Bagian 087


ARYA SALAKA ternyata sudah berjongkok di belakang Mahesa Jenar, berdua dengan Karang Tunggal.
“Mendekatlah Arya,” kata Mahesa Jenar.
“Kakang…” Sawung Sariti tidak meneruskan kata-kata, namun matanya telah memancarkan segenap perasaan yang tersimpan di dadanya.
“Tenangkan hatimu Adi,” pinta Arya Salaka mengulangi kata-kata Kebo Kanigara. Dan sekali lagi Sawung Sariti tersenyum.
“Biarlah anak ini aku bawa kembali ke Pamingit,” kata Kebo Kanigara.
“Mungkin Paman Sora Dipayana dapat mengobatinya.”
“Sebaiknyalah demikian, Kakang,” jawab Mahesa Jenar,
“Dan biarlah Arya Salaka menjemput ibunya dan ibu Sawung Sariti.”
Mendengar Mahesa Jenar menyebut-nyebut ibunya, berdesislah Sawung Sariti. Katanya lemah,
“Tolonglah Kakang Arya, jemputlah ibuku sekali.”
“Baiklah Adi,” jawab Arya,
“Akan aku bawa Bibi Lembu Sora bersama ibuku ke Pamingit.”
Sawung Sariti masih mencoba tersenyum walau wajahnya semakin sayu. Katanya,
“Terimakasih Kakang.”

Kebo Kanigara pun kemudian bangkit sambil mengangkat tubuh Sawung Sariti perlahan-lahan. Dalam pada itu terdengar Sawung Sariti berkata perlahan-lahan,
“Paman, aku telah menyulitkan Paman.”
“Jangan berpikir demikian Sawung Sariti,” jawab Kebo Kanigara.
“Adalah kewajiban manusia untuk saling membantu. Mungkin pada suatu saat aku akan memerlukan bantuanmu pula.”
Sawung Sariti tidak menjawab. Tetapi hatinya menjadi terharu. Apakah Kebo Kanigara akan berbuat demikian manisnya pula seandainya dirinya berhasil membunuh Arya Salaka?
“Hem…” Ia menggeram. Perasaan sesal meronta-ronta di dalam dadanya. Sesal atas segala macam pekertinya yang jauh tersesat ke daerah nafsu.
Mereka pun kemudian berjalan ke arah yang berbeda-beda. Arya Salaka dan Mahesa Jenar ke Sarapadan, sedang Kebo Kanigara mendukung Sawung Sariti ke Pamingit.
Yang berdiri kebingungan adalah Karebet. Ia memandang Arya Salaka dengan permintaan, apakah boleh pergi bersamanya.
“Tidakkah Kakang Karang Tunggal pergi bersama Paman Kebo Kanigara?” tanya Arya Salaka,
“Barangkali Paman Kebo Kanigara perlu bantuan Kakang, mendukung Adi Sawung Sariti. Di Pamingit nanti kita bertemu. Barangkali Kakang Karang Tunggal banyak mampunyai ceritera yang menarik.”
“Oh!” Karebet seperti tersadar dari mimpi. Bukankah ia dapat membantu pamannya itu. Karena itu maka katanya,
“Baiklah Adi, aku membantu Paman Karang Jati.”

Dan berlari-larilah Karebet menyusul pamannya. Ketika ia telah berjalan di belakang pamannya, berkatalah ia perlahan-lahan,
“Paman, biarlah Adi Sawung Sariti aku dukung.”
Kebo Kanigara menoleh. Tapi ia tidak segera menjawab. Karena itu hati Karang Tunggal menjadi berdebar-debar. Akhirnya ia berjalan sambil menundukkan kepalanya. Hatinya berdesir ketika pamannya itu bertanya,
“Kenapa kau berada di sini, Karebet?”
Kepala Karebet menjadi semakin tunduk. Ia benar-benar takut kepada pamannya itu.
“Kenapa?” ulang Kebo Kanigara. 
Karebet masih belum dapat menjawab. Karena itu hatinya menjadi semakin kecut.
Tiba-tiba berkatalah Karang Jati, “He, Karebet. Kau akan ikut aku ke Pamingit?”
“Ya, Paman,” jawab Karebet singkat.
“Bagus, kau akan dapat menemui kawan-kawanmu dari pasukan Nara Manggala,” sambung Kebo Kanigara. Karebet terkejut.
“Nara Manggala?” ulangnya.
“Ya,” jawab Kebo Kanigara acuh tak acuh.
“Ki Gajah Alit, dan para pejabat rahasia Demak, Ki Paningron.”
“Benarkah keduanya di sini?” desak Karebet semakin terkejut.
“Kenapa?” tanya Kebo Kanigara. Karebet terdiam. Sekali lagi pandangan matanya terbanting di tanah. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakan.
“Karebet…” kata Kebo Kanigara kemudian,
“Seharusnya kau menjadi gembira. Bukankah kau akan bertemu dengan perwira-perwira dari pasukan Demak? Aku dengar, kau pun telah menjadi lurah Wira Tamtama.”
“Ya, Paman, tetapi…” Karebet tak dapat meneruskan kata-katanya.
“Tetapi kenapa?” desak Kebo Kanigara. Sekali lagi Karebet terbungkam. Akhirnya terdengar Kebo Kanigara berkata dengan suara yang berat,
“Karebet, apakah yang sebenarnya terjadi?”

Karebet masih berjalan dengan muka tunduk di belakang pamannya. Ia tidak berani mengatakan apa yang telah terjadi sehingga ia diusir dari Kraton Demak. Bahwa ia masih hidup dan lepas dari kemarahan Sultan yang lebih besar lagi, adalah karena Sultan sejak semula telah tertarik kepada keperwiraan dan kecekatannya, sehingga kasih yang dilimpahkan kepadanya agak berlebihan dibanding dengan para prajurit lainnya. Kemudian terdengar Kebo Kanigara berkata,
“Aku sudah tahu apa yang kau lakukan di Demak, Adol bagus. Kau sangka di seluruh kolong langit ini hanya kau sendiri seorang laki-laki?”
Hati Karebet menjadi semakin berdebar-debar. Dan karena itu wajahnya menjadi semakin tumungkul memandang pundaknya. Ia menyangka bahwa pamannya akan memarahinya. Namun sebenarnya Kebo Kanigara pun sayang benar kepada kemenakannya yang nakal itu.
Maka katanya,
“Karebet, bagaimanakah pertimbanganmu? Apakah kau akan menemui para perwira dari prajurit Demak itu?”
Beberapa saat Karebet diam. Ia menjadi berlega hati ketika pamannya tidak memaki-makinya. Setelah debar jantungnya mereda, ia berkata,
“Aku kira lebih baik tidak, Paman.”
“Nah, kalau demikian, jangan ikuti aku. Pergilah ke Banyubiru. Setelah semuanya selesai, aku akan ke sana mengantarkan Arya Salaka. Aku akan menemuimu. Dan kau harus berkata sebenarnya apa yang telah terjadi dan apa yang pernah kau lakukan.”
“Baik Paman,” jawab Karebet.
“Aku sekarang berada di rumah Ki Buyut atau yang dikenal Ki Lemah Telasih.”
“Nah, pergilah. Apakah kau sudah tahu jalan yang harus kau tempuh?” tanya Kebo Kanigara. Sebenarnya ia tahu bahwa hampir seluruh jalan di sekitar pegunungan Merapi, Merbabu, Slamet, Ungaran, Murya, Sindara, Sumbing, Lawu, Kelut, Kawi sampai di daerah barat dan timur telah dilintasinya. 

Ket.
SADAK KINANG (selembar atau dua lembar sirih dengan kinang siap dinikmati) masih bergulir. Seorang pembaca menulis. Ternyata ada yang menerjemahkan kematian Arya Palindih akibat sadak kinang oleh Karebet adalah perlambang bahwa Arya Palindih diperdaya melalui bujuk rayu wanita. Siapa lagi yang makan sirih, apalagi kalau sirihnya sudah siap dilahap oleh siapa saja.

KAREBET pun kemudian mengambil jalan lain untuk langsung pergi ke Banyubiru. Daerah yang tidak terlalu dekat. Namun berjalan kaki bagi Karebet adalah pekerjaannya sehari-hari. Kebo Kanigara berhenti sejenak melihat langkah kemenakannya itu. Karebet benar-benar memiliki tubuh idaman bagi setiap laki-laki. Apalagi bagi mereka yang mesu raga, olah keprawiraan. Badannya tegap, berdada bidang. Tangan-tangan serta kaki-kakinya kokoh kuat seperti baja. Sedang geraknya lincah cekatan seperti burung sikatan. Dan Karebet mempunyai modal yang cukup lengkap. Selain tubuhnya yang serasi, ia pun memiliki wajah yang tampan. Tetapi wajahnya yang tampan itulah yang menyebabkan ia diusir dari Demak. Kebo Kanigara tidak yakin bahwa kemenakannya itu benar-benar membunuh orang Demak. Cara Paningron menceriterakannya telah menimbulkan kecurigaan. Senyum-senyum yang aneh. Dan ia telah memaklumi maksudnya. Pada saat itu bintang-bintang di langit telah bergeser jauh dari tempat semula. Lamat-lamat terdengar ayam jantan berkokok bersahutan. Dalam keheningan malam itu terdengar Sawung Sariti berbisik, “Kenapa Kakang Karebet paman perintahkan ke Banyubiru? Aku ingin berkenalan dengan pemuda yang perkasa itu.”
Kebo Kanigara kini telah berjalan lagi. Langkahnya tegap dan agak cepat. Perlahan-lahan terdengar ia menjawab
“Barangkali lebih baik demikian, Sawung Sariti. Sedang kau, pada masa-masa yang akan datang akan dapat mengenalnya lebih dekat.”
Sawung Sariti menarik nafas dalam-dalam. Terasa seolah-olah beribu-ribu jarum menusuk-nusuk dadanya dari dalam. Dengan lirih ia berdesis,
“Mudah-mudahan aku mempunyai waktu.”
“Jangan berangan-angan demikian.” Kebo Kanigara menasihati,
“Berdoalah supaya lukamu sembuh kembali.”

Namun sebenarnya Kebo Kanigara pun dihinggapi perasaan cemas melihat anak muda dalam dukungan tangannya itu. Karena itu ia berjalan semakin cepat, supaya segera sampai ke Pamingit. Dalam pada itu Arya Salaka dan Mahesa Jenar berjalan ke arah yang berlawanan. Sekali-kali Arya memandang ke langit yang bersih. Perlahan-lahan ia berkata,
“Hujan sudah jauh berkurang, Paman.”
“Sudah kita lampaui mangsa kesanga,” sahut pamannya.
“Mudah-mudahan hari-hari yang akan datang tidak selalu diliputi oleh awan yang kelam.
“Hari-hari yang cerah,” desis Arya Salaka kemudian untuk sesaat mereka berdiam diri. Namun tiba-tiba terdengar Arya berkata, “Paman, ternyata Bugel Kaliki tidak sekuat yang aku sangka. Bukankah ia termasuk tokoh yang sejajar dengan Sima Rodra dan sebagainya?”
“Tentu,” jawab Mahesa Jenar.
“Tetapi pengaruh keadaan telah menyebabkan ia kehilangan pengamatan. Ia benar-benar telah putus asa. Hilangnya beberapa orang sahabatnya menjadikan Bugel Kaliki berhati kecil. Apalagi kali ini ia melihat kehadiranku dan Kakang Kebo Kanigara bersama-sama. Sedang sebelum itu pun ia sudah harus bekerja berat. Bukankah kau dan Karebet telah melawannya dengan gigih? Karebet benar-benar anak luar biasa. Apalagi dengan Sangkelat di tangannya. Yang lebih mempercepat kekalahannya adalah bongkah di punggungnya. Sejak semula aku melihat, betapa ia melindungi punggungnya itu, sehingga aku berpikir bahwa orang itu pasti memiliki kelemahan di punggungnya itu. Demikianlah ketika tanganku mengenai tengkuknya, ternyata Bugel Kaliki tak mampu melawannya”.
Arya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia yakin, bahwa apabila ia bertempur, tidak saja ia harus mempergunakan tenaganya, tetapi juga otaknya, sehingga dapat diketahuinya, kekuatan dan kelemahan lawan. Kembali mereka berdiam diri. Ujung malam itu ditandai oleh suara kokok ayam jantan dari desa di hadapan mereka, Surapadan.

Tiba-tiba Arya Salaka menjadi berdebar-debar. Kakinya serasa gemetar, dan ingin meloncat berlari mencari pondok yang dikatakan oleh Titis Anganten. Tiga halaman dari gardu di mulut jalan desa. Tetapi ia menahan dirinya, sebab gurunya berjalan di sampingnya. Dalam keriuhan suara ayam jantan itu, terdengar Mahesa Jenar berkata,
“Ibumu dan bibimu berada di desa itu Arya?”
“Ya paman,” jawab Arya.
“Adakah kau tadi pergi bersama Sawung Sariti?” bertanya Mahesa Jenar kemudian.
Arya menjadi ragu-ragu. Namun ia menjawab pula,
“Ya paman”.
“Apakah yang terjadi?” berkata Mahesa Jenar pula.
“Kami bertemu dengan Bugel Kaliki. Untunglah kakang Karebet tiba-tiba saja berada di tempat itu pula,” jawab Arya bimbang.
“Sebelum itu apakah yang terjadi?” desak Mahesa Jenar.
Kembali Arya menjadi ragu-ragu. Ia tidak segera menjawab. Apakah pamannya tahu bahwa ia lebih dahulu bertempur melawan Sawung Sariti? Dalam kebimbangan itu terdengar Mahesa Jenar berkata,
“Arya aku tidak yakin luka di dadamu itu karena tangan Bugel Kaliki sebab ia tidak bersenjata tajam, bahkan kalau kau tersentuh tangannya maka akibatnya akan sama seperti yang diderita oleh Sawung Sariti. Karena itu aku ingin tahu, siapakah yang melukaimu?.”
Mulut Arya menjadi berat seberat perasaannya untuk menyebut nama adiknya. Ia mencoba untuk berusaha melindunginya, namun pertanyaan gurunya itu benar-benar mendesaknya. Karena itu, betapapun beratnya ia terpaksa berkata,
“Sawung Sariti, paman.”
“Aku sudah menduga,” desis Mahesa Jenar.
“Dan kaupun telah melukai pundaknya.”
“Ya, paman,” Arya tidak dapat mengelak lagi.
“Lukamu tidak berbahaya, tetapi apakah kau melukai Sawung Sariti dengan Kiyai Suluh?.”
“Tidak paman, aku melukainya dengan pedang yang diberikan oleh Karang Tunggal.”
“Karang Tunggal sudah ada pada waktu itu?,” tanya Mahesa Jenar.
“Sudah paman,” Sahut Arya, kemudian diceritakannya apa yang diketahuinya. Sejak ia pergi bersama Sawung Sariti sehingga melihat Karebet bertempur melawan Sawung Sariti di bawah pohon nyamplung. Dari Karebet ia mendengar, bahwa agaknya Sawung Sariti telah menunggunya di situ.

Mahesa Jenar mengangguk-angguk namun yang meloncat dari mulutnya adalah,
“itulah gandu dimulut lorong.”
Kembali dada Arya berdebar cepat sekali. Beberapa langkah lagi ia akan sampai ke tempat ibunya menyembunyikan diri. Namun ia masih mendengar gurunya bergumam,
“untunglah kau tidak menyentuh adikmu dengan Kiyai Suluh. Sebab dengan demikian setiap orang, juga pamanmu Lembu Sora, eyangmu Sora Dipayana akan melihat kesaktian pusaka itu. Dan kaulah pembunuh yang sebenarnya dari adik sepupunya.”
Arya menundukkan wajahnya.
“Ya untunglah yang demikian tidak terjadi.”
Sesaat kemudian Arya berhenti disamping gardu dimulut lorong desa Sarapadan itu. Dan terdengarlah ia bergumam.
“Kita membelok ke kiri paman, tiga halaman dari gardu ini.”
Mahesa Jenar tidak menjawab. Ia mengikuti saja Arya yang melangkah perlahan menyusuri lorong itu sambil menghitung halaman di kanan jalan. Namun halaman di desa kecil itu ternyata cukup luas.
Ketika Arya Salaka dan Mahesa Jenar telah melampaui halaman yang ketiga, di dadanya serasa telah menggetarkan seluruh tubuhnya. Sesaat ia menjadi ragu-ragu.

Halaman ketiga ini dipagari oleh dinding batu yang sebagian telah rusak. Regolnya runtuh dan rumah yang berdiri di halaman itupun sudah tidak tegak lagi. Sebuah gubuk bambu beratap ilalang.
“Di sinikah ibu beserta bibi itu?,” desis Arya Salaka ragu ragu.
“Ya,” sahut Mahesa Jenar pasti.
“Tetapi….,” kata-kata Arya tertutup.
“Eyangmu Titis Anganten telah mencoba mempergunakan perhitungan sebaik-baiknya. Kau pasti menduga bahwa Ibu dan Bibimu berada di rumah yang paling baik di desa ini?.”
Arya mengangguk.
“Orang lainpun akan menduga demikian. Karena itulah maka ibu dan bibimu berhasil bersembunyi.” sahut Mahesa Jenar.
“Oh”, Arya menarik napas. ia menyadari kebodohannya.
Kemudian dengan dada berdebar-debar ia melangkahi bongkah kayu yang berserak serak disamping regol halaman itu.
Ia terhenti ketika ia sudah dimuka pintu.
“Ketuklah,” desis Mahesa Jenar. Perlahan lahan Arya mengetuk pintu rumah itu. Dan dari dalam rumah itu terdengar sapa perlahan, suara laki-laki tua.
“Siapa?.”
“Aku kakek,” sahut Arya Salaka.
“Aku siapa?,” orang itu menegaskan.

Arya telah menerima pesan dari Titis Anganten bagaimana ia harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya, supaya orang dirumah itu percaya bahwa kedatangannya sudah persetujuan Titis Anganten. Orang yang menitipkan dua orang pengungsi kepadanya.
“Aku kek, burung elang dari lereng bukit,” sahut Arya.
Mendengar jawaban itu Mahesa Jenar menggamit tangannya tetapi ketika Arya Salaka menganggukkan kepalanya, tahulah Mahesa Jenar maksud jawaban itu.
Kemudian terdengarlah langkah perlahan menuju ke pintu. Dan sesaat kemudian terdengarlah derak pintu lereg itu terbuka. Seorang lelaki tua berdiri terbongkok bongkok dimuka pintu sambil berusaha mengamati tamunya. 
“Masuklah,” orang tua itu mempersilahkan.
“Terimakasih kek, tetapi adakah sepasang pohon Wregu itu masih disini?,” bertanya Arya Salaka seperti pesan Titis Anganten.
Orang tua itu yakin sudah bahwa kedua orang itu adalah orang suruhan yang menitipkan kedua pengungsi kepadanya. Karena itu ia menjawab,
“Ya, ya, aku telah menjaganya dengan baik.”
Arya Salaka dan Mahesa Jenar melangkah masuk. Dipersilahkannya mereka duduk di bale-bale bambu. Berderak-deraklah suaranya ketika dua sosok tubuh yang gagah itu memberati bale-bale.
Orang tua itupun kemudian berjalan ke senthong kanan, dan terdengarlah ia berkata,
“Nyai telah datang utusan dari orang yang membawa nyai berdua kemari.”
“Sudahkah kau yakin kakek?” terdengar suara seorang wanita.
“Aku yakin, nyai,” jawab orang itu.

Dan sesaat kemudian dari sentong kanan keluarlah dua orang wanita. Jauh lebih tua dari lima enam tahun yang lampau . Wajahnya pucat dan kekurus kurusan. Karena itu tanpa sadar Arya menoleh dan cepat berdiri. Mahesa Jenarpun berdiri pula. Ia melihat betapa muridnya menjadi gemetar.
“Siapakah kau?,” bertanya salah seorang daripadanya.
Mulut Arya terbungkam. Ibunya itu ternyata sudah tidak mengenalinya. Yang menjawab kemudian adalah Mahesa Jenar.
“Adakah Nyai lupa kepadaku?,”
Orang itu mengerutkan keningnya. Akhirnya wajahnya cerah dan dengan ragu-ragu ia berkata,
“Adi Mahesa Jenar.”
“Ya, aku Mahesa Jenar,” jawab Mahesa Jenar.
“Oh,” terdengar ia berdesis dan wajahnya menjadi semakin cerah.
“Lalu siapa anak muda ini?.”
Mahesa Jenar dapat memaklumi, bahwa dirinya sendiri tidak mengalami banyak perubahan. Tetapi Arya Salaka yang sedang tumbuh itu akan mengejutkannya. Pada saat meninggalkan Banyu Biru, ia tidak lebih dari seorang anak-anak berumur antara tigabelas tahunan. Dan sekarang ia adalah seorang pemuda perkasa. Bertubuh kekar dan berdada bidang.
Karena itulah maka Mahesa Jenar berkata,
“Nyai, bertanyalah kepadanya siapakah namanya?.”

Nyai GajahSora menjadi ragu-ragu. Tetapi hatinya berdesir ketika melihat anak itu gemetar. Dan kemudian tiba-tiba saja anak muda itu meloncat maju berjongkok sambil memeluk kaki ibunya.
“Ibu….”
Nyai GajahSora terkejut. Dan terloncatlah dari mulutnya, “Kau kah itu.”
Arya Salaka tak kuasa menjawab pertanyaan itu. Kerongkongannya serasa tersumbat batu. Sedangkan matanya menjadi panas.
Wanita itu kini yakin. Anak itu adalah anak yang pernah dibelainya enam tahun lalu, anak yang tidur dipangkuannya, dicium keningnya. Namun sering pula dimarahinya karena kenakalannya.
Tiba-tiba tangannya yang lemah memeluk kepala Arya Salaka dan menekankan ke dadanya. Dan terasa tiba-tiba dada yang tipis itu menggelombang.
Meledaklah sebuah tangis kegembiraan.
“Arya, bukankah kau Arya Salaka ?”
Juga Arya tidak mampu berkata sepatahpun. Sebagai laki laki yang tabah menghadapi setiap bahaya maut yang mengancamnya, Arya adalah seorang berhati baja. Namun kali ini ia tidak kuasa menahan diri. Meneteslah sebutir air mata .
Nyai Gajahsora benar-benar menangis. Ia tidak tahu apakah yang bergejolak di dalam dadanya.. Anak ini pada saat terakhir sebelum berpisah dengannya juga pernah dipeluknya seperti ini. Menekankan kepala anak ini ke dadanya. Kini anak itu tidak berdiri pada telapak kakinya tetapi pada kedua lututnya. Namun Nyai Gajahsora tak sempat memperhatikannya. Dipeluknya anak itu seperti enam tahun lampau, diciumnya keningnya dan dibasahi dahi anak itu dengan air mata.

Nyai Lembusora pun terharu melihat pertemuan itu. Tanpa sesadarnya dari matanya juga mengalir air mata. Ia tidak tahu apa yang terjadi antara anaknya dengan anak itu, antara suaminya dengan kakaknya Gajahsora. Karena kasihnya kepada Arya Salaka sebagai kemenakan satu-satunya tidak berkurang. Dengan demikian iapun terharu melihat pertemuan itu, setelah anak itu hilang selama enam tahun didsisi ibunya. Mahesa Jenar hanya dapat menundukkan wajahnya. Ia gembira, segembira Arya Salaka sendiri. Ia akan dapat menyerahkan anak itu nanti kepada ayah bundanya tanpa mengecewakan mereka. Mahesa Jenar telah tidak menyianyiakan kepercayaan Gajahsora kepadanya meskipun ia harus mengucapkan beribu-ribu terimakasih pula kepada Kebo Kanigara. Tiba-tiba terdengarlah suara Nyai Gajahsora terputus-putus karena isaknya,
“Kemana kau selama ini Arya?, ayahmu tak kunjung kembali dan kau meninggalkan aku seorang diri dalam sepi dan duka”
Arya ingin menjawab. Ingin bercerita bahwa ia sama sekali tidak bermaksud meninggalkan ibunya. Ia ingin mengatakan bahwa selama ini wajah ibunya tak sekejappun terhapus dari angan-angannya. Tetapi yang menyumbat kerongkongannya serasa menjadi semakin besar pula. Karena itu ia hanya dapat menelan ludahnya beberapa kali.

Dan kemudian ibunya menarik anak itu berdiri. Ketika Arya berdiri, terkejutlah Nyai Gajahsora. Katanya,
“Oh, kau sudah besar, kau benar-benar menjadi bayangan ayahmu, seperti belahannya dalam cermin.”
Mahesa Jenar berdesir mendengar kata-kata itu. Meskipun suaminya telah pergi selama enam tahun, namun setiap ungkapan kantanya menyatakan bahwa kesetiaannya tidak berkurang. Dan dalam suasasna yang demikian itulah Mahesa Jenar teringat akan dirinya. Apabila kelak ada sesuatu dengan dirinya, adakah seseorang yang akan menantinya? atau mencemaskannya?. Dan tiba-tiba pula teringatlah ia kepada Rara Wilis, seorang gadis yang setia menanti, meskipun umurnya selalu menghantuinya. Hari demi hari…..
Tiba-tiba Mahesa Jenar tersenyum. Ia menjadi malu kepada dirinya sendiri. Dengan sudut matanya disambarnya setiap wajah yang ada di ruangan itu. Kalau kalau ada diantara mereka yang melihat perubahan wajahnya.
“Hem,” ia menarik napas dalam-dalam. Sedang hantinya berkata,
“jangan berangan-angan seperti pemuda meningkat dewasa.”

Nyai Gajahsora dan Nyai Lembusorapun segera berkemas-kemas pula. Mereka ingin segera kembali ke Pamingit. Meskipun Arya belum mengatakan tentang kehadiran ayahnya dan tentang keadaan adik sepupunya. Ketika mereka sudah selesai berkemas, maka kedua perempuan itu segera minta diri kepada penghuni rumah yang sudah lanjut usia sambil mengucapkan diperbanyak terimakasih atas perlindungan yang diberikan.
“Eh,” sahut kakek tua itu.
“Sudah menjadi kewajiban setiap warga untuk melindungi Nyai Ageng berdua. Sedang yang aku lakukan sekedar menerima Nyai berdua dan memberikan sekedar tempat untuk beristirahat.”
“Aku tidak akan melupakan kau, kek,” sahut Arya Salaka.
“Suatu saat aku pasti akan menengok rumah ini.”
“Terimakasih ngger, terimakasih.” Jawab orang itu.
Maka sesaat kemudian, berjalanlah mereka berempat menuju Pamingit. Di dalam dada mereka masing-masing bergetarlah angan angan menyongsong hari yang akan datang.
Nyai Ageng Gajahsora menjadi gembira karena kini ia berjalan dengan anaknya yang hilang dan kembali kepadanya sebagai pemuda yang perkasa. Arya Salaka memandang langit yang cerah secerah hatinya. Sedang Mahesa Jenar menundukkan kepalanya menghitung masa lampaunya. Tetapi kini sebagian besar pekerjaannya telah selesai. Ia tinggal menghadapkan Arya Salaka kepada ayah bundanya, kemudian ia sendiri akan ke Karang Tumaritis menanyakan panembahan Ismaya, apa yang harus dilakukan atas Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten

Sesudah itu datanglah saatnya mengurus dirinya sendiri. Perlahan lahan langit yang ditaburi bintang itu menjadi semakin terang. Cahaya fajar yang meloncat dari balik bukit telah menjalari seluruh langit. Dan bintang bintangpun semakin redup karenanya. Angin pagi yang lembut mengalir perlahan lahan seakan ikut berdendang bersama mereka yang sedang berjalan berempat itu menyanyikan lagu riang gembira menyongsong hari yang cerah. Mereka berjalan dalam limpahan cahaya pagi. Perjalanan itu bukanlah perjalanan yang berbahaya. Langit biru, batang batang jagung yang hijau. Air yang jernih sejuk mengalir di parit-parit ditepi jalan. Desa-desa yang menjorok seperti pulau-pulau di lautan hijau. Daun-daun bergoyang ditiup angin pagi yang lembut, gemersik diantara kicau burung-burung liar yang riang berloncatan dari dahan ke dahan. Tetapi ketika mereka hampir sampai di bawah pohon nyamplung hati Mahesa Jenar dan Arya Salaka menjadi berdebar-debar. Semalam mereka tidak sempat mengurus mayat Bugel Kaliki. Kalau mayat itu masih di sana, pasti akan mengejutkan Nyai Ageng berdua. Tetapi mereka tidak dapat menempuh jalan lain. Mereka harus melampaui jalan di bawah pohon nyamplung itu.
“Paman,” tiba-tiba Arya berkata pelan sekali kepada Mahesa Jenar.
“Bagaimana dengan mayat Bugel Kaliki?.”
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
“lihatlah dan kalau masih ada singkirkan sementara. Nanti kita selesaikan mayat itu sebaik-baiknya.”
Arya mengangguk, kemudian kepada ibunya ia berkata,
“Ibu dan Bibi, perkenankanlah aku mendahului. Ada sesuatu yang akan aku lihat lebih dahulu.”
Nyai Ageng berdua itu menjadi berdebar-debar. Maka bertanyalah Nyai Ageng Gajahsora,
“Apakah keadaan di Pamingit masih belum baik Arya?.”
“Tidak ibu,” jawab Arya, “kedadaan sudah terlalu baik. Tetapi parit yang menyilangi jalan di sebelah pohon nyamplung yang tampak kemarin itu kemarin terlalu cepat mengalir dan terlalu dalam airnya. Barangkali aku dapat memilih jalan yang lain.”
“Oh,” Nyai Ageng Gajahsora dan nyai Lembu Sora menarik nafas lega, maka berkatalah ibu Arya,
“pergilah.”

Aryapun pergi bergegas mendahului. Ia tidak mau ibu serta bibinya menjadi terkejut dan ngeri. Tetapi ketika ia sampai di bawah pohon itu, ia terkejut. Mayat itu sudah tak ditemuinya di sana.
“Hilang,” pikirnya. Yang dilihatnya hanyalah beberapa bekas darah yang mengalir dari lukanya, luka Sawung Sariti. Dengan dada yang berdebar-debar, ia melihat pakaiannya. Beberapa noda darah masih melekat dan mewarnai bajunya dengan noda-noda merah kehitam-hitaman. Tetapi luka di dadanya tak mengalirkan darah lagi. Ia yakin bahwa ibu dan bibinya telah melihat luka itu. Tetapi mereka berdua tak mengucapkan sepatah pertanyaan pun.
“Ah!” desisnya.
“Adalah hal yang lumrah bahwa dalam daerah pertempuran seseorang mengalami luka di tubuhnya.”
Ketika ia menengok ke belakang, di lihatnya ibunya, bibinya serta Mahesa Jenar sudah berjalan semakin dekat. Cepat-cepat ia berusaha menghapus bekas-bekas darah yang mewarnai tanah di bawah pohon nyamplung itu. Namun sebuah pertanyaan melingkar-lingkar di kepalanya, di manakah mayat Bugel Kaliki? Apakah ia masih belum benar-benar mati dan kemudian bangkit kembali?
Tetapi Arya Salaka tidak sempat berpikir terlalu panjang. Ia terpaksa berpura-pura berjalan ke parit yang menyilang jalan di sebelah pohon nyamplung. Ia tersenyum sendiri ketika ia melihat aliran airnya yang bening kemercik di antara batu-batu kecil yang berserak-serakan di atas pasir. Aliran air di parit itu masih seperti kemarin. Tidak lebih dari setinggi betis.
“Hem,” gumam Arya,
“Tidak mungkin parit sebesar ini menjadi berarus deras dan dalam.”

Ibu serta bibinya itu pun menjadi semakin dekat. Dari jauh mereka melihat Arya Salaka membungkuk-bungkuk kemudian duduk di tanggul parit di bawah pohon nyamplung. Tetapi mereka tidak tahu apakah yang sudah dikerjakan oleh anak itu. Ketika itu Arya sedang memungut sebatang pedang yang dipergunakan melawan Sawung Sariti, serta sebatang pedang Sawung Sariti sendiri, yang kemudian keduanya dipergunakan oleh Sawung Sariti untuk melawan Bugel Kaliki. Nyai Ageng Gajah Sora beberapa kali memandang langit yang biru bersih. Di Sarapadan, kemarin setetes pun tak turun hujan. Kalau demikian maka di bagian timur pasti hujan lebat kalau parit itu benar-benar banjir. Ketika mereka sampai di tepi parit itu, maka Nyai Ageng Gajah Sora pun menjadi heran. Parit itu tidak lebih dari sebetis dalamnya.
“Sudah tidak banjir lagi, Arya?” ia bertanya.
“Tidak Ibu,” jawab Arya.
Tampaklah beberapa pertanyaan masih tersimpan di dalam wajah ibunya, namun tak satupun yang terkatakan. Ketika mereka sudah melampaui parit itu dan berjalan menyusur jalan kecil, maka berbisiklah Mahesa Jenar,
“Bagaimana dengan mayat itu?”
“Hilang,” bisik Arya singkat.
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya.
“Hilang?” ia mengulang.
“Ya, hilang!” jawab Arya.

“ANEH,” desis Mahesa Jenar sambil menarik nafas. Pada saat ia melihat Bugel Kaliki terbaring di tanah, ia sudah yakin bahwa orang itu telah terbunuh. Tetapi Mahesa Jenar pun tidak berkata-kata lagi, meskipun tampak juga ia sedang berpikir. Di perjalanan itu, tidak banyak yang sempat mereka pertanyakan. Mereka sibuk dengan angan-angan di kepala masing-masing. Sedang matahari merayapi bola langit dengan tekunnya, semakin lama semakin tinggi. Cahaya yang cerah memancar dan terbanting di atas batu-batu padas yang kemerah-merahan. Arya mengangkat wajahnya ketika tiba-tiba ia mendengar bunyi garengpung. Teringatlah ia pada masa kanak-kanaknya. Sehari-harian ia mengejar binatang-binatang semacam itu. Apabila didapatnya, disimpannya di dalam ketupat janur yang masih kosong.
“Kita sudah memasuki ujung musim kemarau,” desisnya.
“Suara garengpung itu?” tanya gurunya.
“Ya,” jawab Arya. Kembali mereka berdiam diri. Dan mereka menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat dikejauhan, disela-sela batang-batang jagung yang telah rusak, desa yang mereka tuju, jantung Daerah Perdikan Pamingit. Tiba-tiba langkah mereka menjadi semakin cepat tanpa mereka sengaja. Mereka ingin segera sampai untuk melihat apa yang telah terjadi dan ingin segera bertemu dengan orang-orang yang mereka kasihi. Sanak keluarga dan tetangga-tetangga yang baik hati.

Ketika mereka menginjakkan kaki mereka di pusat pemerintahan Pamingit itu, Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora menjadi terkejut. Beberapa buah rumah hancur terbakar dan beberapa lagi menjadi porak poranda.
“Beginikah Pamingit sekarang?” keluh Nyai Ageng Lembu Sora.
“Tetapi itu hanya bekas-bekas keganasan mereka, orang-orang dari segerombolan hitam, Bibi,” sahut Arya, “Sedang orang-orang itu sendiri kini sudah dibinasakan.”
“Tidakkah mereka akan datang mengganggu lagi?” tanya Nyai Ageng Lembu Sora.
“Tidak Bibi. Mudah-mudahan tidak. Tuhan akan melindungi kita selama kita berada di atas kebenaran,” jawab Arya, namun di dalam hatinya ia meneruskan,
“Kebenaran dalam firman-firman Tuhan, bukan kebenaran dalam tafsiran kita masing-masing, sebab akan berlipat-lipatlah dosa kita kalau kita mengaburkan batas antara kebenaran sejati dengan kebenaran yang sekadar menguntungkan kita sendiri.”
Beberapa orang Pamingit yang melihat kedatangan mereka menjadi saling berbisik,
“Itulah, Nyai Ageng Lembu Sora telah kembali.”
Dan jawab yang lain,
“Syukurlah kalau Nyai Ageng selamat. Tak ada kabar beritanya selama ini, kemana Nyai Ageng pergi.”
Dan beberapa orang kemudian menemuinya di perjalanan itu sambil membungkuk-bungkuk mengucapkan selamat. Nyai Ageng Lembu Sora menyambut salam itu dengan senyum yang tulus. Senyum yang memancarkan kegembiraan hatinya serta pertanyaan syukur bahwa ia masih sempat bertemu dengan mereka.

Ketika mereka menginjak halaman rumah Nyai Ageng Lembu Sora, di hadapan alun-alun yang tak begitu luas sekali lagi hati mereka melonjak. Nyai Ageng Lembu Sora bahkan menjadi terpaku di regol halaman. Rumah itu telah hancur menjadi abu. Tinggal beberapa bagiannya yang masih tersisa dan roboh berserak-serakan. Dengan menekankan tangan di dadanya, terdengarlah ia bergumam,
“Ya ampun. Malapetaka telah menimpa Pamingit.”
Dan di dalam hatinya Nyai Ageng Lembu Sora itu berkata,
“Aku telah mencoba mencegah Ki Ageng supaya tidak terlalu memanjakan nafsu, namun agaknya tak dihiraukannya. Sekarang hukuman Tuhan telah menimpa keluarga Pamingit.”
Ia menjadi terkejut ketika Arya berkata,
“Bibi, Eyang dan beberapa orang lain berada di banjar desa sebelah. Marilah kita pergi ke sana.”
Bibinya tidak menyahut. Namun tampak dari matanya sebutir airmata yang menetes. Maka pergilah mereka bersama-sama ke Banjar Desa, yang ditempati untuk sementara waktu oleh para pemimpin Pamingit. Ketika mereka sampai di Banjar itu, ternyata beberapa orang telah berada pula di sana. Di antara mereka, Arya melihat pula ayahnya, Gajah Sora. Kedatangan mereka itu ternyata telah menarik perhatian. Semua orang mengangkat wajahnya dan bergumam di dalam hati mereka.
“Itulah mereka datang.”
Yang paling terkejut di antara mereka justru Nyai Ageng Gajah Sora. Seperti orang bermimpi ia melihat suaminya, Ki Ageng Gajah Sora duduk di antara beberapa orang itu. Beberapa kali ia mengedipkan matanya, namun yang ditatapnya itu masih tetap berada di tempatnya. Bahkan tiba-tiba Gajah Sora pun berdiri. Telah sekian lama ia menahan keinginannya untuk mengetahui keselamatan isterinya. Dan sekarang isterinya itu datang. Karena itu maka ia pun segera melangkah ke pintu menyongsong kedatangan isterinya itu.

DADA Nyai Ageng Gajah Sora benar-benar bergoncang. Yang berdiri di muka pintu itu adalah suaminya. Bukan dalam mimpi. Baru saja hatinya melonjak-lonjak karena anaknya yang hilang telah kembali kepadanya. Sekarang tiba-tiba suaminya yang pergi lebih dahulu dari anaknya, berdiri pula di hadapannya. Meskipun demikian antara percaya dan tidak, Nyai Ageng berdesis,
“Arya, apakah itu benar ayahmu?”
“Ya, Ibu. Itulah Ayah Gajah Sora,” jawab Arya perlahan-lahan.
Nyai Ageng Gajah Sora tak kuasa lagi menahan perasaannya. Ia pun segera berlari dan bersimpuh di kaki suaminya sambil menangis sejadi-jadinya. Sekali lagi dada Mahesa Jenar seperti diguncang. Seorang isteri yang setia telah menemukan suaminya kembali. Di Banyubiru, ketika Gajah Sora itu datang bersamanya dari Gunung Tidar, Mahesa Jenar melihat Nyai Ageng Gajah Sora menerima kedatangan suaminya dengan membersihkan kakinya dengan air dingin yang jernih. Pada saat itu ia telah berangan-angan, alangkah sejuknya penerimaan yang demikian itu di hati suaminya.

Sekarang Nyai Ageng Gajah Sora tidak saja membasuh kaki suaminya dengan air yang bening, tetapi ia telah membasuhnya dengan air mata. Ki Ageng Gajah Sora pun menjadi terharu atas pertemuan itu. Untuk beberapa kali ia berdiam diri seperti patung dan membiarkan isterinya bersimpuh sambil menangis. Namun kemudian setelah ia tersadar dari pesona itu, diangkatnya isterinya supaya berdiri dan diajaknya ia masuk ke dalam banjar desa itu. Maka kemudian suasana Banjar Desa itu menjadi gembira dan mengharukan. Meskipun kadang-kadang Nyai Ageng Gajah Sora masih meneteskan air mata, namun air mata yang memancarkan rasa terima kasih kepada Tuhan yang telah mempertemukannya dengan anak dan sekaligus suaminya. Nyai Ageng Lembu Sora pun menjadi bergembira pula. Ia ikut bersyukur bersama kakak iparnya itu. Keluarga yang seakan-akan telah terpecah belah, kini mereka telah berkumpul kembali dalam suatu lingkungan yang bahagia. Namun meskipun demikian, hatinya menjadi kurang tentram. Suaminya tidak ada diantara mereka. Bahkan setelah mereka duduk beberapa saat pun, Ki Ageng Lembu Sora tidak juga menampakkan diri. Meskipun demikian, ia tidak sampai hati untuk menanyakannya.

Tetapi Nyai Ageng Lembu Sora tidak dapat menghindarkan diri dari perasaan gelisah. Di dalam peperangan, dapat saja segalanya terjadi. Karena itu maka ia menjadi bercemas hati. Beberapa saat kemudian, datanglah seorang Pamingit ke banjar desa itu. Kepada Wulungan yang duduk di dekat pintu, ia berkata,
“Kakang Wulungan, adakah angger Arya Salaka telah datang?”
“Ya,” jawab Wulungan, “Belum terlalu lama.”
“Beserta Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora?” Orang itu berjalan pula.
“Ya, beserta keduanya,” jawab Wulungan pula. Orang itu berhenti sejenak, kemudian ia berkata pula perlahan-lahan,
“Ki Ageng Lembu Sora minta mereka datang ke pondoknya. Ki Ageng tak dapat hadir di banjar, pagi ini.”
Wulungan mengerutkan keningnya. Ia sudah tahu kalau Sawung Sariti terluka. Karena itu ia tidak bertanya lebih lanjut. Sebab ia sudah menduga bahwa Nyai Ageng Lembu Sora belum diberitahukan akan hal ini. Karena itu ia berkata,
“Baiklah, aku diberitahu akan hal ini.” Karena itu ia berkata,
“Baiklah, aku persilahkan Nyai Ageng Lembu Sora nanti segera datang.”
Setelah orang itu pergi, kecemasan benar-benar mencekam dada Nyai Ageng Lembu Sora. Dengan tergagap ia bertanya,“Kenapa dengan Ki Ageng Lembu Sora?”
“Tidak apa-apa, Nyai,” jawab Wulungan.
“Ki Ageng Lembu Sora dalam keadaan sehat walafiat. Mungkin ada yang harus diselesaikan di pondok Ki Ageng. Maka sebaiknya Nyai Ageng pergi ke sana. Marilah aku antarkan.”
Kemudian pandangan mata Wulungan pun beredar berkeliling, kepada Arya Salaka, Mahesa Jenar, Gajah Sora dan yang lain-lain, dengan melontarkan pertanyaan,
“Bagaimanakah dengan Angger Arya Salaka dan yang lain?”
Arya Salaka dan Mahesa Jenar yang telah mengetahui keadaan Sawung Sariti pun segera menjawab hampir bersamaan,
“Aku ikut serta.”
“Marilah,? sahut Wulungan. Dan sesaat kemudian hampir semua orang di banjar desa itupun pergi ke pondok Ki Ageng Lembu Sora yang tidak begitu jauh dari banjar desa itu.

Nyai Ageng Lembu Sora, Nyai Ageng Gajah Sora, Gajah Sora sendiri, Mahesa Jenar dan Arya Salaka, diantar oleh Wulungan. Jarak yang hanya beberapa ratus tombak itu, bagi Nyai Ageng Lembu Sora terasa begitu panjangnya. Berbelit-belit lewat jalan-jalan sempit, di antara dinding-dinding batu halaman-halaman rumah yang sudah sangat dikenalnya. Rumah Si Santa, rumah Si Gersik, Dandang, pekatik suaminya, dan rumah-rumah lain yang sering dilewatinya. Dan halaman-halaman rumah-rumah itu seakan-akan menjadi bertambah panjang. Jauh berlipat-lipat dari yang pernah dilihatnya sebelum terjadi peperangan.

DEMIKIAN Nyai Ageng Lembu Sora sampai di muka pintu, segera ia berlari masuk. Beberapa orang telah berada di ruangan itu. Dan ketika tiba-tiba matanya bertemu pandang dengan suaminya, terlontarlah dari bibirnya ungkapan kelegaan hatinya.
“Oh!” Tetapi sesaat kemudian kembali dadanya berguncang ketika pandangan matanya terbanting di atas bale-bale bambu, dimana sesosok tubuh sedang berbaring, dikerumuni oleh beberapa orang. Mertuanya, Ki Ageng Sora Dipayana, seorang yang belum dikenalnya dan dua orang gadis yang belum pernah dilihatnya pula. Ketika orang-orang itu melihat kehadirannya, segera mereka menduga bahwa itulah Nyai Ageng Lembu Sora, dan karena itu segera mereka menyibak. Barulah kemudian Nyai Ageng Lembu Sora melihat dengan jelas siapakah yang terbaring di atas bale-bale bambu itu. Anak laki-lakinya, Sawung Sariti. Sesaat ia menjadi terbungkam melihat tubuh yang pucat dan memejamkan mata itu. Tubuhnya menjadi gemetar, dan tiba-tiba ia memekik sambil berlari memeluk tubuh Sawung Sariti,
“Sariti!”
Terdengar suaranya meninggi dan kemudian kata-katanya hilang tenggelam dalam tangisnya yang meledak.
Sawung Sariti mendengar jerit itu. Perlahan-lahan ia membuka matanya. Ia masih merasa betapa mesra ibunya memeluk tubuhnya sambil membasahinya dengan air mata.
“Ibu,” desisnya perlahan-lahan.
“Ngger, kenapa kau?” tanya ibunya sambil menangis. Diciumnya kening anaknya beberapa kali. Tak seorang pun yang dapat melepaskan diri dari cengkereman keadaan itu. Semua orang menundukkan kepalanya. Sawung Sariti adalah satu-satunya anak Nyai Ageng Lembu Sora. Dan sekarang jiwa anak itu berada di ujung bahaya. Tetapi Sawung Sariti sendiri tersenyum dengan penuh keikhlasan. Sekali lagi ia mencoba memandang semua orang yang hadir di ruangan itu. Ibunya, uwanya, suami istri Ki Ageng dan Nyai Ageng Gajah Sora, ayahnya, eyangnya yang telah mendidiknya dengan tekun dan mengharapnya dapat menyelamatkan daerah ini dari terkaman orang-orang dari golongan hitam, Kebo Kanigara yang perkasa, yang telah mendukungnya sampai ke tempat ini, Mahesa Jenar yang mengagumkan, baik kekuatan jasmaniahnya maupun rohaniahnya, serta sifat-sifatnya yang sebagian menurun kepada muridnya Arya Salaka, Rara Wilis dan gadis lincah yang bernama Endang Widuri. Akhirnya ia melihat wajah kakek sepupunya itu, betapa sejuk dan lunak, selunak hati gurunya.
Tiba-tiba terdengar bibirnya berdesis,
“Kakang Arya, kemarilah.”

Suara itu perlahan sekali, tetapi karena bilik itu dicengkam oleh kesepian, Arya Salaka pun mendengar suara itu dengan jelas, bahkan ia menjadi terkejut karenanya. Seperti kehilangan kesadaran, ia melangkah maju dan berjongkok di samping bibinya. Ketika Arya Salaka sudah berjongkok di samping bale-bale pembaringannya, maka sekali lagi Sawung Sariti tersenyum. Hampir tidak kedengaran ia berkata,
“Bagaimana dengan luka di dadamu, Kakang?”
Arya Salaka menjadi tergagap. Kenapa yang ditanyakan justru luka di dadanya itu.
Maka jawabnya,
“Baik Adi. Sudah baik.”
“Suatu kenangan yang tak dapat terhapuskan,” bisik Sawung Sariti kemudian,
“Di dadamu, Kakang, akan tergores sebuah garis bekas luka itu. Dan garis itu tak akan hilang. Apabila Kakang nanti bercermin di air Rawa Pening, maka Kakang akan melihat goresan luka itu. Dan teringatlah Kakang kepadaku.”
Hati Arya Salaka berdesir. Dengan sepenuh perasaan ia berkata,
“Aku akan selalu mengenangnya. Dan peristiwa itu tak akan berulang.”
“Ya, tak akan berulang kembali,” desis Sawung Sariti. Suaranya menjadi bertambah lemah. Meskipun Ki Ageng Sora Dipayana telah mencoba mengobatinya dengan ramuan daun-daunan yang diketahuinya, namun keadaan Sawung Sariti menjadi bertambah berbahaya.
“Kakang,” kembali Sawung Sariti berdesis,
“Kau maafkan aku?”
“Tak ada yang dapat dimaafkan Adi, sebab kau tak bersalah,” jawab Arya.
Sawung Sariti tersenyum, katanya,
“Jangan berkata begitu. Aku tahu aku bersalah. Kau maafkan kesalahan itu, Kakang?”
“Ya, ya tentu, tentu,” jawab Arya cepat-cepat.
“Uwa Gajah Sora akan memaafkan aku juga?” bisik Sariti kemudian.
“Tentu, tentu,” jawab Arya pula.
“Kakang telah memaafkan aku, Uwa Gajah Sora berdua juga akan memaafkan aku, Eyang Wanamerta, Paman Pandan Kuning, dan Sawungrana….”
“Jangan sebut-sebut itu, Adi,” potong Arya Salaka.
“Lupakanlah. Mereka semua sudah memaafkanmu.”
“Tetapi adakah Tuhan memaafkan aku pula?” kata Sariti tiba-tiba. 


<<< Bagian 086                                                                                              Bagian 088 >>>

No comments:

Post a Comment