WIRASABA beringsut mendekati Arya Salaka.
“Kenapa Angger
berada di sini?” tanya Wirasaba.
“Aku hanya
berjalan-jalan saja ketika aku tidak dapat tidur. Tetapi para penjaga inilah
yang kemudian jatuh tertidur,” sahut Arya.
“Mereka
terkena pengaruh sirep,” jelas Wirasaba.
“Untunglah
Angger terbebas dari pengaruhnya.”
“Akupun
merasakan pengaruhnya, Paman. Lalu bagaimanakah dengan yang lain-lain?” tanya
Arya Salaka.
“Adi Mantingan
sedang mengamati mereka,” jawab Wirasaba.
Hati Arya
Salaka menjadi bertambah besar ketika ternyata Mantingan pun terbebas dari
pengaruh sirep itu. Bahkan kemudian ia bertanya,
“Siapa pulakah
yang dapat menyelamatkan diri?”
“Adi Mantingan
baru menyelidiki mereka. Tetapi Jaladri juga terbebas dari pengaruh sirep ini
atas bantuan Adi Mantingan,” jawab Wirasaba.
Kemudian Arya
Salaka tidak cemas lagi. Ada empat orang yang pasti terbebas dari pengaruh
sirep itu. Namun ia bertanya pula, “Jadi dapatkah Paman Mantingan menolong
orang lain membebaskan diri dari pengaruh sirep ini?”
“Demikianlah,”
jawab Wirasaba.
“Tetapi tidak
kepada semua orang. Ia hanya dapat membantu seperlunya apabila orang itu
sendiri cukup mempunyai daya tahan.”
“Syukurlah,”
gumam Arya.
“Ia adalah
seorang dalang. Sebagai seorang dalang ia perlu memiliki berbagai macam ilmu.
Sebab kadang-kadang ia memang berhadapan dengan gangguan-gangguan dari para
penontonnya yang jahil.” Wirasaba menegaskan.
Tetapi
kemudian Arya Salaka kembali membayangkan bagaimanakah kalau sepasukan laskar
menyerbu perkemahan ini. Sedang sebagian besar dari laskar Banyubiru itu jatuh
tertidur. Karena itu ia bertanya kembali,
“Paman
Wirasaba, bagaimanakah seandainya malam ini perkemahan kita ini diserbu oleh
sepasukan laskar?”
Meskipun Arya
Salaka mempunyai daya tahan lahir batin yang cukup kuat, namun ternyata
pengetahuannya belumlah seluas Wirasaba, yang menjawab pertanyaannya itu.
“Tidak Angger,
pasukan penyerbu itupun akan terkena pengaruh sirep ini pula. Sebab daya
kekuatan sirep ini tidak dapat ditujukan kepada seorang atau serombongan orang.
Tetapi dayanya seolah-olah memenuhi udara di sekitar penyebarnya. Sehingga
apabila pada malam ini ada orang yang ingin memasuki perkembahan ini, pasti merekapun
jumlahnya terbatas. Terbatas pada mereka yang atas kemampuan sendiri, atau atas
bantuan orang lain membebaskan diri dari pengaruh sirep ini.”
Arya Salaka
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekarang ia sama sekali tidak perlu khawatir.
Di dalam perkemahan itu ia cukup mempunyai kawan yang mempunyai ilmu cukup
tinggi. Meskipun demikian ia masih ingin mengetahui bagaimanakah keadaan Endang
Widuri dan Rara Wilis. Sebab tanpa setahunya, ia merasa bahwa nasib gadis kecil
itu adalah sama dengan nasibnya sendiri. Maka kemudian setelah Wirasaba berada
di tempat itu, ia tidak keberatan lagi meninggalkan para penjaga itu. Kepada
Wirasaba ia berkata,
“Paman,
apabila Paman bersedia untuk tinggal di sini, aku minta ijin untuk menengok
pondok Bibi Wilis dan Widuri.”
“Jangan
Angger,” cegah Wirasaba. “Jangan pergi sendiri. Marilah aku antar Angger ke
sana.”
“Lalu
bagaimana dengan para penjaga ini?” tanya Arya Salaka.
“Biarlah
mereka kita sisihkan. Aku kira orang-orang yang menyebar sirep itu tidak akan
berkesempatan mengurusi para penjaga itu. Mereka pasti berhasrat untuk langsung
menemukan kekuatan-kekuatan pokok dari perkemahan ini.”
Arya Salaka
dapat mengerti keterangan Wirasaba itu. Karena itu iapun segera membantunya,
mengangkat para penjaga yang tertidur itu ke tepi, ke atas rerumputan yang
sudah mulai basah karena embun malam yang perlahan-lahan turun ke bumi. Dingin
malam musim bediding rasa-rasanya sampai menggigit tulang. Namun oleh
ketegangan yang mengetuk-ngetuk dada, rasa itu sama sekali tak mempengaruhi mereka
yang sedang berusaha menyelamatkan perkemahan itu. Dengan mengendap-endap penuh
kewaspadaan, Arya Salaka diantar oleh Wirasaba yang menggenggam sebuah kapak
yang besar sekali menuju ke barak kecil tempat Rara Wilis dan Endang Widuri
beristirahat selama mereka berada di perkemahan itu. Meskipun sebenarnya Arya
Salaka sama sekali tidak merasa perlu pengawalan, namun ia tidak mau
menyakitkan hati orang lain. Karena itu ia tidak menolak. Ketika mereka lewat
dekat gardu pimpinan, mereka melihat bahwa gardu itu kosong. Tetapi mata Arya
Salaka yang tajam dapat melihat sebuah bayangan yang berdiri di belakang gardu
itu. Agaknya Jaladri merasa perlu sekadar melindungkan dirinya untuk dapat
mengadakan pengawasan di sekitar tempat itu dengan lebih seksama. Di tangannya
tergenggam sebuat canggah, tombak bermata dua.
Arya dan
Wirasaba berjalan terus. Dengan gerak tangan Wirasaba memberi isyarat kepada
Jaladri, yang membalas dengan isyarat tangan pula. Beberapa langkah kemudian
mereka sudah melihat pondok tempat tinggal Rara Wilis dan Endang Widuri.
Ternyata para penjaga pondok itupun telah tertidur pula. Karena itu Arya Salaka
menjadi cemas, jangan-jangan telah terjadi sesuatu atas penghuninya.
Perlahan-lahan ia menyusuri tempat-tempat yang gelap mendekati pondok itu.
“Marilah,”
jawab Wirasaba.
Dengan sangat
hati-hati mereka mendekati pintu pondok yang memang tidak pernah terkancing.
Perlahan-lahan Arya menyingkapkan pintu itu. Meskipun demikian terdengar suatu
gerit perlahan. Hanya perlahan. Tiba-tiba ketika pintu itu terbuka, terjulurlah
ujung sehelai pedang yang tipis mengarah ke dada Arya Salaka.
ARYA SALAKA
terkejut. Untunglah ia memiliki ketangkasan yang cukup. Meskipun pedang itu
tidak membawa serangan maut, namun agaknya perlu juga ia menjaga dirinya dan
menghindari. Melihat senjata itu Wirasaba pun terkejut. Ia segera meloncat maju
untuk menangkis serangan itu. Tetapi ujung pedang itu sangat lincahnya di dalam
kegelapan malam, bahkan dengan sekali putar hampir saja lengan Wirasaba
tergores.
Karena itu
Wirasaba terkejut sekali dan meloncat mundur. Ketika ia kemudian mengangkat
kapaknya untuk menyerang kembali terdengarlah Arya Salaka berdesis.
“Paman, itu
adalah pedang Bibi Wilis.”
Wirasaba
terhenti. Dan bersamaan dengan itu, tampaklah sebuah bayangan meloncat keluar
dengan lincahnya, bahkan seperti terbang. Demikian bayangan itu menginjak
tanah, demikian ia telah siap menghadapi setiap kemungkinan. Tetapi juga
bayangan itu terkejut ketika ia melihat Wirasaba dan Arya Salaka berdiri di
dalam gelap. Karena itu terlontarlah dari mulutnya.
“Kau, Arya…?”
“Ya, Bibi…”
jawab Arya.
“Kami minta
maaf kalau kami mengejutkan Bibi.”
Rara Wilis
menarik nafas. Katanya,
“Suasana malam
ini memaksa aku untuk sangat berhati-hati.”
“Aku
sebenarnya ingin melihat keadaan Bibi dan Widuri tanpa mengganggu,” sambung
Arya.
“Tak apalah,”
jawab Rara Wilis.
“Dan syukurlah
kalau kalian juga berhasil membebaskan diri dari pengaruh sirep yang tajam
ini.”
Wirasaba
berdiri tegak dan bersandar pada tangkai kapaknya. Meskipun ia telah menduga
bahwa Rara Wilis tidaklah sama dengan kebanyakan wanita, namun ia sama sekali
tidak menduga bahwa sampai sekian gadis itu telah mencapai ilmunya.
Sementara itu
tiba-tiba terdengar suara dari clundak pintu.
“Untunglah
dadamu tidak terlubang Kakang Arya.”
Arya menoleh.
Dilihatnya Endang Widuri duduk dengan enaknya di atas clundak pintu itu.
Arya Salaka
dan Wirasaba lebih terkejut melihat Endang Widuri duduk di situ daripada
mendengar suaranya. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa gadis itupun
berhasil membebaskan diri dari pengaruh sirep. Karena itu terdengar Arya
bertanya perlahan, “Kau tidak tertidur…?”
“Aku belum
ngantuk.” jawab Widuri seenaknya.
“Aneh,”
tiba-tiba terdengar Wirasaba bergumam.
Rara Wilis
mendengar gumam itu. Dengan tersenyum ia menjawab,
“Anak itu
memang luar biasa. Akupun harus berjuang untuk melawan pengaruh sirep ini
sekuat tenaga. Tetapi Widuri memang seakan-akan sama sekali tidak disentuh oleh
kekuatan sirep ini.”
Widuri merasa
bahwa dirinyalah yang sedang dipercakapkan itu. Maka iapun segera menyahut,
“Apakah kalian
heran karena aku belum ngantuk? Bukankah ini masih belum terlampau malam?”.
Tak seorangpun
menjawab. Mereka tahu sifat gadis itu. Nakal dan kadang-kadang suka menuruti
perasaan sendiri.
Tiba-tiba di
kejauhan terdengar suara siulan nyaring. Suara itu menggetar di seluruh
perkemahan anak-anak Banyubiru itu, seolah-olah melingkar-lingkar menyusup ke
setiap pondok. Rara Wilis dan kawan-kawannya terkejut mendengar suara itu.
Suara yang belum pernah mereka dengar. Apalagi kemudian suara itu disusul
dengan bunyi yang sama di arah yang berlawanan. Tidak itu saja, suara siulan
itu masih terdengar berturut-turut dari dua arah yang berbeda. Dengan demikian
maka dapat diketahui bahwa orang yang bersiul, dan yang pasti, mereka pulalah
yang menyebarkan sirep ini, berada di empat arah mata angin. Karena itulah,
Rara Wilis dan kawan-kawannya itu mengetahui bahwa orang-orang itu telah
berusaha mengepung perkembahan ini.
Mereka harus
menjadi lebih berhati-hati lagi. Sementara itu mereka melihat Ki Dalang
Mantingan dan Jaladri datang pula ke pondok itu. Dengan nafas yang
terengah-engah ia berkata perlahan,
“Aku cari
Angger Arya Salaka setengah mati. Ketika aku menengok ke pondok Angger, aku
menjadi gugup, karena Angger tidak ada di tempat. Aku coba mencari berkeliling,
tetapi juga tidak aku jumpai. Akhirnya dari Jaladri aku mendengar bahwa Angger
pergi kemari bersama-sama Kakang Wirasaba.”
“Angger Arya
Salaka berada di mulut perkemahan ini, Adi,” jawab Wirasaba.
“Syukurlah
kalau tidak terjadi sesuatu. Dan bukankah di sini juga tidak terjadi sesuatu?”
tanya Mantingan pula.
“Tidak
Kakang,” jawab Rara Wilis singkat.
“Kakang
Wirasaba, menilik suara yang mereka perdengarkan, mereka berada di empat arah
mata angin di sekeliling perkemahan ini. Juga menilik tanda-tanda suara yang
mereka berikan, mereka pasti mengira bahwa perkemahan ini telah terbenam
seluruhnya dalam pengaruh sirepnya. Karena itu mereka pasti akan memasuki
perkemahan ini dengan seenaknya.”
Mantingan
mulai memberi penjelasan.
“Karena itu,
maka adalah menjadi kewajiban kami untuk menyelamatkan perkemahan ini. Waktu
kita agaknya tinggal sedikit. Sebab apabila mereka merasa bahwa jarak waktu
yang mereka berikan untuk meresapkan sirepnya telah mereka anggap cukup, mereka
pasti akan segera bertindak,” lanjut Mantingan.
Wirasaba
sependapat dengan keterangan Mantingan. Maka ia pun membenarkannya,
“Lalu apakah
yang harus kita lakukan Adi?” tanya Wirasaba.
Mantingan
berpikir sejenak. Kemudian ia menjawab,
“Kita yang
telah berhasil membebaskan diri dari pengaruh jahat ini, harus memberikan
perlindungan-perlindungan terhadap anak-anak Banyubiru yang lain. Aku kira
mereka akan mencari orang-orang yang mereka anggap penting. Aku tidak tahu
apakah mereka telah mengetahui keadaan perkemahan ini dengan baik. Tetapi
disamping itu…” Mantingan berhenti sejenak. Matanya berkisar kepada Rara Wilis,
Endang Widuri dan Arya Salaka.
RARA WILIS
segera menangkap perasaan Ki Dalang Mantingan. Karena itu ia menjawab,
“Kakang,
biarlah kami coba untuk melindungi diri kami masing-masing. Adalah sudah
menjadi kewajiban Kakang Mantingan, Kakang Wirasaba dan Jaladri untuk mencoba
melindungi anak-anak Banyubiru yang merupakan tenaga-tenaga inti dari laskar
ini.”
Mantingan
menjadi agak malu karena perasaannya dapat ditebak dengan tepat. Tetapi ia
tidak akan sampai hati untuk membiarkan gadis-gadis itu dan anak semuda Arya
Salaka untuk menjaga diri mereka sendiri terhadap penyerang-penyerang yang
bersembunyi seperti ini. Apalagi jelas bahwa para penyerang itu memiliki ilmu
yang cukup tinggi. Terbukti dengan sirepnya yang cukup tajam ini. Sedangkan
Arya Salaka bagi laskar Banyubiru ternyata telah menjadi penguat tekad
perjuangan mereka. Sehingga daripada yang lain-lain, Arya Salaka-lah yang
pertama-tama wajib diselamatkan.
“Maaf Adi Wilis…”
kata Mantingan pula,
“Aku wajib
untuk berusaha menyelamatkan kalian. Karena itu, aku harap Kakang Wirasaba
tetap berada di tempat ini, aku akan berada di pondok sebelah untuk mencoba
melindungi anak-anak yang tertidur dengan nyenyaknya.”
“Baiklah Adi,”
jawab Wirasaba.
“Kau ikut
dengan aku Jaladri,” sambung Mantingan.
“Kita
kosongkan gardu pimpinan.”
Seterusnya
kepada Rara Wilis ia berkata,
“Keadaan
menjadi semakin gawat. Kami silahkan kalian masuk. Sebaiknya Kakang Wirasaba
pun berada di dalam pula. Kami masing-masing akan memberi tanda apabila keadaan
kami sulit. Pukullah kentongan atau berteriaklah memanggil. Jarak kami tidak
terlalu jauh.”
Selesai dengan
kata-katanya, Mantingan pun segera bergerak meninggalkan tempat itu. Ia
terpaksa membagi kekuatan mereka. Wirasaba untuk melindungi pondok Wilis,
sedang ia sendiri dan Jaladri berusaha untuk melindungi kekuatan-kekuatan pokok
laskar Banyubiru. Tetapi meskipun demikian, namun otaknya diganggu juga oleh
teka-teki, bagaimana mungkin Arya Salaka dan Rara Wilis dapat membebaskan diri
dari pengaruh sirep yang tajam ini. Apalagi ia sama sekali tidak tidak tampak
kantuk. Sedangkan orang seperti Jaladri itupun masih memerlukan bantuannya
untuk membebaskan diri dari pengaruh sirep ini. Meskipun ia telah menduga bahwa
kedua gadis itu pasti memiliki kelebihan dari gadis-gadis lain, tetapi ia sama
sekali belum dapat membayangkan sampai di mana ketinggian ilmu mereka itu. Rara
Wilis seperti juga Arya Salaka, tidak mau mengecewakan Dalang Mantingan. Karena
itu ia menerima Wirasaba untuk menjadi pelindung pondok itu, meskipun ia sadar
bahwa sebenarnya tenaganya sangat diperlukan. Sesaat kemudian, setelah mereka
masuk kembali ke dalam pondok masing-masing, suasana perkemahan itu diliputi
oleh kesunyian yang tegang.
Wirasaba duduk
dengan gelisah di dalam pondok Rara Wilis. Sedang Rara Wilis sendiri selalu
siap untuk setiap saat bertindak. Pedangnya yang tipis tersandang di
pinggangnya. Ia duduk di bale-bale bambu menghadap pintu. Disampingnya duduk
Arya Salaka. Kyai Bancak sudah tidak lagi bertangkai sependek tangkai belati.
Tetapi ia telah memberinya tangkai hampir sedepa. Sedangkan Widuri dengan
enaknya berbaring di bale-bale itu, seolah-olah tidak menghiraukan sama sekali
kegelisahan orang-orang di sekitarnya. Namun demikian ternyata gadis tanggung
itupun telah bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan. Ternyata bahwa ia
tidak mengenakan kain panjangnya, tetapi ia berpakaian seperti seorang
laki-laki. Pakaian yang selalu dipakainya apabila ia sedang berlatih tata bela
diri maupun latihan-latihan untuk ketahanan diri. Pertanda yang lain dari
kesiap-siagaannya adalah sebuah karset perak berbentuk rantai sebesar itu jari
yang melingkar di leher Widuri, yang ujungnya terjuntai tersangkut di ikat
pinggangnya. Rantai perak itu tidak saja merupakan senjata yang berbahaya,
tetapi di leher gadis itu, rantai itu dapat menjadi perhiasan yang menambah
kecerahan wajahnya.
Di pondok
sebelah, Jaladri menunggu setiap kemungkinan dengan cemas pula. Ia tidak duduk
atau berdiri bersiaga, tetapi ia berpura-pura tidur dalam jajaran para laskar
Banyubiru yang benar-benar sedang tertidur dengan nyenyaknya. Seperti Arya
Salaka, ia mencoba-coba untuk membangunkan beberapa orang. Namun demikian ia
menggeliat, demikian ia kembali kehilangan kesadaran. Bahkan sesaat kemudian
terdengarlah dengkurnya mengusik sepi malam. Tetapi meskipun ia berbaring,
disampingnya terletak senjata andalannya. Sebuah canggah bermata dua, yang
tidak terlepas dari tangannya. Mantingan, yang merasa bertanggungjawab atas
keseluruhannya, tidak ikut serta masuk ke dalam pondok-pondok itu. Ketika
semuanya telah menjadi sepi kembali, karena Wirasaba dan Jaladri telah lenyap
di balik pintu-pintu pondok. Mantingan segera meloncat ke sebuah batang pohon
yang daunnya cukup memberinya perlindungan. Di lambungnya terselip sebilah
keris, sedang tangannya menggenggam senjatanya erat-erat. Trisula yang
bertangkai kayu berlian, sebagai lambang kekuatannya yang dilambari ilmu gerak
yang luar biasa lincahnya, Pacar Wutah.
MALAM yang semakin
larut itu benar-benar merupakan malam yang tegang dan gelisah. Ketika di
kejauhan terdengar salak anjing-anjing liar, maka kembali terdengar siulan yang
melengking merobek suara angin yang berdesir lembut. Seperti semula, suara itu
pun kemudian disusul dengan siulan dari tiga penjuru yang lain berturut-turut.
Namun suara ini terdengar jauh lebih dekat daripada suara yang pertama. Agaknya
orang-orang yang menyebar sirep itu sudah berjalan maju beberapa puluh langkah.
Sesaat
kemudian telinga Mantingan menangkap suara langkah perlahan mendekati gardu
pimpinan yang masih benderang disinari lampu minyak jarak. Samar-samar ia
melihat tiga orang kemudian muncul dengan hati-hati. Seorang diantaranya
mengendap-endap mendekati pintu yang masih ternganga lebar. Hati-hati sekali ia
mengintip ke dalam. Tetapi ketika dilihatnya gardu pimpinan itu kosong, ia
memberi isyarat dengan tangannya. Kedua orang yang lain pun kemudian mendekati
pintu itu. Kemudian terdengarlah suara mereka tertawa. Sebentar kemudian
terdengar pula salah seorang dari ketiga orang itu bersiul pula. Dan
bermunculan pula dari berbagai arah beberapa orang mendekati gardu pimpinan
itu. Ketika semuanya sudah berkumpul, menurut hitungan Mantingan, berjumlah
sepuluh orang. Mantingan menarik nafas. Jari-jarinya semakin erat melekat pada
tangkai trisulanya. Sampai sedemikian jauh ia masih belum tahu siapa-siapakah
yang mendekati perkemahan itu. Baru kemudian ketika salah seorang dari mereka
dengan sombong mempermainkan pisau belati panjang, dada Mantingan berdesir.
“Rombongan
Lawa Ijo,” desis Mantingan. Ia pernah melihat jenis pisau belati panjang
semacam itu. Bahkan ia hampir saja terlubang dadanya oleh pisau semacam itu.
Mau tidak mau Mantingan harus berpikir keras memperhitungkan kekuatannya
sendiri. Kekuatan perkemahan itu dibandingkan dengan sepuluh anggota gerombolan
Lawa Ijo yang terkenal sejak beberapa puluh tahun yang lalu. Dalam cahaya lampu
minyak jarak yang menusuk lewat pintu gardu pimpinan, Mantingan dapat melihat
salah seorang dari mereka bertubuh kekar kuat. Sepasang kumis yang tebal
melintang di bawah hidungnya. Mantingan pernah melihat orang itu beberapa tahun
yang lalu di Pucangan, dan pernah bertempur bersama-sama dengan Mahesa Jenar,
Wiraraga, Paningron, dan Gajah Alit. Melawan orang-orang itu bersama
rombongannya. Sekarang, agaknya orang itu pula yang memimpin rombongannya
mendatangi perkemahan anak-anak Banyubiru. Orang itu tidak lain adalah Lawa Ijo
itu sendiri. Sekali lagi dada Mantingan berdesir. Meskipun ia sendiri sama
sekali tidak takut melawan Lawa Ijo, apalagi setelah ilmu geraknya yang lincah,
Pacar Wutah, ditekuni semakin dalam, namun ia merasa harus memperhitungkan
orang-orang itu.
Orang-orang
lain dalam rombongan itu adalah seorang yang bertubuh gagah tegap. Ketika
seleret sinar menyambar wajah orang itu, Mantingan seolah-olah hampir tidak
percaya pada penglihatannya. Ia pernah melihat sendiri bagaimana orang yang
bernama Watu Gunung itu terbunuh oleh Mahesa Jenar. Sekarang, tiba-tiba orang
itu muncul lagi di hadapannya. Tetapi dalam keheranan itu tiba-tiba ia teringat
pada masa kanak-kanaknya. Meskipun lamat-lamat ia teringat bahwa yang kemudian
Watu Gunung mempunyai saudara kembar, Wadas Gunung. Orang itulah pasti saudara
kembar itu. Sedang orang-orang yang lain, Mantingan belum pernah melihatnya.
Seorang yang tinggi kekurus-kurusan, seorang yang pendek bulat yang juga
berkumis lebat, dan orang-orang lain yang gagah dan garang. Mereka itulah anak
buah Lawa Ijo yang terpilih untuk mengikutinya menyerbu ke perkemahan anak-anak
Banyubiru. Mereka itulah Carang Lampit, Bagolan, Seco Ireng, Cemara Aking,
Tembini dan sebagainya, yang berada langsung di bawah pimpinan Lawa Ijo
sendiri.
Beberapa saat
kemudian terdengarlah Lawa Ijo berkata perlahan-lahan namun jelas. Kata demi
kata terdengar oleh Mantingan yang bertengger di atas cabang pohon tidak jauh
dari gardu itu.
“Dengarlah
baik-baik… agaknya sirep kita benar-benar dapat membius perkemahan ini. Tidak
seorang pun yang masih terbangun. Dan gardu ini pun telah kosong. Aku kira
gardu ini adalah gardu pimpinan. Sekarang, untuk meyakinkan kita sendiri,
lihatlah berkeliling. Apakah masih ada seorang yang bangun. Kalau ada, aku beri
wewenang kepada kalian untuk menyelesaikannya. Kemudian kalian harus berkumpul
kembali di sini. Dan bersama-sama memasuki setiap perkemahan. Jangan sampai
seorang pemimpin pun yang dapat membebaskan dirinya.”
Sesaat
kemudian berpencarlah mereka ke segenap penjuru. Lawa Ijo dan Bagolan-lah yang
masih tetap berada di gardu pimpinan itu. Dalam pada itu Mantingan menjadi
semakin gelisah. Tetapi menilik perintah Lawa Ijo, orang-orangnya masih belum
akan bertindak. Mereka hanya diperbolehkan menyelesaikan para penjaga yang
ternyata tidak tertidur karena pengaruh sirepnya.
Ternyata Lawa
Ijo tidak perlu menunggu terlalu lama. Beberapa saat kemudian anak buahnya
telah berkumpul kembali dan memberikan laporan kepadanya. Orang yang bertubuh
tinggi kekurus-kurusan itu berkata,
“Ki Lurah, tak
seorang penjaga pun yang masih terbangun. Semuanya tertidur di tempat mereka bertugas.”
“Bagus…”
dengus Lawa Ijo,
“Lalu apa lagi
yang kalian lihat?”
“Semua
perkemahan telah sepi. Agaknya kita akan aman melakukan pekerjaan kita,”
sambung orang yang tinggi kekurus-kurusan, yang bernama Carang Lampit.
Lawa Ijo
tertawa pendek.
“Aku kira
Mahesa Jenar tidak akan kembali ke perkemahan ini. Lembu Sora bukan orang yang
dapat diajaknya berunding. Alangkah bodohnya orang itu. Dengan keempat
kawannya, mereka mengantarkan nyawa. Seandainya ia berhasil melarikan diri,
nasibnya akan kita tentukan di sini, apabila ia kembali.” Kata-kata itu
diakhiri dengan bunyi tertawanya yang khusus, yang menggelegar memenuhi rimba.
Mengerikan.
SETELAH suara
tertawa itu mereda, dan kemudian terhenti, Carang Lampit meneruskan laporannya,
“Ki Lurah,
menurut penilikan kami, diantara kemah-kemah yang ada ternyata ada satu kemah
yang mendapat penjagaan kuat. Aku kira ada sesuatu yang penting di dalamnya.
Atau barangkali di dalam pondok itulah berada gadis kecil yang dikatakan Jadipa
siang tadi.”
“Kalau begitu
kewajibankulah untuk memasuki pondok itu,” dengus orang bertubuh sedang tetapi
berkaki pendek. Terlalu pendek dibandingkan dengan keseluruhan tubuhnya. Orang
itulah yang bernama Jadipa, yang siang tadi dapat dikalahkan oleh Endang
Widuri.
Mendengar
Jadipa menyela kata-katanya, Carang Lampit tertawa.
“Aku ingin
melihat kau sekali lagi berlari menghindarinya apabila perutmu dikenai kaki
gadis kecil itu.”
“Ia bukan
gadis kecil,” jawab Jadipa. “Di desaku dahulu gadis-gadis sebayanya telah
dikawinkan oleh orang tuanya. Dan memang sudah sepantasnyalah kalau gadis itu
segera kawin. Mempelai laki-lakinya telah siap menjemputnya malam ini.”
“Tunjukkan
kepada kami, siapakah mempelai laki-laki itu,” jawab Bagolan.
“Akulah
orangnya,” jawab Jadipa.
Hampir
serentak mereka tertawa. Terdengarlah salah seorang dari mereka yang bertubuh
kekar kuat dan berwajah gelap berkata,
“Kalau kau
berselisih dengan istrimu kelak, kau harus lari kepada Ki Lurah untuk minta
tolong melerainya.”
Jadipa diam
saja. Memang ia kalah ketika berkelahi melawan gadis itu. Meskipun demikian,
kemudian ia membela diri,
“Aku
sebenarnya tidak kalah. Tetapi aku tidak mau menyakitinya. Karena itu aku
biarkan ia sampai malam ini.”
Kembali
kawan-kawannya tertawa sampai terdengar Lawa Ijo berkata,
“Carang
Lampit… apakah sebabnya kau dapat mengatakan bahwa kemah itu adalah kemah yang
kau anggap terpenting?”
“Di luar kemah
itu terdapat beberapa orang penjaga yang sudah tertidur. Sedang di kemah-kemah
lain tidak ada penjaga-penjaga itu. Bahkan di gardu pimpinan ini pun tidak ada
seorang penjagapun,” jawab Carang Lampit.
Lawa Ijo
mengangguk-angguk. Katanya kemudian,
“Menurut
laporan yang aku terima, Mahesa Jenar pergi ke Banyubiru bersama seorang yang
belum dikenal, Wanamerta, Bantaran, dan Penjawi. Jadi, pemimpin-pemimpin Banyubiru
yang tinggal di perkemahan ini adalah Jaladri, Sanepa, Sanjaya, Jagakerti,
kakak-beradik Sendangpapat dan Sendangparapat, dan dua orang yang menurut
pendengaranku bernama Mantingan dan Wirasaba. Ditambah dengan gadis kecil yang
disebut-sebut oleh Jadipa bernama Widuri. Tetapi disamping itu masih ada lagi,
menurut Jadipa, bibinya yang cantik, bernama Wilis dan Arya Salaka sendiri.”
“Benar Ki
Lurah,” sahut Jadipa,
“Gadis itu
berkata demikian.”
Kemudian Lawa
Ijo meneruskan,
“Kalau
demikian pekerjaan kita adalah membunuh segenap pimpinan Banyubiru itu. Kecuali
menangkap hidup Wilis, Widuri dan yang terpenting Arya Salaka. Ketahuilah bahwa
laskar Banyubiru yang berada di perkemahan ini jauh lebih berbahaya daripada
laskar Banyubiru yang masih tetap berada di Banyubiru, dan laskar Pamingit.
Laskar yang berada di tempat ini, dengan penuh keyakinan berusaha untuk
mempertahankan Banyubiru. Mereka rela mati untuk keyakinannya itu. Sedangkan
laskar yang lain terdiri orang-orang yang bekerja untuk hidup mereka dan
kekayaan mereka tanpa memperhitungkan apa yang terjadi di tanah mereka. Deengan
demikian maka apabila laskar Banyubiru yang lain, apalagi laskar Pamingit.
Dengan demikian maka kalangan hitam akan merajai Banyubiru dan Pamingit.
Mengaduk isinya dan menemukan keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.”
Sekali lagi
Lawa Ijo tertawa menggelegar memenuhi rimba itu. Ia menjadi bergembira sekali,
seolah–olah Banyubiru telah jatuh ke tangannya, dan demikian pula Kyai
Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.
Mendengar semua
kata-kata Lawa Ijo itu, tubuh Mantingan bergetaran. Berbagai perasaan
berkecamuk di dalam dadanya. Ia mula-mula heran juga, kenapa Lawa ijo mempunyai
banyak sekali pengetahuan tentang perkemahan itu. Tentang nama-nama para
pemimpin laskar Banyubiru, bahkan tentang dirinya dan Wirasaba. Bahkan kemudian
tentang Mahesa Jenar dan kawan-kawannya. Tetapi kemudian ia dapat mengerti
bahwa hal yang demikian itu sangat mungkin. Orang-orang Lawa Ijo dapat
mendengar nama-nama itu dari orang-orang Banyubiru yang acuh tak acuh pada
keadaan kampung halamannya. Sedang tentang Mahesa Jenar, Widuri sendirilah yang
telah bercerita. Dalam pada itu kembali terdengar suara Lawa Ijo,
“Nah, sekarang
marilah kita mulai. Yang terpenting adalah para pemimpin itu. Sebab tanpa pimpinan,
laskar Banyubiru akan kehilangan garis perjuangannya. Manakah menurut
pertimbanganmu yang pertama-tama kita masuki Carang Lampit…?”
“Perkemahan
yang aku katakan tadi Ki Lurah,” jawab Carang Lampit. Bersamaan dengan bunyi
jawaban itu, berdesirlah hati Mantingan. Dengan demikian rombongan Lawa Ijo itu
pertama-tama akan memasuki pondok Rara Wilis. Gerombolan itu pun segera
bergerak lewat beberapa langkah dari batang pohon tempat Mantingan bersembunyi.
Sekali lagi Mantingan menghitung urut-urutan itu. Sepuluh, ya sepuluh. Tanpa
disengaja, ia mengamat-amati trisulanya, seakan-akan bertanya kepada senjatanya
itu, apakah yang harus dilakukan segera. Ia menjadi sedikit lega ketika
diingatnya bahwa Wirasaba ada di dalam kemah itu.
Sementara itu,
di dalam pondok kecil itu Wirasaba semakin lama menjadi semakin tidak sabar.
Waktu yang hanya beberapa saat itu seolah-olah telah berjalan bermalam-malam.
Ketika mereka mendengar suara Lawa Ijo tertawa menggelegar, Wirasaba tiba-tiba
bangkit berdiri dan berjalan mondar-mandir beberapa kali. Tetapi sesaat
kemudian ia sudah terbanting duduk kembali. Demikian pula ketika untuk kedua
kalinya Lawa Ijo tertawa gemuruh. Dengan gigi gemeretak, Wirasaba semakin
marah. Kalau saat itu tidak sedang melindungi pondok kecil itu, baginya lebih
baik meloncat keluar dan segera menyerang mereka. Tetapi ia tidak dapat
meninggalkan pondok kecil itu.
WIDURI sudah
tidak berbaring lagi. Ia duduk di belakang Rara Wilis sambil memeluk kedua
lututnya. Ia menjadi jemu mendengar suara tertawa yang memuakkan itu. Wilis dan
Arya Salaka masih duduk di tempatnya semula tanpa berkisar. Mereka pun menjadi
gelisah karena ketidaksabaran mereka. Ketika mereka mendengar derap kaki
beberapa orang mendekati pondok itu, serentak mereka mengangkat kepala untuk mengetahui
dari manakah suara langkah itu datang. Dada mereka kemudian menjadi
berdebar-debar, dan tanpa sengaja menggenggam senjata mereka semakin berat.
Suara langkah itu segera berhenti beberapa depa dari perkemahan itu. Di luar,
terdengarlah suara,
“Inikah pondok
itu, Carang Lampit?”
“Ya, Ki
Lurah,” jawab yang lain,
“Itulah
mereka, para penjaga yang jatuh tertidur.”
Terdengarlah
kemudian suara tertawa pendek.
“Bagus.
Mungkin di dalam pondok inilah mereka tinggal. Sekarang masuklah dan tangkaplah
mereka hidup-hidup. Barangkali mereka kita perlukan. Bukankah gadis yang
bernama Rara Wilis itulah yang dahulu digilai oleh Jaka Soka? Nah, barangkali
gadis itu dapat kita pergunakan sebagai alat untuk menundukkan hati Ular Laut
yang gila itu.”
Mendengar
percakapan itu hati Rara Wilis berdesir. Ia menyesal bahwa Ular Laut itu pernah
melihat wajahnya, sehingga sampai sekarang masih saja persoalan itu
terbawa-bawa. Meskipun ia sama sekali sudah tidak perlu lagi setakut dahulu,
namun ia lebih ngeri merasakan kegilaan Jaka Soka itu daripada harus bertempur
melawannya.
Tetapi ia
tidak sempat terlalu banyak mengenang pertemuannya yang tidak menyenangkan
dengan Jaka Soka itu, karena di luar kembali terdengar suara.
“Carang
Lampit, bawalah Bagolan, Tembini dan beberapa orang lagi. Ingat, tangkap mereka
hidup-hidup, dan ikat mereka itu. Kecuali kalau Arya Salaka melawan, ia dapat
mengatasi pengaruh sirepku, kalau ia ada di dalam pondok itu pula.”
“Baik Ki
Lurah,” jawab suara yang lain.
Bersamaan
dengan itu bersiaplah semua orang yang berada di dalam pondok itu untuk
menghadapi segala kemungkinan. Menilik langkah mereka, dan suara-suara yang
bergumam, mereka pasti terdiri beberapa orang yang lebih banyak dari jumlah
mereka yang ada di dalam. Tetapi sebelum mereka membuka pintu, tiba-tiba
terdengarlah suara tertawa agak jauh dari pondok itu. Suara tertawa itu tidak
begitu keras dan sama sekali tidak mengerikan. Orang-orang yang berada di dalam
pondok itu terkejut. Apalagi yang berada di luarnya dengan suara lantang
terdengarlah salah seorang di luar pondok itu berkata,
“Hai Carang
Lampit, siapakah itu?”
“Entahlah Ki
Lurah,” jawab yang lain.
“Gila,” dengus
suara yang pertama, yang ternyata adalah suara Lawa Ijo sendiri.
“Masih ada
orang yang dapat membebaskan diri dari pengaruh sirepku ini.”
Kemudian
terdengarlah suara di kejauhan,
“Lawa Ijo,
sebagai penghuni perkemahan ini aku mengucapkan selamat datang.”
“Siapakah
kau…?” teriak Lawa ijo.
“Bagi mereka
yang sudi menyebut namaku, akulah yang bernama Mantingan,” jawab suara itu.
“Hemm, jadi
kaukah yang terkenal dengan nama Dalang Mantingan yang sakti?”
“Tak ada orang
yang menambah dengan kata sakti itu, Lawa Ijo,” jawab Mantingan.
“Tetapi
sebenarnyalah bahwa aku seorang dalang.”
“Bagus…” jawab
Lawa Ijo.
“Bahwa kau
dapat membebaskan dirimu dari pengaruh sirepku itu sudah merupakan pertanda
bahwa kau memiliki kesaktian yang cukup. Tetapi kau terlalu berani menampakkan
dirimu di hadapanku dan kawan-kawanku. Apakah kau sudah bosan hidup?”
“Belum, Lawa
Ijo,” jawab Mantingan selanjutnya,
“Aku sama
sekali masih belum bosan hidup.”
“Kenapa kau
mengganggu kami?” bentak Lawa Ijo.
“Aku sama
sekali tidak mengganggu kau. Bukankah aku sekadar mengucapkan selamat datang?”
sahut Mantingan.
“Diam!” teriak
Lawa Ijo marah.
“Kemarilah dan
katakan cara apa yang kau senangi untuk membunuh orang yang telah menghina
aku.”
“Aku tidak
akan membunuh orang itu,” jawab Mantingan.
“Pengecut…!”
teriak Lawa ijo semakin keras.
“Kalau begitu,
pilihlah cara yang kau katakan bahwa aku senangi untuk membunuhmu.”
Kembali terdengar
suara Mantingan tertawa. Segar dan renyah. Katanya kemudian,
“Sudah aku
katakan bahwa aku masih senang menunggu terbitnya matahari esok pagi, Eh,
apakah keperluanmu datang kemari tanpa memberitahukan lebih dulu?”
“Setan!” umpat
Lawa Ijo.
“Kalau begitu,
aku akan memaksamu, menyeret kemari dan membunuhmu dengan cara yang aku
senangi.”
“Jangan marah
Lawa Ijo. Tak ada orang yang akan mengucapkan terimakasih kepadamu, apabila
demikian itu caramu memperkenalkan diri,” jawab Mantingan.
Lawa Ijo
rupanya sudah tidak sabar lagi. Dengan marahnya ia berteriak kepada Wadas
Gunung,
“Wadas Gunung,
tangkap orang itu. Bawa dia kemari. Aku ingin mengetahui betapa keras tulang
kepalanya.”
Mendengar
perintah itu, dada Wirasaba berdentang keras. Ia tidak dapat membiarkan Mantingan
bertempur sendiri. Tetapi rupanya Jaladri sudah tidak sabar lagi menunggu saja
sambil tiduran. Maka kemudian terdengar juga suaranya,
“Ki Dalang
Mantingan, bolehkah aku turut dalam permainan ini?”
Jaladri tidak
menunggu jawaban Mantingan. Demikian ia selesai berkata, demikian ia meloncat
ke pintu.
Mendengar
suara seorang lagi yang ternyata dapat membebaskan diri dari pengaruh sirepnya,
Lawa Ijo semakin terkejut. Wadas Gunung yang sudah melangkahkan kakinya ke arah
Mantingan, jadi tersentak. Dengan garangnya ia berkata,
“Carang
Lampit, ternyata masih ada orang-orang yang terbebas dari pengaruh sirep ini.”
CARANG LAMPIT
tidak menjawab, tetapi terdengar giginya gemeretak karena marah. Bahkan
kemudian ia meloncat maju dan seterusnya ia berlari ke arah Mantingan dengan
senjatanya di tangan, yaitu carang ori di tangan kanan dan sebuah pisau belati
panjang di tangan kiri. Tetapi sebelum ia mencapai Dalang Mantingan, yang
berdiri di bawah pohon, dimana ia mula-mula memanjatnya, Jaladri telah berlari
pula mencegatnya. Carang Lampit menjadi semakin marah. Tanpa mengucapkan
sepatah katapun langsung ia menyerang Jaladri dengan senjatanya. Ternyata
Jaladri pun cukup tangkas menghadapinya. Segera ia meloncat ke samping, dan
kemudian berputarlah canggah bermata dua di tangannya, untuk kemudian dengan
garangnya menyerang Carang Lampit. Carang Lampit menggeram dengan penuh
kemarahan. Matanya yang bengis menjadi semakin buas. Tandangnya pun menjadi
semakin buas pula. Kedua senjatanya menyambar-nyambar mengerikan.
Mantingan
melihat pertarungan itu dengan seksama. Mula-mula ia menjadi cemas, apakah
Jaladri dapat mengimbangi kekuatan Carang Lampit. Tetapi ketika selangkah dua
langkah pertempuran itu berlangsung, Mantingan segera mengetahui bahwa Jaladri
pun cukup memiliki kemampuan untuk melawan salah seorang anak buah Gerombolan
Alas Mentaok yang terkenal itu.
Di seberang
yang lain, Lawa Idjo, Wadas Gunung dan kawan-kawannyapun mengikuti pertempuran
itu dengan tanpa berkedip. Mereka menjadi tidak senang ketika mereka melihat
ketangkasan Jaladri. Dengan penuh kemarahan, Lawa Ijo bertanya,
“Siapakah
orang itu?”.
“Orang itulah
yang bernama Jaladri,” jawab salah seorang anak buahnya.
“Awasi dia,”
katanya kepada Wadas Gunung.
“Aku ingin
menyelesaikan orang sombong yang bernama Mantingan itu.”
“Baik Ki
Lurah,” jawab Wadas Gunung.
“Yang lain
jangan menunggu seperti orang nonton adu jago. Masukilah perkemahan ini.
Tangkap Wilis dan Widuri hidup-hidup. Bunuh saja Arya Salaka kalau ia berada di
sana. Kalau tidak, cari sampai bertemu, supaya bukan kepalamu yang aku ceraikan
dari tubuhmu,” sambung Lawa Ijo dengan marahnya.
“Baik Ki
Lurah,” jawab anak buahnya pula.
Sementara itu
Lawa Ijo telah melangkah, setapak demi setapak, ke arah Mantingan yang masih
saja berdiri di bawah pohon sambil menyaksikan Jaladri bertempur. Tetapi ketika
ia melihat Lawa Ijo mendekatinya, segera ia pun mempersiapkan diri. Sebab
melawan pemimpin gerombolan alas Mentaok ini bukanlah pekerjaan yang ringan.
Maka segera ia pun melangkah dua langkah maju, menyongsong kedatangan Lawa Ijo.
Lawa Ijo yang
terlalu percaya kepada kesaktiannya, menganggap pekerjaan itu bukanlah
pekerjaan yang berat. Ia seolah-olah demikian yakin bahwa untuk membunuh
Mantingan, tidak akan banyak membuang tenaga. Mantingan masih tetap berdiri di
tempatnya. Sepintas ia melihat orang-orang Lawa Ijo yang lain telah siap untuk
memasuki pondok Rara Wilis. Karena itu ia menjadi berdebar-debar. Tetapi Lawa
Ijo telah meninggalkan pintu pondok itu dan memerlukan untuk melawannya, ia
menjadi sedikit berlega hati. Ia mengharap bahwa orang-orang lain dari
gerombolan Lawa Ijo itu tidak terlalu berbahaya. Karena Mantingan tidak segera
menjawab perkataannya, Lawa Ijo merasa sekali lagi dihinakan. Maka dengan
membentak keras ia mengulangi,
“Mantingan.
Tidakkah kau dengar kata-kataku? Menyerahlah dan jangan mencoba melawan. Sebab
dengan demikian kau akan menyesal bahwa kau akan mengalami penderitaan pada
saat akhirmu.”
Mantingan
tertawa pendek. Tetapi matanya masih saja menatap pintu pondok Rara Wilis.
Sebuah tangan yang kasar dengan tiba-tiba merenggut pintu itu. Tetapi demikian
pintu terbuka, sebuah kapak yang berat dengan ganasnya melayang ke arah kepala
orang itu. Untunglah bahwa orang itu cukup tangkas. Dengan cepat ia meloncat
mundur. Tetapi agaknya Wirasaba tidak memberinya kesempatan.
Dengan cepat
pula ia meloncat keluar dan kapaknya yang besar itu terayun-ayun mengerikan
sekali. Orang-orang yang berdiri di muka pintu itu segera meloncat berpencaran.
Cemara Aking, Bagolan, Tembini, Jadipa dan yang lain-lain. Mereka terkejut
bukan kepalang, sebab mereka sama sekali tidak mengira bahwa di dalam pondok
itu bersembunyi Wirasaba yang pernah mereka kenal beberapa tahun yang lampau di
Pliridan. Tetapi mereka adalah orang-orang yang sudah cukup terlatih menghadapi
setiap kemungkinan. Karena itu dalam waktu yang pendek mereka telah siap dengan
senjata-senjata mereka untuk melawan Wirasaba. Namun yang sama sekali diluar
perhitungan mereka adalah, tiba-tiba saja dimuka pintu itupun telah berdiri
berjajar Rara Wilis dengan pedang tipisnya, Arya Salaka dengan tombak
pusakanya, dan yang seorang lagi adalah gadis dengan wajah berseri-seri
bermain-main dengan sebuah rantai perak sebesar ibu jari. Untuk beberapa saat
mereka menjadi heran bahwa orang-orang itupun dapat membebaskan dirinya dari
pengaruh sirep Lawa Ijo, dan mereka menjadi heran pula bahwa mereka itu agaknya
akan ikut serta dalam pertempuran. Tetapi mereka tidak mempunyai banyak
kesempatan untuk menimbang, sebab tiba-tiba saja mereka bertiga itu dengan
lincahnya berloncatan, bahkan mirip dengan api yang memercik ke segenap
penjuru.
Kemudian mau
tidak mau, gerombolan Lawa Ijo itu dihadapkan pada suatu kenyataan, bahwa Rara
Wilis dan Endang Widuri itupun bukanlah gadis yang hanya dapat menangis dan
beriba-iba. Tetapi mereka bahkan memiliki ketangkasan dan ketangguhan yang
mengagumkan. Apalagi anak muda yang harus mereka bunuh, dan bernama Arya Salaka
itu. Seperti seekor burung rajawali, ia menyambar nyambar dengan dahsyatnya.
Lawa Ijo, yang mendengar hiruk-pikuk itupun kemudian menghentikan langkahnya.
Ketika ia menoleh, ia hampir-hampir tidak percaya pada penglihatannya.
Samar-samar dalam kegelapan malam ia melihat perkelahian yang dahsyat itu.
PERKELAHIAN
antara anak buahnya dengan beberapa orang yang muncul dari dalam pondok yang
telah hampir saja dimasukinya. Apalagi kemudian ketajaman matanya dapat
menangkap bahwa yang bertempur itu adalah dua orang gadis, seorang anak muda
disamping orang yang gagah dan bersenjatakan kapak. Bahkan kemudian tanpa
disengaja ia bergumam,
“Siapakah
mereka itu?”
Dan tanpa
disengaja pula Mantingan menjawab,
“Mereka itulah
yang telah kau sebut-sebut namanya.”
Lawa Ijo tidak
berkata-kata lagi. Tetapi ia menjadi semakin terpaku pada pertempuran itu.
Ternyata Rara Wilis, Endang Widuri, Arya Salaka berempat dengan Wirasaba dapat
melawan delapan orang anggota gerombolan terkenal dari Alas Mentaok dengan
baiknya. Pedang Rara Wilis bergetaran dengan cepatnya, menyambar-nyambar dengan
lincahnya. Sinarnya yang gemerlapan merupakan gumpalan-gumpalan sinar maut yang
bergulung-gulung menyerang lawannya. Disamping itu masih ada lagi cahaya yang
berkilat-kilat dari rantai perak Endang Widuri. Ia jarang-jarang sekali
mempergunakan senjata itu, sebagaimana pesan ayahnya. Bahkan ia lebih senang
memakainya sebagai perhiasan di lehernya. Kalau pada saat itu ia terpaksa
mempergunakannya, maka sudah tentu bahwa ia menganggap pertempuran kali ini
cukup berbahaya baginya. Rantai itu di tangan Endang Widuri yang kecil dapat
mematuk-matuk dengan ganasnya, yang kadang-kadang dengan kecepatan luar biasa
menyambar lawannya untuk kemudian membelitnya. Meskipun demikian, meskipun
Endang Widuri sendiri telah dapat bertempur dengan lincahnya, namun sekali-kali
Rara Wilis selalu berkisar mendekatinya. Bagaimanapun anak nakal itu
kadang-kadang perlu diperingatkan, bahwa pertempuran kali ini bukanlah
permainan anak-anak.
Di sebelah
lain, Arya Salaka dengan tangkasnya memainkan tombak pusakanya. Tombak itu
berputar seperti baling-baling, namun kemudian meluncur seperti petir menyambar
lawannya. Demikian membingungkan, sehingga tak seorang pun berani mendekatinya.
Lawan-lawannya bertempur dalam jarak yang cukup dan mencoba menyerangnya dari
arah yang berlawanan. Adapun Wirasaba yang mula-mula merasa berkewajiban
melindungi kedua gadis beserta Arya Salaka, tidak kalah herannya dari Lawa Ijo.
Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Rara Wilis adalah seorang gadis yang
perkasa, sedang Endang Widuri dengan kelincahannya merupakan seorang yang cukup
berbahaya bagi lawan-lawannya. Apalagi anak muda yang bernama Arya Salaka itu.
Bahkan akhirnya ia merasa bahwa ketiganya yang semula harus dilindungi itu
memiliki ilmu yang lebih tinggi daripada dirinya sendiri.
Disamping
perasaan malu, Wirasaba kemudian merasa bersyukur. Sebab ternyata lawan mereka
adalah anggota gerombolan Lawa Ijo yang menggemparkan. Kalau kedua gadis dan
Arya Salaka benar-benar memerlukan perlindungannya, maka sudah pasti bahwa ia
tidak akan mampu melakukan kewajibannya. Sebab ia sadar bahwa Jaladri telah
terikat dalam perkelahian yang seimbang. Ki Dalang Mantingan masih harus
membayangi Lawa Ijo. Karena itu ketika ia merasa bahwa pekerjaannya telah
bertambah ringan, maka ia pun dapat bertempur dengan tenang.
Lawa Ijo masih
saja berdiri seperti patung. Dengan dada yang bergelora ia mengikuti
pertempuran itu. Ia menjadi marah sekali ketika ia melihat Wadas Gunung sama
sekali tidak berdaya menghadapi Rara Wilis, sehingga Tembini masih harus
membantunya. Jadipa yang terlanjur ketakutan berhadapan dengan Widuri, mencoba mencari
lawan lain. Bersama dengan dua orang lain, ia bertempur melawan Arya Salaka.
Ternyata Arya Salaka memiliki ketangkasan luar biasa, sehingga untuk melawannya
bertiga, sama sekali tidak menyulitkan anak muda itu. Sedang Bagolan dengan
kedua bola besinya bertempur melawan Endang Widuri. Mula-mula Bagolan agak
merasa segan dan malu. Ia merasa bahwa gadis kecil itu sama sekali bukanlah
pekerjaan yang sesuai dengan dirinya. Tetapi ketika sekali dua kali hampir saja
kelit kepalanya terkelupas oleh sambaran rantai Widuri, barulah ia sadar bahwa
gadis itu benar-benar luar biasa. Karena itu ia tidak dapat lagi menganggap
bahwa ia hanya sekadar melayani saja. Akhirnya keringat dingin membasahi hampir
seluruh permukaan tubuh Bagolan, ketika ternyata perlahan-lahan namun pasti
Endang Widuri berhasil menguasainya. Wirasaba sendiri masih harus melayani dua
orang yang mengeroyoknya. Tetapi beberapa tahun yang lampau bersama dengan
Mahesa Jenar, ia pernah mengalami pengeroyokan anak buah Lawa Ijo itu. Bahkan
hampir duapuluh orang. Apalagi sekarang kakinya telah benar-benar sembuh dan
pulih kembali sehingga untuk melawan kedua orang itu, Wirasaba tidak harus
bekerja terlalu keras.
No comments:
Post a Comment