Bagian 013


ORANG TUA itu mengangguk-angguk kecil. Cangkulnya lalu diletakkannya. Katanya kemudian,
“Baiklah Anakmas, kalau saja aku mengetahui, pastilah aku akan menjawabnya. Banyakkah keterangan-keterangan yang Anakmas perlukan?”
“Tidak, Bapak… hanya sekedar sebagai petunjuk jalan,” jawab Mahesa Jenar.
“Keterangan mengenai apakah itu?” tanya orang tua itu.
“Bapak…” sambung Mahesa Jenar,
“Apakah Bapak mengetahui mengenai panji-panji yang terpancang di tepi desa itu?”
Mendengar pertanyaan Mahesa Jenar itu, tiba-tiba wajahnya berubah. Tampaklah kecemasan membayang di wajahnya.
“Keterangan mengenai bendera itu agak panjang Anakmas. Kalau Anakmas sudi, marilah mampir ke pondokku sebentar. Barangkali aku dapat menyuguhkan sesuatu, walaupun hanya air kelapa sebagai penawar haus. Serta barangkali sedikit keterangan mengenai panji-panji merah itu.”
Mahesa Jenar sulit untuk menolak ajakan orang tua yang nampaknya sangat terbuka hatinya. Ditambah lagi dengan keinginannya mendengar keterangan-keterangan tentang panji-panji yang bergambar harimau itu. Karena itu tidak ada jalan lain kecuali dengan ucapan terima kasih ia menerima ajakannya.

Ternyata rumah orang tua itu tidaklah begitu jauh. Hanya berjarak beberapa tonggak saja dari sawahnya yang tampaknya tidak begitu subur. Rumahnya tidak lebih dari sebuah gubug yang sudah agak miring, meskipun tampaknya masih agak baru, serta beratapkan daun ilalang. Dengan ramah pula dipersilahkan Mahesa Jenar masuk serta duduk di atas balai-balai bambu satu- satunya, di samping sebuah paga dan tlundhak tempat lampu.
“Duduklah Anakmas, aku ambilkan untuk Anakmas buah kelapa muda,” kata orang itu.
“Terima kasih, Bapak. Aku senang sekali mendapat sebuah kelapa muda. Tetapi biarlah aku sendiri memanjatnya. Apakah Bapak yang sudah setua ini masih dapat memanjat pohon kelapa?” jawab Mahesa Jenar.
Orang itu tersenyum, lalu jawabnya,
“Meskipun aku sudah tua, tetapi karena tak ada orang lain di dalam rumah ini, jadi aku masih harus mengerjakan apa-apa sendiri. Juga memanjat kelapa. Malahan tidak saja mengambil buahnya, bahkan aku juga nderes beberapa pohon.”
“Bapak masih nderes juga? — tanya Mahesa Jenar keheranan.

Orang tua itu mengangguk. Dan karena itu Mahesa Jenar terpaksa percaya bahwa orang tua itu masih mampu memanjat pohon kelapa. Karena itu ia tidak lagi mencoba menghalangi orang itu memanjat pohon kelapa. Sejenak kemudian orang itu sudah kembali masuk rumahnya, dengan membawa dua buah kelapa muda yang sudah diparas serta dilubangi, langsung disuguhkan kepada Mahesa Jenar. Mahesa Jenar yang baru saja berjalan di bawah terik matahari, menerima kelapa muda itu dengan gembira serta berterima kasih, sehingga dengan sekali minum habislah isi dari sebuah kelapa muda.
Maka setelah Mahesa Jenar berisitirahat sejenak, mulailah ia menanyakan kembali tentang panji-panji merah bergambar harimau itu.
“Panji-panji itu adalah panji-panji dari sebuah gerombolan yang dikepalai oleh suami-istri yang menamakan dirinya Sima Rodra.” Orangtua itu mulai bercerita.
“Desa-desa yang diberinya panji-panji semacam itu, adalah pertanda bahwa desa itu telah menjadi daerah yang setiap bulan harus menyediakan pajak bahan makanan untuk gerombolan itu. Demikian juga daerah ini, yang baru menjadi daerah perbekalan Sima Rodra sejak dua bulan yang lalu. Setiap bulan, mereka datang untuk memasuki setiap rumah yang ada”.
Mahesa Jenar mendengarkan cerita orang tua itu dengan penuh keheranan. Sampai sekian jauh tindakan Sima Rodra di daerah itu tanpa mendapat gangguan apapun.
“Bapak… apakah Sima Rodra menentukan apakah yang harus diserahkan oleh masing-masing kepadanya?” Mahesa Jenar akhirnya bertanya kepada orangtua itu.
“Tidak. Mereka tidak menentukan bahan apa yang harus diserahkan, tetapi asal saja mereka menyediakan. Mungkin beras, kelapa, jagung dan sebagainya,” jawab orang itu.
“Jadi, tidakkah penduduk di daerah ini mendapat perlindungan dari siapapun?” tanya Mahesa Jenar selanjutnya.

Orang tua itu menghela nafas dalam-dalam. Wajahnya yang sudah berkerut-kerut karena garis-garis umur itu, tampak semakin berkerut.
“Anakmas, benar apa yang Anakmas katakan,” jawab orang itu. Memang, penduduk di daerah ini seolah-olah tidak mendapat suatu perlindungan dari siapapun. Sebab daerah ini adalah daerah perdikan, yang sebenarnya segala sesuatu, seluk-beluk pemerintahan dan keamanan serta kesejahteraan rakyatnya telah bulat-bulat diserahkan kepada daerah ini sendiri. Tetapi pimpinan daerah perdikan yang sekarang ini rupanya tidak begitu menghiraukan keadaan rakyatnya”.
“Bukankah daerah ini mula-mula dipimpin oleh seorang sakti serta bijaksana yang bernama Ki Ageng Sora Dipayana?” sela Mahesa Jenar.
“Ya,” jawab orang tua itu.
“Tetapi Ki Ageng itu telah lama mengundurkan diri dari pemerintahan. Daerah Pangrantunan ini sepeninggalnya dibagi menjadi dua bagian, dan masing-masing diserahkan kepada dua orang putranya. Maksudnya jelas, supaya tidak ada rebutan diantara mereka. Tetapi akibatnya adalah seperti sekarang ini. Daerah Utara yang dipimpin oleh Ki Ageng Gajah Sora, yang berkedudukan di Banyu Biru mengalami kemajuan yang pesat. Tetapi daerah ini, yang dipimpin oleh adiknya, Ki Ageng Lembu Sora, dan berkedudukan di Pamingit, mengalami kemunduran dalam hal kesejahteraan rakyatnya. Pangrantunan, yang pernah menjadi pusat pemerintahan, sekarang tidak lebih dari sebuah desa kecil yang terpencil dilambung Gunung Merbabu ini,” jelas orangtua itu, melanjutkan ceritanya.
Tampaklah wajah orang tua itu semakin bersedih. Rupanya ia sedang mengenang masa jaya dari desanya ini.
“Bapak… apakah Bapak mengalami masa-masa pemerintahan Ki Ageng Sora Dipayana?” tanya Mahesa Jenar kemudian.

ORANG itu tampak ragu-ragu sebentar. Lalu akhirnya ia menggelengkan kepalanya.
“Aku di sini adalah orang baru. Tetapi sebelum aku tinggal di tempat ini aku sudah banyak mendengar ceritera tentang Ki Ageng Sora Dipayana,” katanya.
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Jadi jelaslah bahwa rabaannya mengenai kemunduran daerah ini adalah benar. Tetapi disamping itu ia mempunyai kesan yang aneh terhadap orang tua itu. Menilik caranya bicara, pastilah ia bukan orang biasa seperti yang tampak pada tata lahirnya, yang tidak lebih dari seorang petani miskin.
“Anakmas…” orangtua itu melanjutkan,
“pada hari ini, kebetulan adalah hari pungutan pajak. Karena itu, tak seorang pun yang meninggalkan rumahnya. Mereka menanti dengan setia, kedatangan para pemungut pajak. Dan karena itu pulalah maka tadi tak seorang pun yang Anakmas jumpai di sawah, kecuali aku.”
“Kenapa Bapak tidak berbuat seperti orang lain?” desak Mahesa Jenar. Orang itu menggelengkan kepala.
“Aku tak mau,” jawabnya.
Belum lagi mereka habis bercakap-cakap, tiba-tiba terdengarlah derap beberapa ekor kuda. Orang tua itu tampak agak terkejut.
“Anakmas, itulah mereka datang. Pergilah ke belakang rumah ini supaya Anakmas tidak terlibat,” kata orang itu.

Mahesa Jenar ingin membantah, sebab ia sama sekali tidak dapat membenarkan kezaliman yang demikian itu berlangsung terus. Tetapi sebelum ia sempat berkata, dengan penuh wibawa orang itu mendesaknya. Entahlah pengaruh apa yang menusuk perasaan Mahesa Jenar, sehingga ia tidak dapat membantah lagi. Sebentar kemudian benarlah apa yang dikatakan. Beberapa orang yang dipimpin oleh seorang yang bertubuh tegap tinggi serta berambut hampir di seluruh mukanya, datang dan langsung memasuki rumah orang tua itu. Tanpa berkata apa-apa orang tua itu dengan ganasnya diseret keluar dan dipukuli dengan cemeti semau-maunya.
“Panggil seluruh penduduk desa ini…!” teriaknya kemudian.
“Suruhlah mereka menyaksikan contoh bagi mereka yang mau sengaja menghindari kedatangan kami.”
Sesaat kemudian anak buahnya telah berhasil memaksa penduduk desa itu berkumpul serta menyaksikan pertunjukan yang mengerikan. Semua penduduk tidak terkecuali, tua-muda, laki-laki dan perempuan, dengan wajah yang ketakutan terpaksa berkumpul di halaman rumah petani tua itu.

Beberapa orang perempuan menutup mukanya dengan kedua belah tangannya, sedang beberapa orang laki-laki hanya bergumam, “Kasihan orang tua itu, kenapa ia tidak memenuhi permintaan orang-orang itu saja? Bukankah dua-tiga butir kelapa telah dapat membebaskannya dari derita yang sedemikian?”
Sementara itu orang yang tinggi besar itu berhenti memukul. Lalu dengan lantangnya ia berkata,
“Lihatlah, para penduduk daerah Pengrantunan. Inilah sebuah contoh dari seorang yang dengan sengaja membantah peraturan kami. Pada waktu kami datang untuk pertama kalinya pagi tadi, ia telah menghindarkan diri dengan meninggalkan rumahnya. Untunglah bahwa ketika kami datang untuk kedua kalinya ia sudah ada di dalam rumahnya, sehingga aku dapat memaafkannya untuk tidak membakar habis rumahnya serta merampas semua miliknya. Tetapi meskipun demikian kami anggap perlu untuk sedikit memberi pelajaran kepadanya.”
Selesai mengucapkan kata-kata itu, kembali cemetinya terayun-ayun di udara serta dengan derasnya memukul-mukul orang tua itu. Segera beberapa jalur garis-garis merah darah membekas di punggung yang sudah berkerut-kerut serta hampir tak berdaging itu. Kembali beberapa orang memejamkan matanya. Apalagi ketika orang tinggi besar itu semakin keras memukul, terdengarlah jeritan-jeritan tertahan keluar dari mulut orang tua yang disiksa dengan ganasnya itu.

Tetapi meskipun demikian, meskipun ada kesan-kesan kesetia kawanan diantara penduduk, ternyata sama sekali tidak berani berbuat sesuatu. Beberapa ratus orang laki-laki yang tampaknya juga tegap-tegap dan kuat, tak dapat berbuat apa-apa melihat salah seorang warga desanya disiksa di hadapan matanya oleh tidak lebih dari 10 orang. Ini adalah suatu hal yang aneh. Hanya dalam waktu berapa tahun saja, desa ini tidak hanya mengalami kemunduran kemakmuran serta pemerintahan tetapi juga mengalami kemunduran jiwa yang sangat mengejutkan. Suatu daerah dimana seorang sakti yang bernama Sora Dipayana tinggal dan memerintah, kini mengalami suatu penghinaan yang sedemikian besarnya tanpa perlawanan sedikit pun. Mahesa Jenar yang kemudian menggabungkan diri dengan para penduduk setempat menyaksikan semua itu dengan darah yang bergolak. Ia tidak bisa membiarkan kelaliman-kelaliman serta kemaksiatan semacam itu berlangsung. Tetapi meskipun demikian ia mempertimbangkan juga beberapa kemungkinan. Sayang bahwa saat itu ia masih belum bisa menjajaki kekuatan Sima Rodra yang sebenarnya. Ia juga mempunyai dugaan bahwa apabila terjadi sesuatu dengan orang-orangnya di suatu daerah pasti Sima Rodra tidak akan tinggal diam. Mungkin daerah itu akan digilasnya habis, serta dijadikan lautan api. Karena itu Mahesa Jenar jadi bimbang.

ANCAMAN itu pasti merupakan salah satu sebab kenapa tak seorangpun yang berani menentang peraturan Sima Rodra, kecuali malahan seorang tua yang sudah putih seluruh rambutnya. Juga merupakan suatu sebab kenapa hanya dengan 10 orang, mereka berani melakukan tugasnya, bahkan berani melakukan siksaan yang sedemikian kejamnya. Cemeti orang berewok yang gagah itu masih tetap memukul-mukul dengan bunyi yang menyentak-nyentak. Juga dari mulut orangnya sendiri pun tak habis-habisnya terdengar caci maki dan umpatan-umpatan yang kotor. Melihat semuanya itu, hati Mahesa Jenar semakin tidak tahan lagi. Tetapi hanya karena perhitungan keselamatan penduduk setempat, ia tidak segera bertindak. Ia telah memutuskan untuk mengikuti gerombolan itu sampai jauh keluar desa. Di sanalah ia akan memuntahkan segala kemauan hatinya, kemarahannya serta kebenciannya. Sebab dalam wawasannya, ke 10 orang itu tidaklah lebih dari kelinci-kelinci yang sama sekali tak bekerja, kecuali hanya berteriak-teriak saja. Tetapi tiba-tiba hatinya menjadi tak tahan lagi, ketika ia melihat orang tua yang kesakitan itu dengan menangis-nangis memeluk kaki orang yang tinggi besar dan sedang memukulinya itu, minta untuk dimaafkan. Tetapi apa yang didapatnya, adalah tidak saja pukulan-pukulan cemeti, juga kakinya yang besar-besar itu, yang sedang dipeluk demikian eratnya, dengan sekuat tenaga dikibaskan, sehingga orang tua yang malang itu terpelanting.

Pada saat itu hampir saja Mahesa Jenar meloncat maju. Tetapi, tiba-tiba terasa punggungnya ditepuk orang dengan mengandung tenaga dalam yang luar biasa besarnya. Mendapat tepukan yang bertenaga luar biasa itu, Mahesa Jenar sangat terkejut. Apalagi ketika ia menoleh dan melihat orang yang menepuknya. Malahan hampir saja ia berteriak, kalau saja orang itu tidak mendahuluinya berkata,
“Sst, jangan sebut namaku, panggil aku dengan sebutan lain.”
Orang itu tidak lain adalah Ki Ageng Pandan Alas. Sehingga demikian terkejutnya Mahesa Jenar menjawab sambil tergagap,
“Baik Ki Ageng….”
“Sst…,” kembali Ki Ageng Pandan Alas berdesis, sambil tersenyum geli,
“Jangan kau sebut itu.”
“Ach…,” jawab Mahesa Jenar.
“Aku menjadi bingung atas kehadiran Tuan yang tiba-tiba.”
“Kau akan menolong orang itu?” tanya Ki Ageng Pandan Alas masih berbisik.
“Ya, aku tidak sampai hati melihat siksaan yang sama sekali tak berperikemanusiaan itu,” jawab Mahesa Jenar.
Ki Ageng Pandan Alas tersenyum dengan wajah Ki Ardi yang jenaka. Kemudian katanya,
“Seharusnya kau berpikir sebaik-baiknya.”
Mendengar keterangan Ki Ageng Pandan Alas, Mahesa Jenar teringat akan kecurigaan atas pembicaraan orang tua itu. Maka jawabnya,
“Memang, Tuan, aku merasakan beberapa keanehan dari orang itu.”
“Nah lihatlah apa yang akan terjadi,” potong Ki Ageng Pandan Alas, sambil menunjuk kepada orang tinggi besar yang sedang memukuli petani miskin itu.

Benarlah bahwa sejenak kemudian terjadilah suatu hal yang sama sekali tak terduga-duga. Tiba-tiba saja orang yang tinggi besar itu tubuhnya menjadi kejang. Wajahnya berubah menjadi pucat. Beberapa kali ia meneriakkan kata-kata yang tak begitu jelas, dan hanya dalam waktu yang singkat ia terjatuh tak tahu diri. Segera terjadilah suatu kegemparan. Beberapa orang anak buahnya segera berloncatan untuk memberikan pertolongan, tetapi usaha itu sia-sia. Orang yang tinggi besar dan berewok itu ternyata sudah tidak bernapas lagi. Melihat kejadian itu, salah seorang anggota gerombolan itu menjadi marah sekali. Ia pun bertubuh tinggi besar, tetapi tidak berewok. Rambutnya bahkan hanya tumbuh jarang-jarang. Segera ia meloncat maju dengan wajah yang merah padam. Ia sebenarnya tidak tahu apakah sebabnya maka kawannya mengalami nasib yang demikian. Tetapi karena yang menjadi sebab menurut pikirannya adalah orang tua yang tak mau mentaati peraturan itu, maka kepadanyalah kemarahannya akan ditumpahkan. Melihat sikap yang garang sekali, orang tua itu tampaknya menjadi semakin ketakutan. Maka dengan gemetar segera iapun berlutut dan mencium kaki orang yang sedang marah itu. Tetapi juga orang itu sama sekali tak menghiraukan. Bahkan sedemikian marahnya karena ia telah kehilangan pemimpinnya, ia bermaksud membunuh saja orang tua itu. Maka dengan menggeram hebat sekali ia mencabut golok yang terselip dipinggangnya.

Tetapi belum lagi ia berhasil mencabut golok itu, iapun tiba-tiba menjadi kejang-kejang pula, dan tak lama kemudian iapun jatuh tak sadarkan diri, untuk kemudian menghembuskan nafasnya yang penghabisan. Melihat hal itu, semakin gemparlah mereka yang menyaksikan. Terutama para gerombolan Sima Rodra. Ke-8 orang sisanya, bagaimanapun marahnya, tak seorang pun lagi yang berani berbuat sesuatu atas orang tua itu. Sebab mereka mengira bahwa orang tua itulah yang menyebabkan kematian kedua orang kawannya. Maka ketika salah seorang dari mereka dengan perasaan takut meloncat ke atas kudanya, yang lain pun berbuat demikian. Ketika mereka akan pergi, salah seorang dari mereka sempat pula menakut-nakuti penduduk.
“Kamu semua telah mencoba melawan kami. Baiklah, lain kali kami akan datang, dan membunuh kamu semua sampai ke anak cucu.”
Setelah mengucapkan kata-kata itu, segera mereka melarikan kuda mereka kencang-kencang.
Sepeninggal mereka, penduduk yang menyaksikan peristiwa itu semua, untuk sementara tertegun kaku. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Tetapi tiba-tiba mereka sadar akan arti ancaman gerombolan Sima Rodra itu bagi keluarga mereka masing-masing. Kalau benar hal itu akan mereka lakukan, pastilah mereka akan ludes tanpa ada yang melanjutkan nama serta garis keluarga masing-masing.

MENGINGAT hal yang demikian itu, penduduk Pangrantunan segera menjadi ketakutan. Takut pada pembalasan yang bakal datang, karena seorang tua yang belum lama tinggal di tempat itu tidak mau memenuhi permintaan gerombolan Sima Rodra untuk menyerahkan dua tiga butir kelapa. Kalau mula-mula mereka merasa kasihan kepada orang tua itu, kini tiba-tiba berubah menjadi perasaan marah. Alangkah kikirnya orang tua itu. Serta karena kekikirannya maka seluruh penduduk akan mengalami akibatnya. Meskipun andaikata dua orang anggota gerombolan itu mati karena kebetulan saja, tetapi orang tua yang kikir itulah yang menjadi sebabnya. Apalagi kalau orang tua itu sengaja meracun atau menyihirnya. Dalam pada itu tiba-tiba penduduk yang bertubuh pendek ketat penuh dengan otot-otot yang menonjol, berteriak dengan kerasnya.
“Hai, saudara-saudara penduduk desa ini. Siapakah sebenarnya yang bersalah andaikata gerombolan Sima Rodra marah kepada kita?”
Maka terdengarlah jawaban dari segenap penjuru.
“Orang tua itu, orang tua yang kikir itu.”
Orang tua yang tadi dipukuli gerombolan Sima Rodra itu menjadi bertambah gemetar.
“Saudara-saudaraku, apakah salahku terhadap desa ini. Aku telah menerima hukumanku karena aku tidak mau membayar pajak bahan makanan kepada gerombolan Sima Rodra. Lalu apa lagi kesalahanku terhadap kalian?”
“Jangan banyak omong,” bentak orang yang tinggi kekurus-kurusan.
“Sejak kau tinggal di desa ini bulan yang lalu, kau hanya mendatangkan bencana saja. Sekarang kau mempergunakan ilmu sihir atau senjata-senjata racun untuk membunuh anggota gerombolan Sima Rodra itu, tanpa mempertimbangkan akibatnya. Bukankah kau tadi mendengar sendiri ancaman mereka terhadap desa kita?”

Orang tua itu seolah-olah menjadi bertambah ketakutan, seperti seekor tikus yang sudah berada di dalam cengkeraman kucing yang sedang marah. Sementara semua peristiwa itu berlangsung, Mahesa Jenar yang tidak mengerti terhadap semua yang terjadi, menjadi diam kebingungan. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan terhadap orang tua itu. Apakah ia harus menolong ataukah dibiarkannya saja menjadi korban kemarahan penduduk.
Ki Ageng Pandan Alas dapat meraba perasaan Mahesa Jenar, maka katanya,
“Mahesa Jenar, jangan kau ributkan orang tua itu. Ia cukup mampu, bahkan berlebihanlah kemampuannya untuk menjaga diri.”
“Tuan…,” tanya Mahesa Jenar,
“permainan apakah yang sedang dilakukan oleh orang tua itu sebenarnya? Adakah orang itu pula yang telah melakukan pembunuhan terhadap kedua orang anggota gerombolan itu?”
“Ya….,” sahut Ki Ageng Pandan Alas.
“Tangan orang itu adalah tangan maut apabila dikehendakinya. Dengan sekali tekan pada urat-urat tertentu, seseorang tidak akan dapat hidup lebih dari lima tarikan nafas lagi.”

Mahesa Jenar mendengar keterangan itu dengan penuh keheranan. Alangkah saktinya. Sehingga akhirnya ia bertanya,
“Tuan…, guruku, termasuk Tuan yang mempunyai ciri Keris Sigar Penjalin, serta yang akhir-akhir ini dengan sebuah tembang Dandanggula yang merdu.”
“Ah..!” potong Pandan Alas,
“kau senang pada lagu itu?”
“Tentu… tentu,” sahut Mahesa Jenar,
“tetapi siapakah orang tua itu, yang sama sekali tidak mempergunakan ciri-ciri khusus?”
“Aneh kau Mahesa Jenar,” jawab Ki Ageng Pandan Alas.
“Kalau ciri-ciri khusus itu ditunjukkan pada setiap saat dan tempat maka ia akan kehilangan arti kekhususannya. Kecuali hanya dalam saat-saat yang perlu dan penting. Tentang orang tua itupun demikian pula. Ia menganggap sama sekali tidak perlu untuk memperkenalkan dirinya di hadapan penduduk ini.”
“Tetapi siapakah sebenarnya orang itu?” desak Mahesa Jenar tidak sabar.
Ki Ageng Pandan Alas tersenyum lucu, tepat seperti pada saat Sagotra mendesaknya untuk melanjutkan ceritera tentang dua ekor naga yang bertempur melawan orang bintang kemukus.
“Mahesa Jenar… sebenarnya kau harus dapat menerka. Siapakah yang paling berkepentingan dengan daerah ini? Beberapa tokoh sakti yang kau kenal? Siapakah diantara mereka yang paling tersinggung apabila daerah ini sampai dinodai? Aku, yang tidak begitu berkepentingan, memerlukan untuk membuktikan kebenaran berita yang aku dengar bahwa daerah ini telah merupakan daerah yang harus menyerahkan bulu bekti kepada salah satu gerombolan aliran hitam. Bagaimanapun aku merasa tidak rela atas hal yang berlaku itu, sebab aku pernah ikut serta menikmati kebesaran daerah ini, sebagai daerah sahabatku. Tetapi untunglah bahwa yang berhak telah datang untuk melindungi daerahnya,” jawab Pandan Alas kemudian.
Mendengar penjelasan Ki Ageng Pandan Alas hati Mahesa Jenar berdesir.
“Jadi, beliau itukah Ki Ageng Sora Dipayana?” tanya Mahesa Jenar.
“Sst… jangan terlalu keras,” desis Pandan Alas.

Perasaan Mahesa Jenar menjadi terputar-putar tidak karuan menyaksikan kenyataan itu. Gembira, terharu, sedih dan segala macam, berkecamuk di dadanya. Seorang yang sakti, serta telah memutuskan untuk menarik diri dari pergaulan, terpaksa turun tangan, dan benar-benar mempergunakan tubuhnya sendiri, untuk soal-soal tetek bengek yang seharusnya dapat diselesaikan oleh orang lain. Tetapi disamping itu, tumbuh pulalah perasaan hormat serta kekaguman Mahesa Jenar atas sifat kepemimpinan Ki Ageng Sora Dipayana. Sehingga apabila perlu, ia sendiri tidak segan-segan untuk bertindak serta mengorbankan diri. Sementara itu, kemarahan rakyat Pangrantunan rupa-rupanya sudah memuncak. Sehingga beberapa orang berteriak-teriak sambil mengacung-acungkan tinjunya.
Tiba-tiba terdengar suara melengking dari seorang yang bertubuh gemuk, tinggi dan berwajah keras seperti batu,
“Saudara-saudara, marilah kita tangkap saja orang itu. Kita serahkan kepada Sima Rodra sebagai tumbal untuk keselamatan desa kita.”
“Bagus… bagus…. Setuju…, setuju….” teriak yang lain dari segala penjuru.

ORANG TUA yang tidak lain adalah Ki Ageng Sora Dipayana sendiri, tampak semakin ketakutan. Tetapi perasaan Mahesa Jenar sudah tidak lagi tersiksa menyaksikan kejadian-kejadian itu.
“Tetapi… ,” kata orang tua itu mencoba membela dirinya kembali,
“Apa yang aku lakukan sebenarnya bukanlah maksudku sendiri. Bagaimana aku berani membantah peraturan pajak itu? Apalagi apa-apa yang dibutuhkan telah ada tersedia.”
“Bukan maksudmu sendiri…?,” tanya yang tinggi kekurus-kurusan.
“Ya, bukan!”, jawab orang tua itu.
“Lalu, siapakah yang menyuruhmu berbuat demikian?” tanya yang pendek ketat dengan otot-otot yang menjorok keluar.”
Kembali terjadilah suatu hal di luar dugaan. Tiba-tiba orang tua itu menunjukkan jarinya kepada Mahesa Jenar dan Pandan Alas.
“Orang asing beserta anaknya itulah yang telah memaksa aku untuk tidak mentaati peraturan dari gerombolan Sima Rodra. Aku sama sekali tidak tahu maksudnya, tetapi aku tak berani menolaknya. Tanyakan pada anak muda itu, apakah maksudnya ia berbuat demikian,” kata orang tua itu.
Mendengar jawaban itu, serta merta semua mata memandang kepada Mahesa Jenar dan Ki Ageng Pandan Alas yang berdiri tidak begitu jauh di belakang mereka.
Sedang Mahesa Jenar sendiri, yang tidak menduga sama sekali akan terlibat dalam masalah itu, menjadi terkejut tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia jadi cemas. Kalau saja kemarahan penduduk ditujukan kepada Mahesa Jenar, lalu apa yang harus dikerjakan. Haruskah ia melawan dan mungkin akan menimbulkan bencana bagi penduduk yang seharusnya mendapat perlindungan?. Tetapi ia lebih tidak mengerti lagi, ketika ia memandang wajah Ki Ageng Pandan Alas yang sama sekali tak berkesan apa-apa, malahan wajahnya tampak menggelikan. Sehingga terpaksa ia bertanya,
“Kenapa Ki Ageng Sora Dipayana membebankan masalah ini kepada kami, Tuan.”
“Mahesa Jenar… Dalam keadaan demikian, sebagaimana kau ketahui orang tua itu telah mengetahui kehadiranku. Serta malahan ia mempunyai cara yang aneh untuk mengucapkan selamat datang. Tetapi rupa-rupanya ia masih belum perlu langsung menemuiku seperti juga aku merasa belum waktunya. Tetapi terang ia minta tolong kepadamu untuk menjelaskan maksudnya. Nah Mahesa Jenar, terserah pelaksanaannya kepadamu, untuk membangkitkan kembali jiwa kejantanan bagi penduduk daerah ini. Tolonglah orang tua itu serta kalau perlu berilah sedikit penerangan dan pertunjukan yang mengesankan,” jawab Pandan Alas berbisik.

Sementara itu perhatian semua orang telah tertuju kepada Mahesa Jenar dan Ki Ageng Pandan Alas. Bahkan ada diantara mereka yang sudah mulai bergerak mendekati. Seorang yang kurus pendek dengan suara yang menjerit bertanya kepada Mahesa Jenar,
“He anak muda…, benarkah kau memaksa kepada orang tua itu untuk tidak mentaati peraturan Sima Rodra?”
Mahesa Jenar merasa akan canggung juga untuk menjawab, sampai orang kurus itu membentaknya kembali,
“Ayo jawab!”
Tetapi Mahesa Jenar masih juga rikuh untuk berbuat gagah-gagahan di hadapan Ki Ageng Sora Dipayana. Karena itu ia untuk beberapa saat hanya dapat memandangi wajah orang tua itu, yang tiba-tiba tidak ada lagi perhatian terhadapnya, tetapi tersenyum-senyum sambil mengangguk-angguk kepada Ki Ageng Pandan Alas. Sebaliknya wajah Ki Ageng Pandan Alas yang kemudian berubah menjadi ketakutan. Melihat permainan itu semua hampir-hampir Mahesa Jenar tak dapat menahan tertawanya. Rupa-rupanya sedemikian karib persahabatan orang-orang sakti pada saat itu, sehingga sampai hari tuanya pun mereka masih saja bergurau, meskipun dalam keadaan yang demikian. Sejenak kemudian ketika Mahesa Jenar masih juga belum menjawab, Ki Ageng Sora Dipayana berteriak,
“Ya, itulah orangnya yang memaksa aku untuk tidak mentaati peraturan Sima Rodra, sehingga mungkin akan menimbulkan bencana.”
Mendengar suara itu, Mahesa Jenar menjadi sadar bahwa ia harus benar-benar membantu orang tua itu untuk kepentingan kebangkitan daerah Pangrantunan. Karena itu ia menjawab,
“Ya, akulah yang memaksa orang tua itu untuk tidak menyerahkan pajak kepada Sima Rodra.”
“Jadi… kaulah biang keladi dari bencana ini, ” teriak salah seorang dari mereka.
“Tangkap juga orang itu,” teriak yang lain tiba-tiba.
“Bagus, tangkap juga orang itu. Kita serahkan pula kepada Sima Rodra untuk tumbal bersama-sama orang tua celaka itu,” sahut yang gemuk tinggi serta berwajah keras seperti batu.
“Tangkap…, tangkap…. ” teriak yang lain bersama-sama. Dan serentak mulailah mereka bergerak.
Melihat gerakan itu Ki Ageng Pandan Alas tampaknya menjadi ketakutan sekali, sehingga tubuhnya gemetar. Dan tiba-tiba ia meloncat melarikan diri.
“Tangkap…, tangkap….” teriak penduduk itu dengan marahnya, ketika mereka melihat salah seorang dari orang asing itu melarikan diri. Tetapi tiba-tiba terdengarlah suara Mahesa Jenar,
“Jangan kejar dia. Akulah yang akan mempertanggung jawabkan.”

SUARA itu dilontarkan dengan sepenuh tenaga yang dapat langsung merangsang mereka yang mendengarnya, sehingga terkejutlah semua orang yang sedang siap untuk memburu Ki Ageng Pandan Alas. Mereka tidak tahu apa yang sudah terjadi. Tetapi yang terasa oleh mereka hanyalah suara Mahesa Jenar itu seperti memukul dada mereka masing-masing, sehingga dengan demikian serentak mereka berhenti. Mereka tersadar ketika Ki Ageng Pandan Alas sudah lenyap, sehingga salah seorang berteriak marah sekali.
”He…, kenapa dibiarkan orang tua tadi melarikan diri. Sekarang jangan lepaskan anak muda itu.”
”Jangan takut aku melarikan diri, “ jawab Mahesa Jenar dengan suara yang mantap.
”Aku akan tetap tinggal di sini. Tangkaplah.”
Mendengar tantangan itu, beberapa orang yang sudah akan menyerbu justru terhenti. Mereka menjadi ragu-ragu dan bimbang. Kenapa orang itu begitu berani menghadapi seluruh penduduk Pangrantunan.
”Saudara-saudara penduduk Pangrantunan, salahkah aku kalau aku menasehati orang tua itu untuk tidak tunduk kepada gerombolan liar yang mengganggu ketenteraman desa kalian?, “ kata Mahesa Jenar selanjutnya.
Mendengar pertanyaan itu semua orang menjadi terdiam. Memang dalam hati kecil mereka, sama sekali mereka tidak rela menyerahkan harta benda mereka kepada orang-orang yang datang untuk memerasnya. Tetapi karena ketakutan dan tidak adanya pimpinan, mereka terpaksa melakukannya. Baru setelah beberapa saat terdengar jawaban diantara mereka.
“Tetapi dengan tindakan itu, nasib kita semua akan celaka.”
”Nasib saudara-saudara bukanlah mereka yang menentukan,” sambung Mahesa Jenar.
“Tetapi ada di tangan saudara sendiri. Kenapa saudara tidak berbuat sesuatu?”
Kembali mereka terdiam mendengar kata-kata Mahesa Jenar. Ya, kenapa mereka tidak pernah berpikir untuk suatu usaha menghindarkan diri dari pemerasan itu. Tetapi apakah yang dapat dilakukan…?
Tiba-tiba diantara mereka berteriak seorang yang berkumis tebal dan bermata tajam seperti mata burung hantu.
“Hai anak muda, kau jangan memperuncing kemarahan kami. Dengan omonganmu itu kau akan berusaha menjelomprongkan kami ke lembah kesengsaraan yang lebih hebat. Kau lihat sekarang, betapa sulitnya keadaan kami sehari-hari, tiba-tiba orang tua celaka itu menambah beban kesulitan kami karena hasutanmu. Sekarang kau berusaha untuk menghasut seluruh penduduk. Apa kau kira kami ini semuanya orang-orang bebal seperti si tua celaka itu? “
”Memang…,” jawab Mahesa Jenar,
“aku ingin menghasutmu supaya kamu semua tidak lagi mau menyerahkan sebutir padi pun kepada Sima Rodra.”
”Dengan perbuatan itu,” sambung si kumis tebal dan bermata Burung Hantu,
“apakah keuntunganmu? Nah, sekarang tutup mulutnya dan jangan mencoba melawan. Kau akan kami ikat bersama-sama orang tua itu untuk tumbal keselamatan desa ini. Bukankah begitu kawan-kawan…?”
”Betul…, betul….,” sahut mereka hampir serentak.

Dan bersamaan dengan itu, mulailah mereka beramai-ramai menyerbu Mahesa Jenar. Tetapi seperti patung, Mahesa Jenar tetap di tempatnya. Melihat orang asing itu sama sekali tidak bergerak, kembali mereka jadi ragu-ragu dan malahan berhenti beberapa langkah di sekitar Mahesa Jenar. Mereka memandang dengan mata yang bertanya-tanya. Bahkan beberapa diantaranya malahan mulai agak takut-takut melihat sikap yang sedemikian tenangnya. Melihat hal itu Mahesa Jenar mengeluh dalam hati. Juga Ki Ageng Sora Dipayana tak kalah sedihnya. Sebab dengan peristiwa itu terbuktilah betapa mundurnya keberanian penduduk menghadapi suatu persoalan. Beberapa tahun yang lalu mereka adalah rakyat yang cukup tangguh dalam menghadapi kesulitan-kesulitan. Tetapi sekarang mereka tidak lebih dari segerombolan pengecut yang berjiwa budak yang paling rendah. Ketika Mahesa Jenar sempat mengerlingkan mata kepada Ki Ageng Sora Dipayana, alangkah terperanjatnya, melihat mata orang tua itu mengaca. Tetapi tiba-tiba ia berteriak,
“Ya…, itulah yang telah menghasutku, kenapa kalian diam saja? Bukankah kalian akan menangkapnya?”
Selesai mengucapkan kata-kata itu segera ia meloncat menyusup di antara orang banyak dan langsung menyerbu Mahesa Jenar. Mahesa Jenar segera menangkap maksud Ki Ageng Sora Dipayana. Meskipun dengan agak segan dan malu-malu, ia meladeni juga orang tua itu. Maka segera terjadilah perkelahian. Ki Ageng Sora Dipayana bergerak dengan sekenanya saja. Memukul, menendang tak berketentuan. Tetapi maksudnya untuk memancing keberanian penduduk, ternyata berhasil. Melihat orang tua itu mendahului menyerang, segera yang lain pun bertindak. Melihat orang-orang kampung itu mulai berlari-lari untuk menangkapnya, segera Mahesa Jenar meloncat kesana kemari dan sekadar mengadakan perlawanan. Dalam beberapa benturan Mahesa Jenar mengetahui bahwa diantara mereka ada juga yang mempunyai kekuatan cukup serta pengetahuan tata berkelahi yang agak tinggi. Karena itu anehlah kalau daerah ini tidak dapat berbuat sesuatu untuk melawan kekuasaan Sima Rodra.

Maka, kunci dari kemunduran ini pasti terletak pada pimpinan. Bagaimanapun, kepala daerah Perdikan Pengrantunan yang sekarang adalah putra Ki Ageng Sora Dipayana, yang bernama Ki Ageng Lembu Sora. Apakah Ki Ageng Lembu Sora ini sama sekali tak memiliki sifat-sifat ayahnya? Bukankah apabila dikehendaki untuk melawan Sima Rodra, daerah ini tidak berdiri sendiri? Pangrantunan hanyalah salah satu dari desa-desa yang berada di dalam lingkaran Perdikan yang sekarang berkedudukan di Pamingit. Tetapi menilik kekuatan Pangrantunan ini sendiri ditambah dengan daerah-daerah lain, pastilah mereka dapat setidak-tidaknya mencegah kekuasaan Sima Rodra atas daerah ini. Maka setelah mereka berkejar-kejaran serta berkelahi beberapa lama, segera Mahesa Jenar meloncat dengan tangkasnya menembus kepungan mereka, lalu dengan teguhnya berdiri menghadapi penduduk Pangrantunan yang mengejarnya itu sambil berteriak nyaring,
“Cukup kawan-kawan, permainan kita ternyata berhasil baik. Jangan menyerang aku lagi. Aku tidak akan melawan. Aku akan tunduk kepada kalian. Tetapi sebelumnya aku ingin berbicara sedikit lagi kepada kalian.”

KETIKA penduduk Pangrantunan yang sedang mengejar Mahesa Jenar itu melihat buruannya meloncat dengan tangkasnya, seolah-olah melampaui kemampuan manusia biasa, serta dalam waktu yang hanya sekejap itu telah dapat dengan tiba-tiba berdiri di luar kepungan mereka, hati mereka tergetar hebat. Segera mereka sadar bahwa itu pastilah orang yang berilmu tinggi. Karena itu, kembali mereka berhenti beberapa langkah di sekeliling Mahesa Jenar, yang dengan tegapnya berdiri di atas kedua kakinya yang kokoh kuat bagaikan tonggak baja. Kesadaran mereka akan ketinggian ilmu orang asing itu, ternyata telah menuntun ingatan penduduk Pangrantunan kepada kekaguman-kekaguman mereka terhadap orang dari daerah mereka sendiri. Terutama pemimpin mereka yang mereka cintai dengan sepenuh hati, yang sejak beberapa tahun lalu telah menyisihkan diri. Yaitu Ki Ageng Sora Dipayana. Tetapi tak seorang pun diantara mereka yang dapat mengenal, bahwa orang yang mereka kenangkan itu, telah ada diantara mereka. Bahkan baru saja mengalami siksaan di hadapan mereka. Orang kedua yang mereka kagumi adalah Ki Ageng Gajah Sora, putra sulung Ki Ageng Sora Dipayana. Meskipun belum dapat memiliki seluruh ketinggian ilmu ayahnya, Ki Ageng Gajah Sora telah dapat digolongkan manusia yang memiliki kelebihan dibanding manusia biasa. Orang ketiga sesudah itu adalah Ki Ageng Lembu Sora, adik Ki Ageng Gajah Sora. Orang inilah yang sekarang menerima kepercayaan dari ayahnya untuk menggantikan kedudukannya sebagai kepala daerah perdikan Pangrantunan bagian selatan. Tetapi tabiat seseorang ternyata tidak dapat ditentukan dari tetesan darah yang menurunkan. Ki Ageng Lembu Sora yang oleh ayahnya diharapkan akan dapat melanjutkan cita-citanya untuk mengembangkan daerahnya, ternyata yang terjadi adalah kebalikannya. Ia lebih mementingkan kesenangan sendiri. Bahkan kadang-kadang ia sampai melupakan kedudukannya sebagai pengayom. Malahan tidak jarang ia berbuat hal yang dapat melukai hati rakyatnya. Hal-hal yang demikian itu menimbulkan banyak kegelisahan dan ketidakpuasan di kalangan rakyat, yang akhirnya menjadikan rakyat tidak peduli lagi kepada keadaan di sekelilingnya, kecuali kepentingan mereka sendiri-sendiri.

Dan sekarang tiba-tiba muncul seorang yang agaknya termasuk orang yang berilmu tinggi dan bertabiat aneh. Kalau orang ini memaksakan sesuatu peraturan yang bertentangan dengan kemauan gerombolan Sima Rodra, maka akan celakalah nasib penduduk setempat. Sebab mereka tentu tidak akan mampu melawan salah satu diantaranya. Sementara itu ketika setiap otak dari mereka yang ada di halaman itu sedang dipenuhi dengan berbagai masalah dan persoalan-persoalan, terdengarlah Mahesa Jenar mulai berkata,
“Saudara-saudara penduduk Pangrantunan. Setelah kita bermain-main sebentar, aku mendapat kesimpulan bahwa daerah ini bukanlah daerah yang seharusnya dapat menjadi lembu perahan bagi gerombolan Sima Rodra. Seberapakah sebenarnya kekuatan dari gerombolan itu dibandingkan dengan keperkasaan kalian? Kalau kalian merasa bahwa apa yang kalian sediakan untuk gerombolan Sima Rodra setiap bulannya bukanlah kekayaan yang berharga, memang mungkin sekali. Tetapi arti dari kesediaan saudara-saudara menyerahkan pajak kepada gerombolan itulah yang sebenarnya patut disesalkan. Sebab dengan demikian kalian telah menempatkan diri kalian sendiri di bawah kekuasaan Sima Rodra. Apalagi kalau kalian sampai pada perhitungan nilai dari barang-barang itu kalian kumpulkan, lalu kalian jual. Maka pastilah dalam waktu yang singkat kalian dapat mendirikan banjar-banjar desa, tempat-tempat ibadah dan sebagainya. Tetapi lebih dari itu, kalian adalah rakyat yang merdeka, bukan rakyat yang diperbudak oleh Sima Rodra, yang patut mempergunakan segala sumber kekayaan kalian untuk kepentingan kalian sendiri. Nah saudara-saudara, pertahankan kemerdekaan ini. Kalau perlu dengan darah dan jiwa kalian.”

Kata-kata Mahesa Jenar ini terasa seperti membakar dada mereka yang mendengarnya, disamping perasaan malu dan sesal yang menghantam bertubi-tubi. Hampir semua orang tampak menundukkan mukanya, seolah-olah hendak langsung memandang kekecilan jiwa mereka masing-masing. Disamping itu, makin jelaslah dalam ingatan mereka, keperwiraan serta kejantanan yang pernah mereka alami semasa pemerintahan Ki Ageng Sora Dipayana. Mahesa Jenar dapat merasakan, bahwa kata-katanya berhasil menusuk langsung ke dalam sanubari pendengarnya. Karena itu sambungnya,
“Nah saudara, keputusan terakhir adalah di tangan saudara-saudara. Masihkah saudara ingin merdeka, ataukah saudara telah merasa berbahagia dalam penindasan dan pemerasan Sima Rodra? Kalau saudara memilih yang kedua maka aku bersedia untuk saudara-saudara tangkap serta saudara-saudara serahkan kepada Sima Rodra sebagai tumbal keselamatan penduduk.”
Kalau kata-kata Mahesa Jenar yang terdahulu telah membakar dada rakyat Pangrantunan, maka kata-katanya yang terakhir itu bagaikan cermin yang langsung diletakkan di hadapan mereka. Sehingga semakin jelaslah noda-noda yang melekat dalam wajah kepribadian mereka. Untuk mempertegas kata-katanya, Mahesa Jenar melanjutkan,
“Saudara-saudara, kalau saudara-saudara sudah merasa bimbang maka sebaiknya saudara-saudara pulang saja sambil merenungkan pilihan manakah yang saudara-saudara anggap paling sesuai dengan sifat serta watak saudara-saudara. Sekarang saudara-saudara kami persilahkan meninggalkan halaman ini. Selama saudara merenungkan kemungkinan yang paling menguntungkan bagi saudara-saudara, aku ingin minta ijin untuk dua-tiga hari. Setelah itu, aku akan datang lagi untuk menerima keputusan kalian.”
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar yang terakhir, penduduk Pangrantunan itu saling pandang. Mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan. Sampai kembali Mahesa Jenar berkata,
“Aku harap kalian meninggalkan halaman ini untuk merenungkan apa yang akan saudara lakukan. Aku yakin bahwa saudara akan memilih keputusan yang benar demi tanah tercinta serta kebesaran nama daerah ini, yang telah diletakkan oleh Ki Ageng Sora Dipayana.”
Meskipun Mahesa Jenar mengucapkan kata-katanya dengan lunak serta sopan, tetapi tajamnya seperti sembilu yang langsung membelah jantung mereka, sehingga terasa suatu desiran yang pedih di dalam dada masing-masing.

SAMBIL menundukkan kepala serta langkah yang lemah, penduduk Pangrantunan mulai satu demi satu bergerak meninggalkan halaman rumah petani tua yang sama sekali tak diketahuinya, bahwa beliaulah Ki Ageng Sora Dipayana. Dalam kepala mereka berkecamuklah seribu macam masalah. Tetapi satu hal yang telah menyusup di dalam hati mereka tanpa mereka sadari. Sejak saat itu mereka bertekad untuk mempertahankan tanah tercinta ini dari segala macam penindasan dan pemerasan. Kalau perlu akan mereka pertaruhkan darah dan nyawa. Ketika tidak ada lagi seorang pun di halaman petani miskin itu, segera Mahesa Jenar menundukkan kepalanya kepada Ki Ageng Sora Dipayana sambil berkata,
“Tuan…, maafkanlah aku yang sama sekali tidak tahu bahwa Tuanlah yang terkenal dengan sebutan Ki Ageng Sora Dipayana.”
Orang tua itu tersenyum.
“Tak apalah. Kalau sampai engkau tidak mengenal, maka berbanggalah aku. Sebab dengan demikian aku merasa bahwa permainanku dapat berhasil,” jawab orang tua itu.
Kembali Mahesa Jenar menghormat.
“Dengan ini atas nama perguruanku aku menyampaikan hormat,” kata Mahesa Jenar.
Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk lemah.
“Rupanya kau adalah satu-satunya waris dari gurumu,” kata Ki Ageng Sora Dipayana.
“Benar Tuan, aku tinggal satu-satunya waris yang harus menjunjung nama perguruanku. Tetapi kemampuanku sangatlah terbatas, sehingga aku sangat cemas bahwa tugas itu tak akan berhasil,” jawab Mahesa Jenar.
Ki Ageng Sora Dipayana tertawa lirih.
“Aku tadi ternyata salah tebak. Ketika aku melihat orang tua dari Gunung Kidul yang malahan terkenal dari Wanasaba tadi, aku mengira bahwa kau adalah muridnya. Tetapi ketika aku melihat kau melangkah, barulah aku tahu bahwa kau adalah murid Ki Ageng Pengging Sepuh,” sahut Sora Dipayana.
“Benar Ki Ageng, aku adalah murid Ki Ageng Pengging Sepuh,” jawab Mahesa Jenar lagi.
“Siapakah namamu?” tanya Ki Ageng kemudian.
“Mahesa Jenar Ki Ageng,” jawab Mahesa Jenar.
“Lalu adakah kau mendapat tugas dari perguruanmu sehingga kau sampai ke daerah Pangrantunan ini?”

Mendengar pertanyaan Ki Ageng Sora Dipayana, Mahesa Jenar jadi bimbang. Haruskah ia menyatakan tujuan sebenarnya, ataukah tidak? Dalam kebimbangan hati, Mahesa Jenar tidak segera dapat menjawab sehingga dalam beberapa saat ia berdiri kebingungan. Ki Ageng Sora Dipayana ternyata memang orang yang bijaksana. Karena itu segera ia menyambung,
“Mungkin kau mendapat tugas rahasia dari seseorang. Nah, kalau begitu baiklah aku bertanya soal lain saja.”
“Tidak, Ki Ageng… tidak…,” potong Mahesa Jenar tergagap.
Ki Ageng Sora Dipayana tertawa perlahan. Kemudian ia bertanya,
“Kaukah satu-satunya murid Ki Ageng Pengging, yang masih ada? Gurumu almarhum adalah sahabat dekatku. Jadi jangan kau menaruh prasangka apapun kepadaku. Nah, tinggallah untuk sementara bersama aku di Pangrantunan.”
“Terima kasih Ki Ageng, terpaksa aku dengan menyesal tak dapat memenuhi, sebab aku masih harus meneruskan perjalanan,” jawab Mahesa Jenar.
“Begitu tergesa-gesa?” potong Ki Ageng.
“Benar Ki Ageng.”
Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-anggukkan kepalanya. Keningnya tampak berkerut, dan tiba-tiba terloncat kata dari mulutnya, “Ke Gunung Tidar?”

Pertanyaan ini rupanya mengejutkan Mahesa Jenar, sehingga ia kebingungan, sampai Ki Ageng Sora Dipayana meneruskan,
“Bagus, pergilah ke sana. Barangkali ada perlunya. Aku menduga bahwa kau tidak akan menderita sesuatu kalau kau cukup hati-hati. Bukankah Ki Ageng Pengging Sepuh terkenal dengan Sasra Birawa-nya? Aku kira kau telah memiliki itu pula.”


<<< Bagian 012                                                                                              Bagian 014 >>>

No comments:

Post a Comment