Bagian 058


WIRASABA beringsut mendekati Arya Salaka.
“Kenapa Angger berada di sini?” tanya Wirasaba.
“Aku hanya berjalan-jalan saja ketika aku tidak dapat tidur. Tetapi para penjaga inilah yang kemudian jatuh tertidur,” sahut Arya.
“Mereka terkena pengaruh sirep,” jelas Wirasaba.
“Untunglah Angger terbebas dari pengaruhnya.”
“Akupun merasakan pengaruhnya, Paman. Lalu bagaimanakah dengan yang lain-lain?” tanya Arya Salaka.
“Adi Mantingan sedang mengamati mereka,” jawab Wirasaba.
Hati Arya Salaka menjadi bertambah besar ketika ternyata Mantingan pun terbebas dari pengaruh sirep itu. Bahkan kemudian ia bertanya,
“Siapa pulakah yang dapat menyelamatkan diri?”
“Adi Mantingan baru menyelidiki mereka. Tetapi Jaladri juga terbebas dari pengaruh sirep ini atas bantuan Adi Mantingan,” jawab Wirasaba.
Kemudian Arya Salaka tidak cemas lagi. Ada empat orang yang pasti terbebas dari pengaruh sirep itu. Namun ia bertanya pula, “Jadi dapatkah Paman Mantingan menolong orang lain membebaskan diri dari pengaruh sirep ini?”
“Demikianlah,” jawab Wirasaba.
“Tetapi tidak kepada semua orang. Ia hanya dapat membantu seperlunya apabila orang itu sendiri cukup mempunyai daya tahan.”
“Syukurlah,” gumam Arya.
“Ia adalah seorang dalang. Sebagai seorang dalang ia perlu memiliki berbagai macam ilmu. Sebab kadang-kadang ia memang berhadapan dengan gangguan-gangguan dari para penontonnya yang jahil.” Wirasaba menegaskan.

Tetapi kemudian Arya Salaka kembali membayangkan bagaimanakah kalau sepasukan laskar menyerbu perkemahan ini. Sedang sebagian besar dari laskar Banyubiru itu jatuh tertidur. Karena itu ia bertanya kembali,
“Paman Wirasaba, bagaimanakah seandainya malam ini perkemahan kita ini diserbu oleh sepasukan laskar?”
Meskipun Arya Salaka mempunyai daya tahan lahir batin yang cukup kuat, namun ternyata pengetahuannya belumlah seluas Wirasaba, yang menjawab pertanyaannya itu.
“Tidak Angger, pasukan penyerbu itupun akan terkena pengaruh sirep ini pula. Sebab daya kekuatan sirep ini tidak dapat ditujukan kepada seorang atau serombongan orang. Tetapi dayanya seolah-olah memenuhi udara di sekitar penyebarnya. Sehingga apabila pada malam ini ada orang yang ingin memasuki perkembahan ini, pasti merekapun jumlahnya terbatas. Terbatas pada mereka yang atas kemampuan sendiri, atau atas bantuan orang lain membebaskan diri dari pengaruh sirep ini.”
Arya Salaka mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekarang ia sama sekali tidak perlu khawatir. Di dalam perkemahan itu ia cukup mempunyai kawan yang mempunyai ilmu cukup tinggi. Meskipun demikian ia masih ingin mengetahui bagaimanakah keadaan Endang Widuri dan Rara Wilis. Sebab tanpa setahunya, ia merasa bahwa nasib gadis kecil itu adalah sama dengan nasibnya sendiri. Maka kemudian setelah Wirasaba berada di tempat itu, ia tidak keberatan lagi meninggalkan para penjaga itu. Kepada Wirasaba ia berkata,
“Paman, apabila Paman bersedia untuk tinggal di sini, aku minta ijin untuk menengok pondok Bibi Wilis dan Widuri.”
“Jangan Angger,” cegah Wirasaba. “Jangan pergi sendiri. Marilah aku antar Angger ke sana.”
“Lalu bagaimana dengan para penjaga ini?” tanya Arya Salaka.
“Biarlah mereka kita sisihkan. Aku kira orang-orang yang menyebar sirep itu tidak akan berkesempatan mengurusi para penjaga itu. Mereka pasti berhasrat untuk langsung menemukan kekuatan-kekuatan pokok dari perkemahan ini.”

Arya Salaka dapat mengerti keterangan Wirasaba itu. Karena itu iapun segera membantunya, mengangkat para penjaga yang tertidur itu ke tepi, ke atas rerumputan yang sudah mulai basah karena embun malam yang perlahan-lahan turun ke bumi. Dingin malam musim bediding rasa-rasanya sampai menggigit tulang. Namun oleh ketegangan yang mengetuk-ngetuk dada, rasa itu sama sekali tak mempengaruhi mereka yang sedang berusaha menyelamatkan perkemahan itu. Dengan mengendap-endap penuh kewaspadaan, Arya Salaka diantar oleh Wirasaba yang menggenggam sebuah kapak yang besar sekali menuju ke barak kecil tempat Rara Wilis dan Endang Widuri beristirahat selama mereka berada di perkemahan itu. Meskipun sebenarnya Arya Salaka sama sekali tidak merasa perlu pengawalan, namun ia tidak mau menyakitkan hati orang lain. Karena itu ia tidak menolak. Ketika mereka lewat dekat gardu pimpinan, mereka melihat bahwa gardu itu kosong. Tetapi mata Arya Salaka yang tajam dapat melihat sebuah bayangan yang berdiri di belakang gardu itu. Agaknya Jaladri merasa perlu sekadar melindungkan dirinya untuk dapat mengadakan pengawasan di sekitar tempat itu dengan lebih seksama. Di tangannya tergenggam sebuat canggah, tombak bermata dua.

Arya dan Wirasaba berjalan terus. Dengan gerak tangan Wirasaba memberi isyarat kepada Jaladri, yang membalas dengan isyarat tangan pula. Beberapa langkah kemudian mereka sudah melihat pondok tempat tinggal Rara Wilis dan Endang Widuri. Ternyata para penjaga pondok itupun telah tertidur pula. Karena itu Arya Salaka menjadi cemas, jangan-jangan telah terjadi sesuatu atas penghuninya. Perlahan-lahan ia menyusuri tempat-tempat yang gelap mendekati pondok itu.
“Marilah,” jawab Wirasaba.
Dengan sangat hati-hati mereka mendekati pintu pondok yang memang tidak pernah terkancing. Perlahan-lahan Arya menyingkapkan pintu itu. Meskipun demikian terdengar suatu gerit perlahan. Hanya perlahan. Tiba-tiba ketika pintu itu terbuka, terjulurlah ujung sehelai pedang yang tipis mengarah ke dada Arya Salaka.

ARYA SALAKA terkejut. Untunglah ia memiliki ketangkasan yang cukup. Meskipun pedang itu tidak membawa serangan maut, namun agaknya perlu juga ia menjaga dirinya dan menghindari. Melihat senjata itu Wirasaba pun terkejut. Ia segera meloncat maju untuk menangkis serangan itu. Tetapi ujung pedang itu sangat lincahnya di dalam kegelapan malam, bahkan dengan sekali putar hampir saja lengan Wirasaba tergores.
Karena itu Wirasaba terkejut sekali dan meloncat mundur. Ketika ia kemudian mengangkat kapaknya untuk menyerang kembali terdengarlah Arya Salaka berdesis.
“Paman, itu adalah pedang Bibi Wilis.”
Wirasaba terhenti. Dan bersamaan dengan itu, tampaklah sebuah bayangan meloncat keluar dengan lincahnya, bahkan seperti terbang. Demikian bayangan itu menginjak tanah, demikian ia telah siap menghadapi setiap kemungkinan. Tetapi juga bayangan itu terkejut ketika ia melihat Wirasaba dan Arya Salaka berdiri di dalam gelap. Karena itu terlontarlah dari mulutnya.
“Kau, Arya…?”
“Ya, Bibi…” jawab Arya.
“Kami minta maaf kalau kami mengejutkan Bibi.”
Rara Wilis menarik nafas. Katanya,
“Suasana malam ini memaksa aku untuk sangat berhati-hati.”
“Aku sebenarnya ingin melihat keadaan Bibi dan Widuri tanpa mengganggu,” sambung Arya.
“Tak apalah,” jawab Rara Wilis.
“Dan syukurlah kalau kalian juga berhasil membebaskan diri dari pengaruh sirep yang tajam ini.”
Wirasaba berdiri tegak dan bersandar pada tangkai kapaknya. Meskipun ia telah menduga bahwa Rara Wilis tidaklah sama dengan kebanyakan wanita, namun ia sama sekali tidak menduga bahwa sampai sekian gadis itu telah mencapai ilmunya.

Sementara itu tiba-tiba terdengar suara dari clundak pintu.
“Untunglah dadamu tidak terlubang Kakang Arya.”
Arya menoleh. Dilihatnya Endang Widuri duduk dengan enaknya di atas clundak pintu itu.
Arya Salaka dan Wirasaba lebih terkejut melihat Endang Widuri duduk di situ daripada mendengar suaranya. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa gadis itupun berhasil membebaskan diri dari pengaruh sirep. Karena itu terdengar Arya bertanya perlahan, “Kau tidak tertidur…?”
“Aku belum ngantuk.” jawab Widuri seenaknya.
“Aneh,” tiba-tiba terdengar Wirasaba bergumam.
Rara Wilis mendengar gumam itu. Dengan tersenyum ia menjawab,
“Anak itu memang luar biasa. Akupun harus berjuang untuk melawan pengaruh sirep ini sekuat tenaga. Tetapi Widuri memang seakan-akan sama sekali tidak disentuh oleh kekuatan sirep ini.”
Widuri merasa bahwa dirinyalah yang sedang dipercakapkan itu. Maka iapun segera menyahut,
“Apakah kalian heran karena aku belum ngantuk? Bukankah ini masih belum terlampau malam?”.
Tak seorangpun menjawab. Mereka tahu sifat gadis itu. Nakal dan kadang-kadang suka menuruti perasaan sendiri.

Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara siulan nyaring. Suara itu menggetar di seluruh perkemahan anak-anak Banyubiru itu, seolah-olah melingkar-lingkar menyusup ke setiap pondok. Rara Wilis dan kawan-kawannya terkejut mendengar suara itu. Suara yang belum pernah mereka dengar. Apalagi kemudian suara itu disusul dengan bunyi yang sama di arah yang berlawanan. Tidak itu saja, suara siulan itu masih terdengar berturut-turut dari dua arah yang berbeda. Dengan demikian maka dapat diketahui bahwa orang yang bersiul, dan yang pasti, mereka pulalah yang menyebarkan sirep ini, berada di empat arah mata angin. Karena itulah, Rara Wilis dan kawan-kawannya itu mengetahui bahwa orang-orang itu telah berusaha mengepung perkembahan ini.
Mereka harus menjadi lebih berhati-hati lagi. Sementara itu mereka melihat Ki Dalang Mantingan dan Jaladri datang pula ke pondok itu. Dengan nafas yang terengah-engah ia berkata perlahan,
“Aku cari Angger Arya Salaka setengah mati. Ketika aku menengok ke pondok Angger, aku menjadi gugup, karena Angger tidak ada di tempat. Aku coba mencari berkeliling, tetapi juga tidak aku jumpai. Akhirnya dari Jaladri aku mendengar bahwa Angger pergi kemari bersama-sama Kakang Wirasaba.”
“Angger Arya Salaka berada di mulut perkemahan ini, Adi,” jawab Wirasaba.
“Syukurlah kalau tidak terjadi sesuatu. Dan bukankah di sini juga tidak terjadi sesuatu?” tanya Mantingan pula.
“Tidak Kakang,” jawab Rara Wilis singkat.
“Kakang Wirasaba, menilik suara yang mereka perdengarkan, mereka berada di empat arah mata angin di sekeliling perkemahan ini. Juga menilik tanda-tanda suara yang mereka berikan, mereka pasti mengira bahwa perkemahan ini telah terbenam seluruhnya dalam pengaruh sirepnya. Karena itu mereka pasti akan memasuki perkemahan ini dengan seenaknya.”
Mantingan mulai memberi penjelasan.
“Karena itu, maka adalah menjadi kewajiban kami untuk menyelamatkan perkemahan ini. Waktu kita agaknya tinggal sedikit. Sebab apabila mereka merasa bahwa jarak waktu yang mereka berikan untuk meresapkan sirepnya telah mereka anggap cukup, mereka pasti akan segera bertindak,” lanjut Mantingan.
Wirasaba sependapat dengan keterangan Mantingan. Maka ia pun membenarkannya,
“Lalu apakah yang harus kita lakukan Adi?” tanya Wirasaba.
Mantingan berpikir sejenak. Kemudian ia menjawab,
“Kita yang telah berhasil membebaskan diri dari pengaruh jahat ini, harus memberikan perlindungan-perlindungan terhadap anak-anak Banyubiru yang lain. Aku kira mereka akan mencari orang-orang yang mereka anggap penting. Aku tidak tahu apakah mereka telah mengetahui keadaan perkemahan ini dengan baik. Tetapi disamping itu…” Mantingan berhenti sejenak. Matanya berkisar kepada Rara Wilis, Endang Widuri dan Arya Salaka.

RARA WILIS segera menangkap perasaan Ki Dalang Mantingan. Karena itu ia menjawab,
“Kakang, biarlah kami coba untuk melindungi diri kami masing-masing. Adalah sudah menjadi kewajiban Kakang Mantingan, Kakang Wirasaba dan Jaladri untuk mencoba melindungi anak-anak Banyubiru yang merupakan tenaga-tenaga inti dari laskar ini.”
Mantingan menjadi agak malu karena perasaannya dapat ditebak dengan tepat. Tetapi ia tidak akan sampai hati untuk membiarkan gadis-gadis itu dan anak semuda Arya Salaka untuk menjaga diri mereka sendiri terhadap penyerang-penyerang yang bersembunyi seperti ini. Apalagi jelas bahwa para penyerang itu memiliki ilmu yang cukup tinggi. Terbukti dengan sirepnya yang cukup tajam ini. Sedangkan Arya Salaka bagi laskar Banyubiru ternyata telah menjadi penguat tekad perjuangan mereka. Sehingga daripada yang lain-lain, Arya Salaka-lah yang pertama-tama wajib diselamatkan.
“Maaf Adi Wilis…” kata Mantingan pula,
“Aku wajib untuk berusaha menyelamatkan kalian. Karena itu, aku harap Kakang Wirasaba tetap berada di tempat ini, aku akan berada di pondok sebelah untuk mencoba melindungi anak-anak yang tertidur dengan nyenyaknya.”
“Baiklah Adi,” jawab Wirasaba.
“Kau ikut dengan aku Jaladri,” sambung Mantingan.
“Kita kosongkan gardu pimpinan.”
Seterusnya kepada Rara Wilis ia berkata,
“Keadaan menjadi semakin gawat. Kami silahkan kalian masuk. Sebaiknya Kakang Wirasaba pun berada di dalam pula. Kami masing-masing akan memberi tanda apabila keadaan kami sulit. Pukullah kentongan atau berteriaklah memanggil. Jarak kami tidak terlalu jauh.”

Selesai dengan kata-katanya, Mantingan pun segera bergerak meninggalkan tempat itu. Ia terpaksa membagi kekuatan mereka. Wirasaba untuk melindungi pondok Wilis, sedang ia sendiri dan Jaladri berusaha untuk melindungi kekuatan-kekuatan pokok laskar Banyubiru. Tetapi meskipun demikian, namun otaknya diganggu juga oleh teka-teki, bagaimana mungkin Arya Salaka dan Rara Wilis dapat membebaskan diri dari pengaruh sirep yang tajam ini. Apalagi ia sama sekali tidak tidak tampak kantuk. Sedangkan orang seperti Jaladri itupun masih memerlukan bantuannya untuk membebaskan diri dari pengaruh sirep ini. Meskipun ia telah menduga bahwa kedua gadis itu pasti memiliki kelebihan dari gadis-gadis lain, tetapi ia sama sekali belum dapat membayangkan sampai di mana ketinggian ilmu mereka itu. Rara Wilis seperti juga Arya Salaka, tidak mau mengecewakan Dalang Mantingan. Karena itu ia menerima Wirasaba untuk menjadi pelindung pondok itu, meskipun ia sadar bahwa sebenarnya tenaganya sangat diperlukan. Sesaat kemudian, setelah mereka masuk kembali ke dalam pondok masing-masing, suasana perkemahan itu diliputi oleh kesunyian yang tegang.

Wirasaba duduk dengan gelisah di dalam pondok Rara Wilis. Sedang Rara Wilis sendiri selalu siap untuk setiap saat bertindak. Pedangnya yang tipis tersandang di pinggangnya. Ia duduk di bale-bale bambu menghadap pintu. Disampingnya duduk Arya Salaka. Kyai Bancak sudah tidak lagi bertangkai sependek tangkai belati. Tetapi ia telah memberinya tangkai hampir sedepa. Sedangkan Widuri dengan enaknya berbaring di bale-bale itu, seolah-olah tidak menghiraukan sama sekali kegelisahan orang-orang di sekitarnya. Namun demikian ternyata gadis tanggung itupun telah bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan. Ternyata bahwa ia tidak mengenakan kain panjangnya, tetapi ia berpakaian seperti seorang laki-laki. Pakaian yang selalu dipakainya apabila ia sedang berlatih tata bela diri maupun latihan-latihan untuk ketahanan diri. Pertanda yang lain dari kesiap-siagaannya adalah sebuah karset perak berbentuk rantai sebesar itu jari yang melingkar di leher Widuri, yang ujungnya terjuntai tersangkut di ikat pinggangnya. Rantai perak itu tidak saja merupakan senjata yang berbahaya, tetapi di leher gadis itu, rantai itu dapat menjadi perhiasan yang menambah kecerahan wajahnya.

Di pondok sebelah, Jaladri menunggu setiap kemungkinan dengan cemas pula. Ia tidak duduk atau berdiri bersiaga, tetapi ia berpura-pura tidur dalam jajaran para laskar Banyubiru yang benar-benar sedang tertidur dengan nyenyaknya. Seperti Arya Salaka, ia mencoba-coba untuk membangunkan beberapa orang. Namun demikian ia menggeliat, demikian ia kembali kehilangan kesadaran. Bahkan sesaat kemudian terdengarlah dengkurnya mengusik sepi malam. Tetapi meskipun ia berbaring, disampingnya terletak senjata andalannya. Sebuah canggah bermata dua, yang tidak terlepas dari tangannya. Mantingan, yang merasa bertanggungjawab atas keseluruhannya, tidak ikut serta masuk ke dalam pondok-pondok itu. Ketika semuanya telah menjadi sepi kembali, karena Wirasaba dan Jaladri telah lenyap di balik pintu-pintu pondok. Mantingan segera meloncat ke sebuah batang pohon yang daunnya cukup memberinya perlindungan. Di lambungnya terselip sebilah keris, sedang tangannya menggenggam senjatanya erat-erat. Trisula yang bertangkai kayu berlian, sebagai lambang kekuatannya yang dilambari ilmu gerak yang luar biasa lincahnya, Pacar Wutah.

MALAM yang semakin larut itu benar-benar merupakan malam yang tegang dan gelisah. Ketika di kejauhan terdengar salak anjing-anjing liar, maka kembali terdengar siulan yang melengking merobek suara angin yang berdesir lembut. Seperti semula, suara itu pun kemudian disusul dengan siulan dari tiga penjuru yang lain berturut-turut. Namun suara ini terdengar jauh lebih dekat daripada suara yang pertama. Agaknya orang-orang yang menyebar sirep itu sudah berjalan maju beberapa puluh langkah.
Sesaat kemudian telinga Mantingan menangkap suara langkah perlahan mendekati gardu pimpinan yang masih benderang disinari lampu minyak jarak. Samar-samar ia melihat tiga orang kemudian muncul dengan hati-hati. Seorang diantaranya mengendap-endap mendekati pintu yang masih ternganga lebar. Hati-hati sekali ia mengintip ke dalam. Tetapi ketika dilihatnya gardu pimpinan itu kosong, ia memberi isyarat dengan tangannya. Kedua orang yang lain pun kemudian mendekati pintu itu. Kemudian terdengarlah suara mereka tertawa. Sebentar kemudian terdengar pula salah seorang dari ketiga orang itu bersiul pula. Dan bermunculan pula dari berbagai arah beberapa orang mendekati gardu pimpinan itu. Ketika semuanya sudah berkumpul, menurut hitungan Mantingan, berjumlah sepuluh orang. Mantingan menarik nafas. Jari-jarinya semakin erat melekat pada tangkai trisulanya. Sampai sedemikian jauh ia masih belum tahu siapa-siapakah yang mendekati perkemahan itu. Baru kemudian ketika salah seorang dari mereka dengan sombong mempermainkan pisau belati panjang, dada Mantingan berdesir.

“Rombongan Lawa Ijo,” desis Mantingan. Ia pernah melihat jenis pisau belati panjang semacam itu. Bahkan ia hampir saja terlubang dadanya oleh pisau semacam itu. Mau tidak mau Mantingan harus berpikir keras memperhitungkan kekuatannya sendiri. Kekuatan perkemahan itu dibandingkan dengan sepuluh anggota gerombolan Lawa Ijo yang terkenal sejak beberapa puluh tahun yang lalu. Dalam cahaya lampu minyak jarak yang menusuk lewat pintu gardu pimpinan, Mantingan dapat melihat salah seorang dari mereka bertubuh kekar kuat. Sepasang kumis yang tebal melintang di bawah hidungnya. Mantingan pernah melihat orang itu beberapa tahun yang lalu di Pucangan, dan pernah bertempur bersama-sama dengan Mahesa Jenar, Wiraraga, Paningron, dan Gajah Alit. Melawan orang-orang itu bersama rombongannya. Sekarang, agaknya orang itu pula yang memimpin rombongannya mendatangi perkemahan anak-anak Banyubiru. Orang itu tidak lain adalah Lawa Ijo itu sendiri. Sekali lagi dada Mantingan berdesir. Meskipun ia sendiri sama sekali tidak takut melawan Lawa Ijo, apalagi setelah ilmu geraknya yang lincah, Pacar Wutah, ditekuni semakin dalam, namun ia merasa harus memperhitungkan orang-orang itu.

Orang-orang lain dalam rombongan itu adalah seorang yang bertubuh gagah tegap. Ketika seleret sinar menyambar wajah orang itu, Mantingan seolah-olah hampir tidak percaya pada penglihatannya. Ia pernah melihat sendiri bagaimana orang yang bernama Watu Gunung itu terbunuh oleh Mahesa Jenar. Sekarang, tiba-tiba orang itu muncul lagi di hadapannya. Tetapi dalam keheranan itu tiba-tiba ia teringat pada masa kanak-kanaknya. Meskipun lamat-lamat ia teringat bahwa yang kemudian Watu Gunung mempunyai saudara kembar, Wadas Gunung. Orang itulah pasti saudara kembar itu. Sedang orang-orang yang lain, Mantingan belum pernah melihatnya. Seorang yang tinggi kekurus-kurusan, seorang yang pendek bulat yang juga berkumis lebat, dan orang-orang lain yang gagah dan garang. Mereka itulah anak buah Lawa Ijo yang terpilih untuk mengikutinya menyerbu ke perkemahan anak-anak Banyubiru. Mereka itulah Carang Lampit, Bagolan, Seco Ireng, Cemara Aking, Tembini dan sebagainya, yang berada langsung di bawah pimpinan Lawa Ijo sendiri.
Beberapa saat kemudian terdengarlah Lawa Ijo berkata perlahan-lahan namun jelas. Kata demi kata terdengar oleh Mantingan yang bertengger di atas cabang pohon tidak jauh dari gardu itu.
“Dengarlah baik-baik… agaknya sirep kita benar-benar dapat membius perkemahan ini. Tidak seorang pun yang masih terbangun. Dan gardu ini pun telah kosong. Aku kira gardu ini adalah gardu pimpinan. Sekarang, untuk meyakinkan kita sendiri, lihatlah berkeliling. Apakah masih ada seorang yang bangun. Kalau ada, aku beri wewenang kepada kalian untuk menyelesaikannya. Kemudian kalian harus berkumpul kembali di sini. Dan bersama-sama memasuki setiap perkemahan. Jangan sampai seorang pemimpin pun yang dapat membebaskan dirinya.”
Sesaat kemudian berpencarlah mereka ke segenap penjuru. Lawa Ijo dan Bagolan-lah yang masih tetap berada di gardu pimpinan itu. Dalam pada itu Mantingan menjadi semakin gelisah. Tetapi menilik perintah Lawa Ijo, orang-orangnya masih belum akan bertindak. Mereka hanya diperbolehkan menyelesaikan para penjaga yang ternyata tidak tertidur karena pengaruh sirepnya.

Ternyata Lawa Ijo tidak perlu menunggu terlalu lama. Beberapa saat kemudian anak buahnya telah berkumpul kembali dan memberikan laporan kepadanya. Orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu berkata,
“Ki Lurah, tak seorang penjaga pun yang masih terbangun. Semuanya tertidur di tempat mereka bertugas.”
“Bagus…” dengus Lawa Ijo,
“Lalu apa lagi yang kalian lihat?”
“Semua perkemahan telah sepi. Agaknya kita akan aman melakukan pekerjaan kita,” sambung orang yang tinggi kekurus-kurusan, yang bernama Carang Lampit.
Lawa Ijo tertawa pendek.
“Aku kira Mahesa Jenar tidak akan kembali ke perkemahan ini. Lembu Sora bukan orang yang dapat diajaknya berunding. Alangkah bodohnya orang itu. Dengan keempat kawannya, mereka mengantarkan nyawa. Seandainya ia berhasil melarikan diri, nasibnya akan kita tentukan di sini, apabila ia kembali.” Kata-kata itu diakhiri dengan bunyi tertawanya yang khusus, yang menggelegar memenuhi rimba. Mengerikan.

SETELAH suara tertawa itu mereda, dan kemudian terhenti, Carang Lampit meneruskan laporannya,
“Ki Lurah, menurut penilikan kami, diantara kemah-kemah yang ada ternyata ada satu kemah yang mendapat penjagaan kuat. Aku kira ada sesuatu yang penting di dalamnya. Atau barangkali di dalam pondok itulah berada gadis kecil yang dikatakan Jadipa siang tadi.”
“Kalau begitu kewajibankulah untuk memasuki pondok itu,” dengus orang bertubuh sedang tetapi berkaki pendek. Terlalu pendek dibandingkan dengan keseluruhan tubuhnya. Orang itulah yang bernama Jadipa, yang siang tadi dapat dikalahkan oleh Endang Widuri.
Mendengar Jadipa menyela kata-katanya, Carang Lampit tertawa.
“Aku ingin melihat kau sekali lagi berlari menghindarinya apabila perutmu dikenai kaki gadis kecil itu.”
“Ia bukan gadis kecil,” jawab Jadipa. “Di desaku dahulu gadis-gadis sebayanya telah dikawinkan oleh orang tuanya. Dan memang sudah sepantasnyalah kalau gadis itu segera kawin. Mempelai laki-lakinya telah siap menjemputnya malam ini.”
“Tunjukkan kepada kami, siapakah mempelai laki-laki itu,” jawab Bagolan.
“Akulah orangnya,” jawab Jadipa.
Hampir serentak mereka tertawa. Terdengarlah salah seorang dari mereka yang bertubuh kekar kuat dan berwajah gelap berkata,
“Kalau kau berselisih dengan istrimu kelak, kau harus lari kepada Ki Lurah untuk minta tolong melerainya.”
Jadipa diam saja. Memang ia kalah ketika berkelahi melawan gadis itu. Meskipun demikian, kemudian ia membela diri,
“Aku sebenarnya tidak kalah. Tetapi aku tidak mau menyakitinya. Karena itu aku biarkan ia sampai malam ini.”
Kembali kawan-kawannya tertawa sampai terdengar Lawa Ijo berkata,
“Carang Lampit… apakah sebabnya kau dapat mengatakan bahwa kemah itu adalah kemah yang kau anggap terpenting?”
“Di luar kemah itu terdapat beberapa orang penjaga yang sudah tertidur. Sedang di kemah-kemah lain tidak ada penjaga-penjaga itu. Bahkan di gardu pimpinan ini pun tidak ada seorang penjagapun,” jawab Carang Lampit.

Lawa Ijo mengangguk-angguk. Katanya kemudian,
“Menurut laporan yang aku terima, Mahesa Jenar pergi ke Banyubiru bersama seorang yang belum dikenal, Wanamerta, Bantaran, dan Penjawi. Jadi, pemimpin-pemimpin Banyubiru yang tinggal di perkemahan ini adalah Jaladri, Sanepa, Sanjaya, Jagakerti, kakak-beradik Sendangpapat dan Sendangparapat, dan dua orang yang menurut pendengaranku bernama Mantingan dan Wirasaba. Ditambah dengan gadis kecil yang disebut-sebut oleh Jadipa bernama Widuri. Tetapi disamping itu masih ada lagi, menurut Jadipa, bibinya yang cantik, bernama Wilis dan Arya Salaka sendiri.”
“Benar Ki Lurah,” sahut Jadipa,
“Gadis itu berkata demikian.”
Kemudian Lawa Ijo meneruskan,
“Kalau demikian pekerjaan kita adalah membunuh segenap pimpinan Banyubiru itu. Kecuali menangkap hidup Wilis, Widuri dan yang terpenting Arya Salaka. Ketahuilah bahwa laskar Banyubiru yang berada di perkemahan ini jauh lebih berbahaya daripada laskar Banyubiru yang masih tetap berada di Banyubiru, dan laskar Pamingit. Laskar yang berada di tempat ini, dengan penuh keyakinan berusaha untuk mempertahankan Banyubiru. Mereka rela mati untuk keyakinannya itu. Sedangkan laskar yang lain terdiri orang-orang yang bekerja untuk hidup mereka dan kekayaan mereka tanpa memperhitungkan apa yang terjadi di tanah mereka. Deengan demikian maka apabila laskar Banyubiru yang lain, apalagi laskar Pamingit. Dengan demikian maka kalangan hitam akan merajai Banyubiru dan Pamingit. Mengaduk isinya dan menemukan keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.”
Sekali lagi Lawa Ijo tertawa menggelegar memenuhi rimba itu. Ia menjadi bergembira sekali, seolah–olah Banyubiru telah jatuh ke tangannya, dan demikian pula Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.

Mendengar semua kata-kata Lawa Ijo itu, tubuh Mantingan bergetaran. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam dadanya. Ia mula-mula heran juga, kenapa Lawa ijo mempunyai banyak sekali pengetahuan tentang perkemahan itu. Tentang nama-nama para pemimpin laskar Banyubiru, bahkan tentang dirinya dan Wirasaba. Bahkan kemudian tentang Mahesa Jenar dan kawan-kawannya. Tetapi kemudian ia dapat mengerti bahwa hal yang demikian itu sangat mungkin. Orang-orang Lawa Ijo dapat mendengar nama-nama itu dari orang-orang Banyubiru yang acuh tak acuh pada keadaan kampung halamannya. Sedang tentang Mahesa Jenar, Widuri sendirilah yang telah bercerita. Dalam pada itu kembali terdengar suara Lawa Ijo,
“Nah, sekarang marilah kita mulai. Yang terpenting adalah para pemimpin itu. Sebab tanpa pimpinan, laskar Banyubiru akan kehilangan garis perjuangannya. Manakah menurut pertimbanganmu yang pertama-tama kita masuki Carang Lampit…?”
“Perkemahan yang aku katakan tadi Ki Lurah,” jawab Carang Lampit. Bersamaan dengan bunyi jawaban itu, berdesirlah hati Mantingan. Dengan demikian rombongan Lawa Ijo itu pertama-tama akan memasuki pondok Rara Wilis. Gerombolan itu pun segera bergerak lewat beberapa langkah dari batang pohon tempat Mantingan bersembunyi. Sekali lagi Mantingan menghitung urut-urutan itu. Sepuluh, ya sepuluh. Tanpa disengaja, ia mengamat-amati trisulanya, seakan-akan bertanya kepada senjatanya itu, apakah yang harus dilakukan segera. Ia menjadi sedikit lega ketika diingatnya bahwa Wirasaba ada di dalam kemah itu.
Sementara itu, di dalam pondok kecil itu Wirasaba semakin lama menjadi semakin tidak sabar. Waktu yang hanya beberapa saat itu seolah-olah telah berjalan bermalam-malam. Ketika mereka mendengar suara Lawa Ijo tertawa menggelegar, Wirasaba tiba-tiba bangkit berdiri dan berjalan mondar-mandir beberapa kali. Tetapi sesaat kemudian ia sudah terbanting duduk kembali. Demikian pula ketika untuk kedua kalinya Lawa Ijo tertawa gemuruh. Dengan gigi gemeretak, Wirasaba semakin marah. Kalau saat itu tidak sedang melindungi pondok kecil itu, baginya lebih baik meloncat keluar dan segera menyerang mereka. Tetapi ia tidak dapat meninggalkan pondok kecil itu.

WIDURI sudah tidak berbaring lagi. Ia duduk di belakang Rara Wilis sambil memeluk kedua lututnya. Ia menjadi jemu mendengar suara tertawa yang memuakkan itu. Wilis dan Arya Salaka masih duduk di tempatnya semula tanpa berkisar. Mereka pun menjadi gelisah karena ketidaksabaran mereka. Ketika mereka mendengar derap kaki beberapa orang mendekati pondok itu, serentak mereka mengangkat kepala untuk mengetahui dari manakah suara langkah itu datang. Dada mereka kemudian menjadi berdebar-debar, dan tanpa sengaja menggenggam senjata mereka semakin berat. Suara langkah itu segera berhenti beberapa depa dari perkemahan itu. Di luar, terdengarlah suara,
“Inikah pondok itu, Carang Lampit?”
“Ya, Ki Lurah,” jawab yang lain,
“Itulah mereka, para penjaga yang jatuh tertidur.”
Terdengarlah kemudian suara tertawa pendek.
“Bagus. Mungkin di dalam pondok inilah mereka tinggal. Sekarang masuklah dan tangkaplah mereka hidup-hidup. Barangkali mereka kita perlukan. Bukankah gadis yang bernama Rara Wilis itulah yang dahulu digilai oleh Jaka Soka? Nah, barangkali gadis itu dapat kita pergunakan sebagai alat untuk menundukkan hati Ular Laut yang gila itu.”
Mendengar percakapan itu hati Rara Wilis berdesir. Ia menyesal bahwa Ular Laut itu pernah melihat wajahnya, sehingga sampai sekarang masih saja persoalan itu terbawa-bawa. Meskipun ia sama sekali sudah tidak perlu lagi setakut dahulu, namun ia lebih ngeri merasakan kegilaan Jaka Soka itu daripada harus bertempur melawannya.

Tetapi ia tidak sempat terlalu banyak mengenang pertemuannya yang tidak menyenangkan dengan Jaka Soka itu, karena di luar kembali terdengar suara.
“Carang Lampit, bawalah Bagolan, Tembini dan beberapa orang lagi. Ingat, tangkap mereka hidup-hidup, dan ikat mereka itu. Kecuali kalau Arya Salaka melawan, ia dapat mengatasi pengaruh sirepku, kalau ia ada di dalam pondok itu pula.”
“Baik Ki Lurah,” jawab suara yang lain.
Bersamaan dengan itu bersiaplah semua orang yang berada di dalam pondok itu untuk menghadapi segala kemungkinan. Menilik langkah mereka, dan suara-suara yang bergumam, mereka pasti terdiri beberapa orang yang lebih banyak dari jumlah mereka yang ada di dalam. Tetapi sebelum mereka membuka pintu, tiba-tiba terdengarlah suara tertawa agak jauh dari pondok itu. Suara tertawa itu tidak begitu keras dan sama sekali tidak mengerikan. Orang-orang yang berada di dalam pondok itu terkejut. Apalagi yang berada di luarnya dengan suara lantang terdengarlah salah seorang di luar pondok itu berkata,
“Hai Carang Lampit, siapakah itu?”
“Entahlah Ki Lurah,” jawab yang lain.
“Gila,” dengus suara yang pertama, yang ternyata adalah suara Lawa Ijo sendiri.
“Masih ada orang yang dapat membebaskan diri dari pengaruh sirepku ini.”
Kemudian terdengarlah suara di kejauhan,
“Lawa Ijo, sebagai penghuni perkemahan ini aku mengucapkan selamat datang.”
“Siapakah kau…?” teriak Lawa ijo.
“Bagi mereka yang sudi menyebut namaku, akulah yang bernama Mantingan,” jawab suara itu.
“Hemm, jadi kaukah yang terkenal dengan nama Dalang Mantingan yang sakti?”
“Tak ada orang yang menambah dengan kata sakti itu, Lawa Ijo,” jawab Mantingan.
“Tetapi sebenarnyalah bahwa aku seorang dalang.”
“Bagus…” jawab Lawa Ijo.
“Bahwa kau dapat membebaskan dirimu dari pengaruh sirepku itu sudah merupakan pertanda bahwa kau memiliki kesaktian yang cukup. Tetapi kau terlalu berani menampakkan dirimu di hadapanku dan kawan-kawanku. Apakah kau sudah bosan hidup?”
“Belum, Lawa Ijo,” jawab Mantingan selanjutnya,
“Aku sama sekali masih belum bosan hidup.”
“Kenapa kau mengganggu kami?” bentak Lawa Ijo.
“Aku sama sekali tidak mengganggu kau. Bukankah aku sekadar mengucapkan selamat datang?” sahut Mantingan.
“Diam!” teriak Lawa Ijo marah.
“Kemarilah dan katakan cara apa yang kau senangi untuk membunuh orang yang telah menghina aku.”
“Aku tidak akan membunuh orang itu,” jawab Mantingan.
“Pengecut…!” teriak Lawa ijo semakin keras.
“Kalau begitu, pilihlah cara yang kau katakan bahwa aku senangi untuk membunuhmu.”

Kembali terdengar suara Mantingan tertawa. Segar dan renyah. Katanya kemudian,
“Sudah aku katakan bahwa aku masih senang menunggu terbitnya matahari esok pagi, Eh, apakah keperluanmu datang kemari tanpa memberitahukan lebih dulu?”
“Setan!” umpat Lawa Ijo.
“Kalau begitu, aku akan memaksamu, menyeret kemari dan membunuhmu dengan cara yang aku senangi.”
“Jangan marah Lawa Ijo. Tak ada orang yang akan mengucapkan terimakasih kepadamu, apabila demikian itu caramu memperkenalkan diri,” jawab Mantingan.
Lawa Ijo rupanya sudah tidak sabar lagi. Dengan marahnya ia berteriak kepada Wadas Gunung,
“Wadas Gunung, tangkap orang itu. Bawa dia kemari. Aku ingin mengetahui betapa keras tulang kepalanya.”
Mendengar perintah itu, dada Wirasaba berdentang keras. Ia tidak dapat membiarkan Mantingan bertempur sendiri. Tetapi rupanya Jaladri sudah tidak sabar lagi menunggu saja sambil tiduran. Maka kemudian terdengar juga suaranya,
“Ki Dalang Mantingan, bolehkah aku turut dalam permainan ini?”
Jaladri tidak menunggu jawaban Mantingan. Demikian ia selesai berkata, demikian ia meloncat ke pintu.
Mendengar suara seorang lagi yang ternyata dapat membebaskan diri dari pengaruh sirepnya, Lawa Ijo semakin terkejut. Wadas Gunung yang sudah melangkahkan kakinya ke arah Mantingan, jadi tersentak. Dengan garangnya ia berkata,
“Carang Lampit, ternyata masih ada orang-orang yang terbebas dari pengaruh sirep ini.”

CARANG LAMPIT tidak menjawab, tetapi terdengar giginya gemeretak karena marah. Bahkan kemudian ia meloncat maju dan seterusnya ia berlari ke arah Mantingan dengan senjatanya di tangan, yaitu carang ori di tangan kanan dan sebuah pisau belati panjang di tangan kiri. Tetapi sebelum ia mencapai Dalang Mantingan, yang berdiri di bawah pohon, dimana ia mula-mula memanjatnya, Jaladri telah berlari pula mencegatnya. Carang Lampit menjadi semakin marah. Tanpa mengucapkan sepatah katapun langsung ia menyerang Jaladri dengan senjatanya. Ternyata Jaladri pun cukup tangkas menghadapinya. Segera ia meloncat ke samping, dan kemudian berputarlah canggah bermata dua di tangannya, untuk kemudian dengan garangnya menyerang Carang Lampit. Carang Lampit menggeram dengan penuh kemarahan. Matanya yang bengis menjadi semakin buas. Tandangnya pun menjadi semakin buas pula. Kedua senjatanya menyambar-nyambar mengerikan.
Mantingan melihat pertarungan itu dengan seksama. Mula-mula ia menjadi cemas, apakah Jaladri dapat mengimbangi kekuatan Carang Lampit. Tetapi ketika selangkah dua langkah pertempuran itu berlangsung, Mantingan segera mengetahui bahwa Jaladri pun cukup memiliki kemampuan untuk melawan salah seorang anak buah Gerombolan Alas Mentaok yang terkenal itu.

Di seberang yang lain, Lawa Idjo, Wadas Gunung dan kawan-kawannyapun mengikuti pertempuran itu dengan tanpa berkedip. Mereka menjadi tidak senang ketika mereka melihat ketangkasan Jaladri. Dengan penuh kemarahan, Lawa Ijo bertanya,
“Siapakah orang itu?”.
“Orang itulah yang bernama Jaladri,” jawab salah seorang anak buahnya.
“Awasi dia,” katanya kepada Wadas Gunung.
“Aku ingin menyelesaikan orang sombong yang bernama Mantingan itu.”
“Baik Ki Lurah,” jawab Wadas Gunung.
“Yang lain jangan menunggu seperti orang nonton adu jago. Masukilah perkemahan ini. Tangkap Wilis dan Widuri hidup-hidup. Bunuh saja Arya Salaka kalau ia berada di sana. Kalau tidak, cari sampai bertemu, supaya bukan kepalamu yang aku ceraikan dari tubuhmu,” sambung Lawa Ijo dengan marahnya.
“Baik Ki Lurah,” jawab anak buahnya pula.
Sementara itu Lawa Ijo telah melangkah, setapak demi setapak, ke arah Mantingan yang masih saja berdiri di bawah pohon sambil menyaksikan Jaladri bertempur. Tetapi ketika ia melihat Lawa Ijo mendekatinya, segera ia pun mempersiapkan diri. Sebab melawan pemimpin gerombolan alas Mentaok ini bukanlah pekerjaan yang ringan. Maka segera ia pun melangkah dua langkah maju, menyongsong kedatangan Lawa Ijo.

Lawa Ijo yang terlalu percaya kepada kesaktiannya, menganggap pekerjaan itu bukanlah pekerjaan yang berat. Ia seolah-olah demikian yakin bahwa untuk membunuh Mantingan, tidak akan banyak membuang tenaga. Mantingan masih tetap berdiri di tempatnya. Sepintas ia melihat orang-orang Lawa Ijo yang lain telah siap untuk memasuki pondok Rara Wilis. Karena itu ia menjadi berdebar-debar. Tetapi Lawa Ijo telah meninggalkan pintu pondok itu dan memerlukan untuk melawannya, ia menjadi sedikit berlega hati. Ia mengharap bahwa orang-orang lain dari gerombolan Lawa Ijo itu tidak terlalu berbahaya. Karena Mantingan tidak segera menjawab perkataannya, Lawa Ijo merasa sekali lagi dihinakan. Maka dengan membentak keras ia mengulangi,
“Mantingan. Tidakkah kau dengar kata-kataku? Menyerahlah dan jangan mencoba melawan. Sebab dengan demikian kau akan menyesal bahwa kau akan mengalami penderitaan pada saat akhirmu.”
Mantingan tertawa pendek. Tetapi matanya masih saja menatap pintu pondok Rara Wilis. Sebuah tangan yang kasar dengan tiba-tiba merenggut pintu itu. Tetapi demikian pintu terbuka, sebuah kapak yang berat dengan ganasnya melayang ke arah kepala orang itu. Untunglah bahwa orang itu cukup tangkas. Dengan cepat ia meloncat mundur. Tetapi agaknya Wirasaba tidak memberinya kesempatan.

Dengan cepat pula ia meloncat keluar dan kapaknya yang besar itu terayun-ayun mengerikan sekali. Orang-orang yang berdiri di muka pintu itu segera meloncat berpencaran. Cemara Aking, Bagolan, Tembini, Jadipa dan yang lain-lain. Mereka terkejut bukan kepalang, sebab mereka sama sekali tidak mengira bahwa di dalam pondok itu bersembunyi Wirasaba yang pernah mereka kenal beberapa tahun yang lampau di Pliridan. Tetapi mereka adalah orang-orang yang sudah cukup terlatih menghadapi setiap kemungkinan. Karena itu dalam waktu yang pendek mereka telah siap dengan senjata-senjata mereka untuk melawan Wirasaba. Namun yang sama sekali diluar perhitungan mereka adalah, tiba-tiba saja dimuka pintu itupun telah berdiri berjajar Rara Wilis dengan pedang tipisnya, Arya Salaka dengan tombak pusakanya, dan yang seorang lagi adalah gadis dengan wajah berseri-seri bermain-main dengan sebuah rantai perak sebesar ibu jari. Untuk beberapa saat mereka menjadi heran bahwa orang-orang itupun dapat membebaskan dirinya dari pengaruh sirep Lawa Ijo, dan mereka menjadi heran pula bahwa mereka itu agaknya akan ikut serta dalam pertempuran. Tetapi mereka tidak mempunyai banyak kesempatan untuk menimbang, sebab tiba-tiba saja mereka bertiga itu dengan lincahnya berloncatan, bahkan mirip dengan api yang memercik ke segenap penjuru.
Kemudian mau tidak mau, gerombolan Lawa Ijo itu dihadapkan pada suatu kenyataan, bahwa Rara Wilis dan Endang Widuri itupun bukanlah gadis yang hanya dapat menangis dan beriba-iba. Tetapi mereka bahkan memiliki ketangkasan dan ketangguhan yang mengagumkan. Apalagi anak muda yang harus mereka bunuh, dan bernama Arya Salaka itu. Seperti seekor burung rajawali, ia menyambar nyambar dengan dahsyatnya. Lawa Ijo, yang mendengar hiruk-pikuk itupun kemudian menghentikan langkahnya. Ketika ia menoleh, ia hampir-hampir tidak percaya pada penglihatannya. Samar-samar dalam kegelapan malam ia melihat perkelahian yang dahsyat itu.

PERKELAHIAN antara anak buahnya dengan beberapa orang yang muncul dari dalam pondok yang telah hampir saja dimasukinya. Apalagi kemudian ketajaman matanya dapat menangkap bahwa yang bertempur itu adalah dua orang gadis, seorang anak muda disamping orang yang gagah dan bersenjatakan kapak. Bahkan kemudian tanpa disengaja ia bergumam,
“Siapakah mereka itu?”
Dan tanpa disengaja pula Mantingan menjawab,
“Mereka itulah yang telah kau sebut-sebut namanya.”
Lawa Ijo tidak berkata-kata lagi. Tetapi ia menjadi semakin terpaku pada pertempuran itu. Ternyata Rara Wilis, Endang Widuri, Arya Salaka berempat dengan Wirasaba dapat melawan delapan orang anggota gerombolan terkenal dari Alas Mentaok dengan baiknya. Pedang Rara Wilis bergetaran dengan cepatnya, menyambar-nyambar dengan lincahnya. Sinarnya yang gemerlapan merupakan gumpalan-gumpalan sinar maut yang bergulung-gulung menyerang lawannya. Disamping itu masih ada lagi cahaya yang berkilat-kilat dari rantai perak Endang Widuri. Ia jarang-jarang sekali mempergunakan senjata itu, sebagaimana pesan ayahnya. Bahkan ia lebih senang memakainya sebagai perhiasan di lehernya. Kalau pada saat itu ia terpaksa mempergunakannya, maka sudah tentu bahwa ia menganggap pertempuran kali ini cukup berbahaya baginya. Rantai itu di tangan Endang Widuri yang kecil dapat mematuk-matuk dengan ganasnya, yang kadang-kadang dengan kecepatan luar biasa menyambar lawannya untuk kemudian membelitnya. Meskipun demikian, meskipun Endang Widuri sendiri telah dapat bertempur dengan lincahnya, namun sekali-kali Rara Wilis selalu berkisar mendekatinya. Bagaimanapun anak nakal itu kadang-kadang perlu diperingatkan, bahwa pertempuran kali ini bukanlah permainan anak-anak.


Di sebelah lain, Arya Salaka dengan tangkasnya memainkan tombak pusakanya. Tombak itu berputar seperti baling-baling, namun kemudian meluncur seperti petir menyambar lawannya. Demikian membingungkan, sehingga tak seorang pun berani mendekatinya. Lawan-lawannya bertempur dalam jarak yang cukup dan mencoba menyerangnya dari arah yang berlawanan. Adapun Wirasaba yang mula-mula merasa berkewajiban melindungi kedua gadis beserta Arya Salaka, tidak kalah herannya dari Lawa Ijo. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Rara Wilis adalah seorang gadis yang perkasa, sedang Endang Widuri dengan kelincahannya merupakan seorang yang cukup berbahaya bagi lawan-lawannya. Apalagi anak muda yang bernama Arya Salaka itu. Bahkan akhirnya ia merasa bahwa ketiganya yang semula harus dilindungi itu memiliki ilmu yang lebih tinggi daripada dirinya sendiri.
Disamping perasaan malu, Wirasaba kemudian merasa bersyukur. Sebab ternyata lawan mereka adalah anggota gerombolan Lawa Ijo yang menggemparkan. Kalau kedua gadis dan Arya Salaka benar-benar memerlukan perlindungannya, maka sudah pasti bahwa ia tidak akan mampu melakukan kewajibannya. Sebab ia sadar bahwa Jaladri telah terikat dalam perkelahian yang seimbang. Ki Dalang Mantingan masih harus membayangi Lawa Ijo. Karena itu ketika ia merasa bahwa pekerjaannya telah bertambah ringan, maka ia pun dapat bertempur dengan tenang.

Lawa Ijo masih saja berdiri seperti patung. Dengan dada yang bergelora ia mengikuti pertempuran itu. Ia menjadi marah sekali ketika ia melihat Wadas Gunung sama sekali tidak berdaya menghadapi Rara Wilis, sehingga Tembini masih harus membantunya. Jadipa yang terlanjur ketakutan berhadapan dengan Widuri, mencoba mencari lawan lain. Bersama dengan dua orang lain, ia bertempur melawan Arya Salaka. Ternyata Arya Salaka memiliki ketangkasan luar biasa, sehingga untuk melawannya bertiga, sama sekali tidak menyulitkan anak muda itu. Sedang Bagolan dengan kedua bola besinya bertempur melawan Endang Widuri. Mula-mula Bagolan agak merasa segan dan malu. Ia merasa bahwa gadis kecil itu sama sekali bukanlah pekerjaan yang sesuai dengan dirinya. Tetapi ketika sekali dua kali hampir saja kelit kepalanya terkelupas oleh sambaran rantai Widuri, barulah ia sadar bahwa gadis itu benar-benar luar biasa. Karena itu ia tidak dapat lagi menganggap bahwa ia hanya sekadar melayani saja. Akhirnya keringat dingin membasahi hampir seluruh permukaan tubuh Bagolan, ketika ternyata perlahan-lahan namun pasti Endang Widuri berhasil menguasainya. Wirasaba sendiri masih harus melayani dua orang yang mengeroyoknya. Tetapi beberapa tahun yang lampau bersama dengan Mahesa Jenar, ia pernah mengalami pengeroyokan anak buah Lawa Ijo itu. Bahkan hampir duapuluh orang. Apalagi sekarang kakinya telah benar-benar sembuh dan pulih kembali sehingga untuk melawan kedua orang itu, Wirasaba tidak harus bekerja terlalu keras.

<<< Bagian 057                                                                                              Bagian 059 >>>

No comments:

Post a Comment