka sudah tidak
begitu jauh lagi, segera mereka berhenti. Mereka menunggu sampai Pandan Alas
selesai dengan lagunya. Tetapi agaknya orang tua itu sudah mengetahui
kehadirannya, sehingga belum lagi kalimat yang terakhir diucapkan ia sudah
berhenti. Perlahan-lahan ia bangkit dari tempat duduknya, seonggok batu padas.
Sapanya,
“Agaknya kau
datang juga Mahesa Jenar”.
Mahesa Jenar
dan Kanigara bersama-sama berdiri sambil membungkuk hormat.
Sebelum mereka
menjawab Pandan Alas meneruskan,
“Sudah
beberapa hari aku mencarimu dengan caraku ini. Sebab aku yakin bahwa kau sudah
mengenal suaraku”.
“Baru sekarang
aku dapat datang Ki Ageng,” jawab Mahesa Jenar.
“Maafkanlah,
mudah-mudahan aku tidak mengecewakan”.
Pandan Alas
tertawa pendek. Kemudian iapun duduk pula di atas sebuah batu.
“Duduklah,”
katanya.
“Mungkin
percakapan kita tidak segera selesai”.
Mahesa Jenar
dan Kanigara pun segera duduk pula di muka orang tua itu. Di dalam gelap malam,
terasalah bahwa Ki Ageng Pandan Alas sedang mencoba mengetahui siapakah kawan
Mahesa Jenar itu. Namun agaknya ia belum mengenalnya sehingga akhirnya ia
bertanya,
”Mahesa Jenar,
tidakkah aku kau perkenalkan dengan sahabatmu itu?”
Mahesa Jenar
tersadar dari kekeliruannya. Tetapi sebelum ia menjawab, Kanigara sudah
mendahului.
“Baiklah aku
memperkenalkan diriku Ki Ageng. Aku adalah salah seorang sahabat Panembahan
Ismaya. Namaku Putut Karang Jati”.
PANDAN ALAS
menarik nafas dalam-dalam. Dirinyalah sekarang yang berada dalam puncak kesulitan.
Ia tahu benar hubungan yang belit-membelit antara satu-satunya cucu yang sangat
disayanginya, murid pertama yang dikasihaninya dan Mahesa Jenar seorang yang
dikenal sebagai ksatria yang utama, bahkan yang telah menyelamatkan cucunya
dari tangan Jaka Soka sampai dua kali dalam pengertiannya. Meskipun ia pernah
merasa kecewa terhadap sikap Mahesa Jenar yang perasaannya mudah patah dalam
hubungan itu, namun ia tidak pernah benar-benar marah dan melepaskan perasaan
kagumnya. Tetapi muridnya itupun merupakan harapan masa datang bagi
perguruannya disamping Pudak Wangi sendiri. Sekarang ia melihat suatu benturan
perasaan telah terjadi. Apalagi ketika tiba-tiba ia mendengar Sarayuda berkata,
“Guru, apakah
Guru sudah menyatakan kepada Mahesa Jenar, agar Pudak Wangi dikembalikan kepada
perguruan Pandan Alas?”
Pandan Alas
menjadi bingung. Sedang Mahesa Jenar dan Kanigara menjadi tidak begitu senang
melihat sikap itu.
Dalam
kecemasannya, kemudian Pandan Alas berkata,
“Sarayuda,
biarlah kita bicarakan segala sesuatunya dengan baik. Bukankah kita sudah tidak
mempunyai pekerjaan lain?”
Tetapi agaknya
Sarayuda tidak setuju, jawabnya,
“Ki Ageng, aku
telah terlalu lama meninggalkan pekerjaanku. Dalam waktu kira-kira satu tahun,
aku sudah dua kali menemui Ki Ageng. Kali ini aku ingin semuanya selesai dengan
segera. Supaya aku dapat segera pula kembali ke Gunung Kidul dengan suatu
ketetapan hati”.
“Aku mengerti
Sarayuda,” jawab Pandan Alas.
“Tetapi tidak
perlukah kiranya kalau pembicaran kita inipun menjadi tergesa-gesa. Sebab
seandainya kau mundur satu haripun aku kira tidak begitu besar pengaruhnya”.
Sarayuda tidak
dapat membantah lagi. Karena itu ia diam, meskipun perasaannya bergetar terus.
“Duduklah
Sarayuda…” Pandan Alas mempersilahkan.
Dengan gerak
kosong Sarayuda duduk pula diantara mereka. Namun tampaklah bahwa ia gelisah.
“Ki Ageng
Pandan Alas…” kata Mahesa Jenar kemudian,
“Maafkanlah
bahwa aku tidak dapat mempersilahkan Ki Ageng pada tempat yang lebih baik,
sebab akupun orang asing di sini”.
“Tidak apalah
Mahesa Jenar,” sahut Pandan Alas. Tetapi disamping itu terasa kaki Kanigara
menginjak kaki Mahesa Jenar. Katanya,
“Akulah tuan
rumah di sini. Karena itu kalau tuan-tuan sudi, marilah aku persilahkan singgah
di pondokku”.
Yang
cepat-cepat menjawab adalah Sarayuda, katanya,
“Terimakasih
Putut Karang Jati, bukankah namamu Putut Karang Jati?”
“Ya, ya Tuan,”
jawab Kanigara.
“Tak ada
bedanya. Di sini atau di pondokmu,” sambung Sarayuda.
Pandan Alas
yang sedianya akan memenuhi ajakan itu menjadi terdiam. Tetapi kecemasannya
semakin membelit hati. Ia berpikir keras untuk dapat menyelesaikan masalah
cucunya dengan baik, tanpa suatu singgungan perasaan di kedua belah pihak.
Tetapi rasa-rasanya tidaklah mungkin. Meskipun demikian ia harus berusaha.
“Ki Ageng…”
desak Sarayuda kemudian,
“Marilah kita
bicarakan apa yang seharusnya kita bicarakan, meskipun bagiku tak ada lagi
persoalan. Bagiku hanyalah ada satu permintaan yang aku tujukan kepada yang
terhormat, Kakang Mahesa Jenar, untuk menyerahkan murid perguruan Pandan Alas
kepada yang berhak”.
Sekali lagi
perasaan Ki Ageng Pandan Alas terguncang. Namun iapun menyambung, Mahesa Jenar,
“aku belum
mendengar jawabmu. Apakah yang akan kau lakukan, setelah kau berhasil
membebaskan cucuku dari tangan Sima Rodra dan Bugel Kaliki?”
“Tidak
demikian Ki Ageng….” Sarayuda menyanggah. Ia merasa bahwa kata-kata gurunya itu
terlalu menguntungkan Mahesa Jenar, sambungnya,
“Itu terlalu
berlebih-lebihan. Kecuali kalau Ki Ageng bermaksud untuk terlalu berendah diri.
Sebab ketika Mahesa Jenar membawa Pudak Wangi, tak seorangpun dapat
menghalangi. Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki terikat dalam pertempuran dengan
Ki Ageng, sedang janda Sima Rodra muda dan Jaka Soka bertempur melawan aku”.
Ki Ageng
Pandan Alas menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu benar adat muridnya. Sebagai
seorang Demang di daerahnya, segala kemauannya hampir tak terbantah. Mendengar
sanggahan muridnya itupun Pandan Alas hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
Namun dalam pada itu Mahesa Jenar dan Kanigara menjadi semakin tidak senang terhadap
kata-kata Sarayuda, meskipun mereka berdua dapat mengerti sepenuhnya, bahwa
semuanya itu terdorong oleh suatu perasaan ketakutan. Takut akan kehilangan
adik seperguruannya, cucu gurunya. Tetapi bagaimanapun juga hati Mahesa Jenar
menjadi kalut. Kalau Demang yang kaya raya itu tidak dapat dicegah tindakannya,
sehingga ia berbuat sesuatu yang tidak sepantasnya, maka ia tidak tahu apa yang
seharusnya dilakukan. Dengan keadaan yang sekarang, maka Sarayuda bukanlah
lawannya. Tetapi kalau sampai Sarayuda dikalahkannya di hadapan gurunya
sendiri, maka akibatnya akan lain. Ki Ageng Pandan Alas pasti tidak dapat
menyaksikan kekalahan muridnya. Bagaimanapun juga perguruan Pandan Alas pasti
mempunyai harga diri. Kalaupun terjadi demikian, perasaannyapun akan tersayat
pula. Sebab terhadap dirinya sendiri ia tidak dapat mengingkari. Ia tidak ingin
melepaskan Pudak Wangi kali ini.
ANGIN malam
berhembus lemah. Di langit bintang gemintang gemerlapan tiada henti-hentinya.
Sekali dua kali tampaklah seleret bintang berpindah tempat menggores langit.
Sekejap saja, lalu lenyap terbenam dalam pelukan selembar awan. Suara jengkerik
masih saja bersahutan di sela-sela kemersik daun kering yang diterbangkan angin
pegunungan. Keempat orang yang duduk saling berhadapan itu untuk beberapa saat
saling berdiam diri. Mereka masing-masing tenggelam dalam angan-angannya
sendiri. Yang mula-mula memecahkan kesepian adalah Sarayuda,
“Masihkah ada
yang kau nanti Kakang Mahesa Jenar?”
“Tidak ada,”
jawab Mahesa Jenar kosong.
“Kalau
demikian, marilah, serahkan Pudak Wangi kepada gurunya,” sahut Sarayuda.
Mahesa Jenar
menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi ia menjadi bingung. Tetapi akhirnya ia
berkata kepada Ki Ageng Pandan Alas,
“Ki Ageng,
Pudak Wangi adalah cucu Ki Ageng, dan murid Ki Ageng. Karena itu yang paling
berhak menentukan adalah Ki Ageng sendiri”.
“Bagus…” sahut
Sarayuda tiba-tiba,
“Sekarang kita
nantikan putusan Ki Ageng Pandan Alas”.
Pandan Alas
menjadi bertambah bingung. Benar-benar ia dihadapkan pada satu keharusan
memilih yang amat sulit, seperti ceritera tentang buah bersayap yang jatuh
dipangkuan seorang gadis. Dimakan bapa mati, tidak dimakan ibu mati. Tetapi
kemudian Pandan Alas menemukan persoalan yang sewajarnya. Karena itu ia ingin
berbicara wajar, tidak dengan aling-aling. Ia tahu benar bahwa masalah yang
dikemukakan Sarayuda pun sebenarnya bukan masalah perguruan, tetapi terlalu
bersifat pribadi.
Maka kemudian
ia ingin menerapkan persoalannya pada tempat yang sebenarnya. Katanya,
“Anakku
berdua. Sarayuda dan Mahesa Jenar. Marilah kita berbicara antara hati, perasaan
dan pikiran. Marilah kita berbicara dengan bahasa yang sewajarnya. Aku, sebagai
seorang yang telah kenyang berjemur panas matahari, pernah juga merasakan
betapa kisruhnya perasaan yang sedang bergulat melawan pikiran. Nah, kalian
berdua, kenapa kalian tidak berterus terang saja, bahwa kalian berdua sama-sama
menghendaki Pudak Wangi, bukan sebagai murid Pandan Alas tetapi sebagai seorang
gadis yang bernama Rara Wilis…?”
Kata-kata itu
langsung menusuk perasaan Mahesa Jenar dan Sarayuda. Mereka menjadi terdiam
karenanya. Sebab apa yang dikatakan oleh orangtua itu adalah hakekat dari
perasaan mereka masing-masing.
Kanigara yang
mendengarkan pembicaraan itu menjadi tersenyum kecil. Ia memuji di dalam hati
kebijaksanaan Ki Ageng Pandan Alas, yang dapat melepaskan diri dari persoalan
yang sulit. Tetapi dengan demikian ada juga bahayanya. Sebab apabila persoalan
mereka menjadi keras, sulitlah dihindarkan. Karena dengan demikian Ki Ageng
Pandan Alas telah menghadapkan kedua orang itu langsung. Tetapi kemudian Ki
Ageng Pandan Alas melengkapi pendapatnya,
“Anakku
berdua… kalau kalian setuju dengan pendapatku maka keputusan terakhir tidak ada
padaku. Sebab masalahnya bukan masalah antara guru dan murid. Menurutku
pendapatku, keputusan terakhir berada di tangan Wilis sendiri”.
Hati Mahesa
Jenar dan Sarayuda bergetar bersama-sama. Mereka merasakan kebenaran kata-kata
Pandan Alas. Tetapi dengan demikian Sarayuda merasa aneh terhadap sikap
gurunya. Bagi Pandan Alas, Mahesa Jenar adalah orang lain. Orang yang
dijumpainya di perjalanan hidup tanpa sentuhan-sentuhan tertentu seperti
beribu-ribu orang lainnya. Dirinya adalah murid orang tua itu. Murid yang sudah
bertahun-tahun menyerahkan diri serta masa depannya kepadanya. Sekarang, dalam
persoalan ini, gurunya itu sama sekali tidak memberikan keuntungan apapun
kepadanya. Sebab Ki Ageng Pandan Alas itu seolah-olah sudah tidak mau turut
mencampuri masalah itu. Karena itu, bagaimanapun juga timbullah suatu tuntutan
batin, bahwa seharusnya gurunya itu berada di pihaknya. Sebab apabila demikian
masalahnya akan mudah sekali. Mahesa Jenar harus mengembalikan Pudak Wangi.
Seterusnya Pandan Alas menyerahkan Pudak Wangi kepadanya. Tuntutan batin itu sedemikian
kuatnya sehingga akhirnya ia tidak dapat merendamnya lagi. Maka kemudian
meledaklah kata-katanya,
“Ki Ageng
Pandan Alas, sebenarnya Ki Ageng dapat mempermudah persoalan ini. Meskipun apa
yang dikatakan Ki Ageng Pandan Alas itu benar seluruhnya, bahwa hakekatnya,
masalahnya adalah masalah pribadi. Namun keputusan Ki Ageng pun akan merupakan
keputusan yang menentukan. Pudak Wangi tidak akan menanyakan banyak masalah
bila Ki Ageng menjatuhkan keputusan. Sedang Mahesa Jenar pun tidak akan
mengganggu gugat. Dalam segala bentuk”.
Dada Kanigara
berdesir. Apa yang diduganya agaknya akan menjadi kenyataan. Sarayuda rupanya
sudah terlalu sulit untuk mengendalikan kata-katanya yang memancarkan kesulitan
pula untuk mengendalikan perasaannya. Sedang Mahesa Jenar sedang berusaha untuk
menenangkan dirinya. Meskipun ia tidak begitu senang mendengar segala-galanya,
baik sikap maupun kata-kata Sarayuda. Namun karena ia mempunyai keyakinan yang
semakin teguh tentang dirinya maka dipandangnya Sarayuda semakin lama semakin
bertambah kecil. Justru karena itulah maka akhirnya ia merasa bahwa ia sama
sekali tidak perlu melayani. Karena itulah maka Mahesa Jenar menjadi semakin
tenang. Sebaliknya, Pandan Alas merasa bahwa Sarayuda telah mendesaknya untuk
mengambil keputusan sesuai dengan kehendaknya sendiri, serta berusaha untuk
memaksanya menyingkirkan Mahesa Jenar dengan kekerasan. Sehingga dengan
demikian ia menjadi semakin cemas. Apalagi ketika Sarayuda mendesaknya pula,
“Masih adakah
yang meragukan Ki Ageng…?”
“SARAYUDA….” jawab
Ki Ageng Pandan Alas,
“Kalau
demikian maka soalnya memang sangat sederhana. Tetapi masalahnya lain. Tidak
sesederhana itu. Pudak Wangi adalah seorang seperti kita, mempunyai perasaan.
Ia barangkali memang tidak akan menanyakan dengan hati terbuka. Mungkin ia akan
menjalani keputusan itu hanya sekadar sebagai cucu atau murid yang patuh. Kalau
demikian maka hidup anak itu seterusnya akan menjadi kering tanpa cita-cita dan
harapan. Ia akan menjalani kehidupan ini tanpa hati. Ia akan melihat matahari
terbit seperti memang seharusnya demikian setiap hari, setiap pagi tanpa
gairah. Serta ia akan merasa bahwa purnama di setiap pertengahan bulan itu
bukan miliknya tetapi milik mereka yang berbahagia”.
Untuk beberapa
saat kemudian mereka kembali terdiam. Kata-kata Pandan Alas adalah kata-kata
yang penuh pengalaman hidup. Penuh pengertian akan harapan, cita-cita dan
cinta. Namun selanjutnya, cinta Sarayuda ternyata tidak dapat membedakan ujung
serta pangkal. Demikianlah arus cinta yang bergelora di dalam dada Demang kaya
raya itu. Meskipun kata-kata gurunya itu mula-mula menggetarkan hatinya, namun
kemudian tertindih perasaan itu dengan suatu gelora yang lebih dahsyat.
Kemudian katanya,
“Ki Ageng,
ternyata bijaksana. Aku keberatan kalau seandainya Adi Pudak Wangi yang harus
menentukan, siapakah diantara kita yang dikehendakinya. Namun demikian
seterusnya ia harus mempertimbangkan pula ketenteraman diri. Karena itulah
Pudak Wangi harus menilai, kecuali kenangan atas masa lalu serta harapan dan
cita-cita bagi masa datang. Juga harus dipertimbangkan apakah kita
masing-masing akan dapat melindungi dirinya”.
Beberapa titik
keringat dingin telah mengalir di punggung Ki Ageng Pandan Alas. Namun demikian
ia merasakan kebenaran kata-kata Sarayuda sebagai laki-laki, meskipun ia tidak
seluruhnya melihat keharusan penjelasan yang demikian.
Kalau saja
Pudak Wangi dapat melihat manfaat dari keunggulan ilmu, maka soalnya akan dapat
dipecahkan dengan cara demikian. Tetapi ia sudah tidak dapat melihat cara lain,
yang harus diyakinkan adalah, bahwa dengan demikian soalnya harus selesai.
Tanpa perasaan dendam dan benci. Karena bagaimanapun, Sarayuda adalah muridnya.
Ia bergaul dengan muridnya itu sejak Sarayuda menjelang dewasa. Ia telah
bekerja keras agar muridnya kelak dapat memanfaatkan ilmu yang diturunkan itu
sebaik-baiknya. Kalau saja muridnya dan Mahesa Jenar dapat menepati cara
penjelasan itu dengan jujur, serta Pudak Wangi menyetujuinya serta melihat
manfaatnya. Tetapi apakah demikian …? Dalam saat-saat ia mempertimbangkan segala
segi yang mungkin terjadi, terdengarlah Sarayuda mendesaknya,
“Bukankah
usulku adil?”
Ki Ageng
Pandan Alas menarik nafas panjang. Ia memandang muridnya dengan tajam,
seolah-olah melihat apakah ia sudah siap. Pada saat-saat terakhir memang ia
selalu menambah beberapa pokok pengetahuan kepada Sarayuda untuk menambah
kekuatannya lahir dan batin. Kalau sampai ditempuh jalan yang dikehendaki,
adakah ia tidak akan memalukan? Mula-mula ia merasa bahwa Mahesa Jenar yang
dilihatnya pada saat ia membebaskan Pudak Wangi adalah luar biasa. Tetapi
kemudian ia mempertimbangkan juga pendapat Sarayuda. Meskipun ia tidak menutup
mata bahwa sebenarnya Mahesa Jenar telah mencapai tingkatan yang lebih tinggi,
namun benar-benar pada saat itu orang-orang lain sedang terikat di tempat
masing-masing. Setelah Pandan Alas mempertimbangkan beberapa segi dan
kemungkinan, kemudian ia ingin menawarkan usul Sarayuda kepada Mahesa Jenar dan
Pudak Wangi. Mahesa Jenar sendiri pada saat itu dihinggapi pula oleh berbagai
perasaan. Tetapi bagaimanapun ia harus mengambil suatu ketetapan. Tetapi belum
lagi ia dapat suatu keputusan apapun, terdengarlah Pandan Alas bertanya
kepadanya,
“Anakmas
Mahesa Jenar, bagaimanakah pertimbanganmu atas usul Sarayuda?”
Mahesa Jenar
membetulkan duduknya. Kemudian dijawabnya perlahan sekali,
“Ki Ageng, aku
masih menyangsikan apakah seseorang dapat mempengaruhi perasaan yang paling
dalam dengan berkelahi”.
Mendengar
jawaban itu, Sarayuda terkejut, sehingga ia terloncat berdiri.
“Jangan
berpura-pura Mahesa Jenar. Kau adalah murid utama almarhum Pangeran
Handayaningrat yang bergelegar Ki Ageng Pengging Sepuh. Buat apa kau berguru
kepadanya kalau kau tidak melihat manfaatnya orang berkelahi?”
“Sarayuda….”
jawab Mahesa Jenar.
“Aku memang
melihat manfaat orang berkelahi. Aku juga melihat bahwa orang dapat memaksakan
kehendaknya dengan berkelahi. Dengan keunggulan ilmu tata pertempuran. Tetapi
manfaat itu hanyalah manfaat lahiriah. Tetapi katakan kepadaku Sarayuda yang
perkasa, dapatkah kau mengubah ketetapan hati seseorang atau suatu hubungan
perasaan dengan perkelahian? Sarayuda… hubungan yang ada diantara kita adalah
hubungan yang saling bertali. Seandainya, seandainya Sarayuda… Seandainya
seseorang terpaksa memilih salah satu diantara kita karena keunggulannya,
tetapi sebenarnya hatinya terikat kepada yang lain, apa katamu? Aku tidak mau,
meskipun kemudian aku terpilih. Aku tidak mau menerima seseorang hanya ujud
jasmaniahnya, tanpa hati dan perasaan pasrah yang tulus”.
“Omong
kosong!” potong Sarayuda.
“Sejak kapan
hatimu menjadi sekecil hati perempuan? Agaknya kau seorang yang mendamba cinta
sebagai mahkota bidadari di sorga yang mulus tanpa cela. Mahesa Jenar, aku
bukan seorang yang cengeng, yang merajuk dalam bercinta. Sejak dewasa, di
pinggangku telah tergantung pedang perguruan Pandan Alas. Dengan pedang aku
mendapat kekuatan di Gunung Kidul. Sekarang, dengan pedang pula aku ingin
melengkapi kamukten-ku. Dengan pedang aku ingin menemukan cinta”.
Suara Sarayuda
bergetar seperti guruh yang menggelegar di lereng pegunungan, berkumandang
melingkar-lingkar di lembah-lembah sekitarnya. Kata-kata yang diucapkan itu
adalah tekad yang sudah tak dapat ditawar lagi.
MENDENGAR
kata-kata yang terucapkan oleh mulut Sarayuda itu semuanya jadi terdiam. Pandan
Alas, Mahesa Jenar dan Kanigara seolah-olah terpesona oleh pancaran perasaan
mereka atas peristiwa itu agak berlainan. Pandan Alas, gurunya, tiba-tiba
menjadi berbangga hati melihat ketetapan hati muridnya yang penuh kejantanan.
Wanita bagi seorang laki-laki adalah tidak ubahnya pusaka, yang kalau perlu
rela bertaruh nyawa. Kanigara dan Mahesa Jenar pun mula-mula mengaguminya.
Tetapi kemudian sebagai laki-laki berhati jantan, tersentuhlah perasaan mereka.
Karena itulah maka dada Mahesa Jenar bergelora hebat. Hampir ia melepaskan,
perhitungan untuk memenuhi kepuasan hatinya. Sedangkan Kanigara menganggap
bahwa apa yang dilakukan oleh Sarayuda sudah terlalu sukar untuk mendapat
perubahan bentuk. Ia sudah bertekad bulat, apapun yang akan terjadi.
Demikianlah Sarayuda berdiri dengan gagahnya pada kedua kakinya yang kokoh
kuat. Satu tangannya tergantung di sisi tubuhnya, sedang tangannya yang lain
melekat di hulu pedangnya. Dengan suatu keyakinan yang pasti ia menanti akibat
dari kata-katanya.
Tetapi yang
terjadi adalah diluar dugaan. Pada saat Mahesa Jenar sedang berjuang untuk
tidak tenggelam dalam arus perasaannya, tiba-tiba terdengar suara tertawa lirih
tertahan. Alangkah terkejut mereka yang mendengar suara itu. Hampir saja
keempat orang bersama-sama bergerak dalam satu kejapan mata menghadap ke arah
suara itu. Diantara mereka yang mula-mula berteriak adalah Kanigara. Suaranya
lantang mengandung penjelasan,
“Kau Karang
Tunggal…. Agaknya penyakitmu kambuh lagi. Datanglah kemari”.
Mendengar nama
itu disebutkan, Mahesa Jenar terkejut pula. Apalagi ketika ia melihat dua anak
muda muncul dari balik gerumbul di sebelah. Anak muda itu adalah Putut Karang
Tunggal dan Arya Salaka. Dengan tunduk ketakutan mereka berjalan mendekati
Kanigara. Sedang tangan Karang Tunggal masih melekat di mulutnya. Dengan suara
gemetar menahan marah, Kanigara berkata,
“Apa yang kau
lakukan itu Karang Tunggal? Aku kira kau telah benar-benar sembuh dari
penyakitmu. Melihat sikapmu beberapa bulan terakhir aku sudah senang. Tetapi
agaknya kau belum dapat melupakan kelakuanmu yang keterlaluan itu”.
Karang Tunggal
dan Arya Salaka masih diam ketakutan. Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar
berkata kepada muridnya,
“Kenapa kau
datang kemari Arya…?”
Arya Salaka
menjadi gemetar. Ia belum melupakan kelakuan gurunya yang tiba-tiba berubah
menjadi kasar setelah mereka berada di dalam goa, tetapi sebelum ia menjawab,
terdengar suara Putut Karang Tunggal menyahut,
“Adi Arya
Salaka tidak bersalah, Paman. Akulah yang membawanya kemari. Tetapi aku sama
sekali tidak sengaja mengintip pertemuan ini”.
“Tutup
mulutmu!” bentak Sarayuda yang hatinya lebih parah dari semuanya. Tidak hanya
Karang Tunggal yang terkejut mendengar bentakan itu, tetapi juga semua yang
hadir. Kanigara yang semula akan marah kepada Karang Tunggal, tiba-tiba menjadi
urung. Sebab bagaimanapun ia sama sekali tidak senang kalau ada orang yang
membentak-bentak kemenakannya itu.
Karang Tunggal
ternyata benar-benar mempunyai sifat yang aneh. Kalau mula-mula Mahesa Jenar
melihat sikapnya yang halus sopan itu agaknya seperti apa yang dimaksud oleh
Kanigara sebagai penyakit yang setiap saat dapat kambuh kembali. Sebab ternyata
ketika Sarayuda membentaknya, justru ia mengangkat wajahnya. Karena itu segera
ia tunduk kembali dan dengan sudut matanya ia memandang mata Kanigara. Kanigara
yang kecewa atas kelancangan Sarayuda, kemudian menjadi acuh tak acuh. Ia tidak
jadi mencegah kemenakannya untuk tidak berbuat yang aneh-aneh. Bahkan kemudian
dengan tidak peduli ia duduk kembali. Mahesa Jenar mengerti perasaan yang
bergetar di dalam hati Kanigara. Karena itu ia menjadi bertambah gelisah.
Jangan-jangan persoalannya menjadi lain. Meskipun ia juga menyesali tindakan
Sarayuda yang berlebihan itu. Ki Ageng Pandan Alas terkejut pula mendengar
Sarayuda membentak Karang Tunggal justru pada saat orang yang menyebut dirinya
Karang Jati, yang pasti mempunyai hubungan satu sama lain itu sedang marah pula
kepada anak muda itu. Ia mengerti sepenuhnya seperti Mahesa Jenar juga, kenapa
Kanigara kemudian menjadi acuh tak acuh. Karena itu segera ia mencoba mencegah
hal-hal yang tak diinginkan.
“Sudahlah
Sarayuda. Serahkanlah anak itu kepada yang berwenang. Bukankah Karang Jati
dapat mengajarnya untuk tidak mengganggu kita lagi?”
Tetapi agaknya
pikiran Sarayuda telah benar-benar kacau. Sebab kemudian ia menjawab,
“Putut Karang
Jati itu hanya dapat membentak-bentak marah saja, tetapi ia tidak dapat berbuat
sesuatu terhadap orangnya yang sudah berbuat salah. Bukankah ia mengintip dan
kemudian menertawakan aku? Menertawakan kata-kataku…?”
Kemudian kepada
Kanigara ia berkata,
“Karang Jati,
dapatkah kau sedikit memberi pelajaran kepada orangmu itu? Atau barangkali kau
perlu bantuanku?”
Kata-kata itu
semakin tidak menyenangkan perasaan Kanigara. Maka dijawabnya kata-kata
Sarayuda dengan berterus terang,
“Tuan,
mula-mula aku marah kepada anakku. Tetapi aku kecewa kepada sikap Tuan, bahwa
Tuan ikut memarahinya”.
Sarayuda
menjadi tersinggung perasaannya. Ia telah biasa marah kepada setiap orang yang
tidak memenuhi perintahnya, di daerahnya. Karena itu, ketika ia mendengar
jawaban Kanigara yang berterus terang menyesalinya itu, ia sama sekali tidak
mau mendengarkan. Bahkan dengan semakin marah ia berkata,
“Lalu apa
maumu? Mestikah aku membiarkan anak yang katamu anakmu itu menghina aku?
Menertawakan aku? Baiklah katakan kepadaku bahwa kau tidak mampu mengajarnya.
Dan, katakan pula kepadaku bahwa kau perlu bantuanku untuk mengajarnya. Ayo…
katakan supaya aku tidak kau anggap salah lagi kalau aku mengajarnya sedikit
kesopanan”.
No comments:
Post a Comment