NAMUN kepada anak itu sudah pasti Mahesa Jenar tidak bertanya demikian. Karena itu ia bertanya tentang obor dan gamelan yang sudah siap di lapangan itu. Katanya,
”Nak, ada
apakah dengan keramaian itu?”
”Itu bukan
keramaian,” jawabnya.
”Dahulu Paman
Reksadipa juga bertanya demikian. Gamelan itu memang setiap hari berada di
sana. Orang-orang sekarang sedang bersenang senang karena panenan kemarin
meskipun tidak memuaskan. Mereka setiap malam mengadakan tayub di lapangan
itu.”
”Di lapangan
terbuka…? Tiba-tiba Mahesa Jenar menyela.
”Ya,” jawab
anak itu.
”Setiap orang
boleh ikut. Kalau siang mereka mengadu ayam. Juga di tempat itu.”
”O….”
Tiba-tiba Mahesa Jenar mengeluh. Alangkah jauh kemunduran yang dialami oleh
tanah perdikan ini.
Meskipun
Kanigara tidak mengerti seluruh persoalan yang berputar di dalam kepala Mahesa
Jenar, namun sedikit banyak ia pun mengerti. Tayub setiap malam dan mengadu
ayam setiap hari adalah gejala-gejala kehancuran suatu daerah.
Ketika
beberapa lama Mahesa Jenar berdiam diri, berkatalah anak itu,
”Sudahlah
Paman, aku akan pulang. Hari telah malam.”
Anak itu tidak
menunggu jawaban Mahesa Jenar. Demikian ia selesai berbicara segera ia
menghambur ke dalam gelap. Di kelokan jalan, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
masih melihat anak itu singgah di sebuah warung untuk membeli sesuatu.
”Itulah
Kakang… gambaran Banyubiru saat ini. Suram dan mengerikan. Menyabung ayam di
siang hari dan tuak di malam hari,” kata Mahesa Jenar kepada Kebo Kanigara.
”Kesalahan
yang tak boleh dibiarkan lebih lama lagi,” jawab Kebo Kanigara.
Kemudian kedua
orang itu bersepakat untuk menyaksikan tari tayub yang sebentar lagi akan
diselenggarakan di lapangan itu. Ketika hari menjadi semakin gelap, di tanah
lapang itu menjadi semakin banyak orang. Beberapa orang niyaga pun telah
bersiap di belakang seperangkat gamelan. Sehingga sesaat kemudian suara gamelan
telah mulai mengalun, menggoncang kesepian malam, yang kemudian disusul dengan
suara waranggana memanjat tinggi. Namun terasalah bahwa suasananya bukanlah
suasana yang sopan. Sebentar kemudian ternyata bahwa memang demikianlah yang
terjadi. Beberapa orang lelaki segera muncul di gelanggang. Menari dan berdendang.
Sedang dari mulut mereka menyebar bau tuak. Disusul dengan munculnya beberapa
orang ledek di tengah-tengah arena itu. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara duduk
tidak seberapa jauh dari tempat itu. Namun mereka mencari tempat yang gelap,
dimana cahaya obor tidak menyentuhnya, karena bayang-bayang beberapa orang yang
berdiri menonton. Ketika malam menjadi semakin dalam, suasana di tengah tanah
lapang itu pun menjadi semakin riuh. Beberapa orang telah menjadi pening karena
mabok. Bahkan beberapa orang telah kehilangan kesadaran dan berbuat hal-hal
yang aneh-aneh di arena itu. Beberapa penari wanita yang telah terlatih
melayani mereka dengan baiknya, sehingga suasana di arena itu betul-betul
menjadi suasana gila-gilaan. Dalam keadaan yang demikian tidak mustahil kalau
sampai terjadi bentrokan-bentrokan dan perkelahian-perkelahian diantara mereka,
karena mereka telah kehilangan pengamatan diri.
Di tepi arena,
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara melihat beberapa orang yang sibuk berjualan. Apa
saja yang dapat mereka jual. Makanan, minuman dan tembakau. Mereka sama sekali
tidak menaruh perhatian pada suasana yang berlangsung di sekitarnya. Yang
penting bagi mereka adalah bahwa dagangan mereka laku, dan mereka mendapat uang
sebanyak-banyaknya. Para penjual yang terdiri laki-laki dan perempuan,
menghanyutkan diri saja dengan keadaan. Bersenda-gurau, berteriak-teriak
melayani orang-orang mabok atau kelelahan. Namun orang itu tak sempat
menghitung lagi berapa uang yang harus mereka bayarkan. Asal mereka menggenggam
uang logam, mereka lemparkan begitu saja kepada penjualnya, perempuan-perempuan
muda yang merajuk dengan manjanya. Tetapi tiba-tiba mata Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara sempat melihat seorang perempuan yang berdiri tegak agak di kejauhan.
Nampaknya ia ragu-ragu untuk mendekati tempat itu. Tetapi kemudian
perlahan-lahan ia melangkah maju. Ketika ia menjadi semakin dekat, dan seleret
sinar lampu para penjual menyambar wajahnya, tampaklah bahwa perempuan itu
memiliki ciri-ciri yang lain dari setiap perempuan yang berada di tanah lapang
itu. Wajahnya yang sayu pucat dan tubuhnya yang kekurus-kurusan, seolah-olah
mencerminkan perasaannya yang sedih. Ketika beberapa orang melihatnya, segera
mereka melemparkan pandangan mata mereka. Tetapi ada juga orang yang dengan
nada mengejek berteriak,
”Marilah Nyai.
Apakah yang kau cari…?”
Perempuan itu
tidak menjawab. Tetapi segera matanya memandang berkeliling, kepada hampir
semua orang yang berdiri di sekitar arena itu. Seakan-akan ia sedang mencari
seseorang diantara wajah-wajah itu.
”Anakmu tidak
berada di sini, Nyai,” teriak salah seorang, yang kemudian disusul dengan gelak
tawa.
”Carilah anak
itu di tengah rimba,” sambung suara yang lain.
”Mungkin ia
berada bersama bapaknya.” Kembali terdengar suara bergelak-gelak.
Perempuan itu
masih berdiam diri, berdiri seperti patung. Namun dengan demikian Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara dapat memandangnya lebih jelas. Dari sinar matanya, mereka
dapat menduga bahwa karena sesuatu penderitaan, orang itu agaknya menjadi agak
terganggu kesadarannya. Meskipun tidak begitu berat. Ketika kemudian dilihatnya
dari mata perempuan itu menitik butiran-butiran air. Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara menjadi yakin bahwa sesuatu benar-benar telah menghimpit perasaannya.
Ternyata mereka tidak perlu terlalu lama berteka-teki ketika terdengar seorang
laki-laki berkata dengan kasarnya,
“Suamimu tak
berani pulang, Nyai. Demikianlah hukuman bagi pemberontak. Dan bayimu yang mati
itu tidak akan bisa hidup lagi. Apalagi ikut bersenang-senang bersama kami
sekarang, tak ada tempat bagi laki-laki semacam suamimu itu.”
Air mata di
wajah perempuan itu menjadi semakin deras. Agaknya ia dapat mengerti, bahwa
suaminya tidak berada di tempat itu.
Kemudian
terdengarlah suara lain yang bertanya,
“Siapakah
dia?”
“Istri
Penjawi,” jawab suara yang lain lagi.
“O, karena
itulah ia masih muda dan cantik,” sahut suara yang pertama.
“Kalau begitu
kenapa tidak saja ia kau ajak menari…?”
“Tidak mau. Ia
baru saja kematian bayinya. Mungkin dua tiga hari lagi,” sahut suara lain yang
disusul dengan gelak tertawa orang banyak.
Diantara suara
yang riuh, di sela-sela suara gamelan yang semakin menggila itu tiba-tiba
terdengarlah suara yang berat mengatasi yang lain. Katanya,
“Aku tidak
percaya kalau ia tidak mau. Ataupun kalau ia tidak mau, seret saja ia ke
arena.”
Oleh suara
yang berat itu, tiba-tiba semua terdiam. Dan semua mata memandang ke arah suara
itu. Seorang yang tinggi besar dan berwajah kasar berdiri bertolak pinggang di
pinggir arena. Sedang bola matanya dengan tajam memandang istri Penjawi itu
seperti hendak meloncat dari kepalanya. Sambungnya,
“Ternyata
ledek Banyubiru tak ada yang secantik ledek-ledek dari Pamingit. Dan perempuan
itu agaknya akan bisa setidak-tidaknya menyamainya.”
Orang yang
berwajah kasar itu maju beberapa langkah ke arah perempuan muda yang disebut
istri Penjawi, yang kemudian menjadi ketakutan. Apalagi ketika orang itu
meneruskan kata-katanya.
“Sayang bahwa
wajah yang cantik itu tidak mendapat pemeliharaan.”
Ketika orang
yang tinggi besar dan berwajah kasar itu melangkah terus, keadaan segera
menjadi tegang. Tetapi beberapa orang yang mabok mulai tertawa-tawa kembali dan
menganggp bahwa apa yang akan terjadi merupakan suatu tontonan yang
menyenangkan. Namun beberapa orang lain, yang kepalanya juga sudah mulai
pening-pening, segera merasa tersinggung. Bahkan seorang yang sudah setengah
mabuk berteriak,
“Hei, monyet
dari Pamingit. Jangan ganggu orang Banyubiru. Aku sendiri sudah lama jatuh
cinta kepadanya. Tetapi aku tidak mendapat kesempatan. Nah, sekarang suaminya
mungkin sudah mampus ditelan macan. Karena itu, perempuan itu akan aku ambil
sebagai istriku yang muda.”
Orang yang
bertubuh tinggi besar itu menoleh. Dilihatnya seseorang yang bertubuh sedang,
namun kokoh kuat seperti orang hutan berjalan mendekatinya. Tampak bibir orang
Pamingit itu bergerak-gerak mengejek. Kemudian terdengar ia menjawab,
“Jangan
terlalu kasar berkelakar sahabat. Orang Banyubiru harus menghormati orang-orang
Pamingit. Sebab Banyubiru sekarang berada di bawah pemerintahan Pamingit. Kalau
kau tidak mau mati, jangan ganggu aku. Biarkan orang Pamingit berbuat sesuka
hatinya. Bahkan istrimu pun kalau aku kehendaki harus kau serahkan.”
Mata orang
Banyubiru yang kokoh kuat itu segera menyala marah. Dengan membentak-bentak ia
menjawab,
“Jangan banyak
mulut. Pergi atau kau akan segera jadi bangkai.”
Pertunjukan
itu segera terhenti karena ribut-ribut yang terjadi. Beberapa ledek yang sedang
menari-nari dengan tenangnya berjalan ke tengah-tengah jajaran gamelan dan
duduk diantara para niyaga. Mereka sama sekali tidak menunjukkan perasaan cemas
atau takut. Hal yang demikian sudah sering terjadi. Tetapi ketika mereka
mendengar bahwa pertengkaran itu terjadi antara orang Pamingit dan Banyubiru,
perhatian mereka agaknya tertarik juga.
Salah seorang
ledek dengan memanjangkan lehernya, berusaha melihat mereka yang bertengkar,
lalu bertanya,
“Siapakah yang
bertengkar?”
Terdengarlah
seorang niyaga menjawab,
“Jiwala dengan
orang Pamingit.”
Ketika ledek
itu berhasil melihat orang Pamingit yang tinggi besar berwajah kasar itu, ia
tertawa sambil menyubit kawannya. “Hei, agaknya Si Saraban yang bertengkar
dengan Jiwala. Apakah kau tidak membantunya…?”
“Peduli apa?”
jawab kawannya, seorang ledek yang berhidung pesek.
“Kemarin ia
sanggup memberi aku uang, tetapi sampai sekarang ia tidak menepati janjinya.”
Sekali lagi
mereka menjengukkan kepalanya. Lalu dengan mengerutkan keningnya, ledek yang
berhidung pesek itu berkata,
“Gila.
Bukankah mereka mempertengkarkan istri Penjawi itu?”
Sekali lagi
kawannya mencubitnya sambil tertawa.
“He, kau
agaknya mendapat saingan. Kalau Saraban menang, kaulah yang harus berkelahi
melawan istri Penjawi itu.”
Kawannya tidak
menjawab, tetapi ia semakin merengut.
Mendengar
percakapan itu Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terpaksa menahan nafas. Tetapi
hatinya mengeluh. Sampai sedemkian jauh orang-orang Banyubiru terperosok ke dalam
jurang yang mengerikan. Dalam pada itu, orang Banyubiru yang bernama Jiwala
itupun sudah berdiri di hadapan Saraban. Dengan bertolak pinggang ia memandang
orang Pamingit itu dari ujung rambut sampai ke ujung kakinya. Sedang orang
Pamingit itu mengawasinya dengan marah. Tetapi sebentar-sebentar mereka berdua
terpaksa menengok ke arah perempuan yang kekurus-kurusan dan berdiri dengan
gemetar di pinggir tanah lapang itu. Ternyata sedemikian ketakutan, sampai
istri Penjawi itu tidak tahu apa yang harus dilakukan. Sekali lagi Saraban
membentak,
“Pergi. Jangan
halang-halangi aku.”
JIWALA tidak
menjawab, tetapi dengan tangkasnya ia menyerang perut Saraban. Namun agaknya
Sarabanpun bukan orang yang dapat diremehkan. Demikian tangan Jiwala terulur ke
arah perutnya, dengan cepatnya ia memiringkan tubuhnya dan sekaligus kakinya
menyambar dada lawannya. Jiwala yang sedang mabuk itu tidak sempat
menghindarkan dirinya, sehingga terasa kaki orang yang bertubuh tinggi besar
itu mendorong tubuhnya kuat-kuat. Ia terlempar beberapa langkah dan jatuh
berguling. Agaknya tendangan orang Pamingit itu cukup keras, karena ternyata
setelah bersusah payah berusaha barulah Jiwala dapat bangun. Namun ia sudah
tidak berani lagi mendekati orang Pamingit yang bernama Saraban itu. Melihat
geraknya, segera Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tahu, bahwa orang Pamingit itu
bukan lawan Jiwala. Menurut dugaan mereka, Saraban pasti termasuk orang yang
cukup baik kedudukannya, bahkan mungkin ia adalah salah seorang pimpinan laskar
Pamingit. Perkelahian itu hanya berlangsung beberapa saat saja. Sebab ketika
Jiwala tidak berani lagi mendekati lawannya, tak seorangpun lagi yang
mengganggu Saraban. Bahkan tiba-tiba terdengar seseorang berbisik.
“Salah Jiwala
sendiri, kenapa ia melawan orang itu. Bukankah ia pengawal Ki Ageng Lembu
Sora?”
Mendengar
bisikan itu, dada Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara berdesir. Tentulah orang
Banyubiru itu tidak akan dapat mengalahkannya. Kemudian terdengarlah orang lain
berbisik pula,
“Kalau Jiwala
tidak sedang mabok, tentu ia tidak berani berbuat demikian.”
Ternyata
Saraban kemudian akan dapat berbuat sekehendak hatinya. Kembali dengan wajah
yang menakutkan, ia memandang istri Penjawi yang berdiri gemetar. Ternyata ia
benar-benar menjadi ketakutan dan kehilangan akal, sehingga ia sama sekali
tidak berpikir untuk melarikan diri. Mula-mula ia mengharap bahwa ada orang
yang menolongnya, tetapi dengan jatuhnya Jiwala, harapannya menjadi lenyap.
Mula-mula Saraban itu masih memandang berkeliling. Agaknya ia masih mencari
lawan untuk menunjukkan kekuatannya. Ketika tak seorangpun yang berani
mengganggu lagi, barulah setapak demi setapak ia mendekat. Nyi Penjawi menjadi
semakin ketakutan. Setapak ia mundur, tetapi dua tapak Saraban melangkah maju,
sehingga jarak mereka menjadi semakin dekat. Beberapa orang yang semula
tertawa-tawa kini menjadi terdiam. Bagaimanapun juga, di dalam sudut hati
mereka yang paling dalam, tersirat juga rasa kasihan. Kasihan kepada istri
Penjawi yang sedang ditinggal suaminya menyingkir, karena Lembu Sora akan membinasakannya.
Ditambah lagi, baru beberapa minggu ia kehilangan bayinya. Sekarang tiba-tiba
seorang laki-laki berwajah kasar, dengan rakusnya ingin merampas kecantikannya.
Apalagi orang itu adalah orang Pamingit. Tetapi tak seorangpun yang berani berbuat
sesuatu. Sebab tak seorangpun yang merasa mampu mengalahkan Saraban. Sedang
untuk maju bersama-sama pun mereka tidak berani. Sebab dengan demikian,
orang-orang Pamingit pasti akan beramai-ramai menyerang mereka. Meskipun
sebenarnya mereka tidak bersalah, karena melindungi seseorang yang diperlakukan
tidak adil, namun orang Pamingit dapat saja membuat alasan-alasan.
Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara menyaksikan semua peristiwa itu dengan wajah yang tegang.
Ketika Saraban tinggal beberapa langkah saja jaraknya dari Nyi Penjawi, Mahesa
Jenar tidak dapat membiarkan hal yang kotor itu berlangsung. Tetapi ketika ia
sudah bergerak, terasa Kebo Kanigara menggamitnya sambil berbisik,
“Duduklah
Mahesa Jenar. Biarlah aku selesaikan masalah ini. Sebab belum ada di antara
mereka yang mengenal aku. Sedang kau agaknya telah dikenal oleh beberapa orang
di sini.”
Mendengar
bisikan Kebo Kanigara, Mahesa Jenar mengurungkan niatnya. Ia membiarkan Kebo
Kanigara perlahan-lahan berdiri. Tetapi ketika selangkah ia maju, mereka bersama
dikejutkan oleh sebuah suara yang berat parau dari kegelapan di belakang
perempuan yang kekurus-kurusan itu. Katanya,
“Saraban,
jangan berlagak jantan sendiri. Orang Banyubiru tidak semuanya berjiwa betina.
Cobalah kau maju selangkah lagi, namamu akan terhapus dari deretan nama-nama
pengawal Lembu Sora. Dan bangkaimu akan dikubur dengan segala macam kutuk dan
caci.”
Saraban
ternyata terkejut juga mendengar suara itu. Dengan tidak disadarinya sendiri,
ia menghentikan langkahnya. Matanya yang liar dibukanya lebar-lebar untuk
mengetahui, siapakah yang dengan sombong mencoba menghalang-halangi niatnya.
Dalam pada itu, dari dalam gelap, muncullah sebuah bayang-bayang, yang dengan
tetap melangkah maju. Sesaat kemudian tampaklah di bawah cahaya lampu yang samar,
seorang laki-laki dengan mata yang menyala-nyala karena marah, berdiri diantara
laki-laki yang bernama Saraban dengan perempuan yang kekurus-kurusan, yang
sedang meneteskan air mata putus asa. Orang itu tidak setinggi dan sebesar
Saraban. Namun tubuhnya tampak kuat seperti baja.
Ketika Saraban
mengenal wajah orang itu, ia menggeram. Dan bersamaan dengan itu terdengar
Mahesa Jenar berdesis sambil berdiri karena terkejut,
“Bantaran….”
“Bantaran….”
ulang Kebo Kanigara yang terpaksa menghentikan langkahnya.
“Siapakah
dia?”
“Salah seorang
kepercayaan Ki Ageng Gajah Sora yang bersama-sama dengan Penjawi terpaksa
menyingkir dari Banyibiru.”
“Kalau
begitu…” sahut Kanigara,
“Aku tak perlu
mengganggunya.”
“Aku kira
demikian,” jawab Mahesa Jenar.
Dengan
demikian Kanigara mengurungkan langkahnya, tetapi mereka mencari tempat untuk
menyaksikan peristiwa yang mendebarkan hati itu.
SEKALI lagi
tangan Bantaran terayun deras sekali. Namun agaknya Saraban melihat arah
sambaran tangan lawannya. Dengan sisa tenaganya ia menghindar ke samping.
Dengan demikian serangan Bantaran tidak mengenai sasarannya. Bahkan tubuhnya
terbawa beberapa langkah maju, terseret oleh ayunan tangannya. Saraban melihat
kesempatan itu. Dengan sekuat tenaga yang masih ada ia memukul tengkuk Bantaran.
Namun Bantaran yang masih segar ternyata sudah dapat memperbaiki kedudukannya
menghadapi serangan itu. Demikian tangan Saraban terjulur, dengan kecepatan
kilat tangan itu ditangkapnya sambil memutar tubuhnya dan merendahkan diri.
Bantaran menjangkau kepala Saraban dari atas pundaknya. Dengan menghentakkan
kekuatan. Bantaran menarik orang Pamingit yang bertubuh besar itu, sehingga
melontar dengan kerasnya, dengan kaki terputar ke atas. Kemudian dengan
gemuruhnya tubuh Saraban terbanting di tanah. Semua orang yang menyaksikan
kesudahan dari perkelahian itu menahan nafasnya. Meskipun orang-orang Banyubiru
menjadi cemas atas peristiwa itu, namun mereka di dalam hatinya bangga juga
atas keunggulan orang Banyubiru atas orang Pamingit.
Bantaran yang
telah berhasil menjatuhkan lawannya, berdiri dengan tegap di depan tubuh
Saraban yang sudah tak berdaya lagi untuk bangkit. Sekali lagi ia memandang
berkeliling, ke arah wajah-wajah orang Banyubiru yang berdiri di sekitar tempat
perkelahian itu. Dan sekali lagi wajah-wajah orang Banyubiru itu terbanting di
tanah yang ditumbuhi rumput dengan suburnya. Dalam pada itu terdengarlah suara
Bantaran parau,
“Saudara-saudaraku,
rakyat Banyubiru. Aku menyesal atas semua yang telah terjadi di tanah perdikan
ini. Kalian ternyata telah terbius oleh pemanjaan nafsu yang tak terkendali.
Tetapi dengan peristiwa ini, kalian tidak akan dapat untuk seterusnya berpangku
tangan. Sebab kawan-kawan orang Pamingit itu tidak akan tinggal diam. Dan
akibatnya akan dapat kalian rasakan. Untuk seterusnya kalian hanya dapat
memilih, menangkap aku, lalu menyerahkan kepada Lembu Sora, yang dengan
demikian kalian akan bebas dari pembalasan dendam, atau bangkit melawan
kekuasaan Pamingit atas tanah kita sambil menunggu kehadiran pemimpin kita Ki
Ageng Gajah Sora atau putranya Arya Salaka.”
Tak seorangpun
yang menyatakan pendapatnya. Dan memang demikianlah perasaan mereka yang
mendengar kata-kata Bantaran. Sebagian diantara mereka menjadi malu atas
kelakuan mereka, tetapi memang ada juga diantaranya yang di dalam hatinya
mengumpati Bantaran. Sebab dengan perbuatannya itu, pastilah akan terjadi
hal-hal yang sama sekali tak dikehendaki. Orang-orang Pamingit pasti akan
datang ke tempat itu dan mengaduknya. Menangkapi orang-orang yang dicurigainya,
memukuli mereka tanpa alasan untuk melampiaskan dendam mereka. Belum lagi gema
suara Bantaran itu lenyap, tiba-tiba terdengarlah derap beberapa ekor kuda
dengan kencangnya menuju ke tanah lapang itu. Mendengar derap yang berdatangan
Bantaran tampak terkejut. Segera ia tahu apakah yang sebentar lagi akan
terjadi. Meskipun demikian ia tetap tenang. Dan dengan tenang pula ia berkata
lantang,
“Rupa-rupanya
ada juga pengkhianat-pengkhianat di Banyubiru ini. Dan agaknya mereka telah
melaporkan kehadiranku.”
Orang-orang
yang berdiri di tanah lapang itu segera menjadi gelisah. Beberapa orang telah
bersiap untuk melarikan diri. Tetapi mereka sama sekali tidak mendapat
kesempatan. Sebab dalam waktu yang sangat singkat, beberapa orang berkuda telah
datang dan langsung mengepung tanah lapang itu di empat penjuru.
Bantaran masih
dalam sikapnya yang tenang, memandang berkeliling. Kepada kira-kira
sepuluh-duabelas orang yang masih berada di atas punggung kuda mereka. Wajah
para penunggang kuda itu tampak garang-garang, sedang di tangan mereka
masing-masing tergenggam senjata. Ada yang berupa tombak, pedang atau
macam-macam senjata yang lain. Dua orang diantara mereka, mendorong kuda mereka
agak ke depan. Rupa-rupanya dua orang itu adalah pemimpin rombongan. Salah
seorang daripadanya terdengar berteriak dengan suara yang nyaring,
“Hai
orang-orang Banyubiru yang tak tahu diri. Katakanlah kepada kami, siapakah
diantara kalian yang bernama Bantaran.”
Bantaran masih
tegak di tempatnya. Tetapi karena kekacauan yang timbul, karena beberapa orang
yang ingin melarikan diri, maka di sekitarnyapun telah berdiri beberapa orang
dengan tubuh gemetar sehingga orang-orang berkuda itu tidak segera dapat
melihat tubuh Saraban yang terkapar di tanah. Suara pemimpin rombongan berkuda
yang bergeletar memenuhi tanah lapang itu untuk beberapa lama tidak mendapat
jawaban. Karena itu ia mengulangi,
“Ayo…
katakanlah kepada kami, siapakah diantara kalian yang bernama Bantaran. Kalau
tidak ada diantara kalian yang mau menunjuk batang hidungnya, maka semuanya
yang berada di tanah lapang ini akan kami bawa. Sesudah itu janganlah kalian
mengharap untuk bertemu kembali dengan anak istri kalian.” Bantaran menarik
nafas dalam-dalam sambil menekan dadanya. Sudah tentu ia tidak menghendaki
sekian banyak orang menjadi korban untuk dirinya. Meskipun demikian sekali dua
kali tampaklah ia menoleh ke arah Nyi Penjawi yang berdiri tidak jauh di
belakangnya.
AGAKNYA, Nyi
Penjawi itulah yang memberati hati Bantaran. Sebagai seorang sahabat Penjawi,
ia tidak akan tega melihat nama perempuan itu dinodai. Sebelum Bantaran
mengambil suatu sikap, tiba-tiba seorang diantara dua orang berkuda itu
meloncat turun dan menyambar baju orang yang bertubuh sedang tetapi tampak
otot-ototnya menonjol seperti orang hutan. Sambil membentak-bentak orang itu
bertanya,
“Siapa
namamu…?”
Dengan
tergagap orang yang masih agak mabok itu menjawab,
“Gonjang,
Tuan.”
“Kenalkah kau
dengan orang yang bernama Bantaran?” tanya orang Pamingit seterusnya.
Untuk beberapa
saat Gonjang berdiam diri. Namun tiba-tiba terdengarlah jawabannya di luar
dugaan. Orang yang suka mabok dan berbuat tidak sepantasnya itu ternyata
memiliki kesetiakawanan yang tinggi. Sebagai orang Banyubiru ia merasa
berkewajiban melindungi Bantaran. Karena itu jawabnya,
“Kenal Tuan.
Aku kenal betul dengan orang itu.”
“Nah kalau
begitu tunjukkanlah orangnya kepada kami,” desak orang Pamingit itu.
Kemudian
terdengarlah jawabnya yang mengejutkan hati orang-orang di tanah lapang itu.
“Sudah sejak
berbulan-bulan ia tidak pernah menampakkan dirinya, Tuan. Karena itu aku tidak
dapat menunjukkannya kepada Tuan.”
Tiba-tiba mata
orang Pamingit itu seolah-olah akan meloncat dari batok kepalanya. Ternyata
jawaban itu sama sekali tidak diduganya. Karena itu ia menjadi marah sekali.
Ketika tangannya yang memegang baju Gonjang diguncang-guncangkan, Gonjang pun
ikut terguncang seperti sebatang pohon yang diputar-putar badai. Sambil
membentak-bentak lebih kasar orang Pamingit itu sekali lagi bertanya,
“Ayo
katakanlah kepada kami, yang mana diantara kalian yang bernama Bantaran.”
“Betul Tuan…
ia tidak berada di sini sekarang,” jawab Gonjang tergagap.
“Bohong!”
bentak orang Pamingit itu.
“Aku mendapat
laporan bahwa ia berada di tanah lapang ini sekarang.”
“Nah, kenapa
Tuan tidak bertanya kepada orang yang melaporkan itu saja…?” sahut Gonjang.
Orang Pamingit
itu tidak menjawab lagi. Tetapi sebuah pukulan yang keras melayang ke wajah
Gonjang. Dengan kerasnya orang itu terdorong ke belakang, dan kemudian terjatuh
dengan kerasnya. Terdengarlah ia mengerang kesakitan. Namun meskipun demikian
ia tidak juga menunjukkan siapakah diantara mereka yang bernama Bantaran.
Ternyata Gonjang adalah orang yang cerdik. Ia telah mencoba memancing orang
Pamingit itu untuk menunjukkan kepada orang-orang Banyubiru, siapakah yang
sebenarnya tidak berkhianat. Namun agaknya orang Pamingit itu pun telah
berjanji untuk melindungi pengkhianat itu, sehingga orang itu tidak dibawanya
serta.
Bantaran yang
menyaksikan peristiwa itu, hatinya menjadi berdebar-debar. Ia menjadi bimbang,
justru karena ia sedang berusaha untuk melindungi istri Penjawi. Kalau saat itu
ia dapat ditangkap, maka bila Saraban nanti sadar kembali, nasib istri Penjawi
itupun sudah dapat dibayangkan. Sebab untuk melawan sepuluh orang berkuda itu
agaknya di luar kemampuannya.
Bantaran hampir
mengenal satu demi satu orang-orang Pamingit yang akan menangkapnya. Temu
Ireng, Talang Semut, Dadahan, dan orang-orang setingkatnya. Seandainya tak
seorang diantara orang Banyubiru yang mau menunjukkannya, namun kalau
orang-orang Pamingit itu meneliti satu demi satu orang yang berada di tanah
lapang itu, meskipun makan waktu lama, akhirnya dirinya akan diketemukan juga.
Sebab orang-orang Pamingit itu pun telah mengenalnya seperti ia mengenal
mereka. Belum lagi Bantaran mendapat suatu cara yang sebaik-baiknya, orang
Pamingit itu telah menangkap seorang lagi. Seorang muda yang berwajah tampan,
berkumis sebesar lidi. Pakaiannya terbuat dari kain lurik yang mahal. Tetapi
demikian ia diseret ke depan, tubuhnya tiba-tiba serasa lumpuh. Dan ketika
orang Pamingit itu membentaknya, ia menjadi pingsan. Akhirnya Bantaran
mengambil suatu ketetapan untuk menyatakan dirinya di hadapan orang-orang
Pamingit itu sebelum jatuh korban lebih banyak lagi. Ia akan mencoba melawan
dan menimbulkan kekacauan, sementara itu ia berharap Nyi Penjawi sempat
melarikan diri. Tetapi ketika Bantaran bermaksud membisiki Nyi Penjawi tentang
maksudnya itu, tiba-tiba diantara sekian banyak orang yang berdiri di tanah
lapang itu muncullah seseorang yang bertubuh sedang, tegap dan berdada bidang.
dengan suara yang berat namun penuh wibawa ia berkata nyaring,
“Hai,
orang-orang Pamingit…. Inilah Bantaran.”
Semua yang
berada di tanah lapang terkejut mendengar pengakuan itu. Untuk sesaat kembali
tanah lapang itu menjadi hening sunyi. Sesunyi tanah pekuburan.
Tetapi dalam
pada itu semua mata bergerak ke arah seorang yang berjalan perlahan-lahan namun
pasti, menyibak orang-orang yang berada di depannya, menuju ke arah dua orang
yang agaknya memimpin rombongan orang-orang Pamingit itu. Ketika mereka melihat
orang itu, sekali lagi mereka terkejut. Dan yang lebih terkejut adalah Bantaran
sendiri. Orang-orang Banyubiru menjadi bertanya-tanya di dalam hati, siapakah
orang yang telah dengan beraninya menamakan dirinya Bantaran di hadapan sepuluh
orang Pamingit yang garang-garang itu…?
Sesaat
kemudian Bantaran menjadi sadar, bahwa seseorang telah mencoba melindunginya.
Namun orang itu belum pernah dilihatnya.
“Nyai…” bisik
Bantaran kepada Nyi Penjawi,
“Adakah ia
orang baru…?”
Nyai Penjawi
menggelengkan kepalanya.
“Aku belum
pernah melihatnya, Kakang.”
BANTARAN
menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba menebak, siapakah orang yang telah
mencoba menyelamatkan dirinya itu. Tetapi tiba-tiba ia menjadi cemas atas
keselamatan orang itu. Dua orang pemimpin rombongan orang-orang Pamingit itu
bukanlah orang yang dapat diajak berbicara. Mereka adalah Temu Ireng dan Talang
Semut. Dua orang yang lebih suka mempergunakan tangannya daripada mulutnya.
Apalagi pengakuan orang itu hanya akan mendatangkan bencana saja baginya. Sebab
orang yang bernamaTemu Ireng dan Talang Semut itu telah mengenal siapakah orang
yang bernama Bantaran, sehingga pengorbanannya akan menjadi sia-sia. Sebab
akhirnya mereka masih akan mencari orang yang dikehendakinya. Karena itu
Bantaran ingin meloncat maju untuk mencegah pengorbanan yang dianggapnya akan
sia-sia saja. Tetapi ketika ia sudah bersiap untuk meloncat dan berteriak,
tiba-tiba seseorang menggamitnya. Ketika ia menoleh, ia terperanjat bukan
kepalang, sampai ia tergeser dari tempatnya. Demikian terperanjatnya Bantaran,
sampai beberapa saat ia tak dapat berkata-kata. Baru setelah debar jantungnya
berkurang, terdengarlah ia berdesis,
“Tuan…
Bukankah Tuan….”
“Ssst… jangan
kau sebut nama itu,” potong orang yang menggamitnya. Bantaran mengangguk angguk
cepat. Namun ia masih agak bingung menanggapi kehadiran orang yang sama sekali
tak disangka-sangka itu.
“Tuan…”
sambungnya sambil tergagap,
“Kenapa Tuan
tiba-tiba saja berada di tempat ini…?”
Orang itu,
yang tak lain adalah Mahesa Jenar, tersenyum lebar.
“Bantaran…
ketika sepuluh orang berkuda itu datang, kau agaknya tetap tenang. Tetapi
ketika kau lihat aku, kau menjadi kebingungan.”
Bantaran
mencoba memperbaiki jalan nafasnya sambil menjawab,
“Sebab bagiku
kehadiran Tuan lebih berkesan di hati, daripada monyet-monyet dari Pamingit
itu.”
Sekali lagi
Mahesa Jenar tertawa kecil. Kemudian katanya memperingatkan Bantaran pada
keadaannya kini,
“Apalagi
orang-orang Pamingit itu akan menangkap kau.”
Bantaran
tersadar akan bahaya yang mengancam. Tetapi bersamaan dengan itu kembali ia
teringat kepada orang aneh yang mengaku dirinya Bantaran itu. Karena di
sampingnya sekarang ada Mahesa Jenar maka disampaikannya keheranannya itu
kepadanya.
“Tuan, aku
menjadi heran, ketika seseorang mengaku bernama Bantaran, dan dengan beraninya
menghadapi Temu Ireng.”
Mahesa Jenar
dan Bantaran bersama-sama mengangkat wajah, memandang ke arah orang yang
menamakan dirinya Bantaran, yang sekarang telah dekat benar dengan Temu Ireng
dan Talang Semut. Terdengar Bantaran meneruskan,
“Agaknya orang
itu belum mengenal siapakah mereka berdua, ditambah dengan delapan orang
lainnya.”
“Jangan
risaukan orang itu,” sahut Mahesa Jenar.
Bantara
menoleh sambil mengerutkan keningnya.
“Kenalkah Tuan
dengan orang itu?”
Mahesa Jenar
mengangguk, tetapi ia masih tetap memandang kepada orang yang menamakan diri
Bantaran, yang sekarang sudah berdiri tepat di hadapan Temu Ireng.
“Siapakah
dia…?” desak Bantaran.
“Paman
guruku,” jawab Mahesa Jenar singkat.
“O….” Suara
Bantaran seolah-olah terpotong di kerongkongan. Baru kemudian ia meneruskan,
“Alangkah
bodohnya aku. Kalau demikian sepuluh orang itu sama sekali tidak akan berarti.”
Mahesa Jenar
tidak sempat memperhatikan kata-kata Bantaran, sebab pada saat itu ia melihat
Temu Ireng melangkah maju. Kemudian terdengarlah suaranya mengguntur,
“Kaukah yang
bernama Bantaran…?”
Orang yang
bediri di hadapannya, yang sebenarnya adalah Kebo Kanigara, menjawab dengan
tenangnya,
“Ya, akulah
Bantaran.”
Sekali lagi
temu Ireng memandang orang yang berdiri di hadapannya itu tanpa berkedip.
Kemudian terdengarlah ia tertawa terbahak-bahak, tertawa untuk menegaskan
kemarahannya yang hampir memecahkan dadanya. Dan ketika suara tertawa itu
tiba-tiba terhenti, terdengarlah ia berkata dengan kerasnya kepada kawannya
yang masih berada di atas kudanya.
“Hai… Adi
Talang Semut, agaknya mataku telah rusak. Coba katakan kepadaku, adakah orang
ini Bantaran…?”
Orang-orang
yang berada di tanah lapang itu hatinya menjadi tegang. Mereka sama sekali
belum pernah mengenal orang aneh yang mengumpankan dirinya itu. Tetapi
disamping itu, orang-orang yang mula-mula mengumpati Bantaran di dalam hati,
menjadi malu. Kalau orang yang belum mereka kenal saja bersedia melindungi
pemimpin Banyubiru itu, bukankah kewajiban orang Banyubiru sendiri untuk berbuat
lebih banyak lagi?
Talang Semut
tidak kalah marahnya. Ia mendorong kudanya maju mendekati Kebo Kanigara.
Semakin dekat ia dengan Kanigara, semakin teganglah setiap wajah yang
menyaksikan peristiwa itu. Tidak pula kalah tegangnya wajah Bantaran. Bahkan
sampai ia menggigit bibirnya sendiri. Talang Semut ternyata tidak menjawab
pertanyaan Temu Ireng dengan kata-kata. Sedemikian marahnya ia, karena ia
merasa dipermainkan oleh orang yang belum dikenalnya, yang disangkannya juga
orang Banyubiru yang ingin melindungi pemimpinnya, sehingga Talang Semut merasa
tidak perlu bertanya-tanya lagi. Maka ketika kudanya telah dekat benar dengan
tubuh Kebo Kanigara, diangkatnya cambuknya tinggi-tinggi sambil menggeram
keras. Cambuk itu sekali menggeletar di udara, dan seterusnya dengan derasnya
menyambar tengkuk Kebo Kanigara. Hampir semua orang yang menyaksikan peristiwa
itu seakan-akan berhenti bernafas.
TALANG SEMUT
bagi orang Banyubiru tak ubahnya seperti hantu peminum darah. Sekali ia turun
tangan, maka hampir dapat dipastikan bahwa korbannya tak akan dapat lagi
melihat matahari terbit. Mereka menyangka bahwa orang yang mengaku bernama
Bantaran itu akan menjadi korban kemarahan Talang Semut. Tetapi sekejap
kemudian, dada mereka terguncang menyaksikan akibat perbuatan Talang Semut.
Bahkan beberapa orang menjadi tak begitu percaya kepada mata mereka. Sebab apa
yang mereka saksikan sama sekali diluar dugaan mereka. Ketika cambuk itu
melayang ke arah tubuhnya, Kebo Kanigara meloncat dengan tangkasnya, menangkap
tangkai cambuk itu. Dengan keras sekali ia menariknya. Tetapi agaknya Talang
Semut memegang cambuk itu sedemikian eratnya, sehingga cambuk itu tak terlepas
dari tangannya. Tetapi ternyata kekuatan Talang Semut bukanlah tandingan Kebo
Kanigara, sehingga ketika Kanigara menariknya lebih keras lagi, tubuh Talang
Semutlah yang ikut terseret dari kudanya. Karena Talang Semut tidak menduga,
maka untuk sesaat ia kehilangan akal.
Ketika ia
sadar, tangan Kebo Kanigara telah memegang bagian depan bajunya sedemikian
erat, dan sebuah pukulan melayang tepat ke arah pelipisnya. Semuanya itu
berlangsung sedemikian cepatnya sehingga Talang Semut tidak mempunyai
kesempatan sama sekali untuk membela diri. Yang terjadi kemudian adalah
pelipisnya seolah-olah membentur dinding baja. Begitu kerasnya sehingga
tiba-tiba saja matanya menjadi berkunang-kunang. Sesaat kemudian ia sama sekali
tidak sadarkan diri, dan tubuhnya yang sudah tak berdaya itu jatuh terkulai di
tanah. Pingsan.
Temu Ireng
melihat peristiwa itu terjadi di depan hidungnya. tetapi ia seolah-olah
terpukau oleh suatu kekuatan gaib. Bermimpi pun ia tidak. Bahwa ada orang yang
dapat sedemikian mudahnya mengalahkan Talang Semut. Yang pernah didengar Temu
Ireng adalah, orang yang paling sakti di Banyubiru adalah Ki Ageng Sora Dipayana.
Dan orang yang telah melakukan suatu keajaiban itu adalah seorang yang masih
terhitung muda. Tiba-tiba Temu Ireng sampai pada suatu kesimpulan bahwa hal itu
terjadi atas kesalahan Talang Semut sendiri. Sebab agaknya ia kurang
berhati-hati. Dengan demikian ia kehilangan kesiagaan diri. Karena itulah
kemudian dengan menggeram Temu Ireng mencabut goloknya, dan dengan berteriak
keras ia langsung menyerang Kebo Kanigara. Dadahan beserta kawan-kawannya telah
menyaksikan bagaimana Talang Semut dijatuhkan oleh orang yang mengaku bernama
Bantaran. Karena itu mereka tidak mau membiarkan Temu Ireng bertempur seorang
diri, mereka beramai-ramai menyerang Kebo Kanigara. Namun Kebo Kanigara adalah
seorang yang hampir sempurna dalam ilmunya. Ilmu tata berkelahi dari keturunan
ilmu perguruan Pengging. Karena itu, meskipun kemudian empat orang menyerangnya
bersama-sama dari atas punggung kuda, namun ia sama sekali tidak gugup. Bahkan
kemudian dengan lincahnya ia menyambut setiap serangan yang datang.
Terjadilah
suatu pertempuran yang ribut. Empat orang berkuda bertempur melawan seorang
yang meloncat-loncat dengan lincahnya diantara derap kaki kuda. Bahkan kemudian
keempat penunggang kuda itu kadang-kadang menjadi bingung, karena kuda-kuda
mereka saling melanggar. Sesekali kalau Kebo Kanigara sempat, ditusukkanlah
jari-jarinya yang kuat itu ke perut salah satu kuda yang bersimpang-siur di
sekitarnya, sehingga dengan terkejut kuda itu meringkik dan melonjak-lonjak.
Beberapa
penunggang kuda yang lain masih berusaha untuk dapat mengawasi seluruh tanah
lapang, supaya orang yang sesungguhnya dicari tidak melepaskan diri. Namun
dalam pertempuran itu, orang-orang yang berada di tanah lapang menjadi kacau
balau. Mereka berlarian kesana kemari tak tentu tujuan, menghindarkan diri dari
kemungkinan terinjak oleh kaki-kaki kuda yang seolah-olah menjadi liar. Keadaan
yang demikian itulah Mahesa Jenar berbisik kepada Bantaran,
“Bantaran…
masih adakah keluarga Penjawi yang lain yang perlu diselamatkan dari kemarahan
orang Pamingit kelak, atau barangkali keluargamu sendiri…?”
“Keluargaku…
tidak Tuan. Mereka semua telah mengungsikan diri. Sedang keluarga Penjawi pun
sudah tidak ada, kecuali seorang kakek, ayah Nyi Penjawi itu,” sahut Bantaran.
“Nah, kalau
demikian, pergilah kepada kakek itu,” sambung Mahesa Jenar,
“Supaya ia
tidak memikul tanggungjawab atas peristiwa ini. Sebab mungkin besok atau lusa,
Saraban benar-benar menjadi gila. Juga orang-orang yang menjadi malu atas
kekalahannya dari Paman Guru itu.”
Bantaran
mengangguk-angguk. Tetapi ia masih bertanya,
“Lalu
bagaimanakah dengan Tuan dan Nyi Penjawi…?”
“Tinggalkan
Nyi Penjawi ini padaku,” jawab Mahesa Jenar.
“Nanti kita
dapat bertemu di tepi Sendang Putih. Kuda kami, kami tinggalkan di sana.”
Sekali lagi
Bantaran mengangguk.
“Disamping
itu…” lanjut Mahesa Jenar,
“Aku ingin
mendapat keterangan darimu tentang pasukan-pasukan yang telah kau persiapkan
bersama-sama dengan Penjawi. Mungkin sebentar lagi kita memerlukannya.”
“Baiklah
Tuan,” sahut Bantaran.
“Hati-hatilah,”
bisik Mahesa Jenar kemudian.
“Aku harap
kita dapat bertemu sebelum fajar.”
Setelah
berpesan kepada Nyi Penjawi, untuk mengikuti segala petunjuk Mahesa Jenar,
Bantaran kemudian ikut serta menghanyutkan diri dalam kekacauan yang terjadi.
Demikian pula Mahesa Jenar, dengan menggandeng Nyi Penjawi, berusaha mencari
kesempatan untuk melepaskan diri dari daerah tanah lapang yang terkutuk itu.
USAHA Mahesa
Jenar itu tidaklah terlalu sukar. Dalam puncak kekacauan, kelima orang berkuda
yang berusaha mengawasi orang-orang di tanah lapang itu ternyata tidak dapat
menguasai keadaan. Ditambah dengan usaha Kebo Kanigara menyeret titik
pertempuran itu semakin ke tengah, sehingga keadaan menjadi semakin kacau.
Akhirnya beberapa orang berbondong-bondong berlarian meninggalkan lapangan itu
tanpa menghiraukan apapun juga. Meskipun kelima orang Pamingit itu berusaha
untuk tetap menahan orang-orang itu di lapangan, namun usaha mereka tidak
berhasil. Bahkan akhirnya mereka terpaksa melepaskan orang-orang berlarian ke
sana ke mari, karena kuda-kuda mereka seolah-olah menjadi gila di kejutkan oleh
teriakan-teriakan orang-orang yang ketakutan. Sesaat kemudian, lapangan itu
telah menjadi kosong, kecuali Kebo Kanigara yang masih harus bertempur melawan
orang-orang berkuda dari Pamingit itu. Apalagi kini kelima orang yang lain,
yang tidak berhasil menahan orang-orang Banyubiru di lapangan, ingin
menumpahkan kemarahan mereka kepada orang yang menamakan dirinya Bantaran.
Sebab orang itulah sumber dari kekacauan dan kegagalan mereka menangkap
Bantaran.
Kebo Kanigara
merasa bahwa tugasnya telah selesai. Ia yakin bahwa Bantaran dan Mahesa Jenar
telah berhasil menyelamatkan Nyi Penjawi. Karena itu ia harus segera mengakhiri
pertempuran. Kebo Kanigara mulai bertempur dengan sepenuh tenaga. Ia tidak saja
menghindari serangan-serangan orang Pamingit itu, tetapi iapun telah mulai
menyerang mereka. Ketika seekor kuda dengan penunggangnya yang garang
bersenjata sebilah pedang yang gemerlapan menyerangnya, Kebo Kanigara tidak
saja menghindari serangannya, tetapi tiba-tiba iapun meloncat ke atas punggung
kuda itu. Lawan-lawannya yang menyaksikan perbuatannya menjadi heran, bahkan
menjadi kebingungan untuk beberapa saat, lebih-lebih penunggang itu sendiri.
Ketika ia masih belum sadar, terasalah sebuah pukulan yang dahsat mengenai
tengkuknya. Sesudah itu, tubuhnya dengan kerasnya terlempar dari punggung
kudanya dan seterusnya tak sadarkan diri. Sedang pedangnya yang gemerlapan kini
telah berada di tangan Kebo Kanigara. Maka mulailah Kebo Kanigara bertempur
melawan delapan orang, tetapi kini dengan pedang di tangan. Sebagai seorang
yang memiliki ilmu yang tinggi, maka Kebo Kanigara selalu dapat menempatkan
dirinya pada keadaan yang menguntungkan. Dengan tangan kiri memegang kendali
kuda, sedang dengan tangan kanan ia mengayun-ayunkan pedangnya berputar-putar
dahsyat. Ia dapat mempergunakan hampir seluruh tanah lapang itu sebaik-baiknya.
Sekali-sekali ia melarikan kudanya menjauhi lawan-lawannya. Kemudian dengan
tangkasnya ia memutar kudanya cepat-cepat untuk menghadapi lawannya yang paling
depan.
Dengan
demikian ia dapat memancing pertempuran melawan orang-orang Pamingit itu hampir
satu persatu. Dan satu persatu pula mereka dapat dirobohkan. Pedang ditangannya
itu seolah-olah merupakan patuk seekor burung garuda yang bertempur melawan
delapan ekor serigala. Sekali-sekali garuda itu terbang tinggi, kemudian
menukik cepat, dan dengan paruhnya yang runcing tajam, dibinasakannya serigala
itu satu persatu. Akhirnya pedang Kanigara itu telah berhasil melukai orang
kelima dipundak kanannya. Demikian hebat luka itu, sehingga akhirnya seperti
keempat orang yang lain, orang itu jatuh tersungkur di tanah, dengan tubuh
lemas tak berdaya. Kini tinggallah tiga orang lagi. Tentu saja ketiga orang itu
mengerti bahwa lawannya bukanlah manusia setingkat mereka. Kalau semula mereka,
delapan orang, tidak mampu mengalahkannya, apalagi kini tinggal 3 orang lagi.
Bagaimanapun juga beraninya orang-orang Pamingit itu, namun mereka harus
melihat suatu kenyataan, bahwa mereka bertiga tidak akan mungkin memenangkan
pertempuran itu. Karena itu selagi nyawa mereka masih tinggal didalam tubuh,
serta selagi darah mereka masih belum tertumpah, maka tidak ada cara lain yang
lebih baik daripada menghindarkan diri dari tanah lapang itu secepat-cepatnya.
Untunglah kalau mereka sempat datang kembali dengan membawa bantuan. Syukurlah
kalau Sawung Sariti atau lebih-lebih Ki Ageng Lembu Sora sendiri, yang
kebetulan sedang berada di Banyubiru dapat menyaksikan ketangkasan orang itu.
Setelah mereka masing-masing berpikir dan mengambil suatu keputusan, yang
seolah-olah diatur bersama, maka ketika salah seorang daripadanya memutar
kudanya dari tanah lapang itu sambil memperingatkan kawan-kawannya, bahwa lebih
baik menyelamatkan diri serta membawa bantuan lebih banyak lagi, segera
menghamburlah ketiga ekor kuda itu dengan penunggangnya meninggalkan Kebo
Kanigara secepat mungkin.
Kebo Kanigara
memandang ketiga orang yang meninggalkan gelanggang itu sambil mengusap
peluhnya. Kemudian matanya berkisar dari satu tubuh ke tubuh yang lain, yang
masih terkapar di tanah lapang itu. Ia mengharap agar kemudian kawan-kawan
mereka segera datang dan merawat luka-luka mereka. Sebab Kebo Kanigara sama
sekali tidak bermaksud membunuh mereka semua. Kalau diantara terpaksa ada yang
menghembuskan napas penghabisan, itu adalah diluar kemauannya. Sebab dalam
bermain dengan air, pastilah ada diantaranya yang terpercik dan menjadi basah
karenanya. Setelah itu, segera Kebo Kanigara teringat kepada Mahesa Jenar dan
Bantaran. Dengan Mahesa Jenar ia berjanji untuk segera kembali ke tempat
kuda-kuda mereka tertambat. Karena itu sebelum keadaan menjadi lebih buruk,
segera Kebo Kanigara meloncat dari kudanya, dan berlari lewat jalan semula,
pergi ke Sendang Putih. Ia terpaksa menyusur jalan-jalan sempit dan halaman-halaman
kosong seperti yang dilaluinya semula, karena ia tidak mengenal daerah dan
jalan-jalan lain di Banyubiru. Tetapi dengan demikian, beruntunglah ia, karena
sesaat kemudian lamat-lamat ia mendengar derap kuda, jauh lebih banyak dari
semula, menuju ke tanah lapang dimana ia baru saja bertempur. Karena itulah ia
segera mempercepat larinya supaya tidak terkejar oleh orang-orang yang pasti
akan mencarinya.
No comments:
Post a Comment