BELUM lagi mereka menyadari keadaan mereka masing-masing, tiba-tiba dari balik gerumbulan yang lebat sebuah bayangan meloncat dekat di antara mereka dan dengan sengaja seakan-akan melerai pertempuran. Yang menjadi sangat terkejut di antara mereka adalah Karebet. Sesaat ia terpaku ditempatnya. Namun kemudian bahkan ia memperkuat getaran yang bergerak didalam tubuhnya. Kembali ia memusatkan segenap kekuatan lahir batin untuk mengetrapkan aji Rog-rog Asem. Bahkan kemudian terdengar ia menggeram pandangan matanya erat melekat pada orang yang baru datang itu.
Orang itu
masih berdiri diam. Tertawanya menjadi lirih. Dan sesaat kemudian terdengar
terdengar ia berkata,
“Sudahlah
Karebet. Lepaskan dulu pemusatan tenaga itu.”
Tetapi Karebet
masih tetap dalam sikapnya. Setiap saat ia dapat meloncat sambil melepaskan Aji
Rog-Rog Asem. Ia tidak mau menjadi korban dari persoalan yang berbelit-belit
itu. Karena itu kembali ia menggeram dan berkata.
“Pasingsingan,
apakah kau menjadi sraya Tumenggung?”
Orang yang
datang itu terkejut. Namun kembali ia tertawa lirih, sambil memandangi jubahnya
ia berkata,
“Yah aku
memang mirip dengan Pasingsingan. Aku juga mempunyai ciri yang serupa.”
Mendengar
jawaban itu Karebet menjadi bimbang sesaat. Namun ia tidak mau terpengaruh
karenanya. Dengan demikian ia masih tetap dalam sikapnya. Sedang dua orang yang
lain, terkejut pula mendengar Karebet menyebut orang itu Pasingsingan. Nama itu
juga pernah mereka dengar, namun seperti sebuah dongengan yang tak mereka
pahami. Tetapi yang mereka dengarpun mengatakan bahwa Pasingsingan memang
mengenakan jubah berwarna abu-abu dan menggunakan topeng. Kini orang yang
berdiri dihadapan mereka mengenakan jubah serta topeng untuk menutupi wajahnya.
Sesaat
kemudian kembali terdengar orang itu berkata,
“Karebet, jangan
segera berprasangka. Aku datang untuk melerai perkelahian yang tak ada gunanya
ini.”
Karebet
memandang orang ini dengan seksama. Dengan penuh kewaspadaan ia bertanya,
“Apa sebabnya
kau melerai perkelahian ini?”
Kembali orang
itu tertawa, kemudian kepada Sembada ia berkata,
“Ki Sanak
lepaskan maksudmu untuk membunuh anak muda ini. Sebab dengan demikian, kalian
telah melakukan kesalahan yang sangat besar.
Sesaat Sembada
dan sambirata saling berpandangan. Namun kemudian terdengar Sembada berkata,
“Siapakah kau
sebenarnya?”
“Namaku dan
diriku sama sekali tidak penting bagimu. Namun kau minta, pikirkan sekali lagi.
Apakah keuntunganmu dengan membunuh Karebet?”
Kembali
Sembada dan Sambirata terdiam. Namun seperti Karebet merekapun memandang orang
yang tegak dihadapan mereka, dengan jubah abu-abu dengan tidak berkedip. Sesaat
kemudian, terdengar orang itu berkata
“Sekarang
pulanglah kalian ke rumah masing-masing. Karebet ke Tingkir, dan kalian berdua
serta kawan-kawan kalian kembali ke Demak.”
Sembada mengerutkan
keningnya. Sekilas terbayang sebuah timang emas bertretes berlian. Kalau ia
pulang sebelum berhasil membunuh Karebet, maka timang itu akan lepas dari
tangannya. Dan yang dilakukannya bersusah payah ini, tak akan ada artinya sama
sekali. Berlari menerobos hutan dan ladang untuk segera dapat mendahului
perjalanan Karebet. Tiba-tiba ketika mereka sudah hampir pada saat yang
menentukan seseorang minta kepada mereka untuk pulang saja dengan tangan hampa.
Tetapi betapapun juga kehadiran orang itu benar-benar mempengaruhi perasaannya.
Meskipun demikian Sembada berkata pula,
“Aku telah
menempuh suatu perjalanan yang jauh. Telah kulakukan pula berbagai usaha untuk
menyelesaikan pekerjaanku. Kini sesaat sebelum pekerjaanku selesai kau datang
mengganggu kami.”
“Jangan marah
Ki Sanak” sahut orang bertopeng itu.
“Aku hanya
mencegah, janganlah terjadi permusuhan di antara sesama.”
Sambirata
mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia pun berkata
“Apakah
hubungamu dengan Karebet itu?”
Orang itu
menggeleng, “Tidak ada” katanya.
Oleh jawaban
itu, maka Sambirata berkata pula,
“Katamu
demikian, biarlah kami menyelesaikan urusan kami masing-masing. Sebaiknya kau
jangan mencampuri urusan orang lain yang tak kau ketahui ujung pangkalnya.”
Orang
bertopeng itu mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian terdengarlah suaranya
parau dari belakang topengnya.
“Kenapa kalian
berdua berusaha membunuh Karebet?”
Sambirata diam
sejenak, kemudian jawabnya,
“Itu adalah
urusan kami.”
Kembali orang
bertopeng itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian gumamnya,
“Aku yakin
bahwa kalian mempunyai cukup alasan untuk melakukannya. Kalau tidak, maka
perbuatan itu pasti tidak akan kalian lakukan. Tetapi apakah alasan itu dapat
dimengerti oleh orang lain, itulah yang kadang-kadang menjadi persoalan.”
“Hem” Sembada
yang keras hati itu menggeram. Katanya,
“Kalau kau
sudah tahu alasan kami, apakah kau tidak akan menggangu kami?”
“Tergantung
pada alasan itu” sahut orang berjubah itu.
“Kalau aku
cukup mengerti, maka aku tidak akan mengganggu kalian.”
“Jangan terlalu
sombong” bentak Sembada yang kasar itu.
“Apakah dengan
demikian kami akan terpengaruh karenanya? Apakah apabila kau mencoba mengganggu
sekalipun, maka kami tidak akan menyelesaikan pekerjaan kami?”
ORANG berjubah
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya,
“Ki Sanak
benar. Meskipun aku mencoba mengganggu sekalipun, namun aku tidak akan dapat
berbuat banyak. Tetapi bukankah setidak-tidaknya dengan demikian aku akan
memperlambat pekerjaan kalian.”
“Bagus. Bagus”
teriak Sembada yang tidak sabar.
“Kami adalah
keluarga Dadungawuk. Anak muda yang terbunuh oleh Karebet itu?”
“He?” Bukan
main terkejut hati Karebet. Ia sama sekali tidak mengenal nama Dadungawuk. Dan
ia sama sekali tidak melakukan pembunuhan. Karena itu maka segera ia memotong.
“Bohong. Aku tidak
pernah mengenal seseorang yang bernama Dadungawuk.”
“Aku sudah
menyangka bahwa kau akan ingkar” sahut Sembada.
“Watakmu yang
licik dan sifat-sifatmu yang sombong itu adalah gabungan dari ujud seorang
pengecut yang sebenarnya.”
“Jangan
membual” teriak Karebet yang menjadi semakin marah.
“Katakan yang
sebenarnya. Bukankah kau seraya Tumenggung Prabasemi?”
Sambirata
tertawa. Katanya,
“Sudah aku
katakan. Tak ada gunanya untuk mempersoalkan, apakah sebabnya kami akan
membunuh anak muda yang malang itu. Mau tidak mau, salah atau benar. Keputusan
kami, akan kami lakukan.”
Kata-kata itu
benar-benar membakar hati Karebet. Dengan serta merta ia berteriak.
“Minggirlah.
Kalau kau bukan Pasingsingan, aku tidak tahu, bagaimana aku akan menyebutmu.
Tetapi jangan mengganggu perkelahian ini. Aku pun sudah memutuskan pula untuk
mengakhiri perkelahian yang memuakkan ini.”
Kata-kata itu
benar-benar berkesan dihati Sembada dan Sambirata. Mau tidak mau mereka pun
harus berpikir tentang kata-kata itu. Meskipun demikian, mereka telah terlanjur
terlibat dalam persoalan itu. Dengan demikian maka mereka tidak akan dapat
berhenti di tengah jalan, meskipun lawan mereka benar-benar mempunyai kekuatan
yang tak mereka sangka-sangka. Tetapi orang berjubah itu masih berdiri saja
ditempatnya. Bahkan ia masih berkata,
“Jangan
berusaha saling membunuh. Apakah tidak ada cara-cara lain yang lebih baik
daripada saling membunuh?”
“Tidak ada”
sahut Sembada.
“Kecuali kalau
Karebet mau membunuh dirinya.”
Ucapan itu
seolah-olah sebuah bara api yang menyentuh telinga mas Karebet. Karena itu,
hampir saja ia meloncat, menyerang Sembada, namun tiba-tiba dengan penuh
perbawa orang berjubah itu berkata
“Karebet,
jangan lakukan. Seharusnya kau mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang masak
sebelum kau berbuat sesuatu.”
Karebet
tertegun mendengar peringatan itu. Namun kemarahannya yang telah membakar
seluruh isi dadanya itu, alangkah sukarnya untuk dikendalikan. Tetapi dalam
pada itu orang berjubah itu berkata seterusnya.
“Karebet, kau
sekarang adalah orang buangan. Aku mendengar hal itu sebelum kau bertengkar
dengan Tumenggung Prabasemi. Karena itu keadaanmu sama sekali tidak
menguntungkan setiap perbuatanmu. Kalau sampai terjadi kau membunuh seseorang,
dan berita itu terdengar oleh Sultan, maka hukumanmu akan menjadi berlipat
ganda, sebab Sultan akan menjadi semakin murka kepadamu. Pada saat kau
bertempur melawan Prabasemi pun, hampir-hampir aku mencegahmu. Namun ketika aku
tahu bahwa kau sadari keadaanmu, maka niatku itu pun aku urungkan.”
Karebet
terkejut mendengar kata-kata itu. Kalau demikian, maka orang berjubah itu telah
mengikutinya sejak ia meninggalkan Demak. Orang itu ternyata melihat, bahwa ia
telah bertengkar dengan Tumenggung Prabasemi, sehingga daripadanya ia
mengetahui bahwa kini ia adalah orang buangan. Namun dalam pada itu, peringatan
yang diberikan kepadanya benar-benar telah menyentuh hatinya. Peringatan yang
sebenarnya sejak semula telah dipikirkannya. Tetapi ketika kemarahannya telah
memuncak, serta hidupnya sendiri telah terancam, maka pertimbangan-pertimbangan
itu lenyap dari kepalanya. Dan kini, ia mendengarkan dari orang lain. Orang
lain yang tidak dikenalnya. Tetapi peringatan yang diucapkan oleh orang
berjubah itu telah menyalakan kemarahan Sembada dan Sambirata. Orang berjubah
itu seakan-akan mengatakan, bahwa Karebet itu pasti akan berhasil membunuh
mereka berdua. Meskipun mereka datang hanya sekedar untuk mendapatkan timang
emas, dan meskipun harga nyawanya jauh lebih mahal dari harga timang emas itu,
namun mereka tidak mau pula bahwa harga diri terlalu direndahkan.
Karena itu,
maka terdengar Sembada menjawab.
“He, orang
bertopeng. Pergilah. Jangan ribut tentang nyawa kami. Apakah kau sangka bahwa
Karebet itu dapat membunuh kami berdua? Kalau kau sudah melihat sejak permulaan
dari perkelahian ini, maka kau akan tahu, bahwa umur Karebet sudah melekat
diujung rambutnya. Namun sesaat sebelum ia mati, maka kau datang mengganggu
kami.”
“OMONG
KOSONG,” potong Karebet yang hatinya telah menjadi panas kembali. Orang
bertopeng itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kepada Karebet ia berkata,
“Ingat-ingatlah
pesanku. Jangan terpancing ke dalam keadaan yang akan menyulitkan kedudukanmu.
Kau sekarang masih dapat mengharapkan ampunan dari Baginda, namun kalau kau
telah melakukan kesalahan lagi, maka ampunan itu jangan kau harapkan sama
sekali. Sebab pembunuhan ini akan dapat disebut dalam berbagai macam keadaan.
Prabasemi dapat mengatakan apa saja yang dapat menambah kemarahan Baginda.
Diantaranya, orang yang terbunuh itu adalah keluarga Dadungawuk seperti yang
baru saja dikatakannya.”
“Aku tidak
mengenal Dadungawuk” potong Karebet.
“Itu adalah
suatu contoh yang baik dari bentuk-bentuk fitnah yang dapat dilakukan oleh
Tumenggung Prabasemi.”
Karebet itu
pun terdiam, namun segera ia teringat kata-kata Prabasemi dihadapan Baginda
Sultan Trenggana, tentang seorang calon Wira Tamtama. Tetapi Sembadalah yang
berteriak,
“He orang
bertopeng. Apakah sebenarnya maksudmu, dan siapakah sebenarnya kau ini?”
Orang
bertopeng itu menggeleng. Katanya,
“Sudah aku
katakan bahwa tak ada gunanya kau mengerti siapa aku.”
“Bagus” sahut
Sembada.
“Tetapi jangan
ganggu kami.”
Orang
bertopeng itu seakan-akan tidak memperhatikan kata-kata itu, bahkan kepada
Karebet ia berkata,
“Karebet,
pikirkan baik-baik.”
“Tetapi apakah
aku harus berdiam diri saja, seandainya mereka akan membunuhku.”
“Pergilah”
jawab orang bertopeng itu.
“Pergi?”
Karebet itu menjadi heran. Kemudian jawabnya,
“Apakah kalau
aku pergi orang-orang itu tidak akan menyusulku?”
“Biarlah
mereka. Menyingkirlah supaya kau terhindar dari bencana yang lebih besar lagi.”
Karebet
menjadi bingung. Ia telah mengenal orang itu. Semula ia menyangka bahwa orang
bertopeng itu Pasingsingan. Bahkan ia menyangka bahwa Pasingsingan itu pun
telah mendapat tugas pula dari Tumenggung Prabasemi. Namun ternyata orang itu
memberinya beberapa petunjuk yang dapat dimengertinya. Namun bagaimana ia harus
melaksanakannya? Apakah ia harus pergi dan membiarkan orang itu mengejar dan
membunuhnya? Atau bagaimana?
Dalam pada itu
Sambirata berkata,
“Hem. Ki Sanak
yang bertopeng. Agaknya kau telah terlalu jauh mencampuri urusan kami. Karebet
kau suruh menyingkir dari arena ini. Kalau demikian, maka kau telah bertekad
untuk menggantikannya. Begitu?”
Orang
bertopeng itu berhenti sesaat. Kemudian jawabnya.
“Aku tidak
mempunyai cara lain. Aku hanya sekedar bermaksud menyelamatkan kalian dari
perbuatan terkutuk. Karebet dan kalian berdua.”
“Jangan banyak
bicara” teriak Sembada. Apalagi ketika ia mengetahui bahwa orang itu bukan
Pasingsingan yang menakutkan yang pernah didengarnya dari dongeng-dongeng.
“Sekarang kau
pergi dan membiarkan kami membunuh Karebet. Atau kami harus membunuhmu dulu,
baru membunuh Karebet.”
Orang
bertopeng itu seakan-akan sama sekali tidak mendengar teriakan itu. Katanya,
“Menyingkirlah
Karebet. Kalau mungkin, pertumpahan darah harus dihindari.”
Sembada itu
kini sudah tidak sabar lagi. dengan marahnya ia menggeram. Selangkah maju
sambil berkata,
“Kalau kau
mati di sini pula, jangan menyalahkan aku. Kau terlalu tamak dan sombong.”
Melihat
Sembada melangkah maju, Karebet hampir melangkah maju pula. Namun terdengar
orang itu berkata,
“Ingat, Sultan
sedang murka kepadamu. Jangan kau tambah kesalahanmu dengan perbuatan-perbuatan
yang tak berarti. Serahkan orang-orang ini kepadaku.”
Kata-kata itu
benar-benar berpengaruh dihati Karebet. Terasa sesuatu bergolak di dalam
dadanya. Dan terasa bahwa ia tidak akan dapat menolak permintaan itu. Tetapi
Sembada dan Sambirata telah benar-benar sampai kepuncak kemarahan mereka.
Karena itu, maka Sembada berteriak,
“Bagus.
Ternyata aku harus membunuhmu dahulu. Baru anak yang bernama Karebet itu.”
Orang berjubah
itu tidak sampai menjawab. Ketika ia hampir mengucapkan beberapa patah kata,
maka Sembada yang kasar itu telah menyerangnya langsung dalam kekuatan Ajinya
Sapu Angin. Orang bertopeng itupun melihat betapa kekuatan ajinya itu meluncur
lewat tangan-tangan Sembara ke arahnya. Namun ia sama sekali tidak beranjak
dari tempatnya. Karebet yang melihat serangan itu terkejut. Tetapi ia berdiri
berseberangan dengan Sembada, sehingga ia tidak dapat berbuat apa-apa kecuali
berteriak,
“Hei, Ki
Sanak. Menghindarlah.”
Tetapi orang
berjubah itu sama sekali tidak bergerak. Dibiarkannya Sembada menghantamnya
dengan Aji Sapu Angin. Namun sesaat sebelum tangan sembada menyentuh jubahnya,
tampak orang itu menjadi tegang. Dan pada saat itulah Aji Sapu Angin membentur
tubuhnya.
Namun yang
terjadi benar-benar mengejutkan. Orang yang berjubah itu masih tegak di
tempatnya. Ia hanya bergetar sedikit. Namun kemudian ia berdiri tegak kembali,
seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Tetapi Sembada yang menghantam orang
itu dengan kekuatannya, tiba-tiba terpelanting beberapa langkah dan jatuh
terguling karena benturan kekuatannya sendiri. Tangannya yang melontarkan Aji
Sapu Angin itu terasa membentur benteng baja. Karena itulah maka ia sendirilah
yang terlempar mundur. Sambirata heran melihat peristiwa itu. Tidak saja
Sambirata, namun Karebetpun berdiri dengan mulut ternganga. Seakan-akan ia
melihat suatu peristiwa dahsyat di dalam mimpi. Aji Sapu Angin mampu
menggetarkan Aji Lembu Sekilan, meskipun tidak sampai ke intinya. Kini ia
melihat orang berjubah itu sama sekali tidak bergerak, namun Sembada sendirilah
yang terdorong surut, bahkan jatuh bergulingan beberapa kali. Tetapi lebih dari
itu. Ketika Sembada tidak terguling lagi, maka terdengar ia mengeluh pendek.
Dengan susah payah ia berusaha bangkit. Namun tiba-tiba ia terduduk kembali
dengan lemahnya. Nafasnya serasa sesak, dan seakan-akan bagian dalam dadanya
pecah berkeping-keping. Sambirata menjadi ragu sesaat. Ia melihat kawannya
telah jatuh karena pukulannya sendiri. Karena itu apakah ia akan mengulangi
kesalahan Sembada. Kini Sambirata memperhitungkan setiap kemungkinan.
Seandainya ia mampu mengalahkan orang berjubah dan bertopeng itu, namun
dibelakangnya masih berdiri anak yang bernama Karebet. Anak yang belum dapat
dikalahkannya meskipun ia berdua dengan Sembada. Apalagi kini Sembada sudah
tidak mampu untuk berdiri.
Sesaat
Sambirata tegak saja seperti tonggak. Pikirannya berjalan hilir mudik tak
menentu. Ketika sekali lagi ia memandang kawannya yang terduduk lemah itu, maka
iapun mengeluh didalam hatinya.
“Apakah yang
datang ini sebangsa demit atau Hantu Alasan?.”
Sambirata
kemudian terperanjat ketika ia mendengar suara orang bertopeng menggeram dari
balik topengnya,
“hem, apakah
kau juga akan coba memukul aku?”
Kembali
Sambirata menjadi bimbang. Namun akhirnya ia menggeleng. Kini telah
ditemukannya jawaban. Ia tidak memperdulikan lagi kawannya yang terluka itu.
Juga timang emas yang dijanjikan. Nyawanya lebih berharga dari segala-galanya.
Bahkan sampai pada harga dirinya sekalipun. Karena itu, maka tanpa malu-malu
Sambirata menjawab,
“Tidak Kiai.
Aku tidak akan melawan kehendak Kiai.”
Karebet
mengerutkan keningnya ketika mendengar jawaban itu. Bahkan ia mengumpat-umpat
didalam hatinya. Alangkah liciknya hati orang itu. Meskipun demikian, ia sama
sekali tidak berkata apapun.
Yang menjawab
adalah orang bertopeng,
“apakah kau
benar-benar tidak akan berbuat sesuatu?”
“Tentu Kiai,”
sambut Sambirata.
“Akupun tidak
mempunyai persoalan dengan angger Karebet. Tetapi terbawa oleh kesetiakawanan
aku terpaksa membantu orang itu.”
Sembada
berdesah mendengar kata Sambirata. Tetapi ia tidak berani berbuat apapun. Kalau
ia membantah, maka Sambirata akan dapat berbuat apa saja atasnya. Selagi
keadaan wajar, ia tidak akan mampu melawan Sambirata, apalagi kini,
tulang-tulangnya seakan remuk. Orang bertopeng itu memandangi Sambirata dan
Sembada berganti-ganti lewat lubang topengnya. Sesaat kemudian ia menarik nafas
panjang. Dan kemudian ia berkata,
“Kembalilah
kalian ke Demak. Katakan bahwa Karebet telah mati. Ia tidak akan kembali ke
Demak dalam waktu yang singkat, sebelum Baginda mengampuni kesalahannya.”
Sambirata
mengangguk. Kemudian katanya,
”Tentu Kiai
kami akan kembali ke Demak.”
Tetapi Sembada
yang menyeringai kesakitan itu berkata,
“Alangkah
mudahnya. Tetapi kalau kelak anak itu kembali ke Demak, maka kepalaku akan
dipenggal oleh Prabasemi.”
Sambirata
tiba-tiba tertawa. Katanya,
“Sudahlah adi
Sembada. Kalau kau tidak berani menanggung akibat dari perbuatan ini, biarlah
timang-timang ini dikembalikan saja.”
“Timang?,”
tiba-tiba Karebet memotong.
“Ya,” jawab
Sambirata.
“Kami harus
membunuh angger. Dan kami akan mendapat timang emas.”
TANGAN Karebet
menjadi gemetar mendengar pengakuan itu. Tetapi sebelum ia menjawab, orang
berjubah itu berkata,
“Lupakan
semuanya. Beruntunglah kalian, bahwa kalian belum menjual diri kalian dengan
harga yang sangat murah itu. Apakah artinya timang emas itu? Seandainya kalian
mampu membunuh Karebet sekalipun, namun apakah yang dapat kau miliki itu cukup
bernilai untuk menebus tanggung jawab yang harus kau berikan pada masa-masa
langgeng? Pada masa kau berhadapan dengan Kekuasaan tertinggi. Jauh lebih tinggi
dari kekuasaan Prabasemi, bahkan kekuasaan Sultan Trenggana sekalipun?”
Orang berjubah
itu diam sesaat. Sembada yang masih menahan sakit itupun terdiam, dan Sambirata
menundukkan wajahnya. Semula ia mengurungkan niatnya hanya sekedar untuk
menyelamatkan hidupnya.
Tiba-tiba
tersentuhlah perasaan Sambirata oleh kata-kata orang bertopeng itu.
“Ya,” katanya
di dalam hati,
“Alangkah
murahnya harga diriku. Sebuah timang emas. Hem.” Tetapi Sambirata itu tidak
berkata sepatah katapun.
Yang terdengar
kemudian adalah kata-kata orang berjubah itu.
“Seandainya
kau berhasil membunuh Karebet, dan mendapatkan timang-timang emas itu, maka
apakah kalian dapat memakainya dengan tenang? Setiap kali timang itu melekat di
lambung kalian, maka setiap kali kalian akan teringat, bahwa timang itu
sebenarnya berlumuran dengan darah seseorang yang tidak bersalah kepada
kalian.”
Sambirata
semakin menundukkan wajahnya. Sentuhan-sentuhan pada parasaannya semakin
terasa. Dan karena itulah tiba-tiba ia merasa menyesal atas perbuatannya itu.
Namun justru karena itulah maka ia berdiam diri.
“Nah.
Pikirkanlah kata-kataku” berkata orang berjubah itu pula. Tiba-tiba Sambirata
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan hormat ia menjawab,
“Baik Kiai.
Akan aku pikirkan baik-baik kata Kiai.
Orang
bertopeng itu mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian katanya,
“Sekarang
kembalilah ke Demak. Kau dapat menempuh jalan yang wajar. Bukankah kau menempuh
jalan yang sulit, jalan yang bukan sewajarnya dilalui orang pada saat kau
berangkat kemari? Lewat gerumbul-gerumbul dan memotong diantara hutan-hutan
belukar. Itu adalah gambaran dari pengakuanmu atas perbuatan-perbuatan yang
tidak wajar pula yang akan kau lakukan. Sebab kalau kau berlaku wajar, maka kau
tidak perlu melalui jalan-jalan yang tersembunyi.”
Sekali lagi
Sambirata mengangguk. Dan kemudian jawabnya,
“Ya Kiai. Aku
menyadarinya”
Tetapi ketika
Sambirata itu berpaling ke arah Sembada, maka katanya
“Apakah kau
sudah mampu berjalan Adi?”
Sembada
mengerang perlahan-lahan. Sekali lagi ia berusaha bangkit. Namun punggungnya
masih terasa sakit. Tetapi ia tidak mau menunjukkan kelemahan dirinya. Maka
katanya
“Bertanyalah
kepada murid-muridmu. Apakah mereka sudah mampu berjalan?”
Sambirata
itupun kemudian menebarkan pandangan matanya ke arah murid-muridnya yang masih
berserakan disekitarnya. Ada yang sudah mampu duduk dan mencoba berdiri, namun
ada juga yang masih terbaring sambil menyeringai. Melihat mereka itu,
tergetarlah hati Sambirata. Hampir saja ia mengorbankan orang-orang itu hanya
untuk sebuah timang. Dan karena itu, maka timbullah iba didalam hatinya. Iba
kepada murid-muridnya yang tidak tahu menahu ujung pangkal dari perbuatannya.
Perlahan-lahan Sambirata itu menghampiri muridnya yang paling parah diantara
mereka. Perlahan-lahan ia berbisik.
“Maafkan aku.”
Muridnya itu
menjadi heran. Apakah yang harus dimaafkannya?
MESKIPUN
demikian muridnya itu tidak bertanya apapun kepada gurunya. Mereka hanya
menyeringai menahan sakit dan berkata jujur
“Aku belum
dapat berjalan Kiai”
Sambirata
menarik nafas. Agaknya keadaan muridnya itu benar-benar sulit. Karena itu maka
katanya,
“Aku tidak
tergesa-gesa. Biarlah kalian menjadi baik dahulu. Aku akan menunggu kalian di
sini.”
Orang
bertopeng itu mengawasi hampir setiap orang di tempat itu. Sesaat kemudian
terdengar ia berkata,
“Baiklah kalau
kalian masih akan menunggu kawan-kawan kalian sehingga mungkin untuk berjalan
kembali. Kini biarlah anak muda ini pergi bersama aku.”
Sambirata
mengangguk sambil menjawab,
“Silakan Kiai.
Aku mengucapkan terima kasih kepada Kiai.”
Orang
bertopeng itu mengangguk, kemudian katanya kepada Mas Karebet,
“Ikuti aku.”
Karebet
ragu-ragu sejenak. Ia belum mengenal orang itu. Ia pernah mendengar bahwa orang
yang berjubah abu-abu adalah Pasingsingan. Kini ia berhadapan dengan orang yang
berjubah abu-abu itu. Apakah orang itu bukan Pasingsingan? Sesaat timbullah
beberapa prasangka didalam hatinya. Mula-mula ia menyangka bahwa orang itu
hanya sekedar merebut korbannya dari Sambirata dan Sembada, supaya
Pasingsinganlah yang berhasil membunuhnya untuk mendapat hadiah dari Prabasemi.
Tetapi menilik suara dan tingkah lakunya, maka orang bertopeng itu bukanlah
seorang yang bernama Pasingsingan.
Akhirnya
Karebet tidak mempunyai pilihan lain. Kalau orang itu Pasingsingan, maka
dimanapun, orang itu pasti akan dapat membunuhnya. Diketahui atau tidak
diketahui oleh orang lain. Karena itu maka ia tidak menolak, dan diikutinya
orang berjubah abu-abu itu. Namun selama itu, anak muda yang masih mengetrapkan
ilmunya, Aji Lembu Sekilan dan sekaligus di tangannya masih menjing Aji Rog-rog
Asem.
Beberapa
langkah kemudian, ketika orang-orang yang terbaring dipinggir jalan hutan itu
telah tidak nampak lagi, maka orang berjubah abu-abu itu berhenti. Ditatapnya
mata Karebet dengan tajamnya. Kemudian dengan sebuah anggukan kepada ia
berkata,
“Duduklah
Karebet.”
Orang itu
tidak menunggu jawaban Karebet. Namun segera ia berjalan ke balik gerumbul dan
duduk di atas rumput-rumput kering. Karebet kembali menjadi ragu-ragu. Tetapi
seolah-olah sebuah pesona telah menariknya untuk kemudian duduk dihadapan orang
berjubah abu-abu itu, dibalik gerumbul pula.
“Karebet”
berkata orang itu.
“Hampir kau
melakukan sebuah kesalahan lagi. Bukankah kau kini sedang menjalani hukuman?”
Kelunakan dan
kesungguhan kata-kata orang itu memberi keyakinan kepada Karebet, bahwa orang
itu sebenarnya bukan Pasingsingan. Karena itu maka jawabnya
“Ya, Kiai. Aku
sedang menjalani sebuah hukuman.”
“Apakah
sebabnya?” bertanya orang itu.
Karebet sesaat
menjadi ragu-ragu. Namun kemudian terluncur pula dari mulutnya,
persoalan-persoalan yang menyebabkannya diusir dari istana.
“Tetapi Kiai”,
berkata kemudian.
“Janganlah hal
ini didengar orang lain, supaya Sultan tidak semakin marah kepadaku.”
Orang
bertopeng itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Karebet. Aku
mengikutimu sejak kau meninggalkan istana, berjalan bersama-sama dengan
Tumenggung Prabasemi. Aku melihat sesuatu yang tidak wajar pada kalian berdua.
Karena itu aku mencoba melihat apa saja yang akan terjadi. Ternyata di hutan
Santi kalian berdua terlibat dalam suatu perkelahian. Ketika aku melihat
Prabasemi jatuh, aku hampir saja mencegahmu. Namun ternyata kau pada waktu itu
masih dapat menguasai dirimu. Tetapi yang baru saja terjadi di sini, agaknya
kau telah benar-benar menjadi mata gelap.”
Karebet
mengangguk,
“Ya Kiai”
jawabnya.
“Aku tidak
ingin mati di tangan kedua orang itu.”
“Aku tidak
menyalahkanmu” sahut orang bertopeng itu.
“Aku hanya
ingin mencegah kesalahan yang mungkin kau lakukan, yang akan dapat mendorongmu
semakin jauh dari istana.”
KAREBET
menundukkan kepalanya. Kini ia pasti, bahwa orang itu sama sekali bukan
Pasingsingan. Tetapi siapa?. Dan tiba-tiba saja ia bertanya.
“Tetapi apakah
aku boleh mengetahui, siapakah Kiai ini?”
Orang itu
menggeleng.
“Tidak ada
gunanya,” jawabnya.
Karebet
menarik nafas. Ia tidak bertanya lagi kepada orang itu Sebab sekali ia
merahasiakan dirinya, maka betapapun ia mencoba bertanya, namun pasti ia tidak
akan mendapat jawaban.
Karebet itu
kemudian mengangkat wajahnya ketika orang itu bertanya.
“Sekarang, ke
manakah kau akan pergi?”
Karebet
menarik nafas dalam-dalam. Ya, kemana ia akan pergi? Sesaat ia berdiam diri,
namun kemudian jawabnya,
“Aku tidak
yakin bahwa Prabasemi akan melepaskan maksudnya membunuhku. Mungkin ia akan
meminta orang lain lagi untuk melakukan pembunuhan itu. Dalam keadaan yang
demikian, mungkin sekali aku kehilangan kesabaran, dan membunuh orang itu
sehingga dengan demikian Sultan Trenggana akan semakin murka kepadaku.”
“Kau benar”
berkata orang bertopeng itu.
“Tetapi
kemana?”
Karebet
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Aku tidak
tahu.”
“Apakah kau
tidak mempunyai sahabat, kawan atau saudara di tempat lain?” bertanya orang
bertopeng itu.
Karebet diam
sejenak. Tiba-tiba terbayanglah dirongga matanya, sebuah lembah yang luas
dengan padi yang hijau subur di kaki pegunungan Telamaya. Suatu daerah yang
sangat menarik yang pernah dikunjunginya. Tetapi daerah itu belum menemukan
ketentraman karena persoalan antar keluarga sendiri.
“Bagaimana?”
bertanya orang itu pula.
Karebet
menggeleng. Jawabnya,
“Aku mempunyai
sahabat, saudara dan kawan-kawan. Tetapi mereka sedang sibuk dengan persoalan
mereka sendiri. Apakah aku tidak akan menambah keributan mereka, apabila aku
datang kepada mereka itu?”
Terdengar
orang bertopeng itu tertawa pendek. Katanya seolah-olah bergumam saja didalam
mulutnya.
“Hem. Kau
memandang dari sudut yang buram. Cobalah, katakan kepadaku bahwa kau akan
datang untuk membantu memecahkan persoalan mereka itu.”
Karebet
menengadahkan wajahnya. Sesaat terpancarlah sesuatu dari wajahnya. Katanya
didalam hati,
“Ya, aku
adalah seorang laki-laki. Kenapa aku tidak dapat memperingan pekerjaan mereka
itu?”
Tiba-tiba
Karebet itu berkata,
“Pendapat Kiai
baik sekali. Aku dapat datang kepada mereka untuk membantu mereka. Mungkin
tenagaku akan berguna.”
“Bagus”, orang
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Topengnya bergerak-gerak seperti kepala
hantu-hantuan di sawah untuk menakut-nakuti burung.
“Baiklah
Kiai”, berkata Karebet pula,
“Aku akan
pergi ke sana.”
“Kemana?”
Karebet berdiam diri sejenak. Namun sesaat kemudian ia berkata lantang.
“Banyubiru.”
“Banyubiru”,
orang bertopeng itu mengulang. Kemudian katanya,
“Pergilah ke
Tingkir. Kemudian pergilah ke Banyubiru.”
“Baik Kiai”
sahut Karebet.
Orang
bertopeng itupun kemudian berdiri. Dipandanginya Karebet dengan seksama.
Kemudian katanya,
“Kita berpisah
di sini setelah aku mengikutimu sejak dari Demak. Mudah-mudahan aku terhindar
dari segala malapetaka. Dan mudah-mudahan kau selalu dapat mengekang dirimu
sendiri. Pergilah. Aku akan pergi ke Bergota.”
Karebet
mengerutkan keningnya, dan dengan serta merta ia bertanya.
“Kenapa ke
Bergota?”
“Tidak ada
hubungannya dengan kau. Aku akan menemui Arya Palindih,” jawab orang itu.
Kembali
Karebet menjadi sangat tertarik kepada jawaban itu. Tetapi orang itu berkata,
bahwa kepergiannya itu tak ada hubungannya dengan dirinya. Meskipun demikian,
ia bertanya-tanya juga di dalam hatinya. Bukankah Sultan Trenggana pernah
mengatakan kepadanya bahwa ia akan dikirim ke Bergota seandainya Prabasemi
tidak mencegahnya? Meskipun demikian Karebet itu tidak bertanya lagi.
Orang
bertopeng itupun kemudian minta diri dan perlahan-lahan ia berjalan menyusup
lewat gerumbul-gerumbul dihutan itu. Sebelum orang itu hilang dari pandangan
mata Karebet, terdengar ia berkata,
“Karebet, aku
tadi berkata kepada Sambirata, bahwa ia menempuh jalan yang tidak wajar karena
tuduhan yang tidak wajar. Namun percayalah bahwa aku mempunyai itikad yang baik
bagimu dan bagi Demak.”
Karebet
mengerutkan keningnya. Timbullah pertanyaan bahwa didalam hatinya.
“Kenapa bagiku
dan bagi Demak? Apakah ada hubungan yang erat antara aku dan Demak? Ah”
desahnya.
“Aku hanya
seorang lurah Wira Tamtama.”
Tetapi
tiba-tiba ia berdesis.
“Bukan, Lurah
Wira Tamtama pun bukan. Aku adalah orang buangan.”
Ketika orang bertopeng
itu lenyap dibalik rimbunnya daun-daun rimba yang hijau, maka Karebet itu
menjadi bersedih. Dikenangnya dirinya dan disesalinya segenap perbuatannya.
Namun semuanya telah berlalu. Dan kini ia tinggal menjalani akibat dari
perbuatan-perbuatannya yang salah itu. Sesaat Karebet itu masih tegak
ditempatnya. Sekali-kali diawasinya daun-daun yang hijau tempat orang bertopeng
itu melenyapkan dirinya.
“ORANG ANEH,”
gumam Karebet.
“Memang di
dunia ini selalu ada keanehan-keanehan yang kadang-kadang lucu. Apakah gunanya
orang itu menutupi wajahnya dan berjubah. Apakah wajahnya itu terlalu jelek dan
kasar, atau seorang buruan yang sedang menyembunyikan diri? Tetapi tidak pantas
kalau orang itu menyembunyikan dirinya karena persoalan-persoalan lahiriah. Ia adalah
seorang yang sakti, ternyata Aji Sembada sama sekali tidak mampu mendorongnya
selangkah pun.”
Karebet itupun
kemudian dengan segan melangkah pergi. Kini ia berjalan dengan tujuan yang
pasti. Ke Tingkir kemudian ke Banyubiru. Ketika ia muncul dari balik-balik
gerumbul, tiba-tiba timbullah keinginannya untuk menengok kembali Sembada dan
Sambirata. Karena itu ia berjalan menuju ke arah mereka. Dari kejauhan di balik
tikungan Karebet telah melihat mereka masih berada ditempatnya.
Ketika mereka
melihat Karebet datang kepada mereka, maka Sembada dan Sambirata itupun
berdesir hatinya. Apakah maksud kedatangan Karebet itu kembali kepada mereka?
Apakah setelah orang bertopeng itu pergi, Karebet akan meneruskan maksudnya,
bertempur sampai saat-saat terakhir? Tetapi kini Sambirata telah tidak bernafsu
lagi untuk bertempur. Di dalam dadanya telah terdengar suara-suara yang belum
pernah didengarnya. Dan suara-suara itu telah mendorongnya untuk menghindari
bentrokan langsung dengan Karebet itu.
Tetapi wajah
Karebet sama sekali tidak menunjukkan ketegangan. Bahkan ketika ia melihat
Sembada yang masih saja menyuapi mulutnya itu, ia tersenyum sambil berkata,
“Alangkah
nikmatnya, makan setelah bekerja keras.”
“Makanlah
kalau kau mau” berkata Sembada itu tanpa berpaling. Meskipun demikian denyut
jantungnya menjadi semakin cepat. Ia masih belum yakin kalau dalam waktu yang
sesingkat itu Karebet telah dapat melupakan apa-apa yang baru saja terjadi.
Tetapi Karebet benar-benar anak yang aneh, yang berbuat apa saja menurut keinginannya
sesaat. Tiba-tiba saja ia duduk di samping Sembada dan berkata,
“Aku juga
lapar, kakang Sembada.”
Sambirata
menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat kejujuran yang memancar dalam diri
Karebet. Kejujuran yang tidak dibuat-buat. Karena itu ia menjadi semakin kecewa
atas perbuatannya. Untunglah semuanya belum terlanjur terjadi. Kalau ia
berhasil membunuh Karebet, maka dosanya akan selalu mengejarnya apabila ia
kelak mengetahui sifat-sifat anak itu. Sedang apabila Karebet yang membunuhnya,
maka kasihanlah anak itu. Sebab dengan demikian ia akan mendapat hukuman yang
lebih berat dari Baginda.
Dengan penuh
penyesalan ia melihat Karebet itu meraih sepotong makanan bekal yang mereka
bawa dari Demak. Dan tanpa ragu-ragu disuapkannya makanan itu ke dalam mulutnya.
“Enak” gumam
Karebet itu.
“Sifat itu
sangat menyenangkan”“ berkata Sambirata di dalam hatinya. Dan dibiarkannya
Karebet itu kemudian makan sepuas-puasnya. Sembada yang sedang makan itupun
menjadi heran pula melihat Karebet benar-benar mau makan bersamanya. Karena itu
ia menjadi tenang sedikit. Mungkin Karebet itu benar-benar tidak akan
meneruskan perkelahian yang pasti tidak akan menguntungkannya. Hanya beberapa
murid Sambirata yang mengumpat-umpat di dalam hatinya. Punggung-punggung mereka
masih terasa sakit karena anak muda yang bernama Karebet itu. Dan kini Karebet
itu makan bekalnya seenaknya. Bahkan tidak henti-hentinya.
“Makanlah
angger” Sambirata itu mempersilakan dengan ramahnya.
“Aku akan
kenyang, paman” sahut Karebet. Dan tiba-tiba pula Karebet itu berdiri.
Sembada adalah
yang paling terkejut. Ia masih belum dapat menghilangkah kecemasannya apabila
Karebet itu tiba-tiba membunuhnya. Tetapi Sembada itu menarik nafas
dalam-dalam, ketika dilihatnya Karebet itu menekan punggungnya sambil
menggeliat.
“Aku sudah
terlalu kenyang paman”, katanya kepada Sambirata.
“Sekarang
biarlah aku meneruskan perjalananku ke Tingkir. Apakah paman masih akan
mencegah aku?”
“Tidak, tidak
ngger. Silakan berjalan terus. Aku tidak akan mengganggu angger lagi.” sahut
Sambirata.
Tetapi Sembada
yang kasar itu menjawab,
“Pergilah.
Tapi jangan mencoba mengganggu kami.”
Karebet itu
berpaling. Tetapi kemudian ia tersenyum, jawabnya
“Baiklah. Aku
tidak sengaja mengganggumu, kakang. Aku lapar, dan dihadapanmu ada makanan.”
“Bukan soal
makanan” bentak Sembada.
“Tetapi jangan
halangi kami kembali ke Demak, kalau kau ingin selamat.”
Sekali lagi
Karebet tersenyum. Katanya,
“Apakah kakang
sudah dapat berjalan dengan baik.”
Sembada tidak
menjawab. Namun ia mengumpat perlahan-lahan,
“Persetan.”
Karebet itupun
kemudian berjalan meninggalkan mereka. Ditelusurinya jalan sempit di
tengah-tengah hutan yang semakin lama semakin tipis. Sehingga sesaat kemudian
ia akan sampai ke mulut lorong itu dan meninggalkan daerah hutan yang
memberinya kesan tersendiri. Di hutan inilah Prabasemi berusaha merampas
nyawanya untuk yang kesekian kalinya. “Hem,” gumamnya,
“Orang itu
benar-benar berusaha menghilangkan aku karena otaknya yang gila seperti aku.
Tetapi aku tidak mengganggu orang lain. Aku mendapatkan kesempatan tanpa aku
sangka-sangka. Sedangkan Prabasemi mencari kesempatan dengan segala cara.
Bahkan mengorbankan orang lain sekalipun. Sekali lagi Karebet menarik napas.
Kemudian ditatapnya jalan yang terbentang dihadapannya. Kini ia meninggalkan
hutanitu. Ketika ia menengadahkan wajahnya dilihatnya langit yang cerah. Awan
yang tipis selembar demi selembar mengalir ke Utara, dan burung berterbangan di
angkasa seakan menari dengan riangnya.
Ketika Karebet
mengangkat wajahnya, hatinya menjadi berdebar-debar. Dihadapannya terbaring
seonggok warna hijau ke hitam-hitaman. Padukuhan Tingkir, tempat ia dibesarkan
oleh ibu angkatnya Nyi Tingkir. Langkah Karebetpun tertegun sesaat. Kembali ia
berbimbang hati. Tetapi kemudian ia melangkah kembali dengan langkah yang
tetap. Pulang ke Tingkir dan kelak terus ke Banyu Biru. Angin yang lembut
sekali lagi mengusap wajah Karebet yang basah oleh keringat. Dan kembali
persoalan itu hanyut satu persatu di kepalanya, berlari berurutan seperti kuda
yang sedang berpacu. Dan akhirnya sampailah ia ke ujung kenangannya. Malam itu
langit cerah yang ditandai oleh sepotong bulan muda. Ketika Karebet mengangkat
wajahnya, yang tampak dihadapannya bukan pedukuhan Tingkir yang hijau
kehitam-hitaman, tetapi sebuah dataran yang luas dengan daun-daun padi yang
menghijau melapisinya. Warna-warna semburat kuning yang dilemparkan oleh bulan
sepotong di langit tampak berkilat-kilat memantul dipermukaan air Rawa Pening.
Karebet
kembali kepada keadaanya kini. Dihadapannya duduk pamannya yang disegani. Kebo
Kanigara yang mendengarkan ceritanya dengan asyik. Ketika Karebet itu berhenti
berbicara, maka Kebo Kanigara itu menarik napas panjang. Panjang sekali. Dan
terdengarlah ia bergumam,
“Bukan main.
Itulah sebabnya maka sepeninggalmu, timbulah berbagai cerita mengenai dirimu.”
Karebet tidak
menjawab. Ditundukkannya kepalanya dalam-dalam. Dan malam semakin dingin,
karena angin pegunungan.
“Darimana kau
tahu sedemikian banyak cerita tentang dirimu, yang kau alami dan tidak kau
alami?”
Dengan kepala
masih tertunduk Karebet menjawab,
“Sebagian aku
alami langsung, sedangkan sebagian aku dengar dari seorang sahabat yang dapat
dipercaya.”
“Siapakah
orang itu?”
“Sambirata!”
“He, Sambirata
yang kau katakan mencegatmu di hutan dekat Tingkir itu?”
“Ya, ternyata
ia telah menyesali perbuatannya. Karena itu ia berusaha mencari kebenaran
tentang diriku. Aku tidak tahu, apa saja yang sudah dilakukannya, namun ia
berhasil mengetahui sebagian besar keadaanku, dan iapun berhasil mencari aku,
ketika aku masih berada di Tingkir.”
“Hanya orang
itu?”
“Ya, tetapi
paman Sambirata aku minta menghubungi sahabatku yang lain di dalam lingkungan
Wira Tamtama. Daripadanya paman Sambirata dapat melengkapi ceritanya.”
“Siapakah
orang itu?”
“Santapati.
Kakang Santapati, seorang lurah Wira Tamtama juga.”
Kebo Kanigara
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sesaat ia berdiam diri, dan Karebet tidak
berkata apapun. Karena itu maka keadaan di lereng menjadi sepi kembali. Di
kejauhan terdengar suara cengkerik sahut menyahut dengan derik belalang. Sesekali
terdengar aum harimau di kejauhan, di hutan Gunung Telamaya. Sesekali Kebo
Kanigara memandang wajah kemenakannya yang suram. Dilihatnya penyesalan yang
dalam menggores di dadanya. Karena itu maka perasaan Kebo Kanigara itupun
menjadi iba juga kepadanya. Kepada satu-satunya kemenakannya. Karebet adalah
penyambung keturunan Pengging disamping Widuri. Karena itulah maka adalah
menjadi keinginanya bahwa Karebet kelak mendapat tempat yang baik, sebagai
seorang cucu Handayaningrat, maka adalah wajar apabila Karebet itu tidak saja
menjadi seorang buangan dan sekedar Lurah Wira Tamtama.
“Hem” geram
Kebo Kanigara didalam hatinya.
”Trenggana
ternyata dapat dipengaruhi oleh orang-orang seperti Prabasemi.”
Tiba-tiba
terbersitlah sesuatu di kepala Kebo Kanigara. Karebet adalah kemanakannya.
Nasib Karebet dihari kemudian akan menentukan darah keturunan Pengging. Kalau
Karebet itu akan hancur menjadi debu dipembuangan, maka darah Pengging akan
kering seperti lautan yang kering. Betapapun agungnya lautan itu dihari-hari
lampau, namun apabila kemudian telah kering dibakar terik matahari, maka
keagungan airnya pasti akan dilupakan orang. Demikianlah kalau Karebet itu
benar-benar akan lenyap dari percaturan pemerintah Demak, maka darah Pangeran
Handayaningrat untuk selamanya tidak akan dapat mengharapkan Widuri untuk
merebut tempat itu, sebab mau tidak mau ia melihat hubungan yang akrab antara
putrinya itu dengan Arya Salaka.
Meskipun Arya
Salaka bukan darah yang tetes dari istana, namun ia bangga atas anak muda itu.
Anak muda yang menyadari keadaannya, menyadari tanggung jawabnya. Dan ia puas
dengan keadaan putrinya, asalkan kelak ia merasa bahagia. Apalagi putrinya itu
sejak kecilnya sama sekali tidak pernah mengenyam kehidupan istana.
No comments:
Post a Comment