KETIKA Lawa Ijo tidak sabar lagi melihat pertempuran itu, dengan garangnya ia berteriak,
“Hei Wadas
Gunung, Tembini dan Bagolan… tidak malukah kamu…? Lihatlah lawanmu itu
baik-baik. Ia tidak lebih dari seorang perempuan. Apalagi gadis kecil yang
banyak tingkah itu.”
Kemudian
kepada Rara Wilis dan Widuri, Lawa Ijo berkata,
“Jangan
melawan. Kalian tidak akan dibunuh.”
Terdengarlah
Endang Widuri tertawa dengan suara kekanak-kanakan. Kemudian terdengarlah
jawabannya,
“Kalau kami
tidak akan dibunuh, akan kalian apakan kami…?”
Pertanyaan itu
sungguh tidak terduga. Meskipun Lawa Ijo sedang dipenuhi oleh kemarahan, namun
ia berpikir juga untuk mencari jawabnya.
“Kalian akan
kami bawa ke rumah kami.”
Sekali lagi
Endang Widuri tertawa. Tetapi matanya tidak terlepas dari lawannya. Bahkan
masih saja berhasil mendesak maju. Mendengar jawaban Lawa Ijo, Widuri
meneruskan,
”Kami akan
merepotkan kalian nanti. Karena itu kami kira usulmu tidak dapat kami terima.
Adapun pendapat kami, barangkali baik juga seandainya kalian tidak bermaksud
membunuh kami, sebaiknya kami saja yang membunuh kalian.”
KATA-KATA
Endang Widuri itu sama sekali juga tidak terduga. Tetapi kali ini Lawa Ijo
menjadi bertambah marah. Selama ini agaknya ia merasa bahwa Wadas Gunung,
Tembini dan Bagolan masih berpegang pada perintahnya untuk menangkap
hidup-hidup kedua gadis itu, sehingga mereka bertempur dengan sangat hati-hati
supaya tidak melukai mereka. Karena kemarahan Lawa Ijo sudah memuncak, ia
berteriak keras-keras,
“He, Wadas
Gunung, Tembini dan Bagolan… jangan ragu-ragu lagi. Terserahlah gadis-gadis itu
menurut kehendak kalian. Apakah mereka akan kalian bunuh ataukah akan kalian
hidupi untuk kepentingan kalian.”
Mendengar
kata-kata Lawa Ijo itu, Rara Wilis benar-benar tersinggung. Berbeda dengan
Widuri yang menganggap setiap perkataan Lawa Ijo itu tidak lebih dari perkataan
yang mengungkapkan kemarahannya. Tetapi bagi Rara Wilis yang telah meningkat
dewasa, bahkan telah melampaui dunia keremajaan, sangat sakit hati atas
anggapan seolah-olah dirinya tidak lebih dari barang taruhan. Karena itu
tiba-tiba dadanya terguncang dahsyat. Dari matanya memancarlah perasaan sakit
hati serta kemarahannya. Sejalan dengan itu pedangnya pun menjadi bertambah
garang dan berputar-putra mengerikan. Dalam pada itu Wadas Gunung pun menjadi
sangat malu mendengar teguran kakak seperguruannya. Sebagai seorang murid
Pasingsingan, Wadas Gunung memiliki ilmu yang cukup tinggi. Tetapi karena
perhatian Pasingsingan sebagian besar dicurahkan kepada Lawa Ijo, maka agak
kuranglah waktunya yang diberikan kepada murid mudanya itu.
Meskipun
demikian karena pembawaan tubuhnya yang kokoh kuat, Wadas Gunung adalah orang
yang cukup berbahaya. Karena itu kemudian terdengarlah ia menggeram keras. Dan
dengan sepenuh tenaga ia menyerang lawannya, meskipun di dalam hati kecilnya
terselip juga perasaan sayang apabila kembang yang indah itu rontok karena
tersentuh tangannya. Apalagi kali ini ia bertempur bersama dengan Tembini,
seorang yang memiliki ketangkasan cukup. Sayang bahwa kelincahan Tembini tidak
mendapat saluran yang cukup baik, sehingga seolah-olah ia bertempur tanpa
pegangan selain dari apa yang selalu diperbuatnya selama ia berada di dalam
gerombolan itu dengan sedikit bimbingan dari Lawa Ijo dan Wadas Gunung. Tetapi
lawan mereka kali ini adalah murid Ki Ageng Pandan Alas, dan sekaligus cucunya
pula. Selama beberapa tahun terakhir Pandan Alas tidak mempunyai pekerjaan lain
selain menanam jagung, kecuali mendidik cucunya ini untuk dapat merebut ayahnya
kembali dari tangan anak Sima Rodra dari Lodaya. Hampir setiap saat Rara Wilis
yang kemudian dinamainya Pudak Wangi itu benar-benar selalu bermain-main dengan
pedang tipisnya. Apalagi kemudian karena kedatangan kakak seperguruannya dari
Gunungkidul yang bernama Sarayuda, kesempatan Pudak Wangi itu untuk membajakan
diri menjadi semakin padat.
Karena itulah
kemudian Pudak Wangi dapat menyusul tokoh-tokoh yang sudah terkenal jauh sebelum
dirinya sendiri mengenal tangkai senjata. Ketekunan kakeknya itu, sama sekali
tidak sia-sia. Karena ternyata ia pun berhasil menemukan ayahnya kembali,
meskipun beberapa saat sebelum tarikan nafasnya yang terakhir, yang kemudian
disusul dengan pertempuran yang terjadi di Gedangan, yang memberinya kesempatan
untuk membuat perhitungan dengan janda ayahnya itu. Dengan demikian, meskipun
kali ini ia harus bertempur melawan Wadas Gunung dan Tembini bersama-sama,
namun ia sama sekali tidak berkecil hati. Apalagi perasaan kegadisannya telah
tersinggung. Karena itulah ia pun segera mengerahkan tenaganya untuk menekan
lawannya. Ternyata usahanya berhasil. Lambat laun Wadas Gunung dan Tembini
merasa bahwa dirinyalah yang akan ditentukan nasibnya. Bukan sebaliknya.
Meskipun demikian sebagai orang yang telah bertahun-tahun di dalam lingkungan
yang penuh dengan pertempuran, perkelahian dan pembunuhan, mereka sama sekali
tidak putus asa. Lawa Ijo kemudian menyadari kesulitan Wadas Gunung. Ia tahu
benar bahwa Rara Wilis ternyata telah mewarisi sebagian ilmu kakeknya. Karena
itu tanpa setahunya sendiri ia melangkah mendekati lingkaran pertempuran.
Sedangkan Mantingan menjadi seolah-olah terbius melihat Rara Wilis, Endang
Widuri dan Arya Salaka yang sedang bertempur. Ketika Lawa Ijo melangkah maju,
ia pun mengikuti di belakangnya. Dengan penuh keheranan ia melihat mereka itu
seperti melihat Dewa Yama yang sedang menarikan tarian maut dengan penuh
gairah. Apalagi ketika ia melihat bahwa anak-anak Lawa Ijo itu semakin lama
menjadi semakin terdesak.
Sebaliknya,
Lawa Ijo menjadi semakin marah. Akhirnya ia menjadi sedemikian marahnya
sehingga hampir saja ia melompat menyerbu. Tetapi demikian ia mulai bergerak,
segera Mantingan pun tersadar dari kekaguman yang telah mencekam dirinya.
Karena itu segera ia berkata,
“Lawa Ijo, apa
yang akan kau lakukan?”
Lawa Ijo pun
seperti terbangun dari mimpinya yang buruk, menjadi terkejut. Namun demikian ia
menjawab,
“Aku akan
membunuh mereka itu satu demi satu.”
“Siapakah yang
pertama-tama…?” tanya Ki Dalang Mantingan.
LAWA IJO yang
hatinya sedang menyala-nyala itu menjadi seperti disiram minyak mendengar
pertanyaan Mantingan itu. Karena itu ia menjawab sambil berteriak,
“Kau…!”
Bersamaan
dengan kata-kata yang meluncur dari mulutnya itu, Lawa Ijo tidak menunggu lebih
lama lagi. Segera ia memutar tubuhnya, meloncat menyerang Mantingan dengan dua
pisau belati panjang di kedua belah tangannya, sambil menggeram,
“Aku bunuh kau
secepatnya supaya tidak selalu membuat telingaku merah. Setelah itu, baru yang
lain.”
Tetapi
Mantingan sudah bersiaga sepenuhnya. Karena itu ketika Lawa Ijo meloncatinya,
Mantingan tidak gugup. Dengan cepat ia mengelakkan diri dan sekaligus
trisulanya bergerak memukul pisau lawannya. Namun Lawa Ijo pun cukup tangkas.
Ketika serangannya gagal, cepat-cepat ia menarik senjatanya, kemudian menyerang
kembali dengan ganasnya. Maka segera terjadi pula satu lingkaran pertempuran
yang tidak kalah serunya. Lawa Ijo dengan dua pisau belati panjang, menyerang
dengan garangnya seperti badai melanda-landa tak henti-hentinya. Namun
Mantingan dapat menyesuaikan dirinya dengan baiknya, mirip seperti sepucuk
cemara yang berputar-putar ke arah badai bertiup. Dengan demikian Mantingan
selalu dapat membebaskan dirinya sendiri serangan lawannya. Tetapi yang
sewaktu-waktu dengan penuh kelincahannya ia menyusup diantara serangan-serangan
Lawa Ijo, mempermainkan trisulanya dengan cepatnya mematuk-matuk seperti
serangan dari beribu-ribu mata tombak yang datang dari segenap penjuru. Itulah
daya keasktian ilmu Ki Dalang Mantingan, yakni Pacar Wutah, sehingga sasarannya
seolah-olah sama sekali tidak mendapat tempat untuk mengelak.
Tetapi lawan
Mantingan kali ini adalah Lawa Ijo, murid Pasingsingan terkasih. Hantu berjubah
abu-abu dan bertopeng menakutkan itu benar-benar telah membekali muridnya
dengan berbagai macam ilmu. Ilmu lahiriah dan ilmu-ilmu batin, meskipun
berlandaskan pada kekuatan hitam. Namun dalam bentuk penerapannya sungguh
mengagumkan. Lawa Ijo mempunyai ketangguhan, ketangkasan dan kecepatan bergerak
yang luar biasa. Ilmu Pacar Wutah yang diwarisi oleh Ki Dalang Mantingan dari
gurunya, Ki Ageng Supit, ternyata tidak berhasil mengurung Lawa Ijo. Bahkan
kemudian semakin lama terasalah bahwa ilmu warisan Pasingsingan lebih ganas
daripada ilmu yang diwarisi oleh Mantingan dari gurunya. Oleh karena itu
Mantingan harus berjuang sekuat tenaga. Beberapa tahun yang lalu, dalam
pertempuran bersama-sama di dekat Rawa Pening, ia telah dapat menyejajarkan
diri dengan tokoh-tokoh golongan hitam itu. Namun dalam perkembangan
selanjutnya, agaknya Lawa Ijo telah bekerja lebih tekun lagi. Apalagi Lawa Ijo
telah bertempur dengan cara yang buas sekali. Baginya tidak ada pantangan
apapun untuk mencapai tujuannya. Kekejaman, kekasaran dan kelicikan, semuanya
adalah cara yang dapat saja dipakainya. Sedangkan Mantingan bertempur dengan
penuh kejantanan dan kejujuran. Meskipun sekali dua kali ia mengalami
tekanan-tekanan yang kasar dan gila, namun tak terpikir olehnya untuk ikut
serta melayani Lawa Ijo dengan cara-cara yang kasar dan curang. Dalam pada itu,
semakin lama semakin jelas bahwa Mantingan tidak berhasil menempatkan dirinya
pada keadaan yang menguntungkan. Beberapa kali ia terdesak mundur. Untunglah
bahwa ia pun memiliki pengalaman yang luar biasa. Sebagai seorang dalang yang
selalu mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain untuk menyebarkan
kisah-kisah kepahlawanan yang tertera dalam kitab-kitab Mahabarata dan
Ramayana, dan sekaligus menyelenggarakan hiburan untuk rakyat, Mantingan pernah
menjumpai seribu satu macam peristiwa dan gangguan-gangguan lahir batin.
Berdasarkan pada segenap pengalaman itulah Mantingan menempa dirinya di
perguruan Wanakerta.
Namun kali ini
ia tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa ilmu Lawa Ijo berada segaris di
atasnya. karena itu ia harus berjuang dengan penuh kebulatan tekad. Kalau saja
otaknya tidak ikut serta bertempur saat itu, mungkin ia sudah tergilas hancur.
Tetapi karena kecerdasannya, ia dapat mempergunakan setiap saat dan keadaan
untuk membantu dirinya. Meskipun demikian hati Mantingan mengeluh juga.
“Luar biasa,
Lawa Ijo ini,” pikirnya.
“Tetapi aku
harus bertahan sedikit-dikitnya untuk waktu yang sama dengan waktu yang
diperlukan oleh Wadas Gunung dan Carang Lampit.”
Sekali-kali
Mantingan sempat melirik ke arah lingkaran pertempuran Rara Wilis. Melihat
hasil itu, ia menjadi berbesar hati. Seandainya ia harus binasa melawan Lawa
Ijo, namun Rara Wilis harus sudah berhasil menyelesaikan pertempurannya. Dengan
demikian ia mengharap gadis itu dapat membebaskan dirinya dari serangan bersama
yang dibarengi oleh kekuatan Lawa Ijo yang dahsyat. Untuk melawan Lawa Ijo
sendiri, Mantingan masih belum dapat menilai apakah Rara Wilis akan mampu.
Tetapi ia masih mempunyai harapan lain. Sebab Wirasaba pun dapat mendesak
musuhnya. Dalam kesibukan berpikir, Mantingan sempat merasakan kegelian juga
melihat Endang Widuri. Kalau saja ia tidak sibuk mempermainkan trisulanya, mau
ia menggaruk-garuk kepalanya. Gadis itu bertempur sama sekali seenaknya saja,
meskipun ia berhadapan dengan Bagolan. Seorang yang bertubuh pendek gemuk
seperti babi hutan dengan dua bola besi bertangkai di kedua tangannya.
Tetapi
Mantingan tidak mempunyai waktu banyak karena terus-menerus terdesak dan harus
bertahan. Akhirnya kesempatan untuk menyerang menjadi semakin tipis. Bahkan
kemudian trisulanya benar-benar harus diputar seperti baling-baling untuk
melindungi seluruh bagian tubuhnya dari patukan pisau-pisau belati panjang Lawa
Ijo.
LAWA IJO yang
ganas itu hampir tak sabar pula. Ia ingin melumpuhkan lawannya segera. Ia
menjadi marah dan mengumpat tak habis-habisnya melihat kenyataan bahwa
Mantingan sedemikian mahirnya mempermainkan trisulanya, sehingga selubang jarum
pun tak berhasil ditemukan untuk menyusupkan pisau belatinya. Meskipun ia sadar
bahwa Mantingan kini tinggal mampu mempertahankan diri. Mantingan bertahan
mati-matian untuk memperpanjang waktu. Kalau ia kemudian binasa, ia mengharap
Rara Wilis bersama-sama dengan Wirasaba dapat mengganti kedudukannya. Di bagian
lain, Widuri bertempur seperti seekor kijang. Meloncat dengan lincahnya kian
kemari. Kadang-kadang ia berlari-lari berputar-putar seolah-olah sudah tidak
berani lagi menghadapi lawannya. Namun kemudian ketika Bagolan mengejarnya
dengan dada terkembang, tiba-tiba ia berhenti, Widuri menyerang dengan
dahsyatnya. Rantai peraknya berputar-putar seperti lesus yang seolah-olah
menghisap Bagolan untuk masuk ke dalam pusaran anginnya. Dalam keadaan demikian
maka seluruh bagian tubuh Bagolan dialiri keringat dingin. Mati-matian ia harus
menyelamatkan dirinya dari hisapan itu. Gumpalan bayangan rantai Widuri yang
gemerlapan itu membuatnya pening. Segera Bagolan mengumpulkan tenaga lahir
batin, sambil menggerutu tak habis-habisnya. Untunglah bahwa ia memiliki tenaga
raksasa melampaui tenaga Widuri. Sadar akan kelebihannya maka sekali-kali ia
tidak menghindari serangan-serangan lawan kecilnya. dengan sepenuh tenaga ia
mencoba untuk melawan setiap serangan dengan serangan. Widuri pun sadar akan
keadaan ini. Untunglah bahwa ia bersenjata rantai yang lemas, yang tidak
menggoncangkan tangannya dalam benturan-benturan yang terjadi. Namun ia selalu
menjaga bahwa ia harus menghindarkan rantainya untuk tidak melilit senjata
Bagolan, kecuali dalam kecepatan yang tinggi menurut perhitungan yang tepat.
Dan memang ia sedang menunggu kesempatan itu. Kalau mungkin ia akan merampas
bola-bola besi lawannya. Tetapi Bagolan bukan anak-anak seperti dirinya yang
senang pada permainan aneh-aneh. Bagolan adalah salah seorang dari gerombolan
Lawa Ijo yang menilai jiwa seseorang tidak lebih dari jiwa seekor katak. Dengan
uang beberapa keping ia sudah bersedia memotong leher seseorang. Karena itu
kali ini pun tidak ada soal lain dalam benaknya kecuali melumatkan gadis kecil
yang banyak tingkah ini. Meskipun kadang timbul pula ingatan Bagolan bahwa
seorang kawannya memerlukan lawannya itu. Namun seandainya ia berhasil
menangkap hidup pun ia pasti akan membuat perhitungan dengan Jadipa. Gadis
kecil harus ditukar sedikitnya dengan sebuah timang bermata berlian tiga rantai
seperti yang dirampoknya di daerah Mangir beberapa bulan yang lalu.
Tetapi ketika
Widuri itu bertempur semakin cepat, ingatannya tentang timang bermata berlian
tiga rangkai itu pun kabur. Yang ada kemudian adalah ingatan tentang kepalanya
sendiri yang setiap saat terancam akan terlepas dari lehernya. Wirasaba pun
ternyata melihat kesulitan Mantingan. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Ia
tidak dapat meninggalkan lawannya yang pasti akan menyulitkan kawan-kawannya
yang lain. Meskipun ia telah berusaha secepat-cepatnya menyelesaikan
pertempuran, tetapi kedua lawannya yang bernama Cemara Aking dan Ketapang itu
dapat memberikan perlawanan dengan gigih. Ternyata kedua orang itu pun sekadar
dapat memberikan perlawanan dan mengikat Wirasaba dalam suatu pertempuran.
Sebab mereka berdua pun yakin bahwa mereka tidak akan dapat mengalahkan
Wirasaba. Ketika malam bertambah malam, pertempuran itu pun menjadi semakin
sengit. Ketika tubuh mereka telah dibasahi peluh yang mengalir dari setiap
lubang kulit, tandang mereka pun menjadi semakin keras. Masing-masing kemudian
bermaksud untuk segera mengakhiri pertempuran dan membinasakan lawan-lawan
mereka. Demikian juga Lawa Ijo yang semakin keras menekan Ki Dalang Mantingan
ke dalam keadaan yang semakin berbahaya.
Mantingan pun
kemudian harus bekerja lebih keras lagi untuk mempertahankan dirinya. Tetapi
perasaannya kini benar-benar telah bulat, bahwa ia harus menegakkan
kesetiakawanannya terhadap Mahesa Jenar, Arya Salaka dan anak-anak Banyubiru.
Apapun yang akan terjadi atas dirinya. Karena itu ia sama sekali tidak gelisah,
bingung dan berkecil hati ketika tekanan-tekanan Lawa Ijo menjadi semakin
sengit. Namun justru karena itulah maka ia tetap tenang dan menguasai dirinya
sehingga ia tidak kehilangan akal. Dengan demikian maka setidak-tidaknya ia
akan dapat memperpanjang waktu perlawanannya. Sebab dalam keadaan-keadaan yang
sangat sulit sekalipun, otaknya masih cukup cerah untuk mencari jalan keluar
dari bahaya itu.
Lawa Ijo lah
yang justru menjadi gelisah dan marah. Ia ingin segera membunuh lawannya. Namun
sampai beberapa lama usahanya selalu tidak berhasil. Karena itu, dibakar oleh
kemarahannya yang memuncak, tiba-tiba ia berteriak nyaring. Kedua pisaunya
disilangkan di atas kepalanya, sedang dari matanya seolah-olah memancar api
yang menyala-nyala. Mantingan terkejut melihat sikap itu. Ia masih belum tahu
apa maksud dari gerakan-gerakan yang aneh itu. Namun ia yakin bahwa Lawa Ijo
sedang membuka ilmunya yang diandalkan. Dengan demikian Mantingan semakin
menyiagakan diri. Ia masih melihat Rara Wilis dan Wirasaba melayani lawannya.
Karena itu bagaimanapun ia harus berusaha untuk menyelamatkan mereka itu sampai
mereka berhasil membunuh lawan-lawan mereka, supaya mereka tidak ditelan oleh
Lawa Ijo. Ketika Lawa Ijo sudah siap untuk meloncat dan menyerangnya kembali,
Mantingan membelai trisulanya sekali lagi, seolah-olah untuk yang terakhir
kalinya. Ilmu Pacar Wutah-nya sudah dikerahkan sejak lama sebelum Lawa Ijo
mempergunakan ilmu terakhirnya. Meskipun demikian ia tak dapat mendesaknya.
Apalagi sekarang, pada saat Lawa Ijo sudah sampai pada puncak keganasannya.
WAKTU yang
diperlukan Lawa Ijo untuk memusatkan tenaganya tidaklah lama. Beberapa kejap
kemudian ia sudah meloncat kembali dan menyerang Mantingan dengan sangat
dahsyat. Mantingan pun dengan mati-matian menggerakkan trisulanya dalam puncak
ilmu pacar wutah. Namun hanya sesaat saja ia mampu bertahan, sebab kemudian
terasa bahwa gerakan-gerakan Lawa Ijo memancarkan udara yang amat panas.
Mantingan sadar bahwa udara yang panas itu adalah akibat dari ilmu Lawa Ijo
yang dipancarkan oleh kekuatan batinnya yang tinggi dan bersumber pada ilmu
hitam. Beberapa kali Mantingan terdesak. Bahkan kemudian dengan garang Lawa Ijo
meloncat memburu, didahului oleh udara yang sangat panas. Kali ini Mantingan
benar-benar tidak melihat kemungkinan untuk mengelakkan diri. Udara panas yang
membakar dirinya, seolah-olah membuat darahnya mendidih dan tak berdaya.
Kakinya tiba-tiba terasa lumpuh. Dalam keadaan demikian, ia hanya mampu
mengacungkan trisulanya lurus ke depan, ke arah Lawa ijo yang seperti akan
menerkamnya dengan dua pisau belati di tangan.
Namun dalam
keadaan yang sangat berbahaya itu tiba-tiba terdengarlah jerit ngeri. Yang
kemudian disusul tubuh yang jatuh terbanting. Lawa Ijo yang sudah yakin akan
dapat menembus dada Mantingan menjadi terkejut, sehingga langkahnya terhenti.
Ketika ia menoleh, dan juga Mantingan sempat pula menoleh, dilihatnya Tembini
berguling-guling di tanah. Dari dadanya memancar darah merah segar. Seleret
pandang Rara Wilis menyambar wajah Mantingan yang kosong. Sebenarnyalah bahwa
Rara Wilis melihat keadaan Mantingan yang berbahaya. Karena itu sengaja ia
berusaha sekuat tenaga untuk mempengaruhi Lawa Ijo. Karena untuk melukai Wadas
Gunung masih agak sulit dan waktu yang terlalu sempit, akhirnya pedang Rara
Wilis terpusat ke arah dada Tembini. Untunglah bahwa ketangkasannya mampu
mendahului gerak Lawa Ijo yang hampir saja menentukan batas umur Mantingan
dengan ilmu yang dinamai oleh Pasingsingan, Alas Kobar, sehingga benar-benar
jeritan Tembini dapat menghentikan langkah terakhir Lawa Ijo. Melihat Tembini
terbanting dan berguling-guling di tanah, Lawa Ijo sama sekali tidak menaruh
perhatian. Ia bahkan menjadi semakin marah karena geraknya terganggu. Karena
itu dari mulutnya terdengar umpatan,
“Persetan kau
Tembini. Matilah kau kelinci, dan kulitmu akan aku rentang di depan regol
sarang kita sebagai peringatan dari salah seorang anggota Lawa Ijo yang
memalukan”.
Semua yang
mendengar umpatan itu mau tak mau meremang bulu kuduknya. Terhadap anggotanya
sendiri, Lawa Ijo dapat berbuat demikian, apalagi kepada lawan-lawannya. Dalam
pada itu Bagolan pun menjadi ngeri. Ia tidak mau diperlakukan seperti Tembini.
Apalagi lawannya tidak lebih dari seorang gadis kecil.
Tetapi
bagaimanapun Bagolan mengerahkan tenaganya, ternyata ia tidak dapat mengatasi
keadaan. Sebab rantai perak itu seperti selalu meraung-raung di telinganya,
menyambar-nyambar seperti lalat yang dapat saja hinggap di mana-mana di bagian
tubuhnya dengan sesukanya. Memang, beberapa kali Bagolan telah merasakan ujung
rantai itu menyengat tubuhnya. Sakit dan nyeri. Semakin lama semakin sering.
Dan ia tahu benar bahwa gadis kecil itu seperti sedang bermain-main saja. Kalau
akhirnya gadis itu bertempur sebenarnya, maka benar-benar seluruh kulitnya akan
terkelupas habis.
Kembali mata
Lawa ijo yang memancar merah menyambar wajah Mantingan. Dan kembali kemarahan
yang membakar dadanya terpancar dari mata itu seperti terpancarnya api. Kali
ini Lawa Ijo tidak mau melepaskan korbannya lagi. Apapun yang terjadi. Meskipun
semua anggotanya akan berteriak bersama-sama dan mati bersama-sama sekalipun.
Ia akan membunuh Mantingan untuk kemudian membunuh Wirasaba dan Arya Salaka.
Tetapi ketika ia sudah siap, tiba-tiba dilihatnya seorang anak muda muncul dari
kegelapan malam berjalan seenaknya ke arahnya. Wajahnya yang cerah selalu
dihiasi oleh senyumnya yang manis. Dengan ramah kemudian terdengar ia berkata,
“Paman
Mantingan, sebaiknya Paman beristirahat untuk sementara. Meskipun aku harap
Paman untuk selalu mengawasi aku di sini. Beberaoa tahun yang lampau aku
mendengar guruku bertempur mati-matian melawan Lawa Ijo di tengah-tengah hutan
Tambakbaya. Sekarang kurang lebih lima tahun kemudian, biarlah aku, muridnya,
mencoba kesaktiannya. Apakah benar aku telah dapat memenuhi harapan guruku,
mewarisi ilmunya untuk sedikitnya seperti ilmu guru lima tahun lalu”.
Melihat
kedatangan anak muda dan mendengar kata-katanya untuk mencoba melawannya, Lawa
Ijo seperti dihantam batu hitam sebesar kepalanya. Ia menjadi marah sekali,
sedemikian marahnya sehingga untuk beberapa saat ia terpaku gemetar di
tempatnya. Mantingan pun terheran-heran mendengar permintaan Arya Salaka itu.
Apakah benar-benar ia akan melakukannya? Dalam pada itu Mantingan pun kemudian
menengok ke segenap arah untuk mencari di manakah orang-orang yang baru saja
bertempur melawan Arya Salaka. Tetapi yang tampak hanyalah kegelapan malam. Di
sana-sini tampak beberapa orang yang terikat dalam pertempuran
berpasang-pasang. Jaladri melawan Carang lampit, Rara Wilis melawan Wadas
Gunung, Wirasaba melawan Cemara Aking dan Ketapang, sedangkan Widuri melawan
Bagolan. Karena keheranannya maka tanpa sengaja Mantingan bertanya,
“Di manakah
lawan Angger tadi…?”
Arya Salaka
masih saja tersenyum.
“Aku terpaksa
membunuh mereka, paman. Karena ternyata sudah tidak mau mendengar peringatanku.
Bahkan mereka dengan ganasnya mencoba membunuh aku pula”.
“Kau bunuh
mereka bertiga…?” Tiba-tiba terdengar Lawa Ijo berteriak.
“Maaf Lawa
Ijo. Anak buahmu itu terlalu keras kepala,” jawab Arya Salaka.
SEKALI lagi
dada Lawa Ijo terguncang. Ketika ia memandang berkeliling ia masih melihat
Wadas Gunung, Cemara Aking, Ketapang, Bagolan, Carang Lampit dan Tembini yang
terluka. Kalau demikian maka orang-orang yang terbunuh itu adalah Bandotan,
Jadipa dan seorang kebanggaannya yang bernama Kyai Sada Gebang. Dengan hampir
tidak percaya Lawa Ijo sekali lagi berteriak,
“Benar kau
lakukan pembunuhan itu?”
“Aku tidak
bermaksud demikian Lawa Ijo. Aku sekadar membela diri. Dan aku tidak melihat
cara lain daripada membinasakan mereka. Lebih-lebih orang setengah tua berjanggut
panjang dan bersenjata sepasang nenggala. Ganasnya bukan main”.
Tidak atas
kehendaknya, Lawa Ijo berkata,
”Ialah Kyai
Sada Gebang. Kau bunuh juga orang itu?”
“Terpaksa,”
gumam Arya Salaka.
Mau tidak mau
Lawa Ijo berpikir keras. Apakah ada orang lain yang membantu anak muda itu
sehingga ia berhasil membunuh ketiga orangnya yang sama sekali bukan
orang-orang kebanyakan, Dan sekarang anak itu datang menantangnya.
Tiba-tiba
timbullah dendam di dalam hati Lawa Ijo. Dendam itu semakin lama semakin membara
dan menyala-nyala. Memang sejak semula ia ingin membunuh anak muda itu untuk
memadamkan semangat perlawanan anak-anak Banyubiru. Sebab anak-anak Banyubiru
yang menyingkir ke daerah Gedong Sanga inilah sebenarnya yang berbahaya bagi
jalan yang dirintisnya untuk menguasai seluruh daerah perdikan bekas perdikan
Pangrantun.
Dan, sekarang
anak itu telah datang kepadanya untuk menyerahkan dirinya. Maka adalah suatu
kebetulan bahwa tanpa bersusah payah ia akan dapat mencapai maksudnya. Karena
itu dengan menggeram ia berkata,
“Arya Salaka,
kalau kau benar-benar dapat membunuh ketiga orang-orangku tanpa bantuan orang
lain, maka wajarlah kalau kau berani menantang aku. Tetapi kalau dalam
perkelahian ini kau akan terbunuh dengan sia-sia, maka jangan salahkan aku. Bersama-sama
dengan Mantingan, kepalamu akan aku penggal dan akan aku pasang kelak di
tengah-tengah alun-alun Banyubiru. Dengan demikian apakah kira-kira rakyat
Banyubiru itu akan tetap setia kepadamu?”
Arya Salaka
tidak menjadi marah mendengar perkataan kasar itu. Ia tahu dari gurunya, bahwa
orang-orang semacam Lawa Ijo itu memang selalu berkata kasar. Maka dengan
tenangnya ia menjawab,
“Jangan kau
menakut-nakuti aku Lawa Ijo. Kepalaku jangan sekali-kali kau penggal, sebab
alangkah sulitnya hidup tanpa kepala”.
“Gila!”
geramnya.
Mendengar
ejekan-ejekan Mantingan, telinga Lawa Ijo telah terbakar hangus, apalagi
sekarang anak yang baru dapat tegak berdiri itu telah berani menghinanya pula,
menjawab pertanyaan-pertanyaannya dengan cara yang sama. Karena itu Lawa Ijo
sudah tidak mau berkata lagi. Sebagai seorang maharaja di daerah alas Mentaok,
yang dilindungi oleh gurunya yang maha sakti dan bernama Pasingsingan, Lawa Ijo
tidak biasa membiarkan dirinya dihina dan tidak biasa pula mencoba
menahan-nahan kemarahannya. Kalau ia ingin membunuh, membunuhlah ia. Kalau ia
ingin menyiksa, menyiksalah ia. Kalau ia hanya sekadar ingin merampok,
merampoklah ia. Kali ini, timbullah keinginannya untuk membunuh dengan cara
yang paling mengerikan. Ia menganggap bahwa orang-orang itu sama sekali tidak
menghargainya, tidak merasa ketakutan kepadanya. Karena itu mereka harus
mendapat hukuman.
Sambil
menggeram dahsyat Lawa Ijo menerkam Arya Salaka, sekaligus dengan ilmunya Alas
Kobar. Udara yang panas seolah-olah memancar dari tubuhnya, melingkar ke
segenap penjuru di sekitarnya. Mantingan yang tidak mengalami serangan Lawa Ijo
itu pun merasakan betapa udara panas itu telah membakar kulitnya. Bersama
dengan itu, hatinya pun terguncang keras. Apakah yang akan terjadi dengan Arya
Salaka? Mantingan sendiri mengalami kesulitan untuk mempertahankan diri melawan
Lawa Ijo. Tetapi hatinya terlonjak ketika ia melihat Arya Salaka dengan
tenangnya dapat menghindarkan dirinya dari terkaman pisau Lawa Ijo. Dengan
tangkasnya ia berkisar ke samping, dan dengan gerakan yang cepat dan lincah ia
meloncat memutar tombak pusakanya, langsung mengarah ke ulu hati lawannya. Lawa
Ijo pun terkejut melihat serangan itu. Anak ini benar-benar seperti anak setan.
Serangannya yang dibarengi dengan ajinya Alas Kobar, masih sempat dihindari
oleh Arya Salaka. Sebenarnyalah bahwa Arya Salaka pun mula-mula terkejut
merasakan serangan udara panas itu. Namun tanpa sesadarnya, udara yang panas
itu lambat laun menjadi sejuk dengan sendirinya. Setelah peluhnya mengalir dari
segenap lubang kulitnya, maka tubuhnya semakin merasa segar. Ia tidak lagi
terpengaruh oleh udara panas yang secara bergelombang melibat dirinya. Ia
sendiri tak menyadari bahwa berkat pertolongan orang berjubah abu-abulah, ia
dapat membebaskan diri dari serangan aji Alas Kobar yang ganas.
Kekuatan-kekuatan
yang ada di dalam tubuh Arya Salaka, yang semula merupakan tenaga cadangan
untuk menembus urat-urat darahnya di permukaan kulit untuk melawan rangsang
dari luar, kini telah bebas. Kekuatan-kekuatan itu dapat dipergunakan untuk
keperluan-keperluan khusus. Adalah suatu kurnia baginya, bahwa ia telah
berhasil mengatur jalan pernafasannya serta jalur-jalur urat-urat di tubuhnya
dengan baik menurut petunjuk Kebo Kanigara, yang disangkanya untuk mendasari
ilmunya Sasra Birawa, disusul dengan usaha orang berjubah abu-abu yang telah
membuka segenap simpanan kekuatan di dalam tubuhnya. Maka Arya Salaka
seolah-olah telah dapat membebaskan dirinya dari gangguan simpul-simpul perasa
dari seluruh permukaan kulitnya. Meskipun ia tidak menjadi kebal dari serangan
senjata, namun dalam saat-saat tertentu dengan sendirinya ia berhasil
mengurangi segenap perasaan yang ditimbulkan oleh simpul-simpul perasa itu.
SEBENARNYALAH,
bahwa seseorang dengan mengatur pernafasannya dengan baik, pemusatan pikiran
dan kehendak, percaya kepada kebenaran atas tindakannya, dan pasrah
setulus-tulusnya kepada Tuhan Yang Maha Besar, dapatlah kiranya orang
menyingkirkan diri dari kesadaran perasaan yang ditimbulkan oleh wujud
jasmaniahnya. Sehingga akhirnya orang dapat menguasai ujud jasmaniahnya
sendiri. Dalam keadaan yang demikianlah Arya Salaka bertempur dengan gigihnya
melawan Lawa Ijo. Sebagai seorang pemuda yang sedang berkembang, ia memiliki
semangat yang luar biasa. Otot-ototnya yang mulai tampak berjalur-jalur di
bawah kulitnya telah membentuk tubuhnya menjadi bertambah serasi dengan
wajahnya yang keras penuh daya juang dan penuh harapan bagi masa depan.
Mantingan melihat pertempuran itu seperti terpaku di tempatnya. Mimpi pun
tidak, bahwa ia akan berkesempatan menyaksikan Arya Salaka bertempur melawan
Lawa Ijo dalam keadaan sedemikian baiknya. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa
Arya Salaka telah berhasil menempa dirinya menjadi seorang anak muda perkasa.
Yang mau tidak mau harus diakuinya bahwa anak itu telah melampauinya, dan
menempatkan dirinya sejajar dengan tokoh hitam yang terkenal itu. Bahkan
ternyata bahwa Arya Salaka sama sekali tidak mengalami kesulitan dalam
pertempuran itu, meskipun ia harus melawan ilmu Lawa Ijo yang memancarkan
panas, sepanas api.
Mantingan
tersadar ketika beberapa kali udara panas melanda dirinya. Karena itu segera ia
melangkah surut menjauhi titik pertempuran itu dengan pertanyaan di dalam
dirinya. Apakah sebabnya maka Arya Salaka seolah-olah sama sekali tidak
merasakan sentuhan-sentuhan udara panas itu. Meskipun demikian Mantingan belum
berani meninggalkan Arya Salaka bertempur di luar pengawasannya. Kalau terjadi
sesuatu atas anak itu, maka Mantingan-lah yang bertanggungjawab sepenuhnya.
Sedangkan untuk ikut serta di dalam pertempuran itu, Mantingan tidak sampai
hati. Ia tidak melihat keharusan untuk bertempur berpasangan melawan Lawa ijo,
meskipun ia yakin bahwa seandainya ia ikut serta maka pasti ia berdua dengan
Arya Salaka akan segera dapat memenangkan pertempuran itu, meskipun barangkali
tubuhnya akan hangus oleh pancaran panas dari tubuh Lawa Ijo. Karena itu
Mantingan hanya dapat melihat saja pertempuran itu dengan penuh minat, meskipun
trisulanya tetap tergenggam erat di tangan. Ia kemudian menjadi bangga ketika
melihat Arya Salaka bertempur dengan gagahnya, menyambar-nyambar seperti burung
rajawali raksasa. Tetapi Lawa Ijo pun lincah. Ia benar-benar dapat bergerak
seperti kelelawar di dalam gelap. Matanya menjadi bercahaya seperti mata
serigala. Dengan menggeram dahsyat sekali ia bertempur semakin ganas. Namun
demikian di dalam hatinya terseliplah pertanyaan yang membelit-belit dirinya.
Seperti juga Mantingan, Lawa Ijo menjadi heran, kenapa anak muda itu dapat
membebaskan dirinya dari pengaruh ilmu Alas Kobar. Ketika Lawa Ijo tidak dapat
menemukan jawab atas pertanyaan itu, justru ia menjadi semakin marah. Geraknya
menjadi semakin ganas. Mirip seperti serigala kelaparan, ia merangsang lawannya
dengan rakusnya. Kedua pisau belatinya berkilat-kilat menyambar-nyambar seperti
sepasang halilintar, yang dipakai Dewa Pencabut Nyawa seperti dalam ceritera
pewayangan.
Tetapi Arya
Salaka pun tangguh bukan kepalang. Tombaknya dapat melindungi tubuhnya rapat
sekali. Sedang gumpalan bayangan tombaknya itu bergulung-gulung seperti awan
gelap yang siap menelan apa saja yang menghalangi dirinya. Pertempuran itu
berlangsung dengan dahsyatnya. Lawa Ijo, murid terkasih hantu bertopeng,
melawan Arya Salaka. Dalam dunia pengembaraannya, Lawa Ijo telah banyak
memiliki pengalaman yang dahsyat dan mengerikan. Telah beberapa puluh orang
yang cukup terkenal dilawan dan dibunuhnya. Telah beberapa daerah perdikan yang
didatanginya dan bertekuk lutut menyerahkan segala harta kekayaannya. Tetal
beberapa kali ia berhasil meloloskan diri dari jaring-jaring yang dipasang oleh
para pejabat keamanan dari Kerajaan Demak. Namun ia masih tetap pada
pekerjaannya. Merampok. Membunuh.
Dan yang
terakhir, terbersitlah kemauan Lawa Ijo untuk menundukkan perdikan Banyubiru.
Apalagi ketika tersiar berita untuk kedua kalinya, bahwa Kyai Nagasasra dan
Kyai Sabuk Inten tersimpan di daerah itu. Ketika itu ia bersepakat dengan
kawan-kawan segolongannya untuk bersama-sama menghancurkan Banyubiru. Meskipun
mereka yakin, bahwa setelah itu akan terjadi saling mendesak dan saling
membunuh diantara golongan hitam itu sendiri.
Namun
tiba-tiba rintisan usahanya itu terbentur hanya karena Arya Salaka datang
kembali ke tanah perdikannya. Apakah sebenarnya arti dari anak ini? Tetapi ia
sekarang menghadapi suatu kenyataan bahwa Arya Salaka yang masih muda itu
memiliki kekuatan yang harus diperhitungkan. Dengan demikian maka dada Lawa Ijo
menjadi semakin bergolak. Dengan darah yang mendidih ia mengerahkan segenap
kekuatannya dengan dilambari oleh ilmunya Alas Kobar untuk membinasakan anak
itu.
ARYA SALAKA
bukanlah seekor cacing yang hanya mampu melingkarkan diri. Lebih dari lima
tahun ia telah membajakan dirinya, dipadu dengan tubuhnya yang sedang mekar
dalam umurnya yang muda itu. Maka ia adalah seorang anak muda yang luar biasa.
Ia memiliki ketangkasan, ketangguhan dan kelincahan yang dapat menyamai Lawa
Ijo. Bahkan apapun yang dapat dilakukan oleh Lawa Ijo, dapat disejajari oleh
lawannya yang muda itu. Dengan demikian Lawa Ijo menjadi bertambah marah,
bahkan akhirnya ia kehilangan kesabaran dan perhitungan. Apalagi ketika
sekali-kali ia sempat melihat lingkaran-lingkaran pertempuran yang lain.
Tak ada
tanda-tanda sama sekali bahwa anak buahnya dapat mengatasi keadaan. Wadas
Gunung, adik seperguruannya ternyata semakin sulit keadaannya. Ia hanya dapat
berkisar mundur dan mundur. Tanpa Tembini, bagi Wilis, Wadas Gunung sama sekali
tidak berarti, meskipun untuk membunuhnya tidak pula terlalu mudah. Sedang
Wirasaba masih bertempur pula dengan garangnya. Kapaknya terayun-ayun menakutkan.
Di kejauhan tampak Widuri berdiri tegak dengan rantai berputar di tangan
kanannya. Bagolan yang berdiri beberapa langkah di mukanya hanya berkisar-kisar
saja. Dengan tertawa-tawa Widuri membiarkan Bagolan menyerangnya. Tetapi untuk
beberapa lama Bagolan sama sekali tak berani mendekati gadis kecil dengan
rantai berputar itu. Seperti seekor ayam jantan yang takut menghadapi lawannya,
ia berkisar berputar-putar. Namun kemana ia pergi, Widuri selalu menghadapinya.
Akhirnya Bagolan menjadi marah juga. Marah, malu dan segala macam perasaan
bercampur baur. Kedua bola besi bertangkai ditangannya telah basah karena
peluhnya. Dengan gemetar ia menggigit bibirnya. Sekali-sekali ia ingin meloncat
dan memukul hancur gadis itu. Tetapi setelah sekian lama ia bertempur, ia
mengetahui benar bahwa gadis kecil itu telah memiliki kesempurnaan dalam
bermain-main dengan rantainya. Sehingga yang dapat diperbuatnya hanyalah
mengumpat-umpat di dalam hati tak habis-habisnya. Kalau saja Widuri
menyerangnya, Bagolan akan mendapat kesempatan pada perubahan-perubahan gerak
gadis itu. Tetapi ternyata Widuri masih berdiri saja di tempatnya. Tetapi
justru karena itu Bagolan merasa malam itu tegang sekali. Keningnya
berkerut-kerut dan nafasnya terdengar berkejaran. Ia ingin berbuat sesuatu,
tetapi tidak dapat. Karena itulah maka ia menjadi seperti cacing kepanasan.
Lawa Ijo
sendiri akhirnya merasa, bahwa Arya Salaka ternyata jauh meleset dari
anggapannya. Anak muda itu bertempur dengan tangkasnya. Apa yang dilakukan oleh
anak muda itu benar-benar seperti apa yang dilakukan oleh Mahesa Jenar beberapa
tahun yang lalu di hutan Tambak Baya. Ketangkasan, ketangguhan dan ketrampilan.
Bahkan sekarang, ketika ia telah dapat melengkapi ilmunya dengan ilmu
pamungkasnya Alas Kobar, anak itu sama sekali tidak menemui kesulitan apa-apa,
sehingga menurut penilaian Lawa Ijo, Arya Salaka sekarang telah lebih jauh maju
dari Mahesa Jenar lima tahun yang lalu. Disamping perasaan marah, timbul pula
sepercik pertanyaan di dalam dada hantu Mentaok itu. Kalau muridnya telah
berhasil menguasai ilmu sedemikian tingginya, lalu bagaimana dengan Mahesa
Jenar sendiri. Sementara itu Arya Salaka bertempur terus dengan cepatnya.
Karena ia pernah mendengar, bahwa Lawa Ijo memiliki ilmu yang tinggi, maka ia
tidak berani berjuang dengan separoh hati. Dan sekarang ternyata apa yang
pernah didengarnya itu adalah benar. Ia pernah bertempur dan bahkan membunuh
sepasang Uling dari Rawa Pening. Namun ternyata Lawa Ijo mempunyai kelebihan
dari mereka. Tetapi Arya Salaka tidak tahu bahwa ilmu Alas Kobar-lah yang agak
mengganggu dirinya, karena sebagian kekuatan cadangannya tersalur untuk melawan
kekuatan pancaran panas sehingga kulitnya tidak hangus karenanya, disamping
tata pernafasannya yang sempurna serta kebulatan pikiran dan tekadnya, serta
pasrah diri setulus-tulusnya kepada Yang Maha Besar. Maka hal yang demikian
itulah yang telah mengurangi gangguan-gangguan perasaan pada bentuk
jasmaniahnya.
Lawa Ijo
semakin lama menjadi semakin ganas. Ia sama sekali tidak peduli ketika
didengarnya sekali lagi sebuah teriakan nyaring dari mulut orang yang bernama
Ketapang, karena goresan kapak Wirasaba. Bahkan ia kemudian tidak sadar ketika
di sekeliling titik pertempuran itu telah berdiri berjajar-jajar Wirasaba, Rara
Wilis dan Endang Widuri disamping Mantingan. Mereka telah kehilangan
lawan-lawan mereka, karena melarikan diri. Tetapi sebenarnya Lawa Ijo
sendirilah yang telah mengeluarkan perintah itu. Perintah untuk meninggalkan
gelanggang, sebab ia yakin kalau anak buahnya bertempur semakin lama, mereka
pasti akan binasa. Dengan sebuah suitan yang tak dimengerti oleh orang lain,
Lawa Ijo membenarkan anak buahnya untuk menyingkir. Tetapi ia sendiri sama
sekali belum bermaksud meninggalkan pertempuran itu. Ia benar-benar ingin
membunuh Arya Salaka. Ia mengenal sifat-sifat kesatria dari lawan-lawannya itu.
Karena sifat-sifat itu maka mereka pasti tidak akan menyerangnya bersama-sama.
Perhitungan-perhitungan yang licik ini pun bagi Lawa Ijo tidak ada halangan
apapun. Ia dapat berbuat apa saja untuk mencapai maksudnya. Dan ternyata
perhitungannya kali ini pun benar. Rara Wilis, Widuri, Mantingan dan Wirasaba
bahkan kemudian juga Jaladri, hanya berdiri dengan tegang mengamati pertempuran
itu dengan seksama, meskipun di tangan mereka tetap tergenggam senjata
masing-masing. Bahkan ujung pedang Rara Wilis itupun meskipun menunduk ke
tanah, namun tetap bergetaran, siap untuk menembus dada hantu dari Mentaok itu.
Namun mereka seakan-akan terpesona melihat pertempuran itu. Meskipun mereka
tidak merasa curang, apabila mereka bersama-sama menangkap Lawa Ijo itu, namun
tiba-tiba di dalam hati mereka timbullah keinginan mereka untuk membiarkan Arya
Salaka bertempur sendiri.
LAWA IJO yang
ingin meyakinkan dirinya, bahwa ia mengharap untuk dibiarkan bertempur sendiri,
kemudian berkata,
“Hai
betina-betina dari Banyubiru… kenapa kalian tidak maju bersama-sama? Jangan
berpura-pura bersikap jantan dengan membiarkan anak kecil ini menjadi korban
kesombongan kalian.”
Dari jajaran
para penonton itu terdengar Mantingan menjawab,
“Lawa Ijo,
jangan pergunakan cara yang berpura-pura untuk menyelamatan diri. Jangan pula
berbicara tentang kejantanan. Dan apakah salahnya kalau kami bersama-sama dan
beramai-ramai menangkapmu? Bukankah kau telah dengan sembunyi-sembunyi memasuki
perkemahan kami? Tetapi biarlah untuk sementara kami ingin melihat kau
bertempur.”
Hati Lawa Ijo
menjadi bertambah panas. Tetapi ia tidak dapat berbuat banyak. Meskipun
orang-orang lain tidak ikut membantu Arya bertempur, namun senjata-senjata mereka
yang telah siap itu pun sangat mempengaruhinya. Apalagi memang sebenarnyalah
bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan anak muda ini, meskipun anak muda ini pun
mempunyai harapan yang kecil saja untuk mengalahkannya. Namun sebagai seorang
tokoh yang namanya telah bersemayam di dalam hati rakyat di sekitar hutan
Mentaok, maka ia pun menjadi malu atas dirinya sendiri.
Mula-mula
Mantingan dan kawan-kawannya menjadi heran, apakah maksud Lawa Ijo dengan
memperpanjang pertempuran itu. Sebab mereka sudah pasti dan Lawa Ijo sendiri
juga sudah pasti bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan Arya Salaka. Tetapi
kenapa ia tidak saja melarikan diri seperti kawan-kawannya? Pertanyaan itu
akhirnya memenuhi rongga dada Mantingan. Karena itu ia pun menjadi bertambah
waspada. Apakah kawan-kawan Lawa Ijo pergi untuk memanggil kawan-kawannya.
Kemudian dengan berbisik-bisik disampaikanlah kecurigaannya itu kepada
Wirasaba, yang ternyata sependapat pula. Apalagi kemudian di kejauhan
terdengarlah suatu suitan nyaring. Nyaring sekali seperti suara hantu
kehilangan anaknya. Suara suitan itu kemudian disahut pula dengan suara lain
yang lebih jauh tetapi dengan nada yang lebih tinggi. Mantingan melihat sesuatu
tidak pada tempatnya. Karena itu, ia tidak dapat membiarkan pertempuran itu lebih
lama lagi. Dengan lantang terdengarlah ia memerintah,
“Tangkap iblis
dari Mentaok ini.”
Rara Wilis,
Widuri, Jaladri dan Wirasaba segera berloncatan mengepung Lawa Ijo yang tinggal
bertempur seorang diri. Untuk beberapa saat Lawa Ijo meloncat surut dan berhenti
bertempur. Dengan mata yang liar ia memandang berkeliling, seolah-olah ia
sedang mencari kelemahan dari kepungan itu. Ketika matanya menyambar wajah
Jaladri, ia berharap untuk dapat menembus di sisi itu. Tetapi tiba-tiba Lawa
Ijo melihat Wirasaba merapatkan dirinya. Kemudian matanya berkisar pada Widuri.
Ah, anak ini bukan main. Wajahnya yang mungil itu tampak cerah, secerah
bintang. Diam-diam Lawa Ijo mengaguminya. Tetapi ia tidak mempunyai kesempatan
untuk mengagumi kecantikan gadis kecil itu. Dalam kegelisahan, tiba-tiba wajah
Lawa Ijo menjadi terang kembali. Tampaklah kemudian sebuah senyuman menghias
bibirnya.
Sebaliknya,
orang-orang yang mengepungnya menjadi terkejut karenanya. Mereka sadar bahwa
suara itu mempunyai arti yang penting sekali bagi Lawa Ijo dan bahkan bagi
perkemahan anak-anak Banyubiru itu. Karena itu, tanpa bersepakat, mereka
bersama-sama menyiagakan diri untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang
lebih berbahaya. Dan apa yang mereka cemaskan itu terjadi. Dalam keremangan cahaya
bintang yang lemah, tampaklah sebuah bayangan seperti bayangan hantu yang
melayang-layang memasuki gelanggang dan kemudian berdiri tegak disamping Lawa
Ijo. Bayangan dari seorang yang berjubah abu-abu serta menyembunyikan wajahnya
dibalik sebuah topeng yang kasar dan jelek.
“Pasingsingan…!”
Hampir setiap mulut berdesis mengucapkan nama yang mengerikan itu.
Terdengar
Pasingsingan tertawa pendek. Kemudian seperti bergulung-gulung di dalam
perutnya ia berkata,
“Apakah yang
telah kalian lakukan terhadap Lawa Ijo?”
Pertanyaan itu
sederhana sekali, namun di dalamnya terkandung suatu tuntutan yang dalam. Dalam
kalimat yang sederhana itu Pasingsingan telah menyatakan maksud kedatangannya.
Menuntut bela terhadap murid serta anak buahnya. Apalagi kemudian terdengar ia
bergumam, “Kalian telah melakukan beberapa kesalahan.”
Setiap dada
menjadi terguncang karenanya. Mereka semua telah mengenal, setidak-tidaknya
mendengar nama Pasingsingan. Karena itu, mau tidak mau meremanglah tengkuk
mereka melihat orang yang bernama Pasingsingan itu berdiri di hadapan mereka
dengan sebuah tuntutan yang mengerikan.
Tetapi mereka
tidak akan dapat berbuat lain daripada mengangkat dada mereka sebagai jantan
sejati. Sebab mereka yakin bahwa mereka berbuat diatas kebenaran, diatas suatu
pengabdian yang tulus.
Karena itu
kemudian terdengar Mantingan menjawab,
“Tidak ada
sesuatu yang kami lakukan terhadap murid Tuan, selain mengucapkan selamat
datang di perkemahan kami, dengan cara yang disenangi oleh murid Tuan sendiri.”
“Hem…”
terdengar Pasingsingan mendengus.
“Kau tahu
dengan siapakah kau sekarang berhadapan…?”
“Bukankah Tuan
yang bergelar Pasingsingan?” jawab Mantingan.
“Bagus!” sahut
Pasingsingan dengan suara yang dalam.
“Kalau
demikian kalian harus bersikap baik. Jawab semua pertanyaanku dengan baik
pula.”
Mantingan
mengangguk.
“Nah,” dengus
Pasingsingan dari belakang topengnya.
“Kenapa kalian
melakukan pembunuhan terhadap anak buah Lawa Ijo?”
Mantingan
menarik nafas panjang. Ia tahu bahwa Pasingsingan sedang mencari sebab untuk
melakukan pembalasan. Namun demikian ia menjawab.
“Kami sama
sekali tidak melakukan pembunuhan tuan. Yang kami lakukan adalah suatu cara
untuk menyelamatkan diri kami.”
“Omong kosong”
bentak Pasingsingan.
“Apapun
alasanmu tetapi beberapa orang anak buah Lawa Ijo itu terbunuh.”
“Lalu apakah
yang sebaiknya tuan lakukan seandainya seseorang ingin membunuh tuan?” sahut
Mantingan.
No comments:
Post a Comment