Bagian 066


TAK ada jawaban. Orang-orang Pamingit itu masih diam. Beberapa orang menjadi semakin pucat.
“Tidakkah ada yang dapat menjawab?” tanya anak muda itu pula. Lalu tiba-tiba sambil menunjuk kepada orang yang semula memperbandingkan Arya Salaka dan Sawung Sariti, anak muda itu bertanya,
“Hai, kau yang membanggakan anak Lembu Sora itu, jawablah, manakah yang lebih masak. Lebur Sekethi yang dibumbui dengan pemanjaan diri ataukah Sasra Birawa yang dialasi oleh penderitaan lahir dan batin, namun dijiwai oleh ketawakalan dan pasrah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa…?”
Orang yang ditunjuk itupun menjadi semakin ketakutan. Terasa lututnya bergetar. Dan mulutnya tiba-tiba seperti terkunci.
“Tidakkah kau bisa menjawab?” tanya anak muda itu pula. Namun orang itupun benar-benar tak mampu menjawab. Karena itu terdengarlah anak muda itu tertawa.
“Jangan takut,” katanya.
“Aku tidak akan membunuh seorangpun diantara kalian, apabila tidak berbuat hal-hal yang tak aku kehendaki.”

Anak muda itu diam sesaat, lalu meneruskan,
“Ketahuilah dan rasakanlah kebenaran kata-kataku. Ilmu yang bagaimanapun dahsyatnya, tetapi ia tidak diterapkan dalam pengabdian yang benar, ia sama sekali tak berarti. Bahkan ia akan menjadi jauh lebih berbahaya dari segala macam ilmu. Sebaliknya Arya Salaka telah menempatkan dirinya dalam kancah penderitaan lahir batin. Dengan suatu keyakinan, bahwa berbahagialah mereka yang menderita. Sebab dengan demikian ia akan dapat menempatkan dirinya dalam pengabdian untuk mereka yang menderita. Dalam tempat itulah Arya Salaka akan mempergunakan ilmunya. Dan tidak mustahil bahwa pada suatu ketika Arya Salaka akan berdiri berentang muka dengan Sawung Sariti. Masing-masing dengan Sasra Birawa dan Lebur Seketi. Tetapi Lebur Saketi yang telah dinodai.”
Ketika anak muda itu diam untuk sesaat, lapangan itu dicengkam oleh kesepian. Suara api telah lama terhenti. Dan nyalanyapun telah menjadi semakin pudar pula.
“Kalau begitu…” akhirnya anak muda itu berkata pula,
“Tinggalkan tempat ini. Katakan kepada laskar Pamingit yang lain bahwa Arya Salaka akan datang. Katakan bahwa seorang anak muda telah mempertunjukkan ilmu Arya itu. Sebagian kecil saja. Sebab Arya Salaka tidak saja dapat memecahkan kepala kuda, tetapi batu sebesar kepala kuda itu, dan bahkan kepala kalian semua.”
Mendengar kata-kata itu, mulailah laskar Pamingit itu gelisah. Mereka, yang bagaimanapun juga adalah laskar-laskar yang dipercaya, agak malu untuk begitu saja meninggalkan tugasnya. Karena itulah maka anak muda itu membentak,
“Kenapa kalian belum juga pergi? Apakah kalian masih ingin melihat pertunjukan yang lain…? Pergilah. Kenangkanlah di dalam dadamu. Kalau Arya Salaka mampu berbuat demikian, apakah yang akan dapat dilakukan oleh gurunya, Mahesa Jenar?”
Sekarang orang-orang Pamingit itu tidak menunggu perintah itu untuk ketiga kalinya. Ketika salah seorang dari mereka, menarik kekang kudanya, dan kemudian memutarnya, yang lain-lainpun segera berloncatan meninggalkan tanah lapang yang mengerikan itu. Sesaat kemudian tinggallah Wanamerta, Sendang Papat, anak muda yang perkasa itu dan keempat kawannya.

Dalam cengkaman keheranan Wanamerta dan Sendang Papat tertegun seperti tonggak batu. Mereka tersadar ketika anak muda itu mendekati mereka sambil berkata,
“Paman Wanamerta, sebaiknya Paman meninggalkan tempat ini. Siapa tahu bahwa laskar Pamingit akan kembali dengan kekuatan yang lebih besar. Meskipun barangkali aku masih dapat melindungi Paman dan Kakang Sendang Papat, meskipun seandainya Lembu Sora sendiri yang datang, namun perbuatan itu sama sekali kurang bijaksana. Bukankah Paman mendapat kesempatan untuk pergi sekarang?”
“Ya, ya, Ngger,” jawab Wanamerta terputus-putus,
“Aku ucapkan terima kasih yang tak terhingga.”
“Paman dapat mempergunakan kuda-kuda kami untuk kawan-kawan Paman dan Kakang Sendang Parapat. Tinggalkan kota ini sebelum matahari terbit. Supaya Paman tidak banyak mengalami gangguan, serta kemungkinan-kemungkinan yang berbahaya dapat dikurangi.”
Anak muda itu meneruskan.
“Baik, baik Ngger,” jawab Wanamerta, yang seolah-olah merasa dirinya betapa bodohnya. Tiba-tiba ia teringat pada keinginannya untuk mengetahui siapakah pemuda yang aneh, yang memiliki keperkasaan yang luar biasa itu. Katanya kemudian,
“Tetapi perkenankanlah aku mengetahui siapakah Angger-angger ini semuanya?”
Anak muda itu tersenyum. Jawabnya,
“Paman tidak perlu mengenal aku. Aku adalah anak kabur kanginan. Tanpa tempat tinggal, tanpa sanak kadang.”
Wanamerta menarik nafas panjang. Desaknya,
“Ah, apakah keberatan Angger?. Aku hanya sekadar ingin menceritakannya kepada Angger Mahesa Jenar dan Cucu Arya Salaka, bahwa Angger telah menyelamatkan kami berdua.”
Anak muda itu tertawa. Kemudian ia meloncat dari kudanya. Ia tidak menjawab pertanyaan Wanamerta, tetapi katanya,
“Bawalah kudaku. Kawan-kawanku akan mengantarkan. Seterusnya, pakailah kuda-kuda mereka untuk kembali ke perkemahan.”
“Terimakasih Ngger,” jawab Wanamerta,
“Kami mengucapkan terimakasih yang tak ada taranya. Tetapi Angger belum menjawab pertanyaanku.” Sekali lagi anak itu menghindari pertanyaan Wanamerta, katanya,
“Waktuku tidak terlalu banyak Paman. Kami persilahkan Paman berangkat.”
Lalu kepada kawan-kawannya ia berkata,
“Antar Paman sampai tempat Kakang Sendang Parapat disembunyikan. Pinjamkan dua ekor kuda kalian. Aku akan pulang dahulu dengan berjalan kaki.” Pemuda itu tidak menunggu lama, kepada Wanamerta ia minta diri, katanya,
“Sudahlah Paman, aku tidak akan membuat permusuhan-permusuhan di Banyubiru. Lebih baik aku menyembunyikan diri. Salamku buat Paman Mahesa Jenar dan Arya Salaka, Bibi Wilis dan Widuri, kalau ia turut serta. Juga untuk Paman Kebo Kanigara.”
Setelah itu, maka dengan tidak menunggu jawaban, ia melangkah meninggalkan Wanamerta dan Sendang Papat yang memandanginya dengan kagum. Anak itu berjalan dengan langkah yang tetap tegap. Seakan-akan dari tubuhnya memancarkan kewibawaan yang agung.
Tiba-tiba Wanamerta ingat kepada kata-katanya. Kata-kata anak muda yang tak mau dikenal itu, bahwa Arya Salaka pun mampu melakukan apa yang baru saja dilihatnya dengan Sasra Birawa. Karena itulah ia menjadi bangga dan berbesar hati. Meskipun Arya agak lebih muda dari anak yang aneh itu, namun ia yakin bahwa Arya Salaka pun akan mampu menggemparkan orang-orang Pamingit kelak.
“Marilah Paman….” Tiba-tiba seorang dari anak muda yang empat itu mengajak.

WANAMERTA terkejut. Seperti orang tersadar dari mimpinya, ia menjawab tergagap,
“Marilah Angger.” Sesaat kemudian berjalanlah iring-iringan kuda itu ke rumah Prana, tempat Sendang Parapat disembunyikan. Sendang Papat menggandeng kuda anak muda yang tak mau dikenalnya, sedang Wanamerta duduk dengan muka tunduk.
Tiba-tiba seperti orang yang teringat sesuatu Wanamerta bertanya,
“Anak-anak muda, siapakah sebenarnya kalian ini?” Mereka berempat tersenyum bersama-sama. Salah seorang dari mereka menjawab,
“Kami adalah anak-anak Banyubiru saja Kiai.” Wanamerta menarik nafas kecewa. Anak-anak itupun agaknya tidak mau menyatakan diri mereka. Ia menjadi heran, kenapa hal itu disembunyikan. Apakah mereka takut pembalasan dendam dari orang-orang Pamingit? Dan bukankah ia bukan orang Pamingit? Dan bukankah anak muda yang pertama tadi tidak takut kepada Lembu Sora sekalipun? Alangkah hebatnya. Seorang yang masih semuda itu, telah memiliki ilmu yang dapat disejajarkan dengan Ilmu Lembu Sora. Tetapi Wanamerta tidak bertanya lagi. Ia merasa bahwa hal itu tak akan berguna. Kenangannya kemudian bergeser kepada Sendang Parapat. Mudah-mudahan ia mendapat pertolongan.
Perjalanan mereka tidak memerlukan waktu lama. Rumah Prana tidak begitu jauh dari tanah lapang itu. Begitu mereka sampai, Sendang Papat tidak menunggu lagi. Segera ia meloncat menambatkan kudanya serta kuda yang dituntunnya, untuk kemudian dengan tergesa-gesa mengetuk pintu rumah itu. Sekali dua kali, ketukannya tidak mendapat jawaban. Baru setelah Sendang Papat mengulang-ulang, terdengarlah seseorang bertanya,
“Siapa…?”
“Aku Sendang Papat,” jawabnya. Perlahan-lahan pintu rumah itupun terbuka. Seorang yang telah setengah umur, berdiri dibalik pintu itu.
“Paman Prana,” sapa Sendang Papat.
“O, kau Sendang, masuklah,” jawab Prana.
“Aku bersama dengan Kiai Wanamerta,” jelas Sendang Papat.
“Marilah Kiai,” ajak Prana,
“Marilah masuk.” Wanamerta mengangguk sambil menjawab,
“Baiklah Prana.” Lalu kepada keempat pemuda yang mengantarnya ia berkata,
“Kami persilahkan angger singgah di rumah sahabat ini.”
“Terimakasih Kiai, kami akan segera pulang,” jawab mereka. Dan setelah mereka meninggalkan dua kuda mereka, segera merekapun minta diri. Keempat anak muda itu dengan mempergunakan dua ekor kuda segera meninggalkan halaman itu.
“Anak-anak yang aneh,” gumam Wanamerta. Sendang Papat sudah tidak sabar lagi. Segera ia bertanya tentang adiknya. Setelah pintu rumah itu ditutup kembali, segera mereka dibawa ke ruang belakang, dimana Sendang Parapat dibaringkan.

Ketika Wanamerta dan Sendang Papat memasuki ruangan itu, mereka melihat tubuh Sendang Parapat diam terbaring. Di sebelahnya duduk tiga orang kawannya. Ketika Sendang Papat meraba tubuh adiknya itu, Sendang Parapat membuka matanya. Perlahan-lahan terdengar ia berkata,
“Maafkan aku Kakang, aku tidak dapat memenuhi harapanmu. Menjadi prajurit yang baik.”
Sendang Papat merapatkan diri duduk di samping adiknya. Bisiknya,
“Kau telah berusaha Parapat. Kejadian ini sama sekali bukan salahmu. Orang-orang Sontani telah mulai dengan curang, menyerang kau dari belakang.”
“Tidak sepantasnya aku mengemban tugas ini Kakang.” Sendang Parapat meneruskan seolah-olah ia tidak mendengar kata-kata kakaknya.
“Jangan berpikir terlalu jauh, Parapat…” sahut Wanamerta.
“Kau telah melakukan tugasmu dengan baik. Bukankah tak seorangpun mampu berbuat sesuatu, apabila ia mendapat serangan seperti serangan atas dirimu? Sekarang, tenangkan hatimu. Mudah-mudahan lukamu lekas sembuh.”
“Ya,” jawab Sendang Parapat,
“Aku ingin lukaku lekas sembuh. Sekarang, aku tunggu. Besok aku akan kembali dengan keris ditangan.” Wanamerta, Sendang Papat dan mereka yang mendengar kata-kata itu menjadi terharu.
“Bagus…” bisik Wanamerta.
“Kau akan segera kembali ke Banyubiru.” Sendang Parapat diam. Tetapi wajahnya sudah tidak terlalu pucat. Nafasnya telah mulai teratur. Darah sudah tidak mengalir lagi dari lukanya. Agaknya Ki Prana berhasil mendapatkan jenis daun-daunan yang baik. Dalam keadaan yang demikian itulah Wanamerta dan Sendang Papat teringat kepada pesan anak muda yang aneh itu,
“Tinggalkan tempat ini sebelum matahari terbit.”
“Sendang…” berbisik Wanamerta, “bagaimana dengan pesan anak muda itu?”
“Baiklah kita usahakan Kiai. Kita tinggalkan kota ini sebelum matahari terbit,” jawab Sendang Papat. Mereka berdua bersama-sama memandang Sendang Parapat. Dapatkah anak itu diajak berjalan atau berkuda? Agaknya Sendang Parapat merasa, bahwa dirinya menjadi persoalan. Karena itu perlahan-lahan ia berkata,
“Aku dapat berbuat apa saja yang kalian kehendaki. Berjalan pulang atau bertempur sekarang juga.”
Wanamerta menarik nafas. Anak muda ini memang berhati baja seperti juga kakaknya yang hampir saja bunuh diri.
“Parapat…” jawab Wanamerta,
“Baiklah kami berkuda pulang ke perkemahan. Di sana dapat kita kaji untung rugi dari setiap langkah kita dengan tenang.”
“Apalagi berkuda,” jawab Parapat. Kemudian merekapun segera bersiap. Prana tidak dapat menahan mereka, sebab ia tahu bahwa mereka sedang melakukan tugas mereka. Setelah luka Sendang Parapat dibalut, maka segera ia dipapah dan diangkat ke atas punggung kuda untuk dinaiki bersama dengan kakaknya.

PRANA berdesis,
“Kuda yang bagus. Dari mana Kiai mendapatkan kuda ini?”
“Dari seorang anak muda yang tak mau kami kenal,” jawab Wanamerta.
“Yang berempat tadi?” tanya Prana.
“Seorang lagi,” jawab Wanamerta pula.
“Kawan dari yang empat ini.”
“O…” sahut Prana,
“Kalau yang empat itu, aku kenal mereka.”
“He…?” Sendang Papat memotong,
“Siapakah mereka?”
“Belum lama mereka muncul. Sebelumnya mereka selalu tekun ke padepokan Lemah Telasih,” jawab Prana.
“Putra Ki Lemah Telasih?” tanya Wanamerta.
“Ya. Putra dan kemenakan Ki Lemah Telasih,” jawab Ki Prana.
“Ya ampun,” sahut Wanamerta,
“Jadi mereka anak-anak dan kemenakan Ki Lemah Telasih yang juga disebut Buyut Banyubiru itu?”
“Ya.”
“Yang seorang lagi?” Sendang Papat menyela.
“Siapa?” sahut Prana, “Mereka hanya selalu berempat. Tak ada orang lain di padepokan itu.”
“Ada. Seorang yang gagah tampan dan berwibawa anggun. Sungguh anak yang luar biasa,” sambung Sendang Papat.
Ki Prana menggelengkan kepalanya.
“Entahlah,” jawabnya. Wanamerta dan Sendang Papat jadi kecewa. Tetapi ia tidak dapat memaksa untuk mendapat jawaban. Karena itu segera mereka minta diri untuk segera kembali ke perkemahan.

Sesaat kemudian mereka segera berangkat beriringan. Sekarang ketiga orang kawan Sendang-lah yang berkuda di muka. Kemudian Sendang kakak-beradik. Malam masih gelap bukan main. Di langit bintang-bintang berkedip-kedip gemerlapan. Angin pegunungan yang segar perlahan-lahan mengusap tubuh mereka yang sedang menempuh perjalanan. Alangkah dinginnya. Tetapi udara yang segar itu telah menyegarkan tubuh Sendang Parapat. Di sana-sini terdengar ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kalinya.
“Hampir pagi,” desis Wanamerta.
“Fajar telah membayang di timur,” sahut Sendang Papat. Kemudian mereka diam.
Masing-masing terbenam ke alam yang lampau. Semasa Banyubiru mengalami masa yang aman damai. Semasa mereka menikmati hidup yang tenteram. Sebelum orang-orang dari golongan hitam mulai mengganggu daerah ini, disusul oleh nafsu berkuasa dari adik Ki Ageng Gajah Sora sendiri.
Dua bencana yang sama-sama menjadikan Banyubiru porak poranda. Dikenangnya masa-masa yang lampau. Sekali dua kali, dalam perayaan-perayaan bersih desa, ia selalu muncul dalam malam-malam yang mengesankan. Sebagai seorang penari yang baik bersama dengan adiknya, ia selalu mendapat perhatian dari kawan-kawannya. Apabila ia menari topeng dalam lakon Panji, yang kadang-kadang pertunjukan itu sampai menjelang pagi. Ia kemudian menjadi bangga kalau pertunjukan selesai, tanpa melepaskan pakaian penernya, ia berjalan menyusur jalan-jalan kota, pulang ke rumahnya. Ia menjadi semakin bangga kalau gadis-gadis yang berdiri di tepi jalan saling berbisik,
“Itulah Sendang Papat, penari terbaik dari anak-anak muda di Banyubiru.”
Fajar kali inipun ia menyusuri jalan kota. Tetapi untuk menjauhinya. Tak seorangpun kali ini yang berbisik-bisik,
“Itulah Sendang Papat, penari terbaik dari anak-anak muda di Banyubiru.” Namun meskipun demikian, kali ini pun ia bangga. Hatinya sendirilah yang berbisik-bisik,
“Inilah Sendang Papat, salah seorang anak muda di Banyubiru yang berjuang menegakkan keadilan dan kebenaran.”

Tetapi yang terdengar di fajar yang dingin itu hanyalah angin yang berdesir. Warna semburat merah mulai tersirat dari balik punggung-punggung pegunungan. Dan rombongan itupun menjadi semakin jauh dari pusat kota menuju ke perkemahan yang sudah dekat berada di hadapan mereka. Sebab sebelum mereka berangkat, mereka sudah mengetahui bahwa laskar Banyubiru itupun akan merangkak maju mendekati kota. Ketika mereka telah melampui batas, legalah hati mereka. Sebab kemungkinan untuk menemui bahaya menjadi semakin berkurang. Mereka pasti, bahwa laskar Lembu Sora tak akan mengejar mereka. Sebab merekapun pasti ragu pula, apakah orang-orang Banyubiru itu tidak membawa banyak kawan. Ketika matahari kemudian menjenguk dari atas perbukitan dan melemparkan sinarnya yang pertama, Wanamerta dan kawan-kawannya telah jauh dari setiap bahaya yang mengancam. Mereka dapat berjalan dengan tenang menuju ke perkemahan, di sana menunggu Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Tetapi semakin dekat mereka dengan perkemahan, semakin gelisahlah mereka. Apakah yang akan dikatakan oleh Mahesa Jenar tentang mereka, tentang rombongan kecil yang ditugaskan untuk meyakinkan rakyat Banyubiru tentang kebenaran perjuangan Arya Salaka…? Rombongan kecil itu mendapat tugas untuk memperbanyak kawan, bukan lawan. Sedang yang terjadi adalah sebuah keributan dan bencana, meskipun itu adalah di luar kehendak mereka. Namun disamping perasaan gelisah mereka tidak lupa, mengucap syukur di dalam hati mereka, bahwa mereka telah terlepas dari bahaya maut yang hampir saja menjebak mereka. Mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, yang masih memberi kesempatan kepada mereka untuk menikmati kecerahan sinar matahari. Ketika matahari sepenggalah, tampaklah di hadapan mereka, di dalam sebuah lembah yang berdinding curam, rumah-rumah kacang daun ilalang. Itulah perkemahan anak-anak Banyubiru. Mereka memilih tempat itu untuk menghindari penyerbuan yang tiba-tiba. Sebab di lembah itu, mereka hanya dapat dicapai lewat mulut yang menghadap ke dua arah. Sehingga dengan demikian, mereka seolah-olah berada di dalam sebuah benteng yang kuat.

KEDATANGAN Wanamerta mengejutkan anak-anak Banyubiru. Mereka menyangka bahwa Wanamerta akan tinggal di dalam kota beberapa hari lamanya. Tiba-tiba baru semalam mereka meninggalkan induk pasukan, kini mereka telah datang kembali. Apalagi ketika mereka melihat salah seorang dari rombongan itu terluka.
“Sendang Parapat terluka,” teriak salah seorang.
“He..?” sahut yang lain terkejut,
“Apa katamu?”
“Sendang Parapat terluka,” teriak orang pertama. Teriakan itu kemudian berkumandang, dan mengalir dari mulut ke mulut yang lain. Maka gemparlah perkemahan itu. Seorang kemudian berlari menemui Mahesa Jenar dan dengan nafas yang memburu berkata tergesa-gesa,
“Wanamerta telah kembali. Sendang Parapat terluka. Agaknya lukanya cukup berat.”
Mahesa Jenar, Arya Salaka dan Kebo Kanigara yang berada di perkemahan itu terkejut. Dengan gemetar Arya Salaka terloncat berdiri sambil bertanya,
“Apa katamu? Sendang Parapat terluka?”
Orang itu mengangguk.
Arya Salaka benar-benar terpengaruh oleh berita itu. Sehingga tiba-tiba saja ia telah meloncat menghambur menyongsong rombongan kecil itu, disusul oleh Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Wajah-wajah mereka menunjukkan ketegangan yang gelisah.
Dari kejauhan Arya melihat rombongan kecil itu dikerumuni oleh laskarnya. Wanamerta telah turun dari kudanya. Demikian juga kawan-kawannya yang lain, kecuali Sendang Papat yang masih menjaga adiknya di atas punggung kuda. Ketika orang-orang yang mengerumuni Wanamerta itu melihat kedatangan Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, segera menyibaklah mereka. Sesaat kemudian disusul kedatangan Mantingan, Wirasaba, Rara Wilis dan Endang Widuri. Arya Salaka memandang Sendang Parapat yang pucat di atas punggung kudanya. Ketika matanya tersangkut pada darah yang memerah di pakaian anak muda itu, hatinya berdesir cepat.

Tiba-tiba terdengarlah pertanyaannya dengan suara yang bergetar,
“Kau terluka Kakang Parapat?”
Sendang Parapat mengangguk. Namun mulutnya mencoba untuk tersenyum. Dengan suara perlahan-lahan ia menjawab,
“Tidak seberapa. Hanya luka kecil.”
Arya menarik nafas, kemudian terdengarlah giginya berdetak. Dari matanya memencar kemarahan yang tak terkira.
“Siapakah yang melukaimu?”
Sendang Parapat tidak menjawab. Ia menoleh kepada Wanamerta. Agaknya ia minta supaya orang tua itulah yang menjelaskannya. Tetapi sebelum Wanamerta berceritera, berkatalah Mahesa Jenar,
“Paman, bawalah Sendang Parapat ke kemahku. Biarlah lukanya mendapatkan perawatan. Sementara itu Paman dapat berceritera dengan tenang tentang apa yang telah terjadi atas Paman dan Sendang berdua.”
Wanamerta mengangguk. Kemudian dibawanya Sendang Parapat ke kemah Mahesa Jenar. Kebo Kanigara yang telah cukup lama tinggal di padepokan Karang Tumaritis, agaknya telah prigel pula mengobati luka. Ia mencoba membuka luka Sendang Parapat dan membersihkannya dengan air hangat.
“Bagaimana Kakang?” tanya Mahesa Jenar. Sedangkan Arya Salaka menjadi gelisah mondar-mandir di dalam ruangan itu.
“Mudah-mudahan luka-luka ini segera sembuh,” jawab Kebo Kanigara, yang kemudian mengobati luka-luka dengan ramuan dedaunan dan akar-akaran yang memang sudah disediakan. Ketika Sendang Parapat telah dibaringkan, maka mulailah Mahesa Jenar bertanya kepada Wanamerta,
“Apakah yang telah terjadi dengan rombongan kecil itu.”
Dengan hati-hati Wanamerta menceritakan semua yang telah dialaminya. Sejak ia menginjakkan kakinya di kota, sampai ia meninggalkan kota itu, tanpa menyembunyikan atau menambahnya sama sekali. Diceriterakan pula bagaimana Sendang Papat seolah-olah menjadi gila ketika ia mengira adiknya telah mati. Sehingga bagaimana mungkin seorang penari sampai hati membakar seperangkat gamelan. Mahesa Jenar mendengarkan setiap kata-kata Wanamerta dengan seksama. Demikian juga Arya Salaka dan Kebo Kanigara. Bahkan pada wajah Arya Salaka kemudian tergores luka di hatinya, sehingga keringat dingin membasahi dahi serta punggungnya. Ia merasa bahwa Wanamerta telah berusaha sedapat-dapatnya untuk menghindari bentrokan yang mungkin terjadi, namun agaknya orang-orang yang menentangnya itu benar-benar telah kehilangan jantungnya. Sedangkan Wanamerta kemudian menjadi gelisah kembali. Bagaimanakah penilaian Mahesa Jenar kepada hasil pekerjaannya. Ketika Wanamerta telah berhenti berceritera, terdengarlah Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Ruangan itu kemudian menjadi sepi senyap. Semuanya menunggu apakah yang akan dikatakan oleh Mahesa Jenar.
“Paman….” Terdengarlah Mahesa Jenar berkata perlahan-lahan.
“Kalau demikian, maka peristiwa itu dapat berakibat buruk. Hari ini orang-orang Pamingit pasti akan mengadakan tindakan-tindakan yang dapat melukai hati rakyat Banyubiru sebagai pembalasan dendam.

SEMUA terdiam. Wanamerta sendiri menyadari hal itu. Karena itu ia berusaha sedapat-dapat menghindarkan diri dari setiap bentrokan yang terjadi. Tetapi ia tidak berhasil. Kemudian terdengar Mahesa Jenar meneruskan,
“Tetapi bukanlah salah Paman.”
Wanamerta menarik nafas. Syukurlah kalau Mahesa Jenar mengetahui kesulitan yang dihadapinya pada waktu itu. Dalam pada itu Mahesa Jenar menyambung kata-katanya pula,
“Tetapi siapakah yang telah berusaha untuk menyelamatkan Paman dari tangan orang-orang Pamingit itu?”
Wanamerta menggeleng lemah.
“Aku tidak dapat mengetahuinya Ngger”.
“Aneh…” Mahesa Jenar bergumam.
“Tetapi keempat kawan-kawannya dapat dikenal oleh Ki Prana,” sahut Sendang Papat,
“Mereka adalah putra-putra dan kemenakan Ki Lemah Telasih yang juga disebut Ki Banyubiru. Tetapi yang seorang itu tak diketahuinya.”
“Bagaimana dengan tanda-tanda yang dimilikinya?” tanya Mahesa Jenar pula. Kemudian Wanamerta mencoba untuk menggambarkan tokoh anak muda yang aneh itu.
Tiba-tiba Widuri tertawa. Dan suara tertawanya telah mengejutkan semua orang yang berada di dalam ruangan itu. Ketika ia sadar bahwa seluruh perhatian tertumpah kepadanya, ia menunduk malu.
“Kenapa kau tertawa?” tanya ayahnya.
“Anak muda yang aneh itu,” jawabnya.
“Kenapa dia?” desak ayahnya.
“Bukankah anak muda itu Kakang Karang Tunggal?” sahut Widuri.
“He…?” Kanigara mengerutkan keningnya. Akhirnya ia berkata,
“Kau benar. Anak itu pasti Karang Tunggal.” Mahesa Jenar akhirnya mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Iapun agaknya sependapat bahwa anak muda itu tidak lain adalah Putut Karang Tunggal, yang nama sebenarnya adalah Mas Karebet, atau mendapat sebutan lain Jaka Tingkir.
“Siapakah dia…?” Wanamerta ingin tahu.
“Kemanakanku,” jawab Kebo Kanigara,
“Nakalnya memang bukan main.” Wanamerta menarik alisnya yang sudah keputih-putihan. Sejak semula ia telah mengagumi Kebo Kanigara seperti ia mengagumi Mahesa Jenar. Jadi kalau kemenakannya dapat melakukan hal yang sedemikian dahsyatnya, agaknya sudah pada tempatnya. Karena itu ia berkata,
“Itulah sebabnya, maka anak muda itu telah mengenal Arya Salaka, Mahesa Jenar, Ki Ageng Supit, Wiraraga dan Mantingan.”
“Anak muda itu telah mengenal Ki Ageng Supit, Kakang Wiraraga dan aku?” tanya Ki Dalang Mantingan.
“Ya, Ngger,” jawab Wanamerta.
“Disebut-sebutnya nama-nama itu.”
“Tidak aneh,” potong Kebo Kanigara,
“Ia berjalan dari satu ujung keujung negeri ini yang lain. Ia singgah hampir setiap perguruan yang ada.”
“Luar biasa….” Terdengar hampir setiap mulut bergumam. Namun mereka tidak lama terpaku pada anak muda yang aneh itu. Sebab merekapun pada saat itu menghadapi keadaan yang cukup gawat.

Meskipun di dalam hati Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terselip pula pertanyaan, kenapa Jaka Tingkir itu tiba-tiba saja berada di Banyubiru? Bukankah ia berangkat dari Karang Tumaritis, untuk mohon diri kepada ibu serta ibu angkatnya untuk mengabdi ke Demak? Apakah ia telah menyia-nyiakan waktu sekian lamanya untuk berjalan ke sana-ke mari tanpa ujung pangkal, sedangkan seorang yang waskita, telah mengatakan kepadanya, bahwa ia akan sanggup untuk menerima jabatan Agung? Tetapi pertanyaan itu tak terucapkan. Sebab tak seorangpun yang akan dapat menjawab. Yang kemudian terdengar adalah suara Mahesa Jenar,
“Paman, bagaimana menurut tanggapan Paman. Apakah orang-orang Pamingit itu akan membuat onar?”
Kembali perhatian Wanamerta terlempar kepada peristiwa malam tadi. Setelah berpikir sejenak iapun menjawab,
“Mungkin Anakmas. Hal itu adalah mungkin sekali.”
“Kalau begitu kita harus mencegahnya.” Mahesa Jenar bergumam seperti untuk diri sendiri. Namun tanggapan Arya Salaka ternyata hebat sekali. Tiba-tiba ia berdiri tegak, dan dengan dada tengadah ia berkata,
“Marilah Paman. Betapa rinduku pada tanah kelahiran. Dan betapa rinduku kepada pangabdian.”
Akibat dari kata-kata Arya Salaka itu ternyata bukan main. Tiba-tiba ruangan itupun menjadi riuh. Wanamerta, Sendang Papat, Bantaran, Panjawi, dan para pemimpin laskar Banyubiru yang lain tiba-tiba serentak berkata,
“Kita serahkan jiwa raga kita untuk kampung halaman, untuk masa depan tanah kelahiran.”
Mahesa Jenar terharu melihat kesetiaan itu. Pernyataan beberapa orang pemimpin laskar Banyubiru itu merupakan cermin dari setiap hati yang lain. Mereka agaknya telah bersedia sepenuh-penuhnya, apapun yang terjadi atas mereka. Bahkan Sendang Parapat yang terbaring itupun berkata perlahan-lahan namun penuh dengan gelora kesetiaannya,
“Kiai Wanamerta, bawalah aku serta. Aku sudah akan sembuh sore nanti.”
“Baiklah,” jawab Mahesa Jenar kepada para pemimpin itu.
“Memang masa depan Banyubiru terletak di tangan kalian. Karena keyakinan itu pulalah maka kalian bersedia berkorban. Laralapa. Menderita selama ini dan untuk masa-masa yang belum kalian ketahui ujungnya. Meskipun seandainya kalian tidak akan mengecap kenikmatan hasil perjuangan kalian, namun anak cucu kalian akan menulis di atas lontar, bahwa pada suatu masa, rakyat Banyubiru bangkit berjuang untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Berjuang untuk anak cucu mereka tanpa pamrih bagi diri sendiri, dengan membiarkan dirinya menderita sakit dan lapar. Namun dengan cita-cita luhur dan murni.”

DADA para pemimpin itupun menjadi semakin bergelora. Seakan-akan mereka tidak sabar lagi menunggu. Ke Banyubiru sekarang juga. Sesaat kemudian terdengarlah Mahesa Jenar meneruskan,
“Karena itu, bersiaplah kalian. Aku akan pergi ke Banyubiru sekarang juga dengan Arya Salaka.”
Ketika Mahesa Jenar berhenti berbicara, tampaklah para pemimpin Banyubiru itu saling berpandangan.
Mereka tidak begitu mengerti maksud kata-kata Mahesa Jenar. Maka terdengarlah Penjawi bertanya,
“Apakah Tuan dan Adi Arya Salaka saja yang akan pergi ke Banyubiru?” Mahesa Jenar menarik alisnya. Hati-hati ia menjawab,
“Tidak. Kalian semua juga akan pergi. Tetapi baiklah aku mendahului.”
Penjawi segera mengetahui maksud Mahesa Jenar. Mahesa Jenar agaknya masih akan mempergunakan cara damainya, yang menurut dugaannya sama sekali tak akan berhasil. Karena itu terdengarlah ia menyahut,
“Tuan dan Adi Salaka, di belakang Tuan berdua adalah kami sekalian. Seluruh laskar Banyubiru ini.”
Mahesa Jenar sekali lagi menarik alisnya. Dengan ragu-ragu ia memandang Kebo Kanigara, seolah-olah minta pertimbangan. Kebo Kanigara pun mengetahui betapa sulitnya mengendalikan perasaan sekian banyak orang yang sedang marah. Tetapi sama sekali kurang bijaksana kalau ia turut campur dalam pembicaraan itu. Sebab laskar Banyubiru itu lebih banyak mengenal Mahesa Jenar daripada dirinya. Dengan demikian Penjawi hanya dapat menganguk-anggukkan kepalanya dan mencoba mengetahui perasaan Arya Salaka. Kalau saja Arya Salaka dapat ditenangkan, maka ada harapan untuk menenangkan seluruh laskar Banyubiru itu. Tetapi ketika terpandang wajah anak muda itu, baik Mahesa Jenar maupun Kebo Kanigara hanya dapat menekan dada mereka. Sebab dari mata anak itu memancarkan api kemarahannya yang menyala-nyala sehingga dalam mata itu seolah-olah membayangkan cahaya api yang bergelora. Apalagi ketika kemudian terdengar anak muda itu berkata,
“Paman, matahari masih belum tinggi di puncak langit. Kalau Paman memerintahkan, sekarang juga kita akan berangkat.”

Mahesa Jenar mengangguk-angguk. Namun di dalam hatinya berkecamuk kecemasan yang gemuruh. Kalau ia menuruti perasaan marah yang meluap-luap dari pemimpin laskar Banyubiru itu, maka akibatnya adalah di luar kemauannya. Yang terjadi kemudian adalah pertempuran yang mengerikan antara sesama keluarga. Antara orang-orang Banyubiru melawan orang-orang Pamingit yang pasti akan dibantu oleh sebagian kecil orang-orang Banyubiru juga. Banyubiru dan Pamingit adalah ibarat daun sirih. Wajah dan punggungnya. Meskipun berbeda ujudnya, namun apabila digigit, akan sama rasanya. Sebab keduanya adalah belahan dari tanah perdikan yang tunggal, tanah perdikan Pangrantunan.
Karena itulah maka Mahesa Jenar mencoba untuk mencegahnya. Dengan sangat hati-hati pula ia berkata,
“Tentu. Aku tentu akan segera minta kalian untuk berangkat. Tetapi kau adalah kunci persoalan itu, Arya. Mestikah kita memilih jalan yang pahit lebih dahulu sebelum kita coba jalan yang licin?”
“Masih adakah jalan yang licin itu, Paman?” tanya Arya Salaka.
“Kemungkinan masih selalu ada, Arya. Apalagi kakekmu Ki Ageng Sora Dipayana telah meminta agar kau datang kepadanya,” jawab Mahesa Jenar.
Arya Salaka diam sesaat. Tetapi ketika ia melihat Sendang Parapat terbaring, menyala kembalilah hatinya. Karena itu ia menjawab,
“Kalau Eyang Sora Dipayana mampu mencegahnya, maka peristiwa ini tak akan berlarut-larut.”
Mahesa Jenar terkejut mendengar jawaban itu. Agaknya Arya telah hampir tidak sabar lagi. Meskipun ia dapat mengetahui perasaan apakah yang telah mendorong anak muda itu, namun apa yang diucapkan itu adalah pertanda betapa sakit luka hati yang dideritanya. Didorong pula oleh sifat kepemimpinan yang dimilikinya, maka ia merasa bertanggungjawab atas keselamatan rakyat Banyubiru.

Tetapi karena itu pulalah maka Mahesa Jenar merasa bahwa usahanya bertambah sulit. Namun demikian ia menjawab,
“Arya, persoalan yang dihadapi oleh eyangmu adalah terlalu sulit. Bukan sekadar mencegah tindakan-tindakan pamanmu saja. Tetapi ada persoalan-persoalan lain yang memaksanya untuk berbuat bijaksana.”
Arya Salaka kurang dapat memahami cara berpikir gurunya. Namun sebagai seorang murid yang selama ini merasakan betapa gurunya itu mengasuhnya dengan penuh kasih sayang dan tanggungjawab, maka Arya Salaka tidak berani lagi untuk membantahnya.
Di sudut hatinya, Arya Salaka pun menaruh kepercayan yang kuat terhadap gurunya itu. Kepercayaan yang sedikit terdesak oleh kemarahan yang meluap-luap. Ia tahu pasti, bahwa seperti bisanya gurunya akan membawanya lewat jalan yang paling bersih dari kemungkinan noda-noda yang dapat memercik pada dirinya. Tetapi disamping itu, ketidaksabarannya telah memukul-mukul dadanya, seolah-olah akan pecah. Mahesa Jenar pun tahu, bahwa kalau kemudian Arya Salaka itu diam, bukanlah karena ia dapat meyakini kata-katanya. Kediaman anak itu baginya, seperti api yang tertutup sekam. Namun api itu tetap menyala di dalam. Karena itulah Mahesa Jenar harus dapat mengambil sikap yang sebijaksana mungkin. Ia harus tidak mematahkan anak-anak Banyubiru, namun ia pun tidak dapat membiarkan anak-anak Banyubiru itu menjadi korban ketergesa-gesaan mereka. Setelah berpikir sesaat terdengarlah Mahesa Jenar berkata,
“Arya Salaka, siapkanlah laskarmu. Kita berangkat bersama-sama.”
Sambutan atas ucapan itu, terdengar seperti gunung meledak. Laskar Banyubiru itupun bersorak dengan riuhnya. Tiba-tiba di dalam ruangan itu menari-narilah ujung-ujung senjata, seperti anak-anak yang riang berloncat-loncatan. Berkilat-kilat ujung-ujung pedang, tombak, keris dan sebagainya. Diiringi oleh janji setia yang diucapkan tak teratur berebut keras.

PARA pemimpin laskar Banyubiru itupun kemudian berpencaran ke pasukan masing-masing. Sesaat kemudian riuhlah perkemahan itu. Arya Salaka mempunyai daya tarik yang tak ternilai besarnya, disamping perasaan keadilannya yang terinjak-injak. Karena itu, tanpa dikehendakinya, iapun melompat ke luar dari ruangan itu. Dengan wajah berseri ia melihat laskarnya mempersiapkan diri. Ia berjalan dari satu kemah ke kemah yang lain. Ia melihat kelompok demi kelompok, seolah-olah ia ingin mengetahui segenap kekuatan yang ada dalam laskarnya. Namun dalam pada itu, di dalam kemahnya, Mahesa Jenar duduk termenung. Ia tidak dapat pergi meninggalkan laskar Banyubiru dalam keadaan yang demikian. Sebab di luar pengawasannya, dapat saja mereka melakukan hal-hal yang justru merugikan nama baik mereka dan bertentangan dengan tujuan mereka. Tetapi untuk membawa mereka serta agaknya juga akan menjadi persoalan. Bagaimana sebaik-baiknya menghentikan mereka, dan memberi kesempatan kepadanya untuk menemui Ki Ageng Sora Dipayana bersama-sama dengan Arya Salaka. Ia masih mengharap kewibawaan orangtua itu atas putra serta cucunya. Kebo Kanigara pun agaknya menemui kesulitan dalam persoalan ini. Perlahan-lahan ia berkata,
“Mahesa Jenar, tipislah harapan kita, untuk menempuh jalan lain, kecuali bertempur. Sebab laskar Banyubiru sudah sedemikian lama menahan diri. Dan Arya Salaka sendiri tampaknya tidak sabar lagi.”
Mahesa Jenar mengangguk-angguk. Ia masih mempunyai harapan untuk menghentikan pasukan itu di tengah jalan, dan membiarkan mereka menunggu sesaat. Tetapi bagaimanakah caranya, sehingga tidak menimbulkan kejengkelan pada laskar yang setia itu?
“Kalau Arya dapat kau tenangkan, Mahesa Jenar, mungkin seluruh laskar inipun akan tunduk pada perintahnya. Sebab api di dalam dada mereka itupun semakin berkobar ketika Arya Salaka berada di antara mereka,” lanjut Kebo Kanigara.
“Tak ada jalan untuk berbuat demikian Kakang. Arya telah waringuten. Agaknya ia tak dapat diajak berunding lagi. Meskipun seandainya ia diam, namun kediamannya itu justru berbahaya bagi dirinya,” jawab Mahesa Jenar.
Tiba-tiba dalam kesenyapan itu terdengar Rara Wilis berkata kepada Endang Widuri,
“Endang, bagaimana perasaanmu saat ini? Apakah kau bergembira pula seperti Arya Salaka?” Widuri tidak tahu arah persoalannya. Meskipun ia mendengar pembicaraan ayahnya dan Mahesa Jenar, namun sebenarnya ia lebih setuju dengan pendapat Arya Salaka. Kenapa Banyubiru itu tidak digempur saja.
Karena itu iapun menjawab,
“Aku bergembira seperti Kakang Arya Salaka. Aku kagum pada sikap jantan yang dimilikinya.”
Rara Wilis mengangguk-angguk.
“Kaupun bersikap jantan,” katanya.
“Kenapa aku…?” sahutnya.
“Aku hanya sekadar bergembira melihat sikapnya.” Rara Wilis tersenyum. Seperti bergumam ia berkata kepada diri sendiri,
“Aku teringat pada cerita Purwa, pada saat menjelang Baratayuda. Orang-orang Pandawa pun menjadi ragu-ragu. Apakah mereka harus berjuang melawan sanak kadang mereka sendiri. Tetapi akhirnya pertempuran itupun tak dapat dihindari. Tak dapat dihindari, meskipun segala usaha damai telah dicoba. Prabu Duryudana lebih senang mendengar nasihat Durna daripada pamannya sendiri. Diantaranya Resi Bima, seorang Resi yang bijaksana, dan Prabu Salya, mertua Prabu Duryudana sendiri.

Yang mendengar ceritera itupun berdiam diri. Masing-masing dengan tanggapannya sendiri. Namun tak seorangpun yang memotong cerita itu.
“Ketika Bisma gugur…” lanjut Wilis,
“Para kadang Pandawa masih sempat menghadap Resi yang dipundhi-pundhi itu. Mereka masih sempat minta maaf dan minta pangestu kepadanya. Demikian juga sebelum Prabu Salya gugur. Nakula dan Sadewa sempat mengharap orang tua yang sakti itu. Dengan air mata mereka berdua minta agar mereka dijauhkan dari dosa mereka, karena mereka harus bertempur melawan saudara-saudara mereka yang lebih tua.”
Sekali lagi Rara Wilis diam sesaat. Widuri mendengarkan dengan penuh minat. Tetapi wajahnya telah berubah dari semula.
“Ketika kedua junjungan para darah Barata itu gugur, menyesallah kedua belah pihak. Tetapi lebih menyesal lagi mereka, seandainya mereka tidak sempat menghadap sebelumnya. Mohon maaf segala kekhilafan lahir batin. Dan akan lebih menyesal pulalah mereka, seandainya sebelum Baratayuda itu mulai, mereka belum bersimpuh di hadapan para junjungan itu”.
Wilis meneruskan. Widuri menarik nafas. Otaknya memang benar-benar cemerlang seperti bintang pagi. Sebelum Rara Wilis meneruskan, Widuri berkata perlahan-lahan,
“Bukankah Arya Salaka mampunyai junjungan pula di Banyubiru? Bukankah eyang Arya Salaka itu berada di sana, dan mungkin akan gugur pula dalam bentrokan ini?”
Rara Wilis mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan perlahan-lahan pula ia menjawab,
“Tak seorangpun yang mampu menyampaikan kekhilafan ini kepada Arya Salaka. Bukankah kau mau menolongnya, supaya ia tidak akan menyesal sepanjang hidupnya kelak?”
Widuri memandang ayahnya, Mahesa Jenar, Wilis dan orang-orang lain di dalam ruangan itu dengan senyum yang kecil. Tiba-tiba ia merasa berbahagia menerima tugas itu.
“Tidak adakah orang lain yang dapat berbuat demikian…?” bisik hatinya.
“Akan aku coba,” katanya,
“Supaya Kakang Arya Salaka tidak berbuat kesalahan. Bukankah maksud bibi sebaiknya Arya Salaka sowan eyang Ki Ageng Sora Dipayana? Bukankah dengan demikian Paman Mahesa Jenar dapat melaksanakan rencananya? Namun apabila rencana itu gagal, Arya Salaka tidak akan menyesal seandainya eyangnya itu gugur seperti Resi Bisma. Sebab ia telah bersujud di bawah kakinya.

SEMUA yang mendengar percakapan itu menarik nafas dalam-dalam. Mahesa Jenar mengucap syukur dalam hati atas kelincahan perasaan Rara Wilis. Sebagai seorang gadis, ia mempunyai tanggapan yang lebih halus terhadap pergaulan Arya Salaka dan Endang Widuri. Tanpa disengaja, ia mengamat-amati gadis itu seperti belum pernah melihat sebelumnya. Dalam keadaan yang sedemikian, Mahesa Jenar sempat juga sekali lagi mengagumi gadis itu. Namun di dalam hatinya, Rara Wilis bukanlah gadis belasan tahun lagi. Bahkan ia sudah melampaui dunia remaja, yang tak pernah dinikmatinya seperti gadis-gadis yang lain. Hidupnya penuh dengan persoalan-persoalan yang rumit, yang menuntut ketabahan hati dan malahan akhirnya menjadikan gadis itu tidak saja berhati tabah, tetapi juga bertubuh kuat dan berilmu cukup tinggi. Meskipun demikian ia tidak dapat menerima uluran tangan saudara tua seperguruannya, untuk menikmati kelimpahan raja brana, sebagai seorang isteri Demang yang kaya raya. Ia lebih senang menunggunya, seorang kleyang kabur kanginan. Bahkan ikut serta dengan dirinya, menempuh penghidupan yang penuh dengan bahaya dalam pengabdiannya kepada Tuhan, manusia serta kemanusiaan. Memancarkan cinta kasih abadi dari sumbernya yang tertinggi. Disamping itu, iapun mengagumi ketangkasan berpikir Endang Widuri. Gadis itu agaknya mempunyai keistimewaan yang tak dapat diduga-duga. Dalam pada itu, Mahesa Jenar pun tidak heran, bahwa Endang Widuri adalah tetesan darah Pengging. Anak Kebo Kanigara. Widuri kemudian tidak menunggu terlalu lama. Iapun segera berlari ke luar. Ia sudah bertekad untuk melakukan tugasnya sebaik-baiknya.
Dengan berlari-lari kecil ia mencari Arya Salaka diantara keributan para anggota laskar Banyubiru itu. Widuri menemukan Arya Salaka di ujung perkemahan itu. Anak muda itu sedang berdiri tegak di atas sebuah batu yang besar. Seperti sebuah tonggak ia tak bergerak, memandang ke arah pegunungan yang terbujur di hadapannya. Telamaya. Ketika Arya Salaka mendengar langkah-langkah kecil berjalan ke arahnya, iapun menoleh.
Sambil tersenyum ia menyapa halus,
“Siapakah yang kau cari Widuri?”
“Tidak ada,” jawab gadis itu singkat. Namun kemudian gadis itupun dengan lincahnya meloncat ke atas batu itu. Ia ingin menyampaikan pesan bibi Wilis itu perlahan-lahan, supaya Arya Salaka dapat menangkap urutan maksudnya.
Tetapi sebelum ia mulai berceritera terdengarlah Arya Salaka berkata,
“Sebentar lagi aku akan pergi ke bukit itu.”
“Ya,” jawab Widuri singkat.
“Tak seorangpun akan dapat menghalangi. Malang-malang putung, rawe-rawe rantas.” Arya melanjutkan.
“Ya,” jawab Widuri.
“Di sana akan kita jumpai reruntuhan dari gedung yang dibangun sejak Eyang Sora Dipayana, sampai ayah Gajah Sora. Tugas kita adalah membangun reruntuhan itu, menjadikan gedung yang megah dan kuat. Kalau mungkin melampaui masa-masa yang lewat.”
“Ya.”
“Banyubiru harus dapat memancarkan kecemerlangannya kembali. Api yang menyala di jantungnya, yang telah hampir padam karena pokal Paman Lembu Sora, harus aku nyalakan kembali sebesar-besarnya.”
“Ya.”

Widuri mulai gelisah. Agaknya ia tidak akan dapat kesempatan untuk menyampaikan ceriteranya. Apalagi ketika ia sudah nekad untuk memotong angan-angan Arya Salaka itu, tiba-tiba terdengarlah sangkalala berbunyi. Wajah Arya bertambah gembira.
“Kau dengar itu…?”
“Ya,” sahut Widuri, yang benar-benar menjadi gelisah dan cemas.
“Marilah kita bersiap,” ajak Arya. Arya tidak menunggu jawaban Endang Widuri. Dengan serta merta ditangkapnya gadis itu dan ditariknya menghambur ke arah bunyi sangkalala yang menjadi semakin nyaring. Suaranya menyusup lembah-lembah, menghantam bukit-bukit, meraung-raung seperti suara Naga Raja yang marah menuntut balas.
Ketika mereka sampai di perkemahan, mereka melihat laskar Banyubiru itu telah hampir siap. Mantingan, Wirasaba, Bantaran dan Penjawi telah mengenakan pakaian tempur, sambil menjinjing perisai yang belum diterapkan.
Melihat pelengkapan itu, dada Arya Salaka berdesir. Ia jarang melihat orang bertempur dengan perisai. Sekarang ia melihat perlengkapan yang luar biasa. Perisai, tombak larakan yang panjangnya lebih dari dua depa. Panah dan bandil. Tanpa diketahuinya, merayaplah suatu perasaan yang aneh di dalam dadanya.


<<< Bagian 065                                                                                              Bagian 067 >>>

No comments:

Post a Comment