TETAPI segera kaki itu ditarik, dan sekali menggeliat Mahesa Jenar telah berdiri di belakang Watu Gunung. Tangannya bergerak cepat sekali ke arah kepala Watu Gunung. Serentak hati para penonton tergetar. Hampir saja mereka bersorak, karena pasti kepala Watu Gunung akan terhantam. Tetapi rupanya Mahesa Jenar berbuat lain. Ia hanya menyambar saja ikat kepala Watu Gunung yang berwarna merah soga itu. Mendapat perlakuan ini, wajah Watu Gunung menjadi merah, semerah ikat kepalanya yang disambar Mahesa Jenar itu. Giginya gemeretak menahan marah, dan tubuhnya bergetar secepat getaran darahnya. Bagi orang seperti Watu Gunung, lebih baik kepalanya diremukkan daripada dihina sedemikian. Ki Asem Gede, yang sejak melihat perubahan sikap Mahesa Jenar sudah mendapat kepastian akan akhir dari pertarungan itu, melihat Mahesa Jenar berbuat demikian tak dapat lagi menahan geli hatinya. Tertawanya melontar tak terkendalikan sampai tubuhnya berguncang-guncang. Mendengar suara Ki Asem Gede tertawa terkekeh-kekeh, hati Watu Gunung semakin terbakar. Maka secepat halilintar menyambar, tangannya tergerak, dan seleret sinar menyambar dada Mahesa Jenar. Melihat sinar itu, sesaat Mahesa Jenar bimbang. Kalau ia menghindar, tentu pisau itu akan mengenai salah seorang penonton yang berdiri diluar arena itu. Tetapi ia tidak mempunyai waktu banyak untuk berbimbang-bimbang. Pada saat yang tepat ia miringkan tubuhnya seperti apa yang ia lakukan sewaktu ia menghadapi keadaan yang sama, ketika ia bertempur dengan Lawa Ijo. Tetapi sekarang ia tidak menghendaki pisau itu menelan korban orang yang tak berdosa.
Dengan suatu
gerakan yang sukar dilihat dengan mata, tangan Mahesa Jenar menyambar tangkai
pisau itu. Tahu-tahu pisau itu sudah di tangannya. Melihat adegan itu, penonton
menjadi gempar. Mereka menjadi lupa bahwa diantara mereka masih ada empat orang
iblis yang menyaksikan pertunjukan itu dengan penuh kemarahan. Kecenderungan
mereka untuk memihak Mahesa Jenar akan menambah dendam keempat orang itu. Ki
Asem Gede yang paling tak dapat menguasai dirinya. Seperti orang anak kecil ia
berteriak-teriak memuji.
“Bagus …,
bagus …, bagus ….”
Tiba-tiba
teriakannya dan kegemparan penonton pun mendadak terhenti. Mereka melihat
seorang dengan lincah meloncat ke dalam arena sambil memegang sebuah pedang
pendek. Itulah Gagak Bangah. Anggota termuda dari kawanan iblis itu.
Rupa-rupanya ia tidak dapat lagi mengendalikan dirinya melihat Watu Gunung
dihinakan sedemikian. Meskipun ia merasa bahwa ia sendiri tidak akan mampu
melawan Mahesa Jenar, tetapi berdua dengan Watu Gunung adalah lain soalnya.
Gagak Bangah sendiri tidak sekuat Watu Gunung, tetapi ia mempunyai kelebihan
dalam hal kecepatan bergerak. Dan kecepatannya itu apabila digabungkan dengan
kekuatan tenaga Watu Gunung mungkin akan dapat merobohkan lawan yang bagaimanapun
tangguhnya. Melihat seorang kawannya memasuki arena, hati Watu Gunung yang
sudah tipis sekali itu menjadi tergugah kembali. Ia sudah tidak peduli lagi
kepada peraturan yang ditentukan dalam pertarungan itu. Melihat seorang lagi
masuk dalam arena, Mahesa Jenar terkejut. Ia surut beberapa langkah ke
belakang, dan pandangannya mengandung pertanyaan. Tetapi dengan tak banyak
cakap, Gagak Bangah sudah memutar pedang pendeknya dan dengan kecepatan yang
luar biasa ia menyerang Mahesa Jenar.
“Tunggu…
apakah kau ingin menggantikan Watu Gunung?”
Terpaksa
Mahesa Jenar ingin mendapat penjelasan sambil meloncat menghindari serangan
itu. Tetapi, ia tidak mendapat jawaban, bahkan kini Gagak Bangah dan Watu
Gunung menyerang bersama-sama.
“Kalian
melanggar peraturan,” sambung Mahesa Jenar sambil meloncat menghindari sambaran
pedang pendek dan kemudian cepat sekali ia meloncat dua depa ke belakang
sebelum kaki Watu Gunung mengenai tungkaknya.
“Tidak ada
suatu peraturanpun yang dapat mengikat kami,” teriak Gagak Bangah dengan
garangnya.
“Kami berdiri
di atas segala peraturan. Kalau kami berhak menentukan peraturan, kami pun
berhak mengubah atau menghapus peraturan itu.”
Mahesa Jenar
jadi sadar bahwa ia berhadapan dengan orang-orang yang licik dan tidak bersikap
jantan. Ia paling benci pada sifat-sifat yang demikian. Ia lebih menghargai
seseorang yang mengakui kekalahannya daripada orang yang licik dan curang.
Itulah sebabnya kemarahan Mahesa Jenar tergugah. Tetapi ia sekarang berhadapan
dengan dua orang yang mempunyai keistimewaan masing-masing dan tergolong dalam
tingkatan yang cukup tinggi. Karena itu ia harus mengerahkan sebagian besar
kepandaiannya. Ki Asem Gede yang menyaksikan kecurangan itu pun menjadi gusar.
Untuk melawan dua orang, belum tentu Mahesa Jenar dapat menang. Karena itu ia
sudah membulatkan tekad untuk melibatkan diri dalam pertempuran itu. Tetapi
baru saja ia akan meloncat, tiba-tiba terdengarlah sebuah bisikan.
“Jangan
berbuat sesuatu Ki Asem Gede.”
Ki Asem Gede
terkejut bukan kepalang. Dan terasa di kedua belah lambungnya melekat ujung
senjata tajam. Ketika ia menoleh, dilihatnya Wisuda dan Palian, yakni anggota
ke-3 dan ke-4 dari kawanan iblis itu berdiri di belakangnya dan mengancamnya
dengan keris. Maka terpaksa Ki Asem Gede mengurungkan niatnya, meskipun hatinya
bergelora hebat, sambil menanti suatu kesempatan.
Sementara itu,
pertempuran di arena bertambah hebat. Gagak Bangah dengan gesitnya
menyambar-nyambar sambil mempermainkan pedang pendeknya, seperti seekor Sikatan
menyambar belalang. Sedangkan Watu Gunung pun dengan mengandalkan kekuatannya
menyerang dengan garangnya. Apalagi kini ia telah memegang pula sebuah belati
panjang yang dicabutnya dari bawah kainnya, seperti yang dilemparkan tadi.
Mahesa Jenar ternyata tidak mengecewakan. Diam-diam ia merasa bersyukur bahwa
dengan tidak sengaja Watu Gunung telah memberinya sebilah pisau belati panjang.
Dan dengan senjata itu ia melayani kedua lawannya. Ia pernah mendengar bahwa
belati kawanan Lawa Ijo terkenal keampuhannya serta terbuat dari baja pilihan.
Apalagi kini senjata itu ada di tangan Mahesa Jenar yang mempunyai kepandaian
dalam mempergunakan segala macam senjata. Maka dalam waktu yang singkat ujung
belati itu dengan dahsyatnya menyerang lawannya dan seolah-olah berubah menjadi
beribu-ribu mata pisau yang mematuk-matuk dengan garangnya. Keadaan yang
seimbang dari pertempuran itu tidak berlangsung lama. Sebab segera Mahesa Jenar
berhasil mendesak lawannya ke dalam keadaan yang sulit. Sebenarnya Mahesa Jenar
tidak biasa membinasakan lawannya, apalagi tidak ada sebab-sebab yang memaksa.
Ia lebih suka mengampuni seseorang apabila orang itu sudah tidak dapat berbuat
apa-apa. Tetapi tidak demikian halnya terhadap orang-orang yang licik dan
curang. Sebab orang-orang yang demikian sudah tidak menghargai lagi sifat-sifat
kejantanan dan kekesatriaan. Orang-orang semacam itulah yang selalu akan
menimbulkan bencana. Karena itu terhadap orang-orang yang demikian, juga kepada
lawannya itu, Mahesa Jenar telah mengambil keputusan untuk membinasakannya.
Maka segera ia
merangsang lawannya lebih hebat lagi. Pisau panjang yang berada di tangannya
itu bergerak semakin cepat sehingga hampir merupakan gumpalan gumpalan sinar
yang bergulung-gulung mengerikan sekali. Watu Gunung dan Gagak Bangah sama
sekali tidak menduga bahwa Mahesa Jenar memiliki kepandaian yang demikian
tinggi. Maka diam-diam mereka berdua mengeluh dalam hati. Karena mereka tadi
memberi kesempatan kepada orang ini untuk bertanding membela anak Ki Asem Gede.
Keringat dingin sudah membasahi seluruh tubuh mereka berdua. Sesaat kemudian
terdengarlah bunyi berdentang dari senjata yang beradu. Ternyata pisau panjang
Mahesa Jenar telah menyambar pedang pendek Gagak Bangah. Sambaran itu begitu
kuatnya sehingga tangan Gagak Bangah merasa nyeri sekali. Belum lagi ia dapat
memperbaiki keadaannya, kembali pedangnya disambar oleh pisau Mahesa Jenar. Dan
benar-benar kali ini ia tidak mampu lagi berbuat apa-apa sehingga pedangnya
terpental jatuh. Melihat keadaan itu, Watu Gunung segera berusaha menolong
kawannya. Dengan lompatan yang cepat ia mendesak maju, dan membabat tangan
Mahesa Jenar. Tetapi Mahesa Jenar telah menarik tangannya kembali dan dengan
sisi telapak tangan kirinya ia menghantam pergelangan tangan Watu Gunung.
Hantaman itu sedemikian kerasnya terlepas dari tangannya. Maka kini sampailah
saatnya untuk mengakhiri pertempuran.
MAHESA JENAR
tidak mau membunuh lawannya dengan senjata. Segera dilemparkannya belati itu,
dan secepat kilat sebelum Watu Gunung dan Gagak Bangah sempat menjatuhkan
dirinya, kedua tangan Mahesa Jenar masing-masing meraih kepala kedua orang itu.
Dengan tenaga yang didasari kegusaran hati, dibenturkannya kedua kepala itu
sekuat tenaga. Maka terdengarlah suara hampir seperti sebuah ledakan diikuti
oleh jerit ngeri melengking. Sekejap kemudian suara itu terputus dan kedua
orang itu rebah di tanah dengan kepala pecah. Berbareng dengan itu. Ki Asem
Gede yang melihat bahwa pertempuran itu hampir selesai, segera memutar otaknya.
Bagaimana ia dapat membebaskan diri dari ancaman Wisuda dan Palian. Sebab tidak
mustahil apabila kedua orang itu melihat kedua kawannya dibinasakan, maka
mereka pun akan dibinasakan pula. Maka untuk sementara Ki Asem Gede berbuat
seperti orang yang ketakutan dan tak berdaya. Ketika Wisuda dan Palian baru
memperhatikan saat-saat terakhir dari kedua kawannya, Ki Asem Gede segera
bertindak. Dengan kecepatan yang luar biasa ia merendahkan dirinya dan kedua
tangannya menangkap pergelangan Wisuda dan Palian yang memegang senjata. Dengan
sekuat tenaga kedua orang itu ditarik ke depan lewat atas pundaknya. Pada saat
kedua orang itu terpelanting dengan kedua kakinya di atas, Ki Asem Gede
mengubah gerakannya dengan menyentakkan kedua tangan korbannya itu kembali ke
belakang. Dengan demikian kedua orang yang sebelumnya sama sekali tidak curiga
itu terangkat dan dengan dahsyatnya terbanting ke depan. Kepala dua orang itu
membentur tanah. Maka tanpa ampun lagi kedua orang itu lehernya terpuntir dan
nafasnya putus seketika. Orang-orang yang melingkari arena, melihat dua
kejadian yang mengerikan dan terjadi pada saat yang hampir bersamaan itu,
terdiam seperti patung. Bahkan tubuh mereka hanya dapat sebentar memandang
Mahesa Jenar dan sebentar memandang Ki Asem Gede, yang sesudah mengeluarkan
seluruh tenaganya itu kemudian menjadi lemas dan terduduk di atas tanah.
Mahesa Jenar
tidak tahu apa yang sudah dilakukan oleh Ki Asem Gede. Maka ketika ia melihat
keadaannya, ia menjadi cemas. Cepat-cepat ia melangkah menghampirinya. Dan pada
saat yang demikian para penonton menjadi tersadar tentang apa yang baru saja
terjadi. Segera terjadilah kegemparan. Beberapa orang berdesak-desakan ingin
menyaksikan mayat-mayat di tengah arena itu, tetapi sebagian ingin melihat apa
yang terjadi dengan Ki Asem Gede. Kegemparan itu segera berubah menjadi jeritan
yang hampir bersamaan keluar dari beberapa mulut para penonton. Sebab pada saat
Mahesa Jenar sudah hampir sampai pada tempat Ki Asem Gede terduduk, ada tombak
meluncur yang datangnya sangat cepat. Apalagi Mahesa Jenar sama sekali tak
mengetahui, karena perhatianya tertuju pada Ki Asem Gede. Mendengar
jeritan-jeritan itu Mahesa Jenar terhenti. Dan segera perasaannya yang tajam
menangkap bahwa ada sesuatu terjadi di belakangnya. Cepat-cepat ia membalikkan
diri. Semuanya itu terjadi hanya dalam waktu yang singkat, maka tak ada
kemungkinan bagi Mahesa Jenar untuk menghindarkan diri. Maka yang dapat
dilakukannya hanyalah, dengan tangannya melindungi dada. Tetapi ketika tombak
itu hampir menancap di tubuh Mahesa Jenar, terjadilah suatu benturan yang
dahsyat diiringi dengan suara gemericing senjata beradu, sehingga timbullah
bunga api yang memancar. Kembali para penonton terkejut bukan main. Kecuali
Mahesa Jenar dan Ki Asem Gede, tak seorangpun yang melihat bahwa dari arah lain
menyambar pula sebuah senjata sehingga membentur tombak yang hampir saja
menembus tubuh Mahesa Jenar. Apalagi ketika dua senjata yang beradu itu jatuh
di tanah, maka darah orang-orang yang berkeliling arena itu berhenti dibuatnya.
Ternyata tombak yang dilempar ke arah Mahesa Jenar itu patah ujungnya,
sedangkan di sampingnya menancap sebuah trisula,
“Mantingan…!”
Teriak salah seorang diantara mereka.
“Ya, Dalang
Mantingan,” sahut yang lain.
Sebentar
kemudian arena itu telah dipenuhi oleh teriakan orang menyebut nama Mantingan.
Memang, Mantingan telah terkenal di daerah itu sejak beberapa waktu yang
lampau. Tetapi kemudian lama ia tidak muncul, dan sekarang mereka melihat lagi
sebuah trisula, yang bertangkai kayu berian, dan pada pangkalnya berukiran
kuncup bunga kamboja. Hampir semua orang mengenal benda itu. Di mana benda itu
berada, di sana Mantingan pasti ada, dan sebaliknya. Tetapi meskipun mereka
sudah mengetahui hal itu, ketika mereka mengikuti arah pandangan mata Mahesa
Jenar, darah mereka tersirap juga melihat seseorang duduk dengan tenangnya di
atas seekor kuda yang berwarna abu-abu. Sungguh mengagumkan. Tetapi kekaguman
mereka segera berubah menjadi keheran-heranan ketika mereka melihat Ki Dalang
Mantingan, yang mempunyai nama demikian agungnya itu menunduk hormat.
“Malaikat
manakah orang ini, sehingga orang seperti Mantingan masih juga menunduk
hormat?” pikir mereka.
Tetapi mereka
tidak sempat berpikir banyak, sebab mereka segera melihat Mantingan meloncat
turun dan memburu ke arah dari mana tombak pendek tadi dilemparkan.
“Kau
Samparan?” desis Mantingan.
Dan tampaklah
diantara penonton, Samparan yang pucat dan gemetar. Ia kenal betul kepada
Mantingan. Kalau pada saat yang lalu ia masih berani membusungkan dada, itu
karena membanggakan kekuatan mereka berlima. Tetapi kini empat kawannya telah
mengalami nasib yang mengerikan, sehingga hatinya pun berubah menjadi kerdil.
“Masih
inginkah kau mengadakan sayembara tanding?” tanya Mantingan melanjutkan.
“Ampun Ki
Dalang. Aku hanya sekadar menuruti permintaan Watu Gunung,” jawab Samparan
gemetar.
Mantingan
tersenyum mendengarkan jawaban ini, dan ia heran pula melihat kelakuan Samparan
yang begitu pengecut. Sementara itu Mahesa Jenar dan Ki Asem Gede yang sudah
agak pulih kekuatannya telah pula berdiri di samping Mantingan.
Melihat
tokoh-tokoh itu, hati Samparan semakin kecil dan wajahnya semakin putih.
Untunglah bahwa ia berhadapan dengan orang-orang yang berhati lapang, selapang
lautan yang sanggup menampung aliran sungai.
“Aku ampuni
kau kalau anakku pada saat ini masih seperti pada saat kau ambil dari
suaminya,” kata Ki Asem Gede kemudian.
“Demi Tuhan,
putrimu disentuh pun tidak,” jawab Samparan cepat-cepat.
“Antarkan aku
padanya,” perintah Ki Asem Gede.
Segera
Samparan mempersilahkan Ki Asem Gede, Mahesa Jenar dan Mantingan untuk
mengikutinya. Lewat Gandok sebelah barat, mereka masuk ke belakang menyusup
masuk ke dapur, dan di sana mereka masuk ke kamar mandi yang kosong tak berair.
Ternyata dasar kolam kamar mandi itu adalah sebuah pintu rahasia untuk memasuki
ruang di bawah tanah.
Ki Asem Gede
dan kawan-kawannya menjadi ragu-ragu. Apakah tempat itu bukan suatu alat perangkap
saja.
“Kau mau main
gila Samparan?” tanya Ki Asem Gede dengan suara geram.
“Mana aku
berani berbuat sesuatu terhadap kalian,” sahut Samparan bersungguh-sungguh.
Meskipun demikian mereka harus berhati-hati juga. Ki Asem Gede kemudian
berjalan dahulu, baru Samparan di belakangnya kemudian Mahesa Jenar dan
Mantingan dengan trisulanya di belakangnya lagi sambil mengawasi kalau-kalau
Samparan akan mengkhianati mereka.
Ruang di bawah
tanah itu terdiri dua bagian. Bagian pertama adalah sebuah ruangan yang terbuka
dan kosong, diterangi beberapa obor yang ditancapkan pada dinding ruangan. Di
bagian atas ruangan tampak beberapa lubang udara yang dengan jalur-jalur
bumbung dari tanah liat dihubungkan dengan udara terbuka. Sedang bagian kedua
adalah sebuah ruang yang dipisahkan oleh sebuah dinding papan dengan ruang yang
pertama. Dinding itu mempunyai sebuah pintu yang kuat dan dikancing dengan
sebuah palang kayu yang cukup besar.
“Di situlah
Nyai Wirasaba disimpan oleh Watu Gunung,” kata Samparan sambil menunjuk pada
palang pintu yang besar itu.
Ki Asem Gede
jadi tertegun. Ia ragu-ragu untuk membuka pintu itu. Jangan-jangan ada sesuatu
yang berbahaya. Rupanya Samparan mengerti isi hati Ki Asem Gede, maka
sambungnya,
“Bolehkah aku
membukanya?”
Ki Asem Gede
masih ragu-ragu sebentar, tetapi kemudian katanya,
“Bukalah,
tetapi jangan main gila.”
Samparan maju
perlahan-lahan mendekati pintu itu. Matanya memandang dengan tajam, seakan-akan
ingin melihat langsung ke dalam ruangan yang tertutup itu. Baru setelah ia
merenung sejenak, tangannya bergerak membukanya.
Baru saja
pintu itu terbuka, serentak mereka terkejut melihat seorang yang meloncat
keluar dan langsung menyerang Samparan dengan sebuah patrem. Untunglah bahwa
Samparan sempat menghindar. Tetapi serangan itu tidak hanya terhenti di situ,
bahkan bertambah sengit. Hanya sayang bahwa penyerangnnya tidak mempunyai
pengetahuan tata berkelahi yang cukup sehingga dengan mudahnya Samparan
mengelakkan diri. Ketika orang itu melihat beberapa orang lain berada di tempat
itu, apalagi setelah melihat Ki Asem Gede, ia jadi tertegun dan sebentar
kemudian berubah menjadi keheran-heranan. Tetapi sesaat kemudian ia berlari
menjauhkan diri dan memeluk kaki Ki Asem Gede. Ia Nyai Wirasaba, putri Ki Asem
Gede.
“Ayah!”
serunya. Tetapi kemudian suaranya di kerongkongan. Ki Asem Gede pun memandang
putrinya dengan terharu. Dengan susah payah ia berhasil membendung air matanya
sehingga tidak mengalir. Baru beberapa lama ia tidak mengujungi putrinya itu.
Dan sekarang ia menyaksikan putrinya dalam keadaan yang menyedihkan.
Orang-orang
yang menyaksikan perisitiwa itu, mau tidak mau juga merasa terharu. Bahkan
Samparan, seorang iblis yang selama ini tidak mempunyai rasa perikemanusiaan
sedikitpun, menyaksikan hal itu dengan suatu perasaan yang aneh. Perasaan yang
belum pernah dimilikinya. Setelah suasana agak reda, segera mereka keluar dari
ruangan di bawah tanah itu, dan untuk menenangkan perasaan Nyai Wirasaba,
mereka sementara waktu beristirahat di gandok sebelah barat.
“Setan-setan
itu tidak berbuat jahat kepadamu?” tanya Ki Asem Gede kepada putrinya.
Nyi Wirasaba
tidak segera menjawab. Tetapi ia memandang Samparan dengan pandangan yang
jijik, benci dan penuh kemarahan.
“Manakah
kawan-kawan iblis itu?” tanya Nyi Wirasaba kepada Ki Asem Gede.
Beberapa kali
Nyi Wirasaba memandang Mahesa Jenar dan Mantingan dengan penuh pertanyaan.
Lamat-lamat ia ingat, bahwa dengan Mantingan ia pernah berkenalan. Tetepi di
mana, dan kapan? Sedangkan yang satu lagi sama sekali ia belum pernah melihat.
Ki Asem Gede mengerti
perasaan putrinya, maka segera diceritakan apakah yang sudah terjadi. Dan
tiba-tiba saja Nyi Wirasaba berdiri lalu membungkuk hormat kepada Mahesa Jenar
dan Mantingan. Dengan suara yang terputus-putus ia menyatakan betapa besar
terima kasihnya atas pertolongan mereka. Sekaligus ia teringat bahwa Mantingan
telah dikenalnya pada waktu mereka masih sama-sama kecil. Tetapi yang kemudian
tak lagi pernah bertemu sejak Mantingan mengikuti gurunya ke Wanakerta.
MAHESA JENAR
dan Mantingan tak habis-habisnya memandangi wajah Nyi Wirasaba. Wajarlah
kiranya kalau Watu Gunung tergila-gila kepadanya. Betapa bahagianya orang itu,
yang telah menerima anugerah Tuhan berupa kecantikan wajah yang sempurna, dan
keserasian tubuh yang tanpa cela. Mantingan yang pada masa kanak-kanaknya
sering bermain dan bertengkar bersama, tidak pernah membayangkan bahwa pada
usia dewasanya perempuan ini akan memiliki kelebihan dari kawan-kawannya
sepermainan. Tak seorang pun yang mengetahui bahwa Nyai Wirasaba sendiri selalu
meratap di dalam hati, menyesali nasibnya yang jelek. Karena memiliki wajah
yang cantik dan tubuh yang bulat, yang telah beberapa kali menjeratnya ke dalam
kesulitan-kesulitan yang hampir tak dapat diatasi. Bahkan pada saat yang
terakhir ini, ia telah mengambil keputusan bahwa apabila tak ada pertolongan
yang datang, ia lebih baik mengakhiri hidupnya dengan sebilah patrem yang
berhasil dibawanya di dalam sabuknya, daripada hidup di dalam lingkungan
iblis-iblis itu. Setelah perasaan Nyi Wirasabaa agak tenang, maka segera Ki
Asem Gede mengajaknya meninggalkan rumah itu. Di luar masih banyak orang yang
sejak tadi belum mau meninggalkan halaman itu. Meskipun mereka setiap hari
melihat wajah Nyi Wirasaba, kalau Nyi Wirasaba kebetulan pergi ke pasar atau ke
sawah, tetapi kali ini mereka ingin juga melihat wajah itu. Wajah yang menjadi
sebab berakhirnya kelaliman Samparan dan kawan-kawannya. Ketika Nyi Wirasaba
tampak melangkah ke luar pintu rumah Samparan, orang-orang berdesak-desakan
mengerumuninya. Nyi Wirasaba menunduk malu. Di belakangnya menyusul Ki Asem
Gede, Mantingan, Mahesa Jenar dan kemudian Samparan. Suasana segera berubah
menjadi tegang kembali ketika tiba-tiba Mahesa Jenar membalikkan diri, dan
secepat kilat menangkap tangan Samparan dan diputarnya ke belakang. Samparan
terkejut bukan kepalang, sambil menyeringai kesakitan. Tangan Mahesa Jenar yang
menangkapnya itu begitu erat seperti tanggem besi yang menjepit tangannya.
Bahkan tidak hanya Samparan yang terkejut, tetapi juga orang-orang yang
menyaksikan, termasuk Ki Asem Gede dan Mantingan.
“Adakah aku
berbuat salah?” rintih Samparan.
“Kau tidak
berbuat salah, tetapi aku ingin mendapat keterangan dari kau,” jawab Mahesa
Jenar.
Samparan dan
orang-orang yang menyaksikan sibuk menduga-duga, keterangan apakah gerangan
yang dikehendaki oleh Mahesa Jenar.
“Samparan, kau
dan Watu Gunung adalah termasuk dalam satu gerombolan yang mempunyai persamaan
kesenangan. Yaitu berbuat kejahatan. Dalam dunia kejahatan, sahabat jauh lebih
berharga dari saudara, bahkan orang tua. Rahasia-rahasia yang tak pernah
didengar oleh keluarga sendiri, kadang-kadang didengar oleh sahabat-sahabatnya.
Nah, katakanlah, aku yakin kau mengetahuinya, apakah hubungan Watu Gunung
dengan Lawa Ijo?” lanjut Mahesa Jenar.
Mendengar
pertanyaan ini Samparan terkejut seperti disambar petir meleset. Tidak pula
kalah terkejutnya Ki Asem Gede, Mantingan dan mereka yang ikut mendengarnya.
Nama Lawa Ijo adalah nama yang tabu diucapkan. Sebab dengan menyebut namanya
saja, sudah cukup alasan bagi Lawa Ijo untuk membunuh. Meskipun pada saat-saat
terakhir Lawa Ijo tidak pernah lagi muncul, tetapi apabila nama itu disebutkan,
orang yang mendengarnya telah cukup menggigil ketakutan. Samparan tidak segera
menjawab pertanyaan itu. Ia berdiri pada suatu titik yang berbahaya sekali. Ia
semakin takut kepada Mahesa Jenar, yang sama sekali tak diduganya akan
mengajukan pertanyaan semacam itu. Dari manakah gerangan ia mencium kabar
tentang Watu Gunung dan hubungannya dengan Lawa Ijo? Teranglah bahwa ia bukan
orang sejajarnya, bahkan tidak sejajar dengan Mantingan. Kalau tidak, ia tidak
akan seenaknya saja menyebut nama Lawa Ijo. Ki Asem Gede dan Mantingan pun
tergetar juga hatinya. Mereka berdua pun maklum akan kehebatan Lawa Ijo.
“Jawablah!”
desak Mahesa Jenar. Sementara itu, pegangannya pun makin dikuatkan. Samparan
berdesis menahan sakit.
“Aku tak
tahu,” jawab Samparan mencoba berbohong. Tetapi belum lagi ia selesai
mengucapkan jawabannya, tangannya yang terpuntir itu terasa semakin sakit, dan
terangkat ke atas.
“Kau tak mau
menjawab?” geram Mahesa Jenar. Keringat dingin memenuhi tubuh Samparan. Ia
merasa serba salah, dan seakan-akan ia telah dihadapkan pada suatu keharusan
memilih, mati di tangan Lawa Ijo atau Mahesa Jenar.
“Aku tak
mengetahui seluruhnya. Aku hanya pernah mendengar nama itu disebut-sebut oleh
Watu Gunung,” jawab Samparan.
“Apa katanya?”
desak Mahesa Jenar pula. Kembali Samparan ragu-ragu.
“Kau takut
kepada Lawa Ijo?” bentak Mahesa Jenar yang sudah mulai jengkel.
“Bagus. Kau
takut dibunuhnya. Tetapi bagaimana kalau yang melaksanakan pembunuhan itu aku?”
lanjut Mahesa Jenar.
Tubuh Samparan
mulai menggigil. Ia sudah melihat kedua kawannya dipecahkan kepalanya oleh
orang itu. Kalau ia tidak menuruti perintahnya, jangan-jangan kepalanya akan
dipecahkan pula. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk berkata, dengan harapan
Lawa Ijo sudah tidak akan muncul kembali.
“Yang aku
ketahui, Watu Gunung adalah tidak saja anggota gerombolan itu, tetapi ia adalah
saudara muda seperguruan Lawa Ijo.”
Mendengar
jawaban Samparan ini, orang-orang jadi gemetar dan ketakutan. Saudara muda Lawa
Ijo binasa di desa mereka.
“Katakan yang
lain, aku jadi tanggungan kalau Lawa Ijo marah,” sahut Mahesa Jenar.
Samparan
merasa bahwa ia tidak dapat berbuat lain daripada menuruti perintah itu.
“Watu Gunung
pasti pernah berkata, di mana Lawa Ijo sekarang.”
Samparan
dengan sangat terpaksa akan menjawab pertanyaan itu. Tetapi sebelum mulutnya
bergerak, tiba-tiba ia merasa Mahesa Jenar mendorongnya sehingga ia
terpelanting jatuh. Dan sementara itu sebuah pisau belati melayang tepat lewat
tempatnya berdiri tadi, langsung mengenai dinding dan tembus masuk ke dalam
rumah. Dalam pada itu, berkelebatlah sesosok tubuh di antara penonton meloncat
lari meninggalkan halaman.
MANTINGAN
tidak mau melepaskan orang itu begitu saja. Secepat kilat ia memburunya, yang
kemudian disusul oleh Mahesa Jenar. Tetapi Mantingan belum berpengalaman
menghadapi orang-orang gerombolan Lawa Ijo. Maka ia tidak menyangka sama sekali
bahwa orang yang dikejarnya itu tiba-tiba berhenti membalikkan diri, dan sebuah
sinar putih menyambar dadanya. Mantingan terkejut bukan main. Secepat kilat ia
memukul sinar putih itu dengan trisulanya. Terdengarlah suara berdentang hebat.
Tangan Mantingan yang memegang trisula itu bergetar hebat, sedangkan pisau yang
dilemparkan ke dadanya itu berubah arah. Tetapi meskipun demikian, lengannya
tergores juga sedikit. Ia tertegun mengalami peristiwa itu. Dan Mahesa Jenar
yang melihat darah di lengan Mantingan jadi terhenti pula. Sementara itu orang
yang telah melemparkan pisau itu sempat menyelinap di antara pepohonan dan
menghilang. Dari kejauhan terdengarlah gema suara orang tertawa. Suara itu
mengiris ulu hati seperti suara ringkikan hantu kubur.
“Lawa Ijo
telah datang,” desis Mahesa Jenar.
“Diakah Lawa
Ijo?” tanya Mantingan.
“Mungkin,
tetapi setidak-tidaknya salah seorang dari gerombolan itu,” jawab Mahesa Jenar.
“Aku ingin
suatu kali dapat bertemu dengan Lawa Ijo. Nah lupakan dia Kakang Mantingan
untuk sementara. Marilah kita kembali. Mungkin Samparan dapat menunjukkan
tempatnya,” lanjut Mahesa Jenar.
Maka segera
mereka kembali ke rumah Samparan. Tampaklah orang-orang yang masih berdiri di
halaman itu berwajah pucat-pucat ketakutan. Beberapa diantaranya menggigil,
terduduk tak berdaya. Apalagi waktu terdengar suara tertawa di kejauhan.
Ketika Ki Asem
Gede melihat tangan Matingan berdarah, cepat ia berlari menyongsongnya.
“Kau terluka?”
tanya Ki Asem Gede.
Mantingan
mengangguk mengiakan. Cepat-cepat Ki Asem Gede memeriksa luka itu. Dan sebentar
kemudian tampak ia mengangguk-angguk.
“Tidak
beracun,” gumannya.
“Karena itu
marilah kita lekas meninggalkan tempat ini dan menyerahkan kembali anakku
kepada suaminya. Sementara itu aku dapat mengobati luka Adi Mantingan, yang
untung tak berbahaya,” kata Ki Asem Gede.
Sementara itu
Ki Asem Gede melihat Samparan seperti orang yang tidak sadar terduduk, di
tanah. Tingkah Samparan tampaknya menggelikan. Sifat-sifat garangnya sama
sekali tak berbekas. Apalagi setelah ia hampir saja disambar pisau. Yang ia
tahu pasti, bahwa itulah pisau gerombolan Lawa Ijo.
“Samparan, kau
kenapa?” tegur Mahesa Jenar.
Samparan
memandang kepada Mahesa Jenar dengan mata yang layu dan mengandung suatu
permohonan untuk mendapat perlindungan. Mahesa Jenar menangkap maksud itu.
“Samparan, kau
jangan berbuat demikian. Tidakkah kau malu pada dirimu sendiri? Bagaimanapun
kau adalah laki-laki yang mengenal cara untuk membela diri. Meskipun demikian,
kalau kau memang merasa tak mampu berdiri sendiri, kau dapat mengikuti Kakang
Mantingan nanti ke Prambanan. Aku memang masih memerlukan engkau. Tetapi pada
saat ini kau barangkali tidak lagi dapat mengucapkan sepatah kata pun. Kakang
Mantingan nanti kalau kembali ke Prambanan, akan mampir kemari menjemputmu. Dan
percayalah bahwa pada waktu ini Lawa Ijo tidak akan berani menginjak rumah ini.
Sebaliknya kau pun jangan meninggalkan rumah ini. Sebab ada dua kemungkinan,
ditangkap oleh Lawa Ijo atau akulah yang akan memburumu,” kata Mahesa Jenar.
Mendengar
kata-kata Mahesa Jenar yang meyakinkan itu, Samparan menjadi agak tenang
sedikit. Perlahan-lahan ia berdiri dan membungkuk hormat kepada Mahesa Jenar.
Ia mempunyai suatu kesan yang aneh. Kehebatannya, kegarangannya, tetapi juga
keluhuran budinya. Sehingga tidak langsung, ia telah memandang ke dirinya
sendiri, yang beberapa saat lalu masih merasa sebagai seorang yang tak
terkalahkan. Samparan termenung. Alangkah luasnya dunia ini. Entah berapa saja
orang-orang yang sakti tinggal di dalamnya. Baik dari golongan hitam maupun
dari golongan putih. Yang satu memenangkan yang lain, dan yang lain lagi dapat
mengatasinya pula. Dalam waktu yang sesingkat itu, Samparan telah menyaksikan
orang-orang seperti Watu Gunung, Ki Asem Gede, Mantingan, Lawa Ijo, dan Mahesa
Jenar. Belum lagi nama-nama yang pernah didengarnya dan yang belum dikenalnya.
Segera setelah
itu, Ki Asem Gede beserta kawan-kawannya meninggalkan tempat itu untuk
menghantar Nyi Wirasaba kepada suaminya yang rumahnya tak begitu jauh, hanya
berantara dua bulak yang tak begitu lebar. Di perjalanan itu, timbullah suatu
pertanyaan di hati Mahesa Jenar maupun Mantingan. Sebenarnya pertanyaan itu
telah timbul sejak mereka mengetahui persoalan Nyi Wirasaba. Dalam persoalan
ini, kenapa Ki Wirasaba sendiri tidak berbuat sesuatu untuk membebaskan
istrinya? Bahkan yang didengar oleh Mahesa Jenar dari murid Wirasaba yang
menghadap Ki Asem Gede, sudah ada dua orang murid Wirasaba terluka. Mengingat
bahwa Ki Wirasaba sedikitnya memiliki empat orang murid, menunjukkan bahwa ia
pun memiliki pengetahuan tentang tata berkelahi, tetapi ia tak berbuat apa-apa.
Itulah suatu hal yang aneh. Mungkinkah Ki Wirasaba tidak mencintai istrinya,
atau barangkali terikat sesuatu perjanjian dengan Samparan dan kawan-kawannya?
Mahesa Jenar dan Mantingan, seperti orang yang sepakat untuk tidak menanyakan
hal itu. Mereka takut kalau-kalau ada suatu rahasia yang dapat menyinggung
kehormatan Ki Asem Gede. Setelah mereka berjalan beberapa lama, segera mereka
memasuki desa tempat Ki Wirasaba tinggal.
RUMAH Ki
Wirasaba adalah rumah yang cukup besar, berdiri di tepi jalan induk di desanya.
Berhalaman luas dan mempunyai ciri-ciri yang agak berbeda dengan halaman di
sekelilingnya. Halaman Ki Wirasaba disegarkan oleh tanaman-tanaman berbunga
yang berdaun hijau sejuk. Di sudut halaman terdapat sebuah jambangan berisi air
yang bersih bening. Dan di sana-sini bergantung sangkar-sangkar burung.
Berkeliaran pula binatang-binatang piaraan ayam, itik, angsa dan sebagainya.
Halaman itu berdinding batu merah yang disusun teratur, yang seakan-akan
menjadi batas dari dua daerah yang tampak sangat berlainan. Halaman-halaman
lain di desa itu masih ditumbuhi bermacam-macam pohon serba tak teratur. Bahkan
di sana-sini masih ada pohon-pohon liar yang tumbuh, rumpun-rumpun bambu yang
hebat, pohon beringin tua, dan randu alas, yang masih merupakan tempat-tempat
yang dianggap keramat oleh penduduk di sekitarnya. Waktu Mahesa Jenar dan
Mantingan melangkahkan kaki memasuki halaman rumah Ki Wirasaba, telah dijalari
suatu perasaan aneh. Mereka berdua adalah orang-orang yang telah banyak melihat
daerah-daerah lain, bahkan kota-kota besar, tetapi jarang mereka merasakan
kesejukan seperti yang dirasakan pada saat itu. Alangkah mesranya tangan yang
telah menggarapnya, sehingga halaman itu menjadi begitu indahnya. Tetapi mereka
tidak sempat merasakan kesejukan itu lebih lama lagi. Tiba-tiba mereka
tersentak melihat Nyi Wirasaba yang tiba-tiba saja berlari mendahuluinya. Pintu
rumah itu, yang ternyata tidak terkunci, didorongnya kuat-kuat sehingga hampir
saja ia jatuh tertelungkup. Ia segera menghilang di balik pintu rumahnya.
Segera setelah itu terdengarlah suara Nyi Wirasaba bercampur isak yang
tertahan.
”Kakang …,
Kakang Wirasaba …, aku kembali Kakang. Kembali kepadamu….” Sesudah itu, yang
terdengar hanyalah tangis Nyi Wirasaba yang tak tertahan lagi.
Ki Asem Gede,
Mantingan dan Mahesa Jenar tertegun sejenak. Suatu peristiwa yang mengharukan.
Pertemuan antara seorang istri dengan suaminya yang dicintai, setelah mereka
dipisahkan beberapa saat tanpa adanya suatu harapan untuk dapat bertemu
kembali. Ki Asem Gede bertiga berdiri saja di muka pintu seperti patung.
Sebentar kemudian terdengarlah suara yang berat dan dalam.
”Nyai,
masihkah aku berhak menerima kau kembali? Atau masih berhakkah kau kembali
kepadaku …?”
Mendengar
jawaban itu, mendadak tangis Nyi Wirasaba terputus karena terkejut. Ia tidak
begitu mengerti maksud jawaban suaminya, dan karena itu ia bertanya kepada Ki
Wirasaba.
”Apakah
maksudmu, Kakang?”
”Nyai, kalau
kau dibebaskan oleh Samparan dan kawan-kawannya setelah kau menyerahkan dirimu,
maka kau tidak berhak lagi kembali kepadaku. Tetapi kalau ada orang lain yang
membebaskan engkau, Nyai, maka akulah yang tidak berhak menerima kau kembali.”
Mendengar
penjelasan itu, Nyai Wirasaba terkejut bukan kepalang, maka kembali meledaklah
tangisnya.
”Kakang, aku
masih bersih seperti kemarin, Kakang. Bukankah dengan demikian aku masih berhak
kembali kepadamu? Kalau aku tidak lagi merasa berhak kembali kepadamu, kau
hanya akan tinggal dapat mengenang namaku, sebab aku telah bertekad untuk bunuh
diri. Tetapi kalau orang lain yang membebaskan aku, kenapa kau merasa tidak
berhak lagi menerima aku?” kata Nyi Wirasaba diantara sedu-sedannya.
”Nyai,
laki-laki yang tahu diri, hanya dapat memetik buah dari pohon yang ditanamnya
sendiri,” jawab Wirasaba.
Mendengar
jawaban itu, Ki Asem Gede tidak kalah terkejutnya. Maka segera ia melompati
pintu dan cepat-cepat menemui menantunya. Mahesa Jenar dan Mantingan yang
merasa berkepentingan pula, segera mengikuti Ki Asem Gede. Barangkali mereka
dapat menolong memberikan beberapa keterangan yang diperlukan. Mendengar
kata-kata Wirasaba, Mahesa Jenar dan Mantingan dapat menduga, kalau orang itu
mempunyai harga diri yang cukup tinggi. Tetapi yang masih merupakan pertanyaan,
mengapa Wirasaba sendiri tak berbuat sesuatu untuk membebaskan istrinya?
Melihat kedatangan Ki Asem Gede dan dua orang yang tak dikenalnya, Wirasaba
menjadi agak terkejut. Tetapi segera ia membungkuk hormat dengan tetap masih
duduk bersila di atas pembaringannya.
”Selamat
datang Bapak Asem Gede.”
Ki Asem Gede
membalas hormat.
”Selamat
Wirasaba, aku datang mengantarkan istrimu. Mudah-mudahan kau mau menerimanya
dengan baik. Kau tidak usah mempersoalkan siapakah yang membebaskannya. Yang
penting, ia pulang dengan selamat, dan masih tetap seperti saat ia diambil
darimu.”
Wirasaba diam
sejenak. Ia tundukkan kepalanya sambil berpikir. Sebenarnya ia adalah seorang
jantan yang memang agak tinggi hati. Ia tidak mau menerima pertolongan orang
lain berdasarkan belas kasihan. Apalagi dalam persoalan ini, persoalan seorang
istri.
”Siapakah yang
telah membebaskan istriku?” tanya Wirasaba.
Ki Asem Gede
tertegun sejenak. Ingin ia mengaku telah membebaskan anaknya untuk menjaga
perasaan menantunya, tetapi ia takut kalau dengan demikian ia dikira orang yang
tak mengenal budi. Sebaliknya Mahesa Jenar pun sebenarnya ingin mengatakan
bahwa Ki Asem Gede telah membebaskan anaknya, tetapi ia pun takut kalau-kalau
hal ini dianggap merendahkan orang tua itu.
MELIHAT
gelagat yang demikian, Ki Wirasaba dapat menebak bahwa seseorang telah
membebaskan istrinya. Bahkan tidak mustahil kalau orang itu adalah salah
seorang yang sekarang berada di hadapannya, atau kedua-duanya. Maka segera
muncullah sifat tinggi hatinya.
“Bapak Asem
Gede, aku mempunyai dugaan bahwa orang itu telah membebaskan istriku. Aku juga
mempunyai dugaan bahwa orang itu telah berhasil membebaskan istriku dengan
kekerasan. Sebab mustahil Samparan dan Watu Gunung akan melepaskan korbannya
begitu saja sebelum nyawanya dapat dicabut. Adakah orang yang menyabung nyawa
tanpa pamrih?”
Mendengar
sindiran itu, hati Mahesa Jenar tergoncang hebat. Tidak kalah pula
terperanjatnya Mantingan dan Ki Asem Gede, sehingga wajah mereka menjadi
semburat merah. Nyi Wirasaba melihat gelagat yang kurang baik itu. Dan kembali
sebuah goresan tajam melukai hatinya yang sudah hampir sembuh. Cepat ia
menjatuhkan diri di samping pembaringan suaminya, berlutut sambil menangis.
“Kakang, aku
telah kembali kepadamu. Jangan lepaskan aku lagi.”
Mendengar
ratap istrinya, sebenarnya hati Wirasaba terobek-robek karenanya. Ia pun
sebenarnya sangat mencintai istrinya, sebagaimana istrinya mencintainya. Tetapi
perasaan harga diri yang berlebih-lebihan telah melibat hati Wirasaba, sehingga
sedikit pun ia tidak menunjukkan getaran perasaannya. Mata Wirasaba yang sayu memandang
keluar lewat jendela di samping pembaringannya. Memandang daun-daun yang
bergoyang-goyang digerakkan angin, serta kilatan-kilatan matahari yang jatuh
bertebaran di atas tanah pegunungan yang kemerah-merahan. Suasana kemudian
dikuasai oleh kesepian yang tegang. Mahesa Jenar mengeluh dalam hati. Kutuk
apakah yang ditimpakan Tuhan atas dirinya, sehingga ia mengalami suatu kejadian
yang demikian rumitnya? Haruskah pada suatu saat ia berhadapan dengan Wirasaba
sebagai lawan? Kalau demikian, maka menang atau kalah ia akan tetap sama saja.
Sama-sama mengalami penderitaan batin.
Kalau Mahesa
Jenar kalah, maka kekalahan itu tak akan dapat dilupakannya seumur hidupnya.
Sebaliknya kalau ia menang, bagaimanakah nasib Nyai Wirasaba? Sebab dengan
demikian Ki Wirasaba pasti tidak akan mau menerimanya kembali. Bahkan mungkin
ia akan membunuh dirinya.
Belum lagi
Mahesa Jenar menemukan jalan keluar, tiba-tiba didengarnya Wirasaba berkata,
“Nyai, aku
akan menerima kau kembali sebagaimana kau terlepas dari tangan Samparan.”
Suara Wirasaba
itu terdengar sebagai gemuruhnya seribu guntur yang menggelegar bersama-sama.
Suasana menjadi bertambah tegang. Peluh dingin telah mengalir di seluruh tubuh
Mahesa Jenar. Apa yang diduganya ternyata benar-benar terjadi.
Sampai saat
itu pun ia masih belum dapat menemukan suatu pilihan. Bagaimanapun, sebagai
seorang laki-laki ia tidak bisa menelan tantangan itu begitu saja. Sehingga
dengan demikian tubuhnya menjadi gemetar menahan perasaannya yang melonjak
lonjak. Hampir saja ia melangkah maju dan menerima tantangan itu. Tetapi ketika
dilihatnya Nyai Wirasaba masih menangis, bahkan makin menjadi-jadi, ia kembali
ragu-ragu. Akhirnya setelah perasaannya berjuang beberapa lama, Mahesa Jenar
mengambil suatu keputusan yang sangat berat. Sebagai seorang laki-laki, apalagi
sebagai seorang yang berjiwa prajurit, ia belum pernah menghindari suatu
tantangan. Tetapi kali ini bertekad, berkorban buat kedua kalinya, untuk
ketentraman hidup putri Ki Asem Gede. Karena itu ia berdiam diri, tanpa mengucapkan
sepatah kata pun.
Ki Asem Gede
menjadi kebingungan, dan tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan. Ia pun
mempunyai pikiran yang sama dengan Mahesa Jenar. Kalau saja Mahesa Jenar
menerima tantangan itu, Mahesa Jenar bukanlah tandingan Wirasaba. Bagaimanapun
hebatnya menantunya, tetapi setinggi-tingginya yang dapat dicapainya adalah
tingkat Dalang Mantingan. Apalagi dalam keadaan seperti sekarang ini. Belum
lagi suasana yang tegang itu terpecahkan, mendadak mereka dikejutkan oleh suatu
bayangan yang melayang, meloncat masuk lewat jendela yang terbuka di samping
pembaringan Wirasaba. Geraknya cepat dan lincah sekali. Mereka menjadi semakin
terperanjat ketika mereka melihat siapakah orang itu. Ternyata orang yang telah
berdiri tegak diantara mereka adalah Samparan.
“Pengecut tua,
kau curi anakmu dengan laku seorang perempuan. Aku telah merampasnya dengan
kejantanan. Aku telah melukai dua orang murid Wirasaba yang menghalangi
maksudku. Seharusnya kau ambil perempuan itu dengan laku seorang jantan pula.
Nah, sekarang aku datang untuk mengambilnya kembali,” teriak Samparan sambil
menuding wajah Ki Asem Gede.
Melihat
tingkah laku, sikap dan kata-kata Samparan, Ki Asem Gede terkejut bukan
kepalang. Apalagi yang mau diperbuat oleh setan kecil ini? Sedangkan Mantingan
mempunyai tanggapan lain. Mungkin kawanan Lawa Ijo telah datang untuk menuntut
balas atas kematian Watu Gunung dengan mempergunakan Samparan sebagai umpan.
Lain pula dengan Ki Wirasaba. Melihat kedatangan Samparan dan mendengar
kata-katanya, matanya menjadi berkilat-kilat. Seakan-akan suatu cahaya terang
memancar di dalam jiwanya.
“Samparan, kau
pun tidak berlaku jantan. Kau tidak mengambil istriku dari tanganku. Kau hanya
berani melayani anak-anak yang baru dapat meloncat-loncat tak berarti. Kalau benar
katamu, Bapak Ki Asem Gede mengambil istriku, Bapak Asem Gede ingin
mengembalikan keadaan seperti semula. Nah, sekarang, kalau kau inginkan
istriku, ambillah ia dari tanganku dengan laku seorang jantan,” sahut Wirasaba.
Samparan
tertawa dingin.
“Kau bermaksud
demikian?”
Ki Wirasaba
tertawa nyaring. Wajahnya kini menjadi cerah seperti cerahnya matahari.
Mahesa Jenar
yang berotak cerdas segera menangkap arah persoalannya. Diam-diam ia memuji
kelincahan otak Samparan. Tetapi lebih dari itu, ia kagum maksud baik Samparan,
meskipun dengan tindakannya itu ia menghadapi kemungkinan yang berat sekali.
“Kau telah
mengundang orang-orang ini untuk melindungi istrimu?” tanya Samparan dengan
nada menghina.
Wirasaba yang
tinggi hati, segera merasa tersinggung. Dengan marahnya ia menjawab.
“Samparan,
mulutmu terlalu lancang. Aku belum kenal mereka keduanya. Mereka datang
bersama-sama Bapak Asem Gede. Urusan ini adalah urusanku dengan kau. Jadi kau
dan akulah yang harus menyelesaikan.”
KEMBALI
Samparan tertawa dingin.
“Wirasaba,
jangan kau mimpi akan masa lampau. Memang beberapa tahun yang lalu kau
merupakan seorang tokoh yang mempunyai nama cemerlang. Sebutanmu cukup
menggetarkan. Tetapi dengan kakimu yang lumpuh sekarang ini, kau menjadi
sebatang seruling gading yang telah retak,” kata Samparan. Mahesa Jenar dan
Mantingan terperanjat dua kali lipat. Ternyata Wirasaba adalah orang yang
terkenal dengan sebutan Seruling Gading. Seorang tokoh penggembala yang tak ada
tandingannya diantara mereka. Kekuatan tubuhnya dan kepandaiannya meniup
seruling merupakan suatu paduan yang sudah ditemukan. Tetapi Seruling Gading
itu kini sudah lumpuh. Kata-kata Samparan itu juga merupakan jawaban atas
teka-teki yang selama ini selalu membelit pikiran Mahesa Jenar dan Mantingan.
Karena kelumpuhannya itu pulalah agaknya, maka Wirasaba tak berbuat sesuatu
untuk membebaskan istrinya.
Mendengar
ejekan Samparan itu, hati Wirasaba menjadi terbakar. Ia sudah hampir tak dapat
menguasai kemarahannya. Cepat tangannya meraih senjatanya dari bawah bantalnya.
Sebuah kapak bertangkai yang panjangnya kira-kira hampir sedepa.
“Kalau kau
tidak membawa senjata, Samparan …, kau boleh meminjam senjata-senjata ku.
Manakah yang kau sukai?” kata Wirasaba sambil menunjuk ke sudut ruang. Pada
dinding yang ditunjuk itu bergayutan bermacam-macam senjata. Kapak, tombak,
pedang, keris dan sebagainya.
Perlahan-lahan
Samparan berjalan ke sudut ruang tempat senjata itu tergantung. Dengan
tenangnya ia mulai menimang-nimang senjata itu satu demi satu.
“Wirasaba,
alangkah banyaknya jenis senjatamu sebagai pertanda kebesaran namamu.”
“Hanya saja
tak satu pun sebenarnya yang cukup berharga kau pergunakan. Tetapi baiklah aku
mencoba tombak pendekmu ini untuk melayani kapakmu yang terkenal itu.”
Wirasaba
menjadi bertambah marah mendengar celaan itu, sehingga kemudian ia tidak sabar
lagi. Ia telah bersiap dan menggeser tubuhnya ke tepi pembaringan. Samparan
yang telah mendapatkan pilihan senjata diantara sekian banyak macam senjata
yang tergantung di sudut ruang itu pun segera mempersiapkan diri. Ki Asem Gede
dan Mantingan segera mengetahui pula maksud Samparan. Itulah sebabnya mereka
berdiri termangu-mangu penuh kekhawatiran akan keselamatan Samparan. Tetapi
Samparan berdiri tenang-tenang saja, meskipun ia tahu pasti tingkat ketinggian
ilmu Wirasaba.
“Samparan,
mulailah!” Wirasaba menggeram tidak sabar lagi.
<<< Bagian 003 Bagian 005 >>>
No comments:
Post a Comment