MATAHARI telah miring ke barat, hutan Tambakbaya semakin lama semakin bertambah tipis. Pepohonan tidak lagi selebat dan liar seperti daerah pedalaman. Sementara itu terasa debaran jantung yang aneh dalam dada Rara Wilis. Telah lebih sepuluh tahun ia tak berjumpa dengan kakeknya. Sekarang, ia ingin mencarinya di daerah yang tak dikenalnya. Sebentar kemudian mereka telah sampai pada perbatasan hutan. Di depan mereka tinggallah beberapa grumbul kecil yang tidak begitu berarti.
“Inilah daerah
Pliridan,” gumam Mahesa Jenar hampir kepada dirinya sendiri.
Mendengar
ucapan Mahesa Jenar, Rara Wilis yang berjalan di depan jadi terhenti. Beberapa
macam perasaan bercampur aduk di otaknya. Sekali ia menarik nafas panjang.
Alangkah lega hatinya setelah hutan yang lebat itu dapat dilewatinya. Tetapi
sementara itu lalu kemana ia mesti pergi?
Sekali dua
kali ia menoleh kepada Mahesa Jenar. Wajahnya yang cerah itu menjadi agak suram
oleh kebimbangan hatinya. Mahesa Jenar dapat menangkap perasaan Rara Wilis.
“Rara Wilis,
dapatkah kau menunjukkan di daerah manakah kira-kira kakekmu tinggal?” tanya
Mahesa Jenar. Rara Wilis menggelengkan kepalanya. Memang ia sama sekali tak
mengerti arah tempat tinggal kakeknya. Ia hanya mendengar, bahwa kakek itu
tinggal di daerah Pliridan. Mahesa Jenar juga menjadi agak bimbang. Ia beberapa
tahun yang lalu pernah mengenal daerah ini. Tetapi apa yang dilihatnya
sekarang, ternyata mengalami banyak perubahan.
“Tuan,” kata
Rara Wilis dengan penuh keragu-raguan,
“Aku sama
sekali tidak membayangkan kalau demikianlah keadaan daerah Pliridan. Menurut
gambaran angan-anganku. Pliridan adalah sebuah desa yang dilingkungi oleh
persawahan dan ladang. Tetapi ternyata daerah ini hanyalah padang rumput yang
diselingi oleh gerumbul-gerumbul liar.”
“Tetapi aku
kira tidaklah demikian seluruhnya, Rara Wilis. Beberapa tahun yang lalu,
desa-desa seperti yang kau bayangkan itu memang pernah ada. Entahlah kenapa
sekarang keadaan itu berubah. Meskipun demikian aku yakin, bahwa di sekitar
daerah ini masih juga didiami orang. Karena itu baiklah kita coba mencarinya.”
Di wajah Rara
Wilis masih saja membayang kebimbangan hatinya, bahkan kebimbangan itu kemudian
berubah menjadi suatu ketakutan. Bagaimanakah kalau ia tak dapat menemui
kakeknya? Pastilah, bahwa Mahesa Jenar tak akan dapat terus-menerus
menemaninya. Melihat perubahan wajah Rara Wilis, Mahesa Jenar pun menangkap
perasaannya, karena itu ia mencoba menghiburnya.
“Rara Wilis,
tak usah kau merasa takut. Aku masih mempunyai perasaan kuat, bahwa di sini
masih didiami orang. Seandainya tidak demikian, maka aku bersedia mengantar kau
pulang ke rumah ayahmu.”
Tetapi akibat
perkataan itu adalah sebaliknya dari yang diharapkan. Karenanya Mahesa Jenar
menjadi terkejut sekali ketika dilihatnya Rara Wilis malahan meneteskan air
mata. Meskipun sudah ditahan sekuat-kuatnya. Sekarang Mahesa Jenar yang
kebingungan. Sekali lagi ia merasa demikian tumpulnya perasaannya. Ia pernah
mengalami suasana yang bersamaan, meskipun keadaannya berbeda. Yaitu pada waktu
ia berhadapan dengan Nyai Wirasaba. Pada saat itu juga ia menjadi kebingungan
dan tidak mengerti apa yang harus dikerjakan. Sekarang Rara Wilis itu pun
menangis di hadapannya tanpa sebab. Justru pada saat ia berusaha untuk
menghiburnya. Karena itu perasaannya menjadi tidak enak sekali. Tetapi setelah
ia mempunyai sebuah pengalaman yang tak menyenangkan, ia tidak lagi mau
menebak-nebak. Maka terlintaslah dalam pikirannya, bahwa jalan yang terbaik
adalah menanyakan sebabnya, kenapa Rara Wilis menangis. Mendapat pikiran yang
demikian, Mahesa Jenar menjadi agak lega sedikit. Dan dengan hati-hati sekali
ia mencoba bertanya.
“Rara Wilis,
aku telah mencoba untuk menenangkan hatimu, tetapi justru akibatnya adalah
sebaliknya. Karena itu, dapatkah aku menanyakan, apakah sebabnya kau menangis?”
Rara Wilis
tidak segera menjawab. Ia melangkah beberapa kali ke samping, dan kemudian
menjatuhkan dirinya duduk di rumput-rumput liar. Dari matanya masih saja
terurai tetesan-tetesan airmata. Baru setelah beberapa saat, ia menjawab dengan
kata-kata yang tersekat-sekat.
“Tuan, aku
merasa bersyukur, bahwa aku dapat berjumpa dengan seorang yang demikian baik
hati seperti Tuan. Karena itu tak adalah jalan bagiku untuk menyatakan terima
kasihku yang tak terhingga. Tetapi sangatlah menyesal Tuan …, bahwa kalau aku
tak dapat menemukan kakekku, aku tak dapat kembali kepada ayahku. Meskipun
ayahku dahulu tergolong orang yang berada, tetapi tak adalah tempat bagiku di
sana.”
Mahesa Jenar
menjadi semakin menebak-nebak tentang keadaan gadis aneh itu. Rupanya banyak
rahasia yang menyelubungi dirinya, sehingga ia terpaksa menempuh perjalanan
yang sedemikian berbahayanya.
“Rara Wilis,”
tanya Mahesa Jenar kemudian,
“aku bukanlah
ingin terlalu banyak mengetahui tentang dirimu, tetapi bagiku kau adalah
seorang gadis yang diselubungi oleh kabut rahasia yang kelam.”
“Mungkin Tuan
benar,” jawab Rara Wilis,
“Tetapi buat
tuan tidaklah sepantasnya kalau aku menyembunyikan sesuatu rahasia.”
Mata Rara
Wilis yang bulat tetapi sayu itu memandang Mahesa Jenar, seperti mata
kanak-kanak yang minta perlindungan. Mahesa Jenar menjadi semakin tidak
mengerti apa yang harus dilakukan. Di luar kesadarannya ia pun ikut serta duduk
diatas rumput-rumput liar.
Setelah diam
sejenak, Rara Wilis memulai ceritanya.
“Tuan, ayahku
adalah seorang yang banyak mempunyai pengaruh di daerah Pegunungan Kidul.
Meskipun daerah itu tandus dan kering, tetapi ayahku mempunyai peternakan yang
cukup, sehingga dapatlah ia digolongkan orang berada. Tetapi ibuku adalah
keturunan orang yang miskin. Kakekku semasa masih tinggal di Pegunungan Kidul,
tidaklah lebih dari seorang buruh yang bekerja dengan upah yang sangat kecil.
Meskipun demikian kakek termasuk orang yang tidak mau menjadi beban orang lain.
Sepuluh tahun yang lalu kakek yang merasa kehidupannya semakin hari semakin
sulit, terpaksa pergi meninggalkan kampung halaman. Memang sebelum itupun kakek
adalah seorang perantau. Mungkin ini disebabkan oleh kehidupannya yang sulit,
sehingga pada saat-saat tertentu, yaitu pada saat paceklik, kakek pergi
meninggalkan kampung untuk beberapa bulan. Tetapi sejak 10 tahun yang lalu,
kakek tidak kembali pulang.”
RARA WILIS pun
bercerita bahwa pada masa kanak-kanak,
“apabila kakek
berada di rumah, selalu digendongnya kemana ia pergi. Kepergiannya tidak
terlalu lama mempengaruhi perasaanku. Sebab ayah dan ibuku selalu memanjakan
aku. Tetapi akhir-akhir ini terjadilah peristiwa-peristiwa yang merusak
kehidupan damai itu. Beberapa tahun yang lalu, di kampung halamanku, datanglah
seorang perempuan dari Bagelen. Kelakuannya tidaklah seperti lazimnya
perempuan-perempuan di daerah kami. Di daerah kami banyak pendekar yang
ternama, termasuk ayahku yang bernama Ki Panutan. Tetapi tidaklah biasa seorang
perempuan jadi pendekar. Berbeda halnya dengan perempuan pendatang itu.
Ternyata ia adalah seorang pendekar perempuan, yang tidak diduga-duga. Ia pun
telah dapat mengalahkan beberapa pendekar ternama di daerah kami.”
Rara Wilis berhenti
sejenak. Alisnya tampak berkerut. Ia mencoba mengingat kembali
peristiwa-peristiwa yang pernah berlaku.
“Tuan …,”
sambungnya beberapa saat kemudian.
“Keanehan
perempuan itu tidak saja pada kependekarannya, tetapi juga pada tingkah
lakunya. Kadang-kadang ia bersikap garang dan kasar seperti halnya pendekar
laki-laki di daerah kami. Tetapi kadang-kadang ia menjadi lunak dan mesra,
penuh sifat halus seorang wanita.”
Rara Wilis
kembali berhenti bercerita sejenak.
“Rupanya
gabungan dari kedua sifat-sifat itulah yang telah memecahkan kebahagiaan
rumah-tangga kami. Sebab ternyata hubungan perempuan itu dengan ayahku semakin
hari semakin rapat. Ibuku adalah perempuan lugu, yang hanya dapat bekerja di
dapur dan meladeni seorang suami seperti apa yang dilakukan perempuan-perempuan
lain di desa kami. Ibuku tidaklah dapat memberi saran, nasihat atau apapun
semacam itu kepada ayahku sebagai seorang pendekar. Juga ibuku tidak pandai
merayu hati laki-laki. Dan karena itulah maka semakin dekat ayahku dengan
perempuan pendatang itu, semakin jauh ia dari ibuku. Rupanya hal itu dapat
dilihat oleh penduduk di daerah kami, sehingga menimbulkan suasana yang kurang
menyenangkan. Tetapi lebih daripada itu, ayah pun perangainya seakan-akan
berubah. Ia pun kemudian mempunyai kebiasaan-kebiasaan aneh. Minum minuman
keras dan hal-hal kasar lainnya. Kepadaku pun ayah menjadi semakin jauh pula.”
Lagi-lagi Rara
Wilis berhenti sejenak.
“Alangkah
benciku kepada perempuan itu, seperti ia juga sangat benci kepadaku. Bahkan ia
selalu menyakitiku tanpa ada pembelaan dari ayah, apalagi ibu yang hanya dapat
memelukku dan menangisi. Waktu itu, tak banyak yang dapat aku ketahui, selain
pada suatu hari datanglah beberapa orang pendekar terkenal, yang dulu adalah
sahabat-sahabat ayahku. Tanpa kuketahui sebab-sebabnya, mereka bertempur
melawan ayahku serta perempuan pendatang itu. Rupanya ayahku memang seorang
pendekar pilihan dan perempuan itu pun tak kalah garangnya. Sehingga meskipun
ayah dan perempuan itu dikerubut, tetapi dapat juga memberi perlawanan yang
berarti. Ibuku sendiri waktu itu tak dapat berbuat lain, kecuali memelukku dan
menangis sejadi-jadinya di belakang dapur rumah kami. ”
“Akhirnya …,”
lanjut Rara Wilis,
“bagaimanapun
kuatnya ayahku serta perempuan pendatang itu, namun tidaklah dapat menahan arus
kemarahan pendekar-pendekar ternama di dareh kami yang demikian banyak
jumlahnya. Sehingga sejak itu, ayahku pergi dengan perempuan pendatang itu, dan
tidak pernah kembali. Sejak itu pula ibu selalu menanggung kesedihan yang tak
terhingga, meskipun anehnya, tetangga-tetangga bersikap baik sekali. Bahkan
para pendekar yang mengerubut ayahku, bersikap manis sekali kepada ibuku.
Bahkan istri-istri mereka selalu berusaha untuk dapat bercakap-cakap dan
menghibur ibuku. Tetapi rupanya ibuku lebih suka mengurung dirinya serta
membenamkan diri dalam duka.” Kata Rara Wilis,
“beberapa
tahun kemudian membayanglah puncak kesedihan yang bakal terjadi. Ibuku sakit.
Semakin lama sakit itu semakin keras dan seolah-olah sudah terasa, bahwa sakit
itu tak akan dapat diobati. Ternak kami yang sekian banyaknya, kekayaan kami,
tidak dapat membendung arus kematian yang semakin lama semakin deras
bergulung-gulung menghantam tebing-tebing kehidupan ibuku.
Maka setelah
beberapa tahun kemudian dari kepergian ayahku, ibuku menutup mata, serta
meninggalkan keris yang Tuan namakan Sigar Penjalin itu kepadaku, sebagai suatu
bukti bahwa aku adalah keturunan Ki Santanu dari Pegunungan Kidul. Jadi sama
sekali bukan Ki Ageng Pandan Alas dari Wanasaba. Maka akupun akhirnya merasa,
bahwa aku tidak dapat hidup tanpa ada satu pun yang aku cintai. Meskipun aku
mendapat warisan yang cukup banyak, tetapi semuanya itu tak berarti bagi
hidupku yang kering.”
Rara Wilis
mengakhiri ceriteranya dengan sedu-sedan yang seperti meledak dari rongga
dadanya. Mahesa Jenar mendengarkan ceritera Rara Wilis itu dengan penuh haru.
Rupanya kegersangan hati gadis itulah yang mendorongnya untuk menempuh jalan
yang sangat berbahaya, mencari kakeknya, sekadar untuk dapat menyangkutkan
cinta serta harapannya. Mungkin ia mengharapkan kakeknya suka kembali ke
kampung halaman, untuk bersama-sama hidup dalam suasana yang hanya dapat
dikenangnya kembali. Tetapi meskipun Mahesa Jenar dapat ikut serta sepenuhnya
merasakan betapa keringnya hidup tanpa sangkutan cinta, namun ia tidak dapat
berbuat suatu untuk menenangkan hati gadis cantik itu. Oleh karenanya ia
menjadi gelisah sendiri. Perlahan-lahan ia berdiri lalu berjalan mondar-mandir
tanpa tujuan. Sementara itu, matahari telah hampir menyelesaikan perjalanannya
yang sunyi mengarungi langit. Cahayanya yang masih ketinggalan, tampak
gemerlapan di atas punggung-punggung bukit. Mahesa Jenar masih saja berjalan
mondar-mandir dengan gelisahnya. Dalam hatinya berkecamuk perasaan heran yang
tiada habis-habisnya. Bagaimana mungkin seorang ayah dapat melupakan putrinya,
hanya karena seorang perempuan yang tak dikenal asal-usulnya, sehingga ia telah
melepaskan hari depan gadisnya serta hari depan garis keturunannya? Beberapa
saat kemudian, ketika Rara Wilis telah menjadi agak tenang, Mahesa Jenar pun
segera mempersilahkannya untuk berjalan kembali. Sebab bagaimanapun Mahesa
Jenar masih mengharapkan untuk dapat menjumpai seseorang di daerah ini.
PERJALANAN di
daerah ini tidaklah sesulit berjalan di hutan. Mereka hampir tidak pernah
menemui rintangan-rintangan yang berarti. Setelah mereka berjalan beberapa
saat, tiba-tiba Mahesa Jenar berhenti. Matanya memandang ke satu arah dengan
tajamnya, dan sejenak kemudian ia meloncat beberapa langkah, lalu berjongkok,
mengamati sesuatu. Rara Wilis terkejut bercampur heran melihat tingkah laku
Mahesa Jenar. Ia pun segera berlari dan ikut serta mengamati arah yang sama.
Tetapi ia tidak melihat sesuatu. Karena itu dengan herannya ia bertanya,
“Tuan, adakah
Tuan melihat sesuatu? ”
“Rara Wilis ….
Lihat rumput-rumput ini,” jawab Mahesa Jenar.
Rara Wilis
memandang rumput yang ditunjuk oleh Mahesa Jenar itu dengan seksama, tetapi ia
tetap tidak melihat sesuatu.
“Ada apa
dengan rumput-rumput itu?,” tanyanya.
“Lihatlah,
rumput ini rebah dan patah-patah. Lihatlah di tempat itu, juga terdapat hal
yang sama, juga di sebelah sana dan sana. Kau tahu artinya? Apalagi di tempat
yang tanahnya agak gembur ini.”
Rupanya otak
Rara Wilis pun tidak begitu tumpul, sehingga ia berteriak menebak.
“Telapak kaki manusia
…?”
“Ya”, sahut
Mahesa Jenar.
“Telapak kaki
yang masih agak baru. Pasti seseorang baru saja melewati daerah ini. Mungkin ia
adalah penduduk daerah Pliridan ini, atau mungkin….” Mahesa Jenar tidak
melanjutkan perkataannya. Tetapi Rara Wilis dapat menangkap kelanjutannya.
“Mudah-mudahan
bukanlah penjahat-penjahat itulah yang sengaja dikirim untuk mematai-matai
perjalanan kita”, katanya.
Perlahan-lahan
Mahesa Jenar berdiri sejenak. Otaknya bekerja keras untuk mencoba menebak,
siapakah kira-kira yang meninggalkan bekas tapak kaki yang masih segar itu.
Menurut pendapatnya, ada empat kemungkinan, yaitu penduduk setempat, Jaka Soka,
Pasingsingan, atau Ki Ageng Pandan Alas. Diam-diam ia membandingkan telapak
kaki itu dengan telapak kakinya sendiri. Ternyata telapak kaki itu agak lebih
dalam. Menurut pendapatnya, pastilah orang itu adalah orang yang gemuk sekali,
atau orang yang membawa beban agak berat. Tiba-tiba terlintaslah dalam
benaknya, bahwa Pasingsingan adalah kemungkinan yang paling dekat, sebab Pasingsingan
dalam perjalanannya kembali ke Pasiraman mendukung Lawa Ijo yang terluka. Dan
tidaklah mustahil kalau jalan ini dilewati, sebab arah perjalanannya sesuai
dengan arah jalan ini. Mahesa Jenar ragu-ragu sebentar. Ia tidak ingin
menggelisahkan hati gadis itu. Karena itu ia menjawab,
”Tidaklah
begitu penting Rara Wilis, tetapi sebaiknya kita beralih jalan.”
Rara Wilis
mengerutkan dahinya, otaknya memang cukup cerdas, karena itu ia menjawab,
“Kalau Tuan
sampai menganggap perlu untuk menempuh jalan lain, pastilah ada sesuatu yang
sangat penting. Katakanlah Tuan, supaya aku tidak usah menebak-nebak.”
Mahesa Jenar
tidak dapat berbuat lain, kecuali mengatakan segala sesuatu yang berkecamuk di
dalam otaknya. Rara Wilis pun sependapat dengan pikiran itu. Maka mereka
memutuskan untuk mencari jalan lain. Mereka meninggalkan dan menjauhi jalan
setapak yang paling mungkin dilalui orang. Mereka membelok ke arah selatan,
menyusup gerumbul-gerumbul kecil menuju ke arah pepohonan yang agak lebat di
depan mereka. Mungkin di daerah itu terdapat mata air, atau tempat yang aman
untuk bermalam, atau sukurlah kalau didiami orang. Ketika mereka sampai,
ternyata tempat itu tidak juga ditinggali manusia. Memang, di sana terdapat
sebuah mata air yang mengalirkan air cukup deras, dan ditampung dalam sebuah
telaga yang hijau bening.
Pada saat itu,
matahari telah sampai di garis cakrawala. Sinarnya sudah tidak lagi dapat
menembus takbir gelapnya malam, yang turun perlahan-lahan, tetapi pasti akan
menelan bumi. Mehesa Jenar segera mengadakan persiapan untuk bermalam. Hanya
untuk kali itu, menurut pertimbangan Mahesa Jenar, sebaiknyalah kalau tidak
menyalakan api, meskipun Mahesa Jenar sadar bahwa andaikata bekas-bekas kaki
tadi benar-benar bekas kaki Pasingsingan, pastilah ia tidak sengaja akan
menjebaknya. Sebagai orang seperti Pasingsingan, apabila dikehendaki tentu
tidak akan meninggalkan jejak sedemikian jelasnya. Meskipun demikian Mahesa
Jenar harus selalu tetap waspada. Dipersilahkan Rara Wilis untuk beristirahat,
berbaring di atas tikar yang masih saja dibawanya ke mana-mana. Sedang Mahesa
Jenar sendiri duduk bersandar pohon sambil memperhatikan suasana di sekitarnya.
Alam pun segera menjadi hitam. Untunglah, bahwa bulan yang remaja menghiasi
langit diantara taburan bintang-bintang. Sehingga sinarnya yang remang-remang
dapat menembus dedaunan yang tidak begitu lebat seperti lebatnya hutan. Mata
Mahesa Jenar yang tajam itu selalu menembus keremangan malam untuk menangkap
tiap-tiap gerakan yang mungkin mencurigakan. Tetapi tiba-tiba saja mata itu
terbanting ke tubuh seorang gadis cantik yang berbaring diam di depannya.
Dengan demikian jantungnya berdesir cepat tanpa sadar.
MAHESA JENAR
pernah bertemu, melihat dan berkenalan dengan puluhan bahkan ratusan gadis
cantik. Bahkan ia pernah berkenalan dengan seorang yang menurut pendapatnya
memiliki kecantikan yang sempurna, yaitu Nyai Wirasaba.
Tetapi
tidaklah pernah ia merasakan suatu getaran yang aneh seperti dirasakannya pada
malam itu. Diam-diam Mahesa Jenar memandangi tubuh yang terbaring seperti
sebuah golek kencana itu. Dari ujung kakinya, tangannya, dadanya sampai ke
rambutnya yang bergerak-gerak dibelai angin malam yang berhembus lirih. Mahesa
Jenar menarik nafas dalam-dalam. Sebagai manusia biasa, Mahesa Jenar juga
kadang-kadang membayangkan suatu rumahtangga yang tenteram dan lumrah. Tetapi
segera Mahesa Jenar dapat langsung memandang ke dirinya sendiri. Ia tidak lebih
dari seorang perantau yang akan menjelajahi desa demi desa, hutan demi hutan,
untuk mengabdikan keyakinannya. Untuk itu, maka masih banyaklah yang harus
dikerjakan. Karenanya, oleh kesadarannya tentang dirinya, maka segala
perasaan-perasaan yang berdesir di hatinya terhadap gadis cantik itu segera
didesak sekuat-kuatnya. Maka dengan serta merta direnggutkannya pandangannya
dari tubuh Rara Wilis, dan segera dilemparkan kembali ke arah bayang-bayang
daun dan ranting-ranting yang selalu bergerak-gerak, seolah-olah sedang
mengganggunya. Angin malam yang berdesir di dedaunan masih saja menyapu
wajahnya, dan sekali-sekali terdengar di kejauhan ringkik kuda liar yang
terkejut mendengar teriakan-teriakan anjing hutan.
Dalam keadaan
yang demikian, tiba-tiba saja ia terbanting kembali ke dalam suasana yang kini
sedang dihadapi. Suatu daerah asing yang diliputi oleh suasana yang
membahayakan. Segera diangkatnya kepalanya, serta diperhatikannya keadaan di
sekelilingnya dengan saksama. Sebagai seorang yang mempunyai pengalaman yang
luas, Mahesa Jenar mendapatkan suatu firasat, bahwa ada sesuatu yang
mencurigakan. Mendadak telinganya yang tajam itu mendengar suara berdesir
lambat sekali. Tetapi Mahesa Jenar sudah cukup mendapat gambaran bahwa
seseorang datang mendekatinya. Orang itu pasti bukanlah orang yang mempunyai
ilmu yang terlalu tinggi. Sebab gerak serta pernafasannya tidaklah dikuasainya
dengan baik. Karena itu sekaligus Mahesa Jenar dapat mengetahui dari arah mana
orang itu datang. Tetapi ia tidak segera mengadakan tindakan apa-apa. Ia ingin
mengetahui lebih dahulu, apakah kira-kira maksud orang itu mengintainya. Karena
itu ia tetap duduk di tempatnya, serta bersikap seperti tak mengetahuinya.
Meskipun dalam keadaan yang demikian ia sudah bersiaga untuk menghadapi segala
kemungkinan. Suara berdesir itu pun semakin lama semakin jelas, serta suara
tarikan nafasnya semakin memburu pula. Tetapi pada jarak tertentu suara itu
tidak lagi maju. Rupanya orang itu baru mempersiapkan diri untuk menyerang.
Mendadak
Mahesa Jenar terkejut ketika mendengar suara itu mundur dan menjauh. Segera
Mahesa Jenar tahu, bahwa orang itu tidak bermaksud menyerang, tetapi hanya
mengintai saja. Hal yang demikian itu malahan akan dapat mengandung bahaya yang
lebih besar. Karena itu segera Mahesa Jenar bangkit dan dengan beberapa
loncatan saja ia sudah berdiri di samping orang yang mengintainya. Orang itu terkejut.
Mahesa Jenar yang dikira tidak mengetahui kehadirannya, kini tiba-tiba sudah
ada di sampingnya. Karena itu tidaklah mungkin ia dapat melepaskan diri. Dengan
demikian ia menghentikan langkahnya, dan tidak ada jalan lain kecuali
mendahului menyerang. Orang itu segera mengangkat goloknya, dan dengan sekuat
tenaga dibabatnya pundak Mahesa Jenar. Mendapat serangan yang tiba-tiba, Mahesa
Jenar menjadi terkejut pula. Ternyata meskipun orang itu tidak dapat menguasai
pernafasannya dengan baik, tetapi ia mempunyai keistimewaan pula. Mendengar
desing golok yang terayun deras sekali, Mahesa Jenar barulah dapat mengukur
kekuatan tenaga orang asing itu. Ketika golok itu sudah hampir menyinggung
tubuhnya, segera Mahesa Jenar berkisar sedikit, serta meloncat selangkah ke
samping. Dengan demikian golok yang tak mengenai sasarannya itu terayun deras
sekali, sehingga oran gyang memegangnya agak kehilangan keseimbangan.
Dalam keadaan
yang demikian Mahesa Jenar segera meloncat maju dan menangkap pergelangan
tangan orang itu, langsung diputarnya ke belakang. Dengan sekali dorong, orang
itu telah jatuh tertelungkup dan tidak dapat bergerak lagi, kecuali berdesis
menahan sakit.
“Kau siapa?,”
tanya Mahesa Jenar geram. Tetapi orang itu tidak menjawab. Demikianlah sampai
Mahesa Jenar mengulangi pertanyaan itu dua kali. Akhirnya Mahesa Jenar menjadi
jengkel dan menekan punggung orang itu semakin kuat serta memutar tangan yang
terpuntir itu semakin keras, sehingga orang itu mengaduh kesakitan.
“Kalau kau tak
menjawab, tanganmu akan aku patahkan,” desak Mahesa Jenar.
Rupanya orang
itu pun masih merasa perlu memiliki tangan sehingga dengan terpaksa menjawab,
“Aku adalah
Sagotra.”
“Apa maksudmu
mengintai kami? ” desak Mahesa Jenar lebih lanjut. Kembali orang itu diam saja.
Mahesa Jenar menjadi semakin jengkel, dan ia menekan orang itu lebih keras
lagi, sehingga orang itu mengaduh lebih keras pula.
“Jawablah!
Atau tanganmu betul-betul patah.” Mahesa Jenar makin geram.
“Tak ada
gunanya kau memaksa aku berkata lebih banyak lagi”, jawabnya. Rupa-rupanya ia
harus merahasiakan tugasnya betul-betul, sehingga sampai ke ajalnya kalau
perlu.
“Keadaanku
sudah pasti, berkata atau tidak berkata, aku akan menemui kematian. Karena itu
biarlah aku mati dengan menggenggam rahasia,” sambung orang itu.
Mahesa Jenar
kagum juga melihat kejantanan orang itu, sampai berani menantang maut. Tetapi
ia ingin untuk mendapat keterangan tentang maksud orang itu, yang pasti tidak
baik. Maka setelah mendapat suatu cara ia berkata,
“Baiklah,
kalau kau tidak mau berkata. Aku hormati kejantananmu. Tetapi janganlah
tanggung-tanggung. Aku ingin melihat pameran kesetiaan. Kau pernah mendengar
cerita, bahwa di daerah ini banyak terdapat Ngangrang Salaka…? ”
Mendengar
Mahesa Jenar menyebut Ngangrang Salaka, tengkuk orang itu serentak meremang.
Jantungnya berdegup hebat, sampai tubuhnya terasa gemetar. Ngangrang Salaka
adalah sejenis semut ngangrang yang luar biasa buas serta rakusnya. Binatang
apapun yang sampai terperosok ke sarangnya pasti hancur dimakannya. Keluarga semut
itu membuat sarang di bawah pohon-pohon yang sudah membusuk, dengan memerlukan
tanah 10 atau 15 langkah persegi. Tubuh semut itu besarnya tidak terpaut banyak
dengan semut ngangrang biasa, hanya warnanya yang merah mempunyai beberapa
baris-baris putih perak. Mahesa Jenar merasakan, bahwa kata-katanya mempunyai
akibat pada orang itu. Dengan demikian ia melanjutkan,
“Kalau kau
belum pernah mendengar, baiklah kau akan aku perkenalkan dengan semut itu.
Tetapi sebelumnya lebih baik kalau kakimu aku patahkan dulu supaya kau tidak
dapat lari darinya.”
Selesai
mengucapkan kata-kata itu, segera Mahesa Jenar melepaskan tangan orang itu.
Tetapi segera pula menangkap lipatan lutut kaki kanan, sedangkan tangan Mahesa
Jenar siap mematahkan pergelangan kaki kirinya, dijepitkan pada lipatan lutut
kaki kanan.
“Jangan…,
jangan…!” teriak orang itu tiba-tiba.
“Bunuhlah aku
dengan cara lain. Tetapi aku jangan kau siksa di sarang semut Salaka”.
“Itu adalah
urusanku. Sekehendakkulah untuk memilih cara bagaimana sebaiknya membunuh kau,”
jawab Mahesa Jenar.
TAMPAKNYA
Mahesa Jenar betul-betul akan melaksanakan ucapannya itu, karenanya maka
kembali orang itu berteriak,
“Jangan,
jangan, bunuhlah aku dengan cara lain.”
Kembali Mahesa
Jenar tertawa dingin.
“Seorang yang
telah berani menyatakan dirinya sebagai pengemban tugas, seharusnya tidak takut
menghadapi segala macam bahaya.”
“Aku sama
sekali tidak takut mati. Tetapi cara kematian yang demikian adalah mengerikan
sekali. Lepaskan aku dan biarlah aku bunuh diri,” teriak orang itu.
Kembali Mahesa
Jenar mengagumi orang itu, tetapi keterangan yang diperlukan harus didapatnya.
Maka katanya, Kalau kau mau berkata, aku beri kau kebebasan untuk memilih jalan
kematian. Lagi orang itu diam menimbang-nimbang. Rupanya terjadi pergolakan
hebat di dalam dirinya. Baru ketika Mahesa Jenar menekan pergelangan kakinya ia
berteriak, Baiklah aku berkata asal aku dibebaskan dari siksaan ngangrang
Salaka.
“Baiklah…”,
berkatalah, jawab Mahesa Jenar.
Lalu
dilepaskannya pergelangan kaki orang itu, dan ia melangkah satu langkah surut.
Mengalami
perlakuan yang demikian, orang itu ternyata sangat terkejut. Ia tidak tahu
maksud lawannya yang dengan begitu saja telah melepaskan tangkapannya. Sehingga
untuk beberapa saat ia tetap tertelungkup tanpa bergerak, sampai Mahesa Jenar
menegurnya, Duduklah dan berkatalah. Kembali ia tersentak mendengar tegur
Mahesa Jenar. Perlahan-lahan ia bangkit dan duduk di hadapan Mahesa Jenar.
Sementara itu Mahesa Jenar telah pula duduk menghadapi orang yang menamakan
dirinya Sagotra. Sagotra memandang Mahesa Jenar dengan mata yang hampir tak
berkedip. Rupanya ia sedang mencoba memahami sikapnya. Mula-mula Sagotra
menganggap bahwa Mahesa Jenar adalah seorang yang bengis dan kejam, seperti
yang tiap-tiap hari dilihat di dalam tata pergaulannya. Tetapi kemudian seperti
orang yang sama sekali tidak menaruh prasangka apa-apa, ia dilepaskan.
Kalau hal itu
disebabkan karena keyakinan akan kemenangannya, pastilah ia tidak bersikap
sedemikian lunak. Mungkin ia sudah diangkatnya tinggi-tinggi, diputar di udara,
lalu dibantingnya ke tanah. Barulah setelah setengah mati, disuruhnya ia
berkata. Atau mungkinkah segala-galanya akan dilakukan nanti setelah ia selesai
berkata? Sebab menurut pertimbangannya, tidaklah mungkin orang yang melakukan
pengintaian seperti apa yang dilakukannya itu akan dilepaskan, karena akibatnya
akan membahayakan. Mengingat hal itu, Sagotra menjadi ngeri.
Mahesa Jenar
menangkap kebimbangan hati Sagotra.
“Sagotra,”
berkatalah.
“Aku hanya
ingin keteranganmu, lebih daripada itu tidak.”
Sagotra sama
sekali tidak mengerti maksud Mahesa Jenar. Tetapi meskipun demikian
ketakutannya menjadi jauh berkurang. Menilik sikap, kata-kata serta maksudnya,
pastilah Mahesa Jenar bukan orang yang bengis dan kejam. Karena itu Sagotra
menjadi malu kepada diri sendiri. Bahwa orang yang dipercaya untuk melakukan
tugas ini dapat luluh hatinya hanya oleh gertakan saja. Tetapi disamping itu ia
menjadi kagum pada Mahesa Jenar yang mempunyai sifat-sifat yang tak pernah
dijumpainya dalam tata pergaulan di sarangnya. Tiba-tiba saja ia merasa
kengerian dan kejemuan untuk dapat bertemu dengan gerombolannya kembali, yang
tidak pernah merasakan betapa indahnya hidup manusia yang dapat menikmati
terbitnya fajar, serta bulatnya bulan. Serta betapa tenteramnya hidup ini
apabila ia berkesempatan mengagungkan alam. Lebih-lebih penciptanya, Tuhan Yang
Maha Agung. Hal yang demikian tidaklah pernah dialami selama Sagotra hidup di
dalam sarang gerombolannya, dimana setiap saat hanyalah berlaku hukum kekerasan
dan pembunuhan bagi mereka yang tidak mentaati peraturan.
“Tuan,”
katanya kemudian,
“Benarkah Tuan
yang bernama Rangga Tohjaya?”
Mahesa Jenar
mengangguk mengiakan.
“Aku telah
mendapat tugas untuk mencari Tuan,” lanjutnya.
Kembali Mahesa
Jenar mengangguk perlahan.
“Sekarang aku
sudah kau ketemukan,” kata Mahesa Jenar.
“Ya, aku sudah
menemukan Tuan. Tetapi keperkasaan Tuan jauh diatas dugaanku. Sehingga Tuan
tanpa menoleh dapat melihat kedatanganku.”
“Tetapi kenapa
kau tidak berbuat sesuatu pada saat kau temukan aku? Bahkan kau hanya mengintip
lalu pergi?”
Sagotra
membetulkan duduknya, lalu jawabnya,
“Memang, aku
hanya mendapat perintah untuk menemukan tempat Tuan. Sesudah itu aku harus
melaporkan. Sebab kami yakin, bahwa untuk menangkap Tuan diperlukan 10 sampai
20 orang yang tergolong tingkat atasan dalam gerombolan kami.”
“Kau ini
sebenarnya termasuk gerombolan apa?” tanya Mahesa Jenar kemudian.
Kembali orang
itu ragu-ragu. Dengan menyebutkan nama gerombolannya, mungkin sangat tidak
menguntungkan baginya. Tetapi ketika ia melihat wajah Mahesa Jenar yang sama
sekali tidak memancarkan rasa permusuhan, hatinya agak tenang sedikit. Meski
dengan jantung berdegup, berkatalah Sagotra,
“Tuan,
sebenarnya aku sama sekali tidak berani menyebut nama gerombolanku, sebab aku
tahu bahwa Tuan mempunyai persoalan yang mendalam dengan pemimpinku. Meskipun
demikian, karena sikap Tuan yang tak pernah aku temui dalam gerombolan kami,
menimbulkan kepercayaan pada diriku, bahwa Tuan mempunyai kepribadian lain
daripada orang-orang kami.”
Orang itu
berhenti sejenak untuk meyakinkan kata-katanya sendiri. Lalu sambungnya,
“Tuan… kami
adalah gerombolan Lawa Ijo.”
Pengakuan itu
sama sekali tidak mengejutkan hati Mahesa Jenar. Memang ia sudah mempunyai
dugaan bahwa kemungkinan terbesar orang itu datang dari gerombolan Lawa Ijo
atas perintah Pasingsingan. Hanya kecepatan mereka bertindak itulah yang
mengagumkan.
“Sagotra”,
kata Mahesa Jenar kemudian,
“Aku dengar
gerombolan kini sedang dibekukan. Benarkah itu?”
“Benar, Tuan.
Tetapi meskipun demikian, kami, beberapa orang tetap dalam tugas kami. Sedang
orang lain yang tidak diperlukan diperkenankan untuk sementara meninggalkan
sarang kami. Tetapi kami 25 orang yang merupakan anggota inti di bawah pimpinan
Wadas Gunung, saudara muda seperguruan Lawa Ijo, harus selalu bersiap untuk
setiap saat bertindak,” kata Sagotra.
Mendengar nama
Wadas Gunung, Mahesa Jenar jadi teringat kepada Watu Gunung, yang menurut
Samparan juga merupakan saudara muda seperguruan dengan Lawa Ijo. Karena itu ia
bertanya,
”Sagotra, kenalkah
kau dengan Watu Gunung?”
“Ya, pastilah
aku kenal. Ia adalah saudara kembar Wadas Gunung. Dan kedua-duanya saudara
seperguruan Lawa Ijo. Aku juga sudah mendengar kabar yang dibawa oleh Ki
Pasingsingan, bahwa Watu Gunung telah Tuan binasakan ketika ia sedang
mengunjungi kampung kelahirannya. Serta karena itu pulalah sekarang kami 20
orang di bawah pimpinan Wadas Gunung sendiri sedang mencari Tuan,” jawab
Sagotra.
Mendengar
keterangan terakhir dari Sagotra ini hati Mahesa Jenar tergoncang pula, 20 orang
sedang mencarinya. Sementara itu Sagotra melanjutkan,
“Tetapi
anehlah Tuan, bahwa kali ini Ki Pasingsingan salah hitung. Hal seperti ini
belum pernah terjadi. Kami telah mendapat petunjuk untuk mencegat Tuan di suatu
tempat. Menurut perhitungan Ki Pasingsingan, pada hari ini menjelang malam Tuan
pasti sampai ke tempat itu. Tetapi ternyata perhitungan itu meleset. Dan tuan
telah mengambil jalan lain menghindari tempat yang telah kami persiapkan untuk
menjebak Tuan. Karena itu, kami lima orang telah disebarkan untuk mencari
Tuan.”
Mahesa Jenar
mendengarkan keterangan Sagotra dengan penuh perhatian. Akhirnya ia bertanya,
“Kapan kah
Pasingsingan sampai ke sarang gerombolanmu? ”
“Kemarin lusa,
” jawab Sagotra.
“Kemarin lusa?
” ulang Mahesa Jenar dengan herannya. Sulit baginya untuk membayangkan
kecepatan berjalan Pasingsingan. Ditambah lagi ketika ia teringat telapak kaki
yang masih tampak baru, yang ditemuinya sore tadi. Mahesa Jenar menjadi
bertambah heran lagi.
Kemudian
Mahesa Jenar bertanya,
“Adakah orang lain
yang kau temui lewat jalan yang seharusnya aku lalui?”
“Tidak Tuan,
tidak ada. Kalau ada, pastilah orang itu kami tangkap. Sebab pasti orang itu
kami sangka Tuan, karena diantara kami tidak ada yang pernah mengenal wajah
Tuan, kecuali hanya ciri-ciri Tuan yang digambarkan oleh Ki Pasingsingan.”
Mahesa Jenar
menjadi bertambah heran. Adakah pihak ketiga yang sengaja memberi tanda
kepadanya supaya mengambil jalan lain? Ia jadi bingung menimbang-nimbang.
Tetapi sampai sekian lama tak dapat ia memecahkan teka-teki itu. Satu-satunya
kemungkinan yang membayang di kepala Mahesa Jenar hanyalah Ki Ageng Pandan
Alas. Belum lagi masalah telapak kaki bisa dipecahkan, mereka melihat di arah
sebelah selatan warna merah membayang di udara. Pasti di sana ada orang yang
menyalakan api. Segera Mahesa Jenar ingat, bahwa Wadas Gunung beserta 20
orangnya sedang bersiap menghadangnya. Tetapi menilik arahnya, pasti bukan
mereka.
“Sagotra…,”
kata Mahesa Jenar kemudian.
“Kawan-kawanmukah
yang menyalakan api itu? ”
Sagotra memandang
pula ke arah warna merah yang mewarnai keremangan malam. Ia menggeleng
perlahan. Lalu jawabnya, “Bukan Tuan. Itu pasti bukan kawan-kawan. Mereka
menghadang Tuan tidak di arah itu.”
“Lalu siapakah
menurut pendapatmu yang menyalakan api itu?”
Sagotra tampak
berpikir sejenak dan akhirnya ia menjawab, “Tuan, mungkin itu adalah orang tua
yang agak kurang waras, yang merupakan satu-satunya penghuni daerah ini.”
“Satu-satunya?”
sahut Mahesa Jenar agak terkejut.
“Jadi didaerah
ini tidak lagi ditinggali manusia kecuali orang tua itu?”
Sagotra
menggelengkan kepalanya.
“Tidak, Tuan.
Memang daerah ini sekarang sama sekali kosong, kecuali seorang itu, ” jawab
Sagotra kemudian.
“KENAPA orang
itu tidak pergi?” tanya Mahesa Jenar.
“Tidakkah dia
takut menghadapi keganasan gerombolan-gerombolan itu? Ataukah dia sedemikian
hebatnya sehingga tak seorang pun berani mengganggunya…?”
”Tidak, Tuan….
Ia sama sekali tidak memiliki kepandaian apa-apa. Aku sendiri pernah datang
mengunjunginya. Tetapi seperti yang sudah aku katakan, orang itu agak kurang
waras. Ia merasa bahwa ia sama sekali tidak mempunyai milik, sehingga menurut
perhitungannya tidak akan ada orang yang datang mengganggunya,” sahut Sagotra.
Mahesa Jenar
mendengar keterangan Sagotra dengan saksama. Ia mulai menghubung hubungkan
keterangan itu dengan kakek Rara Wilis. Mungkinkah orang tua itu adalah Ki
Santanu…?
“Siapakah nama
orang tua itu?” tanya Mahesa Jenar tiba-tiba. Sagotra menggelengkan kepalanya.
"Tak ada
orang yang mengetahui nama sebenarnya. Aku juga pernah menanyakan kepadanya,
tetapi ia hanya menyebutkan panggilan yang biasa diperuntukkannya saja”.
“Ya, siapa
panggilan itu?” desak Mahesa Jenar
“Orang
memanggilnya dengan sebutan Ki Ardi.”
“Ardi? “ulang
Mahesa Jenar. Sagotra mengangguk.
Tiba-tiba
terlintaslah dalam benak Mahesa Jenar, bahwa Ardi dapat berarti Gunung. Sedang
kakek Rara Wilis pun berasal dari daerah pegunungan. Ah, apakah salahnya kalau
ia berkenalan dengan orang tua itu?
“Sagotra…,”
katanya kemudian,
“Dapatkah kau
menunjukkan jalan ke rumah Ki Ardi itu?”
Sagotra
diam-diam menimbang-nimbang. Ia menjadi agak kebingungan. Tentang dirinya
sendiri, ia belum mendapat penyelesaian. Sekarang ia mendapat pekerjaan baru,
mengantarkan Mahesa Jenar ke rumah orang tua itu. Tetapi sesudah itu lalu
bagaimana? Mestikah ia harus bunuh diri, atau Mahesa Jenar akan membunuhnya…?
Serta bagaimanakah kalau ia bertemu dengan kawan-kawannya yang juga sedang
mencari Mahesa Jenar? Mahesa Jenar melihat kebingungan hati Sagotra serta
sedikit banyak menangkap perasaannya. Tetapi disamping itu mendadak timbul pula
kebimbangan di hatinya sendiri. Lalu bagaimana dengan Sagotra itu kemudian?
Kalau orang itu dilepaskan, maka soalnya akan berkepanjangan. Pastilah ia akan
melaporkan semuanya kepada Wadas Gunung dengan keduapuluh kawannya. Dan ini
berarti suatu pekerjaan yang sangat berat. Sedangkan untuk membunuhnya,
tidaklah terlintas dalam angan-anannya. Sebab orang seperti Sagotra bukanlah
seorang yang pantas untuk menerima hukuman yang demikian berat. Sebab ia
tidaklah lebih dari seorang pesuruh.
Karena itu
kemungkinan satu-satunya adalah membawa Sagotra itu seterusnya, sampai keadaan
terasa aman. Mendapat pikiran yang demikian itu, maka Mahesa Jenar segera
mengambil keputusan.
“Sagotra,
barangkali kau segan untuk melakukan permintaanku, menunjukkan jalan ke rumah
Ki Ardi, sebab kau merasa bahwa tak ada gunanya kau berbaik hati kepadaku.
Tetapi ketahuilah Sagotra, aku terpaksa memutuskan untuk membawamu kemana aku
pergi, demi keamananku. Kalau aku seorang diri, barangkali aku segera
melepaskanmu. Lalu sesudah itu aku dapat menyelamatkan diriku secepat-cepatnya.
Tetapi sekarang aku sedang melindungi seorang gadis. Karena itu, janganlah
membantah perintahku. Janganlah kau takut, bahwa sesudah semuanya selesai aku
akan membunuhmu. Sebab bagiku kau tidak lebih dari sebuah alat yang tak perlu
dirusak.”
Kalau yang
berkata demikian itu Wadas Gunung, atau salah seorang dari rombongannya, hati
Sagotra pasti tidak akan banyak terpengaruh. Sebab ia tahu pasti, bahwa
kata-kata yang demikian itu sama sekali tak berarti. Bagi Wadas Gunung serta
kawan-kawan segerombolannya, tidak ada batas antara sahabat yang setia pada
hari ini, serta lawan yang harus dibinasakan hari esok. Tetapi yang berkata
demikian adalah orang lain. Orang yang baru saja dikenalnya, bahkan yang telah
diserangnya dengan sekuat tenaga untuk dibunuh. Namun demikian orang itu masih
berkata kepadanya, bahwa ia masih boleh mengharap untuk dapat menyaksikan
matahari terbit esok pagi. Dan kata-kata ini mempunyai kesan yang jauh berlainan
dengan segala pujian, janji dan segala macam yang pernah keluar dari
pemimpin-pemimpin rombongannya. Karena itu hati Sagotra bergoncang hebat. Tanpa
sadar, Sagotra meloncat, lalu bersujud di muka Mahesa Jenar sampai mencium
tanah. Dan anehnya, sejak ia meninggalkan masa kanak-kanaknya, serta kemudian
terperosok dalam dunia yang hitam kelam, baru sekaranglah orang yang bernama
Sagotra itu sampai meneteskan air mata. Bukan saja karena ia terlepas dari
terkaman maut. Sebab hal yang demikian itu telah seringkali dialami.
Dalam segala
kegiatannya sebagai anggota gerombolan penjahat, banyak tangkapan-tangkapan
maut yang dapat dihindari Sagotra. Tetapi ia tidak pernah merasa terharu sama
sekali mengalami peristiwa-peristiwa itu, bahkan yang ada di dalam benaknya
adalah dendam yang membara, serta kebanggaan dan kesombongan. Mahesa Jenar
menyaksikan sikap Sagotra itu dengan penuh keheranan. Ia tidak dapat menangkap
seluruh perasaan yang bergelut dalam dada orang itu, sehingga tampak sangat
menggelikan. Bahwa orang itu tinggi tegap, berkumis tebal serta berkulit hitam
mengkilap, tetapi menangis tersedu-sedu.
“Sagotra, agak
aneh kelakuanmu itu bagiku. Seorang laki-laki macam kau yang dengan sikap
jantan berani menentang maut, kini tiba-tiba menangis macam anak-anak, ” kata
Mahesa Jenar.
“Tuan…,” jawab
Sagotra sambil mengangkat kepalanya,
“Tak pernah
selama hidupku merasakan sesuatu yang demikian mengharukan seperti kali ini.”
SAGOTRA
merasakan bahwa ternyata bukanlah kekerasan melulu yang dapat menyelesaikan masalah-masalah
yang dihadapi dalam kehidupan ini.
“Meskipun Tuan
bermodalkan kekuatan yang tiada taranya, tetapi sikap Tuan adalah suatu
penguasaan mutlak atas diriku. Seandainya Tuan tidak berbuat demikian, mungkin
dalam kesempatan-kesempatan yang ada aku pasti akan menyerang Tuan, atau
setidak-tidaknya aku ingin mati sebagai seorang laki-laki sejati. Tetapi
sekarang, hidup matiku bulat-bulat di tangan Tuan. Juga seandainya Tuan ingin
menyaksikan aku mati di sarang semut Salaka, tidaklah menjadi masalah lagi
bagiku,” kata Sagotra.
Mahesa Jenar
terharu juga mendengar kata-kata Sagotra. Tetapi meskipun demikian, ia tetap
berhati-hati. Sebab kata-kata itu keluar dari mulut seorang penjahat yang cukup
mempunyai ikatan yang sempurna. Tidak mustahil bahwa cara-cara yang demikian
sering dilakukan untuk mengurangi kewaspadaan lawan. Hanya karena kejadian itu
tampaknya meyakinkan, maka Mahesa Jenar pun tidak perlu lagi terlalu
mencurigainya. Sejenak kemudian mereka saling berdiam diri, hanyut oleh arus
perasaan masing-masing. Sementara itu nyala api di sebelah selatan itu pun
tampak semakin terang. Angin malam pun terasa demikian dingin menggigit tulang.
“Sagotra,
marilah kita pergi,” kata Mahesa Jenar kemudian, memecahkan kediaman mereka.
“Mari Tuan,”
jawab Sagotra.
Perlahan-lahan
Mahesa Jenar berdiri tegak serta memandang ke arah Rara Wilis berbaring.
“Tetapi
mestikah gadis itu aku bangunkan?” desis Mahesa Jenar.
“Atau kita
menunggu sampai besok,” sahut Sagotra.
“Tidakkah ada
bahayanya? Apakah tidak mungkin salah seorang kawanmu datang pula ke tempat
ini? Dengan demikian kaupun pasti akan mendapat kesulitan,” jawab Mahesa Jenar.
Sagotra diam
menimbang-nimbang. Memang mungkin sekali salah seorang dari kawannya datang
pula ke tempat ini meskipun mula-mula mereka berpencaran.
“Jadi
bagaimana pendapat Tuan?” tanya Sagotra lagi.
Mahesa Jenar
tidak segera menjawab. Ia pun sedang berpikir, bagaimana sebaiknya. Kalau pada
saat itu ia langsung bersama-sama Rara Wilis, pergi ke arah api itu, tidakkah
ada kemungkinan orang-orang yang sedang mencarinya pergi ke arah api itu juga?
“Sagotra,
tidakkah kawan-kawanmu juga akan pergi ke arah api itu?”
“Aku kira
tidak, Tuan. Pasti mereka tahu bahwa arah itu adalah arah rumah Ki Ardi,”
jawabnya.
Tetapi mungkin
pula mereka berpikir bahwa di sana akan dapat mereka temukan kami, yang dapat
diperhitungkan, bahwa kami akan pergi ke arah api itu.
Sagotra
mengangguk kecil. Memang masuk akal pula bahwa kawan-kawannya mempunyai
perhitungan yang demikian. Jadi bagaimanakah sebaiknya…?
Kembali mereka
diam menimbang-nimbang. Memang tidaklah mudah menghindari gerombolan Lawa Ijo
yang berjumlah 20 orang, justru di wilayah mereka sendiri. Sagotra yang
merupakan salah seorang dari gerombolan itu pun masih belum dapat menemukan,
bagaimanakah jalan yang sebaik-baiknya untuk menghindari kawan-kawannya.
“Tuan…”
akhirnya Sagotra bertanya,
“Adakah
sesuatu kepentingan Tuan dengan orang itu?”
Mendapat
pertanyaan yang demikian, Mahesa Jenar agak menjadi repot untuk menjawabnya.
Pastilah ia tidak akan dapat mengatakan bahwa ia sedang mencari seseorang ada
hubungannya dengan keris Sigar Penjalin. Sebab pastilah ia mendapat jawaban
bahwa orang itu bernama Ki Ageng Pandan Alas dari Klurak, Wanasaba.
Tiba-tiba
Mahesa Jenar teringat bahwa kakek Rara Wilis itu menyebut dirinya Ki Santanu.
Karena itu
segera ia menjawab,
“Sagotra,
sebenarnya kedatanganku ke daerah Pliridan ini adalah untuk mencari seseorang
yang bernama Ki Santanu. Kalau aku dapat bertemu dengan Ki Ardi, mungkin aku
akan dapat menanyakan kepadanya tentang orang-orang yang pernah tinggal di
daerah ini. Mungkin ia mengenal orang yang bernama Ki Santanu itu.”
Sagotra tampak
mengerutkan keningnya. Ia mencoba mengingat-ingat orang-orang yang pernah
tinggal di daerah ini. Sebab ia dalam melakukan tugasnya banyak berhubungan
pula dengan penduduk, sehingga hampir semua dikenalnya. Tetapi nama Santanu
belum pernah dikenalnya.
No comments:
Post a Comment