Bagian 074


MEREKA untuk sementara akan ditempatkan di halaman Banjar Desa untuk menunggu tempat yang lebih baik bagi laskar itu, seperti juga laskar Lembu Sora yang masih belum mendapat penampungan yang baik. Ketika Arya Salaka tampak mendatangi laskarnya, segera Bantaran dan Penjawi menyongsongnya, sambil berkata,
“Bagaimana Angger?”
“Kami dapat diperkenankan memasuki desa Pangrantunan, Paman. Dan inilah Paman Wulungan,” jawab Arya Salaka. 

Bantaran menganggukkan kepalanya, demikian juga Penjawi yang segera dibalas oleh Wulungan.
“Aku mengucapkan selamat atas kedatangan kalian,” sambut Wulungan dengan ramahnya.
“Terima kasih,” jawab Bantaran. Ketika kemudian muncul Jaladri diantara mereka, berkatalah ia kepada Wulungan dengan akrabnya, seperti kepada sahabatnya yang karib.
“Selamat malam Wulungan. Sudahkah kau sediakan makan malam buat kami?” Nasib mereka dalam sehari, pada saat-saat mereka bertempur melawan Bugel Kaliki, telah membentuk persahabatan yang akrab di antara mereka. Dengan tertawa Wulungan menjawab, “Tentu Jaladri. Tetapi sayang bahwa kau tak akan mendapat bagian.”
Jaladri kemudian tertawa. Ketika kemudian segala sesuatu telah dipersiapkan, maka segera laskar itupun berangkat memasuki desa Pangrantunan. Bagaimanapun juga, di dalam dada laskar Banyubiru itu, masih juga tersangkut rasa persaingan dengan laskar Pamingit. Meskipun kemudian mereka tidak akan bertempur, namun di hati Bantaran, Penjawi, Jaladri dan lain-lain pemimpin laskar itu, masih ada keinginan untuk memperlihatkan bahwa mereka sama sekali tidak berada di bawah tingkatan laskar Pamingit. Karena itulah, maka mereka memasuki Pangrantunan dengan upacara yang menggemparkan.
Meskipun menjelang tengah malam, namun laskar Banyubiru berjalan dalam derap irama sangkalala dan genderang yang menggema melingkar-lingkar di lereng bukit Merbabu itu. Suara sangkalala dan genderang itu telah mengejutkan segenap laskar Pamingit. Baik yang sedang bertugas, maupun yang sedang beristirahat. Karena itu segera mereka bangkit. Mereka yang kurang mengerti persoalannya, segera memegang senjata masing-masing. Tetapi kemudian para pemimpin mereka memberi mereka penjelasan-penjelasan yang didengarnya dari pemimpin pengawal yang sedang bertugas. Seperti juga yang lain-lain, mereka ragu. Karena itu mereka ingin menyaksikan kedatangan laskar Banyubiru itu dengan senjata di tangan.

Laskar Banyubiru memasuki Pangrantunan dengan derap yang mengagumkan. Di ujung barisan itu berjalan dengan tegapnya Bantaran, kemudian Penjawi. Diikuti oleh pasukan yang segar, yang memancarkan keteguhan hati mereka. Meksipun laskar ini tidak mempergunakan kesegaran yang khusus, namun di dalam dada mereka berakar tekad yang seragam. Mengabdi kepada tanah pusaka, tanah tercinta, yang diperuntukkan oleh Maha Pencipta bagi mereka. Laskar Pamingit yang pecah, ketika melihat kedatangan laskar Banyubiru itu, merasa seolah-olah mendapatkan kekuatan baru dalam dirinya. Karena itu, tanpa disengaja, secara serta merta, mengumandanglah teriakan-teriakan mereka.
“Hidup laskar Banyubiru…. Hidup laskar Banyubiru….”
Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum melihat laskar Banyubiru lewat di hadapannya dalam keremangan cahaya bulan. Sungguh tak diduganya, betapa anak-anak Banyubiru, yang selama ini terpaksa menyingkir karena pokal Lembu Sora itu, dapat merupakan kesatuan yang sedemikian mengagumkan. Dengan dada tengadah, dan percaya kepada keadilan Yang Maha Kuasa, yang telah menempa mereka menjadi laskar yang pilih tanding. Lembu Sora sendiri melihat pasukan itu dengan hati yang pecah-pecah. Setiap derap langkah mereka, merupakan pukulan yang dahsyat, yang seakan-akan memecahkan rongga dadanya. Satu-satu berterbanganlah kenangan-kenangan masa lampaunya yang memalukan.

Teringatlah, betapa ia berusaha mati-matian untuk meniadakan Arya Salaka. Dan tiba-tiba anak itu sekarang datang menyelamatkannya, menyelamatkan tanahnya. Apalagi ketika Lembu Sora menyaksikan laskar Banyubiru dengan mata kepala sendiri. Ia menjadi bertambah malu. Disangkanya bahwa laskar Arya Salaka tidak lebih dari gerombolan berandal yang hanya mampu mencegat orang pergi berbelanja ke pasar. Namun ketika sudah disaksikannya sendiri laskar itu, bergetarlah jantungnya, seperti udara yang digetarkan oleh suara genderang laskar Banyubiru itu. Dan terngianglah kembali kata-kata Kebo Kanigara, “Golongan hitam bukanlah mereka yang hitam pada wadag dan tata kelahirannya, tapi golongan hitam adalah mereka yang berhati hitam.”
Lembu Sora menundukkan wajahnya. Ia tidak kuasa lagi menyaksikan laskar yang perkasa itu. Tetapi lebih daripada itu, ia menjadi terharu atas kenyataan yang dialaminya. Terbayanglah di dalam rongga matanya, seolah-olah semua mata memandangnya dengan penuh penyesalan atas perbuatannya.
Lembu Sora terkejut ketika sekali lagi terdengar sorak,
“Hidup laskar Banyubiru.” Perlahan-lahan ia mengangkat wajahnya. Tampaklah di luar barisan berjalan Arya Salaka dengan tobak Kyai Bancak di tangannya bersama-sama Wulungan. Dada Lembu Sora menjadi berdentang karenanya. Tiba-tiba ia seolah-olah melihat kakak Gajah Sora berjalan di mukanya, memandangnya dengan marah dan berkata kepadanya,
“Lembu Sora, coba bunuhlah anakku itu kalau kau berani.”
Sekali lagi wajah Lembu Sora terbanting di tanah.
Yang mempunyai tanggapan lain adalah Sawung Sariti. Ketika pasukan Banyubiru itu lewat, terasa dadanya berdesir pula, karena iapun sama sekali tak menyangka, bahwa laskar itu dapat berbaris dengan tertib serta penuh kepercayaan pada dirinya. Betapa mereka menggenggam senjata mereka dengan cermatnya, sebagai tanda bahwa mereka menguasai setiap senjata yang berada di tangan mereka dengan baiknya. Di dalam hati kecilnya, Lembu Sora bersukur pula bahwa laskarnya tak terlibat dalam pertempuran dengan laskar Banyubiru itu. Sebab dengan demikian, ia akan terpaksa meninggalkan Banyubiru dengan nama yang ternoda, kalau terpaksa laskarnya tak mampu melawan laskar Arya Salaka itu.

TETAPI yang kemudian menguasai perasaan Sawung Sariti adalah sifat-sifatnya yang kurang baik. Ia menjadi iri hati. Iri hati terhadap kemampuan Arya Salaka memimpin laskarnya, iri hati terhadap kegagahan laskar itu. Apalagi ketika ia melihat eyangnya tampak bangga, dan ayahnya bersedih. Sebelum laskar itu habis sampai ke ujungnya, ia sudah memalingkan mukanya.
“Bagaimana Anakmas?” terdengar suara di belakangnya.
“Hem…” geramnya.
“Bagaimana menurut pendapatmu Galunggung?”
“Tak berarti,” sahut orang itu.
“Besok atau lusa laskar yang sombong itu pasti sudah akan dihancurkan oleh arus laskar gabungan dari golongan hitam itu.”
Sawung Sariti mencibirkan bibirnya.
“Laskarnya tak begitu banyak. Apa yang dibanggakan?”
“Yang datang hanya separo, Tuan.”
Tiba-tiba terdengar suara lain di sampingnya. Ketika keduanya menoleh, dilihatnya Srengga berdiri di situ.
“Dari mana kau tahu?” tanya Sawung Sariti
“Dari pengawal,” jawab Srengga.
“Omong kosong,” sahut Galunggung dengan wajah yang dilapisi oleh kedengkian. Srengga kemudian berdiam diri. Yang lain pun diam. Sekali lagi mereka melayangkan pandangan mereka kepada pasukan yang lewat. Namun sesaat lagi habislah barisan itu. Mereka yang menyaksikan, segera kembali pula ke tempat masing-masing. Sebagian besar dari mereka merasa bahwa pekerjaan mereka akan diperingan karena kedatangan laskar itu. Bahkan mungkin, nyawa merekapun akan selamat pula. Laskar Pamingit akan bebas dari kemusnahan mutlak. Meskipun demikian, kemampuan tempur laskar Banyubiru masih perlu diuji.

Malam itu laskar Banyubiru beristirahat di tempat yang sudah ditentukan. Di halaman Banjar Desa yang tak begitu luas, sehingga sebagian besar dari mereka, harus duduk bersandar pagar di sepanjang jalan desa di muka banjar itu. Namun mereka dapat merasakan kenikmatan dari waktu istirahat itu. Arya Salaka, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara kembali duduk bersama-sama dengan Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Lembu Sora, Sawung Sariti dan Wulungan. Ki Ageng Sora Dipayana kemudian mengambil seluruh pimpinan di tangannya.
“Tak ada pilihan lain ayah,” jawab Lembu Sora. Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-anggukan kepalanya.
“Terima kasih atas keikhlasanmu Lembu Sora.” Selanjutnya, orang tua itu membuat perintah-perintah yang harus dilakukan oleh Arya Salaka beserta laskarnya, dan Lembu Sora dengan laskar Pamingit.
“Menurut perhitunganku, serta pengintai-pengintai yang datang sampai saat terakhir, mereka tidak akan menyerang kedudukan kita sekarang ini,” kata Ki Ageng Sora Dipayana,
“Sebab mereka merasa, bahwa jumlah laskar mereka tidak terlalu banyak, sehingga mereka lebih senang menanti kita datang menyerang.”
Tak seorangpun yang mengajukan pendapatnya.
“Karena itu…” orang tua itu meneruskan,
“Kita masih mempunyai satu hari untuk beristirahat. Lusa kitalah yang mengambil peran, menyerang kedudukan mereka. Kita mengambil daerah pertempuran yang luas dengan gelar Jinatra Sawur atau gelar-gelar yang lain, yang menebar. Garudha Nglayang atau Sapit Urang.”
Tiba-tiba orang tua itu teringat bahwa di antara mereka duduk seorang bekas perwira prajurit pengawal raja, yang pasti mempunyai perhitungan-perhitungan yang cukup cermat dalam peperangan antara dua pasukan yang berjumlah besar.
Karena itu segera ia berkata,
“Bukankah begitu Angger Mahesa Jenar?”

Mahesa Jenar sadar pada kedudukannya. Maka iapun menjawab,
“Demikianlah Ki Ageng, namun aku ingin mengusulkan, untuk melawan mereka yang biasa bertempur tanpa aturan, dan terlalu percaya pada kesaktian pemimpin-pemimpin mereka. Biarlah di antara kita pun ada beberapa orang yang terlepas dari ikatan gelar, untuk melayani pemimpin-pemimpin mereka yang tak mau mengikat diri itu.”
“Bagus,” sambut orang tua itu.
“Kita pun mempunyai orang-orang semacam itu di sini. Titis Anganten, misalnya.”
Baru saat itulah Mahesa Jenar teringat bahwa di dalam laskar Pamingit itu terdapat seorang sakti yang bernama Titis Anganten. Karena itu kemudian ia bertanya,
“Di manakah Paman Titis Anganten itu?”
“Ia berkeliaran sepanjang hari,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana.
“Tapi ia hadir dalam setiap pertempuran.”
“Kalau demikian, biarlah Paman Titis Anganten kita perhitungkan pula. Siapakah para pemimpin golongan hitam dari angkatan tua itu?” tanya Mahesa Jenar.
“Bugel Kaliki, Sima Rodra, Pasingsingan, Nagapasa dan Sura Sarunggi,” jawab Sora Dipayana.
“Nah, kalau demikian kitapun harus melepaskan lima orang dari ikatan gelar itu. Bahkan barangkali lebih dari itu, untuk melawan tokoh-tokoh muda mereka, seperti Lawa Ijo dan Soka,” sahut Mahesa Jenar. Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi siapakah lima orang itu? Mungkin dirinya sendiri dapat melayani setiap tokoh sakti lawan mereka itu, orang kedua adalah Titis Anganten, tetapi lalu siapa? Mahesa Jenar sendiri merasa, bahwa iapun sanggup untuk menyerahkan dirinya dalam pengabdian itu, namun agaknya sulitlah baginya untuk menyatakan diri. Tetapi dengan tak diduga-duga, terdengarlah suara Sawung Sariti dengan nada yang tinggi,
“Siapakah lima orang dari kamu itu?”
Ki Ageng Sora Dipayana menarik nafas. Ia melihat wajah cucunya dengan kecewa, juga nada suaranya tak menyenangkan. Namun orang tua itu menjawab,
“Sudah menjadi kewajibanku untuk menjadi orang yang pertama cucu, sedang yang kedua eyangmu Titis Anganten.”
Kata-kata orang tua itu terputus. Ia ragu-ragu untuk meneruskan, dan memang tak diketahuinya siapa yang akan disebut namanya. “Lalu siapakah yang ketiga, keempat dan kelima…?” Sawung Sariti mendesak. Ki Ageng Sora Dipayana menggeleng-gelengkan kepalanya, jawabnya,
“Aku belum tahu, Sariti.” 

SAWUNG SARITI tersenyum. Senyum yang mengundang seribu satu macam kemungkinan. Katanya,
“Kenapa bukan Paman Mahesa Jenar yang perkasa serta sahabatnya dari Karang Tumaritis itu?” Sawung Sariti mengharap bahwa Mahesa Jenar tidak akan menolak di hadapan sekian banyak orang. Kalau Mahesa Jenar menerima tawaran itu, apakah ia mampu berbuat demikian? Di Gedangan, Sima Rodra dan Bugel Kaliki pernah mengalami kekalahan, namun ia tidak yakin, bahwa kekalahan itu disebabkan karena Mahesa Jenar dan sahabatnya itu. Beberapa laskarnya melihat seorang berjubah abu-abu ikut serta membantu mereka. Dan ia tidak tahu, siapakah orang berjubah abu-abu itu. Apakah ia Pasingsingan. Tetapi Pasingsingan tidak akan gila. Malahan mungkin eyangnya itu sendiri atau Titis Anganten, atau Ki Ageng Pandan Alas. Sekarang, tanpa bantuan seorangpun Mahesa Jenar pasti akan binasa. Bukankah Arya Salaka tak banyak berarti tanpa Mahesa Jenar?
Oleh perhitungan itu Sawung Sariti menjadi tegang menunggu jawaban dari orang yang dijerumuskannya ke dalam kesulitan itu. Mahesa Jenar tidak dapat tepat menebak maksud anak itu, namun ia merasa bahwa ada sesuatu maksud terkandung dibalik kata-katanya. Meskipun demikian perlahan-lahan ia menjawab,
“Baiklah Angger, kalau Angger Sawung Sariti berpendapat demikian, serta Ki Ageng Sora Dipayana menyetujuinya, aku dan sahabatku dari Karang Tumaritis ini akan bersedia untuk membantu.”
Ki Ageng Sora Dipayana terkejut mendengar kesanggupan Mahesa Jenar itu. Karena itu ia segera memotong,
“Angger Mahesa Jenar, sebenarnya tidak perlu diartikan bahwa setiap orang harus melawan satu di antara mereka. Aku pernah memakai cara yang lain. Kelompok demi kelompok.”
Sebelum Ki Ageng meneruskan kata-katanya, Sawung Sariti telah menyela,
“Usaha itu ternyata gagal. Setiap kali, lima atau enam di dalam kelompok itu terbunuh.”
“Kalau demikian…” Mahesa Jenar menengahi,
“Biarlah aku berada dalam kelompok-kelompok itu. Demikian juga Kakang Putut Karang Jati ini. Biarlah ia berada pada kelompok yang lain.”

Ki Ageng Sora Dipayana tak dapat berbuat lebih baik lagi selain menyetujui terakhir Mahesa Jenar itu. Sawung Sariti menjadi agak kecewa karenanya, namun bagaimanapun juga ia mengharap Mahesa Jenar akan masuk ke dalam perangkapnya. Akhirnya, mereka masing-masing meninggalkan pertemuan itu kembali ke dalam lingkungannya. Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara ke halaman Banjar Desa, sedang Lembu Sora dan Sawung Sariti kembali ke dalam pasukannya yang payah. Di dalam kelompok yang kecil itu tinggallah Ki Ageng Sora Dipayana dan Wulungan. Yang akhirnya mereka mempergunakan sisa malam itu untuk beristirahat. Pagi-pagi benar, Ki Ageng Sora Dipayana telah bangun. Ia menunggu kalau ada tanda-tanda atau laporan bahwa orang-orang dari golongan hitam mulai bergerak. Tetapi ternyata bahwa perhitungannya benar. Hari itu mereka masih dapat beristirahat sehari penuh, sebelum pada keesokan harinya mereka harus bekerja mati-matian. Kesempatan hari itu dipergunakan untuk menyusun kembali pasukan Pamingit, serta menempatkan mereka ke dalam pondok-pondok di desa itu. Demikian juga laskar Banyubiru pun telah disediakan tempat-tempat untuk bernaung dari dinginnya embun malam. Pada malam harinya, keadaan menjadi bertambah tegang. Mereka harus beristirahat sebaik-baiknya, sebab mereka tahu bahwa besok mereka harus bertempur kembali. Yang paling tegang di antara mereka adalah Arya Salaka. Ia selalu teringat kepada ibunya. Kalau besok ia menerobos pertahanan golongan hitam, dan dapat mendesaknya, apakah yang akan dilakukan oleh golongan hitam itu terhadap ibunya? Tetapi ketika ia sedang berangan-angan di muka pondoknya, tiba-tiba muncullah dari kegelapan malam, seorang yang bertubuh kecil, berjalan seperti seorang perempuan mendekatinya.
Beberapa langkah dimukanya orang berhenti dan bertanya,
“Arya Salakakah ini?”
Arya Salaka tahu siapa yang datang. Karena itu ia berdiri dan menyambutnya,
“Ya, Eyang.”
Orang itu tertawa perlahan-lahan.
“Kau sedang bersedih?”
“Tidak Eyang,” sahut Arya tergagap.
“Jangan berdusta. Kau rindu pada ibumu?” tanya Titis Anganten pula. Arya Salaka tertegun. Orang tua itu dapat menebak perasaannya dengan tepat. Namun demikian ia agak malu juga untuk mengiyakan. Ketika Arya diam, bertanyalah Titis Anganten itu,
“Pamanmu ada…?”
“Ada, eyang. Apakah Eyang mau bertemu dengan Paman Mahesa Jenar?” tanya Arya pula.
“Tidak,” jawab orang tua itu sambil duduk di samping Arya.
“Aku hanya perlu kau. Ada sebuah berita untukmu.” Arya menjadi tertarik pada berita yang dibawa oleh Titis Anganten itu. “Berita pentingkah itu Eyang?” tanya Arya.
“Sangat penting bagimu, bagi ketentraman hatimu,” jawab Titis Anganten.
“Berita tentang ibumu.” Arya terlonjak.
“Ibu…?” Ia menegaskan.
“Ya.”
“Bagaimanakah dengan ibu?” Ia tidak sabar lagi.
“Duduklah Arya. Dengarlah baik-baik. Aku akan berceritera tentang ibumu,” kata Titis Anganten perlahan-lahan.
Arya duduk kembali. Ia menjadi sedemikian ingin segera mengetahui, berita apakah yang akan disampaikan kepadanya. 

TITIS ANGANTEN memulai,
“Ketika golongan hitam itu menyerbu Pamingit, Pamingit sedang kosong. Pamanmu Lembu Sora dan adikmu Sawung Sariti berada di Banyubiru. Mereka sedang bersiap-siap untuk menghadapi laskarmu. Nah, dengan mudahnya golongan hitam itu dapat masuk ke dalam kota. Hampir tanpa perlawanan. Semua laskar Pamingit yang ada lari cerai berai. Tak ada seorang pun yang ingat untuk menyelamatkan Nyai Lembu Sora dan ibumu. Untunglah bahwa aku sejak semula selalu melihat kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi. Aku melihat persiapan- persiapan yang dilakukan oleh golongan hitam. Sehingga dengan demikian aku sempat menyingkirkan bibi serta ibumu itu.”
“Jadi ibuku selamat?” tanya Arya.
“Ya. Ibumu selamat,” jawab Titis Anganten.
Tiba-tiba rongga dada Arya serasa tersumbat. Nafasnya menjadi sesak. Dan tidak setahunya ia berbisik,
“Tuhan Maha Besar.”
Kemudian Arya memutar duduknya dan bersujud kepada orang tua yang menyelamatkan ibunya itu sambil berkata,
“Tak dapat aku menyatakan betapa besar terima kasihku kepada Eyang Titis Anganten.”
Orang tua itu tertawa nyaring. Kemudian tanpa berkata sepatah katapun ia berdiri dan berjalan pergi.
“Eyang….” Arya mencoba memanggil.
Tetapi Titis Anganten tidak berhenti. Yang terdengar hanyalah derai tawanya. Lamat-lamat kemudian terdengar ia berkata,
“Aku sudah mengantuk. Besok aku akan turut bertempur dengan eyangmu.”

Kembali Arya tertegun diam. Ia tidak sempat bertanya di mana ibunya sekarang. Namun ia percaya bahwa Titis Anganten telah menempatkan ibunya itu di tempat yang aman. Dengan demikian hati Arya Salaka menjadi agak tenteram. Tidak perlu lagi ia mencemaskan nasib ibunya, meskipun seandainya orang-orang golongan hitam nanti menghancurlumatkan Pamingit. Ketika malam menjadi semakin dalam, Arya pun segera masuk ke dalam pondok yang disediakan untuknya. Dilihatnya gurunya sedang tidur dengan nyenyaknya di samping Kebo Kanigara. Di luar, beberapa orang masih duduk berjaga-jaga. Tetapi malam itu Arya dapat tidur dengan nyenyaknya. Ia tidak peduli lagi apa yang terjadi atas dirinya besok pagi. Namun ia malam itu bermimpi indah. Ia melihat ibunya segar bugar, tersenyum kepadanya sambil berkata,
“Arya, sambutlah dengan kedua tanganmu. Hari akan cerah.”
Arya tersenyum di dalam tidurnya. Pagi-pagi ia terbangun oleh kesibukan di halaman. Beberapa orang telah siap dengan senjata di tangan, meskipun beberapa orang masih enak-enak menikmati minum air sere yang hangat, dengan segumpal gula kelapa. Dilihatnya gurunya, Mahesa Jenar dengan Kebo Kanigara pun sedang minum dengan segarnya.
Cepat-cepat Arya mengambil air wudlu. Sesudah sembahyang Subuh, kemudian ia pun turut serta duduk di sekitar perapian sambil menghangatkan tubuhnya. Sebentar kemudian datanglah beberapa orang mengantar nasi hangat, dengan srundeng kelapa dan segumpal sambal wijen. Betapa nikmatnya mereka makan bersama sebelum mengadu nasib, berjuang di antara hidup dan mati. Nasi itu adalah mungkin sekali nasi yang terakhir yang dapat dinikmatinya.
“Kita berada di sayap kiri.”
Terdengar gurunya bergumam. Arya mengangguk sambil menelan segumpal nasi lewat lehernya.
Setelah mereka mengaso sejenak, terdengarlah tengara dibunyikan. Laskar Banyubiru itupun segera bersiap, dan berbaris menuju ke sawah di depan desa Pangrantunan. Mereka, dengan tidak menghiraukan lagi tanaman-tanaman yang sedang tumbuh, segera merapatkan diri dalam barisan.
Beberapa orang pemimpin dari laskar masing-masing segera menghadap Ki Ageng Sora Dipayana untuk mendapat beberapa cara menghadapinya. Apabila mungkin, mereka harus memilih lawan. Jangan sampai ada korban sia-sia. Ketika sangkalala berbunyi, barisan itu mulai bergerak. Dalam keremangan pagi, tampaklah barisan itu seperti seekor naga raksasa yang berenang di dalam air yang keruh. Di depan, berjalan laskar Pamingit, di bawah pimpinan Lembu Sora sendiri, dibantu oleh Sawung Sariti, Wulungan dan Galunggung. Sedangkan di belakang, berjalan laskar Banyubiru, di bawah pimpinan Arya Salaka, dibantu oleh Bantaran, Penjawi, Jaladri dan Sendang Papat. Di tangan Arya Salaka tergenggam erat-erat pusaka Banyubiru, Kyai Bancak. 

BEBERAPA orang pengintai telah dikirim lebih dahulu, untuk mengetahui di mana kira-kira orang-orang dari golongan hitam itu mempersiapkan diri. Biasanya mereka sama sekali tidak membuat garis-garis pertahanan yang tegas. Mereka bertempur di mana saja mereka ingin dan kapan saja mereka sempat. Tetapi jelas, bahwa kali ini mereka berusaha sekuat-kuatnya untuk mempertahankan Pamingit. Bahkan mereka merasa bahwa lawan mereka telah separo hancur, sehingga untuk menumpasnya tidaklah terlalu sulit. Tetapi agaknya pengawas merekapun telah mengetahui kedatangan laskar Banyubiru, sehingga dengan demikian mereka menjadi heran, apakah agaknya Arya Salaka telah menjadi gila. Apalagi kemudian, kedua laskar itu berada di Pangrantunan bersama-sama. Tidak seperti yang mereka harapkan, bertempur satu sama lain.
Dengan bangga atas kekuatan sendiri, Sima Rodra berkata,
“Kalau di dalam laskar Banyubiru itu ada Mahesa Jenar, akulah lawannya. Sebab ia telah membunuh menantuku.”
Beberapa lama kemudian pengintai dari Pamingit itupun melaporkan kepada Ki Ageng Sora Dipayana, bahwa orang-orang golongan hitam itu tidak bergerak dari Kepandak. Namun orang-orang mereka yang di Sumber Panas pun telah ditariknya. Mereka memusatkan kekuatan di satu tempat, untuk menghadapi laskar Pamingit dan Banyubiru. Ketika mereka telah berhadap-hadapan dengan desa Kepandak, Ki Ageng Sora Dipayanapun menghentikan laskarnya. Kemudian diperintahkannya laskar Pamingit dan Banyubiru membentuk gelar perang Sapit Urang. Laskar Pamingit dan Laskar Banyubiru itu pun segera bergerak dalam garis yang menebar, laskar Pamingit di sayap kanan, laskar Banyubiru di sayap kiri, yang masing-masing merupakan sapit dari seekor udang raksasa yang siap menerkam lawannya.
Di pusat gelar yang justru tidak terlalu banyak, tampaklah beberapa bagian laskar Pamingit dan dua orang yang berdiri lepas dari gelar, masing-masing Ki Ageng Sora Dipayana dan Titis Anganten. Sedang Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara berada di muka laskar Banyubiru, sapit sebelah kiri, di bawah pimpinan Arya Salaka. Di hadapan mereka, berjajar rapat di tepi desa Kepandak, orang-orang dari golongan hitam. Merekapun agaknya telah mengerahkan segenap laskar mereka. Mereka sama sekali tidak membentuk gelar apapun, karena itu, mereka dapat menyerang ke mana saja mereka inginkan. Tetapi ketika orang-orang dari golongan hitam itu melihat gelar lawannya, mau tidak mau merekapun harus menyesuaikan diri mereka. Melawan bagian-bagian yang terberat dengan orang-orang yang terkuat.

Ketika di timur cahaya matahari sudah semakin terang, sebelum bola api itu muncul di wajah-wajah langit, kedua laskar itupun telah berhadap-hadapan dalam kesiagaan tempur. Jarak mereka sudah tidak begitu jauh lagi, sehingga mereka dapat melihat dengan jelas siapakah yang berada di pihak masing-masing. Di muka barisan laskar golongan hitam itu berdiri beberapa orang pemimpin mereka, yang dengan tertawa-tawa menanti kedatangan lawan. Mereka itu adalah Pasingsingan dengan jubah abu-abunya, Sima Rodra yang kali ini lengkap dengan kulit harimau hitamnya, namun ia tidak mengenakan topengnya. Nagapasa, Naga dari Nusakambangan, Sura Sarunggi dari Rawa Pening yang menyimpan dendam tiada taranya atas kematian muridnya, sepasang Uling dari Rawa Pening. Dan hantu dari Gunung Cerme, Bugel Kaliki.
“Ada laskar Banyubiru serta?” tanya Bugel Kaliki kepada Pasingsingan.
“Ya, tetapi tak seberapa. Mereka tak akan berarti apa-apa menghadapi laskar kita,” jawab Pasingsingan.
“Namun yang harus mendapat perhatian adalah Mahesa Jenar.”
Sima Rodra tertawa.
“Biarlah aku selesaikan,” katanya.
Pasingsingan mengangguk-anggukkan kepalanya, namun ia ragu. Sima Rodra belum tahu, sampai di mana tingkat kemajuan yang telah dicapai oleh Mahesa Jenar. Namun demikian ia berdiam diri. Mudah-mudahan Sima Rodra benar-benar dapat menandingi.
“Sekarang mereka mendapat bantuan anak gila dari Banyubiru itu. Sungguh suatu perbuatan yang tak dapat aku mengerti. Kenapa Arya Salaka tidak saja merebut tempatnya kembali. Kenapa justru ia membantu Pamingit?” tanya Sura Sarunggi.
“Ia benar-benar gila,” jawab Pasingsingan.
“Sedang perhitungan kita memang terlalu cepat satu hari saja. Kalau kita tunda serangan kita dengan satu hari, keadaannya akan lain. Laskar Banyubiru dan Pamingit pasti sudah bertempur. Tetapi bagaimanapun juga, tak ada bedanya. Kita pasti akan melawan kedua-duanya. Sekarang atau besok. Bahkan kehadiran laskar Banyubiru itu akan mempercepat penyelesaian.”
Nagapasa mengangguk-angguk sambil berdesis. tepat seperti desis seekor naga.
“Siapakah yang harus dilawan dari mereka?”
“Seperti kemarin dulu,” jawab Pasingsingan.
“Sora Dipayana, Titis Anganten. Dan sekarang tambah satu lagi, Mahesa Jenar. Tetapi agaknya Sima Rodra ingin menyelesaikan.”
Tiba-tiba kening mereka berkerut ketika mereka melihat seseorang yang dengan serta merta, menerobos masuk dalam laskar Pamingit.
“He…!” seru Bugel Kaliki,
“Orang gila itu datang pula.”
Mereka menjadi terdiam. Namun kehadiran satu orang di dalam barisan Pamingit itu benar-benar diperhitungkan. 

DEMIKIANLAH, Ki Ageng Sora Dipayana sendiri terkejut atas kehadiran seorang sahabat lamanya. Namun terbersitlah kegembiraan di hatinya. Dengan kehadiran orang ini, sedikit banyak akan dapat mengubah keseimbangan laskar di kedua belah pihak. Karena itu dengan tersenyum ia menyambut kedatangan orang itu dengan penuh gairah.
“Selamat datang Danyang Gunung Kidul.”
“Eh, aku hampir terlambat,” jawabnya.
“Agaknya orang Banyuwangi itu telah ada pula di sini.”
Titis Anganten tertawa.
“Kau terlalu malas,” jawabnya.
“Aku, yang berjarak ribuan tonggak telah datang lebih dahulu.”
Danyang Gunungkidul itu, Ki Ageng Pandan Alas, tertawa. Sahutnya,
“Kerjamu tidak ada lain kecuali berjalan dari satu tempat ke tempat lain. Sedang aku masih harus menunggu jagung tua.”
“Ah, orang yang hidupnya terikat pada tanaman jagung. Kalau dunia ini akan meledak, kau masih saja menunggui jagungmu?” sela Ki Ageng Sora Dipayana. Ki Ageng Pandan Alas tertawa. Namun ia sudah berjalan pula di samping Sora Dipayana.
“Nah, pilihlah aku lawan,” katanya.
“Terserah kepadamu,” jawab Sora Dipayana.
“Yang bongkok, yang berkulit macan, yang berkepala besar atau yang mana?”
“Mana saja yang terdekat,” jawab Pandan Alas seenaknya. Tetapi meskipun demikian, dalam waktu yang cepat ia telah berhasil menilai lawan-lawannya. Ia benar-benar terkejut ketika ia melihat Mahesa Jenar berdiri di sapit sebelah kiri.

Namun ia agak tenteram setelah dilihatnya Putut Karang Jati yang bernama pula Kebo Kanigara. Ia telah mengenalnya sebagai putra Ki Ageng Pengging Sepuh di bukit Karang Tumaritis. Ia berdoa di dalam hatinya, mudah-mudahan kedua orang itu dapat menempatkan diri sebaik-baiknya, sehingga kedua-duanya tak menemukan cidera. Juga ia berdoa mudah-mudahan Arya Salaka dapat membawa dirinya di antara laskarnya. Sesaat kemudian, kedua laskar itu telah mencapai jarak yang menentukan. Sebelum laskar Pamingit mulai, terdengarlah orang-orang laskar itu berteriak nyaring, sambil berloncatan menyerbu. Sementara itu Ki Ageng Lembu Sora segera menggerakkan tangannya yang telah menggenggam pedangnya yang besar sekali, memberi aba-aba kepada laskarnya untuk bertempur. Tanda itu segera diteruskan oleh Sawung Sariti, Wulungan dan Galunggung. Merekapun memutar pedang masing-masing di udara, sebagai perintah untuk bertempur. Di sayap kiri, tampaklah berkilauan tombak pusaka di tangan Arya Salaka. Dengan tekad yang bulat, ia telah menyerahkan dirinya untuk melakukan pengabdian. Dengan doa di dalam hati,
“Tuhan akan menyertai kami dan memberkahi pengabdian kami.”
Ketika ia mengangkat tombaknya, berkilat-kilat pulalah pedang Bantaran, Penjawi dan tombak bermata dua ditangan Jaladri. Merekapun meneruskan aba-aba Arya Salaka kepada laskar mereka, yang bergerak sebagai sapit kiri dari gelar Sapit Urang. Sesaat Arya Salaka melihat Bantaran beserta laskarnya mendesak maju. Mereka melingkar untuk kemudian menyerang dari lambung. Tetapi orang-orang dari golongan hitam itu tidak mempergunakan gelar tertentu, sehingga merekapun menghambur menyerang laskar Bantaran dari arah yang mereka sukai. Meskipun demikian, Bantaran tidak menjadi bingung. Ia tetap bertempur dalam gelar kiri. Laskarnya yang bersenjata pedang dengan perisai di tangan kiri, bertempur seperti banteng-banteng yang tangguh. Demikian juga laskar Jaladri di bagian tengah sapit kiri. Laskar yang sebagian besar bersenjata tombak inipun bertempur dengan semangat yang menyala-nyala. Mereka sadar, betapa orang-orang dari golongan hitam itu harus dimusnahkan. Sebab satu saja mereka tinggal, akan dapat merupakan benih buat masa datang. Sedang laskar Penjawi berada dekat dengan induk pimpinan. Seperti juga Penjawi sendiri, laskarnya bertempur tanpa mengenal takut, meskipun mereka sadar bahwa orang-orang dari golongan hitam itu dapat berbuat hal-hal di luar batas-batas perikemanusiaan. Namun justru karena itulah maka mereka harus dimusnahkan.

Ki Ageng Sora Dipayana sendiri, masih berdiri, di antara kedua pihak yang sudah terlibat dalam pertempuran itu. Ia melihat keadaan di sekelilingnya, kemudian pandangannya menebar ke segenap penjuru pertempuran. Di sebelah kirinya, tidak terlalu jauh, ia melihat Ki Ageng Pandan Alas menyusup ke dalam daerah pertempuran untuk mendekati Pasingsingan. Agaknya ia benar-benar ingin tahu, apakah Pasingsingan ini benar-benar Pasingsingan sahabatnya dahulu. Ia masih ingat, di alun-alun Banyubiru, ia pernah bertempur dengan Pasingsingan itu. Meskipun Pasingsingan itu mempunyai pusaka-pusaka dengan ciri-ciri khususnya, namun ia tetap meragukannya. Supaya kedatangannya di Pangrantunan ini ada juga hasilnya, apabila ia benar-benar dapat mengetahui, siapakah yang bersembunyi di balik topeng yang jelek itu. Pandan Alas menyesal, bahwa ketika ia dengan tergesa-gesa berangkat dari Gunungkidul, ketika didengarnya kabar, tentang kerusuhan di Banyubiru, yang ternyata seterusnya berkembang menjadi kerusuhan-kerusuhan di Pamingit dan Pangrantunan, tidak diajak serta muridnya, Sarayuda, yang setidak-tidaknya akan dapat membantu memperingan pekerjaan laskar Pamingit dan Banyubiru. Tetapi yang didengarnya semula adalah persoalan yang lain. Persoalan antara Banyubiru dan Pamingit.
Di arah yang lain, ia melihat Titis Anganten, berdiam diri sambil tersenyum-senyum. Orang itupun agaknya sedang menikmati kesibukan pertempuran itu. Ia menunggu saja, siapakah yang akan datang kepadanya. Hanya sekali-kali ia harus bergerak menghindari serangan dari laskar golongan hitam, yang menyangka bahwa Titis Anganten itu dapat dikenalinya dengan mudah.

PARA penyerang itu menjadi kecewa setelah mereka sadar, bahwa yang berdiri di hadapannya adalah Titis Anganten. Karena itu segera mereka mencari sasaran lain, dan menyerahkan Titis Anganten itu kepada para pemimpin mereka. Namun sesaat kemudian, ia melihat Titis Anganten itu tertawa, sambil meloncat maju menyongsong seorang yang bertubuh tegap tinggi dan berkepala besar. Sura Sarunggi dari Rawa Pening.
Sesaat kemudian Ki Ageng Sora Dipayana melihat Bugel Kaliki, Si Bongkok dari Gunung Cerme, datang ke arahnya. Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum. Agaknya ia harus bertempur melawan hantu bongkok itu. Ia menarik nafas dalam-dalam. Ia kenal benar bahwa Si Bongkok itu seperti bertangan bara. Sentuhan-sentuhan atas tubuh lawannya oleh tangan Bugel Kaliki itu, kulitnya pasti akan terkelupas. Namun Bugel Kaliki itupun sadar. Sentuhan tangan Ki Ageng Sora Dipayana dapat merontokkan isi dada, dan dapat menghentikan peredaran darah. Bagian dari aji Lebur Sakethi sungguh tak dapat diabaikan. Apalagi Lebur Saketi dalam ujud kasarnya. Akan luluhlah setiap sasaran yang dapat dikenainya. Sebelum Ki Ageng Sora Dipayana menyambut lawannya, ia mencoba untuk melihat sapit sebelah kiri. Dadanya berdesir ketika ia melihat Sima Rodra mengaum dengan dahsyatnya menerkam Mahesa Jenar. Apalagi ketika melihat Mahesa Jenar menyambutnya seorang diri, tidak dengan perlindungan laskarnya sama sekali.

Namun ia tidak sempat berbuat sesuatu, selain berdoa, mudah-mudahan Mahesa Jenar segera menempatkan dirinya dalam lingkaran laskarnya. Ia juga cemas akan nasib sahabat Mahesa Jenar yang bernama Putut Karang Jati. Bahkan ia dengan sengaja menempatkan diri di garis lintas Naga dari Nusakambangan. Nagapasa itu benar-benar orang yang dapat berbuat seperti ular naga. Hampir seluruh tubuhnya dapat dipergunakannya untuk bertempur. Tetapi sesaat kemudian, Bugel Kaliki telah berdiri di hadapannya. Sambil tertawa kecut hantu itu berkata,
“Selamat pagi Ki Ageng Sora Dipayana yang sakti. Jangan kau perhatikan nasib orangmu yang bernama Mahesa Jenar itu. Biarlah ia lumat ditangan Harimau Tua dari Lodaya.”
Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan keningnya. Ternyata Bugel Kaliki memperhatikannya, dan mencoba mempengaruhi perhatiannya, agar ia tidak dapat memusatkan pikirannya untuk melawan Bugel Kaliki itu. Karena itu ia tertawa sambil menjawab,
“Ia bukan sanak, bukan kadang. Biarlah ia berusaha untuk menjaga dirinya sendiri.”
Mata Si Bongkok itu tiba-tiba menjadi sipit. Meskipun demikian ia berkata,
“Bagus. Agaknya kau tidak peduli pula atas anakmu yang bernama Lembu Sora. Dapatkah ia melawan Jaka Soka? Dan cucumu Sawung Sariti yang harus bertahan melawan Wadas Gunung, murid Pasingsingan? Sedang cucumu yang satu lagi sedang dilibat oleh aji Alas kobar Lawa Ijo dari Mentaok?”

Ki Ageng Sora Dipayana sekali lagi memandang berkeliling. Daerah pertempuran itu sudah semakin ribut. Masing-masing berjuang dengan segenap tenaga yang ada. Terhadap Lembu Sora, Ki Ageng Sora Dipayana tak perlu cemas. Ia tidak perlu khawatir bahwa Jaka Sora akan dapat mengalahkan anaknya dengan mudah. Apalagi Lembu Sora berada di dalam barisan Pamingit yang penuh, setelah laskar Banyubiru datang membantu. Juga Sawung Sariti tak perlu dirisaukan. Wadas Gunung adalah murid Pasingsingan yang tidak banyak mendapat perhatian dari gurunya. Sebab segenap harapan ditumpahkan kepada Lawa Ijo. Terhadap Arya Salaka, ia perlu menimbang-nimbang. Ia tahu bahwa Arya Salaka setidak-tidaknya memiliki ketangkasan dan ketangguhan sama dengan Sawung Sariti. Namun kali ini ia harus berhadapan dengan Lawa Ijo, yang memiliki kesaktian lebih dahsyat dari Wadas Gunung. Tanpa dikehendakinya sendiri, Ki Ageng Sora Dipayana memperhatikan sapit sebelah kiri dari gelar Sapit Urang-nya. Ia bangga atas kesempurnaan gelar itu. Ia melihat di ujung laskar Banyubiru, suatu lingkaran yang menganga dan menyerang orang-orang Pamingit dengan dahsyatnya. Namun sayap kiri itu baginya sangat mencemaskan. Di sayap itu berkumpul tokoh-tokoh Nagapasa dan Sima Rodra bersama-sama dengan Lawa Ijo. Namun kali ini ia tidak banyak mempunyai waktu, sebab sekali lagi ia mendengar Bugel Kaliki mendengus. “Ha, kau ingin pergi ke sayap kirimu yang mulai rusak…?”
Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum,
“Aku sedang menilai pertempuran. Agaknya keseimbangan dari kedua laskar itu telah berubah sama sekali. Apa katamu tentang laskar Banyubiru yang seperti taufan melanda laskarmu?”
Tiba-tiba Bugel Kaliki itu tertawa terbahak-bahak, jawabnya,
“Buat apa aku ributkan laskar yang sedang bertempur itu? Aku datang kemari seorang diri. Tak peduli apakah laskarmu atau laskar kawan-kawanku yang akan binasa.”
“Dan kau sendiri…?” tanya Ki Ageng Sora Dipayana.
“Aku sendiri akan dapat menjaga diriku. Aku dapat berbuat sekehendakku,” sahut Bugel Kaliki.
“Lalu sekarang apa yang kau kehendaki?” tanya Sora Dipayana.
“Nagasasra dan Sabuk Inten. Berikan itu kepadaku. Nanti aku akan membantu laskarmu,” jawab hantu bongkok itu.
“Buat apa?” tanya Ki Ageng.
Bugel Kaliki tertawa. Jawabnya,
“Buat apa kau sembunyikan keris itu?”

Ki Ageng Sora Dipayana sama sekali tidak perlu memberikan keterangan, sebab ia yakin bahwa kata-katanya akan dipercaya. Karena itu ia menjawab seenaknya,
“Mungkin suatu waktu perlu untuk melawan serangan seperti yang terjadi kali ini.”
Bugel Kaliki tiba-tiba menjadi tegang.
“Kalau begitu kedua keris itu benar-benar masih kau simpan?” “Apa kepentinganmu?” sahut Sora Dipayana.
“Aku akan mencoba mempertahankan diri. Meskipun aku sudah tua, namun mati karena tanganmu, sungguh tak menyenangkan,” sahut Ki Ageng Sora Dipayana. Bugel Kaliki tak mau berbicara lagi.
Setelah memandangi pertempuran itu sekali lagi, tiba-tiba ia meloncat sambil berteriak tinggi. Ki Ageng Sora Dipayana pun telah bersedia pula. Karena itu segera ia menghindar untuk segera meloncat dengan tangkasnya menyerang kembali. Demikianlah, kedua orang itu kemudian bertempur dengan dahsyatnya di antara hiruk pikuk pertempuran. Ki Ageng Sora Dipayana benar-benar harus memusatkan segenap perhatiannya untuk melawan hantu bongkok dari Gunung Cerme itu. Karena itu, ia tidak mempunyai kesempatan mengamati pasukannya. Meskipun demikian, ia merasa bahkan laskar Pamingit dan Banyubiru bersama-sama, dapat mengimbangi laskar lawan, bahkan sedikit demi sedikit terasa, garis pertempuran itu bergeser maju. Bugel Kaliki itu, meskipun punggungnya melengkung karena bongkoknya, namun gerakannya sangat berbahaya. Ia dapat meloncat-loncat dengan lincahnya, menerkam dan menghantam. Bahkan kakinya pun tak kalah tangkasnya. Ia dapat berloncatan seperti kijang, namun sekali-kali menerkam seperti serigala. Tetapi Ki Ageng Sora Dipayana adalah seorang yang telah cukup makan pahit-getirnya penghidupan. Dengan tak kalah lincahnya, ia meloncat menghindari setiap serangan yang kemudian dengan lincahnya pula ia menyerang lawannya kembali. Kedua tangannya bergerak dengan cepatnya, seperti sayap seekor burung branjangan. Dengan dahsyatnya kedua tangan orang tua itu mematuk-matuk, ke pusat-pusat simpul syaraf.

Inilah yang mengerikan. Sekali tubuh lawannya tersentuh jarinya, akan bekulah seluruh daging-daging syarafnya. Dan ini pun dimaklumi oleh lawannya. Sehingga Bugel Kaliki pun berjuang keras untuk melindungi setiap kemungkinan itu. Ia percaya kepada ketangkasannya dan kekuatannya. Kepada kesaktiannya, yang dapat menjadikan tangannya sepanas bara. Ia menamai kesaktian itu Candra Mawa, di samping ilmunya yang tak kalah dahsyatnya, yang dengan bangga disebutnya Dasa Prahara. Dengan demikian maka pertempuran itu merupakan pertempuran yang dahsyat antara dua orang perkasa. Sehingga setiap orang di sekitarnya terpaksa bergesa-gesa menjauhkan diri.
Untuk sesaat pertempuran antara laskar Pamingit dan laskar golongan hitam, di sekitar kedua tokoh tua itu terhenti. Dengan keheran-heranan mereka memandang perkelahian yang berubah seperti lesus yang berputar-putar mengerikan. Tetapi ketika mereka tersadar, segera mereka terlibat kembali dalam pertempuran yang sengit. Matahari semakin lama menjadi semakin tinggi beredar di langit yang bersih.
Begitu cepat, seakan-akan begitu tergesa-gesa untuk dapat melihat medan pertempuran itu dengan jelas. Untuk kesekian kalinya bola api yang terapung itu melihat betapa manusia bertengkar dan bertempur di antara mereka. Sudah berapa banyak darah yang mengalir dari luka-luka di tubuh mereka, telah berapa banyak air mata yang mengalir karenanya. Namun manusia itu tidak jemu-jemunya, saling membunuh karena mereka bertentangan kepentingan. Terdoronglah kepentingan mereka, golongan mereka, diri mereka, maka kadang-kadang mereka lupa, betapa, manusia tercipta karena cinta. Larutlah cinta itu seperti kabut yang dilanda angin, apabila mereka dihadapkan pada pemanjaan diri. Pemanjaan nafsu jasmaniah. Dan lupalah mereka akan hari-hari yang dijanjikan. Hari pengadilan di ujung zaman. Namun Tuhan Maha Tahu. Didengar-Nya apa yang terlontar dari bibir kita, apa yang terucapkan oleh mulut kita. Bahkan tahulah Tuhan apa yang terukir di dalam hati kita. Sehingga dengan demikian kebaktian bukanlah janji, namun sebenarnya kebaktian adalah tingkah laku dan pengamalan. Semakin tinggi matahari memanjat langit, pertempuran di lereng Gunung Merbabu itu menjadi semakin riuh. Berdentanglah bunyi senjata beradu, dibarengi teriakan seram dan pekik ngeri kesakitan. 

DI pangkal sayap kanan, Titis Anganten sedang sibuk melayani Sura Sarunggi yang bertubuh tegap kekar dan bekepala besar. Dengan gerak yang kasar penuh kebencian, Sura Sarunggi menyerang lawannya tanpa pengendalian diri. Ia ingin segera melihat Titis Anganten menjadi lumat. Titis Anganten yang bertubuh kecil dan sama sekali tak segagah lawannya itu dapat bertempur dengan sempurna. Gerak-geraknya yang tampak lemah dan tak bertenaga, namun seakan-akan memiliki pengaruh yang tak dapat diduga akibatnya. Titis Anganten benar-benar berkelahi seperti perempuan. Kalau saja tangannya menyentuh lawannya, maka ia segera mencubitnya. Namun cubitan itu benar-benar luar biasa, sehebat sengatan seribu lebah bersama-sama. Sedang lawannya adalah seorang yang bertenaga raksasa. Sambaran tangannya menimbulkan desir angin dingin yang mengerikan. Kalau suatu kali ia terpaksa membuat benturan kekuatan, maka mereka bersama-sama akan tergetar surut. Di bagian lain, dengan penuh kemarahan dalam hati, Pasingsingan berhadapan dengan Ki Ageng Pandan Alas. Ketika Pasingsingan memandangnya seperti memandang hantu, berkatalah Ki Ageng Pandan Alas,
“Apakah aku aneh?”
Pasingsingan menggeram, jawabnya,
“Kenapa kau hadir juga di sini?”
“Apa salahnya? Sahabat-sahabatku semua berada di sini. Ki Ageng Sora Dipayana, Titis Anganten dan kau Pasingsingan. Bukankah sudah sebaiknya kalau aku datang pula?” sahut Pandan Alas.
Sekali lagi Pasingsingan menggeram.
“Jangan banyak ribut. Jangan bicara lagi tentang sahabat, tentang masa lampau dan segala macam kenangan tak berarti. Yang sebaiknya segera kau lakukan adalah meninggalkan daerah ini.”
Ki Ageng Pandan Alas tertawa.
“Kenapa aku harus pergi. Atas hak yang sama, maka seperti kau aku hadir dalam pertemuan ini.”
“Aku sebenarnya menyayangkan nyawamu. Jangan kau mati tanpa arti. Sebab persoalan kami bukanlah persoalan yang dapat kau campuri,” sahut Pasingsingan.
“Kenapa tidak? Daerah ini daerah Pangrantunan. Ki Ageng Sora Dipayana gembira melihat kehadiranku. Kenapa kau tidak?” kata Pandan Alas.
Pasingsingan menggeram kembali. Suaranya melingkar-lingkar di dalam perutnya. Sekali-kali melayangkan pandangannya ke seluruh daerah pertempuran. Ia melihat Bugel Kaliki berhadapan dengan Ki Ageng Sora Dipayana sendiri, sedang Sura Sarunggi bertempur melawan Titis Anganten.

Di ujung lain ia melihat Mahesa Jenar bertempur melawan Sima Rodra yang menyimpan dendam di dadanya. Pasingsingan mengerutkan keningnya. Ia tidak tahu, bagaimana mungkin Mahesa Jenar dapat melawan aji Alas Kobar beberapa waktu yang lampau didekat Candi Gedong Sanga. Malaekat manakah yang telah memberinya kesaktian sedemikian tiba-tiba? Sedang di bagian lain, Pasingsingan melihat kawan Mahesa Jenar bertempur melawan Nagapasa. Ia mengharap Nagapasa segera dapat menyelesaikan pekerjaannya.


<<< Bagian 073                                                                                              Bagian 075 >>>

No comments:

Post a Comment