Bagian 071


MEREKA mendapat tugas untuk mengawasi laskar Pamingit itu, memimpin mereka dan mengolah mereka, disamping Lembu Sora dan Sawung Sariti sendiri. Kepada merekalah Lembu Sora meletakkan harapannya atas laskarnya. Namun demikian, di sepanjang perjalanan itu kepada Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti selalu dikejar-kejar oleh berbagai persoalan. Selain perasaan marah yang membakar dadanya, melontar pula kecemasan di hatinya. Siapa sajakah yang turut serta di dalam laskar yang menduduki Pamingit itu?
Yang sudah jelas baginya, adalah Joko Soka dari Nusakambangan. Betapa bencinya ia kepada bajak laut yang gila itu. Kalau saja tak ada gerombolan lain yang membantunya, maka ia yakin bahwa Jaka Soka bukanlah beban yang terlalu berat baginya. Ia yakin bahwa jumlah laskarnya akan terlampau besar untuk menghadapi Ular Laut itu. Tetapi adakah gurunya ikut serta.

Nama Nagapasa adalah nama yang cukup menggetarkan. Meskipun nama itu telah lama tenggelam, namun setiap orang tahu, bahwa Jaka Soka adalah murid dari bajak tua yang terkenal dengan nama ilmunya yang mengerikan, Nagapasa. Apalagi kalau golongan hitam yang lain ikut serta mengambil bagian dalam penyerbuan itu, maka pekerjaannya akan menjadi berat sekali. Di dalam laskarnya tak seorangpun yang akan dapat berhadapan seorang lawan seorang dengan Nagapasa itu. Kalau benar orang itu ada, ia sendiri harus menghadapinya dengan bantuan sepuluh atau duapuluh orang bersama-sama. Bahkan mungkin ia memerlukan lebih dari limapuluh orang, sedang yang separonya pasti akan binasa. Bahkan mungkin dirinya pun akan binasa. Dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba terasa betapa kecil kekuatan Lembu Sora kini. Kalau saja kakaknya, Gajah Sora, ada. Kalau saja ayahnya ada di antara laskarnya.
Kalau saja Arya Salaka….
“Tidak!” Tiba-tiba terdengar suara Lembu Sora tersentak.
Sawung Sariti terkejut. Ia menoleh kepada ayahnya.
“Apa yang ayah maksud?”
Lembu Sora menggeleng.
“Tak apa-apa.”
Meskipun jawaban itu sama sekali tidak memuaskannya, namun ia tidak bertanya lagi. Ia sendiri sedang sibuk berangan-angan. Apakah yang kira-kira akan dilakukan nanti. Sekali-kali ia menoleh kepada laskarnya yang mengalir tak putus-putusnya. Dengan tersenyum ia berkata dalam hatinya,
“Betapa kuatnya orang perorang dari golongan hitam, namun dengan ditimbuni mayat laskar Pamingit yang tak terhitung jumlahnya, mereka pasti akan ngeri juga.”

Memang, bagi Sawung Sariti jumlah korban dari laskarnya bukanlah soal. Meskipun demikian ia berpikir juga.
“Tetapi kalau terlalu banyak laskar ini akan berkurang nanti, dengan apa aku harus melawan Arya Salaka?”
Ia pun menjadi bimbang. Sawung Sariti sadar bahwa ia harus bertempur, sebab ia tahu benar bahwa orang hitam itu tak akan diajak berbaik hati. Ia sadar bahwa kalau selama ini mereka berdiam diri, bahkan dalam berbagai hal mereka membantunya, itu karena mereka mempunyai beberapa persamaan kepentingan.
Tetapi kemudian timbul pula angan-angannya,
“Ah, jumlah laskar anak itu, tak akan seberapa kuat.”
Ia mencoba membesarkan hatinya sendiri, meskipun setiap kali ia ingat kepada nama-nama Jaka Soka, Lawa Ijo, apalagi Nagapasa, mungkin juga Pasingsingan, Sima Rodra tua, Bugel Kaliki, hatinya berdesir. Tetapi ia mencoba untuk menyembunyikan perasaannya. Dan sekali lagi ia mencoba untuk membanggakan jumlah laskarnya.
“Satu seratus,” bisiknya di dalam hati.
“Laskarku pasti masih akan mempunyai banyak kelebihan.” Dengan demikian Sawung Sariti menjadi sedikit tenang. Sekali-kali ia menatap langit yang biru. Sehelai-helai awan yang putih mengalir ke utara, seperti kapuk dihanyutkan angin. Putih dan bersih. Tiba-tiba di balik awan yang bersih itu terbayang wajah Arya Salaka. Alangkah cekatan tangannya memainkan tombaknya. Disampingnya terbayang wajah yang meskipun memancarkan kesejukan hatinya, namun suatu ketika wajah itu cepat menyala melampui nyala api.
Mahesa Jenar.
Lalu apakah yang dapat dilakukan oleh seorang yang berwajah angker yang selalu berada bersama-sama dengan Mahesa Jenar? Orang itu ternyata pernah menggemparkan laskarnya, ketika ia melindungi Bantaran di tanah lapang, tempat orang-orang Banyubiru menyelenggarakan tayub. Lalu terkenanglah ia kepada Wanamerta yang tua. Yang pada masa kecilnya, pernah membelai kepalanya, mendukungnya di punggung dan memberinya buah-buahan yang segar. Ketika awan yang putih itu telah menjalar semakin jauh, muncullah segumpal awan yang lain. Tiba-tiba tampaklah seolah-olah memandangnya dengan segan seorang wanita, yang dikenalnya bernama Rara Wilis. Wanita inipun bukan wanita kebanyakan yang berlari seperti kijang apabila ia mendengar dentang senjata. Bahkan wanita ini pernah diketahuinya, bertempur di antara laskar Gedangan melawan laskarnya.

Yang muncul kemudian adalah wajah yang manis dari seorang gadis lincah. Endang Widuri. Ia melihat gadis ini pertama-tama di Karang Tumaritis. Tetapi kemudian di Gedangan, gadis ini dilihatnya pula sepintas. Namun, dalam pertemuan yang sebentar itu, tertanamlah suatu perhatian yang aneh kepadanya. Adakah gadis ini ikut serta di dalam laskar Arya Salaka? Agaknya gadis inipun mampu mempermainkan senjata. Ketika angin yang kencang bertiup dari pegunungan, awan yang putih itu pecah berserakan, seperti hati Sawung Sariti yang pecah pula. Nama-nama itu, Arya Salaka, Mahesa Jenar, Putut Karang Jati, Wanamerta, Rara Wilis dan Endang Widuri itupun pada suatu saat akan berdiri berhadapan untuk dilawannya.
Apakah pekerjaan ini lebih ringan daripada melawan orang-orang golongan hitam?
“Satu seratus.” Kembali Sawung Sariti berdesis di dalam hatinya.
“Tetapi bagaimana dengan rakyat Banyubiru?” Suara hatinya membantah sendiri,
“Mereka agaknya masih tetap menunggu kedatangan Arya Salaka. Dan merekapun pasti tak akan dapat diabaikan.”
“Persetan!” Tiba-tiba hati Sariti mengumpat.
“Semua harus aku musnahkan. Baik golongan hitam maupun Arya Salaka. Pamingit dan Banyubiru harus jatuh ke tanganku. Kemudian akan aku kuasai Kedu Bagelan. Ke utara sampai ke Bergoto. Apalagi kalau Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten telah berada di tanganku.”
Sawung Sariti tersenyum sendiri.
“Eyang akan tahu nanti, bahwa cucunya akan mampu menggulung dunia.” Suara itu mengumandang di dalam otaknya, dibarengi oleh mengumandangnya derap langkah laskarnya.

DI Banyubiru, sepeninggal laskar anaknya, Ki Ageng Sora Dipayana berdiri terpaku memandang debu yang mengepul di belakang laskar itu. Meskipun ia masih tegak di alun-alun, namun hatinya serasa pergi bersama-sama dengan pasukan yang akan menghadapi pekerjaan yang cukup berat. Melawan laskar golongan hitam. Setelah ekor dari iring-iringan telah lenyap di balik tukungan, barulah ia beranjak dari tempatnya, dan sambil menoleh kepada Mahesa Jenar ia berkata,
“Aku mengharap, bahwa peristiwa ini akan dapat mendorong anak itu menyadari keadaannya.”
Mahesa Jenar tidak menjawab, tetapi ia mengangguk.
“Marilah Angger…” ajak Ki Ageng Sora Dipayana,
“Kita kembali ke pendapa.”
“Aku sudah menduga bahwa golongan hitam akan mengambil kesempatan ini,” kata Mahesa Jenar ketika mereka telah duduk kembali di pendapa Banyubiru.
“Bagaimana Angger dapat mengetahuinya?” tanya Sora Dipayana, meskipun sebenarnya untuk menduga hal itu tidaklah sulit. “Bahkan aku hampir pasti,” jawab Mahesa Jenar,
“Karena itu aku berusaha sedapat mungkin untuk menunda pertempuran.”
Mahesa Jenar berhenti sejenak sambil memandangi wajah Arya. Tetapi anak itu menundukkan wajahnya. Kemudian terdengar Mahesa Jenar meneruskan,
“Namun darah yang mengalir di dalam tubuh anak-anak muda memang masih terlalu panas. Bahkan darah di dalam tubuhku inipun rasa-rasanya masih terlalu sering mendidih.”
Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum. Kebo Kanigara pun tersenyum. Kemudian Mahesa Jenar menceriterakan, apa yang selama ini dialaminya di sekitar Candi Gedong Sanga. Kehadiran gerombolan Lawa Ijo dan seorang berkuda yang meninggalkan tempatnya menghilang di balik cakrawala ketika orang itu melihat laskar Arya Salaka mendekati Banyubiru, kemarin.
“Golongan hitam pasti mengira bahwa pagi ini pertempuran sudah berkobar di Banyubiru antara laskar Kakang Lembu Sora melawan laskar Arya Salaka.”
Mahesa Jenar mengakhiri keterangannya.
“Angger benar,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana.
“Untunglah bahwa pertempuran di Banyubiru tertunda.”
“Tuhan Yang Maha Adil telah melaksanakan rencananya. Menyelamatkan rakyat Banyubiru dan Pamingit dari kekuasaan golongan hitam,” desis Mahesa Jenar.
“Andaikata pertempuran telah berkobar pagi ini, maka kedua laskar Pamingit dan Banyubiru akan sama-sama hancur. Pamingit hari ini telah jatuh ke tangan golongan hitam, lalu besok atau lusa Banyubiru inipun akan mereka telan habis.”

Arya masih berdiam diri. Namun kini membayang kembalilah di dalam pelupuk matanya, bagaimana gurunya berusaha mati-matian untuk menunda pertentangan yang mungkin terjadi antara laskarnya dengan laskar pamannya. Arya kini dapat menyadari sepenuhnya, bahaya apakah yang akan menimpa Pamingit dan Banyubiru apabila ia benar-benar terlibat dalam pertempuran dengan pamannya. Di dalam hati Arya berkali-kali mengucap syukur, serta berkali-kali ia menyebut kebesaran nama Tuhan yang telah menunda pertempuran itu. Dalam pada itu terasalah pada Arya Salaka beserta rombongannya, betapa Ki Ageng Sora Dipayana menjadi gelisah. Agaknya ia benar-benar tidak sampai hati melepaskan Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti pergi. Sebab iapun tahu bahwa golongan hitam itu mempunyai orang-orang yang tak akan dapat dilawan oleh anaknya, meskipun ia telah berusaha untuk menempa anak serta cucunya siang dan malam.
Orang tua itu akhirnya berkata,
“Arya Salaka. Meskipun kau telah berjanji untuk menunda persoalanmu sampai waktu yang tak ditentukan, tetapi aku minta kepadamu untuk mengawasi Banyubiru. Sebab siapa tahu, ada orang-orang yang akan mengambil kesempatan, mempergunakan kekosongan Banyubiru untuk memuaskan keinginan diri. Merampas dan merampok. Jagalah keamanan Banyubiru atas nama pamanmu Lembu Sora, sampai ada penjelasan yang mudah-mudahan tak perlu mempergunakan kekerasan.”
Bagaimanapun juga, terasa dada Arya berdesir ketika ia harus menjaga keamanan Banyubiru, tetapi atas nama pamannya. Meskipun demikian ia benar-benar tidak mau mengecewakan kakeknya. Karena itu ia menjawab,
“Baiklah Eyang. Aku akan menjaga Banyubiru sebaik-baiknya. Tidak hanya atas nama Paman Lembu Sora, tetapi atas nama ayah Gajah Sora.”

Mahesa Jenar menarik nafas, sedang Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum.
“Baiklah…” katanya,
“Jagalah keselamatannya. Aku terpaksa meninggalkan kalian. Bawalah sebagian dari laskarmu ke dalam kota, supaya kota ini tidak akan menjadi kota yang kosong, kota yang sama sekali tak berkekuatan senjata. Siapa tahu, kalau ada hal-hal yang gawat. Sebab golongan hitam itupun mempunyai otak-otak yang cukup berbahaya.”
“Baiklah Eyang,” jawab Arya,
“Akupun akan segera kembali ke tengah-tengah laskarku sebelum tengah hari. Aku akan menyerahkan sebagaian mereka. Tetapi biarlah Paman Wanamerta untuk sementara memimpin daerah ini. Aku akan tetap berada di antara anak buahku.”
Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-anggukan kepalanya. Ia benar-benar menjadi kagum kepada Arya, yang telah meluluhkan diri dengan laskarnya, sebagai ciri seorang pemimpin yang merasa dirinya satu dengan anak buahnya. Sedang Wanamerta menjadi terkejut karenanya.
Katanya,
“Apakah yang harus aku lakukan? Bukankah Cucu Arya Salaka telah berada di sini?”
“Aku akan menepati kata-kataku,” jawab Arya.
“Biarlah aku melepaskan persoalan ini sampai Paman Lembu Sora selesai. Namun demikian aku juga berjanji bahwa aku akan menyelenggarakan keamanannya sampai paman selesai.”
“Cucu tidak perlu menarik garis pemisah antara yang memerintah dan yang menyelenggarakan keamanannya,” Sahut Wanamerta, “Sebab seorang kepala daerah perdikan harus memegang kedua-duanya.

“TETAPI aku bukan kepala daerah perdikan, Eyang,” jawab Arya Salaka.
“Baiklah Wanamerta,” potong Sora Dipayana. Ia tahu benar perasaan apakah yang bergolak di dalam dada anak itu. Arya Salaka agaknya benar-benar segan untuk mewakili pamannya, sehingga baginya lebih baik untuk menyerahkannya saja kepada orang lain.
“Kau pun berhak untuk berlaku sebagai wakil Lembu Sora Wanamerta.”
Ki Ageng Sora Dipayana meneruskan.
“Hanya untuk beberapa saat. Aku kemudian akan datang kembali. Mencoba menyelesaikan masalah tanah ini.”
Wanamerta, setelah pembicaraan itu selesai, minta diri kepada Ki Ageng Sora Dipayana untuk menyusul anaknya ke Pamingit. Mungkin tenaganya akan sangat dibutuhkan untuk menemui tokoh-tokoh hitam dari angkatan tua. Sementara itu Arya Salaka segera akan kembali pula ke tengah-tengah laskarnya. Katanya,
“Eyang Wanamerta, biarlah eyang tinggal di sini. Aku akan datang kemudian dengan membawa beberapa orang yang akan membantu Paman di sini.”
Wanamerta tidak dapat berkata lain, kecuali mengiyakan. Maka sesaat kemudian berangkatlah Ki Ageng Sora Dipayana, menyusul laskar Pamingit, berkuda seorang diri. Sebagai seorang yang cukup berpengalaman, ia segera dapat mengetahui, apa yang harus dilakukan. Sedang Arya Salaka pun kemudian bersama-sama dengan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, juga meninggalkan kota dengan kuda masing-masing.

Hanya Wanamerta lah yang terpaksa ditinggalkan seorang diri di pendapa Banyubiru dengan dua tiga orang pengawal yang tak berarti, orang-orang Banyubiru yang selama ini ikut serta di dalam barisan Lembu Sora. Tetapi mereka sama sekali belum pandai memegang tangkai pedang. Ketika kemudian Wanamerta tinggal sendiri di pendapa itu, dipanggilnya salah seorang dari para pengawal itu, katanya,
“Kemarilah. Aku ingin mendapat keterangan dari kau.”
Orang itu menjadi ketakutan. Sebenarnya nyawa mereka serasa telah lepas sejak pasukan Pamingit meninggalkan Banyubiru. Mereka merasa seperti cacing yang dilepaskan di tengah-tengah abu hangat. Mereka menjadi takut, bahwa orang-orang Banyubiru akan balas dendam kepada mereka.
Tetapi agaknya wajah Wanamerta sama sekali tidak menakutkan. Karena itu salah seorang darinya datang mendekat dengan sangat hormatnya.
“Ada perintah, Kiai…?” ia bertanya.
“Kemarilah, duduklah,” kata Wanamerta. Orang itu ragu sebentar. Namun ia akhirnya naik, dan duduk di depan Wanamerta.
“Berapa orang kalian?” tanya Wanamerta.
“Tiga orang di regol Kiai, di ujung alun-alun tiga orang di setiap jalan masuk,” jawabnya.
“Siapakah pemimpinmu?” Wanamerta bertanya pula.
“Kerta Pitu,” jawab orang itu. Wanamerta mengangguk-angguk. Kemudian katanya,
“Jalankan pekerjaanmu baik-baik, tetaplah waspada. Laporkan yang perlu kepadaku.”
Orang itu mengangguk hormat.
“Baik Kiai,” jawabnya.
“Nah, kembalilah,” kata Wanamerta selanjutnya. Orang itupun segera kembali ke tempatnya. Seorang yang lain telah disuruh oleh Wanamerta memanggil Kerta Pitu untuk diberinya beberapa keterangan. Kerta Pitu harus menempatkan di setiap gardu penjagaan seorang berkuda yang harus menjadi penghubung setiap ada persoalan-persoalan penting.

Meskipun sebenarnya Wanamerta terlalu cemas, karena kira-kira limapuluh pengawal yang belum mampu untuk bertempur itu bagi Banyubiru adalah kekuatan yang sama sekali tak berarti. Beberapa orang yang telah cukup kuat, ternyata dibawa di dalam laskar Lembu Sora untuk memperkuat laskar Pamingit. Meski demikian Wanamerta menjadi sedikit tenang ketika diingatnya bahwa di perbatasan berbaris dalam kesiagaan tempur laskar Arya Salaka yang selalu akan menolongnya apabila bahaya datang. Malahan Arya Salaka telah menyanggupkan diri untuk membawa beberapa orang laskarnya ke dalam kota dan menjaga keselamatan tanah ini dari segala yang mungkin akan mengancam.
Tetapi ia harus menunggu sampai laskar itu datang. Mungkin malam nanti, mungkin besok pagi. Ia mengharap dalam waktu yang singkat tidak akan terjadi sesuatu. Ketika Wanamerta telah selesai memberikan beberapa petunjuk, serta Kerta Pitu telah meninggalkan pendapa itu untuk melaksanakan, Wanamerta pun masuk ke dalam rumah kepala daerah perdikan Banyubiru itu. Beberapa orang pelayan, yang berada di dalam rumah itu sejak masa Ki Ageng Gajah Sora, masih berada di rumah itu pula, sedang beberapa orang lain adalah orang-orang baru. Namun demikian, apa yang dilihatnya kini, adalah jauh berbeda dari kira-kira lima-enam tahun yang lalu. Dulu ia berada di dalam rumah itu seperti di dalam rumahnya sendiri. Bahkan ia telah mengenal dengan baik hampir segenap sudut-sudutnya.
Dulu, ketika Nyai Ageng Gajah Sora masih ada, tampaklah rumah ini bersih dan terawat rapi. Tetapi kini rumah itu menjadi seakan-akan tak berpenghuni. Tampaklah sarang labah-labah bergayutan di langit-langit, di setiap sudut dan bahkan hampir di setiap lekuk-lekuk dindingnya. Hitam-hitam langes dari lampu-lampu minyak, membekas mengotori dinding dan tiang-tiangnya.

MELIHAT perubahan itu Wanamerta menekan dadanya. Keadaan rumah ini benar-benar menggambarkan keadaan seluruh tanah perdikan Banyubiru. Kotor dan tak terawat. Tetapi ia tidak mempunyai wewenang untuk berbuat lebih jauh. Ia tidak berhak mengumpulkan para bahu, kepala-kepala dukuh dan para pamong desa lainnya. Ia tidak mempunyai kekuasaan untuk mengadakan peraturan-peraturan baru atau perubahan-perubahan apapun. Sebab ia hanya berada di rumah itu untuk sementara. Mungkin sangat singkat. Seandainya malam nanti Ki Ageng Lembu Sora telah selesai dengan pekerjaannya, besok mereka pasti akan datang kembali. Mungkin dengan pasukan, dan mungkin harus bertempur melawan orang itu. Karena itu, yang dapat dilakukan adalah membiarkan segala sesuatu berjalan seperti biasa. Ia hanya dapat memecahkan persoalan-persoalan yang timbul dalam batas-batas tertentu. Meskipun demikian, seandainya Lembu Sora memerlukan waktu yang lama dalam perlawannya atas orang-orang hitam itu, iapun bermaksud untuk berbuat lebih banyak lagi. Ketika hari semakin siang, dan terik matahari seperti membakar rumput di alun- alun, Wanamerta bermaksud untuk beristirahat. Tetapi baru saja ia meletakkan tubuhnya di bale-bale bambu di pringgitan rumah itu, terdengarlah seorang pengawal naik ke pendapa, sambil berdiri di depan pringgitan ia berkata,
“Kiai, seseorang ingin bertemu dengan Kiai.”
“Siapa?” tanya Wanamerta sambil bangkit.
“Sontani,” jawab orang itu.
“Sontani…?” ulang Wanamerta,
“Apakah keperluannya?”
“Ya, Sontani. Aku tak tahu apa yang akan disampaikan kepada Kiai. Ia ingin berbicara langsung,” jawab pengawal itu. Wanamerta berpikir sejenak. Apakah yang akan dilakukan? Barangkali ia akan membalas dendam sakit hatinya, ketika ia terpaksa menelan keadaan yang pahit di tanah lapang.
“Sendiri..?” tanya Wanamerta pula.
“Tidak Kiai,” jawab orang itu,
“Dengan anak-istrinya.”
“He…?” Wanamerta terkejut.
“Dengan anak-istrinya?” Orang itu mengangguk.
“Ya.”
“Baiklah, aku datang,” kata Wanamerta kemudian. Namun demikian ia masih ragu. Apakah maksud kedatangan orang itu. Kalau saja ia bermaksud jahat, tak akan ia membawa anak-istrinya. Meskipun demikian, iapun tidak boleh kehilangan kewaspadaan. Tetapi Sontani bukanlah orang yang harus ditakuti.

Ketika Wanamerta muncul di pintu, dilihatnya Sontani benar-benar dengan istri dan seorang anaknya duduk di pendapa. Demikian Sontani melihat Wanamerta, segera ia berlari terbongkok-bongkok dan langsung bertiarap di kaki orang tua itu, sambil berkata meratap,
“Kiai, ampunilah segala dosa-dosaku. Aku merasa bahwa aku telah bersalah terhadap Kiai, terhadap Banyubiru dan terhadap Anakmas Arya Salaka. Tetapi semuanya itu adalah karena terpaksa. Aku sebenarnya sama sekali tak ingin untuk sesuatu kedudukan apapun. Dan sekarang aku menyerahkan kembali semua jabatan yang pernah aku terima dari Lembu Sora, orang yang terkutuk itu. Orang yang telah merampas ketentraman hidup keluargaku. Sebab bagiku, segala jabatan itu tak akan berarti, selama aku tidak dapat menunjukkan kesetiaanku kepada kampung halaman ini. Biarlah Ki Bakung kembali kepada jabatannya, Bahu Lemah Abang. Dengan demikian Lemah Abang akan menjadi tentram kembali setelah Lembu Sora mengacaunya. Biarlah orang terkutuk itu disambar petir, atau mati dicincang oleh orang-orang dari Gunung Tidar atau Rawa Pening, atau ….”
Suara Sontani terputus oleh kata-kata Wanamerta,
“Jangan salahkan Lembu Sora, Sontani. Dan jangan kau umpati orang itu, sebab Lembu Sora adalah paman Arya Salaka. Putra Ki Ageng Sora Dipayana yang kita hormati.”
Sontani terkejut seperti disengat kelabang. Perlahan-lahan ia bangkit dan duduk di depan Wanamerta yang masih berdiri dipintu. Ia tidak tahu kenapa Wanamerta tidak mau mengutuk Lembu Sora. Bukankah Lembu Sora telah mengkhianati Banyubiru? Karena itu tiba-tiba keringat dingin mengalir di seluruh tubuh Sontani. Sontani menjadi bingung. Bagaimanakah tanggapan yang sebenarnya dari Wanamerta terhadap Lembu Sora? Ketika untuk beberapa saat Wanamerta masih berdiam diri, berkatalah Sontani dengan suara gemetar.
“Kiai, kenapa Kiai tidak mengutuk Lembu Sora yang telah memecah belah rakyat Banyubiru?”
“Lembu Sora telah berjuang untuk suatu cita-cita. Dihadapinya segala akibat dari perjuangannya. Ia tidak takut mati karena cita-citanya itu. Meskipun jalan yang ditempuhnya tidak benar, malahan bertentangan dengan keadilan, namun ia dapat dihormati karena keberaniannya,” jawab Wanamerta.

Kemudian ia melanjutkan,
“Sedang ada orang lain yang mencoba untuk mendapatkan keuntungan dari perjuangan Lembu Sora itu. Ia bersujud di bawah kakinya selagi kesempatan memungkinkan. Tetapi kalau keadaan menjadi suram, maka ia akan mencoba untuk menghindar, meloncat untuk menyesuaikan diri dengan keadaan baru. Seperti seekor bunglon yang dapat berwarna hitam kalau ia berada di cabang yang hitam, dan berwarna hijau kalau ia hinggap di atas daun-daun yang segar.”
Sontani benar-benar menjadi gemetar. Sekali dua kali ia menoleh kepada istri dan anaknya, yang memandangi dengan cemas. Tetapi Sontani masih belum berputus asa. Ketika Wanamerta masih tegak berdiri, dan memandang ke arah cahaya terik matahari yang berserak-serak dihalaman, maka tiba-tiba Sontani berkata,
“Kiai, entahlah apa yang dibawa oleh istriku. Barangkali Kiai akan dapat menerimanya dengan senang hati, sebagai persembahan seorang kawula yang setia mengabdi diri kepada Kiai.”
Wanamerta tidak sempat menjawab. Sontani dengan terbongkok-bongkok bangkit dan melangkah turun dari pendapa. Ketika ia naik lagi, di tangannya telah tersangkut sebuah bungkusan yang besar.
“Kiai…” katanya setelah ia berjongkok kembali di hadapan Wanamerta,
“Terimalah tanda kesetiaanku ini.

WANAMERTA memandang Sontani dengan pandangan yang kosong. Ia bersedih hati, ketika ia melihat kenyataan bahwa di Banyubiru ada seseorang yang berjiwa seperti orang yang berjongkok dihadapannya itu. Ia lebih hormat kepada Lembu Sora, kepada Sawung Sariti, yang dengan gigih bekerja keras untuk mencapai tempat yang setinggi-tingginya buat dirinya sendiri, meskipun berdosalah mereka yang mengorbankan orang lain untuk kepentingan dan kesenangan diri. Wanamerta masih belum berkata apapun ketika Sontani membuka bungkusan itu dengan penuh harapan. Kalau Wanamerta berkenan dihatinya, ia pasti dapat mempengaruhi Arya Salaka. Mungkin ia tidak akan mendapat sesuatu hukuman, bahkan mungkin ia akan tetap berada pada kedudukan yang sekarang, Bahu di Lemah Abang.
Ketika bungkusan itu telah terbuka, Wanamerta melihat beberapa potong kain lurik didalamnya. Bahkan ia melihat sehelai sutera yang bagus dan mahal. Ia melihat sebuah pendok keris dari emas, dan beberapa benda-benda lain yang berharga.
“Kiai”, Sontani meminta,
“adalah suatu karunia yang tiada taranya kalau Kiai sudi menerima barang-barang yang sama sekali tak berarti ini.”
Hati Wanamerta menjadi bertambah suram. Dan kesuraman hatinya itu terbayang diwajahnya. Sekali lagi ia memandang bungkusan itu. Ketika berkilat cahaya intan dibalik lipatan kain-kain itu, hatinya berdesir. Agaknya Sontani membawa pula timang tretes intan berlian.
“Alangkah banyaknya barang-barang yang kau bawa Sontani”, berkata Wanamerta. Sontani menjadi bergembira mendengar perhatian itu. Apakah artinya barang- barang itu dibanding dengan nyawanya?
“Tidak seberapa Kiai. Aku bukanlah orang yang cukup kaya untuk mempersembahkan barang-barang yang cukup bernilai”, jawab

Sontani. Harapannya tiba-tiba menjadi tumbuh.
“Hampir seluruh umurku aku bekerja keras. Namun aku tak akan mampu mendapatkan barang-barang yang kau bawa itu”, sahut Wanamerta.
“Mudah-mudahan lain kali aku dapat menambahnya dengan barang-barang yang tak bernilai lainnya”, jawabnya. Ia mengharap Wanamerta membungkuk dan membuka lipatan-lipatan kain, mengamat-amati pendok emas dan timang tretes intan berlian itu. Tetapi untuk beberapa saat Wanamerta masih tegak seperti tiang-tiang pendapa rumah itu, sehingga akhirnya Sontani menjadi bingung. Bajunya telah basah oleh keringat yang mengalir semakin deras. Kemudian Sontani menjadi kecewa. Sangat kecewa, ketika Wanamerta berkata,
“Sontani, darimanakah kau dapatkan barang-barang itu?”.
“Aku telah bekerja keras selama ini Kiai”, jawab Sontani terbata-bata.
“Aku juga bekerja keras selama ini. Bantaran juga, Penjawi, Sendang Papat, Jaladri dan orang-orang lain. Tetapi mereka tidak dapat, jangankan benda-benda serupa itu, sebagian kecilpun tak dimilikinya”, berkata Wanamerta. Sontani menjadi bingung. Ia tidak tahu apa yang akan dikatakan. Dalam kebingungan itu terdengarlah Wanamerta berkata,
“Sontani, aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas pemberianmu itu”, Wanamerta berhenti sejenak, sedang Sontani menengadahkan wajahnya. Tetapi Wanamerta meneruskan,
“Namun sayang, aku tak dapat menerimanya. Serahkanlah barang-barang itu kembali kepada asalnya. Bukankah kau dapat membeli barang-barang itu karena kau menjabat Bahu Lemah Abang. Karena kau memeras rakyat Lemah Abang untuk kepentinganmu dan kepentingan Lembu Sora? Bukankah kau dapatkan barang-barang itu karena rakyatmu kelaparan? Nah Sontani. Kalau kamu ingin menebus kesalahanmu, setidak-tidaknya mengurangi, kembalikan barang-barang itu. Kepada mereka yang berhak. Tidak kepadaku. Tidak kepada cucu Arya Salaka.” Sontani menjadi semakin bingung. Mulutnya kini benar-benar terkunci. Ia masih berjongkok pada kedua lututnya dengan gemetar, dan Wanamerta masih berdiri dipintu pringgitan.
“Sontani”, terdengar kembali suara Wanamerta,
“ada seribu jalan yang dapat kau tempuh untuk menyerahkan kembali barang-barangmu itu. Kau dapat membantu mereka dengan alat-alat pertanian. Kau dapat mendirikan untuk mereka gubug-gubug yang lebih baik, banjar-banjar desa dan tempat ibadah yang layak.”

Mendengar kata-kata Wanamerta itu, jantung Sontani serasa membeku dan darahnya serasa berhenti mengalir. Tetapi nafasnya satu-satu berloncatan lewat lubang-lubang hidungnya. Betapa panas udara siang ini, namun rasa-rasanya hembusan nafasnya jauh lebih panas dari panasnya udara. Tiba-tiba terdorong oleh kegelisahan yang bergelora didalam dadanya ia berkata putus-putus, “Tetapi, tetapi Kiai, bukankah Kiai memerlukan barang-barang ini?”
Wanamerta menggeleng lemah, jawabnya,
“Tidak, Sontani.” Dalam kebingungan Sontani mendesak,
“Kiai, bukankah Kiai sendiri berkata bahwa Kiai tidak pernah dapat memiliki barang-barang serupa ini meskipun Kiai bekerja keras dan membanting tulang hampir seumur hidup Kiai. Dan sekarang aku datang untuk mengantarkannya kepada Kiai. Bukankah waktu yang pendek ini akan jauh lebih berharga daripada hampir seumur hidup Kiai?” Wanamerta menarik nafas. Perlahan-lahan terdengar ia menjawab,
“Sontani, kau dan aku mempunyai perbedaan kebutuhan dalam menjalani hidup ini. Aku merasa berbahagia karena aku tidak akan dapat memiliki benda-benda serupa itu. Sebab dalam kemiskinan, aku akan dapat menikmati kekayaan. Miskin akan benda-benda duniawi, tetapi aku merindukan kekayaan dihari-hari yang abadi. Sebab kekayaan duniawi melulu, tak akan ada artinya di harapan Tuhan Yang Maha Esa, yang telah menentukan akan datangnya masa, dimana manusia bertanggungjawab kepada-Nya.”

WANAMERTA kembali melanjutkan kata-katanya,
“Kau agaknya telah terjerumus ke dalam kekuasaan nafsu duniawi. Tetapi kau tak akan pernah merasa bahagia karenanya. Bahagia yang abadi. Kebaktian kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan pengabdian kepada titah yang dikasihi-Nya, manusia. Dengan demikian hidupmu akan menjadi terasing. Terasing dari rasa kasih. Kasih antara manusia dan kasih yang dilimpahkan Tuhan kepadamu. Karena itulah maka kau semakin dalam membenamkan dirimu ke dalam timbunan benda-benda serupa itu.”
Sontani merasa seolah-olah terlempar ke dalam suatu keadaan yang tak dikenalnya. Hitam dan kelam. Tetapi di titik yang sangat jauh tampaklah cahaya yang terang menyorot langsung ke dalam jiwanya. Cahaya itu semakin lama menjadi semakin tenang, bahkan kemudian ia menjadi silau karenanya.
Akhirnya sekali lagi ia bertiarap di hadapan kaki Wanamerta. Kali ini ia benar-benar tak dapat menahan keharuannya. Sontani, yang pernah menjabat Bahu pedukuhan Lemah Abang, yang pernah dengan kekerasan mendesak kedudukan Kiai Bakung itu, tiba-tiba menangis tersedu-sedu. Dengan kedua belah tangannya ia menutup wajahnya. Ia menjadi sangat malu karena usahanya untuk menyuap Wanamerta. Wanamerta sadar bahwa kata-katanya tepat menyentuh perasaan Sontani, maka ia meneruskan,
“Sontani. Pulanglah. Bawalah benda-benda yang sama sekali tidak berarti bagiku itu. Kembalikan mereka kepada yang berhak dengan bijaksana. Cepatlah sebelum Arya Salaka datang dan melihat caramu yang sama sekali tidak disukainya itu. Ia masih terlalu muda untuk dapat berbuat seperti aku.”

Sontani perlahan-lahan bangkit dan duduk bersila di hadapan orang tua itu. Anak-istrinya yang gelisah, memandanginya dengan penuh pertanyaan di dalam kepalanya. Ketika detak jantung Sontani telah menjadi tenang kembali, maka hatinya menjadi tenang. Tiba-tiba ia menjadi tidak takut lagi kepada Wanamerta, juga kepada Arya Salaka. Tidak takut untuk menerima dendamnya. Di dalam dadanya, kini tersimpanlah suatu tekad untuk menebus nodanya. Meskipun seandainya ia harus digantung di tengah-tengah beringin kurung.
“Kiai…” katanya kemudian,
“Aku akan pulang ke Lemah Abang. Aku akan coba untuk memenuhi pesan Kiai Wanamerta. Menyerahkan kembali barang-barang ini kepada yang berhak. Seterusnya, seandainya Anakmas Arya Salaka datang, dan menghendaki hukuman atas pengkhianatanku, aku tidak akan membela diri. Apapun yang akan ditimpakan atasku, akan aku jalani dengan ikhlas, meskipun seandainya aku akan dihukum mati.”
Wanamerta menggeleng. Jawabnya,
“Percayalah Sontani. Darah Banyubiru bukanlah darah yang haus akan pembalasan dendam dan pembunuh. Mungkin kau akan terbunuh oleh pedang yang bersarang di dalam dadamu, seandainya kau tetap pada pendirianmu. Tetapi kau telah menemukan jalan kembali. Kembalilah. Tuhan Maha Pengampun.”
Sekali lagi Sontani bersujud di hadapan Wanamerta. Tetapi Wanamerta menahannya, dan dengan ramah ia berkata,
“Jangan bersujud kepadaku. Duduklah bersama anak dan istrimu, aku akan duduk bersama-sama dengan kalian.”

Tetapi Sontani menolaknya. Ia akan meninggalkan pendapa itu sebelum Arya Salaka datang seperti yang dinasihatkan oleh Wanamerta. Sehingga dengan demikian iapun segera minta diri beserta anak-istrinya yang sama sekali tidak mengerti persoalan yang bergolak di dada suaminya. Sepeninggal Sontani, kembali Wanamerta membaringkan dirinya untuk beristirahat. Terbayanglah betapa kemunduran lahir dan batin dari tanah perdikan ini. Sontani adalah salah satu dari sekitar banyak orang yang kehilangan kepribadiannya. Mungkin masih banyak orang lain yang justru lebih parah daripadanya. Ketika kemudian ia tertidur karena lelahnya, mendadak ia terbangun oleh derap kaki kuda. Cepat ia bangkit dan meloncat ke pintu. Ia masih sempat melihat seekor kuda lari dengan kencangnya memasuki halaman. Kemudian seorang pengawal meloncat turun dan langsung datang kepadanya. Dengan tergesa-gesa pengawal itu berkata,
“Kiai, laskar di perbatasan bergerak mendekati kota.”
Wanamerta tidak terkejut karenanya. Ia tahu persis, laskar Arya Salaka yang akan membantu mengamankan kota. Karena itu ia bertanya,
“Semua…?”
“Tidak Kiai,” jawab orang itu.
“Hanya sebagian.”
“Kau tahu, siapa pemimpinnya?” tanya Wanamerta pula.
“Entahlah,” jawab orang itu sambil menggeleng.
“Jemputlah mereka, dan bawalah mereka kemari,” kata Wanamerta kemudian.

Orang itu ragu sebentar, tetapi kemudian iapun segera berangkat melakukan perintah itu. Di sepanjang jalan, hatinya diliputi oleh kecemasan, seperti pada saat ia melihat laskar Pamingit meninggalkan kota.
Apakah yang akan dilakukan oleh laskar di perbatasan itu atasnya, dan atas orang-orang Banyubiru yang lain, yang ikut serta dalam kelaskaran Lembu Sora…? Ketika ia melewati gardu penjagaan kedua, tiga orang yang bertugas di gardu itu telah menghilang. Pengawal berkuda itu tahu bahwa mereka akan berusaha menyembunyikan diri mereka, karena mereka takut akan pembalasan. Dengan demikian pengawal itu menjadi semakin ragu. Dalam keraguan itu kudanya berlari terus. Maka sebelum ia mengambil keputusan, pengawal itu telah sampai di gardu pertama. Ia menjadi berlega hati ketika di gardu itu, masih dilihatnya empat orang berjaga-jaga.
Untuk meyakinkan pendiriannya, pengawal itu berhenti sejenak.
Kepada orang-orang di gardu itu ia berkata,
“Gardu kedua telah kosong.”
“Kosong?” tanya orang-orang di gardu pertama itu.
“Kenapa?”
“Aku kira mereka takut,” jawab pengawal berkuda itu.
“Takut apa?” tanya orang-orang di gardu.
“Kalau laskar Arya Salaka itu datang, ada kemungkinan mereka akan ditangkap dan dihukum. Juga kita semua,” jawabnya. 

TIBA-TIBA salah seorang dari mereka berempat itu tertawa. Dengan lantang ia berkata,
“Jangan takut. Mereka tidak akan berbuat apa-apa selama mereka masih berada di bawah pimpinan Arya Salaka.”
“Kau yakin?” tanya pengawal berkuda itu.
“Jangankan kita, orang-orang Banyubiru. Terhadap orang Pamingit pun Arya Salaka tidak berbuat sesuatu.
Pimpinan gardu ini semalam telah mengalami perlakuan yang tak disangka-sangka dari Arya Salaka. Meskipun orang itu dibawa serta, namun ia akhirnya kembali dengan selamat, justru pada saat kita telah memukul tanda bahaya untuk menangkap anak muda itu.” Pengawal yang masih duduk di atas kudanya itu masih ragu-ragu juga. Ia mendatangi orang yang berceritera itu, yang tidak lain adalah Ira, dengan sorot mata yang bertanya-tanya. Sehingga terdengar Ira menjelaskan,
“Aku menjadi jaminan bagi kalian. Kalau orang-orang yang ikut serta dalam laskar Arya Salaka itu mendendam kalian, akulah yang pertama-tama akan naik ke tiang gantungan.”
Orang yang bertugas untuk menjemput laskar yang semakin lama semakin dekat itupun menjadi percaya, meskipun hatinya masih gelisah.
“Baiklah…” katanya,
“Mudah-mudahan katamu benar.”
Kemudian ia memacu kudanya kembali, ke arah kepulan debu putih di depan mereka. Kuda itupun melemparkan debu yang putih pula, yang kemudian lenyap dihembus angin pegunungan. Semakin dekat orang berkuda itu dengan barisan yang mendatang, hatinya menjadi semakin gelisah. Ketika kudanya telah berada beberapa ratus langkah lagi, ia menghentikannya. Kembali ia menjadi ragu-ragu. Jangan-jangan orang-orang yang berada di dalam barisan itu akan bersama-sama menyerangnya dan beramai-ramai mencincangnya sebagai seorang pengkhianat.

Tetapi kalau diingatnya kata-kata Ira, ia menjadi agak tenang. Ketika barisan yang mendatang itu sudah semakin dekat, orang itu mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi sebagai suatu pernyataan bahwa ia tidak sedang menggenggam senjata. Di ujung barisan itu, seorang anak muda yang duduk di atas punggung kuda mengangkat tangannya pula. Melihat anak muda itu, dada pengawal itu berdesir. Ia tidak salah lagi. Pasti anak muda itulah Arya Salaka. Dengan demikian ia menjadi berdebar-debar. Di samping anak muda itu, dilihatnya seorang gadis yang juga duduk di punggung kuda. Tetapi ketika ia melihat seorang yang berjalan dibelakangnya, kembali ia menjadi gelisah. Orang itu adalah Bantaran. Ketika barisan itu sudah semakin dekat lagi, meloncatlah ia turun dari kuda, dan dengan hormatnya ia membungkukkan dirinya. Arya memandang orang itu dengan seksama. Ia pun mengangguk.
“Tuan…” kata pengawal itu dengan hormatnya,
“Aku menjalankan perintah Kiai Wanamerta untuk menjemput Tuan, dan membawa Tuan ke halaman rumah Ki Ageng Lembu Sora.”
Arya menggelengkan kepalanya. Jawabnya,
“Haruskah aku pergi ke Pamingit?” Pengawal itu menjadi heran, jawabnya,
“Tidak Tuan. Rumah Ki Ageng Lembu Sora di Banyubiru.”
“Adakah Ki Ageng Lembu Sora mempunyai rumah di Banyubiru?” tanya Arya.
“Ada Tuan, di sebelah alun-alun,” jawab pengawal itu. Ia menjadi bingung oleh pertanyaan Arya.
“Rumah itu adalah rumahku. Bukan rumah Ki Ageng Lembu Sora,” jawab Arya.
Berdentanglah jawaban Arya Salaka itu ditelinganya. Benar, rumah itu memang milik rumah Ki Ageng Gajah Sora. Maka dengan cepatnya ia membetulkan kata-katanya,
“Tuan benar. Kiai Wanamerta menunggu Tuan di rumah Tuan sendiri.”
“Apakah kau dari laskar Paman Lembu Sora?” tanya Arya. Pertanyaan itu sungguh tidak menyenangkan. Tetapi itu adalah karena kesalahannya. Sebab selama ini ia memang menganggap bahwa rumah itu adalah rumah Ki Ageng Lembu Sora. Pengawal itu menjadi gelisah. Badannya mulai dialiri oleh keringat dingin dari punggungnya. Ternyata dalam keadaan yang sulit itu ia kurang berhati-hati. Ia merasa bahwa ia telah menggali lubang untuk dirinya sendiri. Akhirnya ketika ia tak dapat berbuat lain maka iapun menjawab, “Ya, Tuan.” Suaranya gemetar.

Kini ia tinggal menunggu apakah yang akan dilakukan oleh anak muda itu, atau oleh orang yang berdiri di belakangnya, atau oleh seluruh barisan itu. Mungkin mereka akan melemparinya dengan batu sampai mati, atau mungkin mengikatnya di belakang kuda itu dan menariknya sepanjang jalan. Tetapi kalau demikian, ia tidak berteriak di gardu pertama, bahwa Ira-lah yang pertama-tama akan naik ke tiang gantungan. Ketika untuk beberapa saat Arya Salaka masih berdiam diri, ia menjadi semakin tegang dan gelisah. Sekali-kali ia mencuri pendang ke arah wajah anak muda itu, namun ia tidak dapat mengetahuinya, apakah yang tersirat di wajahnya itu. Tiba-tiba di dalam kegelisahannya ia mendengar jawaban yang mengejutkan, bahkan hampir tak dipercayainya.
“Marilah. Naiklah ke punggung kudamu. Berjalanlah di depan.” Untuk sesaat ia terpaku. Dengan termangu-manggu ia memandang Arya Salaka yang masih duduk di atas kudanya dengan tenang. Ketika tampak wajah anak muda itu tanpa berkesan kemarahan, barulah ia percaya pada telinganya.
Perlahan-lahan ia mendekati kudanya, dan meloncat ke atasnya. Karena getar kakinya, maka barulah loncatan kedua ia berhasil duduk di punggung kudanya. Kemudian perlahan-lahan pula ia memutar kuda itu dan berjalan mendahuluinya. Kembali barisan itu berjalan maju mendekati kota. Akhirnya mereka sampai juga di gardu pertama. Keempat penjaganya berdiri berjajar dengan tegak. Ira lah yang bertanggung jawab atas keselamatan mereka, sehingga meskipun dengan gemetar mereka tidak melarikan diri. Arya melihat keempat orang itu. Tetapi ia tidak berbuat sesuatu. Bahkan ia segera dapat mengenal Ira. Dengan tersenyum ia berkata,
“Ira, tidakkah kau ikut Paman Lembu Sora ke Pamingit?”

IRA membungkuk hormat. Lalu jawabnya,
“Tidak Tuan. Aku lebih senang menunggu kedatangan Tuan di sini.”
“Terima kasih,” jawab Arya,
“Agaknya Paman Lembu Sora memang tak memerlukan kau.”
“Aku bersenang hati kalau demikian,” jawab Ira.
“Tetapi kau tidak akan bersenang hati kalau itu terjadi kemarin atau lusa,” sahut Arya Salaka.
Ira diam. Memang ia tidak akan bersenang hati. Sebab dengan demikian berarti ia kehilangan mata pencahariannya. Sungguh lucu. Tetapi ia diam saja. Ia tidak berkata apa-apa ketika Arya menjadi bertambah jauh. Ia melihat di belakang Arya Salaka itu seorang yang baginya sangat menakutkan. Bantaran. Mudah-mudahan Bantaran pun tidak mendendamnya. Akhirnya barisan itu sampai juga di halaman rumah kepala perdikan Banyubiru. Wanamerta menerima mereka dengan perasaan lega. Kalau ada apa-apa kini, ia tidak cemas lagi. Segera dipersilakannya Arya Salaka naik ke pendapa. Di samping Arya Salaka, duduk dengan wajah yang cerah, putri Kebo Kanigara, Endang Widuri. Ia mendapat izin dari ayahnya untuk mengikuti anak muda itu mengantarkan laskarnya ke Banyubiru. Kemudian Bantaran duduk bersama mereka. Sesudah mereka mengadakan pembicaraan singkat, segera Bantaran membagi pekerjaan kepada laskarnya yang berjumlah 100 orang itu. Mereka disebar di seluruh kota dengan pesan, pekerjaan mereka adalah mengamankan dan melindungi rakyat Banyubiru. Bukan menakut-nakuti.

Terhadap laskar Banyubiru yang ditinggalkan oleh Lembu Sora, mereka harus bersikap baik. Dengan demikian mereka harus memberi kesan, bahwa kehadiran mereka benar-benar memberikan suasana baru. Suasana yang tenang, tentram dan damai.
“Kalian kali ini adalah tenaga-tenaga suka rela untuk membantu Ki Ageng Lembu Sora menjaga ketentraman tanah ini. Namun kalian harus menunjukkan bahwa kalian mempunyai tanggungjawab atas pekerjaan kalian. Kalian harus membuktikan bahwa jiwa kalian berbeda dengan jiwa laskar Ki Ageng Lembu Sora sendiri. Junjung tinggi namamu dan nama pemimpinmu.”
Arya Salaka menekankan setiap kata kepada laskarnya. Ketika laskar itu mulai berpencaran, terdengarlah suara riuh hampir di seluruh jalan-jalan di dalam kota. Rakyat Banyubiru menyambut kedatangan laskar itu dengan keriangan yang bergelora. Mereka melihat laskar yang berjalan dalam kelompok-kelompok kecil itu sebagai pelindung mereka. Kecuali laskar yang diserahkan kepada Wanamerta, yang dipimpin langsung oleh Bantaran, Arya Salaka telah menugaskan Penjawi dan Jaladri untuk pergi ke Pamingit. Mereka mendapat tugas untuk mengetahui, sampai di mana kekuatan golongan hitam. Mereka harus menyaksikan pertempuran yang terjadi antara laskar Lembu Sora dan laskar hitam, dan kemudian kembali kepada Arya Salaka untuk melaporkan hasilnya. Malam itu Arya dan Endang Widuri bermalam di rumah Arya yang telah ditinggalkan hampir enam tahun. Banyaklah yang dapat diceriterakan kepada gadis itu tentang rumah ini. Ia dapat menunjukkan di mana ia pada saat itu berhasil membunuh seorang yang akan mengambil pusaka-pusaka simpanan ayahnya, namun ia sendiri terpukul dan pingsan karenanya. Ia dapat menunjukkan pula, ke mana ia melarikan diri ketika tiba-tiba rumah ini diserang oleh laskar yang tak dikenalnya. Ketika ia telah berhasil membunuh salah seorang dari mereka, tiba-tiba ia dikeroyoknya. Untunglah Penjawi datang tepat pada saatnya.


<<< Bagian 070                                                                                              Bagian 072 >>>

No comments:

Post a Comment