TAK ada jawaban. Orang-orang Pamingit itu masih diam. Beberapa orang menjadi semakin pucat.
“Tidakkah ada
yang dapat menjawab?” tanya anak muda itu pula. Lalu tiba-tiba sambil menunjuk
kepada orang yang semula memperbandingkan Arya Salaka dan Sawung Sariti, anak
muda itu bertanya,
“Hai, kau yang
membanggakan anak Lembu Sora itu, jawablah, manakah yang lebih masak. Lebur
Sekethi yang dibumbui dengan pemanjaan diri ataukah Sasra Birawa yang dialasi
oleh penderitaan lahir dan batin, namun dijiwai oleh ketawakalan dan pasrah
diri kepada Tuhan Yang Maha Esa…?”
Orang yang
ditunjuk itupun menjadi semakin ketakutan. Terasa lututnya bergetar. Dan
mulutnya tiba-tiba seperti terkunci.
“Tidakkah kau
bisa menjawab?” tanya anak muda itu pula. Namun orang itupun benar-benar tak
mampu menjawab. Karena itu terdengarlah anak muda itu tertawa.
“Jangan
takut,” katanya.
“Aku tidak
akan membunuh seorangpun diantara kalian, apabila tidak berbuat hal-hal yang
tak aku kehendaki.”
Anak muda itu
diam sesaat, lalu meneruskan,
“Ketahuilah
dan rasakanlah kebenaran kata-kataku. Ilmu yang bagaimanapun dahsyatnya, tetapi
ia tidak diterapkan dalam pengabdian yang benar, ia sama sekali tak berarti.
Bahkan ia akan menjadi jauh lebih berbahaya dari segala macam ilmu. Sebaliknya
Arya Salaka telah menempatkan dirinya dalam kancah penderitaan lahir batin.
Dengan suatu keyakinan, bahwa berbahagialah mereka yang menderita. Sebab dengan
demikian ia akan dapat menempatkan dirinya dalam pengabdian untuk mereka yang
menderita. Dalam tempat itulah Arya Salaka akan mempergunakan ilmunya. Dan
tidak mustahil bahwa pada suatu ketika Arya Salaka akan berdiri berentang muka
dengan Sawung Sariti. Masing-masing dengan Sasra Birawa dan Lebur Seketi.
Tetapi Lebur Saketi yang telah dinodai.”
Ketika anak
muda itu diam untuk sesaat, lapangan itu dicengkam oleh kesepian. Suara api
telah lama terhenti. Dan nyalanyapun telah menjadi semakin pudar pula.
“Kalau begitu…”
akhirnya anak muda itu berkata pula,
“Tinggalkan
tempat ini. Katakan kepada laskar Pamingit yang lain bahwa Arya Salaka akan
datang. Katakan bahwa seorang anak muda telah mempertunjukkan ilmu Arya itu.
Sebagian kecil saja. Sebab Arya Salaka tidak saja dapat memecahkan kepala kuda,
tetapi batu sebesar kepala kuda itu, dan bahkan kepala kalian semua.”
Mendengar
kata-kata itu, mulailah laskar Pamingit itu gelisah. Mereka, yang bagaimanapun
juga adalah laskar-laskar yang dipercaya, agak malu untuk begitu saja
meninggalkan tugasnya. Karena itulah maka anak muda itu membentak,
“Kenapa kalian
belum juga pergi? Apakah kalian masih ingin melihat pertunjukan yang lain…?
Pergilah. Kenangkanlah di dalam dadamu. Kalau Arya Salaka mampu berbuat
demikian, apakah yang akan dapat dilakukan oleh gurunya, Mahesa Jenar?”
Sekarang
orang-orang Pamingit itu tidak menunggu perintah itu untuk ketiga kalinya.
Ketika salah seorang dari mereka, menarik kekang kudanya, dan kemudian
memutarnya, yang lain-lainpun segera berloncatan meninggalkan tanah lapang yang
mengerikan itu. Sesaat kemudian tinggallah Wanamerta, Sendang Papat, anak muda
yang perkasa itu dan keempat kawannya.
Dalam
cengkaman keheranan Wanamerta dan Sendang Papat tertegun seperti tonggak batu.
Mereka tersadar ketika anak muda itu mendekati mereka sambil berkata,
“Paman
Wanamerta, sebaiknya Paman meninggalkan tempat ini. Siapa tahu bahwa laskar
Pamingit akan kembali dengan kekuatan yang lebih besar. Meskipun barangkali aku
masih dapat melindungi Paman dan Kakang Sendang Papat, meskipun seandainya
Lembu Sora sendiri yang datang, namun perbuatan itu sama sekali kurang
bijaksana. Bukankah Paman mendapat kesempatan untuk pergi sekarang?”
“Ya, ya,
Ngger,” jawab Wanamerta terputus-putus,
“Aku ucapkan
terima kasih yang tak terhingga.”
“Paman dapat
mempergunakan kuda-kuda kami untuk kawan-kawan Paman dan Kakang Sendang
Parapat. Tinggalkan kota ini sebelum matahari terbit. Supaya Paman tidak banyak
mengalami gangguan, serta kemungkinan-kemungkinan yang berbahaya dapat
dikurangi.”
Anak muda itu
meneruskan.
“Baik, baik
Ngger,” jawab Wanamerta, yang seolah-olah merasa dirinya betapa bodohnya.
Tiba-tiba ia teringat pada keinginannya untuk mengetahui siapakah pemuda yang
aneh, yang memiliki keperkasaan yang luar biasa itu. Katanya kemudian,
“Tetapi
perkenankanlah aku mengetahui siapakah Angger-angger ini semuanya?”
Anak muda itu
tersenyum. Jawabnya,
“Paman tidak
perlu mengenal aku. Aku adalah anak kabur kanginan. Tanpa tempat tinggal, tanpa
sanak kadang.”
Wanamerta
menarik nafas panjang. Desaknya,
“Ah, apakah
keberatan Angger?. Aku hanya sekadar ingin menceritakannya kepada Angger Mahesa
Jenar dan Cucu Arya Salaka, bahwa Angger telah menyelamatkan kami berdua.”
Anak muda itu
tertawa. Kemudian ia meloncat dari kudanya. Ia tidak menjawab pertanyaan
Wanamerta, tetapi katanya,
“Bawalah
kudaku. Kawan-kawanku akan mengantarkan. Seterusnya, pakailah kuda-kuda mereka
untuk kembali ke perkemahan.”
“Terimakasih
Ngger,” jawab Wanamerta,
“Kami
mengucapkan terimakasih yang tak ada taranya. Tetapi Angger belum menjawab
pertanyaanku.” Sekali lagi anak itu menghindari pertanyaan Wanamerta, katanya,
“Waktuku tidak
terlalu banyak Paman. Kami persilahkan Paman berangkat.”
Lalu kepada
kawan-kawannya ia berkata,
“Antar Paman
sampai tempat Kakang Sendang Parapat disembunyikan. Pinjamkan dua ekor kuda
kalian. Aku akan pulang dahulu dengan berjalan kaki.” Pemuda itu tidak menunggu
lama, kepada Wanamerta ia minta diri, katanya,
“Sudahlah
Paman, aku tidak akan membuat permusuhan-permusuhan di Banyubiru. Lebih baik aku
menyembunyikan diri. Salamku buat Paman Mahesa Jenar dan Arya Salaka, Bibi
Wilis dan Widuri, kalau ia turut serta. Juga untuk Paman Kebo Kanigara.”
Setelah itu,
maka dengan tidak menunggu jawaban, ia melangkah meninggalkan Wanamerta dan
Sendang Papat yang memandanginya dengan kagum. Anak itu berjalan dengan langkah
yang tetap tegap. Seakan-akan dari tubuhnya memancarkan kewibawaan yang agung.
Tiba-tiba
Wanamerta ingat kepada kata-katanya. Kata-kata anak muda yang tak mau dikenal
itu, bahwa Arya Salaka pun mampu melakukan apa yang baru saja dilihatnya dengan
Sasra Birawa. Karena itulah ia menjadi bangga dan berbesar hati. Meskipun Arya
agak lebih muda dari anak yang aneh itu, namun ia yakin bahwa Arya Salaka pun
akan mampu menggemparkan orang-orang Pamingit kelak.
“Marilah
Paman….” Tiba-tiba seorang dari anak muda yang empat itu mengajak.
WANAMERTA
terkejut. Seperti orang tersadar dari mimpinya, ia menjawab tergagap,
“Marilah
Angger.” Sesaat kemudian berjalanlah iring-iringan kuda itu ke rumah Prana,
tempat Sendang Parapat disembunyikan. Sendang Papat menggandeng kuda anak muda
yang tak mau dikenalnya, sedang Wanamerta duduk dengan muka tunduk.
Tiba-tiba
seperti orang yang teringat sesuatu Wanamerta bertanya,
“Anak-anak
muda, siapakah sebenarnya kalian ini?” Mereka berempat tersenyum bersama-sama.
Salah seorang dari mereka menjawab,
“Kami adalah
anak-anak Banyubiru saja Kiai.” Wanamerta menarik nafas kecewa. Anak-anak
itupun agaknya tidak mau menyatakan diri mereka. Ia menjadi heran, kenapa hal
itu disembunyikan. Apakah mereka takut pembalasan dendam dari orang-orang
Pamingit? Dan bukankah ia bukan orang Pamingit? Dan bukankah anak muda yang
pertama tadi tidak takut kepada Lembu Sora sekalipun? Alangkah hebatnya.
Seorang yang masih semuda itu, telah memiliki ilmu yang dapat disejajarkan
dengan Ilmu Lembu Sora. Tetapi Wanamerta tidak bertanya lagi. Ia merasa bahwa
hal itu tak akan berguna. Kenangannya kemudian bergeser kepada Sendang Parapat.
Mudah-mudahan ia mendapat pertolongan.
Perjalanan
mereka tidak memerlukan waktu lama. Rumah Prana tidak begitu jauh dari tanah
lapang itu. Begitu mereka sampai, Sendang Papat tidak menunggu lagi. Segera ia
meloncat menambatkan kudanya serta kuda yang dituntunnya, untuk kemudian dengan
tergesa-gesa mengetuk pintu rumah itu. Sekali dua kali, ketukannya tidak
mendapat jawaban. Baru setelah Sendang Papat mengulang-ulang, terdengarlah
seseorang bertanya,
“Siapa…?”
“Aku Sendang
Papat,” jawabnya. Perlahan-lahan pintu rumah itupun terbuka. Seorang yang telah
setengah umur, berdiri dibalik pintu itu.
“Paman Prana,”
sapa Sendang Papat.
“O, kau
Sendang, masuklah,” jawab Prana.
“Aku bersama
dengan Kiai Wanamerta,” jelas Sendang Papat.
“Marilah
Kiai,” ajak Prana,
“Marilah
masuk.” Wanamerta mengangguk sambil menjawab,
“Baiklah
Prana.” Lalu kepada keempat pemuda yang mengantarnya ia berkata,
“Kami
persilahkan angger singgah di rumah sahabat ini.”
“Terimakasih
Kiai, kami akan segera pulang,” jawab mereka. Dan setelah mereka meninggalkan
dua kuda mereka, segera merekapun minta diri. Keempat anak muda itu dengan
mempergunakan dua ekor kuda segera meninggalkan halaman itu.
“Anak-anak
yang aneh,” gumam Wanamerta. Sendang Papat sudah tidak sabar lagi. Segera ia
bertanya tentang adiknya. Setelah pintu rumah itu ditutup kembali, segera
mereka dibawa ke ruang belakang, dimana Sendang Parapat dibaringkan.
Ketika
Wanamerta dan Sendang Papat memasuki ruangan itu, mereka melihat tubuh Sendang
Parapat diam terbaring. Di sebelahnya duduk tiga orang kawannya. Ketika Sendang
Papat meraba tubuh adiknya itu, Sendang Parapat membuka matanya. Perlahan-lahan
terdengar ia berkata,
“Maafkan aku
Kakang, aku tidak dapat memenuhi harapanmu. Menjadi prajurit yang baik.”
Sendang Papat
merapatkan diri duduk di samping adiknya. Bisiknya,
“Kau telah
berusaha Parapat. Kejadian ini sama sekali bukan salahmu. Orang-orang Sontani
telah mulai dengan curang, menyerang kau dari belakang.”
“Tidak
sepantasnya aku mengemban tugas ini Kakang.” Sendang Parapat meneruskan
seolah-olah ia tidak mendengar kata-kata kakaknya.
“Jangan berpikir
terlalu jauh, Parapat…” sahut Wanamerta.
“Kau telah
melakukan tugasmu dengan baik. Bukankah tak seorangpun mampu berbuat sesuatu,
apabila ia mendapat serangan seperti serangan atas dirimu? Sekarang, tenangkan
hatimu. Mudah-mudahan lukamu lekas sembuh.”
“Ya,” jawab
Sendang Parapat,
“Aku ingin
lukaku lekas sembuh. Sekarang, aku tunggu. Besok aku akan kembali dengan keris
ditangan.” Wanamerta, Sendang Papat dan mereka yang mendengar kata-kata itu
menjadi terharu.
“Bagus…” bisik
Wanamerta.
“Kau akan
segera kembali ke Banyubiru.” Sendang Parapat diam. Tetapi wajahnya sudah tidak
terlalu pucat. Nafasnya telah mulai teratur. Darah sudah tidak mengalir lagi
dari lukanya. Agaknya Ki Prana berhasil mendapatkan jenis daun-daunan yang
baik. Dalam keadaan yang demikian itulah Wanamerta dan Sendang Papat teringat
kepada pesan anak muda yang aneh itu,
“Tinggalkan
tempat ini sebelum matahari terbit.”
“Sendang…”
berbisik Wanamerta, “bagaimana dengan pesan anak muda itu?”
“Baiklah kita
usahakan Kiai. Kita tinggalkan kota ini sebelum matahari terbit,” jawab Sendang
Papat. Mereka berdua bersama-sama memandang Sendang Parapat. Dapatkah anak itu
diajak berjalan atau berkuda? Agaknya Sendang Parapat merasa, bahwa dirinya
menjadi persoalan. Karena itu perlahan-lahan ia berkata,
“Aku dapat
berbuat apa saja yang kalian kehendaki. Berjalan pulang atau bertempur sekarang
juga.”
Wanamerta
menarik nafas. Anak muda ini memang berhati baja seperti juga kakaknya yang
hampir saja bunuh diri.
“Parapat…”
jawab Wanamerta,
“Baiklah kami
berkuda pulang ke perkemahan. Di sana dapat kita kaji untung rugi dari setiap
langkah kita dengan tenang.”
“Apalagi
berkuda,” jawab Parapat. Kemudian merekapun segera bersiap. Prana tidak dapat
menahan mereka, sebab ia tahu bahwa mereka sedang melakukan tugas mereka.
Setelah luka Sendang Parapat dibalut, maka segera ia dipapah dan diangkat ke
atas punggung kuda untuk dinaiki bersama dengan kakaknya.
PRANA
berdesis,
“Kuda yang
bagus. Dari mana Kiai mendapatkan kuda ini?”
“Dari seorang
anak muda yang tak mau kami kenal,” jawab Wanamerta.
“Yang berempat
tadi?” tanya Prana.
“Seorang
lagi,” jawab Wanamerta pula.
“Kawan dari
yang empat ini.”
“O…” sahut
Prana,
“Kalau yang
empat itu, aku kenal mereka.”
“He…?” Sendang
Papat memotong,
“Siapakah
mereka?”
“Belum lama
mereka muncul. Sebelumnya mereka selalu tekun ke padepokan Lemah Telasih,”
jawab Prana.
“Putra Ki
Lemah Telasih?” tanya Wanamerta.
“Ya. Putra dan
kemenakan Ki Lemah Telasih,” jawab Ki Prana.
“Ya ampun,”
sahut Wanamerta,
“Jadi mereka
anak-anak dan kemenakan Ki Lemah Telasih yang juga disebut Buyut Banyubiru
itu?”
“Ya.”
“Yang seorang
lagi?” Sendang Papat menyela.
“Siapa?” sahut
Prana, “Mereka hanya selalu berempat. Tak ada orang lain di padepokan itu.”
“Ada. Seorang
yang gagah tampan dan berwibawa anggun. Sungguh anak yang luar biasa,” sambung
Sendang Papat.
Ki Prana
menggelengkan kepalanya.
“Entahlah,”
jawabnya. Wanamerta dan Sendang Papat jadi kecewa. Tetapi ia tidak dapat
memaksa untuk mendapat jawaban. Karena itu segera mereka minta diri untuk
segera kembali ke perkemahan.
Sesaat
kemudian mereka segera berangkat beriringan. Sekarang ketiga orang kawan
Sendang-lah yang berkuda di muka. Kemudian Sendang kakak-beradik. Malam masih
gelap bukan main. Di langit bintang-bintang berkedip-kedip gemerlapan. Angin pegunungan
yang segar perlahan-lahan mengusap tubuh mereka yang sedang menempuh
perjalanan. Alangkah dinginnya. Tetapi udara yang segar itu telah menyegarkan
tubuh Sendang Parapat. Di sana-sini terdengar ayam jantan berkokok untuk yang
terakhir kalinya.
“Hampir pagi,”
desis Wanamerta.
“Fajar telah
membayang di timur,” sahut Sendang Papat. Kemudian mereka diam.
Masing-masing
terbenam ke alam yang lampau. Semasa Banyubiru mengalami masa yang aman damai.
Semasa mereka menikmati hidup yang tenteram. Sebelum orang-orang dari golongan
hitam mulai mengganggu daerah ini, disusul oleh nafsu berkuasa dari adik Ki
Ageng Gajah Sora sendiri.
Dua bencana
yang sama-sama menjadikan Banyubiru porak poranda. Dikenangnya masa-masa yang
lampau. Sekali dua kali, dalam perayaan-perayaan bersih desa, ia selalu muncul
dalam malam-malam yang mengesankan. Sebagai seorang penari yang baik bersama
dengan adiknya, ia selalu mendapat perhatian dari kawan-kawannya. Apabila ia
menari topeng dalam lakon Panji, yang kadang-kadang pertunjukan itu sampai
menjelang pagi. Ia kemudian menjadi bangga kalau pertunjukan selesai, tanpa
melepaskan pakaian penernya, ia berjalan menyusur jalan-jalan kota, pulang ke
rumahnya. Ia menjadi semakin bangga kalau gadis-gadis yang berdiri di tepi
jalan saling berbisik,
“Itulah
Sendang Papat, penari terbaik dari anak-anak muda di Banyubiru.”
Fajar kali
inipun ia menyusuri jalan kota. Tetapi untuk menjauhinya. Tak seorangpun kali
ini yang berbisik-bisik,
“Itulah
Sendang Papat, penari terbaik dari anak-anak muda di Banyubiru.” Namun meskipun
demikian, kali ini pun ia bangga. Hatinya sendirilah yang berbisik-bisik,
“Inilah
Sendang Papat, salah seorang anak muda di Banyubiru yang berjuang menegakkan
keadilan dan kebenaran.”
Tetapi yang
terdengar di fajar yang dingin itu hanyalah angin yang berdesir. Warna semburat
merah mulai tersirat dari balik punggung-punggung pegunungan. Dan rombongan
itupun menjadi semakin jauh dari pusat kota menuju ke perkemahan yang sudah
dekat berada di hadapan mereka. Sebab sebelum mereka berangkat, mereka sudah
mengetahui bahwa laskar Banyubiru itupun akan merangkak maju mendekati kota.
Ketika mereka telah melampui batas, legalah hati mereka. Sebab kemungkinan
untuk menemui bahaya menjadi semakin berkurang. Mereka pasti, bahwa laskar
Lembu Sora tak akan mengejar mereka. Sebab merekapun pasti ragu pula, apakah
orang-orang Banyubiru itu tidak membawa banyak kawan. Ketika matahari kemudian
menjenguk dari atas perbukitan dan melemparkan sinarnya yang pertama, Wanamerta
dan kawan-kawannya telah jauh dari setiap bahaya yang mengancam. Mereka dapat
berjalan dengan tenang menuju ke perkemahan, di sana menunggu Mahesa Jenar dan
Arya Salaka. Tetapi semakin dekat mereka dengan perkemahan, semakin gelisahlah
mereka. Apakah yang akan dikatakan oleh Mahesa Jenar tentang mereka, tentang
rombongan kecil yang ditugaskan untuk meyakinkan rakyat Banyubiru tentang
kebenaran perjuangan Arya Salaka…? Rombongan kecil itu mendapat tugas untuk
memperbanyak kawan, bukan lawan. Sedang yang terjadi adalah sebuah keributan dan
bencana, meskipun itu adalah di luar kehendak mereka. Namun disamping perasaan
gelisah mereka tidak lupa, mengucap syukur di dalam hati mereka, bahwa mereka
telah terlepas dari bahaya maut yang hampir saja menjebak mereka. Mengucap
syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, yang masih memberi kesempatan kepada
mereka untuk menikmati kecerahan sinar matahari. Ketika matahari sepenggalah,
tampaklah di hadapan mereka, di dalam sebuah lembah yang berdinding curam,
rumah-rumah kacang daun ilalang. Itulah perkemahan anak-anak Banyubiru. Mereka
memilih tempat itu untuk menghindari penyerbuan yang tiba-tiba. Sebab di lembah
itu, mereka hanya dapat dicapai lewat mulut yang menghadap ke dua arah.
Sehingga dengan demikian, mereka seolah-olah berada di dalam sebuah benteng
yang kuat.
KEDATANGAN
Wanamerta mengejutkan anak-anak Banyubiru. Mereka menyangka bahwa Wanamerta
akan tinggal di dalam kota beberapa hari lamanya. Tiba-tiba baru semalam mereka
meninggalkan induk pasukan, kini mereka telah datang kembali. Apalagi ketika
mereka melihat salah seorang dari rombongan itu terluka.
“Sendang
Parapat terluka,” teriak salah seorang.
“He..?” sahut
yang lain terkejut,
“Apa katamu?”
“Sendang
Parapat terluka,” teriak orang pertama. Teriakan itu kemudian berkumandang, dan
mengalir dari mulut ke mulut yang lain. Maka gemparlah perkemahan itu. Seorang
kemudian berlari menemui Mahesa Jenar dan dengan nafas yang memburu berkata
tergesa-gesa,
“Wanamerta
telah kembali. Sendang Parapat terluka. Agaknya lukanya cukup berat.”
Mahesa Jenar,
Arya Salaka dan Kebo Kanigara yang berada di perkemahan itu terkejut. Dengan
gemetar Arya Salaka terloncat berdiri sambil bertanya,
“Apa katamu?
Sendang Parapat terluka?”
Orang itu
mengangguk.
Arya Salaka
benar-benar terpengaruh oleh berita itu. Sehingga tiba-tiba saja ia telah
meloncat menghambur menyongsong rombongan kecil itu, disusul oleh Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara. Wajah-wajah mereka menunjukkan ketegangan yang gelisah.
Dari kejauhan
Arya melihat rombongan kecil itu dikerumuni oleh laskarnya. Wanamerta telah
turun dari kudanya. Demikian juga kawan-kawannya yang lain, kecuali Sendang
Papat yang masih menjaga adiknya di atas punggung kuda. Ketika orang-orang yang
mengerumuni Wanamerta itu melihat kedatangan Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara, segera menyibaklah mereka. Sesaat kemudian disusul kedatangan
Mantingan, Wirasaba, Rara Wilis dan Endang Widuri. Arya Salaka memandang
Sendang Parapat yang pucat di atas punggung kudanya. Ketika matanya tersangkut
pada darah yang memerah di pakaian anak muda itu, hatinya berdesir cepat.
Tiba-tiba
terdengarlah pertanyaannya dengan suara yang bergetar,
“Kau terluka
Kakang Parapat?”
Sendang
Parapat mengangguk. Namun mulutnya mencoba untuk tersenyum. Dengan suara
perlahan-lahan ia menjawab,
“Tidak
seberapa. Hanya luka kecil.”
Arya menarik
nafas, kemudian terdengarlah giginya berdetak. Dari matanya memencar kemarahan
yang tak terkira.
“Siapakah yang
melukaimu?”
Sendang
Parapat tidak menjawab. Ia menoleh kepada Wanamerta. Agaknya ia minta supaya
orang tua itulah yang menjelaskannya. Tetapi sebelum Wanamerta berceritera,
berkatalah Mahesa Jenar,
“Paman,
bawalah Sendang Parapat ke kemahku. Biarlah lukanya mendapatkan perawatan.
Sementara itu Paman dapat berceritera dengan tenang tentang apa yang telah
terjadi atas Paman dan Sendang berdua.”
Wanamerta
mengangguk. Kemudian dibawanya Sendang Parapat ke kemah Mahesa Jenar. Kebo
Kanigara yang telah cukup lama tinggal di padepokan Karang Tumaritis, agaknya
telah prigel pula mengobati luka. Ia mencoba membuka luka Sendang Parapat dan
membersihkannya dengan air hangat.
“Bagaimana
Kakang?” tanya Mahesa Jenar. Sedangkan Arya Salaka menjadi gelisah
mondar-mandir di dalam ruangan itu.
“Mudah-mudahan
luka-luka ini segera sembuh,” jawab Kebo Kanigara, yang kemudian mengobati luka-luka
dengan ramuan dedaunan dan akar-akaran yang memang sudah disediakan. Ketika
Sendang Parapat telah dibaringkan, maka mulailah Mahesa Jenar bertanya kepada
Wanamerta,
“Apakah yang
telah terjadi dengan rombongan kecil itu.”
Dengan
hati-hati Wanamerta menceritakan semua yang telah dialaminya. Sejak ia
menginjakkan kakinya di kota, sampai ia meninggalkan kota itu, tanpa
menyembunyikan atau menambahnya sama sekali. Diceriterakan pula bagaimana
Sendang Papat seolah-olah menjadi gila ketika ia mengira adiknya telah mati.
Sehingga bagaimana mungkin seorang penari sampai hati membakar seperangkat
gamelan. Mahesa Jenar mendengarkan setiap kata-kata Wanamerta dengan seksama.
Demikian juga Arya Salaka dan Kebo Kanigara. Bahkan pada wajah Arya Salaka
kemudian tergores luka di hatinya, sehingga keringat dingin membasahi dahi
serta punggungnya. Ia merasa bahwa Wanamerta telah berusaha sedapat-dapatnya
untuk menghindari bentrokan yang mungkin terjadi, namun agaknya orang-orang
yang menentangnya itu benar-benar telah kehilangan jantungnya. Sedangkan
Wanamerta kemudian menjadi gelisah kembali. Bagaimanakah penilaian Mahesa Jenar
kepada hasil pekerjaannya. Ketika Wanamerta telah berhenti berceritera,
terdengarlah Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Ruangan itu kemudian menjadi
sepi senyap. Semuanya menunggu apakah yang akan dikatakan oleh Mahesa Jenar.
“Paman….”
Terdengarlah Mahesa Jenar berkata perlahan-lahan.
“Kalau
demikian, maka peristiwa itu dapat berakibat buruk. Hari ini orang-orang
Pamingit pasti akan mengadakan tindakan-tindakan yang dapat melukai hati rakyat
Banyubiru sebagai pembalasan dendam.
SEMUA terdiam.
Wanamerta sendiri menyadari hal itu. Karena itu ia berusaha sedapat-dapat
menghindarkan diri dari setiap bentrokan yang terjadi. Tetapi ia tidak
berhasil. Kemudian terdengar Mahesa Jenar meneruskan,
“Tetapi
bukanlah salah Paman.”
Wanamerta
menarik nafas. Syukurlah kalau Mahesa Jenar mengetahui kesulitan yang
dihadapinya pada waktu itu. Dalam pada itu Mahesa Jenar menyambung kata-katanya
pula,
“Tetapi siapakah
yang telah berusaha untuk menyelamatkan Paman dari tangan orang-orang Pamingit
itu?”
Wanamerta
menggeleng lemah.
“Aku tidak
dapat mengetahuinya Ngger”.
“Aneh…” Mahesa
Jenar bergumam.
“Tetapi
keempat kawan-kawannya dapat dikenal oleh Ki Prana,” sahut Sendang Papat,
“Mereka adalah
putra-putra dan kemenakan Ki Lemah Telasih yang juga disebut Ki Banyubiru.
Tetapi yang seorang itu tak diketahuinya.”
“Bagaimana
dengan tanda-tanda yang dimilikinya?” tanya Mahesa Jenar pula. Kemudian
Wanamerta mencoba untuk menggambarkan tokoh anak muda yang aneh itu.
Tiba-tiba
Widuri tertawa. Dan suara tertawanya telah mengejutkan semua orang yang berada
di dalam ruangan itu. Ketika ia sadar bahwa seluruh perhatian tertumpah
kepadanya, ia menunduk malu.
“Kenapa kau
tertawa?” tanya ayahnya.
“Anak muda
yang aneh itu,” jawabnya.
“Kenapa dia?”
desak ayahnya.
“Bukankah anak
muda itu Kakang Karang Tunggal?” sahut Widuri.
“He…?”
Kanigara mengerutkan keningnya. Akhirnya ia berkata,
“Kau benar.
Anak itu pasti Karang Tunggal.” Mahesa Jenar akhirnya mengangguk-anggukkan
kepalanya pula. Iapun agaknya sependapat bahwa anak muda itu tidak lain adalah
Putut Karang Tunggal, yang nama sebenarnya adalah Mas Karebet, atau mendapat
sebutan lain Jaka Tingkir.
“Siapakah
dia…?” Wanamerta ingin tahu.
“Kemanakanku,”
jawab Kebo Kanigara,
“Nakalnya
memang bukan main.” Wanamerta menarik alisnya yang sudah keputih-putihan. Sejak
semula ia telah mengagumi Kebo Kanigara seperti ia mengagumi Mahesa Jenar. Jadi
kalau kemenakannya dapat melakukan hal yang sedemikian dahsyatnya, agaknya
sudah pada tempatnya. Karena itu ia berkata,
“Itulah
sebabnya, maka anak muda itu telah mengenal Arya Salaka, Mahesa Jenar, Ki Ageng
Supit, Wiraraga dan Mantingan.”
“Anak muda itu
telah mengenal Ki Ageng Supit, Kakang Wiraraga dan aku?” tanya Ki Dalang
Mantingan.
“Ya, Ngger,”
jawab Wanamerta.
“Disebut-sebutnya
nama-nama itu.”
“Tidak aneh,”
potong Kebo Kanigara,
“Ia berjalan
dari satu ujung keujung negeri ini yang lain. Ia singgah hampir setiap
perguruan yang ada.”
“Luar biasa….”
Terdengar hampir setiap mulut bergumam. Namun mereka tidak lama terpaku pada
anak muda yang aneh itu. Sebab merekapun pada saat itu menghadapi keadaan yang
cukup gawat.
Meskipun di
dalam hati Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terselip pula pertanyaan, kenapa Jaka
Tingkir itu tiba-tiba saja berada di Banyubiru? Bukankah ia berangkat dari
Karang Tumaritis, untuk mohon diri kepada ibu serta ibu angkatnya untuk
mengabdi ke Demak? Apakah ia telah menyia-nyiakan waktu sekian lamanya untuk
berjalan ke sana-ke mari tanpa ujung pangkal, sedangkan seorang yang waskita,
telah mengatakan kepadanya, bahwa ia akan sanggup untuk menerima jabatan Agung?
Tetapi pertanyaan itu tak terucapkan. Sebab tak seorangpun yang akan dapat
menjawab. Yang kemudian terdengar adalah suara Mahesa Jenar,
“Paman,
bagaimana menurut tanggapan Paman. Apakah orang-orang Pamingit itu akan membuat
onar?”
Kembali
perhatian Wanamerta terlempar kepada peristiwa malam tadi. Setelah berpikir
sejenak iapun menjawab,
“Mungkin
Anakmas. Hal itu adalah mungkin sekali.”
“Kalau begitu
kita harus mencegahnya.” Mahesa Jenar bergumam seperti untuk diri sendiri.
Namun tanggapan Arya Salaka ternyata hebat sekali. Tiba-tiba ia berdiri tegak,
dan dengan dada tengadah ia berkata,
“Marilah
Paman. Betapa rinduku pada tanah kelahiran. Dan betapa rinduku kepada
pangabdian.”
Akibat dari
kata-kata Arya Salaka itu ternyata bukan main. Tiba-tiba ruangan itupun menjadi
riuh. Wanamerta, Sendang Papat, Bantaran, Panjawi, dan para pemimpin laskar
Banyubiru yang lain tiba-tiba serentak berkata,
“Kita serahkan
jiwa raga kita untuk kampung halaman, untuk masa depan tanah kelahiran.”
Mahesa Jenar
terharu melihat kesetiaan itu. Pernyataan beberapa orang pemimpin laskar
Banyubiru itu merupakan cermin dari setiap hati yang lain. Mereka agaknya telah
bersedia sepenuh-penuhnya, apapun yang terjadi atas mereka. Bahkan Sendang
Parapat yang terbaring itupun berkata perlahan-lahan namun penuh dengan gelora
kesetiaannya,
“Kiai
Wanamerta, bawalah aku serta. Aku sudah akan sembuh sore nanti.”
“Baiklah,”
jawab Mahesa Jenar kepada para pemimpin itu.
“Memang masa
depan Banyubiru terletak di tangan kalian. Karena keyakinan itu pulalah maka
kalian bersedia berkorban. Laralapa. Menderita selama ini dan untuk masa-masa
yang belum kalian ketahui ujungnya. Meskipun seandainya kalian tidak akan
mengecap kenikmatan hasil perjuangan kalian, namun anak cucu kalian akan
menulis di atas lontar, bahwa pada suatu masa, rakyat Banyubiru bangkit
berjuang untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Berjuang untuk anak cucu
mereka tanpa pamrih bagi diri sendiri, dengan membiarkan dirinya menderita
sakit dan lapar. Namun dengan cita-cita luhur dan murni.”
DADA para
pemimpin itupun menjadi semakin bergelora. Seakan-akan mereka tidak sabar lagi
menunggu. Ke Banyubiru sekarang juga. Sesaat kemudian terdengarlah Mahesa Jenar
meneruskan,
“Karena itu,
bersiaplah kalian. Aku akan pergi ke Banyubiru sekarang juga dengan Arya
Salaka.”
Ketika Mahesa
Jenar berhenti berbicara, tampaklah para pemimpin Banyubiru itu saling
berpandangan.
Mereka tidak
begitu mengerti maksud kata-kata Mahesa Jenar. Maka terdengarlah Penjawi
bertanya,
“Apakah Tuan
dan Adi Arya Salaka saja yang akan pergi ke Banyubiru?” Mahesa Jenar menarik
alisnya. Hati-hati ia menjawab,
“Tidak. Kalian
semua juga akan pergi. Tetapi baiklah aku mendahului.”
Penjawi segera
mengetahui maksud Mahesa Jenar. Mahesa Jenar agaknya masih akan mempergunakan
cara damainya, yang menurut dugaannya sama sekali tak akan berhasil. Karena itu
terdengarlah ia menyahut,
“Tuan dan Adi
Salaka, di belakang Tuan berdua adalah kami sekalian. Seluruh laskar Banyubiru
ini.”
Mahesa Jenar
sekali lagi menarik alisnya. Dengan ragu-ragu ia memandang Kebo Kanigara,
seolah-olah minta pertimbangan. Kebo Kanigara pun mengetahui betapa sulitnya
mengendalikan perasaan sekian banyak orang yang sedang marah. Tetapi sama
sekali kurang bijaksana kalau ia turut campur dalam pembicaraan itu. Sebab
laskar Banyubiru itu lebih banyak mengenal Mahesa Jenar daripada dirinya.
Dengan demikian Penjawi hanya dapat menganguk-anggukkan kepalanya dan mencoba
mengetahui perasaan Arya Salaka. Kalau saja Arya Salaka dapat ditenangkan, maka
ada harapan untuk menenangkan seluruh laskar Banyubiru itu. Tetapi ketika
terpandang wajah anak muda itu, baik Mahesa Jenar maupun Kebo Kanigara hanya
dapat menekan dada mereka. Sebab dari mata anak itu memancarkan api
kemarahannya yang menyala-nyala sehingga dalam mata itu seolah-olah
membayangkan cahaya api yang bergelora. Apalagi ketika kemudian terdengar anak
muda itu berkata,
“Paman,
matahari masih belum tinggi di puncak langit. Kalau Paman memerintahkan,
sekarang juga kita akan berangkat.”
Mahesa Jenar
mengangguk-angguk. Namun di dalam hatinya berkecamuk kecemasan yang gemuruh.
Kalau ia menuruti perasaan marah yang meluap-luap dari pemimpin laskar
Banyubiru itu, maka akibatnya adalah di luar kemauannya. Yang terjadi kemudian
adalah pertempuran yang mengerikan antara sesama keluarga. Antara orang-orang
Banyubiru melawan orang-orang Pamingit yang pasti akan dibantu oleh sebagian
kecil orang-orang Banyubiru juga. Banyubiru dan Pamingit adalah ibarat daun
sirih. Wajah dan punggungnya. Meskipun berbeda ujudnya, namun apabila digigit,
akan sama rasanya. Sebab keduanya adalah belahan dari tanah perdikan yang
tunggal, tanah perdikan Pangrantunan.
Karena itulah
maka Mahesa Jenar mencoba untuk mencegahnya. Dengan sangat hati-hati pula ia
berkata,
“Tentu. Aku
tentu akan segera minta kalian untuk berangkat. Tetapi kau adalah kunci
persoalan itu, Arya. Mestikah kita memilih jalan yang pahit lebih dahulu
sebelum kita coba jalan yang licin?”
“Masih adakah
jalan yang licin itu, Paman?” tanya Arya Salaka.
“Kemungkinan
masih selalu ada, Arya. Apalagi kakekmu Ki Ageng Sora Dipayana telah meminta
agar kau datang kepadanya,” jawab Mahesa Jenar.
Arya Salaka
diam sesaat. Tetapi ketika ia melihat Sendang Parapat terbaring, menyala
kembalilah hatinya. Karena itu ia menjawab,
“Kalau Eyang
Sora Dipayana mampu mencegahnya, maka peristiwa ini tak akan berlarut-larut.”
Mahesa Jenar
terkejut mendengar jawaban itu. Agaknya Arya telah hampir tidak sabar lagi.
Meskipun ia dapat mengetahui perasaan apakah yang telah mendorong anak muda
itu, namun apa yang diucapkan itu adalah pertanda betapa sakit luka hati yang
dideritanya. Didorong pula oleh sifat kepemimpinan yang dimilikinya, maka ia
merasa bertanggungjawab atas keselamatan rakyat Banyubiru.
Tetapi karena
itu pulalah maka Mahesa Jenar merasa bahwa usahanya bertambah sulit. Namun
demikian ia menjawab,
“Arya,
persoalan yang dihadapi oleh eyangmu adalah terlalu sulit. Bukan sekadar
mencegah tindakan-tindakan pamanmu saja. Tetapi ada persoalan-persoalan lain
yang memaksanya untuk berbuat bijaksana.”
Arya Salaka
kurang dapat memahami cara berpikir gurunya. Namun sebagai seorang murid yang
selama ini merasakan betapa gurunya itu mengasuhnya dengan penuh kasih sayang
dan tanggungjawab, maka Arya Salaka tidak berani lagi untuk membantahnya.
Di sudut
hatinya, Arya Salaka pun menaruh kepercayan yang kuat terhadap gurunya itu.
Kepercayaan yang sedikit terdesak oleh kemarahan yang meluap-luap. Ia tahu
pasti, bahwa seperti bisanya gurunya akan membawanya lewat jalan yang paling
bersih dari kemungkinan noda-noda yang dapat memercik pada dirinya. Tetapi
disamping itu, ketidaksabarannya telah memukul-mukul dadanya, seolah-olah akan
pecah. Mahesa Jenar pun tahu, bahwa kalau kemudian Arya Salaka itu diam,
bukanlah karena ia dapat meyakini kata-katanya. Kediaman anak itu baginya,
seperti api yang tertutup sekam. Namun api itu tetap menyala di dalam. Karena
itulah Mahesa Jenar harus dapat mengambil sikap yang sebijaksana mungkin. Ia
harus tidak mematahkan anak-anak Banyubiru, namun ia pun tidak dapat membiarkan
anak-anak Banyubiru itu menjadi korban ketergesa-gesaan mereka. Setelah
berpikir sesaat terdengarlah Mahesa Jenar berkata,
“Arya Salaka,
siapkanlah laskarmu. Kita berangkat bersama-sama.”
Sambutan atas
ucapan itu, terdengar seperti gunung meledak. Laskar Banyubiru itupun bersorak
dengan riuhnya. Tiba-tiba di dalam ruangan itu menari-narilah ujung-ujung
senjata, seperti anak-anak yang riang berloncat-loncatan. Berkilat-kilat
ujung-ujung pedang, tombak, keris dan sebagainya. Diiringi oleh janji setia
yang diucapkan tak teratur berebut keras.
PARA pemimpin
laskar Banyubiru itupun kemudian berpencaran ke pasukan masing-masing. Sesaat
kemudian riuhlah perkemahan itu. Arya Salaka mempunyai daya tarik yang tak
ternilai besarnya, disamping perasaan keadilannya yang terinjak-injak. Karena
itu, tanpa dikehendakinya, iapun melompat ke luar dari ruangan itu. Dengan
wajah berseri ia melihat laskarnya mempersiapkan diri. Ia berjalan dari satu
kemah ke kemah yang lain. Ia melihat kelompok demi kelompok, seolah-olah ia
ingin mengetahui segenap kekuatan yang ada dalam laskarnya. Namun dalam pada
itu, di dalam kemahnya, Mahesa Jenar duduk termenung. Ia tidak dapat pergi
meninggalkan laskar Banyubiru dalam keadaan yang demikian. Sebab di luar
pengawasannya, dapat saja mereka melakukan hal-hal yang justru merugikan nama
baik mereka dan bertentangan dengan tujuan mereka. Tetapi untuk membawa mereka
serta agaknya juga akan menjadi persoalan. Bagaimana sebaik-baiknya
menghentikan mereka, dan memberi kesempatan kepadanya untuk menemui Ki Ageng
Sora Dipayana bersama-sama dengan Arya Salaka. Ia masih mengharap kewibawaan
orangtua itu atas putra serta cucunya. Kebo Kanigara pun agaknya menemui
kesulitan dalam persoalan ini. Perlahan-lahan ia berkata,
“Mahesa Jenar,
tipislah harapan kita, untuk menempuh jalan lain, kecuali bertempur. Sebab
laskar Banyubiru sudah sedemikian lama menahan diri. Dan Arya Salaka sendiri
tampaknya tidak sabar lagi.”
Mahesa Jenar
mengangguk-angguk. Ia masih mempunyai harapan untuk menghentikan pasukan itu di
tengah jalan, dan membiarkan mereka menunggu sesaat. Tetapi bagaimanakah
caranya, sehingga tidak menimbulkan kejengkelan pada laskar yang setia itu?
“Kalau Arya dapat
kau tenangkan, Mahesa Jenar, mungkin seluruh laskar inipun akan tunduk pada
perintahnya. Sebab api di dalam dada mereka itupun semakin berkobar ketika Arya
Salaka berada di antara mereka,” lanjut Kebo Kanigara.
“Tak ada jalan
untuk berbuat demikian Kakang. Arya telah waringuten. Agaknya ia tak dapat
diajak berunding lagi. Meskipun seandainya ia diam, namun kediamannya itu
justru berbahaya bagi dirinya,” jawab Mahesa Jenar.
Tiba-tiba
dalam kesenyapan itu terdengar Rara Wilis berkata kepada Endang Widuri,
“Endang,
bagaimana perasaanmu saat ini? Apakah kau bergembira pula seperti Arya Salaka?”
Widuri tidak tahu arah persoalannya. Meskipun ia mendengar pembicaraan ayahnya
dan Mahesa Jenar, namun sebenarnya ia lebih setuju dengan pendapat Arya Salaka.
Kenapa Banyubiru itu tidak digempur saja.
Karena itu
iapun menjawab,
“Aku
bergembira seperti Kakang Arya Salaka. Aku kagum pada sikap jantan yang
dimilikinya.”
Rara Wilis
mengangguk-angguk.
“Kaupun
bersikap jantan,” katanya.
“Kenapa aku…?”
sahutnya.
“Aku hanya sekadar
bergembira melihat sikapnya.” Rara Wilis tersenyum. Seperti bergumam ia berkata
kepada diri sendiri,
“Aku teringat
pada cerita Purwa, pada saat menjelang Baratayuda. Orang-orang Pandawa pun
menjadi ragu-ragu. Apakah mereka harus berjuang melawan sanak kadang mereka
sendiri. Tetapi akhirnya pertempuran itupun tak dapat dihindari. Tak dapat
dihindari, meskipun segala usaha damai telah dicoba. Prabu Duryudana lebih
senang mendengar nasihat Durna daripada pamannya sendiri. Diantaranya Resi
Bima, seorang Resi yang bijaksana, dan Prabu Salya, mertua Prabu Duryudana
sendiri.
Yang mendengar
ceritera itupun berdiam diri. Masing-masing dengan tanggapannya sendiri. Namun
tak seorangpun yang memotong cerita itu.
“Ketika Bisma
gugur…” lanjut Wilis,
“Para kadang Pandawa
masih sempat menghadap Resi yang dipundhi-pundhi itu. Mereka masih sempat minta
maaf dan minta pangestu kepadanya. Demikian juga sebelum Prabu Salya gugur.
Nakula dan Sadewa sempat mengharap orang tua yang sakti itu. Dengan air mata
mereka berdua minta agar mereka dijauhkan dari dosa mereka, karena mereka harus
bertempur melawan saudara-saudara mereka yang lebih tua.”
Sekali lagi
Rara Wilis diam sesaat. Widuri mendengarkan dengan penuh minat. Tetapi wajahnya
telah berubah dari semula.
“Ketika kedua junjungan
para darah Barata itu gugur, menyesallah kedua belah pihak. Tetapi lebih
menyesal lagi mereka, seandainya mereka tidak sempat menghadap sebelumnya.
Mohon maaf segala kekhilafan lahir batin. Dan akan lebih menyesal pulalah
mereka, seandainya sebelum Baratayuda itu mulai, mereka belum bersimpuh di
hadapan para junjungan itu”.
Wilis
meneruskan. Widuri menarik nafas. Otaknya memang benar-benar cemerlang seperti
bintang pagi. Sebelum Rara Wilis meneruskan, Widuri berkata perlahan-lahan,
“Bukankah Arya
Salaka mampunyai junjungan pula di Banyubiru? Bukankah eyang Arya Salaka itu
berada di sana, dan mungkin akan gugur pula dalam bentrokan ini?”
Rara Wilis
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan perlahan-lahan pula ia menjawab,
“Tak
seorangpun yang mampu menyampaikan kekhilafan ini kepada Arya Salaka. Bukankah
kau mau menolongnya, supaya ia tidak akan menyesal sepanjang hidupnya kelak?”
Widuri
memandang ayahnya, Mahesa Jenar, Wilis dan orang-orang lain di dalam ruangan
itu dengan senyum yang kecil. Tiba-tiba ia merasa berbahagia menerima tugas
itu.
“Tidak adakah
orang lain yang dapat berbuat demikian…?” bisik hatinya.
“Akan aku
coba,” katanya,
“Supaya Kakang
Arya Salaka tidak berbuat kesalahan. Bukankah maksud bibi sebaiknya Arya Salaka
sowan eyang Ki Ageng Sora Dipayana? Bukankah dengan demikian Paman Mahesa Jenar
dapat melaksanakan rencananya? Namun apabila rencana itu gagal, Arya Salaka
tidak akan menyesal seandainya eyangnya itu gugur seperti Resi Bisma. Sebab ia
telah bersujud di bawah kakinya.
SEMUA yang
mendengar percakapan itu menarik nafas dalam-dalam. Mahesa Jenar mengucap
syukur dalam hati atas kelincahan perasaan Rara Wilis. Sebagai seorang gadis,
ia mempunyai tanggapan yang lebih halus terhadap pergaulan Arya Salaka dan
Endang Widuri. Tanpa disengaja, ia mengamat-amati gadis itu seperti belum
pernah melihat sebelumnya. Dalam keadaan yang sedemikian, Mahesa Jenar sempat
juga sekali lagi mengagumi gadis itu. Namun di dalam hatinya, Rara Wilis
bukanlah gadis belasan tahun lagi. Bahkan ia sudah melampaui dunia remaja, yang
tak pernah dinikmatinya seperti gadis-gadis yang lain. Hidupnya penuh dengan
persoalan-persoalan yang rumit, yang menuntut ketabahan hati dan malahan
akhirnya menjadikan gadis itu tidak saja berhati tabah, tetapi juga bertubuh
kuat dan berilmu cukup tinggi. Meskipun demikian ia tidak dapat menerima uluran
tangan saudara tua seperguruannya, untuk menikmati kelimpahan raja brana,
sebagai seorang isteri Demang yang kaya raya. Ia lebih senang menunggunya,
seorang kleyang kabur kanginan. Bahkan ikut serta dengan dirinya, menempuh
penghidupan yang penuh dengan bahaya dalam pengabdiannya kepada Tuhan, manusia
serta kemanusiaan. Memancarkan cinta kasih abadi dari sumbernya yang tertinggi.
Disamping itu, iapun mengagumi ketangkasan berpikir Endang Widuri. Gadis itu
agaknya mempunyai keistimewaan yang tak dapat diduga-duga. Dalam pada itu,
Mahesa Jenar pun tidak heran, bahwa Endang Widuri adalah tetesan darah
Pengging. Anak Kebo Kanigara. Widuri kemudian tidak menunggu terlalu lama.
Iapun segera berlari ke luar. Ia sudah bertekad untuk melakukan tugasnya
sebaik-baiknya.
Dengan
berlari-lari kecil ia mencari Arya Salaka diantara keributan para anggota
laskar Banyubiru itu. Widuri menemukan Arya Salaka di ujung perkemahan itu.
Anak muda itu sedang berdiri tegak di atas sebuah batu yang besar. Seperti
sebuah tonggak ia tak bergerak, memandang ke arah pegunungan yang terbujur di
hadapannya. Telamaya. Ketika Arya Salaka mendengar langkah-langkah kecil
berjalan ke arahnya, iapun menoleh.
Sambil
tersenyum ia menyapa halus,
“Siapakah yang
kau cari Widuri?”
“Tidak ada,”
jawab gadis itu singkat. Namun kemudian gadis itupun dengan lincahnya meloncat
ke atas batu itu. Ia ingin menyampaikan pesan bibi Wilis itu perlahan-lahan,
supaya Arya Salaka dapat menangkap urutan maksudnya.
Tetapi sebelum
ia mulai berceritera terdengarlah Arya Salaka berkata,
“Sebentar lagi
aku akan pergi ke bukit itu.”
“Ya,” jawab
Widuri singkat.
“Tak
seorangpun akan dapat menghalangi. Malang-malang putung, rawe-rawe rantas.”
Arya melanjutkan.
“Ya,” jawab
Widuri.
“Di sana akan
kita jumpai reruntuhan dari gedung yang dibangun sejak Eyang Sora Dipayana,
sampai ayah Gajah Sora. Tugas kita adalah membangun reruntuhan itu, menjadikan
gedung yang megah dan kuat. Kalau mungkin melampaui masa-masa yang lewat.”
“Ya.”
“Banyubiru
harus dapat memancarkan kecemerlangannya kembali. Api yang menyala di
jantungnya, yang telah hampir padam karena pokal Paman Lembu Sora, harus aku
nyalakan kembali sebesar-besarnya.”
“Ya.”
Widuri mulai
gelisah. Agaknya ia tidak akan dapat kesempatan untuk menyampaikan ceriteranya.
Apalagi ketika ia sudah nekad untuk memotong angan-angan Arya Salaka itu,
tiba-tiba terdengarlah sangkalala berbunyi. Wajah Arya bertambah gembira.
“Kau dengar
itu…?”
“Ya,” sahut
Widuri, yang benar-benar menjadi gelisah dan cemas.
“Marilah kita
bersiap,” ajak Arya. Arya tidak menunggu jawaban Endang Widuri. Dengan serta
merta ditangkapnya gadis itu dan ditariknya menghambur ke arah bunyi sangkalala
yang menjadi semakin nyaring. Suaranya menyusup lembah-lembah, menghantam
bukit-bukit, meraung-raung seperti suara Naga Raja yang marah menuntut balas.
Ketika mereka
sampai di perkemahan, mereka melihat laskar Banyubiru itu telah hampir siap.
Mantingan, Wirasaba, Bantaran dan Penjawi telah mengenakan pakaian tempur,
sambil menjinjing perisai yang belum diterapkan.
Melihat
pelengkapan itu, dada Arya Salaka berdesir. Ia jarang melihat orang bertempur
dengan perisai. Sekarang ia melihat perlengkapan yang luar biasa. Perisai,
tombak larakan yang panjangnya lebih dari dua depa. Panah dan bandil. Tanpa
diketahuinya, merayaplah suatu perasaan yang aneh di dalam dadanya.
No comments:
Post a Comment