Bagian 092


“LALU?” Prabasemi menjadi tidak sabar.
“Aku minta maaf atas kelancanganku, atas pesan yang aku sampaikan itu.”
“Lalu?” Prabasemi menjadi tidak sabar.
“Putri memaafkan aku, dan putri juga minta maaf kepadaku.”
“He?” Prabasemi semakin terkejut,
“Putri minta maaf kepadamu?”
“Ya,” sahut Karebet,
“Dan putri memberikan pesan pula untuk Ki Tumenggung.”
“Jadi putri kenal aku?” tanya Prabasemi. Tetapi ia menjadi kecewa ketika Karebet menggeleng.
“Oh,” katanya,
“Apakah putri belum pernah mendengar nama Prabasemi, perwira Tamtama yang sakti?”
Sekali lagi Karebet menggeleng. Jawabnya,
“Putri menyangka bahwa yang bernama Prabasemi adalah seorang perwira Nara Manggala yang gemuk bulat.”
“Setan!” desis Prabasemi, Katanya,
“perwira itu bernama Gajah Alit.”
“Atau yang beberapa tahun yang lampau meninggalkan istana? Tanya putri itu.” Karebet berkata seterusnya.
“Ah demit itu. Tohjaya yang dimaksud?”
“Mungkin,” sahut Karebet.
“Apakah kau tidak mengatakan, bahwa Prabasemi dari kesatuan Wira Tamtama, bukan Nara Manggala, atau Manggala Sraja atau yang lain-lain?”
“Sudah, Ki Tumenggung. Aku sudah mengatakannya. Dan putri berpesan, agar Ki Tumenggung melupakannya. Melupakan putri itu. Sebab sebentar lagi putri itu sudah akan menginjak masa perkawinannya.?”
“Bohong!” bentak Tumenggung itu,
“Putri itu bohong, atau kau yang bohong?”
“Aku tidak bohong Ki Tumenggung. Aku benar-benar pernah menghadap putri. Dan kalau Ki Tumenggung tidak percaya, inilah, aku dapat membuktikannya.”

Ki Tumenggung Prabasemi menarik keningnya. Ia melihat Karebet mengambil sesuatu dari ikat pinggangnya. Kemudian ditunjukkannya kepada Prabasemi. Dan inilah kesalahan Karebet yang terbesar, yang telah menjerumuskannya pada keadaan yang pahit. Sehingga akhirnya ia terpaksa diusir dari istana. Bahkan hampir saja jiwanya menjadi korban pula karenanya. Prabasemi itu menggigil ketika ia melihat di tangan Karebet tergenggam sekuntum bunga yang telah layu. Tumenggung itu segera mengetahui maksud mas Karebet. Ia tahu pasti bahwa Karebet berbohong. Ia tahu pasti bahwa Karebet mengatakan kepadanya, bahwa harapannya itu tidak lebih daripada setangkai layoning kembang. Karena itu, Prabasemi itu menjadi marah. Wajahnya segera menjadi merah menyala, dan giginya gemeretak.
Karebet terkejut melihat akibat permainannya. Ia memang ingin bermain-main dengan Tumenggung itu. Tetapi ia tidak menyangka bahwa akibatnya akan sedemikian parahnya. Tumenggung yang marah itu dengan serta merta menarik bajunya sehingga tubuh Karebet hampir terangkat karenanya.
Dengan gemetar Prabasemi berkata,
“Kau menghina aku Karebet?”
“Tidak Kiai, tidak,” sahut Karebet.
Tetapi mata Tumenggung Prabasemi benar-benar telah merah, semerah darah. Katanya pula,
“Aku sangka kau adalah bawahanku yang paling setia. Tetapi ternyata kaulah yang pertama-tama menghina aku.”
“Bukan maksudku Ki Tumenggung. Aku hanya ingin memperingatkan Ki Tumenggung, bahwa gegayuhan itu terlalu jauh jangkauannya,” jawab Karebet.
“Persetan dengan mulutmu. Kau adalah bawahanku. Pangkatmu lebih rendah dari pangkatku, umur lebih muda dari umurku. Jangan menggurui aku.”
Karebet tidak menjawab. Ia tidak mau membuat Tumenggung itu menjadi semakin marah. Seandainya ia menjawab satu patah kata saja lagi, maka sudah pasti mulutnya akan ditampar oleh Tumenggung yang sudah lupa diri. Dan sudah pasti ia akan membalasnya. Namun untunglah bahwa Karebet berhasil menguasai dirinya.

SEJAK saat itu, maka Prabasemi tak memerlukan Karebet lagi. Seandainya Karebet bukan seorang yang langsung diambil oleh Sultan dari pinggir blumbang, dan diserahkan kekesatuannya, maka Karebet itu pasti sudah dipecat, diusir bahkan sudah dibunuhnya. Tetapi Prabasemi itu masih takut, seandainya Sultan memerlukan anak itu. Namun sejak itu, Prabasemi menjadi semakin gila. Ia ingin membuktikan bahwa suatu ketika ia akan berhasil menemui puteri Sultan itu dan berhasil memikatnya. Tumenggung bukan pangkat yang terlalu rendah. Dalam peperangan ia telah berhak untuk memegang jabatan panglima dalam laskar segelar sepapan. Dan ia yakin kesaktiannya akan ikut menentukan pula keadaan dirinya. Juga akan dapat menentukan apakah puteri Sultan itu akan menaruh perhatian akan dirinya atau tidak. Prabasemi pernah mendengar juga nama-nama perwira yang pernah menggemparkan Demak. Seorang kawannya dari angkatan yang lebih tua, dari kesatuan Nara Manggala, bernama Gajah Alit tak kurang saktinya. Seorang lain dari panglima pasukan Demak yang berada di Bergota. Arya Palindih, adalah orang yang sakti.
“Tetapi apakah kau tidak dapat menyamai kesaktian mereka?” katanya dalam hati

Tetapi sebagai seorang perwira yang masih muda, ia hampir tidak pernah mendapat kesempatan untuk pergi bersama-sama dengan mereka yang mempunyai nama dalam keprajuritan Demak. Sehingga dengan demikian, maka Prabasemi itu belum pernah mendapat kesempatan untuk melihat atau memperlihatkan kesaktiannya masing-masing angkatan sebelumnya dan dirinya sendiri. Itulah agaknya yang menyebabkan Prabasemi haus pada kesempatan kesempatan demikian. Perang merupakan lapangan permainan yang digemarinya, sekedar untuk mengukur diri. Tak pernah diperhatikannya, apakah akibat dari peperangan itu. Tak pernah terpikirkan olehnya, berapa orang yang gugur. Ia ingin namanya akan semakin menanjak keatas, merayap kesamping nama-nama yang pernah didengar sebelumnya. Dengan demikian Prabasemi merupakan Perwira yang namanya dikenal karena tindakannya yang kasar. Setiap persoalan yang betapapun kecilnya atas daerah wilayah Demak, bahkan daerah perdikan akan diselesaikan oleh Prabasemi dengan kekerasan. Dengan dalih yang dibuat-buat, Prabasemi selalu mengakhiri tugasnya dengan pertumpahan darah. Ada anak buah yang senang dengan kebiasaan itu, namun ada yang membencinya. Karebet termasuk orang yang muak dengan perbuatan itu. tetapi sebagai seorang yang patuh pada ketetapan yang berlaku dalam lingkungan Wira Tamtama, maka tak banyak yang dapat ia lakukan. Dan sebenarnya untuk sementara Prabasemi mendapat sambutan baik dari atasannya. Seakan-akan semua tugas yang diserahkannya pasti dapat diselesaikannya. Dan kini Prabasemi telah sampai pada tangga yang cukup tinggi. Tumenggung. Namun nafsunya yang berlebihan masih belum juga surut.
Bahkan kini ia terdorong dalam satu persoalan yang lebih gila lagi. Wajah puteri bungsu itu tak pernah dilupakannya. Dan ia bertekad untuk suatu ketika bertemu dengan gadis itu. Apa yang dilakukan Karebet ternyata telah mendorongnya ke sudut yang semakin gelap.

Tetapi sementara itu Karebetpun menjadi semakin gila. Sejak ia tahu Prabasemi kasmaran kepada puteri Sultan, sejak itu ia bertambah jauh tenggelam dalam permainan yang berbahaya. Sebenarnya ia mengatakan apa yang diketahuinya tentang Prabasemi kepada puteri itu. Namun puteri berkata kepadanya
“terserah kepadamu Karebet.”
“Apakah artinya aku ini puteri,” kata Karebet
“Aku tidak lebih dari seorang Tamtama, sedangkan Prabasemi adalah Tumenggung sakti.”
Karebet hampir menjadi lupa diri ketika melihat puteri itu tersenyum sambil berkata,
“Kalau kau mau Karebet, aku tidak hanya sekedar mendapatkan Tumenggung, tetapi aku akan mendapatkan seorang Bupati Nayaka atau seorang Adipati.”
Dada Karebet menjadi semakin berdebar-debar,
“Kenapa puteri tidak mau?”
“Apakah kau menghendaki demikian?” bertanya puteri itu.
“Ah,” desah Karebet.
“Aku sedang berfikir, bagaimana cara sebaik-baiknya untuk bunuh diri.”
“Kenapa bunuh diri?”
“Aku tak sanggup melihat Puteri dipersandingkan. Mungkin dengan seorang Adipati, Pangeran dan dengan Tumenggung Prabasemi.”
“Jangan mengigau Karebet,” potong puteri itu.
Karebet tersenyum. Kemudian katanya,
“lalu bagaimana aku harus mengatakan kepada Tumenggung yang gagah itu ?”
“Terserah kepadamu. Mungkin kau akan mengatakan kepadanya bahwa aku akan menerima lamarannya.”
Demikianlah Karebet semakin yakin akan dirinya. Ia tidak akan dapat disisihkan oleh Tumenggung yang dipenuhi segala macam nafsu itu.

TETAPI Tumenggung Prabasemipun tidak putus asa. Dihubunginya beberapa emban, disuapnya dengan uang, pakaian dan benda berharga lainnya. Dimintanya mereka menyampaikan beberapa pesan untuk puteri itu. Namun usaha Tumenggung itupun sia-sia. Puteri Sultan Trenggana tak pernah memperhatikan pesan itu. Dan bahkan puteri selalu berpura-pura belum pernah mendengar nama Prabasemi. Dengan demikian Prabasemi semakin prihatin. Kadang bila pikiran jernih datang, maka disadarinya bahwa yang dilakukannya adalah laku seorang gila. Namun apabila dikenangnya wajah itu, maka pikiran gilanya kembali menguasai kepalanya.
Dan terjadilah suatu peristiwa. Peristiwa tak disangka-sangka oleh Prabasemi. Ketika pada suatu hari, seorang emban yang telah disuapnya berlari kepadanya.
“Ada apa ? Apakah puteri memanggil aku?”
Emban menggeleng, dan Tumenggung menjadi kecewa.
“Ki Tumenggung, aku tidak yakin usaha Ki Tumenggung akan berhasil”
Tumenggung Prabasemi membelalakkan matanya.
“Apa katamu?”
“Ki Tumenggung, seseorang telah mendahului menyentuh hati tuan puteri…”
“He, “ Prabasemi terkejut sekali sehingga terjingkat.
“Seseorang telah mendahului Ki Tumenggung”
“Bohong, aku juga pernah dibohongi demikian,” teriaknya
“Aku tidak bohong,” sahut emban.
“Apakah kau dapat mengatakannya, siapakah yang telah mendahului aku ?”
“Anak muda itu pernah datang ke keputren. Dan kali ini aku melihatnya sendiri.”
“Gila, apakah para prajurit Nara Menggala tidur semua ?”
“Anak muda itu selalu datang ke istana. Baginda sering memanggilnya, sehingga para Nara Manggala selalu melepaskannya untuk masuk ke mana saja yang disukainya.”
“Siapa dia ?”
“Aku tidak kenal namanya. Tetapi ia dari Wira Tamtama seperti Ki Tumenggung.”
“Gila, siapa dia ? He, siapa ?” wajah Tumenggung itu menjadi merah padam. Ia percaya kata-kata emban itu. Karena itu maka dadanya bergetar seperti seratus guntur meledak bersama-sama didalamnya. Emban tidak dapat menjawab. Memang ia tidak tahu siapakah nama anak muda itu. Namun ia dapat mengatakan, bahwa Baginda sering memanggilnya untuk memijat kakinya. Atau kadang-kadang anak muda itu diajak bermain panah, membidik sasaran-sasaran yang aneh-aneh. Dan bahkan bermain kecerdasan. Macanan atau mul-mulan dengan asyiknya. Mendengar keterangan emban itu, menggigilah tubuh Prabasemi. Dengan suara yang parau gemetar ia bertanya,
”Apakah anak muda itu masih sangat muda?”
“Ya,” jawab emban itu.
“Bertubuh tegap, berdada bidang ?”
“Ya.”
“Selalu tersenyum ?”
“ya.”
“Gila. Setan itu bernama Karebet ? Kau dengar ?” bentak Prabasemi.

Kini ia benar-benar kehilangan kesabarannya. Seandainya Karebet ada dihadapannya, maka sudah pasti ia akan berusaha membunuhnya. Tetapi yang ada kini adalah emban itu. Emban yang menggigil ketakutan.
“Kau lihat sekarang orang itu berada di keputren ?”
“Ya.” Emban itu mengangguk.
“Aku akan kesana. Aku bunuh anak itu,” teriak Prabasemi.
“Jangan Tuan,” pinta emban itu.
“Kenapa ?”
“Tuan, apakah Tuan mungkin melampaui penjagaan Nara Manggala seperti anak muda itu ?”

PRABASEMI menggeram. Ia tidak mempunyai wewenang apa pun untuk memasuki bagian dalam istana seperti Karebet. Kalau ia memaksa, maka ia akan berhadapan dengan Nara Manggala. Sedang kalau Nara Manggala itu dimintanya untuk menyergap kaputren beramai-ramai, maka Karebet pasti sempat melarikan diri. Dan apabila tidak ditemui bukti, maka Baginda pasti akan murka. Meskipun perasaan Prabasemi pada waktu itu seolah-olah sedang menyala, namun naluri keprajuritannya telah mencegahnya untuk bertindak. Karena itu, Tumenggung itu hanya bisa menggeram dan menghentak-hentakkan kakinya. Dengan gemetar ia berdiri dan berjalan mondar-mandir sambil mengumpat,
“Setan, Karebet itu. Seharusnya ia dibunuh.” Namun akhirnya Tumenggung itu pun berhenti mondar-mandir. Ditatapnya wajah emban yang ketakutan itu. Dan tiba-tiba Tumenggung Prabasemi tersenyum.
Emban yang ketakutan itu pun terkejut melihat perubahan sikap Prabasemi yang tiba-tiba itu. Namun ia tidak berani bertanya sesuatu. Bahkan ia menjadi semakin gelisah ketika kemudian Prabasemi itu berhenti beberapa langkah dihadapan emban yang duduk sambil menundukkan wajahnya.
“Emban…” katanya,
“Sudahlah, biarlah Gusti Putri itu menuruti kehendak sendiri.”
Emban itu menjadi semakin heran. Sekali ia mengangkat wajahnya dengan sorot matanya yang penuh mengandung pertanyaan.
“Namun putri itu pun harus mendapat pelajaran. Aku tak akan dapat berbuat apa pun untuknya. Karena itu Emban, apakah tidak sebaiknya melaporkannya kepada ibunda permaisuri apabila kau melihat anak muda itu datang kembali?”
Emban menggeleng,
“Aku tidak berani tuan. Dan dengan demikian maka akibatnya pun akan jauh sekali. Mungkin putri akan dihukum di dalam istana, dan mungkin anak muda itu dapat dihukum mati.” Prabasemi tertawa. Katanya,
“Bukankah itu hukuman yang wajar?”
“Putri akan berduka.”

Prabasemi tertawa. Katanya seterusnya,
“Jadi apakah sebaiknya dibiarkan saja perbuatan gila itu? Apakah dengan demikian kau sendiri tidak akan digantung kelak apabila kedua anak-anak muda itu terdorong kedalam keadaan yang makin parah?”
Emban itu terdiam. Kata-kata Prabasemi itu memang benar. Seandainya Gusti Putri itu terperosok dalam perbuatan yang lebih sesat lagi, maka dirinyapun akan mendapat hukuman pula beserta seluruh emban yang lain. Selagi ia sibuk menimbang-nimbang, emban itu terkejut ketika dipangkuannya jatuh sebentuk cincin emas yang berkilat-kilat. Dengan mulut ternganga ia menengadahkan wajahnya menatap wajah Prabasemi. Prabasemi itu masih tersenyum. Katanya,
“Pakailah, supaya kau tidak lupa kepadaku. Dan supaya kau tidak lupa nasehatku. Sebaiknya kau laporkan peristiwa-peristiwa semacam itu. Bukankah tugasmu momong Gusti Putri? Dan bagiku Gustri Putri itu sama sekali sudah tidak menarik lagi sejak aku melihat kau.”
“Ah”, desis emban itu. Namun ia pun menjadi berbangga akan kata-kata Prabasemi itu. Bahkan tiba-tiba timbullah keinginan untuk benar-benar dikagumi oleh Tumenggung itu. Sehingga sambil mengerling emban itu berkata,
“Tuan jangan berolok-olok.”

Prabasemi tertawa. Jawabnya,
“Kenapa aku berolok-olok. Aku baru melihat putri itu dari kejauhan, sedang aku telah melihat kau dari dekat. Bukan baru sekali dua kali, tetapi karena kau sering datang kemari, aku telah melihat hampir seluruhnya yang ada padamu. Tingkah lakumu, sifat-sifatmu, senyummu.”
“Ah”, wajah emban itu menjadi kemerah-merahan. Namun ia menjadi semakin berbangga.
“Nah, lakukanlah pesanku itu”, berkata Prabasemi kemudian perlahan-lahan,
“kau akan mendapat hadiah daripadaku. Lebih banyak dari yang sudah aku berikan. Biarlah seandainya putri itu mendapat pingitan yang lebih keras dari ibunda. Aku tidak peduli lagi, asalkan kau tidak ikut dipingit pula.”
Emban itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan ia berjanji untuk melakukannya,
“Ya Ki Tumenggung, akan aku beritahukan kepada Permaisuri apabila anak muda itu datang kembali.”
“Bagus, bagus”, sahut Prabasemi,
“jangan tanggung-tanggung Rumah ini masih kosong.”
Dan emban itu pun berdesir. Tanpa dikehendakinya ia memandang berkeliling ruangan itu. Dilihatnya rumah Tumenggung yang masih muda itu dipenuhi dengan alat-alat rumah tangga yang bagus. Tempat duduk dari kayu berukir, geledek-geledek berukir dan tirai-tirai sutera dimuka sentong tengah dan kedua sentong samping. Bahkan tiang-tiangnya pun diukir pula dengan bagusnya dengan warna-warna sungging yang indah. Tanpa disadarinya pula emban itu tersenyum.

PRABASEMI membiarkan emban itu berangan-angan. Namun hati Tumenggung itu mengumpat,
“Gila pula agaknya emban ini seperti aku. Apa disangkanya ia cukup bernilai untuk bermimpi menjadi istri Tumenggung?” Bibir Tumenggung itu membayangkan sebuah senyum. Dan senyumnya itu telah mendebarkan hati emban yang mabuk kesenangan. Ketika emban itu pergi. Prabasemi masih tersenyum-senyum sendiri. Ia mengharap emban yang telah membawa cincinnya itu memenuhi janjinya. “Apabila benar yang dikatakan itu,” Prabasemi bergumam sendiri,
“Maka umur Karebet itu menjadi amat pendeknya. Kasihan. Tetapi ternyata ia lebih gila daripadaku.”
Tetapi Tumenggung Prabasemi ternyata cerdik. Betapa darahnya mendidih apabila ia melihat Karebet, namun ia selalu dapat menahan dirinya. Bahkan sikapnya kepada Karebet seakan-akan menjadi bertambah baik. Dibawanya anak muda itu ke mana-mana. Dibawanya Karebet itu ketempat-tempat yang disukainya. Ke pasar dan ke warung-warung. Apabila Tumenggung itu membeli kain baru untuk dirinya, maka dibelikannya pula Mas Karebet.
Namun otak Mas Karebet bukan otak yang tumpul. Ia merasakan beberapa perubahan sikap Tumenggung. Mula-mula Tumenggung itu marah kepadanya, tetapi tiba-tiba sikap itu berubah. Meskipun demikian ia belum dapat mengetahuinya dengan pasti, apakah maksud Tumenggung itu sebenarnya. Dan ternyata Mas Karebet meraba ke arah yang tidak tepat. Ia menyangka, bahwa Tumenggung itu sedang menyuapnya supaya ia bersedia menyampaikan pesan-pesannya kepada Gusti Putri. Karena itulah maka Karebet tidak juga menyadarinya, bahwa seakan-akan dari celah-celah setiap pintu kaputren, sepasang mata selalu mengintipnya. Setiap langkah putri bungsu itu tak pernah terlepas dari pengawasan emban yang haus kemukten itu, apalagi Mas Karebet berada di sekitarnya, meskipun dengan bersembunyi-sembunyi.

Akhirnya datang pula saat itu. Ketika malam sedang merayap semakin dalam, dan bintang-bintang dilangit seakan-akan sedang tenggelam dalam pelukan awan yang kelabu. Sekali-kali lidah api yang panjang menyala di langit yang gelap, disusul dengan suara gemuruh diudara. Angin yang dingin bertiup semakin lama semakin kencang. Seorang anak muda berjalan bergegas-gegas masuk ke pintu gerbang dalam halaman istana. Seorang prajurit yang sedang bertugas menyapanya,
“He, berhenti. Siapa?”
Anak muda itu mengangkat wajahnya. Dengan tergesa-gesa ia menjawab,
“Kaki Baginda terkilir.”
“Oh, kau Karebet?” tanya prajurit itu. Karebet tidak menjawab. Ia berjalan terus memasuki pintu gerbang. Dan prajurit bertombak itu kembali ke gardunya.
“Karebet,” gerutunya. Kawannya tersenyum, jawabnya,
“Jangan iri. Baginda amat sayang kepadanya. Bahkan seperti putera sendiri. Setiap kali anak itu dipanggilnya. Ada-ada saja.”
“Kenapa bukan aku?” kelakar orang bertombak itu.
“Aku juga sedang belajar, meloncat mundur sambil berjongkok. Bukankah karena Sultan melihat anak itu berbuat demikian di halaman masjid, maka Karebet itu dipungutnya?”
“Ternyata ia pun merupakan Tamtama yang baik,” jawab yang lain,
“Sebaik Tumenggung yang selalu mabuk tuak itu.”
Beberapa orang prajurit yang sedang berjaga-jaga di gardu itu pun tertawa. Seorang dari mereka yang sedang memegang dadu melemparkannya ke sudut, lalu menguap. Katanya,
“Alangkah dinginnya.”
“Tidurlah,” sahut yang lain,
“Giliranmu adalah seperempat malam terakhir.”
Orang itu tidak menjawab, namun ia merangkak ke sudut. Dan kemudian merebahkan dirinya di samping dua orang lain yang sudah mendengkur. Mereka adalah petugas-petugas yang akan mendapat giliran pada perempat malam terakhir.

KAREBET pun kemudian memasuki halaman dalam istana. Seperti biasa ia berjalan menyusur teritis ke bilik Baginda. Namun ia tersenyum sendiri. Baginda pasti sedang tidur nyenyak di malam yang dingin ini. Tiba-tiba tubuh anak muda itu pun kemudian seakan-akan lenyap di bawah bayang-bayang pepohonan. Tak seorang pun yang melihatnya. Perlahan-lahan ia menyusur di antara tananam di pertamanan itu menuju ke sisi halaman yang lain. Kaputren. Angin malam masih bertiup menggoyangkan daun-daunan dan menggugurkan kelopak-kelopak bunga kering. Lamat-lamat di antara desir angin terdengarlah suara burung bence. Perlahan-lahan dan jarang-jarang. Bukan suara burung yang sesungguhnya. Tetapi tak seorang pun yang mengetahuinya selain Gusti Putri. Dan perlahan-lahan pula, terbukalah pintu kaputren. Sesaat kemudian tertutup kembali. Seorang gadis yang berkerudung kain menyelinap keluar dan berjalan tersuruk-suruk ke samping dinding kaputren itu.
“Ah kau,” desis gadis itu.
Karebet tersenyum. Katanya,
“Apakah Tuan Putri sudah tidur?”
“Belum,” jawab putri itu, “Aku menunggumu.”
Putri itu pun kemudian duduk di tanah di samping Karebet, di balik rimbunnya pertamanan. Sekali-kali kilat masih menyambar di langit dan guruh masih menggelegar satu-satu. Namun kedua anak-anak muda itu sama sekali telah tenggelam dalam keasyikan, sehingga tak dilihatnya cahaya tatit, dan tak didengarnya gemuruh guntur.

Di sudut lain, emban yang mengenakan cincin emas di jari-jarinya dan bersembunyi di balik sudut dinding, tampak tersenyum-senyum. Ia kemudian tidak hanya sekadar ingin menyelamatkan putrinya dari kemungkinan-kemungkinan yang lebih buruk. Namun kemudian ia bahkan mengharap keadaan akan bertambah parah. Bahkan ia mengharap Sultan menjadi sangat murka kepada putrinya, dan kemudian mengenakan pingitan yang sangat berat. Dengan demikian, maka Ki Tumenggung Prabasemi pasti akan melupakannya. Melupakan putri itu. Bukankah dengan demikian, kesempatan baginya menjadi lebih luas lagi? Istri Tumenggung adalah impian yang sangat menyenangkan. Selagi kawan-kawannya masih tetap menjadi emban, dan satu dua akan diambil oleh jajar atau setinggi-tingginya bekel juru taman, maka ia telah menjadi seorang istri Tumenggung. Tumenggung Wira Tamtama. Kini kesempatan itu terbuka baginya. Karena itu, dengan tersenyum ia bergeser surut. Dan sesaat kemudian dengan tergesa-gesa ia berjalan menyusur dinding belakang, menuju bilik Permaisuri. Tetapi, ketika ia sampai di samping bilik itu, ia menjadi ragu-ragu. Apakah Permaisuri mempercayainya, dan apakah akibatnya tidak akan terlalu parah dan menyebabkan Putri berduka? Namun kemudian diingatnya kata-kata Tumenggung Prabasemi,
“Apakah dengan demikian kau sendiri tidak akan digantung kelak apabila kedua anak-anak muda itu terdorong ke dalam keadaan yang semakin parah?”
Ketika emban itu sedang bimbang, ia menjadi terkejut bukan buatan ketika terasa seseorang menggapit pundaknya. Ketika ia menoleh, dilihatnya di belakangnya berdiri seorang emban Permaisuri. Dengan tersenyum, emban itu bertanya,
“He, kenapa kau malam-malam, berada di sini?”
“Oh,” jawab emban Putri Bungsu yang bercincin emas tergagap.
“Tidak apa-apa.”
“Tidak apa-apa?” tanya emban Permaisuri dengan heran. Emban bercincin emas itu diam sesaat. Dicobanya untuk mengatasi getar di dalam dadanya. Getar yang ditumbuhkan oleh benturan-benturan perasaannya. Namun ketika emban Permaisuri itu mendesaknya, maka terluncurlah kata-katanya,
“Ah. Sebenarnya ada sesuatu yang sangat penting terjadi di kaputren.”
Emban Permaisuri itu mengerutkan keningnya. Katanya,
“Kenapa? Apakah Putri sakit?”
Emban bercincin emas itu menggeleng.
“Tidak,” katanya.
“Lalu kenapa?”
“Berikanlah aku kesempatan menghadap Permaisuri.”
Emban Permaisuri itu berpikir sejenak. Kemudian katanya,
“Apakah persoalan itu sedemikian pentingnya sehingga harus kau sampaikah hari ini?”
“Ya. Sedemikian pentingnya.”
“Tidak dapat ditunda sampai esok pagi-pagi?”
Emban bercincin emas itu menggeleng.
“Tidak,” jawabnya,
“Persoalannya sangat penting dan harus diselesaikan malam ini.”
Emban Permaisuri itu mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia berjalan ke pintu bilik Permaisuri, sedang emban bercincin emas itu mengikutinya.
“Belum lama Permaisuri tidur,” kata emban itu,
“Baru saja Baginda meninggalkan bilik ini. Agaknya ada persoalan yang penting yang sedang dibicarakan dengan Permaisuri.”
“Soal inipun tak kalah pentingnya,” desak emban bercincin emas. Akhirnya emban Permaisuri itu pun mengetuk pintu perlahan-lahan. Tidak biasa hal itu dilakukannya. Namun apabila persoalannya penting sekali, maka Permaisuri pasti tidak akan murka.

SESAAT kemudian terdengar sapa halus dari dalam bilik itu,
“Siapa?”
“Hamba, Gusti.”
“Emban?”
“Hamba, Gusti.”
“Kau mengetuk pintu?”
“Hamba, Gusti.”
“Ada sesuatu?”
“Ya Gusti, emban Gusti Putri ingin menghadap.”
“Oh.”
Dan sesaat kemudian terdengarlah gerit pintu bilik itu. Sebenarnya sinar lampu minyak memercik keluar. Dan Permaisuri itu telah berdiri di ambang pintu.
“Siapakah yang ingin menghadap?”
Emban bercincin emas itu menyembah sambil berkata,
“Hamba Gusti.” Namun terasa suaranya bergetar.
“Ada apakah? Apakah Putri sakit?”
“Tidak Gusti,” sahut emban itu. Suaranya menjadi semakin gemetar. Dan dengan terbata-bata ia berkata,
“Gusti, Putri tidak sedang sakit, tetapi sedang….” Tiba-tiba suaranya seakan-akan tersumbat di kerongkongan.
“Sedang apa?” desak permaisuri.
Keringat dingin mengalir di seluruh wajah kulit emban yang bercincin emas itu. Ia menjadi bertambah gemetar ketika Permaisuri bertanya,
“Apakah persoalan ini sangat penting sehingga kau harus menghadap malam ini?”
“Hamba, Gusti,” jawab emban itu.
“Membawa pesan Putri?”
Emban itu menggeleng,
“Tidak Gusti.”
Permaisuri menjadi heran. Katanya,
“Lalu apakah keperluanmu?”
“Gusti…” jawab emban itu tergagap. Sedang emban permeisuri itu pun tak kalah herannya. Kenapakah kawannya ini? Apakah agaknya ia diganggu oleh hantu-hantu pertamanan?
Dan terdengarlah emban bercincin emas itu meneruskan dengan kata-kata yang patah-patah.
“Gusti. Ampunkanlah hamba. Tetapi sesungguhnyalah bahwa hamba mengatakannya yang sebenarnya. Hendaknya dijauhkannya hamba dari bebendhu.”

Emban itu berhenti sesaat, dan nafasnya menjadi semakin terengah-engah, sehingga permaisuri itu pun menjadi semakin heran.
“Tuanku,” kata emban itu pula,
“Ampunkanlah hamba. Sebenarnya hamba ingin menghaturkan ketakutan hamba atas Tuan Putri di kaputeren.”
“Apa yang akan kau katakan, Emban” tanya Permaisuri.
“Gusti, betapa kami, para emban berusaha untuk mencegahnya, namun apakah kekuasaan kami?”
“Ya emban, tetapi kau belum mengatakan persoalannya.”
“Oh.” Emban itu menarik nafas. Dicobanya untuk mengatur perasaannya, baru kemudian ia berkata,
“Sesungguhnya Gusti, di keputren Putri sedang menerima seorang tamu.”
Permaisuri itu terkejut sekali mendengar kata-kata emban itu. Maka katanya,
“Menerima tamu, katamu? Siapakah tamunya?”
“Itulah yang menyedihkan kami, Gusti,” sahut emban itu,
“Tamunya adalah seorang pria.”

Kali ini Permaisuri itu pun tersentak seperti disengat kala. Sesaat ia tak dapat berkata apapun. Bahkan tubuhnyalah yang menjadi gemetar, sehingga kemudian dipeganginya tiang-tiang pintu bilik itu. Sesaat kemudian barulah Permaisuri dapat berkata,
“Emban, apakah katamu benar?”
“Ya, Gusti.”
“Kau pernah melihat sendiri?”
“Ya, Gusti. Saat itu, tamu itu ada di petamanan. Karena itu hamba segera menghadap kemari.”
Permaisuri itu kini mengigil seperti orang yang sedang sakit. Kemudian tanpa berkata apa pun lagi, segera ia masuk ke dalam biliknya. Membenahi pakaiannya dan sedikit menyisir rambutnya. Dengan tergesa-gesa pula ia berkata kepada embanya,
“Emban, aku akan menghadap Baginda.”
Emban Permaisuri itu pun ikut mengigil pula. Kabar itu tak diduganya. Karena itu ia ragu-ragu sesaat, dan perlahan-lahan ia berbisik,
“Apakah kau benar-benar melihatnya?”
Emban bercincin emas itu mengangguk.
“Ya,” jawabnya.
Emban Permaisuri itu mengusap dadanya sendiri. Tak pernah terpikirkan, bahwa seorang putri raja akan mengalami masa-masa yang demikian mengerikan. Apakah kata Baginda nanti? Emban Permaisuri itu menjadi semakin mengigil karenanya. Sekali lagi ia berbisik,
“Apakah kau pernah memperingatkannya, atau setidak-tidaknya menanyakannya kepada Putri?”

EMBAN bercincin emas itu menggeleng.
“Belum, aku tidak berani.”
“Kenapa?” desak emban Permaisuri,
“Bukankah kau pemomongnya? Adalah menjadi kewajibanmu untuk memberi peringatan kepada Putri apabila pada suatu saat Putri mengalami kegoncangan keseimbangan. Sebab bagaimanapun juga Putri itu pun manusia yang sering khilaf seperti kita.”
Emban bercincin emas itu terdiam. Dan terdengar emban permaisuri itu berkata,
“Sekarang persoalan itu akan menjadikan seisi istana gempar. Mudah-mudahan tak banyak orang yang mengetahuinya.”
Emban Putri itu masih berdiam diri. Bahkan kemudian kepalanya ditundukkannya. Sesaat kemudian Permaisuri telah selesai. Dengan tergesa-gesa ia berjalan keluar, menutup pintu dan kemudian berkata,
“Kalian berdua ikut aku.”
Kedua emban itu pun menyembah. Mereka berjalan mengikuti Permaisuri ke bilik raja. Di halaman, mereka berhenti, karena seorang peronda Nara Manggala menghentikan mereka. Dengan tombak di tangan, terdengar ia menyapa,
“Siapa?”
Emban Permaisuri menjawab,
“Permaisuri.”
“Oh!” Peronda itu pun kemudian membungkukkan badannya dalam-dalam. Namun dari sorot matanya terpancar pula beberapa pertanyaan di dalam dadanya.

Kenapa Permaisuri memerlukan menghadap Baginda di malam yang dingin ini? Tetapi ia tidak berani bertanya. Namun diikutinya dengan pandangan matanya, Permaisuri itu menuju ke pintu bilik peraduan Baginda. Seperti Permaisuri, Baginda pun terkejut bukan buatan. Berita itu seakan-akan telah meledakkan seisi dadanya. Namun Baginda adalah seorang yang telah terlalu sering menghadapi bermacam-macam masalah yang sulit, mengejutkan dan bahkan mengkhawatirkan. Karena itu Baginda dapat lebih cepat menguasai perasaannya. Maka dengan tenang Baginda itu bertanya,
“Kau melihatnya sendiri, Emban?”
“Hamba, Tuanku.”
Baginda itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Aku ingin membuktikannya.”
Permaisuri mengerutkan keningnya, katanya,
“Apakah Baginda akan memerintahkan beberapa orang prajurit untuk menangkap mereka?”
Baginda menggeleng lemah, katanya,
“Tidak. Aku ingin menyelesaikannya sendiri. Semakin banyak orang yang ikut serta menyaksikan masalah ini, makin cepat berita ini tersebar di seluruh Demak. Lalu apakah aku masih akan dapat melindungi nama Putri itu?”
“Lalu, bagaimanakah maksud Baginda?” tanya Permaisuri.
“Aku sendiri akan melihatnya.”
“Sendiri?” Permaisuri itu terkejut.
Baginda menganggukkan kepalanya, jawabnya,
“Ya. Kalau aku dapat menangkapnya sendiri, maka persoalan ini akan menjadi sangat terbatas.”
“Apakah itu tidak berbahaya?” tanya Putri.
“Hanya terhadap para penjahat aku akan menyerahkan persoalan kepada para peronda. Namun persoalan ini sangat berbeda. Aku tidak ingin orang lain mengetahuinya pula.”
“Tetapi apakah anak muda itu tidak berbahaya seperti para penjahat?”
Sultan mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Mungkin. Karena itu aku bersenjata.”

Ternyata Permaisuri tidak dapat mencegahnya lagi. Baginda tidak bersedia memanggil, meskipun hanya seorang perwira Nara Manggala yang sedang bertugas malam itu.
“Aku tidak dapat membayangkan apakah akibatnya seandainya seseorang dari mereka mengetahui peristiwa ini. Aku yakin bahwa peristiwa ini segera akan tersebar.”
“Tetapi Baginda dapat memberinya pesan untuk merahasiakannya.”
“Semakin banyak orang yang mengetahuinya, maka rahasia itu sudah bukan rahasia lagi. Dua orang emban ini sudah cukup banyak. Dan mereka harus menyimpan rahasia ini sekuat-kuatnya.”
Ternyata Permaisuri tidak dapat mencegah lagi. Baginda itu kemudian membenahi pakaiannya. Sebuah pusaka berbentuk keris terselip di pinggangnya. Kemudian katanya sambil tersenyum untuk menenangkan hati Permaisuri,
“Aku adalah seorang Senapati Perang. Apakah aku tidak dapat bertempur seandainya keadaan memaksa?”
Permaisuri tidak menjawab. Namun wajahnya menjadi tegang.
“Aku melalui pintu butulan,” desis Baginda.
“Kalian bertiga tetap di sini.”
Baginda itu pun kemudian keluar dari bilik peraduannya lewat pintu butulan dengan tidak mengenakan pakaian kerajaan. Dengan hati-hati Baginda menyelinap di antara batang-batang perdu di petanaman menuju ke keputren. Dari emban, Baginda telah mengetahui dimana mereka berdua, putrinya dan laki-laki itu berada.

SEBENARNYA Baginda bukan seorang raja yang hanya dapat duduk di atas Singgasana. Namun Baginda benar-benar seorang Panglima Perang. Baginda sendiri selalu berada di garis paling depan dalam peperangan-peperangan yang besar dan berbahaya. Karena itu, Baginda tidak saja dapat memberikan perintah-perintah untuk bertempur, namun Baginda sendiri selalu mengalaminya. Malam itu Baginda pun mampu melakukan pekerjaannya. Dengan hati-hati Baginda berhasil mendekati tempat putrinya yang sedang bercakap-cakap dengan seorang laki-laki. Ketika Baginda mendengar suara laki-laki itu meskipun perlahan-lahan, maka bergetarlah dada Baginda.
“Gila, anak itu,” desahnya dia alam hati. Langsung Baginda dapat mengetahuinya, siapakah yang sedang bercakap-cakap dengan putrinya itu.
Karena itu maka segera Baginda mendekati mereka. Setapak demi setapak semakin lama semakin dekat. Tetapi telinga Karebet adalah telinga yang baik. Tiba-tiba ia mengangkat wajahnya, dan tiba-tiba pula ia berbisik,
“Seseorang mendekati kami.”

Putri yang belum mendengar sesuatu itu menjadi heran. Dicobanya untuk mendengarkan setiap suara, namun tak ada yang dapat didengarnya. Meskipun demikian putri itu pun menjadi gelisah. Desisnya,
“Kau berkata sebenarnya?”
Karebet mengangguk. Namun telinga Sultan itu pun tidak kalah baiknya dari telinga Karebet. Karena itu Sultan pun mendengar dengan jelas, meskipun betapa lirihnya Karebet berbisik. Karena itu segera Sultan menyadari bahwa Karebet telah mengetahui kehadirannya. Berkatalah Sultan di dalam hatinya,
“Luar biasa anak ini. Alangkah tajam pendengarannya.”
Dan sejalan dengan itu, Sultan pun menjadi semakin berhati-hati. Yang dihadapinya adalah seorang anak muda yang sejak dilihatnya untuk pertama kali, telah sangat menarik perhatiannya.
Kemudian Sultan itu mendengar Karebet berbisik,
“Masuklah ke keputren, Putri. Biarlah aku pergi dari tempat ini.”
Putri bungsu itu menjadi semakin gelisah. Kalau benar seseorang telah mengetahuinya, maka alangkah aibnya. Dan tiba-tiba Putri itu menjadi ketakutan. Dengan gemetar ia berkata,
“Karebet, apakah benar kau mendengar seseorang mendekat kami?”

Karebet mengangguk.
“Apakah kau hanya ingin menakut-nakuti aku?”
“Tidak Putri,” sahut Karebet,
“Masuklah. Aku akan pergi ke bilik Sultan.”
“Untuk apa?”
“Aku akan keluar dari arah itu.”
“Aku takut, Karebet,” desah Putri itu.
“Jangan takut,” hibur Karebet,
“Biarlah aku sendiri berusaha menyelesaikannya.”
Tetapi putri itu menjadi semakin ketakutan.
“Aku takut, Karebet.”
“Jangan Putri,” desak Karebet,
“Sekarang masuklah. Biarlah aku melihat, siapakah yang datang itu. Apabila Tuan Putri masih di sini, maka aku tidak akan dapat berbuat sesuatu.”
Jantung Putri itu kemudian serasa berhenti berdenyut. Tetapi Karebet itu mendesaknya,
“Pergilah Putri.”

Putri itu pun kemudian beringsut dan perlahan-lahan berdiri. Setapak ia melangkah untuk masuk ke dalam biliknya. Tetapi alangkah terkejutnya putri itu ketika tiba-tiba sesosok tubuh telah meloncat dari dalam gerumbul langsung berdiri di hadapannya, sehingga terdengarlah Putri itu menjerit kecil. Karebet pun tidak kalah terkejutnya. Dengan serta merta ia meloncat pula berdiri. Dengan tajamnya ia mencoba mengamat-amati siapakah yang telah berani mengintip pertemuannya dengan Putri Sultan itu. Dan dilihatnya seseorang yang bertubuh tegap, bertolak pinggang di hadapannya. Secarik kain kepala melingkar menutupi sebagian wajahnya, sehingga dalam malam yang gelap itu Karebet tidak segera dapat mengatahuinya, siapakah yang telah mengganggunya itu. Orang itu masih berdiri bertolak pinggang ketika Karebet melangkah selangkah maju. Dengan lemahnya orang itu tertawa sambil berkata parau,
“Apakah yang telah kalian lakukan di sini?”

Putri Sultan itu menggigil ketakutan. Namun Karebet melangkah maju sambil berdesis,
“Siapakah kau?”
Orang yang sebagian dari wajahnya tertutup itu menjawab,
“Apakah perlumu mengenal namaku?”
Alangkah marahnya Karebet mendengar jawaban itu. Setapak ia maju sambil berkata
“jangan berbuat gila. Kutanya siapa engkau dan apa maksudmu?”
Sekali lagi Karebet mendengar orang itu tertawa lirih. Dari balik kain yang menutupi sebagian wajahnya itu Karebet mendengar jawabannya,
“Katakanlah juga kepadaku, apakah keperluanmu datang kemari.”
Karebet benar-benar menjadi marah. Ia harus menangkap orang itu. Apa yang akan dilakukan kemudian Karebet sama sekali tidak tahu. Tetapi setidak-tidaknya Karebet harus menghapuskan kesaksian orang itu. Membawanya keluar dari halaman, kemudian apabila orang itu kelak mengigau tentang dirinya, maka ia dapat mengingkarinya. Tetapi di halaman itu apabila ada orang lain lagi yang mengetahuinya, atau melihat perselisihan itu maka sudah tentu ia tidak akan dapat mengingkari lagi.
Karena itu Karebetpun menggeram,
“Jangan membuat persoalan di sini. Ikuti aku supaya kau selamat.”
“Aneh,” desis orang itu,
“kalau aku selamat dengan menuruti perintahmu, alangkah senangnya. Malam ini tidur saja aku di rumah. Aku datang kemari, karena kau ada di sini. Sekarang katakan kepadaku, apa yang kau lakukan disini.”
Darah Karebet telah benar-benar mendidih. Selangkah lagi ia maju. Dengan geram ia berkata,
“Ikuti aku.”
Namun jawab orang itu mengejutkan pula,
“tundukkan kepalamu dan berjongkok dihadapanku. Aku akan menangkapmu.”
“Persetan,” desis Karebet. Kini ia menyadari bahwa orang yang datang itu benar-benar berbahaya baginya. Sudah tentu ia bukan orang kebanyakan. Bahkan tiba-tiba ia menyangka bahwa orang itu Tumenggung Prabasemi. Meskipun Karebet belum yakin benar, namun kemungkinan pertama adalah Tumenggung yang di dadanya menyala segala macam nafsu. Karena itu Karebet tidak dapat berbuat lain kecuali melumpuhkannya. Apakah nanti yang dilakukan. Ia tidak sempat memikirkannya lagi. Dengan marahnya Kareber berkata,
“Bagus kalau kau berkeras menangkap aku, cobalah.”
Sekali lagi orang itu berkata,
“jangan melawan. Sia-sia.”
“Mulailah, “ potong Karebet.
“Aku akan mempertahankan diriku. Dan cobalah kau menyelamatkan dirimu.”
“Tidak semua anggota Wira Tamtama dapat melindungi nyawanya sendiri. Menyerahlah.”
“Hem, aku harus menangkap, menyumbat mulutmu dan melemparmu keluar dinding halaman.”
“Cobalah, pecahkan dadaku dan tumpahkan darahku. Baru kau dapat keluar dari halaman istana.”

Kini Karebet tidak dapat menahan diri lagi. Sekali lagi ia menebarkan pandangannya berkeliling. Sepi. Yang dilihatnya hanyalah batang pohon, tiang-tiang teritisan, dan bintang-bintang di langit. Karena itu maka Karebetpun sekali lagi maju melangkah sambil menggeram,
“Benar-benar kau menghendaki kekerasan.”
Orang itu mengangguk, katanya,
“Ya dengan kekerasan aku ingin menangkapmu apabila kau tidak mau menyerah.”
Karebet tidak menunggu lagi. Secepat kilat ia meloncat menyerang orang itu. Ia ingin melumpuhkannya dengan serangannya yang pertama supaya ia segera dapat menyingkir, namun Karebet menjadi kecewa.


<<< Bagian 091                                                                                              Bagian 093 >>>

No comments:

Post a Comment