MEREKA mendapat tugas untuk mengawasi laskar Pamingit itu, memimpin mereka dan mengolah mereka, disamping Lembu Sora dan Sawung Sariti sendiri. Kepada merekalah Lembu Sora meletakkan harapannya atas laskarnya. Namun demikian, di sepanjang perjalanan itu kepada Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti selalu dikejar-kejar oleh berbagai persoalan. Selain perasaan marah yang membakar dadanya, melontar pula kecemasan di hatinya. Siapa sajakah yang turut serta di dalam laskar yang menduduki Pamingit itu?
Yang sudah
jelas baginya, adalah Joko Soka dari Nusakambangan. Betapa bencinya ia kepada
bajak laut yang gila itu. Kalau saja tak ada gerombolan lain yang membantunya,
maka ia yakin bahwa Jaka Soka bukanlah beban yang terlalu berat baginya. Ia
yakin bahwa jumlah laskarnya akan terlampau besar untuk menghadapi Ular Laut
itu. Tetapi adakah gurunya ikut serta.
Nama Nagapasa
adalah nama yang cukup menggetarkan. Meskipun nama itu telah lama tenggelam,
namun setiap orang tahu, bahwa Jaka Soka adalah murid dari bajak tua yang terkenal
dengan nama ilmunya yang mengerikan, Nagapasa. Apalagi kalau golongan hitam
yang lain ikut serta mengambil bagian dalam penyerbuan itu, maka pekerjaannya
akan menjadi berat sekali. Di dalam laskarnya tak seorangpun yang akan dapat
berhadapan seorang lawan seorang dengan Nagapasa itu. Kalau benar orang itu
ada, ia sendiri harus menghadapinya dengan bantuan sepuluh atau duapuluh orang
bersama-sama. Bahkan mungkin ia memerlukan lebih dari limapuluh orang, sedang
yang separonya pasti akan binasa. Bahkan mungkin dirinya pun akan binasa. Dalam
keadaan yang demikian, tiba-tiba terasa betapa kecil kekuatan Lembu Sora kini.
Kalau saja kakaknya, Gajah Sora, ada. Kalau saja ayahnya ada di antara
laskarnya.
Kalau saja
Arya Salaka….
“Tidak!”
Tiba-tiba terdengar suara Lembu Sora tersentak.
Sawung Sariti
terkejut. Ia menoleh kepada ayahnya.
“Apa yang ayah
maksud?”
Lembu Sora
menggeleng.
“Tak apa-apa.”
Meskipun
jawaban itu sama sekali tidak memuaskannya, namun ia tidak bertanya lagi. Ia
sendiri sedang sibuk berangan-angan. Apakah yang kira-kira akan dilakukan
nanti. Sekali-kali ia menoleh kepada laskarnya yang mengalir tak
putus-putusnya. Dengan tersenyum ia berkata dalam hatinya,
“Betapa
kuatnya orang perorang dari golongan hitam, namun dengan ditimbuni mayat laskar
Pamingit yang tak terhitung jumlahnya, mereka pasti akan ngeri juga.”
Memang, bagi
Sawung Sariti jumlah korban dari laskarnya bukanlah soal. Meskipun demikian ia
berpikir juga.
“Tetapi kalau
terlalu banyak laskar ini akan berkurang nanti, dengan apa aku harus melawan
Arya Salaka?”
Ia pun menjadi
bimbang. Sawung Sariti sadar bahwa ia harus bertempur, sebab ia tahu benar
bahwa orang hitam itu tak akan diajak berbaik hati. Ia sadar bahwa kalau selama
ini mereka berdiam diri, bahkan dalam berbagai hal mereka membantunya, itu
karena mereka mempunyai beberapa persamaan kepentingan.
Tetapi
kemudian timbul pula angan-angannya,
“Ah, jumlah
laskar anak itu, tak akan seberapa kuat.”
Ia mencoba
membesarkan hatinya sendiri, meskipun setiap kali ia ingat kepada nama-nama Jaka
Soka, Lawa Ijo, apalagi Nagapasa, mungkin juga Pasingsingan, Sima Rodra tua,
Bugel Kaliki, hatinya berdesir. Tetapi ia mencoba untuk menyembunyikan
perasaannya. Dan sekali lagi ia mencoba untuk membanggakan jumlah laskarnya.
“Satu
seratus,” bisiknya di dalam hati.
“Laskarku
pasti masih akan mempunyai banyak kelebihan.” Dengan demikian Sawung Sariti
menjadi sedikit tenang. Sekali-kali ia menatap langit yang biru. Sehelai-helai
awan yang putih mengalir ke utara, seperti kapuk dihanyutkan angin. Putih dan
bersih. Tiba-tiba di balik awan yang bersih itu terbayang wajah Arya Salaka.
Alangkah cekatan tangannya memainkan tombaknya. Disampingnya terbayang wajah
yang meskipun memancarkan kesejukan hatinya, namun suatu ketika wajah itu cepat
menyala melampui nyala api.
Mahesa Jenar.
Lalu apakah
yang dapat dilakukan oleh seorang yang berwajah angker yang selalu berada
bersama-sama dengan Mahesa Jenar? Orang itu ternyata pernah menggemparkan
laskarnya, ketika ia melindungi Bantaran di tanah lapang, tempat orang-orang
Banyubiru menyelenggarakan tayub. Lalu terkenanglah ia kepada Wanamerta yang
tua. Yang pada masa kecilnya, pernah membelai kepalanya, mendukungnya di
punggung dan memberinya buah-buahan yang segar. Ketika awan yang putih itu
telah menjalar semakin jauh, muncullah segumpal awan yang lain. Tiba-tiba
tampaklah seolah-olah memandangnya dengan segan seorang wanita, yang dikenalnya
bernama Rara Wilis. Wanita inipun bukan wanita kebanyakan yang berlari seperti
kijang apabila ia mendengar dentang senjata. Bahkan wanita ini pernah
diketahuinya, bertempur di antara laskar Gedangan melawan laskarnya.
Yang muncul
kemudian adalah wajah yang manis dari seorang gadis lincah. Endang Widuri. Ia
melihat gadis ini pertama-tama di Karang Tumaritis. Tetapi kemudian di Gedangan,
gadis ini dilihatnya pula sepintas. Namun, dalam pertemuan yang sebentar itu,
tertanamlah suatu perhatian yang aneh kepadanya. Adakah gadis ini ikut serta di
dalam laskar Arya Salaka? Agaknya gadis inipun mampu mempermainkan senjata.
Ketika angin yang kencang bertiup dari pegunungan, awan yang putih itu pecah
berserakan, seperti hati Sawung Sariti yang pecah pula. Nama-nama itu, Arya
Salaka, Mahesa Jenar, Putut Karang Jati, Wanamerta, Rara Wilis dan Endang
Widuri itupun pada suatu saat akan berdiri berhadapan untuk dilawannya.
Apakah
pekerjaan ini lebih ringan daripada melawan orang-orang golongan hitam?
“Satu
seratus.” Kembali Sawung Sariti berdesis di dalam hatinya.
“Tetapi
bagaimana dengan rakyat Banyubiru?” Suara hatinya membantah sendiri,
“Mereka agaknya
masih tetap menunggu kedatangan Arya Salaka. Dan merekapun pasti tak akan dapat
diabaikan.”
“Persetan!”
Tiba-tiba hati Sariti mengumpat.
“Semua harus
aku musnahkan. Baik golongan hitam maupun Arya Salaka. Pamingit dan Banyubiru
harus jatuh ke tanganku. Kemudian akan aku kuasai Kedu Bagelan. Ke utara sampai
ke Bergoto. Apalagi kalau Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten telah berada di
tanganku.”
Sawung Sariti
tersenyum sendiri.
“Eyang akan
tahu nanti, bahwa cucunya akan mampu menggulung dunia.” Suara itu mengumandang
di dalam otaknya, dibarengi oleh mengumandangnya derap langkah laskarnya.
DI Banyubiru,
sepeninggal laskar anaknya, Ki Ageng Sora Dipayana berdiri terpaku memandang
debu yang mengepul di belakang laskar itu. Meskipun ia masih tegak di
alun-alun, namun hatinya serasa pergi bersama-sama dengan pasukan yang akan
menghadapi pekerjaan yang cukup berat. Melawan laskar golongan hitam. Setelah
ekor dari iring-iringan telah lenyap di balik tukungan, barulah ia beranjak
dari tempatnya, dan sambil menoleh kepada Mahesa Jenar ia berkata,
“Aku
mengharap, bahwa peristiwa ini akan dapat mendorong anak itu menyadari
keadaannya.”
Mahesa Jenar
tidak menjawab, tetapi ia mengangguk.
“Marilah
Angger…” ajak Ki Ageng Sora Dipayana,
“Kita kembali
ke pendapa.”
“Aku sudah menduga
bahwa golongan hitam akan mengambil kesempatan ini,” kata Mahesa Jenar ketika
mereka telah duduk kembali di pendapa Banyubiru.
“Bagaimana
Angger dapat mengetahuinya?” tanya Sora Dipayana, meskipun sebenarnya untuk
menduga hal itu tidaklah sulit. “Bahkan aku hampir pasti,” jawab Mahesa Jenar,
“Karena itu
aku berusaha sedapat mungkin untuk menunda pertempuran.”
Mahesa Jenar
berhenti sejenak sambil memandangi wajah Arya. Tetapi anak itu menundukkan
wajahnya. Kemudian terdengar Mahesa Jenar meneruskan,
“Namun darah
yang mengalir di dalam tubuh anak-anak muda memang masih terlalu panas. Bahkan
darah di dalam tubuhku inipun rasa-rasanya masih terlalu sering mendidih.”
Ki Ageng Sora
Dipayana tersenyum. Kebo Kanigara pun tersenyum. Kemudian Mahesa Jenar menceriterakan,
apa yang selama ini dialaminya di sekitar Candi Gedong Sanga. Kehadiran
gerombolan Lawa Ijo dan seorang berkuda yang meninggalkan tempatnya menghilang
di balik cakrawala ketika orang itu melihat laskar Arya Salaka mendekati
Banyubiru, kemarin.
“Golongan
hitam pasti mengira bahwa pagi ini pertempuran sudah berkobar di Banyubiru
antara laskar Kakang Lembu Sora melawan laskar Arya Salaka.”
Mahesa Jenar
mengakhiri keterangannya.
“Angger
benar,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana.
“Untunglah
bahwa pertempuran di Banyubiru tertunda.”
“Tuhan Yang
Maha Adil telah melaksanakan rencananya. Menyelamatkan rakyat Banyubiru dan
Pamingit dari kekuasaan golongan hitam,” desis Mahesa Jenar.
“Andaikata
pertempuran telah berkobar pagi ini, maka kedua laskar Pamingit dan Banyubiru
akan sama-sama hancur. Pamingit hari ini telah jatuh ke tangan golongan hitam,
lalu besok atau lusa Banyubiru inipun akan mereka telan habis.”
Arya masih
berdiam diri. Namun kini membayang kembalilah di dalam pelupuk matanya,
bagaimana gurunya berusaha mati-matian untuk menunda pertentangan yang mungkin
terjadi antara laskarnya dengan laskar pamannya. Arya kini dapat menyadari
sepenuhnya, bahaya apakah yang akan menimpa Pamingit dan Banyubiru apabila ia
benar-benar terlibat dalam pertempuran dengan pamannya. Di dalam hati Arya
berkali-kali mengucap syukur, serta berkali-kali ia menyebut kebesaran nama
Tuhan yang telah menunda pertempuran itu. Dalam pada itu terasalah pada Arya
Salaka beserta rombongannya, betapa Ki Ageng Sora Dipayana menjadi gelisah.
Agaknya ia benar-benar tidak sampai hati melepaskan Ki Ageng Lembu Sora dan
Sawung Sariti pergi. Sebab iapun tahu bahwa golongan hitam itu mempunyai
orang-orang yang tak akan dapat dilawan oleh anaknya, meskipun ia telah
berusaha untuk menempa anak serta cucunya siang dan malam.
Orang tua itu
akhirnya berkata,
“Arya Salaka.
Meskipun kau telah berjanji untuk menunda persoalanmu sampai waktu yang tak
ditentukan, tetapi aku minta kepadamu untuk mengawasi Banyubiru. Sebab siapa
tahu, ada orang-orang yang akan mengambil kesempatan, mempergunakan kekosongan
Banyubiru untuk memuaskan keinginan diri. Merampas dan merampok. Jagalah
keamanan Banyubiru atas nama pamanmu Lembu Sora, sampai ada penjelasan yang
mudah-mudahan tak perlu mempergunakan kekerasan.”
Bagaimanapun
juga, terasa dada Arya berdesir ketika ia harus menjaga keamanan Banyubiru,
tetapi atas nama pamannya. Meskipun demikian ia benar-benar tidak mau
mengecewakan kakeknya. Karena itu ia menjawab,
“Baiklah
Eyang. Aku akan menjaga Banyubiru sebaik-baiknya. Tidak hanya atas nama Paman
Lembu Sora, tetapi atas nama ayah Gajah Sora.”
Mahesa Jenar
menarik nafas, sedang Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum.
“Baiklah…”
katanya,
“Jagalah
keselamatannya. Aku terpaksa meninggalkan kalian. Bawalah sebagian dari laskarmu
ke dalam kota, supaya kota ini tidak akan menjadi kota yang kosong, kota yang
sama sekali tak berkekuatan senjata. Siapa tahu, kalau ada hal-hal yang gawat.
Sebab golongan hitam itupun mempunyai otak-otak yang cukup berbahaya.”
“Baiklah
Eyang,” jawab Arya,
“Akupun akan
segera kembali ke tengah-tengah laskarku sebelum tengah hari. Aku akan
menyerahkan sebagaian mereka. Tetapi biarlah Paman Wanamerta untuk sementara
memimpin daerah ini. Aku akan tetap berada di antara anak buahku.”
Ki Ageng Sora
Dipayana mengangguk-anggukan kepalanya. Ia benar-benar menjadi kagum kepada
Arya, yang telah meluluhkan diri dengan laskarnya, sebagai ciri seorang
pemimpin yang merasa dirinya satu dengan anak buahnya. Sedang Wanamerta menjadi
terkejut karenanya.
Katanya,
“Apakah yang
harus aku lakukan? Bukankah Cucu Arya Salaka telah berada di sini?”
“Aku akan
menepati kata-kataku,” jawab Arya.
“Biarlah aku
melepaskan persoalan ini sampai Paman Lembu Sora selesai. Namun demikian aku
juga berjanji bahwa aku akan menyelenggarakan keamanannya sampai paman
selesai.”
“Cucu tidak
perlu menarik garis pemisah antara yang memerintah dan yang menyelenggarakan
keamanannya,” Sahut Wanamerta, “Sebab seorang kepala daerah perdikan harus
memegang kedua-duanya.
“TETAPI aku
bukan kepala daerah perdikan, Eyang,” jawab Arya Salaka.
“Baiklah
Wanamerta,” potong Sora Dipayana. Ia tahu benar perasaan apakah yang bergolak
di dalam dada anak itu. Arya Salaka agaknya benar-benar segan untuk mewakili
pamannya, sehingga baginya lebih baik untuk menyerahkannya saja kepada orang
lain.
“Kau pun
berhak untuk berlaku sebagai wakil Lembu Sora Wanamerta.”
Ki Ageng Sora
Dipayana meneruskan.
“Hanya untuk
beberapa saat. Aku kemudian akan datang kembali. Mencoba menyelesaikan masalah
tanah ini.”
Wanamerta,
setelah pembicaraan itu selesai, minta diri kepada Ki Ageng Sora Dipayana untuk
menyusul anaknya ke Pamingit. Mungkin tenaganya akan sangat dibutuhkan untuk
menemui tokoh-tokoh hitam dari angkatan tua. Sementara itu Arya Salaka segera
akan kembali pula ke tengah-tengah laskarnya. Katanya,
“Eyang
Wanamerta, biarlah eyang tinggal di sini. Aku akan datang kemudian dengan
membawa beberapa orang yang akan membantu Paman di sini.”
Wanamerta
tidak dapat berkata lain, kecuali mengiyakan. Maka sesaat kemudian berangkatlah
Ki Ageng Sora Dipayana, menyusul laskar Pamingit, berkuda seorang diri. Sebagai
seorang yang cukup berpengalaman, ia segera dapat mengetahui, apa yang harus
dilakukan. Sedang Arya Salaka pun kemudian bersama-sama dengan Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara, juga meninggalkan kota dengan kuda masing-masing.
Hanya
Wanamerta lah yang terpaksa ditinggalkan seorang diri di pendapa Banyubiru
dengan dua tiga orang pengawal yang tak berarti, orang-orang Banyubiru yang
selama ini ikut serta di dalam barisan Lembu Sora. Tetapi mereka sama sekali
belum pandai memegang tangkai pedang. Ketika kemudian Wanamerta tinggal sendiri
di pendapa itu, dipanggilnya salah seorang dari para pengawal itu, katanya,
“Kemarilah.
Aku ingin mendapat keterangan dari kau.”
Orang itu
menjadi ketakutan. Sebenarnya nyawa mereka serasa telah lepas sejak pasukan
Pamingit meninggalkan Banyubiru. Mereka merasa seperti cacing yang dilepaskan
di tengah-tengah abu hangat. Mereka menjadi takut, bahwa orang-orang Banyubiru
akan balas dendam kepada mereka.
Tetapi agaknya
wajah Wanamerta sama sekali tidak menakutkan. Karena itu salah seorang darinya
datang mendekat dengan sangat hormatnya.
“Ada perintah,
Kiai…?” ia bertanya.
“Kemarilah,
duduklah,” kata Wanamerta. Orang itu ragu sebentar. Namun ia akhirnya naik, dan
duduk di depan Wanamerta.
“Berapa orang
kalian?” tanya Wanamerta.
“Tiga orang di
regol Kiai, di ujung alun-alun tiga orang di setiap jalan masuk,” jawabnya.
“Siapakah
pemimpinmu?” Wanamerta bertanya pula.
“Kerta Pitu,”
jawab orang itu. Wanamerta mengangguk-angguk. Kemudian katanya,
“Jalankan
pekerjaanmu baik-baik, tetaplah waspada. Laporkan yang perlu kepadaku.”
Orang itu
mengangguk hormat.
“Baik Kiai,”
jawabnya.
“Nah,
kembalilah,” kata Wanamerta selanjutnya. Orang itupun segera kembali ke
tempatnya. Seorang yang lain telah disuruh oleh Wanamerta memanggil Kerta Pitu
untuk diberinya beberapa keterangan. Kerta Pitu harus menempatkan di setiap
gardu penjagaan seorang berkuda yang harus menjadi penghubung setiap ada
persoalan-persoalan penting.
Meskipun sebenarnya
Wanamerta terlalu cemas, karena kira-kira limapuluh pengawal yang belum mampu
untuk bertempur itu bagi Banyubiru adalah kekuatan yang sama sekali tak
berarti. Beberapa orang yang telah cukup kuat, ternyata dibawa di dalam laskar
Lembu Sora untuk memperkuat laskar Pamingit. Meski demikian Wanamerta menjadi
sedikit tenang ketika diingatnya bahwa di perbatasan berbaris dalam kesiagaan
tempur laskar Arya Salaka yang selalu akan menolongnya apabila bahaya datang.
Malahan Arya Salaka telah menyanggupkan diri untuk membawa beberapa orang
laskarnya ke dalam kota dan menjaga keselamatan tanah ini dari segala yang
mungkin akan mengancam.
Tetapi ia
harus menunggu sampai laskar itu datang. Mungkin malam nanti, mungkin besok
pagi. Ia mengharap dalam waktu yang singkat tidak akan terjadi sesuatu. Ketika
Wanamerta telah selesai memberikan beberapa petunjuk, serta Kerta Pitu telah
meninggalkan pendapa itu untuk melaksanakan, Wanamerta pun masuk ke dalam rumah
kepala daerah perdikan Banyubiru itu. Beberapa orang pelayan, yang berada di
dalam rumah itu sejak masa Ki Ageng Gajah Sora, masih berada di rumah itu pula,
sedang beberapa orang lain adalah orang-orang baru. Namun demikian, apa yang
dilihatnya kini, adalah jauh berbeda dari kira-kira lima-enam tahun yang lalu. Dulu
ia berada di dalam rumah itu seperti di dalam rumahnya sendiri. Bahkan ia telah
mengenal dengan baik hampir segenap sudut-sudutnya.
Dulu, ketika
Nyai Ageng Gajah Sora masih ada, tampaklah rumah ini bersih dan terawat rapi.
Tetapi kini rumah itu menjadi seakan-akan tak berpenghuni. Tampaklah sarang
labah-labah bergayutan di langit-langit, di setiap sudut dan bahkan hampir di
setiap lekuk-lekuk dindingnya. Hitam-hitam langes dari lampu-lampu minyak,
membekas mengotori dinding dan tiang-tiangnya.
MELIHAT
perubahan itu Wanamerta menekan dadanya. Keadaan rumah ini benar-benar
menggambarkan keadaan seluruh tanah perdikan Banyubiru. Kotor dan tak terawat.
Tetapi ia tidak mempunyai wewenang untuk berbuat lebih jauh. Ia tidak berhak
mengumpulkan para bahu, kepala-kepala dukuh dan para pamong desa lainnya. Ia
tidak mempunyai kekuasaan untuk mengadakan peraturan-peraturan baru atau
perubahan-perubahan apapun. Sebab ia hanya berada di rumah itu untuk sementara.
Mungkin sangat singkat. Seandainya malam nanti Ki Ageng Lembu Sora telah
selesai dengan pekerjaannya, besok mereka pasti akan datang kembali. Mungkin
dengan pasukan, dan mungkin harus bertempur melawan orang itu. Karena itu, yang
dapat dilakukan adalah membiarkan segala sesuatu berjalan seperti biasa. Ia hanya
dapat memecahkan persoalan-persoalan yang timbul dalam batas-batas tertentu.
Meskipun demikian, seandainya Lembu Sora memerlukan waktu yang lama dalam
perlawannya atas orang-orang hitam itu, iapun bermaksud untuk berbuat lebih
banyak lagi. Ketika hari semakin siang, dan terik matahari seperti membakar
rumput di alun- alun, Wanamerta bermaksud untuk beristirahat. Tetapi baru saja
ia meletakkan tubuhnya di bale-bale bambu di pringgitan rumah itu, terdengarlah
seorang pengawal naik ke pendapa, sambil berdiri di depan pringgitan ia
berkata,
“Kiai,
seseorang ingin bertemu dengan Kiai.”
“Siapa?” tanya
Wanamerta sambil bangkit.
“Sontani,”
jawab orang itu.
“Sontani…?”
ulang Wanamerta,
“Apakah
keperluannya?”
“Ya, Sontani.
Aku tak tahu apa yang akan disampaikan kepada Kiai. Ia ingin berbicara
langsung,” jawab pengawal itu. Wanamerta berpikir sejenak. Apakah yang akan
dilakukan? Barangkali ia akan membalas dendam sakit hatinya, ketika ia terpaksa
menelan keadaan yang pahit di tanah lapang.
“Sendiri..?”
tanya Wanamerta pula.
“Tidak Kiai,”
jawab orang itu,
“Dengan
anak-istrinya.”
“He…?”
Wanamerta terkejut.
“Dengan
anak-istrinya?” Orang itu mengangguk.
“Ya.”
“Baiklah, aku
datang,” kata Wanamerta kemudian. Namun demikian ia masih ragu. Apakah maksud
kedatangan orang itu. Kalau saja ia bermaksud jahat, tak akan ia membawa
anak-istrinya. Meskipun demikian, iapun tidak boleh kehilangan kewaspadaan.
Tetapi Sontani bukanlah orang yang harus ditakuti.
Ketika
Wanamerta muncul di pintu, dilihatnya Sontani benar-benar dengan istri dan
seorang anaknya duduk di pendapa. Demikian Sontani melihat Wanamerta, segera ia
berlari terbongkok-bongkok dan langsung bertiarap di kaki orang tua itu, sambil
berkata meratap,
“Kiai,
ampunilah segala dosa-dosaku. Aku merasa bahwa aku telah bersalah terhadap
Kiai, terhadap Banyubiru dan terhadap Anakmas Arya Salaka. Tetapi semuanya itu
adalah karena terpaksa. Aku sebenarnya sama sekali tak ingin untuk sesuatu
kedudukan apapun. Dan sekarang aku menyerahkan kembali semua jabatan yang
pernah aku terima dari Lembu Sora, orang yang terkutuk itu. Orang yang telah
merampas ketentraman hidup keluargaku. Sebab bagiku, segala jabatan itu tak
akan berarti, selama aku tidak dapat menunjukkan kesetiaanku kepada kampung
halaman ini. Biarlah Ki Bakung kembali kepada jabatannya, Bahu Lemah Abang.
Dengan demikian Lemah Abang akan menjadi tentram kembali setelah Lembu Sora
mengacaunya. Biarlah orang terkutuk itu disambar petir, atau mati dicincang
oleh orang-orang dari Gunung Tidar atau Rawa Pening, atau ….”
Suara Sontani
terputus oleh kata-kata Wanamerta,
“Jangan
salahkan Lembu Sora, Sontani. Dan jangan kau umpati orang itu, sebab Lembu Sora
adalah paman Arya Salaka. Putra Ki Ageng Sora Dipayana yang kita hormati.”
Sontani
terkejut seperti disengat kelabang. Perlahan-lahan ia bangkit dan duduk di
depan Wanamerta yang masih berdiri dipintu. Ia tidak tahu kenapa Wanamerta
tidak mau mengutuk Lembu Sora. Bukankah Lembu Sora telah mengkhianati
Banyubiru? Karena itu tiba-tiba keringat dingin mengalir di seluruh tubuh
Sontani. Sontani menjadi bingung. Bagaimanakah tanggapan yang sebenarnya dari
Wanamerta terhadap Lembu Sora? Ketika untuk beberapa saat Wanamerta masih
berdiam diri, berkatalah Sontani dengan suara gemetar.
“Kiai, kenapa
Kiai tidak mengutuk Lembu Sora yang telah memecah belah rakyat Banyubiru?”
“Lembu Sora
telah berjuang untuk suatu cita-cita. Dihadapinya segala akibat dari
perjuangannya. Ia tidak takut mati karena cita-citanya itu. Meskipun jalan yang
ditempuhnya tidak benar, malahan bertentangan dengan keadilan, namun ia dapat
dihormati karena keberaniannya,” jawab Wanamerta.
Kemudian ia
melanjutkan,
“Sedang ada
orang lain yang mencoba untuk mendapatkan keuntungan dari perjuangan Lembu Sora
itu. Ia bersujud di bawah kakinya selagi kesempatan memungkinkan. Tetapi kalau
keadaan menjadi suram, maka ia akan mencoba untuk menghindar, meloncat untuk
menyesuaikan diri dengan keadaan baru. Seperti seekor bunglon yang dapat
berwarna hitam kalau ia berada di cabang yang hitam, dan berwarna hijau kalau
ia hinggap di atas daun-daun yang segar.”
Sontani
benar-benar menjadi gemetar. Sekali dua kali ia menoleh kepada istri dan
anaknya, yang memandangi dengan cemas. Tetapi Sontani masih belum berputus asa.
Ketika Wanamerta masih tegak berdiri, dan memandang ke arah cahaya terik matahari
yang berserak-serak dihalaman, maka tiba-tiba Sontani berkata,
“Kiai,
entahlah apa yang dibawa oleh istriku. Barangkali Kiai akan dapat menerimanya
dengan senang hati, sebagai persembahan seorang kawula yang setia mengabdi diri
kepada Kiai.”
Wanamerta
tidak sempat menjawab. Sontani dengan terbongkok-bongkok bangkit dan melangkah
turun dari pendapa. Ketika ia naik lagi, di tangannya telah tersangkut sebuah
bungkusan yang besar.
“Kiai…”
katanya setelah ia berjongkok kembali di hadapan Wanamerta,
“Terimalah
tanda kesetiaanku ini.
WANAMERTA
memandang Sontani dengan pandangan yang kosong. Ia bersedih hati, ketika ia
melihat kenyataan bahwa di Banyubiru ada seseorang yang berjiwa seperti orang
yang berjongkok dihadapannya itu. Ia lebih hormat kepada Lembu Sora, kepada
Sawung Sariti, yang dengan gigih bekerja keras untuk mencapai tempat yang
setinggi-tingginya buat dirinya sendiri, meskipun berdosalah mereka yang
mengorbankan orang lain untuk kepentingan dan kesenangan diri. Wanamerta masih
belum berkata apapun ketika Sontani membuka bungkusan itu dengan penuh harapan.
Kalau Wanamerta berkenan dihatinya, ia pasti dapat mempengaruhi Arya Salaka.
Mungkin ia tidak akan mendapat sesuatu hukuman, bahkan mungkin ia akan tetap
berada pada kedudukan yang sekarang, Bahu di Lemah Abang.
Ketika
bungkusan itu telah terbuka, Wanamerta melihat beberapa potong kain lurik
didalamnya. Bahkan ia melihat sehelai sutera yang bagus dan mahal. Ia melihat
sebuah pendok keris dari emas, dan beberapa benda-benda lain yang berharga.
“Kiai”,
Sontani meminta,
“adalah suatu
karunia yang tiada taranya kalau Kiai sudi menerima barang-barang yang sama
sekali tak berarti ini.”
Hati Wanamerta
menjadi bertambah suram. Dan kesuraman hatinya itu terbayang diwajahnya. Sekali
lagi ia memandang bungkusan itu. Ketika berkilat cahaya intan dibalik lipatan
kain-kain itu, hatinya berdesir. Agaknya Sontani membawa pula timang tretes
intan berlian.
“Alangkah
banyaknya barang-barang yang kau bawa Sontani”, berkata Wanamerta. Sontani
menjadi bergembira mendengar perhatian itu. Apakah artinya barang- barang itu
dibanding dengan nyawanya?
“Tidak
seberapa Kiai. Aku bukanlah orang yang cukup kaya untuk mempersembahkan
barang-barang yang cukup bernilai”, jawab
Sontani.
Harapannya tiba-tiba menjadi tumbuh.
“Hampir
seluruh umurku aku bekerja keras. Namun aku tak akan mampu mendapatkan
barang-barang yang kau bawa itu”, sahut Wanamerta.
“Mudah-mudahan
lain kali aku dapat menambahnya dengan barang-barang yang tak bernilai
lainnya”, jawabnya. Ia mengharap Wanamerta membungkuk dan membuka
lipatan-lipatan kain, mengamat-amati pendok emas dan timang tretes intan
berlian itu. Tetapi untuk beberapa saat Wanamerta masih tegak seperti
tiang-tiang pendapa rumah itu, sehingga akhirnya Sontani menjadi bingung.
Bajunya telah basah oleh keringat yang mengalir semakin deras. Kemudian Sontani
menjadi kecewa. Sangat kecewa, ketika Wanamerta berkata,
“Sontani,
darimanakah kau dapatkan barang-barang itu?”.
“Aku telah
bekerja keras selama ini Kiai”, jawab Sontani terbata-bata.
“Aku juga bekerja
keras selama ini. Bantaran juga, Penjawi, Sendang Papat, Jaladri dan
orang-orang lain. Tetapi mereka tidak dapat, jangankan benda-benda serupa itu,
sebagian kecilpun tak dimilikinya”, berkata Wanamerta. Sontani menjadi bingung.
Ia tidak tahu apa yang akan dikatakan. Dalam kebingungan itu terdengarlah
Wanamerta berkata,
“Sontani, aku
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas pemberianmu itu”, Wanamerta
berhenti sejenak, sedang Sontani menengadahkan wajahnya. Tetapi Wanamerta
meneruskan,
“Namun sayang,
aku tak dapat menerimanya. Serahkanlah barang-barang itu kembali kepada
asalnya. Bukankah kau dapat membeli barang-barang itu karena kau menjabat Bahu
Lemah Abang. Karena kau memeras rakyat Lemah Abang untuk kepentinganmu dan
kepentingan Lembu Sora? Bukankah kau dapatkan barang-barang itu karena rakyatmu
kelaparan? Nah Sontani. Kalau kamu ingin menebus kesalahanmu, setidak-tidaknya
mengurangi, kembalikan barang-barang itu. Kepada mereka yang berhak. Tidak
kepadaku. Tidak kepada cucu Arya Salaka.” Sontani menjadi semakin bingung.
Mulutnya kini benar-benar terkunci. Ia masih berjongkok pada kedua lututnya
dengan gemetar, dan Wanamerta masih berdiri dipintu pringgitan.
“Sontani”,
terdengar kembali suara Wanamerta,
“ada seribu
jalan yang dapat kau tempuh untuk menyerahkan kembali barang-barangmu itu. Kau
dapat membantu mereka dengan alat-alat pertanian. Kau dapat mendirikan untuk
mereka gubug-gubug yang lebih baik, banjar-banjar desa dan tempat ibadah yang
layak.”
Mendengar
kata-kata Wanamerta itu, jantung Sontani serasa membeku dan darahnya serasa
berhenti mengalir. Tetapi nafasnya satu-satu berloncatan lewat lubang-lubang
hidungnya. Betapa panas udara siang ini, namun rasa-rasanya hembusan nafasnya
jauh lebih panas dari panasnya udara. Tiba-tiba terdorong oleh kegelisahan yang
bergelora didalam dadanya ia berkata putus-putus, “Tetapi, tetapi Kiai,
bukankah Kiai memerlukan barang-barang ini?”
Wanamerta
menggeleng lemah, jawabnya,
“Tidak,
Sontani.” Dalam kebingungan Sontani mendesak,
“Kiai,
bukankah Kiai sendiri berkata bahwa Kiai tidak pernah dapat memiliki
barang-barang serupa ini meskipun Kiai bekerja keras dan membanting tulang
hampir seumur hidup Kiai. Dan sekarang aku datang untuk mengantarkannya kepada
Kiai. Bukankah waktu yang pendek ini akan jauh lebih berharga daripada hampir
seumur hidup Kiai?” Wanamerta menarik nafas. Perlahan-lahan terdengar ia
menjawab,
“Sontani, kau
dan aku mempunyai perbedaan kebutuhan dalam menjalani hidup ini. Aku merasa
berbahagia karena aku tidak akan dapat memiliki benda-benda serupa itu. Sebab
dalam kemiskinan, aku akan dapat menikmati kekayaan. Miskin akan benda-benda
duniawi, tetapi aku merindukan kekayaan dihari-hari yang abadi. Sebab kekayaan
duniawi melulu, tak akan ada artinya di harapan Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
menentukan akan datangnya masa, dimana manusia bertanggungjawab kepada-Nya.”
WANAMERTA
kembali melanjutkan kata-katanya,
“Kau agaknya
telah terjerumus ke dalam kekuasaan nafsu duniawi. Tetapi kau tak akan pernah
merasa bahagia karenanya. Bahagia yang abadi. Kebaktian kepada Tuhan Yang Maha
Esa, dan pengabdian kepada titah yang dikasihi-Nya, manusia. Dengan demikian
hidupmu akan menjadi terasing. Terasing dari rasa kasih. Kasih antara manusia
dan kasih yang dilimpahkan Tuhan kepadamu. Karena itulah maka kau semakin dalam
membenamkan dirimu ke dalam timbunan benda-benda serupa itu.”
Sontani merasa
seolah-olah terlempar ke dalam suatu keadaan yang tak dikenalnya. Hitam dan
kelam. Tetapi di titik yang sangat jauh tampaklah cahaya yang terang menyorot langsung
ke dalam jiwanya. Cahaya itu semakin lama menjadi semakin tenang, bahkan
kemudian ia menjadi silau karenanya.
Akhirnya
sekali lagi ia bertiarap di hadapan kaki Wanamerta. Kali ini ia benar-benar tak
dapat menahan keharuannya. Sontani, yang pernah menjabat Bahu pedukuhan Lemah
Abang, yang pernah dengan kekerasan mendesak kedudukan Kiai Bakung itu,
tiba-tiba menangis tersedu-sedu. Dengan kedua belah tangannya ia menutup
wajahnya. Ia menjadi sangat malu karena usahanya untuk menyuap Wanamerta. Wanamerta
sadar bahwa kata-katanya tepat menyentuh perasaan Sontani, maka ia meneruskan,
“Sontani.
Pulanglah. Bawalah benda-benda yang sama sekali tidak berarti bagiku itu.
Kembalikan mereka kepada yang berhak dengan bijaksana. Cepatlah sebelum Arya
Salaka datang dan melihat caramu yang sama sekali tidak disukainya itu. Ia
masih terlalu muda untuk dapat berbuat seperti aku.”
Sontani
perlahan-lahan bangkit dan duduk bersila di hadapan orang tua itu.
Anak-istrinya yang gelisah, memandanginya dengan penuh pertanyaan di dalam
kepalanya. Ketika detak jantung Sontani telah menjadi tenang kembali, maka
hatinya menjadi tenang. Tiba-tiba ia menjadi tidak takut lagi kepada Wanamerta,
juga kepada Arya Salaka. Tidak takut untuk menerima dendamnya. Di dalam
dadanya, kini tersimpanlah suatu tekad untuk menebus nodanya. Meskipun
seandainya ia harus digantung di tengah-tengah beringin kurung.
“Kiai…”
katanya kemudian,
“Aku akan
pulang ke Lemah Abang. Aku akan coba untuk memenuhi pesan Kiai Wanamerta.
Menyerahkan kembali barang-barang ini kepada yang berhak. Seterusnya,
seandainya Anakmas Arya Salaka datang, dan menghendaki hukuman atas
pengkhianatanku, aku tidak akan membela diri. Apapun yang akan ditimpakan
atasku, akan aku jalani dengan ikhlas, meskipun seandainya aku akan dihukum
mati.”
Wanamerta
menggeleng. Jawabnya,
“Percayalah
Sontani. Darah Banyubiru bukanlah darah yang haus akan pembalasan dendam dan
pembunuh. Mungkin kau akan terbunuh oleh pedang yang bersarang di dalam dadamu,
seandainya kau tetap pada pendirianmu. Tetapi kau telah menemukan jalan
kembali. Kembalilah. Tuhan Maha Pengampun.”
Sekali lagi
Sontani bersujud di hadapan Wanamerta. Tetapi Wanamerta menahannya, dan dengan
ramah ia berkata,
“Jangan
bersujud kepadaku. Duduklah bersama anak dan istrimu, aku akan duduk bersama-sama
dengan kalian.”
Tetapi Sontani
menolaknya. Ia akan meninggalkan pendapa itu sebelum Arya Salaka datang seperti
yang dinasihatkan oleh Wanamerta. Sehingga dengan demikian iapun segera minta
diri beserta anak-istrinya yang sama sekali tidak mengerti persoalan yang
bergolak di dada suaminya. Sepeninggal Sontani, kembali Wanamerta membaringkan
dirinya untuk beristirahat. Terbayanglah betapa kemunduran lahir dan batin dari
tanah perdikan ini. Sontani adalah salah satu dari sekitar banyak orang yang
kehilangan kepribadiannya. Mungkin masih banyak orang lain yang justru lebih
parah daripadanya. Ketika kemudian ia tertidur karena lelahnya, mendadak ia
terbangun oleh derap kaki kuda. Cepat ia bangkit dan meloncat ke pintu. Ia
masih sempat melihat seekor kuda lari dengan kencangnya memasuki halaman.
Kemudian seorang pengawal meloncat turun dan langsung datang kepadanya. Dengan
tergesa-gesa pengawal itu berkata,
“Kiai, laskar
di perbatasan bergerak mendekati kota.”
Wanamerta
tidak terkejut karenanya. Ia tahu persis, laskar Arya Salaka yang akan membantu
mengamankan kota. Karena itu ia bertanya,
“Semua…?”
“Tidak Kiai,”
jawab orang itu.
“Hanya
sebagian.”
“Kau tahu,
siapa pemimpinnya?” tanya Wanamerta pula.
“Entahlah,”
jawab orang itu sambil menggeleng.
“Jemputlah
mereka, dan bawalah mereka kemari,” kata Wanamerta kemudian.
Orang itu ragu
sebentar, tetapi kemudian iapun segera berangkat melakukan perintah itu. Di
sepanjang jalan, hatinya diliputi oleh kecemasan, seperti pada saat ia melihat
laskar Pamingit meninggalkan kota.
Apakah yang
akan dilakukan oleh laskar di perbatasan itu atasnya, dan atas orang-orang
Banyubiru yang lain, yang ikut serta dalam kelaskaran Lembu Sora…? Ketika ia
melewati gardu penjagaan kedua, tiga orang yang bertugas di gardu itu telah menghilang.
Pengawal berkuda itu tahu bahwa mereka akan berusaha menyembunyikan diri
mereka, karena mereka takut akan pembalasan. Dengan demikian pengawal itu
menjadi semakin ragu. Dalam keraguan itu kudanya berlari terus. Maka sebelum ia
mengambil keputusan, pengawal itu telah sampai di gardu pertama. Ia menjadi
berlega hati ketika di gardu itu, masih dilihatnya empat orang berjaga-jaga.
Untuk
meyakinkan pendiriannya, pengawal itu berhenti sejenak.
Kepada
orang-orang di gardu itu ia berkata,
“Gardu kedua telah
kosong.”
“Kosong?”
tanya orang-orang di gardu pertama itu.
“Kenapa?”
“Aku kira
mereka takut,” jawab pengawal berkuda itu.
“Takut apa?”
tanya orang-orang di gardu.
“Kalau laskar
Arya Salaka itu datang, ada kemungkinan mereka akan ditangkap dan dihukum. Juga
kita semua,” jawabnya.
TIBA-TIBA
salah seorang dari mereka berempat itu tertawa. Dengan lantang ia berkata,
“Jangan takut.
Mereka tidak akan berbuat apa-apa selama mereka masih berada di bawah pimpinan
Arya Salaka.”
“Kau yakin?”
tanya pengawal berkuda itu.
“Jangankan
kita, orang-orang Banyubiru. Terhadap orang Pamingit pun Arya Salaka tidak
berbuat sesuatu.
Pimpinan gardu
ini semalam telah mengalami perlakuan yang tak disangka-sangka dari Arya
Salaka. Meskipun orang itu dibawa serta, namun ia akhirnya kembali dengan
selamat, justru pada saat kita telah memukul tanda bahaya untuk menangkap anak
muda itu.” Pengawal yang masih duduk di atas kudanya itu masih ragu-ragu juga.
Ia mendatangi orang yang berceritera itu, yang tidak lain adalah Ira, dengan
sorot mata yang bertanya-tanya. Sehingga terdengar Ira menjelaskan,
“Aku menjadi
jaminan bagi kalian. Kalau orang-orang yang ikut serta dalam laskar Arya Salaka
itu mendendam kalian, akulah yang pertama-tama akan naik ke tiang gantungan.”
Orang yang
bertugas untuk menjemput laskar yang semakin lama semakin dekat itupun menjadi
percaya, meskipun hatinya masih gelisah.
“Baiklah…”
katanya,
“Mudah-mudahan
katamu benar.”
Kemudian ia
memacu kudanya kembali, ke arah kepulan debu putih di depan mereka. Kuda itupun
melemparkan debu yang putih pula, yang kemudian lenyap dihembus angin
pegunungan. Semakin dekat orang berkuda itu dengan barisan yang mendatang,
hatinya menjadi semakin gelisah. Ketika kudanya telah berada beberapa ratus
langkah lagi, ia menghentikannya. Kembali ia menjadi ragu-ragu. Jangan-jangan
orang-orang yang berada di dalam barisan itu akan bersama-sama menyerangnya dan
beramai-ramai mencincangnya sebagai seorang pengkhianat.
Tetapi kalau
diingatnya kata-kata Ira, ia menjadi agak tenang. Ketika barisan yang mendatang
itu sudah semakin dekat, orang itu mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi
sebagai suatu pernyataan bahwa ia tidak sedang menggenggam senjata. Di ujung
barisan itu, seorang anak muda yang duduk di atas punggung kuda mengangkat
tangannya pula. Melihat anak muda itu, dada pengawal itu berdesir. Ia tidak
salah lagi. Pasti anak muda itulah Arya Salaka. Dengan demikian ia menjadi
berdebar-debar. Di samping anak muda itu, dilihatnya seorang gadis yang juga
duduk di punggung kuda. Tetapi ketika ia melihat seorang yang berjalan
dibelakangnya, kembali ia menjadi gelisah. Orang itu adalah Bantaran. Ketika
barisan itu sudah semakin dekat lagi, meloncatlah ia turun dari kuda, dan
dengan hormatnya ia membungkukkan dirinya. Arya memandang orang itu dengan
seksama. Ia pun mengangguk.
“Tuan…” kata
pengawal itu dengan hormatnya,
“Aku
menjalankan perintah Kiai Wanamerta untuk menjemput Tuan, dan membawa Tuan ke
halaman rumah Ki Ageng Lembu Sora.”
Arya
menggelengkan kepalanya. Jawabnya,
“Haruskah aku
pergi ke Pamingit?” Pengawal itu menjadi heran, jawabnya,
“Tidak Tuan.
Rumah Ki Ageng Lembu Sora di Banyubiru.”
“Adakah Ki
Ageng Lembu Sora mempunyai rumah di Banyubiru?” tanya Arya.
“Ada Tuan, di
sebelah alun-alun,” jawab pengawal itu. Ia menjadi bingung oleh pertanyaan
Arya.
“Rumah itu
adalah rumahku. Bukan rumah Ki Ageng Lembu Sora,” jawab Arya.
Berdentanglah
jawaban Arya Salaka itu ditelinganya. Benar, rumah itu memang milik rumah Ki
Ageng Gajah Sora. Maka dengan cepatnya ia membetulkan kata-katanya,
“Tuan benar.
Kiai Wanamerta menunggu Tuan di rumah Tuan sendiri.”
“Apakah kau
dari laskar Paman Lembu Sora?” tanya Arya. Pertanyaan itu sungguh tidak
menyenangkan. Tetapi itu adalah karena kesalahannya. Sebab selama ini ia memang
menganggap bahwa rumah itu adalah rumah Ki Ageng Lembu Sora. Pengawal itu
menjadi gelisah. Badannya mulai dialiri oleh keringat dingin dari punggungnya.
Ternyata dalam keadaan yang sulit itu ia kurang berhati-hati. Ia merasa bahwa
ia telah menggali lubang untuk dirinya sendiri. Akhirnya ketika ia tak dapat
berbuat lain maka iapun menjawab, “Ya, Tuan.” Suaranya gemetar.
Kini ia
tinggal menunggu apakah yang akan dilakukan oleh anak muda itu, atau oleh orang
yang berdiri di belakangnya, atau oleh seluruh barisan itu. Mungkin mereka akan
melemparinya dengan batu sampai mati, atau mungkin mengikatnya di belakang kuda
itu dan menariknya sepanjang jalan. Tetapi kalau demikian, ia tidak berteriak
di gardu pertama, bahwa Ira-lah yang pertama-tama akan naik ke tiang gantungan.
Ketika untuk beberapa saat Arya Salaka masih berdiam diri, ia menjadi semakin
tegang dan gelisah. Sekali-kali ia mencuri pendang ke arah wajah anak muda itu,
namun ia tidak dapat mengetahuinya, apakah yang tersirat di wajahnya itu.
Tiba-tiba di dalam kegelisahannya ia mendengar jawaban yang mengejutkan, bahkan
hampir tak dipercayainya.
“Marilah.
Naiklah ke punggung kudamu. Berjalanlah di depan.” Untuk sesaat ia terpaku.
Dengan termangu-manggu ia memandang Arya Salaka yang masih duduk di atas
kudanya dengan tenang. Ketika tampak wajah anak muda itu tanpa berkesan
kemarahan, barulah ia percaya pada telinganya.
Perlahan-lahan
ia mendekati kudanya, dan meloncat ke atasnya. Karena getar kakinya, maka barulah
loncatan kedua ia berhasil duduk di punggung kudanya. Kemudian perlahan-lahan
pula ia memutar kuda itu dan berjalan mendahuluinya. Kembali barisan itu
berjalan maju mendekati kota. Akhirnya mereka sampai juga di gardu pertama.
Keempat penjaganya berdiri berjajar dengan tegak. Ira lah yang bertanggung
jawab atas keselamatan mereka, sehingga meskipun dengan gemetar mereka tidak
melarikan diri. Arya melihat keempat orang itu. Tetapi ia tidak berbuat
sesuatu. Bahkan ia segera dapat mengenal Ira. Dengan tersenyum ia berkata,
“Ira, tidakkah
kau ikut Paman Lembu Sora ke Pamingit?”
IRA membungkuk
hormat. Lalu jawabnya,
“Tidak Tuan.
Aku lebih senang menunggu kedatangan Tuan di sini.”
“Terima
kasih,” jawab Arya,
“Agaknya Paman
Lembu Sora memang tak memerlukan kau.”
“Aku bersenang
hati kalau demikian,” jawab Ira.
“Tetapi kau
tidak akan bersenang hati kalau itu terjadi kemarin atau lusa,” sahut Arya
Salaka.
Ira diam.
Memang ia tidak akan bersenang hati. Sebab dengan demikian berarti ia
kehilangan mata pencahariannya. Sungguh lucu. Tetapi ia diam saja. Ia tidak
berkata apa-apa ketika Arya menjadi bertambah jauh. Ia melihat di belakang Arya
Salaka itu seorang yang baginya sangat menakutkan. Bantaran. Mudah-mudahan
Bantaran pun tidak mendendamnya. Akhirnya barisan itu sampai juga di halaman
rumah kepala perdikan Banyubiru. Wanamerta menerima mereka dengan perasaan
lega. Kalau ada apa-apa kini, ia tidak cemas lagi. Segera dipersilakannya Arya
Salaka naik ke pendapa. Di samping Arya Salaka, duduk dengan wajah yang cerah,
putri Kebo Kanigara, Endang Widuri. Ia mendapat izin dari ayahnya untuk
mengikuti anak muda itu mengantarkan laskarnya ke Banyubiru. Kemudian Bantaran
duduk bersama mereka. Sesudah mereka mengadakan pembicaraan singkat, segera
Bantaran membagi pekerjaan kepada laskarnya yang berjumlah 100 orang itu.
Mereka disebar di seluruh kota dengan pesan, pekerjaan mereka adalah
mengamankan dan melindungi rakyat Banyubiru. Bukan menakut-nakuti.
Terhadap
laskar Banyubiru yang ditinggalkan oleh Lembu Sora, mereka harus bersikap baik.
Dengan demikian mereka harus memberi kesan, bahwa kehadiran mereka benar-benar
memberikan suasana baru. Suasana yang tenang, tentram dan damai.
“Kalian kali
ini adalah tenaga-tenaga suka rela untuk membantu Ki Ageng Lembu Sora menjaga
ketentraman tanah ini. Namun kalian harus menunjukkan bahwa kalian mempunyai
tanggungjawab atas pekerjaan kalian. Kalian harus membuktikan bahwa jiwa kalian
berbeda dengan jiwa laskar Ki Ageng Lembu Sora sendiri. Junjung tinggi namamu
dan nama pemimpinmu.”
Arya Salaka
menekankan setiap kata kepada laskarnya. Ketika laskar itu mulai berpencaran,
terdengarlah suara riuh hampir di seluruh jalan-jalan di dalam kota. Rakyat
Banyubiru menyambut kedatangan laskar itu dengan keriangan yang bergelora.
Mereka melihat laskar yang berjalan dalam kelompok-kelompok kecil itu sebagai
pelindung mereka. Kecuali laskar yang diserahkan kepada Wanamerta, yang
dipimpin langsung oleh Bantaran, Arya Salaka telah menugaskan Penjawi dan
Jaladri untuk pergi ke Pamingit. Mereka mendapat tugas untuk mengetahui, sampai
di mana kekuatan golongan hitam. Mereka harus menyaksikan pertempuran yang
terjadi antara laskar Lembu Sora dan laskar hitam, dan kemudian kembali kepada
Arya Salaka untuk melaporkan hasilnya. Malam itu Arya dan Endang Widuri bermalam
di rumah Arya yang telah ditinggalkan hampir enam tahun. Banyaklah yang dapat
diceriterakan kepada gadis itu tentang rumah ini. Ia dapat menunjukkan di mana
ia pada saat itu berhasil membunuh seorang yang akan mengambil pusaka-pusaka
simpanan ayahnya, namun ia sendiri terpukul dan pingsan karenanya. Ia dapat
menunjukkan pula, ke mana ia melarikan diri ketika tiba-tiba rumah ini diserang
oleh laskar yang tak dikenalnya. Ketika ia telah berhasil membunuh salah
seorang dari mereka, tiba-tiba ia dikeroyoknya. Untunglah Penjawi datang tepat
pada saatnya.
No comments:
Post a Comment