MEREKA untuk sementara akan ditempatkan di halaman Banjar Desa untuk menunggu tempat yang lebih baik bagi laskar itu, seperti juga laskar Lembu Sora yang masih belum mendapat penampungan yang baik. Ketika Arya Salaka tampak mendatangi laskarnya, segera Bantaran dan Penjawi menyongsongnya, sambil berkata,
“Bagaimana
Angger?”
“Kami dapat
diperkenankan memasuki desa Pangrantunan, Paman. Dan inilah Paman Wulungan,”
jawab Arya Salaka.
Bantaran
menganggukkan kepalanya, demikian juga Penjawi yang segera dibalas oleh Wulungan.
“Aku
mengucapkan selamat atas kedatangan kalian,” sambut Wulungan dengan ramahnya.
“Terima
kasih,” jawab Bantaran. Ketika kemudian muncul Jaladri diantara mereka,
berkatalah ia kepada Wulungan dengan akrabnya, seperti kepada sahabatnya yang
karib.
“Selamat malam
Wulungan. Sudahkah kau sediakan makan malam buat kami?” Nasib mereka dalam
sehari, pada saat-saat mereka bertempur melawan Bugel Kaliki, telah membentuk
persahabatan yang akrab di antara mereka. Dengan tertawa Wulungan menjawab,
“Tentu Jaladri. Tetapi sayang bahwa kau tak akan mendapat bagian.”
Jaladri
kemudian tertawa. Ketika kemudian segala sesuatu telah dipersiapkan, maka
segera laskar itupun berangkat memasuki desa Pangrantunan. Bagaimanapun juga,
di dalam dada laskar Banyubiru itu, masih juga tersangkut rasa persaingan
dengan laskar Pamingit. Meskipun kemudian mereka tidak akan bertempur, namun di
hati Bantaran, Penjawi, Jaladri dan lain-lain pemimpin laskar itu, masih ada
keinginan untuk memperlihatkan bahwa mereka sama sekali tidak berada di bawah
tingkatan laskar Pamingit. Karena itulah, maka mereka memasuki Pangrantunan
dengan upacara yang menggemparkan.
Meskipun
menjelang tengah malam, namun laskar Banyubiru berjalan dalam derap irama
sangkalala dan genderang yang menggema melingkar-lingkar di lereng bukit
Merbabu itu. Suara sangkalala dan genderang itu telah mengejutkan segenap
laskar Pamingit. Baik yang sedang bertugas, maupun yang sedang beristirahat.
Karena itu segera mereka bangkit. Mereka yang kurang mengerti persoalannya, segera
memegang senjata masing-masing. Tetapi kemudian para pemimpin mereka memberi
mereka penjelasan-penjelasan yang didengarnya dari pemimpin pengawal yang
sedang bertugas. Seperti juga yang lain-lain, mereka ragu. Karena itu mereka
ingin menyaksikan kedatangan laskar Banyubiru itu dengan senjata di tangan.
Laskar
Banyubiru memasuki Pangrantunan dengan derap yang mengagumkan. Di ujung barisan
itu berjalan dengan tegapnya Bantaran, kemudian Penjawi. Diikuti oleh pasukan
yang segar, yang memancarkan keteguhan hati mereka. Meksipun laskar ini tidak
mempergunakan kesegaran yang khusus, namun di dalam dada mereka berakar tekad
yang seragam. Mengabdi kepada tanah pusaka, tanah tercinta, yang diperuntukkan
oleh Maha Pencipta bagi mereka. Laskar Pamingit yang pecah, ketika melihat
kedatangan laskar Banyubiru itu, merasa seolah-olah mendapatkan kekuatan baru
dalam dirinya. Karena itu, tanpa disengaja, secara serta merta, mengumandanglah
teriakan-teriakan mereka.
“Hidup laskar
Banyubiru…. Hidup laskar Banyubiru….”
Ki Ageng Sora
Dipayana tersenyum melihat laskar Banyubiru lewat di hadapannya dalam
keremangan cahaya bulan. Sungguh tak diduganya, betapa anak-anak Banyubiru,
yang selama ini terpaksa menyingkir karena pokal Lembu Sora itu, dapat
merupakan kesatuan yang sedemikian mengagumkan. Dengan dada tengadah, dan
percaya kepada keadilan Yang Maha Kuasa, yang telah menempa mereka menjadi
laskar yang pilih tanding. Lembu Sora sendiri melihat pasukan itu dengan hati
yang pecah-pecah. Setiap derap langkah mereka, merupakan pukulan yang dahsyat,
yang seakan-akan memecahkan rongga dadanya. Satu-satu berterbanganlah
kenangan-kenangan masa lampaunya yang memalukan.
Teringatlah,
betapa ia berusaha mati-matian untuk meniadakan Arya Salaka. Dan tiba-tiba anak
itu sekarang datang menyelamatkannya, menyelamatkan tanahnya. Apalagi ketika
Lembu Sora menyaksikan laskar Banyubiru dengan mata kepala sendiri. Ia menjadi
bertambah malu. Disangkanya bahwa laskar Arya Salaka tidak lebih dari
gerombolan berandal yang hanya mampu mencegat orang pergi berbelanja ke pasar.
Namun ketika sudah disaksikannya sendiri laskar itu, bergetarlah jantungnya,
seperti udara yang digetarkan oleh suara genderang laskar Banyubiru itu. Dan
terngianglah kembali kata-kata Kebo Kanigara, “Golongan hitam bukanlah mereka
yang hitam pada wadag dan tata kelahirannya, tapi golongan hitam adalah mereka
yang berhati hitam.”
Lembu Sora
menundukkan wajahnya. Ia tidak kuasa lagi menyaksikan laskar yang perkasa itu.
Tetapi lebih daripada itu, ia menjadi terharu atas kenyataan yang dialaminya.
Terbayanglah di dalam rongga matanya, seolah-olah semua mata memandangnya
dengan penuh penyesalan atas perbuatannya.
Lembu Sora
terkejut ketika sekali lagi terdengar sorak,
“Hidup laskar
Banyubiru.” Perlahan-lahan ia mengangkat wajahnya. Tampaklah di luar barisan
berjalan Arya Salaka dengan tobak Kyai Bancak di tangannya bersama-sama
Wulungan. Dada Lembu Sora menjadi berdentang karenanya. Tiba-tiba ia
seolah-olah melihat kakak Gajah Sora berjalan di mukanya, memandangnya dengan
marah dan berkata kepadanya,
“Lembu Sora,
coba bunuhlah anakku itu kalau kau berani.”
Sekali lagi
wajah Lembu Sora terbanting di tanah.
Yang mempunyai
tanggapan lain adalah Sawung Sariti. Ketika pasukan Banyubiru itu lewat, terasa
dadanya berdesir pula, karena iapun sama sekali tak menyangka, bahwa laskar itu
dapat berbaris dengan tertib serta penuh kepercayaan pada dirinya. Betapa
mereka menggenggam senjata mereka dengan cermatnya, sebagai tanda bahwa mereka
menguasai setiap senjata yang berada di tangan mereka dengan baiknya. Di dalam
hati kecilnya, Lembu Sora bersukur pula bahwa laskarnya tak terlibat dalam
pertempuran dengan laskar Banyubiru itu. Sebab dengan demikian, ia akan
terpaksa meninggalkan Banyubiru dengan nama yang ternoda, kalau terpaksa
laskarnya tak mampu melawan laskar Arya Salaka itu.
TETAPI yang
kemudian menguasai perasaan Sawung Sariti adalah sifat-sifatnya yang kurang
baik. Ia menjadi iri hati. Iri hati terhadap kemampuan Arya Salaka memimpin
laskarnya, iri hati terhadap kegagahan laskar itu. Apalagi ketika ia melihat
eyangnya tampak bangga, dan ayahnya bersedih. Sebelum laskar itu habis sampai
ke ujungnya, ia sudah memalingkan mukanya.
“Bagaimana
Anakmas?” terdengar suara di belakangnya.
“Hem…”
geramnya.
“Bagaimana
menurut pendapatmu Galunggung?”
“Tak berarti,”
sahut orang itu.
“Besok atau
lusa laskar yang sombong itu pasti sudah akan dihancurkan oleh arus laskar
gabungan dari golongan hitam itu.”
Sawung Sariti
mencibirkan bibirnya.
“Laskarnya tak
begitu banyak. Apa yang dibanggakan?”
“Yang datang hanya
separo, Tuan.”
Tiba-tiba
terdengar suara lain di sampingnya. Ketika keduanya menoleh, dilihatnya Srengga
berdiri di situ.
“Dari mana kau
tahu?” tanya Sawung Sariti
“Dari
pengawal,” jawab Srengga.
“Omong
kosong,” sahut Galunggung dengan wajah yang dilapisi oleh kedengkian. Srengga
kemudian berdiam diri. Yang lain pun diam. Sekali lagi mereka melayangkan
pandangan mereka kepada pasukan yang lewat. Namun sesaat lagi habislah barisan
itu. Mereka yang menyaksikan, segera kembali pula ke tempat masing-masing.
Sebagian besar dari mereka merasa bahwa pekerjaan mereka akan diperingan karena
kedatangan laskar itu. Bahkan mungkin, nyawa merekapun akan selamat pula.
Laskar Pamingit akan bebas dari kemusnahan mutlak. Meskipun demikian, kemampuan
tempur laskar Banyubiru masih perlu diuji.
Malam itu
laskar Banyubiru beristirahat di tempat yang sudah ditentukan. Di halaman
Banjar Desa yang tak begitu luas, sehingga sebagian besar dari mereka, harus
duduk bersandar pagar di sepanjang jalan desa di muka banjar itu. Namun mereka
dapat merasakan kenikmatan dari waktu istirahat itu. Arya Salaka, Mahesa Jenar,
Kebo Kanigara kembali duduk bersama-sama dengan Ki Ageng Sora Dipayana, Ki
Ageng Lembu Sora, Sawung Sariti dan Wulungan. Ki Ageng Sora Dipayana kemudian
mengambil seluruh pimpinan di tangannya.
“Tak ada
pilihan lain ayah,” jawab Lembu Sora. Ki Ageng Sora Dipayana
mengangguk-anggukan kepalanya.
“Terima kasih
atas keikhlasanmu Lembu Sora.” Selanjutnya, orang tua itu membuat
perintah-perintah yang harus dilakukan oleh Arya Salaka beserta laskarnya, dan
Lembu Sora dengan laskar Pamingit.
“Menurut
perhitunganku, serta pengintai-pengintai yang datang sampai saat terakhir,
mereka tidak akan menyerang kedudukan kita sekarang ini,” kata Ki Ageng Sora
Dipayana,
“Sebab mereka
merasa, bahwa jumlah laskar mereka tidak terlalu banyak, sehingga mereka lebih
senang menanti kita datang menyerang.”
Tak seorangpun
yang mengajukan pendapatnya.
“Karena itu…”
orang tua itu meneruskan,
“Kita masih
mempunyai satu hari untuk beristirahat. Lusa kitalah yang mengambil peran,
menyerang kedudukan mereka. Kita mengambil daerah pertempuran yang luas dengan
gelar Jinatra Sawur atau gelar-gelar yang lain, yang menebar. Garudha Nglayang
atau Sapit Urang.”
Tiba-tiba
orang tua itu teringat bahwa di antara mereka duduk seorang bekas perwira
prajurit pengawal raja, yang pasti mempunyai perhitungan-perhitungan yang cukup
cermat dalam peperangan antara dua pasukan yang berjumlah besar.
Karena itu
segera ia berkata,
“Bukankah
begitu Angger Mahesa Jenar?”
Mahesa Jenar
sadar pada kedudukannya. Maka iapun menjawab,
“Demikianlah
Ki Ageng, namun aku ingin mengusulkan, untuk melawan mereka yang biasa
bertempur tanpa aturan, dan terlalu percaya pada kesaktian pemimpin-pemimpin
mereka. Biarlah di antara kita pun ada beberapa orang yang terlepas dari ikatan
gelar, untuk melayani pemimpin-pemimpin mereka yang tak mau mengikat diri itu.”
“Bagus,”
sambut orang tua itu.
“Kita pun
mempunyai orang-orang semacam itu di sini. Titis Anganten, misalnya.”
Baru saat
itulah Mahesa Jenar teringat bahwa di dalam laskar Pamingit itu terdapat
seorang sakti yang bernama Titis Anganten. Karena itu kemudian ia bertanya,
“Di manakah
Paman Titis Anganten itu?”
“Ia
berkeliaran sepanjang hari,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana.
“Tapi ia hadir
dalam setiap pertempuran.”
“Kalau
demikian, biarlah Paman Titis Anganten kita perhitungkan pula. Siapakah para
pemimpin golongan hitam dari angkatan tua itu?” tanya Mahesa Jenar.
“Bugel Kaliki,
Sima Rodra, Pasingsingan, Nagapasa dan Sura Sarunggi,” jawab Sora Dipayana.
“Nah, kalau
demikian kitapun harus melepaskan lima orang dari ikatan gelar itu. Bahkan
barangkali lebih dari itu, untuk melawan tokoh-tokoh muda mereka, seperti Lawa
Ijo dan Soka,” sahut Mahesa Jenar. Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi siapakah lima orang itu? Mungkin dirinya sendiri dapat
melayani setiap tokoh sakti lawan mereka itu, orang kedua adalah Titis
Anganten, tetapi lalu siapa? Mahesa Jenar sendiri merasa, bahwa iapun sanggup
untuk menyerahkan dirinya dalam pengabdian itu, namun agaknya sulitlah baginya
untuk menyatakan diri. Tetapi dengan tak diduga-duga, terdengarlah suara Sawung
Sariti dengan nada yang tinggi,
“Siapakah lima
orang dari kamu itu?”
Ki Ageng Sora
Dipayana menarik nafas. Ia melihat wajah cucunya dengan kecewa, juga nada
suaranya tak menyenangkan. Namun orang tua itu menjawab,
“Sudah menjadi
kewajibanku untuk menjadi orang yang pertama cucu, sedang yang kedua eyangmu
Titis Anganten.”
Kata-kata
orang tua itu terputus. Ia ragu-ragu untuk meneruskan, dan memang tak
diketahuinya siapa yang akan disebut namanya. “Lalu siapakah yang ketiga,
keempat dan kelima…?” Sawung Sariti mendesak. Ki Ageng Sora Dipayana
menggeleng-gelengkan kepalanya, jawabnya,
“Aku belum
tahu, Sariti.”
SAWUNG SARITI
tersenyum. Senyum yang mengundang seribu satu macam kemungkinan. Katanya,
“Kenapa bukan
Paman Mahesa Jenar yang perkasa serta sahabatnya dari Karang Tumaritis itu?”
Sawung Sariti mengharap bahwa Mahesa Jenar tidak akan menolak di hadapan sekian
banyak orang. Kalau Mahesa Jenar menerima tawaran itu, apakah ia mampu berbuat
demikian? Di Gedangan, Sima Rodra dan Bugel Kaliki pernah mengalami kekalahan,
namun ia tidak yakin, bahwa kekalahan itu disebabkan karena Mahesa Jenar dan
sahabatnya itu. Beberapa laskarnya melihat seorang berjubah abu-abu ikut serta
membantu mereka. Dan ia tidak tahu, siapakah orang berjubah abu-abu itu. Apakah
ia Pasingsingan. Tetapi Pasingsingan tidak akan gila. Malahan mungkin eyangnya
itu sendiri atau Titis Anganten, atau Ki Ageng Pandan Alas. Sekarang, tanpa
bantuan seorangpun Mahesa Jenar pasti akan binasa. Bukankah Arya Salaka tak
banyak berarti tanpa Mahesa Jenar?
Oleh
perhitungan itu Sawung Sariti menjadi tegang menunggu jawaban dari orang yang
dijerumuskannya ke dalam kesulitan itu. Mahesa Jenar tidak dapat tepat menebak
maksud anak itu, namun ia merasa bahwa ada sesuatu maksud terkandung dibalik
kata-katanya. Meskipun demikian perlahan-lahan ia menjawab,
“Baiklah
Angger, kalau Angger Sawung Sariti berpendapat demikian, serta Ki Ageng Sora
Dipayana menyetujuinya, aku dan sahabatku dari Karang Tumaritis ini akan
bersedia untuk membantu.”
Ki Ageng Sora
Dipayana terkejut mendengar kesanggupan Mahesa Jenar itu. Karena itu ia segera
memotong,
“Angger Mahesa
Jenar, sebenarnya tidak perlu diartikan bahwa setiap orang harus melawan satu
di antara mereka. Aku pernah memakai cara yang lain. Kelompok demi kelompok.”
Sebelum Ki
Ageng meneruskan kata-katanya, Sawung Sariti telah menyela,
“Usaha itu
ternyata gagal. Setiap kali, lima atau enam di dalam kelompok itu terbunuh.”
“Kalau
demikian…” Mahesa Jenar menengahi,
“Biarlah aku
berada dalam kelompok-kelompok itu. Demikian juga Kakang Putut Karang Jati ini.
Biarlah ia berada pada kelompok yang lain.”
Ki Ageng Sora
Dipayana tak dapat berbuat lebih baik lagi selain menyetujui terakhir Mahesa
Jenar itu. Sawung Sariti menjadi agak kecewa karenanya, namun bagaimanapun juga
ia mengharap Mahesa Jenar akan masuk ke dalam perangkapnya. Akhirnya, mereka
masing-masing meninggalkan pertemuan itu kembali ke dalam lingkungannya. Arya
Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara ke halaman Banjar Desa, sedang Lembu
Sora dan Sawung Sariti kembali ke dalam pasukannya yang payah. Di dalam
kelompok yang kecil itu tinggallah Ki Ageng Sora Dipayana dan Wulungan. Yang
akhirnya mereka mempergunakan sisa malam itu untuk beristirahat. Pagi-pagi
benar, Ki Ageng Sora Dipayana telah bangun. Ia menunggu kalau ada tanda-tanda
atau laporan bahwa orang-orang dari golongan hitam mulai bergerak. Tetapi
ternyata bahwa perhitungannya benar. Hari itu mereka masih dapat beristirahat
sehari penuh, sebelum pada keesokan harinya mereka harus bekerja mati-matian.
Kesempatan hari itu dipergunakan untuk menyusun kembali pasukan Pamingit, serta
menempatkan mereka ke dalam pondok-pondok di desa itu. Demikian juga laskar
Banyubiru pun telah disediakan tempat-tempat untuk bernaung dari dinginnya
embun malam. Pada malam harinya, keadaan menjadi bertambah tegang. Mereka harus
beristirahat sebaik-baiknya, sebab mereka tahu bahwa besok mereka harus
bertempur kembali. Yang paling tegang di antara mereka adalah Arya Salaka. Ia
selalu teringat kepada ibunya. Kalau besok ia menerobos pertahanan golongan
hitam, dan dapat mendesaknya, apakah yang akan dilakukan oleh golongan hitam
itu terhadap ibunya? Tetapi ketika ia sedang berangan-angan di muka pondoknya,
tiba-tiba muncullah dari kegelapan malam, seorang yang bertubuh kecil, berjalan
seperti seorang perempuan mendekatinya.
Beberapa
langkah dimukanya orang berhenti dan bertanya,
“Arya
Salakakah ini?”
Arya Salaka
tahu siapa yang datang. Karena itu ia berdiri dan menyambutnya,
“Ya, Eyang.”
Orang itu
tertawa perlahan-lahan.
“Kau sedang
bersedih?”
“Tidak Eyang,”
sahut Arya tergagap.
“Jangan
berdusta. Kau rindu pada ibumu?” tanya Titis Anganten pula. Arya Salaka
tertegun. Orang tua itu dapat menebak perasaannya dengan tepat. Namun demikian
ia agak malu juga untuk mengiyakan. Ketika Arya diam, bertanyalah Titis
Anganten itu,
“Pamanmu
ada…?”
“Ada, eyang.
Apakah Eyang mau bertemu dengan Paman Mahesa Jenar?” tanya Arya pula.
“Tidak,” jawab
orang tua itu sambil duduk di samping Arya.
“Aku hanya
perlu kau. Ada sebuah berita untukmu.” Arya menjadi tertarik pada berita yang
dibawa oleh Titis Anganten itu. “Berita pentingkah itu Eyang?” tanya Arya.
“Sangat
penting bagimu, bagi ketentraman hatimu,” jawab Titis Anganten.
“Berita
tentang ibumu.” Arya terlonjak.
“Ibu…?” Ia
menegaskan.
“Ya.”
“Bagaimanakah
dengan ibu?” Ia tidak sabar lagi.
“Duduklah
Arya. Dengarlah baik-baik. Aku akan berceritera tentang ibumu,” kata Titis
Anganten perlahan-lahan.
Arya duduk
kembali. Ia menjadi sedemikian ingin segera mengetahui, berita apakah yang akan
disampaikan kepadanya.
TITIS ANGANTEN
memulai,
“Ketika
golongan hitam itu menyerbu Pamingit, Pamingit sedang kosong. Pamanmu Lembu
Sora dan adikmu Sawung Sariti berada di Banyubiru. Mereka sedang bersiap-siap
untuk menghadapi laskarmu. Nah, dengan mudahnya golongan hitam itu dapat masuk
ke dalam kota. Hampir tanpa perlawanan. Semua laskar Pamingit yang ada lari
cerai berai. Tak ada seorang pun yang ingat untuk menyelamatkan Nyai Lembu Sora
dan ibumu. Untunglah bahwa aku sejak semula selalu melihat
kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi. Aku melihat persiapan- persiapan
yang dilakukan oleh golongan hitam. Sehingga dengan demikian aku sempat
menyingkirkan bibi serta ibumu itu.”
“Jadi ibuku
selamat?” tanya Arya.
“Ya. Ibumu
selamat,” jawab Titis Anganten.
Tiba-tiba
rongga dada Arya serasa tersumbat. Nafasnya menjadi sesak. Dan tidak setahunya
ia berbisik,
“Tuhan Maha
Besar.”
Kemudian Arya
memutar duduknya dan bersujud kepada orang tua yang menyelamatkan ibunya itu
sambil berkata,
“Tak dapat aku
menyatakan betapa besar terima kasihku kepada Eyang Titis Anganten.”
Orang tua itu
tertawa nyaring. Kemudian tanpa berkata sepatah katapun ia berdiri dan berjalan
pergi.
“Eyang….” Arya
mencoba memanggil.
Tetapi Titis
Anganten tidak berhenti. Yang terdengar hanyalah derai tawanya. Lamat-lamat
kemudian terdengar ia berkata,
“Aku sudah
mengantuk. Besok aku akan turut bertempur dengan eyangmu.”
Kembali Arya
tertegun diam. Ia tidak sempat bertanya di mana ibunya sekarang. Namun ia
percaya bahwa Titis Anganten telah menempatkan ibunya itu di tempat yang aman.
Dengan demikian hati Arya Salaka menjadi agak tenteram. Tidak perlu lagi ia
mencemaskan nasib ibunya, meskipun seandainya orang-orang golongan hitam nanti
menghancurlumatkan Pamingit. Ketika malam menjadi semakin dalam, Arya pun
segera masuk ke dalam pondok yang disediakan untuknya. Dilihatnya gurunya
sedang tidur dengan nyenyaknya di samping Kebo Kanigara. Di luar, beberapa
orang masih duduk berjaga-jaga. Tetapi malam itu Arya dapat tidur dengan
nyenyaknya. Ia tidak peduli lagi apa yang terjadi atas dirinya besok pagi.
Namun ia malam itu bermimpi indah. Ia melihat ibunya segar bugar, tersenyum
kepadanya sambil berkata,
“Arya, sambutlah
dengan kedua tanganmu. Hari akan cerah.”
Arya tersenyum
di dalam tidurnya. Pagi-pagi ia terbangun oleh kesibukan di halaman. Beberapa
orang telah siap dengan senjata di tangan, meskipun beberapa orang masih
enak-enak menikmati minum air sere yang hangat, dengan segumpal gula kelapa.
Dilihatnya gurunya, Mahesa Jenar dengan Kebo Kanigara pun sedang minum dengan
segarnya.
Cepat-cepat
Arya mengambil air wudlu. Sesudah sembahyang Subuh, kemudian ia pun turut serta
duduk di sekitar perapian sambil menghangatkan tubuhnya. Sebentar kemudian
datanglah beberapa orang mengantar nasi hangat, dengan srundeng kelapa dan
segumpal sambal wijen. Betapa nikmatnya mereka makan bersama sebelum mengadu
nasib, berjuang di antara hidup dan mati. Nasi itu adalah mungkin sekali nasi
yang terakhir yang dapat dinikmatinya.
“Kita berada
di sayap kiri.”
Terdengar
gurunya bergumam. Arya mengangguk sambil menelan segumpal nasi lewat lehernya.
Setelah mereka
mengaso sejenak, terdengarlah tengara dibunyikan. Laskar Banyubiru itupun segera
bersiap, dan berbaris menuju ke sawah di depan desa Pangrantunan. Mereka,
dengan tidak menghiraukan lagi tanaman-tanaman yang sedang tumbuh, segera
merapatkan diri dalam barisan.
Beberapa orang
pemimpin dari laskar masing-masing segera menghadap Ki Ageng Sora Dipayana
untuk mendapat beberapa cara menghadapinya. Apabila mungkin, mereka harus
memilih lawan. Jangan sampai ada korban sia-sia. Ketika sangkalala berbunyi,
barisan itu mulai bergerak. Dalam keremangan pagi, tampaklah barisan itu
seperti seekor naga raksasa yang berenang di dalam air yang keruh. Di depan,
berjalan laskar Pamingit, di bawah pimpinan Lembu Sora sendiri, dibantu oleh
Sawung Sariti, Wulungan dan Galunggung. Sedangkan di belakang, berjalan laskar
Banyubiru, di bawah pimpinan Arya Salaka, dibantu oleh Bantaran, Penjawi,
Jaladri dan Sendang Papat. Di tangan Arya Salaka tergenggam erat-erat pusaka
Banyubiru, Kyai Bancak.
BEBERAPA orang
pengintai telah dikirim lebih dahulu, untuk mengetahui di mana kira-kira
orang-orang dari golongan hitam itu mempersiapkan diri. Biasanya mereka sama
sekali tidak membuat garis-garis pertahanan yang tegas. Mereka bertempur di
mana saja mereka ingin dan kapan saja mereka sempat. Tetapi jelas, bahwa kali
ini mereka berusaha sekuat-kuatnya untuk mempertahankan Pamingit. Bahkan mereka
merasa bahwa lawan mereka telah separo hancur, sehingga untuk menumpasnya
tidaklah terlalu sulit. Tetapi agaknya pengawas merekapun telah mengetahui
kedatangan laskar Banyubiru, sehingga dengan demikian mereka menjadi heran,
apakah agaknya Arya Salaka telah menjadi gila. Apalagi kemudian, kedua laskar
itu berada di Pangrantunan bersama-sama. Tidak seperti yang mereka harapkan,
bertempur satu sama lain.
Dengan bangga
atas kekuatan sendiri, Sima Rodra berkata,
“Kalau di
dalam laskar Banyubiru itu ada Mahesa Jenar, akulah lawannya. Sebab ia telah
membunuh menantuku.”
Beberapa lama
kemudian pengintai dari Pamingit itupun melaporkan kepada Ki Ageng Sora
Dipayana, bahwa orang-orang golongan hitam itu tidak bergerak dari Kepandak.
Namun orang-orang mereka yang di Sumber Panas pun telah ditariknya. Mereka
memusatkan kekuatan di satu tempat, untuk menghadapi laskar Pamingit dan
Banyubiru. Ketika mereka telah berhadap-hadapan dengan desa Kepandak, Ki Ageng
Sora Dipayanapun menghentikan laskarnya. Kemudian diperintahkannya laskar
Pamingit dan Banyubiru membentuk gelar perang Sapit Urang. Laskar Pamingit dan
Laskar Banyubiru itu pun segera bergerak dalam garis yang menebar, laskar
Pamingit di sayap kanan, laskar Banyubiru di sayap kiri, yang masing-masing
merupakan sapit dari seekor udang raksasa yang siap menerkam lawannya.
Di pusat gelar
yang justru tidak terlalu banyak, tampaklah beberapa bagian laskar Pamingit dan
dua orang yang berdiri lepas dari gelar, masing-masing Ki Ageng Sora Dipayana
dan Titis Anganten. Sedang Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara berada di muka laskar
Banyubiru, sapit sebelah kiri, di bawah pimpinan Arya Salaka. Di hadapan
mereka, berjajar rapat di tepi desa Kepandak, orang-orang dari golongan hitam.
Merekapun agaknya telah mengerahkan segenap laskar mereka. Mereka sama sekali
tidak membentuk gelar apapun, karena itu, mereka dapat menyerang ke mana saja
mereka inginkan. Tetapi ketika orang-orang dari golongan hitam itu melihat
gelar lawannya, mau tidak mau merekapun harus menyesuaikan diri mereka. Melawan
bagian-bagian yang terberat dengan orang-orang yang terkuat.
Ketika di
timur cahaya matahari sudah semakin terang, sebelum bola api itu muncul di
wajah-wajah langit, kedua laskar itupun telah berhadap-hadapan dalam kesiagaan
tempur. Jarak mereka sudah tidak begitu jauh lagi, sehingga mereka dapat
melihat dengan jelas siapakah yang berada di pihak masing-masing. Di muka
barisan laskar golongan hitam itu berdiri beberapa orang pemimpin mereka, yang
dengan tertawa-tawa menanti kedatangan lawan. Mereka itu adalah Pasingsingan
dengan jubah abu-abunya, Sima Rodra yang kali ini lengkap dengan kulit harimau
hitamnya, namun ia tidak mengenakan topengnya. Nagapasa, Naga dari
Nusakambangan, Sura Sarunggi dari Rawa Pening yang menyimpan dendam tiada
taranya atas kematian muridnya, sepasang Uling dari Rawa Pening. Dan hantu dari
Gunung Cerme, Bugel Kaliki.
“Ada laskar
Banyubiru serta?” tanya Bugel Kaliki kepada Pasingsingan.
“Ya, tetapi
tak seberapa. Mereka tak akan berarti apa-apa menghadapi laskar kita,” jawab
Pasingsingan.
“Namun yang
harus mendapat perhatian adalah Mahesa Jenar.”
Sima Rodra
tertawa.
“Biarlah aku
selesaikan,” katanya.
Pasingsingan
mengangguk-anggukkan kepalanya, namun ia ragu. Sima Rodra belum tahu, sampai di
mana tingkat kemajuan yang telah dicapai oleh Mahesa Jenar. Namun demikian ia
berdiam diri. Mudah-mudahan Sima Rodra benar-benar dapat menandingi.
“Sekarang
mereka mendapat bantuan anak gila dari Banyubiru itu. Sungguh suatu perbuatan
yang tak dapat aku mengerti. Kenapa Arya Salaka tidak saja merebut tempatnya
kembali. Kenapa justru ia membantu Pamingit?” tanya Sura Sarunggi.
“Ia
benar-benar gila,” jawab Pasingsingan.
“Sedang
perhitungan kita memang terlalu cepat satu hari saja. Kalau kita tunda serangan
kita dengan satu hari, keadaannya akan lain. Laskar Banyubiru dan Pamingit
pasti sudah bertempur. Tetapi bagaimanapun juga, tak ada bedanya. Kita pasti
akan melawan kedua-duanya. Sekarang atau besok. Bahkan kehadiran laskar
Banyubiru itu akan mempercepat penyelesaian.”
Nagapasa
mengangguk-angguk sambil berdesis. tepat seperti desis seekor naga.
“Siapakah yang
harus dilawan dari mereka?”
“Seperti
kemarin dulu,” jawab Pasingsingan.
“Sora
Dipayana, Titis Anganten. Dan sekarang tambah satu lagi, Mahesa Jenar. Tetapi
agaknya Sima Rodra ingin menyelesaikan.”
Tiba-tiba
kening mereka berkerut ketika mereka melihat seseorang yang dengan serta merta,
menerobos masuk dalam laskar Pamingit.
“He…!” seru
Bugel Kaliki,
“Orang gila
itu datang pula.”
Mereka menjadi
terdiam. Namun kehadiran satu orang di dalam barisan Pamingit itu benar-benar
diperhitungkan.
DEMIKIANLAH,
Ki Ageng Sora Dipayana sendiri terkejut atas kehadiran seorang sahabat lamanya.
Namun terbersitlah kegembiraan di hatinya. Dengan kehadiran orang ini, sedikit
banyak akan dapat mengubah keseimbangan laskar di kedua belah pihak. Karena itu
dengan tersenyum ia menyambut kedatangan orang itu dengan penuh gairah.
“Selamat
datang Danyang Gunung Kidul.”
“Eh, aku
hampir terlambat,” jawabnya.
“Agaknya orang
Banyuwangi itu telah ada pula di sini.”
Titis Anganten
tertawa.
“Kau terlalu
malas,” jawabnya.
“Aku, yang
berjarak ribuan tonggak telah datang lebih dahulu.”
Danyang
Gunungkidul itu, Ki Ageng Pandan Alas, tertawa. Sahutnya,
“Kerjamu tidak
ada lain kecuali berjalan dari satu tempat ke tempat lain. Sedang aku masih
harus menunggu jagung tua.”
“Ah, orang
yang hidupnya terikat pada tanaman jagung. Kalau dunia ini akan meledak, kau
masih saja menunggui jagungmu?” sela Ki Ageng Sora Dipayana. Ki Ageng Pandan
Alas tertawa. Namun ia sudah berjalan pula di samping Sora Dipayana.
“Nah, pilihlah
aku lawan,” katanya.
“Terserah
kepadamu,” jawab Sora Dipayana.
“Yang bongkok,
yang berkulit macan, yang berkepala besar atau yang mana?”
“Mana saja
yang terdekat,” jawab Pandan Alas seenaknya. Tetapi meskipun demikian, dalam
waktu yang cepat ia telah berhasil menilai lawan-lawannya. Ia benar-benar
terkejut ketika ia melihat Mahesa Jenar berdiri di sapit sebelah kiri.
Namun ia agak
tenteram setelah dilihatnya Putut Karang Jati yang bernama pula Kebo Kanigara.
Ia telah mengenalnya sebagai putra Ki Ageng Pengging Sepuh di bukit Karang
Tumaritis. Ia berdoa di dalam hatinya, mudah-mudahan kedua orang itu dapat
menempatkan diri sebaik-baiknya, sehingga kedua-duanya tak menemukan cidera.
Juga ia berdoa mudah-mudahan Arya Salaka dapat membawa dirinya di antara
laskarnya. Sesaat kemudian, kedua laskar itu telah mencapai jarak yang
menentukan. Sebelum laskar Pamingit mulai, terdengarlah orang-orang laskar itu
berteriak nyaring, sambil berloncatan menyerbu. Sementara itu Ki Ageng Lembu
Sora segera menggerakkan tangannya yang telah menggenggam pedangnya yang besar
sekali, memberi aba-aba kepada laskarnya untuk bertempur. Tanda itu segera
diteruskan oleh Sawung Sariti, Wulungan dan Galunggung. Merekapun memutar pedang
masing-masing di udara, sebagai perintah untuk bertempur. Di sayap kiri,
tampaklah berkilauan tombak pusaka di tangan Arya Salaka. Dengan tekad yang
bulat, ia telah menyerahkan dirinya untuk melakukan pengabdian. Dengan doa di
dalam hati,
“Tuhan akan
menyertai kami dan memberkahi pengabdian kami.”
Ketika ia
mengangkat tombaknya, berkilat-kilat pulalah pedang Bantaran, Penjawi dan
tombak bermata dua ditangan Jaladri. Merekapun meneruskan aba-aba Arya Salaka
kepada laskar mereka, yang bergerak sebagai sapit kiri dari gelar Sapit Urang.
Sesaat Arya Salaka melihat Bantaran beserta laskarnya mendesak maju. Mereka
melingkar untuk kemudian menyerang dari lambung. Tetapi orang-orang dari
golongan hitam itu tidak mempergunakan gelar tertentu, sehingga merekapun menghambur
menyerang laskar Bantaran dari arah yang mereka sukai. Meskipun demikian,
Bantaran tidak menjadi bingung. Ia tetap bertempur dalam gelar kiri. Laskarnya
yang bersenjata pedang dengan perisai di tangan kiri, bertempur seperti
banteng-banteng yang tangguh. Demikian juga laskar Jaladri di bagian tengah
sapit kiri. Laskar yang sebagian besar bersenjata tombak inipun bertempur
dengan semangat yang menyala-nyala. Mereka sadar, betapa orang-orang dari
golongan hitam itu harus dimusnahkan. Sebab satu saja mereka tinggal, akan
dapat merupakan benih buat masa datang. Sedang laskar Penjawi berada dekat
dengan induk pimpinan. Seperti juga Penjawi sendiri, laskarnya bertempur tanpa
mengenal takut, meskipun mereka sadar bahwa orang-orang dari golongan hitam itu
dapat berbuat hal-hal di luar batas-batas perikemanusiaan. Namun justru karena
itulah maka mereka harus dimusnahkan.
Ki Ageng Sora
Dipayana sendiri, masih berdiri, di antara kedua pihak yang sudah terlibat
dalam pertempuran itu. Ia melihat keadaan di sekelilingnya, kemudian
pandangannya menebar ke segenap penjuru pertempuran. Di sebelah kirinya, tidak
terlalu jauh, ia melihat Ki Ageng Pandan Alas menyusup ke dalam daerah
pertempuran untuk mendekati Pasingsingan. Agaknya ia benar-benar ingin tahu,
apakah Pasingsingan ini benar-benar Pasingsingan sahabatnya dahulu. Ia masih
ingat, di alun-alun Banyubiru, ia pernah bertempur dengan Pasingsingan itu.
Meskipun Pasingsingan itu mempunyai pusaka-pusaka dengan ciri-ciri khususnya,
namun ia tetap meragukannya. Supaya kedatangannya di Pangrantunan ini ada juga
hasilnya, apabila ia benar-benar dapat mengetahui, siapakah yang bersembunyi di
balik topeng yang jelek itu. Pandan Alas menyesal, bahwa ketika ia dengan
tergesa-gesa berangkat dari Gunungkidul, ketika didengarnya kabar, tentang
kerusuhan di Banyubiru, yang ternyata seterusnya berkembang menjadi
kerusuhan-kerusuhan di Pamingit dan Pangrantunan, tidak diajak serta muridnya,
Sarayuda, yang setidak-tidaknya akan dapat membantu memperingan pekerjaan
laskar Pamingit dan Banyubiru. Tetapi yang didengarnya semula adalah persoalan
yang lain. Persoalan antara Banyubiru dan Pamingit.
Di arah yang
lain, ia melihat Titis Anganten, berdiam diri sambil tersenyum-senyum. Orang
itupun agaknya sedang menikmati kesibukan pertempuran itu. Ia menunggu saja,
siapakah yang akan datang kepadanya. Hanya sekali-kali ia harus bergerak
menghindari serangan dari laskar golongan hitam, yang menyangka bahwa Titis
Anganten itu dapat dikenalinya dengan mudah.
PARA penyerang
itu menjadi kecewa setelah mereka sadar, bahwa yang berdiri di hadapannya
adalah Titis Anganten. Karena itu segera mereka mencari sasaran lain, dan
menyerahkan Titis Anganten itu kepada para pemimpin mereka. Namun sesaat
kemudian, ia melihat Titis Anganten itu tertawa, sambil meloncat maju
menyongsong seorang yang bertubuh tegap tinggi dan berkepala besar. Sura
Sarunggi dari Rawa Pening.
Sesaat
kemudian Ki Ageng Sora Dipayana melihat Bugel Kaliki, Si Bongkok dari Gunung
Cerme, datang ke arahnya. Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum. Agaknya ia harus
bertempur melawan hantu bongkok itu. Ia menarik nafas dalam-dalam. Ia kenal
benar bahwa Si Bongkok itu seperti bertangan bara. Sentuhan-sentuhan atas tubuh
lawannya oleh tangan Bugel Kaliki itu, kulitnya pasti akan terkelupas. Namun
Bugel Kaliki itupun sadar. Sentuhan tangan Ki Ageng Sora Dipayana dapat
merontokkan isi dada, dan dapat menghentikan peredaran darah. Bagian dari aji
Lebur Sakethi sungguh tak dapat diabaikan. Apalagi Lebur Saketi dalam ujud
kasarnya. Akan luluhlah setiap sasaran yang dapat dikenainya. Sebelum Ki Ageng
Sora Dipayana menyambut lawannya, ia mencoba untuk melihat sapit sebelah kiri.
Dadanya berdesir ketika ia melihat Sima Rodra mengaum dengan dahsyatnya
menerkam Mahesa Jenar. Apalagi ketika melihat Mahesa Jenar menyambutnya seorang
diri, tidak dengan perlindungan laskarnya sama sekali.
Namun ia tidak
sempat berbuat sesuatu, selain berdoa, mudah-mudahan Mahesa Jenar segera
menempatkan dirinya dalam lingkaran laskarnya. Ia juga cemas akan nasib sahabat
Mahesa Jenar yang bernama Putut Karang Jati. Bahkan ia dengan sengaja
menempatkan diri di garis lintas Naga dari Nusakambangan. Nagapasa itu
benar-benar orang yang dapat berbuat seperti ular naga. Hampir seluruh tubuhnya
dapat dipergunakannya untuk bertempur. Tetapi sesaat kemudian, Bugel Kaliki
telah berdiri di hadapannya. Sambil tertawa kecut hantu itu berkata,
“Selamat pagi
Ki Ageng Sora Dipayana yang sakti. Jangan kau perhatikan nasib orangmu yang
bernama Mahesa Jenar itu. Biarlah ia lumat ditangan Harimau Tua dari Lodaya.”
Ki Ageng Sora
Dipayana mengerutkan keningnya. Ternyata Bugel Kaliki memperhatikannya, dan
mencoba mempengaruhi perhatiannya, agar ia tidak dapat memusatkan pikirannya
untuk melawan Bugel Kaliki itu. Karena itu ia tertawa sambil menjawab,
“Ia bukan sanak,
bukan kadang. Biarlah ia berusaha untuk menjaga dirinya sendiri.”
Mata Si
Bongkok itu tiba-tiba menjadi sipit. Meskipun demikian ia berkata,
“Bagus.
Agaknya kau tidak peduli pula atas anakmu yang bernama Lembu Sora. Dapatkah ia
melawan Jaka Soka? Dan cucumu Sawung Sariti yang harus bertahan melawan Wadas
Gunung, murid Pasingsingan? Sedang cucumu yang satu lagi sedang dilibat oleh
aji Alas kobar Lawa Ijo dari Mentaok?”
Ki Ageng Sora
Dipayana sekali lagi memandang berkeliling. Daerah pertempuran itu sudah
semakin ribut. Masing-masing berjuang dengan segenap tenaga yang ada. Terhadap
Lembu Sora, Ki Ageng Sora Dipayana tak perlu cemas. Ia tidak perlu khawatir
bahwa Jaka Sora akan dapat mengalahkan anaknya dengan mudah. Apalagi Lembu Sora
berada di dalam barisan Pamingit yang penuh, setelah laskar Banyubiru datang
membantu. Juga Sawung Sariti tak perlu dirisaukan. Wadas Gunung adalah murid
Pasingsingan yang tidak banyak mendapat perhatian dari gurunya. Sebab segenap
harapan ditumpahkan kepada Lawa Ijo. Terhadap Arya Salaka, ia perlu
menimbang-nimbang. Ia tahu bahwa Arya Salaka setidak-tidaknya memiliki
ketangkasan dan ketangguhan sama dengan Sawung Sariti. Namun kali ini ia harus
berhadapan dengan Lawa Ijo, yang memiliki kesaktian lebih dahsyat dari Wadas Gunung.
Tanpa dikehendakinya sendiri, Ki Ageng Sora Dipayana memperhatikan sapit
sebelah kiri dari gelar Sapit Urang-nya. Ia bangga atas kesempurnaan gelar itu.
Ia melihat di ujung laskar Banyubiru, suatu lingkaran yang menganga dan
menyerang orang-orang Pamingit dengan dahsyatnya. Namun sayap kiri itu baginya
sangat mencemaskan. Di sayap itu berkumpul tokoh-tokoh Nagapasa dan Sima Rodra
bersama-sama dengan Lawa Ijo. Namun kali ini ia tidak banyak mempunyai waktu,
sebab sekali lagi ia mendengar Bugel Kaliki mendengus. “Ha, kau ingin pergi ke
sayap kirimu yang mulai rusak…?”
Ki Ageng Sora
Dipayana tersenyum,
“Aku sedang
menilai pertempuran. Agaknya keseimbangan dari kedua laskar itu telah berubah
sama sekali. Apa katamu tentang laskar Banyubiru yang seperti taufan melanda
laskarmu?”
Tiba-tiba
Bugel Kaliki itu tertawa terbahak-bahak, jawabnya,
“Buat apa aku
ributkan laskar yang sedang bertempur itu? Aku datang kemari seorang diri. Tak
peduli apakah laskarmu atau laskar kawan-kawanku yang akan binasa.”
“Dan kau sendiri…?”
tanya Ki Ageng Sora Dipayana.
“Aku sendiri
akan dapat menjaga diriku. Aku dapat berbuat sekehendakku,” sahut Bugel Kaliki.
“Lalu sekarang
apa yang kau kehendaki?” tanya Sora Dipayana.
“Nagasasra dan
Sabuk Inten. Berikan itu kepadaku. Nanti aku akan membantu laskarmu,” jawab
hantu bongkok itu.
“Buat apa?”
tanya Ki Ageng.
Bugel Kaliki
tertawa. Jawabnya,
“Buat apa kau
sembunyikan keris itu?”
Ki Ageng Sora
Dipayana sama sekali tidak perlu memberikan keterangan, sebab ia yakin bahwa
kata-katanya akan dipercaya. Karena itu ia menjawab seenaknya,
“Mungkin suatu
waktu perlu untuk melawan serangan seperti yang terjadi kali ini.”
Bugel Kaliki
tiba-tiba menjadi tegang.
“Kalau begitu
kedua keris itu benar-benar masih kau simpan?” “Apa kepentinganmu?” sahut Sora
Dipayana.
“Aku akan
mencoba mempertahankan diri. Meskipun aku sudah tua, namun mati karena
tanganmu, sungguh tak menyenangkan,” sahut Ki Ageng Sora Dipayana. Bugel Kaliki
tak mau berbicara lagi.
Setelah
memandangi pertempuran itu sekali lagi, tiba-tiba ia meloncat sambil berteriak
tinggi. Ki Ageng Sora Dipayana pun telah bersedia pula. Karena itu segera ia
menghindar untuk segera meloncat dengan tangkasnya menyerang kembali.
Demikianlah, kedua orang itu kemudian bertempur dengan dahsyatnya di antara hiruk
pikuk pertempuran. Ki Ageng Sora Dipayana benar-benar harus memusatkan segenap
perhatiannya untuk melawan hantu bongkok dari Gunung Cerme itu. Karena itu, ia
tidak mempunyai kesempatan mengamati pasukannya. Meskipun demikian, ia merasa
bahkan laskar Pamingit dan Banyubiru bersama-sama, dapat mengimbangi laskar
lawan, bahkan sedikit demi sedikit terasa, garis pertempuran itu bergeser maju.
Bugel Kaliki itu, meskipun punggungnya melengkung karena bongkoknya, namun
gerakannya sangat berbahaya. Ia dapat meloncat-loncat dengan lincahnya,
menerkam dan menghantam. Bahkan kakinya pun tak kalah tangkasnya. Ia dapat
berloncatan seperti kijang, namun sekali-kali menerkam seperti serigala. Tetapi
Ki Ageng Sora Dipayana adalah seorang yang telah cukup makan pahit-getirnya
penghidupan. Dengan tak kalah lincahnya, ia meloncat menghindari setiap
serangan yang kemudian dengan lincahnya pula ia menyerang lawannya kembali.
Kedua tangannya bergerak dengan cepatnya, seperti sayap seekor burung
branjangan. Dengan dahsyatnya kedua tangan orang tua itu mematuk-matuk, ke
pusat-pusat simpul syaraf.
Inilah yang
mengerikan. Sekali tubuh lawannya tersentuh jarinya, akan bekulah seluruh
daging-daging syarafnya. Dan ini pun dimaklumi oleh lawannya. Sehingga Bugel
Kaliki pun berjuang keras untuk melindungi setiap kemungkinan itu. Ia percaya
kepada ketangkasannya dan kekuatannya. Kepada kesaktiannya, yang dapat
menjadikan tangannya sepanas bara. Ia menamai kesaktian itu Candra Mawa, di
samping ilmunya yang tak kalah dahsyatnya, yang dengan bangga disebutnya Dasa
Prahara. Dengan demikian maka pertempuran itu merupakan pertempuran yang
dahsyat antara dua orang perkasa. Sehingga setiap orang di sekitarnya terpaksa
bergesa-gesa menjauhkan diri.
Untuk sesaat
pertempuran antara laskar Pamingit dan laskar golongan hitam, di sekitar kedua
tokoh tua itu terhenti. Dengan keheran-heranan mereka memandang perkelahian
yang berubah seperti lesus yang berputar-putar mengerikan. Tetapi ketika mereka
tersadar, segera mereka terlibat kembali dalam pertempuran yang sengit.
Matahari semakin lama menjadi semakin tinggi beredar di langit yang bersih.
Begitu cepat,
seakan-akan begitu tergesa-gesa untuk dapat melihat medan pertempuran itu
dengan jelas. Untuk kesekian kalinya bola api yang terapung itu melihat betapa
manusia bertengkar dan bertempur di antara mereka. Sudah berapa banyak darah
yang mengalir dari luka-luka di tubuh mereka, telah berapa banyak air mata yang
mengalir karenanya. Namun manusia itu tidak jemu-jemunya, saling membunuh
karena mereka bertentangan kepentingan. Terdoronglah kepentingan mereka,
golongan mereka, diri mereka, maka kadang-kadang mereka lupa, betapa, manusia
tercipta karena cinta. Larutlah cinta itu seperti kabut yang dilanda angin,
apabila mereka dihadapkan pada pemanjaan diri. Pemanjaan nafsu jasmaniah. Dan
lupalah mereka akan hari-hari yang dijanjikan. Hari pengadilan di ujung zaman.
Namun Tuhan Maha Tahu. Didengar-Nya apa yang terlontar dari bibir kita, apa
yang terucapkan oleh mulut kita. Bahkan tahulah Tuhan apa yang terukir di dalam
hati kita. Sehingga dengan demikian kebaktian bukanlah janji, namun sebenarnya
kebaktian adalah tingkah laku dan pengamalan. Semakin tinggi matahari memanjat
langit, pertempuran di lereng Gunung Merbabu itu menjadi semakin riuh.
Berdentanglah bunyi senjata beradu, dibarengi teriakan seram dan pekik ngeri
kesakitan.
DI pangkal
sayap kanan, Titis Anganten sedang sibuk melayani Sura Sarunggi yang bertubuh
tegap kekar dan bekepala besar. Dengan gerak yang kasar penuh kebencian, Sura
Sarunggi menyerang lawannya tanpa pengendalian diri. Ia ingin segera melihat
Titis Anganten menjadi lumat. Titis Anganten yang bertubuh kecil dan sama
sekali tak segagah lawannya itu dapat bertempur dengan sempurna. Gerak-geraknya
yang tampak lemah dan tak bertenaga, namun seakan-akan memiliki pengaruh yang
tak dapat diduga akibatnya. Titis Anganten benar-benar berkelahi seperti
perempuan. Kalau saja tangannya menyentuh lawannya, maka ia segera mencubitnya.
Namun cubitan itu benar-benar luar biasa, sehebat sengatan seribu lebah
bersama-sama. Sedang lawannya adalah seorang yang bertenaga raksasa. Sambaran
tangannya menimbulkan desir angin dingin yang mengerikan. Kalau suatu kali ia
terpaksa membuat benturan kekuatan, maka mereka bersama-sama akan tergetar
surut. Di bagian lain, dengan penuh kemarahan dalam hati, Pasingsingan
berhadapan dengan Ki Ageng Pandan Alas. Ketika Pasingsingan memandangnya
seperti memandang hantu, berkatalah Ki Ageng Pandan Alas,
“Apakah aku
aneh?”
Pasingsingan
menggeram, jawabnya,
“Kenapa kau
hadir juga di sini?”
“Apa salahnya?
Sahabat-sahabatku semua berada di sini. Ki Ageng Sora Dipayana, Titis Anganten
dan kau Pasingsingan. Bukankah sudah sebaiknya kalau aku datang pula?” sahut
Pandan Alas.
Sekali lagi
Pasingsingan menggeram.
“Jangan banyak
ribut. Jangan bicara lagi tentang sahabat, tentang masa lampau dan segala macam
kenangan tak berarti. Yang sebaiknya segera kau lakukan adalah meninggalkan
daerah ini.”
Ki Ageng
Pandan Alas tertawa.
“Kenapa aku
harus pergi. Atas hak yang sama, maka seperti kau aku hadir dalam pertemuan
ini.”
“Aku
sebenarnya menyayangkan nyawamu. Jangan kau mati tanpa arti. Sebab persoalan
kami bukanlah persoalan yang dapat kau campuri,” sahut Pasingsingan.
“Kenapa tidak?
Daerah ini daerah Pangrantunan. Ki Ageng Sora Dipayana gembira melihat
kehadiranku. Kenapa kau tidak?” kata Pandan Alas.
Pasingsingan
menggeram kembali. Suaranya melingkar-lingkar di dalam perutnya. Sekali-kali
melayangkan pandangannya ke seluruh daerah pertempuran. Ia melihat Bugel Kaliki
berhadapan dengan Ki Ageng Sora Dipayana sendiri, sedang Sura Sarunggi
bertempur melawan Titis Anganten.
Di ujung lain
ia melihat Mahesa Jenar bertempur melawan Sima Rodra yang menyimpan dendam di
dadanya. Pasingsingan mengerutkan keningnya. Ia tidak tahu, bagaimana mungkin
Mahesa Jenar dapat melawan aji Alas Kobar beberapa waktu yang lampau didekat
Candi Gedong Sanga. Malaekat manakah yang telah memberinya kesaktian sedemikian
tiba-tiba? Sedang di bagian lain, Pasingsingan melihat kawan Mahesa Jenar
bertempur melawan Nagapasa. Ia mengharap Nagapasa segera dapat menyelesaikan
pekerjaannya.
No comments:
Post a Comment