ARYA SALAKA ternyata sudah berjongkok di belakang Mahesa Jenar, berdua dengan Karang Tunggal.
“Mendekatlah
Arya,” kata Mahesa Jenar.
“Kakang…” Sawung
Sariti tidak meneruskan kata-kata, namun matanya telah memancarkan segenap
perasaan yang tersimpan di dadanya.
“Tenangkan
hatimu Adi,” pinta Arya Salaka mengulangi kata-kata Kebo Kanigara. Dan sekali
lagi Sawung Sariti tersenyum.
“Biarlah anak
ini aku bawa kembali ke Pamingit,” kata Kebo Kanigara.
“Mungkin Paman
Sora Dipayana dapat mengobatinya.”
“Sebaiknyalah
demikian, Kakang,” jawab Mahesa Jenar,
“Dan biarlah
Arya Salaka menjemput ibunya dan ibu Sawung Sariti.”
Mendengar
Mahesa Jenar menyebut-nyebut ibunya, berdesislah Sawung Sariti. Katanya lemah,
“Tolonglah
Kakang Arya, jemputlah ibuku sekali.”
“Baiklah Adi,”
jawab Arya,
“Akan aku bawa
Bibi Lembu Sora bersama ibuku ke Pamingit.”
Sawung Sariti
masih mencoba tersenyum walau wajahnya semakin sayu. Katanya,
“Terimakasih
Kakang.”
Kebo Kanigara
pun kemudian bangkit sambil mengangkat tubuh Sawung Sariti perlahan-lahan.
Dalam pada itu terdengar Sawung Sariti berkata perlahan-lahan,
“Paman, aku
telah menyulitkan Paman.”
“Jangan
berpikir demikian Sawung Sariti,” jawab Kebo Kanigara.
“Adalah
kewajiban manusia untuk saling membantu. Mungkin pada suatu saat aku akan
memerlukan bantuanmu pula.”
Sawung Sariti
tidak menjawab. Tetapi hatinya menjadi terharu. Apakah Kebo Kanigara akan
berbuat demikian manisnya pula seandainya dirinya berhasil membunuh Arya
Salaka?
“Hem…” Ia
menggeram. Perasaan sesal meronta-ronta di dalam dadanya. Sesal atas segala
macam pekertinya yang jauh tersesat ke daerah nafsu.
Mereka pun
kemudian berjalan ke arah yang berbeda-beda. Arya Salaka dan Mahesa Jenar ke
Sarapadan, sedang Kebo Kanigara mendukung Sawung Sariti ke Pamingit.
Yang berdiri
kebingungan adalah Karebet. Ia memandang Arya Salaka dengan permintaan, apakah
boleh pergi bersamanya.
“Tidakkah
Kakang Karang Tunggal pergi bersama Paman Kebo Kanigara?” tanya Arya Salaka,
“Barangkali
Paman Kebo Kanigara perlu bantuan Kakang, mendukung Adi Sawung Sariti. Di
Pamingit nanti kita bertemu. Barangkali Kakang Karang Tunggal banyak mampunyai
ceritera yang menarik.”
“Oh!” Karebet
seperti tersadar dari mimpi. Bukankah ia dapat membantu pamannya itu. Karena
itu maka katanya,
“Baiklah Adi,
aku membantu Paman Karang Jati.”
Dan
berlari-larilah Karebet menyusul pamannya. Ketika ia telah berjalan di belakang
pamannya, berkatalah ia perlahan-lahan,
“Paman,
biarlah Adi Sawung Sariti aku dukung.”
Kebo Kanigara
menoleh. Tapi ia tidak segera menjawab. Karena itu hati Karang Tunggal menjadi
berdebar-debar. Akhirnya ia berjalan sambil menundukkan kepalanya. Hatinya
berdesir ketika pamannya itu bertanya,
“Kenapa kau
berada di sini, Karebet?”
Kepala Karebet
menjadi semakin tunduk. Ia benar-benar takut kepada pamannya itu.
“Kenapa?”
ulang Kebo Kanigara.
Karebet masih
belum dapat menjawab. Karena itu hatinya menjadi semakin kecut.
Tiba-tiba
berkatalah Karang Jati, “He, Karebet. Kau akan ikut aku ke Pamingit?”
“Ya, Paman,”
jawab Karebet singkat.
“Bagus, kau
akan dapat menemui kawan-kawanmu dari pasukan Nara Manggala,” sambung Kebo
Kanigara. Karebet terkejut.
“Nara
Manggala?” ulangnya.
“Ya,” jawab
Kebo Kanigara acuh tak acuh.
“Ki Gajah
Alit, dan para pejabat rahasia Demak, Ki Paningron.”
“Benarkah
keduanya di sini?” desak Karebet semakin terkejut.
“Kenapa?”
tanya Kebo Kanigara. Karebet terdiam. Sekali lagi pandangan matanya terbanting
di tanah. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakan.
“Karebet…”
kata Kebo Kanigara kemudian,
“Seharusnya
kau menjadi gembira. Bukankah kau akan bertemu dengan perwira-perwira dari
pasukan Demak? Aku dengar, kau pun telah menjadi lurah Wira Tamtama.”
“Ya, Paman,
tetapi…” Karebet tak dapat meneruskan kata-katanya.
“Tetapi
kenapa?” desak Kebo Kanigara. Sekali lagi Karebet terbungkam. Akhirnya
terdengar Kebo Kanigara berkata dengan suara yang berat,
“Karebet,
apakah yang sebenarnya terjadi?”
Karebet masih
berjalan dengan muka tunduk di belakang pamannya. Ia tidak berani mengatakan
apa yang telah terjadi sehingga ia diusir dari Kraton Demak. Bahwa ia masih
hidup dan lepas dari kemarahan Sultan yang lebih besar lagi, adalah karena
Sultan sejak semula telah tertarik kepada keperwiraan dan kecekatannya,
sehingga kasih yang dilimpahkan kepadanya agak berlebihan dibanding dengan para
prajurit lainnya. Kemudian terdengar Kebo Kanigara berkata,
“Aku sudah
tahu apa yang kau lakukan di Demak, Adol bagus. Kau sangka di seluruh kolong
langit ini hanya kau sendiri seorang laki-laki?”
Hati Karebet
menjadi semakin berdebar-debar. Dan karena itu wajahnya menjadi semakin
tumungkul memandang pundaknya. Ia menyangka bahwa pamannya akan memarahinya.
Namun sebenarnya Kebo Kanigara pun sayang benar kepada kemenakannya yang nakal
itu.
Maka katanya,
“Karebet,
bagaimanakah pertimbanganmu? Apakah kau akan menemui para perwira dari prajurit
Demak itu?”
Beberapa saat
Karebet diam. Ia menjadi berlega hati ketika pamannya tidak memaki-makinya.
Setelah debar jantungnya mereda, ia berkata,
“Aku kira
lebih baik tidak, Paman.”
“Nah, kalau
demikian, jangan ikuti aku. Pergilah ke Banyubiru. Setelah semuanya selesai,
aku akan ke sana mengantarkan Arya Salaka. Aku akan menemuimu. Dan kau harus
berkata sebenarnya apa yang telah terjadi dan apa yang pernah kau lakukan.”
“Baik Paman,”
jawab Karebet.
“Aku sekarang
berada di rumah Ki Buyut atau yang dikenal Ki Lemah Telasih.”
“Nah,
pergilah. Apakah kau sudah tahu jalan yang harus kau tempuh?” tanya Kebo
Kanigara. Sebenarnya ia tahu bahwa hampir seluruh jalan di sekitar pegunungan
Merapi, Merbabu, Slamet, Ungaran, Murya, Sindara, Sumbing, Lawu, Kelut, Kawi
sampai di daerah barat dan timur telah dilintasinya.
Ket.
SADAK KINANG (selembar atau dua lembar sirih dengan
kinang siap dinikmati) masih bergulir. Seorang pembaca menulis. Ternyata ada
yang menerjemahkan kematian Arya Palindih akibat sadak kinang oleh Karebet
adalah perlambang bahwa Arya Palindih diperdaya melalui bujuk rayu wanita.
Siapa lagi yang makan sirih, apalagi kalau sirihnya sudah siap dilahap oleh
siapa saja.
KAREBET pun
kemudian mengambil jalan lain untuk langsung pergi ke Banyubiru. Daerah yang
tidak terlalu dekat. Namun berjalan kaki bagi Karebet adalah pekerjaannya
sehari-hari. Kebo Kanigara berhenti sejenak melihat langkah kemenakannya itu.
Karebet benar-benar memiliki tubuh idaman bagi setiap laki-laki. Apalagi bagi
mereka yang mesu raga, olah keprawiraan. Badannya tegap, berdada bidang.
Tangan-tangan serta kaki-kakinya kokoh kuat seperti baja. Sedang geraknya
lincah cekatan seperti burung sikatan. Dan Karebet mempunyai modal yang cukup
lengkap. Selain tubuhnya yang serasi, ia pun memiliki wajah yang tampan. Tetapi
wajahnya yang tampan itulah yang menyebabkan ia diusir dari Demak. Kebo
Kanigara tidak yakin bahwa kemenakannya itu benar-benar membunuh orang Demak.
Cara Paningron menceriterakannya telah menimbulkan kecurigaan. Senyum-senyum
yang aneh. Dan ia telah memaklumi maksudnya. Pada saat itu bintang-bintang di
langit telah bergeser jauh dari tempat semula. Lamat-lamat terdengar ayam
jantan berkokok bersahutan. Dalam keheningan malam itu terdengar Sawung Sariti
berbisik, “Kenapa Kakang Karebet paman perintahkan ke Banyubiru? Aku ingin
berkenalan dengan pemuda yang perkasa itu.”
Kebo Kanigara
kini telah berjalan lagi. Langkahnya tegap dan agak cepat. Perlahan-lahan
terdengar ia menjawab
“Barangkali
lebih baik demikian, Sawung Sariti. Sedang kau, pada masa-masa yang akan datang
akan dapat mengenalnya lebih dekat.”
Sawung Sariti
menarik nafas dalam-dalam. Terasa seolah-olah beribu-ribu jarum menusuk-nusuk
dadanya dari dalam. Dengan lirih ia berdesis,
“Mudah-mudahan
aku mempunyai waktu.”
“Jangan
berangan-angan demikian.” Kebo Kanigara menasihati,
“Berdoalah
supaya lukamu sembuh kembali.”
Namun
sebenarnya Kebo Kanigara pun dihinggapi perasaan cemas melihat anak muda dalam
dukungan tangannya itu. Karena itu ia berjalan semakin cepat, supaya segera
sampai ke Pamingit. Dalam pada itu Arya Salaka dan Mahesa Jenar berjalan ke
arah yang berlawanan. Sekali-kali Arya memandang ke langit yang bersih.
Perlahan-lahan ia berkata,
“Hujan sudah
jauh berkurang, Paman.”
“Sudah kita
lampaui mangsa kesanga,” sahut pamannya.
“Mudah-mudahan
hari-hari yang akan datang tidak selalu diliputi oleh awan yang kelam.
“Hari-hari
yang cerah,” desis Arya Salaka kemudian untuk sesaat mereka berdiam diri. Namun
tiba-tiba terdengar Arya berkata, “Paman, ternyata Bugel Kaliki tidak sekuat
yang aku sangka. Bukankah ia termasuk tokoh yang sejajar dengan Sima Rodra dan
sebagainya?”
“Tentu,” jawab
Mahesa Jenar.
“Tetapi
pengaruh keadaan telah menyebabkan ia kehilangan pengamatan. Ia benar-benar
telah putus asa. Hilangnya beberapa orang sahabatnya menjadikan Bugel Kaliki
berhati kecil. Apalagi kali ini ia melihat kehadiranku dan Kakang Kebo Kanigara
bersama-sama. Sedang sebelum itu pun ia sudah harus bekerja berat. Bukankah kau
dan Karebet telah melawannya dengan gigih? Karebet benar-benar anak luar biasa.
Apalagi dengan Sangkelat di tangannya. Yang lebih mempercepat kekalahannya
adalah bongkah di punggungnya. Sejak semula aku melihat, betapa ia melindungi
punggungnya itu, sehingga aku berpikir bahwa orang itu pasti memiliki kelemahan
di punggungnya itu. Demikianlah ketika tanganku mengenai tengkuknya, ternyata
Bugel Kaliki tak mampu melawannya”.
Arya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia yakin, bahwa apabila ia
bertempur, tidak saja ia harus mempergunakan tenaganya, tetapi juga otaknya,
sehingga dapat diketahuinya, kekuatan dan kelemahan lawan. Kembali mereka
berdiam diri. Ujung malam itu ditandai oleh suara kokok ayam jantan dari desa
di hadapan mereka, Surapadan.
Tiba-tiba Arya
Salaka menjadi berdebar-debar. Kakinya serasa gemetar, dan ingin meloncat
berlari mencari pondok yang dikatakan oleh Titis Anganten. Tiga halaman dari
gardu di mulut jalan desa. Tetapi ia menahan dirinya, sebab gurunya berjalan di
sampingnya. Dalam keriuhan suara ayam jantan itu, terdengar Mahesa Jenar
berkata,
“Ibumu dan
bibimu berada di desa itu Arya?”
“Ya paman,”
jawab Arya.
“Adakah kau
tadi pergi bersama Sawung Sariti?” bertanya Mahesa Jenar kemudian.
Arya menjadi
ragu-ragu. Namun ia menjawab pula,
“Ya paman”.
“Apakah yang
terjadi?” berkata Mahesa Jenar pula.
“Kami bertemu
dengan Bugel Kaliki. Untunglah kakang Karebet tiba-tiba saja berada di tempat
itu pula,” jawab Arya bimbang.
“Sebelum itu
apakah yang terjadi?” desak Mahesa Jenar.
Kembali Arya
menjadi ragu-ragu. Ia tidak segera menjawab. Apakah pamannya tahu bahwa ia
lebih dahulu bertempur melawan Sawung Sariti? Dalam kebimbangan itu terdengar
Mahesa Jenar berkata,
“Arya aku
tidak yakin luka di dadamu itu karena tangan Bugel Kaliki sebab ia tidak
bersenjata tajam, bahkan kalau kau tersentuh tangannya maka akibatnya akan sama
seperti yang diderita oleh Sawung Sariti. Karena itu aku ingin tahu, siapakah
yang melukaimu?.”
Mulut Arya menjadi
berat seberat perasaannya untuk menyebut nama adiknya. Ia mencoba untuk
berusaha melindunginya, namun pertanyaan gurunya itu benar-benar mendesaknya.
Karena itu, betapapun beratnya ia terpaksa berkata,
“Sawung
Sariti, paman.”
“Aku sudah
menduga,” desis Mahesa Jenar.
“Dan kaupun
telah melukai pundaknya.”
“Ya, paman,”
Arya tidak dapat mengelak lagi.
“Lukamu tidak
berbahaya, tetapi apakah kau melukai Sawung Sariti dengan Kiyai Suluh?.”
“Tidak paman,
aku melukainya dengan pedang yang diberikan oleh Karang Tunggal.”
“Karang
Tunggal sudah ada pada waktu itu?,” tanya Mahesa Jenar.
“Sudah paman,”
Sahut Arya, kemudian diceritakannya apa yang diketahuinya. Sejak ia pergi
bersama Sawung Sariti sehingga melihat Karebet bertempur melawan Sawung Sariti
di bawah pohon nyamplung. Dari Karebet ia mendengar, bahwa agaknya Sawung
Sariti telah menunggunya di situ.
Mahesa Jenar
mengangguk-angguk namun yang meloncat dari mulutnya adalah,
“itulah gandu
dimulut lorong.”
Kembali dada
Arya berdebar cepat sekali. Beberapa langkah lagi ia akan sampai ke tempat
ibunya menyembunyikan diri. Namun ia masih mendengar gurunya bergumam,
“untunglah kau
tidak menyentuh adikmu dengan Kiyai Suluh. Sebab dengan demikian setiap orang,
juga pamanmu Lembu Sora, eyangmu Sora Dipayana akan melihat kesaktian pusaka
itu. Dan kaulah pembunuh yang sebenarnya dari adik sepupunya.”
Arya
menundukkan wajahnya.
“Ya untunglah
yang demikian tidak terjadi.”
Sesaat
kemudian Arya berhenti disamping gardu dimulut lorong desa Sarapadan itu. Dan
terdengarlah ia bergumam.
“Kita membelok
ke kiri paman, tiga halaman dari gardu ini.”
Mahesa Jenar
tidak menjawab. Ia mengikuti saja Arya yang melangkah perlahan menyusuri lorong
itu sambil menghitung halaman di kanan jalan. Namun halaman di desa kecil itu
ternyata cukup luas.
Ketika Arya
Salaka dan Mahesa Jenar telah melampaui halaman yang ketiga, di dadanya serasa
telah menggetarkan seluruh tubuhnya. Sesaat ia menjadi ragu-ragu.
Halaman ketiga
ini dipagari oleh dinding batu yang sebagian telah rusak. Regolnya runtuh dan
rumah yang berdiri di halaman itupun sudah tidak tegak lagi. Sebuah gubuk bambu
beratap ilalang.
“Di sinikah
ibu beserta bibi itu?,” desis Arya Salaka ragu ragu.
“Ya,” sahut
Mahesa Jenar pasti.
“Tetapi….,”
kata-kata Arya tertutup.
“Eyangmu Titis
Anganten telah mencoba mempergunakan perhitungan sebaik-baiknya. Kau pasti
menduga bahwa Ibu dan Bibimu berada di rumah yang paling baik di desa ini?.”
Arya
mengangguk.
“Orang lainpun
akan menduga demikian. Karena itulah maka ibu dan bibimu berhasil bersembunyi.”
sahut Mahesa Jenar.
“Oh”, Arya
menarik napas. ia menyadari kebodohannya.
Kemudian
dengan dada berdebar-debar ia melangkahi bongkah kayu yang berserak serak
disamping regol halaman itu.
Ia terhenti
ketika ia sudah dimuka pintu.
“Ketuklah,”
desis Mahesa Jenar. Perlahan lahan Arya mengetuk pintu rumah itu. Dan dari
dalam rumah itu terdengar sapa perlahan, suara laki-laki tua.
“Siapa?.”
“Aku kakek,”
sahut Arya Salaka.
“Aku siapa?,”
orang itu menegaskan.
Arya telah
menerima pesan dari Titis Anganten bagaimana ia harus menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya, supaya orang dirumah itu percaya
bahwa kedatangannya sudah persetujuan Titis Anganten. Orang yang menitipkan dua
orang pengungsi kepadanya.
“Aku kek,
burung elang dari lereng bukit,” sahut Arya.
Mendengar
jawaban itu Mahesa Jenar menggamit tangannya tetapi ketika Arya Salaka
menganggukkan kepalanya, tahulah Mahesa Jenar maksud jawaban itu.
Kemudian
terdengarlah langkah perlahan menuju ke pintu. Dan sesaat kemudian terdengarlah
derak pintu lereg itu terbuka. Seorang lelaki tua berdiri terbongkok bongkok
dimuka pintu sambil berusaha mengamati tamunya.
“Masuklah,”
orang tua itu mempersilahkan.
“Terimakasih
kek, tetapi adakah sepasang pohon Wregu itu masih disini?,” bertanya Arya
Salaka seperti pesan Titis Anganten.
Orang tua itu
yakin sudah bahwa kedua orang itu adalah orang suruhan yang menitipkan kedua
pengungsi kepadanya. Karena itu ia menjawab,
“Ya, ya, aku
telah menjaganya dengan baik.”
Arya Salaka
dan Mahesa Jenar melangkah masuk. Dipersilahkannya mereka duduk di bale-bale
bambu. Berderak-deraklah suaranya ketika dua sosok tubuh yang gagah itu
memberati bale-bale.
Orang tua
itupun kemudian berjalan ke senthong kanan, dan terdengarlah ia berkata,
“Nyai telah
datang utusan dari orang yang membawa nyai berdua kemari.”
“Sudahkah kau
yakin kakek?” terdengar suara seorang wanita.
“Aku yakin,
nyai,” jawab orang itu.
Dan sesaat
kemudian dari sentong kanan keluarlah dua orang wanita. Jauh lebih tua dari
lima enam tahun yang lampau . Wajahnya pucat dan kekurus kurusan. Karena itu
tanpa sadar Arya menoleh dan cepat berdiri. Mahesa Jenarpun berdiri pula. Ia
melihat betapa muridnya menjadi gemetar.
“Siapakah
kau?,” bertanya salah seorang daripadanya.
Mulut Arya
terbungkam. Ibunya itu ternyata sudah tidak mengenalinya. Yang menjawab
kemudian adalah Mahesa Jenar.
“Adakah Nyai
lupa kepadaku?,”
Orang itu
mengerutkan keningnya. Akhirnya wajahnya cerah dan dengan ragu-ragu ia berkata,
“Adi Mahesa
Jenar.”
“Ya, aku
Mahesa Jenar,” jawab Mahesa Jenar.
“Oh,” terdengar
ia berdesis dan wajahnya menjadi semakin cerah.
“Lalu siapa
anak muda ini?.”
Mahesa Jenar
dapat memaklumi, bahwa dirinya sendiri tidak mengalami banyak perubahan. Tetapi
Arya Salaka yang sedang tumbuh itu akan mengejutkannya. Pada saat meninggalkan
Banyu Biru, ia tidak lebih dari seorang anak-anak berumur antara tigabelas
tahunan. Dan sekarang ia adalah seorang pemuda perkasa. Bertubuh kekar dan
berdada bidang.
Karena itulah
maka Mahesa Jenar berkata,
“Nyai,
bertanyalah kepadanya siapakah namanya?.”
Nyai GajahSora
menjadi ragu-ragu. Tetapi hatinya berdesir ketika melihat anak itu gemetar. Dan
kemudian tiba-tiba saja anak muda itu meloncat maju berjongkok sambil memeluk
kaki ibunya.
“Ibu….”
Nyai GajahSora
terkejut. Dan terloncatlah dari mulutnya, “Kau kah itu.”
Arya Salaka
tak kuasa menjawab pertanyaan itu. Kerongkongannya serasa tersumbat batu.
Sedangkan matanya menjadi panas.
Wanita itu
kini yakin. Anak itu adalah anak yang pernah dibelainya enam tahun lalu, anak
yang tidur dipangkuannya, dicium keningnya. Namun sering pula dimarahinya
karena kenakalannya.
Tiba-tiba
tangannya yang lemah memeluk kepala Arya Salaka dan menekankan ke dadanya. Dan
terasa tiba-tiba dada yang tipis itu menggelombang.
Meledaklah
sebuah tangis kegembiraan.
“Arya,
bukankah kau Arya Salaka ?”
Juga Arya
tidak mampu berkata sepatahpun. Sebagai laki laki yang tabah menghadapi setiap
bahaya maut yang mengancamnya, Arya adalah seorang berhati baja. Namun kali ini
ia tidak kuasa menahan diri. Meneteslah sebutir air mata .
Nyai Gajahsora
benar-benar menangis. Ia tidak tahu apakah yang bergejolak di dalam dadanya..
Anak ini pada saat terakhir sebelum berpisah dengannya juga pernah dipeluknya
seperti ini. Menekankan kepala anak ini ke dadanya. Kini anak itu tidak berdiri
pada telapak kakinya tetapi pada kedua lututnya. Namun Nyai Gajahsora tak
sempat memperhatikannya. Dipeluknya anak itu seperti enam tahun lampau,
diciumnya keningnya dan dibasahi dahi anak itu dengan air mata.
Nyai Lembusora
pun terharu melihat pertemuan itu. Tanpa sesadarnya dari matanya juga mengalir
air mata. Ia tidak tahu apa yang terjadi antara anaknya dengan anak itu, antara
suaminya dengan kakaknya Gajahsora. Karena kasihnya kepada Arya Salaka sebagai
kemenakan satu-satunya tidak berkurang. Dengan demikian iapun terharu melihat
pertemuan itu, setelah anak itu hilang selama enam tahun didsisi ibunya. Mahesa
Jenar hanya dapat menundukkan wajahnya. Ia gembira, segembira Arya Salaka
sendiri. Ia akan dapat menyerahkan anak itu nanti kepada ayah bundanya tanpa
mengecewakan mereka. Mahesa Jenar telah tidak menyianyiakan kepercayaan
Gajahsora kepadanya meskipun ia harus mengucapkan beribu-ribu terimakasih pula
kepada Kebo Kanigara. Tiba-tiba terdengarlah suara Nyai Gajahsora
terputus-putus karena isaknya,
“Kemana kau
selama ini Arya?, ayahmu tak kunjung kembali dan kau meninggalkan aku seorang
diri dalam sepi dan duka”
Arya ingin
menjawab. Ingin bercerita bahwa ia sama sekali tidak bermaksud meninggalkan
ibunya. Ia ingin mengatakan bahwa selama ini wajah ibunya tak sekejappun terhapus
dari angan-angannya. Tetapi yang menyumbat kerongkongannya serasa menjadi
semakin besar pula. Karena itu ia hanya dapat menelan ludahnya beberapa kali.
Dan kemudian
ibunya menarik anak itu berdiri. Ketika Arya berdiri, terkejutlah Nyai
Gajahsora. Katanya,
“Oh, kau sudah
besar, kau benar-benar menjadi bayangan ayahmu, seperti belahannya dalam
cermin.”
Mahesa Jenar
berdesir mendengar kata-kata itu. Meskipun suaminya telah pergi selama enam
tahun, namun setiap ungkapan kantanya menyatakan bahwa kesetiaannya tidak
berkurang. Dan dalam suasasna yang demikian itulah Mahesa Jenar teringat akan
dirinya. Apabila kelak ada sesuatu dengan dirinya, adakah seseorang yang akan
menantinya? atau mencemaskannya?. Dan tiba-tiba pula teringatlah ia kepada Rara
Wilis, seorang gadis yang setia menanti, meskipun umurnya selalu menghantuinya.
Hari demi hari…..
Tiba-tiba
Mahesa Jenar tersenyum. Ia menjadi malu kepada dirinya sendiri. Dengan sudut
matanya disambarnya setiap wajah yang ada di ruangan itu. Kalau kalau ada
diantara mereka yang melihat perubahan wajahnya.
“Hem,” ia
menarik napas dalam-dalam. Sedang hantinya berkata,
“jangan
berangan-angan seperti pemuda meningkat dewasa.”
Nyai Gajahsora
dan Nyai Lembusorapun segera berkemas-kemas pula. Mereka ingin segera kembali ke
Pamingit. Meskipun Arya belum mengatakan tentang kehadiran ayahnya dan tentang
keadaan adik sepupunya. Ketika mereka sudah selesai berkemas, maka kedua
perempuan itu segera minta diri kepada penghuni rumah yang sudah lanjut usia
sambil mengucapkan diperbanyak terimakasih atas perlindungan yang diberikan.
“Eh,” sahut
kakek tua itu.
“Sudah menjadi
kewajiban setiap warga untuk melindungi Nyai Ageng berdua. Sedang yang aku
lakukan sekedar menerima Nyai berdua dan memberikan sekedar tempat untuk
beristirahat.”
“Aku tidak
akan melupakan kau, kek,” sahut Arya Salaka.
“Suatu saat
aku pasti akan menengok rumah ini.”
“Terimakasih
ngger, terimakasih.” Jawab orang itu.
Maka sesaat
kemudian, berjalanlah mereka berempat menuju Pamingit. Di dalam dada mereka
masing-masing bergetarlah angan angan menyongsong hari yang akan datang.
Nyai Ageng
Gajahsora menjadi gembira karena kini ia berjalan dengan anaknya yang hilang
dan kembali kepadanya sebagai pemuda yang perkasa. Arya Salaka memandang langit
yang cerah secerah hatinya. Sedang Mahesa Jenar menundukkan kepalanya
menghitung masa lampaunya. Tetapi kini sebagian besar pekerjaannya telah
selesai. Ia tinggal menghadapkan Arya Salaka kepada ayah bundanya, kemudian ia
sendiri akan ke Karang Tumaritis menanyakan panembahan Ismaya, apa yang harus
dilakukan atas Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten
Sesudah itu
datanglah saatnya mengurus dirinya sendiri. Perlahan lahan langit yang ditaburi
bintang itu menjadi semakin terang. Cahaya fajar yang meloncat dari balik bukit
telah menjalari seluruh langit. Dan bintang bintangpun semakin redup karenanya.
Angin pagi yang lembut mengalir perlahan lahan seakan ikut berdendang bersama
mereka yang sedang berjalan berempat itu menyanyikan lagu riang gembira
menyongsong hari yang cerah. Mereka berjalan dalam limpahan cahaya pagi.
Perjalanan itu bukanlah perjalanan yang berbahaya. Langit biru, batang batang
jagung yang hijau. Air yang jernih sejuk mengalir di parit-parit ditepi jalan.
Desa-desa yang menjorok seperti pulau-pulau di lautan hijau. Daun-daun bergoyang
ditiup angin pagi yang lembut, gemersik diantara kicau burung-burung liar yang
riang berloncatan dari dahan ke dahan. Tetapi ketika mereka hampir sampai di
bawah pohon nyamplung hati Mahesa Jenar dan Arya Salaka menjadi berdebar-debar.
Semalam mereka tidak sempat mengurus mayat Bugel Kaliki. Kalau mayat itu masih
di sana, pasti akan mengejutkan Nyai Ageng berdua. Tetapi mereka tidak dapat
menempuh jalan lain. Mereka harus melampaui jalan di bawah pohon nyamplung itu.
“Paman,”
tiba-tiba Arya berkata pelan sekali kepada Mahesa Jenar.
“Bagaimana
dengan mayat Bugel Kaliki?.”
Mahesa Jenar
mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
“lihatlah dan
kalau masih ada singkirkan sementara. Nanti kita selesaikan mayat itu
sebaik-baiknya.”
Arya
mengangguk, kemudian kepada ibunya ia berkata,
“Ibu dan Bibi,
perkenankanlah aku mendahului. Ada sesuatu yang akan aku lihat lebih dahulu.”
Nyai Ageng
berdua itu menjadi berdebar-debar. Maka bertanyalah Nyai Ageng Gajahsora,
“Apakah
keadaan di Pamingit masih belum baik Arya?.”
“Tidak ibu,”
jawab Arya, “kedadaan sudah terlalu baik. Tetapi parit yang menyilangi jalan di
sebelah pohon nyamplung yang tampak kemarin itu kemarin terlalu cepat mengalir
dan terlalu dalam airnya. Barangkali aku dapat memilih jalan yang lain.”
“Oh,” Nyai
Ageng Gajahsora dan nyai Lembu Sora menarik nafas lega, maka berkatalah ibu
Arya,
“pergilah.”
Aryapun pergi
bergegas mendahului. Ia tidak mau ibu serta bibinya menjadi terkejut dan ngeri.
Tetapi ketika ia sampai di bawah pohon itu, ia terkejut. Mayat itu sudah tak
ditemuinya di sana.
“Hilang,”
pikirnya. Yang dilihatnya hanyalah beberapa bekas darah yang mengalir dari
lukanya, luka Sawung Sariti. Dengan dada yang berdebar-debar, ia melihat
pakaiannya. Beberapa noda darah masih melekat dan mewarnai bajunya dengan
noda-noda merah kehitam-hitaman. Tetapi luka di dadanya tak mengalirkan darah
lagi. Ia yakin bahwa ibu dan bibinya telah melihat luka itu. Tetapi mereka
berdua tak mengucapkan sepatah pertanyaan pun.
“Ah!”
desisnya.
“Adalah hal
yang lumrah bahwa dalam daerah pertempuran seseorang mengalami luka di
tubuhnya.”
Ketika ia
menengok ke belakang, di lihatnya ibunya, bibinya serta Mahesa Jenar sudah
berjalan semakin dekat. Cepat-cepat ia berusaha menghapus bekas-bekas darah
yang mewarnai tanah di bawah pohon nyamplung itu. Namun sebuah pertanyaan
melingkar-lingkar di kepalanya, di manakah mayat Bugel Kaliki? Apakah ia masih
belum benar-benar mati dan kemudian bangkit kembali?
Tetapi Arya
Salaka tidak sempat berpikir terlalu panjang. Ia terpaksa berpura-pura berjalan
ke parit yang menyilang jalan di sebelah pohon nyamplung. Ia tersenyum sendiri
ketika ia melihat aliran airnya yang bening kemercik di antara batu-batu kecil
yang berserak-serakan di atas pasir. Aliran air di parit itu masih seperti
kemarin. Tidak lebih dari setinggi betis.
“Hem,” gumam
Arya,
“Tidak mungkin
parit sebesar ini menjadi berarus deras dan dalam.”
Ibu serta
bibinya itu pun menjadi semakin dekat. Dari jauh mereka melihat Arya Salaka
membungkuk-bungkuk kemudian duduk di tanggul parit di bawah pohon nyamplung.
Tetapi mereka tidak tahu apakah yang sudah dikerjakan oleh anak itu. Ketika itu
Arya sedang memungut sebatang pedang yang dipergunakan melawan Sawung Sariti,
serta sebatang pedang Sawung Sariti sendiri, yang kemudian keduanya dipergunakan
oleh Sawung Sariti untuk melawan Bugel Kaliki. Nyai Ageng Gajah Sora beberapa
kali memandang langit yang biru bersih. Di Sarapadan, kemarin setetes pun tak
turun hujan. Kalau demikian maka di bagian timur pasti hujan lebat kalau parit
itu benar-benar banjir. Ketika mereka sampai di tepi parit itu, maka Nyai Ageng
Gajah Sora pun menjadi heran. Parit itu tidak lebih dari sebetis dalamnya.
“Sudah tidak
banjir lagi, Arya?” ia bertanya.
“Tidak Ibu,”
jawab Arya.
Tampaklah
beberapa pertanyaan masih tersimpan di dalam wajah ibunya, namun tak satupun
yang terkatakan. Ketika mereka sudah melampaui parit itu dan berjalan menyusur
jalan kecil, maka berbisiklah Mahesa Jenar,
“Bagaimana
dengan mayat itu?”
“Hilang,”
bisik Arya singkat.
Mahesa Jenar
mengerutkan keningnya.
“Hilang?” ia
mengulang.
“Ya, hilang!”
jawab Arya.
“ANEH,” desis
Mahesa Jenar sambil menarik nafas. Pada saat ia melihat Bugel Kaliki terbaring
di tanah, ia sudah yakin bahwa orang itu telah terbunuh. Tetapi Mahesa Jenar
pun tidak berkata-kata lagi, meskipun tampak juga ia sedang berpikir. Di
perjalanan itu, tidak banyak yang sempat mereka pertanyakan. Mereka sibuk
dengan angan-angan di kepala masing-masing. Sedang matahari merayapi bola
langit dengan tekunnya, semakin lama semakin tinggi. Cahaya yang cerah memancar
dan terbanting di atas batu-batu padas yang kemerah-merahan. Arya mengangkat
wajahnya ketika tiba-tiba ia mendengar bunyi garengpung. Teringatlah ia pada
masa kanak-kanaknya. Sehari-harian ia mengejar binatang-binatang semacam itu. Apabila
didapatnya, disimpannya di dalam ketupat janur yang masih kosong.
“Kita sudah
memasuki ujung musim kemarau,” desisnya.
“Suara
garengpung itu?” tanya gurunya.
“Ya,” jawab
Arya. Kembali mereka berdiam diri. Dan mereka menjadi berdebar-debar ketika
mereka melihat dikejauhan, disela-sela batang-batang jagung yang telah rusak,
desa yang mereka tuju, jantung Daerah Perdikan Pamingit. Tiba-tiba langkah
mereka menjadi semakin cepat tanpa mereka sengaja. Mereka ingin segera sampai
untuk melihat apa yang telah terjadi dan ingin segera bertemu dengan
orang-orang yang mereka kasihi. Sanak keluarga dan tetangga-tetangga yang baik
hati.
Ketika mereka
menginjakkan kaki mereka di pusat pemerintahan Pamingit itu, Nyai Ageng Gajah
Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora menjadi terkejut. Beberapa buah rumah hancur
terbakar dan beberapa lagi menjadi porak poranda.
“Beginikah
Pamingit sekarang?” keluh Nyai Ageng Lembu Sora.
“Tetapi itu
hanya bekas-bekas keganasan mereka, orang-orang dari segerombolan hitam, Bibi,”
sahut Arya, “Sedang orang-orang itu sendiri kini sudah dibinasakan.”
“Tidakkah
mereka akan datang mengganggu lagi?” tanya Nyai Ageng Lembu Sora.
“Tidak Bibi.
Mudah-mudahan tidak. Tuhan akan melindungi kita selama kita berada di atas
kebenaran,” jawab Arya, namun di dalam hatinya ia meneruskan,
“Kebenaran
dalam firman-firman Tuhan, bukan kebenaran dalam tafsiran kita masing-masing,
sebab akan berlipat-lipatlah dosa kita kalau kita mengaburkan batas antara
kebenaran sejati dengan kebenaran yang sekadar menguntungkan kita sendiri.”
Beberapa orang
Pamingit yang melihat kedatangan mereka menjadi saling berbisik,
“Itulah, Nyai
Ageng Lembu Sora telah kembali.”
Dan jawab yang
lain,
“Syukurlah
kalau Nyai Ageng selamat. Tak ada kabar beritanya selama ini, kemana Nyai Ageng
pergi.”
Dan beberapa
orang kemudian menemuinya di perjalanan itu sambil membungkuk-bungkuk
mengucapkan selamat. Nyai Ageng Lembu Sora menyambut salam itu dengan senyum
yang tulus. Senyum yang memancarkan kegembiraan hatinya serta pertanyaan syukur
bahwa ia masih sempat bertemu dengan mereka.
Ketika mereka
menginjak halaman rumah Nyai Ageng Lembu Sora, di hadapan alun-alun yang tak
begitu luas sekali lagi hati mereka melonjak. Nyai Ageng Lembu Sora bahkan
menjadi terpaku di regol halaman. Rumah itu telah hancur menjadi abu. Tinggal
beberapa bagiannya yang masih tersisa dan roboh berserak-serakan. Dengan
menekankan tangan di dadanya, terdengarlah ia bergumam,
“Ya ampun.
Malapetaka telah menimpa Pamingit.”
Dan di dalam
hatinya Nyai Ageng Lembu Sora itu berkata,
“Aku telah
mencoba mencegah Ki Ageng supaya tidak terlalu memanjakan nafsu, namun agaknya
tak dihiraukannya. Sekarang hukuman Tuhan telah menimpa keluarga Pamingit.”
Ia menjadi
terkejut ketika Arya berkata,
“Bibi, Eyang
dan beberapa orang lain berada di banjar desa sebelah. Marilah kita pergi ke
sana.”
Bibinya tidak
menyahut. Namun tampak dari matanya sebutir airmata yang menetes. Maka pergilah
mereka bersama-sama ke Banjar Desa, yang ditempati untuk sementara waktu oleh
para pemimpin Pamingit. Ketika mereka sampai di Banjar itu, ternyata beberapa
orang telah berada pula di sana. Di antara mereka, Arya melihat pula ayahnya,
Gajah Sora. Kedatangan mereka itu ternyata telah menarik perhatian. Semua orang
mengangkat wajahnya dan bergumam di dalam hati mereka.
“Itulah mereka
datang.”
Yang paling
terkejut di antara mereka justru Nyai Ageng Gajah Sora. Seperti orang bermimpi
ia melihat suaminya, Ki Ageng Gajah Sora duduk di antara beberapa orang itu.
Beberapa kali ia mengedipkan matanya, namun yang ditatapnya itu masih tetap
berada di tempatnya. Bahkan tiba-tiba Gajah Sora pun berdiri. Telah sekian lama
ia menahan keinginannya untuk mengetahui keselamatan isterinya. Dan sekarang
isterinya itu datang. Karena itu maka ia pun segera melangkah ke pintu
menyongsong kedatangan isterinya itu.
DADA Nyai
Ageng Gajah Sora benar-benar bergoncang. Yang berdiri di muka pintu itu adalah
suaminya. Bukan dalam mimpi. Baru saja hatinya melonjak-lonjak karena anaknya
yang hilang telah kembali kepadanya. Sekarang tiba-tiba suaminya yang pergi lebih
dahulu dari anaknya, berdiri pula di hadapannya. Meskipun demikian antara
percaya dan tidak, Nyai Ageng berdesis,
“Arya, apakah
itu benar ayahmu?”
“Ya, Ibu.
Itulah Ayah Gajah Sora,” jawab Arya perlahan-lahan.
Nyai Ageng
Gajah Sora tak kuasa lagi menahan perasaannya. Ia pun segera berlari dan
bersimpuh di kaki suaminya sambil menangis sejadi-jadinya. Sekali lagi dada
Mahesa Jenar seperti diguncang. Seorang isteri yang setia telah menemukan
suaminya kembali. Di Banyubiru, ketika Gajah Sora itu datang bersamanya dari
Gunung Tidar, Mahesa Jenar melihat Nyai Ageng Gajah Sora menerima kedatangan
suaminya dengan membersihkan kakinya dengan air dingin yang jernih. Pada saat
itu ia telah berangan-angan, alangkah sejuknya penerimaan yang demikian itu di
hati suaminya.
Sekarang Nyai
Ageng Gajah Sora tidak saja membasuh kaki suaminya dengan air yang bening,
tetapi ia telah membasuhnya dengan air mata. Ki Ageng Gajah Sora pun menjadi
terharu atas pertemuan itu. Untuk beberapa kali ia berdiam diri seperti patung
dan membiarkan isterinya bersimpuh sambil menangis. Namun kemudian setelah ia
tersadar dari pesona itu, diangkatnya isterinya supaya berdiri dan diajaknya ia
masuk ke dalam banjar desa itu. Maka kemudian suasana Banjar Desa itu menjadi
gembira dan mengharukan. Meskipun kadang-kadang Nyai Ageng Gajah Sora masih
meneteskan air mata, namun air mata yang memancarkan rasa terima kasih kepada
Tuhan yang telah mempertemukannya dengan anak dan sekaligus suaminya. Nyai
Ageng Lembu Sora pun menjadi bergembira pula. Ia ikut bersyukur bersama kakak
iparnya itu. Keluarga yang seakan-akan telah terpecah belah, kini mereka telah
berkumpul kembali dalam suatu lingkungan yang bahagia. Namun meskipun demikian,
hatinya menjadi kurang tentram. Suaminya tidak ada diantara mereka. Bahkan
setelah mereka duduk beberapa saat pun, Ki Ageng Lembu Sora tidak juga
menampakkan diri. Meskipun demikian, ia tidak sampai hati untuk menanyakannya.
Tetapi Nyai
Ageng Lembu Sora tidak dapat menghindarkan diri dari perasaan gelisah. Di dalam
peperangan, dapat saja segalanya terjadi. Karena itu maka ia menjadi bercemas
hati. Beberapa saat kemudian, datanglah seorang Pamingit ke banjar desa itu.
Kepada Wulungan yang duduk di dekat pintu, ia berkata,
“Kakang
Wulungan, adakah angger Arya Salaka telah datang?”
“Ya,” jawab
Wulungan, “Belum terlalu lama.”
“Beserta Nyai
Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora?” Orang itu berjalan pula.
“Ya, beserta
keduanya,” jawab Wulungan pula. Orang itu berhenti sejenak, kemudian ia berkata
pula perlahan-lahan,
“Ki Ageng
Lembu Sora minta mereka datang ke pondoknya. Ki Ageng tak dapat hadir di
banjar, pagi ini.”
Wulungan
mengerutkan keningnya. Ia sudah tahu kalau Sawung Sariti terluka. Karena itu ia
tidak bertanya lebih lanjut. Sebab ia sudah menduga bahwa Nyai Ageng Lembu Sora
belum diberitahukan akan hal ini. Karena itu ia berkata,
“Baiklah, aku
diberitahu akan hal ini.” Karena itu ia berkata,
“Baiklah, aku
persilahkan Nyai Ageng Lembu Sora nanti segera datang.”
Setelah orang
itu pergi, kecemasan benar-benar mencekam dada Nyai Ageng Lembu Sora. Dengan
tergagap ia bertanya,“Kenapa dengan Ki Ageng Lembu Sora?”
“Tidak
apa-apa, Nyai,” jawab Wulungan.
“Ki Ageng
Lembu Sora dalam keadaan sehat walafiat. Mungkin ada yang harus diselesaikan di
pondok Ki Ageng. Maka sebaiknya Nyai Ageng pergi ke sana. Marilah aku
antarkan.”
Kemudian
pandangan mata Wulungan pun beredar berkeliling, kepada Arya Salaka, Mahesa
Jenar, Gajah Sora dan yang lain-lain, dengan melontarkan pertanyaan,
“Bagaimanakah
dengan Angger Arya Salaka dan yang lain?”
Arya Salaka
dan Mahesa Jenar yang telah mengetahui keadaan Sawung Sariti pun segera
menjawab hampir bersamaan,
“Aku ikut
serta.”
“Marilah,?
sahut Wulungan. Dan sesaat kemudian hampir semua orang di banjar desa itupun
pergi ke pondok Ki Ageng Lembu Sora yang tidak begitu jauh dari banjar desa
itu.
Nyai Ageng
Lembu Sora, Nyai Ageng Gajah Sora, Gajah Sora sendiri, Mahesa Jenar dan Arya
Salaka, diantar oleh Wulungan. Jarak yang hanya beberapa ratus tombak itu, bagi
Nyai Ageng Lembu Sora terasa begitu panjangnya. Berbelit-belit lewat
jalan-jalan sempit, di antara dinding-dinding batu halaman-halaman rumah yang
sudah sangat dikenalnya. Rumah Si Santa, rumah Si Gersik, Dandang, pekatik
suaminya, dan rumah-rumah lain yang sering dilewatinya. Dan halaman-halaman rumah-rumah
itu seakan-akan menjadi bertambah panjang. Jauh berlipat-lipat dari yang pernah
dilihatnya sebelum terjadi peperangan.
DEMIKIAN Nyai
Ageng Lembu Sora sampai di muka pintu, segera ia berlari masuk. Beberapa orang
telah berada di ruangan itu. Dan ketika tiba-tiba matanya bertemu pandang
dengan suaminya, terlontarlah dari bibirnya ungkapan kelegaan hatinya.
“Oh!” Tetapi
sesaat kemudian kembali dadanya berguncang ketika pandangan matanya terbanting
di atas bale-bale bambu, dimana sesosok tubuh sedang berbaring, dikerumuni oleh
beberapa orang. Mertuanya, Ki Ageng Sora Dipayana, seorang yang belum
dikenalnya dan dua orang gadis yang belum pernah dilihatnya pula. Ketika
orang-orang itu melihat kehadirannya, segera mereka menduga bahwa itulah Nyai
Ageng Lembu Sora, dan karena itu segera mereka menyibak. Barulah kemudian Nyai
Ageng Lembu Sora melihat dengan jelas siapakah yang terbaring di atas bale-bale
bambu itu. Anak laki-lakinya, Sawung Sariti. Sesaat ia menjadi terbungkam
melihat tubuh yang pucat dan memejamkan mata itu. Tubuhnya menjadi gemetar, dan
tiba-tiba ia memekik sambil berlari memeluk tubuh Sawung Sariti,
“Sariti!”
Terdengar
suaranya meninggi dan kemudian kata-katanya hilang tenggelam dalam tangisnya
yang meledak.
Sawung Sariti
mendengar jerit itu. Perlahan-lahan ia membuka matanya. Ia masih merasa betapa
mesra ibunya memeluk tubuhnya sambil membasahinya dengan air mata.
“Ibu,”
desisnya perlahan-lahan.
“Ngger, kenapa
kau?” tanya ibunya sambil menangis. Diciumnya kening anaknya beberapa kali. Tak
seorang pun yang dapat melepaskan diri dari cengkereman keadaan itu. Semua
orang menundukkan kepalanya. Sawung Sariti adalah satu-satunya anak Nyai Ageng
Lembu Sora. Dan sekarang jiwa anak itu berada di ujung bahaya. Tetapi Sawung
Sariti sendiri tersenyum dengan penuh keikhlasan. Sekali lagi ia mencoba
memandang semua orang yang hadir di ruangan itu. Ibunya, uwanya, suami istri Ki
Ageng dan Nyai Ageng Gajah Sora, ayahnya, eyangnya yang telah mendidiknya
dengan tekun dan mengharapnya dapat menyelamatkan daerah ini dari terkaman
orang-orang dari golongan hitam, Kebo Kanigara yang perkasa, yang telah
mendukungnya sampai ke tempat ini, Mahesa Jenar yang mengagumkan, baik kekuatan
jasmaniahnya maupun rohaniahnya, serta sifat-sifatnya yang sebagian menurun
kepada muridnya Arya Salaka, Rara Wilis dan gadis lincah yang bernama Endang
Widuri. Akhirnya ia melihat wajah kakek sepupunya itu, betapa sejuk dan lunak,
selunak hati gurunya.
Tiba-tiba
terdengar bibirnya berdesis,
“Kakang Arya,
kemarilah.”
Suara itu
perlahan sekali, tetapi karena bilik itu dicengkam oleh kesepian, Arya Salaka
pun mendengar suara itu dengan jelas, bahkan ia menjadi terkejut karenanya.
Seperti kehilangan kesadaran, ia melangkah maju dan berjongkok di samping
bibinya. Ketika Arya Salaka sudah berjongkok di samping bale-bale
pembaringannya, maka sekali lagi Sawung Sariti tersenyum. Hampir tidak
kedengaran ia berkata,
“Bagaimana
dengan luka di dadamu, Kakang?”
Arya Salaka
menjadi tergagap. Kenapa yang ditanyakan justru luka di dadanya itu.
Maka jawabnya,
“Baik Adi.
Sudah baik.”
“Suatu
kenangan yang tak dapat terhapuskan,” bisik Sawung Sariti kemudian,
“Di dadamu,
Kakang, akan tergores sebuah garis bekas luka itu. Dan garis itu tak akan
hilang. Apabila Kakang nanti bercermin di air Rawa Pening, maka Kakang akan
melihat goresan luka itu. Dan teringatlah Kakang kepadaku.”
Hati Arya
Salaka berdesir. Dengan sepenuh perasaan ia berkata,
“Aku akan
selalu mengenangnya. Dan peristiwa itu tak akan berulang.”
“Ya, tak akan
berulang kembali,” desis Sawung Sariti. Suaranya menjadi bertambah lemah.
Meskipun Ki Ageng Sora Dipayana telah mencoba mengobatinya dengan ramuan
daun-daunan yang diketahuinya, namun keadaan Sawung Sariti menjadi bertambah
berbahaya.
“Kakang,”
kembali Sawung Sariti berdesis,
“Kau maafkan
aku?”
“Tak ada yang
dapat dimaafkan Adi, sebab kau tak bersalah,” jawab Arya.
Sawung Sariti
tersenyum, katanya,
“Jangan
berkata begitu. Aku tahu aku bersalah. Kau maafkan kesalahan itu, Kakang?”
“Ya, ya tentu,
tentu,” jawab Arya cepat-cepat.
“Uwa Gajah
Sora akan memaafkan aku juga?” bisik Sariti kemudian.
“Tentu,
tentu,” jawab Arya pula.
“Kakang telah
memaafkan aku, Uwa Gajah Sora berdua juga akan memaafkan aku, Eyang Wanamerta,
Paman Pandan Kuning, dan Sawungrana….”
“Jangan
sebut-sebut itu, Adi,” potong Arya Salaka.
“Lupakanlah.
Mereka semua sudah memaafkanmu.”
“Tetapi adakah
Tuhan memaafkan aku pula?” kata Sariti tiba-tiba.
No comments:
Post a Comment