Bagian 055


SEDANG Endang Widuri tiba-tiba menjadi sangat bangga. Ia tidak tahu kenapa perasaan itu begitu saja tumbuh di dalam dadanya, seolah-olah dirinyalah yang mendapat sambutan sedemikian hangatnya. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, meskipun tidak kalah terharu, namun mereka berdua telah dapat mengendalikan perasaan mereka, sehingga mereka tetap duduk dengan tenang.

Yang paling tidak dapat mengendalikan perasaannya adalah Wanamerta. Dalam kesempatan itu, ia merasa bahwa seolah-olah ia telah sampai pada puncak kebahagiaan. Bahkan dengan serta merta terlontar kata-kata dari mulutnya,
“Aku tidak keberatan seandainya sekarang juga aku mati, sebab aku telah menyaksikan angger Arya Salaka kembali kepada anak-anak Banyubiru yang setia kepada kebenaran atas hak pada tanah mereka.”
Sedang Arya Salaka sendiri malah menjadi bingung. Ia biasa hidup seperti seekor burung yang bebas lepas di udara, yang seolah-olah tidak mempunyai suatu ikatan apapun. Ia tidak biasa menerima pujian dan sanjungan. Apalagi sikap memanjakan diri. Dan sekarang tiba-tiba terdengarlah teriakan-teriakan nyaring di dalam maupun di luar ruangan itu menyebut namanya. Memuji-mujinya dan bahkan ada diantaranya yang mengaguminya, seolah-olah dirinya menjadi seorang pahlawan yang baru memenangkan perang. Karena itulah maka tubuhnya menjadi gemetar. Wajahnya bertambah lama bertambah pucat, dan keringat dingin telah memenuhi seluruh tubuhnya. Mahesa Jenar yang bijaksana dapat merasakan keadaan itu. Karena itu segera ia berkata keras-keras, untuk mengatasi segenap keriuhan itu.
“Saudara-saudara rakyat Banyubiru yang setia…. Atas nama Arya Salaka, aku ucapkan terima kasih atas sambutan kalian. Tetapi aku minta janganlah kalian menyambut kedatangannya dengan berlebih-lebihan. Sebab sikap yang demikian akan besar pengaruhnya, meskipun aku yakin akan keteguhan hati Arya Salaka, namun bersikaplah sewajarnya. Dengan demikian, segala sesuatu akan berlangsung dengan wajar pula. Tanpa berlebih-lebihan, tanpa pengaburan atas nilai yang sebenarnya. Dengan demikian saudara-saudara tidak akan mudah menjadi kecewa apabila ada hal-hal yang tidak seperti saudara harapkan.”

Suara Mahesa Jenar itu ternyata dapat menenangkan suasana di dalam ruangan itu, namun di luar ruangan masih saja terjadi keributan dan teriakan-teriakan. Mereka agaknya tidak puas sebelum dapat memandang wajah anak kepala daerah mereka yang telah mereka anggap hilang itu. Karena itu mereka masih saja berusaha untuk dapat berdiri di pintu. Dengan demikian akhirnya Mahesa Jenar merasa perlu untuk menenangkan mereka dengan membawa Arya Salaka keluar. Maka berkatalah ia kepada Bantaran dan Penjawi,
“Biarlah Arya Salaka berdiri di depan pintu sebentar, agar mereka menjadi puas.”
Bantaran dan Penjawi menyetujui, serta mempersilakan Arya Salaka untuk berdiri sebentar, menerima sambutan dari rakyat. Maka berkatalah Mahesa Jenar kepada Arya Salaka,
“Marilah kita berdiri di muka pintu itu sebentar Arya Salaka, dan berkatalah sepatah dua patah kata kepada rakyatmu.”
Arya Salaka menjadi semakin gelisah. Ia lebih tenang pada saat ia berhadapan dengan Uling Kuning dan Uling Putih daripada waktu itu. Dengan tergagap ia menjawab,
“Paman sajalah yang berbicara kepada mereka, atau Kakang Penjawi.”
Mahesa Jenar tersenyum, katanya,
“Mereka tidak akan mau mendengarkan siapa saja yang akan berbicara selain kau.”

Keringat Arya Salaka semakin banyak mengalir. Tetapi ia tidak dapat membantah lagi ketika Mahesa Jenar kemudian berdiri dan menarik tangannya. Dengan jantung yang berdegupan Arya Salaka digandeng oleh Mahesa Jenar berjalan ke arah pintu diikuti oleh Penjawi, Bantaran, Kebo Kanigara, Rara Wilis dan Widuri. Ketika Arya muncul di muka pintu, meledaklah tepuk tangan riuh, dibarengi dengan teriakan-teriakan yang menyebut-nyebut nama anak kepala daerah perdikan Banyubiru itu. Sedang Arya Salaka sendiri berdiri terpaku tanpa bergerak.
Terdengarlah kemudian Mahesa Jenar berbisik di telinganya,
“Berbicaralah, Arya….”
Arya menjadi semakin bingung. Maka bisiknya pula,
“Apakah yang harus aku bicarakan?”
“Ucapkanlah pernyataan terima kasih kepada mereka dan katakan bahwa kau masih lelah sehingga kau perlu segera beristirahat. Karenanya pembicaraan yang agak panjang kau tunda sampai besok,” jawab Mahesa Jenar berbisik-bisik.
Mula-mula Arya Salaka masih tetap gelisah menghadapi keadaan yang tidak disangka-sangkanya itu. Tetapi tiba-tiba dari jantungnya meledaklah perasaan tanggungjawabnya, didorong pula oleh darah kepemimpinan yang mengalir dalam tubuhnya.

ARYA SALAKA kemudian berhasil menguasai dirinya dan memperoleh keseimbangan. Sehingga dengan demikian ia menjadi agak tenang. Maka dicobanya untuk menyampaikan pernyataan terima kasih kepada rakyat yang menyambutnya itu. Namun bagaimanapun juga, suaranya masih terdengar gemetar.
“Saudara-saudaraku dari Banyubiru. Yang pertama-tama akan aku sampaikan kepada kalian, adalah pernyataan terima kasih yang sebesar-besarnya atas sambutan kalian yang sama sekali tidak aku duga. Seterusnya, karena aku masih sangat lelah perkenankanlah aku beristirahat dahulu. Besok pembicaraanku akan aku perpanjang lagi.”
Mahesa jenar tersenyum mendengar uraian Arya Salaka yang masih terasa bongkah-bongkah itu. Meskipun demikian kata-kata itu cukup untuk dapat menenangkan rakyatnya. Namun masih juga terdengar teriakan-teriakan yang meminta Arya untuk berbicara lebih banyak lagi.
Kemudian tampillah Bantaran, yang meminta kepada rakyat Banyubiru yang tetap teguh pada pendiriannya itu, untuk memberi kesempatan kepada Arya Salaka beristirahat.
“Nah saudara-saudaraku…” katanya,
“Sekarang berilah kesempatan tamu-tamu kita beristirahat. Juga kalian dapat beristirahat sekarang, kecuali mereka yang bertugas. Sebab di hadapan kalian terbentanglah lautan yang penuh dengan badai dan taufan yang harus kalian renangi. Siapa tahu, besok atau bahkan nanti, kalian harus sudah menerjuninya.”

Dengan demikian maka anak-anak Banyubiru itu kemudian perlahan-lahan meninggalkan pintu barak dimana Arya Salaka masih berdiri bersama dengan kawan-kawan seperjalanannya. Namun kemudian Bantaran tidak mempersilakannya masuk kembali, tetapi mereka dipersilakan untuk pergi ke pondok yang lebih kecil, yang telah dipersiapkan untuk mereka. Meskipun demikian, karena mereka sama sekali tidak menduga bahwa di dalam rombongan itu akan terdapat dua orang gadis, maka dengan tergesa-gesa mereka terpaksa menyiapkan tempat lain untuk keperluan itu. Mereka kemudian dipersilakan beristirahat di tempat masing-masing. Mantingan dan Wirasaba memerlukan mengunjungi Mahesa Jenar, meskipun hanya sebentar, untuk berkenalan lebih dekat lagi dengan Arya Salaka dan Kebo Kanigara. Setelah itu maka ditinggalkannya mereka bertiga, setelah dipersilakan mereka makan sekadarnya. Sedang Wanamerta segera terjun ke dalam lingkungan anak-anak Banyubiru yang sudah lama terpisah dengannya, dan kemudian tidur bersama mereka. Malam itu rasanya berjalan demikian cepat. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka segera tenggelam ke dalam mimpi. Demikian juga di dalam pondok yang lain. Rara Wilis dan Endang Widuri yang dikawani oleh Nyi Penjawi, segera tertidur pula. Di luar pondok itu, tampaklah beberapa orang berjaga-jaga dengan cermatnya. Sebab dalam tanggapan mereka, keselamatan gadis-gadis itu sangat tergantung kepada penjagaan yang mereka lakukan. Ketika mereka terbangun pada pagi harinya, dan kemudian keluar dari pondok masing-masing, tampaklah betapa cerahnya matahari pagi.

Sinar-sinarnya yang menembus daun-daun pepohonan terpercik di atas tanah lembab, membuat gambaran-gambaran yang menyenangkan. Seolah-olah gambaran anak-anak yang dengan lincahnya berloncat-loncatan dengan penuh kegembiraan menyambut hari yang bakal datang. Sedang angin pagi mengalir lambat membawa udara sejuk segar. Pada hari itu Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka diantar oleh Bantaran, Penjawi, Mantingan, Wirasaba dan Wanamerta melihat-lihat keadaan di sekitar barak-barak itu. Melihat persiapan-persiapan yang mereka lakukan. Dari mereka itulah Mahesa Jenar mengetahui bahwa sebagian besar rakyat Banyubiru tetap menanti kedatangan kepala daerah perdikan mereka. ternyata dengan bantuan yang mengalir tak henti-hentinya. Meskipun dengan bersembunyi-sembunyi mereka dapat mengirimkan makanan, pakaian dan senjata. Bahkan anak-anak Banyubiru telah mendapat perkakas yang cukup untuk membuka hutan. Karena itulah rombongan itu bukan saja rombongan orang-orang yang menyingkirkan diri, namun mereka termasuk perintis-perintis pula dalam perluasan daerah pertanian Banyubiru. Sebab disamping mempersiapkan diri mereka untuk datang kembali ke Banyubiru, mereka ternyata telah membuka hutan dan membuat tanah pertanian. Pada hari-hari berikutnya, Mahesa Jenar, Arya Salaka dan kawan-kawannya sempat melihat kesiapsiagaan anak-anak Banyubiru itu. Mereka mendapat kesempatan untuk melihat anak-anak Banyubiru itu berlatih.

Mula-mula Mahesa Jenar menjadi heran melihat kemajuan yang pesat dibandingkan masa-masa Banyubiru beberapa tahun yang lalu. Justru setelah mereka didorong ke tengah-tengah hutan. Tetapi keheranan itu kemudian lenyap ketika ia melihat Mantingan dan Wirasaba berada diantara mereka. Agaknya kedua orang itu, disamping Penjawi dan Bantaran, yang telah bekerja mati-matian untuk melatih anak-anak Banyubiru itu. Melihat tingkat pengetahuan laskar Banyubiru itu, Arya Salaka pun berbangga pula. Ternyata bahwa mereka lebih maju daripada laskar Gedangan. Sebaliknya, apa yang diduga Bantaran sebelumnya ternyata benar-benar terjadi. Dengan kehadiran Arya Salaka, laskar Banyubiru merasa mendapat suatu karunia yang tiada taranya. Mereka menjadi semakin teguh pada tekadnya. Kembali ke Banyubiru. Tetapi meskipun demikian Bantaran, Penjawi dan beberapa orang pemimpin laskar Banyubiru itu masih tetap bimbang. Bukan karena meragukan kesetiaan laskarnya, yang menurut penilaiannya telah menyerahkan diri mereka bulat-bulat sampai tetes darah terakhir. Tetapi sebagai seorang pemimpin, mereka berkewajiban menilai kekuatan mereka sendiri untuk diperbandingkan dengan kekuatan lawan mereka.

MEREKA harus tidak menutup mata terhadap kenyataan yang ada. Mereka harus memperhitungkan bahwa laskar Pamingit yang bergabung dengan sebagian orang-orang Banyubiru yang tidak setia terdapatlah nama-nama besar seperti Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti. Disamping itu Bantaran dan kawan-kawannya selalu meragukan apakah kira-kira yang akan dilakukan Ki Ageng Sora Dipayana apabila benar-benar terjadi bentrokan antara dua kekuatan itu. Di pihaknya, ia yakin bahwa Kebo Kanigara dapat diketengahkan. Bantaran pernah melihat sendiri, paman guru Mahesa Jenar itu berhasil menyelamatkan diri setelah bertempur melawan sepuluh orang pengawal Lembu Sora. Tetapi bila Ki Ageng Sora Dipayana melibatkan diri dalam perselisihan itu, apakah Kebo Kanigara dapat mengimbanginya? Kemudian Bantaran harus menilai Mahesa Jenar pula. Dahulu, sepengetahuannya, Mahesa Jenar memiliki ilmu setingkat dengan Gajah Sora. Ki Ageng Gajah Sora sendiri pernah mengatakan. Tetapi sekarang Ki Ageng lembu Sora pesat sekali maju. Ia mendapat tuntunan yang tiada henti-hentinya dari Ki Ageng Sora Dipayana, sehingga Lembu Sora sekarang telah melampaui kakaknya, Gajah Sora. Sedang Mahesa Jenar, apakah yang diperolehnya selama ini, meskipun berada di lingkungan paman gurunya?

Apalagi kemudian pimpinan laskar Banyubiru harus memperhitungkan pula Arya Salaka, yang mau tidak mau akan berhadapan kepentingan dengan Sawung Sariti. Apa yang mereka lihat sekarang, Sawung Sariti benar-benar telah menjadi seorang pemuda yang luar biasa. Ia dengan beraninya menghadapi lawan-lawannya sebagai seekor ayam jantan di arena pertarungan. Selain itu ia dapat bergerak dengan sangat lincahnya seperti seekor burung sariti di udara. Apalagi ia pun telah mendapat tempaan dari kakeknya. sehingga anak muda itu benar-benar memiliki ilmu yang menakutkan. Meskipun dari Wanamerta, Bantaran telah mendengar apa yang pernah terjadi antara Arya Salaka dan Sawung Sariti, namun ia menganggap bahwa Sawung Sariti kemudian telah lebih maju lagi dengan pesatnya, disamping dugaan-dugaan bahwa Wanamerta agak terlalu bangga terhadap Arya Salaka. Dalam pada itu pimpinan laskar Banyubiru itu tidak mengada-ada. Namun sebagai pemimpin ia harus bertindak hati-hati. Meskipun demikian ia tidak sampai hati untuk mengatakannya kepada Mahesa Jenar yang kemudian diharap akan dapat memimpin laskar Banyubiru.

Yang dapat mereka lakukan kemudian hanyalah sebuah pernyataan untuk meminta Mahesa Jenar memimpin laskar Banyubiru. Sebab mau tidak mau mereka harus mengakui bahwa Mahesa Jenar kecuali memiliki ilmu yang lebih tinggi daripada setiap orang yang ada, mereka juga mengetahui bahwa Mahesa Jenar adalah bekas seorang perwira prajurit Demak. Tentu saja Mahesa Jenar tidak menolak. Bahkan ia merasa mendapat jalan untuk menentukan cara laskar Banyubiru berbuat. Ia ingin membuat laskar Banyubiru laskar yang kecuali baik dalam tata cara bertempur, juga harus merupakan laskar yang baik dalam bertindak. Di dalam atau di luar lingkaran pertempuran. Maka sejak saat itulah Mahesa Jenar mengambil pimpinan dari tangan Bantaran dan Penjawi. Dan sejak itu pula Mahesa Jenar menyelenggarakan latihan yang lebih teratur untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Akhirnya Mahesa Jenar sampai pada suatu saat dimana ia menganggap bahwa waktunya telah tiba untuk berbuat sesuatu ke arah penyelesaian masalah Banyubiru. Karena itulah maka segera mengadakan persiapan-persiapan terakhir. Adalah diluar dugaan sama sekali, ketika tiba-tiba datanglah seorang yang ditugaskan untuk tinggal di Banyubiru, yang mengabarkan bahwa Banyubiru, sebuah desas-desus yang tersebar luas mengatakan bahwa keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten kini berada di Banyubiru.

Mahesa Jenar terkejut mendengar khabar itu. Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten jelas berada di tangan Panembahan Ismaya. Tetapi kenapa tiba-tiba orang mendesas-desuskan bahwa keris itu berada di Banyubiru…? Mula-mula kepada orang yang membawa khabar itu Mahesa Jenar menanyakan, kira-kira dari manakah sumber berita itu. Tetapi orang itu pun sama sekali tidak mengetahui. Namun ia dapat mengatakan bahwa karena itulah maka di Banyubiru timbul kegelisahan. Sebab adanya desas-desus itu akan banyak akibat yang dapat terjadi. Karena itulah Mahesa Jenar merasa bahwa ia telah didesak oleh keadaan untuk bertindak lebih cepat. Ia masih teringat jelas bahwa golongan hitam pun sangat memerlukan keris-keris itu. Sebenarnya ia sama sekali tidak percaya, bahwa kedua keris itu dengan tiba-tiba saja berada di Banyubiru, sebab ia yakin bahwa tak seorang pun yang dikenalnya, dapat melampaui segala macam ilmu yang dimiliki Panembahan Ismaya. Seandainya dua-tiga orang sakti sekalipun yang datang ke Bukit Karang Tumaritis, pasti orang-orang itu tidak akan berhasil mendapatkan Kyai Nagasasra dan Kyai sabuk Inten, apalagi orang-orang Banyubiru. Biarpun mereka datang bersama-sama. Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng lembu Sora dan Sawung Sariti beserta seluruh laskarnya. Karena itu ia akhirnya sampai suatu kesimpulan bahwa di belakang desas-desus itu pasti tersembunyi suatu maksud.

SETELAH Mahesa Jenar berunding dengan Kebo Kanigara, ia memutuskan untuk segera membawa Arya Salaka ke Banyubiru. Sudah barang tentu Mahesa Jenar bertindak menurut caranya, yang merupakan pancaran dari wataknya. Ia tidak segera membawa pasukannya ke Banyubiru sekaligus dalam persiapan tempur dengan mempergunakan gelar perang, tetapi ia mengharap bahwa segala sesuatu dapat diselesaikan menurut cara yang baik. Mula-mula Bantaran, Penjawi, bahkan Wanamerta heran melihat kelunakan sikap Mahesa Jenar itu. Bahkan mereka menduga bahwa di dalam hati Mahesa Jenar meragukan kekuatan laskarnya. Karena itulah maka mereka mengajukan pertimbangan lain. Mereka mendesak agar Mahesa Jenar memaksa dengan kekuatan untuk mengusir Lembu Sora dari Banyubiru. Sebab mereka tidak melihat cara lain yang dapat dipergunakan selain cara itu. Mahesa Jenar memahami sepenuhnya perasaan yang bergolak di dalam dada Bantaran, Penjawi dan anak-anak Banyubiru, yang terpaksa menyingkir dari kampung halaman mereka sendiri. Mereka telah mengalami tekanan lahir batin. Kepahitan yang selama ini harus mereka telan, telah menyebabkan mereka menjadi dendam. Apalagi mereka merasa bahwa mereka telah melakukan tindakan kebenaran. Mempertahankan hak atas tanah mereka. Mereka dikejar-kejar, dimusuhi, ditangkap dan segala macam usaha yang lain untuk menakut-nakuti agar mereka melepaskan kesetiaan mereka kepada tanah mereka. Tetapi ternyata lebih baik bagi mereka menyingkirkan diri, meninggalkan kampung halaman, untuk tetap mempertahankan pendirian mereka. Mempertahankan kesetiaan mereka terhadap tanah pusaka mereka, terhadap tanah tercinta. Karena itu Mahesa Jenar harus bersikap hati-hati terhadap mereka. Ia tidak dapat demikian saja memaksa mereka untuk melepaskan dendam mereka. Tetapi ia harus berusaha menumbuhkan dari dalam diri mereka masing-masing, pengertian tentang apa yang akan mereka lakukan.

Dengan penuh kebijaksanaan berkatalah Mahesa Jenar kepada Bantaran, Penjawi beserta para pemimpin laskar Banyubiru,
“Saudara-saudaraku… kalau kalian gagal untuk menginjakkan kaki kalian beserta Arya Salaka kembali ke Banyubiru, akulah orang yang pertama-tama akan menyatakan penyesalan yang sedalam-dalamnya. Dan akulah orangnya yang akan menerjunkan diri, mengorbankan segala yang ada padaku untuk kepentingan kalian. Sebab aku telah menerima penyerahan dari kakang Gajah Sora atas putranya, Arya Salaka, beserta segala kelengkapan atas dirinya. Diantaranya kedudukan kepala daerah perdikan Banyubiru. Karena itu percayalah bahwa aku akan bekerja keras untuk melaksanakan pekerjaan itu.”
Setelah menarik nafas sejenak, Mahesa Jenar meneruskan,
“Tetapi berilah aku kesempatan menyelesaikan menurut cara yang akan aku tempuh. Pertama-tama aku akan berusaha untuk menempuh jalan yang sebaik-baiknya. Lembu Sora adalah adik Gajah Sora. Aku masih ingin melihat bahwa masih ada hubungan dari mereka berdua. Hubungan yang sangat dekat. Mereka dialiri darah dari sumber yang sama. Apabila cara ini tidak berhasil, barulah aku akan mempergunakan cara lain. Membawa kalian serta. Tetapi ingat, bahwa apa yang kalian lakukan bukanlah pembalasan dendam. Yang akan kalian lakukan adalah mengambil hak kalian kembali. Hak atas tanah kalian dan hak atas pimpinan daerah kalian. Karena itu maka yang harus kalian lakukan adalah sesuai dengan tujuan itu. Jangan ada diantara kalian yang mempergunakan kesempatan ini untuk kepentingan diri sendiri. Melepaskan dendam pribadi kepada orang-orang yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan perjuangan kalian mengambil kembali kampung halaman kalian. Kesetiaan kalian.”

Selanjutnya Mahesa Jenar mengatakan,
“Aku percaya bahwa kalian akan dapat menunjukkan kebesaran jiwa kalian, yang dengan demikian akan menunjukkan pula perbedaan antara kalian dengan orang-orang yang berjiwa kerdil, yang hanya mengenal kepentingan diri daripada kepentingan bersama. Dengan demikian pekerjaan kalian hanya terbatas sampai hak atas tanah perdikan itu kembali. Seterusnya kalian tidak perlu berbuat apa-apa lagi, yang barangkali malah akan menyuramkan nama kalian. Yang harus kalian ingat pula, bahwa kecuali kalian dan orang-orang Pamingit itu masih ada orang-orang yang termasuk di dalam barisan golongan hitam. Tidak mustahil kalau mereka akan mengambil setiap kesempatan, mengail di air keruh. Kalau kalian kemudian terlibat dalam permusuhan yang berlarut-larut, maka dengan senangnya mereka akan datang dan membangun istana kemenangan dia atas bangkai-bangkai kalian tanpa bersusah-payah lagi.”

Bantaran, Penjawi, Wanamerta beserta para pemimpin laskar Banyubiru menundukkan kepala mereka. Mereka mengerti sepenuhnya apa yang baru saja didengarnya. Di dalam hati mereka terbersitlah pengakuan atas kebenaran kata-kata itu. Tiba-tiba mereka menjadi sadar bahwa orang-orang Pamingit, lebih-lebih orang Banyubiru itu sendiri, adalah saudara-saudara mereka. Ada diantara mereka yang berkakak, beradik, berkemenakan dan bersepupu dengan orang-orang Pamingit. Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar meneruskan,
“Saudara-saudaraku… kalian harus dapat menempatkan diri kalian dalam tindakan kalian kali ini. Sekali lagi aku ingatkan, marilah kita ambil hak kita, milik kita sendiri. Selebihnya tidak. Apalagi apa yang dinamakan pembalasan dendam.”
Pemimpin-pemimpin Banyubiru itu masih tetap berdiam diri, namun tanpa mereka sadari, mereka telah mengangguk-anggukkan kepala mereka sebagai suatu pernyataan setuju atas segala uraian Mahesa Jenar. Sehingga kemudian Mahesa Jenar megakhiri pertemuan itu. Dengan minta doa restu kepada segenap laskar Banyubiru, ia minta diri untuk pergi ke Banyubiru. Beberapa orang dimintanya ikut serta untuk menyaksikan apa yang akan mereka bicarakan. Diantaranya adalah Wanamerta, Bantaran, Penjawi, dan Kebo Kanigara. Kali ini Mahesa Jenar menganggap belum waktunya membawa serta Arya Salaka. Rombongan ini tidak lebih daripada sebuah rombongan utusan dari Arya Salaka selaku orang yang berhak atas daerah perdikan Banyubiru, mengadakan pembicaraan pendahuluan mengenai hari kemudian Banyubiru.

MAHESA JENAR masih menyangsikan apakah keselamatan Arya Salaka tidak terancam bila ia dibawanya serta bersama-sama dengan rombongan itu. Sebab ia masih belum dapat menggambarkan bagaimanakah tanggapan Lembu Sora, terutama Ki Ageng Sora Dipayana atas kehadiran Arya Salaka. Rombongan utusan itu dilepas dengan debaran hati segenap laskar Banyubiru yang terpaksa menyingkir ke daerah Candi Gedong Sanga. Meskipun ada diantara mereka yang meragukan keberhasilan pembicaraan mereka, namun cara itu merupakan cara yang terhormat sebelum cara-cara yang lain harus ditempuh. Arya Salaka sendiri sangat kecewa ketika Mahesa Jenar memintanya untuk tinggal di Candi Gedong Sanga. Sebenarnya ia ingin sekali untuk segera dapat melihat Banyubiru. Tanah tempat ia dilahirkan, tempat ia menerima kasih sayang ayah bunda. Ketika rombongan Mahesa Jenar lenyap di balik batang-batang liar di daerah hutan itu, tiba-tiba terasalah hatinya seperti tergores oleh sembilu. Tiba-tiba ia teringat kepada ayah dan bundanya. Kepada ayahnya yang terpaksa terpisah darinya karena pokal pamannya. Demikian juga ibunya. Terbayanglah di dalam otaknya, apakah yang kira-kira terjadi atas ibunya selama ini. Selama ia tidak pernah mencium pipinya seperti pada masa kanak-kanaknya. Karena itulah tiba-tiba hatinya meronta. Kenapa ia tidak berlari menyusul rombongan itu.

Tetapi dalam pada itu terasalah tangan halus menyentuh pundaknya. Ketika ia menoleh, dilihatnya Rara Wilis berdiri di belakangnya. Arya Salaka mengetahui hubungan apakah yang terjalin antara gadis itu dengan gurunya. Karena itu ia menghormati Rara Wilis seperti ia menghormati gurunya. Dengan demikian ia tidak membantah ketika Rara Wilis mengajaknya dengan penuh pengertian untuk kembali ke dalam pondoknya. Sebagai seorang gadis, hati Rara Wilis mulai tersentuh. Demikian juga ketika ia melihat betapa kecewa hati Arya Salaka, karena ia tidak diperkenankan ikut serta bersama gurunya. Hatinya menjadi iba.
“Jangan berduka, Arya…” nasihat Rara Wilis,
“Besok atau lusa kau akan pergi juga ke sana. Kalau saat ini pamanmu tidak membawamu adalah semata-mata karena pertimbangan keselamatanmu.”
Arya menundukkan mukanya. Ia tahu benar alasan itu, tetapi perasaannya amatlah susah dikendalikan. Karena Rara Wilis bagi Arya tidak ubahnya dengan gurunya, dan orang tuanya sendiri. Maka kepadanya Arya Salaka pun berkata terus terang,
“Bibi, aku dapat mengerti sepenuhnya kenapa Paman tidak membawa aku serta. Tetapi tiba-tiba saja perasaan rinduku kepada tanah kelahiran itu tak dapat aku kendalikan lagi. Lebih dari itu, betapa rinduku kepada Bunda, yang sejak lima tahun lalu tak pernah aku dengar khabar beritanya.” Dalam pada itu, betapa Arya Salaka berusaha sekeras-kerasnya, namun di kedua belah matanya mengembanglah air matanya yang bening, sebening hatinya.

Mendengar pernyataan Arya Salaka, Rara Wilis terdiam. Bahkan tiba-tiba iapun teringat kepada ibunya. Ibunya yang sudah tidak akan dapat dijumpainya lagi. Maka iapun menjadi berduka pula. Namun demikian ia masih mencoba untuk menghibur hati Arya.
“Arya… meskipun tertunda beberapa waktu namun kau akhirnya akan dapat bertemu dengan bunda tersayang. Tetapi tidaklah demikian dengan aku, Arya. Kau masih harus mengucapkan terimakasih, bahwa kau masih menyimpan harapan di dalam dadamu. Sedang aku, sama sekali harapan itu telah padam sejak lama. Aku tidak akan bertemu lagi, sekarang, besok, lusa atau kapanpun dengan ayah bundaku.”
Kemudian keduanya terdiam. Masing-masing hanyut ke dalam dunia angan-angan. Kepada kerinduan yang menyentuh-nyentuh perasaan masing-masing. Sehingga ruangan itu kemudian menjadi hening sepi. Tetapi keheningan itu tiba-tiba dikejutkan oleh suara Endang Widuri yang berlari-lari masuk.
Katanya berderai dengan penuh kegembiraan.
“Bibi… alangkah banyaknya bunga anggrek di hutan ini.”
Wilis tersadar dari angan-angannya. Dengan tersenyum kecil yang dipaksakan ia menjawab,
“Adakah kau mendapatkannya, Widuri…?”
“Inilah, Bibi…” sahut Widuri sambil menyerahkan setangkai bunga anggrek yang berbentuk seekor kala.
“Dari manakah kau dapatkan bunga ini?” tanya Wilis.
“Di lembah sebelah itu, Bibi…” jawab Widuri.
Rara Wilis menarik nafas. Lembah di sebelah adalah lembah yang terjal dan berbahaya. Agaknya Widuri memang anak yang benar-benar nakal.
Katanya kemudian,
“Jangan bermain-main di tempat yang berbahaya, Widuri. Di sana banyak ular-ular berbisa. Mungkin juga ada harimau yang buas.”
“Tidak Bibi,” sahut Widuri dengan nakalnya.
“Tidak ada ular dan tidak ada harimau yang mengganggu. Tetapi tadi memang ada orang yang mencoba menangkap aku.”
Rara Wilis dan Arya Salaka terkejut seperti disengat kala.
Dengan penuh perhatian Rara Wilis bertanya,
“Ada orang yang akan menangkap kau…?”
Widuri mengangguk seenaknya, seolah-olah peristiwa itu sama sekali tidak penting baginya.
“Tahukah kau sebabnya…?” tanya Rara Wilis.
“Entah,” jawab Widuri.
“Mungkin orang itulah yang menanam anggrek ini.”
“Mustahil,” sahut Arya Salaka.
“Anggrek yang tumbuh di lembah itu tak seorangpun yang menanamnya.”
Widuri kemudian menjadi heran. Katanya,
“Lalu kenapa ia akan menangkap aku?”
“Itulah yang ingin kami ketahui,” sela Rara Wilis.
“Apakah katanya padamu mula-mula…?”
Widuri mengingat-ingat sebentar, lalu jawabnya,
“Ia bertanya, kenapa aku berada di lembah itu.”
“Bagaimana kau menjawab?” selidik Arya.

ENDANG WIDURI menjadi jengkel pada pertanyaan-pertanyaan itu. Tetapi ia menjawab pula,
“Aku katakan kepadanya, bahwa aku ingin bunga anggrek ini.”
“Tidakkah ia bertanya tentang kau…?” tanya Wilis pula. Karena pertanyaan-pertanyaan itu agaknya masih panjang, Widuri kemudian menjatuhkan dirinya di samping Rara Wilis. Dan dengan malasnya ia menjawab panjang, sebab ia tahu bahwa kemudian pertanyaan-pertanyaan masih akan mengalir seperti banjir. Katanya,
“Ya, ia bertanya tentang aku. Ia bertanya siapakah namaku dan dari manakah aku datang. Aku datang bersama siapa dan untuk apa.”
Ketika Arya akan mengajukan pertanyaan lagi, Widuri sudah mendahului,
“Aku jawab semuanya. Aku bernama Endang Widuri. Aku datang dari Karang Tumaritis. Aku datang bersama sahabatku yang bernama Arya Salaka putra kepala daerah perdikan Banyubiru, yang datang untuk mengambil haknya kembali dari tangan pamannya yang jahat.”
“Kau katakan itu semua?” sela Wilis dengan cemas.
“Ya, aku katakan semua itu. Aku katakan bahwa bersama-sama dengan kami datang pula ayah, Kebo Kanigara, Mahesa Jenar yang perkasa bersama Bibi Rara Wilis yang cantik.”
“Ssst…” potong Rara Wilis.
“Jangan nakal,” bisiknya.
Mau tidak mau ia harus tersenyum. Namun berita itu bagi Arya Salaka dan Rara Wilis merupakan berita yang cukup penting. Karena itu ia ingin kelanjutan cerita Widuri, meskipun ia tidak sabar mendengar cara Widuri berkisah.
“Lalu, apakah yang dilakukannya?” tanya Arya Salaka.
“Orang itu tiba-tiba menjadi sangat menakutkan. Matanya terbelalak dan dengan marah ia memaksa aku untuk ikut serta bersamanya,” jawab Widuri.
Wilis menarik nafas sekali lagi. Pasti ada hal-hal yang sama sekali tidak pada tempatnya.
“Apakah orang itu bukan orang diantara kita di sini?” tanya Wilis.

Mendengar pertanyaan Rara Wilis, Endang Widuri tertawa, lalu jawabnya,
“Pasti bukan, Bibi. Kalau orang itu salah seorang diantara kita pasti ia tidak akan bertanya tentang aku.”
Sekali lagi Rara Wilis terpaksa tersenyum. Katanya,
“Maksudku adalah untuk menguatkan dugaanku bahwa orang itu pasti mempunyai kepentingan yang rahasia terhadap kita di sini. Terhadap seluruh kekuatan anak-anak Banyubiru.”
Endang Widuri mengerutkan keningnya. Agaknya baru sekarang ia sadar bahwa apa yang dilakukan oleh orang itu adalah jauh lebih berbahaya daripada seorang pemilik anggrek yang kehilangan bunganya. Karena itu tiba-tiba ia bercerita dengan penuh minat.
“Bibi, memang agaknya orang itu sangat aneh. Ketika ia marah kepadaku, aku minta maaf bahwa aku memetik bunganya sebelum aku minta izin kepadanya. tetapi agaknya ia sama sekali tidak memperhatikan.”
Endang Widuri berhenti sejenak untuk mengingat apa yang baru saja terjadi. Kemudian ia meneruskan,
“Bahkan kemudian ia berusaha untuk menangkap aku. Tentu saja aku tidak mau. Maka ketika ia memaksa, aku terpaksa melawannya.”

Kemudian tiba-tiba Endang Widuri tegak berdiri. Sambil menirukan beberapa gerak yang lincah, ia bercerita tentang perkelahiannya. Widuri sebenarnya seorang gadis yang memiliki ilmu tata beladiri jauh lebih dewasa dari sifat-sifatnya yang kekanak-kanakan. Dalam persoalan tata beladiri, Widuri telah dapat disejajarkan dengan tokoh-tokoh yang cukup mempunyai nama cemerlang. Tetapi karena ia tidak pernah meninggalkan padepokan, maka hampir tak seorang pun yang mengenalnya. Ditambah lagi dengan sifatnya sebagai gadis tanggung yang selalu dimanja oleh ayahnya. Dengan demikian perkelahian yang baru saja terjadi itu pun baginya seolah-olah hanya permainan yang tidak menyenangkan.
“Tetapi ternyata orang itu hanya besar kepala saja. Tenaganya tidak lebih dari seekor kelinci. Meskipun demikian, karena aku tidak bersedia untuk berkelahi, maka aku mengenakan kain panjang ini. Dan ketika aku lupa, dan menyerangnya dengan kaki, kainku jadi sobek karenanya,” kata Endang Widuri mengakhiri ceritanya. Lalu dengan bersungut-sungut ia menunjukkan kain panjangnya yang sobek lebih dari dua cengkang di bagian belakang.
Endang Widuri kemudian duduk kembali di samping Rara Wilis. sedang Arya Salaka dan Rara Wilis terpaksa menggelengkan kepala. Kemudian bertanyalah Arya Salaka,
“Kau apakan kemudian orang itu…?”
“Ia kemudian melarikan diri, dan lenyap di dalam gerumbul-gerumbul liar di lembah itu,” jawab Endang Widuri.

Berita itu bagi Rara Wilis dan Arya Salaka sangat penting artinya. Karena itu kemudian Arya minta diri untuk menemui Mantingan, Wirasaba dan Jaladri, yang selama Mahesa Jenar bersama-sama beberapa orang pergi ke Banyubiru, merekalah yang diserahi pimpinan atas anak-anak Banyubiru.
“Berita itu sangat penting, Angger,” kata Mantingan setelah dengan seksama mendengarkan cerita Arya Salaka tentang Endang Widuri.
“Bagaimana mungkin penjagaan kita yang kuat dapat diterobos, kalau bukan oleh orang yang cukup tangguh. Meskipun demikian aku heran juga, bahwa Endang Widuri dapat mengalahkannya,” lanjut Mantingan.
Tiba-tiba Arya Salaka menjadi bangga atas pujian itu. Pujian untuk Endang Widuri. Karena itu tanpa dikehendakinya sendiri ia telah ikut serta memuji gadis tanggung itu.
Mantingan mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Pantaslah kalau ia putri Kakang Kebo Kanigara. Apalagi selama ini Endang Widuri berada dalam lingkungan yang menguntungkan. Bersama-sama dengan Angger, gadis itu merupakan pasangan berlatih yang mengagumkan,” gumamnya kepada Arya Salaka.
Terasa wajah Arya Salaka menjadi panas. Maka berusahalah ia menjawab,
“Apakah Paman pernah melihat aku atau Widuri berlatih?”

MANTINGAN tertawa lirih. Umurnya yang telah menjangkau lebih dari setengah abad itu telah menjadikannya orang yang cukup mengenal perasaan seseorang. Apalagi berhubungan dengan pekerjaannya sebagai seorang dalang. Karena itu ia tidak melanjutkan gurauannya. Apalagi persoalan yang dihadapinya cukup penting. Sehingga segera ia kembali pada persoalan berita yang dibawa oleh Endang Widuri.
“Apakah yang sebaiknya kami lakukan?” Mantingan mencoba untuk mendapat pertimbangan dari Wirasaba, Arya Salaka dan Jaladri. Sesudah berpikir sejenak, berkatalah Wirasaba,
“Satu hal yang patut menjadi pertimbangan adalah, orang itu telah mengetahui bahwa di sini ada Adi Mahesa Jenar, Kakang Kebo Kanigara, Angger Arya Salaka, dan yang dikenalnya langsung adalah Angger Widuri sendiri. Orang itu pasti akan mengatakan bahwa di sini ada seorang gadis kecil yang sangat berbahaya. Kalau gadis itu telah dapat mengalahkannya, apalagi orang-orang yang bernama Kebo Kanigara, Mahesa Jenar dan Arya Salaka.”
Mantingan mengangguk membenarkan. Padahal Kebo Kanigara, Mahesa Jenar dan beberapa orang lain sedang berada di perjalanan ke Banyubiru.
“Kalau demikian…” sambung Jaladri,
“Tempat kita ini berada dalam bahaya. Kalau mereka mengetahui bahwa orang-orang yang bernama Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar sedang berada di perjalanan, mungkin sekali mereka akan mempergunakan kesempatan itu. Mencegat mereka atau menyerang tempat ini.”
“Baiklah adi Jaladri,” sahut Mantingan.
“Apakah jeleknya kalau kita berhati-hati. Siapkan orang-orangmu dan perkuatlah penjagaan di sekitar tempat ini. Mungkin ada sesuatu yang tidak kita harapkan bisa terjadi.”

Jaladri segera melaksanakan tugas itu. Dipanggilnya beberapa orang pemimpin laskar Banyubiru dan diberinya mereka petunjuk-petunjuk. Mereka sejak saat itu harus sudah siaga tempur. Setiap saat bahaya dapat datang. Maka sibuklah daerah perkemahan itu dengan berbagai persiapan. Beberapa orang menyiapkan perlengkapan-perlengkapan, beberapa orang lagi mengasah senjata-senjata mereka. Dengan demikian maka perkemahan itu diliputi oleh suasana yang tegang. Ketika kemudian malam turun perlahan-lahan, seolah-olah tersembul dari hutan di sekitar perkemahan itu, anak-anak Banyubiru menjadi semakin siaga. Penjagaan mereka menjadi semakin rapat. Apalagi penjagaan atas pondok Rara Wilis dan Widuri. Sebab mereka mengira bahwa kedua gadis itu sangat memerlukan penjagaan. Kecuali Mantingan, Wirasaba dan Jaladri, yang kecuali sudah mendengar berita perkelahian antara Widuri dan orang yang mengandung rahasia itu, sebenarnya dari gerak-gerik kedua gadis itu mereka sudah menduga bahwa mereka bukanlah gadis seperti kebanyakan gadis-gadis yang lain.

Sementara itu orang-orang Banyubiru telah dikejutkan oleh kedatangan sebuah rombongan kecil orang-orang berkuda. Dua orang yang di depan mempunyai perawakan yang sedang, tegap dan kuat. Seorang memakai baju hijau gadung, kain lurik hijau gadung pula. Di atas kuping kanannya terselip sekuntum bunga melati hutan. Sedang di sebelahnya, yang seorang lagi berbaju lurik bergaris-garis tebal berwarna coklat dan berkain lurik merah soga berikat kepala biru gelap. Dengan wajah tengadah mereka memegangi kendali kuda-kuda mereka, yang dengan tegap berjalan ke arah pusat kota. Beberapa orang yang menyaksikan mereka berdua terpaksa menarik nafas dalam-dalam. Meskipun mereka belum pernah mengenalnya, namun mereka seolah-olah melihat dua ekor burung rajawali yang dengan megahnya terbang di udara. Sedang bagi mereka yang pernah mengenalnya lima tahun yang lalu, segera bergumam di dalam mulutnya, dengan mata terbelalak penuh keheranan.
“Bukankah yang menyelipkan bunga di telinga kanannya itu pernah tinggal di Banyubiru beberapa tahun yang lalu, dan bernama Mahesa Jenar…?”
Tetapi segera mereka menjadi semakin heran, ketika mereka kemudian memandang tiga orang berkuda di belakang sepasang rajawali itu. Dan mereka segera meneruskan gumam mereka,
“Dan bukankah mereka itu Ki Wanamerta, Penjawi dan Bantaran…?”
Mula-mula orang-orang Banyubiru itu hanya saling memandang diantara mereka. Tetapi ketika seorang diantara mereka tanpa disengaja menyebut nama Mahesa Jenar agak keras, terdengarlah mereka menjawab bersahutan,
“Ya, orang itulah Mahesa Jenar.”
“Tetapi kenapa tiba-tiba saja ia datang bersama Bantaran dan Penjawi, bahkan dengan Ki Wanamerta?” terdengar suara yang lain.

Tak seorangpun yang menyahut. Malahan mereka tiba-tiba menjadi bingung. Sebab Bantaran dan Penjawi bagi penduduk Banyubiru yang tetap tinggal di kampung halaman mereka serta tidak terlalu banyak mengerti tentang seluk-beluk tanah mereka sendiri, merupakan tokoh-tokoh yang membingungkan. Kadang-kadang penduduk Banyubiru itu mengharap-harap kedatangan mereka, namun kadang-kadang mereka tiba-tiba membencinya sebagai orang-orang yang selalu membawa bencana. Daerah-daerah, desa-desa dan pedukuhan-pedukuhan yang disinggahi oleh Bantaran dan Penjawi dalam saat-saat terakhir ini, merupakan tanda tidak baik bagi penduduknya. Sebab sesaat kemudian akan datanglah pasukan-pasukan dari Pamingit dan Banyubiru sendiri untuk mengadu dan menangkapi beberapa orang untuk diperiksa. Sekarang penduduk Banyubiru itu melihat Bantaran dan Penjawi datang bersama-sama dengan Mahesa Jenar. Seorang yang dapat disejajarkan dengan pepunden mereka, Ki Ageng Gajah Sora. Malahan bagi orang-orang Banyubiru itu tampaklah Mahesa Jenar seperti Ki Ageng Gajah Sora itu sendiri, yang datang kembali ke kampung halamannya. Tetapi sedemikian jauh, mereka hanya dapat saling berbisik diantara mereka sendiri. Tak seorangpun diantara mereka yang berani maju ke depan dan bertanya tentang teka-teki yang berputar-putar didalam benaknya.

ROMBONGAN Mahesa Jenar itu pun merasakan, bahwa setiap orang yang melihat kedatangan mereka menjadi heran dan bertanya-tanya diantara mereka. Tetapi rombongan itu pun tetap berdiam diri seperti sama sekali tak ada orang yang melihat mereka. Rombongan itu dengan tenangnya terus berjalan, lewat jalan-jalan sempit di antara daerah-daerah persawahan, menembus jalan-jalan desa dan melintasi jembatan-jembatan bambu di atas parit-parit yang mengalirkan airnya yang jernih.
“Kakang Kanigara…” tiba-tiba terdengar Mahesa Jenar berbisik.
“Adakah Kakang melihat sesuatu yang tidak sewajarnya?”
“Ya” jawab Kanigara.
“Tetapi itu sudah agak jauh lewat.”
Mahesa Jenar mengangguk. Katanya,
“Kalau demikian apa yang Kakang lihat, aku lihat pula.”
Kemudian kembali mereka berdiam diri. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara masih sibuk menduga-duga orang aneh yang dijumpainya sesaat sebelum mereka memasuki tlatah Banyubiru. Seorang berkuda, yang seolah-olah membayangi perjalanan mereka dari punggung-punggung perbukitan. Tetapi ketika rombongan itu memasuki daerah Banyubiru, segera orang itu lenyap di seberang bukit. Tiba-tiba Mahesa Jenar, Kebo Kanigara beserta segenap orang dalam rombongan itu terkejut, ketika mereka mendengar derap beberapa ekor kuda yang berlari kencang ke arah mereka. Dan belum lagi mereka mengucapkan kata-kata, dari balik tikungan di depan mereka muncullah sebuah rombongan orang berkuda pula. Lebih dari limabelas orang. Mahesa Jenar mengendorkan lari kudanya, diikuti oleh kawan-kawannya. Mereka masih belum mengetahui, apakah tujuan orang-orang berkuda itu. Maka ketika rombongan itu menjadi semakin dekat, dan tidak mengurangi kecepatan mereka, Mahesa Jenar beserta keempat kawannya segera menepi. Agaknya orang-orang berkuda itu tergesa-gesa. Demikianlah rombongan itu dengan cepatnya berlari melintas. Beberapa orang menoleh kepada Mahesa Jear, tetapi beberapa orang yang lain agaknya tidak peduli. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara segera menutup hidung mereka, supaya tidak dimasuki debu yang berhambur-hamburan dibelakang rombongan itu. Tetapi ketika rombongan itu telah melampauinya, tiba-tiba terdengarlah sebuah aba-aba dari antara mereka. Dan dengan tiba-tiba pula rombongan itu berhenti bersama-sama, sehingga kuda-kuda mereka meringkik dan berputar-putar.

Kemudian beberapa orang diantara mereka tiba-tiba memutar kuda mereka, dan berlari ke arah rombongan Mahesa Jenar. Ketika Mahesa Jenar memandang Kanigara, Kanigara pun sedang memandangnya. Dengan kedipan mata, Kanigara memberi isyarat kepada Mahesa Jenar dan ketiga kawannya yang lain. Sebab bagaimanapun juga, sesuatu yang tak diharapkan dapat terjadi karena orang-orang itu masih belum mereka kenal sama sekali. Wanamerta, Bantaran dan Penjawi segera mempersiapkan diri. Sebagi utusan yang bermaksud menempuh penyelesaian yang baik, mereka tak bersenjata, kecuali di punggung mereka terselip sebilah keris sebagai suatu kelengkapan yang lazim. Karena itu, ketika mereka melihat keadaan yang tidak menentu, segera mereka memutar keris mereka di lambung kiri. Beberapa orang itu menjadi semakin dekat, dan ternyata yang lainpun mengikuti mereka pula. Dan semakin dekat mereka itu, Mahesa Jenar dan kawan-kawannya menjadi semakin bersiap pula untuk menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Seorang yang bertubuh besar berkulit hitam mengkilap dan bermata tajam seperti mata serigala mengendarai kudanya paling depan dan langsung mengarah kepada Kebo Kanigara. Melihat orang itu datang kepadanya, Kanigara pun segera menyambutnya. Mula-mula orang itu menghentikan kudanya beberapa langkah dari Kebo Kanigara, kemudian memandangnya dengan tajam. Baru beberapa saat kemudian ia bertanya,
“Ki Sanak, siapakah kalian ini, dan apakah keperluan kalian?”

Kanigara tidak segera menjawab. Tetapi dengan matanya ia minta pertimbangan kepada Mahesa Jenar yang sedikit banyak sudah mengenal daerah Banyubiru. Ketika Mahesa Jenar menggeleng kecil, tahulah Kebo kanigara, bahwa orang-orang itu bukanlah orang-orang Banyubiru. Karena itu segera ia menjawab,
“Apakah Ki Sanak bukan orang Banyubiru?”
Orang itu mengerenyitkan keningnya. Ia tidak senang pertanyaannya dijawab dengan pertanyaan pula. Karena itu dengan kasar ia mengulangi pertanyaannya,
“Aku bertanya kepadamu, siapakah kalian ini?”
Kebo Kanigara tidak ingin bertengkar. Karena itu ia menjawab,
“Kalau kalian belum mengenal kami, pastilah kalian bukan orang Banyubiru, sebab kami adalah penduduk daerah ini.”
Orang itu memandang Kebo Kanigara dengan penuh kecurigaan. Kemudian dipandanginya Mahesa Jenar, Wanamerta, Bantaran dan Penjawi berganti-ganti.
“Benarkah kalian penduduk Banyubiru…?” desaknya.

WANAMERTA mendesak maju. Kemudian ia menyahut,
“Sejak lahir aku tinggal di daerah ini. Kau curiga…?”
Tiba-tiba orang itu tertawa. Jawabnya,
“Tidak kakek tua. Aku percaya kalau kau orang Banyubiru. Sebab bentuk kalian mengingatkan aku kepada bentuk-bentuk batu padas yang berbongkah-bongkah keras dan kasar.”
Wanamerta tersinggung oleh jawaban itu. Tetapi ia didahului oleh Kebo Kanigara yang mengenal gelagat. Katanya,
“Sesudah kalian tahu bahwa kami adalah orang-orang Banyubiru, maka kamipun ingin mengetahui, siapakah kalian dan dari manakah kalian?”
Sekali lagi orang itu tertawa. Jawabnya,
“Aku baru saja menemui kepala daerah perdikan kalian. Tetapi orang itu ternyata keras kepala.”
“Kau benar,” sahut Mahesa Jenar.
“Orang itu memang keras kepala. Tetapi apakah keperluan kalian?”
Tiba-tiba orang itu terdiam. Lalu ia mendorong kudanya beberapa tapak maju mendekati Kebo Kanigara. Dengan perlahan-lahan hampir berbisik ia bertanya,
“Ki Sanak, aku lihat kalian bukanlah orang kebanyakan. Karena itu kalian pasti sudah tahu bahwa Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten berada di Banyubiru. Nah katakan kepadaku, siapakah yang menyimpan kedua keris itu.”

Mahesa Jenar, Kebo Kanigara beserta ketiga kawannya terkejut mendengar pertanyaan itu. Untunglah bahwa mereka segera dapat menguasai diri, sehingga perasaan itu tidak terlalu membekas di wajah mereka.


<<< Bagian 054                                                                                              Bagian 056 >>>

No comments:

Post a Comment