MULA-MULA ia ingin menolak permintaan ayahnya itu, namun tiba-tiba mendapat pikiran lain.
“Apakah maksud
penundaan itu?” Ia mencoba menegaskan.
“Aku minta
kepadanya,” jawab ayahnya.
“Sebab ada
yang ingin aku bicarakan dengan kau dan cucu Arya Salaka.”
“Tak ada yang
dapat dibicarakan,” potong Lembu Sora.
“Ada,” sahut
ayahnya singkat.
“Tidak ada
persoalan,” ulang Lembu Sora.
“Ada!” kembali
ayahnya menyahut.
Lembu Sora
berdiam. Ia mengumpat di dalam hati. Adakah ayahnya akan memaksakan pendapatnya
kepadanya? Ia tidak akan pedulikan itu. Ia mempunyai pasukan yang cukup banyak.
Meskipun seandainya di dalam laskar Arya Salaka terdapat orang-orang yang sakti,
namun jumlah laskar dalam setiap pertempuran akan turut serta mengambil
peranan. Dalam penilaiannya, di dalam laskar Arya Salaka, tidak ada seorangpun
yang harus disegani.
Mahesa Jenar,
Wanamerta dan orang yang datang bersama Mahesa Jenar itu, adalah orang yang
sama sekali tidak menakutkan, meskipun menurut laporan ada orang yang pernah
mempertunjukkan kesaktian, pada saat ia melindungi Bantaran. Namun, Lembu Sora
tidak cemas menghadapinya. Meskipun demikian, apabila ayahnya tidak berkenan di
hatinya, atas tindakannya itu, maka yang terbaik adalah memperkuat pasukannya,
memperbesar jumlah orang-orangnya. Karena itu, waktu yang sehari, yang
diperlukan oleh ayahnya itu akan menguntungkannya pula. Malam nanti ia dapat
memerintahkan orangnya kembali ke Pamingit. Ia harus kembali dengan segenap
laskar cadangan dan laskar remaja. Dengan demikian ia mengharap bahwa ia akan
berhasil memusnahkan Arya Salaka.
Karena
pertimbangan itulah maka kemudian ia berkata,
“Terserahlah
kepada ayah. Kalau ayah memandang perlu untuk membiarkan laskar yang
berkeliaran di perbatasan itu memperpanjang umurnya dengan sehari lagi.”
Arya Salaka
tersinggung benar mendengar kata-kata pamannya. Tetapi ketika ia akan menjawab,
terasa Mahesa Jenar menggamit tumitnya, sehingga akhirnya tak sepatah katapun
yang terucapkan.
Mahesa Jenar
pun sama sekali tak memberi tanggapan apa-apa atas kata-kata Lembu Sora itu.
“Nah,” kata Ki
Ageng Sora Dipayana,
“Berilah aku
dua orang itu.”
Lembu Sora
menebarkan pandangannya ke halaman. Ketika dilihatnya Wulungan, ia berteriak
memanggil. Wulunganpun kemudian berjalan mendekatinya, dan berdiri di bawah
tangga pendapa.
“Ada perintah
Ki Ageng?”.
“Suruhlah dua
orangmu mengantar kedua orang ini kembali ke induk pasukannya,” perintah Lembu
Sora.
Wulungan ragu
sejenak, sampai Lembu Sora mengulanginya,
“Dua orang
sampai perbatasan, lewat penjagaan terakhir.”
Wulungan
mengangguk hormat. Ia tidak perlu tahu, apakah yang terjadi. Yang dapat
dilakukan adalah memanggil dua orang dari laskarnya untuk mengantar dua orang
laskar Arya Salaka, melampaui penjagaan terdepan, supaya mereka berdua tidak
mendapat gangguan apapun. Sepeninggal kedua orang yang bertugas untuk
mengabarkan kelambatan Arya, Mahesa Jenar bermaksud untuk mengadakan
pembicaraan-pembicaraan pendahuluan. Namun Ki Ageng Sora Dipayana berkata
dengan tertawa,
“Jangan kita
berbicara mengenai persoalan-persoalan yang rumit. Aku akan berpesta karena aku
telah menemukan kembali cucuku yang hilang.”
Kepada Lembu
Sora ia berkata,
“Lembu Sora,
marilah kita lupakan sejenak. Untuk malam ini saja pertentangan-pertentangan
yang ada di dalam dada kita. Kalau aku besok atau lusa, harus menghadap kembali
kepada Yang Maha Esa, aku akan meninggalkan kalian dengan senyum di bibirku.
Aku akan mengenang peristiwa malam ini. Makan bersama-sama dengan anak-cucuku,
serta tamu-tamuku yang baik hati.”
Lembu Sora
tidak dapat menolak permitaan ayahnya itu. Dengan hati berat, ia terpaksa
menyelenggarakan juga makan bersama seperti yang dikehendaki oleh ayahnya,
bersama-sama dengan tamu-tamu yang sama sekali tak dikehendaki kehadirannya,
dengan Arya Salaka, Sawung Sariti dan Wanamerta.
Lembu Sora
terpaksa mempersilakan mereka masuk ke Pringgitan, dimana telah disediakan
makanan serta segala lauk pauknya di atas tikar pandan yang bersih. Tetapi
demikian kaki Arya melampaui tlundak pintu, demikian terasa jantungnya
berdenyut. Di situlah ia beberapa tahun yang lalu bermain-main. Di atas tlundak
itu pula kadang-kadang ia duduk. Dan di situ pula ia selalu melihat ayah
bundanya duduk bersama-sama, kalau malam turun, sehabis makan sore.
Tiba-tiba saja
ia teringat pada ibunya. Kenapa baru sekarang? Agaknya semula hatinya terampas
oleh kemarahannya kepada Sawung Sariti, sehingga ia tidak ingat lagi kepada
kepentingan-kepentingan lain. Karena itulah maka tiba-tiba ia menjadi gemetar.
Matanya berkisar dari pintu ke pintu untuk menanti, barangkali dari sanalah
ibunya akan keluar untuk menjumpainya. Tetapi sampai ia duduk di atas tikar
pandan menghadapi hidangan makan, ibunya belum juga nampak. Untuk sementara ia
mencoba menahan hatinya. Namun akhirnya keluar juga pertanyaan kepada kakeknya,
“Eyang, adakah
Eyang memperkenankan aku untuk menemui ibuku?”
Ki Ageng Sora
Dipayana tersentak mendengar pertanyaan itu. Untuk sesaat tiba-tiba ia terpaku
diam dengan wajah yang berkerut. Melihat perubahan wajah itu, Arya Salaka
terkejut pula.
Karena itu ia
mendesak,
“Eyang, apakah
Ibu selamat?”
Orangtua itu
mengangguk-angguk. Jawabnya,
“Ya, ya, Arya,
Ibumu selamat.”
Arya tidak
puas dengan jawaban itu. Maka ia bertanya kembali,
“Tetapi kenapa
Ibu tidak datang menemui aku sekarang. Atau akulah yang harus menghadap?”
Ki Ageng Sora
Dipayana melemparkan pandangannya kepada Ki Ageng Lembu Sora. Dengan ragu-ragu
ia berkata,
“Lembu Sora,
jawablah pertanyaan kemenakanmu itu.”
Arya Salaka
dan Mahesa Jenar menjadi gelisah karenanya. Maka ketika Lembu Sora tidak segera
menjawab, Arya mendesak lagi,
“Di mana Ibu,
Paman?”
Lembu Sora
membetulkan letak duduknya. Kemudian ia berkata, meskipun sama sekali tidak
memandang wajah Arya Salaka.
“Ayah. Aku
sudah berkata sebelumnya, bahwa mBakyu Gajah Sora perlu mendapat perlindungan
dan ketenteraman sepeninggal Kakang. Di Pamingit, Nyai Lembu Sora akan dapat
menemaninya, serta sekadar memberinya ketenteraman dan ketenangan.”
Sekali lagi Arya
merasa tersinggung. Agaknya pamannya benar-benar tidak mau mengakui
kehadirannya. Meskipun demikian, hatinya berlega pula. Ternyata ibunya masih
selamat, meskipun tidak segera dapat ditemuinya. Namun dengan demikian, ia
masih mempunyai harapan bahwa pada suatu saat ia akan dapat membawanya kembali
ke Banyubiru.
Arya menarik
nafas dalam. Kepada eyangnya ia berkata
“Eyang, betapa
rindukupada bunda. Namun kali ini kerinduanku terpakisa masih aku simpan
didalam dada. Mudah-mudahan aku akan segera dapat menemuinya”.
“Mudah-mudahan
Arya,” jawab eyangnya singkat. Yang kemudian disambungnya dengan cepat,
”tapi jangan
lupakan permintaanku. Marilah kita makan bersama. Lupakanlah segala persoalan,
supaya aku tidak menyesal kelak.”
Tak seorangpun
menjawab. Ki Ageng Soradipayana mendahului menikmati hidangan yang tak seberapa
baik sebagaimana lajimnya makan yang disediakan didaerah darurat. Dimana setiap
saat peperangan dapat berkobar.
Meskipun
demikian, orang tua itu makan dengan lahapnya seolah olah benar-benar untuk
yang terakhir kalinya. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Wanamerta pun berusaha
untuk makan sebaik-baiknya, meskipun sore tadi mereka telah makan
kenyang-kenyang.
Hanya Arya
Salaka yang agaknya tidak dapat menekan perasaannya, sehingga setiap kali ia
menelan, setiap kali ia merasakan detak jantungnya semakin cepat.
“Betapa
enaknya makanan yang kau sajikan Lembu Sora,” ayahnya memuji. Lembu Sora sama
sekali tidak menaruh minat pada pujian itu. Sore tadi ayahnya juga sudah makan.
Makanan yang sama. Tetapi sore tadi ayahnya sama sekali tidak memujinya.
“Suatu
peristiwa yang jarang-jarang terjadi,” orang tua itu meneruskan.
“Makan bersama
anak cucu. Alangkah nikmatnya. Kalau saja hal yang demikian ini dapat aku alami
tidak hanya sekali. Aku mengharap untuk dapat makan bersama dengan kedua
anakku, kedua menantuku dan kedua cucuku.”
Tak seorangpun
yang menjawab kata-kata itu. Maka orang tua itu meneruskan,
”memang agak
berbedalah hidup di antara dinding rumah yang sempit, dengan hidup di udara
luas. Tetapi aku kira ada juga perasaan yang serupa dengan perasaanku ini.
Apalagi perasaan orang orang tua. Merekapun, aku kira, ingin selalu dapat
menikmati hidup mereka yang tinggal beberapa tahun lagi. Mereka ingin selalu
dekat dengan anak-anak mereka, menantu menantu mereka dan cucu cucu mereka.
Mereka akan mengutuk setiap usaha memisahkan mereka itu. Mereka akan bersedih
hati kalau melihat anak cucunya bercerai berai. Apalagi kalau orang orang tua
itu tahu, bahwa anak cucunya bertengkar satu sama lain. Sebab dalam pertengkaran
itu, orang orang tualah yang pasti akan kehilangan. Siapapun yang kalah dan
siapapun yang menang.”
Tiba tiba nasi
dimulut Lembu Sora terasa betapa keras dan kering, sehingga ketika ia
menelannya, segera ia menyusulnya dengan minum hampir semangkuk penuh. Meskipun
demikian ia tak berkata sepatah katapun.
Tiba-tiba
terdengarlah Sawung Sariti tertawa disusul dengan kata katanya
”Alangkah
pendeknya hidup bagi orang tua. Beberapa tahun lagi mereka harus meninggalkan
dunia ini. Tetapi bagi anak muda, hidup ini akan dihadapinya dengan penuh
gairah.”
Semua mata
memandang kearah anak muda itu. Dengan sikap yang angkuh ia meneruskan
“bagi orang
orang tua, sisa hidup mereka menikmati sebaik baiknya. Tetapi dengan demikian
seharusnya mereka tidak menutup kemungkinan, bahwa anak anak muda harus
berusaha untuk mencapai suatu masa yang cemerlang. Cemerlang baginya,
sebagaimana yang dicita-citakan.”
Ki Ageng Sora
Dipayana mengerutkan dahinya, sambil mengangguk angguk, ia menyahut
“Sawung Sariti
benar, seharusnya orang orang tua tidak menghalangi cita cita mereka. Cita cita
yang luhur, cita cita yang ditandai oleh kehangatan jiwa menghadapi alam. Namun
seharusnya dengan suatu tanggung jawab yang masak pula. Kepada diri sendiri,
kepada angkatannya dan kepada cita-cita sendiri. Namun lebih daripada itu,
pertanggungan jawab tertinggi kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena itulah maka
pencapaian cita-cita betapapun indahnya, harus dilakukan di jalan Allah. Di
jalan yang telah dibatasi oleh hukum-hukumnya.”
Kembali ruang
itu direnggut oleh kesepian. Tak seorangpun yang berkata-kata lagi. Yang
terdengar adalah mulut-mulut mereka mengunyah makanan yang disuapkan oleh
tangan tangan mereka. Tetapi mereka sudah tidak dapatmerasakan lagi, betapa
asinnya garam, dan betapa manisnya gula. Sawung Sariti tidak senang mendengar
kata kata kakeknya meskipun ia berdiam diri. Ia tahu bahwa ayahnya telah
melakukan beberapa kesalahan, meninggalkan kejujuran dan kebenaran. Namun ia
tidak menyesal bahwa ayahnya telah melakukannya. Meskipun Sawung Sariti
merasakan pula kemutlakan untuk memusnahkan golongan hitam, namun tanpa
disengajanya, ia telah melakukan hal hal yang serupa, sebagaimana pernah
dilakukan oleh golongan hitam. Kiageng Sora Dipayanapun tidak berkata-kata
lagi. Ia merasa bahwa keadaan belum memungkinkan untuk menyalurkan pendapatnya.
Meskipun ia merasa bahwa kemungkinan masih ada. Tetapi yang tidak dapat
dibacanya adalah ukiran di dinding hati anak serta cucunya. Ki Ageng Lembu Sora
dan Sawung Sariti. Siapa yang menentang arus harus disingkirkan.
SETELAH mereka
selesai, Ki Ageng Sora Dipayana berkata,
“Tamu-tamuku
yang terhormat, beristirahatlah kalian di sini. Beristirahatlah dengan tenang.
Sebab tak akan terjadi apapun malam ini dan besok pagi. Bukankah begitu Lembu
Sora?”
Lembu Sora tidak
menjawab. Ia hanya mengangguk dengan sengaja.
“Bagus…” kata
orang tua itu pula.
“Sebelum kau
lupa Lembu Sora, perintahkan kepada laskarmu. Jangan bergerak sampai besok.”
Lembu Sora
juga tidak menjawab, selain mengangguk pula.
“Di manakah
tamu-tamumu kau persilahkan beristirahat?” tanya Ki Ageng Sora Dipayana.
”Di sana,”
jawab Lembu Sora sambil menunjuk gandok wetan dengan dagunya.
Sikap itu
memang sama sekali tidak menyenangkan, namun Mahesa Jenar, Kebo Kanigara,
Wanamerta dan Arya Salaka menahan kekecewaan di dalam hatinya. Mereka sama
sekali tidak memberikan kesan apapun atas kekecewaan itu, sebagai tanda terima
kasih mereka kepada Ki Ageng Sora Dipayana atas usahanya, memecahkan persoalan
antara kedua cabang aliran darahnya.
“Silahkan
Angger.” Ki Ageng Sora Dipayana mempersilahkan.
“Aku mengharap
Angger berdua dan cucu Arya Salaka beserta Wanamerta besok pagi untuk
mengadakan pesta kembali. Pesta sederhana, namun berkesan di hati orang-orang
tua seperti aku.”
Ki Ageng Sora
Dipayana tidak menunggu jawaban. Ia berjalan mendahului, ke gandok wetan.
Tamu-tamunya segera mengikuti pula tanpa berkata sepatah katapun.
Di gandok
wetan, beberapa orang Lembu Sora datang mengantarkan tikar pandan rangkap, yang
kemudian dibentangkan di lantai. Di sanalah Arya Salaka beserta rombongannya
akan beristirahat.
“Silahkan
Angger.” Ki Ageng mempersilahkan kembali.
“Sedemikian
adanya. Besok aku akan mengajak Lembu Sora bertemu dengan kalian. Apapun yang
akan kita putuskan bersama. Agal atau alus. Namun yang harap kalian ketahui,
kemampuanku sangat terbatas. Aku menyesal bahwa Lembu Sora dan anaknya tak
dapat aku kuasai lagi dengan baik.”
“Mudah-mudahan
kita tak perlu memeras keringat Ki Ageng,” sahut Mahesa Jenar,
“Apalagi
darah.”
“Mudah-mudahan.”
Orang tua itu bergumam. Kemudian setelah mempersilahkan tamunya beristirahat
sekali lagi, Ki Ageng Sora Dipayana meninggalkan mereka di gandok wetan.
Tidak banyak
yang mereka percakapkan. Mereka akan mempergunakan waktu istirahat itu
sebaik-baiknya. Mereka percaya kepada Ki Ageng Sora Dipayana, bahwa tak akan
terjadi sesuatu malam ini sampai besok.
Malam itu Ki
Ageng Lembu Sora memerintahkan kepada laskarnya di garis pertama untuk menunda
gerakan mereka. Ada sesuatu yang sedang dipersiapkan. Bukan kemungkinan untuk
menyelesaikan masalah Banyubiru dengan baik, namun yang dipersiapkan adalah
memperbanyak jumlah laskarnya.
Sejalan dengan
itu, dua orang telah diperintahkannya pula untuk pergi ke Pamingit. Besok
menjelang malam, laskar cadangan dan laskar remaja harus sudah masuk kota Banyubiru,
langsung menempatkan diri di garis pertahanan. Sebab menilik persiapan laskar
Arya Salaka, mereka akan memasuki kota dalam tiga gelar, lewat sebelah timur,
barat, dan induk pasukan akan menusuk dari utara.
Karena itu,
Lembu Sora harus menyesuaikan diri dalam kesiagaan tiga gelar penuh. Bahkan
Lembu Sora menyiapkan kelompok-kelompok kecil yang harus mengacaukan gelar
sayap-sayap pasukan Arya Salaka dari lambung. Pasukan cadangan ini akan
merupakan pasukan penentu. Sebab menurut perhitungan Lembu Sora semula, laskar
Arya Salaka adalah laskar yang sama sekali tak teratur, dan tak memiliki daya
tempur yang baik. Menurut penilaiannya, laskar itu semula hanyalah laskar yang
dipimpin oleh Bantaran dan Penjawi. Apakah yang dapat diberikan oleh kedua
orang itu kepada laskarnya, sehingga ia tidak perlu mengerahkan segenap
kekuatannya?
Tetapi
kemudian Lembu Sora berpikir lain. Daripada ia harus mengulangi untuk kedua
atau ketiga kalinya, baiklah sekaligus dimusnahkan sajalah laskar Arya Salaka
itu bersama-sama dengan Arya Salaka, Wanamerta dan kedua orang yang
menyertainya itu. Tetapi adalah di luar perhitungan bahwa di dalam laskar Arya
Salaka terdapat dua orang yang harus diperhitungkan pula, Ki Dalang Mantingan
dari Wanakerta dan gembala bertenaga raksasa dari Karang Pandan di kaki gunung
Kelut. Wirasaba, Bantaran dan Panjawi itu jauh sebelum mereka bertemu
kadang-kadang disebut Seruling Gading. Apalagi kemudian datang bersama-sama
dengan Arya Salaka, orang-orang seperti Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Wanamerta.
Maka laskar Arya itu sebenarnya merupakan laskar yang telah ditempa lahir dan
batin.
Dalam hal itu,
Ki Ageng Sora Dipayana lah yang mempunyai perhitungan yang mendekati kebenaran.
Karena itulah maka ia sudah dapat membayangkan bahwa apabila terjadi peperangan
antara kedua cabang aliran darahnya itu, maka akan habislah nama yang pernah
dipupuknya selama ini, perguruan Pangrantunan. Hancur seperti gunung berapi
yang kokoh kuat, namun pecah karena kekuatan yang terkandung di dalam perutnya
sendiri.
Ketika
matahari kemudian menjenguk dari balik bukit, Mahesa Jenar dan Arya Salaka
beserta Kebo Kanigara dan Wanamerta segera membersihkan dirinya di sendang
kecil di sebalahnya. Tetapi mereka menjadi terkejut ketika terjadi hiruk pikuk
di halaman.
Karena itulah maka
sebelum mereka sempat berpakaian dengan baik, mereka terpaksa berdiri merapat
dinding gandok, untuk dapat mendengar apakah yang telah menyebabkan keributan
itu.
Dari pendapa
terdengarlah suara Ki Ageng Lembu Sora keras
“adakah kau
sudah sampai di Pamingit?”
“Belum Ki
Ageng di tengah perjalanan kami jumpai adi Sardu ini,” jawab seseorang yang
berdiri dihalaman dengan memegangi kendali kudanya.
“Sardu,”
teriak Ki Ageng Lembu Sora.
“Ya Ki Ageng,”
jawab yang disebut Sardu dengan cemas. Ia melangkah maju. Tangannya juga
memegang kendali kudanya.
“Benarkah
laporan itu?,”
“Benar, Ki
Ageng”
Dari celah
celah daun pintu gandok, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta dan Arya Salaka
dapat melihat bahwa wajah Lembu Sora menjadi merah padam. Dibelakangnya berdiri
Sawung Sariti dengan tegangnya. Sedang disampingnya tampak Ki Ageng
Soradipanaya dengan wajah suram.
“Aku sudah
menduga,” teriak Ki Ageng Lembu Sora, kemudian kepada ayahnya ia berkata
”bukankah apa
yang aku katakan itu benar benar terjadi?”
“Apa yang pernah
kau katakan kepadaku?”
“Bukankah ini
permainan kotor?,” sahut Lembu Sora.
“Aku tak akan
dapat dikelabuhi lagi. Persekutuan yang memuakkan dari orang gila.”
Ki Ageng Sora
Dipayana menggangguk angguk. Agaknya ia dapat menebak perasaan yang berkobar di
dalam dada anaknya. Karena itu ia berkata: ” Jangan tergesa-gesa Lembu Sora.
Aku mempunyai sangkaan lain,” ayahnya mencoba untuk menyabarkannya.
“Tak akan
salah lagi,” bantah Lembu Sora.
“Wulungan!!!,”
tiba tiba Ki Ageng Lembu Sora berteriak keras.
Dari regol
halaman, Wulungan datang berlari lari. Pedang yang tergantung dilambungnya
berjuntai-juntai hampir menyentuh tanah. Dengan tangan kirinya ia menyoba untuk
menahan pedangnya, supaya tidak mengganggu langkahnya.
“Panggil
mereka, siapkan laskarmu di halaman ini,” teriak Lembu Sora.
“Baik Ki
Ageng,” jawab Wulungan. Ketika kemudian Wulungan memandang kearah gandok wetan,
berdebarlah hati Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta serta Arya Salaka.
“Apakah yang
sudah terjadi?,” pikir mereka. Tetapi melihat Wulungan itu benar benar
melangkah ke arah pintu gandok itu.
“Ada sesuatu
yang tidak beres,” bisik Kebo Kanigara. Mahesa mengangguk. Bersamaan dengan itu
Arya segera menyambar tongkatnya yang tersandar didinding.
“Apakah yang
akan mereka lakukan?,” bisiknya.
“Entahlah,”
jawab gurunya.
“Apakah mereka
sengaja menunggu sampai pagi supaya kami tidak bisa memberikan tanda anak panah
api?” tanya Arya.
“Tapi panah
Sendaren masih ada,” kata Mahesa,
“bukankah
demikian paman Wanamerta?”
“Ya, panah itu
masih ada,” jawab Wanamerta. Mereka tidak berkata-kata lagi ketika Wulungan
sudah berdiri dimuka pintu. Yang kemudian dengan sopan ia berkata
“Angger Arya,
ada pesan dari pamannda untuk anda.”
Arya
memperbaiki kainnya sambil melangkah keluar pintu.
“Adakah
sesuatu yag penting sekali paman?”
“Aku tidak
dapat mengatakannya,” jawab Wulungan
“Baiklah kami
segera akan datang,” jawab Arya
Tetapi
Wulungan tidak segera pergi. Ketika Arya kemudian masuk kembali, terdengar
orang itu berkata dari luar pintu
“marilah
ngger, pamanda agaknya tergesa-gesa.”
Arya segera
keluar kembali dengan tombak ditangannya. Di belakangnya berjalan Wanamerta.
Dipinggangnya tersangkut bumbung yang tidak saja berisi panah sendaren tetapi
juga panah berujung tajam. Sedang ditangan kanannya tergenggam busur yang
besar, dengan bola besi sebesar salak dikedua ujungnya. Busur itu dalam keadaan
terpaksa akan dapat dipergunakan sebagai senjata pemukul yang berbahaya. Ketika
kedua orang pembantunya diperintahkan untuk mendahului membawa perintah Arya,
busur itu dimintanya. Dibelakang mereka berjajar dua orang yang menguasai penuh
ilmu perguruan Pengging, Mahesa dan Kanigara. Sambil berjalan Wanamerta
berharap mudah mudahan orang yang telah ditentukan untuk menangkap bunyi panah
sendaren tidak meninggalkan tempat mereka, sehingga dengan demikian mereka akan
dapat melangsungkan setiap berita yang disampaikan apabila terjadi sesuatu.
Ketika Arya
sampai diujung tangga, dan ketika ia hampir naik ke atas tangga itu, Lembu Sora
membentak
“Aku tidak
mengharap kau naik!”
Arya terkejut,
perlakuan itu terlalu kasar. Tapi ia ingin tahu persoalan apa yang membuat
pamannya bersikap demikian. Apakah persoalan itu masuk akal atau cuma suatu
cara memancingnya kedalam suatu pertengkaran. Karena itu iapun berhenti pula.
Lembu Sora memandangnya dengan mata menyala nyala.
Ketika Arya
membalas pandangannya ia membentak
“Aku kira kau
benar-benar lelaki seperti yang aku duga. Sekarang katakan kepadaku apa yang
sedang kau lakukan?”
Arya menjadi
bingung, ia menjawab
“aku tidak
tahu maksud paman.”
Lembu
menyibirkan bibirnya sambil sesekali meludah ke lantai
“kau berhasil
menarik sebagian laskarku ke Banyu Biru. Sekarang kau pergunakan laskar hitam
untuk memukul Pamingit.”
KATA-KATA
pamannya itu bagi Arya seperti suara petir yang meledak di ubun- ubunnya.
Bahkan Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Wanamerta sampai bergeser maju
selangkah.
“Apa yang
Paman katakan?” Arya ingin penjelasan.
“Sudah kau
dengar,” jawab Lembu Sora.
“Bohong,”
bantah Arya. Hatinya telah benar-benar panas. Apalagi dengan tuduhan pamannya
yang sangat menyakitkan hati itu.
“Tak ada yang
akan memaksa kau mengakui perbuatan curang itu. Namun kau tidak akan dapat
mengingkari, bahwa laskar di perbatasan yang sama sekali tak berarti itu
ternyata hanya suatu cara untuk memancing laskar Pamingit,” sahut Lembu Sora
keras.
“Tidak benar.”
Arya menjadi gemetar, karena marahnya. Tetapi dengan demikian kata-katanya
seperti tertahan di kerongkongan.
“Katakan
kepadaku,” sambung Lembu Sora,
“Apa sebabnya
kalian tidak segera menyerang sejak kemarin, sejak kemarin dulu atau sejak
seminggu yang lalu? Apa hubungan kalian dengan kedatangan orang-orang dari
Nusakambangan beberapa minggu lampau, kemudian menyusul orang yang bernama
Mahesa Jenar itu kemari? Apa…? Kalian tidak akan dapat membantah, bahwa kalian
benar-benar telah bekerja bersama dengan mereka. Kalau tidak, mereka tidak akan
secara kebetulan menduduki Pamingit menjelang ayam berkokok untuk yang kedua
kalinya pagi tadi.”
“Bohong!”
sekali lagi suara Arya yang bergetar terhenti di kerongkongannya. Mahesa Jenar
tahu hal itu, sebagaimana yang pernah terjadi. Arya bukan orang yang pandai
berbantah. Karena itu dengan tenang ia melangkah maju untuk mewakili muridnya
berkata,
“Ki Ageng
Lembu Sora, jangan menuduh kami seperti menuduh pencuri. Kami bukan sebangsa
pengecut yang tidak percaya pada diri sendiri, sehingga kami telah kehilangan
harga diri, bekerja bersama dengan golongan hitam. Golongan yang akan terkutuk
sampai seribu keturunan.”
Lembu Sora
tertawa terbahak-bahak. Tertawa untuk melepaskan kemarahan yang hampir tak
tertahan lagi. Kemudian dengan menunjuk kepada Sardu ia berkata keras-keras,
“Berkatalah
kepadanya. Berkatalah bahwa kalian telah mencoba mencuci tangan. Namun orang
itu menyaksikan dengan mata kepala sendiri, orang-orang golongan hitam
menduduki Pamingit. Membakari rumah-rumah dan segala isinya. Orang itu
mendengar dengan telinga yang melekat di batok kepalanya, bahwa orang-orang
golongan hitam itu berteriak-teriak. Tak ada gunanya kalian mengirim orang ke
Banyubiru. Banyubiru telah dihancurkan oleh Arya Salaka dan Mahesa Jenar. Apa
katamu?”
Tiba-tiba
Mahesa Jenar teringat kepada seekor kuda yang berlari dengan meninggalkan debu
yang putih dan menghilang di cakrawala siang kemarin, ketika laskar Arya sedang
berjalan ke perbatasan. Karena itulah maka ia berkata di dalam hatinya, “Gila.
Orang-orang golongan hitam itu benar-benar mempergunakan kesempatan ini.”
Namun kepada
Lembu Sora ia menjawab,
“Kau terlalu
tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Kalau orang-orang golongan hitam itu mempergunakan
setiap kesempatan di dalam kekeruhan, adalah mungkin sekali. Karena itulah maka
aku selalu menganjurkan kepada Arya Salaka, untuk menempuh jalan yang tidak
memungkinkan golongan hitam itu mengambil kesempatan. Tetapi kau telah memaksa
untuk memagari kota ini dengan pasukannya.”
“Kau sama
sekali tidak bermaksud menyelesaikan masalah Banyubiru dengan baik. Kau hanya
ingin menjajagi keteguhan tekad kami untuk melindungi daerah ini. Ketika kau
merasa tidak mampu lagi untuk berbuat sesuatu, kau meleburkan dirimu ke dalam
tubuh golongan hitam itu.”
Mahesa Jenar
akhirnya menjadi marah pula. Meskipun ia masih mencoba menahannya. Katanya,
“Kami adalah orang-orang yang menempatkan diri kami di dalam lingkungan yang
menganggap bahwa golongan hitam harus dimusnahkan.”
Sekali lagi
Lembu Sora tertawa untuk melepaskan kemarahannya yang semakin memuncak. Sama
sekali bukan tertawa karena ia menjadi gembira. Katanya meledak seperti guruh,
“Mahesa Jenar.
Sejak semula aku sudah curiga kepadamu. Kepada Kakang Gajah Sora aku sudah
pernah memperingatkan bahwa orang Pandanaran ini, kenapa demikian mengikat diri
di Banyubiru. Sejak lenyapnya Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten dari
Walangkan di Banyubiru, sebenarnya aku sudah dapat mengambil kesimpulan, bahwa
kau adalah salah seorang dari mereka. Salah seorang dari golongan hitam.”
Dada Mahesa
Jenar seperti akan meledak mendengar tuduhan itu. Ia benar-benar marah. Karena
itulah maka ia melangkah selangkah maju. Dalam pada itu Ki Ageng Sora Dipayana
pun menjadi sangat cemas. Tetapi ketika ia akan melangkah, Mahesa Jenar telah
berkata dengan lantangnya sambil menunjuk ke arah wajah Ki Ageng Lembu Sora,
“Ki Ageng
Lembu Sora. Kau jangan mengada-ada. Siapakah yang pernah berhubungan dengan
golongan hitam untuk meniadakan Kakang Gajah Sora. Siapakah yang telah
mengikatkan diri dalam suatu perjanjian dengan Sima Rodra Muda atas tanah
Pangrantunan? Dan siapakah yang telah mengerahkan orang-orangnya untuk mencegat
pasukan dari Demak, pada saat Gajah Sora sedang berusaha untuk memecahkan
perselisihan yang ada antara Banyubiru dengan Demak? Siapakah yang dengan
senang hati menghadiri pertemuan golongan hitam di lembah Rawa Pening? Siapa?
Mahesa Jenar kah itu…?”
“Diam…!”
bentak Lembu Sora. Tetapi Mahesa Jenar tidak mau diam. Ia berkata terus,
sambungnya,
“Kau takut
melihat kenyataan itu.”
“Kau takut aku
mendahului mengatakan itu kepadamu,” teriak Lembu Sora,
“Dengan
ocehanmu itu kau ingin mengaburkan kenyataan yang kau hadapi kini.”
“HUH,” Mahesa
Jenar menyahut,
“Katakan
kepadaku Lembu Sora. Siapakah yang telah membunuh Sima Rodra Muda? Siapa pula
yang telah membunuh jandanya, yang telah kehilangan sifat manusianya? Kau tidak
pernah melihat cara mereka bergembira. Sayang. Barangkali kau akan tertarik
pula pada upacara-upacara yang mereka adakan. Dan siapakah yang telah membunuh
sepasang Uling dari Rawa Pening? Bukan kau? Bukan Ki Ageng Lembu Sora yang
sekarang berdiri dengan gagahnya di pendapa Banyubiru?”
Lembu Sora
terdiam untuk beberapa saat. Ia benar-benar tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan
Mahesa Jenar yang mengalir seperti banjir itu. Ia memang pernah mendengar
kabar, bahwa Sima Rodra suami-istri dan sepasang Uling Rawa Pening telah
terbunuh. Namun kabar itu sangat dirahasiakan oleh golongan hitam. Apalagi
kegiatan-kegiatan di Gunung Tidar maupun di Rawa Pening seolah-olah sama sekali
belum padam. Sehingga ia menjadi ragu atas kebenaran berita itu.
Dalam
keragu-raguan ia mendengar Mahesa Jenar meneruskan,
“Ketahuilah
Lembu Sora, bahwa akulah yang membunuh Sima Rodra Muda. Sedang jandanya telah
mati terbunuh oleh anak tirinya. Kalau kau ingin tahu siapakah yang membunuh
Uling Putih dan Uling Kuning? Nah, lihatlah anak yang berdiri di hadapanmu itu.
Kemenakanmu sendiri.”
Yang mendengar
kata-kata itu menjadi terkejut. Lembu Sora, Sawung Sariti, juga Sora Dipayana.
Apakah benar Arya Salaka telah dapat membunuh sepasang Uling Rawa Pening?
Tetapi mereka tidak bertanya.
Sehingga
kemudian terdengar Mahesa Jenar meneruskan,
“Arya Salaka
lah yang pada masa orang-orang golongan hitam mabuk mencari keris Kyai
Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, dan kemudian keinginan mereka menelan Pamingit
dan Banyubiru, selalu dikejar-kejar sehingga sangat membahayakan jiwanya, dan
yang kemudian tampil ke depan melawan mereka. Itukah yang kau tuduh sekarang
ini tertelan oleh golongan itu?”
Lembu Sora
menjadi pening mendengar suara Mahesa Jenar seperti hujan tercurah dari langit.
Karena itu kemudian ia berteriak keras-keras,
“Cukup.
Cukup…! Kebohongan yang teratur memang kadang-kadang menimbulkan kesan,
seolah-olah peristiwa-peristiwa itu benar-benar telah terjadi. Tetapi aku tidak
akan dapat kau kelabuhi. Aku tidak buta dan aku tidak tuli. Aku melihat semua
yang telah terjadi, dan aku mendengarnya pula. Sekarang aku tidak akan banyak
bicara. Kesempatan yang baik bagiku untuk menumpas kalian di sini sekarang
juga. Baru aku akan tenang kembali ke Pamingit untuk memusnahkan orang-orang
dari golongan hitam itu.”
Mahesa Jenar
sadar, bahwa ia tidak perlu memberi keyakinan kepada Lembu Sora bahwa ia sama
sekali tidak mengadakan hubungan apapun dengan golongan hitam. Ia tidak perlu
mengabarkan bahwa yang terakhir ia bertempur mati-matian melawan Pasingsingan.
Sebab apapun yang dikatakan, tidak akan mempengaruhi maksud Lembu Sora untuk
memusnahkan mereka. Karena itu yang dapat dilakukan adalah mempersiapkan diri
sepenuhnya untuk menghadapi setiap kemungkinan yang akan terjadi.
Dalam pada itu
tiba-tiba Ki Ageng Sora Dipayana melangkah maju. Agaknya ia dapat mengambil
kesimpulan dari pertengkaran antara anaknya dengan Mahesa Jenar. Maka katanya
kemudian,
“Lembu Sora.
Jangan kehilangan pegangan. Yang penting sekarang adalah menyelamatkan tanahmu,
Pamingit. Kalau kau buang waktu dan tenagamu di sini, maka aku kira keadaan
tanahmu dan dirimu sendiri akan menjadi semakin parah.”
“Apa yang
dapat dilakukan oleh empat orang itu, Ayah…?” bantah Lembu Sora.
Ki Ageng Sora
Dipayana menyahut,
“Empat orang
ini adalah orang-orang yang dapat kau lihat berdiri di sini Lembu Sora. Tetapi
di belakang mereka berdiri satu pasukan yang kuat di perbatasan kota.”
“Pasukan itu
tak akan berarti bagiku,” jawab Lembu Sora dengan sombongnya.
“Berarti atau
tidak berarti, namun itu telah mengurangi waktumu dan tenaga laskarmu. Kau
lihat apa yang tersimpan di dalam bumbung Wanamerta itu? Panah sendaren, yang
dapat menggerakkan laskar mereka dari jarak yang jauh. Dan kau dengan apa yang
dikatakan Angger Mahesa Jenar? Arya Salaka telah mampu membunuh sepasang Uling
dari Rawa Pening. Karena itu kau akan dapat mengira-irakan, apakah yang dapat
dilakukan oleh Angger Mahesa Jenar.”
“Aku tidak
peduli,” potong Lembu Sora.
“Kau harus
pedulikan itu,” sahut ayahnya.
Tetapi Ki
Ageng Sora Dipayana tidak sempat meneruskan ketika di luar regol terdengar
suara ribut.
“Apakah itu?”
tanya Lembu Sora keras-keras.
“Laskar
diperbatasan mulai bergerak?” Seseorang berlari-lari datang kepadanya.
Dengan
hormatnya ia berkata,
“Bukan Ki
Ageng. Sama sekali bukan laskar dari perbatasan. Tetapi mereka adalah rakyat
Banyubiru.”
“Apa yang
mereka lakukan? Adakah mereka sudah gila?” bentak Lembu Sora.
“Tidak Ki
Ageng,” jawab orang itu.
“Mereka
mencoba untuk memasuki halaman.”
“Kenapa?”
Lembu Sora membentak-bentak.
“Mereka ingin
melihat Arya Salaka,” jawabnya.
“Gila. Mereka
telah benar-benar gila. Kenapa kau bilang tidak?” Lembu Sora menjadi semakin
marah. Persoalan itu menambah kepalanya menjadi pening.
“Bunuh mereka
yang memaksa.”
“Jangan Lembu
Sora,” ayahnya menyabarkan.
“Kau jangan
menambah lawan. Rakyat Banyubiru adalah sebagian darimu selama kau masih
berdiri di sini. Karena itu dengarlah suaranya. Selama ini tak pernah mengerti
apa yang tersimpan di dalam hatinya. Kau paksa mereka berkata seperti apa yang
kau katakan. Sekarang kau benar-benar di dalam kesulitan. Biarlah aku
menempatkan dirimu pada tempat yang seharusnya. Pergilah ke Pamingit dan
hancurkan golongan hitam yang telah menodai kedaulatanmu.”
KEMUDIAN
kepada Arya Salaka, kakeknya itu berkata,
“Arya, aku
minta kepadamu, tundalah persoalanmu. Sebab setiap pertengkaran di antara kita
hanya akan memberi kesempatan kepada golongan hitam untuk melumpuhkan kita. Kau
mau?”
Arya ragu
sejenak. Tiba-tiba ia dihadapkan pada suatu pilihan yang sulit. Hampir-hampir
ia tidak dapat lagi meredakan kemarahannya, seandainya bukan kakeknya yang
bertanya kepadanya. Karena itu, berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang
lebih jauh, Arya merasa tidak berkeberatan. Meskipun demikian ia memandang juga
kepada gurunya. Ketika gurunya mengangguk, Arya pun menjawab,
“Aku akan
bersedia dengan sepenuh hati, Eyang.”
Ki Ageng Sora
Dipayana mengangguk-angguk gembira.
Sambil
tersenyum ia berkata,
“Bagus. Aku
memang sudah menduga bahwa hatimu bersih sebersih hati ayahmu.”
Kembali Lembu
Sora menjadi sakit hati mendengar pujian itu. Dengan lantangnya ia berkata,
“Ayah terlalu
memberi hati kepadanya. Biarlah ia tahu bahwa ia sama sekali tak cukup bernilai
untuk mempersoalkan kedudukan Kakang Gajah Sora.”
“Eyang…” sahut
Arya yang hampir kehilangan kesabarannya kembali,
“Biarlah paman
memilih.”
“Jangan,
jangan….” potong Sora Dipayana cemas. Suaranya terputus oleh keributan yang
semakin menjadi-jadi di luar regol.
Terdengarlah
suara rakyat Banyubiru itu berteriak-teriak,
“Berilah kami
jalan. Biarlah kami melihat Arya Salaka.”
Para penjaga
menjadi semakin sibuk. Mereka merapatkan diri dengan senjata terhunus untuk
menahan arus rakyat yang sedemikian lama semakin banyak.
“Dari mana
mereka tahu, bahwa Arya Salaka ada di sini?” tanya Sora Dipayana kepada salah
seorang pengawal.
“Entah Ki
Ageng,” jawabnya.
“Lembu Sora.”
Ki Ageng Sora Dipayana berkata kepada anaknya,
“Kesetiaan mereka
kepada kampung halamannya harus kau perhitungkan pula. Mereka dapat menjadi
lunak, namun dapat menjadi liar melampaui serigala.”
Lembu Sora
terdiam. Ia menjadi benar-benar ngeri menghadapi keadaan. Golongan hitam dengan
ganasnya telah melanda Pamingit. Sekarang rakyat Banyubiru seperti orang mabuk
berbondong-bondong datang untuk melihat Arya Salaka.
“Arya…” kata
Ki Ageng Sora Dipayana,
“Hanya kau
yang mampu menenangkan mereka. Pergilah kepada mereka, dan berjanjilah bahwa
kau akan menunda persoalan sampai pamanmu dengan orang-orang golongan hitam itu
selesai.”
Kembali Arya
ragu. Namun sekali lagi ia melihat gurunya menganggukkan kepalanya. Maka Arya
pun menjawab,
”Baiklah
Eyang.”
“Aku percaya
kepadamu.” Kakeknya berkata seterusnya. Lalu kepada Mahesa Jenar ia berkata,
“Apalagi
kepada Angger Mahesa Jenar sebagai penerus perguruan Pengging yang terkenal.
Aku percaya kepada Angger seperti aku percaya kepada setiap kata yang diucapkan
oleh Ki Ageng Pengging Sepuh.”
Mahesa Jenar
sadar, bahwa kata-kata itu sama sekali bukanlah pujian, tapi baginya, Ki Ageng
Sora Dipayana menyatakan permintaannya yang sedalam-dalamnya, supaya ia dapat
mengendalikan Arya Salaka. Namun demikian ia menjawab,
“Mudah-mudahan
aku dapat menjunjung kepercayaan itu.”
Kemudian
kepada Lembu Sora ia berkata,
“Kau dapat
pergi dengan tenang Lembu Sora. Anggaplah bahwa di Banyubiru sekarang tidak ada
persoalan apapun. Dengan demikian kau dapat mencurahkan segenap perhatianmu
kepada tanahmu.”
Lembu Sora
masih ragu. Baginya sebenarnya akan sama saja akibatnya. Dalam keadaan payah,
ia masih harus menghadapi lawan lain. Tetapi akhirnya ia benar-benar mengharap,
agar Arya menunda tuntutannya sampai ia dapat menyegarkan laskarnya kembali.
Ketika di luar suara rakyat Banyubiru seolah-olah hendak membelah langit, maka
sekali lagi Ki Ageng Sora Dipayana berkata kepada Arya,
“Arya,
tenangkan mereka. Syukurlah kalau mereka mau kau minta pulang ke rumah
masing-masing, supaya tidak menambah beban pembicaraan kita di sini. Sementara
itu biarlah pamanmu dan adikmu Sawung Sariti mempersiapkan keberangkatannya.”
Arya
membungkuk hormat. Kemudian ia melangkah ke regol halaman diikuti oleh
Wanamerta, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Demikian ia sampai di depan regol,
terdengarlah suara rakyat Banyubiru itu.
“Itukah Arya
Salaka? Itukah…?”
Kemudian suara
itu menjadi semakin riuh. Akhirnya meledaklah suara mereka,
“Arya Salaka…!
Arya Salaka….!”
Kemudian Arya
berdiri di atas sebuah dingklik kayu. Mula-mula yang menyentuh perasaannya
adalah keharuan yang mendalam. Untuk sesaat ia tak dapat berkata sepatah
katapun. Seolah-olah lidahnya menjadi beku. Baru kemudian ia berkata,
“Berbahagialah
aku, karena kesempatan yang aku peroleh, berhadapan muka dengan rakyat
Banyubiru yang setia.”
Suara rakyat
itu semakin menggemuruh, seperti lebah berpindah sarang. Arya Salaka mengangkat
tangannya. Suara itupun menjadi semakin berkurang, dan akhirnya hilang sama
sekali. Para pengawal masih saja berdiri rapat dengan ujung senjata yang rapat
pula.
“AKU datang
kembali ke Banyubiru, karena rinduku kepada kampung halaman dan kepada kalian,”
sambung Arya Salaka.
Suaranya
terputus oleh tepuk tangan gemuruh.
“Tetapi…”
sambung Arya Salaka,
“Maafkanlah
bahwa aku belum mempunyai banyak waktu untuk menyambut kalian dengan tanggapan
yang lebih baik. Karena itu aku janjikan, lain kali aku akan menerima kalian,
seluruh rakyat Banyubiru di alun-alun ini. Sekarang, setelah terpenuhi
permintaan kalian, berhadapan muka dengan aku, aku harap kalian sudi
meninggalkan tempat ini, kembali ke tempat kalian masing-masing.”
Rakyat
Banyubiru menjadi kecewa. Mereka ingin mendengar kabar, apakah yang telah
terjadi di dalam lingkaran dinding rumah itu. Mereka ingin mendengar, apakah Ki
Ageng Lembu Sora masih akan tetap menguasai Banyubiru.
Namun sekali
lagi Arya minta mereka untuk bubar, dengan janji secepat-cepatnya ia akan
memberikan kabar itu kepada rakyat Banyubiru. Sehingga dengan demikian,
meskipun hati mereka belum lapang seperti harapan mereka, namun
setidak-tidaknya mereka telah bertemu dengan anak muda yang mereka rindukan.
Yang telah
mereka dengar kehadirannya dari Ira, yang sengaja menyebar kabar kedatangan
Arya Salaka. Ketika rakyat yang berjejalan itu telah surut, dan semakin lama
semakin hilang, maka siaplah Lembu Sora beserta putranya Sawung Sariti. Beberapa
orang berkuda telah disebar untuk menarik pasukan Pamingit dari perbatasan.
Penarikan itu disambut dengan berbagai pertanyaan di dalam hati.
Mula-mula,
mereka yang menyandang senjata karena gemerincingnya uang, merasa berbahagia
sekali ketika mereka mendengar bahwa pasukan itu ditarik dari garis
pertempuran. Sebab mereka memang sama sekali tidak mengharapkan darah mereka
menetes, menyiram tanah yang tak memberikan harapan apa-apa bagi mereka. Dengan
demikian mereka mengharap untuk dapat segera bertemu dengan anak istrinya atau
dengan kekasihnya, atau dengan orang tua mereka yang telah pikun dan meletakkan
harapan mereka kepada anak-anaknya. Tetapi ketika mereka mendengar kabar, bahwa
mereka harus berhadapan dengan golongan hitam lebih dahulu, mereka menjadi
kecewa. Bagi mereka, orang-orang golongan hitam pasti akan jauh lebih buas dan
biadab daripada orang-orang Banyubiru. Tetapi ketika mereka teringat anak-istri
mereka, sawah dan ladang dimana mereka meletakkan harapan mereka untuk memberi
anak-anak mereka makan, maka tiba-tiba timbullah semangat mereka. Terasalah
perbedaan tanggapan, bahwa mereka akan lebih ikhlas berkorban apabila mereka
mempertahankan sawah ladang mereka, daripada mereka harus merampas sawah ladang
orang lain.
Di Alun-alun
Banyubiru mereka berkumpul. Di hadapan mereka Ki Ageng Sora Dipayana berkata,
“Rakyat
Pamingit yang berani…. Kenanglah masa-masa orang tuamu dahulu menempa tanah ini
menjadi daerah perdikan seperti yang kalian miliki ini. Karena itu pertahankan
tanah itu. Rakyat Pamingit, bagian dari tanah perdikan yang semula bernama
Pangrantunan, pasti akan tetap berdarah jantan. Orang-orang golongan hitam
bukanlah hantu yang harus kita takuti, tetapi mereka adalah setan-setan yang
harus kita musnahkan. Masa depan tanah kalian berada di dalam genggaman
kalian.”
Orang yang
semula ragu-ragu hatinya, kini menjadi teguh. Kalau ada di antara orang-orang
laskar Pamingit itu orang Pangrantunan, maka merekapun masih teringat, beberapa
tahun yang lampau, beberapa orang bawahan Sima Rodra selalu datang menarik
tanda panungkul kepada mereka. Mereka tak dapat berbuat sesuatu, sebab tanah
itu telah digadaikan oleh Lembu Sora. Tetapi sejak dua orang Lembu Sora
terbunuh, berbedalah keadaannya. Apalagi kemudian terjadi perubahan perhubungan
antara Ki Ageng Lembu Sora dan Sima Rodra, apalagi sepeninggal Sima Rodra muda
suami-istri, sehingga gadai tanah itu dicabut.
Kini mereka
harus berhadapan dengan golongan hitam itu. Bekal dendam yang ada di dalam dada
mereka telah menyalakan semangat mereka untuk menumpas golongan hitam itu
habis-habisan, meskipun ada di antara laskar Pamingit itu yang pernah mengalami
suatu masa, dimana mereka harus bekerja bersama dengan laskar hitam itu.
Ketika
matahari telah memanjat semakin tinggi di kaki langit, terdengarlah bunyi
sangkalala. Seperti air mengalir laskar Pamingit itu bergerak, meninggalkan
Alun-alun Banyubiru kembali ke kampung halaman, untuk mempertahankan tanah
mereka dari terkaman orang-orang yang tergabung di dalam suatu lingkaran hitam
yang berhati kelam. Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti, dengan kuda
masing-masing, berjalan di ujung pasukannya. Di belakangnya berjalan dengan
tekad yang bulat, pemimpin pengawal kepala daerah perdikan itu, Wulungan.
Seterusnya beberapa orang pilihan, yang tergabung dalam laskar pengawal itu.
Barulah kemudian berbaris membujur ke belakang, kelompok-kelompok laskar
Pamingit. Sebenarnya Lembu Sora pun mempunyai beberapa orang pilihan yang dapat
membantunya, menghadapi tokoh-tokoh hitam. Selain Wulungan, di dalam laskar Pamingit
itu terdapat orang-orang yang setingkat Galunggung, Welat Ireng, Pakuwon,
Sampir, dan beberapa orang lainnya.
No comments:
Post a Comment