“MUDAH-MUDAHAN mereka tidak berbuat keributan,” pikirnya.
Lalu setelah
itu mulailah perhatiannya beredar ke sudut-sudut halaman rumah kepala pedukuhan
itu. Sejak dari pagar batu yang mengelilingi setinggi orang, sampai pada
pohon-pohon liar yang tumbuh tidak begitu teratur bertebaran di sana-sini.
Tetapi
tiba-tiba Manahan terkejut karena gemeretak gigi Handaka. Ketika ia menoleh,
dilihatnya wajah Handaka yang merah padam, sedang nafasnya mengalir cepat.
Manahan menjadi agak terkejut. Sadarlah ia bahwa pasti ada sesuatu di hati anak
itu. Untunglah bahwa Manahan cepat dapat menggamit Bagus Handaka yang hampir
saja melompat berdiri.
“Handaka…”
bisik Manahan,
“Ada apa?”
Mata Bagus
Handaka menjadi merah menyala. Tubuhnya gemetar karena menahan diri.
“Bapak,
biarkan aku kali ini membuat perhitungan,” desisnya.
Manahan
menjadi keheran-heranan.
“Kau kenapa
Handaka?” tanya Manahan.
“Aku tidak mau
melepaskan anak itu pergi,” jawabnya.
Manahan
menjadi semakin heran. Karena itu ia segera berusaha menenangkan hati Bagus
Handaka.
Dengan
perlahan-lahan ia berkata,
“Tenanglah
Handaka, jangan kau biarkan perasaanmu meluap-luap. Ada apakah sebenarnya
dengan anak itu?”
“Bapak,
belumkah Bapak kenal dia?” tanya Handaka.
Manahan
menggelengkan kepalanya.
“Semalam aku
agak kurang dapat melihat wajah anak muda itu. Juga barangkali setelah tiga
tahun aku tidak bertemu, maka baru setelah aku mengingat-ingat agak lama, aku kenal
ia kembali,” sambung Bagus Handaka.
“Siapakah
dia?” desak Manahan ingin tahu.
“Sawung
Sariti, putra Paman Lembu Sora,” jawab Handaka.
Berdesirlah
dada Manahan mendengar jawaban itu. Memang sebelumnya ia belum pernah melihat
anak itu. Tetapi bagaimanapun, Manahan tidak ingin maksudnya gagal. Apalagi
setelah ia mengetahui bahwa anak itu adalah anak Lembu Sora, keinginannya untuk
mengetahui maksud kedatangannya di pedukuhan itu semakin mendesak. Maka itu
segera ia berkata,
“Bagus
Handaka, cobalah kuasai perasaanmu. Dengan bertindak tergesa-gesa barangkali,
tidak banyak keuntungannya.”
“Sudah aku
katakan bahwa aku ingin mengetahui apakah kedatangannya kemari. Agaknya ia
sudah tidak mengenal kau kembali setelah kau menjadi anak sawah dan anak laut.
Barangkali kulitmu telah hitam terbakar matahari dan tersiram ombak lautan. Hal
itu adalah suatu keuntungan bagimu sehingga usaha kita tidak lekas dapat
diketahui. Dengan mengetahui lebih banyak tentang Sawung Sariti itu, bukankah
jalanmu menjadi semakin licin…?”
Bagus Handaka
menekan giginya kuat-kuat. Ia sedang berusaha untuk menenangkan dirinya.
Seperti biasa ia tidak pernah berani melanggar perintah dan nasehat gurunya,
bagaimanapun nasehat atau perintah itu bertentangan dengan kehendaknya.
“Handaka…”
sambung Manahan,
”Barangkali
permintaanku ini mengecewakan engkau, tetapi dengan sangat aku harapkan bahwa
kau dapat memenuhinya”.
Handaka
menundukkan kepalanya. Dengan penuh ketaatan ia menjawab,
“Baiklah
Bapak, aku selalu berusaha untuk dapat memenuhi nasehat Bapak”.
Manahan
mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan-lahan. Sambil tersenyum ia berkata
pula,
“Nah, sekarang
nikmatilah permainan ini. Ingat, kita adalah perantau yang tak berharga. Dua
orang ayah-beranak yang malas, yang pergi dari satu tempat, ke lain tempat
untuk menuntut belas kasihan orang”.
Handaka
menganggukkan kepalanya, tetapi ia tidak menjawab. Terkilaslah di dalam otaknya
permainan-permainan aneh yang pernah dilakukan oleh gurunya, yang kadang kadang
sangat membingungkannya. Kemudian teringat pulalah keanehan orang yang tak
dikenal, yang bahkan gurunya pun tak mengenalnya, yang mengajarkannya dengan
cara yang sama sekali tak diduga-duganya. Enam malam berturut-turut
menyerangnya dengan cara yang berbeda-beda menurut urutan yang teratur.
Apakah setiap
orang sakti itu mempunyai cara-cara yang tidak menurut kebiasaan orang-orang
lumrah…? pikirnya.
Tetapi ia
tidak menanyakan hal itu kepada gurunya.
Sementara itu
terjadi pulalah berbagai pembicaraan diantara orang-orang yang berada di
pendapa. Pembicaraan mereka mula-mula berkisar pada persoalan-persoalan yang
berarti. Tentang sawah, air dan tentang kebiasaan-kebiasaan penduduk pedukuhan
itu. Diantara mereka terdengarlah seorang yang tampaknya berasal dari Pamingit,
yang bersama-sama dengan Sawung Sariti memberikan beberapa petunjuk mengenai
cara-cara mengolah sawah. Tiba-tiba kemudian terdengarlah anak muda yang
ternyata adalah Sawung Sariti itu berkata nyaring,
He, Paman
Lurah, siapakah dua orang yang duduk di sana itu?”
Mendengar sapa
itu, semua mata kemudian tertuju kepada Manahan dan Bagus Handaka, yang
kemudian kepalanya menjadi semakin tunduk. Dadanya terasa bergelora hebat,
namun ia sama sekali tidak berani melanggar pesan gurunya.
Sesaat
kemudian terdengarlah Wiradapa menjawab,
“Mereka adalah
Manahan dan Bagus Handaka, yang semalam bermalam di rumahku, Tuan”.
“O…” sahut
Sawung Sariti.
“Untuk apa
mereka datang kemari?”
“Bukankah Tuan
yang memerintahkannya?” jawab Wiradapa pula.
Terdengarlah
Sawung Sariti tertawa. Suaranya terdengar melengking tinggi.
“Benar Paman,
memang aku yang menyuruhnya kemari. Aku sama sekali tidak senang melihat orang
bermalas-malas seperti kedua orang itu”.
Mendengar
percakapan itu dada Bagus Handaka serasa akan pecah terdesak oleh gelora
perasaannya. Ia belum pernah mengalami tanggapan yang sangat menyakitkan hati
seperti itu. Ia menjalani semua pahit getir penghidupan dengan senang hati,
tetapi tidak untuk direndahkan sedemikian.
Namun dengan
tabah ia menelan segala kepahitan itu, sebagai suatu kewajiban.
Karena itu
mukanya menjadi merah pengab. Dadanya seolah-olah berdentang dentang oleh
pukulan detak jantungnya. Manahan melihat keadaan Bagus Handaka itu dengan
penuh pengertian. Sebenarnya ia merasa kasihan kepada anak itu, namun ia harus
mengajarinya menahan diri.
Maka dengan
lembut ia berbisik,
“Di dalam
perjalanan hidupmu kelak Handaka, banyaklah tekanan-tekanan batin yang lebih
dahsyat daripada permainan ini. Karena itu anggaplah kali ini sebagai latihanmu
yang masih terlalu ringan”.
Kata-kata
Manahan itu ternyata besar pengaruhnya. Memang latihan selamanya terasa hebat.
Karena itu ia menjadi agak tenang dan menerapkan dirinya dalam suatu keadaan
latihan.
“Paman Lurah…”
kembali terdengar suara Sawung Sariti,
“Pekerjaan
apakah yang dapat diberikan kepada orang-orang malas itu?”
Lurah Gedangan
yang sama sekali tidak mempunyai rencana apapun menjadi agak bingung, maka
jawabnya,
“Terserahlah
Tuan, sebab aku tidak memerlukan mereka berdua”.
Kembali
terdengar Sawung Sariti tertawa nyaring. Tetapi kemudian tampak wajahnya
berkerut. Agaknya ia teringat sesuatu yang sangat penting. Tiba-tiba ia berdiri
dan mendekati salah seorang pengiringnya. Untuk beberapa saat mereka saling
berbisik-bisik. Setelah itu kemudian dengan tersenyum-senyum Sawung Sariti
berkata,
“He
orang-orang malas, siapakah namamu?”
Manahan
memutar duduknya, dan sambil membungkuk hormat ia menjawab,
“Namaku
Manahan, Tuan… dan ini anakku bernama Handaka”.
“Nama-nama
yang bagus,” sahutnya, kemudian ia meneruskan,
“Apakah yang
dapat kau kerjakan?”
Manahan
mengangkat mukanya.
“Apa saja yang
Tuan perintahkan, aku akan mencoba melakukannya”.
Sawung Sariti
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Besok aku
mempunyai pekerjaan penting untukmu berdua. Sekarang belum. Tetapi ingat,
jangan coba-coba meninggalkan pedukuhan ini. Sebab menurut pikiranku tak ada
orang lain yang dapat melakukannya kecuali kalian berdua. Kalau kalian mencoba
dengan diam-diam pergi dari pedukuhan ini, maka pasti orang-orangku akan
menemukan kalian dan memenggal leher kalian. Mengerti…?”
Manahan
memandangi wajah anak muda itu dengan penuh pertanyaan. Dengan nada
bertanya-tanya ia menjawab,
“Pekerjaan
apakah yang akan Tuan berikan itu. Dan adakah aku mampu melaksanakan?”
“Kau pasti
dapat melakukan,” jawabnya bersungguh-sungguh lalu ia meneruskan,
“Karena kalian
akan melakukan pekerjaan yang penting itu, maka sekarang kalian boleh
beristirahat, tidur untuk sehari penuh. Dan jangan takut kelaparan untuk sehari
ini. Paman Wiradapa akan memberimu makan sebanyak-banyaknya”.
SEKALI lagi
dada Handaka berguncang. Apalagi kalau diingatnya bahwa orang yang mengucapkan
kata-kata itu adalah anak pamannya yang telah berkhianat kepada ayahnya. Tetapi
kemudian Bagus Handaka telah dapat menempatkan perasaannya sebaik baiknya,
sehingga karena itu hanya suatu tarikan nafas yang dalam yang terdengar.
“Nah,
orang-orang malas…” sambung Sawung Sariti,
”Sekarang kau
boleh pergi. Kau boleh berjalan kemana kau suka, tetapi ingat jangan tinggalkan
pedukuhan ini”.
“Baiklah
Tuan,” jawab Manahan penuh hormat. Dan kemudian bersama-sama dengan Bagus
Handaka mereka meninggalkan halaman kalurahan.
Mereka
berjalan begitu saja sepanjang jalan desa tanpa tujuan. Manahan berjalan di depan
dengan kepala tunduk, sedang di belakangnya Bagus Handaka mengikutinya dengan
kepala yang dipenuhi teka-teki.
“Kemana kita
pergi Bapak?” tanya Handaka kemudian.
Manahan
menoleh, dan kemudian memperlambat jalannya sampai Handaka berjalan di sisinya.
Kemudian ia menjawab,
“Asal kita
berjalan Handaka. Melihat sawah-sawah, ladang serta lereng-lereng pegunungan”.
“Apakah
kira-kira yang harus kita kerjakan besok pagi?” tanya Handaka pula.
“Entahlah,”
jawab Manahan.
“Agaknya bukan
pekerjaan yang menyenangkan”.
Setelah itu
mereka berdua bersama-sama berdiam diri. Tetapi kaki mereka melangkah terus
sepanjang jalan yang kemudian sampai ke daerah persawahan. Batang-batang jagung
yang sudah setinggi lutut, tampak hijau segar di bawah sinar matahari pagi.
Burung liar
terbang bertebaran mencari mangsanya. Dan di sana sini beberapa orang telah
mulai mengerjakan sawahnya. Menyiangi tanamannya dan mengalirkan air dari
parit-parit. Meskipun apa yang mereka lakukan adalah cara-cara yang sederhana
sekali, namun karena tanah yang subur maka tanaman mereka tampak subur pula.
Manahan dan Handaka berjalan saja berkeliling tanpa tujuan. Ketika kemudian
matahari semakin tinggi, mereka berdua beristirahat di bawah pohon rindang di
simpang jalan. Selama itu tidak juga banyak yang mereka percakapan, karena
pikiran mereka masing-masing dipenuhi oleh berbagai masalah yang
melingkar-lingkar. Matahari merayap-rayap semakin tinggi di kaki langit.
Manahan dan Handaka melihat iring-iringan orang berkuda keluar dari pedukuhan.
Mereka adalah Sawung Sariti dengan tiga atau empat pengawalnya, Pak Lurah dan
beberapa orang lagi. Agaknya mereka akan menempuh suatu perjalanan yang agak
jauh, meskipun pasti pada hari itu juga mereka akan kembali ke pedukuhan itu.
“Wiradapa
tidak ikut dengan mereka,” bisik Manahan.
Handaka
menganggukkan kepalanya. Tetapi, ia tidak menjawab. Manahan pun tidak
melanjutkan kata-katanya pula. Kembali mereka tenggelam dalam angan-angan
mereka masing-masing. Tetapi sejenak kemudian mereka melihat Wiradapa berjalan
keluar lewat sudut desanya. Sebentar ia berhenti sambil memperhatikan
titik-titik yang semakin lama semakin jauh sambil meninggalkan hamburan debu
putih. Kemudian setelah titik-titik itu hilang di kelokan jalan, kembali
Wiradapa memandang berkeliling. Tiba-tiba matanya terhenti pada Manahan dan
Handaka yang masih duduk di bawah pohon di simpang jalan. Tampaklah orang itu
tersenyum dan kemudian ia melangkah mendekat.
“Tuan tidak
ikut serta dengan rombongan itu?” tanya Manahan sambil menghormat.
Wiradapa
menggelengkan kepala sambil menjawab,
“Tidak Ki
Sanak, aku lebih senang tinggal di rumah”.
“Kemanakah
mereka pergi?” tanya Manahan pula.
“Entahlah,”
jawab Wiradapa. Tetapi di balik kata-katanya itu Manahan menangkap sesuatu yang
tidak wajar. Namun ia sama sekali tidak mendesaknya.
“Siapakah
mereka itu Tuan?” tanya Manahan mengalihkan persoalan.
“Adakah mereka
bukan penduduk pedukuhan ini?”
“Bukan Ki
Sanak,” jawab Wiradapa sambil duduk di sisi Manahan.
“Mereka bukan
penduduk pedukuhan ini. Menurut keterangan mereka, mereka datang dari
Banyubiru. Anak muda itu adalah putra kepala daerah perdikan Banyubiru dan
Pamingit, yang menurut keterangan mereka, adalah bekas daerah Pangrantunan
lama”.
Manahan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan ekor matanya ia melihat wajah Bagus Handaka
yang berubah menjadi merah. Untunglah bahwa anak itu menundukkan wajahnya
sehingga perubahan itu tidaklah begitu nampak.
“Anak muda itu
bernama Sawung Sariti,” lanjut Wiradapa,
“Dan
orang-orang itu adalah pengawal-pengawal mereka dari Pamingit”.
“Apakah
keperluan mereka datang kemari?” tanya Manahan pula.
Wiradapa
tersenyum. Ia memandang Manahan dengan wajah yang lucu.
“Suatu
keperluan yang penting bagi orang-orang yang punya cita-cita,” jawabnya.
Manahan
menarik nafas. Ia sadar akan permainannya. Memang bagi orang yang pekerjaaannya
merantau dari satu desa ke desa yang lain, pertanyaannya agak terlampau maju.
Meskipun demikian, terdorong oleh keinginan untuk mengetahui lebih lanjut, ia
bertanya pula,
“Tuan, apakah
cita-cita seseorang yang telah menjabat sebagai kepala daerah perdikan?”
Kembali
Wiradapa tersenyum.
“Banyak juga
yang ingin kau ketahui Ki Sanak. Memang barangkali bagimu apa yang telah kau
capai hari ini telah cukup tanpa memikirkan masa depan. Tetapi justru bagi
orang-orang yang semakin tinggi pangkatnya, semakin tinggi cita-citanya.
Demikian juga Anakmas Sawung Sariti. Bukankah diatas kepala perdikan masih
banyak jabatan penting? Jabatan-jabatan istana, misalnya. Sedang jabatan istana
yang paling tinggi adalah raja”.
“RAJA…?” ulang
Manahan.
“Menurut
pendengaranku, raja adalah jabatan turun-temurun”.
“He, kau tahu
juga tentang raja?” potong Wiradapa, kemudian ia melanjutkan,
“Tetapi tidak
selamanya demikian”.
Manahan
mendengarkan kata-kata Wiradapa dengan sungguh sungguh. Ia mengharap agar
dengan demikian Wiradapa sampai pada keterangan yang sejauh-jauhnya.
“Tuan…, adakah
orang yang lain kecuali keturunannya boleh menjadi raja?” tanya Manahan pula.
Wiradapa
tertawa geli.
“Memang dapat
terjadi demikian”.
“Adakah Ki
Sanak ingin menjadi raja?”
Manahan
tertawa pula.
“Siapakah yang
tidak mau menjadi raja? Apapun yang dikehendaki selalu ada. Makanan lezat serta
minuman segar. Pakaian gemerlapan serta perhiasan yang cemerlang”.
Wiradapa tidak
dapat menahan tertawanya, sampai tubuhnya berguncang-guncang.
“Memang
barangkali kepentinganmu, apabila kau menjadi raja, adalah makanan lezat serta
minuman segar. Tetapi kau tidak pernah berpikir tentang pekerjaan serta
kewajibannya”.
“Apakah
pekerjaan raja?” tanya Manahan.
“Banyak
sekali,” jawab Wiradapa.
“Banyak sekali
dan tidak menyenangkan. Meskipun demikian banyak orang yang ingin menjabatnya.
Termasuk Anakmas Sawung Sariti”.
“Tetapi kenapa
Tuan muda yang ingin menjadi raja itu datang kemari. Adakah ia ingin menjadi
raja di sini?” sahut Manahan.
Sekali lagi
Wiradapa tertawa.
“Baiklah aku
ceriterakan kepadamu, barangkali perlu kau ceriterakan kelak buat anak cucumu
sebagai pengetahuan. Mungkin anak cucumu kelak tidak lagi menjadi perantau
seperti Ki Sanak ini. Untuk menjadi raja kadang-kadang diperlukan benda-benda
pusaka sebagai sipat kandel, atau sebagai wadah untuk menerima wahyu keraton.
Dengan memiliki pusaka-pusaka tertentu, orang menjadi kuat menerima wahyu.
Tanpa pusaka itu, mungkin seseorang yang tidak kuat menerima wahyu keraton,
malahan dapat menjadi gila. Misalnya, setelah ia menjadi raja, mempergunakan
kekuasaannya sewenang-wenang, atau menghambur-hamburkan uang perbendaharaan,
sehingga akhirnya ia jatuh dari jabatannya itu dengan berbagai cara. Nah,
sekarang Anakmas Sawung Sariti sedang bersiap-siap untuk mendapatkan pusaka
istana yang akan menjadi sipat kandel. Pusaka itu berupa dua keris yang maha
sakti, yang bernama Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten”.
Mendengar
keterangan itu sesuatu terasa berdesir di dada Manahan, dan kemudian jantungnya
terasa berdetak lebih cepat. Juga Bagus Handaka terkejut sampai ia mengangkat
mukanya. Untunglah bahwa Manahan masih dapat mengendalikan diri, sehingga
perasaannya tidak berkesan pada wajahnya. Demikian juga Bagus Handaka,
cepat-cepat menundukkan mukanya kembali.
“Jadi
kedatangan mereka kemari, adalah dalam usaha mereka menemukan pusaka pusaka
itu,” sambung Wiradapa.
Manahan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan sikap yang bodoh ia bertanya,
“Adakah kedua
keris itu di sini?”
Wiradapa
menggelengkan kepala, lalu jawabnya
“Tak
seorangpun diantara kami di sini yang pernah melihat keris-keris itu, bahkan
mendengar namanya pun baru kali ini”.
Melihat cara
mengatakannya, Manahan percaya bahwa Wiradapa telah berkata sebenarnya. Karena
itu ia menjadi kecewa, sebab ia mengharapkan setidak-tidaknya petunjuk di mana
kira-kira kedua keris itu sekarang.
“Tetapi…”
sambung Wiradapa,
“Di sebelah
selatan, ada sebuah padepokan yang disebut orang Padepokan Karang Tumaritis
atau disebut juga Karangdempel. Di sana tinggal seorang tua yang saleh. Yang
suka menolong sesama. Bahkan ia terkenal dengan kepandaiannya mengobati segala
macam penyakit. Ke sanalah Anakmas Sawung Sariti tadi pergi, menghadap orang
tua yang menamakan dirinya Panembahan Ismoyo. Konon orang percaya bahwa orang
tua itu titisan Dewa Ismoyo yang ditugaskan untuk menunggui pertapaannya.
Kemudian seperti kepada diri sendiri ia meneruskan, Tetapi mudah-mudahan
seandainya beliau tahu, janganlah beliau memberitahukan kepadanya”.
Kata-kata yang
terakhir itu justru menyentuh perasaan Manahan serta meninggalkan kesan yang
aneh. Kalau sampai orang seperti Wiradapa yang baik hati itu mengucapkan
kata-kata yang demikian, pastilah ada sebabnya yang cukup penting.
Dan tiba-tiba
tanpa sadar ia bertanya,
“Kenapa
demikian Tuan?”
Wiradapa
tersadar bahwa ia telah mengucapkan kata-kata yang sebenarnya tidak perlu.
Segera ia mencoba memperbaiki kesalahannya, katanya sambil tersenyum hambar,
Eh,
mudah-mudahan kepadakulah Panembahan Ismoyo kelak memberitahukan”.
Manahan sadar
sesadar-sadarnya, bahwa Wiradapa ingin bergurau untuk menyembunyikan
keterlanjurannya. Dan karena itu iapun segera menyesuaikan diri untuk
menyenangkan hati Wiradapa. Sambil tertawa-tawa Manahan menyahut,
Kalau Tuan
kelak mendapatkan pusaka-pusaka itu, serta kemudian menjadi raja, bukankah Tuan
akan sudi mengambil kami berdua sebagai pekatik?”
Mendengar
kata-kata Manahan, Wiradapa tertawa, lalu jawabnya,
“Bukankah kau
mau berdoa untukku?”
“Tentu,
Tuan…,” tentu! jawab Manahan.
Wiradapa
menarik nafas panjang. Mendadak saja dahinya tampak berkerut, katanya
perlahan-lahan,
“Aku tidak
boleh mimpi demikian, asal desa ini dapat aku selamatkan dari noda, aku telah
merasa senang”.
SEKALI lagi
perasaan Manahan tersentuh. Namun ia tidak bertanya apa-apa. Sehingga kemudian
Wiradapa berdiri sambil berkata,
“Ah, lebih
baik aku pergi dahulu Ki Sanak, untuk menengok sawah. Kalau Ki Sanak sudah
lelah duduk-duduk di sini, pulanglah. Ki Sanak dapat beristirahat di rumah.
Bukankah besok Ki Sanak akan mendapat pekerjaan penting?”
Karena itu
pula maka Manahan teringat untuk menanyakan pekerjaan apakah kira-kira yang
akan dilakukannya besok.
“Tuan…, apakah
yang harus aku kerjakan besok?”
Wiradapa
menggelengkan kepalanya,
“Entahlah”.
Dan setelah itu ia pun segera melangkah pergi.
Dari percakapan
pendek itu Manahan dapat mengambil banyak kesimpulan. Pasti terjadi sesuatu
yang kurang wajar di pedukuhan kecil dan sepi ini. Mungkin pula telah terjadi
beberapa pertentangan pendapat diantara mereka. Setelah Wiradapa agak jauh,
berkatalah Manahan kepada Bagus Handaka,
“Handaka…,
bukankah dengan permainan ini banyak yang dapat kita ketahui?”
Handaka
mengangguk, dan sambil tersenyum ia menjawab,
“Permainan
yang sulit, Bapak”.
Manahan
tertawa mendengar jawaban Handaka, katanya melanjutkan,
“Semakin sulit
permainan ini, semakin banyak hal yang kita dengar. Apalagi besok. Mungkin kita
akan mendapat pekerjaan yang menyenangkan sekali”.
“Mudah-mudahan
Bapak, mudah-mudahan bukan pekerjaan yang sulit,” jawab Handaka.
“Karena itu…”
sahut Manahan,
“Marilah kita
beristirahat untuk menyiapkan diri menghadapi pekerjaan kita besok”.
Handaka tidak
menjawab, dan ketika kemudian Manahan berdiri dan melangkah, Handaka pun
mengikutinya. Mereka dengan perlahan-lahan, tepat seperti dua orang pemalas,
berjalan di sepanjang jalan yang membujur diantara persawahan, dimana tampak
banyak orang laki-laki perempuan bekerja keras untuk makan mereka sehari-hari.
Beberapa pasang mata memandang Manahan dan Handaka dengan pandangan yang aneh.
Tetapi Handaka dan Manahan sama sekali tidak menghiraukan lagi. Pikiran mereka
sedang dicengkam oleh pertanyaan yang melingkar di seputar hari besok. Apakah
kira-kira yang harus dikerjakan. Siang hari itu, Manahan dan Handaka
duduk-duduk saja di dalam ruangan mereka. Hanya ketika matahari condong tanpa
ada yang menyuruhnya, Handaka mengambil air untuk mengisi jeding dan padasan.
Setelah sembahyang Isa, kembali mereka menyekap diri sambil bermain macanan.
Sesaat kemudian setelah malam semakin dalam, Manahan dan Handaka pun segera
menutup pintu ruangnya. Mereka sama sekali tidak bernafsu untuk keluar. Dalam
kesempatan yang demikian Handaka lebih senang belajar berbagai-bagai ilmu dari
gurunya, yang mengajarinya membaca dan menulis pula. Kadang-kadang Handaka
minta gurunya berceritera mengenai berbagai ilmu pengetahuan yang mungkin akan
sangat berguna kelak. Demikian juga malam itu, Manahan menceriterakan berbagai
hal dari lontar-lontar yang pernah dibacanya sehingga tidak terasa malam
menjadi semakin jauh menukik ke pusatnya. Tetapi tiba-tiba mereka terganggu
oleh suara telapak-telapak kaki memasuki halaman. Kemudian terdengar suara
memanggil dari halaman.
“Adi
Wiradapa…, sudahkah Adi tidur?”
Kemudian
terdengar jawaban dari dalam,
”Belum Kakang,
marilah, silahkan”.
Agaknya Lurah
pedukuhan itu dengan pengiringnya datang berkunjung. Setelah rombongan itu
masuk dan dipersilahkan duduk, terdengarlah mereka bercakap-cakap. Mula-mula
perlahan-lahan tetapi lama kelamaan menjadi semakin keras. Manahan dan Bagus
Handaka segera ikut memperhatikan percakapan itu pula.
“Kakang
Lurah….” Terdengar suara Wiradapa.
“Aku tidak
akan turut mempertanggungjawabkan perbuatan terkutuk itu”.
“Adi
Wiradapa…” jawab lurah itu,
“Sudah
berpuluh tahun kita bekerja bersama-sama. Sekarang kenapa Adi mau mengubah
naluri itu?”
“Aku hanya mau
bekerja sewajarnya,” jawab Wiradapa.
“Tetapi dengan
pekerjaan itu, kita akan mendapat kesempatan sebaik-baiknya untuk menjadi kaya
raya,” sahut lurah pedukuhan itu.
“Hem….”
Wiradapa menggeram,
“Aku tidak mau
pedukuhan ini ternoda. Pedukuhan yang sudah berpuluh-puluh tahun kita bina,
sekarang akan kita korbankan untuk keperluan yang sesat”.
“Jangan
berlagak seperti malaekat. Apakah kesalahan itu dapat ditimpakan kepada kita?
Kalau aku mengajak Adi Wiradapa untuk turut serta dalam pekerjaan ini, adalah
karena Adi Wiradapa akan banyak memperingan pekerjaan kami dan akan kami bagi
hadiah yang kita terima bersama-sama. Sebab aku tidak ingin untuk
mendapatkannya sendiri”.
“Aku tidak
mimpi untuk menerima hadiah, Kakang,” potong Wiradapa.
“Hem, jangan
menyesal kalau terjadi sesuatu. Aku telah menyiapkan orang-orangku sendiri.
Tanpa Adi, pekerjaan ini akan selesai dengan baik. Tetapi jangan coba
menghalangi aku”.
“Jangan
menakut-nakuti aku dengan ancaman,” sahut Widarapa.
“Aku sudah
mengenal Kakang Lurah, dan Kakang Lurah sudah lama pula mengenal aku”.
Lurah
pedukuhan itu tidak menjawab, tetapi terdengar ia menggeram marah. Kemudian
terdengar langkahnya pergi disusul oleh langkah menjauhi. Percakapan itu sangat
menarik perhatian Manahan dan Bagus Handaka. Tetapi sayang bahwa dari
percakapan itu, tak ada yang menunjukkan tindakan apa yang akan dilakukan oleh
lurah itu.
“Apakah yang
akan mereka lakukan Bapak?” tanya Bagus Handaka berbisik.
Manahan
menggelengkan kepala.
“Entahlah,”
jawabnya.
“Adakah lurah
itu akan menyerang Sawung Sariti?” tanya Handaka seterusnya.
“Pasti tidak,”
jawab Manahan.
“Kalau
demikian dari siapa lurah itu mengharapkan hadiah?”
HANDAKA
mengangguk-angguk. Tetapi pikirannya menjadi bertambah kalut.
“Mungkin
pekerjaan kita besok ada hubungannya dengan peristiwa ini,” kata Manahan
kemudian.
“Ya, mungkin
demikian Bapak,” sahut Handaka.
Setelah itu
kembali mereka berdiam diri, mereka-reka dan menebak-nebak apakah yang
kira-kira akan terjadi. Dalam pada itu terdengarlah Wiradapa menutup pintu dan
kemudian terdengar ia berkata kepada istrinya,
“Nyai,
tidurlah di ruang belakang. Jangan pedulikan apa yang terjadi”.
“Ada apakah
sebenarnya Kakang? Dan kenapa Kakang tidak mau bekerja sama dengan Kakang
Lurah?” tanya istrinya.
“Tak ada
apa-apa. Tetapi sekali lagi, jangan pedulikan apa yang terjadi,” jawab
Wiradapa.
“Tetapi…?”
Terdengar istrinya masih akan bertanya.
“Sudahlah
Nyai,” potong suaminya,
“Tak ada
apa-apa yang terjadi”.
Kemudian istri
Wiradapa tidak berkata apa-apa lagi. Kemudian terdengar ia pergi ke ruang
belakang, dekat dengan ruang Manahan. Setelah itu terdengar gemerincing
senjata. Agaknya Wiradapa bersiap-siap untuk menghadapi setiap kemungkinan.
Manahan dan Handaka menjadi semakin bertanya-tanya di dalam hati. Begitu
penting agaknya persoalan yang dihadapi oleh Wiradapa, sehingga ia terpaksa
menyiapkan senjata, untuk menghadapi orang yang telah berpuluh tahun bekerja
bersama-sama. Kemudian kembali malam ditelan sepi. Yang terdengar hanyalah
suara jengkerik dan angkup nangka bercuit-cuit. Tetapi dalam setiap dada
orang-orang di dalam rumah itu, berdeburan dengan riuhnya, kekhawatiran
kecemasan dan keinginan tahu tentang apa yang bakal terjadi.
Sampai tengah
malam, kesepian malam berjalan tanpa terganggu. Manahan dan Handaka sudah
berbaring di pembaringan mereka. Namun mereka sama sekali tidak meninggalkan
kewaspadaan. Meskipun mereka tidak berjanji, namun di dalam hati mereka
masing-masing tersimpan suatu keinginan untuk membantu Wiradapa kalau kemudian
terjadi sesuatu, apabila dianggap perlu. Dengan diam-diam Manahan meraba-raba
dinding. Kalau terpaksa dinding kayu dan bambu itu harus dijebolnya untuk dapat
dengan segera sampai di ruang dalam. Baru ketika tengah malam itu telah lewat,
terjadilah sesuatu. Beberapa orang terdengar hilir-mudik di halaman, bahkan
beberapa diantaranya telah berada di halaman belakang. Hati Manahan dan Handaka
kemudian berdebar-debar pula. Karena itu, meskipun mereka masih tetap
berbaring, tetapi siap untuk melakukan setiap gerakan yang perlu. Apalagi
ketika dengan telinga yang tajam mereka mendengar ada nafas orang dekat di muka
pintu ruang, malahan mereka melihat pula dinding ruang itu bergerak-gerak.
Pastilah bahwa ada orang yang sedang mengintip. Namun demikian mereka masih
tetap berbaring, sehingga tidak menimbulkan suatu kecurigaan.
Tetapi sampai
beberapa lama, mereka sama sekali tak mengalami sesuatu. Meskipun
langkah-langkah di halaman masih saja terdengar, namun agaknya mereka, yang
hilir-mudik itu tak berbuat lain kecuali berjalan kesana-kemari. Sehingga dengan
demikian Manahan menduga bahwa orang-orang itu hanyalah ditugaskan untuk
mengawasi Wiradapa. Sedang Wiradapa agaknya tidak mau membuat perkara. Ia masih
tetap di dalam rumahnya, meskipun masih juga kadang-kadang terdengar suara
senjatanya yang agaknya tak lepas dari tangannya. Dengan demikian rumah itu
diliputi oleh ketegangan yang semakin memuncak. Manahan dan Bagus Handaka sama
sekali tidak mencemaskan keadaan mereka, karena mereka merasa cukup mampu untuk
menjaga diri. Tetapi mereka menjadi tegang pula, karena teka-teki yang
mengetuk-ngetuk perasaan mereka terus-menerus sejak siang tadi. Mereka ingin
teka-teki itu segera terpecahkan. Tetapi ketika malam sudah semakin dalam,
terdengarlah hiruk-pikuk di kejauhan. Segera Manahan dan Bagus Handaka bangkit
untuk memperhatikan suara-suara itu, yang semakin lama terdengar semakin riuh.
Dengan pengetahuannya yang tinggi, Manahan segera mengetahui bahwa keributan
itu adalah keributan pertempuran. Tetapi ia tidak dapat menebak pihak-pihak
manakah yang sedang bertempur itu. Mungkin pihak penduduk pedukuhan itu di
bawah pimpinan lurah mereka sedang menyerang Sawung Sariti dengan para
pengikutnya.
Kalau
demikian, maka besar kemungkinannya laskar Gedangan akan dimusnahkan. Tetapi
kalau demikian halnya, lalu siapakah yang berdiri di belakang lurah Gedangan
itu, yang menjanjikan hadiah besar? Sesaat kemudian tiba-tiba terdengar
Wiradapa menggeram, lalu berteriak,
“Siapakah di
luar…?”
Terdengar
suara tertawa pendek. Kemudian jawabnya,
“Kau tak perlu
mengenal aku, Wiradapa”.
“Baik, aku tak
perlu mengenal kau,” sahut Wiradapa.
“Tapi hentikan
pengkhianatan itu”.
Manahan dan
Bagus Handaka berdebar-debar dan cemas mendengar percakapan itu, tetapi juga
terkejut.
TERNYATA yang
berada di halaman bukanlah laskar Gedangan. Dan karena kekalutan itu Manahan
dan Bagus Handaka menjadi ragu-ragu untuk berpihak.
“Kalau kalian
tak mau menghentikan pengkhianatan itu, aku yang akan berbuat,” terdengar
kembali Wiradapa berteriak.
Dan kembali
terdengar tawa menyeramkan di halaman.
“Kau jangan
berlagak Wiradapa. Seandainya kau memiliki kesaktian sekalipun kau tak akan
memenangkan kami berenam. Karena itu, tetaplah kau di rumahmu sampai ada
keputusan hukuman apa yang harus kau jalani besok”.
“Gila…!”
potong Wiradapa.
“Kau kira aku
sebangsa cacing yang tak mampu berbuat apa-apa. Cobalah kalian, meskipun
berenam memasuki rumahku ini. Jangan harap dapat keluar lagi dengan selamat”.
“Luar biasa,”
teriak orang lain dari halaman.
“Sayang kami
tak mendapat perintah untuk memasukinya”.
Wiradapa tidak
menjawab. Tetapi ia menggeram penuh kemarahan. Kemudian terdengar langkahnya
hilir-mudik di dalam rumahnya.
Kegelisahan di
rumah itu tidak saja mencengkam hati Wiradapa, tetapi juga merayap-rayap di
kepala Manahan dan Bagus Handaka. Sehingga tanpa disengaja Manahanpun kemudian
bangkit dan berjalan pula hilir mudik di dalam ruangan, sedang Bagus Handaka
menjadi asik bermain-main dengan ujung tombaknya yang keramat, Kyai Bancak.
Ternyata
pertempuran yang hiruk pikuk itu tak berlangsung lama. Sesaat kemudian suara
itu telah lenyap. Tetapi justru karena itu Manahan jadi curiga. Ia mendapat
firasat bahwa ada suatu permainan yang kotor di balik segala peristiwa ini. Ia
kemudian teringat akan kelicikan Lembu Sora. Tidaklah mustahil bahwa anaknya
pun akan berbuat demikian. Belum lagi Manahan mendapat suatu perkiraan apa-apa,
terdengarlah beberapa ekor kuda berderap memasuki halaman, langsung mengepung
rumah. Lamat-lamat terdengar suara Wiradapa marah.
“Setan. Orang
itu benar-benar cari perkara”.
Kemudian
disusul sebuah teriakan di halaman,
“Masih adakah
tikus itu di dalam?”
“Masih, Tuan,”
jawab yang lain dari halaman pula.
“Bagus, ia
harus bertanggungjawab atas peristiwa itu,” sahut yang tadi.
Lalu
terdengarlah beberapa orang berloncatan turun, disusul oleh ketukan pada pintu
rumah Wiradapa.
“He, Wiradapa.
Bukalah pintu”.
“Siapakah
kau?” teriak Wiradapa dari dalam.
“Apa pedulimu.
Tak ada kesempatan untuk bermanis-manis dan sapa-menyapa. Buka pintu dan ikuti
aku menghadap Anakmas Sawung Sariti,” jawab yang di luar.
“Aku bukan
pegawainya. Buat apa aku menghadap?” sahut Wiradapa dengan beraninya.
Mendengar
jawaban itu Manahan dan Bagus Handaka saling berpandangan. Agaknya Wiradapa
tidak berdiri di pihak Sawung Sariti. Tiba-tiba perasaan mereka jadi lega.
Kalau sampai mereka terpaksa melibatkan diri, mereka tidak perlu segan-segan.
Sebab mereka itu pasti tidak akan membantu anak Lembu Sora itu.
Sementara itu
terdengarlah beberapa orang tertawa berderai. Dan kembali terdengar seseorang
berkata,
“Kau terlalu
sombong Wiradapa, apakah kau kira pintu rumahmu berlapis baja? Dan kau sendiri
bertulang besi, sehingga berani membantah perintah ini?”
“Aku kira kau
juga belum bertulang besi,” jawab Wiradapa dengan beraninya.
“Karena itu
buat apa aku takut? Cobalah pecahkan pintu. Aku ingin melihat kalau kau
berani”.
Agaknya yang
di luar pun jadi ragu. Terdengarlah ia mengumpat dan kemudian berkata,
“Wiradapa,
kalau kau jantan, keluarlah”.
Sekarang
terdengar suara Wiradapa menghina,
“Jangan bicara
tentang kejantanan. Kalau kau datang sendiri sebagai jantan sejati, akan aku
sambut di halaman dengan penuh kejantanan”.
Kembali
terdengar orang itu mengumpat-umpat. Kemudian berkatalah ia kepada anak
buahnya,
“Biarlah ia
hidup sampai esok pagi. Jagalah jangan sampai lolos. Juga orang-orang malas
yang tidur di ruang belakang. Ada kerja buat mereka esok”.
“Baik Kakang,”
jawab yang lain.
Setelah itu
terdengar derap kuda menjauh.
Tetapi tidak
beberapa lama kemudian terdengar derap itu mendekat kembali. Bahkan lebih
banyak lagi. Ketika kuda itu telah berhenti di halaman, terdengar suara yang
sudah dikenal oleh Manahan dan Bagus Handaka. Yaitu suara Sawung Sariti.
“Wiradapa, kau
benar-benar tidak mau keluar? Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu. Kau
mengkhianati kami, sehingga beberapa orang kami jadi korban”.
“Jangan coba
putar-balikkan keadaan,” bantah Wiradapa dari dalam.
“Bagus, kalau
kau tak mau keluar, aku suruh bakar rumahmu ini,” ancam Sawung Sariti,
“maka
musnahlah Wiradapa sekeluarga”.
“Gila!” teriak
Wiradapa.
“Begitukah
cara putra kepala daerah perdikan yang besar memaksakan kehendaknya kepada
orang lain?”
Terdengar
Sawung Sariti tertawa dengan nada yang tinggi. Kemudian katanya,
“Aku tidak
perduli. Keluarlah. Rumah dan keluargamu akan selamat. Mungkin kau juga akan
selamat kalau ternyata kau tak bersalah. Juga suruh orang-orang malas
peliharaanmu itu pergi bersama kau. Ada pekerjaan untuknya”.
Kemudian
suasana dicengkam oleh kesepian. Bagus Handaka memandang Manahan dengan penuh
pertanyaan. Hal itu diketahui oleh Manahan, sehingga terdengar ia berbisik,
“Kita ikuti
mereka Handaka, Jaga dirimu baik-baik. Agaknya pada suatu saat kita harus
bertindak”.
Handaka
mengangguk, ketika bersamaan dengan itu terdengar langkah menuju ke ruangan
itu. Sesaat kemudian terdengar orang membentak-bentak,
“Ayo keluar!
Keluar…!”
SEKALI lagi
Handaka memandang wajah Manahan yang tetap tenang, seperti air di telaga yang
dilindungi oleh gunung-gunung dari gangguan angin. Ketika Manahan menganggukkan
kepalanya, Handakapun berdiri, lalu bersama-sama melangkah ke arah pintu.
Demikian pintu terbuka, menyerbulah beberapa orang masuk. Manahan dan Handaka
segera didorong keluar dengan bentakan-bentakan yang kasar. Di luar, gelap
malam masih membalut seluruh pedukuhan kecil yang sepi itu. Namun saat itu
digemparkan oleh kedatangan tamu-tamu dari Banyubiru yang agaknya membuat
keributan. Kemudian mereka digiring ke halaman depan, dan di sana ternyata
Wiradapa pun terpaksa keluar rumah pula. Ia masih memperhitungkan keselamatan
keluarganya, sehingga ketika rumahnya diancam akan dibakar, terpaksa ia
mengambil keputusan lain. Dengan dikawal kuat, mereka bertiga segera dibawa ke
kalurahan. Sawung Sariti, dengan naik kuda, berlari mendahului. Sampai di
pendapa kelurahan, Manahan melihat beberapa orang bersenjata siap berjaga-jaga.
Nampaknya mereka adalah gabungan dari laskar pedukuhan itu bersama-sama dengan
Laskar Pamingit. Sedang diantara mereka tidak tampak seorang pun dari
Banyubiru. Manahan yang tajam pandangannya, segera memperhitungkan keadaan itu.
Wiradapa kemudian
sebagai seorang pesakitan dihadapkan kepada Sawung Sariti yang duduk di samping
lurah pedukuhan itu.
“Wiradapa…”
kata Sawung Sariti dengan lagak seorang hakim.
“Sadarkah kau
akan segala perbuatanmu?”
Wiradapa
memandang Sawung Sariti dengan penuh kebencian.
“Aku berbuat
dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab untuk kebaikan nama pedukuhan yang
telah aku bina berpuluh tahun.
“Tutup
mulutmu!” bentak Sawung Sariti,
“Jangan coba
berkata yang bukan-bukan. Aku bertanya dan minta pertanggungjawabanmu atas
kematian orangku yang paling baik. Bukankah kau telah membuat gerombolan untuk
merampok kami?”
Wiradapa
menggeram marah.
“Setan pun tak
akan percaya ocehanmu,” jawabnya.
Sawung Sariti
menjadi marah sekali. Dengan nada yang tinggi ia berkata hampir menjerit,
“Widarapa. Kau
telah menghina rombongan kami. Apakah kau kira bahwa kami tak mampu bertindak?
Dengarlah baik-baik. Rombongan kami dengan kekuatan cukup akan dapat
memusnahkan seluruh pedukuhan ini. Tetapi kami tidak akan berbuat demikian.
Kami tahu bahwa tidak seluruh penduduk ini bersalah, ternyata bahkan ada
beberapa orang yang membantu kami. Dan aku akan berterima kasih kepada mereka
itu. Sekarang katakan kepada kami siapakah yang turut dalam penyerbuan itu.
Atau batangkali kau minta bantuan kepada salah satu gerombolan di sekitar
daerah ini? Malahan mungkin dua orang yang kau sebut perantau malas itu adalah
anggota gerombolan pula”.
Mata Wiradapa
menjadi menyala-nyala. Dengan gigi gemeretak ia menyahut,
“Jangan banyak
bicara. Apakah sebenarnya maksudmu? Membunuh aku atas permintaan lurah pengecut
itu, supaya aku tidak selalu membayanginya? Aku menolak turut dalam permainan
gila-gilaan itu, tetapi agaknya lurah yang tamak itu takut aku membuka
rahasia”.
“Diam!” bentak
lurah yang sejak tadi berdiam diri.
“Kau mau
menyeret orang lain masuk ke jurang yang telah kau gali sendiri?”
Wiradapa
tertawa rendah,
“Pengecut!”
“Kau
pengecut,” sahut Sawung Sariti.
“Nah rakyat
Gedangan…. Pedukuhanmu telah dinodai oleh Wiradapa. Untunglah bahwa aku tidak
memusnahkan kalian. Tetapi aku menuntut kesetiaan kalian pada pedukuhanmu ini.
Apakah yang dapat kau lakukan untuk membuktikan itu? Sedang sekarang di
hadapanmu berdiri seorang pengkhianat”.
Akibat
kata-kata Sawung Sariti itu dalam sekali. Segera, semua mata orang yang hadir
di pendapa tertuju kepada Wiradapa. Wajah-wajah itu kemudian menjadi semakin
tegang, semakin tegang, disusul kata-kata lurah mereka,
“Atas nama
pimpinanmu, bertindaklah”.
Kata-kata itu
merupakan aba-aba yang serentak menggerakkan orang-orang Gedangan yang berdiri
di pendapa itu. Segera mereka melangkah maju dengan senjata di tangan siap
untuk membunuh Wiradapa. Manahan terkejut menyaksikan peristiwa itu. Segera ia
teringat bagaimana ia sendiri pernah mengalami fitnah yang dituduhkan oleh
Lembu Sora di Banyubiru. Untunglah pada saat itu Gajah Sora sempat mencegahnya.
Tetapi kali ini, pimpinan mereka justru berdiri di pihak Sawung Sariti. Maka
segera ia menggamit Bagus Handaka yang segera dapat menanggapi. Maka
berbisiklah Manahan,
“Handaka, kita
bebaskan Wiradapa. Tetapi aku tetap ingin mengetahui siapakah yang terbunuh
diantara rombongan Sawung Sariti. Karena itu marilah kita menarik perhatian
mereka dengan melarikan diri. Tetapi ingat, kita harus tertangkap”.
“Lalu apakah
mereka tidak akan membunuh kita?” tanya Handaka.
“Tidak, sebab
ada sesuatu yang harus kita lakukan. Mungkin sesuatu yang sangat rahasia. Baru
sesudah itu kita akan dibunuh,” jawab Manahan.
Bagus Handaka
menarik nafas. Tugas itu sebenarnya sangat berat dan berbahaya. Manahan dapat
membaca perasaan Handaka itu, namun ia hanya tersenyum. Ketika orang-orang di
pendapa sudah semakin ribut, tiba-tiba meloncatlah Manahan melarikan diri
diikuti oleh Bagus Handaka. Tetapi mereka sama sekali tidak berusaha untuk
bersembunyi. Dengan ketolol-tololan mereka berlari sepanjang jalan pedukuhan.
Melihat Manahan dan Bagus Handaka lari, beberapa orang berteriak-teriak
memanggil, dan beberapa orang yang cepat berpikir segera mengejarnya. Perhatian
seluruh isi pendapa kemudian terpusat kepada Manahan dan anaknya yang sedang
berusaha melarikan diri.
“Tangkap
mereka…” teriak Sawung Sariti.
TETAPI agaknya
ia tidak begitu percaya kepada anak buahnya, sehingga ia sendiri kemudian
melompat dengan tangkasnya, dan seperti anak panah ia terbang mendahului orang-orang
yang telah lebih dahulu mengejar Manahan dan Handaka. Manahan dan Handaka yang
memang tidak benar-benar akan melarikan diri, sengaja memperlambat langkah
mereka, setelah cukup jarak yang mereka tempuh untuk memberi kesempatan kepada
Wiradapa melenyapkan dirinya. Tetapi telinga Manahan segera menangkap langkah
yang sangat cekatan menyusulnya. Dengan agak terkejut Manahan menoleh. Dan
dengan kagum ia melihat Sawung Sariti menghambur ke arahnya.
“Berhenti!”
teriak anak muda itu.
Manahan dan
Bagus Handaka masih berpura-pura lari. Namun dalam hati Manahan dihinggapi oleh
suatu pertanyaan baru. Alangkah hebatnya anak itu. Menilik gerak serta
langkahnya, agaknya Sawung Sariti telah memiliki ilmu yang cukup tinggi.
Sebentar kemudian anak muda itu telah dapat menyusul Manahan. Tangannya segera
menyambar baju perantau yang malang itu, sedang tangannya yang lain terayun
deras ke arah rahang Manahan. Manahan sama sekali tidak berusaha mengelak
ketika sebuah pukulan yang keras mengenainya. Dengan keras ia terlontar ke
belakang dan akhirnya ia jatuh berguling-guling sambil berteriak-teriak, “Ampun
Tuan Muda…, ampun”.
No comments:
Post a Comment