ORANG TUA itu mengangguk-angguk kecil. Cangkulnya lalu diletakkannya. Katanya kemudian,
“Baiklah
Anakmas, kalau saja aku mengetahui, pastilah aku akan menjawabnya. Banyakkah
keterangan-keterangan yang Anakmas perlukan?”
“Tidak, Bapak…
hanya sekedar sebagai petunjuk jalan,” jawab Mahesa Jenar.
“Keterangan
mengenai apakah itu?” tanya orang tua itu.
“Bapak…”
sambung Mahesa Jenar,
“Apakah Bapak
mengetahui mengenai panji-panji yang terpancang di tepi desa itu?”
Mendengar
pertanyaan Mahesa Jenar itu, tiba-tiba wajahnya berubah. Tampaklah kecemasan
membayang di wajahnya.
“Keterangan
mengenai bendera itu agak panjang Anakmas. Kalau Anakmas sudi, marilah mampir
ke pondokku sebentar. Barangkali aku dapat menyuguhkan sesuatu, walaupun hanya
air kelapa sebagai penawar haus. Serta barangkali sedikit keterangan mengenai
panji-panji merah itu.”
Mahesa Jenar
sulit untuk menolak ajakan orang tua yang nampaknya sangat terbuka hatinya.
Ditambah lagi dengan keinginannya mendengar keterangan-keterangan tentang
panji-panji yang bergambar harimau itu. Karena itu tidak ada jalan lain kecuali
dengan ucapan terima kasih ia menerima ajakannya.
Ternyata rumah
orang tua itu tidaklah begitu jauh. Hanya berjarak beberapa tonggak saja dari
sawahnya yang tampaknya tidak begitu subur. Rumahnya tidak lebih dari sebuah
gubug yang sudah agak miring, meskipun tampaknya masih agak baru, serta
beratapkan daun ilalang. Dengan ramah pula dipersilahkan Mahesa Jenar masuk
serta duduk di atas balai-balai bambu satu- satunya, di samping sebuah paga dan
tlundhak tempat lampu.
“Duduklah
Anakmas, aku ambilkan untuk Anakmas buah kelapa muda,” kata orang itu.
“Terima kasih,
Bapak. Aku senang sekali mendapat sebuah kelapa muda. Tetapi biarlah aku
sendiri memanjatnya. Apakah Bapak yang sudah setua ini masih dapat memanjat
pohon kelapa?” jawab Mahesa Jenar.
Orang itu
tersenyum, lalu jawabnya,
“Meskipun aku
sudah tua, tetapi karena tak ada orang lain di dalam rumah ini, jadi aku masih
harus mengerjakan apa-apa sendiri. Juga memanjat kelapa. Malahan tidak saja
mengambil buahnya, bahkan aku juga nderes beberapa pohon.”
“Bapak masih
nderes juga? — tanya Mahesa Jenar keheranan.
Orang tua itu
mengangguk. Dan karena itu Mahesa Jenar terpaksa percaya bahwa orang tua itu
masih mampu memanjat pohon kelapa. Karena itu ia tidak lagi mencoba menghalangi
orang itu memanjat pohon kelapa. Sejenak kemudian orang itu sudah kembali masuk
rumahnya, dengan membawa dua buah kelapa muda yang sudah diparas serta
dilubangi, langsung disuguhkan kepada Mahesa Jenar. Mahesa Jenar yang baru saja
berjalan di bawah terik matahari, menerima kelapa muda itu dengan gembira serta
berterima kasih, sehingga dengan sekali minum habislah isi dari sebuah kelapa
muda.
Maka setelah
Mahesa Jenar berisitirahat sejenak, mulailah ia menanyakan kembali tentang
panji-panji merah bergambar harimau itu.
“Panji-panji
itu adalah panji-panji dari sebuah gerombolan yang dikepalai oleh suami-istri
yang menamakan dirinya Sima Rodra.” Orangtua itu mulai bercerita.
“Desa-desa
yang diberinya panji-panji semacam itu, adalah pertanda bahwa desa itu telah
menjadi daerah yang setiap bulan harus menyediakan pajak bahan makanan untuk
gerombolan itu. Demikian juga daerah ini, yang baru menjadi daerah perbekalan
Sima Rodra sejak dua bulan yang lalu. Setiap bulan, mereka datang untuk
memasuki setiap rumah yang ada”.
Mahesa Jenar
mendengarkan cerita orang tua itu dengan penuh keheranan. Sampai sekian jauh
tindakan Sima Rodra di daerah itu tanpa mendapat gangguan apapun.
“Bapak… apakah
Sima Rodra menentukan apakah yang harus diserahkan oleh masing-masing
kepadanya?” Mahesa Jenar akhirnya bertanya kepada orangtua itu.
“Tidak. Mereka
tidak menentukan bahan apa yang harus diserahkan, tetapi asal saja mereka
menyediakan. Mungkin beras, kelapa, jagung dan sebagainya,” jawab orang itu.
“Jadi,
tidakkah penduduk di daerah ini mendapat perlindungan dari siapapun?” tanya
Mahesa Jenar selanjutnya.
Orang tua itu
menghela nafas dalam-dalam. Wajahnya yang sudah berkerut-kerut karena
garis-garis umur itu, tampak semakin berkerut.
“Anakmas,
benar apa yang Anakmas katakan,” jawab orang itu. Memang, penduduk di daerah
ini seolah-olah tidak mendapat suatu perlindungan dari siapapun. Sebab daerah
ini adalah daerah perdikan, yang sebenarnya segala sesuatu, seluk-beluk
pemerintahan dan keamanan serta kesejahteraan rakyatnya telah bulat-bulat
diserahkan kepada daerah ini sendiri. Tetapi pimpinan daerah perdikan yang sekarang
ini rupanya tidak begitu menghiraukan keadaan rakyatnya”.
“Bukankah
daerah ini mula-mula dipimpin oleh seorang sakti serta bijaksana yang bernama
Ki Ageng Sora Dipayana?” sela Mahesa Jenar.
“Ya,” jawab
orang tua itu.
“Tetapi Ki
Ageng itu telah lama mengundurkan diri dari pemerintahan. Daerah Pangrantunan
ini sepeninggalnya dibagi menjadi dua bagian, dan masing-masing diserahkan
kepada dua orang putranya. Maksudnya jelas, supaya tidak ada rebutan diantara
mereka. Tetapi akibatnya adalah seperti sekarang ini. Daerah Utara yang
dipimpin oleh Ki Ageng Gajah Sora, yang berkedudukan di Banyu Biru mengalami
kemajuan yang pesat. Tetapi daerah ini, yang dipimpin oleh adiknya, Ki Ageng
Lembu Sora, dan berkedudukan di Pamingit, mengalami kemunduran dalam hal kesejahteraan
rakyatnya. Pangrantunan, yang pernah menjadi pusat pemerintahan, sekarang tidak
lebih dari sebuah desa kecil yang terpencil dilambung Gunung Merbabu ini,”
jelas orangtua itu, melanjutkan ceritanya.
Tampaklah
wajah orang tua itu semakin bersedih. Rupanya ia sedang mengenang masa jaya
dari desanya ini.
“Bapak… apakah
Bapak mengalami masa-masa pemerintahan Ki Ageng Sora Dipayana?” tanya Mahesa
Jenar kemudian.
ORANG itu
tampak ragu-ragu sebentar. Lalu akhirnya ia menggelengkan kepalanya.
“Aku di sini
adalah orang baru. Tetapi sebelum aku tinggal di tempat ini aku sudah banyak
mendengar ceritera tentang Ki Ageng Sora Dipayana,” katanya.
Mahesa Jenar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Jadi jelaslah bahwa rabaannya mengenai
kemunduran daerah ini adalah benar. Tetapi disamping itu ia mempunyai kesan
yang aneh terhadap orang tua itu. Menilik caranya bicara, pastilah ia bukan
orang biasa seperti yang tampak pada tata lahirnya, yang tidak lebih dari
seorang petani miskin.
“Anakmas…”
orangtua itu melanjutkan,
“pada hari
ini, kebetulan adalah hari pungutan pajak. Karena itu, tak seorang pun yang
meninggalkan rumahnya. Mereka menanti dengan setia, kedatangan para pemungut
pajak. Dan karena itu pulalah maka tadi tak seorang pun yang Anakmas jumpai di
sawah, kecuali aku.”
“Kenapa Bapak
tidak berbuat seperti orang lain?” desak Mahesa Jenar. Orang itu menggelengkan
kepala.
“Aku tak mau,”
jawabnya.
Belum lagi
mereka habis bercakap-cakap, tiba-tiba terdengarlah derap beberapa ekor kuda.
Orang tua itu tampak agak terkejut.
“Anakmas,
itulah mereka datang. Pergilah ke belakang rumah ini supaya Anakmas tidak
terlibat,” kata orang itu.
Mahesa Jenar
ingin membantah, sebab ia sama sekali tidak dapat membenarkan kezaliman yang
demikian itu berlangsung terus. Tetapi sebelum ia sempat berkata, dengan penuh
wibawa orang itu mendesaknya. Entahlah pengaruh apa yang menusuk perasaan
Mahesa Jenar, sehingga ia tidak dapat membantah lagi. Sebentar kemudian
benarlah apa yang dikatakan. Beberapa orang yang dipimpin oleh seorang yang
bertubuh tegap tinggi serta berambut hampir di seluruh mukanya, datang dan
langsung memasuki rumah orang tua itu. Tanpa berkata apa-apa orang tua itu
dengan ganasnya diseret keluar dan dipukuli dengan cemeti semau-maunya.
“Panggil
seluruh penduduk desa ini…!” teriaknya kemudian.
“Suruhlah
mereka menyaksikan contoh bagi mereka yang mau sengaja menghindari kedatangan
kami.”
Sesaat
kemudian anak buahnya telah berhasil memaksa penduduk desa itu berkumpul serta
menyaksikan pertunjukan yang mengerikan. Semua penduduk tidak terkecuali,
tua-muda, laki-laki dan perempuan, dengan wajah yang ketakutan terpaksa
berkumpul di halaman rumah petani tua itu.
Beberapa orang
perempuan menutup mukanya dengan kedua belah tangannya, sedang beberapa orang
laki-laki hanya bergumam, “Kasihan orang tua itu, kenapa ia tidak memenuhi
permintaan orang-orang itu saja? Bukankah dua-tiga butir kelapa telah dapat
membebaskannya dari derita yang sedemikian?”
Sementara itu
orang yang tinggi besar itu berhenti memukul. Lalu dengan lantangnya ia
berkata,
“Lihatlah,
para penduduk daerah Pengrantunan. Inilah sebuah contoh dari seorang yang
dengan sengaja membantah peraturan kami. Pada waktu kami datang untuk pertama
kalinya pagi tadi, ia telah menghindarkan diri dengan meninggalkan rumahnya.
Untunglah bahwa ketika kami datang untuk kedua kalinya ia sudah ada di dalam
rumahnya, sehingga aku dapat memaafkannya untuk tidak membakar habis rumahnya
serta merampas semua miliknya. Tetapi meskipun demikian kami anggap perlu untuk
sedikit memberi pelajaran kepadanya.”
Selesai
mengucapkan kata-kata itu, kembali cemetinya terayun-ayun di udara serta dengan
derasnya memukul-mukul orang tua itu. Segera beberapa jalur garis-garis merah
darah membekas di punggung yang sudah berkerut-kerut serta hampir tak berdaging
itu. Kembali beberapa orang memejamkan matanya. Apalagi ketika orang tinggi
besar itu semakin keras memukul, terdengarlah jeritan-jeritan tertahan keluar
dari mulut orang tua yang disiksa dengan ganasnya itu.
Tetapi
meskipun demikian, meskipun ada kesan-kesan kesetia kawanan diantara penduduk,
ternyata sama sekali tidak berani berbuat sesuatu. Beberapa ratus orang
laki-laki yang tampaknya juga tegap-tegap dan kuat, tak dapat berbuat apa-apa
melihat salah seorang warga desanya disiksa di hadapan matanya oleh tidak lebih
dari 10 orang. Ini adalah suatu hal yang aneh. Hanya dalam waktu berapa tahun
saja, desa ini tidak hanya mengalami kemunduran kemakmuran serta pemerintahan
tetapi juga mengalami kemunduran jiwa yang sangat mengejutkan. Suatu daerah
dimana seorang sakti yang bernama Sora Dipayana tinggal dan memerintah, kini
mengalami suatu penghinaan yang sedemikian besarnya tanpa perlawanan sedikit
pun. Mahesa Jenar yang kemudian menggabungkan diri dengan para penduduk
setempat menyaksikan semua itu dengan darah yang bergolak. Ia tidak bisa
membiarkan kelaliman-kelaliman serta kemaksiatan semacam itu berlangsung.
Tetapi meskipun demikian ia mempertimbangkan juga beberapa kemungkinan. Sayang
bahwa saat itu ia masih belum bisa menjajaki kekuatan Sima Rodra yang sebenarnya.
Ia juga mempunyai dugaan bahwa apabila terjadi sesuatu dengan orang-orangnya di
suatu daerah pasti Sima Rodra tidak akan tinggal diam. Mungkin daerah itu akan
digilasnya habis, serta dijadikan lautan api. Karena itu Mahesa Jenar jadi
bimbang.
ANCAMAN itu
pasti merupakan salah satu sebab kenapa tak seorangpun yang berani menentang
peraturan Sima Rodra, kecuali malahan seorang tua yang sudah putih seluruh
rambutnya. Juga merupakan suatu sebab kenapa hanya dengan 10 orang, mereka
berani melakukan tugasnya, bahkan berani melakukan siksaan yang sedemikian
kejamnya. Cemeti orang berewok yang gagah itu masih tetap memukul-mukul dengan
bunyi yang menyentak-nyentak. Juga dari mulut orangnya sendiri pun tak
habis-habisnya terdengar caci maki dan umpatan-umpatan yang kotor. Melihat
semuanya itu, hati Mahesa Jenar semakin tidak tahan lagi. Tetapi hanya karena
perhitungan keselamatan penduduk setempat, ia tidak segera bertindak. Ia telah
memutuskan untuk mengikuti gerombolan itu sampai jauh keluar desa. Di sanalah
ia akan memuntahkan segala kemauan hatinya, kemarahannya serta kebenciannya.
Sebab dalam wawasannya, ke 10 orang itu tidaklah lebih dari kelinci-kelinci
yang sama sekali tak bekerja, kecuali hanya berteriak-teriak saja. Tetapi
tiba-tiba hatinya menjadi tak tahan lagi, ketika ia melihat orang tua yang
kesakitan itu dengan menangis-nangis memeluk kaki orang yang tinggi besar dan
sedang memukulinya itu, minta untuk dimaafkan. Tetapi apa yang didapatnya,
adalah tidak saja pukulan-pukulan cemeti, juga kakinya yang besar-besar itu,
yang sedang dipeluk demikian eratnya, dengan sekuat tenaga dikibaskan, sehingga
orang tua yang malang itu terpelanting.
Pada saat itu
hampir saja Mahesa Jenar meloncat maju. Tetapi, tiba-tiba terasa punggungnya
ditepuk orang dengan mengandung tenaga dalam yang luar biasa besarnya. Mendapat
tepukan yang bertenaga luar biasa itu, Mahesa Jenar sangat terkejut. Apalagi
ketika ia menoleh dan melihat orang yang menepuknya. Malahan hampir saja ia
berteriak, kalau saja orang itu tidak mendahuluinya berkata,
“Sst, jangan
sebut namaku, panggil aku dengan sebutan lain.”
Orang itu
tidak lain adalah Ki Ageng Pandan Alas. Sehingga demikian terkejutnya Mahesa
Jenar menjawab sambil tergagap,
“Baik Ki
Ageng….”
“Sst…,”
kembali Ki Ageng Pandan Alas berdesis, sambil tersenyum geli,
“Jangan kau
sebut itu.”
“Ach…,” jawab
Mahesa Jenar.
“Aku menjadi
bingung atas kehadiran Tuan yang tiba-tiba.”
“Kau akan
menolong orang itu?” tanya Ki Ageng Pandan Alas masih berbisik.
“Ya, aku tidak
sampai hati melihat siksaan yang sama sekali tak berperikemanusiaan itu,” jawab
Mahesa Jenar.
Ki Ageng
Pandan Alas tersenyum dengan wajah Ki Ardi yang jenaka. Kemudian katanya,
“Seharusnya
kau berpikir sebaik-baiknya.”
Mendengar
keterangan Ki Ageng Pandan Alas, Mahesa Jenar teringat akan kecurigaan atas
pembicaraan orang tua itu. Maka jawabnya,
“Memang, Tuan,
aku merasakan beberapa keanehan dari orang itu.”
“Nah lihatlah
apa yang akan terjadi,” potong Ki Ageng Pandan Alas, sambil menunjuk kepada
orang tinggi besar yang sedang memukuli petani miskin itu.
Benarlah bahwa
sejenak kemudian terjadilah suatu hal yang sama sekali tak terduga-duga.
Tiba-tiba saja orang yang tinggi besar itu tubuhnya menjadi kejang. Wajahnya
berubah menjadi pucat. Beberapa kali ia meneriakkan kata-kata yang tak begitu
jelas, dan hanya dalam waktu yang singkat ia terjatuh tak tahu diri. Segera
terjadilah suatu kegemparan. Beberapa orang anak buahnya segera berloncatan
untuk memberikan pertolongan, tetapi usaha itu sia-sia. Orang yang tinggi besar
dan berewok itu ternyata sudah tidak bernapas lagi. Melihat kejadian itu, salah
seorang anggota gerombolan itu menjadi marah sekali. Ia pun bertubuh tinggi
besar, tetapi tidak berewok. Rambutnya bahkan hanya tumbuh jarang-jarang.
Segera ia meloncat maju dengan wajah yang merah padam. Ia sebenarnya tidak tahu
apakah sebabnya maka kawannya mengalami nasib yang demikian. Tetapi karena yang
menjadi sebab menurut pikirannya adalah orang tua yang tak mau mentaati
peraturan itu, maka kepadanyalah kemarahannya akan ditumpahkan. Melihat sikap
yang garang sekali, orang tua itu tampaknya menjadi semakin ketakutan. Maka
dengan gemetar segera iapun berlutut dan mencium kaki orang yang sedang marah
itu. Tetapi juga orang itu sama sekali tak menghiraukan. Bahkan sedemikian
marahnya karena ia telah kehilangan pemimpinnya, ia bermaksud membunuh saja
orang tua itu. Maka dengan menggeram hebat sekali ia mencabut golok yang
terselip dipinggangnya.
Tetapi belum
lagi ia berhasil mencabut golok itu, iapun tiba-tiba menjadi kejang-kejang
pula, dan tak lama kemudian iapun jatuh tak sadarkan diri, untuk kemudian
menghembuskan nafasnya yang penghabisan. Melihat hal itu, semakin gemparlah
mereka yang menyaksikan. Terutama para gerombolan Sima Rodra. Ke-8 orang
sisanya, bagaimanapun marahnya, tak seorang pun lagi yang berani berbuat
sesuatu atas orang tua itu. Sebab mereka mengira bahwa orang tua itulah yang
menyebabkan kematian kedua orang kawannya. Maka ketika salah seorang dari
mereka dengan perasaan takut meloncat ke atas kudanya, yang lain pun berbuat demikian.
Ketika mereka akan pergi, salah seorang dari mereka sempat pula menakut-nakuti
penduduk.
“Kamu semua
telah mencoba melawan kami. Baiklah, lain kali kami akan datang, dan membunuh
kamu semua sampai ke anak cucu.”
Setelah
mengucapkan kata-kata itu, segera mereka melarikan kuda mereka kencang-kencang.
Sepeninggal
mereka, penduduk yang menyaksikan peristiwa itu semua, untuk sementara tertegun
kaku. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Tetapi tiba-tiba mereka
sadar akan arti ancaman gerombolan Sima Rodra itu bagi keluarga mereka
masing-masing. Kalau benar hal itu akan mereka lakukan, pastilah mereka akan
ludes tanpa ada yang melanjutkan nama serta garis keluarga masing-masing.
MENGINGAT hal
yang demikian itu, penduduk Pangrantunan segera menjadi ketakutan. Takut pada
pembalasan yang bakal datang, karena seorang tua yang belum lama tinggal di
tempat itu tidak mau memenuhi permintaan gerombolan Sima Rodra untuk
menyerahkan dua tiga butir kelapa. Kalau mula-mula mereka merasa kasihan kepada
orang tua itu, kini tiba-tiba berubah menjadi perasaan marah. Alangkah kikirnya
orang tua itu. Serta karena kekikirannya maka seluruh penduduk akan mengalami
akibatnya. Meskipun andaikata dua orang anggota gerombolan itu mati karena
kebetulan saja, tetapi orang tua yang kikir itulah yang menjadi sebabnya.
Apalagi kalau orang tua itu sengaja meracun atau menyihirnya. Dalam pada itu
tiba-tiba penduduk yang bertubuh pendek ketat penuh dengan otot-otot yang
menonjol, berteriak dengan kerasnya.
“Hai,
saudara-saudara penduduk desa ini. Siapakah sebenarnya yang bersalah andaikata
gerombolan Sima Rodra marah kepada kita?”
Maka
terdengarlah jawaban dari segenap penjuru.
“Orang tua
itu, orang tua yang kikir itu.”
Orang tua yang
tadi dipukuli gerombolan Sima Rodra itu menjadi bertambah gemetar.
“Saudara-saudaraku,
apakah salahku terhadap desa ini. Aku telah menerima hukumanku karena aku tidak
mau membayar pajak bahan makanan kepada gerombolan Sima Rodra. Lalu apa lagi
kesalahanku terhadap kalian?”
“Jangan banyak
omong,” bentak orang yang tinggi kekurus-kurusan.
“Sejak kau
tinggal di desa ini bulan yang lalu, kau hanya mendatangkan bencana saja.
Sekarang kau mempergunakan ilmu sihir atau senjata-senjata racun untuk membunuh
anggota gerombolan Sima Rodra itu, tanpa mempertimbangkan akibatnya. Bukankah
kau tadi mendengar sendiri ancaman mereka terhadap desa kita?”
Orang tua itu
seolah-olah menjadi bertambah ketakutan, seperti seekor tikus yang sudah berada
di dalam cengkeraman kucing yang sedang marah. Sementara semua peristiwa itu
berlangsung, Mahesa Jenar yang tidak mengerti terhadap semua yang terjadi,
menjadi diam kebingungan. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan terhadap orang
tua itu. Apakah ia harus menolong ataukah dibiarkannya saja menjadi korban
kemarahan penduduk.
Ki Ageng
Pandan Alas dapat meraba perasaan Mahesa Jenar, maka katanya,
“Mahesa Jenar,
jangan kau ributkan orang tua itu. Ia cukup mampu, bahkan berlebihanlah
kemampuannya untuk menjaga diri.”
“Tuan…,” tanya
Mahesa Jenar,
“permainan
apakah yang sedang dilakukan oleh orang tua itu sebenarnya? Adakah orang itu
pula yang telah melakukan pembunuhan terhadap kedua orang anggota gerombolan
itu?”
“Ya….,” sahut
Ki Ageng Pandan Alas.
“Tangan orang
itu adalah tangan maut apabila dikehendakinya. Dengan sekali tekan pada urat-urat
tertentu, seseorang tidak akan dapat hidup lebih dari lima tarikan nafas lagi.”
Mahesa Jenar
mendengar keterangan itu dengan penuh keheranan. Alangkah saktinya. Sehingga
akhirnya ia bertanya,
“Tuan…,
guruku, termasuk Tuan yang mempunyai ciri Keris Sigar Penjalin, serta yang
akhir-akhir ini dengan sebuah tembang Dandanggula yang merdu.”
“Ah..!” potong
Pandan Alas,
“kau senang
pada lagu itu?”
“Tentu…
tentu,” sahut Mahesa Jenar,
“tetapi
siapakah orang tua itu, yang sama sekali tidak mempergunakan ciri-ciri khusus?”
“Aneh kau
Mahesa Jenar,” jawab Ki Ageng Pandan Alas.
“Kalau
ciri-ciri khusus itu ditunjukkan pada setiap saat dan tempat maka ia akan
kehilangan arti kekhususannya. Kecuali hanya dalam saat-saat yang perlu dan
penting. Tentang orang tua itupun demikian pula. Ia menganggap sama sekali
tidak perlu untuk memperkenalkan dirinya di hadapan penduduk ini.”
“Tetapi
siapakah sebenarnya orang itu?” desak Mahesa Jenar tidak sabar.
Ki Ageng
Pandan Alas tersenyum lucu, tepat seperti pada saat Sagotra mendesaknya untuk
melanjutkan ceritera tentang dua ekor naga yang bertempur melawan orang bintang
kemukus.
“Mahesa Jenar…
sebenarnya kau harus dapat menerka. Siapakah yang paling berkepentingan dengan
daerah ini? Beberapa tokoh sakti yang kau kenal? Siapakah diantara mereka yang
paling tersinggung apabila daerah ini sampai dinodai? Aku, yang tidak begitu
berkepentingan, memerlukan untuk membuktikan kebenaran berita yang aku dengar
bahwa daerah ini telah merupakan daerah yang harus menyerahkan bulu bekti kepada
salah satu gerombolan aliran hitam. Bagaimanapun aku merasa tidak rela atas hal
yang berlaku itu, sebab aku pernah ikut serta menikmati kebesaran daerah ini,
sebagai daerah sahabatku. Tetapi untunglah bahwa yang berhak telah datang untuk
melindungi daerahnya,” jawab Pandan Alas kemudian.
Mendengar
penjelasan Ki Ageng Pandan Alas hati Mahesa Jenar berdesir.
“Jadi, beliau
itukah Ki Ageng Sora Dipayana?” tanya Mahesa Jenar.
“Sst… jangan
terlalu keras,” desis Pandan Alas.
Perasaan
Mahesa Jenar menjadi terputar-putar tidak karuan menyaksikan kenyataan itu.
Gembira, terharu, sedih dan segala macam, berkecamuk di dadanya. Seorang yang
sakti, serta telah memutuskan untuk menarik diri dari pergaulan, terpaksa turun
tangan, dan benar-benar mempergunakan tubuhnya sendiri, untuk soal-soal tetek
bengek yang seharusnya dapat diselesaikan oleh orang lain. Tetapi disamping
itu, tumbuh pulalah perasaan hormat serta kekaguman Mahesa Jenar atas sifat
kepemimpinan Ki Ageng Sora Dipayana. Sehingga apabila perlu, ia sendiri tidak
segan-segan untuk bertindak serta mengorbankan diri. Sementara itu, kemarahan
rakyat Pangrantunan rupa-rupanya sudah memuncak. Sehingga beberapa orang
berteriak-teriak sambil mengacung-acungkan tinjunya.
Tiba-tiba
terdengar suara melengking dari seorang yang bertubuh gemuk, tinggi dan
berwajah keras seperti batu,
“Saudara-saudara,
marilah kita tangkap saja orang itu. Kita serahkan kepada Sima Rodra sebagai
tumbal untuk keselamatan desa kita.”
“Bagus…
bagus…. Setuju…, setuju….” teriak yang lain dari segala penjuru.
ORANG TUA yang
tidak lain adalah Ki Ageng Sora Dipayana sendiri, tampak semakin ketakutan.
Tetapi perasaan Mahesa Jenar sudah tidak lagi tersiksa menyaksikan
kejadian-kejadian itu.
“Tetapi… ,”
kata orang tua itu mencoba membela dirinya kembali,
“Apa yang aku
lakukan sebenarnya bukanlah maksudku sendiri. Bagaimana aku berani membantah
peraturan pajak itu? Apalagi apa-apa yang dibutuhkan telah ada tersedia.”
“Bukan
maksudmu sendiri…?,” tanya yang tinggi kekurus-kurusan.
“Ya, bukan!”,
jawab orang tua itu.
“Lalu,
siapakah yang menyuruhmu berbuat demikian?” tanya yang pendek ketat dengan
otot-otot yang menjorok keluar.”
Kembali
terjadilah suatu hal di luar dugaan. Tiba-tiba orang tua itu menunjukkan
jarinya kepada Mahesa Jenar dan Pandan Alas.
“Orang asing
beserta anaknya itulah yang telah memaksa aku untuk tidak mentaati peraturan
dari gerombolan Sima Rodra. Aku sama sekali tidak tahu maksudnya, tetapi aku
tak berani menolaknya. Tanyakan pada anak muda itu, apakah maksudnya ia berbuat
demikian,” kata orang tua itu.
Mendengar
jawaban itu, serta merta semua mata memandang kepada Mahesa Jenar dan Ki Ageng
Pandan Alas yang berdiri tidak begitu jauh di belakang mereka.
Sedang Mahesa
Jenar sendiri, yang tidak menduga sama sekali akan terlibat dalam masalah itu,
menjadi terkejut tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia jadi cemas. Kalau saja
kemarahan penduduk ditujukan kepada Mahesa Jenar, lalu apa yang harus
dikerjakan. Haruskah ia melawan dan mungkin akan menimbulkan bencana bagi
penduduk yang seharusnya mendapat perlindungan?. Tetapi ia lebih tidak mengerti
lagi, ketika ia memandang wajah Ki Ageng Pandan Alas yang sama sekali tak
berkesan apa-apa, malahan wajahnya tampak menggelikan. Sehingga terpaksa ia
bertanya,
“Kenapa Ki
Ageng Sora Dipayana membebankan masalah ini kepada kami, Tuan.”
“Mahesa Jenar…
Dalam keadaan demikian, sebagaimana kau ketahui orang tua itu telah mengetahui
kehadiranku. Serta malahan ia mempunyai cara yang aneh untuk mengucapkan
selamat datang. Tetapi rupa-rupanya ia masih belum perlu langsung menemuiku
seperti juga aku merasa belum waktunya. Tetapi terang ia minta tolong kepadamu
untuk menjelaskan maksudnya. Nah Mahesa Jenar, terserah pelaksanaannya
kepadamu, untuk membangkitkan kembali jiwa kejantanan bagi penduduk daerah ini.
Tolonglah orang tua itu serta kalau perlu berilah sedikit penerangan dan
pertunjukan yang mengesankan,” jawab Pandan Alas berbisik.
Sementara itu
perhatian semua orang telah tertuju kepada Mahesa Jenar dan Ki Ageng Pandan
Alas. Bahkan ada diantara mereka yang sudah mulai bergerak mendekati. Seorang
yang kurus pendek dengan suara yang menjerit bertanya kepada Mahesa Jenar,
“He anak
muda…, benarkah kau memaksa kepada orang tua itu untuk tidak mentaati peraturan
Sima Rodra?”
Mahesa Jenar
merasa akan canggung juga untuk menjawab, sampai orang kurus itu membentaknya
kembali,
“Ayo jawab!”
Tetapi Mahesa
Jenar masih juga rikuh untuk berbuat gagah-gagahan di hadapan Ki Ageng Sora
Dipayana. Karena itu ia untuk beberapa saat hanya dapat memandangi wajah orang
tua itu, yang tiba-tiba tidak ada lagi perhatian terhadapnya, tetapi
tersenyum-senyum sambil mengangguk-angguk kepada Ki Ageng Pandan Alas.
Sebaliknya wajah Ki Ageng Pandan Alas yang kemudian berubah menjadi ketakutan.
Melihat permainan itu semua hampir-hampir Mahesa Jenar tak dapat menahan
tertawanya. Rupa-rupanya sedemikian karib persahabatan orang-orang sakti pada
saat itu, sehingga sampai hari tuanya pun mereka masih saja bergurau, meskipun
dalam keadaan yang demikian. Sejenak kemudian ketika Mahesa Jenar masih juga belum
menjawab, Ki Ageng Sora Dipayana berteriak,
“Ya, itulah
orangnya yang memaksa aku untuk tidak mentaati peraturan Sima Rodra, sehingga
mungkin akan menimbulkan bencana.”
Mendengar
suara itu, Mahesa Jenar menjadi sadar bahwa ia harus benar-benar membantu orang
tua itu untuk kepentingan kebangkitan daerah Pangrantunan. Karena itu ia
menjawab,
“Ya, akulah
yang memaksa orang tua itu untuk tidak menyerahkan pajak kepada Sima Rodra.”
“Jadi… kaulah
biang keladi dari bencana ini, ” teriak salah seorang dari mereka.
“Tangkap juga
orang itu,” teriak yang lain tiba-tiba.
“Bagus,
tangkap juga orang itu. Kita serahkan pula kepada Sima Rodra untuk tumbal
bersama-sama orang tua celaka itu,” sahut yang gemuk tinggi serta berwajah
keras seperti batu.
“Tangkap…,
tangkap…. ” teriak yang lain bersama-sama. Dan serentak mulailah mereka
bergerak.
Melihat
gerakan itu Ki Ageng Pandan Alas tampaknya menjadi ketakutan sekali, sehingga
tubuhnya gemetar. Dan tiba-tiba ia meloncat melarikan diri.
“Tangkap…,
tangkap….” teriak penduduk itu dengan marahnya, ketika mereka melihat salah
seorang dari orang asing itu melarikan diri. Tetapi tiba-tiba terdengarlah
suara Mahesa Jenar,
“Jangan kejar
dia. Akulah yang akan mempertanggung jawabkan.”
SUARA itu
dilontarkan dengan sepenuh tenaga yang dapat langsung merangsang mereka yang
mendengarnya, sehingga terkejutlah semua orang yang sedang siap untuk memburu
Ki Ageng Pandan Alas. Mereka tidak tahu apa yang sudah terjadi. Tetapi yang
terasa oleh mereka hanyalah suara Mahesa Jenar itu seperti memukul dada mereka
masing-masing, sehingga dengan demikian serentak mereka berhenti. Mereka
tersadar ketika Ki Ageng Pandan Alas sudah lenyap, sehingga salah seorang
berteriak marah sekali.
”He…, kenapa
dibiarkan orang tua tadi melarikan diri. Sekarang jangan lepaskan anak muda
itu.”
”Jangan takut
aku melarikan diri, “ jawab Mahesa Jenar dengan suara yang mantap.
”Aku akan
tetap tinggal di sini. Tangkaplah.”
Mendengar
tantangan itu, beberapa orang yang sudah akan menyerbu justru terhenti. Mereka
menjadi ragu-ragu dan bimbang. Kenapa orang itu begitu berani menghadapi
seluruh penduduk Pangrantunan.
”Saudara-saudara
penduduk Pangrantunan, salahkah aku kalau aku menasehati orang tua itu untuk
tidak tunduk kepada gerombolan liar yang mengganggu ketenteraman desa kalian?,
“ kata Mahesa Jenar selanjutnya.
Mendengar
pertanyaan itu semua orang menjadi terdiam. Memang dalam hati kecil mereka,
sama sekali mereka tidak rela menyerahkan harta benda mereka kepada orang-orang
yang datang untuk memerasnya. Tetapi karena ketakutan dan tidak adanya
pimpinan, mereka terpaksa melakukannya. Baru setelah beberapa saat terdengar
jawaban diantara mereka.
“Tetapi dengan
tindakan itu, nasib kita semua akan celaka.”
”Nasib
saudara-saudara bukanlah mereka yang menentukan,” sambung Mahesa Jenar.
“Tetapi ada di
tangan saudara sendiri. Kenapa saudara tidak berbuat sesuatu?”
Kembali mereka
terdiam mendengar kata-kata Mahesa Jenar. Ya, kenapa mereka tidak pernah
berpikir untuk suatu usaha menghindarkan diri dari pemerasan itu. Tetapi apakah
yang dapat dilakukan…?
Tiba-tiba
diantara mereka berteriak seorang yang berkumis tebal dan bermata tajam seperti
mata burung hantu.
“Hai anak
muda, kau jangan memperuncing kemarahan kami. Dengan omonganmu itu kau akan
berusaha menjelomprongkan kami ke lembah kesengsaraan yang lebih hebat. Kau
lihat sekarang, betapa sulitnya keadaan kami sehari-hari, tiba-tiba orang tua
celaka itu menambah beban kesulitan kami karena hasutanmu. Sekarang kau
berusaha untuk menghasut seluruh penduduk. Apa kau kira kami ini semuanya
orang-orang bebal seperti si tua celaka itu? “
”Memang…,”
jawab Mahesa Jenar,
“aku ingin
menghasutmu supaya kamu semua tidak lagi mau menyerahkan sebutir padi pun
kepada Sima Rodra.”
”Dengan
perbuatan itu,” sambung si kumis tebal dan bermata Burung Hantu,
“apakah
keuntunganmu? Nah, sekarang tutup mulutnya dan jangan mencoba melawan. Kau akan
kami ikat bersama-sama orang tua itu untuk tumbal keselamatan desa ini.
Bukankah begitu kawan-kawan…?”
”Betul…,
betul….,” sahut mereka hampir serentak.
Dan bersamaan
dengan itu, mulailah mereka beramai-ramai menyerbu Mahesa Jenar. Tetapi seperti
patung, Mahesa Jenar tetap di tempatnya. Melihat orang asing itu sama sekali
tidak bergerak, kembali mereka jadi ragu-ragu dan malahan berhenti beberapa
langkah di sekitar Mahesa Jenar. Mereka memandang dengan mata yang
bertanya-tanya. Bahkan beberapa diantaranya malahan mulai agak takut-takut
melihat sikap yang sedemikian tenangnya. Melihat hal itu Mahesa Jenar mengeluh
dalam hati. Juga Ki Ageng Sora Dipayana tak kalah sedihnya. Sebab dengan
peristiwa itu terbuktilah betapa mundurnya keberanian penduduk menghadapi suatu
persoalan. Beberapa tahun yang lalu mereka adalah rakyat yang cukup tangguh
dalam menghadapi kesulitan-kesulitan. Tetapi sekarang mereka tidak lebih dari segerombolan
pengecut yang berjiwa budak yang paling rendah. Ketika Mahesa Jenar sempat
mengerlingkan mata kepada Ki Ageng Sora Dipayana, alangkah terperanjatnya,
melihat mata orang tua itu mengaca. Tetapi tiba-tiba ia berteriak,
“Ya…, itulah
yang telah menghasutku, kenapa kalian diam saja? Bukankah kalian akan
menangkapnya?”
Selesai
mengucapkan kata-kata itu segera ia meloncat menyusup di antara orang banyak
dan langsung menyerbu Mahesa Jenar. Mahesa Jenar segera menangkap maksud Ki
Ageng Sora Dipayana. Meskipun dengan agak segan dan malu-malu, ia meladeni juga
orang tua itu. Maka segera terjadilah perkelahian. Ki Ageng Sora Dipayana
bergerak dengan sekenanya saja. Memukul, menendang tak berketentuan. Tetapi
maksudnya untuk memancing keberanian penduduk, ternyata berhasil. Melihat orang
tua itu mendahului menyerang, segera yang lain pun bertindak. Melihat
orang-orang kampung itu mulai berlari-lari untuk menangkapnya, segera Mahesa
Jenar meloncat kesana kemari dan sekadar mengadakan perlawanan. Dalam beberapa
benturan Mahesa Jenar mengetahui bahwa diantara mereka ada juga yang mempunyai
kekuatan cukup serta pengetahuan tata berkelahi yang agak tinggi. Karena itu
anehlah kalau daerah ini tidak dapat berbuat sesuatu untuk melawan kekuasaan
Sima Rodra.
Maka, kunci
dari kemunduran ini pasti terletak pada pimpinan. Bagaimanapun, kepala daerah
Perdikan Pengrantunan yang sekarang adalah putra Ki Ageng Sora Dipayana, yang
bernama Ki Ageng Lembu Sora. Apakah Ki Ageng Lembu Sora ini sama sekali tak
memiliki sifat-sifat ayahnya? Bukankah apabila dikehendaki untuk melawan Sima
Rodra, daerah ini tidak berdiri sendiri? Pangrantunan hanyalah salah satu dari
desa-desa yang berada di dalam lingkaran Perdikan yang sekarang berkedudukan di
Pamingit. Tetapi menilik kekuatan Pangrantunan ini sendiri ditambah dengan
daerah-daerah lain, pastilah mereka dapat setidak-tidaknya mencegah kekuasaan
Sima Rodra atas daerah ini. Maka setelah mereka berkejar-kejaran serta
berkelahi beberapa lama, segera Mahesa Jenar meloncat dengan tangkasnya menembus
kepungan mereka, lalu dengan teguhnya berdiri menghadapi penduduk Pangrantunan
yang mengejarnya itu sambil berteriak nyaring,
“Cukup
kawan-kawan, permainan kita ternyata berhasil baik. Jangan menyerang aku lagi.
Aku tidak akan melawan. Aku akan tunduk kepada kalian. Tetapi sebelumnya aku
ingin berbicara sedikit lagi kepada kalian.”
KETIKA
penduduk Pangrantunan yang sedang mengejar Mahesa Jenar itu melihat buruannya
meloncat dengan tangkasnya, seolah-olah melampaui kemampuan manusia biasa,
serta dalam waktu yang hanya sekejap itu telah dapat dengan tiba-tiba berdiri
di luar kepungan mereka, hati mereka tergetar hebat. Segera mereka sadar bahwa
itu pastilah orang yang berilmu tinggi. Karena itu, kembali mereka berhenti
beberapa langkah di sekeliling Mahesa Jenar, yang dengan tegapnya berdiri di
atas kedua kakinya yang kokoh kuat bagaikan tonggak baja. Kesadaran mereka akan
ketinggian ilmu orang asing itu, ternyata telah menuntun ingatan penduduk
Pangrantunan kepada kekaguman-kekaguman mereka terhadap orang dari daerah
mereka sendiri. Terutama pemimpin mereka yang mereka cintai dengan sepenuh
hati, yang sejak beberapa tahun lalu telah menyisihkan diri. Yaitu Ki Ageng
Sora Dipayana. Tetapi tak seorang pun diantara mereka yang dapat mengenal,
bahwa orang yang mereka kenangkan itu, telah ada diantara mereka. Bahkan baru
saja mengalami siksaan di hadapan mereka. Orang kedua yang mereka kagumi adalah
Ki Ageng Gajah Sora, putra sulung Ki Ageng Sora Dipayana. Meskipun belum dapat
memiliki seluruh ketinggian ilmu ayahnya, Ki Ageng Gajah Sora telah dapat
digolongkan manusia yang memiliki kelebihan dibanding manusia biasa. Orang
ketiga sesudah itu adalah Ki Ageng Lembu Sora, adik Ki Ageng Gajah Sora. Orang
inilah yang sekarang menerima kepercayaan dari ayahnya untuk menggantikan
kedudukannya sebagai kepala daerah perdikan Pangrantunan bagian selatan. Tetapi
tabiat seseorang ternyata tidak dapat ditentukan dari tetesan darah yang
menurunkan. Ki Ageng Lembu Sora yang oleh ayahnya diharapkan akan dapat
melanjutkan cita-citanya untuk mengembangkan daerahnya, ternyata yang terjadi
adalah kebalikannya. Ia lebih mementingkan kesenangan sendiri. Bahkan
kadang-kadang ia sampai melupakan kedudukannya sebagai pengayom. Malahan tidak
jarang ia berbuat hal yang dapat melukai hati rakyatnya. Hal-hal yang demikian
itu menimbulkan banyak kegelisahan dan ketidakpuasan di kalangan rakyat, yang
akhirnya menjadikan rakyat tidak peduli lagi kepada keadaan di sekelilingnya,
kecuali kepentingan mereka sendiri-sendiri.
Dan sekarang
tiba-tiba muncul seorang yang agaknya termasuk orang yang berilmu tinggi dan
bertabiat aneh. Kalau orang ini memaksakan sesuatu peraturan yang bertentangan
dengan kemauan gerombolan Sima Rodra, maka akan celakalah nasib penduduk
setempat. Sebab mereka tentu tidak akan mampu melawan salah satu diantaranya.
Sementara itu ketika setiap otak dari mereka yang ada di halaman itu sedang
dipenuhi dengan berbagai masalah dan persoalan-persoalan, terdengarlah Mahesa
Jenar mulai berkata,
“Saudara-saudara
penduduk Pangrantunan. Setelah kita bermain-main sebentar, aku mendapat
kesimpulan bahwa daerah ini bukanlah daerah yang seharusnya dapat menjadi lembu
perahan bagi gerombolan Sima Rodra. Seberapakah sebenarnya kekuatan dari
gerombolan itu dibandingkan dengan keperkasaan kalian? Kalau kalian merasa
bahwa apa yang kalian sediakan untuk gerombolan Sima Rodra setiap bulannya
bukanlah kekayaan yang berharga, memang mungkin sekali. Tetapi arti dari
kesediaan saudara-saudara menyerahkan pajak kepada gerombolan itulah yang
sebenarnya patut disesalkan. Sebab dengan demikian kalian telah menempatkan
diri kalian sendiri di bawah kekuasaan Sima Rodra. Apalagi kalau kalian sampai
pada perhitungan nilai dari barang-barang itu kalian kumpulkan, lalu kalian
jual. Maka pastilah dalam waktu yang singkat kalian dapat mendirikan
banjar-banjar desa, tempat-tempat ibadah dan sebagainya. Tetapi lebih dari itu,
kalian adalah rakyat yang merdeka, bukan rakyat yang diperbudak oleh Sima
Rodra, yang patut mempergunakan segala sumber kekayaan kalian untuk kepentingan
kalian sendiri. Nah saudara-saudara, pertahankan kemerdekaan ini. Kalau perlu
dengan darah dan jiwa kalian.”
Kata-kata
Mahesa Jenar ini terasa seperti membakar dada mereka yang mendengarnya,
disamping perasaan malu dan sesal yang menghantam bertubi-tubi. Hampir semua
orang tampak menundukkan mukanya, seolah-olah hendak langsung memandang
kekecilan jiwa mereka masing-masing. Disamping itu, makin jelaslah dalam
ingatan mereka, keperwiraan serta kejantanan yang pernah mereka alami semasa
pemerintahan Ki Ageng Sora Dipayana. Mahesa Jenar dapat merasakan, bahwa
kata-katanya berhasil menusuk langsung ke dalam sanubari pendengarnya. Karena
itu sambungnya,
“Nah saudara,
keputusan terakhir adalah di tangan saudara-saudara. Masihkah saudara ingin
merdeka, ataukah saudara telah merasa berbahagia dalam penindasan dan pemerasan
Sima Rodra? Kalau saudara memilih yang kedua maka aku bersedia untuk
saudara-saudara tangkap serta saudara-saudara serahkan kepada Sima Rodra
sebagai tumbal keselamatan penduduk.”
Kalau kata-kata
Mahesa Jenar yang terdahulu telah membakar dada rakyat Pangrantunan, maka
kata-katanya yang terakhir itu bagaikan cermin yang langsung diletakkan di
hadapan mereka. Sehingga semakin jelaslah noda-noda yang melekat dalam wajah
kepribadian mereka. Untuk mempertegas kata-katanya, Mahesa Jenar melanjutkan,
“Saudara-saudara,
kalau saudara-saudara sudah merasa bimbang maka sebaiknya saudara-saudara
pulang saja sambil merenungkan pilihan manakah yang saudara-saudara anggap
paling sesuai dengan sifat serta watak saudara-saudara. Sekarang
saudara-saudara kami persilahkan meninggalkan halaman ini. Selama saudara
merenungkan kemungkinan yang paling menguntungkan bagi saudara-saudara, aku
ingin minta ijin untuk dua-tiga hari. Setelah itu, aku akan datang lagi untuk
menerima keputusan kalian.”
Mendengar
kata-kata Mahesa Jenar yang terakhir, penduduk Pangrantunan itu saling pandang.
Mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan. Sampai kembali Mahesa Jenar berkata,
“Aku harap
kalian meninggalkan halaman ini untuk merenungkan apa yang akan saudara
lakukan. Aku yakin bahwa saudara akan memilih keputusan yang benar demi tanah
tercinta serta kebesaran nama daerah ini, yang telah diletakkan oleh Ki Ageng
Sora Dipayana.”
Meskipun
Mahesa Jenar mengucapkan kata-katanya dengan lunak serta sopan, tetapi tajamnya
seperti sembilu yang langsung membelah jantung mereka, sehingga terasa suatu
desiran yang pedih di dalam dada masing-masing.
SAMBIL
menundukkan kepala serta langkah yang lemah, penduduk Pangrantunan mulai satu
demi satu bergerak meninggalkan halaman rumah petani tua yang sama sekali tak
diketahuinya, bahwa beliaulah Ki Ageng Sora Dipayana. Dalam kepala mereka
berkecamuklah seribu macam masalah. Tetapi satu hal yang telah menyusup di
dalam hati mereka tanpa mereka sadari. Sejak saat itu mereka bertekad untuk
mempertahankan tanah tercinta ini dari segala macam penindasan dan pemerasan.
Kalau perlu akan mereka pertaruhkan darah dan nyawa. Ketika tidak ada lagi
seorang pun di halaman petani miskin itu, segera Mahesa Jenar menundukkan
kepalanya kepada Ki Ageng Sora Dipayana sambil berkata,
“Tuan…,
maafkanlah aku yang sama sekali tidak tahu bahwa Tuanlah yang terkenal dengan
sebutan Ki Ageng Sora Dipayana.”
Orang tua itu
tersenyum.
“Tak apalah.
Kalau sampai engkau tidak mengenal, maka berbanggalah aku. Sebab dengan
demikian aku merasa bahwa permainanku dapat berhasil,” jawab orang tua itu.
Kembali Mahesa
Jenar menghormat.
“Dengan ini
atas nama perguruanku aku menyampaikan hormat,” kata Mahesa Jenar.
Ki Ageng Sora
Dipayana mengangguk lemah.
“Rupanya kau
adalah satu-satunya waris dari gurumu,” kata Ki Ageng Sora Dipayana.
“Benar Tuan,
aku tinggal satu-satunya waris yang harus menjunjung nama perguruanku. Tetapi
kemampuanku sangatlah terbatas, sehingga aku sangat cemas bahwa tugas itu tak
akan berhasil,” jawab Mahesa Jenar.
Ki Ageng Sora
Dipayana tertawa lirih.
“Aku tadi
ternyata salah tebak. Ketika aku melihat orang tua dari Gunung Kidul yang
malahan terkenal dari Wanasaba tadi, aku mengira bahwa kau adalah muridnya.
Tetapi ketika aku melihat kau melangkah, barulah aku tahu bahwa kau adalah
murid Ki Ageng Pengging Sepuh,” sahut Sora Dipayana.
“Benar Ki
Ageng, aku adalah murid Ki Ageng Pengging Sepuh,” jawab Mahesa Jenar lagi.
“Siapakah
namamu?” tanya Ki Ageng kemudian.
“Mahesa Jenar
Ki Ageng,” jawab Mahesa Jenar.
“Lalu adakah
kau mendapat tugas dari perguruanmu sehingga kau sampai ke daerah Pangrantunan
ini?”
Mendengar
pertanyaan Ki Ageng Sora Dipayana, Mahesa Jenar jadi bimbang. Haruskah ia
menyatakan tujuan sebenarnya, ataukah tidak? Dalam kebimbangan hati, Mahesa
Jenar tidak segera dapat menjawab sehingga dalam beberapa saat ia berdiri
kebingungan. Ki Ageng Sora Dipayana ternyata memang orang yang bijaksana.
Karena itu segera ia menyambung,
“Mungkin kau
mendapat tugas rahasia dari seseorang. Nah, kalau begitu baiklah aku bertanya
soal lain saja.”
“Tidak, Ki
Ageng… tidak…,” potong Mahesa Jenar tergagap.
Ki Ageng Sora
Dipayana tertawa perlahan. Kemudian ia bertanya,
“Kaukah
satu-satunya murid Ki Ageng Pengging, yang masih ada? Gurumu almarhum adalah
sahabat dekatku. Jadi jangan kau menaruh prasangka apapun kepadaku. Nah,
tinggallah untuk sementara bersama aku di Pangrantunan.”
“Terima kasih
Ki Ageng, terpaksa aku dengan menyesal tak dapat memenuhi, sebab aku masih
harus meneruskan perjalanan,” jawab Mahesa Jenar.
“Begitu
tergesa-gesa?” potong Ki Ageng.
“Benar Ki
Ageng.”
Ki Ageng Sora
Dipayana mengangguk-anggukkan kepalanya. Keningnya tampak berkerut, dan
tiba-tiba terloncat kata dari mulutnya, “Ke Gunung Tidar?”
Pertanyaan ini
rupanya mengejutkan Mahesa Jenar, sehingga ia kebingungan, sampai Ki Ageng Sora
Dipayana meneruskan,
“Bagus,
pergilah ke sana. Barangkali ada perlunya. Aku menduga bahwa kau tidak akan
menderita sesuatu kalau kau cukup hati-hati. Bukankah Ki Ageng Pengging Sepuh terkenal
dengan Sasra Birawa-nya? Aku kira kau telah memiliki itu pula.”
No comments:
Post a Comment