APALAGI ketika sekali lagi Gajah Alit menyinggung tentang Gajah Sora selama di Demak. Widuri yang duduk bertentangan dengan lubang pintu, tidak begitu tertarik pada ceritera Gajah Alit. Hanya kadang-kadang saja tertawa nyaring. Tetapi bukan karena ia mendengar ceritera Gajah Alit yang lucu, tetapi justru ia menertawakan bagaimana Senapati Demak yang bulat pendek itu tertawa.
Tetapi,
tiba-tiba Widuri pun menjadi bersungguh-sungguh ketika ia melihat Ki Ageng
Gajah Sora merenggangkan kakinya. Sebagai seorang gadis yang terlatih dalam
tata gerak bela diri, ia melihat bahwa ada sesuatu di antara renggang kaki
Gajah Sora, juga sepasang kaki yang renggang. Cepat-cepat Widuri mengamit
tangan ayahnya sambil berbisik,
“Ayah, kenapa
dengan Paman Gajah Sora?”
Kebo Kanigara
segera memaklumi. Ia dapat melihat lewat samping kaki Gajah Sora. Di dalam
gelap, dilihatnya seseorang yang sudah dikenalnya, Ki Ageng Lembu Sora.
Pertemuan itu menjadi terganggu. Semua melihat perubahan wajah Widuri dan Kebo
Kanigara. Dengan cemas Ki Ageng Sora Dipayana bertanya,
“Ada apa
Anakmas?”
“Putra Ki
Ageng yang muda telah datang,” jawab Kebo Kanigara. Segera orang tua itu
menangkap sasmita tamunya. Cepat ia meloncat berdiri dan langsung melangkah ke
luar pintu. Hampir saja ia melanggar Ki Ageng Gajah Sora yang masih berdiri
membelakangi pintu.
“Lembu Sora…”
kata orang tua itu,
“Inilah
kakakmu yang sudah lama kau tunggu.”
Kata-kata
orang tua itu benar-benar berpengaruh di dada Lembu Sora. Sebenarnya iapun sama
sekali tak bermaksud apa-apa. Ketika ia sedang berbaring di bale-bale dalam
pondoknya, berlepas baju karena udara yang panas, datanglah utusan ayahnya,
memberitahukan kedatangan kakaknya. Mendadak terasa tubuhnya gemetar, dan
dengan serta merta timbullah keinginannya untuk memeluk kaki saudara tua yang
pernah disengsarakannya itu untuk minta maaf.
Lembu Sora
segera meloncat, menyambar bajunya dan sambil berjalan tergesa-gesa, ia
mengenakan baju itu di sepanjang jalan, sambil berteriak,
“Cari Sawung
Sariti. Beritahukan kepadanya, bahwa aku menghadap Kakang Gajah Sora untuk
menyerahkan segala kesalahan.”
Tetapi ketika
ia sampai di halaman banjar desa itu, dan melihat bayangan kakaknya berdiri di
muka pintu seperti sikap seekor gajah yang sedang marah, ia menjadi ragu-ragu.
Apakah kakaknya nanti tidak tiba-tiba saja memukul kepalanya selagi ia sedang
memeluk kakinya? Apakah ia masih berhak memanggil orang yang berada di muka
pintu itu dengan sebutan Kakang? Karena keragu-raguannya itu, dan karena
kesadaran diri akan kesalahannya yang bertimbun-timbun, ia beberapa kali
terhenti. Bahkan yang terakhir, kurang beberapa langkah lagi, ia sudah tidak
dapat lagi memaksa dirinya untuk maju. Bahkan tiba-tiba ia melihat ketegangan
sikap kakaknya, dan tanpa sadar, ia pun menarik kakinya merenggang. Tiba-tiba
muncullah ayahnya. Dan bersamaan dengan itu, kembali pulalah pikirannya yang
jernih. Ia datang untuk minta maaf kepada kakaknya itu. Apakah kakaknya akan
memaafkannya atau tidak, bukanlah soalnya. Apakah kakaknya akan memukul hancur
kepalanya dengan Lebur Seketi, juga bukan soalnya. Karena itu sekali lagi ia
memaksa diri, mengusir ketakutannya untuk melihat kesalahan dirinya sendiri.
Dengan langkah
yang gemetar, Lembu Sora mendekat Gajah Sora. Tetapi ia tidak berjongkok dan
memeluk kaki kakaknya. Yang dilakukan hanyalah mengulurkan kedua tangannya
sambil membungkukkan punggungnya dalam-dalam. Dari mulutnya keluarlah suaranya
berdesir lambat,
“Kakang Gajah
Sora….”
Gajah Sora
masih berdiri tegang. Di belakangnya, di mulut pintu telah berdiri beberapa
orang berdesak-desakan. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Paningron dan Gajah Alit.
Terasa sesuatu bergolak di dadanya. Sebagai manusia biasa, sulitlah baginya
untuk melenyapkan segala kenangan pahit yang harus ditelannya. Semuanya itu
adalah akibat dari perbuatan adiknya itu. Ki Ageng Sora Dipayana melihat
pergolakan di hati anaknya yang tua. Ia pun bisa mengerti, betapa pedih hatinya
selama ini. Namun bagaimanapun juga keduanya adalah anaknya. Apalagi pada saat
terakhir, Lembu Sora telah menemukan kembali jalan kebenaran. Karena itu ia
berkata,
“Adikmu telah
lama menunggumu. Dalam limpahan kasih keluarga Pangrantunan, ia telah menemukan
titik-titik terang dalam hidupnya.”
Gajah Sora
menahan nafasnya. Perlahan-lahan tangan kanannya bergerak. Akhirnya dengan hati
kosong, disambutnya tangan adiknya. Tetapi ia terkejut ketika Lembu Sora tidak
saja menggenggam tangannya itu erat-erat, tetapi diciumnya, dan dibasahinya
tangan itu dengan air mata. Dada Gajah Sora pun bergetar. Darahnya yang serasa
menggelegak sampai ke lehernya oleh perasaan marah, dendam dan muak yang
meluap-luap ketika melihat adiknya itu, kini perlahan-lahan mengendap kembali
ke dalam hatinya.
Ki Ageng Lembu
Sora seorang laki-laki yang tak mengenal takut, seorang laki-laki yang
bergegayuhan setinggi awan, yang berkelana di langit biru, yang karenanya telah
melupakan tata subasita, bahkan telah melupakan kulit daging sendiri, kini
seperti kanak-kanak yang kehilangan barang mainannya, menitikkan air mata
sambil menggenggam tangan kakaknya. Ki Ageng Gajah Sora pun runtuhlah hatinya.
Dikenangkannya pada masa kanak-kanak mereka. Pada masa-masa mereka sering
bertengkar dan berkelahi berebut barang mainan. Kalau Gajah Sora sedang asyik
membuat mainan dari kayu atau dari bambu, kemudian datang Lembu Sora yang kecil
merebutnya. Kadang-kadang Gajah Sora yang belum puas menikmati permainannya pun
menjadi marah dan berusaha merebut permainan itu kembali. Tetapi Lembu Sora
mempertahankan dengan tangisnya. Kalau demikian, akhirnya runtuhlah pertahanan
hati Gajah Sora. Ia tidak akan meminta permainan itu kembali. Seandainya,
seandainya saat inipun tiba-tiba Lembu Sora berkata,
“Kakang, aku
iri hati melihat kamukten Banyubiru. Aku ingin untuk ikut menikmatinya. Betapa
rinduku kepada suatu masa yang gemilang dari perjalanan hidupku, dengan
memiliki daerah bekas tanah perdikan Pangrantunan seutuhnya,” Berserahlah Lembu
Sora.
Tetapi, tetapi
seandainya Lembu Sora datang kepadanya dengan tangan bertolak pinggang.
Menuding di depan hidungnya sambil berteriak, “Minggat kau Gajah Sora.
Banyubiru adalah milikku.” Seandainya demikian, maka pasti akan ditengadahkan
wajahnya, dan akan dijawabnya dengan lantang,
“Marilah Lembu
Sora, lampaui mayatku dahulu.” Tetapi, tetapi yang terjadi bukanlah demikian.
Lembu Sora tidak menangis untuk meminta kemukten Banyubiru, dan Lembu Sora
tidak bertolak pinggang untuk menantang kakak kandungnya sendiri. Baru saja,
dalam saat yang pendek dialami, betapa pahitnya daerah Pamingit yang dilanda
oleh arus peperangan.
BETAPA pedih
hati Lembu Sora melihat api yang menelan rumah-rumah dan banjar-banjar desa,
mendengar pekik tangis perempuan dan anak-anak yang berusaha untuk
memperpanjang hidupnya. Betapa ngeri perasaan anak-anak melihat darah yang
bercucuran dan betapa tertekan jiwanya melihat ayahnya diseret ke jalan-jalan.
Tetapi peperangan itu sendiri serasa menjadi sahabat yang paling karib dari
manusia. Setiap kali akan datang kembali, mengunjungi sahabatnya. Kalau tidak,
maka sahabatnya itulah yang bertingkah mengundangnya. Ternyata dalam sejarah
hidup manusia yang ditulis di lontar-lontar, kitab-kitab kidung dan di
lontar-lontar yang lain, selalu akan berulang kembali kata-kata: perang,
perang, perang! Meskipun setiap mulut akan mengutuknya sebagai hantu yang
paling menakutkan, tetapi seperti juga kekasih yang selalu dirindukan. Tidak
saja negara-negara besar di Nusantara sendiri yang timbul dan tenggelam setelah
pacah perang-perang besar, seperti Mataram Lama, Jenggala, Kediri, Pajajaran,
Majapahit, dan bahkan ceritera-ceritera yang dibawa oleh para perantau, para
pelaut dan pedagang asing di pantai Nusantara.
Negara-negara
Parangakik, Ngerum, negara-negara Cina dan Jepang yang berebut pengaruh, selalu
diakhiri oleh tangis para janda dan anak-anak karena suami dan ayah mereka
lenyap dengan mengerikan sekali dalam kebiadaban api peperangan. Peperangan
yang paling terkutuk, yang selalu terjadi di bumi Nusantara sejak masa-masa
pemerintahan Senduk di Mataram Lama, Jayabaya dan Jayasaba, sampai pada
masa-masa pemerintahan Tumapel Kediri dan seterusnya, pecahnya Majapahit,
adalah karena perang saudara. Pemberontakan Peregreg, dan sebagainya, adalah
permulaan dari kemunduran Majapahit. Karena itulah, didasari pada kesadaran
yang demikian, setelah kepalanya sendiri hampir terbentur hancur, Lembu Sora
sempat melihat dalam dirinya. Ia tidak mau mengalami nasib yang demikian.
Kehancuran mutlak atas Pamingit dan Banyubiru. Yang membelit dirinya kini
adalah penyesalan. Penyesalan yang menghujam ke dalam jantung kalbunya. Dan ia
belum terlambat.
Gajah Sora pun
kemudian telah bersiap sebagai seorang kakak yang baik. Sambil menepuk bahu
adiknya, ia berkata perlahan-lahan.
“Masuklah
Lembu Sora.” Lembu Sora tidak bisa menjawab. Mulutnya tersumbat. Tetapi ia
mengangguk dan melangkah ke pintu. Yang berada di pintu pun telah duduk kembali
ke tempatnya. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Gajah Alit dan Paningron, kemudian
Arya Salaka, Wilis dan Widuri. Disusul kemudian Gajah Sora dan Lembu Sora,
sedang yang terakhir kali menempati tempatnya adalah Ki Ageng Sora Dipayana.
Mula-mula terasa betapa hatinya bergelora ketika Ki Ageng Lembu Sora melihat
siapa saja yang hadir di dalam ruangan itu. Apalagi ketika ia melihat dua orang
yang berpakaian lengkap sebagai prajurit-prajurit Demak. Jelas terbayang di
kepalanya, bagaimana ia dengan orang-orang golongan hitam, mencegat laskar
Demak, lima enam tahun yang lampau. Bagaimana pada saat itu Mahesa Jenar telah
menyergapnya.
Tetapi
kemudian hati Lembu Sora menjadi sumeleh. Ia pasrah pada kekuasaan Yang Maha
Kuasa. Ia akan menerima kebenaran tertinggi. Sebab kemudian ia yakin, bahwa
kebenaran tidak dapat dipaksakan oleh manusia, meskipun manusia seluruh dunia
mengakuinya. Namun oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Kebenaran yang berjalan di atas
firman-Nya.
Tetapi sesuatu
telah terjadi di luar halaman banjar desa itu. Dua pasang mata telah
menyaksikan betapa Ki Ageng Lembu Sora menangis. Dan wajah kedua orang itupun
menjadi merah karena marah. Seorang berperawakan kokoh dengan jalur-jalur
ototnya yang menjorok di seluruh permukaan kulitnya. Orang itu adalah Galunggung,
sedang yang lain, seorang anak muda sebaya dengan Arya Salaka, putra Ki Ageng
Lembu Sora sendiri.
“Perempuan,”
bisik Sawung Sariti.
“Ayah Angger
Arya Salaka terlalu perasa,” sahut Galunggung.
“Apa yang
kira-kira dilakukan Ayah? Menyerah kepada nasib? Atau malahan menyerahkan
Pamingit sebagai tebusan dirinya?” Sawung Sariti meneruskan sambil mencibirkan
bibirnya.
“Apa kira-kira
yang akan dilakukan oleh dua orang prajurit dari Demak itu di sini?” tanya
Galunggung tiba-tiba.
Sawung Sariti
mengerutkan keningnya.
“Entahlah,”
jawabnya,
“Mungkin ia
akan menangkap Ayah, karena Ayah pernah mencegat laskar Demak, dahulu.”
Mata
Galunggung yang seperti burung hantu itu tiba-tiba menjadi suram. Ia menarik
nafas sambil mengeram, katanya,
“Kalau benar,
aku kira lebih baik hancur daripada menyerah.”
“Apakah kau
sangka yang dua orang itu mampu menghancurkan kita?” kata Sawung Sariti dengan
nada yang tinggi.
GALUNGGUNG
menyahut,
“Laskarnya,
apakah kira-kira hanya dua orang itu saja?”
“Jangan
pikirkan itu,” potong Sawung Sariti,
“Barangkali ia
mengawal Paman Gajah Sora yang hanya sekadar boleh menengok keluarga. Tetapi
yang penting bagiku adalah Arya Salaka. Apakah Paman Gajah Sora kembali
memerintah di Banyubiru atau tidak, kalau Arya Salaka dapat aku lenyapkan, maka
akhirnya Pamingit dan Banyubiru akan jatuh di tanganku dengan sendirinya.”
“Angger benar.
Tak ada orang lain yang dapat mewarisi kedua daerah ini secara sah selain
Angger Sawung Sariti,” jawab Galunggung.
Sawung Sariti
tersenyum. Seolah-olah ia telah memastikan dirinya untuk menerima warisan dari
ayahnya atas Pamingit dan dari pamannya Gajah Sora atas Banyubiru. Meskipun
dengan demikian ia harus duduk di atas bangkai kakak sepupunya.
“Marilah kita
pergi,” ajak Sawung Sariti.
“Tidaklah
Angger akan menghadap Pamanda Gajah Sora?” tanya Galunggung.
Sawung Sariti
mencibirkan bibirnya, jawabnya,
“Buat apa?”
Keduanya pun
melangkah pergi. Tak seorangpun yang mengetahui apa yang akan dilakukan oleh
Sawung Sariti. Dan keduanya pergi tanpa menarik perhatian seorang pun.
Sebagaimana mereka datang dari dalam gelap, berhenti dan berdiri menyaksikan
apa yang terjadi di halaman banjar desa dari dalam gelap, mereka pun lenyap
ditelan oleh kegelapan.
Di Banjar
Desa, pembicaraan-pembicaraan telah mulai berlangsung lancar sekali. Paningron,
meskipun tidak dengan tegas, namun disindirnya, bahwa ia tidak akan mengambil
suatu tindakan apapun terhadap Banyubiru dan Pamingit, karena peristiwa
pencegatan lima tahun lampau, sebab menurut laporan yang masuk ke Demak,
pencegatan itu dilakukan oleh golongan hitam. Sesaat kemudian di halaman itupun
dikejutkan oleh suara tawa yang tinggi nyaring. Kemudian masuklah ke halaman
itu seorang tua yang bertubuh tinggi, kekurus-kurusan. Dengan suara yang
berderai, ia bertanya kepada anak-anak yang duduk di halaman,
“Siapakah yang
berada di dalam?”
“Penuh, Ki
Ageng,” jawab salah seorang.
Ki Ageng
Pandan Alas tertawa. Katanya,
“Seseorang
memberitahu kepadaku, katanya Anakmas Mahesa Jenar telah datang, bersama-sama
dengan beberapa orang lain, di antaranya dua orang gadis. Adakah Rara Wilis
bersamanya?”
Yang ditanya
oleh Ki Ageng Pandan Alas, kebetulan adalah anak-anak Banyubiru, yang memang
mengenal Rara Wilis.
Dari lubang
pintu mereka memang melihat gadis itu berada di dalam. Maka salah seorang menjawab,
“Ya, Ki Ageng,
salah seorang di antaranya adalah Rara Wilis.”
Ki Ageng
Pandan Alas tertawa.
“Aku sudah
rindu kepadanya,” katanya. Dan suaranya itu terdengar dari dalam ruangan Banjar
Desa. Maka berkatalah Ki Ageng Sora Dipayana,
“Angger Rara
Wilis agaknya eyangmu telah datang.”
“Ya, Eyang,”
jawabnya,
“Aku sudah
mendengar suaranya.”
Pada saat
itulah Ki Ageng Pandan Alas muncul. Bagitu saja ia langsung masuk ke dalam
Banjar. Tetapi ia tertegun, ketika dilihatnya banyak orang lain. Di antaranya,
bahkan dua orang prajurit dalam pakaiannya.
“Silahkan Ki
Ageng,” Ki Ageng Sora Dipayana mempersilahkan.
“Uh!” sahut Ki
Ageng Pandan Alas,
“Aku kira
hanya orang-orang kita sendiri, tetapi agaknya ….” suaranya terputus, lalu
sambil berjalan berjongkok ia maju ke depan Gajah Sora sambil berkata,
“Bukankah ini
Angger Gajah Sora seperti yang kau katakan, Ki Ageng?”
Ia berkata Ki
Ageng Sora Dipayana, namun tangannya terancung kepada Gajah Sora. Dengan serta
merta Gajah Sora menyambut salam itu, sambil membungkuk hormat ia menjawab,
“Terimakasih,
Paman.”
Baru kemudian
Ki Ageng Pandan Alas sempat menyapa cucunya Rara Wilis.
“Kau bertambah
kurus Wilis,” katanya. Rara Wilis menundukkan wajahnya.
“Tetapi jangan
terlalu kau biarkan dirimu menjadi semakin kurus. Itu tidak baik. Apalagi bagi
gadis-gadis,” kata eyangnya.
Yang terdengar
kemudian adalah suara Endang Widuri,
“Tidak Eyang,
Bibi Wilis hampir setiap pagi dan sore minum jamu singset. Karena itu Bibi
Wilis kian hari kian bertambah cantik.”
“Ah,” potong
Wilis sambil mencubit lengan anak itu.
“Aduh!” Widuri
mengaduh, namun ia tertawa-tawa saja.
Dengan
hadirnya Ki Ageng Pandan Alas, ruangan itu bertambah ramai dan ribut. Namun
juga bertambah panas. Apalagi sesaat kemudian Titis Anganten telah datang pula
meramaikan pertemuan itu. Pertemuan dari sekelompok sahabat yang lama
terpisah-pisah, namun kemudian berkumpul kembali dalam suasana yang
menyenangkan. Pembicaraan mereka berkisar ke sana ke mari tak menentu. Terasa
seakan-akan waktu begitu sempit dan cepat. Karena itu mereka terpaksa menunda
pembicaraan mereka sampai esok. Belum ada hal yang puas mereka dengar, baik
dari Mahesa Jenar maupun Kebo Kanigara tentang Pasingsingan yang rangkap tiga.
Juga dari Gajah Sora tentang pengalamannya di Demak, serta dari Ki Ageng Sora Dipayana,
Pandan Alas dan Titis Anganten tentang lenyapnya laskar hitam dari Pamingit.
AGAKNYA malam
telah jauh. Dan pertemuan itu pun bubarlah. Masing-masing dibawa ke pondok yang
sudah disediakan, meskipun berpencar-pencar. Malam menjadi sepi. Namun Ki Ageng
Gajah Sora tidak segera dapat beristirahat. Di halaman, anak-anak Banyubiru
benar-benar menantinya, sehingga ia masih memerlukan waktu untuk menemui
mereka. Berbicara dengan mereka, menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka, yang
kadang-kadang aneh-aneh. Tetapi dari mereka Gajah Sora juga mendengar bahwa
anaknya, Arya Salaka, benar-benar luar biasa. Jaladri pernah melihat Arya
Salaka bertempur melawan Lawa Ijo. Tidak saja dalam pertempuran besar beberapa
hari yang lalu, tetapi di Gedong Sanga pun pernah dilihatnya. Ia sama sekali
tidak menyangkal ceritera itu. Bukan sekadar ceritera yang berlebih-lebihan,
namun ceritera itu benar-benar terjadi. Dirinya sendiri pernah membuktikan
betapa anak muda yang bernama Arya Salaka itu mampu melawannya. Selagi Ki Ageng
Gajah Sora duduk bersama dengan anak-anak Banyubiru, sebelum ia diantar ke
pondoknya, Arya Salaka telah mendahuluinya bersama gurunya dan Kebo Kanigara.
Tetapi ia pun tidak segera dapat tidur. Ketika gurunya dan Kebo Kanigara telah
berbaring di ruang dalam, Arya Salaka masih duduk di muka pintu menunggu
kedatangan ayahnya, yang juga harus beristirahat di tempat itu bersama-sama
mereka. Sedang di pondok sebelah adalah tempat untuk beristirahat kedua
prajurit dari Demak, Paningron dan Gajah Alit.
Ketika Arya Salaka
sedang merenungi titik-titik yang jauh di dalam gelap malam, tiba-tiba
dilihatnya seseorang lewat di muka pondoknya. Seorang tua yang berjalan seperti
perempuan. Orang itu berhenti sejenak, lalu melambaikan tangannya kepada Arya
Salaka. Arya Salaka yang sudah mengenalnya segera berdiri mendekatinya. Sambil
membungkuk hormat, ia bertanya,
“Adakah
sesuatu, Eyang Titis Anganten?”
“Aku ingin
mengatakan kepadamu dalam pertemuan tadi, namun aku tidak sampai hati merusak
suasana yang gembira itu. Sebenarnya masih ada sesuatu yang ketinggalan dari
keluarga Banyubiru dan Pamingit,” jawab Titis Anganten.
Cepat hati
Arya bergeser ke ibunya. Dahulu orang tua itulah yang memberitahukan kepadanya,
bahwa ibunya selamat. Dan sekarang ia berkata tentang keluarga Banyubiru dan
Pamingit yang tercecer.
“Ya,” sahut
Arya,
“Agaknya Eyang
Sora Dipayana tidak ingat lagi kepada ibu”.
“Ah. Jangan
berkata begitu Arya,” potong Titis Anganten,
“Eyangmu sudah
tahu, kalau ibumu aku selamatkan. Agaknya ia segan untuk dengan tergesa-gesa
menyuruhku mengambilnya. Karena itu dibiarkannya saja sampai aku datang
membawanya kembali.”
Arya
menundukkkan wajahnya. Terasa bahwa ia agak terlanjur menyangka eyangnya
melupakan ibunya.
“Sekarang…”
Titis Anganten meneruskan,
“Aku ingin
mengembalikan ibumu. Justru ayahmu sudah lebih dahulu datang tanpa
disangka-sangka.”
“Terimakasih,
Eyang,” jawab Arya,
“Di manakah
Ibu sekarang?”
“Masih di
pengungsiannya,” sahut Titis Anganten,
“Aku kira
keadaan telah benar-benar baik. Kalau kau tak keberatan, jemputlah. Tak usah
orang-orang tua seperti aku.”
“Baik Eyang,”
sahut Arya,
“Tunjukkan aku
tempatnya.”
“Tidak terlalu
jauh. Ibu serta bibimu aku sembunyikan di Sarapandan,” jawab Titis Anganten.
“Sarapandan,”
ulang Arya.
“Ya, desa
kecil yang tak berarti. Aku memang menyangka desa itu tak akan menarik
perhatian. Dan ternyata memang demikian. Orang-orang dari golongan hitam itu
sama sekali tak tertarik untuk singgah. Dan hanya itulah satu-satunya
kemungkinan yang dapat aku lakukan waktu itu. Untunglah, segera laskar Pamingit
datang dari Banyubiru bersama-sama dengan eyangmu. Apalagi akhirnya laskarmu
datang pula bersama gurumu dan Kebo Kanigara yang mengaggumkan itu,” kata Titis
Anganten.
“Di mana letak
dusun itu?” tanya Arya.
TITIS ANGANTEN
memberinya sekadar petunjuk, namun kemudian katanya tanpa berprasangka,
“Ah, aku kira
lebih baik pergi bersama-sama dengan Sawung Sariti.”
Arya
mengerutkan keningnya. Sesuatu berdesir di dalam hatinya. Ia tidak tahu,
perasaan apa yang menganggunya apabila ia mendengar nama saudara sepupunya.
Namun ia tidak dapat berkata sesuatu kepada Titis Anganten.
“Arya…” Orang
tua itu meneruskan,
“Aku kira
Sawung Sariti telah mengenal semua sudut daerah Pamingit ini. Aku kira ia pun
mengenal Sarapadan. Apalagi ibunya pun di sana.”
Arya masih berdiam
diri, dan agaknya Titis Anganten tidak memperhatikan anak muda itu. Sebab ia
segera berkata pula, “Berkatalah kepada gurumu. Kalau kau temui Sawung Sariti
ajaklah dia, kalau kau perlukan aku, aku pun bersedia.”
“Baiklah
Eyang,” jawab Arya. Namun tidaklah baik baginya untuk mengajak orang tua itu.
Dengan demikian ia akan menjadi anak manja yang tak dapat melakukan sesuatu
tanpa pertolongan orang lain, namun pergi bersama Sawung Sariti pun ia agak
segan-segan.
“Tetapi anak
itu sudah baik,” pikirnya. Sementara itu kakinya melangkah tlundak pintu
langsung ke pembaringan gurunya.
“Paman,”
katanya perlahan-lahan ketika ia melihat gurunya masih belum tidur.
Mahesa Jenar
mengangkat kepalanya,
“Ada apa
Arya?” Maka dikatakannya apa yang didengar dari Titis Anganten.
“Kau akan
pergi?” tanya Mahesa Jenar.
Arya Salaka
menganguk sambil menjawab,
“Ya, Paman.”
“Kau tidak
menunggu Ayah?” tanya Kebo Kanigara yang berbaring di bale-bale, di samping
Mahesa Jenar. Tiba-tiba Arya ingin mengejutkan ayahnya. Kalau ayah datang nanti
mudah-mudahan ia telah kembali bersama ibunya. Bukankah Sarapadan tidak begitu
jauh? Meskipun seandainya ayahnya dahulu datang, kemudian baru ibunya pun, akan
dapat menggembirakan hati ayahnya itu.
Karena itu ia
menjawab,
“Tidak Paman.
Aku ingin mengejutkan Ayah.”
“Dengan siapa
kau akan pergi?” tanya Mahesa Jenar.
“Eyang Titis
Anganten bersedia mengantarkan aku kalau aku memerlukannya. Kalau tidak, maka
Eyang menyuruhku mengajak Sawung Sariti,” jawab Arya Salaka.
Mahesa Jenar
bangkit dan duduk di bale-bale itu. Tampak ia sedang berpikir. Di dalam dadanya
berdesir pula perasaan seperti perasaan di dada Arya Salaka. Namun ia pun
berdiam diri.
“Aku segan
untuk meminta Eyang Titis Angenten mengantarku,” kata Arya Salaka.
“Apakah
Sarapadan tidak jauh?” tanya Kebo Kanigara.
“Tidak,” sahut
Arya,
“Menurut eyang
Titis Anganten, Sarapadan hanya berantara empat bulak besar kecil.
“Pergilah,”
kata Mahesa Jenar kemudian,
“Tetapi
berhati-hatilah. Jarak itu tidak terlalu jauh. Kau dapat membawa siapapun.
Tidak perlu eyangmu Titis Anganten. Biarlah ia beristirahat. Juga tidak perlu
Sawung Sariti. Setiap orang Pamingit akan dapat menunjukkan letak desa itu.”
“Baiklah
Paman,” sahut Arya. Kemudian ia pun minta diri kepada gurunya dan kepada Kebo
Kanigara. Ia bermaksud untuk pergi saja seorang diri. Sarapadan tidak terlalu
jauh. Jalur jalannya pun telah ditunjukkan oleh Titis Anganten. Sehingga ia
akan dengan mudah menemukannya, atau tidak akan dapat bertanya kepada siapa
saja yang akan ditemuinya di perjalanannya. Peronda atau penjaga gardu.
Maka segera
Arya pun berangkat. Malam menjadi semakin dalam. Namun bintang di langit
bertebaran di segala penjuru. Angin malam yang dingin bertiup menghancurkan
suara-suara anjing liar yang berebut makanan. Sekali-kali di kejauhan terdengar
suara buruang hantu menggetarkan udara.
Tiba-tiba di
sudut desa, Arya terhenti. Dilihatnya dua orang berdiri sebelah-menyebelah di
kedua sisi jalan. Namun segera Arya mengenal mereka berdua, Sawung Sariti dan
pengawalnya yang setia, Galunggung.
“Bukankah kau
ini Kakang Arya Salaka?” sapa Sawung Sariti.
“Ya, Adi,”
jawab Arya.
“Ke manakah
Kakang akan pergi di malam begini?” tanya Sawung Sariti pula.
Arya Salaka
menjadi ragu-ragu. Kalau ia berkata sebenarnya maka ada kemungkinan Sawung
Sariti akan ikut serta. Padahal, meskipun ia telah berusaha untuk melupakan,
namun berjalan bersama-sama dengan adiknya, ia masih terasa segan. Tetapi ia
tidak menemukan jawaban lain, karena itu ia terpaksa menjawab dengan berterus
terang.
“Aku akan
menjemput Ibu ke Sarapadan.”
“Adakah Bibi
Gajah Sora di Sarapadan?” bertanya Sawung Sariti.
“Ya,” jawab
Arya singkat.
“Kalau
demikian, ibuku juga di sana?” tanya Sawung Sariti pula.
“Ya,” jawab
Arya pula.
“Dari mana
Kakang tahu?” desak Sawung Sariti.
“Eyang Titis
Anganten,” sahut Arya Salaka.
SAWUNG SARITI
mencibirkan alisnya. Ia berpikir sejenak. Kemudia ia berkata,
“Aku pergi
bersama-sama dengan Kakang.”
Arya menarik
nafas. Ia pasti tidak akan dapat menolak. Karena itu ia menjawab,
“Suatu
kebetulan bagiku, Adi. Aku belum pernah melihat tempat itu. Sekarang kalau kau
akan menemani aku, aku akan berterima kasih.”
Sawung Sariti
mengangkat wajahnya. Dengan sudut matanya ia memandang wajah kasar orang
kepercayaannya. Kemudian terdengar ia berkata,
“Kita ikut.”
“Marilah
Angger.” Terdengar suara Galunggung berat.
Maka kemudian
pergilah mereka bertiga berjalan beriring-iringan. Galunggung sambil menyeret
pedangnya yang tersangkut di lambungnya. Sekali-kali Arya mengerling kepada
adiknya itu. Pedangnya berjuntai-juntai hampir menggores tanah. Pedang itu
hampir setiap keadaan tak pernah terlepas dari pinggangnya.
Sebenarnya
kalau Arya bercuriga, itupun cukup beralasan. Ia menyesal bahwa ia tidak
membawa tombak pusaka Banyubiru. Namun hatinya kemudian menjadi besar, ketika
terasa di dalam bajunya terselip sebuah pisau belati panjang terbalut dengan
klika kayu. Pisau belati pusaka Pasingsingan yang bernama Kiai Suluh.
–
Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu – pikirnya.
Dan
kadang-kadang ia terpaksa tersenyum sendiri atas kecurigaannya itu. Sedang
Sawung Sariti berjalan saja dengan enaknya, melenggang dalam dingin malam.
Tetapi tiba-tiba Arya mengangkat alisnya. Dan berkatalah ia dengan serta merta
”Adi apakah
benar jalan ini jalan ke Sarapadan?”
Sawung Sariti
menoleh. Ia berhenti melangkah, kemudian menjawab pertanyaan Arya dengan heran
”Ya inilah
jalan itu. Kenapa?”
Arya
mengamat-amati keadaan sekelilingnya. Di kejauhan di wajah taburan bintang di
langit ia melihat sepasang pohon siwalan.
Katanya
”bukankah kita
harus melewati jalan kecil diantara pohon siwalan itu?”
“Siapa
bilang?” bertanya Sawung Sariti.
“Eyang Titis
Anganten” jawab Arya Salaka.
“Eyang Titis
Anganten keliru” sahut Sawung Sariti.
Tetapi Arya
adalah seorang muda yang hampir seluruh hidupnya berada dalam perjalanan. Iapun
tahu benar, bahwa Titis Anganten adalah seorang perantau, sehingga ia yakin
bahwa tak mungkin orang tua itu salah. Karena keyakinannya itu maka Arya
menjawab
”Adi, eyang
Titis Anganten adalah seorang perantau, yang kerjanya berjalan dari satu ujung,
kelain ujung dari pula ini. Karena itu apakah eyang Titis Anganten akan salah
jalan dalam jarak empat lima bulak saja?”
“Aku adalah
anak Pamingit” jawab Sawung Sariti
“sejak bayi
aku bermain-main ditempat ini. Adakah aku tidak mengenal Sarapadan?”
Memang,
sebenarnyalah demikian. Seharusnya Arya percaya bahwa Sawung Sariti mengenal
daerah ini dengan baik. Tetapi ada sesuatu dipojok hatinya yang berbisik
“Pilihlah
jalan sendiri”.
Karena itu
Arya berkata
“Adi,
barangkali ada jalan lain ke Sarapadan. Jalan yang barangkali ditempuh oleh
Eyang Titis Anganten pada saat itu”.
“Agaknya
kakang Arya Salaka lebih percaya kepada orang tua itu daripada kepadaku?”
bertanya Sawung Sariti. Arya menjadi beragu. Untuk beberapa saat ia berdiam
diri. Agak sulit baginya untuk menjawab pertanyaan itu. Meskipun demikian
akhirnya ditemukannya juga jawabannya
”Adi, baiklah
aku mencoba membuktikan, apakah Eyang Titis Anganten benar-benar seorang
perantau yang baik. Sedangkan apabila nanti jalan itu tak aku ketemukan, aku
akan kembali ke Pamingit. Mengajak orang tua itu pergi bersama-sama dan
mengatakan kepadanya, bahwa perantau itu kini telah menjadi pelupa dan tak
dapat mengenal jalan antara Pamingit dan Sarapadan meskipun ia dapat menemukan
jalan kembali ke Banyuwangi yang menurut eyang Titis Anganten jaraknya
beribu-ribu kali lipat”.
Wajah Sawung
Sariti menjadi panas. Terasa sindiran halus pada kata-kata Arya, memang
sebenarnya bahwa jalan terdekat ke Sarapadan adalah jalan kecil di antara
sepasang pohon Siwalan itu. Karena agaknya Arya Salaka telah berkeras hati
untuk menempuh jalan itu, maka akhirnya ia berkata
“Baiklah
kakang Arya, kau lewat jalanmu, aku lewat jalan yang sudah aku kenal baik-baik.
Meskipun barangkali kakang akan sampai ke Sarapadan, namun jalan yang akan kau
tempuh itu agak terlalu jauh”.
“Tidak apalah
adi” jawab Arya
“lalu
bagaimana dengan adi Sawung Sariti?”
“Aku akan
mengambil jalan ini” sahut Sawung Sariti.
“Baik. Kalau
demikian biarlah kita berjanji untuk saling menunggu di tempat pengungsian ibu
kami, supaya kita bisa pulang bersama-sama” berkata Arya Salaka.
“Tidak perlu”
jawab Sawung Sariti
“kita sudah
berselisih jalan disini. Biarlah kita jemput ibu kita masing-masing. Aku jemput
ibuku, kau jemput ibumu”.
ARYA menarik
nafas panjang. Adiknya memang terlalu kaku. Namun Arya masih mencoba berkata,
“Apakah kata
ibu-ibu kita itu nanti. Mereka mengungsi bersama-sama, biarlah mereka pulang
bersama-sama.”
“Ibuku bukan
perempuan cengeng,” jawab Sawung Sariti,
“Kalau ibuku
tak mau, biarlah ia pulang sendiri tanpa Sawung Sariti.”
“Hem!”
terdengar Arya mengeluh. Tetapi ia tidak sempat berbicara lagi. Sawung Sariti
telah pergi meninggalkannya. Galunggung berjalan di belakangnya hampir
meloncat-loncat. Sekali dua kali dilihatnya kedua orang itu menoleh, tetapi
lalu berjalan semakin cepat.
Perlahan-lahan
Arya memutar tubuhnya. Ia melangkah kembali ke jalan kecil di antara pohon
Siwalan itu. Ia harus berjalan terus ke selatan, kemudian di simpang tiga ia
harus membelok ke kiri. Setelah beberapa langka akan ditemuinya parit. Ia dapat
menempuh dua jalan. Terus lewat jalan kecil itu, atau menyusur tepi parit.
Namun kedua jalan itu akan bertemu kembali di bawah pohon nyamplung yang besar
di tepi sebuah sungai kecil. Setelah itu, ia hanya akan menyusur satu jalan
terus sampai dimasukinya desa Sarapadan.
“Mungkin Adi
Sawung Sariti benar,” pikirnya,
“Jalan itupun
akan sampai ke Sarapadan.” Dengan demikian Arya agak menyesal. Mungkin ia
terlalu berprasangka.
Namun
sebenarnya Arya telah berbuat hati-hati. Firasatnya telah dapat memberinya beberapa
pertimbangan dalam mengambil keputusan. Kalau ia berjalan bersama-sama dengan
Sawung Sariti, akibatnya akan berbahaya sekali. Sawung Sariti telah membawanya
lewat jalan yang sepi, menyusur lewat pereng yang terjal. Di sana segala
sesuatu akan dapat terjadi. Satu sentuhan di kakinya, akan dapat
mengantarkannya ke dasar jurang yang dalam dan berdinding runcing seperti
gerigi. Dan hal yang demikian itu, akan dapat terjadi. Untunglah, Tuhan telah
membawanya lewat jalan lain.
Di jalan itu,
Sawung Sariti berjalan sambil mengumpat-umpat. Sedang Galunggung pun menggeram
tak habis-habisnya. Ketika Sawung Sariti membelok, dan memilih jalan itu,
hatinya yang kelam segera dapat menebak maksud momongannya. Bahkan ia telah
bersiap di belakang Arya, menyentuhnya sedikit dan kemudian bergegas-gegas
berlari-lari ke Pamingit, memberitahukan kecelakaan yang terjadi, bahwa Arya
Salaka terpeleset ke dalam jurang, atau dibiarkannya, tak seorangpun
mengetahuinya. Namun rencananya ternyata urung. Arya memilih jalan lain. Karena
itupun mereka harus mempunyai rencana lain. Namun telah terpateri di dalam
kepala anak muda dari Pamingit itu, bahwa Arya Salaka harus dilenyapkan. Sudah
tentu dengan diam-diam. Dengan demikian kedatangan Gajah Sora tak akan
berpengaruh. Kelak, sudah pasti bahwa Pamingit dan Banyubiru akan dikuasainya.
Apalagi kini golongan hitam yang menghantui mereka telah lenyap pula.
“Kakang Arya
akan membelok di simpang tiga,” bisik Sawung Sariti.
“Ya,” jawab
Galunggung singkat.
“Lalu, mungkin
akan dipilihnya jalan di tepi parit,” Sawung Sariti meneruskan.
Sawung Sariti
berpikir sejenak. Hatinya benar-benar sudah dikuasai oleh nafsu yang
menyala-nyala. Yang berada di dalam kepalanya hanyalah usaha terakhir untuk
menyingkirkan kakak sepupunya.
Galunggung
dapat mengetahui apa yang bergolak di dalam hati anak muda itu. Karena itu
iapun turut berpikir. Ia mengharap bahwa Sawung Sariti kelak benar-benar dapat
menguasai Pamingit dan Banyubiru. Dengan demikian, ia pun akan mendapat tempat
yang baik. Jauh lebih baik daripada yang sekarang dimiliki. Mungkin akan
didapatnya tanah dua kali lipat dari tanah yang diterimanya sekarang. Juga
kekuasaan yang diperoleh akan berlipat-lipat pula.
Setelah mereka
berdiam diri sejenak, maka berkatalah Galunggung,
“Angger Sawung
Sariti. Kita masih mempunyai kesempatan. Kita dapat menempuh jalan memisah,
lewat pematang dan menyusup di bawah uwot parit sebelah.
“Aku juga
berpikir demikian,” sahut Sawung Sariti,
“Kita cegat
Kakang Arya di simpang tiga, sebelum kita harus memilih jalan mana yang dilewati.”
“Terlalu
tergesa-gesa,” jawab Galunggung,
“Kita cegat
Angger Arya di sebelah pohon nyamplung.”
Kembali Sawung
Sariti berpikir. Kemudian sambil mengangguk-angguk ia berkata,
“Mungkin baik
juga.”
“Kalau
demikian,” Sawung Sariti meneruskan,
“Kita harus
segera menyusul Kakang Arya Salaka. Kita ambil jalan pematang.”
Sawung Sariti
tidak menunggu jawaban Galunggung. Cepat ia meloncati parit kecil di tepi
jalan. Kemudian menyusur pematang, menyusup di antara batang-batang jagung
muda. Namun meskipun demikian, Sawung Sariti harus berhati-hati, supaya Arya
tak dapat melihatnya.
DENGAN
bergegas-gegas kedua orang itu berjalan memotong arah. Mereka berjalan di atas
pematang-pematang, tanggul-tanggul parit untuk dapat mendahului Arya Salaka.
Karena Sawung Sariti telah terlalu biasa dengan daerah ini, maka ia dapat
memperhitungkan jarak yang dilewatinya itu cukup jauh dari jalan yang dilalui
Arya, sehingga ia tidak usah khawatir dapat diketahuinya. Ketika mereka harus
memotong jalan, barulah mereka berjalan dengan sangat hati- hati, menyusur
batang-batang jagung sambil membungkuk-bungkuk. Akhirnya mereka terjun ke anak
sungai, dan lewat di bawah uwot dari kayu yang bersilang di atas anak sungai
itu, mereka memotong jalan. Mereka mengharap, bahwa dengan demikian mereka akan
dapat mendahului Arya Salaka sampai di bawah pohon nyamplung. Arya Salaka yang
tidak tahu, apa yang sedang direncanakan oleh adik sepupunya, berjalan
seenaknya sambil menikmati angin malam. Langit tidak terlalu bersih, namun di
beberapa sudut bintang masih tampak berkeredipan menghias malam. Dengan
cermatnya ia memperhatikan tanda-tanda yang diberikan oleh Titis Anganten.
Jalan manakah yang seharusnya dilewatinya. Namun jalan itu tidak terlalu sulit
baginya. Sehingga ia pun tidak usah cemas, bahwa ia akan tersesat. Kemudian
Arya sampai di simpang tiga. Di simpang tiga, ia membelok ke kiri. Beberapa
langkah kemudian ditemuinya parit. Dan ia harus memilih, apakah akan berjalan
di sepanjang jalan kecil itu, ataukah akan memilih jalan tanggul di sepanjang
parit. Arya kemudian berhenti sejenak. Dilihatnya air yang memercik di dalam
parit itu. Mengalir dengan tenangnya. Maka timbullah keinginannya untuk
berjalan menyusur parit itu sambil memperhatikan airnya. Dalam pada itu, Sawung
Sariti telah sampai di bawah pohon Nyamplung. Dengan hati-hati ia menempatkan
dirinya di tepi jalan. Telah diperhitungkannya, bahwa dengan satu loncatan, ia
harus sudah dapat mencapai Arya Salaka dengan pedangnya. Demikian juga
Galunggung, harus sudah siap.
Meskipun
kemampuan bertempur Galunggung jauh berada di bawah kemampuan Arya Salaka,
namun dengan menyerangnya secara tiba-tiba bersama-sama dengan Sawung Sariti
maka mereka mengharap, bahwa mereka tidak usah mengulangi dengan serangan
kedua. Dengan demikian, Sawung Sariti dan Galunggung dengan tenangnya mengendap
di tepi jalan, di bawah pohon Nyamplung yang rimbun.
Gemersik angin
malam yang mengusik daun-daun di atasnya, terdengar seperti keluh kesah yang
sedih. Bahkan kemudian terdengar seperti orang yang berbisik-bisik, menyampaikan
kabar yang mengerikan. Beberapa saat Sawung Sariti dan Galunggung mengendap di
sisi jalan itu, terasa betapa waktu berjalan lambat sekali. Menunggu memang
merupakan pekerjaan yang menjemukan. Apalagi mereka berdua dicekam oleh
ketegangan yang setiap saat menjadi semakin memuncak. Mata mereka seperti
tersangkut di tikungan jalan di samping parit yang menyilang jalan kecil. Dari
sanalah Arya Salaka akan muncul. Kalau tidak dari jalan kecil itu, pasti akan
muncul dari tanggul di tepi parit. Tetapi Arya Salaka agaknya berjalan terlalu
lambat. Seharusnya ia kini telah muncul dan berjalan lurus di hadapan mereka
yang menunggunya dengan gelisah. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa
tiba-tiba saja Arya ingin mencuci kakinya di dalam parit yang bersih itu dan
untuk beberapa saat ia bermain-main dengan percikan airnya. Tetapi, kemudian
dari balik tikungan itupun muncul sebuah bayangan. Seorang yang berjalan
melenggang dalam keremangan malam. Bayangan itu berjalan dengan tergesa-gesa,
lewat jalan kecil di muka pohon nyamplung itu. Sawung Sariti dan Galunggung
menjadi bertambah gelisah. Segera mereka menarik pedang masing-masing, dengan
sangat berhati-hati. Sesaat yang akan datang, pedang mereka harus melakukan
tugas-tugas mereka yang berat. Tetapi mata Sawung Sariti yang tajam itu menjadi
liar. Ia melihat perbedaan yang kecil pada bayangan itu. Ia menjadi ragu-ragu.
Apakah orang itu Arya Salaka. Beberapa kali Sawung Sariti mengedipkan matanya,
namun ia menjadi bertambah bimbang. Semakin dekat bayangan itu, semakin gelisah
hati Sawung Sariti, sebab ia menjadi semakin yakin, bahwa bayangan itu sama
sekali bukan Arya Salaka. Meskipun orang yang datang itu juga bertubuh tegap,
namun Sawung Sariti dapat membedakan, bahwa Arya Salaka berjalan dengan gaya
yang berbeda.
Ketika
beberapa langkah orang itu menjadi semakin dekat, makin jelas, bahwa orang itu
memakai pakaian yang lain. Galunggung pun akhirnya mengetahui juga, bahwa yang
datang itu bukanlah yang mereka tunggu.
Dengan nafas
yang memburu ia berbisik perlahan,
“Bukan itu
orangnya, Angger.”
“SETAN!”
Sawung Sariti mengumpat,
“Ada juga
malam-malam orang berkeliaran di daerah yang masih belum tenang sama sekali
ini.”
“Agaknya ia
akan mengairi sawah,” bisik Galunggung.
“Tidak. Tidak
ada orang yang mempertaruhkan nyawanya untuk keperluan yang dapat dilakukan
siang hari,” sahut Galunggung.
“Lalu siapakah
dia?” tanya Galunggung pula.
“Apa pedulimu
terhadap orang itu. Yang penting kita tunggu Arya Salaka,” jawab Sawung Sariti.
Galunggung pun
kemudian berdiam diri.
Orang itu
sudah semakin dekat. Sawung Sariti menahan nafasnya. Biarlah orang itu berlalu.
Kemudian orang yang lewat di belakangnya, pastilah Arya Salaka. Tetapi Sawung
Sariti menjadi marah, ketika tiba-tiba orang itu berhenti. Ia menoleh ke
belakang, seakan-akan ada yang ditunggu-tunggunya. Bahkan kemudian dengan
enaknya orang itu duduk di bawah pohon nyamplung itu, di sisi jalan yang lain,
sambil memeluk lututnya.
Sawung Sariti
menggeram perlahan-lahan.
“Gila!”
pikirnya,
“Apa
kerjaannya orang itu?”
Namun disabarkannya
hatinya untuk sesaat. Barangkali orang itu akan segera pergi. Sebab, pada saat
orang itu muncul di tikungan, nampaknya ia akan tergesa-gesa. Namun kenapa
tiba-tiba orang itu duduk saja dengan enaknya di hadapannya? Sesaat sudah
berlalu. Sawung Sariti masih mencoba menunggu. Tetapi akhirnya ia menjadi
gelisah dan semakin marah. Arya Salaka pasti hampir tiba. Kalau orang itu masih
duduk di situ, maka ia dapat mengganggu pekerjaannya, atau kalau terpaksa orang
itu pun harus ditiadakan, untuk menghilangkan jejak. Maka akhirnya Sawung
Sariti tidak sabar lagi. Ia takut kalau Arya Salaka segera akan datang. Karena
itu, tiba-tiba ia meloncat dengan garangnya, sambil mengacungkan pedangnya
kedada orang itu.
“Apa
pekerjaanmu di sini?” bentaknya.
Orang itu
terkejut bukan main. Tiba-tiba ia menjadi gemetar, jawabnya,
“Aku, aku
tidak apa-apa.”
“Kalau begitu.
Tinggalkan tempat ini segera,” perintah Sawung Sariti.
“Kenapa?”
tanya orang itu.
“Tidak
ada-apa,” jawab Sawung Sariti
“Tetapi pergi
sekarang.”
Orang itu pun
berdiri dan akan melangkah pergi ke arah darimana ia datang.
“Jangan ke
sana,” bentak Sawung Sariti. Ia takut kalau orang itu akan berpapasan dengan
Arya Salaka dan akan memberitahukan apa yang terjadi dengan dirinya.
“Ke mana?”
tanya orang itu.
“Ke sana,”
kata Sawung Sariti menunjuk ke arah yang berlawanan.
“Aku tidak
punya keperluan di sana,” jawab orang itu.
“Aku tidak
peduli. Pergi ke sana, cepat,” Sawung Sariti menjadi semakin marah
“Kau datang
dari arah sana, kemudian apa perlumu kalau kau tidak mempunyai keperluan ke
arah yang lain.”
“Aku hanya
akan datang ke bawah pohon nyamplung ini,” jawab orang itu,
“Aku telah
bermimpi, bahwa aku pada saat ini harus berada di sini.”
“Jangan banyak
cakap. Pergi sekarang,” bentak Sawung Sariti.
Orang itu menjadi
bingung. Karena itu malahan ia berdiri saja seperti patung. Galunggung akhirnya
tidak sabar sama sekali melihat orang itu masih berdiri di sana dengan mulut
ternganga. Ia pun kemudian melangkah maju sambil berkata,
“Binasakan
saja orang itu, sebelum anak itu datang.”
“Jangan,
jangan!” teriak orang itu.
“Jangan
berteriak,” bentak Sawung Sariti. Ia takut kalau Arya mendengarnya. Namun
dengan demikian waktu mereka menjadi semakin sempit. Dan sejalan dengan itu,
pikiran Sawung Sariti pun menjadi semakin kisruh. Ia tidak mau gagal kali ini.
Karena itu, akhirnya ia sependapat dengan Galunggung. Orang itu harus
disingkirkan. Meskipun demikian ia masih mencoba sekali lagi membentaknya,
“Pergi,
cepat!”
No comments:
Post a Comment