Bagian 097


BELUM lagi mereka menyadari keadaan mereka masing-masing, tiba-tiba dari balik gerumbulan yang lebat sebuah bayangan meloncat dekat di antara mereka dan dengan sengaja seakan-akan melerai pertempuran. Yang menjadi sangat terkejut di antara mereka adalah Karebet. Sesaat ia terpaku ditempatnya. Namun kemudian bahkan ia memperkuat getaran yang bergerak didalam tubuhnya. Kembali ia memusatkan segenap kekuatan lahir batin untuk mengetrapkan aji Rog-rog Asem. Bahkan kemudian terdengar ia menggeram pandangan matanya erat melekat pada orang yang baru datang itu.

Orang itu masih berdiri diam. Tertawanya menjadi lirih. Dan sesaat kemudian terdengar terdengar ia berkata,
“Sudahlah Karebet. Lepaskan dulu pemusatan tenaga itu.”
Tetapi Karebet masih tetap dalam sikapnya. Setiap saat ia dapat meloncat sambil melepaskan Aji Rog-Rog Asem. Ia tidak mau menjadi korban dari persoalan yang berbelit-belit itu. Karena itu kembali ia menggeram dan berkata.
“Pasingsingan, apakah kau menjadi sraya Tumenggung?”
Orang yang datang itu terkejut. Namun kembali ia tertawa lirih, sambil memandangi jubahnya ia berkata,
“Yah aku memang mirip dengan Pasingsingan. Aku juga mempunyai ciri yang serupa.”
Mendengar jawaban itu Karebet menjadi bimbang sesaat. Namun ia tidak mau terpengaruh karenanya. Dengan demikian ia masih tetap dalam sikapnya. Sedang dua orang yang lain, terkejut pula mendengar Karebet menyebut orang itu Pasingsingan. Nama itu juga pernah mereka dengar, namun seperti sebuah dongengan yang tak mereka pahami. Tetapi yang mereka dengarpun mengatakan bahwa Pasingsingan memang mengenakan jubah berwarna abu-abu dan menggunakan topeng. Kini orang yang berdiri dihadapan mereka mengenakan jubah serta topeng untuk menutupi wajahnya.
Sesaat kemudian kembali terdengar orang itu berkata,
“Karebet, jangan segera berprasangka. Aku datang untuk melerai perkelahian yang tak ada gunanya ini.”
Karebet memandang orang ini dengan seksama. Dengan penuh kewaspadaan ia bertanya,
“Apa sebabnya kau melerai perkelahian ini?”
Kembali orang itu tertawa, kemudian kepada Sembada ia berkata,
“Ki Sanak lepaskan maksudmu untuk membunuh anak muda ini. Sebab dengan demikian, kalian telah melakukan kesalahan yang sangat besar.

Sesaat Sembada dan sambirata saling berpandangan. Namun kemudian terdengar Sembada berkata,
“Siapakah kau sebenarnya?”
“Namaku dan diriku sama sekali tidak penting bagimu. Namun kau minta, pikirkan sekali lagi. Apakah keuntunganmu dengan membunuh Karebet?”
Kembali Sembada dan Sambirata terdiam. Namun seperti Karebet merekapun memandang orang yang tegak dihadapan mereka, dengan jubah abu-abu dengan tidak berkedip. Sesaat kemudian, terdengar orang itu berkata
“Sekarang pulanglah kalian ke rumah masing-masing. Karebet ke Tingkir, dan kalian berdua serta kawan-kawan kalian kembali ke Demak.”
Sembada mengerutkan keningnya. Sekilas terbayang sebuah timang emas bertretes berlian. Kalau ia pulang sebelum berhasil membunuh Karebet, maka timang itu akan lepas dari tangannya. Dan yang dilakukannya bersusah payah ini, tak akan ada artinya sama sekali. Berlari menerobos hutan dan ladang untuk segera dapat mendahului perjalanan Karebet. Tiba-tiba ketika mereka sudah hampir pada saat yang menentukan seseorang minta kepada mereka untuk pulang saja dengan tangan hampa. Tetapi betapapun juga kehadiran orang itu benar-benar mempengaruhi perasaannya. Meskipun demikian Sembada berkata pula,
“Aku telah menempuh suatu perjalanan yang jauh. Telah kulakukan pula berbagai usaha untuk menyelesaikan pekerjaanku. Kini sesaat sebelum pekerjaanku selesai kau datang mengganggu kami.”
“Jangan marah Ki Sanak” sahut orang bertopeng itu.
“Aku hanya mencegah, janganlah terjadi permusuhan di antara sesama.”
Sambirata mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia pun berkata
“Apakah hubungamu dengan Karebet itu?”
Orang itu menggeleng, “Tidak ada” katanya.

Oleh jawaban itu, maka Sambirata berkata pula,
“Katamu demikian, biarlah kami menyelesaikan urusan kami masing-masing. Sebaiknya kau jangan mencampuri urusan orang lain yang tak kau ketahui ujung pangkalnya.”
Orang bertopeng itu mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian terdengarlah suaranya parau dari belakang topengnya.
“Kenapa kalian berdua berusaha membunuh Karebet?”
Sambirata diam sejenak, kemudian jawabnya,
“Itu adalah urusan kami.”
Kembali orang bertopeng itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian gumamnya,
“Aku yakin bahwa kalian mempunyai cukup alasan untuk melakukannya. Kalau tidak, maka perbuatan itu pasti tidak akan kalian lakukan. Tetapi apakah alasan itu dapat dimengerti oleh orang lain, itulah yang kadang-kadang menjadi persoalan.”
“Hem” Sembada yang keras hati itu menggeram. Katanya,
“Kalau kau sudah tahu alasan kami, apakah kau tidak akan menggangu kami?”
“Tergantung pada alasan itu” sahut orang berjubah itu.
“Kalau aku cukup mengerti, maka aku tidak akan mengganggu kalian.”
“Jangan terlalu sombong” bentak Sembada yang kasar itu.
“Apakah dengan demikian kami akan terpengaruh karenanya? Apakah apabila kau mencoba mengganggu sekalipun, maka kami tidak akan menyelesaikan pekerjaan kami?”

ORANG berjubah itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya,
“Ki Sanak benar. Meskipun aku mencoba mengganggu sekalipun, namun aku tidak akan dapat berbuat banyak. Tetapi bukankah setidak-tidaknya dengan demikian aku akan memperlambat pekerjaan kalian.”
“Bagus. Bagus” teriak Sembada yang tidak sabar.
“Kami adalah keluarga Dadungawuk. Anak muda yang terbunuh oleh Karebet itu?”
“He?” Bukan main terkejut hati Karebet. Ia sama sekali tidak mengenal nama Dadungawuk. Dan ia sama sekali tidak melakukan pembunuhan. Karena itu maka segera ia memotong.
“Bohong. Aku tidak pernah mengenal seseorang yang bernama Dadungawuk.”
“Aku sudah menyangka bahwa kau akan ingkar” sahut Sembada.
“Watakmu yang licik dan sifat-sifatmu yang sombong itu adalah gabungan dari ujud seorang pengecut yang sebenarnya.”
“Jangan membual” teriak Karebet yang menjadi semakin marah.
“Katakan yang sebenarnya. Bukankah kau seraya Tumenggung Prabasemi?”
Sambirata tertawa. Katanya,
“Sudah aku katakan. Tak ada gunanya untuk mempersoalkan, apakah sebabnya kami akan membunuh anak muda yang malang itu. Mau tidak mau, salah atau benar. Keputusan kami, akan kami lakukan.”

Kata-kata itu benar-benar membakar hati Karebet. Dengan serta merta ia berteriak.
“Minggirlah. Kalau kau bukan Pasingsingan, aku tidak tahu, bagaimana aku akan menyebutmu. Tetapi jangan mengganggu perkelahian ini. Aku pun sudah memutuskan pula untuk mengakhiri perkelahian yang memuakkan ini.”
Kata-kata itu benar-benar berkesan dihati Sembada dan Sambirata. Mau tidak mau mereka pun harus berpikir tentang kata-kata itu. Meskipun demikian, mereka telah terlanjur terlibat dalam persoalan itu. Dengan demikian maka mereka tidak akan dapat berhenti di tengah jalan, meskipun lawan mereka benar-benar mempunyai kekuatan yang tak mereka sangka-sangka. Tetapi orang berjubah itu masih berdiri saja ditempatnya. Bahkan ia masih berkata,
“Jangan berusaha saling membunuh. Apakah tidak ada cara-cara lain yang lebih baik daripada saling membunuh?”
“Tidak ada” sahut Sembada.
“Kecuali kalau Karebet mau membunuh dirinya.”
Ucapan itu seolah-olah sebuah bara api yang menyentuh telinga mas Karebet. Karena itu, hampir saja ia meloncat, menyerang Sembada, namun tiba-tiba dengan penuh perbawa orang berjubah itu berkata
“Karebet, jangan lakukan. Seharusnya kau mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang masak sebelum kau berbuat sesuatu.”

Karebet tertegun mendengar peringatan itu. Namun kemarahannya yang telah membakar seluruh isi dadanya itu, alangkah sukarnya untuk dikendalikan. Tetapi dalam pada itu orang berjubah itu berkata seterusnya.
“Karebet, kau sekarang adalah orang buangan. Aku mendengar hal itu sebelum kau bertengkar dengan Tumenggung Prabasemi. Karena itu keadaanmu sama sekali tidak menguntungkan setiap perbuatanmu. Kalau sampai terjadi kau membunuh seseorang, dan berita itu terdengar oleh Sultan, maka hukumanmu akan menjadi berlipat ganda, sebab Sultan akan menjadi semakin murka kepadamu. Pada saat kau bertempur melawan Prabasemi pun, hampir-hampir aku mencegahmu. Namun ketika aku tahu bahwa kau sadari keadaanmu, maka niatku itu pun aku urungkan.”
Karebet terkejut mendengar kata-kata itu. Kalau demikian, maka orang berjubah itu telah mengikutinya sejak ia meninggalkan Demak. Orang itu ternyata melihat, bahwa ia telah bertengkar dengan Tumenggung Prabasemi, sehingga daripadanya ia mengetahui bahwa kini ia adalah orang buangan. Namun dalam pada itu, peringatan yang diberikan kepadanya benar-benar telah menyentuh hatinya. Peringatan yang sebenarnya sejak semula telah dipikirkannya. Tetapi ketika kemarahannya telah memuncak, serta hidupnya sendiri telah terancam, maka pertimbangan-pertimbangan itu lenyap dari kepalanya. Dan kini, ia mendengarkan dari orang lain. Orang lain yang tidak dikenalnya. Tetapi peringatan yang diucapkan oleh orang berjubah itu telah menyalakan kemarahan Sembada dan Sambirata. Orang berjubah itu seakan-akan mengatakan, bahwa Karebet itu pasti akan berhasil membunuh mereka berdua. Meskipun mereka datang hanya sekedar untuk mendapatkan timang emas, dan meskipun harga nyawanya jauh lebih mahal dari harga timang emas itu, namun mereka tidak mau pula bahwa harga diri terlalu direndahkan.
Karena itu, maka terdengar Sembada menjawab.
“He, orang bertopeng. Pergilah. Jangan ribut tentang nyawa kami. Apakah kau sangka bahwa Karebet itu dapat membunuh kami berdua? Kalau kau sudah melihat sejak permulaan dari perkelahian ini, maka kau akan tahu, bahwa umur Karebet sudah melekat diujung rambutnya. Namun sesaat sebelum ia mati, maka kau datang mengganggu kami.”

“OMONG KOSONG,” potong Karebet yang hatinya telah menjadi panas kembali. Orang bertopeng itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kepada Karebet ia berkata,
“Ingat-ingatlah pesanku. Jangan terpancing ke dalam keadaan yang akan menyulitkan kedudukanmu. Kau sekarang masih dapat mengharapkan ampunan dari Baginda, namun kalau kau telah melakukan kesalahan lagi, maka ampunan itu jangan kau harapkan sama sekali. Sebab pembunuhan ini akan dapat disebut dalam berbagai macam keadaan. Prabasemi dapat mengatakan apa saja yang dapat menambah kemarahan Baginda. Diantaranya, orang yang terbunuh itu adalah keluarga Dadungawuk seperti yang baru saja dikatakannya.”
“Aku tidak mengenal Dadungawuk” potong Karebet.
“Itu adalah suatu contoh yang baik dari bentuk-bentuk fitnah yang dapat dilakukan oleh Tumenggung Prabasemi.”
Karebet itu pun terdiam, namun segera ia teringat kata-kata Prabasemi dihadapan Baginda Sultan Trenggana, tentang seorang calon Wira Tamtama. Tetapi Sembadalah yang berteriak,
“He orang bertopeng. Apakah sebenarnya maksudmu, dan siapakah sebenarnya kau ini?”
Orang bertopeng itu menggeleng. Katanya,
“Sudah aku katakan bahwa tak ada gunanya kau mengerti siapa aku.”
“Bagus” sahut Sembada.
“Tetapi jangan ganggu kami.”

Orang bertopeng itu seakan-akan tidak memperhatikan kata-kata itu, bahkan kepada Karebet ia berkata,
“Karebet, pikirkan baik-baik.”
“Tetapi apakah aku harus berdiam diri saja, seandainya mereka akan membunuhku.”
“Pergilah” jawab orang bertopeng itu.
“Pergi?” Karebet itu menjadi heran. Kemudian jawabnya,
“Apakah kalau aku pergi orang-orang itu tidak akan menyusulku?”
“Biarlah mereka. Menyingkirlah supaya kau terhindar dari bencana yang lebih besar lagi.”
Karebet menjadi bingung. Ia telah mengenal orang itu. Semula ia menyangka bahwa orang bertopeng itu Pasingsingan. Bahkan ia menyangka bahwa Pasingsingan itu pun telah mendapat tugas pula dari Tumenggung Prabasemi. Namun ternyata orang itu memberinya beberapa petunjuk yang dapat dimengertinya. Namun bagaimana ia harus melaksanakannya? Apakah ia harus pergi dan membiarkan orang itu mengejar dan membunuhnya? Atau bagaimana?
Dalam pada itu Sambirata berkata,
“Hem. Ki Sanak yang bertopeng. Agaknya kau telah terlalu jauh mencampuri urusan kami. Karebet kau suruh menyingkir dari arena ini. Kalau demikian, maka kau telah bertekad untuk menggantikannya. Begitu?”
Orang bertopeng itu berhenti sesaat. Kemudian jawabnya.
“Aku tidak mempunyai cara lain. Aku hanya sekedar bermaksud menyelamatkan kalian dari perbuatan terkutuk. Karebet dan kalian berdua.”
“Jangan banyak bicara” teriak Sembada. Apalagi ketika ia mengetahui bahwa orang itu bukan Pasingsingan yang menakutkan yang pernah didengarnya dari dongeng-dongeng.
“Sekarang kau pergi dan membiarkan kami membunuh Karebet. Atau kami harus membunuhmu dulu, baru membunuh Karebet.”

Orang bertopeng itu seakan-akan sama sekali tidak mendengar teriakan itu. Katanya,
“Menyingkirlah Karebet. Kalau mungkin, pertumpahan darah harus dihindari.”
Sembada itu kini sudah tidak sabar lagi. dengan marahnya ia menggeram. Selangkah maju sambil berkata,
“Kalau kau mati di sini pula, jangan menyalahkan aku. Kau terlalu tamak dan sombong.”
Melihat Sembada melangkah maju, Karebet hampir melangkah maju pula. Namun terdengar orang itu berkata,
“Ingat, Sultan sedang murka kepadamu. Jangan kau tambah kesalahanmu dengan perbuatan-perbuatan yang tak berarti. Serahkan orang-orang ini kepadaku.”
Kata-kata itu benar-benar berpengaruh dihati Karebet. Terasa sesuatu bergolak di dalam dadanya. Dan terasa bahwa ia tidak akan dapat menolak permintaan itu. Tetapi Sembada dan Sambirata telah benar-benar sampai kepuncak kemarahan mereka. Karena itu, maka Sembada berteriak,
“Bagus. Ternyata aku harus membunuhmu dahulu. Baru anak yang bernama Karebet itu.”
Orang berjubah itu tidak sampai menjawab. Ketika ia hampir mengucapkan beberapa patah kata, maka Sembada yang kasar itu telah menyerangnya langsung dalam kekuatan Ajinya Sapu Angin. Orang bertopeng itupun melihat betapa kekuatan ajinya itu meluncur lewat tangan-tangan Sembara ke arahnya. Namun ia sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Karebet yang melihat serangan itu terkejut. Tetapi ia berdiri berseberangan dengan Sembada, sehingga ia tidak dapat berbuat apa-apa kecuali berteriak,
“Hei, Ki Sanak. Menghindarlah.”
Tetapi orang berjubah itu sama sekali tidak bergerak. Dibiarkannya Sembada menghantamnya dengan Aji Sapu Angin. Namun sesaat sebelum tangan sembada menyentuh jubahnya, tampak orang itu menjadi tegang. Dan pada saat itulah Aji Sapu Angin membentur tubuhnya.

Namun yang terjadi benar-benar mengejutkan. Orang yang berjubah itu masih tegak di tempatnya. Ia hanya bergetar sedikit. Namun kemudian ia berdiri tegak kembali, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Tetapi Sembada yang menghantam orang itu dengan kekuatannya, tiba-tiba terpelanting beberapa langkah dan jatuh terguling karena benturan kekuatannya sendiri. Tangannya yang melontarkan Aji Sapu Angin itu terasa membentur benteng baja. Karena itulah maka ia sendirilah yang terlempar mundur. Sambirata heran melihat peristiwa itu. Tidak saja Sambirata, namun Karebetpun berdiri dengan mulut ternganga. Seakan-akan ia melihat suatu peristiwa dahsyat di dalam mimpi. Aji Sapu Angin mampu menggetarkan Aji Lembu Sekilan, meskipun tidak sampai ke intinya. Kini ia melihat orang berjubah itu sama sekali tidak bergerak, namun Sembada sendirilah yang terdorong surut, bahkan jatuh bergulingan beberapa kali. Tetapi lebih dari itu. Ketika Sembada tidak terguling lagi, maka terdengar ia mengeluh pendek. Dengan susah payah ia berusaha bangkit. Namun tiba-tiba ia terduduk kembali dengan lemahnya. Nafasnya serasa sesak, dan seakan-akan bagian dalam dadanya pecah berkeping-keping. Sambirata menjadi ragu sesaat. Ia melihat kawannya telah jatuh karena pukulannya sendiri. Karena itu apakah ia akan mengulangi kesalahan Sembada. Kini Sambirata memperhitungkan setiap kemungkinan. Seandainya ia mampu mengalahkan orang berjubah dan bertopeng itu, namun dibelakangnya masih berdiri anak yang bernama Karebet. Anak yang belum dapat dikalahkannya meskipun ia berdua dengan Sembada. Apalagi kini Sembada sudah tidak mampu untuk berdiri.

Sesaat Sambirata tegak saja seperti tonggak. Pikirannya berjalan hilir mudik tak menentu. Ketika sekali lagi ia memandang kawannya yang terduduk lemah itu, maka iapun mengeluh didalam hatinya.
“Apakah yang datang ini sebangsa demit atau Hantu Alasan?.”
Sambirata kemudian terperanjat ketika ia mendengar suara orang bertopeng menggeram dari balik topengnya,
“hem, apakah kau juga akan coba memukul aku?”
Kembali Sambirata menjadi bimbang. Namun akhirnya ia menggeleng. Kini telah ditemukannya jawaban. Ia tidak memperdulikan lagi kawannya yang terluka itu. Juga timang emas yang dijanjikan. Nyawanya lebih berharga dari segala-galanya. Bahkan sampai pada harga dirinya sekalipun. Karena itu, maka tanpa malu-malu Sambirata menjawab,
“Tidak Kiai. Aku tidak akan melawan kehendak Kiai.”
Karebet mengerutkan keningnya ketika mendengar jawaban itu. Bahkan ia mengumpat-umpat didalam hatinya. Alangkah liciknya hati orang itu. Meskipun demikian, ia sama sekali tidak berkata apapun.
Yang menjawab adalah orang bertopeng,
“apakah kau benar-benar tidak akan berbuat sesuatu?”
“Tentu Kiai,” sambut Sambirata.
“Akupun tidak mempunyai persoalan dengan angger Karebet. Tetapi terbawa oleh kesetiakawanan aku terpaksa membantu orang itu.”

Sembada berdesah mendengar kata Sambirata. Tetapi ia tidak berani berbuat apapun. Kalau ia membantah, maka Sambirata akan dapat berbuat apa saja atasnya. Selagi keadaan wajar, ia tidak akan mampu melawan Sambirata, apalagi kini, tulang-tulangnya seakan remuk. Orang bertopeng itu memandangi Sambirata dan Sembada berganti-ganti lewat lubang topengnya. Sesaat kemudian ia menarik nafas panjang. Dan kemudian ia berkata,
“Kembalilah kalian ke Demak. Katakan bahwa Karebet telah mati. Ia tidak akan kembali ke Demak dalam waktu yang singkat, sebelum Baginda mengampuni kesalahannya.”
Sambirata mengangguk. Kemudian katanya,
”Tentu Kiai kami akan kembali ke Demak.”
Tetapi Sembada yang menyeringai kesakitan itu berkata,
“Alangkah mudahnya. Tetapi kalau kelak anak itu kembali ke Demak, maka kepalaku akan dipenggal oleh Prabasemi.”
Sambirata tiba-tiba tertawa. Katanya,
“Sudahlah adi Sembada. Kalau kau tidak berani menanggung akibat dari perbuatan ini, biarlah timang-timang ini dikembalikan saja.”
“Timang?,” tiba-tiba Karebet memotong.
“Ya,” jawab Sambirata.
“Kami harus membunuh angger. Dan kami akan mendapat timang emas.”

TANGAN Karebet menjadi gemetar mendengar pengakuan itu. Tetapi sebelum ia menjawab, orang berjubah itu berkata,
“Lupakan semuanya. Beruntunglah kalian, bahwa kalian belum menjual diri kalian dengan harga yang sangat murah itu. Apakah artinya timang emas itu? Seandainya kalian mampu membunuh Karebet sekalipun, namun apakah yang dapat kau miliki itu cukup bernilai untuk menebus tanggung jawab yang harus kau berikan pada masa-masa langgeng? Pada masa kau berhadapan dengan Kekuasaan tertinggi. Jauh lebih tinggi dari kekuasaan Prabasemi, bahkan kekuasaan Sultan Trenggana sekalipun?”
Orang berjubah itu diam sesaat. Sembada yang masih menahan sakit itupun terdiam, dan Sambirata menundukkan wajahnya. Semula ia mengurungkan niatnya hanya sekedar untuk menyelamatkan hidupnya.
Tiba-tiba tersentuhlah perasaan Sambirata oleh kata-kata orang bertopeng itu.
“Ya,” katanya di dalam hati,
“Alangkah murahnya harga diriku. Sebuah timang emas. Hem.” Tetapi Sambirata itu tidak berkata sepatah katapun.
Yang terdengar kemudian adalah kata-kata orang berjubah itu.
“Seandainya kau berhasil membunuh Karebet, dan mendapatkan timang-timang emas itu, maka apakah kalian dapat memakainya dengan tenang? Setiap kali timang itu melekat di lambung kalian, maka setiap kali kalian akan teringat, bahwa timang itu sebenarnya berlumuran dengan darah seseorang yang tidak bersalah kepada kalian.”

Sambirata semakin menundukkan wajahnya. Sentuhan-sentuhan pada parasaannya semakin terasa. Dan karena itulah tiba-tiba ia merasa menyesal atas perbuatannya itu. Namun justru karena itulah maka ia berdiam diri.
“Nah. Pikirkanlah kata-kataku” berkata orang berjubah itu pula. Tiba-tiba Sambirata itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan hormat ia menjawab,
“Baik Kiai. Akan aku pikirkan baik-baik kata Kiai.
Orang bertopeng itu mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian katanya,
“Sekarang kembalilah ke Demak. Kau dapat menempuh jalan yang wajar. Bukankah kau menempuh jalan yang sulit, jalan yang bukan sewajarnya dilalui orang pada saat kau berangkat kemari? Lewat gerumbul-gerumbul dan memotong diantara hutan-hutan belukar. Itu adalah gambaran dari pengakuanmu atas perbuatan-perbuatan yang tidak wajar pula yang akan kau lakukan. Sebab kalau kau berlaku wajar, maka kau tidak perlu melalui jalan-jalan yang tersembunyi.”
Sekali lagi Sambirata mengangguk. Dan kemudian jawabnya,
“Ya Kiai. Aku menyadarinya”
Tetapi ketika Sambirata itu berpaling ke arah Sembada, maka katanya
“Apakah kau sudah mampu berjalan Adi?”

Sembada mengerang perlahan-lahan. Sekali lagi ia berusaha bangkit. Namun punggungnya masih terasa sakit. Tetapi ia tidak mau menunjukkan kelemahan dirinya. Maka katanya
“Bertanyalah kepada murid-muridmu. Apakah mereka sudah mampu berjalan?”
Sambirata itupun kemudian menebarkan pandangan matanya ke arah murid-muridnya yang masih berserakan disekitarnya. Ada yang sudah mampu duduk dan mencoba berdiri, namun ada juga yang masih terbaring sambil menyeringai. Melihat mereka itu, tergetarlah hati Sambirata. Hampir saja ia mengorbankan orang-orang itu hanya untuk sebuah timang. Dan karena itu, maka timbullah iba didalam hatinya. Iba kepada murid-muridnya yang tidak tahu menahu ujung pangkal dari perbuatannya. Perlahan-lahan Sambirata itu menghampiri muridnya yang paling parah diantara mereka. Perlahan-lahan ia berbisik.
“Maafkan aku.”
Muridnya itu menjadi heran. Apakah yang harus dimaafkannya?

MESKIPUN demikian muridnya itu tidak bertanya apapun kepada gurunya. Mereka hanya menyeringai menahan sakit dan berkata jujur
“Aku belum dapat berjalan Kiai”
Sambirata menarik nafas. Agaknya keadaan muridnya itu benar-benar sulit. Karena itu maka katanya,
“Aku tidak tergesa-gesa. Biarlah kalian menjadi baik dahulu. Aku akan menunggu kalian di sini.”
Orang bertopeng itu mengawasi hampir setiap orang di tempat itu. Sesaat kemudian terdengar ia berkata,
“Baiklah kalau kalian masih akan menunggu kawan-kawan kalian sehingga mungkin untuk berjalan kembali. Kini biarlah anak muda ini pergi bersama aku.”
Sambirata mengangguk sambil menjawab,
“Silakan Kiai. Aku mengucapkan terima kasih kepada Kiai.”
Orang bertopeng itu mengangguk, kemudian katanya kepada Mas Karebet,
“Ikuti aku.”
Karebet ragu-ragu sejenak. Ia belum mengenal orang itu. Ia pernah mendengar bahwa orang yang berjubah abu-abu adalah Pasingsingan. Kini ia berhadapan dengan orang yang berjubah abu-abu itu. Apakah orang itu bukan Pasingsingan? Sesaat timbullah beberapa prasangka didalam hatinya. Mula-mula ia menyangka bahwa orang itu hanya sekedar merebut korbannya dari Sambirata dan Sembada, supaya Pasingsinganlah yang berhasil membunuhnya untuk mendapat hadiah dari Prabasemi. Tetapi menilik suara dan tingkah lakunya, maka orang bertopeng itu bukanlah seorang yang bernama Pasingsingan.

Akhirnya Karebet tidak mempunyai pilihan lain. Kalau orang itu Pasingsingan, maka dimanapun, orang itu pasti akan dapat membunuhnya. Diketahui atau tidak diketahui oleh orang lain. Karena itu maka ia tidak menolak, dan diikutinya orang berjubah abu-abu itu. Namun selama itu, anak muda yang masih mengetrapkan ilmunya, Aji Lembu Sekilan dan sekaligus di tangannya masih menjing Aji Rog-rog Asem.
Beberapa langkah kemudian, ketika orang-orang yang terbaring dipinggir jalan hutan itu telah tidak nampak lagi, maka orang berjubah abu-abu itu berhenti. Ditatapnya mata Karebet dengan tajamnya. Kemudian dengan sebuah anggukan kepada ia berkata,
“Duduklah Karebet.”
Orang itu tidak menunggu jawaban Karebet. Namun segera ia berjalan ke balik gerumbul dan duduk di atas rumput-rumput kering. Karebet kembali menjadi ragu-ragu. Tetapi seolah-olah sebuah pesona telah menariknya untuk kemudian duduk dihadapan orang berjubah abu-abu itu, dibalik gerumbul pula.
“Karebet” berkata orang itu.
“Hampir kau melakukan sebuah kesalahan lagi. Bukankah kau kini sedang menjalani hukuman?”
Kelunakan dan kesungguhan kata-kata orang itu memberi keyakinan kepada Karebet, bahwa orang itu sebenarnya bukan Pasingsingan. Karena itu maka jawabnya
“Ya, Kiai. Aku sedang menjalani sebuah hukuman.”
“Apakah sebabnya?” bertanya orang itu.

Karebet sesaat menjadi ragu-ragu. Namun kemudian terluncur pula dari mulutnya, persoalan-persoalan yang menyebabkannya diusir dari istana.
“Tetapi Kiai”, berkata kemudian.
“Janganlah hal ini didengar orang lain, supaya Sultan tidak semakin marah kepadaku.”
Orang bertopeng itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Karebet. Aku mengikutimu sejak kau meninggalkan istana, berjalan bersama-sama dengan Tumenggung Prabasemi. Aku melihat sesuatu yang tidak wajar pada kalian berdua. Karena itu aku mencoba melihat apa saja yang akan terjadi. Ternyata di hutan Santi kalian berdua terlibat dalam suatu perkelahian. Ketika aku melihat Prabasemi jatuh, aku hampir saja mencegahmu. Namun ternyata kau pada waktu itu masih dapat menguasai dirimu. Tetapi yang baru saja terjadi di sini, agaknya kau telah benar-benar menjadi mata gelap.”
Karebet mengangguk,
“Ya Kiai” jawabnya.
“Aku tidak ingin mati di tangan kedua orang itu.”
“Aku tidak menyalahkanmu” sahut orang bertopeng itu.
“Aku hanya ingin mencegah kesalahan yang mungkin kau lakukan, yang akan dapat mendorongmu semakin jauh dari istana.”

KAREBET menundukkan kepalanya. Kini ia pasti, bahwa orang itu sama sekali bukan Pasingsingan. Tetapi siapa?. Dan tiba-tiba saja ia bertanya.
“Tetapi apakah aku boleh mengetahui, siapakah Kiai ini?”
Orang itu menggeleng.
“Tidak ada gunanya,” jawabnya.
Karebet menarik nafas. Ia tidak bertanya lagi kepada orang itu Sebab sekali ia merahasiakan dirinya, maka betapapun ia mencoba bertanya, namun pasti ia tidak akan mendapat jawaban.
Karebet itu kemudian mengangkat wajahnya ketika orang itu bertanya.
“Sekarang, ke manakah kau akan pergi?”
Karebet menarik nafas dalam-dalam. Ya, kemana ia akan pergi? Sesaat ia berdiam diri, namun kemudian jawabnya,
“Aku tidak yakin bahwa Prabasemi akan melepaskan maksudnya membunuhku. Mungkin ia akan meminta orang lain lagi untuk melakukan pembunuhan itu. Dalam keadaan yang demikian, mungkin sekali aku kehilangan kesabaran, dan membunuh orang itu sehingga dengan demikian Sultan Trenggana akan semakin murka kepadaku.”
“Kau benar” berkata orang bertopeng itu.
“Tetapi kemana?”
Karebet menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Aku tidak tahu.”
“Apakah kau tidak mempunyai sahabat, kawan atau saudara di tempat lain?” bertanya orang bertopeng itu.

Karebet diam sejenak. Tiba-tiba terbayanglah dirongga matanya, sebuah lembah yang luas dengan padi yang hijau subur di kaki pegunungan Telamaya. Suatu daerah yang sangat menarik yang pernah dikunjunginya. Tetapi daerah itu belum menemukan ketentraman karena persoalan antar keluarga sendiri.
“Bagaimana?” bertanya orang itu pula.
Karebet menggeleng. Jawabnya,
“Aku mempunyai sahabat, saudara dan kawan-kawan. Tetapi mereka sedang sibuk dengan persoalan mereka sendiri. Apakah aku tidak akan menambah keributan mereka, apabila aku datang kepada mereka itu?”
Terdengar orang bertopeng itu tertawa pendek. Katanya seolah-olah bergumam saja didalam mulutnya.
“Hem. Kau memandang dari sudut yang buram. Cobalah, katakan kepadaku bahwa kau akan datang untuk membantu memecahkan persoalan mereka itu.”
Karebet menengadahkan wajahnya. Sesaat terpancarlah sesuatu dari wajahnya. Katanya didalam hati,
“Ya, aku adalah seorang laki-laki. Kenapa aku tidak dapat memperingan pekerjaan mereka itu?”
Tiba-tiba Karebet itu berkata,
“Pendapat Kiai baik sekali. Aku dapat datang kepada mereka untuk membantu mereka. Mungkin tenagaku akan berguna.”
“Bagus”, orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Topengnya bergerak-gerak seperti kepala hantu-hantuan di sawah untuk menakut-nakuti burung.
“Baiklah Kiai”, berkata Karebet pula,
“Aku akan pergi ke sana.”
“Kemana?” Karebet berdiam diri sejenak. Namun sesaat kemudian ia berkata lantang.
“Banyubiru.”
“Banyubiru”, orang bertopeng itu mengulang. Kemudian katanya,
“Pergilah ke Tingkir. Kemudian pergilah ke Banyubiru.”
“Baik Kiai” sahut Karebet.

Orang bertopeng itupun kemudian berdiri. Dipandanginya Karebet dengan seksama. Kemudian katanya,
“Kita berpisah di sini setelah aku mengikutimu sejak dari Demak. Mudah-mudahan aku terhindar dari segala malapetaka. Dan mudah-mudahan kau selalu dapat mengekang dirimu sendiri. Pergilah. Aku akan pergi ke Bergota.”
Karebet mengerutkan keningnya, dan dengan serta merta ia bertanya.
“Kenapa ke Bergota?”
“Tidak ada hubungannya dengan kau. Aku akan menemui Arya Palindih,” jawab orang itu.
Kembali Karebet menjadi sangat tertarik kepada jawaban itu. Tetapi orang itu berkata, bahwa kepergiannya itu tak ada hubungannya dengan dirinya. Meskipun demikian, ia bertanya-tanya juga di dalam hatinya. Bukankah Sultan Trenggana pernah mengatakan kepadanya bahwa ia akan dikirim ke Bergota seandainya Prabasemi tidak mencegahnya? Meskipun demikian Karebet itu tidak bertanya lagi.
Orang bertopeng itupun kemudian minta diri dan perlahan-lahan ia berjalan menyusup lewat gerumbul-gerumbul dihutan itu. Sebelum orang itu hilang dari pandangan mata Karebet, terdengar ia berkata,
“Karebet, aku tadi berkata kepada Sambirata, bahwa ia menempuh jalan yang tidak wajar karena tuduhan yang tidak wajar. Namun percayalah bahwa aku mempunyai itikad yang baik bagimu dan bagi Demak.”

Karebet mengerutkan keningnya. Timbullah pertanyaan bahwa didalam hatinya.
“Kenapa bagiku dan bagi Demak? Apakah ada hubungan yang erat antara aku dan Demak? Ah” desahnya.
“Aku hanya seorang lurah Wira Tamtama.”
Tetapi tiba-tiba ia berdesis.
“Bukan, Lurah Wira Tamtama pun bukan. Aku adalah orang buangan.”
Ketika orang bertopeng itu lenyap dibalik rimbunnya daun-daun rimba yang hijau, maka Karebet itu menjadi bersedih. Dikenangnya dirinya dan disesalinya segenap perbuatannya. Namun semuanya telah berlalu. Dan kini ia tinggal menjalani akibat dari perbuatan-perbuatannya yang salah itu. Sesaat Karebet itu masih tegak ditempatnya. Sekali-kali diawasinya daun-daun yang hijau tempat orang bertopeng itu melenyapkan dirinya.

“ORANG ANEH,” gumam Karebet.
“Memang di dunia ini selalu ada keanehan-keanehan yang kadang-kadang lucu. Apakah gunanya orang itu menutupi wajahnya dan berjubah. Apakah wajahnya itu terlalu jelek dan kasar, atau seorang buruan yang sedang menyembunyikan diri? Tetapi tidak pantas kalau orang itu menyembunyikan dirinya karena persoalan-persoalan lahiriah. Ia adalah seorang yang sakti, ternyata Aji Sembada sama sekali tidak mampu mendorongnya selangkah pun.”
Karebet itupun kemudian dengan segan melangkah pergi. Kini ia berjalan dengan tujuan yang pasti. Ke Tingkir kemudian ke Banyubiru. Ketika ia muncul dari balik-balik gerumbul, tiba-tiba timbullah keinginannya untuk menengok kembali Sembada dan Sambirata. Karena itu ia berjalan menuju ke arah mereka. Dari kejauhan di balik tikungan Karebet telah melihat mereka masih berada ditempatnya.
Ketika mereka melihat Karebet datang kepada mereka, maka Sembada dan Sambirata itupun berdesir hatinya. Apakah maksud kedatangan Karebet itu kembali kepada mereka? Apakah setelah orang bertopeng itu pergi, Karebet akan meneruskan maksudnya, bertempur sampai saat-saat terakhir? Tetapi kini Sambirata telah tidak bernafsu lagi untuk bertempur. Di dalam dadanya telah terdengar suara-suara yang belum pernah didengarnya. Dan suara-suara itu telah mendorongnya untuk menghindari bentrokan langsung dengan Karebet itu.

Tetapi wajah Karebet sama sekali tidak menunjukkan ketegangan. Bahkan ketika ia melihat Sembada yang masih saja menyuapi mulutnya itu, ia tersenyum sambil berkata,
“Alangkah nikmatnya, makan setelah bekerja keras.”
“Makanlah kalau kau mau” berkata Sembada itu tanpa berpaling. Meskipun demikian denyut jantungnya menjadi semakin cepat. Ia masih belum yakin kalau dalam waktu yang sesingkat itu Karebet telah dapat melupakan apa-apa yang baru saja terjadi. Tetapi Karebet benar-benar anak yang aneh, yang berbuat apa saja menurut keinginannya sesaat. Tiba-tiba saja ia duduk di samping Sembada dan berkata,
“Aku juga lapar, kakang Sembada.”
Sambirata menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat kejujuran yang memancar dalam diri Karebet. Kejujuran yang tidak dibuat-buat. Karena itu ia menjadi semakin kecewa atas perbuatannya. Untunglah semuanya belum terlanjur terjadi. Kalau ia berhasil membunuh Karebet, maka dosanya akan selalu mengejarnya apabila ia kelak mengetahui sifat-sifat anak itu. Sedang apabila Karebet yang membunuhnya, maka kasihanlah anak itu. Sebab dengan demikian ia akan mendapat hukuman yang lebih berat dari Baginda.

Dengan penuh penyesalan ia melihat Karebet itu meraih sepotong makanan bekal yang mereka bawa dari Demak. Dan tanpa ragu-ragu disuapkannya makanan itu ke dalam mulutnya.
“Enak” gumam Karebet itu.
“Sifat itu sangat menyenangkan”“ berkata Sambirata di dalam hatinya. Dan dibiarkannya Karebet itu kemudian makan sepuas-puasnya. Sembada yang sedang makan itupun menjadi heran pula melihat Karebet benar-benar mau makan bersamanya. Karena itu ia menjadi tenang sedikit. Mungkin Karebet itu benar-benar tidak akan meneruskan perkelahian yang pasti tidak akan menguntungkannya. Hanya beberapa murid Sambirata yang mengumpat-umpat di dalam hatinya. Punggung-punggung mereka masih terasa sakit karena anak muda yang bernama Karebet itu. Dan kini Karebet itu makan bekalnya seenaknya. Bahkan tidak henti-hentinya.
“Makanlah angger” Sambirata itu mempersilakan dengan ramahnya.
“Aku akan kenyang, paman” sahut Karebet. Dan tiba-tiba pula Karebet itu berdiri.
Sembada adalah yang paling terkejut. Ia masih belum dapat menghilangkah kecemasannya apabila Karebet itu tiba-tiba membunuhnya. Tetapi Sembada itu menarik nafas dalam-dalam, ketika dilihatnya Karebet itu menekan punggungnya sambil menggeliat.
“Aku sudah terlalu kenyang paman”, katanya kepada Sambirata.
“Sekarang biarlah aku meneruskan perjalananku ke Tingkir. Apakah paman masih akan mencegah aku?”
“Tidak, tidak ngger. Silakan berjalan terus. Aku tidak akan mengganggu angger lagi.” sahut Sambirata.
Tetapi Sembada yang kasar itu menjawab,
“Pergilah. Tapi jangan mencoba mengganggu kami.”
Karebet itu berpaling. Tetapi kemudian ia tersenyum, jawabnya
“Baiklah. Aku tidak sengaja mengganggumu, kakang. Aku lapar, dan dihadapanmu ada makanan.”
“Bukan soal makanan” bentak Sembada.
“Tetapi jangan halangi kami kembali ke Demak, kalau kau ingin selamat.”
Sekali lagi Karebet tersenyum. Katanya,
“Apakah kakang sudah dapat berjalan dengan baik.”
Sembada tidak menjawab. Namun ia mengumpat perlahan-lahan,
“Persetan.”

Karebet itupun kemudian berjalan meninggalkan mereka. Ditelusurinya jalan sempit di tengah-tengah hutan yang semakin lama semakin tipis. Sehingga sesaat kemudian ia akan sampai ke mulut lorong itu dan meninggalkan daerah hutan yang memberinya kesan tersendiri. Di hutan inilah Prabasemi berusaha merampas nyawanya untuk yang kesekian kalinya. “Hem,” gumamnya,
“Orang itu benar-benar berusaha menghilangkan aku karena otaknya yang gila seperti aku. Tetapi aku tidak mengganggu orang lain. Aku mendapatkan kesempatan tanpa aku sangka-sangka. Sedangkan Prabasemi mencari kesempatan dengan segala cara. Bahkan mengorbankan orang lain sekalipun. Sekali lagi Karebet menarik napas. Kemudian ditatapnya jalan yang terbentang dihadapannya. Kini ia meninggalkan hutanitu. Ketika ia menengadahkan wajahnya dilihatnya langit yang cerah. Awan yang tipis selembar demi selembar mengalir ke Utara, dan burung berterbangan di angkasa seakan menari dengan riangnya.

Ketika Karebet mengangkat wajahnya, hatinya menjadi berdebar-debar. Dihadapannya terbaring seonggok warna hijau ke hitam-hitaman. Padukuhan Tingkir, tempat ia dibesarkan oleh ibu angkatnya Nyi Tingkir. Langkah Karebetpun tertegun sesaat. Kembali ia berbimbang hati. Tetapi kemudian ia melangkah kembali dengan langkah yang tetap. Pulang ke Tingkir dan kelak terus ke Banyu Biru. Angin yang lembut sekali lagi mengusap wajah Karebet yang basah oleh keringat. Dan kembali persoalan itu hanyut satu persatu di kepalanya, berlari berurutan seperti kuda yang sedang berpacu. Dan akhirnya sampailah ia ke ujung kenangannya. Malam itu langit cerah yang ditandai oleh sepotong bulan muda. Ketika Karebet mengangkat wajahnya, yang tampak dihadapannya bukan pedukuhan Tingkir yang hijau kehitam-hitaman, tetapi sebuah dataran yang luas dengan daun-daun padi yang menghijau melapisinya. Warna-warna semburat kuning yang dilemparkan oleh bulan sepotong di langit tampak berkilat-kilat memantul dipermukaan air Rawa Pening.

Karebet kembali kepada keadaanya kini. Dihadapannya duduk pamannya yang disegani. Kebo Kanigara yang mendengarkan ceritanya dengan asyik. Ketika Karebet itu berhenti berbicara, maka Kebo Kanigara itu menarik napas panjang. Panjang sekali. Dan terdengarlah ia bergumam,
“Bukan main. Itulah sebabnya maka sepeninggalmu, timbulah berbagai cerita mengenai dirimu.”
Karebet tidak menjawab. Ditundukkannya kepalanya dalam-dalam. Dan malam semakin dingin, karena angin pegunungan.
“Darimana kau tahu sedemikian banyak cerita tentang dirimu, yang kau alami dan tidak kau alami?”
Dengan kepala masih tertunduk Karebet menjawab,
“Sebagian aku alami langsung, sedangkan sebagian aku dengar dari seorang sahabat yang dapat dipercaya.”
“Siapakah orang itu?”
“Sambirata!”
“He, Sambirata yang kau katakan mencegatmu di hutan dekat Tingkir itu?”
“Ya, ternyata ia telah menyesali perbuatannya. Karena itu ia berusaha mencari kebenaran tentang diriku. Aku tidak tahu, apa saja yang sudah dilakukannya, namun ia berhasil mengetahui sebagian besar keadaanku, dan iapun berhasil mencari aku, ketika aku masih berada di Tingkir.”
“Hanya orang itu?”
“Ya, tetapi paman Sambirata aku minta menghubungi sahabatku yang lain di dalam lingkungan Wira Tamtama. Daripadanya paman Sambirata dapat melengkapi ceritanya.”
“Siapakah orang itu?”
“Santapati. Kakang Santapati, seorang lurah Wira Tamtama juga.”

Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya. Sesaat ia berdiam diri, dan Karebet tidak berkata apapun. Karena itu maka keadaan di lereng menjadi sepi kembali. Di kejauhan terdengar suara cengkerik sahut menyahut dengan derik belalang. Sesekali terdengar aum harimau di kejauhan, di hutan Gunung Telamaya. Sesekali Kebo Kanigara memandang wajah kemenakannya yang suram. Dilihatnya penyesalan yang dalam menggores di dadanya. Karena itu maka perasaan Kebo Kanigara itupun menjadi iba juga kepadanya. Kepada satu-satunya kemenakannya. Karebet adalah penyambung keturunan Pengging disamping Widuri. Karena itulah maka adalah menjadi keinginanya bahwa Karebet kelak mendapat tempat yang baik, sebagai seorang cucu Handayaningrat, maka adalah wajar apabila Karebet itu tidak saja menjadi seorang buangan dan sekedar Lurah Wira Tamtama.
“Hem” geram Kebo Kanigara didalam hatinya.
”Trenggana ternyata dapat dipengaruhi oleh orang-orang seperti Prabasemi.”
Tiba-tiba terbersitlah sesuatu di kepala Kebo Kanigara. Karebet adalah kemanakannya. Nasib Karebet dihari kemudian akan menentukan darah keturunan Pengging. Kalau Karebet itu akan hancur menjadi debu dipembuangan, maka darah Pengging akan kering seperti lautan yang kering. Betapapun agungnya lautan itu dihari-hari lampau, namun apabila kemudian telah kering dibakar terik matahari, maka keagungan airnya pasti akan dilupakan orang. Demikianlah kalau Karebet itu benar-benar akan lenyap dari percaturan pemerintah Demak, maka darah Pangeran Handayaningrat untuk selamanya tidak akan dapat mengharapkan Widuri untuk merebut tempat itu, sebab mau tidak mau ia melihat hubungan yang akrab antara putrinya itu dengan Arya Salaka.

Meskipun Arya Salaka bukan darah yang tetes dari istana, namun ia bangga atas anak muda itu. Anak muda yang menyadari keadaannya, menyadari tanggung jawabnya. Dan ia puas dengan keadaan putrinya, asalkan kelak ia merasa bahagia. Apalagi putrinya itu sejak kecilnya sama sekali tidak pernah mengenyam kehidupan istana.


<<< Bagian 096                                                                                              Bagian 098 >>>

No comments:

Post a Comment