“LALU?” Prabasemi menjadi tidak sabar.
“Aku minta
maaf atas kelancanganku, atas pesan yang aku sampaikan itu.”
“Lalu?”
Prabasemi menjadi tidak sabar.
“Putri
memaafkan aku, dan putri juga minta maaf kepadaku.”
“He?”
Prabasemi semakin terkejut,
“Putri minta
maaf kepadamu?”
“Ya,” sahut
Karebet,
“Dan putri
memberikan pesan pula untuk Ki Tumenggung.”
“Jadi putri
kenal aku?” tanya Prabasemi. Tetapi ia menjadi kecewa ketika Karebet
menggeleng.
“Oh,” katanya,
“Apakah putri
belum pernah mendengar nama Prabasemi, perwira Tamtama yang sakti?”
Sekali lagi
Karebet menggeleng. Jawabnya,
“Putri
menyangka bahwa yang bernama Prabasemi adalah seorang perwira Nara Manggala
yang gemuk bulat.”
“Setan!” desis
Prabasemi, Katanya,
“perwira itu
bernama Gajah Alit.”
“Atau yang
beberapa tahun yang lampau meninggalkan istana? Tanya putri itu.” Karebet
berkata seterusnya.
“Ah demit itu.
Tohjaya yang dimaksud?”
“Mungkin,”
sahut Karebet.
“Apakah kau
tidak mengatakan, bahwa Prabasemi dari kesatuan Wira Tamtama, bukan Nara
Manggala, atau Manggala Sraja atau yang lain-lain?”
“Sudah, Ki
Tumenggung. Aku sudah mengatakannya. Dan putri berpesan, agar Ki Tumenggung
melupakannya. Melupakan putri itu. Sebab sebentar lagi putri itu sudah akan
menginjak masa perkawinannya.?”
“Bohong!”
bentak Tumenggung itu,
“Putri itu
bohong, atau kau yang bohong?”
“Aku tidak
bohong Ki Tumenggung. Aku benar-benar pernah menghadap putri. Dan kalau Ki
Tumenggung tidak percaya, inilah, aku dapat membuktikannya.”
Ki Tumenggung
Prabasemi menarik keningnya. Ia melihat Karebet mengambil sesuatu dari ikat
pinggangnya. Kemudian ditunjukkannya kepada Prabasemi. Dan inilah kesalahan
Karebet yang terbesar, yang telah menjerumuskannya pada keadaan yang pahit.
Sehingga akhirnya ia terpaksa diusir dari istana. Bahkan hampir saja jiwanya
menjadi korban pula karenanya. Prabasemi itu menggigil ketika ia melihat di
tangan Karebet tergenggam sekuntum bunga yang telah layu. Tumenggung itu segera
mengetahui maksud mas Karebet. Ia tahu pasti bahwa Karebet berbohong. Ia tahu
pasti bahwa Karebet mengatakan kepadanya, bahwa harapannya itu tidak lebih
daripada setangkai layoning kembang. Karena itu, Prabasemi itu menjadi marah.
Wajahnya segera menjadi merah menyala, dan giginya gemeretak.
Karebet
terkejut melihat akibat permainannya. Ia memang ingin bermain-main dengan
Tumenggung itu. Tetapi ia tidak menyangka bahwa akibatnya akan sedemikian
parahnya. Tumenggung yang marah itu dengan serta merta menarik bajunya sehingga
tubuh Karebet hampir terangkat karenanya.
Dengan gemetar
Prabasemi berkata,
“Kau menghina
aku Karebet?”
“Tidak Kiai,
tidak,” sahut Karebet.
Tetapi mata
Tumenggung Prabasemi benar-benar telah merah, semerah darah. Katanya pula,
“Aku sangka
kau adalah bawahanku yang paling setia. Tetapi ternyata kaulah yang
pertama-tama menghina aku.”
“Bukan
maksudku Ki Tumenggung. Aku hanya ingin memperingatkan Ki Tumenggung, bahwa
gegayuhan itu terlalu jauh jangkauannya,” jawab Karebet.
“Persetan
dengan mulutmu. Kau adalah bawahanku. Pangkatmu lebih rendah dari pangkatku,
umur lebih muda dari umurku. Jangan menggurui aku.”
Karebet tidak
menjawab. Ia tidak mau membuat Tumenggung itu menjadi semakin marah. Seandainya
ia menjawab satu patah kata saja lagi, maka sudah pasti mulutnya akan ditampar
oleh Tumenggung yang sudah lupa diri. Dan sudah pasti ia akan membalasnya.
Namun untunglah bahwa Karebet berhasil menguasai dirinya.
SEJAK saat
itu, maka Prabasemi tak memerlukan Karebet lagi. Seandainya Karebet bukan
seorang yang langsung diambil oleh Sultan dari pinggir blumbang, dan diserahkan
kekesatuannya, maka Karebet itu pasti sudah dipecat, diusir bahkan sudah
dibunuhnya. Tetapi Prabasemi itu masih takut, seandainya Sultan memerlukan anak
itu. Namun sejak itu, Prabasemi menjadi semakin gila. Ia ingin membuktikan
bahwa suatu ketika ia akan berhasil menemui puteri Sultan itu dan berhasil
memikatnya. Tumenggung bukan pangkat yang terlalu rendah. Dalam peperangan ia
telah berhak untuk memegang jabatan panglima dalam laskar segelar sepapan. Dan
ia yakin kesaktiannya akan ikut menentukan pula keadaan dirinya. Juga akan
dapat menentukan apakah puteri Sultan itu akan menaruh perhatian akan dirinya
atau tidak. Prabasemi pernah mendengar juga nama-nama perwira yang pernah
menggemparkan Demak. Seorang kawannya dari angkatan yang lebih tua, dari
kesatuan Nara Manggala, bernama Gajah Alit tak kurang saktinya. Seorang lain
dari panglima pasukan Demak yang berada di Bergota. Arya Palindih, adalah orang
yang sakti.
“Tetapi apakah
kau tidak dapat menyamai kesaktian mereka?” katanya dalam hati
Tetapi sebagai
seorang perwira yang masih muda, ia hampir tidak pernah mendapat kesempatan
untuk pergi bersama-sama dengan mereka yang mempunyai nama dalam keprajuritan
Demak. Sehingga dengan demikian, maka Prabasemi itu belum pernah mendapat
kesempatan untuk melihat atau memperlihatkan kesaktiannya masing-masing
angkatan sebelumnya dan dirinya sendiri. Itulah agaknya yang menyebabkan
Prabasemi haus pada kesempatan kesempatan demikian. Perang merupakan lapangan
permainan yang digemarinya, sekedar untuk mengukur diri. Tak pernah
diperhatikannya, apakah akibat dari peperangan itu. Tak pernah terpikirkan
olehnya, berapa orang yang gugur. Ia ingin namanya akan semakin menanjak keatas,
merayap kesamping nama-nama yang pernah didengar sebelumnya. Dengan demikian
Prabasemi merupakan Perwira yang namanya dikenal karena tindakannya yang kasar.
Setiap persoalan yang betapapun kecilnya atas daerah wilayah Demak, bahkan
daerah perdikan akan diselesaikan oleh Prabasemi dengan kekerasan. Dengan dalih
yang dibuat-buat, Prabasemi selalu mengakhiri tugasnya dengan pertumpahan
darah. Ada anak buah yang senang dengan kebiasaan itu, namun ada yang
membencinya. Karebet termasuk orang yang muak dengan perbuatan itu. tetapi
sebagai seorang yang patuh pada ketetapan yang berlaku dalam lingkungan Wira
Tamtama, maka tak banyak yang dapat ia lakukan. Dan sebenarnya untuk sementara
Prabasemi mendapat sambutan baik dari atasannya. Seakan-akan semua tugas yang diserahkannya
pasti dapat diselesaikannya. Dan kini Prabasemi telah sampai pada tangga yang
cukup tinggi. Tumenggung. Namun nafsunya yang berlebihan masih belum juga
surut.
Bahkan kini ia
terdorong dalam satu persoalan yang lebih gila lagi. Wajah puteri bungsu itu
tak pernah dilupakannya. Dan ia bertekad untuk suatu ketika bertemu dengan
gadis itu. Apa yang dilakukan Karebet ternyata telah mendorongnya ke sudut yang
semakin gelap.
Tetapi
sementara itu Karebetpun menjadi semakin gila. Sejak ia tahu Prabasemi kasmaran
kepada puteri Sultan, sejak itu ia bertambah jauh tenggelam dalam permainan
yang berbahaya. Sebenarnya ia mengatakan apa yang diketahuinya tentang
Prabasemi kepada puteri itu. Namun puteri berkata kepadanya
“terserah
kepadamu Karebet.”
“Apakah artinya
aku ini puteri,” kata Karebet
“Aku tidak
lebih dari seorang Tamtama, sedangkan Prabasemi adalah Tumenggung sakti.”
Karebet hampir
menjadi lupa diri ketika melihat puteri itu tersenyum sambil berkata,
“Kalau kau mau
Karebet, aku tidak hanya sekedar mendapatkan Tumenggung, tetapi aku akan
mendapatkan seorang Bupati Nayaka atau seorang Adipati.”
Dada Karebet
menjadi semakin berdebar-debar,
“Kenapa puteri
tidak mau?”
“Apakah kau
menghendaki demikian?” bertanya puteri itu.
“Ah,” desah
Karebet.
“Aku sedang
berfikir, bagaimana cara sebaik-baiknya untuk bunuh diri.”
“Kenapa bunuh
diri?”
“Aku tak
sanggup melihat Puteri dipersandingkan. Mungkin dengan seorang Adipati,
Pangeran dan dengan Tumenggung Prabasemi.”
“Jangan
mengigau Karebet,” potong puteri itu.
Karebet
tersenyum. Kemudian katanya,
“lalu
bagaimana aku harus mengatakan kepada Tumenggung yang gagah itu ?”
“Terserah
kepadamu. Mungkin kau akan mengatakan kepadanya bahwa aku akan menerima
lamarannya.”
Demikianlah
Karebet semakin yakin akan dirinya. Ia tidak akan dapat disisihkan oleh
Tumenggung yang dipenuhi segala macam nafsu itu.
TETAPI
Tumenggung Prabasemipun tidak putus asa. Dihubunginya beberapa emban, disuapnya
dengan uang, pakaian dan benda berharga lainnya. Dimintanya mereka menyampaikan
beberapa pesan untuk puteri itu. Namun usaha Tumenggung itupun sia-sia. Puteri
Sultan Trenggana tak pernah memperhatikan pesan itu. Dan bahkan puteri selalu
berpura-pura belum pernah mendengar nama Prabasemi. Dengan demikian Prabasemi
semakin prihatin. Kadang bila pikiran jernih datang, maka disadarinya bahwa
yang dilakukannya adalah laku seorang gila. Namun apabila dikenangnya wajah
itu, maka pikiran gilanya kembali menguasai kepalanya.
Dan terjadilah
suatu peristiwa. Peristiwa tak disangka-sangka oleh Prabasemi. Ketika pada
suatu hari, seorang emban yang telah disuapnya berlari kepadanya.
“Ada apa ?
Apakah puteri memanggil aku?”
Emban
menggeleng, dan Tumenggung menjadi kecewa.
“Ki
Tumenggung, aku tidak yakin usaha Ki Tumenggung akan berhasil”
Tumenggung
Prabasemi membelalakkan matanya.
“Apa katamu?”
“Ki
Tumenggung, seseorang telah mendahului menyentuh hati tuan puteri…”
“He, “
Prabasemi terkejut sekali sehingga terjingkat.
“Seseorang
telah mendahului Ki Tumenggung”
“Bohong, aku
juga pernah dibohongi demikian,” teriaknya
“Aku tidak
bohong,” sahut emban.
“Apakah kau
dapat mengatakannya, siapakah yang telah mendahului aku ?”
“Anak muda itu
pernah datang ke keputren. Dan kali ini aku melihatnya sendiri.”
“Gila, apakah
para prajurit Nara Menggala tidur semua ?”
“Anak muda itu
selalu datang ke istana. Baginda sering memanggilnya, sehingga para Nara
Manggala selalu melepaskannya untuk masuk ke mana saja yang disukainya.”
“Siapa dia ?”
“Aku tidak
kenal namanya. Tetapi ia dari Wira Tamtama seperti Ki Tumenggung.”
“Gila, siapa dia
? He, siapa ?” wajah Tumenggung itu menjadi merah padam. Ia percaya kata-kata
emban itu. Karena itu maka dadanya bergetar seperti seratus guntur meledak
bersama-sama didalamnya. Emban tidak dapat menjawab. Memang ia tidak tahu
siapakah nama anak muda itu. Namun ia dapat mengatakan, bahwa Baginda sering
memanggilnya untuk memijat kakinya. Atau kadang-kadang anak muda itu diajak
bermain panah, membidik sasaran-sasaran yang aneh-aneh. Dan bahkan bermain
kecerdasan. Macanan atau mul-mulan dengan asyiknya. Mendengar keterangan emban
itu, menggigilah tubuh Prabasemi. Dengan suara yang parau gemetar ia bertanya,
”Apakah anak
muda itu masih sangat muda?”
“Ya,” jawab
emban itu.
“Bertubuh
tegap, berdada bidang ?”
“Ya.”
“Selalu
tersenyum ?”
“ya.”
“Gila. Setan
itu bernama Karebet ? Kau dengar ?” bentak Prabasemi.
Kini ia
benar-benar kehilangan kesabarannya. Seandainya Karebet ada dihadapannya, maka
sudah pasti ia akan berusaha membunuhnya. Tetapi yang ada kini adalah emban
itu. Emban yang menggigil ketakutan.
“Kau lihat
sekarang orang itu berada di keputren ?”
“Ya.” Emban
itu mengangguk.
“Aku akan
kesana. Aku bunuh anak itu,” teriak Prabasemi.
“Jangan Tuan,”
pinta emban itu.
“Kenapa ?”
“Tuan, apakah
Tuan mungkin melampaui penjagaan Nara Manggala seperti anak muda itu ?”
PRABASEMI
menggeram. Ia tidak mempunyai wewenang apa pun untuk memasuki bagian dalam
istana seperti Karebet. Kalau ia memaksa, maka ia akan berhadapan dengan Nara
Manggala. Sedang kalau Nara Manggala itu dimintanya untuk menyergap kaputren
beramai-ramai, maka Karebet pasti sempat melarikan diri. Dan apabila tidak
ditemui bukti, maka Baginda pasti akan murka. Meskipun perasaan Prabasemi pada
waktu itu seolah-olah sedang menyala, namun naluri keprajuritannya telah
mencegahnya untuk bertindak. Karena itu, Tumenggung itu hanya bisa menggeram
dan menghentak-hentakkan kakinya. Dengan gemetar ia berdiri dan berjalan
mondar-mandir sambil mengumpat,
“Setan,
Karebet itu. Seharusnya ia dibunuh.” Namun akhirnya Tumenggung itu pun berhenti
mondar-mandir. Ditatapnya wajah emban yang ketakutan itu. Dan tiba-tiba
Tumenggung Prabasemi tersenyum.
Emban yang
ketakutan itu pun terkejut melihat perubahan sikap Prabasemi yang tiba-tiba
itu. Namun ia tidak berani bertanya sesuatu. Bahkan ia menjadi semakin gelisah
ketika kemudian Prabasemi itu berhenti beberapa langkah dihadapan emban yang
duduk sambil menundukkan wajahnya.
“Emban…”
katanya,
“Sudahlah,
biarlah Gusti Putri itu menuruti kehendak sendiri.”
Emban itu
menjadi semakin heran. Sekali ia mengangkat wajahnya dengan sorot matanya yang
penuh mengandung pertanyaan.
“Namun putri
itu pun harus mendapat pelajaran. Aku tak akan dapat berbuat apa pun untuknya.
Karena itu Emban, apakah tidak sebaiknya melaporkannya kepada ibunda permaisuri
apabila kau melihat anak muda itu datang kembali?”
Emban
menggeleng,
“Aku tidak
berani tuan. Dan dengan demikian maka akibatnya pun akan jauh sekali. Mungkin
putri akan dihukum di dalam istana, dan mungkin anak muda itu dapat dihukum
mati.” Prabasemi tertawa. Katanya,
“Bukankah itu
hukuman yang wajar?”
“Putri akan
berduka.”
Prabasemi
tertawa. Katanya seterusnya,
“Jadi apakah
sebaiknya dibiarkan saja perbuatan gila itu? Apakah dengan demikian kau sendiri
tidak akan digantung kelak apabila kedua anak-anak muda itu terdorong kedalam
keadaan yang makin parah?”
Emban itu
terdiam. Kata-kata Prabasemi itu memang benar. Seandainya Gusti Putri itu
terperosok dalam perbuatan yang lebih sesat lagi, maka dirinyapun akan mendapat
hukuman pula beserta seluruh emban yang lain. Selagi ia sibuk
menimbang-nimbang, emban itu terkejut ketika dipangkuannya jatuh sebentuk
cincin emas yang berkilat-kilat. Dengan mulut ternganga ia menengadahkan
wajahnya menatap wajah Prabasemi. Prabasemi itu masih tersenyum. Katanya,
“Pakailah,
supaya kau tidak lupa kepadaku. Dan supaya kau tidak lupa nasehatku. Sebaiknya
kau laporkan peristiwa-peristiwa semacam itu. Bukankah tugasmu momong Gusti
Putri? Dan bagiku Gustri Putri itu sama sekali sudah tidak menarik lagi sejak
aku melihat kau.”
“Ah”, desis
emban itu. Namun ia pun menjadi berbangga akan kata-kata Prabasemi itu. Bahkan
tiba-tiba timbullah keinginan untuk benar-benar dikagumi oleh Tumenggung itu.
Sehingga sambil mengerling emban itu berkata,
“Tuan jangan
berolok-olok.”
Prabasemi
tertawa. Jawabnya,
“Kenapa aku
berolok-olok. Aku baru melihat putri itu dari kejauhan, sedang aku telah
melihat kau dari dekat. Bukan baru sekali dua kali, tetapi karena kau sering
datang kemari, aku telah melihat hampir seluruhnya yang ada padamu. Tingkah
lakumu, sifat-sifatmu, senyummu.”
“Ah”, wajah
emban itu menjadi kemerah-merahan. Namun ia menjadi semakin berbangga.
“Nah,
lakukanlah pesanku itu”, berkata Prabasemi kemudian perlahan-lahan,
“kau akan
mendapat hadiah daripadaku. Lebih banyak dari yang sudah aku berikan. Biarlah
seandainya putri itu mendapat pingitan yang lebih keras dari ibunda. Aku tidak
peduli lagi, asalkan kau tidak ikut dipingit pula.”
Emban itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan ia berjanji untuk melakukannya,
“Ya Ki
Tumenggung, akan aku beritahukan kepada Permaisuri apabila anak muda itu datang
kembali.”
“Bagus,
bagus”, sahut Prabasemi,
“jangan
tanggung-tanggung Rumah ini masih kosong.”
Dan emban itu
pun berdesir. Tanpa dikehendakinya ia memandang berkeliling ruangan itu.
Dilihatnya rumah Tumenggung yang masih muda itu dipenuhi dengan alat-alat rumah
tangga yang bagus. Tempat duduk dari kayu berukir, geledek-geledek berukir dan
tirai-tirai sutera dimuka sentong tengah dan kedua sentong samping. Bahkan
tiang-tiangnya pun diukir pula dengan bagusnya dengan warna-warna sungging yang
indah. Tanpa disadarinya pula emban itu tersenyum.
PRABASEMI
membiarkan emban itu berangan-angan. Namun hati Tumenggung itu mengumpat,
“Gila pula
agaknya emban ini seperti aku. Apa disangkanya ia cukup bernilai untuk bermimpi
menjadi istri Tumenggung?” Bibir Tumenggung itu membayangkan sebuah senyum. Dan
senyumnya itu telah mendebarkan hati emban yang mabuk kesenangan. Ketika emban
itu pergi. Prabasemi masih tersenyum-senyum sendiri. Ia mengharap emban yang
telah membawa cincinnya itu memenuhi janjinya. “Apabila benar yang dikatakan
itu,” Prabasemi bergumam sendiri,
“Maka umur
Karebet itu menjadi amat pendeknya. Kasihan. Tetapi ternyata ia lebih gila
daripadaku.”
Tetapi
Tumenggung Prabasemi ternyata cerdik. Betapa darahnya mendidih apabila ia
melihat Karebet, namun ia selalu dapat menahan dirinya. Bahkan sikapnya kepada
Karebet seakan-akan menjadi bertambah baik. Dibawanya anak muda itu ke
mana-mana. Dibawanya Karebet itu ketempat-tempat yang disukainya. Ke pasar dan
ke warung-warung. Apabila Tumenggung itu membeli kain baru untuk dirinya, maka
dibelikannya pula Mas Karebet.
Namun otak Mas
Karebet bukan otak yang tumpul. Ia merasakan beberapa perubahan sikap
Tumenggung. Mula-mula Tumenggung itu marah kepadanya, tetapi tiba-tiba sikap
itu berubah. Meskipun demikian ia belum dapat mengetahuinya dengan pasti,
apakah maksud Tumenggung itu sebenarnya. Dan ternyata Mas Karebet meraba ke
arah yang tidak tepat. Ia menyangka, bahwa Tumenggung itu sedang menyuapnya
supaya ia bersedia menyampaikan pesan-pesannya kepada Gusti Putri. Karena
itulah maka Karebet tidak juga menyadarinya, bahwa seakan-akan dari celah-celah
setiap pintu kaputren, sepasang mata selalu mengintipnya. Setiap langkah putri
bungsu itu tak pernah terlepas dari pengawasan emban yang haus kemukten itu, apalagi
Mas Karebet berada di sekitarnya, meskipun dengan bersembunyi-sembunyi.
Akhirnya
datang pula saat itu. Ketika malam sedang merayap semakin dalam, dan
bintang-bintang dilangit seakan-akan sedang tenggelam dalam pelukan awan yang
kelabu. Sekali-kali lidah api yang panjang menyala di langit yang gelap,
disusul dengan suara gemuruh diudara. Angin yang dingin bertiup semakin lama
semakin kencang. Seorang anak muda berjalan bergegas-gegas masuk ke pintu
gerbang dalam halaman istana. Seorang prajurit yang sedang bertugas menyapanya,
“He, berhenti.
Siapa?”
Anak muda itu
mengangkat wajahnya. Dengan tergesa-gesa ia menjawab,
“Kaki Baginda
terkilir.”
“Oh, kau
Karebet?” tanya prajurit itu. Karebet tidak menjawab. Ia berjalan terus
memasuki pintu gerbang. Dan prajurit bertombak itu kembali ke gardunya.
“Karebet,”
gerutunya. Kawannya tersenyum, jawabnya,
“Jangan iri.
Baginda amat sayang kepadanya. Bahkan seperti putera sendiri. Setiap kali anak
itu dipanggilnya. Ada-ada saja.”
“Kenapa bukan
aku?” kelakar orang bertombak itu.
“Aku juga
sedang belajar, meloncat mundur sambil berjongkok. Bukankah karena Sultan
melihat anak itu berbuat demikian di halaman masjid, maka Karebet itu
dipungutnya?”
“Ternyata ia
pun merupakan Tamtama yang baik,” jawab yang lain,
“Sebaik
Tumenggung yang selalu mabuk tuak itu.”
Beberapa orang
prajurit yang sedang berjaga-jaga di gardu itu pun tertawa. Seorang dari mereka
yang sedang memegang dadu melemparkannya ke sudut, lalu menguap. Katanya,
“Alangkah
dinginnya.”
“Tidurlah,”
sahut yang lain,
“Giliranmu
adalah seperempat malam terakhir.”
Orang itu
tidak menjawab, namun ia merangkak ke sudut. Dan kemudian merebahkan dirinya di
samping dua orang lain yang sudah mendengkur. Mereka adalah petugas-petugas
yang akan mendapat giliran pada perempat malam terakhir.
KAREBET pun
kemudian memasuki halaman dalam istana. Seperti biasa ia berjalan menyusur
teritis ke bilik Baginda. Namun ia tersenyum sendiri. Baginda pasti sedang
tidur nyenyak di malam yang dingin ini. Tiba-tiba tubuh anak muda itu pun
kemudian seakan-akan lenyap di bawah bayang-bayang pepohonan. Tak seorang pun
yang melihatnya. Perlahan-lahan ia menyusur di antara tananam di pertamanan itu
menuju ke sisi halaman yang lain. Kaputren. Angin malam masih bertiup
menggoyangkan daun-daunan dan menggugurkan kelopak-kelopak bunga kering.
Lamat-lamat di antara desir angin terdengarlah suara burung bence.
Perlahan-lahan dan jarang-jarang. Bukan suara burung yang sesungguhnya. Tetapi
tak seorang pun yang mengetahuinya selain Gusti Putri. Dan perlahan-lahan pula,
terbukalah pintu kaputren. Sesaat kemudian tertutup kembali. Seorang gadis yang
berkerudung kain menyelinap keluar dan berjalan tersuruk-suruk ke samping
dinding kaputren itu.
“Ah kau,”
desis gadis itu.
Karebet
tersenyum. Katanya,
“Apakah Tuan
Putri sudah tidur?”
“Belum,” jawab
putri itu, “Aku menunggumu.”
Putri itu pun
kemudian duduk di tanah di samping Karebet, di balik rimbunnya pertamanan.
Sekali-kali kilat masih menyambar di langit dan guruh masih menggelegar
satu-satu. Namun kedua anak-anak muda itu sama sekali telah tenggelam dalam
keasyikan, sehingga tak dilihatnya cahaya tatit, dan tak didengarnya gemuruh
guntur.
Di sudut lain,
emban yang mengenakan cincin emas di jari-jarinya dan bersembunyi di balik
sudut dinding, tampak tersenyum-senyum. Ia kemudian tidak hanya sekadar ingin
menyelamatkan putrinya dari kemungkinan-kemungkinan yang lebih buruk. Namun
kemudian ia bahkan mengharap keadaan akan bertambah parah. Bahkan ia mengharap
Sultan menjadi sangat murka kepada putrinya, dan kemudian mengenakan pingitan
yang sangat berat. Dengan demikian, maka Ki Tumenggung Prabasemi pasti akan
melupakannya. Melupakan putri itu. Bukankah dengan demikian, kesempatan baginya
menjadi lebih luas lagi? Istri Tumenggung adalah impian yang sangat
menyenangkan. Selagi kawan-kawannya masih tetap menjadi emban, dan satu dua
akan diambil oleh jajar atau setinggi-tingginya bekel juru taman, maka ia telah
menjadi seorang istri Tumenggung. Tumenggung Wira Tamtama. Kini kesempatan itu
terbuka baginya. Karena itu, dengan tersenyum ia bergeser surut. Dan sesaat
kemudian dengan tergesa-gesa ia berjalan menyusur dinding belakang, menuju
bilik Permaisuri. Tetapi, ketika ia sampai di samping bilik itu, ia menjadi
ragu-ragu. Apakah Permaisuri mempercayainya, dan apakah akibatnya tidak akan
terlalu parah dan menyebabkan Putri berduka? Namun kemudian diingatnya
kata-kata Tumenggung Prabasemi,
“Apakah dengan
demikian kau sendiri tidak akan digantung kelak apabila kedua anak-anak muda
itu terdorong ke dalam keadaan yang semakin parah?”
Ketika emban
itu sedang bimbang, ia menjadi terkejut bukan buatan ketika terasa seseorang
menggapit pundaknya. Ketika ia menoleh, dilihatnya di belakangnya berdiri
seorang emban Permaisuri. Dengan tersenyum, emban itu bertanya,
“He, kenapa
kau malam-malam, berada di sini?”
“Oh,” jawab
emban Putri Bungsu yang bercincin emas tergagap.
“Tidak
apa-apa.”
“Tidak
apa-apa?” tanya emban Permaisuri dengan heran. Emban bercincin emas itu diam
sesaat. Dicobanya untuk mengatasi getar di dalam dadanya. Getar yang ditumbuhkan
oleh benturan-benturan perasaannya. Namun ketika emban Permaisuri itu
mendesaknya, maka terluncurlah kata-katanya,
“Ah.
Sebenarnya ada sesuatu yang sangat penting terjadi di kaputren.”
Emban
Permaisuri itu mengerutkan keningnya. Katanya,
“Kenapa? Apakah
Putri sakit?”
Emban
bercincin emas itu menggeleng.
“Tidak,”
katanya.
“Lalu kenapa?”
“Berikanlah
aku kesempatan menghadap Permaisuri.”
Emban
Permaisuri itu berpikir sejenak. Kemudian katanya,
“Apakah
persoalan itu sedemikian pentingnya sehingga harus kau sampaikah hari ini?”
“Ya.
Sedemikian pentingnya.”
“Tidak dapat
ditunda sampai esok pagi-pagi?”
Emban
bercincin emas itu menggeleng.
“Tidak,”
jawabnya,
“Persoalannya
sangat penting dan harus diselesaikan malam ini.”
Emban
Permaisuri itu mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia berjalan ke pintu bilik
Permaisuri, sedang emban bercincin emas itu mengikutinya.
“Belum lama
Permaisuri tidur,” kata emban itu,
“Baru saja
Baginda meninggalkan bilik ini. Agaknya ada persoalan yang penting yang sedang
dibicarakan dengan Permaisuri.”
“Soal inipun
tak kalah pentingnya,” desak emban bercincin emas. Akhirnya emban Permaisuri
itu pun mengetuk pintu perlahan-lahan. Tidak biasa hal itu dilakukannya. Namun
apabila persoalannya penting sekali, maka Permaisuri pasti tidak akan murka.
SESAAT
kemudian terdengar sapa halus dari dalam bilik itu,
“Siapa?”
“Hamba,
Gusti.”
“Emban?”
“Hamba,
Gusti.”
“Kau mengetuk
pintu?”
“Hamba,
Gusti.”
“Ada sesuatu?”
“Ya Gusti,
emban Gusti Putri ingin menghadap.”
“Oh.”
Dan sesaat
kemudian terdengarlah gerit pintu bilik itu. Sebenarnya sinar lampu minyak
memercik keluar. Dan Permaisuri itu telah berdiri di ambang pintu.
“Siapakah yang
ingin menghadap?”
Emban
bercincin emas itu menyembah sambil berkata,
“Hamba Gusti.”
Namun terasa suaranya bergetar.
“Ada apakah?
Apakah Putri sakit?”
“Tidak Gusti,”
sahut emban itu. Suaranya menjadi semakin gemetar. Dan dengan terbata-bata ia
berkata,
“Gusti, Putri
tidak sedang sakit, tetapi sedang….” Tiba-tiba suaranya seakan-akan tersumbat
di kerongkongan.
“Sedang apa?”
desak permaisuri.
Keringat
dingin mengalir di seluruh wajah kulit emban yang bercincin emas itu. Ia
menjadi bertambah gemetar ketika Permaisuri bertanya,
“Apakah
persoalan ini sangat penting sehingga kau harus menghadap malam ini?”
“Hamba,
Gusti,” jawab emban itu.
“Membawa pesan
Putri?”
Emban itu
menggeleng,
“Tidak Gusti.”
Permaisuri
menjadi heran. Katanya,
“Lalu apakah
keperluanmu?”
“Gusti…” jawab
emban itu tergagap. Sedang emban permeisuri itu pun tak kalah herannya.
Kenapakah kawannya ini? Apakah agaknya ia diganggu oleh hantu-hantu pertamanan?
Dan
terdengarlah emban bercincin emas itu meneruskan dengan kata-kata yang
patah-patah.
“Gusti.
Ampunkanlah hamba. Tetapi sesungguhnyalah bahwa hamba mengatakannya yang
sebenarnya. Hendaknya dijauhkannya hamba dari bebendhu.”
Emban itu
berhenti sesaat, dan nafasnya menjadi semakin terengah-engah, sehingga
permaisuri itu pun menjadi semakin heran.
“Tuanku,” kata
emban itu pula,
“Ampunkanlah
hamba. Sebenarnya hamba ingin menghaturkan ketakutan hamba atas Tuan Putri di kaputeren.”
“Apa yang akan
kau katakan, Emban” tanya Permaisuri.
“Gusti, betapa
kami, para emban berusaha untuk mencegahnya, namun apakah kekuasaan kami?”
“Ya emban,
tetapi kau belum mengatakan persoalannya.”
“Oh.” Emban
itu menarik nafas. Dicobanya untuk mengatur perasaannya, baru kemudian ia
berkata,
“Sesungguhnya
Gusti, di keputren Putri sedang menerima seorang tamu.”
Permaisuri itu
terkejut sekali mendengar kata-kata emban itu. Maka katanya,
“Menerima
tamu, katamu? Siapakah tamunya?”
“Itulah yang
menyedihkan kami, Gusti,” sahut emban itu,
“Tamunya
adalah seorang pria.”
Kali ini
Permaisuri itu pun tersentak seperti disengat kala. Sesaat ia tak dapat berkata
apapun. Bahkan tubuhnyalah yang menjadi gemetar, sehingga kemudian dipeganginya
tiang-tiang pintu bilik itu. Sesaat kemudian barulah Permaisuri dapat berkata,
“Emban, apakah
katamu benar?”
“Ya, Gusti.”
“Kau pernah
melihat sendiri?”
“Ya, Gusti.
Saat itu, tamu itu ada di petamanan. Karena itu hamba segera menghadap kemari.”
Permaisuri itu
kini mengigil seperti orang yang sedang sakit. Kemudian tanpa berkata apa pun
lagi, segera ia masuk ke dalam biliknya. Membenahi pakaiannya dan sedikit
menyisir rambutnya. Dengan tergesa-gesa pula ia berkata kepada embanya,
“Emban, aku
akan menghadap Baginda.”
Emban Permaisuri
itu pun ikut mengigil pula. Kabar itu tak diduganya. Karena itu ia ragu-ragu
sesaat, dan perlahan-lahan ia berbisik,
“Apakah kau
benar-benar melihatnya?”
Emban
bercincin emas itu mengangguk.
“Ya,”
jawabnya.
Emban
Permaisuri itu mengusap dadanya sendiri. Tak pernah terpikirkan, bahwa seorang
putri raja akan mengalami masa-masa yang demikian mengerikan. Apakah kata
Baginda nanti? Emban Permaisuri itu menjadi semakin mengigil karenanya. Sekali
lagi ia berbisik,
“Apakah kau
pernah memperingatkannya, atau setidak-tidaknya menanyakannya kepada Putri?”
EMBAN
bercincin emas itu menggeleng.
“Belum, aku
tidak berani.”
“Kenapa?”
desak emban Permaisuri,
“Bukankah kau
pemomongnya? Adalah menjadi kewajibanmu untuk memberi peringatan kepada Putri
apabila pada suatu saat Putri mengalami kegoncangan keseimbangan. Sebab
bagaimanapun juga Putri itu pun manusia yang sering khilaf seperti kita.”
Emban
bercincin emas itu terdiam. Dan terdengar emban permaisuri itu berkata,
“Sekarang
persoalan itu akan menjadikan seisi istana gempar. Mudah-mudahan tak banyak
orang yang mengetahuinya.”
Emban Putri
itu masih berdiam diri. Bahkan kemudian kepalanya ditundukkannya. Sesaat
kemudian Permaisuri telah selesai. Dengan tergesa-gesa ia berjalan keluar,
menutup pintu dan kemudian berkata,
“Kalian berdua
ikut aku.”
Kedua emban
itu pun menyembah. Mereka berjalan mengikuti Permaisuri ke bilik raja. Di
halaman, mereka berhenti, karena seorang peronda Nara Manggala menghentikan
mereka. Dengan tombak di tangan, terdengar ia menyapa,
“Siapa?”
Emban
Permaisuri menjawab,
“Permaisuri.”
“Oh!” Peronda
itu pun kemudian membungkukkan badannya dalam-dalam. Namun dari sorot matanya
terpancar pula beberapa pertanyaan di dalam dadanya.
Kenapa
Permaisuri memerlukan menghadap Baginda di malam yang dingin ini? Tetapi ia
tidak berani bertanya. Namun diikutinya dengan pandangan matanya, Permaisuri
itu menuju ke pintu bilik peraduan Baginda. Seperti Permaisuri, Baginda pun
terkejut bukan buatan. Berita itu seakan-akan telah meledakkan seisi dadanya.
Namun Baginda adalah seorang yang telah terlalu sering menghadapi
bermacam-macam masalah yang sulit, mengejutkan dan bahkan mengkhawatirkan.
Karena itu Baginda dapat lebih cepat menguasai perasaannya. Maka dengan tenang
Baginda itu bertanya,
“Kau
melihatnya sendiri, Emban?”
“Hamba,
Tuanku.”
Baginda itu
pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Aku ingin
membuktikannya.”
Permaisuri
mengerutkan keningnya, katanya,
“Apakah
Baginda akan memerintahkan beberapa orang prajurit untuk menangkap mereka?”
Baginda menggeleng
lemah, katanya,
“Tidak. Aku
ingin menyelesaikannya sendiri. Semakin banyak orang yang ikut serta
menyaksikan masalah ini, makin cepat berita ini tersebar di seluruh Demak. Lalu
apakah aku masih akan dapat melindungi nama Putri itu?”
“Lalu,
bagaimanakah maksud Baginda?” tanya Permaisuri.
“Aku sendiri
akan melihatnya.”
“Sendiri?”
Permaisuri itu terkejut.
Baginda
menganggukkan kepalanya, jawabnya,
“Ya. Kalau aku
dapat menangkapnya sendiri, maka persoalan ini akan menjadi sangat terbatas.”
“Apakah itu tidak
berbahaya?” tanya Putri.
“Hanya
terhadap para penjahat aku akan menyerahkan persoalan kepada para peronda.
Namun persoalan ini sangat berbeda. Aku tidak ingin orang lain mengetahuinya
pula.”
“Tetapi apakah
anak muda itu tidak berbahaya seperti para penjahat?”
Sultan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Mungkin.
Karena itu aku bersenjata.”
Ternyata
Permaisuri tidak dapat mencegahnya lagi. Baginda tidak bersedia memanggil,
meskipun hanya seorang perwira Nara Manggala yang sedang bertugas malam itu.
“Aku tidak
dapat membayangkan apakah akibatnya seandainya seseorang dari mereka mengetahui
peristiwa ini. Aku yakin bahwa peristiwa ini segera akan tersebar.”
“Tetapi
Baginda dapat memberinya pesan untuk merahasiakannya.”
“Semakin
banyak orang yang mengetahuinya, maka rahasia itu sudah bukan rahasia lagi. Dua
orang emban ini sudah cukup banyak. Dan mereka harus menyimpan rahasia ini
sekuat-kuatnya.”
Ternyata
Permaisuri tidak dapat mencegah lagi. Baginda itu kemudian membenahi
pakaiannya. Sebuah pusaka berbentuk keris terselip di pinggangnya. Kemudian
katanya sambil tersenyum untuk menenangkan hati Permaisuri,
“Aku adalah
seorang Senapati Perang. Apakah aku tidak dapat bertempur seandainya keadaan
memaksa?”
Permaisuri
tidak menjawab. Namun wajahnya menjadi tegang.
“Aku melalui
pintu butulan,” desis Baginda.
“Kalian
bertiga tetap di sini.”
Baginda itu
pun kemudian keluar dari bilik peraduannya lewat pintu butulan dengan tidak
mengenakan pakaian kerajaan. Dengan hati-hati Baginda menyelinap di antara
batang-batang perdu di petanaman menuju ke keputren. Dari emban, Baginda telah
mengetahui dimana mereka berdua, putrinya dan laki-laki itu berada.
SEBENARNYA
Baginda bukan seorang raja yang hanya dapat duduk di atas Singgasana. Namun
Baginda benar-benar seorang Panglima Perang. Baginda sendiri selalu berada di
garis paling depan dalam peperangan-peperangan yang besar dan berbahaya. Karena
itu, Baginda tidak saja dapat memberikan perintah-perintah untuk bertempur,
namun Baginda sendiri selalu mengalaminya. Malam itu Baginda pun mampu
melakukan pekerjaannya. Dengan hati-hati Baginda berhasil mendekati tempat
putrinya yang sedang bercakap-cakap dengan seorang laki-laki. Ketika Baginda
mendengar suara laki-laki itu meskipun perlahan-lahan, maka bergetarlah dada
Baginda.
“Gila, anak
itu,” desahnya dia alam hati. Langsung Baginda dapat mengetahuinya, siapakah
yang sedang bercakap-cakap dengan putrinya itu.
Karena itu
maka segera Baginda mendekati mereka. Setapak demi setapak semakin lama semakin
dekat. Tetapi telinga Karebet adalah telinga yang baik. Tiba-tiba ia mengangkat
wajahnya, dan tiba-tiba pula ia berbisik,
“Seseorang
mendekati kami.”
Putri yang
belum mendengar sesuatu itu menjadi heran. Dicobanya untuk mendengarkan setiap
suara, namun tak ada yang dapat didengarnya. Meskipun demikian putri itu pun
menjadi gelisah. Desisnya,
“Kau berkata
sebenarnya?”
Karebet
mengangguk. Namun telinga Sultan itu pun tidak kalah baiknya dari telinga
Karebet. Karena itu Sultan pun mendengar dengan jelas, meskipun betapa lirihnya
Karebet berbisik. Karena itu segera Sultan menyadari bahwa Karebet telah
mengetahui kehadirannya. Berkatalah Sultan di dalam hatinya,
“Luar biasa
anak ini. Alangkah tajam pendengarannya.”
Dan sejalan
dengan itu, Sultan pun menjadi semakin berhati-hati. Yang dihadapinya adalah
seorang anak muda yang sejak dilihatnya untuk pertama kali, telah sangat
menarik perhatiannya.
Kemudian
Sultan itu mendengar Karebet berbisik,
“Masuklah ke
keputren, Putri. Biarlah aku pergi dari tempat ini.”
Putri bungsu
itu menjadi semakin gelisah. Kalau benar seseorang telah mengetahuinya, maka
alangkah aibnya. Dan tiba-tiba Putri itu menjadi ketakutan. Dengan gemetar ia
berkata,
“Karebet,
apakah benar kau mendengar seseorang mendekat kami?”
Karebet
mengangguk.
“Apakah kau
hanya ingin menakut-nakuti aku?”
“Tidak Putri,”
sahut Karebet,
“Masuklah. Aku
akan pergi ke bilik Sultan.”
“Untuk apa?”
“Aku akan
keluar dari arah itu.”
“Aku takut,
Karebet,” desah Putri itu.
“Jangan
takut,” hibur Karebet,
“Biarlah aku
sendiri berusaha menyelesaikannya.”
Tetapi putri
itu menjadi semakin ketakutan.
“Aku takut,
Karebet.”
“Jangan
Putri,” desak Karebet,
“Sekarang
masuklah. Biarlah aku melihat, siapakah yang datang itu. Apabila Tuan Putri
masih di sini, maka aku tidak akan dapat berbuat sesuatu.”
Jantung Putri
itu kemudian serasa berhenti berdenyut. Tetapi Karebet itu mendesaknya,
“Pergilah
Putri.”
Putri itu pun
kemudian beringsut dan perlahan-lahan berdiri. Setapak ia melangkah untuk masuk
ke dalam biliknya. Tetapi alangkah terkejutnya putri itu ketika tiba-tiba
sesosok tubuh telah meloncat dari dalam gerumbul langsung berdiri di
hadapannya, sehingga terdengarlah Putri itu menjerit kecil. Karebet pun tidak
kalah terkejutnya. Dengan serta merta ia meloncat pula berdiri. Dengan tajamnya
ia mencoba mengamat-amati siapakah yang telah berani mengintip pertemuannya
dengan Putri Sultan itu. Dan dilihatnya seseorang yang bertubuh tegap, bertolak
pinggang di hadapannya. Secarik kain kepala melingkar menutupi sebagian
wajahnya, sehingga dalam malam yang gelap itu Karebet tidak segera dapat
mengatahuinya, siapakah yang telah mengganggunya itu. Orang itu masih berdiri
bertolak pinggang ketika Karebet melangkah selangkah maju. Dengan lemahnya
orang itu tertawa sambil berkata parau,
“Apakah yang
telah kalian lakukan di sini?”
Putri Sultan
itu menggigil ketakutan. Namun Karebet melangkah maju sambil berdesis,
“Siapakah
kau?”
Orang yang
sebagian dari wajahnya tertutup itu menjawab,
“Apakah
perlumu mengenal namaku?”
Alangkah
marahnya Karebet mendengar jawaban itu. Setapak ia maju sambil berkata
“jangan
berbuat gila. Kutanya siapa engkau dan apa maksudmu?”
Sekali lagi
Karebet mendengar orang itu tertawa lirih. Dari balik kain yang menutupi
sebagian wajahnya itu Karebet mendengar jawabannya,
“Katakanlah
juga kepadaku, apakah keperluanmu datang kemari.”
Karebet
benar-benar menjadi marah. Ia harus menangkap orang itu. Apa yang akan
dilakukan kemudian Karebet sama sekali tidak tahu. Tetapi setidak-tidaknya
Karebet harus menghapuskan kesaksian orang itu. Membawanya keluar dari halaman,
kemudian apabila orang itu kelak mengigau tentang dirinya, maka ia dapat
mengingkarinya. Tetapi di halaman itu apabila ada orang lain lagi yang
mengetahuinya, atau melihat perselisihan itu maka sudah tentu ia tidak akan
dapat mengingkari lagi.
Karena itu
Karebetpun menggeram,
“Jangan
membuat persoalan di sini. Ikuti aku supaya kau selamat.”
“Aneh,” desis
orang itu,
“kalau aku
selamat dengan menuruti perintahmu, alangkah senangnya. Malam ini tidur saja
aku di rumah. Aku datang kemari, karena kau ada di sini. Sekarang katakan
kepadaku, apa yang kau lakukan disini.”
Darah Karebet
telah benar-benar mendidih. Selangkah lagi ia maju. Dengan geram ia berkata,
“Ikuti aku.”
Namun jawab
orang itu mengejutkan pula,
“tundukkan
kepalamu dan berjongkok dihadapanku. Aku akan menangkapmu.”
“Persetan,”
desis Karebet. Kini ia menyadari bahwa orang yang datang itu benar-benar
berbahaya baginya. Sudah tentu ia bukan orang kebanyakan. Bahkan tiba-tiba ia
menyangka bahwa orang itu Tumenggung Prabasemi. Meskipun Karebet belum yakin
benar, namun kemungkinan pertama adalah Tumenggung yang di dadanya menyala
segala macam nafsu. Karena itu Karebet tidak dapat berbuat lain kecuali
melumpuhkannya. Apakah nanti yang dilakukan. Ia tidak sempat memikirkannya
lagi. Dengan marahnya Kareber berkata,
“Bagus kalau
kau berkeras menangkap aku, cobalah.”
Sekali lagi
orang itu berkata,
“jangan
melawan. Sia-sia.”
“Mulailah, “
potong Karebet.
“Aku akan
mempertahankan diriku. Dan cobalah kau menyelamatkan dirimu.”
“Tidak semua
anggota Wira Tamtama dapat melindungi nyawanya sendiri. Menyerahlah.”
“Hem, aku
harus menangkap, menyumbat mulutmu dan melemparmu keluar dinding halaman.”
“Cobalah,
pecahkan dadaku dan tumpahkan darahku. Baru kau dapat keluar dari halaman
istana.”
Kini Karebet
tidak dapat menahan diri lagi. Sekali lagi ia menebarkan pandangannya
berkeliling. Sepi. Yang dilihatnya hanyalah batang pohon, tiang-tiang
teritisan, dan bintang-bintang di langit. Karena itu maka Karebetpun sekali
lagi maju melangkah sambil menggeram,
“Benar-benar
kau menghendaki kekerasan.”
Orang itu
mengangguk, katanya,
“Ya dengan
kekerasan aku ingin menangkapmu apabila kau tidak mau menyerah.”
Karebet tidak
menunggu lagi. Secepat kilat ia meloncat menyerang orang itu. Ia ingin
melumpuhkannya dengan serangannya yang pertama supaya ia segera dapat
menyingkir, namun Karebet menjadi kecewa.
No comments:
Post a Comment