SEKALI lagi pandangan Sarayuda beredar berkeliling, seolah-olah ia ingin mendapatkan kebenaran kata-kata gurunya. Mahesa Jenar yang dapat meraba pertanyaan yang terpancar dari mata itu segera berkata,
“Sarayuda.
Marilah kita saling memaafkan. Saling melupakan apa yang pernah kita lakukan.
Leburlah semua kesalahan yang ada diantara kita”.
Sekali lagi
Sarayuda menarik nafas dalam-dalam.
“Leburlah kesalahan
kita. Tetapi persoalan kita belum selesai,” sahutnya.
Mereka yang
mendengar kata-kata itu, jantungnya bertambah cepat berdenyut. Dalam keadaan
yang sedemikian Sarayuda masih mempersoalkan masalah yang rumit itu. Mahesa
Jenar dengan demikian menganggap bahwa dalam keadaan yang bagaimanapun Sarayuda
akan tetap pada pendiriannya. Maka tiba-tiba runtuhlah hatinya. Ia tidak sampai
hati mengecewakan orang yang sedang bertahan terhadap maut. Bagaimanapun ia
mempunyai kepentingan buat diri sendiri, namun Mahesa Jenar adalah seorang yang
berhati lembut. Karena itu, ia lebih baik berkorban kepentingan diri, daripada
melihat Sarayuda berputus asa, dan seterusnya tidak menghendaki lagi dirinya
dapat sembuh kembali dari luka-luka dalamnya itu. Kalau demikian halnya, maka
tak ada obat di dunia ini yang mampu menolongnya. Maka kemudian dengan hati
berat dan kata-kata yang bergetar ia berkata,
“Sarayuda…
jangan pikirkan aku lagi. Jagalah ketenteraman hatimu agar kau dapat segera
sembuh kembali. Dan apa yang kau idamkan selama ini akan dapat kaucapai.
Kelengkapan dari kamuktenmu. Lupakan aku. Aku tidak akan menghalangimu lagi”.
Mendengar
kata-kata Mahesa Jenar itu, hampir semuanya tersentak. Kanigara, Pandan Alas,
Karang Tunggal dan Arya Salaka. Bahkan Panembahan Ismaya pun mengerutkan
keningnya pula. Perkataan yang demikian itu sama sekali tidak mereka duga
sebelumnya. Meskipun demikian, terutama Pandan Alas merasakan pengaruh
kata-kata itu dalam relung hatinya yang paling dalam. Ia menjadi semakin yakin,
betapa jernih hati laki-laki itu. Sehingga tiba-tiba terasa di dadanya, sesuatu
yang menyumbat pernafasannya. Tetapi yang lebih terguncang lagi adalah perasaan
Sarayuda. Wajahnya segera berubah hebat. Bahkan hampir saja ia mencoba bangun.
Untunglah bahwa Panembahan Ismaya segera mencegahnya. Namun demikian dari
matanya memancarlah cahaya yang aneh. Sesaat kemudian setelah hatinya agak
teratur iapun berkata,
“Kakang Mahesa
Jenar. Aku bukan bermaksud demikian. Kemudian dengan mata sayu dan kata-kata
yang dalam ia meneruskan, Adakah Wilis di sini?”.
Tanpa disadari
Mahesa Jenar menjawab,
“Ada Sarayuda.
Ia berada di bukit ini”.
Wajah Sarayuda
menjadi bertambah jernih. Sambungnya,
”Mahesa Jenar,
bolehkan aku bertemu?”
Masih di luar
sadarnya Mahesa Jenar menjawab,
“Tentu Sarayuda.
Apakah kau ingin menemuinya?”
“Ya, kalau kau
tidak keberatan, tolonglah bawalah ia kemari, sebab aku sama sekali tidak dapat
bangun untuk datang kepadanya,” jawabnya kemudian.
Barulah Mahesa
Jenar sadar, bahwa ia sendiri tidak tahu di mana Rara Wilis berada. Karena itu
ia menjadi kebingungan. Dalam kegelisahannya itu terdengarlah Kanigara
menolongnya.
“Kau tak perlu
pergi sendiri Mahesa Jenar, biarlah Widuri menjemputnya”.
“Terima kasih
Kakang,” jawab Mahesa Jenar.
Kemudian
berjalanlah Kanigara keluar untuk mencari Widuri.
Beberapa saat
kemudian suasana menjadi hening. Masing-masing terpaku pada masalah yang sulit
ini. Masalah yang selalu terulang pada setiap masa dan setiap jaman. Masalah
yang tak akan habis-habisnya selama dunia masih terkembang. Selama manusia
masih ingin membina hari kemudian sebagai miliknya serta milik anak cucunya.
Tuhan mengkaruniakan perasaan cinta dan kasih kepada manusia, sebagaimana
perasaan cinta dan kasih-Nya yang menjelmakan dunia beserta isinya. Namun
sayanglah bahwa manusia kadang-kadang tidak berhasil menanggapi kurnia yang
indah itu dengan sewajarnya. Bahkan ada diantara anak manusia yang ingin
mengembangkan rasa cinta kasih Tuhannya dengan landasan dendam dan nafsu.
Sehingga dengan demikian kaburlah batas antara cinta dan nafsu, antara kasih
dan dendam. Untuk sejenak mereka terbenam dalam kesepian. Barulah kemudian
Panembahan Ismaya yang bijaksana berkata, Ki Sanak Pandan Alas, Arya Salaka dan
Karang Tunggal,
“marilah kita
tinggalkan ruangan ini, biarlah Anakmas Sarayuda beristirahat”.
Pandan Alas
yang tua itupun segera menangkap maksudnya, sehingga bersama-sama dengan Arya
Salaka dan Putut Karang Tunggal, merekapun meninggalkan ruangan itu.
Tinggallah
Mahesa Jenar dengan kakunya berdiri disamping pembaringan Sarayuda, yang
menenteramkan hatinya dengan memejamkan matanya. Agaknya ada sesuatu yang
bergelora didalam dadanya, yang baru akan dikatakannya apabila Wilis telah
datang.
Sesaat
kemudian, apa yang dinantikan datanglah. Yang mula-mula terdengar adalah suara
gadis kecil yang renyah dan bersih, sebersih air yang baru memancar dari
sumbernya,
“Paman, inilah
bibi”.
Seperti
disentakkan Mahesa Jenar memutar tubuhnya, menghadap pintu. Dan apa yang
dilihatnya adalah Rara Wilis tidak dalam pakaian seorang laki-laki, tetapi ia
telah mengenakan pakaian wanita. Bergetarlah seketika dada Mahesa Jenar oleh
perasaan yang menyelip-nyelip tak dapat dikendalikan.
DEMIKIANLAH
untuk beberapa saat tak sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Bahkan
kemudian agaknya Rara Wilis yang mula-mula dapat menguasai perasaannya yang
memang telah dipersiapkan sejak lama.
“Kakang Mahesa
Jenar, yang selama ini tersimpan di dalam dadaku adalah perasaan terima kasih
yang tak terhingga atas pertolongan Kakang, yang pada saat itu aku tidak sempat
mengucapkannya”.
Mahesa Jenar
mengangguk sedikit, jawabnya,
“Lupakanlah
itu Wilis. Sebagaimana kewajiban kita, manusia yang hidup diantara manusia
adalah saling menolong”. Meskipun hatinya sendiri berkata lain. Berkata tentang
keindahan yang sempurna yang memancar dari tubuh gadis itu. Gadis yang pada
saat terakhir telah membanting-banting perasaannya, setelah ia terpaksa
membunuh ayah gadis itu. Rara Wilis tidak menjawab sepatah katapun selain
wajahnya terkulai jatuh di lantai. Tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada
Sarayuda yang terbaring dengan lesunya, menunggu gadis itu. Untuk sesaat Mahesa
Jenar jadi bimbang. Apakah ia akan tetap pada pendiriannya? Menyerahkan
kebahagiaan itu kepada Sarayuda…? Dalam pada itu terbersitlah suatu ketetapan
di hatinya, meskipun hati itu sendiri akan terpecah. Biarlah ia mengorbankan
dirinya kalau dengan demikian sebuah jiwa akan tertolong. Jiwa yang sangat
berharga bagi beribu-ribu jiwa lain di daerah kekuasaannya.
Katanya
kemudian diantara desah jantungnya yang semakin cepat,
“Wilis…
seseorang menanti kau. Masuklah”.
“Seseorang…?”
katanya bertanya.
Mahesa Jenar
mengangguk, lalu jawabnya,
“Ya,
seseorang”.
“Kau…?”
desaknya.
Mahesa Jenar
menggeleng lemah. Lemah sekali.
Rara Wilis
menjadi ragu. Seseorang mencarinya, dan orang itu bukan Mahesa Jenar.
Akhirnya
terdengar suara Mahesa Jenar,
“Masuklah
Wilis”.
Untuk sesaat
Wilis masih tetap tegak di muka pintu. Seolah-olah ia tidak kuasa menggerakkan
kakinya untuk melangkah masuk. Wajahnya tampak membayangkan kebimbangan
hatinya. Maka kemudian Mahesa Jenar yang melangkah keluar, dengan langkah berat
sambil membangunkan Wilis yang sedang tenggelam dalam keraguan.
“Masuklah
Wilis. Seseorang memerlukan kau datang. Mudah-mudahan kau membawa udara segar
baginya”.
Meskipun Rara
Wilis masih tetap ragu, namun ia pun perlahan-lahan melangkah masuk ke dalam
ruangan itu. Perlahan-lahan seperti orang yang masuk ke daerah yang sama sekali
asing baginya. Ketika Rara Wilis bergerak, Mahesa Jenar melangkah pula menjauhi
pintu itu. Ruangan yang semula dipergunakan Panembahan Ismaya untuk menerima
rombongan itu, kini telah sepi. Tak seorang pun berada di sana. Panembahan
Ismaya, Kanigara, Arya Salaka dan Karang Tunggal, bahkan Widuri pun telah tidak
nampak lagi. Bagaimanapun Mahesa Jenar mencoba untuk mengendapkan perasaannya
namun terasa seolah-olah sesuatu melonjak-lonjak di dalam dadanya. Karena
itulah ia dengan gelisah berjalan mondar-mandir seperti laki-laki yang gelisah
menanti kelahiran anak pertamanya. Beberapa kali ia mencoba melupakan
kegelisahannya dengan mengamati berbagai benda yang menghiasi ruangan itu.
Beberapa patung kecil, tergantung beberapa macam clupak lampu minyak kelapa. Di
tiang-tiang ruangan itu tampak juga bergantungan beberapa macam topeng dari
berbagai jenis. Tetapi Mahesa Jenar tidak sempat memperhatikan benda-benda itu
satu demi satu. Meskipun ia melihat semuanya itu, namun seolah-olah tidak sadar
pada penglihatannya. Bahkan kemudian dengan lesunya dibantingnya dirinya pada
sebuah batu hitam tempat duduk di dalam ruangan yang sepi itu.
Di luar,
matahari yang terik seakan-akan membakar padas-padas pegunungan yang
memantulkan sinarnya kemerah-merahan. Daun-daunan yang menjadi tertunduk lesu
seperti segan memandang sinar matahari yang agaknya tak bersikap bersahabat.
Beberapa daun kering meluncur lepas dari pegangannya oleh ketuaannya, dan
berguguran di tanah. Mata Mahesa Jenar lepas lewat pintu langsung menusuk ke
daerah matahari yang silau, terbanting di batu-batu padas yang kepanasan.
Alangkah panasnya udara. Beberapa tetes peluh menetes dari dahinya. Kemudian
dengan lesu pula Mahesa Jenar berdiri dan melangkah ke arah pintu keluar. Di
depan pintu ia tertegun heran. Pada mula-mula ia datang ke padepokan itu, di
ruang ini pula ia mengagumi pertamanan yang asri, yang terbentang di hadapan
rumah kecil itu. Bahkan ia mengagumi pula kesejukan udara yang dilemparkan oleh
pepohonan yang pepat rimbun itu ke dalam rumah. Tetapi kenapa tiba-tiba
sekarang udara di sini menjadi panas sekali? Akhirnya ia sadar bahwa udara yang
panas itu tidak dilontarkan oleh udara pegunungan kecil itu, tetapi agaknya
ditimbulkan dari dalam dirinya sendiri yang gelisah. Tiba-tiba Mahesa Jenar
terkejut, ketika ia menoleh dilihatnya Rara Wilis berlari keluar ruangan dan
menjatuhkan dirinya di atas tempat duduk batu hitam. Seterusnya ia menutup
wajahnya dengan kedua tangannya dan menangis sejadi-jadinya. Melihat keadaan
itu, Mahesa Jenar menjadi bertambah gelisah. Cepat-cepat ia memasuki ruangan
tempat Sarayuda berbaring. Tetapi ia menjadi agak tenang ketika melihat Sarayuda
masih bernafas dengan teratur. Bahkan ketika ia melihat Mahesa Jenar datang
kepadanya, dengan tersenyum ia berkata,
“Aku bertambah
segar, Mahesa Jenar”.
“Syukurlah
Sarayuda,” jawab Mahesa Jenar singkat.
“Bagiku,
semuanya telah selesai,” sambung Sarayuda.
MAHESA JENAR
memandang wajah Sarayuda dengan tajamnya. Senyumnya masih saja membayang di
wajahnya yang sudah menjadi kemerah-merahan.
“Aku mengharap
demikian,” jawab Mahesa Jenar, tetapi hatinya terasa pedih.
Kemudian
Sarayuda berkata,
“Mahesa Jenar,
sekarang aku akan dapat tidur nyenyak. Mudah-mudahan aku lekas sembuh dan dapat
kembali ke Gunung Kidul, meskipun kekuatanku belum pulih benar”.
“Aku ikut
berdoa, Sarayuda,” sahut Mahesa Jenar kosong, sekosong dadanya saat itu.
Sarayuda
menarik nafas dalam-dalam, kemudian ia berusaha untuk memejamkan matanya.
Dengan
gerak-gerak yang kaku, Mahesa Jenar melangkah keluar dari ruangan itu. Sampai
di depan pintu kembali ia melihat Rara Wilis masih menangis sambil menutup
wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Dengan tak sengaja Mahesa Jenar
berjalan mendekatinya. Kemudian hampir berbisik Mahesa Jenar bertanya,
“Kenapa kau
menangis Wilis…?”
Mendengar
suara Mahesa Jenar, tangis Rara Wilis agak mereda. Dengan isak yang ditahan, ia
mengangkat wajahnya. Matanya yang basah memandang Mahesa Jenar dengan
persoalan. Meskipun demikian hati Mahesa Jenar masih saja berdebar-debar
memandang wajah yang basah itu, seperti memandang bulan disaput awan. Tetapi
Rara Wilis tidak menjawab pertanyaan Mahesa Jenar. Sehingga beberapa saat
mereka saling berdiam diri.
“Kakang…”
akhirnya terdengar Rara Wilis berkata,
“Alangkah
sulitnya hidup yang harus aku tempuh. Banyak masalah yang berkembang diluar
kemauanku sendiri”.
“Memang
demikianlah agaknya,” jawab Mahesa Jenar.
“Banyak hal yang
harus kita lakukan, meskipun kadang-kadang bertentangan dengan perasaan
sendiri. Namun demikian setiap perbuatan hendaknya dilandasi dengan tujuan yang
bersih. Demikianlah apa yang akan kita lakukan nanti. Dan demikian pulalah
keputusanku”.
Rara Wilis mengerutkan
keningnya. Matanya yang mengaca itu tiba-tiba memancarkan
pertanyaan-pertanyaan. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang dimaksud oleh
Mahesa Jenar. Sehingga kemudian Rara Wilis terpaksa bertanya,
“Apakah
maksudmu Kakang?”
Mahesa Jenar
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab pertanyaan Rara Wilis.
Malah ia bertanya,
“Wilis, apakah
kau menangis karena sedih atau karena kau terharu atas masa depanmu yang
gemilang?”
Rara Wilis
menggelengkan kepala. Kemudian jawabnya,
“Aku tidak
tahu Kakang”.
Mata Mahesa
Jenar kemudian menatapnya tajam-tajam, seperti akan menembus dada Wilis. Dada
seorang gadis yang sedang bergelora. Yang sejenak kemudian meneruskan
kata-katanya,
“Kakang… aku
bergaul dengan Kakang Sarayuda sejak kecil. Aku mengenalnya sebagai seorang
yang paling dekat diantara kawan-kawanku. Apalagi kemudian setelah meningkat
lebih besar lagi, menjelang masa dewasa kami. Ia selalu dekat dengan Kakek.
Kemudian Sarayuda lenyap dari kampung halaman kami. Ternyata ia ikut dengan
Kakek dan berguru kepadanya. Pada suatu saat ia muncul kembali di kampung kami.
Sarayuda telah berubah menjadi seorang pemuda yang perkasa. Ia datang untuk mengusir perempuan yang
mengganggu ketenteraman kami. Mengganggu ayah serta keluarga kami. Agaknya ia
mendapat tugas dari Kakek. Tetapi sayang, ia datang terlambat. Ayah telah pergi
meninggalkan kami bersama perempuan jahat itu, yang ternyata kemudian menetap
di Gunung Tidar dan menamakan diri mereka suami-istri Sima Rodra muda di bawah
perlindungan Sima Rodra tua dari Lodaya. Sejak saat itu Sarayuda sekali datang,
sekali lenyap kembali. Namun agaknya ia dapat merebut hati seluruh penduduk
daerah kami. Ternyata kemudian ia terpilih menjadi Demang”.
Mendengar
cerita itu tubuh Mahesa Jenar menjadi gemetar. Dadanya berdesir hebat. Setiap
kata Rara Wilis tentang keperkasaan Sarayuda, bahkan setiap kata yang menyebut
nama laki-laki itu terasa seperti ujung-ujung duri yang menusuk-nusuk
jantungnya. Dan tiba-tiba saja ia seperti orang yang ingin melarikan diri dari
cerita itu. Cepat-cepat ia melangkah ke pintu dan dengan kakunya berdiri
berpegangan uger-uger-nya seolah-olah ia takut bila kakinya yang bergetar itu
tidak mampu lagi menahan berat tubuhnya. Rara Wilis mengikutinya dengan sinar
yang memancar dari matanya yang bulat. Tetapi ia tidak tahu apakah yang
menggelegak di hati laki-laki itu. Karena itu ia masih melanjutkan ceritanya,
“Kemudian
datanglah masa itu. Masa dewasa kami, masa dimana dada kami dipenuhi
impian-impian masa depan. Tetapi sebagian dari masa itu sama sekali tak dapat
aku nikmati. Sebab masa-masa itu aku sedang dihadapkan pada suatu kenyataan
pahit. Ibuku meninggal dunia. Dan aku terpaksa meninggalkan kampung halaman,
mencari kakekku untuk menyangkutkan diri dalam limpahan kasih sayang. Seperti
pada masa kanak-kanakku. Akhirnya aku bertemu kembali dengan Sarayuda. Dan
seperti yang Kakang ketahui, Kakang Sarayuda mengharapkan sesuatu dariku, tidak
sebagai adik seperguruannya, tetapi sebagai seorang laki-laki terhadap seorang
wanita”.
Kata-kata Rara
Wilis itu bagi Mahesa Jenar terasa menusuk jantungnya semakin pedih. Sehingga
kemudian dengan suara gemetar, tanpa menoleh ia menyahut,
“Perasaan yang
lumrah, yang dapat timbul di dalam setiap dada”.
“Ya,” potong
Rara Wilis.
“Perasaan yang
lumrah. Dan perasaan itu sedemikian dalamnya menggores di hati Kakang
Sarayuda”.
Sekarang
Mahesa Jenar tidak kuasa lagi menahan perasaannya. Ia telah bertekad untuk
meninggalkan impiannya terhadap gadis yang baginya memiliki keindahan yang
tanpa cela itu. Tetapi untuk mendengarkan cerita itu terasa seolah-olah
keindahan yang telah dilepaskannya itu diperagakan di hadapannya.
TIBA-TIBA
Mahesa Jenar membalikkan tubuh, dan dengan mata yang tajam ia memandang Rara
Wilis yang menjadi keheran-heranan melihat sikap Mahesa Jenar. Apalagi kemudian
terdengarlah suaranya menggeram,
“Wilis,
katakan… katakanlah kepadaku bahwa kau juga mencintainya. Dan kau menerima
keadaan ini dengan dada terbuka, bahkan kau merasa bahwa kau menghadapi masa
gemilang. Masa yang bahagia sebagai istri Demang yang kaya raya, yang disujuti
oleh beribu-ribu orang”.
Kemudian
terdengar suara Mahesa Jenar merendah,
“Wilis… aku
akan ikut bahagia bila aku melihat kau menjadi bahagia. Bahkan aku siap untuk
berbuat apapun untuk ikut serta mempertahankan kebahagiaanmu itu, kalau
seandainya orang-orang semacam Jaka Soka mengganggu ketenteraman hidupmu”.
Setelah itu
Mahesa Jenar tidak kuasa lagi meneruskan kata-katanya. Namun kata-kata itu
ternyata sangat mengejutkan hati Rara Wilis, sampai ia meloncat berdiri dengan
wajah yang memancarkan seribu satu pertanyaan. Demikianlah untuk sesaat Rara
Wilis tidak tahu apa yang akan dikatakan. Baru kemudian terdengarlah ia berkata
dengan bibir yang gemetar,
“Kakang,
apakah kata-kataku tidak pada tempatnya…?”
Mahesa Jenar
menundukkan kepalanya. Dan dengan suara yang gemetar ia menjawab,
“Aku akan
dapat menyaksikan kau berbahagia, Wilis. Tetapi aku tidak dapat mendengar itu
dari kau sendiri. Aku minta janganlah kau menambah hatiku jadi terpecah-pecah”.
Kening Rara
Wilis jadi berkerut. Tiba-tiba ia mengerti apa yang tersimpan di dalam hati
Mahesa Jenar. Namun demikian ia ingin meyakinkan,
“Kakang Mahesa
Jenar… apakah yang telah terjadi padamu…? Adakah kau bermaksud melarikan
diri…?”
Mahesa Jenar
tersentak.
“Melarikan
diri…?” desisnya.
Mata Rara
Wilis jadi bercahaya. Namun cahayanya bukan cahaya yang bening, tetapi cahaya
yang memancarkan kepedihan yang tumbuh di hatinya. Lalu katanya,
“Kau akan
mengulangi kata-katamu beberapa tahun yang lalu? Akan kau katakan juga sekarang
bahwa kau akan menjadi seorang pahlawan dalam bercinta. Kakang, kita sudah
bertambah dewasa. Umur kita telah melampaui masa yang seindah-indahnya dalam
hidup kita. Dan sekarang kau masih terbenam dalam cahaya purnama yang baru
mengembang. Kakang, haruskah aku mengatakan sesuatu yang sama sekali tidak
berakar di dalam dadaku, karena aku ingin menuruti kemauanmu. Tidak Kakang.
Ketahuilah bahwa sejak kepergianmu tanpa pamit beberapa tahun yang lalu, aku
sudah mencobanya. Mencoba mengisi sebagian hatiku yang lenyap bersamamu dengan
seorang yang bernama Sarayuda. Tetapi aku tidak berhasil Kakang. Kakang
Sarayuda bagiku adalah saudara tua yang penuh kasih sayang kepada adiknya. Dan
tahukah kau apa yang baru saja dikatakan kepadaku…?”
Mahesa Jenar
seperti terpaku berdiri di tempatnya. Kata-kata Rara Wilis itu dengan tajamnya
menusuk menembus tulang sungsum. Tetapi bersamaan dengan itu, tumbuh pula di
dalam dadanya suatu perasaan yang melonjak-lonjak, sehingga tubuhnya kemudian
menjadi menggigil. Dari mulut Rara Wilis sendiri sekarang ia mendengar, bahwa
gadis itu menaruh harapan sepenuhnya kepadanya. Tetapi justru karena itulah
malahan ia terbungkam, sampai kembali terdengar suara Rara Wilis meneruskan,
“Kakang Mahesa
Jenar, aku tidak peduli apakah yang akan kau katakan tentang diriku. Tetapi aku
merasa bahwa beban yang menyumbat dadaku kini telah aku tuangkan. Seluruhnya.
Dan dadaku kini telah terbuka bagimu. Terserahlah kepadamu akan nilai-nilai
yang kau berikan kepadaku. Kepada seorang gadis yang membuka hatinya kepada
seorang laki-laki, di hadapan wajahnya”.
“Wilis…” desis
Mahesa Jenar, tetapi ia tidak dapat meneruskan sebab kembali Wilis memotong,
“Nah Kakang.
Sekarang kalau kau akan pergi, pergilah. Tinggalkan aku sendiri. Katakan kepada
bukit-bukit kecil itu, kepada karang-karang dan batu-batu, kepada angin dan
pepohonan, kepada bulan dan bintang, bahwa seorang laki-laki telah pergi dengan
hati terpecah belah untuk memberi kesempatan orang lain menikmati kebahagiaan,
sedang orang lain itu sama sekali tidak menghendaki. Tetapi jangan katakan hal
itu kepada seseorang yang akan kau jumpai dalam pelarianmu, sebab kau akan
ditertawakan. Mungkin orang itu akan mengikutimu untuk melihat kapan kau akan
membunuh dirimu”.
“Wilis…”
potong Mahesa Jenar hampir berteriak. Namun kali inipun suara Rara Wilis
mengatasinya,
“Jangan takut
melihat bayangan wajahmu yang pucat, serta jangan takut kau melihat hatimu yang
sama sekali tidak memancarkan kejujuran”.
Mahesa Jenar
tertunduk lesu. Ia tidak ingin memotong kata-kata gadis itu lagi. Bahkan sekarang,
ia melihat pada sorot mata Rara Wilis, bayangan tentang dirinya. Tentang
seorang laki-laki yang berkelana di padang yang tandus, penuh batu-batu karang
yang tajam dan pendakian yang terjal di bawah terik matahari yang membakar
kulitnya yang berwarna tembaga. Yang dalam kehausan, melemparkan seteguk air
yang segar dingin dari mangkuk ditangannya. Tetapi kemudian laki-laki itu
sendiri menjadi hampir mati kehausan.
“Tidak,”
katanya tiba-tiba.
“Aku tidak
menuang air itu di atas batu-batu yang mati. Tetapi aku tuangkan air itu ke
dalam mulut seseorang yang hampir mati kehausan pula”.
Rara Wilis
mencoba menangkap kata-kata yang tiba-tiba saja terlontar dari mulut Mahesa
Jenar itu. Namun dalam sesaat ia telah dapat mengerti maksudnya. Karena itu ia
menyahut.
“Lalu kau
sendiri yang akan mati. Tetapi jangan harapkan seseorang datang padamu dan
menaburkan bunga di atas tubuhmu”.
Mahesa Jenar
tidak dapat lagi menipu dirinya sendiri. Ia tidak lagi dapat memungkiri
kata-kata Rara Wilis. Namun demikian ia berusaha untuk mematahkan pengakuannya
itu. Dengan wajah yang tegang kaku ia memutar tubuhnya membelakangi Rara Wilis
lalu cepat-cepat ia ingin meninggalkan ruangan itu.
TIBA-TIBA
Mahesa Jenar mendengar isak yang seolah-olah meledak begitu hebatnya. Ketika ia
sekali lagi menoleh, ia melihat Rara Wilis sambil menangis terduduk di atas
sebuah batu hitam yang beralaskan kulit kayu. Dan kembali kedua telapak
tangannya menutupi wajahnya yang basah karena air mata. Melihat keadaan itu
Mahesa Jenar tertegun sejenak. Bahkan diluar sadarnya perlahan-lahan ia
berjalan mendekatinya. Namun ia menjadi bertambah bingung, dan tidak tahu apa
yang akan dilakukan. Maka kemudian yang dapat dikatakannya hanyalah beberapa
kata yang serak,
“Wilis, kenapa
kau menangis lagi?”
Sekali ini,
seolah-olah Rara Wilis tidak mendengar kata-katanya, bahkan tangisnya menjadi
semakin keras. Dan karena itu Mahesa Jenar menjadi semakin gelisah.
“Wilis,”
katanya kemudian sekenanya saja,
“Jangan
menangis demikian. Apabila seseorang melihat keadaanmu itu, maka akan timbul
berbagai prasangka yang mungkin kurang menyenangkan”.
Mendengar
kata-kata Mahesa Jenar itu, Rara Wilis mencoba mengangkat wajahnya. Meskipun
tangisnya masih belum berhenti.
Diantara
isaknya terdengar ia berkata,
“Kakang, aku
tidak akan menahanmu lagi. Pergilah seandainya itu akan membawa kepuasan
bagimu”.
Hati Mahesa
Jenar sekali lagi terlonjak. Namun ia melihat bahwa apa yang diucapkan oleh
Rara Wilis itu sama sekali bukanlah yang dimaksud sebenarnya. Karena itu ia
bertanya,
“Begitukah yang
kau kehendaki Wilis…?”
Bibir Rara
Wilis bergerak melukiskan sebuah senyum yang pahit diantara tangisnya. Lalu
jawabnya,
“Aku mencoba
berbuat seperti apa yang kau lakukan. Menipu diri sendiri”.
Kata-kata itu
tepat menyusup ke dalam relung hati Mahesa Jenar yang paling dalam. Sekarang
benar-benar ia tidak dapat melarikan diri lagi. Ia merasa seperti seseorang
yang terjun ke dalam arena perkelahian, yang harus memilih salah satu diantara
dua, membunuh atau dibunuh. Tetapi tiba-tiba ia teringat kata-kata Rara Wilis
tentang Sarayuda. Maka dengan serta merta ia bertanya
“Wilis, kau
tadi bertanya kepadaku, apakah aku tahu apa yang dikatakan oleh Sarayuda?”
Rara Wilis
mengangguk.
“Tentu aku
tidak tahu Wilis,” sambung Mahesa Jenar,
“Kau mau
mengulang kata-kata itu…?”
“Tak ada
gunanya,” jawab Rara Wilis.
Mahesa Jenar
tertegun sebentar, lalu katanya,
“Mungkin ada.
Kalau kau tak berkeberatan katakanlah”.
Rara Wilis
memandang wajah Mahesa Jenar yang basah oleh keringat dingin itu dengan
seksama, seolah-olah ia ingin melihat setiap garis yang tergores padanya.
Kemudian dengan perlahan-lahan ia berkata,
“Kakang
dengarlah apa yang dikatakan Kakang Sarayuda kepadaku. Memang semula aku ingin
mengatakan kepadamu, dan aku sudah mengambil ancang-ancang. Sebab aku adalah
seorang gadis. Tetapi agaknya hatimu terlalu mudah tersentuh sehingga aku
terpaksa melampaui batas-batas keterbukaan hati seorang gadis”.
Rara Wilis
berhenti sejenak, lalu meneruskan,
“Kakang, tadi
Kakang Sarayuda berkata kepadaku, bahwa aku harus memaafkannya atas segala
perlakuannya yang telah melampaui perlakuan seorang kakak terhadap adiknya. Ia
mengharap bahwa aku akan dapat melupakan itu semua, sebab katanya, …
sepantasnya ia menjadi kakak yang baik”.
Mahesa Jenar
mendengar kata Rara Wilis itu seperti beratus guntur yang menggelegar di depan
telinganya. Bahkan kemudian seolah-olah ia menjadi orang yang lelap terbenam
dalam alam impian. Dan di dalam mimpi itu ia mendengar suara Rara Wilis
meneruskan,
“Tetapi,
Kakang, aku tahu bahwa hatinya remuk karena itu. Ia mencintaiku sejak lama.
Sejak kami meningkat dewasa. Namun agaknya suatu kenyataan harus dihadapinya.
Yaitu, bahwa ia bersaing dengan orang yang tidak dapat dikalahkannya dengan
jalan apapun juga. Karena itu, sebagai seorang laki-laki yang dapat mengukur
dirinya, serta seorang laki-laki yang hidupnya berjejak di atas tanah, dengan
ikhlas ia berkata kepadaku, … Wilis, pilihlah jalanmu sendiri. Jangan hiraukan
aku”.
Rara Wilis
berhenti sejenak menelan ludahnya, baru ia meneruskan.
“Tetapi
Kakang, aku melihat keikhlasan membayang di wajahnya. Setelah ia berceritera
tentang kesalahan yang dilakukannya dengan tidak menghiraukan nasehat kakek dan
sebagainya, ia akhiri kata-katanya, … Wilis, mudah-mudahan kau menemukan hari
depan yang gemilang”.
Sekali lagi
Rara Wilis berhenti. Terasa di lehernya sesuatu yang menyumbat, sehingga dengan
terputus-putus ia meneruskan,
“Aku menjadi
kasihan kepadanya kakang, justru karena ia melepaskan aku dengan penuh
keikhlasan. Namun aku tidak dapat memaksa diriku untuk menganggapnya lain
daripada seorang kakang yang baik”.
Mahesa jenar
masih berdiri seperti patung, namun suatu pergolakan yang dahsyat berputar di
dalam dadanya. Suatu gejolak perasaan yang melanda dinding-dinding jantungnya
sehingga seolah-olah akan pecah karenanya.
KEMUDIAN
terdengar Rara Wilis meneruskan,
“Kemudian
Kakang di sini, di hadapanku, dimana aku menaruh suatu harapan atas masa depan.
Di sini aku berada dalam keadaan yang sebaliknya. Kepadamu aku selalu mencoba
untuk melenyapkan setiap kenangan. Apalagi setelah Kakang Mahesa Jenar membunuh
ayahku yang selama ini aku cari. Tetapi kembali aku tidak dapat memaksa diriku
menutup suatu kenyataan di dalam diriku atas kenangan yang muncul dalam setiap
saat. Kenangan yang menjadi semakin jelas apabila aku berusaha untuk
melenyapkannya. Tetapi aku ternyata menjumpai suatu kenyataan yang lain. Aku
melihat sekali lagi, atas apa yang pernah aku alami. Seseorang telah berusaha
melepaskan aku lagi. Namun bedanya, keikhlasanmu lain dengan keikhlasan Kakang
Sarayuda. Dimana pada saat terakhir Kakang Sarayuda telah menemukan cahaya yang
menyoroti hatinya, yang dengan demikian ia dapat membaca perasaan yang tergores
di dalam dadaku. Tetapi kau, Kakang…, kau mencoba untuk menghapus goresan itu.
Bahkan goresan di dalam dadamu sendiri, dan menggantinya dengan bunyi-bunyi
yang lain”.
Suara Rara
Wilis kemudian tenggelam dalam tangisnya. Mahesa Jenar tiba-tiba seperti
terbangun dari kelelapannya. Dengan penuh gejolak di dalam dadanya, tiba-tiba
ia meloncat dan berlari ke dalam ruangan dimana Sarayuda terbaring. Apa yang
dikatakan Rara Wilis tentang laki-laki itu sangat berkesan di hatinya. Bahkan
dengan demikian ia menjadi ingin mendengarnya dari mulut Sarayuda sendiri.
Mendengar
langkah Mahesa Jenar, Sarayuda membuka matanya. Dan ketika dilihatnya Mahesa
Jenar berdiri di sampingnya dengan nafas yang terengah-engah, tergoreslah
sebuah senyuman di bibir Sarayuda. Senyum yang memancar dari lubuk hatinya.
“Sarayuda…”
terloncatlah kata-kata yang terbata-bata dari mulut Mahesa Jenar.
“Kenapa kau
lakukan itu…?”
Senyum
Sarayuda semakin jelas membayang wajahnya yang jernih. Kemudian jawabnya lirih,
“Kau
keberatan…?”
Mahesa Jenar
tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Bahkan nafasnya menjadi semakin cepat
mengalir.
“Mahesa
Jenar…” bisik Sarayuda,
“Akhirnya aku
merasa bahwa kata-katamu mengandung kebenaran. Yang kita persoalkan adalah
seseorang yang memiliki perasaan seperti kita. Karena itu, akhirnya aku insaf
bahwa aku adalah seorang yang terlalu mementingkan diri sendiri. Yang melihat segala
masalah seolah-olah berkisar di sekitar dan berpusat pada diriku. Namun
syukurlah bahwa Tuhan memberi petunjuk, sehingga aku menemukan jalan yang
wajar”.
Mahesa Jenar
menundukkan kepala, dan dari bibirnya terdengarlah ia berkata,
“Sarayuda, aku
telah salah sangka terhadapmu”.
Sarayuda
tertawa perlahan, lalu katanya,
“Aku mendengar
semua pembicaraanmu dengan Wilis. Kakang Mahesa Jenar, jangan lukai hatinya. Ia
mempunyai lagi sangkutan kasih sayang, selain kakeknya yang tua itu. Sedang
darimu ia mengharapkan kesegaran cinta yang selama ini hanya pernah didengarnya
dari cerita-cerita kesejukan cinta antara Rama dan Ratih, antara Arjuna dan
Sumbadra, antara Panji dan Kirana”.
Mahesa Jenar
tidak menjawab. Ia hanya menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan demikian
seolah-olah ia telah berjanji kepada dirinya sendiri bahwa ia akan mencoba
memenuhi permintaan Sarayuda itu.
“Nah, Mahesa
Jenar…” Sarayuda meneruskan,
“Datanglah
kepadanya. Kalau kau mau melaksanakan pesanku, aku akan menjadi lekas sembuh.
Dan aku akan dapat menyaksikan hari bahagiamu yang akan datang”.
“Terimakasih
Sarayuda,” jawab Mahesa Jenar kaku.
Lalu
perlahan-lahan seperti orang yang kehilangan kesadaran ia berjalan keluar.
Ketika ia melangkah pintu, ia melihat Rara Wilis masih duduk di atas batu hitam
itu. Namun tiba-tiba gadis itu di matanya telah berubah menjadi permata yang
gemilang, permata yang melekat pada sebuah cincin yang seakan-akan telah
melingkar di jarinya. Rara Wilis yang mendengar langkah Mahesa Jenar, menoleh
pula ke arah pintu. Ia pun terkejut ketika melihat wajah Mahesa Jenar yang
menjadi cerah, seperti cerahnya langit musim kemarau. Ia sudah berpuluh bahkan
beratus kali melihat wajah itu. Wajah yang memancarkan sifat-sifat kejantanan
yang lembut. Tetapi kali ini seolah-olah ia menemukan sesuatu yang lain pada
wajah itu. Menemukan yang selama ini dicarinya. Tiba-tiba Rara Wilis tersadar.
Ia menjadi malu kepada dirinya sendiri. Malu kepada penemuannya. Meskipun
kemudian tak sepatah kata pun yang keluar dari mulut mereka, namun ratusan
bahkan ribuan kalimat yang menggetar di udara langsung menyentuh hati
masing-masing. Sehingga dalam keheningan itu terjalinlah suatu ikatan yang
semakin teguh antara dua buah hati yang sebenarnya sudah sejak lama bertemu.
Di luar
terdengar burung-burung berkicau dengan riangnya. Nyanyiannya membubung tinggi,
hanyut bersama angin pegunungan, menyapu wajah padepokan yang tenang sejuk itu.
Dalam keheningan itu, tiba-tiba terdengarlah suara tertawa yang bening, disusul
dengan langkah-langkah kecil berlari-larian. Lalu terdengarlah suara kerikil
berjatuhan.
“Bukan
salahku,” teriak suara yang nyaring.
“Jangan nakal
Widuri,” jawab suara yang lain.
Widuri tidak
menjawab, tetapi suara tertawanya yang renyah kembali menggetar, dan kembali
terdengar langkahnya berlari-lari.
Sampai di
depan pintu, Widuri tertegun. Dilihatnya Rara Wilis dan Mahesa Jenar masih di
tempatnya masing-masing seperti patung. Bahkan gadis kecil itu melihat mata
Rara Wilis masih kemerah-merahan.
WIDURI jadi
bingung. Meskipun perasaannya masih belum begitu tajam, namun ia tahu bahwa
telah terjadi sesuatu sehingga Rara Wilis terpaksa menangis. Mungkin karena
pertengkaran, mungkin sebab-sebab lain. Dalam kebingungan itu terdengarlah
suara Rara Wilis perlahan-lahan memanggilnya,
“Widuri…
kemarilah.”
Perlahan-lahan
Widuri berjalan dengan penuh keraguan mendekati Rara Wilis. Ia menjadi
bertambah bingung lagi, ketika tiba-tiba Rara Wilis meraihnya dan memeluknya
erat-erat. Bahkan kemudian kembali terdengar Rara Wilis menangis tersedu-sedu.
Dengan matanya yang bulat, bening dan penuh pertanyaan, Widuri memandang dengan
sudut matanya, ke arah Mahesa Jenar dan Rara Wilis berganti-ganti. Namun ia
sama sekali tidak berani menanyakan sesuatu. Juga kemudian ketika Rara Wilis
berdiri dan menggandengnya berjalan keluar dari ruangan itu. Sampai di depan
pintu, Rara Wilis berhenti sejenak. Lalu kepada Mahesa Jenar ia berkata dengan
kepala tunduk,
“Kakang, aku
akan beristirahat dulu.”
“Beristirahatlah,”
jawab Mahesa Jenar.
Lalu hilanglah
Wilis di balik pintu. Berbagai perasaan menghentak-hentak dadanya. Ia merasa
bahwa hidup yang terbentang di hadapannya adalah suatu kehidupan yang cerah.
Matahari yang
bulat di langit masih memancarkan sinarnya yang terik bertebaran di tanah yang
kemerahan. Namun sekarang Mahesa Jenar tidak lagi merasakan bahwa udara
padepokan itu terlalu panas. Bahkan kembali ia dapat mengagumi keindahan
taman-taman yang asri dan hijau, yang di sana-sini diseling dengan warna-warna
yang beraneka dari berbagai macam bunga. Ketika dilihatnya diantara
bermacam-macam bunga itu terselip bunga melati, teringatlah ia pada
kebiasaannya dahulu, yang karena keadaan menjadi agak terlupakan. Dengan tanpa
sengaja tiba-tiba bunga itu telah berada di tangannya, yang kemudian diselipkan
pada ikat kepalanya, di atas telinga kanannya. Kemudian dengan segarnya Mahesa
Jenar menghirup udara pegunungan sepuas-puasnya.
Matahari yang
beredar di garisnya yang telah condong ke barat. Beberapa orang cantrik tampak
berjalan mendekati pondok itu. Ketika mereka sudah berdiri dekat di depan
Mahesa Jenar, segera mereka membungkuk hormat.
“Tuan…” kata
salah seorang diantaranya,
“Panembahan
minta Tuan untuk datang makan siang”.
Sementara itu
seorang cantrik yang lain diperintahkan untuk menyajikan makan buat Sarayuda
yang sedang terluka.
“Masuklah,”
jawab Mahesa Jenar.
“Tetapi
agaknya ia masih belum dapat bangun. Rawatlah ia baik–baik.”
Sekali lagi
cantrik itu mengangguk. Salah seorang diantaranya kemudian masuk dengan
semangkuk bubur. Sedangkan yang lain kemudian mengajak Mahesa Jenar pergi makan
siang.
Hari itu
terasa begitu cepat berjalan. Dengan tak terasa, matahari telah jauh menurun
mendekati cakrawala. Warna-warna merah yang tersirat dari matahari bertebaran
memenuhi langit. Namun sejenak kemudian permukaan bumi tenggelam dalam
kehitaman yang menyeluruh. Di dalam pondok kecil, di bawah sinar lampu minyak
kelapa yang berkedip-kedip digoyang angin, duduklah melingkar di atas bale-bale
bambu, Panembahan Ismaya, Ki Ageng Pandan Alas, Kebo Kanigara, Mahesa Jenar,
Karang Tunggal, dan Arya Salaka.
Mereka
berbicara dengan riuhnya, melingkar dari satu masalah ke masalah lain. Dari
satu cerita ke cerita lain. Sehingga akhirnya setelah mereka kelelahan
bercerita dan mendengarkan, menyelalah Putut Karang Tunggal,
“Panembahan
Ismaya serta Paman Kanigara, aku rasa bahwa aku sudah terlalu lama tinggal di
padepokan ini. Hal-hal yang dapat aku pelajari sudah cukup banyak. Karena itu,
aku ingin mohon diri untuk meninggalkan padepokan ini. Memenuhi anjuran seorang
wali yang bijaksana, untuk mengabdikan diri ke Demak. Mungkin aku akan mendapat
panjatan, setidak–tidaknya untuk mengabdikan diriku.”
Panembahan
Ismaya dan Kanigara bersama-sama mengangguk-angguk. Maka terdengarlah
Panembahan itu menjawab sambil tersenyum,
“Bekalmu telah
cukup Karang Tunggal. Pengetahuan mengenai ketrapsilaan, mengenai keteguhan
hati dan perasaan, juga engkau telah banyak menerima petunjuk mengenai adat dan
tatacara dari pamanmu Kanigara. Karena itu sebenarnya aku tidak keberatan lagi
kalau kau akan mengabdikan dirimu. Pergilah. Hanya sayang bahwa penyakitmu
masih saja sering kambuh.”
Karang Tunggal
menundukkan kepala. Namun terdengarlah ia berkata,
“Mudah-mudahan
aku dapat menjaganya.”
Dengan tertawa
kecil Kanigara menyahut,
“Kalau kau
tidak dapat menyembuhkan penyakitmu itu, Karang Tunggal, penyakit menuruti
hatimu sendiri, mungkin akan menemukan kesulitan.”
“Aku akan
berusaha sekuat tenaga, Paman,” jawab Karang Tunggal.
“Mudah-mudahan
aku selalu mendapat tuntunan Allah Yang Maha Agung.”
Demikianlah
pada malam itu. Seluruh isi Padepokan Karang Tumaritis berkumpul bersama-sama
untuk melepaskan Karang Tunggal pada keesokan harinya, pergi meninggalkan
pedukuhan itu, untuk kembali ke Pengging dan seterusnya ke pusat Kerajaan,
Demak. Tidak lupa pula Putut Karang Tunggal, yang nama sebenarnya adalah
Karebet dan sering juga dipanggil Jaka Tingkir, maka Kanigara menuntun Arya
Salaka untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang biasa dilakukan Karang Tunggal.
Meladeni keperluan-keperluan Panembahan Ismaya dalam pekerjaan sehari-hari, sebagai
seorang Panembahan. Mengatur pekerjaan para cantrik, baik di dalam maupun di
luar padepokan.
KI AGENG
Pandan Alas masih tetap tinggal di padepokan untuk menunggui muridnya yang
sedang sakit. Namun semakin hari tampaklah bahwa luka-luka Sarayuda menjadi
semakin baik berkat perawatan yang seksama dari Panembahan Ismaya. Sejalan
dengan itu, dengan perkembangan kesehatan Sarayuda, Mahesa Jenar pun bertambah
gelisah. Sikapnya menjadi bertambah kaku terhadap Ki Ageng Pandan Alas. Ada
sesuatu yang tersimpan di dalam dadanya, namun agak sulit baginya untuk
menyampaikannya kepada orang tua itu. Meskipun ia insaf bahwa apabila Sarayuda
telah sembuh, meskipun belum pulih benar, pastilah Ki Ageng Pandan Alas akan
meninggalkan padepokan itu. Hal itu akhirnya terjadi juga. Pada suatu hari Ki
Ageng Pandan Alas menyatakan bahwa kini Sarayuda telah sehat. Ia telah mampu
untuk menempuh perjalanan pulang ke Gunung Kidul bersama Ki Ageng. Bahkan
karena perawatan yang baik, maka Sarayuda telah benar-benar hampir pulih kembali.
Dalam keadaan yang demikian, Mahesa Jenar tidak dapat menunda-nunda lagi.
Bagaimanapun sulitnya, ia terpaksa menuangkan segala masalah yang selama ini
tersimpan di dalam dadanya, kepada orang tua itu. Masalah yang tidak dapat
dipersoalkan dengan orang lain.
Maka kemudian
Mahesa Jenar memerlukan untuk mendapatkan waktu, menemui orang tua itu seorang
diri. Dan dengan kaku ia menyampaikan persoalan antara dirinya dengan cucu Ki
Ageng Pandan Alas, yang bernama Rara Wilis.
“Mahesa
Jenar…” jawab Pandan Alas sambil tersenyum,
“Aku sudah
mendengar semua itu dari Sarayuda. Sebenarnya bagiku tidak ada lagi masalah
yang dapat mengganggu hubunganmu dengan Wilis. Kalau semula aku dibingungkan
oleh kepentingan muridku, ternyata kini dengan ikhlas Sarayuda telah mengundurkan
diri dari persoalan ini.”
Mendengar
keterangan Ki Ageng Pandan Alas itu, Mahesa Jenar hanya dapat menundukkan
kepala. Ia pun telah menduga sebelumnya bahwa jalan yang akan ditempuhnya telah
rata.
“Seterusnya,
Mahesa Jenar…” lanjut Ki Ageng Pandan Alas,
“Terserahlah
kepadamu berdua. Jalan manakah yang akan kau tempuh. Sebab masa depanmu
terletak di tanganmu.”
“Ki Ageng…”
jawab Mahesa Jenar,
“Aku telah
bersepakat dengan Rara Wilis, bahwa kami akan menempuh hidup bersama. Namun
demikian, di hadapanku masih terbentang suatu kewajiban yang berat. Kewajiban
yang memebutuhkan segenap tenaga serta pengetahuanku. Karena itu kami telah
sama-sama menyetujui untuk menunda tali perkawinan kami sampai kewajiban itu
selesai, meskipun seandainya umur kami menjadi bertambah juga. Bahkan Wilis pun
telah berjanji untuk ikut serta bekerja keras dalam penyelesaian kewajiban
itu.”
Ki Ageng
Pandan Alas mengerutkan kening. Tampaklah bahwa ia sedang berpikir. Kemudian
jawabnya,
“Terserahlah
kepadamu Mahesa Jenar. Kau telah cukup dewasa, bahkan terlalu dewasa untuk
mengatur dirimu. Tetapi apakah kewajiban yang kau maksud itu berhubungan dengan
kedua keris yang sekarang ini kau cari…?”
Mahesa Jenar
mengangguk, lalu jawabnya,
“Benar, Ki
Ageng. Selama Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten belum aku ketemukan, selama
itu aku harus membelakangi kepentingan diri. sebab akibat dari penemuan pusaka
itu akan besar sekali. Keteguhan Kerajaan Demak, dan sekaligus pembebasan ayah
Arya Salaka.”
Ki Ageng
Pandan Alas mengangguk-anggukan kepala. Sekali lagi ia mengagumi ketetapan hati
Mahesa Jenar atas beban yang telah diletakkan di pundaknya. Meskipun tak
seorang pun dari Istana yang mungkin tahu akan perjuangannya, namun ia sama
sekali tidak peduli. Bagi Mahesa Jenar, yang penting bukanlah pujian atau
perhatian orang lain atas kerja yang telah dilakukan. Tetapi benar-benar suatu
pengabdian terhadap cita-cita. Ia sama sekali tidak mengharapkan bahwa kalangan
Istana akan menyatakan terimakasih atas usahanya itu, apalagi mengharapkan
hadiah dan penghormatan. Karena itu Ki Ageng Pandan Alas menjawab,
“Aku tahu
pasti bahwa kau adalah seorang pejuang yang sepi ing pamrih. Karena itu tidak
saja Wilis yang berjanji akan membantumu. Aku dan Sarayuda pasti akan ikut
serta dalam perjuanganmu. Di sepanjang jalan pulang aku akan berusaha seperti
apa yang kau usahakan.”
“Terimakasih
Ki Ageng. Terimakasih atas segala kerelaan hati Ki Ageng,” sahut Mahesa Jenar.
“Nah,
seterusnya terserah kepadamu. Tetapi aku ingin tahu, apakah Wilis akan pergi
bersamaku ataukah ia akan bekerja bersamamu dalam usaha ini,” kata Ki Ageng
Pandan Alas.
“Kalau Ki
Ageng tidak keberatan,” lanjut Mahesa Jenar,
“Biarlah ia
dalam pilihannya. Tinggal di bukit ini untuk seterusnya bersama aku dan Arya
Salaka, meneruskan pekerjaan kami.”
Pandan Alas
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian jawabnya sambil tersenyum,
“Kalau yang
minta ijin kepadaku ini seorang pemuda yang sedang menginjak dewasa, serta
bermata liar seperti mata burung hantu, aku pasti tak mengijinkan, cucuku
seorang gadis untuk tinggal di sini. Tetapi kepadamu aku harus mempunyai
keputusan lain. Sebab kau bukan anak-anak yang hanya pandai mematut diri.”
Mahesa Jenar
tidak menjawab, namun wajahnya menjadi kemerah-merahan. Apalagi ketika Ki Ageng
Pandan Alas kemudian meneruskan,
“Meskipun
demikian aku titip kepadamu, jaga anak itu baik-baik.”
Akhirnya
Mahesa Jenar menjawab,
“Akan aku jaga
anak itu baik-baik seperti aku menjaga Arya Salaka, yang bahkan lebih dari
diriku sendiri, meskipun aku mempunyai kepentingan berbeda atas kedua anak
itu.”
No comments:
Post a Comment