KITA tempatkan diri di bawah pimpinan Eyang Sora Dipayana untuk menumpas golongan hitam itu. Apakah kalian sependapat?”
“Pasti…!”
teriak mereka serentak.
“Kami
sependapat. Dan kami segera akan melaksanakannya.”
“Bagus,”
potong Arya Salaka.
“Kita akan
berangkat segera setelah separo dari laskar kita berkumpul di alun-alun.” Arya
tidak perlu mengulangi perintahnya kembali.
Para pemimpin
itu segera berdiri, dan berloncatan ke halaman. Segera mereka berada di atas
punggung kuda masing-masing, untuk kemudian melesat seperti angin. Mereka
ternyata masih menyala rasa kesetiakawanan yang mendalam. Mereka ternyata lebih
mendendam kepada golongan hitam, daripada kepada orang-orang Pamingit. Dan
sekarang perasaan itu diungkatnya kembali. Sepeninggal mereka, di pendapa itu
masih duduk selain Arya Salaka, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Rara Wilis, Endang
Widuri, Mantingan, Wirasaba, Wanamerta, Bantaran, Penjawi, Jaladri dan Sendang
Parapat.
Kemudian
kepada Mahesa Jenar, Arya Salaka berkata,
“Adakah kita
yang berada di pendapa ini akan berangkat semuanya?”
“Jangan Arya,”
jawab Mahesa Jenar.
“Kita harus
berhati-hati. Bukankah tersebar berita bahwa Nagasasra dan Sabuk Inten masih
berada di Banyubiru? Kita dapat menduga bahwa kabar itu sengaja disiarkan untuk
menimbulkan keributan, namun kita dapat menduga lain. Mungkin mereka
benar-benar masih berpendapat bahwa keris-keris itu berada di Banyubiru. Karena
itu biarlah Kiai Wanamerta dan Sendang Parapat yang belum sembuh benar, tinggal
di sini, didampingi oleh Kakang Mantingan dan Wirasaba. Selain itu biarlah
Wilis tinggal di sini pula.”
“Dan
bagaimanakah sebaiknya dengan Endang Widuri?” tanya Mahesa Jenar kepada Kebo
Kanigara.
“Aku ikut
dengan Paman Mahesa Jenar.” Endang Widuri menyahut sebelum ayahnya menjawab.
“Jangan
Widuri,” potong ayahnya, “Kali ini jangan. Kita menghadapi lawan yang tak
terduga kekuatannya.”
“Aku telah
dapat menduganya,” jawab Widuri.
“Laskar Eyang Sora
Dipayana hanya terpaut sedikit dari kekuatan Bugel Kaliki di hari pertama. Di
hari kedua, kekuatan itu akan lebih banyak mengalami kegoncangan. Katakan bahwa
laskar Pamingit mengalami kekalahan dua kali lipat dari hari pertama. Tetapi
kekuatan Eyang Sora Dipayana masih lebih dari tigaperempat dari kekuatan lawan.
Nah kalau demikian, mereka malam nanti pasti sudah mundur ke Pangrantunan.
Dengan tambahan laskar Kakang Arya Salaka yang segar, kekuatan akan berimbang
kembali. Lebih-lebih tokoh-tokohnya akan mampu lagi berbuat seenaknya. Dan
apakah gunanya ayah ikut serta kalau ayah tidak mampu mengalahkan orang yang
bernama Nagapasa, atau Sima Rodra atau Sura Sarunggi?”
“Jangan
sesorah panjang-panjang, Widuri,” potong ayahnya. Sedang orang-orang yang mendengarkan
terpaksa tersenyum-senyum. Namun di dalam hati mereka, terasa betapa mereka
mengagumi gadis itu. Agaknya ia benar-benar dapat membuat gambaran dari medan
di Pamingit dengan perhitungan yang baik. Kemudian terdengarlah Kebo Kanigara
meneruskan,
“Meskipun
agaknya kau benar, namun kita harus berhati-hati. Mereka akan berbuat jauh
lebih dahsyat daripada yang kau duga, sebab orang-orang dari golongan hitam itu
membenarkan segala cara untuk mencapai tujuan. Bahkan cara-cara yang
kadang-kadang melanggar hukum-hukum perikemanusiaan. Meski akan menakut-nakuti
kau dengan cara-cara yang tak wajar.”
“Aku tidak
takut,” jawab Widuri.
KEBO Kanigara
menggelengkan kepalanya, katanya,
” hanya
prajurit yang baik yang dapat bertempur melawan golongan hitam.”
“Aku prajurit
yang baik,” jawab Widuri
“Prajurit yang
baik akan selalu patuh kepada perintah. Nah dengarlah perintah pemimpin
pasukan, Arya Salaka,” sahut ayahnya. Endang Widuri mengerutkan keningnya.
Beberapa orang
terpaksa tertawa mendengarkan perdebatan itu. Dengan wajah cemberut gadis itu
memandang Arya Salaka. Arya Salaka sendiri menjadi bingung. Ia tahu maksud Kebo
Kanigara akan tetapi didalam hati kecilnya ingin mengajak gadis itu serta.
Entahlah, apa sebabnya. Tetapi diingatnya bahwa bahaya akan datang setiap
waktu, maka iapun berpendapat, bahwa sebaiknya Endang Widuri tidak ikut serta.
Apalagi Rara Wilispun tidak.
Tetapi sebelum
ia sempat menjawab, terdengar Endang Widuri berkata,
”baiklah,
baiklah. Aku sudah tahu jawaban kakang Arya Salaka, ia pasti akan berpihak
kepada ayah.” Arya Salaka tersenyum. Kemudian terdengar Widuri meneruskan,
”Biarlah aku
tinggal bersama bibi Wilis dan eyang Wanamerta. Bukankah begitu bibi?”
“Tentu, kau
menemani aku di sini,” jawab Wilis.
“Dan biarlah
paman Mantingan nanti bercerita tentang Bharata Yudha, dan paman Wirasaba akan
meniup seruling hingga beringin kurung itu nanti menari-nari bukan begitu
paman?,” Wilis meneruskan.
“Mudah-mudahan,”
sahut Wirasaba sambil tertawa.
“Tetapi itu
tidak penting, sebenarnya paman Mahesa Jenar yang paling berkeberatan aku ikut
serta,” Widuri meneruskan.
“Kenapa aku?”
sahut Mahesa Jenar.
“Bukankah
paman menghendaki aku tinggal, menunggu bibi Wilis, supaya bibi Wilis tidak
hilang? Paman Mahesa Jenar takut kalau orang yang disebut Ular Laut dari
Nusakambangan datang menjemput bibi, dan…..”
Kata-kata
Widuri terputus, ia memekik kecil ketika Rara Wilis mencubitnya.
“Tobat bibi
aduuuuh” Rara Wilis tiba-tiba menundukkan mukanya. Terasa rona merah yang panas
menjalar ke pipinya.
“Jangan nakal
Widuri,” ayahnya menasehatinya.
“Tidak aku
tidak nakal lagi, jangan jangan cubit dagingku akan terkupas. Bibi kalau
mencubit sakitnya bukan main.” Mau tidak mau Wilis terpaksa tersenyum.
Memang Widuri
benar-benar nakal. Ia tidak perduli berhadapan dengan siapapun, kalau teringat
sesuatu yang menarik hatinya untuk menggoda, iapun berbuatlah. Sementara itu
para pemimpin Banyu Biru telah sampai kepasukan masing-masing. Segera mereka
mempersiapkan laskar mereka. Separo akan dibawa ke Pamingit. Mula-mula setiap
orang didalam laskar Banyu Biru menjadi heran, mengapa tiba-tiba mereka harus
membantu Pamingit. Namun setelah mendapat penjelasan dari para pemimpinnya,
merekapun sadar akan tugas itu. Tugas yang harus dikedepankan. Menumpas setiap
gerombolan yang menghianati kemanusiaan. Menghianati ketentraman hidup rakyat
yang tinggal jauh disekitar daerah mereka. Bahkan tujuan jangka jauh yang telah
mereka rintis. Mencari pusaka yang dapat membawa mereka kepada jabatan
tertinggi di Demak. Yang tinggal di Banyubirupun segera mempersiapkan diri
mereka pula.
Mereka
mengamati senjata-senjata mereka, apakah senjata mereka telah siap untuk
melawan musuh yang berbahaya. Beberapa orang yang harus tinggal di Banyubiru
menjadi kecewa. Sebenarnya mereka ingin turut didalam laskar yang kan pergi ke
Pamingit tetapi merekapun sadar bahwa mereka mempunyai tugas yang penting pula
di Banyubiru. Ketika matahari telah memanjat lebih tinggi lagi diatas pucuk
pohon sawo kecik di halaman Banyubiru itu, mulailah ujung laskar Banyubiru
memasuki alun-alun. Kelompok demi kelompok. Dari wajah mereka tampaklah betapa
besar hati mereka setelah berkesempatan untuk menginjakkan kaki mereka diatas
tanah pusaka. Betapa mereka merasakan kenikmatan yang mengetuk ngetuk dada
mereka, meskipun terasa bahwa tanah tercinta ini telah mengalami beberapa
kemunduran. Tetapi telah beberapa tahun mereka mengasingkan diri, didalam
masa-masa yang prihatin, akhirnya mereka dapat menginjakkan kaki mereka dibumi
tercinta ini kembali.
Disekitar
alun-alun itupun kemudian berduyun duyun rakyat Banyubiru menyaksikan putera
putera daerah mereka yang setia, yang selama ini menghilang dari kampung
halaman karena tekanan-tekanan orang Pamingit. Namun ternyata mereka sekarang
datang kembali dengan senjata di tangan. Setelah pasukan itu semuanya memasuki
alun-alun, maka berkumpulah setiap pimpinan kelompok laskar itu, dihadapan Arya
Salaka. Dengan hati-hati Arya Salaka memberikan beberapa penjelasan kepada
mereka apakah sebabnya mereka kini harus menempatkan diri dibawah pimpinan Ki
Ageng Sora Dipayana.
“Dalam keadaan
seperti sekarang ini, ki Ageng Sora memang harus memegang seluruh pimpinan atas
Banyubiru dan Pamingit. Tak ada orang lain yang lebih berhak daripadanya.
Sedang Ki Ageng Sora Dipayana sekarang sedang berjuang melawan golongan hitam.
Namun lawannya terlalu besar. Lawannya memiliki keunggulan yang tak dapat
diatasinya. Nah apakah kalian, pewaris tanah perdikan Pangratunan yang kemudian
bernama Banyubiru ini akan tinggal diam menyaksikan orang yang cikal bakal
tanah ini mengalami bencana ?”.
Terdengar
jawaban mbata-rubuh.
“Kami bela Ki
Ageng Dipayana dengan segenap tenaga yang ada pada kita.”
“Terimakasih,
tentunya separo dari kalian akan kubawa ke Pamingit, separo tetap tinggal di
sini untuk menjaga kemungkinan yang tak kami harapkan di tanah ini. Kemudian,
siang hari kalian kami perkenankan untuk beberapa saat meninggalkan pasukan,
barangkali kalian ingin melihat sanak keluarga dan orang yang kalian rindukan.
Nanti kalau matahari telah membuat bayanganmu sepanjang badan, kalian harus
berkumpul kembali di alun alun ini. Aku mengharap, sedikit lewat tengah malam
kalian harus sudah berada di Pangrantunan,” kata Arya Salaka.
Ketika
penjelasan Arya Salaka itu diberikan kepada setiap kelompok oleh para pemimpin
kelompok, bersoraklah mereka. Mereka menerima kebijaksanaan Arya dengan sepenuh
hati, tidak saja sebagai lajimnya seorang prajurit yang baik. Namun karena
ternyata Arya Salaka telah berfikir seperti apa yang mereka pikirkan. Arya
tidak menutup mata atas kemungkinan yang ada di dalam dada laskarnya. Sebab ia
sendiri merasakan, betapa rindunya kepada halamannya, kepada setiap bunga yang
berkembang, lebih lagi kepada bundanya. Tetapi sampai saat ini orang yang
dirindukannya masih belum diketemukannya. Bahkan ia tidak tahu apa yang terjadi
atas ibunya di Pamingit. Apakah orang-orang dari golongan hitam itu tidak
mengganggunya?. Tiba-tiba Arya menjadi tidak sabar lagi, namun ia sadar tidak
bisa membawa laskarnya ke jurang ke kebinasaan, hanya karena dirinya merindukan
ibunya. Karena itu, ia telah mencoba menekan perasaannya untuk mempertahankan
keseimbangannya sebagai seorang pemimpin. Sesaat kemudian bubarlah barisan yang
berada di alun-alun itu. Masing masing berjalan dengan tergesa-gesa, bertebaran
ke segenap penjuru Banyubiru. Beberapa orang yang tidak mempunyai kepentingan
lagi dengan orang lain, karena hampir seluruh keluarganya telah menyertainya ke
Gedongsanga, ingin juga berjalan-jalan berkeliling kota melihat-lihat perubahan
yang timbul selama kota ini ditinggalkan. Kadang mereka singgah juga ke rumah
kenalan mereka. Namun kenalan mereka telah menerima mereka dengan ketakutan.
Jangan-jangan laskar Banyubiru ini akan mengganggunya seperti cerita yang
selama ini selalu didengar tentang mereka, bahwa laskar Banyubiru tidak lebih
dari gerombolan penyamun dan perampok yang hanya mampu membuat kacau dan
bencana. Namun setelah mereka mengetahui apa yang telah dilakukan laskar
Banyubiru itu yang dengan ramah menyapa mereka, mereka memberi salam gairah
seperti dahulu. Sadarlah mereka bahwa laskar Banyubiru adalah laskar yang
selama ini berjuang untuk kepentingan mereka. Sisa waktu mereka pergunakan
untuk beristirahat. Di bawah pohon-pohon yang rindang, di gardu-gardu dan di
tempat yang sejuk. Mereka tidak tahu apakah nanti mereka masih mempunyai waktu
untuk beristirahat.
DI PERJALANAN,
tak banyaklah yang dipersoalkan oleh Arya Salaka dengan gurunya serta Kebo
Kanigara. Angan-angannya lebih banyak dicengkam oleh kegelisahan tentang nasib
ibunya. Namun demikian ia tetap dalam keseimbangan yang baik. Dua orang telah
diperintahkannya untuk berjalan berkuda mendahuluinya. Mereka harus mengetahui,
apakah laskar Pamingit yang dipimpin oleh Wulungan dan Ki Ageng Sora Dipayana
berada di Pangrantunan atau di Kepandak. Untuk menghindari salah paham dengan
laskar yang langsung dipimpin oleh Ki Ageng Lembu Sora, Arya Salaka menempuh
jalan melingkar agak jauh di sebelah timur Pamingit, langsung menuju ke
Pangrantunan. Apabila kemudian laskar itu akan menembus Pamingit, mereka akan
datang dari arah tenggara. Ketika malam turun, laskar Arya Salaka telah
menembus hutan-hutan yang tipis di sebelah timur Pamingit. Untuk beberapa saat
laskar itu beristirahat. Mereka sekadar melepaskan lelah mereka dengan
mempersegar tubuh mereka di sumber air yang mereka temui diperjalanan itu.
Kemudian mereka masih sempat menikmati bekal yang mereka bawa. Ketupat sambal.
Setelah beristirahat sejenak, kembali pasukan itu meneruskan perjalanan. Bulan
di langit separoh bulat telah naik tinggi di atas bukit-bukit yang membujur seperti
raksasa yang lelap. Angin malam yang lemah bertiup dari utara mengusap
pohon-pohon perdu yang dengan lembutnya. Sedang di kejauhan sayup-sayup
terdengar anjing-anjing liar menggonggong berebut makanan. Di tempat yang telah
ditentukan, dua orang berkuda, yang ditugaskan oleh Arya Salaka untuk mengamati
keadaan, telah menunggu.
“Bagaimana?”
tanya Arya kepada mereka.
“Ki Ageng Sora
Dipayana telah menarik pasukan ke Pangrantunan,” jawab orang itu.
“Sejak kapan?”
tanya Arya Salaka.
“Baru malam
ini. Semua tenaga telah dikerahkan. Setiap laki-laki di Pangrantunan telah
memanggul senjata,” jawab orang itu. “Adakah golongan hitam telah menyusul ke
Pangrantunan pula?” tanya Arya Salaka lebih lanjut.
“Aku kurang
jelas. Namun hal itu mungkin sekali,” jawab mereka.
“Bagaimana
dengan laskar Ki Ageng Lembu Sora?”
“Tak aku
ketahui. Namun mereka belum sampai di Pangrantunan sore tadi. Tetapi seorang
pengungsi mengatakan bahwa Sumber Panas pun telah dikosongkan. Laskar Ki Ageng
Lembu Sora terdesak hebat sampai mereka terpaksa meninggalkan garis perang
dalam keadaan tak teratur.”
Arya menarik
nafas panjang. Agaknya kekuatan golongan hitam betul-betul tak dapat dianggap
ringan. Suatu gabungan dari sarang-sarang gerombolan yang mengerikan. Alas
Mentaok, Nusakambangan, Gunung Tidar, Rawa Pening dan seorang hantu dari Lembah
Gunung Cerme. Terbayanglah di dalam angan-angannya, bahwa Pamingit benar-benar
sedang dilanda oleh taufan yang maha dahsyat. Ki Ageng Lembu Sora, yang
beberapa saat yang lampau dapat bekerja sama dengan mereka, akhirnya sampailah
saatnya ia digilas oleh arus hitam yang mengerikan itu, karena orang-orang dari
golongan hitam itu sadar, bahwa Lembu Sora adalah suatu usaha saling memperalat
semata-mata. Bukan suatu kerja sama yang tulus. Tetapi kini golongan hitam itu
benar-benar salah hitung. Mereka mengharap Ki Ageng Lembu Sora terpaksa membagi
laskarnya. Sebagian menghadapi laskar hitam itu, dan sebagian menghadapi laskar
Arya Salaka. Mereka mengharap bahwa dengan demikian, menggilas Pamingit akan
sama mudahnya seperti menggilas nanti, untuk kemudian menghantam hancur
sisa-sisa laskar Arya Salaka dan Lembu Sora yang parah di Banyubiru. Mereka
sama sekali tidak menduga, bahwa kejernihan dan ketulusan hati Arya Salaka
merupakan badai yang berhembus dengan dahsyatnya, memporakporandakan rencana
mereka. Arya Salaka kemudian memerintahkan laskarnya untuk mempercepat
perjalanan. Hatinyapun menjadi semakin risau, apakah kira-kira yang telah
terjadi di Pamingit dan apakah yang telah terjadi dengan ibunya? Ia menjadi cemas.
Terbayanglah di dalam rongga matanya orang-orang seperti Pasingsingan, Sima
Rodra dan sebagainya, dengan kasarnya memasuki setiap ruang rumah pamannya di
Pamingit.
Apakah ibunya
diketemukan di rumah itu pula oleh mereka? Mudah-mudahan Tuhan memberikan
perlindungan kepadanya. Hampir tengah malam, laskar Arya Salaka telah mendekati
Pangrantunan dari arah utara. Dari jauh mereka telah melihat beberapa kelompok
perapian yang menyala di sekitar desa itu. Karena itu segera Arya Salaka
menghentikan laskarnya untuk menghindari kesalah-pahaman. Kepada gurunya ia
berkata,
“Paman,
bukankah sebaiknya aku menghadap Eyang Sora Dipayana lebih dahulu?”
Mahesa Jenar
mengangguk, jawabnya,
“Baik Arya,
sebab di malam yang samar-samar demikian ini, akan mudah sekali timbul salah
mengerti. Laskar eyangmu itu mungkin sama sekali tak akan menduga bahwa kau
akan datang membantu mereka.”
Kemudian
bersama-sama dengan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, Arya Salaka berjalan
mendahului, untuk melaporkan kehadirannya bersama laskarnya kepada Ki Ageng
Sora Dipayana. Beberapa tonggak dari Pangrantunan, segerombol pengawal
menghentikan mereka. Dengan penuh kewaspadaan para pengawal itu menyapa mereka
dengan pertanyaan sandi.
“Ke manakah
mulut gua menghadap?”
Arya tidak
tahu bagaimana harus menjawab, karena itu ia berkata terus terang,
“Aku bukan
dari laskar Pamingit.”
“Dari golongan
hitam?” bentak para pengawal itu, dan bersamaan dengan itu tombak-tombak mereka
segera mengarah ke dada Arya, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Arya menggeleng, jawabnya,
“Bukan Ki
Sanak. Kalau aku dari golongan hitam, apakah agaknya aku akan bunuh diri?”
“SIAPAKAH
kalian?” tanya salah seorang daripada para pengawal itu.
“Dari
Banyubiru,” jawab Arya.
“Banyubiru…?
Siapa…?” desak mereka. Arya Salaka termenung sejenak, apakah ia harus
mengatakan dirinya…? Dengan demikian, laskar Pamingit yang tak dapat berpikir
panjang akan menuduhnya memata-matai mereka untuk selanjutnya memukul mereka
dari belakang. Dalam keragu-raguan itu terdengar orang Pamingit mendesaknya kembali,
“Siapa?”
Mahesa Jenar
lah yang kemudian menyahut,
“Kami adalah
utusan dari Angger Arya Salaka. Ada pesan yang harus kami sampaikan kepada Ki
Ageng Sora Dipayana.”
Orang itu
masih ragu. Tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata,
“Apakah pesan
itu? Dan adakah kau membawa pembuktian diri bahwa kau orang Banyubiru? Kalau
kau dapat menyatakan dirimu sekalipun, apakah jaminanmu bahwa kau tak bermaksud
jahat?”
Setelah
berpikir sejenak, Mahesa Jenar menjawab,
“Kau dapat
bertanya apa saja tentang Banyubiru. Kami akan menjawab sebagaimana anak daerah
yang mengetahui segala sesuatu mengenai daerahnya.”
“Kemudian
apakah jaminan bahwa kau tidak akan berbuat hal yang merugikan laskar kami?”
tanya pengawal itu.
“Kami hanya
bertiga. Apakah yang dapat kami lakukan? Bawalah kami menghadap Ki Ageng Sora
Dipayana. Di hadapan orang tua itu, kami tak akan mungkin berbuat sesuatu,”
jawab Mahesa Jenar.
“Tetapi kau
bersenjata,” kata pengawal itu sambil menunjuk Kyai Bancak yang digengam Arya
erat-erat.
“Tombak ini
justru bukti kebenaran kami. Ki Ageng Sora Dipayana segera akan mengenal tombak
ini, dan mempertanyai kami bahwa kami benar-benar utusan Arya Salaka,” sahut
Mahesa Jenar.
Para pengawal
itu berpikir sejenak. Mereka memang pernah mendengar, bahwa Arya Salaka memiliki
tombak yang sakti, bernama Kyai Bancak. Ketika mereka melihat mata tombak yang
seolah-olah bercahaya kebiru-biruan di dalam siraman cahaya bulan, maka
percayalah mereka bahwa tombak itulah yang bernama Kyai Bancak sebagai pertanda
kebesaran Kepala Daerah Perdikan Banyubiru. Ketika Mahesa Jenar melihat para
pengawal itu ragu, ia mendesak,
“Bawalah kami
kepada Ki Ageng Sora Dipayana. Kalau kami bermaksud jahat, kami pasti tidak
akan menempuh jalan ini. Apalagi di antara kami bertiga hanya seorang yang bersenjata.
Itu saja karena kami ingin membuktikan bahwa kami benar-benar utusan Angger
Arya Salaka.”
Para pengawal
itu akhirnya percaya, bahwa tiga orang itu pasti tak akan bermaksud jahat.
Karena itu maka segera salah seorang di antara mereka berkata,
“Bawalah
orang-orang ini menghadap Ki Ageng.” Kepada Mahesa Jenar ia berkata,
“Jangan
berbuat hal-hal yang dapat menyelakakan dirimu sendiri. Di sekitar daerah ini
bertebaran ratusan pengawal dari Pamingit yang akan dapat memenggal lehermu di
setiap tempat dan di setiap saat.”
“Baiklah Ki
Sanak,” jawab Mahesa Jenar,
“Aku akan taat
kepada pesanmu itu, sebab aku masih ingin dapat kembali dengan selamat ke
Banyubiru.”
Kemudian
dengan diantar oleh lima orang bersenjata tombak, Arya Salaka, Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara dibawa langsung ke Pangrantunan. Di ujung desa itu, di dalam
sebuah pondok yang sedang, tampaklah penjagaan yang lebih rapi daripada
tempat-tempat yang lain. Dengan demikian segera dapat dikenal, bahwa di rumah
itulah Ki Ageng Sora Dipayana serta pimpinan laskar Pamingit itu berada.
Setelah melalui beberapa penjagaan, maka akhirnya seseorang langsung
menyampaikan berita tentang kehadiran tiga orang Banyubiru itu kepada Ki Ageng
Sora Dipayana.
“Siapakah
mereka?” tanya Ki Ageng.
“Belum kami
ketahui namanya, Ki Ageng,” jawab orang itu.
“Apakah mereka
bersenjata?” tanya Wulungan yang mendengar laporan itu.
“Hanya
seorang, yang dua orang sama sekali tidak,” jawab pengawal itu. Wulungan
mengangkat keningnya, kemudian kepada Ki Ageng Sora Dipayana ia bertanya,
“Apakah aku
yang menerimanya?”
“Biarlah,
bawalah kemari,” jawab orang tua itu. Akhirnya pengawal itu membawa Arya
Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara masuk ke dalam pondok itu. Ketika Ki
Ageng Sora Dipayana dan Wulungan melihat Arya, merekapun menjadi terkejut.
Dengan serta merta Ki Ageng Sora Dipayana menyapanya,
“Kau Arya.”
Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mengangguk hormat.
“Ya, Eyang,”
jawab Arya. Dengan pertanyaan yang melingkar-lingkar di dalam rongga dada,
orang tua itu mempersilahkan tamunya bertiga untuk duduk di atas tikar, di
bawah cahaya obor yang samar-samar. Namun meskipun demikian, Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara dapat menangkap, betapa perasaan orang tua itu bergolak.
“Kedatangan
kamu mengejutkan kami di sini, Arya,” kata kakeknya perlahan-lahan.
“Apakah kau
mempunyai keperluan yang tak dapat ditunda lagi sampai persoalanku dengan
orang-orang dari golongan hitam itu selesai?”
ARYA Salaka,
Mahesa Jenar dan Kebo kanigara segera menangkap kecemasan hati Ki Ageng Sora
Dipayana. Agaknya orang tua itu menjadi gelisah, kalau Arya Salaka kemudian
mengubah pendiriannya tentang tuntutannya atas Banyubiru.
“Kapankah
kira-kira persoalan Eyang akan selesai?” tanya Arya.
Ki Ageng Sora
Dipayana menggelengkan-gelengkan kepalanya, jawabnya,
“aku tidak
tahu Arya. Besok, lusa atau seminggu, dua minggu lagi. Seandainya persoalan ini
selesai, akupun tidak dapat membayangkan bentuk penyelesaiannya. Apakah
orang-orang dari golongan hitam itu akan dapat aku usir dari Pamingit atau
kamilah yang harus binasa dalam pelukan kewajiban kami.”
Arya Salaka
mengerutkan keningnya. Perasaan ibanya kembali melonjak-lonjak. Karena itu
kemudian ia berkata,
“Dapatkah aku
ikut mempercepat penyelesaian ini Eyang?”
Ki Ageng Sora
Dipayana terkejut. Diangkatnya wajahnya yang telah dipenuhi oleh jalur-jalur
umurnya, namun kesegaran dan kewibawaan yang terpancar dari wajah itu
mengesankan bahwa Ki Ageng Sora Dipayana adalah seorang yang berjiwa besar dan
penuh dengan pengalaman hidup. Tetapi kali ini orang tua itu tidak segera dapat
mengerti maksud Arya Salaka. Dengan pandangan yang dipenuhi oleh
persoalan-persoalan ia bertanya,
“Apakah yang
akan kau lakukan Arya?”
Arya Salaka
menggeser tempat duduknya, ia tidak segera menjawab, tetapi ia memandang saja
kepada gurunya. Agaknya ia minta kepada Mahesa Jenar untuk menyampaikan
maksudnya kepada kakeknya, supaya segala sesuatu dapat menjadi jelas, karena ia
merasa bahwa ia tidak pandai untuk menyampaikan perasaan dengan kata-kata.
Mahesa Jenar menangkap maksud Arya Salaka, dan karenanya ia menganggukkan
kepalanya.
Tetapi sebelum
Mahesa Jenar berkata, terdengarlah suara riuh diluar pondok itu.
“Ada apa
diluar?” tanya Ki Ageng sora Dipayana. Kemudian seseorang masuk ke dalam
ruangan itu. Setelah duduk bersila dengan hormatnya, ia berkata,
“Ki Ageng,
laskar Ki Ageng Lembu Sora yang terpaksa ditarik mundur telah datang.”
Orang tua itu
menarik napas dalam-dalam, Sambil mengangguk-angguk ia berkata,
“Di manakah
Lembu Sora dan Sawung Sariti?”
“Sedang menuju
kemari,” jawab orang itu.
“Baiklah,”
sahut Ki Ageng Sora Dipayana pendek.
Sebelum orang
itu keluar, masuklah orang yang dikatakannya. Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung
Sariti. Pakaian mereka yang bagus telah menjadi kotor dan kumal. Sedang wajah
mereka yang dilapisi oleh debu berminyak tampak membayangkan betapa perasaan
mereka bercampur baur bergolak dalam dada mereka. Kedua orang itu terkejut
sekali ketika mereka melihat Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara berada
di dalam ruangan itu. Tetapi sebelum mereka menyapanya, terdengar Ki Ageng Sora
Dipayana bertanya,
“Bagaimana
dengan laskarmu?”
Lembu Sora
menggeram.
“Terpaksa aku
tarik kemari,” jawabnya.
“Seluruhnya?”
tanya ayahnya pula.
“Ya.” Ia masih
ingin berkata lagi, namun agaknya ia menjadi ragu. Karena itu sekali lagi ia
memandang Arya Salaka dengan tajamnya. Kemudian terdengar ia bertanya kasar,
“Ada apa anak
itu ke sini?”
“Duduklah.” Ki
Ageng Sora Dipayana menyilahkan.
“Biarlah kita
berbicara. Aku belum sampai pada pertanyaan itu.”
Dengan segan
Lembu Sora dan Sawung Sariti duduk. Namun mereka masih memandang Arya dengan
sorot mata yang asing.
“Aku sedang
bertanya kepadanya.“ Ki Ageng Sora Dipayana berkata setelah Lembu Sora dan
Sawung Sariti duduk.
“Kau akan
memaksakan kehendakmu ketika kami sedang dalam kesulitan, kakang Arya.” Sawung
Sariti mendahuluinya. Arya Salaka memandang adik sepupunya dengan sudut
matanya, namun ia tidak menjawab.
“Nah, Arya.
Berkatalah, apakah maksud kedatanganmu kemari.” Ki Ageng Sora Dipayana
menengahi.
Kembali Arya
memandang gurunya. Dan kembali Mahesa Jenar sadar bahwa muridnya memerlukan
bantuannya. Tetapi sebelum Mahesa Jenar menjawab, terdengarlah Ki Lembu Sora
berkata,
“Jangan
ragu-ragu. Katakan apa yang tersirat di dalam hatimu. Sebenarnya kami tidak
perlu bertanya lagi. Terlihat dari wajahmu. Sebab apa yang tersirat di dalam
hati, pasti akan terbayang pada tata lahir. Lihatlah betapa kelam warna
wajah-wajah kalian, pakaian kalian dan laskar kalian. Apakah kalian memungkiri
bahwa kalian termasuk di dalam deretan golongan hitam?”
Betapa
tersinggungnya hati Arya Salaka dan Mahesa Jenar mendengar kata-kata itu. Tanpa
sesadarnya Mahesa Jenar mengamati warna pakaiannya. Hijau gadung. Memang betapa
kelam warna itu. Dan ketika tiba-tiba matanya terlempar kepada baju Arya, ia
menarik nafas dalam-dalam. Arya Salaka mengenakan baju pendek sangat sederhana.
“Hmm….”
Terdengar ia menggeram. Tetapi sebelum ia sempat menjawab, tiba-tiba
terdengarlah Kebo Kanigara berkata dengan sarehnya.
“Ki Ageng
Lembu Sora. Janganlah Ki Ageng mempersoalkan pakaian-pakaian kami. Kesederhanaan
bentuk lahiriah bukanlah karena kekelaman hati. Betapa tenang warna hijau
gadung yang gelap dan betapa sederhananya pakaian Arya Salaka dan laskarnya. Ki
Ageng, jangan biasakan membaca batin seseorang pada tata lahirnya yang nampak.
Seseorang yang yang berpakaian indah, dengan tretes intan berlian, apakah pasti
bahwa ia berhati indah? Sedangkan mereka dalam tata lahirnya nampak kelam dan
jelek, apakah Ki Ageng pasti bahwa hatinya hitam?”
Tiba-tiba
terdengar Ki Ageng Lembu Sora tertawa nyaring. Sedangkan Sawung sariti
mencibirkan bibirnya dengan penuh hinaan. Katanya,
“Sebuah
dongeng yang bagus.”
“Benar Ki
Ageng,” sahut Kebo Kanigara.
“Sebuah
dongeng yang bagus.”
“Sekarang
katakan keperluanmu,” potong Lembu Sora dengan tidak sabarnya.
“Menuntut balas
? Menuntut supaya Lembu Sora dipenggal lehernya atau apa? Kalian benar-benar
dapat kembali gunakan kesempatan sebaik-baiknya. Kemudian kau dapat memiliki
Banyubiru, dan Pamingit akan kau jadikan sebagai hadiah buat golongan hitam
itu.”
Tubuh Arya Salaka
tiba-tiba menjadi bergetar. Ia menjadi sangat kecewa mendengar kata-kata
pamannya. Namun demikian terdengar Kebo Kanigara merkata-kata dengan tenangnya,
“Ki Ageng.
Memang kadang-kadang terjadilah hal-hal diluar dugaan wajar. Tetapi sebenarnya
tidak perlu Ki Ageng menjadi heran maupun curiga. Aku juga pernah mendengar
sebuah cerita yang menarik. Cerita anak-anak bersumber pada cerita Panji.
Meskipun Candrakirana selalu mendapat perlakuan yang tidak baik dari
orang-orang yang ditemuinya, baik dalam cerita Klenting Kuning maupun dalam
cerita Limaran dan lain-lain, namun ia tidak pernah mendendamnya. Bahkan
akhirnya ketika ia mendapatkan kamukten-nya kembali, orang-orang yang pernah
mendurhakainya itupun dimuliakannya pula.”
Ki Ageng Sora
Dipayana mengerutkan keningnya. Cepat-cepat ia mendahului Lembu Sora,
“Mudah-mudahan
aku dapat menduga maksud cerita itu. Nah, cucuku Arya Salaka, katakan apa
maksud kedatanganmu.”
Dada Arya
Salaka masih tergetar oleh perasaan kecewa. Karena itu Mahesa Jenar
mewakilinya,
“Ki Ageng,
Arya Salaka datang dengan laskarnya. Sebagai bakti seorang cucu kepada
pepundhen-nya. Ia bersedia menempatkan dirinya di bawah pimpinan Ki Ageng untuk
ikut serta mengusir golongan hitam itu.”
Pondok kecil
itu seolah-olah menjadi tergetar oleh kata-kata itu. Mereka sama sekali tidak
menduga bahwa demikianlah maksud kedatangan anak itu. Ki Ageng Lembu sora
seketika itu terdiam seperti patung. Ada sesuatu yang tiba-tiba bergelora di
dalam rongga dadanya. Sesaat ia kehilangan kesadaran diri. Seperti ia sedang
terbang didunia mimpi. Dengan susah payah ia berusaha untuk meyakinkan
pendengarannya.
Sedangkan Ki
Ageng Sora Dipayana kemudian menundukan wajahnya. Keluhuran hati anak itu telah
memukul jantungnya sedemikian hebatnya sehingga tiba-tiba tanpa sesadarnya,
dari matanya mengembanglah air mata, yang menetes satu-satu di atas
pangkuannya. Sebagai seorang laki-laki, Ki Ageng Sora Dipayana telah mengalami
kesulitan, penderitaan dan kepahitan. Namun ia tak pernah membiarkan
perasaannya hanyut dan tenggelam dalam kesulitan itu. Sekarang, tiba-tiba ia
tak mampu menguasai diri, sehingga satu-satu jatuhlah air matanya. Untuk sesaat
ruangan itu terlempar ke dalam kesepian. Hanya nafas mereka yang saling
memburu, terdengar sedemikian jelasnya. Di luar, terdengarlah derap para
pengawal hilir mudik melakukan kewajibannya dengan tertib. Kemudian dengan
gemetar terdengar suara Ki Ageng Sora Dipayana,
“Arya, coba
ulangilah kata-kata Angger Mahesa Jenar, supaya aku menjadi yakin karenanya.”
“Benar Eyang’”
jawab Arya,
“Aku datang
dengan laskarku. Aku ingin menunjukkan, apakah yang dapat aku serahkan sebagai
tanda baktiku kepada orang tuaku. Sebagai pernyataan terima kasih serta sebagai
suatu kenyataan atas adaku.”
Ki Ageng Sora
Dipayana menjadi semakin terharu karenanya. Sambil mengangguk-angguk kepalanya
ia memandangi anaknya, Lembu Sora yang masih duduk kaku di tempatnya.
“Kau dengar
Lembu Sora ?” tanya Ki Ageng Sora Dipayana.
Lembu Sora
seperti orang yang tersadar dari mimpinya. Ia menarik nafas dalam-dalam. Matanya
yang mula-mula memancarkan kemarahan tiba-tiba menjadi pudar. Ia ingin
menyatakan perasaannya yang bergelora di dalam dadanya, namun yang keluar dari
mulutnya dengan suara yang bergetar hanyalah,
“Ya, aku
dengar ayah.”
Ki Ageng Sora
Dipayana mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kepada Arya Salaka ia
bertanya,
“Dimanakan
laskarmu sekarang, Arya ?”
“Beberapa
tonggak di sebelah utara desa ini, Eyang.” Jawabnya.
“Bawalah
mereka mendekat, supaya segala perintah dapat tersalur dengan cepat
sebaik-baiknya,” perintah Ki Ageng Sora Dipayana.
“Baik, Eyang’”
jawab Arya. Kemudian iapun berdiri dan mohon diri untuk membawa laskarnya masuk
ke Pangrantunan. Sedang Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tinggal bersama-sama
dengan eyangnya di pondok itu.
Di halaman,
Arya Salaka terkejut ketika seseorang menggamitnya sambil berkata,
“Aku turut
dengan tuan, supaya tidak terjadi salah pengertian dengan laskar Ki Ageng Lembu
Sora.”
Baru Arya
Salaka sadar bahwa ia berada di daerah peperangan antara laskar-laskar yang
pernah berhadapan sebagai lawan yang hampir saja menumpahkan darah. Ketika ia
menoleh, Wulungan berjalan di belakangnya.
“Terima kasih
Paman Wulungan.” Jawabnya.
Kemudian
mereka berdiam diri dan berjalan dalam keremangan cahaya bulan muda yang telah
hampir tenggelam. Beberapa orang penjaga mengangguk hormat ketika mereka
melihat Wulungan lewat di depan mereka. Di pinggir desa Pangrantunan, Arya
Salaka melihat laskar yang berserak-serak.
Nampak betapa
parah keadaan mereka. Beberapa orang yang luka masih belum terawat dengan baik.
“Kakang
Wulungan ?” sapa salah seorang dari mereka.
“Ya,“ jawab
Wulungan.
“Bagaimana
keadaan laskarmu ?”
“Parah,“ jawab
orang itu.
“Keadaan
kalian di sini agaknya masih lebih baik.”
“Demikianlah,”
sahut Wulungan,
“Tetapi besok
atau lusa kita akan mengalami keadaan yang sama.”
ORANG itu
tertawa. Seram sekali. Tawa yang sama sekali tidak sedap, sebagai pelepas
kejengkelan dan kemarahan. Hati Arya berdesir ketika ia mengenal orang itu
kembali. Ia pernah melihatnya beberapa tahun yang lampau di Gedangan. Namun ia
berdiam diri. Ketika mereka sudah meninggalkan laskar itu, bertanyalah Arya,
“Paman
Wulungan, benarkah orang tadi bernama Galunggung?”
“Ya. Dari
siapa Angger mengenalnya?” sahut Wulungan.
“Ia termasuk
orang baru di dalam laskar kami. Baru beberapa tahun. Namun karena sifatnya
yang disukai oleh Angger Sawung Sariti, ia cepat sekali menanjak ke tempatnya
yang sekarang. Pengawal pribadi Angger Sawung Sariti.”
Kemudian
kembali mereka berjalan sambil berdiam diri. Angin malam masih mengalir perlahan-lahan
membawa udara yang sejuk. Di langit, bintang-bintang berkedip-kedip dengan
cerahnya. Tiba-tiba terdengar kembali suara Wulungan,
“Angger….”
Arya Salaka
menoleh, namun tidak menjawab.
“Beruntunglah
laskar Banyubiru mendapat seorang pemimpin seperti Angger ini.” sambung
Wulungan. Arya mengerutkan keningnya, “Kenapa Paman?”
“Sudah lama
aku mengagumi kejantanan Angger. Agaknya sifat-sifat ayahanda Gajah Sora
tercermin di dalam hati Angger. Apalagi Angger mendapat asuhan dari seorang
yang mengagumkan dalam perjalanan hidup Angger selama ini, sehingga dengan
demikian sempurnalah sifat-sifat kepahlawanan di dalam tubuh Angger. Orang
setua aku inipun tak akan membayangkan bahwa pada suatu ketika Angger datang
dengan laskar yang segar untuk kemudian membantu pamanda dalam kesulitan ini.
Alangkah jauh bedanya sifat-sifat itu dengan sifat-sifat Angger Sawung Sariti.”
“Jangan
memuji, Paman,” sahut Arya Salaka.
“Aku berkata
atas keyakinan,” jawab Wulungan,
“Aku adalah
salah seorang dari laskar Angger Sawung Sariti itu.”
Arya tersenyum
mendengar pujian itu. Ia sama sekali tidak membanggakan diri karena sifat-sifat
yang baik dan dikagumi orang, tetapi ia berterima kasih kepada Yang Maha Kuasa,
bahwa karena kuasa-Nya, maka ia selalu mendapat petunjuk-petunjuk dan mendapat
sinar terang di hatinya. Selalu diingatnya sebuah ceritera yang pernah
diceriterakan oleh gurunya, tentang dua orang hamba seorang raja dan yang
seorang adalah pemungut pajak yang kejam. Ketika mereka berdua bersama-sama
menghadap raja, maka berkatalah penghulu istana, -Maha Raja yang bijaksana. Aku
adalah orang yang sebaik-baiknya di kerajaanmu. Aku selalu berbaik hati kepada
rakyatmu dan memberikan kepada mereka hadiah-hadiah yang berharga, sehingga
dengan demikian segenap rakyatmu akan mencintai aku. Karena itu, kalau Maha
Raja akan memberi hadiah kepada hambanya, maka akulah orangnya yang paling
pantas untuk menerimanya.- Sedang pemungut pajak itu kemudian bersujud di bawah
kaki Maha Raja yang bijaksana itu, katanya, -Duh Maha Raja yang bermurah hati.
Aku adalah orang yang sejahat-jahatnya di kerajaanmu. Aku telah menjalankan
pekerjaanku dengan lalimnya karena aku inginkan pujian dari atasku. Karena
itulah maka rakyat di kerajaanmu sangat membenci aku. Namun Maha Raja yang
bijaksana, karena itulah aku akan bertobat. Dan aku akan menerima hukuman yang
akan ditimpakan kepadaku atas kelalaianku itu.- Ketika kemudian Raja yang
bijaksana itu memberikan hadiahnya, maka pemungut pajak itulah yang berhak
menerimanya. Bukan penghulu istana. Kemudian ternyatalah bahwa pemungut pajak
itu benar-benar bertobat dan membagi-bagikan hadiahnya kepada mereka yang
pernah dicederainya, sedang penghulu istana kemudian berontak terhadap raja,
hanya karena ia tidak menerima hadiah. Sebab kebaikan yang dilakukan selama itu
hanyalah terdorong oleh keinginannya untuk menerima hadiah. Demikianlah Arya
Salaka menerapkan ceritera itu dalam hidupnya sehari-hari. Kebaikan dan
keikhlasannya berkorban bukanlah semata-mata karena jiwa pengabdiannya serta
kesetiaannya pada kewajibannya.
Beberapa
langkah kemudian sampailah mereka di pusat pengawalan. Ketika mereka melihat
Wulungan dan seorang lain lewat, segera pemimpin pengawal itu membungkuk hormat
kepadanya sambil menyapa,
“Kakang
Wulungan…?”
“Ya,” jawab
Wulungan,
“Bagaimana
keadaannya?”
“Selama ini
baik, Kakang,” jawab orang itu.
“Tak ada yang
mencurigakan?” tanya Wulungan pula.
“Tidak
Kakang,” jawab orang itu.
“Bagus. Aku
akan pergi sebentar. Menjemput laskar Banyubiru,” sahut Wulungan.
“Laskar
Banyubiru…?” Orang itu menjadi heran. Bahkan beberapa orang lainpun menjadi
keheranan pula sehingga mereka mendesak maju.
“Ya,” jawab
Wulungan sambil memperhatikan wajah-wajah yang kecemasan itu. Beberapa orang
menjadi saling berpandangan. Berita kedatangan laskar Banyubiru itu bagi mereka
seakan-akan bunyi kentong pelayatan atas jenazah mereka. Melihat kegelisahan
yang membayang itu Wulungan menyambung kata-katanya,
“Mereka akan
datang membantu kita.”
“He…?”
terdengar mereka berteriak terkejut.
“Membantu kita
atau membinasakan kita?” Para pengawal itu masih ingat dengan jelas beberapa
hari yang lalu mereka sudah berhadapan dengan laskar Banyubiru itu dengan
kesiapan-kesiapan tempur.
“Percayalah
kepadaku. Mereka datang untuk membantu kita menumpas golongan hitam itu.”
Wulungan menjelaskan.
“Suatu harapan
yang akan mengecewakan,” sahut pemimpin pengawal itu.
“Dengarlah
sendiri apa yang dikatakan oleh pemimpin laskar Banyubiru itu,” berkata
Wulungan.
“Pemimpin
laskar Banyubiru? Siapakan dia dan di manakah dia?” tanya beberapa orang
bersama-sama.
“Arya Salaka.
Inilah orangnya,” jawab Wulungan.
KEMBALI mereka
terkejut. Orang itulah yang tadi datang bersama-sama dengan dua orang lainnya,
yang mengatakan bahwa mereka adalah utusan Arya Salaka. Ternyata anak muda yang
membawa tombak itu sendirilah yang bernama Arya Salaka. Ketika mereka masih
keheranan, terdengarlah Arya Salaka berkata,
“Jangan
berprasangka. Aku datang untuk membantu kalian. Bukankah kalian seperti kami
juga dari Banyubiru, adalah pewaris Tanah Perdikan Pangrantunan?”
Wajah-wajah yang
sudah pucat karena putus asa itu tiba-tiba menjadi berangsur merah. Saat-saat
terakhir mereka hanya dapat menunggu sampai tangan-tangan hitam itu
membinasakan mereka satu demi satu. Tetapi tiba-tiba terulurlah tangan Arya
Salaka untuk menyelamatkan mereka. Karena itu tiba-tiba melonjaklah keharuan di
dada mereka. Sehingga tanpa sesadarnya pemimpin pengawal itu segera berjongkok
di hadapan Arya sambil berkata,
“Tuan, Tuan
datang sebagai datangnya malaikat yang akan menyelamatkan kami, tanah kami
serta kebesaran nama Pangrantunan.”
“Aku datang
sekadar menetapi kewajiban,” sahut Arya sambil menarik lengan orang itu.
“Berdirilah,”
katanya. Orang itu kemudian berdiri. Tetapi kepalanya tertancap jauh ke tanah
dekat di ujung ibu jari kakinya. Terlintas di dalam kepalanya, kepahitan hidup
yang dialaminya bersama-sama laskar Lembu Sora yang lain. Kecurangan, kenaifan
dan sifat-sifat yang lain. Sekarang terasa betapa jujur kata-kata anak muda
itu. Arya Salaka yang selama ini dikejar-kejar oleh laskar Pamingit untuk
dibunuhnya. Oleh kenangan itu terasa bahwa mulutnya tiba-tiba seperti
tersumbat. Banyak sekali terima kasih yang akan diucapkan, namun tak sepatah
katapun yang terlahir. Yang terdengar kemudian adalah kata-kata Wulungan,
“Kami akan
berjalan. Perintahkan kepada para pengawal untuk tidak berbuat hal-hal yang
dapat menimbulkan salah mengerti antara laskar Pamingit dan laskar Banyubiru.
Kami seterusnya akan bersama-sama berjuang untuk tanah kami.”
“Baik Kakang,”
jawab pemimpin pengawal itu. Arya Salaka bersama-sama Wulungan kemudian
meneruskan perjalanannya, menjemput laskar Banyubiru yang ditinggalkan beberapa
tonggak dari Pangrantunan. Berita tentang akan datangnya laskar Banyubiru
itupun segera tersebar. Dalam waktu yang sangat singkat. Setiap pengawal yang bertugas
telah mendengarnya. Berbagai tanggapan bergelut di dalam dada mereka.
Setengahnya mereka tidak percaya, sedang setengahnya menjadi gembira. Kalau
pada umumnya mereka telah berputus asa, tiba-tiba timbullah harapan dan gairah
mereka kembali atas tanah mereka. Meskipun mereka belum yakin bahwa di dalam
laskar Banyubiru itu ada orang-orang yang tangguh seperti Ki Ageng Lembu Sora
dan Sawung Sariti, apalagi seperti Ki Ageng Sora Dipayana dan pendatang yang
aneh, yang mirip dengan perempuan dan bernama Titis Anganten. Namun
setidak-tidaknya nasib mereka berbagi. Di dalam pondok kecil masih berkumpul Ki
Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Lembu Sora, Sawung Sariti, Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara. Tiba-tiba timbullah keinginan Ageng Sora Dipayana untuk melihat laskar
Banyubiru itu. Apakah mereka akan dapat memberikan bantuan yang berarti.
“Marilah kita
lihat laskar Arya itu,” katanya. “Marilah Ki Ageng,” jawab Mahesa Jenar.
Tiba-tiba
Sawung Sariti tersenyum. Senyum yang kecut, sambil berkata,
“Ayah,
dapatkah anak itu kami percaya?” Mata Lembu Sora masih saja membayangkan
kekeruhan hatinya. Sebenarnya ia melihat betapa wajah kemanakannya benar-benar
meyakinkan, bahwa anak itu telah berkata dengan jujur. Karena itu ia tidak
dapat menjawab pertanyaan anaknya. Yang terdengar adalah jawaban Ki Ageng Sora
Dipayana,
“Kau terlalu
dihantui oleh perasaanmu sendiri cucuku. Percayalah kepada kakangmu. Aku yang
menjadi jaminannya.”
Mendengar
kata-kata itu, tiba-tiba Ki Ageng Lembu Sora berkata pula,
“Aku
mempercayainya Sawung Sariti.”
Mata Sawung
Sariti menjadi redup. Senyum yang aneh membayang di bibirnya. Tiba-tiba Mahesa
Jenar menjadi muak melihat senyum itu, mirip benar seperti senyuman Jaka Soka
dari Nusakambangan. Namun demikian ia tidak berkata apa-apa. Mereka semuanya kemudian
melangkah keluar pondok itu dan berjalan untuk melihat laskar Arya Salaka yang
akan datang masuk ke Pangrantunan.
No comments:
Post a Comment