Bagian 059


KETIKA Lawa Ijo tidak sabar lagi melihat pertempuran itu, dengan garangnya ia berteriak,
“Hei Wadas Gunung, Tembini dan Bagolan… tidak malukah kamu…? Lihatlah lawanmu itu baik-baik. Ia tidak lebih dari seorang perempuan. Apalagi gadis kecil yang banyak tingkah itu.”
Kemudian kepada Rara Wilis dan Widuri, Lawa Ijo berkata,
“Jangan melawan. Kalian tidak akan dibunuh.”
Terdengarlah Endang Widuri tertawa dengan suara kekanak-kanakan. Kemudian terdengarlah jawabannya,
“Kalau kami tidak akan dibunuh, akan kalian apakan kami…?”
Pertanyaan itu sungguh tidak terduga. Meskipun Lawa Ijo sedang dipenuhi oleh kemarahan, namun ia berpikir juga untuk mencari jawabnya.
“Kalian akan kami bawa ke rumah kami.”
Sekali lagi Endang Widuri tertawa. Tetapi matanya tidak terlepas dari lawannya. Bahkan masih saja berhasil mendesak maju. Mendengar jawaban Lawa Ijo, Widuri meneruskan,
”Kami akan merepotkan kalian nanti. Karena itu kami kira usulmu tidak dapat kami terima. Adapun pendapat kami, barangkali baik juga seandainya kalian tidak bermaksud membunuh kami, sebaiknya kami saja yang membunuh kalian.”

KATA-KATA Endang Widuri itu sama sekali juga tidak terduga. Tetapi kali ini Lawa Ijo menjadi bertambah marah. Selama ini agaknya ia merasa bahwa Wadas Gunung, Tembini dan Bagolan masih berpegang pada perintahnya untuk menangkap hidup-hidup kedua gadis itu, sehingga mereka bertempur dengan sangat hati-hati supaya tidak melukai mereka. Karena kemarahan Lawa Ijo sudah memuncak, ia berteriak keras-keras,
“He, Wadas Gunung, Tembini dan Bagolan… jangan ragu-ragu lagi. Terserahlah gadis-gadis itu menurut kehendak kalian. Apakah mereka akan kalian bunuh ataukah akan kalian hidupi untuk kepentingan kalian.”
Mendengar kata-kata Lawa Ijo itu, Rara Wilis benar-benar tersinggung. Berbeda dengan Widuri yang menganggap setiap perkataan Lawa Ijo itu tidak lebih dari perkataan yang mengungkapkan kemarahannya. Tetapi bagi Rara Wilis yang telah meningkat dewasa, bahkan telah melampaui dunia keremajaan, sangat sakit hati atas anggapan seolah-olah dirinya tidak lebih dari barang taruhan. Karena itu tiba-tiba dadanya terguncang dahsyat. Dari matanya memancarlah perasaan sakit hati serta kemarahannya. Sejalan dengan itu pedangnya pun menjadi bertambah garang dan berputar-putra mengerikan. Dalam pada itu Wadas Gunung pun menjadi sangat malu mendengar teguran kakak seperguruannya. Sebagai seorang murid Pasingsingan, Wadas Gunung memiliki ilmu yang cukup tinggi. Tetapi karena perhatian Pasingsingan sebagian besar dicurahkan kepada Lawa Ijo, maka agak kuranglah waktunya yang diberikan kepada murid mudanya itu.

Meskipun demikian karena pembawaan tubuhnya yang kokoh kuat, Wadas Gunung adalah orang yang cukup berbahaya. Karena itu kemudian terdengarlah ia menggeram keras. Dan dengan sepenuh tenaga ia menyerang lawannya, meskipun di dalam hati kecilnya terselip juga perasaan sayang apabila kembang yang indah itu rontok karena tersentuh tangannya. Apalagi kali ini ia bertempur bersama dengan Tembini, seorang yang memiliki ketangkasan cukup. Sayang bahwa kelincahan Tembini tidak mendapat saluran yang cukup baik, sehingga seolah-olah ia bertempur tanpa pegangan selain dari apa yang selalu diperbuatnya selama ia berada di dalam gerombolan itu dengan sedikit bimbingan dari Lawa Ijo dan Wadas Gunung. Tetapi lawan mereka kali ini adalah murid Ki Ageng Pandan Alas, dan sekaligus cucunya pula. Selama beberapa tahun terakhir Pandan Alas tidak mempunyai pekerjaan lain selain menanam jagung, kecuali mendidik cucunya ini untuk dapat merebut ayahnya kembali dari tangan anak Sima Rodra dari Lodaya. Hampir setiap saat Rara Wilis yang kemudian dinamainya Pudak Wangi itu benar-benar selalu bermain-main dengan pedang tipisnya. Apalagi kemudian karena kedatangan kakak seperguruannya dari Gunungkidul yang bernama Sarayuda, kesempatan Pudak Wangi itu untuk membajakan diri menjadi semakin padat.

Karena itulah kemudian Pudak Wangi dapat menyusul tokoh-tokoh yang sudah terkenal jauh sebelum dirinya sendiri mengenal tangkai senjata. Ketekunan kakeknya itu, sama sekali tidak sia-sia. Karena ternyata ia pun berhasil menemukan ayahnya kembali, meskipun beberapa saat sebelum tarikan nafasnya yang terakhir, yang kemudian disusul dengan pertempuran yang terjadi di Gedangan, yang memberinya kesempatan untuk membuat perhitungan dengan janda ayahnya itu. Dengan demikian, meskipun kali ini ia harus bertempur melawan Wadas Gunung dan Tembini bersama-sama, namun ia sama sekali tidak berkecil hati. Apalagi perasaan kegadisannya telah tersinggung. Karena itulah ia pun segera mengerahkan tenaganya untuk menekan lawannya. Ternyata usahanya berhasil. Lambat laun Wadas Gunung dan Tembini merasa bahwa dirinyalah yang akan ditentukan nasibnya. Bukan sebaliknya. Meskipun demikian sebagai orang yang telah bertahun-tahun di dalam lingkungan yang penuh dengan pertempuran, perkelahian dan pembunuhan, mereka sama sekali tidak putus asa. Lawa Ijo kemudian menyadari kesulitan Wadas Gunung. Ia tahu benar bahwa Rara Wilis ternyata telah mewarisi sebagian ilmu kakeknya. Karena itu tanpa setahunya sendiri ia melangkah mendekati lingkaran pertempuran. Sedangkan Mantingan menjadi seolah-olah terbius melihat Rara Wilis, Endang Widuri dan Arya Salaka yang sedang bertempur. Ketika Lawa Ijo melangkah maju, ia pun mengikuti di belakangnya. Dengan penuh keheranan ia melihat mereka itu seperti melihat Dewa Yama yang sedang menarikan tarian maut dengan penuh gairah. Apalagi ketika ia melihat bahwa anak-anak Lawa Ijo itu semakin lama menjadi semakin terdesak.
Sebaliknya, Lawa Ijo menjadi semakin marah. Akhirnya ia menjadi sedemikian marahnya sehingga hampir saja ia melompat menyerbu. Tetapi demikian ia mulai bergerak, segera Mantingan pun tersadar dari kekaguman yang telah mencekam dirinya. Karena itu segera ia berkata,
“Lawa Ijo, apa yang akan kau lakukan?”
Lawa Ijo pun seperti terbangun dari mimpinya yang buruk, menjadi terkejut. Namun demikian ia menjawab,
“Aku akan membunuh mereka itu satu demi satu.”
“Siapakah yang pertama-tama…?” tanya Ki Dalang Mantingan.

LAWA IJO yang hatinya sedang menyala-nyala itu menjadi seperti disiram minyak mendengar pertanyaan Mantingan itu. Karena itu ia menjawab sambil berteriak,
“Kau…!”
Bersamaan dengan kata-kata yang meluncur dari mulutnya itu, Lawa Ijo tidak menunggu lebih lama lagi. Segera ia memutar tubuhnya, meloncat menyerang Mantingan dengan dua pisau belati panjang di kedua belah tangannya, sambil menggeram,
“Aku bunuh kau secepatnya supaya tidak selalu membuat telingaku merah. Setelah itu, baru yang lain.”
Tetapi Mantingan sudah bersiaga sepenuhnya. Karena itu ketika Lawa Ijo meloncatinya, Mantingan tidak gugup. Dengan cepat ia mengelakkan diri dan sekaligus trisulanya bergerak memukul pisau lawannya. Namun Lawa Ijo pun cukup tangkas. Ketika serangannya gagal, cepat-cepat ia menarik senjatanya, kemudian menyerang kembali dengan ganasnya. Maka segera terjadi pula satu lingkaran pertempuran yang tidak kalah serunya. Lawa Ijo dengan dua pisau belati panjang, menyerang dengan garangnya seperti badai melanda-landa tak henti-hentinya. Namun Mantingan dapat menyesuaikan dirinya dengan baiknya, mirip seperti sepucuk cemara yang berputar-putar ke arah badai bertiup. Dengan demikian Mantingan selalu dapat membebaskan dirinya sendiri serangan lawannya. Tetapi yang sewaktu-waktu dengan penuh kelincahannya ia menyusup diantara serangan-serangan Lawa Ijo, mempermainkan trisulanya dengan cepatnya mematuk-matuk seperti serangan dari beribu-ribu mata tombak yang datang dari segenap penjuru. Itulah daya keasktian ilmu Ki Dalang Mantingan, yakni Pacar Wutah, sehingga sasarannya seolah-olah sama sekali tidak mendapat tempat untuk mengelak.

Tetapi lawan Mantingan kali ini adalah Lawa Ijo, murid Pasingsingan terkasih. Hantu berjubah abu-abu dan bertopeng menakutkan itu benar-benar telah membekali muridnya dengan berbagai macam ilmu. Ilmu lahiriah dan ilmu-ilmu batin, meskipun berlandaskan pada kekuatan hitam. Namun dalam bentuk penerapannya sungguh mengagumkan. Lawa Ijo mempunyai ketangguhan, ketangkasan dan kecepatan bergerak yang luar biasa. Ilmu Pacar Wutah yang diwarisi oleh Ki Dalang Mantingan dari gurunya, Ki Ageng Supit, ternyata tidak berhasil mengurung Lawa Ijo. Bahkan kemudian semakin lama terasalah bahwa ilmu warisan Pasingsingan lebih ganas daripada ilmu yang diwarisi oleh Mantingan dari gurunya. Oleh karena itu Mantingan harus berjuang sekuat tenaga. Beberapa tahun yang lalu, dalam pertempuran bersama-sama di dekat Rawa Pening, ia telah dapat menyejajarkan diri dengan tokoh-tokoh golongan hitam itu. Namun dalam perkembangan selanjutnya, agaknya Lawa Ijo telah bekerja lebih tekun lagi. Apalagi Lawa Ijo telah bertempur dengan cara yang buas sekali. Baginya tidak ada pantangan apapun untuk mencapai tujuannya. Kekejaman, kekasaran dan kelicikan, semuanya adalah cara yang dapat saja dipakainya. Sedangkan Mantingan bertempur dengan penuh kejantanan dan kejujuran. Meskipun sekali dua kali ia mengalami tekanan-tekanan yang kasar dan gila, namun tak terpikir olehnya untuk ikut serta melayani Lawa Ijo dengan cara-cara yang kasar dan curang. Dalam pada itu, semakin lama semakin jelas bahwa Mantingan tidak berhasil menempatkan dirinya pada keadaan yang menguntungkan. Beberapa kali ia terdesak mundur. Untunglah bahwa ia pun memiliki pengalaman yang luar biasa. Sebagai seorang dalang yang selalu mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain untuk menyebarkan kisah-kisah kepahlawanan yang tertera dalam kitab-kitab Mahabarata dan Ramayana, dan sekaligus menyelenggarakan hiburan untuk rakyat, Mantingan pernah menjumpai seribu satu macam peristiwa dan gangguan-gangguan lahir batin. Berdasarkan pada segenap pengalaman itulah Mantingan menempa dirinya di perguruan Wanakerta.

Namun kali ini ia tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa ilmu Lawa Ijo berada segaris di atasnya. karena itu ia harus berjuang dengan penuh kebulatan tekad. Kalau saja otaknya tidak ikut serta bertempur saat itu, mungkin ia sudah tergilas hancur. Tetapi karena kecerdasannya, ia dapat mempergunakan setiap saat dan keadaan untuk membantu dirinya. Meskipun demikian hati Mantingan mengeluh juga.
“Luar biasa, Lawa Ijo ini,” pikirnya.
“Tetapi aku harus bertahan sedikit-dikitnya untuk waktu yang sama dengan waktu yang diperlukan oleh Wadas Gunung dan Carang Lampit.”
Sekali-kali Mantingan sempat melirik ke arah lingkaran pertempuran Rara Wilis. Melihat hasil itu, ia menjadi berbesar hati. Seandainya ia harus binasa melawan Lawa Ijo, namun Rara Wilis harus sudah berhasil menyelesaikan pertempurannya. Dengan demikian ia mengharap gadis itu dapat membebaskan dirinya dari serangan bersama yang dibarengi oleh kekuatan Lawa Ijo yang dahsyat. Untuk melawan Lawa Ijo sendiri, Mantingan masih belum dapat menilai apakah Rara Wilis akan mampu. Tetapi ia masih mempunyai harapan lain. Sebab Wirasaba pun dapat mendesak musuhnya. Dalam kesibukan berpikir, Mantingan sempat merasakan kegelian juga melihat Endang Widuri. Kalau saja ia tidak sibuk mempermainkan trisulanya, mau ia menggaruk-garuk kepalanya. Gadis itu bertempur sama sekali seenaknya saja, meskipun ia berhadapan dengan Bagolan. Seorang yang bertubuh pendek gemuk seperti babi hutan dengan dua bola besi bertangkai di kedua tangannya.
Tetapi Mantingan tidak mempunyai waktu banyak karena terus-menerus terdesak dan harus bertahan. Akhirnya kesempatan untuk menyerang menjadi semakin tipis. Bahkan kemudian trisulanya benar-benar harus diputar seperti baling-baling untuk melindungi seluruh bagian tubuhnya dari patukan pisau-pisau belati panjang Lawa Ijo.

LAWA IJO yang ganas itu hampir tak sabar pula. Ia ingin melumpuhkan lawannya segera. Ia menjadi marah dan mengumpat tak habis-habisnya melihat kenyataan bahwa Mantingan sedemikian mahirnya mempermainkan trisulanya, sehingga selubang jarum pun tak berhasil ditemukan untuk menyusupkan pisau belatinya. Meskipun ia sadar bahwa Mantingan kini tinggal mampu mempertahankan diri. Mantingan bertahan mati-matian untuk memperpanjang waktu. Kalau ia kemudian binasa, ia mengharap Rara Wilis bersama-sama dengan Wirasaba dapat mengganti kedudukannya. Di bagian lain, Widuri bertempur seperti seekor kijang. Meloncat dengan lincahnya kian kemari. Kadang-kadang ia berlari-lari berputar-putar seolah-olah sudah tidak berani lagi menghadapi lawannya. Namun kemudian ketika Bagolan mengejarnya dengan dada terkembang, tiba-tiba ia berhenti, Widuri menyerang dengan dahsyatnya. Rantai peraknya berputar-putar seperti lesus yang seolah-olah menghisap Bagolan untuk masuk ke dalam pusaran anginnya. Dalam keadaan demikian maka seluruh bagian tubuh Bagolan dialiri keringat dingin. Mati-matian ia harus menyelamatkan dirinya dari hisapan itu. Gumpalan bayangan rantai Widuri yang gemerlapan itu membuatnya pening. Segera Bagolan mengumpulkan tenaga lahir batin, sambil menggerutu tak habis-habisnya. Untunglah bahwa ia memiliki tenaga raksasa melampaui tenaga Widuri. Sadar akan kelebihannya maka sekali-kali ia tidak menghindari serangan-serangan lawan kecilnya. dengan sepenuh tenaga ia mencoba untuk melawan setiap serangan dengan serangan. Widuri pun sadar akan keadaan ini. Untunglah bahwa ia bersenjata rantai yang lemas, yang tidak menggoncangkan tangannya dalam benturan-benturan yang terjadi. Namun ia selalu menjaga bahwa ia harus menghindarkan rantainya untuk tidak melilit senjata Bagolan, kecuali dalam kecepatan yang tinggi menurut perhitungan yang tepat. Dan memang ia sedang menunggu kesempatan itu. Kalau mungkin ia akan merampas bola-bola besi lawannya. Tetapi Bagolan bukan anak-anak seperti dirinya yang senang pada permainan aneh-aneh. Bagolan adalah salah seorang dari gerombolan Lawa Ijo yang menilai jiwa seseorang tidak lebih dari jiwa seekor katak. Dengan uang beberapa keping ia sudah bersedia memotong leher seseorang. Karena itu kali ini pun tidak ada soal lain dalam benaknya kecuali melumatkan gadis kecil yang banyak tingkah ini. Meskipun kadang timbul pula ingatan Bagolan bahwa seorang kawannya memerlukan lawannya itu. Namun seandainya ia berhasil menangkap hidup pun ia pasti akan membuat perhitungan dengan Jadipa. Gadis kecil harus ditukar sedikitnya dengan sebuah timang bermata berlian tiga rantai seperti yang dirampoknya di daerah Mangir beberapa bulan yang lalu.

Tetapi ketika Widuri itu bertempur semakin cepat, ingatannya tentang timang bermata berlian tiga rangkai itu pun kabur. Yang ada kemudian adalah ingatan tentang kepalanya sendiri yang setiap saat terancam akan terlepas dari lehernya. Wirasaba pun ternyata melihat kesulitan Mantingan. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Ia tidak dapat meninggalkan lawannya yang pasti akan menyulitkan kawan-kawannya yang lain. Meskipun ia telah berusaha secepat-cepatnya menyelesaikan pertempuran, tetapi kedua lawannya yang bernama Cemara Aking dan Ketapang itu dapat memberikan perlawanan dengan gigih. Ternyata kedua orang itu pun sekadar dapat memberikan perlawanan dan mengikat Wirasaba dalam suatu pertempuran. Sebab mereka berdua pun yakin bahwa mereka tidak akan dapat mengalahkan Wirasaba. Ketika malam bertambah malam, pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Ketika tubuh mereka telah dibasahi peluh yang mengalir dari setiap lubang kulit, tandang mereka pun menjadi semakin keras. Masing-masing kemudian bermaksud untuk segera mengakhiri pertempuran dan membinasakan lawan-lawan mereka. Demikian juga Lawa Ijo yang semakin keras menekan Ki Dalang Mantingan ke dalam keadaan yang semakin berbahaya.
Mantingan pun kemudian harus bekerja lebih keras lagi untuk mempertahankan dirinya. Tetapi perasaannya kini benar-benar telah bulat, bahwa ia harus menegakkan kesetiakawanannya terhadap Mahesa Jenar, Arya Salaka dan anak-anak Banyubiru. Apapun yang akan terjadi atas dirinya. Karena itu ia sama sekali tidak gelisah, bingung dan berkecil hati ketika tekanan-tekanan Lawa Ijo menjadi semakin sengit. Namun justru karena itulah maka ia tetap tenang dan menguasai dirinya sehingga ia tidak kehilangan akal. Dengan demikian maka setidak-tidaknya ia akan dapat memperpanjang waktu perlawanannya. Sebab dalam keadaan-keadaan yang sangat sulit sekalipun, otaknya masih cukup cerah untuk mencari jalan keluar dari bahaya itu.

Lawa Ijo lah yang justru menjadi gelisah dan marah. Ia ingin segera membunuh lawannya. Namun sampai beberapa lama usahanya selalu tidak berhasil. Karena itu, dibakar oleh kemarahannya yang memuncak, tiba-tiba ia berteriak nyaring. Kedua pisaunya disilangkan di atas kepalanya, sedang dari matanya seolah-olah memancar api yang menyala-nyala. Mantingan terkejut melihat sikap itu. Ia masih belum tahu apa maksud dari gerakan-gerakan yang aneh itu. Namun ia yakin bahwa Lawa Ijo sedang membuka ilmunya yang diandalkan. Dengan demikian Mantingan semakin menyiagakan diri. Ia masih melihat Rara Wilis dan Wirasaba melayani lawannya. Karena itu bagaimanapun ia harus berusaha untuk menyelamatkan mereka itu sampai mereka berhasil membunuh lawan-lawan mereka, supaya mereka tidak ditelan oleh Lawa Ijo. Ketika Lawa Ijo sudah siap untuk meloncat dan menyerangnya kembali, Mantingan membelai trisulanya sekali lagi, seolah-olah untuk yang terakhir kalinya. Ilmu Pacar Wutah-nya sudah dikerahkan sejak lama sebelum Lawa Ijo mempergunakan ilmu terakhirnya. Meskipun demikian ia tak dapat mendesaknya. Apalagi sekarang, pada saat Lawa Ijo sudah sampai pada puncak keganasannya.

WAKTU yang diperlukan Lawa Ijo untuk memusatkan tenaganya tidaklah lama. Beberapa kejap kemudian ia sudah meloncat kembali dan menyerang Mantingan dengan sangat dahsyat. Mantingan pun dengan mati-matian menggerakkan trisulanya dalam puncak ilmu pacar wutah. Namun hanya sesaat saja ia mampu bertahan, sebab kemudian terasa bahwa gerakan-gerakan Lawa Ijo memancarkan udara yang amat panas. Mantingan sadar bahwa udara yang panas itu adalah akibat dari ilmu Lawa Ijo yang dipancarkan oleh kekuatan batinnya yang tinggi dan bersumber pada ilmu hitam. Beberapa kali Mantingan terdesak. Bahkan kemudian dengan garang Lawa Ijo meloncat memburu, didahului oleh udara yang sangat panas. Kali ini Mantingan benar-benar tidak melihat kemungkinan untuk mengelakkan diri. Udara panas yang membakar dirinya, seolah-olah membuat darahnya mendidih dan tak berdaya. Kakinya tiba-tiba terasa lumpuh. Dalam keadaan demikian, ia hanya mampu mengacungkan trisulanya lurus ke depan, ke arah Lawa ijo yang seperti akan menerkamnya dengan dua pisau belati di tangan.

Namun dalam keadaan yang sangat berbahaya itu tiba-tiba terdengarlah jerit ngeri. Yang kemudian disusul tubuh yang jatuh terbanting. Lawa Ijo yang sudah yakin akan dapat menembus dada Mantingan menjadi terkejut, sehingga langkahnya terhenti. Ketika ia menoleh, dan juga Mantingan sempat pula menoleh, dilihatnya Tembini berguling-guling di tanah. Dari dadanya memancar darah merah segar. Seleret pandang Rara Wilis menyambar wajah Mantingan yang kosong. Sebenarnyalah bahwa Rara Wilis melihat keadaan Mantingan yang berbahaya. Karena itu sengaja ia berusaha sekuat tenaga untuk mempengaruhi Lawa Ijo. Karena untuk melukai Wadas Gunung masih agak sulit dan waktu yang terlalu sempit, akhirnya pedang Rara Wilis terpusat ke arah dada Tembini. Untunglah bahwa ketangkasannya mampu mendahului gerak Lawa Ijo yang hampir saja menentukan batas umur Mantingan dengan ilmu yang dinamai oleh Pasingsingan, Alas Kobar, sehingga benar-benar jeritan Tembini dapat menghentikan langkah terakhir Lawa Ijo. Melihat Tembini terbanting dan berguling-guling di tanah, Lawa Ijo sama sekali tidak menaruh perhatian. Ia bahkan menjadi semakin marah karena geraknya terganggu. Karena itu dari mulutnya terdengar umpatan,
“Persetan kau Tembini. Matilah kau kelinci, dan kulitmu akan aku rentang di depan regol sarang kita sebagai peringatan dari salah seorang anggota Lawa Ijo yang memalukan”.
Semua yang mendengar umpatan itu mau tak mau meremang bulu kuduknya. Terhadap anggotanya sendiri, Lawa Ijo dapat berbuat demikian, apalagi kepada lawan-lawannya. Dalam pada itu Bagolan pun menjadi ngeri. Ia tidak mau diperlakukan seperti Tembini. Apalagi lawannya tidak lebih dari seorang gadis kecil.
Tetapi bagaimanapun Bagolan mengerahkan tenaganya, ternyata ia tidak dapat mengatasi keadaan. Sebab rantai perak itu seperti selalu meraung-raung di telinganya, menyambar-nyambar seperti lalat yang dapat saja hinggap di mana-mana di bagian tubuhnya dengan sesukanya. Memang, beberapa kali Bagolan telah merasakan ujung rantai itu menyengat tubuhnya. Sakit dan nyeri. Semakin lama semakin sering. Dan ia tahu benar bahwa gadis kecil itu seperti sedang bermain-main saja. Kalau akhirnya gadis itu bertempur sebenarnya, maka benar-benar seluruh kulitnya akan terkelupas habis.

Kembali mata Lawa ijo yang memancar merah menyambar wajah Mantingan. Dan kembali kemarahan yang membakar dadanya terpancar dari mata itu seperti terpancarnya api. Kali ini Lawa Ijo tidak mau melepaskan korbannya lagi. Apapun yang terjadi. Meskipun semua anggotanya akan berteriak bersama-sama dan mati bersama-sama sekalipun. Ia akan membunuh Mantingan untuk kemudian membunuh Wirasaba dan Arya Salaka. Tetapi ketika ia sudah siap, tiba-tiba dilihatnya seorang anak muda muncul dari kegelapan malam berjalan seenaknya ke arahnya. Wajahnya yang cerah selalu dihiasi oleh senyumnya yang manis. Dengan ramah kemudian terdengar ia berkata,
“Paman Mantingan, sebaiknya Paman beristirahat untuk sementara. Meskipun aku harap Paman untuk selalu mengawasi aku di sini. Beberaoa tahun yang lampau aku mendengar guruku bertempur mati-matian melawan Lawa Ijo di tengah-tengah hutan Tambakbaya. Sekarang kurang lebih lima tahun kemudian, biarlah aku, muridnya, mencoba kesaktiannya. Apakah benar aku telah dapat memenuhi harapan guruku, mewarisi ilmunya untuk sedikitnya seperti ilmu guru lima tahun lalu”.

Melihat kedatangan anak muda dan mendengar kata-katanya untuk mencoba melawannya, Lawa Ijo seperti dihantam batu hitam sebesar kepalanya. Ia menjadi marah sekali, sedemikian marahnya sehingga untuk beberapa saat ia terpaku gemetar di tempatnya. Mantingan pun terheran-heran mendengar permintaan Arya Salaka itu. Apakah benar-benar ia akan melakukannya? Dalam pada itu Mantingan pun kemudian menengok ke segenap arah untuk mencari di manakah orang-orang yang baru saja bertempur melawan Arya Salaka. Tetapi yang tampak hanyalah kegelapan malam. Di sana-sini tampak beberapa orang yang terikat dalam pertempuran berpasang-pasang. Jaladri melawan Carang lampit, Rara Wilis melawan Wadas Gunung, Wirasaba melawan Cemara Aking dan Ketapang, sedangkan Widuri melawan Bagolan. Karena keheranannya maka tanpa sengaja Mantingan bertanya,
“Di manakah lawan Angger tadi…?”
Arya Salaka masih saja tersenyum.
“Aku terpaksa membunuh mereka, paman. Karena ternyata sudah tidak mau mendengar peringatanku. Bahkan mereka dengan ganasnya mencoba membunuh aku pula”.
“Kau bunuh mereka bertiga…?” Tiba-tiba terdengar Lawa Ijo berteriak.
“Maaf Lawa Ijo. Anak buahmu itu terlalu keras kepala,” jawab Arya Salaka.

SEKALI lagi dada Lawa Ijo terguncang. Ketika ia memandang berkeliling ia masih melihat Wadas Gunung, Cemara Aking, Ketapang, Bagolan, Carang Lampit dan Tembini yang terluka. Kalau demikian maka orang-orang yang terbunuh itu adalah Bandotan, Jadipa dan seorang kebanggaannya yang bernama Kyai Sada Gebang. Dengan hampir tidak percaya Lawa Ijo sekali lagi berteriak,
“Benar kau lakukan pembunuhan itu?”
“Aku tidak bermaksud demikian Lawa Ijo. Aku sekadar membela diri. Dan aku tidak melihat cara lain daripada membinasakan mereka. Lebih-lebih orang setengah tua berjanggut panjang dan bersenjata sepasang nenggala. Ganasnya bukan main”.
Tidak atas kehendaknya, Lawa Ijo berkata,
”Ialah Kyai Sada Gebang. Kau bunuh juga orang itu?”
“Terpaksa,” gumam Arya Salaka.
Mau tidak mau Lawa Ijo berpikir keras. Apakah ada orang lain yang membantu anak muda itu sehingga ia berhasil membunuh ketiga orangnya yang sama sekali bukan orang-orang kebanyakan, Dan sekarang anak itu datang menantangnya.
Tiba-tiba timbullah dendam di dalam hati Lawa Ijo. Dendam itu semakin lama semakin membara dan menyala-nyala. Memang sejak semula ia ingin membunuh anak muda itu untuk memadamkan semangat perlawanan anak-anak Banyubiru. Sebab anak-anak Banyubiru yang menyingkir ke daerah Gedong Sanga inilah sebenarnya yang berbahaya bagi jalan yang dirintisnya untuk menguasai seluruh daerah perdikan bekas perdikan Pangrantun.

Dan, sekarang anak itu telah datang kepadanya untuk menyerahkan dirinya. Maka adalah suatu kebetulan bahwa tanpa bersusah payah ia akan dapat mencapai maksudnya. Karena itu dengan menggeram ia berkata,
“Arya Salaka, kalau kau benar-benar dapat membunuh ketiga orang-orangku tanpa bantuan orang lain, maka wajarlah kalau kau berani menantang aku. Tetapi kalau dalam perkelahian ini kau akan terbunuh dengan sia-sia, maka jangan salahkan aku. Bersama-sama dengan Mantingan, kepalamu akan aku penggal dan akan aku pasang kelak di tengah-tengah alun-alun Banyubiru. Dengan demikian apakah kira-kira rakyat Banyubiru itu akan tetap setia kepadamu?”
Arya Salaka tidak menjadi marah mendengar perkataan kasar itu. Ia tahu dari gurunya, bahwa orang-orang semacam Lawa Ijo itu memang selalu berkata kasar. Maka dengan tenangnya ia menjawab,
“Jangan kau menakut-nakuti aku Lawa Ijo. Kepalaku jangan sekali-kali kau penggal, sebab alangkah sulitnya hidup tanpa kepala”.
“Gila!” geramnya.
Mendengar ejekan-ejekan Mantingan, telinga Lawa Ijo telah terbakar hangus, apalagi sekarang anak yang baru dapat tegak berdiri itu telah berani menghinanya pula, menjawab pertanyaan-pertanyaannya dengan cara yang sama. Karena itu Lawa Ijo sudah tidak mau berkata lagi. Sebagai seorang maharaja di daerah alas Mentaok, yang dilindungi oleh gurunya yang maha sakti dan bernama Pasingsingan, Lawa Ijo tidak biasa membiarkan dirinya dihina dan tidak biasa pula mencoba menahan-nahan kemarahannya. Kalau ia ingin membunuh, membunuhlah ia. Kalau ia ingin menyiksa, menyiksalah ia. Kalau ia hanya sekadar ingin merampok, merampoklah ia. Kali ini, timbullah keinginannya untuk membunuh dengan cara yang paling mengerikan. Ia menganggap bahwa orang-orang itu sama sekali tidak menghargainya, tidak merasa ketakutan kepadanya. Karena itu mereka harus mendapat hukuman.

Sambil menggeram dahsyat Lawa Ijo menerkam Arya Salaka, sekaligus dengan ilmunya Alas Kobar. Udara yang panas seolah-olah memancar dari tubuhnya, melingkar ke segenap penjuru di sekitarnya. Mantingan yang tidak mengalami serangan Lawa Ijo itu pun merasakan betapa udara panas itu telah membakar kulitnya. Bersama dengan itu, hatinya pun terguncang keras. Apakah yang akan terjadi dengan Arya Salaka? Mantingan sendiri mengalami kesulitan untuk mempertahankan diri melawan Lawa Ijo. Tetapi hatinya terlonjak ketika ia melihat Arya Salaka dengan tenangnya dapat menghindarkan dirinya dari terkaman pisau Lawa Ijo. Dengan tangkasnya ia berkisar ke samping, dan dengan gerakan yang cepat dan lincah ia meloncat memutar tombak pusakanya, langsung mengarah ke ulu hati lawannya. Lawa Ijo pun terkejut melihat serangan itu. Anak ini benar-benar seperti anak setan. Serangannya yang dibarengi dengan ajinya Alas Kobar, masih sempat dihindari oleh Arya Salaka. Sebenarnyalah bahwa Arya Salaka pun mula-mula terkejut merasakan serangan udara panas itu. Namun tanpa sesadarnya, udara yang panas itu lambat laun menjadi sejuk dengan sendirinya. Setelah peluhnya mengalir dari segenap lubang kulitnya, maka tubuhnya semakin merasa segar. Ia tidak lagi terpengaruh oleh udara panas yang secara bergelombang melibat dirinya. Ia sendiri tak menyadari bahwa berkat pertolongan orang berjubah abu-abulah, ia dapat membebaskan diri dari serangan aji Alas Kobar yang ganas.

Kekuatan-kekuatan yang ada di dalam tubuh Arya Salaka, yang semula merupakan tenaga cadangan untuk menembus urat-urat darahnya di permukaan kulit untuk melawan rangsang dari luar, kini telah bebas. Kekuatan-kekuatan itu dapat dipergunakan untuk keperluan-keperluan khusus. Adalah suatu kurnia baginya, bahwa ia telah berhasil mengatur jalan pernafasannya serta jalur-jalur urat-urat di tubuhnya dengan baik menurut petunjuk Kebo Kanigara, yang disangkanya untuk mendasari ilmunya Sasra Birawa, disusul dengan usaha orang berjubah abu-abu yang telah membuka segenap simpanan kekuatan di dalam tubuhnya. Maka Arya Salaka seolah-olah telah dapat membebaskan dirinya dari gangguan simpul-simpul perasa dari seluruh permukaan kulitnya. Meskipun ia tidak menjadi kebal dari serangan senjata, namun dalam saat-saat tertentu dengan sendirinya ia berhasil mengurangi segenap perasaan yang ditimbulkan oleh simpul-simpul perasa itu.

SEBENARNYALAH, bahwa seseorang dengan mengatur pernafasannya dengan baik, pemusatan pikiran dan kehendak, percaya kepada kebenaran atas tindakannya, dan pasrah setulus-tulusnya kepada Tuhan Yang Maha Besar, dapatlah kiranya orang menyingkirkan diri dari kesadaran perasaan yang ditimbulkan oleh wujud jasmaniahnya. Sehingga akhirnya orang dapat menguasai ujud jasmaniahnya sendiri. Dalam keadaan yang demikianlah Arya Salaka bertempur dengan gigihnya melawan Lawa Ijo. Sebagai seorang pemuda yang sedang berkembang, ia memiliki semangat yang luar biasa. Otot-ototnya yang mulai tampak berjalur-jalur di bawah kulitnya telah membentuk tubuhnya menjadi bertambah serasi dengan wajahnya yang keras penuh daya juang dan penuh harapan bagi masa depan. Mantingan melihat pertempuran itu seperti terpaku di tempatnya. Mimpi pun tidak, bahwa ia akan berkesempatan menyaksikan Arya Salaka bertempur melawan Lawa Ijo dalam keadaan sedemikian baiknya. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Arya Salaka telah berhasil menempa dirinya menjadi seorang anak muda perkasa. Yang mau tidak mau harus diakuinya bahwa anak itu telah melampauinya, dan menempatkan dirinya sejajar dengan tokoh hitam yang terkenal itu. Bahkan ternyata bahwa Arya Salaka sama sekali tidak mengalami kesulitan dalam pertempuran itu, meskipun ia harus melawan ilmu Lawa Ijo yang memancarkan panas, sepanas api.

Mantingan tersadar ketika beberapa kali udara panas melanda dirinya. Karena itu segera ia melangkah surut menjauhi titik pertempuran itu dengan pertanyaan di dalam dirinya. Apakah sebabnya maka Arya Salaka seolah-olah sama sekali tidak merasakan sentuhan-sentuhan udara panas itu. Meskipun demikian Mantingan belum berani meninggalkan Arya Salaka bertempur di luar pengawasannya. Kalau terjadi sesuatu atas anak itu, maka Mantingan-lah yang bertanggungjawab sepenuhnya. Sedangkan untuk ikut serta di dalam pertempuran itu, Mantingan tidak sampai hati. Ia tidak melihat keharusan untuk bertempur berpasangan melawan Lawa ijo, meskipun ia yakin bahwa seandainya ia ikut serta maka pasti ia berdua dengan Arya Salaka akan segera dapat memenangkan pertempuran itu, meskipun barangkali tubuhnya akan hangus oleh pancaran panas dari tubuh Lawa Ijo. Karena itu Mantingan hanya dapat melihat saja pertempuran itu dengan penuh minat, meskipun trisulanya tetap tergenggam erat di tangan. Ia kemudian menjadi bangga ketika melihat Arya Salaka bertempur dengan gagahnya, menyambar-nyambar seperti burung rajawali raksasa. Tetapi Lawa Ijo pun lincah. Ia benar-benar dapat bergerak seperti kelelawar di dalam gelap. Matanya menjadi bercahaya seperti mata serigala. Dengan menggeram dahsyat sekali ia bertempur semakin ganas. Namun demikian di dalam hatinya terseliplah pertanyaan yang membelit-belit dirinya. Seperti juga Mantingan, Lawa Ijo menjadi heran, kenapa anak muda itu dapat membebaskan dirinya dari pengaruh ilmu Alas Kobar. Ketika Lawa Ijo tidak dapat menemukan jawab atas pertanyaan itu, justru ia menjadi semakin marah. Geraknya menjadi semakin ganas. Mirip seperti serigala kelaparan, ia merangsang lawannya dengan rakusnya. Kedua pisau belatinya berkilat-kilat menyambar-nyambar seperti sepasang halilintar, yang dipakai Dewa Pencabut Nyawa seperti dalam ceritera pewayangan.

Tetapi Arya Salaka pun tangguh bukan kepalang. Tombaknya dapat melindungi tubuhnya rapat sekali. Sedang gumpalan bayangan tombaknya itu bergulung-gulung seperti awan gelap yang siap menelan apa saja yang menghalangi dirinya. Pertempuran itu berlangsung dengan dahsyatnya. Lawa Ijo, murid terkasih hantu bertopeng, melawan Arya Salaka. Dalam dunia pengembaraannya, Lawa Ijo telah banyak memiliki pengalaman yang dahsyat dan mengerikan. Telah beberapa puluh orang yang cukup terkenal dilawan dan dibunuhnya. Telah beberapa daerah perdikan yang didatanginya dan bertekuk lutut menyerahkan segala harta kekayaannya. Tetal beberapa kali ia berhasil meloloskan diri dari jaring-jaring yang dipasang oleh para pejabat keamanan dari Kerajaan Demak. Namun ia masih tetap pada pekerjaannya. Merampok. Membunuh.
Dan yang terakhir, terbersitlah kemauan Lawa Ijo untuk menundukkan perdikan Banyubiru. Apalagi ketika tersiar berita untuk kedua kalinya, bahwa Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten tersimpan di daerah itu. Ketika itu ia bersepakat dengan kawan-kawan segolongannya untuk bersama-sama menghancurkan Banyubiru. Meskipun mereka yakin, bahwa setelah itu akan terjadi saling mendesak dan saling membunuh diantara golongan hitam itu sendiri.
Namun tiba-tiba rintisan usahanya itu terbentur hanya karena Arya Salaka datang kembali ke tanah perdikannya. Apakah sebenarnya arti dari anak ini? Tetapi ia sekarang menghadapi suatu kenyataan bahwa Arya Salaka yang masih muda itu memiliki kekuatan yang harus diperhitungkan. Dengan demikian maka dada Lawa Ijo menjadi semakin bergolak. Dengan darah yang mendidih ia mengerahkan segenap kekuatannya dengan dilambari oleh ilmunya Alas Kobar untuk membinasakan anak itu.

ARYA SALAKA bukanlah seekor cacing yang hanya mampu melingkarkan diri. Lebih dari lima tahun ia telah membajakan dirinya, dipadu dengan tubuhnya yang sedang mekar dalam umurnya yang muda itu. Maka ia adalah seorang anak muda yang luar biasa. Ia memiliki ketangkasan, ketangguhan dan kelincahan yang dapat menyamai Lawa Ijo. Bahkan apapun yang dapat dilakukan oleh Lawa Ijo, dapat disejajari oleh lawannya yang muda itu. Dengan demikian Lawa Ijo menjadi bertambah marah, bahkan akhirnya ia kehilangan kesabaran dan perhitungan. Apalagi ketika sekali-kali ia sempat melihat lingkaran-lingkaran pertempuran yang lain.
Tak ada tanda-tanda sama sekali bahwa anak buahnya dapat mengatasi keadaan. Wadas Gunung, adik seperguruannya ternyata semakin sulit keadaannya. Ia hanya dapat berkisar mundur dan mundur. Tanpa Tembini, bagi Wilis, Wadas Gunung sama sekali tidak berarti, meskipun untuk membunuhnya tidak pula terlalu mudah. Sedang Wirasaba masih bertempur pula dengan garangnya. Kapaknya terayun-ayun menakutkan. Di kejauhan tampak Widuri berdiri tegak dengan rantai berputar di tangan kanannya. Bagolan yang berdiri beberapa langkah di mukanya hanya berkisar-kisar saja. Dengan tertawa-tawa Widuri membiarkan Bagolan menyerangnya. Tetapi untuk beberapa lama Bagolan sama sekali tak berani mendekati gadis kecil dengan rantai berputar itu. Seperti seekor ayam jantan yang takut menghadapi lawannya, ia berkisar berputar-putar. Namun kemana ia pergi, Widuri selalu menghadapinya. Akhirnya Bagolan menjadi marah juga. Marah, malu dan segala macam perasaan bercampur baur. Kedua bola besi bertangkai ditangannya telah basah karena peluhnya. Dengan gemetar ia menggigit bibirnya. Sekali-sekali ia ingin meloncat dan memukul hancur gadis itu. Tetapi setelah sekian lama ia bertempur, ia mengetahui benar bahwa gadis kecil itu telah memiliki kesempurnaan dalam bermain-main dengan rantainya. Sehingga yang dapat diperbuatnya hanyalah mengumpat-umpat di dalam hati tak habis-habisnya. Kalau saja Widuri menyerangnya, Bagolan akan mendapat kesempatan pada perubahan-perubahan gerak gadis itu. Tetapi ternyata Widuri masih berdiri saja di tempatnya. Tetapi justru karena itu Bagolan merasa malam itu tegang sekali. Keningnya berkerut-kerut dan nafasnya terdengar berkejaran. Ia ingin berbuat sesuatu, tetapi tidak dapat. Karena itulah maka ia menjadi seperti cacing kepanasan.

Lawa Ijo sendiri akhirnya merasa, bahwa Arya Salaka ternyata jauh meleset dari anggapannya. Anak muda itu bertempur dengan tangkasnya. Apa yang dilakukan oleh anak muda itu benar-benar seperti apa yang dilakukan oleh Mahesa Jenar beberapa tahun yang lalu di hutan Tambak Baya. Ketangkasan, ketangguhan dan ketrampilan. Bahkan sekarang, ketika ia telah dapat melengkapi ilmunya dengan ilmu pamungkasnya Alas Kobar, anak itu sama sekali tidak menemui kesulitan apa-apa, sehingga menurut penilaian Lawa Ijo, Arya Salaka sekarang telah lebih jauh maju dari Mahesa Jenar lima tahun yang lalu. Disamping perasaan marah, timbul pula sepercik pertanyaan di dalam dada hantu Mentaok itu. Kalau muridnya telah berhasil menguasai ilmu sedemikian tingginya, lalu bagaimana dengan Mahesa Jenar sendiri. Sementara itu Arya Salaka bertempur terus dengan cepatnya. Karena ia pernah mendengar, bahwa Lawa Ijo memiliki ilmu yang tinggi, maka ia tidak berani berjuang dengan separoh hati. Dan sekarang ternyata apa yang pernah didengarnya itu adalah benar. Ia pernah bertempur dan bahkan membunuh sepasang Uling dari Rawa Pening. Namun ternyata Lawa Ijo mempunyai kelebihan dari mereka. Tetapi Arya Salaka tidak tahu bahwa ilmu Alas Kobar-lah yang agak mengganggu dirinya, karena sebagian kekuatan cadangannya tersalur untuk melawan kekuatan pancaran panas sehingga kulitnya tidak hangus karenanya, disamping tata pernafasannya yang sempurna serta kebulatan pikiran dan tekadnya, serta pasrah diri setulus-tulusnya kepada Yang Maha Besar. Maka hal yang demikian itulah yang telah mengurangi gangguan-gangguan perasaan pada bentuk jasmaniahnya.

Lawa Ijo semakin lama menjadi semakin ganas. Ia sama sekali tidak peduli ketika didengarnya sekali lagi sebuah teriakan nyaring dari mulut orang yang bernama Ketapang, karena goresan kapak Wirasaba. Bahkan ia kemudian tidak sadar ketika di sekeliling titik pertempuran itu telah berdiri berjajar-jajar Wirasaba, Rara Wilis dan Endang Widuri disamping Mantingan. Mereka telah kehilangan lawan-lawan mereka, karena melarikan diri. Tetapi sebenarnya Lawa Ijo sendirilah yang telah mengeluarkan perintah itu. Perintah untuk meninggalkan gelanggang, sebab ia yakin kalau anak buahnya bertempur semakin lama, mereka pasti akan binasa. Dengan sebuah suitan yang tak dimengerti oleh orang lain, Lawa Ijo membenarkan anak buahnya untuk menyingkir. Tetapi ia sendiri sama sekali belum bermaksud meninggalkan pertempuran itu. Ia benar-benar ingin membunuh Arya Salaka. Ia mengenal sifat-sifat kesatria dari lawan-lawannya itu. Karena sifat-sifat itu maka mereka pasti tidak akan menyerangnya bersama-sama. Perhitungan-perhitungan yang licik ini pun bagi Lawa Ijo tidak ada halangan apapun. Ia dapat berbuat apa saja untuk mencapai maksudnya. Dan ternyata perhitungannya kali ini pun benar. Rara Wilis, Widuri, Mantingan dan Wirasaba bahkan kemudian juga Jaladri, hanya berdiri dengan tegang mengamati pertempuran itu dengan seksama, meskipun di tangan mereka tetap tergenggam senjata masing-masing. Bahkan ujung pedang Rara Wilis itupun meskipun menunduk ke tanah, namun tetap bergetaran, siap untuk menembus dada hantu dari Mentaok itu. Namun mereka seakan-akan terpesona melihat pertempuran itu. Meskipun mereka tidak merasa curang, apabila mereka bersama-sama menangkap Lawa Ijo itu, namun tiba-tiba di dalam hati mereka timbullah keinginan mereka untuk membiarkan Arya Salaka bertempur sendiri.

LAWA IJO yang ingin meyakinkan dirinya, bahwa ia mengharap untuk dibiarkan bertempur sendiri, kemudian berkata,
“Hai betina-betina dari Banyubiru… kenapa kalian tidak maju bersama-sama? Jangan berpura-pura bersikap jantan dengan membiarkan anak kecil ini menjadi korban kesombongan kalian.”
Dari jajaran para penonton itu terdengar Mantingan menjawab,
“Lawa Ijo, jangan pergunakan cara yang berpura-pura untuk menyelamatan diri. Jangan pula berbicara tentang kejantanan. Dan apakah salahnya kalau kami bersama-sama dan beramai-ramai menangkapmu? Bukankah kau telah dengan sembunyi-sembunyi memasuki perkemahan kami? Tetapi biarlah untuk sementara kami ingin melihat kau bertempur.”
Hati Lawa Ijo menjadi bertambah panas. Tetapi ia tidak dapat berbuat banyak. Meskipun orang-orang lain tidak ikut membantu Arya bertempur, namun senjata-senjata mereka yang telah siap itu pun sangat mempengaruhinya. Apalagi memang sebenarnyalah bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan anak muda ini, meskipun anak muda ini pun mempunyai harapan yang kecil saja untuk mengalahkannya. Namun sebagai seorang tokoh yang namanya telah bersemayam di dalam hati rakyat di sekitar hutan Mentaok, maka ia pun menjadi malu atas dirinya sendiri.

Mula-mula Mantingan dan kawan-kawannya menjadi heran, apakah maksud Lawa Ijo dengan memperpanjang pertempuran itu. Sebab mereka sudah pasti dan Lawa Ijo sendiri juga sudah pasti bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan Arya Salaka. Tetapi kenapa ia tidak saja melarikan diri seperti kawan-kawannya? Pertanyaan itu akhirnya memenuhi rongga dada Mantingan. Karena itu ia pun menjadi bertambah waspada. Apakah kawan-kawan Lawa Ijo pergi untuk memanggil kawan-kawannya. Kemudian dengan berbisik-bisik disampaikanlah kecurigaannya itu kepada Wirasaba, yang ternyata sependapat pula. Apalagi kemudian di kejauhan terdengarlah suatu suitan nyaring. Nyaring sekali seperti suara hantu kehilangan anaknya. Suara suitan itu kemudian disahut pula dengan suara lain yang lebih jauh tetapi dengan nada yang lebih tinggi. Mantingan melihat sesuatu tidak pada tempatnya. Karena itu, ia tidak dapat membiarkan pertempuran itu lebih lama lagi. Dengan lantang terdengarlah ia memerintah,
“Tangkap iblis dari Mentaok ini.”
Rara Wilis, Widuri, Jaladri dan Wirasaba segera berloncatan mengepung Lawa Ijo yang tinggal bertempur seorang diri. Untuk beberapa saat Lawa Ijo meloncat surut dan berhenti bertempur. Dengan mata yang liar ia memandang berkeliling, seolah-olah ia sedang mencari kelemahan dari kepungan itu. Ketika matanya menyambar wajah Jaladri, ia berharap untuk dapat menembus di sisi itu. Tetapi tiba-tiba Lawa Ijo melihat Wirasaba merapatkan dirinya. Kemudian matanya berkisar pada Widuri. Ah, anak ini bukan main. Wajahnya yang mungil itu tampak cerah, secerah bintang. Diam-diam Lawa Ijo mengaguminya. Tetapi ia tidak mempunyai kesempatan untuk mengagumi kecantikan gadis kecil itu. Dalam kegelisahan, tiba-tiba wajah Lawa Ijo menjadi terang kembali. Tampaklah kemudian sebuah senyuman menghias bibirnya.

Sebaliknya, orang-orang yang mengepungnya menjadi terkejut karenanya. Mereka sadar bahwa suara itu mempunyai arti yang penting sekali bagi Lawa Ijo dan bahkan bagi perkemahan anak-anak Banyubiru itu. Karena itu, tanpa bersepakat, mereka bersama-sama menyiagakan diri untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang lebih berbahaya. Dan apa yang mereka cemaskan itu terjadi. Dalam keremangan cahaya bintang yang lemah, tampaklah sebuah bayangan seperti bayangan hantu yang melayang-layang memasuki gelanggang dan kemudian berdiri tegak disamping Lawa Ijo. Bayangan dari seorang yang berjubah abu-abu serta menyembunyikan wajahnya dibalik sebuah topeng yang kasar dan jelek.
“Pasingsingan…!” Hampir setiap mulut berdesis mengucapkan nama yang mengerikan itu.
Terdengar Pasingsingan tertawa pendek. Kemudian seperti bergulung-gulung di dalam perutnya ia berkata,
“Apakah yang telah kalian lakukan terhadap Lawa Ijo?”
Pertanyaan itu sederhana sekali, namun di dalamnya terkandung suatu tuntutan yang dalam. Dalam kalimat yang sederhana itu Pasingsingan telah menyatakan maksud kedatangannya. Menuntut bela terhadap murid serta anak buahnya. Apalagi kemudian terdengar ia bergumam, “Kalian telah melakukan beberapa kesalahan.”
Setiap dada menjadi terguncang karenanya. Mereka semua telah mengenal, setidak-tidaknya mendengar nama Pasingsingan. Karena itu, mau tidak mau meremanglah tengkuk mereka melihat orang yang bernama Pasingsingan itu berdiri di hadapan mereka dengan sebuah tuntutan yang mengerikan.
Tetapi mereka tidak akan dapat berbuat lain daripada mengangkat dada mereka sebagai jantan sejati. Sebab mereka yakin bahwa mereka berbuat diatas kebenaran, diatas suatu pengabdian yang tulus.
Karena itu kemudian terdengar Mantingan menjawab,
“Tidak ada sesuatu yang kami lakukan terhadap murid Tuan, selain mengucapkan selamat datang di perkemahan kami, dengan cara yang disenangi oleh murid Tuan sendiri.”
“Hem…” terdengar Pasingsingan mendengus.
“Kau tahu dengan siapakah kau sekarang berhadapan…?”
“Bukankah Tuan yang bergelar Pasingsingan?” jawab Mantingan.
“Bagus!” sahut Pasingsingan dengan suara yang dalam.
“Kalau demikian kalian harus bersikap baik. Jawab semua pertanyaanku dengan baik pula.”
Mantingan mengangguk.
“Nah,” dengus Pasingsingan dari belakang topengnya.
“Kenapa kalian melakukan pembunuhan terhadap anak buah Lawa Ijo?”

Mantingan menarik nafas panjang. Ia tahu bahwa Pasingsingan sedang mencari sebab untuk melakukan pembalasan. Namun demikian ia menjawab.
“Kami sama sekali tidak melakukan pembunuhan tuan. Yang kami lakukan adalah suatu cara untuk menyelamatkan diri kami.”
“Omong kosong” bentak Pasingsingan.
“Apapun alasanmu tetapi beberapa orang anak buah Lawa Ijo itu terbunuh.”
“Lalu apakah yang sebaiknya tuan lakukan seandainya seseorang ingin membunuh tuan?” sahut Mantingan.


<<< Bagian 058                                                                                              Bagian 060 >>>

No comments:

Post a Comment