Bagian 084


APALAGI ketika sekali lagi Gajah Alit menyinggung tentang Gajah Sora selama di Demak. Widuri yang duduk bertentangan dengan lubang pintu, tidak begitu tertarik pada ceritera Gajah Alit. Hanya kadang-kadang saja tertawa nyaring. Tetapi bukan karena ia mendengar ceritera Gajah Alit yang lucu, tetapi justru ia menertawakan bagaimana Senapati Demak yang bulat pendek itu tertawa.

Tetapi, tiba-tiba Widuri pun menjadi bersungguh-sungguh ketika ia melihat Ki Ageng Gajah Sora merenggangkan kakinya. Sebagai seorang gadis yang terlatih dalam tata gerak bela diri, ia melihat bahwa ada sesuatu di antara renggang kaki Gajah Sora, juga sepasang kaki yang renggang. Cepat-cepat Widuri mengamit tangan ayahnya sambil berbisik,
“Ayah, kenapa dengan Paman Gajah Sora?”
Kebo Kanigara segera memaklumi. Ia dapat melihat lewat samping kaki Gajah Sora. Di dalam gelap, dilihatnya seseorang yang sudah dikenalnya, Ki Ageng Lembu Sora. Pertemuan itu menjadi terganggu. Semua melihat perubahan wajah Widuri dan Kebo Kanigara. Dengan cemas Ki Ageng Sora Dipayana bertanya,
“Ada apa Anakmas?”
“Putra Ki Ageng yang muda telah datang,” jawab Kebo Kanigara. Segera orang tua itu menangkap sasmita tamunya. Cepat ia meloncat berdiri dan langsung melangkah ke luar pintu. Hampir saja ia melanggar Ki Ageng Gajah Sora yang masih berdiri membelakangi pintu.
“Lembu Sora…” kata orang tua itu,
“Inilah kakakmu yang sudah lama kau tunggu.”
Kata-kata orang tua itu benar-benar berpengaruh di dada Lembu Sora. Sebenarnya iapun sama sekali tak bermaksud apa-apa. Ketika ia sedang berbaring di bale-bale dalam pondoknya, berlepas baju karena udara yang panas, datanglah utusan ayahnya, memberitahukan kedatangan kakaknya. Mendadak terasa tubuhnya gemetar, dan dengan serta merta timbullah keinginannya untuk memeluk kaki saudara tua yang pernah disengsarakannya itu untuk minta maaf.

Lembu Sora segera meloncat, menyambar bajunya dan sambil berjalan tergesa-gesa, ia mengenakan baju itu di sepanjang jalan, sambil berteriak,
“Cari Sawung Sariti. Beritahukan kepadanya, bahwa aku menghadap Kakang Gajah Sora untuk menyerahkan segala kesalahan.”
Tetapi ketika ia sampai di halaman banjar desa itu, dan melihat bayangan kakaknya berdiri di muka pintu seperti sikap seekor gajah yang sedang marah, ia menjadi ragu-ragu. Apakah kakaknya nanti tidak tiba-tiba saja memukul kepalanya selagi ia sedang memeluk kakinya? Apakah ia masih berhak memanggil orang yang berada di muka pintu itu dengan sebutan Kakang? Karena keragu-raguannya itu, dan karena kesadaran diri akan kesalahannya yang bertimbun-timbun, ia beberapa kali terhenti. Bahkan yang terakhir, kurang beberapa langkah lagi, ia sudah tidak dapat lagi memaksa dirinya untuk maju. Bahkan tiba-tiba ia melihat ketegangan sikap kakaknya, dan tanpa sadar, ia pun menarik kakinya merenggang. Tiba-tiba muncullah ayahnya. Dan bersamaan dengan itu, kembali pulalah pikirannya yang jernih. Ia datang untuk minta maaf kepada kakaknya itu. Apakah kakaknya akan memaafkannya atau tidak, bukanlah soalnya. Apakah kakaknya akan memukul hancur kepalanya dengan Lebur Seketi, juga bukan soalnya. Karena itu sekali lagi ia memaksa diri, mengusir ketakutannya untuk melihat kesalahan dirinya sendiri.

Dengan langkah yang gemetar, Lembu Sora mendekat Gajah Sora. Tetapi ia tidak berjongkok dan memeluk kaki kakaknya. Yang dilakukan hanyalah mengulurkan kedua tangannya sambil membungkukkan punggungnya dalam-dalam. Dari mulutnya keluarlah suaranya berdesir lambat,
“Kakang Gajah Sora….”
Gajah Sora masih berdiri tegang. Di belakangnya, di mulut pintu telah berdiri beberapa orang berdesak-desakan. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Paningron dan Gajah Alit. Terasa sesuatu bergolak di dadanya. Sebagai manusia biasa, sulitlah baginya untuk melenyapkan segala kenangan pahit yang harus ditelannya. Semuanya itu adalah akibat dari perbuatan adiknya itu. Ki Ageng Sora Dipayana melihat pergolakan di hati anaknya yang tua. Ia pun bisa mengerti, betapa pedih hatinya selama ini. Namun bagaimanapun juga keduanya adalah anaknya. Apalagi pada saat terakhir, Lembu Sora telah menemukan kembali jalan kebenaran. Karena itu ia berkata,
“Adikmu telah lama menunggumu. Dalam limpahan kasih keluarga Pangrantunan, ia telah menemukan titik-titik terang dalam hidupnya.”
Gajah Sora menahan nafasnya. Perlahan-lahan tangan kanannya bergerak. Akhirnya dengan hati kosong, disambutnya tangan adiknya. Tetapi ia terkejut ketika Lembu Sora tidak saja menggenggam tangannya itu erat-erat, tetapi diciumnya, dan dibasahinya tangan itu dengan air mata. Dada Gajah Sora pun bergetar. Darahnya yang serasa menggelegak sampai ke lehernya oleh perasaan marah, dendam dan muak yang meluap-luap ketika melihat adiknya itu, kini perlahan-lahan mengendap kembali ke dalam hatinya.

Ki Ageng Lembu Sora seorang laki-laki yang tak mengenal takut, seorang laki-laki yang bergegayuhan setinggi awan, yang berkelana di langit biru, yang karenanya telah melupakan tata subasita, bahkan telah melupakan kulit daging sendiri, kini seperti kanak-kanak yang kehilangan barang mainannya, menitikkan air mata sambil menggenggam tangan kakaknya. Ki Ageng Gajah Sora pun runtuhlah hatinya. Dikenangkannya pada masa kanak-kanak mereka. Pada masa-masa mereka sering bertengkar dan berkelahi berebut barang mainan. Kalau Gajah Sora sedang asyik membuat mainan dari kayu atau dari bambu, kemudian datang Lembu Sora yang kecil merebutnya. Kadang-kadang Gajah Sora yang belum puas menikmati permainannya pun menjadi marah dan berusaha merebut permainan itu kembali. Tetapi Lembu Sora mempertahankan dengan tangisnya. Kalau demikian, akhirnya runtuhlah pertahanan hati Gajah Sora. Ia tidak akan meminta permainan itu kembali. Seandainya, seandainya saat inipun tiba-tiba Lembu Sora berkata,
“Kakang, aku iri hati melihat kamukten Banyubiru. Aku ingin untuk ikut menikmatinya. Betapa rinduku kepada suatu masa yang gemilang dari perjalanan hidupku, dengan memiliki daerah bekas tanah perdikan Pangrantunan seutuhnya,” Berserahlah Lembu Sora.
Tetapi, tetapi seandainya Lembu Sora datang kepadanya dengan tangan bertolak pinggang. Menuding di depan hidungnya sambil berteriak, “Minggat kau Gajah Sora. Banyubiru adalah milikku.” Seandainya demikian, maka pasti akan ditengadahkan wajahnya, dan akan dijawabnya dengan lantang,
“Marilah Lembu Sora, lampaui mayatku dahulu.” Tetapi, tetapi yang terjadi bukanlah demikian. Lembu Sora tidak menangis untuk meminta kemukten Banyubiru, dan Lembu Sora tidak bertolak pinggang untuk menantang kakak kandungnya sendiri. Baru saja, dalam saat yang pendek dialami, betapa pahitnya daerah Pamingit yang dilanda oleh arus peperangan.

BETAPA pedih hati Lembu Sora melihat api yang menelan rumah-rumah dan banjar-banjar desa, mendengar pekik tangis perempuan dan anak-anak yang berusaha untuk memperpanjang hidupnya. Betapa ngeri perasaan anak-anak melihat darah yang bercucuran dan betapa tertekan jiwanya melihat ayahnya diseret ke jalan-jalan. Tetapi peperangan itu sendiri serasa menjadi sahabat yang paling karib dari manusia. Setiap kali akan datang kembali, mengunjungi sahabatnya. Kalau tidak, maka sahabatnya itulah yang bertingkah mengundangnya. Ternyata dalam sejarah hidup manusia yang ditulis di lontar-lontar, kitab-kitab kidung dan di lontar-lontar yang lain, selalu akan berulang kembali kata-kata: perang, perang, perang! Meskipun setiap mulut akan mengutuknya sebagai hantu yang paling menakutkan, tetapi seperti juga kekasih yang selalu dirindukan. Tidak saja negara-negara besar di Nusantara sendiri yang timbul dan tenggelam setelah pacah perang-perang besar, seperti Mataram Lama, Jenggala, Kediri, Pajajaran, Majapahit, dan bahkan ceritera-ceritera yang dibawa oleh para perantau, para pelaut dan pedagang asing di pantai Nusantara.
Negara-negara Parangakik, Ngerum, negara-negara Cina dan Jepang yang berebut pengaruh, selalu diakhiri oleh tangis para janda dan anak-anak karena suami dan ayah mereka lenyap dengan mengerikan sekali dalam kebiadaban api peperangan. Peperangan yang paling terkutuk, yang selalu terjadi di bumi Nusantara sejak masa-masa pemerintahan Senduk di Mataram Lama, Jayabaya dan Jayasaba, sampai pada masa-masa pemerintahan Tumapel Kediri dan seterusnya, pecahnya Majapahit, adalah karena perang saudara. Pemberontakan Peregreg, dan sebagainya, adalah permulaan dari kemunduran Majapahit. Karena itulah, didasari pada kesadaran yang demikian, setelah kepalanya sendiri hampir terbentur hancur, Lembu Sora sempat melihat dalam dirinya. Ia tidak mau mengalami nasib yang demikian. Kehancuran mutlak atas Pamingit dan Banyubiru. Yang membelit dirinya kini adalah penyesalan. Penyesalan yang menghujam ke dalam jantung kalbunya. Dan ia belum terlambat.

Gajah Sora pun kemudian telah bersiap sebagai seorang kakak yang baik. Sambil menepuk bahu adiknya, ia berkata perlahan-lahan.
“Masuklah Lembu Sora.” Lembu Sora tidak bisa menjawab. Mulutnya tersumbat. Tetapi ia mengangguk dan melangkah ke pintu. Yang berada di pintu pun telah duduk kembali ke tempatnya. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Gajah Alit dan Paningron, kemudian Arya Salaka, Wilis dan Widuri. Disusul kemudian Gajah Sora dan Lembu Sora, sedang yang terakhir kali menempati tempatnya adalah Ki Ageng Sora Dipayana. Mula-mula terasa betapa hatinya bergelora ketika Ki Ageng Lembu Sora melihat siapa saja yang hadir di dalam ruangan itu. Apalagi ketika ia melihat dua orang yang berpakaian lengkap sebagai prajurit-prajurit Demak. Jelas terbayang di kepalanya, bagaimana ia dengan orang-orang golongan hitam, mencegat laskar Demak, lima enam tahun yang lampau. Bagaimana pada saat itu Mahesa Jenar telah menyergapnya.
Tetapi kemudian hati Lembu Sora menjadi sumeleh. Ia pasrah pada kekuasaan Yang Maha Kuasa. Ia akan menerima kebenaran tertinggi. Sebab kemudian ia yakin, bahwa kebenaran tidak dapat dipaksakan oleh manusia, meskipun manusia seluruh dunia mengakuinya. Namun oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Kebenaran yang berjalan di atas firman-Nya.

Tetapi sesuatu telah terjadi di luar halaman banjar desa itu. Dua pasang mata telah menyaksikan betapa Ki Ageng Lembu Sora menangis. Dan wajah kedua orang itupun menjadi merah karena marah. Seorang berperawakan kokoh dengan jalur-jalur ototnya yang menjorok di seluruh permukaan kulitnya. Orang itu adalah Galunggung, sedang yang lain, seorang anak muda sebaya dengan Arya Salaka, putra Ki Ageng Lembu Sora sendiri.
“Perempuan,” bisik Sawung Sariti.
“Ayah Angger Arya Salaka terlalu perasa,” sahut Galunggung.
“Apa yang kira-kira dilakukan Ayah? Menyerah kepada nasib? Atau malahan menyerahkan Pamingit sebagai tebusan dirinya?” Sawung Sariti meneruskan sambil mencibirkan bibirnya.
“Apa kira-kira yang akan dilakukan oleh dua orang prajurit dari Demak itu di sini?” tanya Galunggung tiba-tiba.
Sawung Sariti mengerutkan keningnya.
“Entahlah,” jawabnya,
“Mungkin ia akan menangkap Ayah, karena Ayah pernah mencegat laskar Demak, dahulu.”
Mata Galunggung yang seperti burung hantu itu tiba-tiba menjadi suram. Ia menarik nafas sambil mengeram, katanya,
“Kalau benar, aku kira lebih baik hancur daripada menyerah.”
“Apakah kau sangka yang dua orang itu mampu menghancurkan kita?” kata Sawung Sariti dengan nada yang tinggi.

GALUNGGUNG menyahut,
“Laskarnya, apakah kira-kira hanya dua orang itu saja?”
“Jangan pikirkan itu,” potong Sawung Sariti,
“Barangkali ia mengawal Paman Gajah Sora yang hanya sekadar boleh menengok keluarga. Tetapi yang penting bagiku adalah Arya Salaka. Apakah Paman Gajah Sora kembali memerintah di Banyubiru atau tidak, kalau Arya Salaka dapat aku lenyapkan, maka akhirnya Pamingit dan Banyubiru akan jatuh di tanganku dengan sendirinya.”
“Angger benar. Tak ada orang lain yang dapat mewarisi kedua daerah ini secara sah selain Angger Sawung Sariti,” jawab Galunggung.
Sawung Sariti tersenyum. Seolah-olah ia telah memastikan dirinya untuk menerima warisan dari ayahnya atas Pamingit dan dari pamannya Gajah Sora atas Banyubiru. Meskipun dengan demikian ia harus duduk di atas bangkai kakak sepupunya.
“Marilah kita pergi,” ajak Sawung Sariti.
“Tidaklah Angger akan menghadap Pamanda Gajah Sora?” tanya Galunggung.
Sawung Sariti mencibirkan bibirnya, jawabnya,
“Buat apa?”
Keduanya pun melangkah pergi. Tak seorangpun yang mengetahui apa yang akan dilakukan oleh Sawung Sariti. Dan keduanya pergi tanpa menarik perhatian seorang pun. Sebagaimana mereka datang dari dalam gelap, berhenti dan berdiri menyaksikan apa yang terjadi di halaman banjar desa dari dalam gelap, mereka pun lenyap ditelan oleh kegelapan.

Di Banjar Desa, pembicaraan-pembicaraan telah mulai berlangsung lancar sekali. Paningron, meskipun tidak dengan tegas, namun disindirnya, bahwa ia tidak akan mengambil suatu tindakan apapun terhadap Banyubiru dan Pamingit, karena peristiwa pencegatan lima tahun lampau, sebab menurut laporan yang masuk ke Demak, pencegatan itu dilakukan oleh golongan hitam. Sesaat kemudian di halaman itupun dikejutkan oleh suara tawa yang tinggi nyaring. Kemudian masuklah ke halaman itu seorang tua yang bertubuh tinggi, kekurus-kurusan. Dengan suara yang berderai, ia bertanya kepada anak-anak yang duduk di halaman,
“Siapakah yang berada di dalam?”
“Penuh, Ki Ageng,” jawab salah seorang.
Ki Ageng Pandan Alas tertawa. Katanya,
“Seseorang memberitahu kepadaku, katanya Anakmas Mahesa Jenar telah datang, bersama-sama dengan beberapa orang lain, di antaranya dua orang gadis. Adakah Rara Wilis bersamanya?”
Yang ditanya oleh Ki Ageng Pandan Alas, kebetulan adalah anak-anak Banyubiru, yang memang mengenal Rara Wilis.
Dari lubang pintu mereka memang melihat gadis itu berada di dalam. Maka salah seorang menjawab,
“Ya, Ki Ageng, salah seorang di antaranya adalah Rara Wilis.”
Ki Ageng Pandan Alas tertawa.
“Aku sudah rindu kepadanya,” katanya. Dan suaranya itu terdengar dari dalam ruangan Banjar Desa. Maka berkatalah Ki Ageng Sora Dipayana,
“Angger Rara Wilis agaknya eyangmu telah datang.”
“Ya, Eyang,” jawabnya,
“Aku sudah mendengar suaranya.”

Pada saat itulah Ki Ageng Pandan Alas muncul. Bagitu saja ia langsung masuk ke dalam Banjar. Tetapi ia tertegun, ketika dilihatnya banyak orang lain. Di antaranya, bahkan dua orang prajurit dalam pakaiannya.
“Silahkan Ki Ageng,” Ki Ageng Sora Dipayana mempersilahkan.
“Uh!” sahut Ki Ageng Pandan Alas,
“Aku kira hanya orang-orang kita sendiri, tetapi agaknya ….” suaranya terputus, lalu sambil berjalan berjongkok ia maju ke depan Gajah Sora sambil berkata,
“Bukankah ini Angger Gajah Sora seperti yang kau katakan, Ki Ageng?”
Ia berkata Ki Ageng Sora Dipayana, namun tangannya terancung kepada Gajah Sora. Dengan serta merta Gajah Sora menyambut salam itu, sambil membungkuk hormat ia menjawab,
“Terimakasih, Paman.”
Baru kemudian Ki Ageng Pandan Alas sempat menyapa cucunya Rara Wilis.
“Kau bertambah kurus Wilis,” katanya. Rara Wilis menundukkan wajahnya.
“Tetapi jangan terlalu kau biarkan dirimu menjadi semakin kurus. Itu tidak baik. Apalagi bagi gadis-gadis,” kata eyangnya.
Yang terdengar kemudian adalah suara Endang Widuri,
“Tidak Eyang, Bibi Wilis hampir setiap pagi dan sore minum jamu singset. Karena itu Bibi Wilis kian hari kian bertambah cantik.”
“Ah,” potong Wilis sambil mencubit lengan anak itu.
“Aduh!” Widuri mengaduh, namun ia tertawa-tawa saja.

Dengan hadirnya Ki Ageng Pandan Alas, ruangan itu bertambah ramai dan ribut. Namun juga bertambah panas. Apalagi sesaat kemudian Titis Anganten telah datang pula meramaikan pertemuan itu. Pertemuan dari sekelompok sahabat yang lama terpisah-pisah, namun kemudian berkumpul kembali dalam suasana yang menyenangkan. Pembicaraan mereka berkisar ke sana ke mari tak menentu. Terasa seakan-akan waktu begitu sempit dan cepat. Karena itu mereka terpaksa menunda pembicaraan mereka sampai esok. Belum ada hal yang puas mereka dengar, baik dari Mahesa Jenar maupun Kebo Kanigara tentang Pasingsingan yang rangkap tiga. Juga dari Gajah Sora tentang pengalamannya di Demak, serta dari Ki Ageng Sora Dipayana, Pandan Alas dan Titis Anganten tentang lenyapnya laskar hitam dari Pamingit.

AGAKNYA malam telah jauh. Dan pertemuan itu pun bubarlah. Masing-masing dibawa ke pondok yang sudah disediakan, meskipun berpencar-pencar. Malam menjadi sepi. Namun Ki Ageng Gajah Sora tidak segera dapat beristirahat. Di halaman, anak-anak Banyubiru benar-benar menantinya, sehingga ia masih memerlukan waktu untuk menemui mereka. Berbicara dengan mereka, menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka, yang kadang-kadang aneh-aneh. Tetapi dari mereka Gajah Sora juga mendengar bahwa anaknya, Arya Salaka, benar-benar luar biasa. Jaladri pernah melihat Arya Salaka bertempur melawan Lawa Ijo. Tidak saja dalam pertempuran besar beberapa hari yang lalu, tetapi di Gedong Sanga pun pernah dilihatnya. Ia sama sekali tidak menyangkal ceritera itu. Bukan sekadar ceritera yang berlebih-lebihan, namun ceritera itu benar-benar terjadi. Dirinya sendiri pernah membuktikan betapa anak muda yang bernama Arya Salaka itu mampu melawannya. Selagi Ki Ageng Gajah Sora duduk bersama dengan anak-anak Banyubiru, sebelum ia diantar ke pondoknya, Arya Salaka telah mendahuluinya bersama gurunya dan Kebo Kanigara. Tetapi ia pun tidak segera dapat tidur. Ketika gurunya dan Kebo Kanigara telah berbaring di ruang dalam, Arya Salaka masih duduk di muka pintu menunggu kedatangan ayahnya, yang juga harus beristirahat di tempat itu bersama-sama mereka. Sedang di pondok sebelah adalah tempat untuk beristirahat kedua prajurit dari Demak, Paningron dan Gajah Alit.

Ketika Arya Salaka sedang merenungi titik-titik yang jauh di dalam gelap malam, tiba-tiba dilihatnya seseorang lewat di muka pondoknya. Seorang tua yang berjalan seperti perempuan. Orang itu berhenti sejenak, lalu melambaikan tangannya kepada Arya Salaka. Arya Salaka yang sudah mengenalnya segera berdiri mendekatinya. Sambil membungkuk hormat, ia bertanya,
“Adakah sesuatu, Eyang Titis Anganten?”
“Aku ingin mengatakan kepadamu dalam pertemuan tadi, namun aku tidak sampai hati merusak suasana yang gembira itu. Sebenarnya masih ada sesuatu yang ketinggalan dari keluarga Banyubiru dan Pamingit,” jawab Titis Anganten.
Cepat hati Arya bergeser ke ibunya. Dahulu orang tua itulah yang memberitahukan kepadanya, bahwa ibunya selamat. Dan sekarang ia berkata tentang keluarga Banyubiru dan Pamingit yang tercecer.
“Ya,” sahut Arya,
“Agaknya Eyang Sora Dipayana tidak ingat lagi kepada ibu”.
“Ah. Jangan berkata begitu Arya,” potong Titis Anganten,
“Eyangmu sudah tahu, kalau ibumu aku selamatkan. Agaknya ia segan untuk dengan tergesa-gesa menyuruhku mengambilnya. Karena itu dibiarkannya saja sampai aku datang membawanya kembali.”
Arya menundukkkan wajahnya. Terasa bahwa ia agak terlanjur menyangka eyangnya melupakan ibunya.
“Sekarang…” Titis Anganten meneruskan,
“Aku ingin mengembalikan ibumu. Justru ayahmu sudah lebih dahulu datang tanpa disangka-sangka.”
“Terimakasih, Eyang,” jawab Arya,
“Di manakah Ibu sekarang?”
“Masih di pengungsiannya,” sahut Titis Anganten,
“Aku kira keadaan telah benar-benar baik. Kalau kau tak keberatan, jemputlah. Tak usah orang-orang tua seperti aku.”
“Baik Eyang,” sahut Arya,
“Tunjukkan aku tempatnya.”
“Tidak terlalu jauh. Ibu serta bibimu aku sembunyikan di Sarapandan,” jawab Titis Anganten.
“Sarapandan,” ulang Arya.
“Ya, desa kecil yang tak berarti. Aku memang menyangka desa itu tak akan menarik perhatian. Dan ternyata memang demikian. Orang-orang dari golongan hitam itu sama sekali tak tertarik untuk singgah. Dan hanya itulah satu-satunya kemungkinan yang dapat aku lakukan waktu itu. Untunglah, segera laskar Pamingit datang dari Banyubiru bersama-sama dengan eyangmu. Apalagi akhirnya laskarmu datang pula bersama gurumu dan Kebo Kanigara yang mengaggumkan itu,” kata Titis Anganten.
“Di mana letak dusun itu?” tanya Arya.

TITIS ANGANTEN memberinya sekadar petunjuk, namun kemudian katanya tanpa berprasangka,
“Ah, aku kira lebih baik pergi bersama-sama dengan Sawung Sariti.”
Arya mengerutkan keningnya. Sesuatu berdesir di dalam hatinya. Ia tidak tahu, perasaan apa yang menganggunya apabila ia mendengar nama saudara sepupunya. Namun ia tidak dapat berkata sesuatu kepada Titis Anganten.
“Arya…” Orang tua itu meneruskan,
“Aku kira Sawung Sariti telah mengenal semua sudut daerah Pamingit ini. Aku kira ia pun mengenal Sarapadan. Apalagi ibunya pun di sana.”
Arya masih berdiam diri, dan agaknya Titis Anganten tidak memperhatikan anak muda itu. Sebab ia segera berkata pula, “Berkatalah kepada gurumu. Kalau kau temui Sawung Sariti ajaklah dia, kalau kau perlukan aku, aku pun bersedia.”
“Baiklah Eyang,” jawab Arya. Namun tidaklah baik baginya untuk mengajak orang tua itu. Dengan demikian ia akan menjadi anak manja yang tak dapat melakukan sesuatu tanpa pertolongan orang lain, namun pergi bersama Sawung Sariti pun ia agak segan-segan.
“Tetapi anak itu sudah baik,” pikirnya. Sementara itu kakinya melangkah tlundak pintu langsung ke pembaringan gurunya.
“Paman,” katanya perlahan-lahan ketika ia melihat gurunya masih belum tidur.
Mahesa Jenar mengangkat kepalanya,
“Ada apa Arya?” Maka dikatakannya apa yang didengar dari Titis Anganten.
“Kau akan pergi?” tanya Mahesa Jenar.
Arya Salaka menganguk sambil menjawab,
“Ya, Paman.”
“Kau tidak menunggu Ayah?” tanya Kebo Kanigara yang berbaring di bale-bale, di samping Mahesa Jenar. Tiba-tiba Arya ingin mengejutkan ayahnya. Kalau ayah datang nanti mudah-mudahan ia telah kembali bersama ibunya. Bukankah Sarapadan tidak begitu jauh? Meskipun seandainya ayahnya dahulu datang, kemudian baru ibunya pun, akan dapat menggembirakan hati ayahnya itu.
Karena itu ia menjawab,
“Tidak Paman. Aku ingin mengejutkan Ayah.”
“Dengan siapa kau akan pergi?” tanya Mahesa Jenar.
“Eyang Titis Anganten bersedia mengantarkan aku kalau aku memerlukannya. Kalau tidak, maka Eyang menyuruhku mengajak Sawung Sariti,” jawab Arya Salaka.

Mahesa Jenar bangkit dan duduk di bale-bale itu. Tampak ia sedang berpikir. Di dalam dadanya berdesir pula perasaan seperti perasaan di dada Arya Salaka. Namun ia pun berdiam diri.
“Aku segan untuk meminta Eyang Titis Angenten mengantarku,” kata Arya Salaka.
“Apakah Sarapadan tidak jauh?” tanya Kebo Kanigara.
“Tidak,” sahut Arya,
“Menurut eyang Titis Anganten, Sarapadan hanya berantara empat bulak besar kecil.
“Pergilah,” kata Mahesa Jenar kemudian,
“Tetapi berhati-hatilah. Jarak itu tidak terlalu jauh. Kau dapat membawa siapapun. Tidak perlu eyangmu Titis Anganten. Biarlah ia beristirahat. Juga tidak perlu Sawung Sariti. Setiap orang Pamingit akan dapat menunjukkan letak desa itu.”
“Baiklah Paman,” sahut Arya. Kemudian ia pun minta diri kepada gurunya dan kepada Kebo Kanigara. Ia bermaksud untuk pergi saja seorang diri. Sarapadan tidak terlalu jauh. Jalur jalannya pun telah ditunjukkan oleh Titis Anganten. Sehingga ia akan dengan mudah menemukannya, atau tidak akan dapat bertanya kepada siapa saja yang akan ditemuinya di perjalanannya. Peronda atau penjaga gardu.
Maka segera Arya pun berangkat. Malam menjadi semakin dalam. Namun bintang di langit bertebaran di segala penjuru. Angin malam yang dingin bertiup menghancurkan suara-suara anjing liar yang berebut makanan. Sekali-kali di kejauhan terdengar suara buruang hantu menggetarkan udara.
Tiba-tiba di sudut desa, Arya terhenti. Dilihatnya dua orang berdiri sebelah-menyebelah di kedua sisi jalan. Namun segera Arya mengenal mereka berdua, Sawung Sariti dan pengawalnya yang setia, Galunggung.
“Bukankah kau ini Kakang Arya Salaka?” sapa Sawung Sariti.
“Ya, Adi,” jawab Arya.
“Ke manakah Kakang akan pergi di malam begini?” tanya Sawung Sariti pula.

Arya Salaka menjadi ragu-ragu. Kalau ia berkata sebenarnya maka ada kemungkinan Sawung Sariti akan ikut serta. Padahal, meskipun ia telah berusaha untuk melupakan, namun berjalan bersama-sama dengan adiknya, ia masih terasa segan. Tetapi ia tidak menemukan jawaban lain, karena itu ia terpaksa menjawab dengan berterus terang.
“Aku akan menjemput Ibu ke Sarapadan.”
“Adakah Bibi Gajah Sora di Sarapadan?” bertanya Sawung Sariti.
“Ya,” jawab Arya singkat.
“Kalau demikian, ibuku juga di sana?” tanya Sawung Sariti pula.
“Ya,” jawab Arya pula.
“Dari mana Kakang tahu?” desak Sawung Sariti.
“Eyang Titis Anganten,” sahut Arya Salaka.

SAWUNG SARITI mencibirkan alisnya. Ia berpikir sejenak. Kemudia ia berkata,
“Aku pergi bersama-sama dengan Kakang.”
Arya menarik nafas. Ia pasti tidak akan dapat menolak. Karena itu ia menjawab,
“Suatu kebetulan bagiku, Adi. Aku belum pernah melihat tempat itu. Sekarang kalau kau akan menemani aku, aku akan berterima kasih.”
Sawung Sariti mengangkat wajahnya. Dengan sudut matanya ia memandang wajah kasar orang kepercayaannya. Kemudian terdengar ia berkata,
“Kita ikut.”
“Marilah Angger.” Terdengar suara Galunggung berat.
Maka kemudian pergilah mereka bertiga berjalan beriring-iringan. Galunggung sambil menyeret pedangnya yang tersangkut di lambungnya. Sekali-kali Arya mengerling kepada adiknya itu. Pedangnya berjuntai-juntai hampir menggores tanah. Pedang itu hampir setiap keadaan tak pernah terlepas dari pinggangnya.
Sebenarnya kalau Arya bercuriga, itupun cukup beralasan. Ia menyesal bahwa ia tidak membawa tombak pusaka Banyubiru. Namun hatinya kemudian menjadi besar, ketika terasa di dalam bajunya terselip sebuah pisau belati panjang terbalut dengan klika kayu. Pisau belati pusaka Pasingsingan yang bernama Kiai Suluh.
– Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu – pikirnya.
Dan kadang-kadang ia terpaksa tersenyum sendiri atas kecurigaannya itu. Sedang Sawung Sariti berjalan saja dengan enaknya, melenggang dalam dingin malam. Tetapi tiba-tiba Arya mengangkat alisnya. Dan berkatalah ia dengan serta merta
”Adi apakah benar jalan ini jalan ke Sarapadan?”
Sawung Sariti menoleh. Ia berhenti melangkah, kemudian menjawab pertanyaan Arya dengan heran
”Ya inilah jalan itu. Kenapa?”
Arya mengamat-amati keadaan sekelilingnya. Di kejauhan di wajah taburan bintang di langit ia melihat sepasang pohon siwalan.
Katanya
”bukankah kita harus melewati jalan kecil diantara pohon siwalan itu?”
“Siapa bilang?” bertanya Sawung Sariti.
“Eyang Titis Anganten” jawab Arya Salaka.
“Eyang Titis Anganten keliru” sahut Sawung Sariti.

Tetapi Arya adalah seorang muda yang hampir seluruh hidupnya berada dalam perjalanan. Iapun tahu benar, bahwa Titis Anganten adalah seorang perantau, sehingga ia yakin bahwa tak mungkin orang tua itu salah. Karena keyakinannya itu maka Arya menjawab
”Adi, eyang Titis Anganten adalah seorang perantau, yang kerjanya berjalan dari satu ujung, kelain ujung dari pula ini. Karena itu apakah eyang Titis Anganten akan salah jalan dalam jarak empat lima bulak saja?”
“Aku adalah anak Pamingit” jawab Sawung Sariti
“sejak bayi aku bermain-main ditempat ini. Adakah aku tidak mengenal Sarapadan?”
Memang, sebenarnyalah demikian. Seharusnya Arya percaya bahwa Sawung Sariti mengenal daerah ini dengan baik. Tetapi ada sesuatu dipojok hatinya yang berbisik
“Pilihlah jalan sendiri”.
Karena itu Arya berkata
“Adi, barangkali ada jalan lain ke Sarapadan. Jalan yang barangkali ditempuh oleh Eyang Titis Anganten pada saat itu”.
“Agaknya kakang Arya Salaka lebih percaya kepada orang tua itu daripada kepadaku?” bertanya Sawung Sariti. Arya menjadi beragu. Untuk beberapa saat ia berdiam diri. Agak sulit baginya untuk menjawab pertanyaan itu. Meskipun demikian akhirnya ditemukannya juga jawabannya
”Adi, baiklah aku mencoba membuktikan, apakah Eyang Titis Anganten benar-benar seorang perantau yang baik. Sedangkan apabila nanti jalan itu tak aku ketemukan, aku akan kembali ke Pamingit. Mengajak orang tua itu pergi bersama-sama dan mengatakan kepadanya, bahwa perantau itu kini telah menjadi pelupa dan tak dapat mengenal jalan antara Pamingit dan Sarapadan meskipun ia dapat menemukan jalan kembali ke Banyuwangi yang menurut eyang Titis Anganten jaraknya beribu-ribu kali lipat”.

Wajah Sawung Sariti menjadi panas. Terasa sindiran halus pada kata-kata Arya, memang sebenarnya bahwa jalan terdekat ke Sarapadan adalah jalan kecil di antara sepasang pohon Siwalan itu. Karena agaknya Arya Salaka telah berkeras hati untuk menempuh jalan itu, maka akhirnya ia berkata
“Baiklah kakang Arya, kau lewat jalanmu, aku lewat jalan yang sudah aku kenal baik-baik. Meskipun barangkali kakang akan sampai ke Sarapadan, namun jalan yang akan kau tempuh itu agak terlalu jauh”.
“Tidak apalah adi” jawab Arya
“lalu bagaimana dengan adi Sawung Sariti?”
“Aku akan mengambil jalan ini” sahut Sawung Sariti.
“Baik. Kalau demikian biarlah kita berjanji untuk saling menunggu di tempat pengungsian ibu kami, supaya kita bisa pulang bersama-sama” berkata Arya Salaka.
“Tidak perlu” jawab Sawung Sariti
“kita sudah berselisih jalan disini. Biarlah kita jemput ibu kita masing-masing. Aku jemput ibuku, kau jemput ibumu”.
ARYA menarik nafas panjang. Adiknya memang terlalu kaku. Namun Arya masih mencoba berkata,
“Apakah kata ibu-ibu kita itu nanti. Mereka mengungsi bersama-sama, biarlah mereka pulang bersama-sama.”
“Ibuku bukan perempuan cengeng,” jawab Sawung Sariti,
“Kalau ibuku tak mau, biarlah ia pulang sendiri tanpa Sawung Sariti.”
“Hem!” terdengar Arya mengeluh. Tetapi ia tidak sempat berbicara lagi. Sawung Sariti telah pergi meninggalkannya. Galunggung berjalan di belakangnya hampir meloncat-loncat. Sekali dua kali dilihatnya kedua orang itu menoleh, tetapi lalu berjalan semakin cepat.

Perlahan-lahan Arya memutar tubuhnya. Ia melangkah kembali ke jalan kecil di antara pohon Siwalan itu. Ia harus berjalan terus ke selatan, kemudian di simpang tiga ia harus membelok ke kiri. Setelah beberapa langka akan ditemuinya parit. Ia dapat menempuh dua jalan. Terus lewat jalan kecil itu, atau menyusur tepi parit. Namun kedua jalan itu akan bertemu kembali di bawah pohon nyamplung yang besar di tepi sebuah sungai kecil. Setelah itu, ia hanya akan menyusur satu jalan terus sampai dimasukinya desa Sarapadan.
“Mungkin Adi Sawung Sariti benar,” pikirnya,
“Jalan itupun akan sampai ke Sarapadan.” Dengan demikian Arya agak menyesal. Mungkin ia terlalu berprasangka.
Namun sebenarnya Arya telah berbuat hati-hati. Firasatnya telah dapat memberinya beberapa pertimbangan dalam mengambil keputusan. Kalau ia berjalan bersama-sama dengan Sawung Sariti, akibatnya akan berbahaya sekali. Sawung Sariti telah membawanya lewat jalan yang sepi, menyusur lewat pereng yang terjal. Di sana segala sesuatu akan dapat terjadi. Satu sentuhan di kakinya, akan dapat mengantarkannya ke dasar jurang yang dalam dan berdinding runcing seperti gerigi. Dan hal yang demikian itu, akan dapat terjadi. Untunglah, Tuhan telah membawanya lewat jalan lain.

Di jalan itu, Sawung Sariti berjalan sambil mengumpat-umpat. Sedang Galunggung pun menggeram tak habis-habisnya. Ketika Sawung Sariti membelok, dan memilih jalan itu, hatinya yang kelam segera dapat menebak maksud momongannya. Bahkan ia telah bersiap di belakang Arya, menyentuhnya sedikit dan kemudian bergegas-gegas berlari-lari ke Pamingit, memberitahukan kecelakaan yang terjadi, bahwa Arya Salaka terpeleset ke dalam jurang, atau dibiarkannya, tak seorangpun mengetahuinya. Namun rencananya ternyata urung. Arya memilih jalan lain. Karena itupun mereka harus mempunyai rencana lain. Namun telah terpateri di dalam kepala anak muda dari Pamingit itu, bahwa Arya Salaka harus dilenyapkan. Sudah tentu dengan diam-diam. Dengan demikian kedatangan Gajah Sora tak akan berpengaruh. Kelak, sudah pasti bahwa Pamingit dan Banyubiru akan dikuasainya. Apalagi kini golongan hitam yang menghantui mereka telah lenyap pula.
“Kakang Arya akan membelok di simpang tiga,” bisik Sawung Sariti.
“Ya,” jawab Galunggung singkat.
“Lalu, mungkin akan dipilihnya jalan di tepi parit,” Sawung Sariti meneruskan.
Sawung Sariti berpikir sejenak. Hatinya benar-benar sudah dikuasai oleh nafsu yang menyala-nyala. Yang berada di dalam kepalanya hanyalah usaha terakhir untuk menyingkirkan kakak sepupunya.
Galunggung dapat mengetahui apa yang bergolak di dalam hati anak muda itu. Karena itu iapun turut berpikir. Ia mengharap bahwa Sawung Sariti kelak benar-benar dapat menguasai Pamingit dan Banyubiru. Dengan demikian, ia pun akan mendapat tempat yang baik. Jauh lebih baik daripada yang sekarang dimiliki. Mungkin akan didapatnya tanah dua kali lipat dari tanah yang diterimanya sekarang. Juga kekuasaan yang diperoleh akan berlipat-lipat pula.

Setelah mereka berdiam diri sejenak, maka berkatalah Galunggung,
“Angger Sawung Sariti. Kita masih mempunyai kesempatan. Kita dapat menempuh jalan memisah, lewat pematang dan menyusup di bawah uwot parit sebelah.
“Aku juga berpikir demikian,” sahut Sawung Sariti,
“Kita cegat Kakang Arya di simpang tiga, sebelum kita harus memilih jalan mana yang dilewati.”
“Terlalu tergesa-gesa,” jawab Galunggung,
“Kita cegat Angger Arya di sebelah pohon nyamplung.”
Kembali Sawung Sariti berpikir. Kemudian sambil mengangguk-angguk ia berkata,
“Mungkin baik juga.”
“Kalau demikian,” Sawung Sariti meneruskan,
“Kita harus segera menyusul Kakang Arya Salaka. Kita ambil jalan pematang.”
Sawung Sariti tidak menunggu jawaban Galunggung. Cepat ia meloncati parit kecil di tepi jalan. Kemudian menyusur pematang, menyusup di antara batang-batang jagung muda. Namun meskipun demikian, Sawung Sariti harus berhati-hati, supaya Arya tak dapat melihatnya.

DENGAN bergegas-gegas kedua orang itu berjalan memotong arah. Mereka berjalan di atas pematang-pematang, tanggul-tanggul parit untuk dapat mendahului Arya Salaka. Karena Sawung Sariti telah terlalu biasa dengan daerah ini, maka ia dapat memperhitungkan jarak yang dilewatinya itu cukup jauh dari jalan yang dilalui Arya, sehingga ia tidak usah khawatir dapat diketahuinya. Ketika mereka harus memotong jalan, barulah mereka berjalan dengan sangat hati- hati, menyusur batang-batang jagung sambil membungkuk-bungkuk. Akhirnya mereka terjun ke anak sungai, dan lewat di bawah uwot dari kayu yang bersilang di atas anak sungai itu, mereka memotong jalan. Mereka mengharap, bahwa dengan demikian mereka akan dapat mendahului Arya Salaka sampai di bawah pohon nyamplung. Arya Salaka yang tidak tahu, apa yang sedang direncanakan oleh adik sepupunya, berjalan seenaknya sambil menikmati angin malam. Langit tidak terlalu bersih, namun di beberapa sudut bintang masih tampak berkeredipan menghias malam. Dengan cermatnya ia memperhatikan tanda-tanda yang diberikan oleh Titis Anganten. Jalan manakah yang seharusnya dilewatinya. Namun jalan itu tidak terlalu sulit baginya. Sehingga ia pun tidak usah cemas, bahwa ia akan tersesat. Kemudian Arya sampai di simpang tiga. Di simpang tiga, ia membelok ke kiri. Beberapa langkah kemudian ditemuinya parit. Dan ia harus memilih, apakah akan berjalan di sepanjang jalan kecil itu, ataukah akan memilih jalan tanggul di sepanjang parit. Arya kemudian berhenti sejenak. Dilihatnya air yang memercik di dalam parit itu. Mengalir dengan tenangnya. Maka timbullah keinginannya untuk berjalan menyusur parit itu sambil memperhatikan airnya. Dalam pada itu, Sawung Sariti telah sampai di bawah pohon Nyamplung. Dengan hati-hati ia menempatkan dirinya di tepi jalan. Telah diperhitungkannya, bahwa dengan satu loncatan, ia harus sudah dapat mencapai Arya Salaka dengan pedangnya. Demikian juga Galunggung, harus sudah siap.
Meskipun kemampuan bertempur Galunggung jauh berada di bawah kemampuan Arya Salaka, namun dengan menyerangnya secara tiba-tiba bersama-sama dengan Sawung Sariti maka mereka mengharap, bahwa mereka tidak usah mengulangi dengan serangan kedua. Dengan demikian, Sawung Sariti dan Galunggung dengan tenangnya mengendap di tepi jalan, di bawah pohon Nyamplung yang rimbun.

Gemersik angin malam yang mengusik daun-daun di atasnya, terdengar seperti keluh kesah yang sedih. Bahkan kemudian terdengar seperti orang yang berbisik-bisik, menyampaikan kabar yang mengerikan. Beberapa saat Sawung Sariti dan Galunggung mengendap di sisi jalan itu, terasa betapa waktu berjalan lambat sekali. Menunggu memang merupakan pekerjaan yang menjemukan. Apalagi mereka berdua dicekam oleh ketegangan yang setiap saat menjadi semakin memuncak. Mata mereka seperti tersangkut di tikungan jalan di samping parit yang menyilang jalan kecil. Dari sanalah Arya Salaka akan muncul. Kalau tidak dari jalan kecil itu, pasti akan muncul dari tanggul di tepi parit. Tetapi Arya Salaka agaknya berjalan terlalu lambat. Seharusnya ia kini telah muncul dan berjalan lurus di hadapan mereka yang menunggunya dengan gelisah. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa tiba-tiba saja Arya ingin mencuci kakinya di dalam parit yang bersih itu dan untuk beberapa saat ia bermain-main dengan percikan airnya. Tetapi, kemudian dari balik tikungan itupun muncul sebuah bayangan. Seorang yang berjalan melenggang dalam keremangan malam. Bayangan itu berjalan dengan tergesa-gesa, lewat jalan kecil di muka pohon nyamplung itu. Sawung Sariti dan Galunggung menjadi bertambah gelisah. Segera mereka menarik pedang masing-masing, dengan sangat berhati-hati. Sesaat yang akan datang, pedang mereka harus melakukan tugas-tugas mereka yang berat. Tetapi mata Sawung Sariti yang tajam itu menjadi liar. Ia melihat perbedaan yang kecil pada bayangan itu. Ia menjadi ragu-ragu. Apakah orang itu Arya Salaka. Beberapa kali Sawung Sariti mengedipkan matanya, namun ia menjadi bertambah bimbang. Semakin dekat bayangan itu, semakin gelisah hati Sawung Sariti, sebab ia menjadi semakin yakin, bahwa bayangan itu sama sekali bukan Arya Salaka. Meskipun orang yang datang itu juga bertubuh tegap, namun Sawung Sariti dapat membedakan, bahwa Arya Salaka berjalan dengan gaya yang berbeda.
Ketika beberapa langkah orang itu menjadi semakin dekat, makin jelas, bahwa orang itu memakai pakaian yang lain. Galunggung pun akhirnya mengetahui juga, bahwa yang datang itu bukanlah yang mereka tunggu.
Dengan nafas yang memburu ia berbisik perlahan,
“Bukan itu orangnya, Angger.” 

“SETAN!” Sawung Sariti mengumpat,
“Ada juga malam-malam orang berkeliaran di daerah yang masih belum tenang sama sekali ini.”
“Agaknya ia akan mengairi sawah,” bisik Galunggung.
“Tidak. Tidak ada orang yang mempertaruhkan nyawanya untuk keperluan yang dapat dilakukan siang hari,” sahut Galunggung.
“Lalu siapakah dia?” tanya Galunggung pula.
“Apa pedulimu terhadap orang itu. Yang penting kita tunggu Arya Salaka,” jawab Sawung Sariti.
Galunggung pun kemudian berdiam diri.
Orang itu sudah semakin dekat. Sawung Sariti menahan nafasnya. Biarlah orang itu berlalu. Kemudian orang yang lewat di belakangnya, pastilah Arya Salaka. Tetapi Sawung Sariti menjadi marah, ketika tiba-tiba orang itu berhenti. Ia menoleh ke belakang, seakan-akan ada yang ditunggu-tunggunya. Bahkan kemudian dengan enaknya orang itu duduk di bawah pohon nyamplung itu, di sisi jalan yang lain, sambil memeluk lututnya.
Sawung Sariti menggeram perlahan-lahan.
“Gila!” pikirnya,
“Apa kerjaannya orang itu?”
Namun disabarkannya hatinya untuk sesaat. Barangkali orang itu akan segera pergi. Sebab, pada saat orang itu muncul di tikungan, nampaknya ia akan tergesa-gesa. Namun kenapa tiba-tiba orang itu duduk saja dengan enaknya di hadapannya? Sesaat sudah berlalu. Sawung Sariti masih mencoba menunggu. Tetapi akhirnya ia menjadi gelisah dan semakin marah. Arya Salaka pasti hampir tiba. Kalau orang itu masih duduk di situ, maka ia dapat mengganggu pekerjaannya, atau kalau terpaksa orang itu pun harus ditiadakan, untuk menghilangkan jejak. Maka akhirnya Sawung Sariti tidak sabar lagi. Ia takut kalau Arya Salaka segera akan datang. Karena itu, tiba-tiba ia meloncat dengan garangnya, sambil mengacungkan pedangnya kedada orang itu.
“Apa pekerjaanmu di sini?” bentaknya.

Orang itu terkejut bukan main. Tiba-tiba ia menjadi gemetar, jawabnya,
“Aku, aku tidak apa-apa.”
“Kalau begitu. Tinggalkan tempat ini segera,” perintah Sawung Sariti.
“Kenapa?” tanya orang itu.
“Tidak ada-apa,” jawab Sawung Sariti
“Tetapi pergi sekarang.”
Orang itu pun berdiri dan akan melangkah pergi ke arah darimana ia datang.
“Jangan ke sana,” bentak Sawung Sariti. Ia takut kalau orang itu akan berpapasan dengan Arya Salaka dan akan memberitahukan apa yang terjadi dengan dirinya.
“Ke mana?” tanya orang itu.
“Ke sana,” kata Sawung Sariti menunjuk ke arah yang berlawanan.
“Aku tidak punya keperluan di sana,” jawab orang itu.
“Aku tidak peduli. Pergi ke sana, cepat,” Sawung Sariti menjadi semakin marah
“Kau datang dari arah sana, kemudian apa perlumu kalau kau tidak mempunyai keperluan ke arah yang lain.”
“Aku hanya akan datang ke bawah pohon nyamplung ini,” jawab orang itu,
“Aku telah bermimpi, bahwa aku pada saat ini harus berada di sini.”
“Jangan banyak cakap. Pergi sekarang,” bentak Sawung Sariti.

Orang itu menjadi bingung. Karena itu malahan ia berdiri saja seperti patung. Galunggung akhirnya tidak sabar sama sekali melihat orang itu masih berdiri di sana dengan mulut ternganga. Ia pun kemudian melangkah maju sambil berkata,
“Binasakan saja orang itu, sebelum anak itu datang.”
“Jangan, jangan!” teriak orang itu.
“Jangan berteriak,” bentak Sawung Sariti. Ia takut kalau Arya mendengarnya. Namun dengan demikian waktu mereka menjadi semakin sempit. Dan sejalan dengan itu, pikiran Sawung Sariti pun menjadi semakin kisruh. Ia tidak mau gagal kali ini. Karena itu, akhirnya ia sependapat dengan Galunggung. Orang itu harus disingkirkan. Meskipun demikian ia masih mencoba sekali lagi membentaknya,
“Pergi, cepat!”


<<< Bagian 083                                                                                              Bagian 085 >>>

No comments:

Post a Comment