TETAPI suatu hal yang kurang menguntungkan bagi Bagus Handaka, adalah karena orang itu jauh lebih besar dan lebih tinggi, maka kesempatan orang itu untuk mengenainya agak lebih banyak. Tangan serta kakinya yang agak lebih panjang, ternyata mempengaruhi jalan pertempuran itu. Rupa-rupanya orang itu mempergunakan keuntungan itu sebaik-baiknya. Ia selalu melawan serangan Bagus Handaka dengan serangan pula. Beberapa kali Bagus Handaka dapat dikenai dengan cara demikian sebelum tangannya sempat menyentuh tubuh orang itu. Sehingga Bagus Handaka menjadi semakin marah dan bertempur mati-matian.
Ternyata kali
ini lawannya benar-benar tangguh. Orang itu licin seperti belut, serta lincah
seperti singgat. Beberapa kali, apabila serangan-serangan Bagus Handaka agaknya
sudah tidak dapat dihindari, tiba-tiba saja ia melenting beberapa langkah, dan
kemudian dengan cara yang sama ia telah menyerang kembali. Menghadapi serangan
yang demikian Bagus Handaka merasa agak sulit. Dengan menjatuhkan diri ia
mencoba membebaskan dirinya. Tetapi orang itu tidak membiarkan Bagus Handaka
lolos. Dengan kakinya yang kokoh ia meloncat kearah dada anak itu. Sekali lagi
Bagus Handaka berguling. Tetapi sekali lagi orang itu melakukan serangan yang
sama pula sebelum Handaka sempat berdiri. Bagus Handaka kemudian menjadi agak
gugup. Berapa kali ia harus bergulung-gulung di pasir pantai itu. Tiba-tiba ia
teringat kepada lawan-lawannya yang pernah dikalahkannya. Ada beberapa unsur
gerak yang dapat dikuasainya. Karena itu ketika sekali lagi Bagus Handaka
mendapat serangan dengan cara yang sama, setelah ia berhasil menggeser
tubuhnya, cepat-cepat ia menangkap pergelangan kaki lawannya.
Dengan
mempergunakan daya dorongnya sendiri, Bagus Handaka ternyata berhasil
menjatuhkan orang itu, dengan menghantam betisnya. Ia sendiri pernah pula
mengalami hal yang demikian. Ketika orang itu terjatuh dan berguling-guling,
kesempatan itu cepat dipergunakan oleh Bagus Handaka untuk berdiri. Tetapi
demikian ia berdiri, orang itupun dengan suatu gerak seperti roda yang
bergulung telah berdiri di hadapannya pula. Bagus Handaka, melihat hal itu
menjadi bertambah marah. Matanya menjadi merah menyala-nyala dan dadanya
berdegupan. Dengan dahsyatnya ia melontar maju menyerang dada orang itu.
Serangan itu demikian tak terduga-duga sehingga orang asing itu tak sempat
mengelak. Karena itulah maka dadanya terpaksa terhantam hebat. Terhuyung-huyung
ia terdorong beberapa langkah surut. Bagus Handaka tidak mau melepaskan
kesempatan itu lagi. Dengan garangnya ia memburu dan sekali lagi menghantamnya.
Sayang bahwa kali ini orang itu sempat memiringkan tubuhnya, sehingga serangan
Bagus Handaka tidak mengenai sasarannya, bahkan ia sendiri hampir-hampir
kehilangan keseimbangan. Dalam saat yang demikian, tampak lawannya mengayunkan
tangannya dengan dahsyatnya. Melihat serangan itu, Bagus Handaka agak bingung.
Tiba-tiba
tanpa sadar Bagus Handaka telah mempergunakan unsur-unsur gerak yang pernah
ditiru-tirukannya dari lawan-lawannya sebelumnya. Cepat ia sedikit merendahkan
diri, menangkap tangan orang itu sambil memutar tubuhnya, dan dengan bantuan
tenaga berat lawannya. Bagus Handaka menarik orang itu melampau pundaknya.
Dengan kerasnya orang itu terlempar ke atas lewat di atas pundaknya dan
terbanting di pasir pantai. Tetapi sekali lagi Bagus Handaka keheran-heranan.
Demikian orang itu terbanting, demikian ia bergulung-gulung dan dengan cepatnya
bangkit kembali. Namun sesaat kemudian ia sadar bahwa lawannya adalah orang
yang luar biasa. Karena itu demikian orang itu berdiri, demikian kaki Bagus
Handaka terlontar mengenai perutnya. Sekali lagi orang itu terdorong beberapa
langkah ke belakang. Tetapi seterusnya ketika Bagus Handaka menyusul menyerang
dagu orang itu, maka orang itu pun menghantamnya. Kali ini Bagus Handaka
mengalami kembali hal yang sangat merugikannya. Tangannya agak lebih pendek
dari tangan lawannya. Dengan demikian sebelum tangannya menyentuh dagu orang
itu, terasa wajahnya seperti tersentuh bara. Dengan kerasnya wajahnya terangkat
dan ia terlempar beberapa langkah surut, dan kemudian jatuh terlentang.
Serangan itu disusul dengan suatu serangan yang garang sekali.
Seperti seekor
harimau, lawannya menerkam selagi Handaka belum sempat bangun. Maka tidak ada
suatu cara yang mungkin untuk membebaskan dirinya kecuali dengan kedua kakinya
Bagus Handaka menghantam tubuh orang yang seperti melayang ke arahnya.
Akibatnya adalah bebat sekali. Orang itu terlempar ke udara. Kali ini Bagus
Handaka juga menjadi keheran-heranan. Dengan gerak yang bagus orang itu
melingkar di udara dan jatuh pada punggungnya untuk kemudian berguling dua
kali. Setelah itu dengan cepatnya ia meloncat berdiri. Pada saat itu Bagus
Handaka pun telah berdiri. Keringatnya mengalir membasahi seluruh tubuhnya,
yang hampir seluruhnya terbalut oleh debu-debu pasir pantai. Sebenarnya Bagus
Handaka pada saat itu telah menjadi gelisah sekali. Lawannya ternyata
benar-benar licin seperti belut. Tetapi kemudian terjadilah suatu hal di luar
dugaan. Orang itu tiba-tiba menjadi gelisah dan liar. Nafasnya mengalir dengan
derasnya. Bagus Handaka melihat keadaan itu, sehingga kelegaan membersit di
hatinya. Ia tahu bahwa lawannya telah kehabisan tenaga. Karena itu ia tidak mau
memberi kesempatan lagi. Cepat ia melangkah maju dan menyerangnya dengan hebat.
Ternyata orang itu telah hampir tidak mampu melawannya. Beberapa kali Bagus
Handaka berhasil menghantamnya sampai orang itu terhuyung-huyung dan roboh.
Sekali lagi kegembiraan membayang di wajah Bagus Handaka. Orang yang hebat ini
pasti akan dapat ditangkapnya. Tetapi ketika sekali lagi ia maju menyerang,
tiba-tiba orang itu melemparkan segenggam pasir ke arah matanya. Cepat-cepat
Handaka memalingkan mukanya, namun beberapa butir pasir telah menyebabkan
matanya terasa nyeri sekali. Ketika ia sedang sibuk membersihkan mata itu,
terasa sebuah hantaman mengenai punggungnya.
Untunglah
bahwa tenaga orang itu, telah hampir separo lenyap, sehingga dengan demikian
hantamannya telah tidak lebih dari sebuah dorongan saja. Meskipun demikian,
karena Bagus Handaka sama sekali tidak menduga bahwa lawannya akan berbuat
curang, menjadi sangat terkejut dan jatuh tertelungkup. Dengan marahnya Handaka
cepat memutar tubuhnya, untuk menanti serangan berikutnya, yang dapat saja
dilakukan dengan curang oleh lawannya itu. Tetapi Bagus Handaka menjadi
terkejut sekali sehingga tubuhnya menjadi gemetar. Orang yang sudah kehabisan
tenaga dan hampir saja dapat ditangkapnya itu lenyap seperti debu dibawa angin.
Beberapa kali Bagus Handaka mengusap-usap matanya yang masih terasa agak nyeri,
tetapi orang itu benar-benar telah lenyap. Perlahan-lahan ia bangkit dan duduk
di atas pasir. Dilayangkannya pandangannya ke segenap malam, tetapi di pantai
yang luas itu, pastilah ia tak dapat melihat seseorang. Bulu tengkuknya
tiba-tiba terasa meremang. Meskipun ia selama ini mendapat didikan untuk tidak
takut kepada hantu, namun mengalami peristiwa ini, hatinya bergetar juga.
Kecuali itu, terasa pula kengerian merayapi perasaannya. Untunglah kali ini ia
masih dapat membebaskan diri, meskipun hampir saja ia kehilangan akal. Lalu
bagaimana dengan malam besok?
Sekarang Bagus
Handaka tidak berani main-main lagi. Kalau besok datang seseorang menyerangnya,
dan memiliki sedikit saja kelebihan dari orang ini, maka pasti ia tidak dapat
melawannya. Sedangkan kalau para penyerang itu dapat menangkapnya, hampir pasti
bahwa dirinya benar-benar akan digantung di tengah-tengah Alas Roban. Karena
itu akhirnya Bagus Handaka memutuskan untuk menyampaikan segala peristiwa yang
pernah dialami itu kepada gurunya, serta menyerahkan segala penyelesaiannya
kepadanya. Pada saat Bagus Handaka melangkah pulang ke pondoknya, terdengarlah
ayam jantan berkokok bersahut-sahutan. Di langit sebelah timur sudah mulai
tampak membayang warna fajar, diantar oleh angin pagi yang sejuk. Namun tubuh
Bagus Handaka justru mulai merasa nyeri dan sakit-sakit. Empat malam sebelumnya
ia bertempur terus-menerus, tetapi tidak pernah ia merasakan lelah, letih dan
sakit-sakit seperti saat itu.
Sampai di
pondok, ia melihat Manahan telah bangun dan menunggui api. Agaknya ia sedang
merebus air. Cepat-cepat Bagus Handaka mendekatinya dan berkata,
”Bapak,
biarlah aku yang merebus air dan jagung”.
Manahan
tersenyum melihat kedatangan Bagus Handaka.
“Apakah kau
turun ke laut Handaka?”
“TIDAK,
Bapak,” jawab Handaka singkat.
“Dari
pantai…?” tanya Manahan lebih lanjut. Bagus Handaka menganggukkan kepalanya.
Dalam cahaya api barulah Bagus Handaka melihat tubuhnya merah-merah biru dan berdarah
di beberapa tempat. Ketika Manahan melihat luka-luka itu, serta melihat wajah
Handaka yang pucat dan nafasnya yang kurang teratur, ia menjadi
keheran-heranan. Maka kemudian ia bertanya,
“Handaka,
apakah yang terjadi? Apakah kau berselisih dengan kawan-kawanmu, sehingga kau
berkelahi?”
“Tidak,
Bapak,” jawab Handaka.
“Lalu kenapa
kau?” desak Manahan.
Bagus Handaka
yang memang telah berkeputusan untuk menyampaikan keadaan yang dialaminya lima
malam berturut-turut itu pun segera duduk disamping Manahan, dan segera
mengalirlah ceritera dari mulutnya. Sejak malam pertama sampai malam terakhir,
lengkap dengan bentuk-bentuk wajah dari orang-orang yang menyerangnya.
Mendengar ceritera Bagus Handaka itu, Manahan menarik alisnya. Memang ia pun
menjadi keheranan-heranan, apakah pamrih orang-orang itu menyerang Bagus
Handaka.
“Handaka…,
kenapa kau baru sekarang mengatakan semua kejadian itu kepadaku?” tanya
Manahan.
Dengan jujur
Handaka mengatakan segala keinginannya untuk mengetahui kelanjutan
peristiwa-peristiwa itu, serta keinginannya untuk menyelesaikan masalah itu
sendiri. Manahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnya di dalam hatinya
berkobar pula kemarahan ketika ia mendengar bahwa orang kelima yang menyerang
Bagus Handaka itu telah menyebut-nyebut namanya. Padahal pada saat orang itu ia
hanya melawan seorang anak-anak.
“Handaka…”
kata Manahan kemudian,
“Pergilah kau
besok sekali lagi ke pantai. Aku akan melihat siapakah yang selalu datang itu”.
Mendengar
kesanggupan gurunya, Handaka menjadi bergembira. Besok apabila benar-benar ada
seseorang yang datang menyerangnya, meskipun kepandaiannya berlipat tiga, namun
pasti orang itu akan dapat ditangkap oleh gurunya. Karena itu ia
tersenyum-senyum sendiri. Dipandanginya api yang berkobar-kobar di hadapannya, yang
bergerak-gerak seolah-olah menari-nari riang. Dan sebentar kemudian mendidihlah
air yang dipanasinya. Segera ia bangkit untuk mengambil daun serai serta gula
kelapa. Itulah kegemaran gurunya, air serai bergula kelapa.
Hari itu
rasa-rasanya panjang sekali bagi Bagus Handaka. Matahari seolah-olah menjalani
garis edar dengan malasnya. Sehari itu ia merasa amat malas untuk bermain-main
dengan kawan-kawannya. Dihabiskannya waktunya dengan berangan-angan. Namun
akhirnya, perlahan-lahan datanglah senja. Langit yang cerah dengan
gumpalan-gumpalan mega yang berarak-arak mulai dirayapi oleh warna-warna
lembayung. Bagus Handaka yang hampir tidak sabar itu memaki-maki di dalam hati.
Kenapa kedatangan malam tidak saja langsung tanpa melewati senja?
Setelah
melampaui masa-masa yang menjengkelkan, kemudian malam turun dengan tabir
hitamnya. Bagus Handaka segera berangkat ke pantai, dimana ia biasa duduk-duduk
memandangi ombak lautan. Manahan sengaja tidak berangkat bersama-sama supaya
kehadirannya tidak diketahui. Ketika Manahan telah sampai di pantai pula,
segera ia bersembunyi dengan membaringkan dirinya di belakang sebuah puntuk
pasir tak begitu jauh dari Bagus Handaka.
Bersamaan
dengan semakin gelapnya malam, hati Bagus Handaka menjadi semakin tegang dan
gelisah. Jangan-jangan orang-orang yang menyerangnya telah mengetahui bahwa
gurunya berada di tempat itu, sehingga para penyerang itu tidak berani
mendekatinya. Dan dalam kesempatan itu, ia mencoba pula mengingat-ingat kelima
orang yang datang berturut-turut setiap malam. Masing-masing menyatakan bahwa
mereka satu sama lain tidak berhubungan. Sejak semula ia sudah tidak percaya.
Tetapi yang mengherankan, bahwa seolah-olah kedatangan mereka telah diatur
sedemikian, sehingga setiap orang yang datang pasti memiliki kepandaian
setingkat lebih tinggi dari orang sebelumnya. Tiba-tiba ketika sedang
berangan-angan, Bagus Handaka dikejutkan oleh suara tertawa dekat di
sampingnya. Suara itu terdengar nyaring dan menggetarkan hatinya. Cepat ia
meloncat bangkit dan bersiap. Perasaannya telah mengatakan kepadanya bahwa
orang ini pasti salah seorang yang datang untuk menyerangnya pula seperti
malam-malam yang lewat.
Ketika ia
memandang wajah orang itu, hatinya menjadi bertambah berdebar-debar. Wajah
orang itu sama sekali tidak mirip dengan wajah manusia. Barangkali demikian
itulah wajah hantu yang ditakuti oleh anak-anak. Beberapa bintil-bintil sebesar
biji rambutan bertebaran hampir di seluruh wajah itu. Gigi-giginya tampak
berleret pada saat orang itu tertawa. Kemudian disela-sela tertawanya ia
berkata,
“Siapakah nama
anak muda yang bermain-main di pantai di malam hari…?”
Meskipun
sebenarnya Bagus Handaka ngeri juga melihat wajah itu, namun karena ia merasa
bahwa gurunya berada di dekatnya, hatinya menjadi tabah pula. Maka jawabnya
lantang,
“Kenapa kau
bertanya? Kau pasti sudah tahu pula siapa aku. Dan kau pasti akan menangkapku
seperti yang pernah dilakukan oleh lima orang sebelum kau datang, pada
malam-malam sebelum malam itu”.
Mendengar
kata-kata Bagus Handaka itu, tertawanya menjadi bertambah keras.
“Bagus… bagus,
jadi sebelum ini telah datang lima orang mendahului aku? Agaknya monyet-monyet
itu ingin menerima hadiah pula dengan menangkap anak ini. Dan kau dapat
mengalahkan mereka berlima?”
“Mereka datang
satu-persatu,” jawab Handaka.
“Alangkah
bodohnya mereka,” sambung orang berwajah iblis itu.
“Tentu kau
dapat mengalahkannya”.
“Jangan banyak
bicara,” potong Bagus Handaka dengan beraninya,
“Jangan coba
bohongi aku. Kau pasti telah bersekongkol dengan mereka. Dan barangkali kau malam
ini akan mencoba menangkap aku bersama-sama. Ayo datanglah berenam”.
KEMBALI orang
yang menakutkan itu tertawa berderai-derai sampai seluruh tubuhnya bergetar.
“Hebat, kau
memang hebat. Tetapi jangan terlalu sombong. Sebab malam ini nyawamu benar-benar
akan lenyap. Aku harus menangkap kau, mati atau hidup. Meskipun kalau aku
membawamu hidup-hidup hadiahnya akan berlipat banyaknya. Sebab pertunjukan
membunuh Bagus Handaka akan dapat mendatangkan uang yang banyak sekali”.
Tanpa sadar,
bulu tengkuk Bagus Handaka serentak berdiri. Perkataan orang berwajah
menakutkan itu sangat mempengaruhi perasaannya. Apakah sebenarnya latar
belakang dari semua kejadian ini? Kenapa orang itu menyebut-nyebut pertunjukan
membunuh Bagus Handaka?
Mau tidak mau
Bagus Handaka menjadi ngeri juga. Ia sudah membayangkan dirinya diikat di
tengah-tengah lapangan, kemudian setiap orang diperkenankan untuk melukainya,
sampai mati. Tetapi apa salahnya?
Tiba-tiba ia
menjadi marah sekali. Ini hanyalah suatu gertakan saja. Karena itu ia menjawab
sambil berteriak keras-keras,
“Jangan
coba-coba takut-takuti aku.” Namun demikian terasa suara Handaka bergetar pula.
Mendengar teriakan Bagus Handaka, orang itu sekali lagi tertawa keras-keras.
“Jangan
berbohong pula. Kau sudah ketakutan bukan? Bagus…, semakin takut kau, semakin
lucu pertunjukan itu jadinya”.
Sekarang Bagus
Handaka benar-benar menjadi marah sekali. Ternyata orang itu telah menghinanya.
Karena itu segera ia meloncat dan langsung menyerang leher dengan jari-jarinya.
Orang itu, yang masih enak tertawa, ternyata terkejut melihat kecepatan
bergerak Bagus Handaka, sehingga tertawanya segera terhenti.
“Memang kau
anak berani. Tetapi hati-hatilah”.
Sambil berkata
demikian ia merendahkan dirinya, dan dengan kakinya ia menghantam lambung Bagus
Handaka. Bagus Handaka yang menyerang dengan sekuat tenaga, tidak sempat
menarik serangannya, maka yang dapat dilakukan adalah memukul kaki itu dengan
tangannya ke samping. Ternyata usahanya berhasil pula. Orang itu terputar
sedikit dan dengan demikian lambungnya dapat diselamatkan, meskipun tangannya
yang berbenturan dengan kaki orang itu terasa sakit.
Dengan
demikian Bagus Handaka segera dapat mengetahui, bahwa orang ini mempunyai ilmu
diatas orang-orang yang pernah menyerangnya. Tetapi meskipun demikian ia sama
sekali tidak gentar ketika diingatnya bahwa gurunya telah menungguinya.
Mengingat hal itu, segera Bagus Handaka menjadi bertambah tatag, karena itu
serangannya menjadi bertambah sengit. Tetapi perlawanan orang itu bertambah
sengit pula. Bahkan ia pun telah menyerangnya dengan gerak-gerak yang sangat
membingungkan dan berbahaya sekali. Namun ternyata Bagus Handaka telah
memberikan perlawanan dengan gigih. Setiap serangan yang datang, bagaimanapun
berbahayanya, Handaka selalu dapat menghindarkan dirinya. Malahan tidak jarang
pula iapun berhasil membalas serangan-serangan itu dengan serangan-serangan
yang tak kalah berbahayanya. Namun serangan-serangan itu pun selalu tidak
berhasil pula. Maka pertempuran itu semakin lama menjadi bertambah hebat dan cepat.
Masing-masing menyerang dan menghindar berganti-ganti, sehingga tampaknya kedua
orang itu seperti bayangan yang sedang libat-melibat dengan cepatnya, semakin
lama semakin cepat.
Tetapi
kemudian ternyata bahwa Bagus Handaka tidak dapat menyamai kecepatan gerak
lawannya, sehingga tiba-tiba terasa punggungnya terdorong oleh suatu kekuatan
yang besar sekali. Dengan derasnya ia terlempar ke udara. Mengalami peristiwa
itu hati Bagus Handaka berdesir. Untuk beberapa saat ia menjadi bingung. Tetapi
untunglah bahwa otaknya yang cerdas dapat bekerja dengan cepat. Ia pernah
menyaksikan lawannya terlempar ke udara pula, namun ia dapat jatuh dengan
enaknya, seolah-olah sama sekali tidak terasakan sesuatu. Maka tanpa
dikehendakinya sendiri Bagus Handaka menirukan gerak-gerak yang pernah
disaksikannya itu. Cepat-cepat ia berusaha melingkarkan diri dan menjatuhkan
diri pada punggungnya, yang kemudian dilanjutkan dengan berguling sampai dua
kali. Setelah itu ia melenting berdiri. Untunglah bahwa Bagus Handaka telah dibekali
dengan olah keprigelan yang cukup, serta kekuatan jasmaniah yang besar,
sehingga meskipun gerak-geraknya masih belum sempurna, namun ia tidak pula
mengalami sesuatu. Melihat cara Bagus Handaka membebaskan diri dengan cara yang
demikian, terdengar lawannya tertawa keras-keras sambil berkata,
“Hai monyet
kecil, dari mana kau belajar berjungkir balik demikian…? Untunglah bahwa kau
mengenal cara yang baik untuk menyelamatkan dirimu”.
Bagus Handaka
tidak sempat menjawab kata-kata itu. Dengan darah yang mendidih ia meloncat
maju kembali untuk menyerang lawannya sejadi-jadinya. Tangannya bergerak
berganti-ganti mengarah ke segenap tubuh lawannya, sedang kakinya bergerak
dengan lincahnya di atas pasir pantai. Tetapi ternyata lawannya tidak kalah
lincah pula.
UNTUK beberapa
lama serangan-serangannya tidak dapat menyentuh tubuh lawannya sama sekali.
Bahkan ketika ia mencoba untuk menyerang mata lawannya dengan jarinya, maka
tiba-tiba terasa kepalanya berguncang hebat. Guncangan yang pertama, disusul
dengan yang kedua. Untunglah dalam keadaan terakhir Bagus Handaka masih sempat
melihat sebuah kepalan tangan sekali lagi mengarah kepelipisnya. Cepat-cepat ia
memalingkan wajahnya. Tangan itu dengan derasnya menyambar tidak lebih dari
tebal daun padi di muka hidungnya. Untunglah bahwa Bagus Handaka masih dapat
bekerja cepat. Tangan itu segera ditangkapnya, serta sambil merendahkan diri ia
pergunakan tenaga dorong serta berat badan lawannya sendiri untuk membantingnya
ke tanah lewat pundaknya. Dengan kerasnya orang itu terpelanting. Tetapi meski
ia jatuh terlentang namun ia berusaha jatuh di atas kedua kaki serta pundaknya
saja yang menyentuh tanah. Bagus Handaka tidak mau membiarkannya dalam sikap
yang demikian, cepat-cepat ia menyerang lagi lawannya sebelum sempat memperbaiki
keadaannya. Dengan kakinya ia menghantam dada orang yang masih terlentang itu.
Gerak Bagus Handaka sedemikian cepatnya sehingga lawannya tidak sempat
menghindarinya. Maka terdengarlah keluhan pendek. Tetapi sesaat kemudian kaki
lawannya itu dengan cepatnya menyapu kakinya, sehingga Bagus Handaka jatuh
terbanting pula.
Ketika ia
kemudian tegak, lawannya telah berdiri di hadapannya pula. Bahkan dengan suatu
lontaran dahsyat ia menyerang ke arah dadanya. Dengan cepatnya Bagus Handaka
merendahkan dirinya, dan bersamaan dengan itu ia menjulurkan kakinya
lurus-lurus, sehingga dengan demikian ia berhasil mengenai perut lawannya.
Agaknya lawannya sama sekali tidak menyangka bahwa Bagus Handaka akan menyerang
selagi ia melakukan serangan yang sedemikian cepat. Karena itu ia terdorong
keras beberapa langkah surut disusul dengan serangan Bagus Handaka yang dahsyat
pula. Demikianlah pertempuran itu berlangsung semakin hebat dan cepat. Pada
malam kelima, Bagus Handaka yang hampir merasa dapat dikalahkan, ternyata
memiliki nafas yang lebih baik dari lawannya sehingga akhirnya lawannya menjadi
lemas karena kehabisan nafas. Tetapi orang keenam ini agaknya mempunyai nafas
lebih baik dari kuda. Karena itu semakin lama terasa Bagus Handaka semakin
terdesak, tenaganya semakin lama semakin berkurang pula setelah ia berjuang
mati-matian untuk mempertahankan dirinya.
Akhirnya
pertempuran itu pun menjadi berat sebelah. Beberapa kali Bagus Handaka terpaksa
terlempar, terbanting dan kadang-kadang perutnya terasa terguncang-guncang
hebat. Dari mulut serta hidung melelehlah darah segar. Sampai sedemikian jauh
Bagus Handaka tidak melihat gurunya datang membantunya. Bahkan ketika matanya
sudah mulai berkunang-kunang pun Manahan masih belum menampakkan dirinya. Ia
menjadi keheran-heranan. Apakah sebenarnya maksud Manahan dengan membiarkannya
demikian? Seolah-olah segenap sisa-sisa tenaganya ia tetap melawan dengan
beraninya. Sampai beberapa saat kemudian ketika ia terbanting di atas pasir dan
seolah-olah ia sudah sama sekali tidak dapat bergerak lagi, dilihatnya orang
berwajah menakutkan itu tertawa berderai sambil selangkah demi selangkah
mendekatinya. Bagus Handaka tidak tahu lagi bagaimana ia harus melawan.
Tangannya serasa sudah membeku dan darahnya seolah-olah sudah tidak mengalir
lagi. Dalam keadaan yang demikian tiba-tiba orang itu, yang sudah tinggal
beberapa langkah dari padanya, terhenyak dan memandang ke suatu titik. Maka
sekali lagi meledaklah tertawanya yang mengerikan, disusul dengan suaranya yang
menggelegar,
“Hai, kaukah
itu? Jadi kau datang pula untuk membantu muridmu…?”
Mendengar
suara orang itu, melonjaklah sebuah kegembiraan di hati Bagus Handaka. Agaknya
gurunya telah datang. Dan apa yang diduganya adalah benar. Ketika ia mengangkat
mukanya, dilihatnya Manahan berjalan dengan tenangnya ke arah orang yang
berwajah mirip hantu itu. Melihat gurunya datang, tiba-tiba Bagus Handaka
merasa bahwa akan datanglah saatnya ia mengetahui latar belakang dari semua
peristiwa-peristiwa itu. Ketika Manahan telah berdiri di muka orang berwajah
jelek itu terdengarlah orang berwajah menakutkan itu berkata,
“Kaukah yang
bernama Manahan?”
Manahan
menganggukkan kepalanya sambil menjawab,
“Kenapa kau
tanyakan itu? Bukankah kau sudah pasti bahwa guru Bagus Handaka bernama
Manahan?”
Kembali terdengar
orang itu tertawa berderai sehingga suaranya memenuhi pantai.
“Aku tidak
mengira bahwa Manahan orangnya seperti kau ini”.
Terdengarlah
Manahan menjawab sambil tersenyum,
“Lalu dari
mana kau tahu bahwa aku bernama Manahan?
“Karena kau
datang pada saat Bagus Handaka sudah tidak dapat bergerak lagi. Aku kira tidak
ada orang lain yang akan menolongnya, selain gurunya,” sahut orang itu.
“Lalu apa
anehnya aku ini?” tanya Manahan pula.
“Aku jadi
kecewa melihat tampangmu. Seharusnya kau berwajah seperti asahan batu, berkumis
lebat dan bertubuh seperti orang hutan. Supaya ujudmu sesuai dengan namamu yang
terkenal itu”.
“Tak ada orang
yang mengenal aku sebagai seorang yang seharusnya bertubuh demikian. Aku adalah
seorang petani yang tidak lebih dari menggarap sawah setiap hari,” jawab
Manahan.
Mendengar
jawaban Manahan yang masih bernada dingin itu, Bagus Handaka bertambah heran
pula. Kenapa gurunya tidak saja langsung menghantamnya sampai pingsan. Apalagi
orang itu telah menghinanya pula.
DALAM gelap
malam Handaka melihat orang berwajah menakutkan itu menyeringai, benar-benar
seperti hantu. Namun Manahan sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. Bahkan
masih saja ia tersenyum-senyum.
“Bagus…. Kau
adalah seorang petani yang baik, Manahan. Pekerjaan petani adalah pekerjaan
yang mulia pula. Tanpa petani maka banyaklah orang yang kelaparan. Tetapi
daerah pertanian bukankah daerah pelarian? Apabila seseorang telah berputus asa
dalam melaksanakan tugasnya sendiri, maka kemudian orang itu menerjunkan diri
dalam daerah pertanian. Bukankah demikian…?”
Mendengar
kata-kata orang itu tampaklah wajah Manahan berkerut. Segera senyumnya lenyap
dari bibirnya. Namun tak sepatah katapun ia menjawab. Sehingga kemudian
terdengar orang yang menakutkan itu meneruskan,
“Atau barangkali
kau sudah bercita-cita untuk menjadi seorang tuan tanah yang kaya raya, yang
dapat menandingi kekayaan demang Gunung Kidul?”
Hampir
terlonjak Manahan mendengar kata-kata itu. Juga Bagus Handaka menjadi
keheran-heranan. Kemana arah bicara orang yang berwajah hantu itu. Tetapi ia
menjadi semakin tidak sabar ketika ia masih saja melihat Manahan tegak seperti
patung. Bahkan kemudian ia menjadi bertambah tidak mengerti ketika kemudian
orang itu berkata,
“Bagus
Handaka…, untunglah kau untuk satu pertunjukan yang menarik di daerahku. Tetapi
hati-hatilah lain kali aku datang lagi”.
Setelah itu
segera ia meloncat dan melarikan diri seperti terbang di gelap malam.
“Bapak…!”
teriak Bagus Handaka.
Manahan
memandang anak itu dengan wajah yang dingin pula. Sambil berdiri perlahan-lahan
Bagus Handaka mendekati gurunya sambil berkata pula,
“Kenapa Bapak
membiarkan orang itu pergi? Selama ini aku ingin menangkap salah seorang
diantaranya. Dengan hadirnya Bapak di sini aku mengharap bahwa aku akan dapat
mengetahui alasan mereka menyerang aku. Tetapi Bapak membiarkan orang itu
pergi”.
“Bagus
Handaka,” kata Manahan tidak menjawab pertanyaan anak itu.
“Bagaimana
keadaan tubuhmu?”
“Sakit,
Bapak,” jawabnya agak jengkel.
“Tetapi
bagaimana dengan orang tadi?”
“Kau sudah
dapat bergerak kembali?” sambung Manahan tanpa menghiraukan kata-kata Bagus
Handaka.
“Sudah,
Bapak…” jawab Handaka masih belum mengerti.
“Bagus….
Bersiaplah. Aku adalah orang ketujuh yang akan menangkapmu,” kata Manahan
tiba-tiba.
“Bapak… apakah
artinya ini?” tanya Handaka semakin bingung.
“Aku adalah
orang ketujuh yang akan menangkap kau dan akan menyerahkan kau kepada orang
yang menyuruh mereka datang berturut-turut selama enam malam. Aku sekarang
sudah tahu, siapakah orang yang berdiri di belakang mereka. Dan aku juga ingin
menerima hadiah itu supaya aku dapat kaya-raya seperti Demang Gunung Kidul.
Jelas?”
Handaka
mendengar kata-kata gurunya seperti orang bermimpi. Tetapi tiba-tiba ia melihat
gurunya benar-benar bersiap untuk menyerangnya. Sehingga ia menjadi bertambah
bingung.
“Handaka…”
kata Manahan kemudian,
“Terserahlah
padamu, apakah kau masih ingin hidup atau tidak. Aku tidak mempunyai
kepentingan dengan kau lagi. Kau harus melawan aku. Kalau tidak, aku akan
membawamu hidup-hidup. Kalau kau mau melawan, aku beri kau keringanan. Aku akan
membawa kau setelah kau aku binasakan, supaya kau tidak menjadi bahan
pertunjukan”.
Agaknya
Handaka sadar bahwa ia tidak bermimpi. Ia harus memilih dua hal yang sama-sama
tak dikehendaki. Karena itu ia menjadi bingung sekali. Tetapi ia tidak sempat
berpikir-pikir lebih lanjut. Sebab tiba-tiba gurunya telah melangkah dan
menghantam lambung. Maka dengan gerak naluriah Handaka menghindarkan diri.
Dengan kekuatan yang ada padanya ia melenting tinggi dan kemudian jatuh
berguling-guling menjauhi gurunya. Tetapi Manahan mengejar terus sambil
melepaskan serangan-serangan yang sangat berbahaya dan bersungguh-sungguh.Ia
memang pernah berlatih dengan gurunya seperti ia harus berkelahi sungguh
sungguh, namun terasa bahwa selama itu gurunya selalu menyesuaikan diri dengan
gerak-geraknya. Tetapi kali ini Manahan benar-benar telah menyerangnya dengan
pukulan-pukulan yang dapat membinasakan. Karena itu Bagus Handaka menjadi
benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan kecuali meloncat-loncat berlari,
berguling dan cara-cara lain untuk menghindari serangan-serangan Manahan. Namun
demikian Manahan menyerang terus seperti orang kehilangan akal. Tetapi kemudian
muncullah suatu pikiran yang agak jernih dalam otak Bagus Handaka. Tiba-tiba ia
merasa bahwa saat ini adalah saat terakhir baginya untuk menunjukkan kepada
gurunya, ketekunan serta kesungguhannya selama ini dalam menerima segala ilmu
serta pelajarannya.
Ia sudah
pasti, bahwa kalau benar-benar gurunya akan membunuhnya, maka saat terakhir ini
akan dipergunakan sebaik-baiknya. Ia harus dapat menunjukkan kepada gurunya
hasil-hasil yang telah dicapainya dalam olah kanuragan.
Meskipun
Handaka menjadi semakin tidak mengerti kepada sifat-sifat gurunya, karena
ketakutan-ketakutannya yang kadang-kadang aneh, misalnya beberapa tahun yang
lalu, tiba-tiba saja ia ditinggal berlari jauh sekali sampai ia merasa bahwa
tidak akan mungkin dapat menemukannya, tetapi tiba-tiba gurunya itu, yang pada
saat itu bernama Mahesa Jenar datang kembali kepadanya, yang kemudian untuk
beberapa tahun melatihnya dengan tekun. Sekarang tiba-tiba gurunya itu berbuat
keanehan lagi.
Tetapi agaknya
kali ini gurunya tidak lagi bermain-main. Sebab apabila ia lengah, maka
pastilah nyawanya akan melayang.
NAMUN
demikian, apabila hal itu sudah dikehendaki oleh gurunya, maka yang dapat
dilakukan adalah menyenangkan hati gurunya pada saat terakhir itu. Ia harus
menunjukkan kepada gurunya hasil pelajaran yang diterimanya selama ini dengan
sebaik-baiknya. Dengan demikian ia akan dapat membesarkan hati gurunya itu yang
telah berjerih payah mendidiknya. Mendapat pikiran yang demikian, maka
tiba-tiba Bagus Handaka merasa seolah-olah telah menerima segala kekuatannya
kembali. Seolah-olah badannya merasa bertambah segar dan sehat. Tanpa mengenal ketakutan
atas kematian yang bakal datang, Handaka kemudian bergerak dengan cepat seperti
seorang anak-anak yang menari-nari riang menjelang ayahnya pulang dari rantau.
Dengan demikian maka ia telah berbuat sebaik-baiknya untuk melawan gurunya yang
sangat disegani serta dicintainya itu. Pertempuran itu segera berjalan semakin
cepat. Bagus Handaka telah berusaha untuk mengurangi tekanan Manahan dengan
menyerangnya pula berkali-kali. Ia tiba-tiba saja merasa bahwa ia telah dapat
melayani gurunya jauh lebih baik daripada saat-saat yang lampau. Dengan
tangkasnya ia menyerang, melenting, kemudian melingkar di udara kalau kebetulan
ia terlempar oleh pukulan-pukulan gurunya yang dahsyat. Ia sudah berusaha
sebaik-baiknya. Dalam keadaan yang demikian, setitik pun tak ada maksud Handaka
untuk mencoba menyelamatkan dirinya. Sebab adalah tidak mungkin sama sekali
baginya berbuat demikian. Jadi yang dilakukan itu adalah benar-benar suatu
pernyataan kebaktian seorang murid terhadap gurunya. Sebab bagaimanapun,
Manahan adalah gurunya.
Manahan adalah
seorang yang perkasa, yang pernah menjabat sebagai seorang perwira pasukan
pengawal raja. Karena itu kemampuannya pun luar biasa. Apalagi sebenarnya
tenaga Bagus Handaka telah berada jauh di bawah kekuatannya, karena sebelumnya
ia sudah harus bertempur mati-matian melawan seorang yang berwajah seperti
hantu.
Daya
perlawanan Bagus Handaka pun segera tampak surut. Dengan demikian maka
serangan-serangan Manahan pun semakin banyak mengenai tubuhnya. Meskipun
demikian, Bagus Handaka sama sekali tidak mengeluh. Dengan tenaganya yang
semakin lama semakin lemah itu ia tetap melawan sedapat-dapatnya. Tetapi apa
yang dapat dilakukannya adalah tidak seberapa lama. Sebuah serangan Manahan
yang dahsyat datang mengarah ke lambungnya. Dengan tenaga yang masih ada
padanya, Bagus Handaka mencoba menghindari serangan itu dengan memiringkan
tubuhnya, tetapi ia tidak berhasil. Dengan kerasnya ia terlempar beberapa
langkah dan kemudian jatuh terbanting. Yang dapat dilakukannya hanyalah mencoba
menyelamatkan tubuhnya dengan berusaha menjatuhkan diri sebaik-baiknya. Dan apa
yang diusahakan itu sebagian dapat berhasil. Namun setelah itu, kembali seluruh
tulang-tulangnya terasa telah terlepas. Tubuhnya menjadi lemas dan darahnya
seolah-olah tidak mengalir lagi. Bagaimanapun ia berusaha namun ia sudah tidak
mampu lagi menggerakkan bagian-bagian dari tubuhnya. Meskipun demikian, Bagus
Handaka tetap tidak mengeluh sama sekali. Dengan dada menengadah ia menanti
apapun yang bakal terjadi. Sekilas dilihatnya langit yang biru gelap ditaburi
bintang-bintang seperti jutaan lampu yang tergantung jauh sekali di udara,
dengan sinarnya, yang berkedip-kedip mengelilingi bintang raksasa Bima Sakti
yang melintang ke utara. Kemudian dilihatnya gurunya, yang diakunya sebagai ayahnya
setelah ayahnya yang sebenarnya pergi meninggalkannya, berjalan mendekatinya.
Dan Bagus Handaka telah siap menerima apapun yang akan dilakukan oleh gurunya
itu, meskipun untuk sesaat terlintas pula wajah-wajah ayahnya Gajah Sora.
Ibunya, serta wajah-wajah yang pernah dikenalnya. Wajah-wajah bengis yang
pernah akan membunuhnya pada saat ia ditolong oleh seorang yang menamakan
dirinya Sarayuda, serta wajah keenam orang yang datang berturut-turut
menyerangnya.
Dan sekarang
yang berada di depannya adalah gurunya, Manahan yang sebenarnya dikenalnya
dengan nama Mahesa Jenar, yang menyatakan dirinya sebagai orang yang ketujuh.
Dengan sekuat tenaga perasaannya, Bagus Handaka mencoba melenyapkan semua
bayangan yang berturut-turut datang mengganggu otaknya. Dipusatkannya
pikirannya untuk menghadapi apapun yang bakal terjadi, dengan tabahnya. Dan
tiba-tiba dirasanya tangan gurunya itu meraba-raba tubuhnya. Memijat-mijat
tangannya dan kemudian dengan suara yang rendah berkata,
“Tidakkah kau
dapat bergerak lagi Handaka?”
Dengan mata
yang cerah, Bagus Handaka memandangi wajah gurunya.
“Aku sudah
berusaha sebaik-baiknya, Bapak”.
Kemudian
tampaklah Manahan merenungi anak itu. Alisnya yang lebat bergerak-gerak karena
kerut-kerut di keningnya. Seolah-olah ia sedang menghitung setiap titik di
permukaan tubuh muridnya. Sesaat kemudian terdengarlah Manahan menarik nafas
dalam-dalam serta mengangguk-anggukkan kepalanya.
Lalu terdengar
ia bertanya kembali,
“Adakah dengan
cara demikian kau melawan orang-orang yang menyerangmu enam malam
berturut-turut?”
Bagus Handaka
tidak segera mengerti maksud pertanyaan gurunya. Karena untuk beberapa saat ia
tidak menjawab, terdengar kembali Manahan berkata,
“Ingat-ingatlah
apa yang telah kau lakukan selama enam malam berturut-turut”.
Bagus Handaka
semakin tidak mengerti. Tetapi ia menjawab juga,
“Bapak, selama
itu akupun telah berusaha sebaik-baiknya melawan mereka. Bahkan aku sudah
mencoba untuk menangkap salah seorang diantaranya. Tetapi aku tidak berhasil”.
Sekali lagi
Manahan mengangguk-anggukkan kepalanya, sedangkan Bagus Handaka menjadi
bertambah bingung. Apalagi ketika kemudian dilihatkan gurunya tersenyum sambil
membangunkannya. Duduklah Handaka. Dan cobalah menggerak-gerakkan tubuhmu
perlahan-lahan.
DENGAN otak
yang dipenuhi oleh berbagai pertanyaan, Bagus Handaka mencoba sedapat-dapatnya
untuk bangun dan kemudian bertahan duduk di atas pasir pantai. Adakah gurunya
menunggu sampai ia mampu untuk melawannya kembali…? Ternyata Manahan tidak
berbuat demikian. Juga ternyata gurunya itu tidak membunuhnya. Malahan kemudian
gurunya itu duduk pula di sampingnya dan dengan wajah yang jernih berkata,
“Sudahkah kau
ingat keenam orang yang menyerangmu?”
Sambil
mengangguk, Bagus Handaka menjawab sekenanya saja,
“Sudah,
Bapak”.
“Baik…” sahut
Manahan,
“Kau pernah
berkata kepadaku tentang wajah-wajah dari kelima orang itu, sedang orang yang
keenam telah aku saksikan sendiri. Tetapi kau belum pernah menceriterakan
kepadaku bagaimanakah bentuk tubuh kelima orang yang menyerangmu itu”.
Untuk sesaat
Bagus Handaka jadi termenung. Memang selama itu ia belum pernah menyebut-nyebut
bentuk tubuh lawan-lawannya. Dan sekarang tiba-tiba gurunya menanyakan hal itu.
Maka dicobanya sekali lagi untuk membayangkan kembali kelima orang itu
berturut-turut.
“Bagaimanakah
dengan orang yang pertama?” tanya Manahan.
Dengan masih
mencoba mengingat-ingat orang itu Bagus Handaka menjawab,
“Orang itu
bertubuh tegap tinggi dan berdada bidang”.
“Orang kedua?”
desak Manahan.
Dengan
mengingat-ingat mengerti sepenuhnya maksud pertanyaan gurunya, karena itu
setelah merenung beberapa lama ia menjawab hampir berteriak,
“Semuanya
bertubuh tegap tinggi dan berdada bidang”.
“Lalu
bagaimanakah pendapatmu mengenai mereka itu?” tanya Manahan pula.
Bagus Handaka
diam menimbang-nimbang. Tetapi kemudian ia berkata,
“Itu adalah
aneh, Bapak. Tubuh mereka berenam hampir bersamaan. Hanya wajah merekalah yang
agaknya berbeda-beda”.
“Kau yakin
bahwa wajah mereka berbeda-beda?” desak Manahan.
Mendengar
pertanyaan gurunya, tiba-tiba Handaka menjadi ragu. Memang sepintas lalu,
apalagi di dalam gelapnya malam, wajah-wajah mereka tampak berbeda-beda.
“Sayang, aku
tak dapat menangkapnya,” gumam Bagus Handaka.
Terdengarlah
Manahan tertawa pendek, lalu katanya,
“Inginkah kau
menangkapnya?”
“Ya,” jawab
Handaka.
“Aku ingin
tahu kenapa mereka menyerang aku”.
“Dan kenapa
aku menjadi orang ketujuh?” tanya Manahan pula.
Bagus Handaka
menatap Manahan dengan pandangan yang aneh. Apa yang terjadi lima malam
berturut-turut telah cukup memusingkan kepalanya. Apalagi malam yang keenam
itu. Segalanya menjadi semakin kabur dan penuh teka-teki.
Melihat Bagus
Handaka kebingungan, berkatalah Manahan,
“Handaka….
Meskipun aku tidak menyaksikan, namun aku berani meyakinkan bahwa keenam orang
yang menyerangmu berturut-turut itu pasti mempunyai persamaan bentuk tubuh. Dan
ketahuilah Handaka bahwa kau jangan mimpi untuk dapat menangkapnya”.
Mata Handaka
masih memancarkan pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan.
”Tetapi orang
yang pertama, kedua dan ketiga adalah orang-orang yang belum memiliki ilmu yang
cukup tinggi. Sehingga aku mempunyai kemungkinan yang besar untuk dapat
menangkapnya”.
Mendengar
kata-kata itu Manahan tersenyum.
”Meskipun
demikian, bukankah ternyata kau tidak mampu menangkapnya?”
Bagus Handaka
mengangguk mengiyakan.
“Jangankan kau
Handaka,” sambung Manahan,
“Sedang aku
pun tidak berani bermimpi untuk dapat menangkapnya”.
Mendengar
perkataan itu Handaka terkejut bukan main, sampai ia tergeser ke samping.
Matanya semakin membayangkan kebingungan yang memenuhi hatinya.
“Handaka…”
kata Manahan seterusnya dengan perasaan iba,
“Sudah
sewajarnya kalau kau menjadi bingung karenanya”.
Handaka
mendengarkan kata-kata gurunya itu dengan saksama, meskipun sikap gurunya itu
tidak kalah membingungkan pula.
“Pertama-tama
ketahuilah, bahwa apa yang aku lakukan, tidaklah benar-benar seperti apa yang
aku katakan. Otakku masih cukup sehat untuk tidak melakukan hal-hal seperti
itu. Sedang apa yang aku lakukan, adalah untuk meyakinkan dugaanku terhadap
keenam orang yang telah menyerangmu enam malam berturut-turut. Dengan caraku
itu aku kemudian yakin siapakah orang-orang yang datang berturut-turut itu”.
“Guru…” potong
Handaka dengan penuh haru,
“Jadi Bapak
tidak benar-benar mau membunuhku?”
Mendengar
pertanyaan Bagus Handaka, Manahan jadi terharu. Jawabnya sambil membelai kepala
anak itu,
“Kenapa aku
akan membunuhmu?”
“Bukankah
Bapak sendiri berkata demikian?” jawab Handaka.
“Dan kau telah
mencoba mempertahankan dirimu?” tanya Manahan pula.
“TIDAK,
Bapak…. Aku sama sekali tidak berusaha untuk menyelamatkan diri, tetapi aku
hanya bermaksud untuk menunjukkan hasil pelajaran-pelajaran yang aku terima
selama ini pada saat-saat terakhir”.
Diam-diam
Manahan memuji di dalam hati. Benar-benar anak ini berhati bersih dan setia.
Karena itu Manahan menjadi semakin terharu. Namun demikian ia berusaha agar
wajahnya sama sekali tidak membayangkan perasaannya.
“Handaka…”
kata Manahan kemudian,
“Baiklah aku
beritahukan dugaanku atas semua kejadian-kejadian yang berlaku itu, supaya kau
tidak terlalu lama menebak”.
Handaka
menjadi sangat tertarik. Karena itu ia menggeser duduknya semakin dekat dengan
gurunya.
“Handaka….”
Manahan melanjutkan,
”Mengucapkan
syukur atas semua peristiwa yang berlaku enam malam berturut-turut. Meskipun
barangkali untuk dua-tiga hari tubuhmu akan masih terasa sakit-sakit, namun
setelah itu kau akan berbangga karenanya”.
“Apakah yang
dapat aku banggakan Bapak?” tanya Handaka.
Manahan
tersenyum, lalu jawabnya,
“Aku telah
mencoba untuk memancingmu dalam suatu perkelahian. Apapun alasanmu tetapi kau
telah berbuat sebaik-baiknya. Sedang apa yang kau lakukan sebagian adalah bukan
hasil pelajaran yang aku berikan”.
“Bapak…”
potong Handaka,
“Kenapa kau
berbuat demikian. Aku tidak pernah belajar kepada siapapun kecuali kepada Bapak”.
Kembali
Manahan tersenyum.
“Meskipun
andaikata unsur-unsur itu tidak kau miliki sekarang, kemudian aku pun akan
memberikannya pula. Tetapi kemajuan yang kau capai selama lima hari akan sama
dengan kemajuan yang akan kau capai dalam waktu berbulan-bulan apabila hal itu
kau pelajari dariku, serta dalam keadaan yang biasa”.
Masih saja
Handaka belum mengerti maksud gurunya. Sehingga kemudian Manahan berkata pula,
“Handaka…,
menurut dugaanku orang yang datang enam malam berturut-turut itu adalah orang
yang sama”.
“Orang yang
sama?” tanya Handaka keheran-heranan.
“Ya,” jawab
Manahan.
“Orang itu
hanya mengubah mukanya sedikit dengan menggores-goreskan warna-warna hitam dan
kadang-kadang memasang kumis dan janggut palsu”.
“Tetapi
tingkat kepandaiannya sama sekali tidak sama,” Bapak, potong Handaka.
Sekali lagi
Manahan tersenyum.
“Itulah
sebabnya kepandaianmu meningkat dengan wajar, meskipun waktunya dipercepat. Dan
ketahuilah bahwa yang dapat berbuat demikian hanyalah orang-orang sakti yang
berilmu mumpuni”.
Handaka
menjadi termenung karenanya.
“Jadi apakah
maksudnya menyerangku…? Dan kenapa dikatakannya bahwa orang-orang itu akan
menangkap aku untuk sebuah pertunjukan pembunuhan…?” tanya Handaka.
“Satu-satunya
cara untuk memaksamu bekerja sekeras-kerasnya adalah menakut-nakutimu dengan
cara demikian,” jawab Manahan.
Bagus Handaka
menarik nafas dalam-dalam. Mengertilah ia sekarang bahwa orang yang datang
setiap malam itu sama sekali tidak akan membunuhnya seperti gurunya itu pula.
“Adakah Bapak
mengenal orang yang datang setiap malam itu?” tanya Handaka kemudian.
Manahan
menggelengkan kepalanya.
“Aku tidak
tahu. Meskipun aku telah berusaha mengenal gerak-geraknya sebaik-baiknya namun
aku tetap tidak dapat mengatakan siapakah dia. Apalagi apa yang diberikan
kepadamu selama ini ternyata adalah urut-urutan pelajaran dari ilmuku sendiri
yang akan aku berikan pula kepadamu”.
No comments:
Post a Comment