Bagian 041


SEKALI lagi Mahesa Jenar terguncang hatinya. Anak itu benar-benar telah menguasai Sasra Birawa dengan baik dalam bentuk lahirnya. Tetapi baginya adalah sudah terlalu cukup. Namun ia masih mencoba menahan perasaannya. Seakan-akan ia sama sekali tidak menaruh perhatian atas muridnya itu, tetapi ia bahkan duduk di tengah dengan enaknya sambil mengeluarkan pisaunya. Dengan tenangnya Mahesa Jenar mulai mencukur janggut dan kumisnya. Arya mula-mula tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh gurunya. Tetapi sikap acuh tak acuh itu telah mengecilkan hatinya pula, dan disamping itu ia semakin tidak mengerti pada sifat gurunya yang menjadi aneh dan lain.

Dalam kebimbangan itu, kadang-kadang terselip di sudut hatinya suatu pertanyaan, apakah orang yang menuntunnya selama ini benar-benar gurunya yang membawanya mengembara dari satu tempat ke tempat lain, sejak melarikannya dari Banyubiru? Alangkah jauh bedanya. Sejak ia terpisah di dalam salah sebuah saluran di dalam goa ini, kemudian tersesat masuk ke dalam ruangan ini, ia merasakan bahwa gurunya menjadi berubah sifat. Beberapa hari ia tinggal sendiri di dalam ruangan ini, sampai kemudian gurunya menemukannya disini. Yang mula-mula di dengar dari mulut gurunya bukanlah pernyataan gembira, tetapi bentakan-bentakan kasar dan marah. Apakah Mahesa Jenar dapat berbuat demikian…? Dan apakah dalam beberapa hari itu, sudah cukup waktu untuk menjadikan gurunya berwajah gelap oleh kumis dan janggut yang tumbuh demikian lebatnya…? Sekarang ia melihat orang yang meragukan itu mencukur janggut dan kumisnya. Tetapi kemudian ia menjadi kecewa sekali. Sebab setelah orang yang diragukan itu berwajah bersih, benarlah, ia adalah Mahesa Jenar. Gurunya yang membawanya pergi dari Banyubiru. Yang menuntunnya dengan penuh kasih sayang. Tetapi yang akhir-akhir ini selalu kecewa kepadanya. Kecewa kepada kelambatannya. Sampai beberapa saat ia masih saja kaku berdiri memandangi Mahesa Jenar membersihkan wajahnya. Sekarang Arya tidak ragu-ragu lagi. Memang orang itulah Mahesa Jenar. Meskipun ruang itu sudah semakin suram, namun garis-garis wajah itu sudah sangat dikenalnya.

“Arya…” tiba-tiba ia mendengar gurunya berkata,
“Meskipun tingkat ilmunya masih agak mengecewakan, tetapi pada saat ini aku sudah menganggap cukup. Kau sudah dapat melayani Putut Karang Tunggal meskipun belum seimbang benar. Dan barangkali jarak yang ada di antara kau berdua tidak semakin pendek, bahkan akan menjadi semakin jauh, karena Putut itu bukanlah anak-anak sewajarnya. Apa yang kau pertunjukkan pada saat terakhir tadi telah menunjukkan kemajuan yang besar selama kau berada di dalam ruang ini. Karena itu, sebentar lagi kau boleh mengikuti aku keluar dari ruang ini.”
Mendengar kata-kata gurunya, Arya menjadi gembira sekali. Kegembiraan yang hampir tak dapat ditahankan, sehingga hampir-hampir saja ia menjerit kegirangan. Tetapi segera ia berusaha sekuat tenaga untuk menahannya. Ia tidak tahu apakah halyang demikian itu akan dibenarkan oleh gurunya. Karena itulah maka, yang terpancar kemudian hanyalah nyala di matanya. Bahkan mata itu kemudian menjadi basah. Dan hampir saja Arya Salaka yang telah mampu memecahkan batu sebesar kepalanya itu menangis. Untunglah bahwa ruang itu telah menjadi semakin gelap sehingga Mahesa Jenar tidak lagi melihat mata itu. Tidak lagi melihat air yang membayang di mata muridnya. Sebab apabila mata yang sayu itu dilihatnya menjadi basah, mungkin Mahesa Jenar tidak lagi dapat menahan perasaannya. Perasaan seorang guru, ia bahkan hampir seperti perasaan seorang bapa terhadap anak tunggalnya yang selama ini dibawanya merantau untuk menyelamatkan dari usaha-usaha untuk membinasakannya.

Sekarang Mahesa Jenar melihat kemungkinan menjadi lain. Anak itu sekarang sudah dapat menjaga dirinya sendiri, serta mempunyai bekal yang cukup buat masa depannya. Mahesa Jenar menjadi berbangga atas muridnya itu. Kalau nanti pada suatu ketika, ia bertemu dengan Gajah Sora, maka ia akan dapat menyerahkan Arya Salaka tanpa mengecewakan sahabatnya itu. Sesaat kemudian Mahesa Jenarpun berdiri dan melangkah keluar ruangan sambil berkata acuh tak acuh,
“Arya, ikutilah”.
Sekali lagi kegembiraan melonjak di dalam dada Arya. Segera ia pun mengikuti gurunya dekat-dekat supaya ia tidak lagi kehilangan jalan. Kemudian sampailah mereka ke dalam ruangan dimana Mahesa Jenar bertemu dengan Putut Karang Tunggal waktu ia berjalan bersama Kebo Kanigara. Benarlah dari ruangan itu ia melihat bayangan cahaya api. Segera Mahesa Jenar berjalan menyusur jalan-jalan goa yang sempit ke arah api itu. Ketika mereka sampai, dilihatnya Putut Karang Tunggal seorang diri memegangi sebuah obor.
“Selamat sore Paman Mahesa Jenar,” sapanya sambil membungkuk hormat.
“Selamat sore Karang Tunggal,” jawab Mahesa Jenar. Mula-mula ia ingin menanyakan di mana Kebo Kanigara. Tetapi maksud itu diurungkan. Namun bagaimanapun juga ia menjadi sangat berterima kasih di dalam hatinya, bahwa untuk kepentingannya serta muridnya, Kebo Kanigara bekerja keras dan melakukan hal-hal yang aneh. Tetapi lebih dari pada itu adalah untuk kesuburan persemaian perguruan Pengging.
Sejenak kemudian Putut itu berkata pula,
“Paman, marilah kita tinggalkan goa ini. Ada sesuatu yang penting yang akan disampaikan oleh Eyang Ismaya”.

Mahesa Jenar menjadi beragu. Ia tidak tahu apakah Putut itu berkata sebenarnya, ataukah hanya merupakan suatu alasan untuk membawanya keluar dari dalam goa itu. Karena itu ia berdiam diri sampai Putut itu melanjutkan,
“Seseorang yang baru saja datang kemari ingin bertemu dengan Paman”.
“Siapakah dia?” tanya Mahesa Jenar sekenanya.
“Paman Kebo Kanigara,” jawab Putut Karang Tunggal.
“Itukah yang penting?” tanya Mahesa Jenar pula.
“Bukan itu saja,” jawab Putut Karang Tunggal.
“Ada dua tiga soal yang lain”.
Mahesa Jenar tidak menjawab lagi. Dipersilahkannya Putut yang membawa obor itu berjalan dahulu, kemudian ia pun mengikutinya bersama Arya Salaka yang masih berdiam diri saja. Setelah mereka berjalan berliku-liku, akhirnya sampailah mereka ke ruang yang sering dipergunakannya bermain para cantrik. Dari sana mereka menerobos sebuah lubang yang di luarnya tertutup oleh dedaunan yang rimbun. Demikian mereka tegak di luar goa itu, terasalah udara malam yang segar memercik ke wajah mereka. Sedang di atas kepala mereka, bertaburan bintang-bintang yang berpencaran memenuhi langit yang biru hitam. Seleret awan putih membujur dari kutub ke kutub seolah-olah membagi langit menjadi dua bagian. Sedang dari semak-semak di sekitar mereka, terdengarlah bunyi jangkrik bersautan di antara nyanyi belalang. Bersamaan dengan itu terlonjak pula hati Arya Salaka, yang merasa telah menyelesaikan suatu kewajiban yang berat. Kalau mula-mula ia menjadi bingung atas kelakuan gurunya, maka akhirnya ia mengira bahwa hal itu adalah merupakan suatu tahap yang memang harus dilalui. Tetapi sebenarnya bukan saja Arya Salaka yang mempunyai perasaan demikian. Mahesa Jenar pun seolah-olah merasa terlepas dari suatu daerah sepi yang penuh dengan pemerasan keringat dan pikiran.

Mengingat hal itu Mahesa Jenar menjadi tersenyum sendiri. Apalagi kalau ia dengan sepintas lalu memandang wajah Arya Salaka. Ia menjadi geli. Anak itu merasa seolah-olah telah mendapat gemblengan yang berat dari padanya, padahal ia sendiri sedang melakukan hal yang serupa. Menggembleng diri sendiri. Beberapa lama kemudian sampailah mereka ke rumah dimana mereka selalu diterima oleh Panembahan Ismaya. Di dalam rumah itu tampak memancar cahaya pelita yang berkedip-kedip karena permainan angin pegunungan. Cahayanya yang kuning kemerahan menembus lubang-lubang dinding membuat garis-garis lurus yang berpencaran. Ketika mereka memasuki rumah itu, tampaklah Panembahan Ismaya duduk di atas batu hitamnya yang dialasi dengan kulit kayu. Demikian orang tua itu melihat kehadirannya segera ia bangkit dan menyambut dengan hormatnya, sambil mempersilahkannya duduk.
“Agaknya Anakmas tidak begitu senang tinggal di dalam goa yang gelap itu,” kata Ismaya kemudian.
“Ternyata Anakmas dan Cucu Arya Salaka menjadi kurus”.
Mahesa Jenar tersenyum. Ia menjadi agak sulit untuk menjawab, karena itu katanya,
“Tidak Panembahan, kami senang tinggal di dalam goa itu”.
Panembahan tua itu mengangguk-angguk. Lalu sambungnya,
“Tetapi aku girang bahwa Anakmas dan Cucu Arya Salaka tetap segar. Bukankah tiada sesuatu selama ini?”
“Tidak Panembahan, tidak,” jawab Mahesa Jenar.
“Demikianlah yang aku kehendaki,” sahut Panembahan Ismaya pula.
“Tetapi ketahuilah Anakmas, apa yang anakmas takutkan ternyata benar-benar terjadi. Orang-orang yang mengepung bukit ini menyerbu naik”.
Dada Mahesa Jenar tergetar mendengar keterangan itu. Maka iapun bertanya pula,
“Adakah mereka memperlakukan Panembahan dengan kasar?”
“Tidak begitu kasar,” jawab Panembahan Ismaya.
”Tetapi mereka mengaduk hampir segala sudut bukit ini”.
“Dan Panembahan tidak memberitahukan itu kepadaku…?” sahut Mahesa Jenar.
“Aku hanya memberitahukan kepada Anakmas kalau mereka akan menyakiti kami,” jawab Panembahan itu pula.
“Tetapi ternyata mereka hanya mencari-cari saja”.

MAHESA JENAR akan mendesak pula dengan berbagai pertanyaan, tetapi diurungkannya ketika ia ingat bahwa di sini ada Kebo Kanigara dan Putut Karang Tunggal. Sehingga seandainya Panembahan Ismaya ingin melawannya dengan kekerasan, maka tidak pula ada perlunya untuk memanggilnya. Karena itu kemudian ia tidak berkata-kata lagi. Ia bahkan merasa malu bahwa seolah-olah di bukit kecil itu tak ada orang lain yang mampu menyelamatkannya selain daripada dirinya. Maka untuk beberapa saat suasana menjadi hening sepi. Desir angin di dedaunan menimbulkan suara lirih seperti dendang seorang ibu yang menidurkan anaknya. Maka kemudian kesepian itu dipecahkan oleh suara Panembahan Ismaya yang berkata,
“Anakmas, agaknya malam telah larut. Karena itu beristirahat di pondok lain”.
“Baiklah Panembahan,” jawab Mahesa Jenar.
“Kalau Anakmas keluar dari ruangan ini, Anakmas akan melihat rumah di sebelah barat. Di situlah Anakmas beristirahat,” sambung Panembahan Ismaya pula.
“Di sana Anakmas akan beristirahat bersama dengan Kebo Kanigara”.
Setelah sekali lagi Mahesa Jenar mengiyakan, maka melangkahlah ia keluar ruangan itu. Tidak beberapa jauh di sebelah barat tampak sebuah rumah yang lebih kecil dari rumah itu. Dari dalamnya memancar pula cahaya api yang redup. Di dalam rumah itu ditemuinya Kebo Kanigara telah membaringkan dirinya. Ketika ia melihat Mahesa Jenar berkatalah ia,
“Mahesa Jenar, duduklah. Tutup pintu itu supaya tidak terlalu dingin. Dan dengarlah aku berceritera”.
Mahesa Jenar memandang wajah Kanigara yang tersenyum-senyum dan sudah bersih pula seperti wajahnya. Ia menjadi curiga. Tetapi ia melangkah juga menutup pintu dan kemudian duduk di sampingnya.
“Kau ingat pada waktu aku pertama-tama kaulihat?” tanya Kebo Kanigara.
“Ya,” jawab Mahesa Jenar singkat sambil mengangguk.
“Di mana muridmu sekarang?” tanya Kanigara tiba-tiba.
“Di rumah sebelah bersama-sama dengan Karang Tunggal,” jawabnya singkat.
“Bagus, suatu kebetulan. Karang Tunggal itu suka sekali berceritera. Pengetahuannya sangat luas, sebab ia sangat gemar menyepi dan merantau. Jarang-jarang sekali ia tinggal di rumah. Sehingga ibu angkatnya, Nyai Tingkir selalu marah kepadanya”.

Kanigara berhenti sebentar lalu meneruskan,
“Arya akan senang bersama dia. Lalu seterusnya mengenai urusanmu. Dengarlah. Kau lihat bahwa aku pada saat itu atas nama Mahesa Jenar melarikan seorang gadis?”
Mendengar pertanyaan itu hati Mahesa Jenar berdesir. Dengan kaku ia mengangguk mengiyakan.
“Gadis itu aku sembunyikan. Sejak malam itu aku belum pernah menemuinya. Aku takut kalau ia mengenal aku yang ternyata bukan Mahesa Jenar. Dan aku juga takut kalau tiba-tiba aku merasa bahwa akulah sebenarnya Mahesa Jenar itu”. Kanigara meneruskan sambil tersenyum. Mahesa Jenarpun tersenyum pula. Tersenyum kaku.
“Kau harus menemuinya,” sambung Kanigara pula.
Mahesa Jenar mengangguk saja tanpa sesadarnya.
“Biarlah anakku mengantarkanmu nanti,” kata Kanigara pula. Mahesa Jenar terperanjat. Sehingga ia pun bertanya,
“Siapakah Kakang Kanigara itu?”
“Seorang anak perempuan,” jawab Kanigara,
“Namanya Widuri”.
“Widuri…? Endang Widuri? Jadi adakah anak itu putri Kakang Kanigara?” tanya Mahesa Jenar pula.
“Ya,” jawab Kanigara singkat.
“Aku belum pernah mendengar sebelumnya,” kata Mahesa Jenar.
“Adakah anak itu dilahirkan di Demak?”
“Aku meninggalkan Demak sejauh umur anak itu,” jawab Kanigara.
“Sebenarnya aku tidak pernah menginginkan untuk meninggalkan kota itu. Tetapi keadaan memaksa aku berbuat demikian”.

Mahesa Jenar mendengarkan dengan penuh perhatian. Agaknya karena itulah maka Kebo Kanigara belasan tahun yang lalu lenyap dari pecaturan masyarakat Demak. Sesaat kemudian Kanigara meneruskan,
“Kemudian aku bawa istriku meninggalkan Demak. Anak itu lahir di perjalanan. Sedang beberapa tahun kemudian ibunya meninggal dunia. Untunglah bahwa aku bertemu dengan seseorang yang kemudian menerima kami tinggal bersama, Panembahan Ismaya”.
Terbayanglah di mata Kebo Kanigara, suatu masa yang pahit di dalam hidupnya. Kehilangan istri pada masa putrinya masih memerlukan kasih sayang seorang ibu.
“Bahkan beberapa tahun kemudian…” kata Kanigara pula,
“Aku sudah harus mewakili menunggu bukit kecil ini kalau Panembahan Ismaya harus bepergian jauh untuk mencari obat-obatan dan menambah kewaskitaannya di hampir seluruh sudut negeri ini. Dan sejak itu pula tak pernah menampakkan diriku lagi di antara tata masyarakat Demak”.
Kanigara kemudian diam, Mahesa Jenar pun diam. Betapa hati mereka mengenyam kembali masa-masa yang silam itu. Masa-masa yang penuh dengan kesedihan bagi Kebo Kanigara.
Tetapi tiba-tiba Kebo Kanigara berkata nyaring,
“He, aku telah membelok dari arah pembicaraan semula. Aku akan berceritera tentang seorang gadis yang aku larikan, bukan tentang aku”.
Mahesa Jenar terkejut juga mendengar arah percakapan yang tiba-tiba menikung tegak. Sehingga duduknya tergeser maju. Namun kemudian iapun tersenyum kecut. Tetapi bersamaan dengan itu denyut jantungnya bertambah cepat.
“Nah Mahesa Jenar…” sambung Kanigara tiba-tiba,
“Kau akan dapat menemuinya bersama Widuri”.
Mahesa Jenar tidak menjawab, namun hatinya bergetar hebat.
“Tidak banyak yang harus aku pesankan kepadamu. Sebab aku tidak pernah berkata satu patah katapun. Karena itu anggaplah bahwa memang sebelum ini kau belum pernah bertemu dengannya”. Kanigara meneruskan,
“Kecuali pada saat kau melarikan malam itu”.

MAHESA JENAR Jenar masih belum menjawab. Tetapi Kanigara pun tidak meneruskan kata-katanya. Dengan malasnya ia bangkit dan kemudian berjalan mondar-mandir. Akhirnya ia berhenti dan memasang telinganya baik-baik.
“Kau mendengar suara tembang?” tiba-tiba ia bertanya.
Mahesa Jenar kemudian mencoba menangkap setiap suara yang menyusup ke dalam pondok kecil itu. Jawabnya kemudian,
“Ya aku dengar. Jauh sekali.”
“Kau tahu tembang apa itu?” tanya Kanigara pula.
Sekali lagi Mahesa Jenar memperhatikan suara lagu yang hanya lamat-lamat sampai. Ketika ia sudah mendapat suatu kepastian, hatinya menjadi berdebar-debar.
“Dandanggula,” desisnya.
“Ya, Dandanggula,” ulang Kanigara.
“Sudah beberapa malam berturut-turut aku mendengar lagu itu dari arah yang berbeda-beda.”
Tiba-tiba Mahesa Jenar berdiri tegak. Mula-mula ia ragu-ragu untuk mengatakan sesuatu. Tetapi karena sinar mata Kanigara yang seolah-olah mendesaknya, akhirnya ia berkata,
“Kau kenal orang itu.”
“Ki Ageng Pandan Alas,” jawab Mahesa Jenar.
“Pandan Alas?” tanya Kanigara pula, tetapi ia tidak terkejut.
“Aku kagumi suaranya. Meskipun ia sudah tua, namun suaranya masih mengingatkan aku kepadanya belasan tahun yang lalu. Ya sahabat ayahku.”
Mahesa Jenar mengangguk mengiyakan.
“Apakah yang dicarinya?” kata Kanigara kosong, meskipun ia sudah mengerti jawabnya. Sebab ia tahu betul bahwa Pudak Wangi, yang nama sebenarnya Rara Wilis, adalah cucu orang tua itu.
“Ia pasti mengira bahwa aku masih disini. Dengan demikian ia mengharap aku datang kepadanya mengembalikan cucunya yang dikiranya benar-benar aku larikan,” jawab Mahesa Jenar.
Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian ia bertanya,
“Nah terserah kepadamu. Apakah gadis itu akan kau kembalikan apa tidak.”
“Kenapa baru beberapa hari ini ia datang?” tanya Mahesa Jenar, seolah-olah kepada dirinya sendiri.
“Mungkin ia menunggu sampai rombongan Sima Rodra itu meninggalkan bukit ini, setelah mencarimu dengan sia-sia,” jawab Kanigara.
“Tidakkah Kakang menangkap mereka?” tanya Mahesa Jenar pula.
“Aku juga bersembunyi. Panembahan Ismaya tidak mau melihat pertumpahan darah di atas padepokan Karang Tumaritis,” jawabnya.

Mahesa Jenar tidak bertanya lebih lanjut tentang gerombolan Sima Rodra dan Jaka Soka. Pikirannya sedang dikacaukan oleh suara tembang itu. Ia menjadi bimbang, apakah sebaiknya ia datang menemui atau tidak. Di dalam kebimbangan itu, ia mendengar suara Dandang Gula itu semakin jelas. Suara itu tiba-tiba menyusul ke dalam dada Mahesa Jenar, membawa suatu kenangan pada masa-masa yang silam. Yang mula-mula diingatnya adalah, Ki Ageng Pandan Alas pernah marah kepadanya ketika ia meninggalkan Rara Wilis tanpa pamit. Ia tahu betapa sakit hati orang tua itu, oleh tuduhannya yang barangkali sama sekali tak beralasan tentang cucunya. Tetapi bagaimanapun juga, ia merasa bahwa tidak enaklah rasanya menerima kemarahan itu. Didalam kesepian malam itu, semakin mengumandanglah suara Ki Ageng Pandan Alas. Seorang tokoh sakti sahabat gurunya yang pernah kecewa terhadapnya. Namun tiba-tiba diingatnya pula, pertama kali ia mendengar suara itu. Pada saat jiwanya sudah berada di ujung tangan seorang tokoh hitam yang menamakan dirinya Pasingsingan, yang sebenarnya bernama Umbaran, maka terdengarlah suara itu. Dan karena suara itu pula agaknya Umbaran mengurungkan niatnya untuk membunuhnya. Karena itu tiba-tiba terasalah bahwa bagaimanapun juga orang tua itu pernah menyelamatkannya.
“Aku akan datang kepadanya,” gumamnya seolah-olah belum merupakan suatu kepastian.
Kanigara tersenyum.
“Datanglah. Jangan kau bawa dahulu cucunya. Barangkali ada beberapa hal yang akan kau bicarakan dengan orang tua itu. Sebab sepengetahuanku, ada orang ketiga yang berdiri diantara kau dan gadis itu,” katanya.
Mahesa Jenar memandang Kanigara dengan tajamnya. Ia agak heran mengapa orang itu mengetahui hampir segala seluk beluk hidupnya.
Tetapi ia tidak bertanya sesuatu ketika dilihatnya Kanigara tersenyum sambil berkata pula,
“Jangan memandang aku begitu tajam. Aku jadi takut karenanya. Nah, pergilah. Kalau kau tak keberatan aku akan ikut serta.”
“Tidak, sama sekali tak keberatan,” jawab Mahesa Jenar.
“Akulah satu-satunya orang yang berhak jadi wakil orang tuamu,” sambung Kanigara sambil tertawa pendek.
“Ah…” Mahesa Jenar tidak meneruskan.
“Kenapa kau mengeluh?” tanya Kanigara seperti bersungguh-sungguh.
“Tidak,” sahut Mahesa Jenar.
“Suara tertawa Kakang yang lunak itu amat memusingkan kepalaku.”
Sekali lagi Kanigara tertawa.
“Ayolah,” katanya.

MEREKA berdua pergi menembus hitam malam ke arah suara Ki Ageng Pandan Alas yang seolah-olah melingkar-lingkar menyusur lereng-lereng bukit Karang Tumaritis. Tetapi karena telinga Kanigara dan Mahesa Jenar sedemikian tajamnya, maka segera mereka mengetahui darimana datangnya sumber suara itu. Ketika jarak mereka sudah tidak begitu jauh lagi, segera mereka berhenti. Mereka menunggu sampai Pandan Alas selesai dengan lagunya. Tetapi agaknya orang tua itu sudah mengetahui kehadirannya, sehingga belum lagi kalimat yang terakhir diucapkan ia sudah berhenti. Perlahan-lahan ia bangkit dari tempat duduknya, seonggok batu padas. Sapanya,
“Agaknya kau datang juga Mahesa Jenar”.
Mahesa Jenar dan Kanigara bersama-sama berdiri sambil membungkuk hormat.
Sebelum mereka menjawab Pandan Alas meneruskan,
“Sudah beberapa hari aku mencarimu dengan caraku ini. Sebab aku yakin bahwa kau sudah mengenal suaraku”.
“Baru sekarang aku dapat datang Ki Ageng,” jawab Mahesa Jenar.
“Maafkanlah, mudah-mudahan aku tidak mengecewakan”.
Pandan Alas tertawa pendek. Kemudian iapun duduk pula di atas sebuah batu.
“Duduklah,” katanya.
“Mungkin percakapan kita tidak segera selesai”.
Mahesa Jenar dan Kanigara pun segera duduk pula di muka orang tua itu. Di dalam gelap malam, terasalah bahwa Ki Ageng Pandan Alas sedang mencoba mengetahui siapakah kawan Mahesa Jenar itu. Namun agaknya ia belum mengenalnya sehingga akhirnya ia bertanya,
”Mahesa Jenar, tidakkah aku kau perkenalkan dengan sahabatmu itu?”
Mahesa Jenar tersadar dari kekeliruannya. Tetapi sebelum ia menjawab, Kanigara sudah mendahului.
“Baiklah aku memperkenalkan diriku Ki Ageng. Aku adalah salah seorang sahabat Panembahan Ismaya. Namaku Putut Karang Jati”.

PANDAN ALAS menarik nafas dalam-dalam. Dirinyalah sekarang yang berada dalam puncak kesulitan. Ia tahu benar hubungan yang belit-membelit antara satu-satunya cucu yang sangat disayanginya, murid pertama yang dikasihaninya dan Mahesa Jenar seorang yang dikenal sebagai ksatria yang utama, bahkan yang telah menyelamatkan cucunya dari tangan Jaka Soka sampai dua kali dalam pengertiannya. Meskipun ia pernah merasa kecewa terhadap sikap Mahesa Jenar yang perasaannya mudah patah dalam hubungan itu, namun ia tidak pernah benar-benar marah dan melepaskan perasaan kagumnya. Tetapi muridnya itupun merupakan harapan masa datang bagi perguruannya disamping Pudak Wangi sendiri. Sekarang ia melihat suatu benturan perasaan telah terjadi. Apalagi ketika tiba-tiba ia mendengar Sarayuda berkata,
“Guru, apakah Guru sudah menyatakan kepada Mahesa Jenar, agar Pudak Wangi dikembalikan kepada perguruan Pandan Alas?”
Pandan Alas menjadi bingung. Sedang Mahesa Jenar dan Kanigara menjadi tidak begitu senang melihat sikap itu.
Dalam kecemasannya, kemudian Pandan Alas berkata,
“Sarayuda, biarlah kita bicarakan segala sesuatunya dengan baik. Bukankah kita sudah tidak mempunyai pekerjaan lain?”
Tetapi agaknya Sarayuda tidak setuju, jawabnya,
“Ki Ageng, aku telah terlalu lama meninggalkan pekerjaanku. Dalam waktu kira-kira satu tahun, aku sudah dua kali menemui Ki Ageng. Kali ini aku ingin semuanya selesai dengan segera. Supaya aku dapat segera pula kembali ke Gunung Kidul dengan suatu ketetapan hati”.
“Aku mengerti Sarayuda,” jawab Pandan Alas.
“Tetapi tidak perlukah kiranya kalau pembicaran kita inipun menjadi tergesa-gesa. Sebab seandainya kau mundur satu haripun aku kira tidak begitu besar pengaruhnya”.
Sarayuda tidak dapat membantah lagi. Karena itu ia diam, meskipun perasaannya bergetar terus.
“Duduklah Sarayuda…” Pandan Alas mempersilahkan.

Dengan gerak kosong Sarayuda duduk pula diantara mereka. Namun tampaklah bahwa ia gelisah.
“Ki Ageng Pandan Alas…” kata Mahesa Jenar kemudian,
“Maafkanlah bahwa aku tidak dapat mempersilahkan Ki Ageng pada tempat yang lebih baik, sebab akupun orang asing di sini”.
“Tidak apalah Mahesa Jenar,” sahut Pandan Alas. Tetapi disamping itu terasa kaki Kanigara menginjak kaki Mahesa Jenar. Katanya,
“Akulah tuan rumah di sini. Karena itu kalau tuan-tuan sudi, marilah aku persilahkan singgah di pondokku”.
Yang cepat-cepat menjawab adalah Sarayuda, katanya,
“Terimakasih Putut Karang Jati, bukankah namamu Putut Karang Jati?”
“Ya, ya Tuan,” jawab Kanigara.
“Tak ada bedanya. Di sini atau di pondokmu,” sambung Sarayuda.
Pandan Alas yang sedianya akan memenuhi ajakan itu menjadi terdiam. Tetapi kecemasannya semakin membelit hati. Ia berpikir keras untuk dapat menyelesaikan masalah cucunya dengan baik, tanpa suatu singgungan perasaan di kedua belah pihak. Tetapi rasa-rasanya tidaklah mungkin. Meskipun demikian ia harus berusaha.
“Ki Ageng…” desak Sarayuda kemudian,
“Marilah kita bicarakan apa yang seharusnya kita bicarakan, meskipun bagiku tak ada lagi persoalan. Bagiku hanyalah ada satu permintaan yang aku tujukan kepada yang terhormat, Kakang Mahesa Jenar, untuk menyerahkan murid perguruan Pandan Alas kepada yang berhak”.
Sekali lagi perasaan Ki Ageng Pandan Alas terguncang. Namun iapun menyambung, Mahesa Jenar,
“aku belum mendengar jawabmu. Apakah yang akan kau lakukan, setelah kau berhasil membebaskan cucuku dari tangan Sima Rodra dan Bugel Kaliki?”
“Tidak demikian Ki Ageng….” Sarayuda menyanggah. Ia merasa bahwa kata-kata gurunya itu terlalu menguntungkan Mahesa Jenar, sambungnya,
“Itu terlalu berlebih-lebihan. Kecuali kalau Ki Ageng bermaksud untuk terlalu berendah diri. Sebab ketika Mahesa Jenar membawa Pudak Wangi, tak seorangpun dapat menghalangi. Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki terikat dalam pertempuran dengan Ki Ageng, sedang janda Sima Rodra muda dan Jaka Soka bertempur melawan aku”.

Ki Ageng Pandan Alas menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu benar adat muridnya. Sebagai seorang Demang di daerahnya, segala kemauannya hampir tak terbantah. Mendengar sanggahan muridnya itupun Pandan Alas hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu Mahesa Jenar dan Kanigara menjadi semakin tidak senang terhadap kata-kata Sarayuda, meskipun mereka berdua dapat mengerti sepenuhnya, bahwa semuanya itu terdorong oleh suatu perasaan ketakutan. Takut akan kehilangan adik seperguruannya, cucu gurunya. Tetapi bagaimanapun juga hati Mahesa Jenar menjadi kalut. Kalau Demang yang kaya raya itu tidak dapat dicegah tindakannya, sehingga ia berbuat sesuatu yang tidak sepantasnya, maka ia tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan. Dengan keadaan yang sekarang, maka Sarayuda bukanlah lawannya. Tetapi kalau sampai Sarayuda dikalahkannya di hadapan gurunya sendiri, maka akibatnya akan lain. Ki Ageng Pandan Alas pasti tidak dapat menyaksikan kekalahan muridnya. Bagaimanapun juga perguruan Pandan Alas pasti mempunyai harga diri. Kalaupun terjadi demikian, perasaannyapun akan tersayat pula. Sebab terhadap dirinya sendiri ia tidak dapat mengingkari. Ia tidak ingin melepaskan Pudak Wangi kali ini.

ANGIN malam berhembus lemah. Di langit bintang gemintang gemerlapan tiada henti-hentinya. Sekali dua kali tampaklah seleret bintang berpindah tempat menggores langit. Sekejap saja, lalu lenyap terbenam dalam pelukan selembar awan. Suara jengkerik masih saja bersahutan di sela-sela kemersik daun kering yang diterbangkan angin pegunungan. Keempat orang yang duduk saling berhadapan itu untuk beberapa saat saling berdiam diri. Mereka masing-masing tenggelam dalam angan-angannya sendiri. Yang mula-mula memecahkan kesepian adalah Sarayuda,
“Masihkah ada yang kau nanti Kakang Mahesa Jenar?”
“Tidak ada,” jawab Mahesa Jenar kosong.
“Kalau demikian, marilah, serahkan Pudak Wangi kepada gurunya,” sahut Sarayuda.
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi ia menjadi bingung. Tetapi akhirnya ia berkata kepada Ki Ageng Pandan Alas,
“Ki Ageng, Pudak Wangi adalah cucu Ki Ageng, dan murid Ki Ageng. Karena itu yang paling berhak menentukan adalah Ki Ageng sendiri”.
“Bagus…” sahut Sarayuda tiba-tiba,
“Sekarang kita nantikan putusan Ki Ageng Pandan Alas”.
Pandan Alas menjadi bertambah bingung. Benar-benar ia dihadapkan pada satu keharusan memilih yang amat sulit, seperti ceritera tentang buah bersayap yang jatuh dipangkuan seorang gadis. Dimakan bapa mati, tidak dimakan ibu mati. Tetapi kemudian Pandan Alas menemukan persoalan yang sewajarnya. Karena itu ia ingin berbicara wajar, tidak dengan aling-aling. Ia tahu benar bahwa masalah yang dikemukakan Sarayuda pun sebenarnya bukan masalah perguruan, tetapi terlalu bersifat pribadi.

Maka kemudian ia ingin menerapkan persoalannya pada tempat yang sebenarnya. Katanya,
“Anakku berdua. Sarayuda dan Mahesa Jenar. Marilah kita berbicara antara hati, perasaan dan pikiran. Marilah kita berbicara dengan bahasa yang sewajarnya. Aku, sebagai seorang yang telah kenyang berjemur panas matahari, pernah juga merasakan betapa kisruhnya perasaan yang sedang bergulat melawan pikiran. Nah, kalian berdua, kenapa kalian tidak berterus terang saja, bahwa kalian berdua sama-sama menghendaki Pudak Wangi, bukan sebagai murid Pandan Alas tetapi sebagai seorang gadis yang bernama Rara Wilis…?”
Kata-kata itu langsung menusuk perasaan Mahesa Jenar dan Sarayuda. Mereka menjadi terdiam karenanya. Sebab apa yang dikatakan oleh orangtua itu adalah hakekat dari perasaan mereka masing-masing.
Kanigara yang mendengarkan pembicaraan itu menjadi tersenyum kecil. Ia memuji di dalam hati kebijaksanaan Ki Ageng Pandan Alas, yang dapat melepaskan diri dari persoalan yang sulit. Tetapi dengan demikian ada juga bahayanya. Sebab apabila persoalan mereka menjadi keras, sulitlah dihindarkan. Karena dengan demikian Ki Ageng Pandan Alas telah menghadapkan kedua orang itu langsung. Tetapi kemudian Ki Ageng Pandan Alas melengkapi pendapatnya,
“Anakku berdua… kalau kalian setuju dengan pendapatku maka keputusan terakhir tidak ada padaku. Sebab masalahnya bukan masalah antara guru dan murid. Menurutku pendapatku, keputusan terakhir berada di tangan Wilis sendiri”.

Hati Mahesa Jenar dan Sarayuda bergetar bersama-sama. Mereka merasakan kebenaran kata-kata Pandan Alas. Tetapi dengan demikian Sarayuda merasa aneh terhadap sikap gurunya. Bagi Pandan Alas, Mahesa Jenar adalah orang lain. Orang yang dijumpainya di perjalanan hidup tanpa sentuhan-sentuhan tertentu seperti beribu-ribu orang lainnya. Dirinya adalah murid orang tua itu. Murid yang sudah bertahun-tahun menyerahkan diri serta masa depannya kepadanya. Sekarang, dalam persoalan ini, gurunya itu sama sekali tidak memberikan keuntungan apapun kepadanya. Sebab Ki Ageng Pandan Alas itu seolah-olah sudah tidak mau turut mencampuri masalah itu. Karena itu, bagaimanapun juga timbullah suatu tuntutan batin, bahwa seharusnya gurunya itu berada di pihaknya. Sebab apabila demikian masalahnya akan mudah sekali. Mahesa Jenar harus mengembalikan Pudak Wangi. Seterusnya Pandan Alas menyerahkan Pudak Wangi kepadanya. Tuntutan batin itu sedemikian kuatnya sehingga akhirnya ia tidak dapat merendamnya lagi. Maka kemudian meledaklah kata-katanya,
“Ki Ageng Pandan Alas, sebenarnya Ki Ageng dapat mempermudah persoalan ini. Meskipun apa yang dikatakan Ki Ageng Pandan Alas itu benar seluruhnya, bahwa hakekatnya, masalahnya adalah masalah pribadi. Namun keputusan Ki Ageng pun akan merupakan keputusan yang menentukan. Pudak Wangi tidak akan menanyakan banyak masalah bila Ki Ageng menjatuhkan keputusan. Sedang Mahesa Jenar pun tidak akan mengganggu gugat. Dalam segala bentuk”.
Dada Kanigara berdesir. Apa yang diduganya agaknya akan menjadi kenyataan. Sarayuda rupanya sudah terlalu sulit untuk mengendalikan kata-katanya yang memancarkan kesulitan pula untuk mengendalikan perasaannya. Sedang Mahesa Jenar sedang berusaha untuk menenangkan dirinya. Meskipun ia tidak begitu senang mendengar segala-galanya, baik sikap maupun kata-kata Sarayuda. Namun karena ia mempunyai keyakinan yang semakin teguh tentang dirinya maka dipandangnya Sarayuda semakin lama semakin bertambah kecil. Justru karena itulah maka akhirnya ia merasa bahwa ia sama sekali tidak perlu melayani. Karena itulah maka Mahesa Jenar menjadi semakin tenang. Sebaliknya, Pandan Alas merasa bahwa Sarayuda telah mendesaknya untuk mengambil keputusan sesuai dengan kehendaknya sendiri, serta berusaha untuk memaksanya menyingkirkan Mahesa Jenar dengan kekerasan. Sehingga dengan demikian ia menjadi semakin cemas. Apalagi ketika Sarayuda mendesaknya pula,
“Masih adakah yang meragukan Ki Ageng…?”

“SARAYUDA….” jawab Ki Ageng Pandan Alas,
“Kalau demikian maka soalnya memang sangat sederhana. Tetapi masalahnya lain. Tidak sesederhana itu. Pudak Wangi adalah seorang seperti kita, mempunyai perasaan. Ia barangkali memang tidak akan menanyakan dengan hati terbuka. Mungkin ia akan menjalani keputusan itu hanya sekadar sebagai cucu atau murid yang patuh. Kalau demikian maka hidup anak itu seterusnya akan menjadi kering tanpa cita-cita dan harapan. Ia akan menjalani kehidupan ini tanpa hati. Ia akan melihat matahari terbit seperti memang seharusnya demikian setiap hari, setiap pagi tanpa gairah. Serta ia akan merasa bahwa purnama di setiap pertengahan bulan itu bukan miliknya tetapi milik mereka yang berbahagia”.
Untuk beberapa saat kemudian mereka kembali terdiam. Kata-kata Pandan Alas adalah kata-kata yang penuh pengalaman hidup. Penuh pengertian akan harapan, cita-cita dan cinta. Namun selanjutnya, cinta Sarayuda ternyata tidak dapat membedakan ujung serta pangkal. Demikianlah arus cinta yang bergelora di dalam dada Demang kaya raya itu. Meskipun kata-kata gurunya itu mula-mula menggetarkan hatinya, namun kemudian tertindih perasaan itu dengan suatu gelora yang lebih dahsyat. Kemudian katanya,
“Ki Ageng, ternyata bijaksana. Aku keberatan kalau seandainya Adi Pudak Wangi yang harus menentukan, siapakah diantara kita yang dikehendakinya. Namun demikian seterusnya ia harus mempertimbangkan pula ketenteraman diri. Karena itulah Pudak Wangi harus menilai, kecuali kenangan atas masa lalu serta harapan dan cita-cita bagi masa datang. Juga harus dipertimbangkan apakah kita masing-masing akan dapat melindungi dirinya”.
Beberapa titik keringat dingin telah mengalir di punggung Ki Ageng Pandan Alas. Namun demikian ia merasakan kebenaran kata-kata Sarayuda sebagai laki-laki, meskipun ia tidak seluruhnya melihat keharusan penjelasan yang demikian.

Kalau saja Pudak Wangi dapat melihat manfaat dari keunggulan ilmu, maka soalnya akan dapat dipecahkan dengan cara demikian. Tetapi ia sudah tidak dapat melihat cara lain, yang harus diyakinkan adalah, bahwa dengan demikian soalnya harus selesai. Tanpa perasaan dendam dan benci. Karena bagaimanapun, Sarayuda adalah muridnya. Ia bergaul dengan muridnya itu sejak Sarayuda menjelang dewasa. Ia telah bekerja keras agar muridnya kelak dapat memanfaatkan ilmu yang diturunkan itu sebaik-baiknya. Kalau saja muridnya dan Mahesa Jenar dapat menepati cara penjelasan itu dengan jujur, serta Pudak Wangi menyetujuinya serta melihat manfaatnya. Tetapi apakah demikian …? Dalam saat-saat ia mempertimbangkan segala segi yang mungkin terjadi, terdengarlah Sarayuda mendesaknya,
“Bukankah usulku adil?”
Ki Ageng Pandan Alas menarik nafas panjang. Ia memandang muridnya dengan tajam, seolah-olah melihat apakah ia sudah siap. Pada saat-saat terakhir memang ia selalu menambah beberapa pokok pengetahuan kepada Sarayuda untuk menambah kekuatannya lahir dan batin. Kalau sampai ditempuh jalan yang dikehendaki, adakah ia tidak akan memalukan? Mula-mula ia merasa bahwa Mahesa Jenar yang dilihatnya pada saat ia membebaskan Pudak Wangi adalah luar biasa. Tetapi kemudian ia mempertimbangkan juga pendapat Sarayuda. Meskipun ia tidak menutup mata bahwa sebenarnya Mahesa Jenar telah mencapai tingkatan yang lebih tinggi, namun benar-benar pada saat itu orang-orang lain sedang terikat di tempat masing-masing. Setelah Pandan Alas mempertimbangkan beberapa segi dan kemungkinan, kemudian ia ingin menawarkan usul Sarayuda kepada Mahesa Jenar dan Pudak Wangi. Mahesa Jenar sendiri pada saat itu dihinggapi pula oleh berbagai perasaan. Tetapi bagaimanapun ia harus mengambil suatu ketetapan. Tetapi belum lagi ia dapat suatu keputusan apapun, terdengarlah Pandan Alas bertanya kepadanya,
“Anakmas Mahesa Jenar, bagaimanakah pertimbanganmu atas usul Sarayuda?”

Mahesa Jenar membetulkan duduknya. Kemudian dijawabnya perlahan sekali,
“Ki Ageng, aku masih menyangsikan apakah seseorang dapat mempengaruhi perasaan yang paling dalam dengan berkelahi”.
Mendengar jawaban itu, Sarayuda terkejut, sehingga ia terloncat berdiri.
“Jangan berpura-pura Mahesa Jenar. Kau adalah murid utama almarhum Pangeran Handayaningrat yang bergelegar Ki Ageng Pengging Sepuh. Buat apa kau berguru kepadanya kalau kau tidak melihat manfaatnya orang berkelahi?”
“Sarayuda….” jawab Mahesa Jenar.
“Aku memang melihat manfaat orang berkelahi. Aku juga melihat bahwa orang dapat memaksakan kehendaknya dengan berkelahi. Dengan keunggulan ilmu tata pertempuran. Tetapi manfaat itu hanyalah manfaat lahiriah. Tetapi katakan kepadaku Sarayuda yang perkasa, dapatkah kau mengubah ketetapan hati seseorang atau suatu hubungan perasaan dengan perkelahian? Sarayuda… hubungan yang ada diantara kita adalah hubungan yang saling bertali. Seandainya, seandainya Sarayuda… Seandainya seseorang terpaksa memilih salah satu diantara kita karena keunggulannya, tetapi sebenarnya hatinya terikat kepada yang lain, apa katamu? Aku tidak mau, meskipun kemudian aku terpilih. Aku tidak mau menerima seseorang hanya ujud jasmaniahnya, tanpa hati dan perasaan pasrah yang tulus”.
“Omong kosong!” potong Sarayuda.
“Sejak kapan hatimu menjadi sekecil hati perempuan? Agaknya kau seorang yang mendamba cinta sebagai mahkota bidadari di sorga yang mulus tanpa cela. Mahesa Jenar, aku bukan seorang yang cengeng, yang merajuk dalam bercinta. Sejak dewasa, di pinggangku telah tergantung pedang perguruan Pandan Alas. Dengan pedang aku mendapat kekuatan di Gunung Kidul. Sekarang, dengan pedang pula aku ingin melengkapi kamukten-ku. Dengan pedang aku ingin menemukan cinta”.
Suara Sarayuda bergetar seperti guruh yang menggelegar di lereng pegunungan, berkumandang melingkar-lingkar di lembah-lembah sekitarnya. Kata-kata yang diucapkan itu adalah tekad yang sudah tak dapat ditawar lagi.

MENDENGAR kata-kata yang terucapkan oleh mulut Sarayuda itu semuanya jadi terdiam. Pandan Alas, Mahesa Jenar dan Kanigara seolah-olah terpesona oleh pancaran perasaan mereka atas peristiwa itu agak berlainan. Pandan Alas, gurunya, tiba-tiba menjadi berbangga hati melihat ketetapan hati muridnya yang penuh kejantanan. Wanita bagi seorang laki-laki adalah tidak ubahnya pusaka, yang kalau perlu rela bertaruh nyawa. Kanigara dan Mahesa Jenar pun mula-mula mengaguminya. Tetapi kemudian sebagai laki-laki berhati jantan, tersentuhlah perasaan mereka. Karena itulah maka dada Mahesa Jenar bergelora hebat. Hampir ia melepaskan, perhitungan untuk memenuhi kepuasan hatinya. Sedangkan Kanigara menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh Sarayuda sudah terlalu sukar untuk mendapat perubahan bentuk. Ia sudah bertekad bulat, apapun yang akan terjadi. Demikianlah Sarayuda berdiri dengan gagahnya pada kedua kakinya yang kokoh kuat. Satu tangannya tergantung di sisi tubuhnya, sedang tangannya yang lain melekat di hulu pedangnya. Dengan suatu keyakinan yang pasti ia menanti akibat dari kata-katanya.

Tetapi yang terjadi adalah diluar dugaan. Pada saat Mahesa Jenar sedang berjuang untuk tidak tenggelam dalam arus perasaannya, tiba-tiba terdengar suara tertawa lirih tertahan. Alangkah terkejut mereka yang mendengar suara itu. Hampir saja keempat orang bersama-sama bergerak dalam satu kejapan mata menghadap ke arah suara itu. Diantara mereka yang mula-mula berteriak adalah Kanigara. Suaranya lantang mengandung penjelasan,
“Kau Karang Tunggal…. Agaknya penyakitmu kambuh lagi. Datanglah kemari”.
Mendengar nama itu disebutkan, Mahesa Jenar terkejut pula. Apalagi ketika ia melihat dua anak muda muncul dari balik gerumbul di sebelah. Anak muda itu adalah Putut Karang Tunggal dan Arya Salaka. Dengan tunduk ketakutan mereka berjalan mendekati Kanigara. Sedang tangan Karang Tunggal masih melekat di mulutnya. Dengan suara gemetar menahan marah, Kanigara berkata,
“Apa yang kau lakukan itu Karang Tunggal? Aku kira kau telah benar-benar sembuh dari penyakitmu. Melihat sikapmu beberapa bulan terakhir aku sudah senang. Tetapi agaknya kau belum dapat melupakan kelakuanmu yang keterlaluan itu”.
Karang Tunggal dan Arya Salaka masih diam ketakutan. Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar berkata kepada muridnya,
“Kenapa kau datang kemari Arya…?”
Arya Salaka menjadi gemetar. Ia belum melupakan kelakuan gurunya yang tiba-tiba berubah menjadi kasar setelah mereka berada di dalam goa, tetapi sebelum ia menjawab, terdengar suara Putut Karang Tunggal menyahut,
“Adi Arya Salaka tidak bersalah, Paman. Akulah yang membawanya kemari. Tetapi aku sama sekali tidak sengaja mengintip pertemuan ini”.
“Tutup mulutmu!” bentak Sarayuda yang hatinya lebih parah dari semuanya. Tidak hanya Karang Tunggal yang terkejut mendengar bentakan itu, tetapi juga semua yang hadir. Kanigara yang semula akan marah kepada Karang Tunggal, tiba-tiba menjadi urung. Sebab bagaimanapun ia sama sekali tidak senang kalau ada orang yang membentak-bentak kemenakannya itu.

Karang Tunggal ternyata benar-benar mempunyai sifat yang aneh. Kalau mula-mula Mahesa Jenar melihat sikapnya yang halus sopan itu agaknya seperti apa yang dimaksud oleh Kanigara sebagai penyakit yang setiap saat dapat kambuh kembali. Sebab ternyata ketika Sarayuda membentaknya, justru ia mengangkat wajahnya. Karena itu segera ia tunduk kembali dan dengan sudut matanya ia memandang mata Kanigara. Kanigara yang kecewa atas kelancangan Sarayuda, kemudian menjadi acuh tak acuh. Ia tidak jadi mencegah kemenakannya untuk tidak berbuat yang aneh-aneh. Bahkan kemudian dengan tidak peduli ia duduk kembali. Mahesa Jenar mengerti perasaan yang bergetar di dalam hati Kanigara. Karena itu ia menjadi bertambah gelisah. Jangan-jangan persoalannya menjadi lain. Meskipun ia juga menyesali tindakan Sarayuda yang berlebihan itu. Ki Ageng Pandan Alas terkejut pula mendengar Sarayuda membentak Karang Tunggal justru pada saat orang yang menyebut dirinya Karang Jati, yang pasti mempunyai hubungan satu sama lain itu sedang marah pula kepada anak muda itu. Ia mengerti sepenuhnya seperti Mahesa Jenar juga, kenapa Kanigara kemudian menjadi acuh tak acuh. Karena itu segera ia mencoba mencegah hal-hal yang tak diinginkan.
“Sudahlah Sarayuda. Serahkanlah anak itu kepada yang berwenang. Bukankah Karang Jati dapat mengajarnya untuk tidak mengganggu kita lagi?”
Tetapi agaknya pikiran Sarayuda telah benar-benar kacau. Sebab kemudian ia menjawab,
“Putut Karang Jati itu hanya dapat membentak-bentak marah saja, tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu terhadap orangnya yang sudah berbuat salah. Bukankah ia mengintip dan kemudian menertawakan aku? Menertawakan kata-kataku…?”
Kemudian kepada Kanigara ia berkata,
“Karang Jati, dapatkah kau sedikit memberi pelajaran kepada orangmu itu? Atau barangkali kau perlu bantuanku?”

Kata-kata itu semakin tidak menyenangkan perasaan Kanigara. Maka dijawabnya kata-kata Sarayuda dengan berterus terang,
“Tuan, mula-mula aku marah kepada anakku. Tetapi aku kecewa kepada sikap Tuan, bahwa Tuan ikut memarahinya”.
Sarayuda menjadi tersinggung perasaannya. Ia telah biasa marah kepada setiap orang yang tidak memenuhi perintahnya, di daerahnya. Karena itu, ketika ia mendengar jawaban Kanigara yang berterus terang menyesalinya itu, ia sama sekali tidak mau mendengarkan. Bahkan dengan semakin marah ia berkata,
“Lalu apa maumu? Mestikah aku membiarkan anak yang katamu anakmu itu menghina aku? Menertawakan aku? Baiklah katakan kepadaku bahwa kau tidak mampu mengajarnya. Dan, katakan pula kepadaku bahwa kau perlu bantuanku untuk mengajarnya. Ayo… katakan supaya aku tidak kau anggap salah lagi kalau aku mengajarnya sedikit kesopanan”.


<<< Bagian 040                                                                                              Bagian 042 >>>

No comments:

Post a Comment