“TIDAK. Ki Ageng tidak kurus kering. Ki Ageng cukup segar meskipun agak susut sedikit. Tetapi hampir tak ada perubahan sejak aku melihat untuk yang terakhir kali,” jawab Wulungan.
Ki Ageng Gajah
Sora tersenyum. Kemudian merekapun melangkah masuk ke dalam pondok itu, dan
duduk di bale-bale besar di ruang depan. Sesaat kemudian beberapa orang telah
siap merebus air dan jagung muda. Sambil menikmati hindangan itu maka
berkatalah Mahesa Jenar,
“Kedatangan
Kakang Gajah Sora sangat mengejutkan kami. Apalagi bersama-sama dengan Kakang,
ikut serta adi Gajah Alit dan Adi Paningron. Apakah artinya ini?”
Gajah Sora
menarik nafas panjang. Sekali wajahnya beredar di sekitar ruangan itu. Kemudian
berhenti di wajah Arya Salaka. Sekali lagi ia menarik nafas. Katanya,
“Adi Mahesa
Jenar. Anakku ini benar-benar mengejutkan hatiku. Sebelum aku berceritera,
seharusnya aku mengucapkan beribu-ribu terima kasih kepada Adi. Agaknya Adi
Mahesa Jenar telah memenuhi permintaanku, mengasuh anak nakal ini, bahkan
melampaui harapan yang aku khayalkan tentang dirinya.”
Mahesa Jenar
tersenyum, jawabnya,
“Bukanlah aku
yang telah menjadikannya anak yang cukup bekal untuk menjaga dirinya, tetapi
darah yang mengalir di dalam tubuhnya, agaknya merupakan modal yang tak
ternilai harganya.”
Arya
menundukkan wajahnya. Ia malu ketika ia mendengarkan ayah serta gurunya sedang
menilai dirinya.
“Modal yang
tak ditangani oleh tangan yang baik, ia tidak akan berkembang, bahkan akan
kehilangan nilai-nilainya,” jawab Gajah Sora pula.
Kemudian ia
meneruskan,
“Aku pernah
bertempur dengan Adi Mahesa Jenar di Gunung Tidar. Aku mengagumi betapa
dahsyatnya ilmu dari perguruan Pengging. Ketika aku kemudian terpisah dari Adi
lima-enam tahun yang lalu, dan kemudian aku mencoba untuk bertempur melawan
anak asuhan Adi yang berilmu keturunan dari Pengging, aku merasa bahwa
seakan-akan aku mengulangi pertempuran di Gunung Tidar itu. Arya Salaka
benar-benar telah memiliki ilmu seperti yang Adi miliki pada saat itu. Dan
ternyata bahwa Arya telah benar-benar mencerminkan Adi Mahesa Jenar sewaktu adi
bertempur di Gunung Tidar itu.”
Mahesa Jenar
tersenyum. Ia pun berbesar hati ketika ia mendengar sendiri bahwa Gajah Sora
tidak kecewa melihat anaknya. Terbayang pula di dalam rongga mata Mahesa Jenar,
bagaimana ia bertempur di mulut gua Sima Rodra di Gunung Tidar melawan Gajah
Sora, sehingga akhirnya ia terpaksa melepaskan aji pemungkasnya, Sasra Birawa.
Pada saat itu Gajah Sora tidak dapat berbuat lain daripada menyelamatkan
dirinya dengan aji andalan perguruan Pangrantunan, Lebur Saketi. Mahesa Jenar
menjadi geli sendiri mengenangkan peristiwa itu, sehingga ia tersenyum sambil
menundukkan wajahnya. Tetapi sesaat kemudian senyum itu lenyap seperti awan
disapu angin. Sasra Birawa dan Lebu Saketi tidak saja pernah berbenturan di
atas Gunung Tidar dalam suatu peristiwa kesalahpahaman, namun kedua aji itupun
pernah berbenturan di Gedangan, masing-masing dilontarkan oleh Arya Salaka yang
mewarisi ilmu dari Pengging, melawan saudara sepupunya, Sawung Sariti, yang
memiliki ilmu keturunan dari Pangrantunan. Tetapi benturan itu sama sekali
bukan karena salahpaham, namun benar-benar karena kemarahan yang tak
tertahankan. Kesengajaan karena nafsu kedengkian, ketamakan dan keserakahan.
Tetapi Mahesa Jenar kemudian tersadar dari lamunannya oleh suara Gajah Sora.
“Adi, mungkin
Arya Salaka tidak akan menjadi anak seperti sekarang ini, seandainya aku
sendiri yang mengasuhnya.”
Mahesa Jenar
mengangkat wajahnya. Ia tersenyum tetapi ia tidak menjawab. Kemudian Gajah Sora
meneruskan, “Selain kekagumanku atas kemajuan yang pesat dari anakku, aku kira
kalianpun menjadi heran, kenapa tiba-tiba aku berada di Pangrantunan.”
Mahesa Jenar
mengangguk sambil menjawab,
“Ya. Tentu
saja kami menjadi gembira atas pertemuan ini.”
“Tetapi kenapa
aku dan Kakang Paningron hadir pula di sini? sela Gajah Alit sambil tersenyum.
Mahesa Jenar pun tertawa.
“Ya,”
jawabnya,
“Kenapa kalian
datang pula?”
“Kakang Mahesa
Jenar mempunyai prasangka kepada kami, Kakang,” kata Gajah Alit kepada
Panigron. Paningron tersenyum. Memang ia tidak begitu banyak berbicara.
PANINGRON
lebih senang mendengarkan Gajah Alit berkelakar daripada berbicara sendiri.
Mahesa Jenar sudah mengenal watak sahabatnya yang gemuk ini. Karena itu ia pun
menjawab,
“Agaknya kau
bertugas mengawal Kakang Gajah Sora, Adi. Kau sangka Kakang Gajah Sora akan
melarikan diri seandainya Kakang mendapat kesempatan sehari dua hari menengok
tanah perdikannya?”
Gajah Alit
tertawa. Jawabnya,
“Tidak, aku
tidak bertugas mengawal Kakang Gajah Sora, tetapi aku bertugas menangkap Kakang
Mahesa Jenar.”
“Kalau
begitu,” sahut Mahesa Jenar,
“Aku akan
membantumu.”
Semuanya
tertawa mendengar kelakar yang segar. Arya Salaka pun tertawa pula.
“Nah,
bagaimanakah yang sebenarnya?” tanya Mahesa Jenar kemudian. Gajah Alit tidak
segera menjawab pertanyaan Mahesa Jenar. Ditebarkannya pandangan matanya
melingkari ruangan itu. Baru kemudian ia berkata,
“Biarlah
Kakang Gajah Sora berceritera. Kakang pasti tidak akan percaya seandainya aku
yang mengatakannya.”
“Kau terlalu
sering berdusta,” sahut Mahesa Jenar. Sekali lagi semuanya tertawa. Tetapi
tidak berkepanjangan, sebab kemudian Gajah Sora berkata,
“Apa yang
dapat aku ceriterakan? Yang aku ketahui, Baginda memerintahkan lewat Adi Gajah
Alit, bahwa aku diperkenankan kembali ke Banyubiru.”
“Tidak hanya
itu,” sela Gajah Alit.
“Agaknya Adi
Paningron lah yang paling tahu,” jawab Gajah Sora. Semua mata berkisar ke wajah
Paningron. Wajah yang tenang dan padam. Namun sebuah senyuman tersungging di
bibirnya.
“Baiklah,”
katanya,
“Kalau aku
yang harus berceritera. Tetapi aku tidak dapat berceritera seperti Adi Gajah
Alit.”
“Ah…” desis
Gajah Alit.
“Demikianlah
yang sebenarnya,” Paningron meneruskan,
“Kebetulan aku
mengetahui beberapa persoalan. Setelah Baginda menganggap bahwa Kakang Gajah
Sora benar-benar tidak bersalah, maka sebenarnya pada saat itu Kakang Gajah
Sora sudah dapat dibebaskan. Sejak pertemuan kami di Rawa Pening, Baginda
menjadi pasti bahwa Gajah Sora benar-benar tidak bersalah. Aku dan Adi Gajah
Alit telah meyakinkan Baginda. Namun Baginda menghendaki, agar usaha mencari
kedua pusaka itu menjadi semakin gigih. Terutama Baginda mengharap ayah Kakang
Gajah Sora dan sahabat-sahabatnya berjuang mati-matian, dengan harapan untuk
dapat segera membebaskan Kakang Gajah Sora. Tetapi keadaan berkembang ke arah
yang tak dikehendaki. Beberapa saat, kami, di Demak kehilangan jejak atas
perkembangan daerah perdikan Banyubiru. Baru beberapa saat kemudian kami
ketahui bahwa Banyubiru berada dalam kesulitan. Mula-mula kami tidak pasti, apa
yang menyebabkan. Tetapi terasa adanya ketegangan dalam pemerintahan rakyat
Banyubiru seakan-akan kehilangan pegangan. Kehilangan kiblat. Pada saat yang
demikian itulah Baginda menganggap Gajah Sora harus kembali ke tanahnya. Harus
kembali kepada ayahnya yang sedang berjuang mati-matian untuk menegakkan
kembali apa yang dimilikinya. Sora Dipayana telah berjuang hampir sepanjang
umurnya untuk persatuan dan kemerdekaan tanah perdikan ini. Pada saat-saat yang
demikian, kami ketahui pula, bahwa orang-orang dari golongan hitam telah
memancing di air keruh. Dan inilah bahaya yang sebenarnya, yang akan mengancam
Banyubiru, Pamingit dan bahkan Demak. Karena itu, akhirnya Gajah Sora akan
diserahkan kembali, kembali kepada Ki Ageng Sora Dipayana. Yang mempercepat
tindakan Baginda adalah berita terakhir yang sampai di Demak, bahwa Banyubiru
terancam perang saudara. Antara Arya Salaka dan Sawung Sariti. Perang yang
telah lama dinanti-nantikan oleh golongan hitam. Perang yang akan menumpas
seluruh kehidupan rakyat Banyubiru dan Pamingit. Perang yang akan memadamkan
sama sekali nyala api yang pernah dikobarkan oleh Ki Ageng Sora Dipayana di
atas tanah perdikan Pangrantunan.”
Paningron diam
sejenak. Ia menarik nafas dalam-dalam, kemudian tangannya meraih mangkuk, dan
meneguk seteguk air jahe yang hangat.
“Agaknya
kalangan istana sudah mengetahui semua yang terjadi di Banyubiru,” sela Mahesa
Jenar.
“Tidak
seluruhnya,” sahut Paningron,
“Utusan dan
bahkan pejabat-pejabat rahasia dari Demak berkeliaran di Banyubiru dan
Pamingit.”
Mahesa Jenar
tersenyum. Seharusnya ia sudah memaklumi sebelumnya. Seharusnya ia kenal,
bagaimana orang-orang seperti Paningron dan kawan-kawannya bekerja.
Kadang-kadang mereka dijumpainya seperti penjual daun, penjual kayu dan
sayur-sayuran. Kadang-kadang mereka ditemuinya sebagai seorang saudagar yang
kaya raya, yang menjelajah kampung untuk mencari dagangan. Sejenak kemudian
Paningron meneruskan,
“Tetapi
hubungan antara Demak dan Banyubiru tidaklah semudah yang kita kehendaki.
Itulah sebabnya, kadang-kadang kita terlambat berbuat sesuatu. Itu pulalah
sebabnya kali ini kami terlambat juga. Untunglah bahwa pertempuran antara
laskar Arya Salaka dan laskar Pamingit itu di Banyubiru dapat dihindarkan.”
“AKU yakin
akan hal itu,” potong Ki Ageng Gajah Sora,
“Selama Arya
masih berada di dekat adi Mahesa Jenar.”
“Aku hampir
tak berdaya,” jawab Mahesa Jenar,
“Pertempuran
itu sudah berada di ujung hidung Arya Salaka. Untunglah Ki Ageng Sora Dipayana
berusaha sekuat tenaga. Lebih dari itu agaknya Tuhan telah mengambil keputusan,
bahwa Banyubiru dan Pamingit akan diselamatkan dari bencana kemusnahan.”
“Kakang
benar,” sahut Gajah Alit,
“Kalau
pertempuran itu tak dapat dicegah, di atas bangkai rakyat Banyubiru dan
Pamingit akan menari-nari rianglah tokoh-tokoh golongan hitam dari daerah yang
berserak-serak itu. Dari Gunung Tidar, Nusakambangan, Rawa Pening, Mentaok dan
Lembah Gunung Cermai.”
Kemudian
pembicaraan mereka berkisar dari satu soal ke soal lain. Bahkan kemudian
Paningron dan Gajah Alit tidak dapat menyembunyikan kekaguman mereka atas
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, katanya,
“Tak seorang
pun yang mampu membunuh Nagapasa dan Sima Rodra seorang diri. Namun Kakang Kebo
Kanigara dan Kakang Mahesa Jenar telah melakukan hal itu.”
Kebo Kanigara
mengerutkan keningnya.
“Adakah Adi
melihat peristiwa itu?”
“Kami tidak,”
jawab Gajah Alit,
“Tetapi
orang-orang kami menyaksikan, setidak-tidaknya mendengar kabar tentang
perisitwa itu. Juga kami telah mendengar, bahwa Arya Salaka telah mampu
bertempur seorang melawan seorang dengan Lawa Ijo. Sungguh suatu kemajuan di
luar dugaan ayahnya. Itulah agaknya yang mendorong Kakang Gajah Sora untuk
menilai sendiri kemampuan Arya Salaka itu.”
Mahesa Jenar tersenyum.
Gajah Sora pun kemudian berceritera, bagaimana mereka bertiga bergegas untuk
sampai ke Banyubiru, ketika mereka mendengar bahwa keadaan Banyubiru sudah
sedemikian gawat. Namun mereka terlambat. Meskipun demikian mereka berlega
hati. Yang terjadi kemudian adalah pertempuran justru antara laskar Banyubiru
bersama-sama dengan laskar Pamingit melawan laskar golongan hitam di Pamingit.
Mereka jumpai Banyubiru telah kosong. Karena itu merekapun segera pergi ke
Pamingit. Namun pertempuran di Pamingit itupun telah selesai. Seorang petugas
yang ditanam oleh Paningron melaporkan, bahwa Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan
Arya Salaka justru pergi ke Banyubiru, karena Pasingsingan mendahului mereka.
“Nah, Adi
Mahesa Jenar…” tanya Gajah Sora kemudian,
“Bagaimana dengan
Pasingsingan?”
Kemudian
Mahesa Jenar lah yang berceritera. Pasingsingan terbunuh oleh Pasingsingan.
“Ceritera
tentang Pasingsingan itu panjang, Kakang,” kata Mahesa Jenar kemudian,
“Lain kali
akan aku ceriterakan selengkapnya. Kepada Kakang, kepada Ki Ageng Sora
Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas, Titis Anganten, dan yang lain-lain.”
“Mereka juga
belum mengetahui?” tanya Gajah Sora.
Mahesa Jenar
menggelengkan kepalanya.
“Belum. Belum
seorangpun yang tahu.”
Sejenak
merekapun berdiam diri. Dalam saat-saat yang demikian, Mahesa Jenar
mengamat-amati pakaian yang dikenakan oleh Gajah Alit dan Paningron. Ia menarik
nafas panjang. Pakaiannya seperti yang dipakai Gajah Alit itupun pernah
dipakainya. Pakaian perwira pengawal raja. Beskap hitam, sabuk kuning keemasan
dan ikat kepala biru. Kain panjang, sapit urang, celana hitam berpelisir
kuning. Sebilah keris berwarangka emas terselip di pinggangnya. Sedang
Paningron pun memakai pakaian kebesarannya. Mirip dengan pakaian Gajah Alit,
tetapi ia tidak berikat pinggang kuning, stagennya agak berwarna emas dengan
permata yang berkilat-kilat. Juga di pinggang Paningron terselip sebilah keris
dengan warangka gayaman.
Tetapi ketika
Mahesa Jenar sedang berangan-angan, berkatalah Gajah Sora,
“Adi Mahesa
Jenar, banyak yang ingin aku ketahui, dan banyak yang ingin aku dengarkan,
tetapi baiklah lain kali kami lanjutkan. Aku sudah rindu menyampaikan sujud
kepada Ayah, Sora Dipayana.”
Mahesa Jenar
mengangkat wajahnya. Jawabnya,
“Aku kira
demikian sebaiknya. Wulungan akan bersama-sama dengan kita.”
“Meskipun
demikian…” Gajah Sora meneruskan,
“Adi Paningron
mempunyai satu kepentingan lain, yang barangkali Adi Mahesa Jenar
mengetahuinya.”
Mahesa Jenar
mengerutkan keningnya, ia bertanya,
“Apakah itu?”
“Tidak begitu
penting,” sahut Paningron. Mahesa Jenar mengangguk-angguk kecil. Ia menunggu
persoalan apa pula yang dibawa oleh Paningron ini. Apakah tentang dirinya, atau
yang lain? Paningron memandang kepada Gajah Alit. Belum lagi mendengar sepatah
kata pun, ia telah mengangguk-angguk. Kemudian kepada Mahesa Jenar ia berkata,
“Tidak
penting, Kakang.”
MAHESA JENAR
menjadi semakin bertanya-tanya di dalam hati. Kemudian berkatalah Paningron,
“Ada dua masalah yang akan aku katakan. Sengaja aku simpan sampai aku
berhadapan dengan Kakang Mahesa Jenar. Hal ini Kakang Gajah Sora sendiri pun
belum mengetahuinya.”
“Apakah
soalnya?” sela Mahesa Jenar.
“Yang
pertama,” sahut Paningron,
“Adalah Kakang
Mahesa Jenar dapat mengatakan kepada kami, bagaimanakah bentuknya orang yang
mengambil pusaka-pusaka Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.”
Mahesa Jenar
menjadi ragu. Ia sekarang tahu pasti siapakah orang yang mengambil
pusaka-pusaka itu. Tetapi sebelum menjawab, terdengar Gajah Sora berkata,
“Telah aku
katakan. Orang itu berjubah abu-abu.”
“Adakah orang
itu berhubungan dengan ceritera Pasingsingan yang terbunuh oleh Pasingsingan?”
tanya Paningron pula. Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Akhirnya ia menjawab,
“Tidak.
Pasingsingan yang membunuh Pasingsingan bukanlah orang itu.”
Paningron
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia memandang kawannya yang gemuk
bulat. Katanya,
“Soal itu
perlu juga aku sampaikan.”
“Silahkan
Kakang,” jawab Gajah Alit sambil tersenyum.
“Adakah orang
lain di rumah ini?” tanya Paningron. Mahesa Jenar memandang berkeliling. Rara Wilis
dan Endang Widuri tidak nampak sejak tadi. Wulungan yang mengerti maksud Mahesa
Jenar, berkata,
“Mereka sudah
tidur sejak tadi.”
“Siapa?” sahut
Paningron.
“Anakku,”
jawab Kebo Kanigara.
“O, tak
apalah.” Paningron meneruskan,
“Aku akan
berkata tentang Nagasasra dan Sabuk Inten.”
Tetapi ia
berhenti. Dengan sudut matanya ia memandang ke arah Wulungan.
“Berkatalah,”
desak Mahesa Jenar,
“Orang itu
bisa kita percaya.”
“Sebelum
ceriteraku sampai pada masalah yang kedua,” kata Paningron,
“Kami
mengetahui sesuatu tentang pusaka-pusaka itu.”
Gajah Sora dan
Mahesa Jenar mengerutkan alisnya, sedang Kebo Kanigara menarik nafas
dalam-dalam.
“Ini juga
salah satu sebab yang menentukan, bahwa Baginda benar-benar yakin, bahwa Kakang
Gajah Sora tidak menyimpan pusaka-pusaka itu.”
Paningron
meneruskan,
“Pada suatu
saat, Kakang Arya Palindih melihat seseorang membawa kedua pusaka itu.”
Gajah Sora
terkejut mendengar kata-kata itu, tetapi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menjadi
berdebar-debar.
“Siapakah
orang itu?” tanya Gajah Sora.
“Seperti yang
kau katakan,” jawab Paningron,
“Berjubah
abu-abu. Orang itu datang kepada Arya Palindih, berkata kepadanya, apakah
Kakang Palindih pernah melihat benda-benda yang dibawanya. Ternyata benda-benda
itu adalah Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.”
“Hem…” Gajah
Sora berdesis.
“Tentu saja
Kakang Arya Palindih bertanya kepadanya, darimana pusaka-pusaka itu didapatnya.
Dan orang itu berkata terus terang bahwa keduanya diambil dari Banyubiru,”
Paningron meneruskan.
“Tetapi ketika
kedua pusaka itu diminta oleh Kakang Palindih, orang itu berkeberatan. Sehingga
akhirnya terpaksa Kakang Palindih mencoba memaksanya. Tetapi orang itu luar
biasa. Kakang Palindih tak mampu melawannya. Dan kedua pusaka itu lenyap
kembali.”
Gajah Sora
menggeram. Namun Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara berpikir,
“Pasti, tak
seorangpun mampu menangkapnya.”
“Tetapi…” kata
Paningron,
“Bahwa Kakang
Gajah Sora terbukti tidak bersalah, Kakang Palindih menjadi yakin karenanya.
Dan ini adalah salah satu sebab pula yang meyakinkan Baginda.”
PANINGRON
berhenti sejenak. Diteguknya wedang jahe di mangkuknya. Kemudian ia meneruskan,
“Tetapi
kemudian orang itu muncul kembali.”
“Kapan?”
“Dan inilah
ceritera yang kedua,” sahut Paningron, “Ketika seorang prajurit diusir dari
istana, maka beberapa orang mendapat tugas untuk mengamat-amatinya sampai
beberapa saat. Kalau-kalau orang baru itu berbuat sesuatu.”
“Kenapa
diusir?” tanya Mahesa Jenar.
“Seorang anak
muda yang perkasa,” jawab Paningron.
“Tak
seorangpun seangkatannya yang dapat menyamai keperwiraannya. Ia diketemukan
oleh Baginda di halaman masjid, ketika Baginda hendak bersembahyang. Anak muda
itu sedemikian tergesa-gesa, sehingga ia dapat meloncat mundur sambil
berjongkok melampaui sendang di halaman masjid itu.”
Berdebarlah
dada Kebo Kanigara mendengar ceritera itu. Ia tahu bahwa kecakapan yang
demikian itu jarang-jarang dimiliki oleh seseorang. Namun ia tidak bertanya.
“Karena
kecakapannya…” Paningron melanjutkan,
“Dalam waktu
yang singkat, ia telah diangkat menjadi pimpinan kelompok Wira Tamtama dengan
anugrah pangkat Lurah. Tetapi sayang, bahwa ia kemudian berbuat suatu
kesalahan.”
“Apakah
kesalahannya?” tanya Mahesa Jenar.
“Ia telah
membunuh seseorang yang bernama Dadung Ngawuk,” jawab Paningron.
“Membunuh
orang?” tiba-tiba Kebo Kanigara menyela, “Apa soalnya?”
“Orang baru,
yang mencoba memasuki Wira Tamtama. Namun orang itu terlalu sombong. Maka anak
muda itupun marah dan dibunuhnya Dadung Ngawuk dengan sadak kinang,” jawab
Paningron.
Mendengar
jawaban itu Gajah Alit tertawa. Bahkan ia hampir tak dapat menahan suara
tertawanya itu. Mula-mula yang melihat Gajah Alit itu tertawa, menjadi heran,
namun akhirnya Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Gajah Sora mengetahuinya,
“Membunuh
dengan sadak kinang.”
Paningron
tersenyum, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tersenyum pula. Namun Arya Salaka
menjadi tegang. Ia tak tahu kenapa mereka tertawa karenanya. Tetapi tiba-tiba
Gajah Alit berhenti tertawa. Alisnya berkerut dan wajahnya menjadi
bersungguh-sungguh. Tanpa disengajanya ia memandang Kebo Kanigara tanpa
berkedip. Paningron dan Mahesa Jenar tiba-tiba menjadi tegang.
Tetapi sesaat
kemudian, juga Paningron seperti orang yang tersentak dari mimpinya. Bahkan
terlontar dari mulutnya,
“Oh!”
Kebo Kanigara
menggelengkan kepalanya. Katanya,
“Tak apa-apa
Adi. Aku sudah menduga, bahwa anak itu akan kambuh kembali.”
Mahesa Jenar
masih belum tahu apa yang terjadi, apalagi Arya Salaka dan Wulungan. Sehingga
akhirnya Kebo Kanigara bertanya, “Bukankah anak muda itu bernama Mas Karebet?”
Mahesa Jenar
dan Arya Salaka terkejut. Namun tanggapan mereka berbeda-beda.
Arya Salaka
terkejut, karena sahabatnya itu terpaksa membunuh seseorang tanpa dipikirkan
akibatnya. Sehingga ia terpaksa diusir dari istana. Sedang Mahesa Jenar
terkejut karena Mas Karebet telah membunuh Dadung Ngawuk dengan sadak kinang.
Ia mengurai
lebih jauh keterangan itu. Sehingga Baginda mengusirnya dari istana. Akhirnya
Paningron berkata,
“Maafkan
kakang Kebo Kanigara, aku tadi lupa bahwa Mas Karebet, yang disebut juga Jaka
Tingkir adalah putra Ki Kebo Kenanga, dan bukankah kakang Kebo Kanigara itu
kakak Kebo Kenanga?”
“Tak apalah.
Justru aku berterima kasih kepada adi berdua. Dengan demikian aku tahu apa yang
dilakukan oleh anak itu,” kata Kebo Kanigara.
“Siapakah
Dadung Ngawuk itu?” ia bertanya.
Paningron
memandang Arya sesaat, kemudian ia menjawab perlahan-lahan,
“Simpanan
Baginda.”
“Hem…” Kebo
Kanigara menggeram. Namun Arya Salaka menjadi semakin bingung.
“Bukankah
Dadung Ngawuk itu seorang yang sombong, yang melamar menjadi seorang Wira
Tamtama?”
Mahesa Jenar
menundukkan wajahnya. Ia tidak berkata sepatah katapun. Dengan sudut matanya,
ia melihat Kebo Kanigara menjadi pucat dan pada dahinya mengalirlah keringat
dingin.
“Tetapi,”
Paningron meneruskan,
“Bukan
seluruhnya kesalahan Jaka Tingkir. Dadung Ngawuk lah yang memancing-mancing
keonaran. Memang Jaka Tingkir terlalu tampan. Dan Baginda terlalu kasih dan
percaya kepada Lurah Wira Tamtama yang baru itu. Bahkan lebih daripada Nara
Manggala seperti Adi Gajah Alit itu.”
Kebo Kanigara
mengangguk-angguk. Kemudian ia bertanya,
“Kemudian
apakah yang ingin adi berdua ketahui dari kami?”
“Kami
mendengar berita terakhir, Mas Karebet berada di Banyubiru,” jawab
Paningron.
MAHESA JENAR
dan Kebo Kanigara menjadi ragu. Demikian pula Arya Salaka. Memang Karebet
pernah muncul di Banyubiru. Namun mereka berdiam diri.
“Mungkin
kakang berdua tak mengetahuinya,” kata Gajah Alit. Sesaat suasana menjadi sepi.
Masing-masing tenggelam dalam angan-angan sendiri.
Kemudian
terdengar Paningron meneruskan,
“Keluarga
terdekat Dadung Ngawuk marah kepada Mas Karebet. Mereka berusaha untuk
membunuhnya. Sebab dengan demikian mereka telah kehilangan harapan. Keluarga
mereka yang ingin menompang mukti. Tetapi Mas Karebet bukan anak-anak yang
dapat dibunuh seperti membunuh cacing. Ketika pada suatu saat, beberapa orang
keluarga Dadung Ngawuk berhasil menemukan anak muda itu, maka mereka
beramai-ramai mengeroyoknya. Pada saat itulah orang berjubah abu-abu itu
muncul. Tak seorangpun mampu melawannya. Bahkan orang berjubah itu berkata, Jangan
bunuh anak muda ini. Seorang Wali yang Waskita berkata, bahwa ia akan merajai
pula Jawa.”
Kembali mereka
berdiam diri. Gajah Sora, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menundukkan wajahnya.
Sedang Arya Salaka sibuk menebak. Namun ia gembira, kalau benar apa yang
diucapkan Wali yang Waskita itu, maka sahabatnya akan menjadi raja.
Sedang
Wulungan sama sekali tak mengetahui ujung dan pangkal pembicaraan itu. Angin
malam bertiup semakin kencang. Kini udara sudah tidak terlalu panas. Awan di
langit perlahan-lahan telah hanyut disapa angin pegunungan. Akhirnya, merekapun
merasakan kelelahan yang merayapi tubuh-tubuh mereka. Maka mereka berkeputusan
untuk menunda ceritera mereka sampai besok. Kini mereka perlu beristirahat.
Namun meskipun mereka berbaring, tetapi angan-angan mereka masing-masing masih
membumbung tinggi.
Kebo Kanigara
membayangkan betapa kemenakannya itu melakukan pelanggaran di halaman istana.
“Ah,
benar-benar anak nakal. Penyakitnya itu setiap saat dapat muncul dengan
tiba-tiba. Seharusnya ia menghindari kesalahan ini, meskipun ia tidak bersalah
seluruhnya,” pikirnya.
Sedang Arya
Salaka sibuk membayangkan masa depannya disamping masa depan sahabatnya yang
gemilang. Namun ia tidak iri hati. Kalau ia dapat kembali ke tanah pusakanya,
maka ia telah mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Apalagi kini ayahnya
telah kembali kepadanya. Namun terdengar ia berdesah. Ia belum berhasil
menemukan ibunya. Ia masih belum berani menyinggung-nyinggung keselamatan
ibunya kepada ayahnya. Sebab ia masih belum menemuinya. Meskipun ia melihat
pertanyaan tentang ibunya itu memancar dari rongga mata ayahnya, namun agaknya
ayahnyapun berusaha menahan diri, di hadapan orang-orang lain ini. Memang
demikianlah pertanyaan tentang isterinya itu melingkar-lingkar di hati Gajah
Sora. Namun ia agak malu untuk melahirkannya. Yang melayang-layang di dalam
angan-angan Mahesa Jenar adalah Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Kalau
orang berjubah abu-abu itu berkata bahwa Jaka Tingkir kelak akan merajai pulau
Jawa, bagaimanakah dengan kedua pusaka itu? Apakah oleh Panembahan Ismaya,
kedua pusaka itu akan diserahkan kepada Mas Karebet sebagai sipat kandel, dan
apakah kedua pusaka itu akan luluh dalam dirinya.
“Aku akan
menanyakannya ke Karang Tumaritis kelak,” pikirnya.
“Sekarang
biarlah aku mengantar Arya sampai ke tempatnya. Tanah perdikan Banyubiru.”
Meskipun
angan-angan mereka bertentangan kian kemari, namun mereka tetap berbaring diam.
Wulungan tidak
ikut berbaring dengan mereka, tetapi ia berdiri dan melangkah keluar. Ia
berjalan ke arah api di pojok desa, dan ia berbaring di antara anak buahnya.
Kepada anak buahnya diceriterakannya apa yang dilihatnya, bahwa Ki Ageng Gajah
Sora telah kembali diantar oleh dua orang prajurit istana. Sisa malam berjalan
dengan tenangnya, dibungai oleh bintang pagi di tenggara, bertengger di atas
punggung bukit. Mereka yang berbaring di bale-bale besar itupun telah lelap
dibuai mimpi. Tetapi mereka tidak tidur terlalu lama. Pagi-pagi benar, sebelum
cahaya matahari memancar dari balik cakrawala, mereka telah bangun. Setelah
bersembahyang Subuh, segera mereka bersiap-siap untuk pergi ke Pamingit.
Wulunganpun segera mempersiapkan diri beserta beberapa orang laskarnya, untuk
mengantar Mahesa Jenar dan kawan-kawannya ke Pamingit dan kini bahkan bertambah
dengan Ki Ageng Gajah Sora, Paningron dan Gajah Alit. Rara Wilis dan Widuri pun
terkejut bercampur gembira ketika mereka mengetahui bahwa ayah Arya Salaka
telah kembali dengan selamat. Perjalanan di pagi yang segar itu terasa sangat
menggembirakan bagi Widuri. Kudanya kadang-kadang berpacu mendahului,
kadang-kadang berlari berputar di lapangan rumput terbuka mengejar kelinci yang
berkeliaran. Arya Salaka pun sebenarnya tidak kalah gembiranya. Sebenarnya ia
ingin berpacu pula, mengejar kuda Endang Widuri, tetapi ia tidak tahu, perasaan
apa yang telah mencegahnya.
GAJAH SORA
yang melihat gadis itu dengan lincahnya seolah-olah menari-nari di atas
punggung kuda menjadi heran. Alangkah lincah dan tangkasnya.
“Ah, tidaklah
aneh,” bisik hatinya,
“Ayahnya,
Kakang Kebo Kanigara telah mampu membunuh Nagapasa.”
Dan tiba-tiba
saja hatinya menjadi sangat tertarik pada gadis itu.
“Sayang,”
hatinya berbisik terus,
“Aku tak punya
anak gadis seperti itu.”
Tetapi ia
tidak kalah bangga melihat Arya Salaka yang duduk tenang di atas kuda di
sampingnya. Anak itu tampak kokoh, kuat seperti Mahesa Jenar. Kalau dahulu, di
gunung Tidar, kematangannya dalam menerapkan ilmu Lebur Saketi, satu lapis
lebih tinggi dari Mahesa Jenar, maka kini ia yakin, bahwa anaknya sudah tak
dapat dikalahkannya. Ilmunya sendiri, hampir tak berubah selama ia berada di
Demak. Tetapi ia tidak menyesal. Bagi tanah perdikannya, Arya Salaka sudah akan
mampu dibujurlintangkan apabila ada marabahaya datang. Terhadap Mahesa Jenar
pun, ia tak habis heran, dari mana ia dapat mematangkan ilmunya sehingga ia
mampu membunuh Sima Rodra? Tak banyak yang mereka percakapkan dalam perjalanan
itu. Sebenarnya mereka masing-masing ingin segera sampai, tapi tak seorangpun
yang berkesan tergesa-gesa. Mereka berusaha menahan perasaan masing-masing.
Ketika mereka sampai di Jatisari, mereka melihat desa ini masih sepi. Beberapa
rumah tampak rusak. Ketika mereka sampai disebuah rumah yang lebih besar
daripada rumah-rumah yang lain, Wulungan berkata kepada Mahesa Jenar,
“Baiklah aku
melihat rumah Bahu Jatisari ini.”
“Lihatlah,”
jawab Mahesa Jenar,
“Rumah itu
masih tampak sepi.”
Ketika
Wulungan membelokkan kudanya masuk ke halaman rumah Bahu Jatisari, rombongan
itupun berhenti menunggu. Beberapa orang laskar anak buah Wulungan ikut masuk
ke halaman rumah itu. Mereka berloncatan turun dari kuda mereka, dan
bersama-sama dengan Wulungan memasuki rumah itu.
Tidak lama
kemudian mereka telah keluar kembali. Tampak wajah mereka membayangkan
kekecewaan dan kemarahan.
“Apa yang
terjadi?” tanya Mahesa Jenar, ketika Wulungan telah berada di dalam rombongan
itu kembali.
“Perampokan
yang biadab,” jawab Wulungan,
“Rumah itu
telah hampir kosong. Orang-orang golongan hitam telah merampoknya.”
Mahesa Jenar
mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak berkata apa-apa. Yang berkata kemudian
Ki Ageng Gajah Sora,
“Kasihan
rakyat Pamingit.”
Sesaat
kemudian rombongan itu melanjutkan perjalanan. Di sepanjang jalan mereka
melihat bekas-bekas keganasan gerombolan hitam yang telah menunggu daerah
perdikan Pamingit. Juga di sepanjang jalan mereka ketemukan bekas-bekas rakyat
Pamingit yang mengungsi. Widuri yang berkuda paling depan, meloncat turun dari
kudanya, ketika dilihatnya sebuah golek terkapar di tanah.
“Apa yang kau
ambil itu?” tanya ayahnya, Kebo Kanigara.
“Golek,” jawab
Widuri.
“Anak yang
mempunyai golek ini mesti mencarinya. Mungkin pada waktu itu ia didukung oleh
ibunya berlari-lari, menghindarkan diri dari api peperangan. Semalam suntuk
anak itu pasti menangis mencari goleknya ini.”
“Kepada siapa
golek itu akan kau kembalikan?” tanya ayahnya.
“Di
pengungsian akan aku ketemukan,” jawab Widuri,
“Gadis kecil
yang manis.” Ayahnya tersenyum. Sebagai seorang gadis Widuripun perasa, ia
bersedih hati kalau ia melihat orang lain meneteskan air mata. Dan ia akan
tertawa kalau ia melihat orang lain bergembira. Golek kecil itupun diselipkan
di ikat pinggangnya. Kemudian dengan lincahnya ia meloncat ke atas punggung
kuda. Dan Widuri pun berpacu kembali.
Setiap orang
di dalam rombongan itu menyaksikan dengan sedih akibat keganasan gerombolan
orang-orang dari golongan hitam, yang datang dari berbagai daerah untuk merusak
sendi-sendi kehidupan di Pamingit. Tetapi Tuhan Maha Adil. Hampir seluruh
tokoh-tokoh mereka itu dapat dihancurkan. Dengan demikian mereka tak akan mampu
lagi untuk kembali mengadakan keributan, apalagi mimpi mereka tentang Kyai
Nagasasra dan Sabuk Inten. Sebenarnya jarak dari Pangrantunan ke Pamingit
tidaklah begitu jauh. Dalam kecepatan sedang, jarak itu dapat ditempuh dalam
setengah hari. Tapi rombongan ini tidak berjalan ajeg. Berkali-kali mereka
harus berhenti, kalau mereka melihat sesuatu yang tidak pada tempatnya. Bahkan
sekali dua kali ditemuinya mayat yang masih belum terurus. Mereka harus
berhenti dan melaksanakan pemakaman sebagaimana seharusnya. Karena itu maka
perjalanan rombongan itu menjadi lambat. Ketika matahari telah jauh condong di
sisi barat dan cahaya merah berpancaran di wajah langit yang kelabu,
berdebar-debarlah setiap jantung semua orang dari rombongan itu. Di hadapan
mereka, terbujur sebuah desa Banjar Panjang. Itulah Pamingit. Tanpa sengaja
perjalanan rombongan itu menjadi kian cepat. Dan dari mulut ke mulut, Ki Ageng
Gajah Sora terdengar bergumam, “Pamingit!”
KEBO KANIGARA
yang mendengar gumam itu menoleh kepada Ki Ageng Gajah Sora, tetapi sesaat
kemudian pandangan matanya berkisar pada anaknya.
“Widuri….” Ia
memanggil.
Widuri menarik
tali kekang kudanya. Dan ketika ia sudah sampai berada di samping ayahnya,
terdengarlah ayahnya berkata,
“Widuri,
itulah Pamingit.” Tetapi kata-kata itu agaknya tak berkesan di hati Widuri.
Berbeda dengan pada saat ia pertama kali melihat pedukuhan di lereng bukit
Telamaya. Terhadap Pamingit itu, ia merasa tidak berkepentingan sama sekali. Ia
datang kemari karena ayahnya datang kemari pula. Berbeda dengan perasaan-perasaan
orang lain, apalagi Mahesa Jenar. Di Pamingit nanti akan ditemuinya semua orang
yang diperlukan untuk menempatkan kembali batas antara Banyubiru dan Pamingit.
Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Lembu Sora, dan Ki Ageng Gajah Sora. Adalah suatu
kebetulan bagi Arya Salaka, bahwa Demak merasa perlu untuk mengirimkan
orang-orangnya yang akan dapat menjadi saksi pertemuan itu.
Selain Mahesa
Jenar, Rara Wilis pun diganggu oleh angan-angannya sendiri. Ia tidak tahu benar
persoalan-persoalan apa yang akan dapat dipecahkan di Pamingit, tapi firasatnya
mengatakan bahwa persoalan-persoalan yang dihadapi oleh Mahesa Jenar hampir
selesai. Ia tidak tahu bagaimana dengan keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai
Sabuk Inten. Namun ia berdoa di dalam hati, mudah-mudahan segera ia dapat
menikmati cerahnya matahari. Tiba-tiba tanpa disadarinya, Rara Wilis
menghitung-hitung umurnya sendiri. Gadis-gadis desanya yang sebaya dengan
dirinya pada umumnya telah mempunyai dua tiga orang anak. Mengingat hal itu
hatinya menjadi berdebar-debar. Digeleng-gelengkan kepalanya untuk mencoba
mengusir angan-angannya yang mengganggunya itu.
Mereka kini
telah hampir memasuki pusat pemerintahan. Tanah Perdikan Pamingit. Ternyata
daerah inilah yang paling banyak mengalami bencana. Mereka menyaksikan
rumah-rumah penduduk dan banjar-banjar desa menjadi reruntuhan dan abu. Namun
meskipun demikian daerah ini telah banyak penghuninya. Rumah-rumah yang masih
tegak telah dipenuhi oleh para pengungsi. Sekarang Wulungan yang berkuda paling
depan. Terdengar giginya gemeretak menahan marah. Terasa jantungnya hendak
meledak ketika melihat daerahnya menjadi hancur. Tapi tak satu pun yang dapat
dilakukan. Apalagi ketika di hadapannya terbentang halaman bekas rumah kepala
daerah perdikan Pamingit, di samping alun-alun. Halaman itu kini telah rata.
Tak sebatang tiangpun yang masih tegak, yang dapat mengangkat kemewahan rumah
ini pada masa lampau. Rombongan itu berhenti di regol halaman. Mereka diam
membisu. Hanya pandangan mata merekalah yang menyapu pemandangan yang
mengerikan itu. Ketika tiba-tiba Wulungan melihat dua orang laskar Pamingit
muncul menyongsong rombongan itu, Wulungan bergegas-gegas menemui mereka.
“Di manakah Ki
Ageng?” tanya Wulungan.
“Di banjar
desa sebelah,” jawab salah seorang dari kedua orang itu.
“Marilah ikut
kami.” Kemudian, kedua orang itupun berjalan bergegas-gegas ke arah yang
ditunjukkan, sedang Wulungan dan seluruh rombongan mengikutinya. Mereka
menyusup lewat jalan sempit dan langsung memotong arah. Matahari telah
tenggelam di balik bukit. Dari kejauhan tampak nyala api pelita, memancar dari
lubang pintu.
“Itulah banjar
desa yang masih separo tegak,” kata orang yang menjemput rombongan itu. Sekali
lagi terdengar Wulungan menggeram. Ia sendirilah yang memimpin pembangunan
banjar desa itu, dahulu.
Akhirnya
rombongan itu memasuki halaman banjar desa. Ketika mereka yang ada di dalam
banjar desa itu mengetahui kedatangan rombongan itu, segera merekapun
menyambutnya. Yang pertama-tama melampaui telundak pintu, adalah seorang tua
yang bertubuh kecil. Ki Ageng Sora Dipayana. Ia terkejut, ketika di dalam gelap
dilihatnya sebuah rombongan yang agak besar.
Kepada
Wulungan, yang berada di paling depan, orang tua itu berkata,
“Rombonganmu
menjadi besar, Wulungan? “
“Oleh-oleh
yang tak terduga-duga, Ki Ageng,” jawab Wulungan.
Ki Ageng Sora
Dipayana mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak perlu bertanya untuk kedua
kalinya, sebab segera Ki Ageng Gajah Sora meloncat turun dari kudanya, dan
langsung meloncat sujud di kaki ayahnya.
“Kau…” desis
orang tua itu. Betapa ia terkejut, dan betapa darahnya serasa mengalir semakin
cepat.
“Gajah Sora,
Ayah,” jawab Gajah Sora.
“Hem…” orang
tua itu menggeram. Diangkatnya wajahnya menengadah ke langit. Terasa sesuatu di
pelupuk matanya.
“Kau telah
diperkenankan pulang kembali?” tanya ayah yang bahagia itu.
“Ya, Ayah,”
jawab Gajah Sora.
ORANG TUA itu
menarik nafas dalam-dalam. Dalam keremangan ujung malam. Dilihatnya dua orang
gadis dan dua orang asing dalam rombongan itu. Menilik pakaiannya, kedua orang
asing itu agaknya dua orang yang datang dari Demak.
Karena itu Ki
Ageng Sora Dipayana menyapanya dengan hormat,
“Adakah
Anakmas berdua datang bersama-sama dengan anakku, Gajah Sora?”
Paningron dan
Gajah Alit yang juga sudah turun dari kudanya seperti yang lain juga, membalas
hormat bersama-sama. Kemudian terdengar Gajah Alit menjawab,
“Benar Ki
Ageng. Kami datang bersama-sama dengan Kakang Gajah Sora.”
Ki Ageng Sora
Dipayana mengerenyitkan alisnya. Timbullah seleret kebimbangan di dalam
hatinya. Apakah anaknya Gajah Sora masih perlu diawasi? Namun tak sepatah kata
pun pertanyaan yang melontar dari mulutnya. Yang kemudian dilakukan oleh orang
tua itu adalah mempersilahkan tamu-tamunya masuk ke dalam banjar desa yang
telah tidak utuh lagi itu.
Maka duduklah
mereka berdesak-desakan di dalam ruangan yang sempit. Ki Ageng Sora Dipayana
dengan beberapa orang Pamingit bersama-sama dengan tamu-tamu mereka. Rara Wilis
sejak kedatangannya, sebenarnya ingin melihat, apakah kakeknya benar-benar
berada di Pamingit, namun orang tua itu belum dilihatnya berada di antara
mereka.
Setelah
mengucapkan selamat datang, maka berkata Ki Ageng Sora Dipayana,
“Ruangan ini
kami pergunakan untuk sementara. Rumah-rumah yang lain telah musnah dimakan
api. Karena itulah maka kami terpaksa berpencaran. Kami menempati pondok-pondok
yang tersebar. Kami baru memberitahukan kepada sahabat-sahabat kami, bahwa
Anakmas Mahesa Jenar, Anakmas Kebo Kanigara, bahkan Gajah Sora dan tamu-tamu
kami yang lain telah datang. Kalau mereka bersama-sama kemari akan sesaklah
ruangan sesempit ini. Juga Lembu Sora dan pimpinan-pimpinan laskar Banyubiru
telah kami panggil.”
Dan apa yang
dikatakan oleh Ki Ageng Sora Dipayana itu ternyata terbukti kemudian.
Terdengarlah dari beberapa jurusan suara langkah tergesa-gesa. Beberapa orang
datang berturut-turut dan berdesak-desakkan di muka pintu. Mereka adalah
orang-orang Banyubiru. Di antaranya tampak Bantaran, Panjawi, Jaladri, Sendang
Papat dan yang lain-lain. Mereka hampir tidak percaya ketika seseorang
mengatakan kepada mereka, bahwa bersama-sama dengan Mahesa Jenar dan Arya
Salaka telah datang pula Ki Ageng Gajah Sora. Agaknya Ki Ageng Gajah Sora
tanggap pada keadaan. Ia tidak bisa mempersilahkan mereka masuk karena ruangan
yang sempit. Karena itu segera ia berdiri dan melangkah ke pintu. Orang-orang
Banyubiru itu rasa-rasanya seperti sedang bermimpi, ketika mereka melihat Ki
Ageng Gajah Sora benar-benar berdiri di hadapannya. Ketika kemudian mereka
tersadar, berebutlah mereka mengulurkan kedua tangan mereka, untuk menyambut
salam kepala daerah perdikan mereka yang mereka kasihi. Mereka menyambut tangan
Ki Ageng Gajah Sora dengan penuh gairah, seolah-olah tidak mau melepaskannya
lagi. Ki Ageng Gajah Sora pun menjadi terharu melihat kesetiaan anak buahnya.
Sesaat kemudian terdengarlah suara para pemimpin laskar Banyubiru itu seperti
seribu burung bersama-sama berkicau, berebut dahulu bertanya tentang seribu
satu macam persoalan dan pengalaman Ki Ageng Gajah Sora. Sambil tersenyum Ki
Ageng Gajah Sora menjawab,
“Ceriteraku akan
panjang sekali. Besok sajalah aku ceriterakan kepada kalian. Yang pasti bagi
kalian sekarang, bahwa aku telah tiba kembali dengan selamat di hadapan kalian,
tanpa cacat dan tanpa cidera. Aku datang seperti saat aku pergi.”
Beberapa orang
Banyubiru itu belum puas mendengar jawaban yang hanya terlalu pendek. Mereka
masih ingin mendengar uraian Ki Ageng Gajah Sora tentang dirinya lebih panjang
lagi. Tetapi sekali lagi sambil tersenyum Ki Ageng Gajah Sora berkata,
“Kalau kalian
sedang haus sekali, janganlah minum terlalu banyak, kalau kalian lagi lapar
sekali, janganlah makan terlalu banyak.”
“AH,”
terdengar mereka bergumam. Tetapi akhirnya mereka pun sadar, bahwa Ki Ageng
Gajah Sora tak akan dapat berceritera dalam keadaan yang sedemikian.
“Duduklah
dahulu,” Ki Ageng Gajah Sora meneruskan.
“Di halaman
atau di emper banjar ini, nanti malam kita bisa menghabiskan waktu kita sambil
berbicara tentang apa saja.”
Kemudian
orang-orang Banyubiru itupun meninggalkan pintu itu. Mereka bertebaran di
halaman, duduk di bawah pepohonan, di akar-akar kayu dan di batu-batu. Sibuklah
mereka dengan ceritera mereka masing-masing tentang Ki Ageng Gajah Sora. Mereka
mencoba menebak-nebak dan mereka-reka, apakah yang sekiranya telah terjadi
dengan kepala daerah Perdikan mereka. Masih sesaat Ki Ageng Gajah Sora berdiri
di muka pintu. Ia melihat anak buahnya duduk bertebaran di halaman. Di dalam
ruangan banjar terdengar percakapan yang riuh. Sekali Ki Ageng Gajah Sora
melemparkan pandangannya ke langit, awan yang tipis mengalir dihembus angin
yang lembut. Bintang-bintang menjadi suram disaput oleh selapis mendung.
“Mudah-mudahan
tidak turun hujan,” gumam Gajah Sora.
“Kalau terjadi
demikian, alangkah susahnya. Apalagi di pondok-pondok yang kecil yang ditempati
bersama lima enam keluarga beserta anaknya.”
Tiba-tiba
gumam Ki Ageng Gajah Sora terhenti, ketika dilihatnya sesosok tubuh
perlahan-lahan mendatangi banjar itu. Sesosok tubuh yang tinggi besar, berdada
bidang, hampir seperti dirinya. Ia melihat bahwa orang yang mendatanginya itu
agak ragu. Sekali-kali langkahnya terhenti, tetapi kemudian dilanjutkannya.
Gajah Sora mengangkat dahinya. Terbayanglah apa yang selama ini dialami.
Meskipun ia mendapat perlakuan yang baik, namun sangat terbatas. Ia sudah tahu
seluruhnya, peran apakah yang dilakukan oleh adiknya, Ki Ageng Lembu Sora. Dan
yang datang dengan ragu-ragu itu adalah adiknya. Adiknya, yang dengan sengaja
pernah menjerumuskannya ke dalam suatu keadaan yang sulit. Ia tahu betul bahwa
adiknya itu bernafsu untuk memiliki kekuasaan yang lengkap, seperti apa yang
pernah dimiliki oleh ayahnya, Ki Ageng Sora Dipayana. Wajah Ki Ageng Gajah Sora
menjadi tegang sekali ketika langkah Ki Ageng Lembu Sora terhenti. Hanya
beberapa langkah di hadapannya. Keduanya tegak seperti dua patung yang hampir
serupa, gagah, tegap dan kokoh. Orang-orang Pamingit dan Banyubiru yang melihat
peristiwa itu menjadi tegang pula. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi dan
apa yang seharusnya mereka lakukan. Suara di dalam banjar desa yang tinggal
separo itu masih riuh. Terdengar suara Gajah Alit seperti air yang mengalir,
diselingi oleh gelak tertawanya yang menonjol daripada suara orang-orang lain.
Nadanya tinggi agak sumbang. Adalah pembawaannya sejak anak-anak, apabila ia
menjadi seorang periang dan senang berkelakar dalam keadaan apapun. Paningron,
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara hanya kadang-kadang saja terdengar tertawanya
menyentak, sedang Arya Salaka dan Rara Wilis tampak hanya tersenyum-senyum
tertawa terkekeh-kekeh.
No comments:
Post a Comment