TERDENGAR Pasingsingan menggeretakkan giginya. Namun Mahesa Jenar berkata terus,
“Sayang bahwa
Pasingsingan yang sekarang memiliki tanda-tanda kekhususannya adalah
Pasingsingan yang sebenarnya tidak berhak atasnya.”
Pasingsingan
sudah tidak dapat menguasai dirinya lagi. Dengan penuh kemarahan sekali lagi ia
berteriak,
“Tutup
mulutmu, dan matilah bersama-sama dengan orang-orangmu yang tak tahu diri.”
Ketika
Pasingsingan sudah melangkah setapak maju, Mahesa Jenar pun melangkah maju.
Mantingan, Wirasaba, Wilis, Arya Salaka, Endang Widuri dan Jaladri ternyata
telah bergerak pula. Tetapi dengan isyarat Mahesa Jenar mencegah mereka.
Kemudian terdengar ia berkata,
“Apakah untung
kami untuk bertempur bersama-sama, Pasingsingan…? Aku kira lebih baik apabila
kita menunjukkan kejantanan diri. Biarlah siapa diantara kita yang sudah puas
mengenyam pahit asin penghidupan ini mencoba mempertaruhkan diri. Kalau kau
menang atasku, biarlah kau dapat menikmati kemenanganmu, dan kalau sebaliknya,
biarlah aku dapat menikmati kemenanganku sebagai hasil dari sikap jantan.”
Mantingan
menjadi cemas mendengar kata Mahesa Jenar itu, sehingga tanpa sesadarnya
terloncatlah dari mulutnya,
“Adi Mahesa
Jenar, bukankah yang berdiri di hadapan kita ini Pasingsingan, guru Lawa Ijo?”
Mahesa Jenar
tahu sepenuhnya, apa yang bergolak di dalam dada Mantingan. Mantingan masih
menilai dirinya seperti masa terakhir mereka bertemu, pada saat mereka berlima
bertempur melawan tokoh tokoh gerombolan hitam di Rawa Pening. Tetapi ia tidak
sempat memberinya penjelasan, karena kemudian Pasingsingan juga menganggap
kesombongan Mahesa Jenar.
“Mula-mula aku
ingin membunuh kalian dengan senjataku ini, supaya kalian tidak tersiksa pada
saat terakhir, tetapi karena kesombonganmu, aku ingin melihat kau menderita
pada saat terakhir itu. Aku akan membunuhmu dengan tanganku. Akan aku patahkan
anggota badanmu satu demi satu. Aku ingin melihat kau kesakitan dan berteriak-tariak
minta ampun.”
Semua yang
mendengar ancaman itu, tegaklah bulu roma mereka. Cara paling keji telah
dirancangnya oleh Pasingsingan. Tetapi mereka tidak berani melanggar larangan
Mahesa Jenar, sebab dengan demikian, mereka akan dapat menyinggung perasaannya.
Tetapi bagaimanapun juga, mereka tetap siap dengan senjata mereka, sebab kalau
benar-benar Pasingsingan akan melakukan ancamannya itu, tidak mungkin bagi
mereka, untuk membiarkan hal itu terjadi. Sesaat kemudian Pasingsingan, yang
ingin membunuh Mahesa Jenar dengan tangannya itu menyarungkan pisau belatinya.
Dan kemudian dengan sikap yang mengerikan ia perlahan-lahan mendekati Mahesa
Jenar yang berdiri tegak seperti sebuah batu karang yang kokoh kuat, tak
tergoyahkan oleh badai dan arus oleh deru gelombang. Pasingsingan heran juga
melihat sikap dan ketenangan Mahesa Jenar. Tetapi di matanya, Mahesa Jenar
tidak lebih dari seorang anak-anak yang besar kepala. Karena itu, ketika ia
sudah berdiri selangkah di hadapan Mahesa Jenar yang belum beranjak dari
tempatnya, menyerangnya dengan acuh tak acuh saja. Sebuah pukulan diarahkan ke
wajah Mehasa Jenar.
Tetapi
meskipun dalam sikap acuh tak acuh, namun gerakan Pasingsingan itu cukup
menggoncangkan dada mereka yang melihatnya. Mahesa Jenar pun mengetahui, bahwa
Pasingsingan memukulnya dengan acuh tak acuh. Tetapi ia tahu pula bahwa tangan
Pasingsingan itu seolah-olah mengandung bisa yang sangat berbahaya. Karena itu,
ia tidak mau dikenai oleh pukulan itu. Bahkan kemudian ia mengharap agar
Pasingsingan menjadi marah, dan bertempur sepenuh tenaganya. Ia mengharap,
bahwa dengan ilmu yang telah didalami sampai ke intinya itu, ia akan dapat
setidak-tidaknya mengimbangi kekuatan Pasingsingan.
Karena itu,
ketika Pasingsingan memukulnya dengan sikap acuh tak acuh, maka dengan sikap
acuh tak acuh pula Mahesa Jenar menghindari pukulan itu. Bahkan seperti orang
yang menggeliat sehabis bangun tidur, tanpa mengubah letak kakinya. Namun
karena demikian, sambaran tangan Pasingsingan itu hampir hampir saja menyentuh
kulitnya, bahkan sambaran anginnya serasa betapa kerasnya pukulan yang demikian
saja dilontarkan.
Semua yang
menyaksikan peristiwa itu, hatinya berdesir copot. Mula-mula dada mereka
menjadi tegang, seolah-olah tak sempat untuk menarik nafas. Tetapi kemudian mereka
heran melihat sikap Mahesa Jenar. Kenapa ia sedemikian beraninya bersikap acuh
tak acuh saja. Namun yang mereka saksikan, adalah pukulan Pasingsingan itu
benar-benar tidak mengenainya. Yang paling heran dari semuanya adalah
Pasingsingan sendiri. Seolah-olah ia tidak percaya pada penglihatan matanya,
bahwa Mahesa Jenar dapat menghindari pukulannya hanya dengan menggeliat saja.
Namun ternyata hal itu benar-benar telah terjadi. Karena itu marahnya sampai ke
ujung ubun-ubunnya. Sekali lagi, ia merasa direndahkan oleh orang yang baginya
sama sekali tak berarti. Namun, Pasingsingan tidak segera mengulangi
serangannya. Bahkan kemudian ia berdiri saja tertolak pinggang. Untuk kemudian
memperdengarkan suara tertawanya. Suara tertawa yang mengerikan, dilontarkan
dengan lembaran ilmu Gelap Ngampar. Suaranya menggetarkan seolah-olah
menggoncangkan dunia, menggetarkan setiap dada orang yang mendengarkannya.
Suara itu terdengar nyaring bahkan merontokkan daun-daun yang tidak sanggup
lagi berpegangan lebih erat lagi pada dahannya.
SEMUA orang
yang mendengar suara tertawa itu terkejut. Segera mereka berloncatan mundur,
untuk mengurangi tekanan udara yang seperti akan membelah dada mereka. Dengan
penuh tenaga dan pemusatan kekuatan batin segera mereka berjuang melawan ilmu
Gelap Ngampar itu. Dahsyatnya ilmu itu, sehingga mereka yang mendengarnya
menjadi mengigil seluruh tubuhnya. Perlahan-lahan terasa darahnya seolah-olah
membeku, dan segenap tulang-tulangnya terlepas dari sendi-sendinya. Yang
mula-mula sekali tidak kuat melawan pengaruh tertawa itu adalah Jaladri.
Seperti orang kehilangan segenap tenaganya ia jatuh tertunduk. Canggahnya
terlepas dari tangannya, yang kemudian dengan sekuat-kuat sisa tenaganya
ditekankannya tangan itu ke dadanya, seolah-olah untuk menjaga agar isi dadanya
itu tidak rontok. Wirasaba pun telah menggigil dengan kerasnya. Ia masih
mencoba bertahan pada tangkai kapaknya. Demikian pula yang lain, semakin lama
menjadi semakin kehilangan tenaga. Mahesa Jenar pun merasakan akibat dari Gelap
Ngampar itu. Ia pernah mengalami serangan serupa, beberapa tahun lalu di
alun-alun Banyubiru. Untunglah bahwa pada saat itu hadir Ki Ageng Pandan Alas
yang dapat melawan Gelap Ngampar itu dengan suara tembangnya, yang sebenarnya
berlandaskan pada ilmu yang dinamai Sapu Angin. Tetapi bagi Mahesa Jenar,
akibat dari serangan Gelap Ngampar itu kini terasa berbeda sekali dengan
serangan yang dialaminya lima tahun yang lampau. Suara tertawa itu kini tidak
demikian berpengaruh pada dirinya, seolah-olah dadanya sudah berlapis baja, akibat
dari perjuangannya, menguasai diri, bahkan ia telah berhasil meragakan sukma di
dalam gua di Karang Tumaritis. Akibat daripadanya ternyata dahsyat sekali.
Kecuali ia telah berhasil menemukan inti dari ilmu perguruan Pengging,
lahir-batinnya juga sudah tertempa kuat sekali. Bahkan Mahesa Jenar telah
menemukan kekuatan-kekuatan yang tak pernah dikenalnya di dalam tubuhnya.
Kekuatan yang melampaui kekuatan manusia biasa. Yang tak dapat diketemukan
dalam pengamatan wajar dari seorang ahli sekalipun, karena kekuatan kekuatan
itu langsung diterima dari sumbernya.
Inilah ciri
adanya kekuasaan yang tak kasatmata. Kekuasaan dari Yang Mahasa Kuasa. Sehingga
karena itu pulalah maka peristiwa-peristiwa di dunia ini betapapun dirancang
oleh manusia dengan cermatnya, sebagaimana kewajiban manusia adalah berusaha,
namun akhirnya penentuannya adalah di tangan Yang Maha Kuasa. Dengan demikian,
maka Mahesa Jenar sama sekali tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh ilmu
Gelap Ngampar itu. Tetapi ketika ia menoleh kepada kawan-kawannya ia menjadi
terkejut sekail. Dadanya berguncang cepat. Sebab ia melihat hampir tak
seorangpun dapat bertahan. Mereka telah hampir kehilangan kekuatan
masing-masing sebagai akibat dari tekanan ilmu Gelap Ngampar yang langsung
mempengaruhi urat syaraf mereka. Karena itu Mahesa Jenar menjadi bingung. Ia
tidak memiliki ilmu seperti yang dimiliki oleh Pandan Alas. Meskipun daya
tahannya sendiri barangkali tidak kalah dengan daya tahan Pandan Alas, namun
untuk membantu orang lain, melenyapkan pengaruh Gelap Ngampar itu adalah sulit
baginya. Dalam pada itu teringat pula olehnya, pengasuh yang serupa di Pulau
Hantu di Laut Kuning. Menurut pendengaran Mahesa Jenar, di Pulau Hantu itu
sering juga terdengar suara yang tertawa demikian mengerikan sehingga kadang-kadang
para pelaut yang membawa kapalnya lewat di dekat pulau itu dapat menjadi gila.
Kehilangan tenaga dan akal. Ada yang bahkan menjadi lemas dan mati. Yang lebih
mengerikan lagi ada diantara mereka menjadi saling berkelahi dan saling
membunuh. Untuk sementara Mahesa Jenar tidak tahu bagaimana dapat menolong
kawan-kawannya dari serangan yang aneh itu. Tetapi kemudian ia menemukan suatu
cara yang mungkin dapat dilakukan. Kalau sumber suara tertawa itu dapat
dihentikan, ia mengharap pengaruhnya pun akan lenyap sebelum sampai ke
puncaknya. Maka segera ia berdiri, dan dengan sigapnya ia melontarkan dirinya
langsung menerjang dada Pasingsingan yang terbuka. Pasingsingan terkejut
melihat serangan itu. Sejak semula ia sudah heran melihat Mahesa Jenar dapat mempertahankan
dirinya dari serangan Gelap Ngampar, meskipun ia telah memperketat serangan
itu. Bahkan kemudian Mahesa Jenar dengan derasnya menyerang dadanya. Meskipun
demikian, serangan Mahesa Jenar itu bagi Pasingsingan hanya dapat menambah
kemerahannya saja. Ia menganggap bahwa perbuatan itu adalah perbuatan bunuh
diri.
Karena itu
dengan tetap melancarkan serangan Gelap Ngampar, Pasingsingan menyilangkan
tangannya di muka dadanya untuk menangkis serangan Mehasa Jenar. Tetapi ketika
kemudian terjadi benturan antara serangan Mahesa Jenar dengan pertahanan
Pasingsingan, terbukalah mata hantu berjubah abu-abu itu, bahwa lawannya
bukanlah termasuk dalam gerombolan kelinci yang tidak tahu diri. Kerena
Pasingsingan tidak mempergunakan segenap kekuatannya, maka dalam benturan itu
ia telah terdorong surut beberapa langkah. Sedang Mahesa Jenar sendiri,
terpental selangkah mundur. Peristiwa yang tak terduga-duga itu telah
menggoncangkan dada Pasingsingan. Heran, marah, dendam, bercampur baur
melingkar-lingkar di dalam dadanya. Dalam pada itu, karena benturan yang tak
terduga-duga itu, terputuslah suara tertawanya. Ia terpaksa mengerahkan segenap
tenaganya untuk menjaga keseimbangan tubuhnya yang hampir-hampir saja terdorong
jatuh. Tetapi kemudian dengan sigapnya Pasingsingan pun telah berhasil
menguasai keseimbangannya kembali. Seperti sebatang pohon raksasa ia kemudian
berdiri tegak. Giginya gemeretak, dadanya mengombak seperti akan meledak.
Sekali lagi matanya yang tersembunyi di belakang lubang topengnya itu memandang
Mahesa Jenar dengan tajamnya. Kekuatan apakah yang telah membantunya, sehingga
ia mampu melawan aji Gelap Ngampar dan sekaligus memberinya tenaga yang luar
biasa besarnya..?
HANYA dalam
waktu kira-kira lima tahun saja, sejak pertemuan mereka di Rawa Pening,
kemampuan Mahesa Jenar telah sedemikian jauh menanjak. Pada saat itu, Mahesa
Jenar berlima, melawan Pasingsingan dan Sima Rodra tua berdua, seolah-olah
merupakan lima ekor tikus sakit-sakitan melawan dua ekor kuncing yang garang.
Sekarang tiba-tiba salah seekor tikus itu telah berubah menjadi serigala, yang
sedang menerkam salah seekor kucing yang garang itu. Tetapi Pasingsingan adalah
seorang yang telah kenyang makan garam sehingga segera dapat mengendalikan
dirinya. Kini ia benar-benar menghadapi keadaan yang cukup berbahaya. Dengan
benturan yang terjadi, Pasingsingan segera dapat mengetahui, bahwa Mahesa Jenar
benar-benar memiliki bekal yang cukup untuk merasa dapat melawannya. Tetapi
yang masih perlu diuji, apakah Mahesa Jenar dapat mempergunakan kekuatannya itu
untuk melawan ketangkasan, ketangguhan dan kelincahan hantu bertopeng itu.
Karena itu, setelah beberapa lama Pasingsingan berdiri tegak mengawasi Mahesa
Jenar, terdengarlah suaranya menggeram,
“Mahesa Jenar,
agaknya kau telah mendapat tenaga dari hantu penjaga Rawa Pening itu. Dan
karena itulah kau merasa mampu untuk bertempur seorang lawan seorang dengan
Pasingsingan. Setelah kau membual dengan ceritera tentang Pasingsingan yang
berbelit-belit itu, sekarang kau benar-benar ingin mengadu tenaga. Mengadu
liatnya kulit, kerasnya tulang. Tetapi kau jangan merasa gembira, karena kau
berhasil mendorong aku mundur beberapa langkah. Tetapi kini aku akan maju lagi,
dan tak seorangpun dapat mencegahnya.”
Mahesa Jenar
kini melihat, bahwa Pasingsingan telah memutuskan untuk bertempur dengan
sepenuh tenaganya. Karena itu iapun segera bersiap. Dengan penuh kewaspadaan
Mahesa Jenar mengikuti setiap gerakan Pasingsingan, meskipun sepintas lalu ia
masih sempat untuk mengerling kepada kawan-kawannya. Ternyata, ketika serangan
Gelap Ngampar itu terputus sebelum sampai ke puncaknya, pengaruhnyapun terputus
pula. Dengan demikian, meskipun perlahan-lahan, namun mereka yang dikenai oleh
aji itupun terbebas pula. Mantingan, Wilis, Arya, Widuri, Wirasaba dan bahkan Jaladri,
perlahan-lahan dapat menemukan kesadaran serta kekuatan mereka kembali. Mereka
kini sudah tidak menggigil lagi, meskipun terasa dada mereka masih bergetar dan
jantung mereka masih berdegupan. Mantingan, Wilis Arya, Widuri dan Wirasaba
telah mulai dapat melihat apa yang telah terjadi di hadapan mereka. Mereka
mulai bertanya-tanya, apakah yang akan terjadi seterusnya. Yang paling cemas
diantara mereka adalah Mantingan. Meskipun tangannya masih gemetar, namun ia
telah mencoba menggenggam trisulanya erat-erat.
Sementara itu
Pasingsinganpun telah bersiap sepenuhnya. Dengan menggeram ia melompat
menyerang Mahesa Jenar. Tidak dengan sikap acuh tak acuh, tetapi kini ia
benar-benar bertempur untuk segera dapat membinasakan lawannya. Namun Mahesa
Jenar pun telah bersiap. Ia telah mengalami, meskipun mulanya tidak
bersungguh-sungguh, namun akhirnya ia harus berjuang sekuat-kuatnya, pada saat
ia harus bertempur melawan Anggara. Meskipun perkembangan ilmunya kemudian
berbeda, namun Anggara dan Umbaran telah menghisap ilmunya dari sumber yang
sama. Sehingga dengan demikian, masih nampak juga persamaannya, apabila salah
seorang dari mereka itu tidak sengaja untuk menyembunyikan diri dalam
gerak-gerak lain yang diciptakannya kemudian. Maka sesaat kemudian berkobarlah perang
tanding yang maha dahsyat. Pasingsingan yang telah menggemparkan tlatah Demak
dengan perbuatan-perbuatannya yang mengerikan, baik yang dilakukannya sendiri
maupun yang dilakukan oleh muridnya, melawan seorang yang telah berhasil
menekuni ilmunya sampai ke intinya. Meskipun Pasingsingan jauh lebih dahulu
dari Mahesa Jenar, namun ternyata dengan satu loncatan, Mahesa Jenar telah
berhasil menjusulnya. Serangan-serangan Mahesa Jenar ternyata sama sekali tidak
kalah berbahayanya dari serangan-serangan hantu berjubah itu. Sekali-kali
terjadilah benturan-benturan yang keras. Dan dalam keadaan yang demikian
itulah, Mahesa Jenar menjadi semakin yakin pada dirinya, bahwa Pasingsingan
bukanlah hantu yang menakutkan dan tak dapat dikalahkan. Pasingsingan semakin lama
menjadi semakin terbakar hatinya. Kalau semula ia baru dapat mengukur kekuatan
Mahesa Jenar, namun kemudian ia terpaksa melihat kenyataan, bahwa Mahesa Jenar
tidak saja bertambah kuat lahir dan batin, namun iapun mampu pula mempergunakan
kekuatannya itu sebaik-baiknya.
Sebagai
seorang murid Pasingsingan tua, Pasingsingan itu telah mendengar dan mendapat
petunjuk-petunjuk tentang bermacam-macam perguruan. Juga perguruan Pengging
yang terkenal. Kini ia harus mengalami betapa salah seorang murid dari Pengging
itu telah mampu melawannya. Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin
sengit. Pasingsingan menjadi semakin heran melihat keterampilan lawannya.
Tetapi karena itu pula ia merasa seakan-akan dirinya dihadapkan pada suatu
ujian, apakah ia masih berhak memakai gelar Pasingsingan untuk seterusnya.
Disamping kenyataan itu, di dalam dadanya bergolak pula berbagai pertanyaan
tentang Mahesa Jenar. Dari manakah ia pernah mendengar cerita tentang
Pasingsingan tua, tentang Radite, Anggara dan Umbaran…? Darimana pula ia
mengetahui bahwa yang berdiri di hadapannya kini adalah Pasingsingan yang
sebenarnya tidak berhak memakai tanda-tanda kekhususannya…? Pasingsingan itupun
kemudian menjadi cemas bahwa sebenarnya rahasia tentang dirinya telah terbuka.
Bahkan kemudian ia menduga bahwa Radite atau Anggara-lah yang sengaja
mengabarkan tentang rahasia itu. Tetapi apakah Mahesa Jenar pernah bertemu
dengan mereka berdua? Tiba-tiba kemarahan Pasingsingan menjadi semakin
berkobar-kobar di dalam dadanya. Orang yang dapat berceritera tentang
Pasingsingan ini harus dimusnahkan, supaya rahasia itu dibawanya mati.
PASINGSINGAN
bertempur semakin dahsyat. Jubahnya berkibar-kibar di belakang punggungnya
seperti sayap. Di dalam kelam, tampaklah Pasingsingan seperti kelelawar raksasa
yang terbang menyambar-nyambar dengan jarinya yang berkembang mengerikan.
Tetapi lawannya adalah seekor banteng yang tangguh. Semakin banyak peluh
mengalir dari tubuh Mahesa Jenar, semakin segarlah tubuhnya. Bahkan kemudian ia
pun bertempur semakin tangguh. Ketika Pasingsingan menyerangnya semakin
dahsyat, Mahesa Jenar pun bertempur benar-benar seperti banteng ketaton. Dalam
keadaan yang berbahaya sedemikian itu, Pasingsingan tidak sempat untuk meneliti
gerakannya sendiri satu demi satu, seperti pada saat Anggara bertempur
melawannya. Karena itu semakin lama, gerak-gerak mereka berdua, Umbaran yang
berjubah Pasingsingan dan Anggara, menjadi semakin rapat persamaannya. Dengan
demikian Mahesa Jenar dapat mengenal gerak-gerak itu kembali, yang khusus dapat
dilihatnya dalam gerakan-gerakan pertahanan yang rapat, meskipun apa yang
dilakukan oleh Pasingsingan ini tampak lebih kasar. Bahkan sekali-kali Mahesa
Jenar ingin mempengaruhi pikiran lawannya. Meskipun tidak sempurna, namun dalam
saat-saat yang sedemikian bersahaja, Mahesa Jenar mencoba-coba menirukan
gerak-gerak itu. Bahkan gerak-gerak yang belum dilakukan oleh Pasingsingan.
Melihat gerak-gerak khusus Pasingsingan itu dapat pula dilakukan oleh Mahesa
Jenar, meskipun tidak sempurna, Pasingsingan menjadi semakin heran dan gelisah.
Karena itu Pasingsingan memastikan bahwa Mahesa Jenar pernah bertemu dengan
Radite atau Anggara. Dengan demikian ia yakin pula bahwa rahasianya benar-benar
telah diketahui oleh lawannya itu. Dalam pada itu, Pasingsingan mengumpat pula
di dalam hati. Bahwa dengan demikian Radite tidak memegang janjinya. Orang itu
telah berjanji pada saat tukar-menukar antara tanda kekhususan serta
pusaka-pusaka Pasingsingan dengan gadis yang memintanya, terjadi beberapa puluh
tahun yang lalu.
Tetapi apapun
yang dilakukan, Pasingsingan tidak berhasil untuk menguasai lawannya. Jangankan
membunuhnya, menyentuhnya pun semakin lama menjadi semakin sulit. Dalam
tingkatan ilmu yang seimbang, Mahesa Jenar masih memiliki kelebihan. Umurnya
yang jauh lebih muda, sehingga pembawaan kodrat alamiah telah menolongnya.
Kalau semula Mahesa Jenar sama sekali tidak berdaya melawan orang-orang tua
adalah karena tingkat ilmu jaya kawijayan guna kasantikan orang-orang tua itu
jauh lebih melampaui ilmunya. Tetapi sekarang apa yang telah dicapainya tidak
kurang dari apa yang dimiliki oleh Umbaran. Dengan demikian, pada umurnya itu,
ia memiliki kemenangan-kemenangan. Hal ini pun dirasakan oleh Pasingsingan.
Nafas Mahesa Jenar yang dapat diaturnya dengan baik itu semakin lama tampak
semakin mapan dan teratur. Ketenangannya mengamati setiap persoalan dan
kesulitan, kecerahan otaknya dalam mengurai setiap masalah, telah menuntunnya
sedikit demi sedikit pada keadaan yang lebih baik dari lawannya. Sekali lagi
Pasingsingan mengumpat di dalam hati. Ia pun merasakan betapa Mahesa Jenar
berhasil mendesaknya perlahan-lahan. Sebagai seorang yang merasa dirinya tak
terlawan, hatinya menjadi panas bukan main. Apalagi mengingat gelar yang harus
dipertahankan mati-matian. Pusaka-pusaka serta ciri-ciri kekhususan
Pasingsingan. Kalau oleh Mahesa Jenar ia sudah dapat dikalahkan, lalu apakah
haknya untuk tetap menjadi orang yang ditakuti…? Lebih-lebih lagi apabila
orang-orang seperti Pandan Alas, Sora Dipajana, Titis Anganten sampai
mengenalnya, bahwa bukan dirinyalah Pasingsingan yang pernah bersahabat dengan
mereka itu. Maka ia akan semakin banyak menemui kesulitan dalam usahanya untuk
menguasai Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten. Sebab dengan nama Pasingsingan, orang
tua itu merasa segan-segan pula bertindak terhadapnya, yang disangkanya
Pasingsingan sahabat mereka puluhan tahun yang lampau. Seperti apa yang
dilakukan oleh Pandan Alas di alun-alun Banyubiru, yang masih memperlakukannya
sebagai sahabatnya. Tetapi tiba-tiba ia teringat, apa yang pernah dialaminya di
Rawa Pening.
Ketika ia
sudah siap membunuh Mahesa Jenar dengan keempat kawannya, muncullah dua orang
yang berpakaian mirip dengan Mahesa Jenar dan memberinya pertolongan. Beberapa
bulan ia mencoba memecahkan teka teki itu. Namun akhirnya, ketika orang-orang
itu sudah tidak pernah dijumpainya lagi, ia menjadi lupa kepada mereka. Tetapi
sekarang tiba-tiba bayangan kedua orang itu muncul kembali. Kalau demikian,
kedua orang itu pasti telah menemui Mahesa Jenar dan berceritera tentang
dirinya. Ya. Ia pasti sekarang. Orang yang dapat mengalahkannya dengan begitu
mudah, orang dapat membebaskan diri dari pengaruh ilmunya Alas Kobar. Orang itu
tidak dapat lain daripada Radite dan Anggara.
“Gila!” teriak
Pasingsingan tiba-tiba. Mahesa Jenar terkejut mendengar teriakan itu. Tetapi ia
bertempur terus. Serangan-serangannya semakin lama semakin deras seperti hujan
yang tercurah dari langit disertai prahara yang bergulung-gulung mengerikan.
Pasingsingan akhirnya tidak mau lagi membiarkan dirinya digilas oleh anak-anak
yang baru tumbuh. Tiba-tiba ia tidak ragu lagi mengendalikan kemarahannya
sehingga ia tidak segan-segan untuk membakar lawannya dengan ilmunya yang
dahsyat, Alas Kobar. Sementara itu, Mantingan, Rara Wilis, Arya Salaka, Endang
Widuri, Wirasaba dan Jaladri telah hampir sembuh kembali dari akibat serangan
Gelap Ngampar, meskipun dada mereka seakan-akan masih terasa berderak-derak.
Namun mereka telah dapat berdiri tegak dan dengan penuh kesadaran telah dapat
mengikuti pertempuran yang terjadi antara Pasingsingan melawan Mahesa Jenar.
MANTINGAN yang
sama sekali tidak menduga bahwa Mahesa Jenar telah dapat mencapai tingkatan
yang sedemikian tinggi dalam waktu singkat, mula-mula tidak percaya pada
penglihatannya, tetapi ketika kemudian ia melihat betapa orang berjubah abu-abu
itu telah berjuang sedemikian lama dan sungguh-sungguh, tahulah ia bahwa Mahesa
Jenar benar-benar tidak sedang bunuh diri. Karena itulah ia menjadi berbangga
hati. Kalau semula pada saat Mantingan melihat Rara Wilis, Arya Salaka dan
Endang Widuri turut serta melawan anak buah Lawa Ijo, ia telah berbangga hati,
lebih-lebih ketika ia terpaku pada suatu kenyataan bahwa Arya Salaka mampu
melawan Lawa Ijo dan membebaskan dirinya dari pengaruh serangan panas yang luar
biasa dari kelelawar Alas Mentaok itu, kini ia tidak tahu lagi perasaan apa
yang berkobar di dalam dadanya. Sebagai seorang sahabat yang sejak semula telah
mengagumi Mahesa Jenar, ia kini benar-benar bersyukur bahwa sahabatnya itu
telah berhasil menempa dirinya menjadi orang yang luar biasa. Mantingan
bersyukur bahwa Mahesa Jenar telah berhasil dalam pembajaan diri itu. Sebab ia
tahu pasti, bahwa hasil dari pembajaan diri itu ia akan dilimpahkan di dalam
suatu pengalaman kemanusiaan, pengalaman pada tumpah darah. Ia tahu pasti bahwa
Yang Maha Kuasa telah merestui sahabatnya itu dalam perjuangannya menegakkan
kebenaran dan keadilan. Sedang Wirasaba seperti orang yang terpesona. Ia
berdiri dengan mulut ternganga. Beberapa tahun yang lalu, hatinya telah
digemparkan oleh suatu kenyataan, bahwa Mahesa Jenar mempu menghancurkan sebuah
batu hitam dengan tangannya, sedang kapak raksasanya hanya mampu melukai batu
itu tidak lebih dari sejengkal. Sekarang ia melihat Mahesa Jenar itu bertempur,
yang menurut penglihatannya sangat ruwet. Wirasaba tidak tahu bagaimana orang
dapat bertempur sampai sedemikian. Gerak mereka kadang-kadang seperti singgat.
Melenting berloncatan. Kadang-kadang seperti dua ekor burung yang menggelepar
dengan kerasnya untuk kemudian seperti seekor harimau menerkam. Tetapi kemudian
Pasingsingan itu terlontar kembali karena yang diterkamnya benar-benar mirip
seekor banteng jarig melemparkan lawannya dengan tanduk-tanduknya yang kokoh
kuat.
Arya Salaka
pun terpaku di tempatnya. Sekarang ia benar-benar yakin bahwa gurunya benar-benar
orang luar biasa. Namun dalam pada itu menjalar pula hatinya hasrat yang
semakin kuat untuk menghisap ilmu sekuat-kuat tenaganya. Ia tahu benar bahwa
gurunya itu telah bekerja keras untuknya, melampaui yang seharusnya dilakukan
oleh seorang guru. Gurunya itu telah mengasihinya seperti anak sendiri. Bahkan
bersedia mati pula untuknya. Karena itu Arya Salaka berjanji di dalam dirinya
sendiri, bahwa ia tidak akan mengecewakan orang itu, dan sekaligus ia akan
dapat berbangga diri kepada ayahnya kelak. Berbangga tentang dirinya sendiri,
dan berbangga tentang gurunya. Sebab ia tahu bahwa ayahnya telah menyerahkan ke
dalam asuhan Mahesa Jenar. Dalam pada itu Endang Widuri sudah mulai
tertawa-tawa pula setelah pengaruh Gelap Ngampar lenyap dari dadanya, meskipun
ia masih agak pucat. Ia melihat Mahesa Jenar itu seperti melihat ayahnya. Ia
menjadi heran, kenapa Mahesa Jenar itu dalam hampir setiap geraknya mirip benar
seperti ayahnya. Kalau ayahnya dapat bertempur seperti batu karang yang tak
bergerak oleh badai yang bagaimanapun dahsyat, Mahesa Jenar pun kadang-kadang
berlaku demikian. Tetapi kadang-kadang melihat lawannya seperti banjir bandang
tanpa dapat dihalangi oleh kekuatan apapun. Pada saat yang lain seperti juga
ayahnya Mahesa Jenar mengurung lawannya seperti angin prahara. Meskipun ia
hanya melihat ayahnya bertempur dalam latihan-latihan dengan dirinya, dengan
Putut Karang Tunggal yang sebenarnya bernama Karebet, namun ia melihat betapa
Mahesa Jenar itu memiliki kemampuan yang mirip benar dalam setiap
gerak-geriknya. Tetapi gadis kecil ini tidak tahu bahwa Mahesa Jenar dan
ayahnya, Kebo Kanigara, meneguk air dari sumber yang sama. Dan bahwa
kedua-duanya telah menguasai ilmunya dengan sempurna, meskipun Kebo Kanigara
sedikit lebih mengendap daripada Mahesa Jenar. Orang yang sama sekali tidak
tahu bagaimana menilai pertempuran itu adalah Jaladri. Bahkan ia menjadi
pening, dan karena itu ia lebih senang menenangkan dirinya daripada bersusah
payah mengikuti perang tanding yang tak kenal ujung pangkalnya itu.
Berbeda dengan
perasaan mereka adalah Rara Wilis. Ia mempunyai kesan tersendiri dari
pertempuran itu. Ketika pertempuran itu menjadi semakin seru, iapun menjadi
semakin cemas. Meskipun kemudian ia merasa, bahwa Mahesa Jenar memiliki
kemampuan yang cukup untuk mengimbangi kekuatan iblis berjubah abu-abu itu,
namun setiap serangan Pasingsingan dirasanya seperti serangan pada dirinya
sendiri. Setiap sentuhan yang mengenai tubuh Mahesa Jenar, seolah-olah
kulitnyalah yang terluka.
RARA WILIS
tiba-tiba menjadi cemas, jauh lebih cemas daripada ia sendiri yang bertempur.
Ia sama sekali tidak rela kalau laki-laki itu sampai dapat disinggung oleh
lawannya. Ia tidak rela kalau laki-laki itu sampai terluka. Ketika Wilis sadar
akan perasaannya itu, tiba-tiba warna merah membersit ke pipinya. Ia merasa
malu sendiri, meskipun ia yakin bahwa tak seorangpun yang memperhatikannya.
Tetapi seolah-olah setiap ujung daun-daun pepohonan di sekitarnya itu tersenyum
melihat warna hatinya. Seolah-olah desir angin yang lewat di belakangnya
berbisik di telinganya,
“Jangan cemas
Rara Wilis, kau tidak akan kehilangan laki-laki itu.”
Tiba-tiba Rara
Wilis menundukkan wajahnya dengan tersipu-sipu. Tetapi dalam pada itu,
tiba-tiba arena itu dikejutkan oleh sebuah teriakan nyaring yang terlontar dari
belakang topeng kasar Pasingsingan. Bersamaan dengan itu memancarlah udara
panas ke segenap penjuru. Ke arah mereka yang sedang terpesona menyaksikan
pertempuran itu, sehingga tanpa mereka sengaja, segera mereka berloncatan
mundur beberapa langkah. Bahkan Jaladri segera berlindung ke balik sebuah pohon
untuk menghindarkan diri dari serangan panas yang luar biasa.
Itulah
pengaruh dari ilmu Alas Kobar yang dahsyat, yang tidak saja dilontarkan oleh
Lawa Ijo, tetapi kini oleh gurunya, Pasingsingan. Alangkah dahsyatnya ilmu itu.
Tetapi yang paling dahsyat mengalami serangan itu adalah orang yang dituju.
Dalam penerapan ilmu itu tubuh Pasingsingan sendiri seolah-olah telah berubah
menjadi bara baja yang panasnya tak terhingga. Mahesa Jenar terkejut mengalami
serangan panas itu. Setiap sentuhan dengan tubuh Pasingsingan, terasa panas
yang luar biasa menyengat kulitnya, disamping libatan udara panas di seluruh
tubuhnya. Dalam keadaan yang demikian, sadarlah Mahesa Jenar bahwa lawannya
telah matek aji yang pernah didengarnya bernama Alas Kobar. Untuk sementara
Mahesa Jenar terpaksa terdesak mundur. Ia mencoba menghindari setiap sentuhan
tubuh Pasingsingan. Tetapi dalam keadaan yang demikian, Mahesa Jenar sama
sekali tak berniat melarikan diri. Sebagai seorang laki-laki, ia akan
menghadapi setiap kemungkinan. Ia merasa menjadi pelindung dari seluruh
perkemahan itu. Kalau ia terpaksa melarikan diri, maka ia tak ada artinya sama
sekali. Apa saja yang pernah dilakukan dan apa saja yang pernah dipercayakan orang
kepadanya. Dalam perjuangan melawan kejahatan tak ada niatnya untuk sekadar
menyelamatkan dirinya sendiri, dan membiarkan orang lain binasa karenanya.
Karena itulah maka Mahesa Jenar membulatkan tekadnya. Mengumpulkan segenap
kekuatan lahir batinnya, dengan tekad bulat untuk melawan Pasingsingan,
betapapun pengaruh panas itu menyengatnya di segenap bagian tubuhnya.
Anehnya, bahwa
yang terjadi kemudian adalah di luar dugaan. Di luar dugaan Mahesa Jenar
sendiri. Ketika ia telah membulatkan tekad, memusatkan segenap kekuatan yang
ada padanya, lahir batin, serta pasrah diri setulus-tulusnya kepada Yang Maha
Kuasa, maka tiba-tiba terasa, bersama-sama dengan nafasnya yang semakin
teratur, sejalan dengan peredaran darahnya, mengalirlah udara segar di dalam tubuhnya.
Mahesa Jenar telah mengenal perasaan itu. Ia merasakan seperti aliran kekuatan
yang luar biasa, yang dalam keadaan khusus, seperti yang pernah dilakukan
apabila ia sedang menerapkan ilmunya Sastra Birawa, merambat dari pusat
jantungnya mengalir ke sisi telapak tangannya. Tetapi kini, dalam pemusatan
tekad, untuk melawan libatan udara panas yang mematuk-matuk seluruh permukaan
tubuhnya itu, terasa kekuatan dari pusat jantungnya itu mengalir menurut
peredaran darah ke segenap bagian, menurut jalur-jalur darah yang paling kecil
sekalipun. Terasalah untuk beberapa saat darahnya seperti mendidih. Terjadilah
seolah-olah benturan yang sengit di seluruh permukaan kulitnya. Dalam keadaan
yang demikian, terganggulah gerak tempur Mahesa Jenar, karena perasaannya
dipengaruhi oleh pemusatan kehendak untuk melawan udara panas itu.
Maka tanpa
setahunya, tiba-tiba serangan Pasingsingan yang dahsyat telah berhasil menyusup
diantara jaring-jaring pertahanan Mahesa Jenar, langsung mengenai pundaknya.
Serangan itu bukanlah sekadar serangan Alas Kobar, tetapi benar-benar tangan
Pasingsingan mengenai pundak itu. Mahesa Jenar yang sedang berjuang melawan Aji
Alas Kobar itu terdorong beberapa langkah surut. Tetapi ia adalah seorang yang
masak dalam pemusatan kehendak. Meskipun ia terdorong dan bahkan kemudian ia
terjatuh, namun ia sama sekali tidak melepaskan diri dari usahanya, membulatkan
diri, dalam perlawanannya. Dalam saat yang demikian itulah, sebenarnya Mahesa
Jenar telah menerapkan ilmunya Sasra Birawa pula. Namun dalam bentuk yang
berbeda. Tanpa setahunya sendiri sebelumnya, bahwa sebenarnya ilmunya Sasra
Birawa dalam bentuk perlawanan dan pertahanan dapat disalurkan ke segenap
bagian tubuhnya. Ke segenap bagian-bagian yang terkecil sekalipun untuk
kemudian melawan rangsangan yang betapapun dahsyatnya, yang mencoba
mempengaruhi tubuh itu. Tetapi meskipun demikian, ilmu itu tidak dapat menahan
dorongan kekuatan yang luar biasa, yang dilontarkan Pasingsingan dengan penuh
kemarahan, sehingga Mahesa Jenar jatuh terbanting di tanah setelah terdorong
beberapa langkah surut. Mereka yang menyaksikan peristiwa itu, dadanya serasa
akan pecah, Mahesa Jenar bagi mereka adalah satu-satunya orang yang dapat
diharapkan untuk menyelamatkan perkemahan ini. Ketika mereka melihat betapa Pasingsingan
semakin lama semakin terdesak yakinlah mereka bahwa Mahesa Jenar akan dapat
melakukan tugasnya dengan baik. Namun tiba-tiba, dalam kabut ilmu Alas Kobar,
Mahesa Jenar ternyata dapat dikuasai oleh lawannya, bahkan kemudian dengan
suatu serangan jasmaniah, Mahesa Jenar dapat didorongnya jatuh.
PASINGSINGAN
tertawa sambil bertolak pinggang, dan dari sela-sela lubang topengnya
terdengarlah ia bergumam,
“Hem… aku
terpaksa melakukan apa yang telah aku katakan. Mematahkan tulangmu satu demi
satu. Aku ingin melihat kau kesakitan dan ingin mendengar kau berteriak minta
ampun.”
Mendengar
ancaman itu, teganglah semua orang yang berdiri agak jauh dari lingkaran
pertempuran itu. Tetapi pastilah bahwa mereka tidak akan tinggal diam. Karena
mereka sama sekali tidak mampu untuk mendekati iblis itu, maka mereka menjadi
agak bingung, bagaimana cara mereka untuk berjuang bersama-sama, dan kalau
perlu mati bersama-sama dengan Mahesa Jenar. Dalam keadaan yang demikian,
tiba-tiba Pasingsingan dikejutkan oleh seleret sinar yang tebal menyambarnya.
Karena itu mendadak suara tertawanya terhenti. Dengan lincahnya ia merendahkan
dirinya sambil berputar setapak ke samping. Namun belum lagi ia berhenti
bergerak, disusullah sinar tebal itu dengan sambaran sinar yang lain. Sekali
lagi Pasingsingan terpaksa menghindar. Ketika itu ia kemudian melihat bahwa
kedua sambaran sinar itu tidak lain tombak pendek yang melontar dari tangan
Arya Salaka, disusul oleh sebatang trisula dari tangan Mantingan, terdengarlah
hantu itu menggeram marah. Sekali lagi terdengar ia bergumam,
“Tikus-tikus
yang malang. Jangan banyak tingkah. Supaya kau nanti dapat mati dengan tenang.”
Dalam pada itu
dada Rara Wilis pun terasa menjadi pepat. Sesaat ia memejamkan matanya. Ia
tidak sampai hati melihat Mahesa Jenar terbanting. Tetapi ia tidak mau
membiarkan laki-laki itu mengalami cidera. Tetapi tidak sesadarnya, ia berusaha
untuk meloncat mendekati.
Namun langkah
Wilis pun terhenti ketika tubuhnya serasa hangus terbakar. Tetapi hatinyalah
yang lebih dahulu hangus daripada tubuhnya, sebab bagaimanapun juga Mahesa
Jenar adalah tempat ia meyangkutkan harapan bagi masa depan. Terdorong oleh
perasaan yang tak disadarinya sendiri, yang jauh lebih tebal dari perasaan
setiakawan, telah memaksa Rara Wilis untuk tidak mempedulikan diri sendiri.
Meskipun tubuhnya serasa terbakar oleh panas yang melampaui panasnya api, ia
mencoba juga berjalan setapak demi setapak ke arah Mahesa Jenar, sedang matanya
sama sekali tidak mau melepaskan setiap gerak gerik hantu berjubah abu-abu itu.
Kalau-kalau tiba-tiba ia meloncat dan menyerangnya. Tetapi sebalum ia berhasil
mencapai laki-laki yang dicemaskan itu, terasa seluruh kulit dagingnya menjadi
luluh. Ketika ia maju setapak lagi, ia menjadi kehilangan segenap daya
tahannya. Bagaimanapun ia berusaha, akhirnya ia terhuyung-huyung jatuh. Tetapi
betapa terkejutnya ketika terasa sepasang tangan menyambarnya. Dan dengan suatu
loncatan panjang ia telah dibebaskan dari daerah pengaruh yang berbahaya dari
aji Alas Kobar itu. Dengan cemas ia mencoba mengamat-amati, siapakah yang telah
menolongnya itu. Sekali lagi ia terkejut kepadanya. Ternyata yang
menyelamatkannya dari lingkaran yang berbahaya itu adalah Mahesa Jenar sendiri.
Semula ia hampir tidak percaya pada dirinya. Bahkan ia mengira, apakah ia tidak
bermimpi atau pingsan atau mati, dan bertemu dengan laki-laki itu di alam lain.
Tetapi perasaan itu segera lenyap ketika terdengar suara Pasingsingan
menggeram,
“Setan.
Ternyata nyawamu rangkap, Mahesa Jenar.”
Mahesa Jenar
kemudian meletakkan Rara Wilis dari tangannya. Ternyata daya tahan gadis itu
luar biasa pula, sehingga demikian ia menyentuh tanah, demikian ia telah dapat
berdiri di atas kedua kakinya sendiri. Ketika ia memandang berkeliling,
dilihatnya segenap mata yang memandangnya memancarkan keheranan dan kekaguman.
Bahkan seperti sorot mata yang bimbang akan kebenaran penglihatan mereka.
Tiba-tiba dari antara mereka Arya Salaka meloncat berlari ke arah gurunya,
kemudian meraba-raba tubuh itu sambil berkata lirih,
“Adakah guru
selamat…?”
Mahesa Jenar
menarik nafas dalam-dalam. Bagaimana mereka tidak heran, kalau dirinya
sendiripun hampir-hampir tidak mengerti atas peristiwa-peristiwa yang dialami.
Namun pengenalannya pada getaran-getaran yang memancar dan pepat jantungnya
telah memberinya sedikit keterangan, bahwa kekuatan Sasra Birawa-nya telah
mengalir dan membendung segenap rangsangan yang menyentuh tubuhnya. Memang
mula-mula Mahesa Jenar merasakan betapa udara panas melibat seluruh tubuhnya.
Bagaimana kulitnya serasa terkelupas karena sentuhan-sentuhan tubuh
Pasingsingan. Namun sejak ia mulai mengatur diri, memusatkan tekad pada
perlawanan atas serangan panas di segenap permukaan tubuhnya, pernafasan yang
diaturnya baik-baik seperti apabila ia siap untuk melontarkan ilmunya Sasra
Birawa, terasa betapa di dalam tubuhnya terjadi pergolakan-pergolakan yang
cepat. Terasa betapa getaran-getaran dari pusat jantungnya mulai bergerak.
Tidak ke sisi telapak tangannya, namun menjalar ke segenap bagian tubuhnya.
Dengan demikian, kekuatan di dalam dirinya telah langsung mengadakan
perlawanan. Pada saat yang demikian itulah ia merasa sebuah dorongan yang kuat
pada pundaknya, disertai suatu gigitan nyeri yang bukan main, sehingga ia
terdorong dan terbanting jatuh. Untuk sesaat memang seolah-olah ia kehilangan
daya perlawanannya. Tetapi dalam pada itu, getaran-getaran di dalam tubuhnya
itu menjadi semakin deras mengalir. Apalagi Mahesa Jenar membiarkan dirinya
seperti sebuah batu yang menggelinding karena sebuah dorongan yang kuat tanpa
daya perlawanan. Dengan demikian ia dapat tetap pada pemusatan pikiran,
mempercepat aliran getaran-getaran dari pusat jantungnya itu, sehingga batu itu
sendiri sama sekali tidak mengalami cidera sama sekali.
AKHIRNYA
segenap perasaan sakit, nyeri, panas dan segala macam perasaan yang merangsang
dari luar tubuhnya, perlahan-lahan menjadi berkurang, bahkan akhirnya menjadi
punah sama sekali. Meskipun ia masih berada dalam jarak capai aji Alas Kobar,
namun ia tidak lagi merasakan betapa panasnya aji itu, yang semula dirasanya melampaui
panasnya bara. Mahesa Jenar tidak segera bangkit. Ia masih mencoba meyakin
keadaannya. Karena itulah maka seolah-olah Mahesa Jenar setelah terbanting
jatuh tidak mampu lagi untuk tegak kembali. Mahesa Jenar masih tetap berdiam
diri, ketika ia melihat tombak muridnya menyambar Pasingsingan, disusul oleh
sebuah trisula yang terbang secepat kilat. Namun kedua senjata itu sama sekali
tidak mengenai sasarannya. Tetapi ia tidak dapat tetap berbaring di situ,
ketika ia melihat Rara Wilis dengan tanpa menghiraukan keadaan diri sendiri,
mencoba menerobos lingkaran aji Alas Kobar. Apalagi ketika ia melihat gadis itu
menjadi sangat payah dan hampir-hampir saja terjatuh. Dengan sigapnya ia
melenting berdiri dan meloncat ke arah Rara Wilis. Untunglah Mahesa Jenar
berbuat cepat pada saatnya, sehingga dengan lemahnya Rara Wilis terkulai di
tangannya. Meskipun dalam keadaan yang bagaimanapun juga, namun Rara Wilis yang
dengan lemahnya, menyandarkan kepalanya pada dadanya itu, telah menggetarkan
perasaannya. Perasaan seorang laki-laki yang sedang mengenyam angan-angan
tentang seorang gadis. Mau rasa-rasanya, untuk tidak melepaskan gadis itu dari
tangannya untuk seumur hidupnya. Tetapi keadaan itu kemudian hancur terurai
oleh geram Pasingsingan. Dan karena itulah maka Mahesa Jenar sadar, bahwa
bahaya masih tetap melekat di hidungnya.
Maka
perlahan-lahan Rara Wilis itu kemudian diletakkan di atas tanah. Mahesa Jenar
menjadi terharu juga, ketika muridnya berlari-lari untuk meraba-raba tubuhnya,
seolah-olah mencari-cari apakah ada yang hilang darinya. Dengan penuh perasaan
sayang seorang ayah, Mahesa Jenar menepuk kepala anak muda itu sambil menjawab
pertanyaan,
“Aku tidak
apa-apa, Arya. Bukankah anggota badanku masih utuh?”
Tetapi mereka
tidak bercakap-cakap lebih banyak. Pasingsingan yang melihat Mahesa Jenar itu
bangkit kembali dan seolah-olah tidak pernah mengalami sesuatu, menjadi tidak
kalah herannya. Tetapi justru dengan demikian hatinya menjadi semakin panas. Ia
cemas pada kenyataan, bahwa Mahesa Jenar kini adalah seorang yang memiliki
kesaktian yang tinggi. Cemas pada kegagalannya untuk mendapatkan Kyai Nagasasra
dan Kyai Sabuk Inten yang akan dipergunakan sebagai pancatan, nggayuh kemukten,
mencapai impiannya yang indah. Kekuasaan atas gerombolannya, untuk kemudian
meningkat pada kekuasaan atas tanah ini. Atas kerajaan Demak. Namun demikian,
terdorong oleh nafsu yang bergelora di dalam dadanya, maka ia merasa, bahwa
Mahesa Jenar harus dibinasakan. Ia tidak perlu berpikir lagi, apakah ia harus
bersikap jantan atau tidak. Namun tujuannya sudah pasti. Membunuh laki-laki
yang menghalang-halangi niatnya. Selama orang yang bernama Mahesa Jenar dan
bergelar Rangga Tohjaya itu masih hidup, selama itu pula niatnya akan selalu
dirintanginya. Karena itu, maka dengan menggeram penuh kemarahan,
berkilat-kilatlah sebuah pisau belati panjang di tangan hantu berjubah abu-abu
itu. Ia sudah bertekad untuk membunuh Mahesa Jenar dengan Alas Kobar
bersama-sama dengan pusaka Pasingsingan, Kiai Suluh, yang bercahaya
kekuning-kuningan.
Melihat Pusaka
itu, Mahesa Jenar terkejut. Ia tahu benar betapa berbahayanya pisau belati itu.
Pisau belati ciri khusus dari orang yang bernama Pasingsingan, yang diterima
turun-temurun dari Pasingsingan tua, Raden Buntara, lewat Radite, yang kemudian
karena keteguhan jiwa Radite dapat digoncangkan oleh paras yang cantik,
akhirnya pusaka itu jatuh ke tangan iblis yang berbahaya ini. Demikianlah, maka
kini Mahesa Jenar harus berjuang mati-matian. Untunglah bahwa aji Alas Kobar
itu sudah tidak berpengaruh atas tubuhnya, sehingga ia dapat memusatkan daya
perlawanan terhadap pisau belati Pasingsingan itu. Ketika Pasingsingan sudah
siap, Mahesa Jenar segera melangkah maju. Dengan dada tengadah ia berjalan
perlahan-lahan, namun dengan penuh kepercayaan pada diri sendiri, penuh
kepercayaan pada kekuasaan Tuhan, bahwa pengabdiannya akan mendapat limpahan
perlindungan-Nya. Sebab iapun yakin bahwa setiap pengingkaran pada kebenaran,
bagaimanapun juga dipertahankan dan diperjuangkan oleh kekuatan apapun, namun
tak ada kekuatan yang mampu melawan hukum kebenaran dan keadilan yang
digoreskan oleh tangan Yang Maha Adil. Sekali lagi dada Pasingsingan bergetar
melihat sikap Mahesa Jenar. Tenang, namun meyakinkan. Dalam saat yang sekejap
itu melingkar-lingkarlah di dalam benak Pasingsingan, bayangan-bayangan dari
masa lampaunya dan gambaran dari masa idamannya, yang bergumul pula dengan
bayangan-bayangan Pasingsingan-Pasingsingan yang terdahulu, silih berganti.
Kemudian
sampailah ia pada suatu umpatan yang kotor terhadap Radite dan Anggara.
Kepadanyalah ia melimpahkan kesalahan, sebab Umbaran itu menyangka bahwa Mahesa
Jenar menjadi masak karena tangan mereka, untuk dijadikan alat membalas sakit
hatinya, sebab Radite sendiri terikat dengan suatu perjanjian yang tak akan
dilanggarnya. Apalagi ketika ia melihat Mahesa Jenar sama sekali tidak
terpengaruh oleh aji andalannya, Alas Kobar. Ketika ia sedang
menimbang-nimbang, tiba-tiba bersama dengan desir angin malam yang mengusap
daun-daun pepohonan, terdengarlah kembali telapak kaki kuda yang semakin lama
semakin dekat. Mahesa Jenar tersenyum mendengar telapak kaki kuda itu. Ia
percaya bahwa tak seorangpun dapat menghalangi perjalanan Kebo Kanigara. Kalau
orang itu cepat sebelum hantu itu pergi, maka ia mengharap akan dapat menangkap
Umbaran itu hidup-hidup. Ia ingin menyerahkannya kepada Pasingsingan tua, untuk
mendapat pengadilan.
PASINGSINGAN
melihat perubahan wajah Mahesa Jenar itu. Karena itu ia curiga. Ia tidak tahu
siapakah yang datang berkuda itu. Dengan penuh perhatian ia mencoba mengetahui,
kira-kira berapa orang yang akan datang pula ke tempat itu. Telinganya yang
tajam segera dapat mengetahui bahwa derap kuda itu tidak akan lebih dari lima
atau enam. Dengan demikian ia dapat mengira-ira kekuatan rombongan itu. Tetapi
karena otak Pasingsingan sedang terganggu oleh bayangan-bayangan yang
mencemaskan hatinya, bayangan bayangan Pasingsingan tua, Radite, dan Anggara,
maka tiba-tiba menjalarlah dugaannya kepada salah seorang dari mereka. Apakah
di dalam rombongan itu akan datang pula Radite atau Anggara? Atau malah
kedua-duanya…? Seandainya bukan mereka sekalipun, semakin banyak orang yang
harus dilawannya, semakin kecil pula kemungkinan yang dapat diperoleh untuk
memenangkan pertempuran ini. Sebab ia yakin bahwa seandainya ia pun pasti tidak
akan tinggal diam. Karena itu disamping Mahesa Jenar sendiri, kehadiran orang
lain di perkemahan itu akan dapat menambah kesulitan bagi Pasingsingan. Apalagi
kalau ia mengetahui, bahwa yang datang itu adalah seekor burung rajawali yang
perkasa, yang bahkan melampaui keperkasaan Mahesa Jenar, lawannya yang
mencemaskan hatinya itu. Karena itulah maka akhirnya dengan kecewa Pasingsingan
terpaksa melihat kenyataan-kenyataan itu. Sebagai seekor serigala yang ganas,
ia tidak mau mati di dalam kandang kelinci. Maka ketika didengarnya bahwa
telapak kuda itu dengan lajunya mendekati perkemahan itu, tiba-tiba
Pasingsingan menggeram keras sekali. Mahesa Jenar pun segera bersiap menghadapi
setiap kemungkinan. Matanya tidak bergeser dari ujung pisau belati Pasingsingan
yang berwarna kuning kemilau. Tetapi adalah diluar dugaannya, bahwa tiba-tiba
hantu berjubah abu-abu itu seperti terbang melontar mundur, dan dengan
kecepatan luar biasa ia memutar tubuhnya dan meluncur seperti dihembus badai.
No comments:
Post a Comment