SEDANG Endang Widuri tiba-tiba menjadi sangat bangga. Ia tidak tahu kenapa perasaan itu begitu saja tumbuh di dalam dadanya, seolah-olah dirinyalah yang mendapat sambutan sedemikian hangatnya. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, meskipun tidak kalah terharu, namun mereka berdua telah dapat mengendalikan perasaan mereka, sehingga mereka tetap duduk dengan tenang.
Yang paling
tidak dapat mengendalikan perasaannya adalah Wanamerta. Dalam kesempatan itu,
ia merasa bahwa seolah-olah ia telah sampai pada puncak kebahagiaan. Bahkan
dengan serta merta terlontar kata-kata dari mulutnya,
“Aku tidak
keberatan seandainya sekarang juga aku mati, sebab aku telah menyaksikan angger
Arya Salaka kembali kepada anak-anak Banyubiru yang setia kepada kebenaran atas
hak pada tanah mereka.”
Sedang Arya
Salaka sendiri malah menjadi bingung. Ia biasa hidup seperti seekor burung yang
bebas lepas di udara, yang seolah-olah tidak mempunyai suatu ikatan apapun. Ia
tidak biasa menerima pujian dan sanjungan. Apalagi sikap memanjakan diri. Dan
sekarang tiba-tiba terdengarlah teriakan-teriakan nyaring di dalam maupun di
luar ruangan itu menyebut namanya. Memuji-mujinya dan bahkan ada diantaranya
yang mengaguminya, seolah-olah dirinya menjadi seorang pahlawan yang baru
memenangkan perang. Karena itulah maka tubuhnya menjadi gemetar. Wajahnya
bertambah lama bertambah pucat, dan keringat dingin telah memenuhi seluruh
tubuhnya. Mahesa Jenar yang bijaksana dapat merasakan keadaan itu. Karena itu
segera ia berkata keras-keras, untuk mengatasi segenap keriuhan itu.
“Saudara-saudara
rakyat Banyubiru yang setia…. Atas nama Arya Salaka, aku ucapkan terima kasih
atas sambutan kalian. Tetapi aku minta janganlah kalian menyambut kedatangannya
dengan berlebih-lebihan. Sebab sikap yang demikian akan besar pengaruhnya,
meskipun aku yakin akan keteguhan hati Arya Salaka, namun bersikaplah
sewajarnya. Dengan demikian, segala sesuatu akan berlangsung dengan wajar pula.
Tanpa berlebih-lebihan, tanpa pengaburan atas nilai yang sebenarnya. Dengan
demikian saudara-saudara tidak akan mudah menjadi kecewa apabila ada hal-hal
yang tidak seperti saudara harapkan.”
Suara Mahesa
Jenar itu ternyata dapat menenangkan suasana di dalam ruangan itu, namun di
luar ruangan masih saja terjadi keributan dan teriakan-teriakan. Mereka agaknya
tidak puas sebelum dapat memandang wajah anak kepala daerah mereka yang telah
mereka anggap hilang itu. Karena itu mereka masih saja berusaha untuk dapat
berdiri di pintu. Dengan demikian akhirnya Mahesa Jenar merasa perlu untuk
menenangkan mereka dengan membawa Arya Salaka keluar. Maka berkatalah ia kepada
Bantaran dan Penjawi,
“Biarlah Arya
Salaka berdiri di depan pintu sebentar, agar mereka menjadi puas.”
Bantaran dan
Penjawi menyetujui, serta mempersilakan Arya Salaka untuk berdiri sebentar,
menerima sambutan dari rakyat. Maka berkatalah Mahesa Jenar kepada Arya Salaka,
“Marilah kita
berdiri di muka pintu itu sebentar Arya Salaka, dan berkatalah sepatah dua
patah kata kepada rakyatmu.”
Arya Salaka
menjadi semakin gelisah. Ia lebih tenang pada saat ia berhadapan dengan Uling
Kuning dan Uling Putih daripada waktu itu. Dengan tergagap ia menjawab,
“Paman sajalah
yang berbicara kepada mereka, atau Kakang Penjawi.”
Mahesa Jenar
tersenyum, katanya,
“Mereka tidak
akan mau mendengarkan siapa saja yang akan berbicara selain kau.”
Keringat Arya
Salaka semakin banyak mengalir. Tetapi ia tidak dapat membantah lagi ketika
Mahesa Jenar kemudian berdiri dan menarik tangannya. Dengan jantung yang
berdegupan Arya Salaka digandeng oleh Mahesa Jenar berjalan ke arah pintu diikuti
oleh Penjawi, Bantaran, Kebo Kanigara, Rara Wilis dan Widuri. Ketika Arya
muncul di muka pintu, meledaklah tepuk tangan riuh, dibarengi dengan
teriakan-teriakan yang menyebut-nyebut nama anak kepala daerah perdikan
Banyubiru itu. Sedang Arya Salaka sendiri berdiri terpaku tanpa bergerak.
Terdengarlah
kemudian Mahesa Jenar berbisik di telinganya,
“Berbicaralah,
Arya….”
Arya menjadi
semakin bingung. Maka bisiknya pula,
“Apakah yang
harus aku bicarakan?”
“Ucapkanlah
pernyataan terima kasih kepada mereka dan katakan bahwa kau masih lelah
sehingga kau perlu segera beristirahat. Karenanya pembicaraan yang agak panjang
kau tunda sampai besok,” jawab Mahesa Jenar berbisik-bisik.
Mula-mula Arya
Salaka masih tetap gelisah menghadapi keadaan yang tidak disangka-sangkanya
itu. Tetapi tiba-tiba dari jantungnya meledaklah perasaan tanggungjawabnya,
didorong pula oleh darah kepemimpinan yang mengalir dalam tubuhnya.
ARYA SALAKA
kemudian berhasil menguasai dirinya dan memperoleh keseimbangan. Sehingga
dengan demikian ia menjadi agak tenang. Maka dicobanya untuk menyampaikan
pernyataan terima kasih kepada rakyat yang menyambutnya itu. Namun bagaimanapun
juga, suaranya masih terdengar gemetar.
“Saudara-saudaraku
dari Banyubiru. Yang pertama-tama akan aku sampaikan kepada kalian, adalah
pernyataan terima kasih yang sebesar-besarnya atas sambutan kalian yang sama
sekali tidak aku duga. Seterusnya, karena aku masih sangat lelah perkenankanlah
aku beristirahat dahulu. Besok pembicaraanku akan aku perpanjang lagi.”
Mahesa jenar
tersenyum mendengar uraian Arya Salaka yang masih terasa bongkah-bongkah itu.
Meskipun demikian kata-kata itu cukup untuk dapat menenangkan rakyatnya. Namun
masih juga terdengar teriakan-teriakan yang meminta Arya untuk berbicara lebih
banyak lagi.
Kemudian
tampillah Bantaran, yang meminta kepada rakyat Banyubiru yang tetap teguh pada
pendiriannya itu, untuk memberi kesempatan kepada Arya Salaka beristirahat.
“Nah
saudara-saudaraku…” katanya,
“Sekarang
berilah kesempatan tamu-tamu kita beristirahat. Juga kalian dapat beristirahat
sekarang, kecuali mereka yang bertugas. Sebab di hadapan kalian terbentanglah
lautan yang penuh dengan badai dan taufan yang harus kalian renangi. Siapa
tahu, besok atau bahkan nanti, kalian harus sudah menerjuninya.”
Dengan demikian
maka anak-anak Banyubiru itu kemudian perlahan-lahan meninggalkan pintu barak
dimana Arya Salaka masih berdiri bersama dengan kawan-kawan seperjalanannya.
Namun kemudian Bantaran tidak mempersilakannya masuk kembali, tetapi mereka
dipersilakan untuk pergi ke pondok yang lebih kecil, yang telah dipersiapkan
untuk mereka. Meskipun demikian, karena mereka sama sekali tidak menduga bahwa
di dalam rombongan itu akan terdapat dua orang gadis, maka dengan tergesa-gesa
mereka terpaksa menyiapkan tempat lain untuk keperluan itu. Mereka kemudian
dipersilakan beristirahat di tempat masing-masing. Mantingan dan Wirasaba
memerlukan mengunjungi Mahesa Jenar, meskipun hanya sebentar, untuk berkenalan
lebih dekat lagi dengan Arya Salaka dan Kebo Kanigara. Setelah itu maka
ditinggalkannya mereka bertiga, setelah dipersilakan mereka makan sekadarnya.
Sedang Wanamerta segera terjun ke dalam lingkungan anak-anak Banyubiru yang
sudah lama terpisah dengannya, dan kemudian tidur bersama mereka. Malam itu
rasanya berjalan demikian cepat. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka
segera tenggelam ke dalam mimpi. Demikian juga di dalam pondok yang lain. Rara
Wilis dan Endang Widuri yang dikawani oleh Nyi Penjawi, segera tertidur pula.
Di luar pondok itu, tampaklah beberapa orang berjaga-jaga dengan cermatnya.
Sebab dalam tanggapan mereka, keselamatan gadis-gadis itu sangat tergantung
kepada penjagaan yang mereka lakukan. Ketika mereka terbangun pada pagi
harinya, dan kemudian keluar dari pondok masing-masing, tampaklah betapa cerahnya
matahari pagi.
Sinar-sinarnya
yang menembus daun-daun pepohonan terpercik di atas tanah lembab, membuat
gambaran-gambaran yang menyenangkan. Seolah-olah gambaran anak-anak yang dengan
lincahnya berloncat-loncatan dengan penuh kegembiraan menyambut hari yang bakal
datang. Sedang angin pagi mengalir lambat membawa udara sejuk segar. Pada hari
itu Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka diantar oleh Bantaran, Penjawi,
Mantingan, Wirasaba dan Wanamerta melihat-lihat keadaan di sekitar barak-barak
itu. Melihat persiapan-persiapan yang mereka lakukan. Dari mereka itulah Mahesa
Jenar mengetahui bahwa sebagian besar rakyat Banyubiru tetap menanti kedatangan
kepala daerah perdikan mereka. ternyata dengan bantuan yang mengalir tak
henti-hentinya. Meskipun dengan bersembunyi-sembunyi mereka dapat mengirimkan
makanan, pakaian dan senjata. Bahkan anak-anak Banyubiru telah mendapat
perkakas yang cukup untuk membuka hutan. Karena itulah rombongan itu bukan saja
rombongan orang-orang yang menyingkirkan diri, namun mereka termasuk
perintis-perintis pula dalam perluasan daerah pertanian Banyubiru. Sebab
disamping mempersiapkan diri mereka untuk datang kembali ke Banyubiru, mereka
ternyata telah membuka hutan dan membuat tanah pertanian. Pada hari-hari
berikutnya, Mahesa Jenar, Arya Salaka dan kawan-kawannya sempat melihat
kesiapsiagaan anak-anak Banyubiru itu. Mereka mendapat kesempatan untuk melihat
anak-anak Banyubiru itu berlatih.
Mula-mula
Mahesa Jenar menjadi heran melihat kemajuan yang pesat dibandingkan masa-masa
Banyubiru beberapa tahun yang lalu. Justru setelah mereka didorong ke
tengah-tengah hutan. Tetapi keheranan itu kemudian lenyap ketika ia melihat
Mantingan dan Wirasaba berada diantara mereka. Agaknya kedua orang itu,
disamping Penjawi dan Bantaran, yang telah bekerja mati-matian untuk melatih
anak-anak Banyubiru itu. Melihat tingkat pengetahuan laskar Banyubiru itu, Arya
Salaka pun berbangga pula. Ternyata bahwa mereka lebih maju daripada laskar
Gedangan. Sebaliknya, apa yang diduga Bantaran sebelumnya ternyata benar-benar
terjadi. Dengan kehadiran Arya Salaka, laskar Banyubiru merasa mendapat suatu
karunia yang tiada taranya. Mereka menjadi semakin teguh pada tekadnya. Kembali
ke Banyubiru. Tetapi meskipun demikian Bantaran, Penjawi dan beberapa orang
pemimpin laskar Banyubiru itu masih tetap bimbang. Bukan karena meragukan
kesetiaan laskarnya, yang menurut penilaiannya telah menyerahkan diri mereka
bulat-bulat sampai tetes darah terakhir. Tetapi sebagai seorang pemimpin,
mereka berkewajiban menilai kekuatan mereka sendiri untuk diperbandingkan
dengan kekuatan lawan mereka.
MEREKA harus
tidak menutup mata terhadap kenyataan yang ada. Mereka harus memperhitungkan
bahwa laskar Pamingit yang bergabung dengan sebagian orang-orang Banyubiru yang
tidak setia terdapatlah nama-nama besar seperti Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung
Sariti. Disamping itu Bantaran dan kawan-kawannya selalu meragukan apakah
kira-kira yang akan dilakukan Ki Ageng Sora Dipayana apabila benar-benar
terjadi bentrokan antara dua kekuatan itu. Di pihaknya, ia yakin bahwa Kebo
Kanigara dapat diketengahkan. Bantaran pernah melihat sendiri, paman guru
Mahesa Jenar itu berhasil menyelamatkan diri setelah bertempur melawan sepuluh
orang pengawal Lembu Sora. Tetapi bila Ki Ageng Sora Dipayana melibatkan diri
dalam perselisihan itu, apakah Kebo Kanigara dapat mengimbanginya? Kemudian
Bantaran harus menilai Mahesa Jenar pula. Dahulu, sepengetahuannya, Mahesa
Jenar memiliki ilmu setingkat dengan Gajah Sora. Ki Ageng Gajah Sora sendiri
pernah mengatakan. Tetapi sekarang Ki Ageng lembu Sora pesat sekali maju. Ia
mendapat tuntunan yang tiada henti-hentinya dari Ki Ageng Sora Dipayana,
sehingga Lembu Sora sekarang telah melampaui kakaknya, Gajah Sora. Sedang
Mahesa Jenar, apakah yang diperolehnya selama ini, meskipun berada di
lingkungan paman gurunya?
Apalagi
kemudian pimpinan laskar Banyubiru harus memperhitungkan pula Arya Salaka, yang
mau tidak mau akan berhadapan kepentingan dengan Sawung Sariti. Apa yang mereka
lihat sekarang, Sawung Sariti benar-benar telah menjadi seorang pemuda yang
luar biasa. Ia dengan beraninya menghadapi lawan-lawannya sebagai seekor ayam
jantan di arena pertarungan. Selain itu ia dapat bergerak dengan sangat
lincahnya seperti seekor burung sariti di udara. Apalagi ia pun telah mendapat
tempaan dari kakeknya. sehingga anak muda itu benar-benar memiliki ilmu yang
menakutkan. Meskipun dari Wanamerta, Bantaran telah mendengar apa yang pernah
terjadi antara Arya Salaka dan Sawung Sariti, namun ia menganggap bahwa Sawung
Sariti kemudian telah lebih maju lagi dengan pesatnya, disamping dugaan-dugaan
bahwa Wanamerta agak terlalu bangga terhadap Arya Salaka. Dalam pada itu
pimpinan laskar Banyubiru itu tidak mengada-ada. Namun sebagai pemimpin ia
harus bertindak hati-hati. Meskipun demikian ia tidak sampai hati untuk
mengatakannya kepada Mahesa Jenar yang kemudian diharap akan dapat memimpin
laskar Banyubiru.
Yang dapat
mereka lakukan kemudian hanyalah sebuah pernyataan untuk meminta Mahesa Jenar
memimpin laskar Banyubiru. Sebab mau tidak mau mereka harus mengakui bahwa
Mahesa Jenar kecuali memiliki ilmu yang lebih tinggi daripada setiap orang yang
ada, mereka juga mengetahui bahwa Mahesa Jenar adalah bekas seorang perwira
prajurit Demak. Tentu saja Mahesa Jenar tidak menolak. Bahkan ia merasa
mendapat jalan untuk menentukan cara laskar Banyubiru berbuat. Ia ingin membuat
laskar Banyubiru laskar yang kecuali baik dalam tata cara bertempur, juga harus
merupakan laskar yang baik dalam bertindak. Di dalam atau di luar lingkaran
pertempuran. Maka sejak saat itulah Mahesa Jenar mengambil pimpinan dari tangan
Bantaran dan Penjawi. Dan sejak itu pula Mahesa Jenar menyelenggarakan latihan
yang lebih teratur untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi.
Akhirnya Mahesa Jenar sampai pada suatu saat dimana ia menganggap bahwa
waktunya telah tiba untuk berbuat sesuatu ke arah penyelesaian masalah
Banyubiru. Karena itulah maka segera mengadakan persiapan-persiapan terakhir.
Adalah diluar dugaan sama sekali, ketika tiba-tiba datanglah seorang yang
ditugaskan untuk tinggal di Banyubiru, yang mengabarkan bahwa Banyubiru, sebuah
desas-desus yang tersebar luas mengatakan bahwa keris-keris Kyai Nagasasra dan
Kyai Sabuk Inten kini berada di Banyubiru.
Mahesa Jenar
terkejut mendengar khabar itu. Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten jelas berada
di tangan Panembahan Ismaya. Tetapi kenapa tiba-tiba orang mendesas-desuskan
bahwa keris itu berada di Banyubiru…? Mula-mula kepada orang yang membawa
khabar itu Mahesa Jenar menanyakan, kira-kira dari manakah sumber berita itu.
Tetapi orang itu pun sama sekali tidak mengetahui. Namun ia dapat mengatakan
bahwa karena itulah maka di Banyubiru timbul kegelisahan. Sebab adanya
desas-desus itu akan banyak akibat yang dapat terjadi. Karena itulah Mahesa
Jenar merasa bahwa ia telah didesak oleh keadaan untuk bertindak lebih cepat.
Ia masih teringat jelas bahwa golongan hitam pun sangat memerlukan keris-keris
itu. Sebenarnya ia sama sekali tidak percaya, bahwa kedua keris itu dengan
tiba-tiba saja berada di Banyubiru, sebab ia yakin bahwa tak seorang pun yang
dikenalnya, dapat melampaui segala macam ilmu yang dimiliki Panembahan Ismaya.
Seandainya dua-tiga orang sakti sekalipun yang datang ke Bukit Karang
Tumaritis, pasti orang-orang itu tidak akan berhasil mendapatkan Kyai Nagasasra
dan Kyai sabuk Inten, apalagi orang-orang Banyubiru. Biarpun mereka datang
bersama-sama. Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng lembu Sora dan Sawung Sariti
beserta seluruh laskarnya. Karena itu ia akhirnya sampai suatu kesimpulan bahwa
di belakang desas-desus itu pasti tersembunyi suatu maksud.
SETELAH Mahesa
Jenar berunding dengan Kebo Kanigara, ia memutuskan untuk segera membawa Arya
Salaka ke Banyubiru. Sudah barang tentu Mahesa Jenar bertindak menurut caranya,
yang merupakan pancaran dari wataknya. Ia tidak segera membawa pasukannya ke
Banyubiru sekaligus dalam persiapan tempur dengan mempergunakan gelar perang,
tetapi ia mengharap bahwa segala sesuatu dapat diselesaikan menurut cara yang
baik. Mula-mula Bantaran, Penjawi, bahkan Wanamerta heran melihat kelunakan
sikap Mahesa Jenar itu. Bahkan mereka menduga bahwa di dalam hati Mahesa Jenar
meragukan kekuatan laskarnya. Karena itulah maka mereka mengajukan pertimbangan
lain. Mereka mendesak agar Mahesa Jenar memaksa dengan kekuatan untuk mengusir
Lembu Sora dari Banyubiru. Sebab mereka tidak melihat cara lain yang dapat
dipergunakan selain cara itu. Mahesa Jenar memahami sepenuhnya perasaan yang
bergolak di dalam dada Bantaran, Penjawi dan anak-anak Banyubiru, yang terpaksa
menyingkir dari kampung halaman mereka sendiri. Mereka telah mengalami tekanan
lahir batin. Kepahitan yang selama ini harus mereka telan, telah menyebabkan
mereka menjadi dendam. Apalagi mereka merasa bahwa mereka telah melakukan
tindakan kebenaran. Mempertahankan hak atas tanah mereka. Mereka dikejar-kejar,
dimusuhi, ditangkap dan segala macam usaha yang lain untuk menakut-nakuti agar
mereka melepaskan kesetiaan mereka kepada tanah mereka. Tetapi ternyata lebih
baik bagi mereka menyingkirkan diri, meninggalkan kampung halaman, untuk tetap
mempertahankan pendirian mereka. Mempertahankan kesetiaan mereka terhadap tanah
pusaka mereka, terhadap tanah tercinta. Karena itu Mahesa Jenar harus bersikap
hati-hati terhadap mereka. Ia tidak dapat demikian saja memaksa mereka untuk
melepaskan dendam mereka. Tetapi ia harus berusaha menumbuhkan dari dalam diri
mereka masing-masing, pengertian tentang apa yang akan mereka lakukan.
Dengan penuh
kebijaksanaan berkatalah Mahesa Jenar kepada Bantaran, Penjawi beserta para
pemimpin laskar Banyubiru,
“Saudara-saudaraku…
kalau kalian gagal untuk menginjakkan kaki kalian beserta Arya Salaka kembali
ke Banyubiru, akulah orang yang pertama-tama akan menyatakan penyesalan yang
sedalam-dalamnya. Dan akulah orangnya yang akan menerjunkan diri, mengorbankan
segala yang ada padaku untuk kepentingan kalian. Sebab aku telah menerima
penyerahan dari kakang Gajah Sora atas putranya, Arya Salaka, beserta segala
kelengkapan atas dirinya. Diantaranya kedudukan kepala daerah perdikan
Banyubiru. Karena itu percayalah bahwa aku akan bekerja keras untuk
melaksanakan pekerjaan itu.”
Setelah
menarik nafas sejenak, Mahesa Jenar meneruskan,
“Tetapi
berilah aku kesempatan menyelesaikan menurut cara yang akan aku tempuh.
Pertama-tama aku akan berusaha untuk menempuh jalan yang sebaik-baiknya. Lembu
Sora adalah adik Gajah Sora. Aku masih ingin melihat bahwa masih ada hubungan
dari mereka berdua. Hubungan yang sangat dekat. Mereka dialiri darah dari
sumber yang sama. Apabila cara ini tidak berhasil, barulah aku akan
mempergunakan cara lain. Membawa kalian serta. Tetapi ingat, bahwa apa yang
kalian lakukan bukanlah pembalasan dendam. Yang akan kalian lakukan adalah
mengambil hak kalian kembali. Hak atas tanah kalian dan hak atas pimpinan
daerah kalian. Karena itu maka yang harus kalian lakukan adalah sesuai dengan
tujuan itu. Jangan ada diantara kalian yang mempergunakan kesempatan ini untuk
kepentingan diri sendiri. Melepaskan dendam pribadi kepada orang-orang yang
sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan perjuangan kalian mengambil
kembali kampung halaman kalian. Kesetiaan kalian.”
Selanjutnya
Mahesa Jenar mengatakan,
“Aku percaya
bahwa kalian akan dapat menunjukkan kebesaran jiwa kalian, yang dengan demikian
akan menunjukkan pula perbedaan antara kalian dengan orang-orang yang berjiwa
kerdil, yang hanya mengenal kepentingan diri daripada kepentingan bersama.
Dengan demikian pekerjaan kalian hanya terbatas sampai hak atas tanah perdikan
itu kembali. Seterusnya kalian tidak perlu berbuat apa-apa lagi, yang
barangkali malah akan menyuramkan nama kalian. Yang harus kalian ingat pula,
bahwa kecuali kalian dan orang-orang Pamingit itu masih ada orang-orang yang
termasuk di dalam barisan golongan hitam. Tidak mustahil kalau mereka akan
mengambil setiap kesempatan, mengail di air keruh. Kalau kalian kemudian
terlibat dalam permusuhan yang berlarut-larut, maka dengan senangnya mereka
akan datang dan membangun istana kemenangan dia atas bangkai-bangkai kalian
tanpa bersusah-payah lagi.”
Bantaran,
Penjawi, Wanamerta beserta para pemimpin laskar Banyubiru menundukkan kepala
mereka. Mereka mengerti sepenuhnya apa yang baru saja didengarnya. Di dalam
hati mereka terbersitlah pengakuan atas kebenaran kata-kata itu. Tiba-tiba
mereka menjadi sadar bahwa orang-orang Pamingit, lebih-lebih orang Banyubiru
itu sendiri, adalah saudara-saudara mereka. Ada diantara mereka yang berkakak,
beradik, berkemenakan dan bersepupu dengan orang-orang Pamingit. Kemudian
terdengarlah Mahesa Jenar meneruskan,
“Saudara-saudaraku…
kalian harus dapat menempatkan diri kalian dalam tindakan kalian kali ini.
Sekali lagi aku ingatkan, marilah kita ambil hak kita, milik kita sendiri.
Selebihnya tidak. Apalagi apa yang dinamakan pembalasan dendam.”
Pemimpin-pemimpin
Banyubiru itu masih tetap berdiam diri, namun tanpa mereka sadari, mereka telah
mengangguk-anggukkan kepala mereka sebagai suatu pernyataan setuju atas segala
uraian Mahesa Jenar. Sehingga kemudian Mahesa Jenar megakhiri pertemuan itu.
Dengan minta doa restu kepada segenap laskar Banyubiru, ia minta diri untuk
pergi ke Banyubiru. Beberapa orang dimintanya ikut serta untuk menyaksikan apa
yang akan mereka bicarakan. Diantaranya adalah Wanamerta, Bantaran, Penjawi,
dan Kebo Kanigara. Kali ini Mahesa Jenar menganggap belum waktunya membawa
serta Arya Salaka. Rombongan ini tidak lebih daripada sebuah rombongan utusan
dari Arya Salaka selaku orang yang berhak atas daerah perdikan Banyubiru,
mengadakan pembicaraan pendahuluan mengenai hari kemudian Banyubiru.
MAHESA JENAR
masih menyangsikan apakah keselamatan Arya Salaka tidak terancam bila ia
dibawanya serta bersama-sama dengan rombongan itu. Sebab ia masih belum dapat
menggambarkan bagaimanakah tanggapan Lembu Sora, terutama Ki Ageng Sora
Dipayana atas kehadiran Arya Salaka. Rombongan utusan itu dilepas dengan
debaran hati segenap laskar Banyubiru yang terpaksa menyingkir ke daerah Candi
Gedong Sanga. Meskipun ada diantara mereka yang meragukan keberhasilan
pembicaraan mereka, namun cara itu merupakan cara yang terhormat sebelum
cara-cara yang lain harus ditempuh. Arya Salaka sendiri sangat kecewa ketika
Mahesa Jenar memintanya untuk tinggal di Candi Gedong Sanga. Sebenarnya ia
ingin sekali untuk segera dapat melihat Banyubiru. Tanah tempat ia dilahirkan,
tempat ia menerima kasih sayang ayah bunda. Ketika rombongan Mahesa Jenar
lenyap di balik batang-batang liar di daerah hutan itu, tiba-tiba terasalah
hatinya seperti tergores oleh sembilu. Tiba-tiba ia teringat kepada ayah dan
bundanya. Kepada ayahnya yang terpaksa terpisah darinya karena pokal pamannya.
Demikian juga ibunya. Terbayanglah di dalam otaknya, apakah yang kira-kira
terjadi atas ibunya selama ini. Selama ia tidak pernah mencium pipinya seperti
pada masa kanak-kanaknya. Karena itulah tiba-tiba hatinya meronta. Kenapa ia
tidak berlari menyusul rombongan itu.
Tetapi dalam
pada itu terasalah tangan halus menyentuh pundaknya. Ketika ia menoleh,
dilihatnya Rara Wilis berdiri di belakangnya. Arya Salaka mengetahui hubungan
apakah yang terjalin antara gadis itu dengan gurunya. Karena itu ia menghormati
Rara Wilis seperti ia menghormati gurunya. Dengan demikian ia tidak membantah
ketika Rara Wilis mengajaknya dengan penuh pengertian untuk kembali ke dalam
pondoknya. Sebagai seorang gadis, hati Rara Wilis mulai tersentuh. Demikian
juga ketika ia melihat betapa kecewa hati Arya Salaka, karena ia tidak
diperkenankan ikut serta bersama gurunya. Hatinya menjadi iba.
“Jangan
berduka, Arya…” nasihat Rara Wilis,
“Besok atau
lusa kau akan pergi juga ke sana. Kalau saat ini pamanmu tidak membawamu adalah
semata-mata karena pertimbangan keselamatanmu.”
Arya
menundukkan mukanya. Ia tahu benar alasan itu, tetapi perasaannya amatlah susah
dikendalikan. Karena Rara Wilis bagi Arya tidak ubahnya dengan gurunya, dan
orang tuanya sendiri. Maka kepadanya Arya Salaka pun berkata terus terang,
“Bibi, aku
dapat mengerti sepenuhnya kenapa Paman tidak membawa aku serta. Tetapi
tiba-tiba saja perasaan rinduku kepada tanah kelahiran itu tak dapat aku
kendalikan lagi. Lebih dari itu, betapa rinduku kepada Bunda, yang sejak lima
tahun lalu tak pernah aku dengar khabar beritanya.” Dalam pada itu, betapa Arya
Salaka berusaha sekeras-kerasnya, namun di kedua belah matanya mengembanglah
air matanya yang bening, sebening hatinya.
Mendengar
pernyataan Arya Salaka, Rara Wilis terdiam. Bahkan tiba-tiba iapun teringat
kepada ibunya. Ibunya yang sudah tidak akan dapat dijumpainya lagi. Maka iapun
menjadi berduka pula. Namun demikian ia masih mencoba untuk menghibur hati
Arya.
“Arya…
meskipun tertunda beberapa waktu namun kau akhirnya akan dapat bertemu dengan
bunda tersayang. Tetapi tidaklah demikian dengan aku, Arya. Kau masih harus
mengucapkan terimakasih, bahwa kau masih menyimpan harapan di dalam dadamu.
Sedang aku, sama sekali harapan itu telah padam sejak lama. Aku tidak akan
bertemu lagi, sekarang, besok, lusa atau kapanpun dengan ayah bundaku.”
Kemudian
keduanya terdiam. Masing-masing hanyut ke dalam dunia angan-angan. Kepada
kerinduan yang menyentuh-nyentuh perasaan masing-masing. Sehingga ruangan itu
kemudian menjadi hening sepi. Tetapi keheningan itu tiba-tiba dikejutkan oleh
suara Endang Widuri yang berlari-lari masuk.
Katanya
berderai dengan penuh kegembiraan.
“Bibi…
alangkah banyaknya bunga anggrek di hutan ini.”
Wilis tersadar
dari angan-angannya. Dengan tersenyum kecil yang dipaksakan ia menjawab,
“Adakah kau
mendapatkannya, Widuri…?”
“Inilah,
Bibi…” sahut Widuri sambil menyerahkan setangkai bunga anggrek yang berbentuk
seekor kala.
“Dari manakah
kau dapatkan bunga ini?” tanya Wilis.
“Di lembah
sebelah itu, Bibi…” jawab Widuri.
Rara Wilis
menarik nafas. Lembah di sebelah adalah lembah yang terjal dan berbahaya.
Agaknya Widuri memang anak yang benar-benar nakal.
Katanya
kemudian,
“Jangan
bermain-main di tempat yang berbahaya, Widuri. Di sana banyak ular-ular
berbisa. Mungkin juga ada harimau yang buas.”
“Tidak Bibi,”
sahut Widuri dengan nakalnya.
“Tidak ada
ular dan tidak ada harimau yang mengganggu. Tetapi tadi memang ada orang yang
mencoba menangkap aku.”
Rara Wilis dan
Arya Salaka terkejut seperti disengat kala.
Dengan penuh
perhatian Rara Wilis bertanya,
“Ada orang
yang akan menangkap kau…?”
Widuri
mengangguk seenaknya, seolah-olah peristiwa itu sama sekali tidak penting
baginya.
“Tahukah kau
sebabnya…?” tanya Rara Wilis.
“Entah,” jawab
Widuri.
“Mungkin orang
itulah yang menanam anggrek ini.”
“Mustahil,” sahut
Arya Salaka.
“Anggrek yang
tumbuh di lembah itu tak seorangpun yang menanamnya.”
Widuri
kemudian menjadi heran. Katanya,
“Lalu kenapa
ia akan menangkap aku?”
“Itulah yang
ingin kami ketahui,” sela Rara Wilis.
“Apakah
katanya padamu mula-mula…?”
Widuri
mengingat-ingat sebentar, lalu jawabnya,
“Ia bertanya,
kenapa aku berada di lembah itu.”
“Bagaimana kau
menjawab?” selidik Arya.
ENDANG WIDURI
menjadi jengkel pada pertanyaan-pertanyaan itu. Tetapi ia menjawab pula,
“Aku katakan
kepadanya, bahwa aku ingin bunga anggrek ini.”
“Tidakkah ia
bertanya tentang kau…?” tanya Wilis pula. Karena pertanyaan-pertanyaan itu
agaknya masih panjang, Widuri kemudian menjatuhkan dirinya di samping Rara
Wilis. Dan dengan malasnya ia menjawab panjang, sebab ia tahu bahwa kemudian
pertanyaan-pertanyaan masih akan mengalir seperti banjir. Katanya,
“Ya, ia
bertanya tentang aku. Ia bertanya siapakah namaku dan dari manakah aku datang.
Aku datang bersama siapa dan untuk apa.”
Ketika Arya
akan mengajukan pertanyaan lagi, Widuri sudah mendahului,
“Aku jawab
semuanya. Aku bernama Endang Widuri. Aku datang dari Karang Tumaritis. Aku
datang bersama sahabatku yang bernama Arya Salaka putra kepala daerah perdikan
Banyubiru, yang datang untuk mengambil haknya kembali dari tangan pamannya yang
jahat.”
“Kau katakan
itu semua?” sela Wilis dengan cemas.
“Ya, aku
katakan semua itu. Aku katakan bahwa bersama-sama dengan kami datang pula ayah,
Kebo Kanigara, Mahesa Jenar yang perkasa bersama Bibi Rara Wilis yang cantik.”
“Ssst…” potong
Rara Wilis.
“Jangan
nakal,” bisiknya.
Mau tidak mau
ia harus tersenyum. Namun berita itu bagi Arya Salaka dan Rara Wilis merupakan
berita yang cukup penting. Karena itu ia ingin kelanjutan cerita Widuri,
meskipun ia tidak sabar mendengar cara Widuri berkisah.
“Lalu, apakah
yang dilakukannya?” tanya Arya Salaka.
“Orang itu
tiba-tiba menjadi sangat menakutkan. Matanya terbelalak dan dengan marah ia
memaksa aku untuk ikut serta bersamanya,” jawab Widuri.
Wilis menarik
nafas sekali lagi. Pasti ada hal-hal yang sama sekali tidak pada tempatnya.
“Apakah orang
itu bukan orang diantara kita di sini?” tanya Wilis.
Mendengar
pertanyaan Rara Wilis, Endang Widuri tertawa, lalu jawabnya,
“Pasti bukan,
Bibi. Kalau orang itu salah seorang diantara kita pasti ia tidak akan bertanya
tentang aku.”
Sekali lagi
Rara Wilis terpaksa tersenyum. Katanya,
“Maksudku
adalah untuk menguatkan dugaanku bahwa orang itu pasti mempunyai kepentingan
yang rahasia terhadap kita di sini. Terhadap seluruh kekuatan anak-anak
Banyubiru.”
Endang Widuri
mengerutkan keningnya. Agaknya baru sekarang ia sadar bahwa apa yang dilakukan
oleh orang itu adalah jauh lebih berbahaya daripada seorang pemilik anggrek
yang kehilangan bunganya. Karena itu tiba-tiba ia bercerita dengan penuh minat.
“Bibi, memang
agaknya orang itu sangat aneh. Ketika ia marah kepadaku, aku minta maaf bahwa
aku memetik bunganya sebelum aku minta izin kepadanya. tetapi agaknya ia sama
sekali tidak memperhatikan.”
Endang Widuri
berhenti sejenak untuk mengingat apa yang baru saja terjadi. Kemudian ia
meneruskan,
“Bahkan
kemudian ia berusaha untuk menangkap aku. Tentu saja aku tidak mau. Maka ketika
ia memaksa, aku terpaksa melawannya.”
Kemudian
tiba-tiba Endang Widuri tegak berdiri. Sambil menirukan beberapa gerak yang
lincah, ia bercerita tentang perkelahiannya. Widuri sebenarnya seorang gadis
yang memiliki ilmu tata beladiri jauh lebih dewasa dari sifat-sifatnya yang
kekanak-kanakan. Dalam persoalan tata beladiri, Widuri telah dapat disejajarkan
dengan tokoh-tokoh yang cukup mempunyai nama cemerlang. Tetapi karena ia tidak
pernah meninggalkan padepokan, maka hampir tak seorang pun yang mengenalnya.
Ditambah lagi dengan sifatnya sebagai gadis tanggung yang selalu dimanja oleh
ayahnya. Dengan demikian perkelahian yang baru saja terjadi itu pun baginya
seolah-olah hanya permainan yang tidak menyenangkan.
“Tetapi
ternyata orang itu hanya besar kepala saja. Tenaganya tidak lebih dari seekor
kelinci. Meskipun demikian, karena aku tidak bersedia untuk berkelahi, maka aku
mengenakan kain panjang ini. Dan ketika aku lupa, dan menyerangnya dengan kaki,
kainku jadi sobek karenanya,” kata Endang Widuri mengakhiri ceritanya. Lalu
dengan bersungut-sungut ia menunjukkan kain panjangnya yang sobek lebih dari
dua cengkang di bagian belakang.
Endang Widuri
kemudian duduk kembali di samping Rara Wilis. sedang Arya Salaka dan Rara Wilis
terpaksa menggelengkan kepala. Kemudian bertanyalah Arya Salaka,
“Kau apakan
kemudian orang itu…?”
“Ia kemudian
melarikan diri, dan lenyap di dalam gerumbul-gerumbul liar di lembah itu,”
jawab Endang Widuri.
Berita itu
bagi Rara Wilis dan Arya Salaka sangat penting artinya. Karena itu kemudian
Arya minta diri untuk menemui Mantingan, Wirasaba dan Jaladri, yang selama
Mahesa Jenar bersama-sama beberapa orang pergi ke Banyubiru, merekalah yang
diserahi pimpinan atas anak-anak Banyubiru.
“Berita itu
sangat penting, Angger,” kata Mantingan setelah dengan seksama mendengarkan
cerita Arya Salaka tentang Endang Widuri.
“Bagaimana
mungkin penjagaan kita yang kuat dapat diterobos, kalau bukan oleh orang yang
cukup tangguh. Meskipun demikian aku heran juga, bahwa Endang Widuri dapat
mengalahkannya,” lanjut Mantingan.
Tiba-tiba Arya
Salaka menjadi bangga atas pujian itu. Pujian untuk Endang Widuri. Karena itu
tanpa dikehendakinya sendiri ia telah ikut serta memuji gadis tanggung itu.
Mantingan
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Pantaslah
kalau ia putri Kakang Kebo Kanigara. Apalagi selama ini Endang Widuri berada
dalam lingkungan yang menguntungkan. Bersama-sama dengan Angger, gadis itu
merupakan pasangan berlatih yang mengagumkan,” gumamnya kepada Arya Salaka.
Terasa wajah
Arya Salaka menjadi panas. Maka berusahalah ia menjawab,
“Apakah Paman
pernah melihat aku atau Widuri berlatih?”
MANTINGAN
tertawa lirih. Umurnya yang telah menjangkau lebih dari setengah abad itu telah
menjadikannya orang yang cukup mengenal perasaan seseorang. Apalagi berhubungan
dengan pekerjaannya sebagai seorang dalang. Karena itu ia tidak melanjutkan
gurauannya. Apalagi persoalan yang dihadapinya cukup penting. Sehingga segera
ia kembali pada persoalan berita yang dibawa oleh Endang Widuri.
“Apakah yang
sebaiknya kami lakukan?” Mantingan mencoba untuk mendapat pertimbangan dari
Wirasaba, Arya Salaka dan Jaladri. Sesudah berpikir sejenak, berkatalah
Wirasaba,
“Satu hal yang
patut menjadi pertimbangan adalah, orang itu telah mengetahui bahwa di sini ada
Adi Mahesa Jenar, Kakang Kebo Kanigara, Angger Arya Salaka, dan yang dikenalnya
langsung adalah Angger Widuri sendiri. Orang itu pasti akan mengatakan bahwa di
sini ada seorang gadis kecil yang sangat berbahaya. Kalau gadis itu telah dapat
mengalahkannya, apalagi orang-orang yang bernama Kebo Kanigara, Mahesa Jenar
dan Arya Salaka.”
Mantingan
mengangguk membenarkan. Padahal Kebo Kanigara, Mahesa Jenar dan beberapa orang
lain sedang berada di perjalanan ke Banyubiru.
“Kalau
demikian…” sambung Jaladri,
“Tempat kita
ini berada dalam bahaya. Kalau mereka mengetahui bahwa orang-orang yang bernama
Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar sedang berada di perjalanan, mungkin sekali
mereka akan mempergunakan kesempatan itu. Mencegat mereka atau menyerang tempat
ini.”
“Baiklah adi
Jaladri,” sahut Mantingan.
“Apakah
jeleknya kalau kita berhati-hati. Siapkan orang-orangmu dan perkuatlah
penjagaan di sekitar tempat ini. Mungkin ada sesuatu yang tidak kita harapkan
bisa terjadi.”
Jaladri segera
melaksanakan tugas itu. Dipanggilnya beberapa orang pemimpin laskar Banyubiru
dan diberinya mereka petunjuk-petunjuk. Mereka sejak saat itu harus sudah siaga
tempur. Setiap saat bahaya dapat datang. Maka sibuklah daerah perkemahan itu
dengan berbagai persiapan. Beberapa orang menyiapkan perlengkapan-perlengkapan,
beberapa orang lagi mengasah senjata-senjata mereka. Dengan demikian maka
perkemahan itu diliputi oleh suasana yang tegang. Ketika kemudian malam turun perlahan-lahan,
seolah-olah tersembul dari hutan di sekitar perkemahan itu, anak-anak Banyubiru
menjadi semakin siaga. Penjagaan mereka menjadi semakin rapat. Apalagi
penjagaan atas pondok Rara Wilis dan Widuri. Sebab mereka mengira bahwa kedua
gadis itu sangat memerlukan penjagaan. Kecuali Mantingan, Wirasaba dan Jaladri,
yang kecuali sudah mendengar berita perkelahian antara Widuri dan orang yang
mengandung rahasia itu, sebenarnya dari gerak-gerik kedua gadis itu mereka
sudah menduga bahwa mereka bukanlah gadis seperti kebanyakan gadis-gadis yang
lain.
Sementara itu
orang-orang Banyubiru telah dikejutkan oleh kedatangan sebuah rombongan kecil
orang-orang berkuda. Dua orang yang di depan mempunyai perawakan yang sedang,
tegap dan kuat. Seorang memakai baju hijau gadung, kain lurik hijau gadung
pula. Di atas kuping kanannya terselip sekuntum bunga melati hutan. Sedang di
sebelahnya, yang seorang lagi berbaju lurik bergaris-garis tebal berwarna
coklat dan berkain lurik merah soga berikat kepala biru gelap. Dengan wajah
tengadah mereka memegangi kendali kuda-kuda mereka, yang dengan tegap berjalan
ke arah pusat kota. Beberapa orang yang menyaksikan mereka berdua terpaksa
menarik nafas dalam-dalam. Meskipun mereka belum pernah mengenalnya, namun
mereka seolah-olah melihat dua ekor burung rajawali yang dengan megahnya
terbang di udara. Sedang bagi mereka yang pernah mengenalnya lima tahun yang
lalu, segera bergumam di dalam mulutnya, dengan mata terbelalak penuh
keheranan.
“Bukankah yang
menyelipkan bunga di telinga kanannya itu pernah tinggal di Banyubiru beberapa
tahun yang lalu, dan bernama Mahesa Jenar…?”
Tetapi segera
mereka menjadi semakin heran, ketika mereka kemudian memandang tiga orang
berkuda di belakang sepasang rajawali itu. Dan mereka segera meneruskan gumam
mereka,
“Dan bukankah
mereka itu Ki Wanamerta, Penjawi dan Bantaran…?”
Mula-mula
orang-orang Banyubiru itu hanya saling memandang diantara mereka. Tetapi ketika
seorang diantara mereka tanpa disengaja menyebut nama Mahesa Jenar agak keras,
terdengarlah mereka menjawab bersahutan,
“Ya, orang
itulah Mahesa Jenar.”
“Tetapi kenapa
tiba-tiba saja ia datang bersama Bantaran dan Penjawi, bahkan dengan Ki
Wanamerta?” terdengar suara yang lain.
Tak seorangpun
yang menyahut. Malahan mereka tiba-tiba menjadi bingung. Sebab Bantaran dan
Penjawi bagi penduduk Banyubiru yang tetap tinggal di kampung halaman mereka
serta tidak terlalu banyak mengerti tentang seluk-beluk tanah mereka sendiri,
merupakan tokoh-tokoh yang membingungkan. Kadang-kadang penduduk Banyubiru itu
mengharap-harap kedatangan mereka, namun kadang-kadang mereka tiba-tiba
membencinya sebagai orang-orang yang selalu membawa bencana. Daerah-daerah,
desa-desa dan pedukuhan-pedukuhan yang disinggahi oleh Bantaran dan Penjawi
dalam saat-saat terakhir ini, merupakan tanda tidak baik bagi penduduknya.
Sebab sesaat kemudian akan datanglah pasukan-pasukan dari Pamingit dan
Banyubiru sendiri untuk mengadu dan menangkapi beberapa orang untuk diperiksa.
Sekarang penduduk Banyubiru itu melihat Bantaran dan Penjawi datang
bersama-sama dengan Mahesa Jenar. Seorang yang dapat disejajarkan dengan
pepunden mereka, Ki Ageng Gajah Sora. Malahan bagi orang-orang Banyubiru itu
tampaklah Mahesa Jenar seperti Ki Ageng Gajah Sora itu sendiri, yang datang
kembali ke kampung halamannya. Tetapi sedemikian jauh, mereka hanya dapat
saling berbisik diantara mereka sendiri. Tak seorangpun diantara mereka yang
berani maju ke depan dan bertanya tentang teka-teki yang berputar-putar didalam
benaknya.
ROMBONGAN
Mahesa Jenar itu pun merasakan, bahwa setiap orang yang melihat kedatangan
mereka menjadi heran dan bertanya-tanya diantara mereka. Tetapi rombongan itu
pun tetap berdiam diri seperti sama sekali tak ada orang yang melihat mereka.
Rombongan itu dengan tenangnya terus berjalan, lewat jalan-jalan sempit di
antara daerah-daerah persawahan, menembus jalan-jalan desa dan melintasi
jembatan-jembatan bambu di atas parit-parit yang mengalirkan airnya yang
jernih.
“Kakang
Kanigara…” tiba-tiba terdengar Mahesa Jenar berbisik.
“Adakah Kakang
melihat sesuatu yang tidak sewajarnya?”
“Ya” jawab
Kanigara.
“Tetapi itu
sudah agak jauh lewat.”
Mahesa Jenar
mengangguk. Katanya,
“Kalau
demikian apa yang Kakang lihat, aku lihat pula.”
Kemudian
kembali mereka berdiam diri. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara masih sibuk
menduga-duga orang aneh yang dijumpainya sesaat sebelum mereka memasuki tlatah
Banyubiru. Seorang berkuda, yang seolah-olah membayangi perjalanan mereka dari
punggung-punggung perbukitan. Tetapi ketika rombongan itu memasuki daerah
Banyubiru, segera orang itu lenyap di seberang bukit. Tiba-tiba Mahesa Jenar,
Kebo Kanigara beserta segenap orang dalam rombongan itu terkejut, ketika mereka
mendengar derap beberapa ekor kuda yang berlari kencang ke arah mereka. Dan
belum lagi mereka mengucapkan kata-kata, dari balik tikungan di depan mereka
muncullah sebuah rombongan orang berkuda pula. Lebih dari limabelas orang.
Mahesa Jenar mengendorkan lari kudanya, diikuti oleh kawan-kawannya. Mereka
masih belum mengetahui, apakah tujuan orang-orang berkuda itu. Maka ketika
rombongan itu menjadi semakin dekat, dan tidak mengurangi kecepatan mereka,
Mahesa Jenar beserta keempat kawannya segera menepi. Agaknya orang-orang
berkuda itu tergesa-gesa. Demikianlah rombongan itu dengan cepatnya berlari
melintas. Beberapa orang menoleh kepada Mahesa Jear, tetapi beberapa orang yang
lain agaknya tidak peduli. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara segera menutup hidung
mereka, supaya tidak dimasuki debu yang berhambur-hamburan dibelakang rombongan
itu. Tetapi ketika rombongan itu telah melampauinya, tiba-tiba terdengarlah
sebuah aba-aba dari antara mereka. Dan dengan tiba-tiba pula rombongan itu
berhenti bersama-sama, sehingga kuda-kuda mereka meringkik dan berputar-putar.
Kemudian
beberapa orang diantara mereka tiba-tiba memutar kuda mereka, dan berlari ke
arah rombongan Mahesa Jenar. Ketika Mahesa Jenar memandang Kanigara, Kanigara
pun sedang memandangnya. Dengan kedipan mata, Kanigara memberi isyarat kepada
Mahesa Jenar dan ketiga kawannya yang lain. Sebab bagaimanapun juga, sesuatu
yang tak diharapkan dapat terjadi karena orang-orang itu masih belum mereka
kenal sama sekali. Wanamerta, Bantaran dan Penjawi segera mempersiapkan diri.
Sebagi utusan yang bermaksud menempuh penyelesaian yang baik, mereka tak
bersenjata, kecuali di punggung mereka terselip sebilah keris sebagai suatu
kelengkapan yang lazim. Karena itu, ketika mereka melihat keadaan yang tidak
menentu, segera mereka memutar keris mereka di lambung kiri. Beberapa orang itu
menjadi semakin dekat, dan ternyata yang lainpun mengikuti mereka pula. Dan
semakin dekat mereka itu, Mahesa Jenar dan kawan-kawannya menjadi semakin
bersiap pula untuk menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Seorang
yang bertubuh besar berkulit hitam mengkilap dan bermata tajam seperti mata serigala
mengendarai kudanya paling depan dan langsung mengarah kepada Kebo Kanigara.
Melihat orang itu datang kepadanya, Kanigara pun segera menyambutnya. Mula-mula
orang itu menghentikan kudanya beberapa langkah dari Kebo Kanigara, kemudian
memandangnya dengan tajam. Baru beberapa saat kemudian ia bertanya,
“Ki Sanak,
siapakah kalian ini, dan apakah keperluan kalian?”
Kanigara tidak
segera menjawab. Tetapi dengan matanya ia minta pertimbangan kepada Mahesa
Jenar yang sedikit banyak sudah mengenal daerah Banyubiru. Ketika Mahesa Jenar
menggeleng kecil, tahulah Kebo kanigara, bahwa orang-orang itu bukanlah
orang-orang Banyubiru. Karena itu segera ia menjawab,
“Apakah Ki
Sanak bukan orang Banyubiru?”
Orang itu
mengerenyitkan keningnya. Ia tidak senang pertanyaannya dijawab dengan
pertanyaan pula. Karena itu dengan kasar ia mengulangi pertanyaannya,
“Aku bertanya
kepadamu, siapakah kalian ini?”
Kebo Kanigara
tidak ingin bertengkar. Karena itu ia menjawab,
“Kalau kalian
belum mengenal kami, pastilah kalian bukan orang Banyubiru, sebab kami adalah
penduduk daerah ini.”
Orang itu
memandang Kebo Kanigara dengan penuh kecurigaan. Kemudian dipandanginya Mahesa
Jenar, Wanamerta, Bantaran dan Penjawi berganti-ganti.
“Benarkah
kalian penduduk Banyubiru…?” desaknya.
WANAMERTA
mendesak maju. Kemudian ia menyahut,
“Sejak lahir
aku tinggal di daerah ini. Kau curiga…?”
Tiba-tiba
orang itu tertawa. Jawabnya,
“Tidak kakek
tua. Aku percaya kalau kau orang Banyubiru. Sebab bentuk kalian mengingatkan
aku kepada bentuk-bentuk batu padas yang berbongkah-bongkah keras dan kasar.”
Wanamerta
tersinggung oleh jawaban itu. Tetapi ia didahului oleh Kebo Kanigara yang
mengenal gelagat. Katanya,
“Sesudah
kalian tahu bahwa kami adalah orang-orang Banyubiru, maka kamipun ingin
mengetahui, siapakah kalian dan dari manakah kalian?”
Sekali lagi
orang itu tertawa. Jawabnya,
“Aku baru saja
menemui kepala daerah perdikan kalian. Tetapi orang itu ternyata keras kepala.”
“Kau benar,”
sahut Mahesa Jenar.
“Orang itu
memang keras kepala. Tetapi apakah keperluan kalian?”
Tiba-tiba
orang itu terdiam. Lalu ia mendorong kudanya beberapa tapak maju mendekati Kebo
Kanigara. Dengan perlahan-lahan hampir berbisik ia bertanya,
“Ki Sanak, aku
lihat kalian bukanlah orang kebanyakan. Karena itu kalian pasti sudah tahu
bahwa Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten berada di Banyubiru. Nah katakan
kepadaku, siapakah yang menyimpan kedua keris itu.”
Mahesa Jenar,
Kebo Kanigara beserta ketiga kawannya terkejut mendengar pertanyaan itu.
Untunglah bahwa mereka segera dapat menguasai diri, sehingga perasaan itu tidak
terlalu membekas di wajah mereka.
No comments:
Post a Comment