SEKARANG semuanya menjadi agak jelas bagi Handaka. Ternyata orang itu datang kepadanya dengan maksud baik. Menuntunnya untuk berlatih lebih keras. Dan tahulah ia sekarang kenapa pada malam-malam pertama, kedua dan ketiga orang itu seolah-olah hanya memiliki unsur-unsur gerak yang itu-itu saja, sehingga dengan demikian ia berhasil menguasai unsur-unsur itu, serta kemudian pada malam-malam berikutnya tanpa disengajanya unsur-unsur itu terselip pada gerak-gerak perlawanannya, sedang lawan-lawannya dapat memberikan perlawanan sebaik-baiknya dan diulang-ulangnya pula. Karena itu, dadanya jadi bergelora. Apalagi ketika gurunya berkata,
“Handaka… orang
yang datang berturut-turut itu pastilah seorang yang sakti, jauh lebih sakti
dari gurumu ini. Itulah sebabnya aku sama sekali tidak berusaha untuk
menangkapnya, sebab hal itu pasti akan sia-sia. Hal itu juga ternyata pula,
bahwa orang itu dapat mengetahui bahwa aku berada di sekitar ini meskipun aku
telah bersembunyi sebaik-baiknya”.
Handaka
mengangguk-anggukkan kepalanya. Hal itu sama sekali tak pernah dibayangkan
sebelumnya, bahwa seorang yang sakti, bahkan lebih sakti dari gurunya, datang
kepadanya dengan cara-cara yang aneh.
“Jadi Bapak
diketahuinya sebelum Bapak menampakkan diri?”
“Tidak hanya
itu saja Handaka… Manahan meneruskan, Sedang aku pun telah menerima nasihatnya
pula”.
“Nasihat untuk
Bapak?” tanya Handaka terkejut.
Manahan
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Bukankah
orang itu berkata kepadaku bahwa pertanian bukanlah daerah pelarian. Bukan
daerah tempat orang-orang yang berputus asa apabila kewajibannya sendiri sudah
tak dapat ditunaikan…?”
Handaka
memandang Manahan dengan mata yang bertanya-tanya. Ia sama sekali tidak tahu
maksud perkataan itu. Sampai Manahan melanjutkan,
“Handaka…,
barangkali kau sama sekali tak dapat menghubungkan perkataan-perkataan itu
dengan keadaan kita. Tetapi ketahuilah bahwa ada sesuatu hal yang selama ini
belum pernah aku katakan kepadamu, sebab kau masih aku anggap terlalu
kanak-kanak. Sekarang, aku kira kau telah cukup dewasa untuk mengetahui lebih
banyak hal tentang keadaan kita. Keadaan serta kewajiban-kewajibanku dan
keadaan serta kewajiban-kewajibanmu.
Bagus Handaka
mendengarkan setiap kata gurunya dengan saksama. Sakit-sakitnya di seluruh
tubuhnya sudah tidak dirasakannya lagi. Sementara itu angin malam bertiup
lemah, dan bintang-bintang di langit telah mengubah susunannya. bintang Waluku
telah jauh condong di barat, sedang bintang Bima Sakti telah mulai mengabur
pada kedua ujungnya, jauh di selatan dan utara.
“Bagus
Handaka….” Manahan meneruskan perlahan-lahan.
“Sebenarnya
saat ini aku sedang mengemban suatu tugas yang berat. Tugas yang tidak boleh
diketahui oleh orang lain. Sekarang, karena kau telah cukup dewasa, ternyata
seorang sakti yang tak dikenal telah berkenan langsung mengajarmu, maka baiklah
aku berterus-terang pula. Saat ini aku sedang berusaha untuk mencari dua pusaka
Istana yang hilang, berwujud keris yang bernama Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk
Inten”.
Handaka
mendengarkan ceritera gurunya sampai tidak sempat berkedip. Sedang Manahan
kemudian berceritera tentang kedua keris yang pernah diketemukannya bersama
ayahnya, Gajah Sora. Tetapi keris itu kemudian hilang kembali. Dan karena itu
pula maka ayahnya terpaksa menghadap Sultan Demak untuk mempertanggungjawabkan
hilangnya kedua pusaka itu.
Sepeninggal
Gajah Sora, Banyubiru kemudian ditimpa oleh banyak malapetaka dan Bagus Handaka
sendiri hidupnya selalu terancam bahaya.
“Untunglah
bahwa Paman Lembu Sora segera bertindak,” desis Bagus Handaka,
“Dengan
demikian pasti Ibu serta Banyubiru dapat diselamatkan”.
Mendengar
kata-kata Bagus Handaka itu Manahan menarik nafas dalam-dalam. Sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya ia berkata dengan suara sayu,
“Kau keliru
Bagus Handaka”.
“Keliru?” sela
Handaka terkejut.
“Ya, kau
keliru”. Manahan menjelaskan,
“Sayang bahwa
pamanmu sama sekali tidak berbuat demikian. Meskipun apa yang dikatakan kepada
semua warga Banyubiru, pamanmu telah berusaha menyelamatkan ibumu serta daerah
perdikan itu, namun nyatanya tidaklah demikian. Sebab pamanmulah sebenarnya
sumber keributan itu”.
Handaka
menjadi semakin tidak mengerti. Ia melihat sendiri ketika itu pamannya telah
membantu ayahnya menghalau gerombolan yang menyerang Banyubiru. Bahkan kemudian
ibunya telah memerintahkan Sawungrana untuk meminta bantuan pamannya pula
ketika kemudian timbul hura-hara.
“Bagus
Handaka…” sambung Manahan,
“Ketahuilah,
pamanmulah yang berusaha untuk menyingkirkan ayahmu. Karena pamanmu ingin
menguasai seluruh daerah perdikan Pangrantunan Lama. Karena itu ia telah
berusaha untuk menyingkirkan kau pula, yang pasti akan menjadi penghalang
usahanya itu”.
Mendengar
kata-kata terakhir itu, menggigillah tubuh Bagus Handaka karena kemarahan yang
mencengkam perasaannya. Ia sama sekali tidak mengira, bahwa apa yang terjadi
adalah kebalikan dari dugaannya.
“Benarkah apa
yang Bapak katakan…?” Handaka bertanya untuk mendapat suatu kepastian.
“Aku telah
berkata sebenarnya,” jawab Manahan.
“Tetapi kenapa
Bapak baru mengatakan itu kepadaku sekarang?”
“Aku
menganggap bahwa sebelum ini, kau belum cukup dewasa, Handaka,” jawab Manahan
pula.
Tetapi agaknya
Handaka tidak puas mendengar keterangan itu, maka ia mendesak,
“Dan kenapa
pada saat itu Bapak tidak berbuat sesuatu untuk mencegah perbuatan itu?”
Manahan
membenarkan letak duduknya. Ia dapat mengerti sepenuhnya pergolakan perasaan
muridnya.
Dengan sabar
Manahan menjelaskan,
“Handaka…..,
waktu itu aku tidak dapat berbuat apa-apa. Aku tidak dapat menunjukkan
bukti-bukti kejahatan yang telah dilakukan oleh pamanmu. Juga karena kelicinan
pamanmu, di hadapan ayahmu aku pernah hampir-hampir dibinasakan oleh Laskar
Banyubiru sendiri, karena mereka curiga kepadaku tentang hilangnya kedua keris
itu. Untunglah bahwa ayahmu sempat mencegahnya. Kemudian aku tidak yakin bahwa
kecurigaan para pimpinan Laskar Banyubiru itu kepadaku telah lenyap dari hati
mereka seluruhnya atau baru sebagian saja dari antara mereka”.
Mendengar
penjelasan gurunya, Bagus Handaka semakin terbakar hatinya. Matanya kemudian
menjadi merah menyalakan kemarahannya. Giginya terdengar gemeretak serta denyut
jantungnya bertambah cepat. Dan tiba-tiba saja lenyaplah segala perasaan sakit
dan nyeri. Meskipun masih agak tertatih-tatih ia bangkit berdiri serta dengan
suara lantang ia berkata,
“Bapak…,
apapun yang terjadi atasku, aku tidak ambil pusing. Besok pada saat matahari
terbit aku minta ijin Bapak untuk kembali ke Banyubiru. Aku atau Paman Lembu
Sora yang akan binasa tidaklah menjadi soal. Tetapi aku harus menuntut balas”.
“Handaka…”
kata Manahan masih setenang tadi,
“Duduklah”.
Handaka dengan
tidak sabar memandangi Manahan yang masih saja duduk di pasir pantai.
“Tidakkah
sekarang sudah saatnya Bapak…?” Kita harus bertindak tegas.
“Duduklah
Handaka….” Meskipun Manahan berkata perlahan-lahan, namun nadanya penuh dengan
tekanan, sehingga Handaka tidak dapat berbuat lain, kecuali duduk kembali di
sisi gurunya.
“Handaka…”
sambung Manahan,
“Aku dapat
mengerti sepenuhnya perasaan yang bergelora di dalam dadamu. Tetapi jangan
membiasakan diri bertindak tergesa-gesa. Membunuh pamanmu Lembu Sora barangkali
tidaklah terlalu sulit, meskipun bagaimana saktinya. Tetapi akibat dari
perbuatan itu sudahkah menjadi perhatianmu? Setidak-tidaknya pasti akan timbul
permusuhan antara Pamingit dan Banyubiru. Kalau benar demikian, maka diantara
kedua daerah perdikan itu pasti akan ditelan oleh masa depan yang suram.
SETELAH diam
sejenak, Manahan melanjutkan,
“Dalam
kekalutan itu akan hadirlah kekuatan-kekuatan dari pihak lain yang akan menelan
Pamingit dan Banyubiru sekaligus. Sebab dalam hal ini golongan hitam pasti
tidak akan tinggal diam. Mereka pasti akan mempergunakan kesempatan
sebaik-baiknya. Kemudian dapatlah dipastikan bahwa di atas mayat-mayat laskar
Pamingit dan Banyubiru akan berkibar bendera-bendera mereka, bendera yang
bergambarkan harimau hitam, sepasang uling yang berlilitan, kelelawar raksasa
berkepala serigala, ular laut yang ganas. Setelah itu lenyaplah sudah nama daerah
perdikan Pamingit dan Banyubiru sekaligus. Lenyap pulalah hasil jerih payah
eyangmu Sora Dipayana yang dengan memeras keringat dan darah membangun kedua
daerah perdikan itu. Lenyap pulalah nama kebesaran keluarga Sora yang selama
ini disegani oleh daerah-daerah lain, bahkan sampai ke Istana Demak. Yang ada
kemudian tinggalah nama-nama Sima Rodra, Uling Rawa Pening, Lawa Ijo, dan Jaka
Soka.”
Bagus Handaka
adalah seorang anak yang cerdik. Karena itu segera ia dapat menangkap maksud
gurunya. Namun meskipun demikian amat sulitlah baginya untuk mengendalikan
perasaannya.
Maka
bertanyalah ia,
“Bapak, kalau
demikian apakah kita biarkan saja Paman Lembu Sora tidak terhukum atas
kesalahannya itu?”
“Itu pasti
Handaka,” jawab Manahan.
“Siapa yang
bersalah harus dihukum. Tetapi kita harus menjaga agar kita dapat menarik garis
antara pamanmu Lembu Sora dan orang-orangnya yang sama sekali tidak
tahu-menahu, sehingga dengan demikian pertumpahan darah yang luas dapat
terhindar. Itu adalah tugasmu Handaka, meyakinkan orang-orang Pamingit dan
Banyubiru, bahwa pamanmu telah berbuat suatu dosa yang harus
dipertanggungjawabkan.”
Bagus Handaka
menjadi tertegun diam. Perkataan Manahan itu seolah-olah satu demi satu
menyusup ke dalam dadanya serta mendinginkan hatinya. Sadarlah bahwa pekerjaan
yang dihadapinya bukanlah pekerjaan yang dapat dilakukan dengan tergesa-gesa,
tetapi harus ditempuhnya dengan penuh kebijaksanaan.
“Lalu apakah
yang harus aku lakukan Bapak?” tanya Handaka kemudian.
Untuk beberapa
saat Manahan tidak menjawab. Ia sendiri masih belum tahu dengan pasti, apa yang
akan dilakukannya. Namun demikian ia kemudian menjawab,
“Handaka, kita
harus meninggalkan pedukuhan ini. Aku harus tetap berusaha mencari keris-keris
Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Disamping itu ada baiknya kalau kita
mencari berita tentang Banyubiru dan perkembangannya setelah kau tinggalkan.
Kemudian baru kau menentukan cara untuk memecahkan masalahnya. Meskipun kau
sebenarnya belum dewasa penuh, namun aku kira kau telah cukup untuk memulai pekerjaan
yang besar itu, dengan kehati-hatian dan yang mungkin memerlukan waktu tidak
sehari dua hari, tetapi setahun dua tahun, bahkan mungkin lebih dari itu.”
Bagus Handaka
memperhatikan setiap kata gurunya yang menambah keyakinannya bahwa pekerjaan
yang betapapun beratnya itu pasti akan dapat diselesaikan. Namun ia sadar bahwa
jalan yang akan ditempuhnya bukanlah jalan yang lurus dan licin, tetapi pasti
akan penuh dengan rintangan dan bahaya. Namun ia sadar pula bahwa apa yang
dilakukannya nanti seharusnya tidak menyingkir dari bahaya-bahaya itu, tetapi
ia harus berani menghadapi serta mengatasinya.
Kemudian untuk
sesaat mereka saling berdiam diri. Masing-masing tenggelam dalam angan-angan
serta gambaran-gambaran masa yang akan datang. Masa yang pasti akan penuh
dengan perjuangan.
“Bagus
Handaka….”
Kemudian
terdengar Manahan memulai,
“Marilah kita
pulang. Sejak besok kita harus sudah berkemas-kemas. Kita tinggal menunggu padi
yang sudah menguning. Setelah itu baiklah kita melanjutkan perantauan kita
untuk menemukan kedua pusaka itu, beserta mempersiapkan diri untuk mendapatkan
kembali tanah pusaka yang kau tinggalkan. Sekarang bekalmu telah jauh lebih
banyak dari lima atau enam hari yang lalu.”
Bagaimanapun
Bagus Handaka masih belum begitu yakin kepada kata-kata gurunya. Benarkah
ilmunya sudah sedemikian menanjak sehingga gurunya merasa bahwa bekalnya telah
cukup banyak? Karena itu bertanyalah ia meyakinkan,
“Bapak,
benarkah ilmuku telah jauh lebih banyak dari lima atau enam hari yang lalu…?”
Mendengar
pertanyaan muridnya, Manahan tersenyum.
“Bagus
Handaka…, aku telah mengujimu. Dalam keadaan payah dan luka-luka kau mampu
melawan aku sampai beberapa lama. Hal itu tidak akan dapat kau lakukan lima
atau enam hari yang lalu. Bahkan aku telah mencoba untuk menyerangmu dengan
bersungguh-sungguh walaupun masih dalam batas-batas tertentu. Tetapi kau
nyata-nyata telah bertambah jauh. Karena itu maka yang akan aku berikan
kepadamu seterusnya tinggallah tingkat yang tertinggi.”
Oleh
keterangan-keterangan itu, diam-diam Bagus Handaka jadi berbangga.
Beberapa kali
bibirnya bergerak-gerak mengucapkan terima kasih kepada orang yang tak
dikenalnya, namun tak sepatah kata pun yang meluncur keluar. Kemudian
berjalanlah mereka berdua perlahan-lahan sepanjang pantai menuju ke pondoknya.
Di sepanjang jalan hampir tak ada kata-kata yang mereka ucapkan. Apalagi Bagus
Handaka, yang sedang merenungi dirinya sendiri. Dicobanya mengingat-ingat
kembali segala peristiwa yang pernah dialaminya dengan lebih saksama. Dicobanya
mengingat-ingat setiap gerak yang pernah dilakukan dan yang pernah disaksikan.
Akhirnya ia dapat mengambil kesimpulan, bahwa memang banyak unsur-unsur yang
tanpa sesadarnya telah dimiliki dan bahkan telah dikuasainya dengan baik.
Maka, sejak
matahari terbit di pagi harinya, Bagus Handaka mulai berkemas-kemas. Sesuai
dengan perintah gurunya, apabila padi telah dituai, maka mereka segera akan
meninggalkan pedukuhan Tegal Arang, untuk meneruskan perjalanan ke tempat yang
tak ditentukan. Namun sesuai dengan harapan gurunya untuk mengetahui
perkembangan Banyubiru, maka mereka pasti akan mendekati tempat itu, dengan
harapan bahwa mereka sudah tidak akan dikenal lagi setelah hampir tiga tahun
meninggalkan tempat itu. Bila perlu, mereka akan mempergunakan penyamaran.
DEMIKIANLAH,
tidak sampai dua pekan, padi telah masak. Tetapi demikian orang pergi menuai,
demikian Manahan dan Bagus Handaka mulai minta diri kepada
tetangga-tetangganya, bahwa ia tidak dapat tinggal lebih lama lagi di pedukuhan
itu. Tentu saja, hal itu sangat mengejutkan mereka, yang mengira bahwa Manahan
dan anaknya akan tetap tinggal bersama mereka sampai hari tuanya.
“He…, kau mau
kemana lagi Manahan?” tanya salah seorang dari mereka yang bertubuh pendek,
kasar dan berambut tegak.
“Kami telah
menerima kau dengan baik, tetapi kau agaknya tidak betah tinggal di pantai”.
Meskipun
kata-kata itu diucapkan dalam nada yang kasar seperti tubuhnya, namun
sebenarnya itu adalah suatu pernyataan yang jujur dari rasa persahabatannya.
“Maafkan
Kakang,” jawab Manahan.
“Aku terpaksa
meninggalkan kalian karena aku masih mempunyai pekerjaan yang lain”.
“Apa yang
harus kau kerjakan? tanya yang lain,” seorang nelayan yang kurus dan berkumis
tipis.
“Aku masih
harus mencari bapakku,” jawab Manahan berbohong.
Orang yang
kurus dan berkumis tipis itu mengerutkan keningnya,
“lalu
sambungnya, Kemana bapakmu pergi…?”
Manahan
menggeleng-gelengkan kepala.
“Itu yang aku
tidak tahu. Karena itu aku harus mengelilingi seluruh pulau untuk
menemukannya”.
Hampir semua
orang yang mendengar, mengerutkan dahinya. Mereka merasa aneh bahwa seseorang
sampai kehilangan bapaknya. Tetapi meskipun demikian ternyata mereka tidak
berhasil mencegah. Manahan serta Bagus Handaka pergi meninggalkan mereka.
Banyak pula kawan-kawan Handaka yang menjadi kecewa karena kepergiannya.
Maka dengan
rendah hati Manahan menyerahkan seluruh hasil panennya kepada para tetangganya,
dan dengan hati yang agak berat pula, setelah bergaul hampir tiga tahun dengan
para nelayan yang kasar namun berhati bersih, ia terpaksa meninggalkan mereka.
Suatu hal yang terpaksa berulang kali dialaminya. Menetap di suatu tempat dan
kemudian meninggalkannya, dan kembali ia harus berjalan menyusur jalan-jalan
pedukuhan, hutan dan lereng-lereng gunung serta lembah-lembah yang hijau padat.
Tetapi kali ini Manahan tidak membawa muridnya menyembunyikan diri, tetapi
bahkan sebaliknya. Mereka berusaha mendekati Banyubiru untuk mengambil
ancang-ancang atas perjuangan yang bakal dilakukan. Mereka harus lebih dahulu
mengetahui seluk-beluk daerah itu dan mengetahui tanggapan rakyatnya terhadap
pimpinan daerah yang sebenarnya tidak berhak sama sekali itu. Dengan Kyai
Bancak, tanda kebesaran Banyubiru yang berwujud sebuah ujung tombak, di
pinggangnya, setelah dilepas dari tangkainya, Bagus Handaka berjalan dengan tegapnya
menuju ke arah selatan. Manahan yang berjalan di belakangnya memandangi anak
itu dengan bangga. Ia mengharap agar Bagus Handaka benar-benar dapat menjadi
seorang anak yang kuat dan berhati mulia seperti harapan ayahnya. Tetapi dengan
demikian Manahan jadi teringat kepada Gajah Sora. Apakah kira-kira yang terjadi
atasnya? Namun ia percaya bahwa Gajah Alit dan Paningron dapat membantu
kesulitannya. Setidak-tidaknya memperingan tuduhan yang ditimpakan atasnya.
Perjalanan
Manahan dan Handaka kemudian sampai pada daerah hutan dan kemudian mereka harus
menyusur kaki gunung Slamet, membelok kearah timur. Dari hari ke hari mereka
selalu berjalan tanpa henti-hentinya. Ternyata kekuatan jasmaniah Bagus Handaka
cukup memuaskan. Ia sama sekali tetap segar dan lincah. Disamping itu selama
perjalanan mereka, masih sempat juga Manahan memberikan tambahan pengetahuan
kepada muridnya. Dan bahkan karena kecerdasan Bagus Handaka, maka dapatlah ia
menemukan unsur-unsur gerak yang bagus, yang ditirunya dari gerak-gerak binatang
buas. Dengan tuntunan gurunya, Bagus Handaka yang hampir menghabiskan waktunya
selama perjalanan itu dengan memperhatikan gerak-gerik kera-kera yang
berloncatan dari dahan ke dahan, maka kemudian ia berhasil menirukan beberapa
bagian, yang dapat dileburnya ke dalam unsur-unsur gerak yang telah
dimilikinya. Handaka juga senang sekali memperhatikan perkelahian antar
binatang. Dari binatang yang paling buas sampai binatang yang paling lemah.
Diperhatikannya pula, bagaimana seekor kancil berhasil melepaskan diri dari
terkaman serigala-serigala yang buas, dan bagaimana seekor banteng dengan
tangguhnya menanti serangan seekor harimau dan kemudian dengan tanduk-tanduknya
yang tajam membinasakannya. Dengan demikian Bagus Handaka mendapatkan berbagai
macam pengetahuan dari alam. Manahan sendiri sebenarnya kagum atas ketangkasan
otak muridnya, maka ia menjadi semakin bangga bahwa tidak sia-sialah ia
menuntun anak itu. Karena itu, Manahan selalu memberinya petunjuk-petunjuk atas
kemungkinan kemungkinan yang dapat dimanfaatkan dari setiap gerak yang
dilihatnya. Kecuali gerak-gerak binatang, juga gerak-gerak dari benda-benda
yang lain, seperti angin pusaran, air bah dan bahkan kelincahan gerak nyala
api.
DI sepanjang
perjalanan itu, tidak sedikitlah pengetahuan yang ditangkap oleh Handaka. Dan
karena itu pula ia sama sekali tidak merasakan suatu kejemuan atau keletihan
selama ia bersama-sama dengan gurunya menyusuri jalan-jalan hutan yang lebat
dan sulit. Setelah meninggalkan lembah kaki gunung Slamet, mereka mulai dengan
perjalanan yang tidak kalah sulitnya. Mereka menyusur tebing pegunungan Prau,
setelah melampaui beberapa pedukuhan yang tak berarti. Tetapi meskipun mereka
sama sekali tidak mengenal letih, namun kadang-kadang mereka terpaksa berhenti
pula untuk beberapa lama di suatu tempat. Kadang-kadang sampai satu dua bulan,
kadang-kadang malahan lebih. Setelah itu kembali mereka meneruskan perjalanan
mereka sambil berbuat bermacam-macam kebajikan. Di tempat-tempat yang pernah
dilewati oleh mereka itu, banyaklah hal-hal yang ditinggalkannya. Pemberitahuan
tentang banyak hal. Tentang pertanian dan sebagainya. Karena itu mereka selalu
meninggalkan kesan yang baik, sehingga nama Manahan dan Bagus Handaka menjadi
banyak dikenal orang.
Pada suatu
kali mereka memasuki sebuah pedukuhan yang sepi di ujung hutan. Penduduknya
yang menamakan pedukuhannya itu Gedangan, terdiri dari petani-petani yang
menggarap sawah dengan cara yang sederhana sekali. Mereka masih belum begitu
menaruh perhatian kepada saluran-saluran air. Untunglah bahwa tanah mereka
adalah tanah yang subur, sehingga meskipun dengan cara-cara yang sangat
sederhana, hasil pertanian mereka dapat mencukupi kebutuhan. Berbeda dengan
pengalaman-pengalaman mereka, Manahan dan Bagus Handaka ketika memasuki
pedukuhan itu, mengalami penerimaan yang aneh. Hampir setiap mata memandang
mereka dengan penuh kecurigaan. Manahan dan Handaka merasakan keasingan
penerimaan itu. Karena itu mereka bersikap hati-hati dan berusaha untuk tidak
menyinggung perasaan mereka. Kepada salah seorang dari para petani yang sedang
berdiri di pematang, Manahan bertanya dengan hormatnya,
“Kakang,
apakah aku diperkenankan untuk memasuki pedukuhan ini?”
Orang itu
tidak segera menjawab. Tetapi sekali dua kali ia melemparkan pandangannya
kepada beberapa orang yang bertebaran menggarap sawah di sekitarnya.
Baru setelah
beberapa saat ia menjawab,
“Siapakah kau
berdua?”
“Aku bernama
Manahan dan ia anakku, Handaka,” jawab Manahan.
Mendengar nama
itu, orang itu mengernyitkan alisnya. Agaknya nama itu asing baginya. Kemudian
terdengar ia berkata,
“Entahlah aku
tak tahu. Berkatalah kepada lurah kami”.
Manahan
mengangguk-anggukkan kepalanya, sambil bertanya pula,
“Di manakah
Bapak Lurah itu?”
“Maksudku, di
mana rumahnya?” sambung Manahan.
Kembali orang
itu ragu-ragu dan kembali ia menebarkan pandangannya kepada orang-orang yang
sedang menggarap sawah di sekitarnya. Tiba-tiba ia menunjuk pada salah seorang
daripadanya sambil berkata,
“Bertanyalah
kepada orang itu”.
Manahan
menoleh menurut arah tangan orang itu. Dilihatnya di sudut desa berdiri seorang
yang bertubuh pendek kokoh dengan urat-urat yang menonjol. Namun matanya
membayangkan kejernihan hatinya.
Setelah
mengucapkan terimakasih, segera Manahan dan Handaka berjalan ke arah orang
bertubuh pendek itu. Dan kemudian dengan hormatnya Manahan bertanya,
“Adakah Bapak
ini Lurah dari pedukuhan ini?”
Orang itu
menggelengkan kepalanya, sambil menjawab,
“Bukan Ki
Sanak, aku bukan lurah di sini. Adakah kau punya keperluan dengan lurahku?”
Manahan
menganggukkan kepalanya.
“Demikianlah,
aku mempunyai sedikit keperluan”.
“Apakah
keperluan itu?” tanya orang yang bertubuh pendek.
Tiba-tiba saja
setelah mengalami peristiwa itu, timbullah keinginan Manahan untuk mengetahui
lebih banyak hal lagi. Karena itu timbul pula keinginan untuk bermalam. Maka
kemudian kata Manahan,
“Sebenarnya
keperluanku hanyalah akan mohon izin untuk bermalam barang semalam dua, setelah
aku berjalan beberapa hari terus-menerus tanpa beristirahat”.
Orang yang
bertubuh pendek itu mengernyitkan keningnya. Kemudian ia bertanya pula,
“Siapakah kau
berdua?”
“Aku adalah
seorang perantau dan bernama Manahan. Sedang anak ini adalah anakku, bernama
Handaka,” jawab Manahan memperkenalkan diri.
Dengan seksama
orang itu mengamat-amati mereka berdua. Baru sesaat kemudian ia berkata,
“Saat ini
lurah kami sedang menerima beberapa orang tamu. Karena itu mungkin tak ada
tempat lagi bagi kalian untuk bermalam di rumah lurah kami. Kalaupun tempat itu
ada, pastilah lurah kami dengan terpaksa tidak akan mengizinkan kalian bermalam
di sana”.
Manahan
mengangguk perlahan-lahan. Ia menjadi semakin ingin untuk mengetahui lebih
banyak lagi. Karena itu katanya,
“Bukan
maksudku untuk bermalam di rumah Pak Lurah. Meskipun aku ditempatkan di kandang
kuda sekalipun, asal aku diizinkan bermalam untuk melepaskan lelah barang
semalam dua malam, aku akan mengucapkan terimakasih”.
Orang yang
bertubuh pendek serta bermata jernih itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian setelah berpikir sejenak ia menjawab,
“Menilik
wajah-wajah kalian yang merah hitam terbakar terik matahari, serta menilik
pakaian kalian maka aku percaya bahwa kalian telah menempuh jarak yang sangat
jauh. Maka adalah kewajiban kami untuk memberikan sekadar tempat melepaskan
lelah bagi kalian berdua. Karena itu maka kalian akan aku bawa pulang ke
rumahku, di sana kalian dapat bermalam. Sebab selain Lurah di pedukuhan ini,
aku pun termasuk orang yang harus membantu pekerjaannya”.
JAWABAN itu
membuat hati Manahan menjadi gembira. Karena itu segera ia mengangguk hormat.
“Alangkah
besar hati kami berdua atas izin sekaligus tempat yang disediakan untuk kami
berdua. Tetapi hendaknya kehadiran kami janganlah menambah kesibukan,” katanya.
Orang itu
tersenyum sambil menggelengkan kepala.
“Aku memang
selalu sibuk,” katanya.
“Jadi kehadiran
Ki Sanak sama sekali tak mempengaruhi kesibukan itu”.
Memang sejak
semula Manahan sudah mengira bahwa orang itu pasti seorang yang baik hati serta
ramah, ditilik dari sinar matanya yang jernih. Apalagi setelah Manahan
bercakap-cakap sejenak, makin pastilah ia bahwa orang itu orang yang berbudi.
“Marilah Ki
Sanak,” kata orang itu,
“Ikutlah ke
pondokku. Dan kalian dapat beristirahat sepuas-puasnya”.
Maka kemudian
ikutlah Manahan serta Bagus Handaka ke rumah orang yang bertubuh pendek bermata
jernih itu. ketika mereka bercakap-cakap di sepanjang jalan, tahulah Manahan
bahwa orang itu adalah tangan kanan dari lurah mereka, namanya Wiradapa.
Sebagai seorang kepercayaan kepala pedukuhan, rumah Wiradapa tidaklah begitu
jauh dengan rumah lurahnya. Halamannya cukup luas ditumbuhi berbagai macam
pepohonan serta dipagari oleh deretan pohon nyiur yang berpuluh-puluh
jumlahnya. Di pedukuhan yang kecil itu, rumah Wiradapa merupakan rumah yang
cukup baik meskipun tidak begitu besar. Beratap ijuk dan bertulang-tulang kayu.
Di rumah itu
pun Manahan mengalami pelayanan yang baik, meskipun bagi Manahan dan Handaka
hanya disediakan ruangan di bagian belakang rumah. Sebab menurut tangkapan
Wiradapa, Manahan tidaklah lebih dari dua ayah-beranak yang pergi merantau
untuk mencari penghidupan yang baik. Tetapi kemudian sejak Manahan serta
Handaka dipersilakan di ruang yang diperuntukkan bagi mereka, maka mereka tidak
lagi bertemu dan bercakap-cakap dengan Wiradapa sampai malam, karena Wiradapa
harus pergi ke lurahnya. Manahan dan Handaka yang setelah beberapa lama selalu
tidur di tempat-tempat yang sama sekali tak menentu, dan sekarang mendapat
tempat pembaringan yang selayaknya, segera membaringkan diri sejak gelap mulai
turun. Tempat pembaringan yang tidak lebih dari sebuah bale-bale bambu serta
tikar pandan yang dibentangkan di atas galar. Bagi Manahan serta Handaka, pada
saat itu dirasakan sebagai suatu pembaringan yang sangat baik. Karena itu pula
maka belum lagi malam sampai seperempat bagian, mereka telah tertidur nyenyak. Tetapi
meskipun bagaimana nyenyaknya mereka tidur, namun telinga Manahan adalah
telinga yang terlatih baik. Itulah sebabnya meskipun suara itu sangat
perlahan-lahan tetapi sudah cukup untuk membangunkannya. Manahan menjadi
terkejut ketika mendengar seseorang berkata perlahan,
“Di mana
mereka tidur…?”
“Di ruang
sebelah belakang, Tuan,” jawab yang lain, yang oleh Manahan suara itu
dikenalnya, yaitu suara Wiradapa.
Kemudian
terdengarlah beberapa orang melangkah mendekat ke ruang tidurnya. Mendengar
langkah-langkah itu, segera Manahan curiga. Karena itu ia pun segera
bersiap-siap untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Tetapi
sampai sedemikian ia merasa masih belum perlu untuk membangunkan muridnya yang
masih tidur dengan nyenyaknya.
Sampai di muka
pintu, terdengarlah langkah-langkah itu berhenti, dan terdengarlah seseorang
berbisik,
“Kau yakin
bahwa orang itu tak berbahaya…?”
“Tidak, Kakang
Lurah, aku yakin bahwa orang itu hanyalah bagian dari orang-orang yang hidup
berpindah-pindah seperti burung yang selalu mencari tempat dimana ada makanan”.
Terdengar Wiradapa menjawab.
“Aku akan
melihatnya….” Terdengar suara lain lagi.
“Silakan
Tuan,” jawab Wiradapa.
“Aku akan
dapat mengetahui apakah dia orang berbahaya atau benar-benar orang-orang malas
yang kerjanya mondar-mandir dari desa yang satu ke desa yang lain”. Terdengar
lagi suara itu.
“Sebab aku
tidak mau ada orang yang dapat mengganggu usahaku”.
Kembali
terdengar Wiradapa menjawab,
“Apa saja yang
baik bagi Tuan”.
Kemudian
terdengarlah langkah-langkah mereka semakin dekat dan dengan sekali dorong
pintu itu sudah terbuka. Dengan tangkasnya salah seorang dari mereka meloncat
masuk dan tiba-tiba saja di tangannya telah tergenggam sebilah pedang. Dalam
sinar pelita yang remang-remang, berkilat-kilatlah cahayanya menyilaukan.
Dengan suara yang keras orang itu membentak,
“He, perantau
malang, aku bunuh kau”.
Berbareng
dengan itu melekatlah ujung pedangnya di dada Manahan yang masih saja berbaring
di bale-bale bambu. Mendengar orang itu berteriak, Bagus Handaka menjadi
terkejut. Cepat ia dapat menguasai kesadarannya karena latihan-latihan berat
yang pernah dijalani. Tetapi demikian ia akan bergerak, terasalah
pergelangannya dipijat oleh gurunya, yang berbaring di sampingnya. Sehingga
dengan demikian ia mengurungkan niatnya, meskipun ia sama sekali tidak tahu
maksudnya. Bahkan kemudian ia melihat gurunya menggigil ketakutan dan dengan
suara gemetar berkata,
“Tuan… jangan
aku Tuan bunuh. Ampunilah aku yang tidak berdosa”.
Untuk beberapa
saat beberapa pasang mata memandanginya dengan seksama. Mereka terdiri seorang
anak sebaya dengan Bagus Handaka, yang kira-kira baru berumur 16 tahun. Dialah
yang dengan geraknya yang lincah mengancam Manahan dengan pedangnya. Kemudian
di sampingnya sebelah-menyebelah berdiri dua orang yang lain lagi terdiri
Wiradapa dan seorang lagi yang disebutnya Kakang Lurah. Dialah kepala daerah
Pedukuhan Gedangan. Kemudian terdengarlah anak yang memegang pedang itu berkata
dengan nyaring,
“Menyebutlah
nama nenek moyangmu, sebab saat kematianmu telah datang”.
HANDAKA tidak
tahu siapakah yang telah mengancam gurunya, juga orang-orang yang berdiri di
dalam ruangan itu. Ia tidak habis herannya melihat sikap gurunya. Baginya lebih
baik mati dengan tangan terentang daripada mati seperti seekor cacing yang sama
sekali tak berdaya. Bukankah gurunya telah menuntunnya demikian dalam
menghadapi lawan-lawannya …? Tetapi sekarang gurunya sendiri bersikap sebagai
seorang pengecut. Karena perasaan-perasaan yang berdesakan itulah Handaka
menjadi gemetar. Bukan karena ketakutan, tetapi karena pergolakan dadanya yang
tak tertahan. Hampir Handaka tak dapat menguasai dirinya ketka sekali lagi ia
mendengar Manahan menjawab,
“Ampun Tuan,
ampun…. Apakah dosaku maka Tuan akan membunuhku?”
Melihat sikap
Manahan itu Wiradapa memandangi wajah anak muda yang memegang pedang itu dengan
sikap meminta untuk membebaskannya. Tetapi anak muda itu agaknya sama sekali
tidak menaruh belas kasihan. Namun kemudian terdengarlah ia tertawa sambil
berseru,
“Apakah
kerjamu berdua di sini?”
Manahan nampak
gugup mendengar pertanyaan itu. Maka jawabnya gemetar,
“Aku tidak
apa-apa, Tuan. Sungguh aku tidak apa-apa”.
Sekali lagi
anak muda itu tertawa menyeringai. Sedang ujung pedangnya masih saja melekat di
dada Manahan. Sesaat kemudian terdengarlah ia berkata,
“Kau datang
pada saat yang tidak menguntungkan bagimu”.
Setelah itu ia
merenung sejenak, dan kemudian melanjutkan.
“Kenapa kau
pilih desa ini untuk bermalam…?”
“Aku tidak
tahu,” jawab Manahan gugup.
Anak muda itu
menarik nafas panjang mendengar jawaban Manahan yang ketakutan itu. Kemudian
tangannya yang memegang pedang itu mengendor. Dan dengan nada yang merendahkan
ia berkata,
“Kalau di
dunia ini dipenuhi oleh orang-orang macam itu, maka manusia ini tak ada bedanya
dengan binatang-binatang melata yang mengais makanan dari dalam tanah tanpa
dapat berbuat apa-apa”.
Kemudian ia
membentak,
“He
orang-orang malang. Kau harus menggerakkan tanganmu kalau kau ingin mengisi
perutmu. Selama kau berada di sini kau harus bekerja keras. Aku menjadi muak
melihat kau menjual belas kasihan untuk mendapat makan. Karena itu besok pada
saat matahari terbit, kau sudah harus datang ke rumah bapak lurah untuk
menerima pekerjaan yang harus kau lakukan besok”.
Sesudah
berkata demikian anak muda itu segera menyarungkan pedangnya kembali, dan
sekali lagi dengan pandangan yang menghina ia menggerutu,
“Seharusnya
orang-orang macam itu wajib dimusnahkan, supaya dunia kita tidak kekurangan
makan”. Setelah itu segera ia pun melangkah pergi, diikuti oleh kedua orang yang
bertubuh kokoh kuat berwajah seram, serta lurah pedukuhan itu. Tinggallah
Wiradapa yang memandangi Manahan dengan perasaan welas. Tetapi ketika ia akan
berkata sesuatu, terdengarlah suara di luar,
“He Wiradapa,
apa yang kau kerjakan?”
Wiradapa
mengurungkan niatnya, lalu dengan cepatnya ia melangkah keluar. Sebentar
kemudian hilanglah langlah-langkah mereka ditelan oleh bunyi binatang-binatang
malam.
Demikian
langkah mereka menghilang, melentinglah Bagus Handaka dari tempat tidurnya, dan
dengan kecepatan yang luar biasa ia sudah tegak berdiri di hadapan gurunya,
seolah-olah ia ingin memperlihatkan ketangkasannya. Dengan mata yang
memancarkan kemarahan dan gigi yang gemeretak terdengar ia menggeram,
“Bapak…”
Setelah itu
bibirnya sajalah yang gemetar, tetapi tak ada kata-katanya yang meluncur
keluar. Meskipun di dalam dadanya berdesak-desakkan berbagai macam perasaan
yang akan dilahirkan, namun hanya satu kata itulah yang berhasil diucapkan.
Tetapi ia bertambah bingung dan tidak mengerti ketika dilihatnya gurunya masih
saja berbaring dengan bibir yang tersenyum-senyum. Baru ketika ia melihat
Handaka gemetar di hadapannya,
“ia berkata
Duduklah Handaka”.
Tetapi Handaka
masih saja tegak seperti patung, suara gurunya itu tidak terdengar oleh
telinganya yang seperti mendesing-desing, sehingga Manahan terpaksa mengulangi
lagi,
“Duduklah
Handaka”.
Dengan
perasaan yang dipenuhi oleh teka-teki, Handaka kemudian duduk di samping
gurunya. Namun terasa bahwa dadanya masih bergetar keras.
“Tenanglah
Handaka. Tak ada yang perlu kau khawatirkan,” sambung Manahan kemudian.
“Tetapi…”
sahut Handaka tergagap.
”Tetapi kenapa
demikian?”
Handaka
menjadi semakin bingung ketika gurunya kemudian tertawa panjang, meskipun
perlahan-lahan, supaya tidak menimbulkan suara riuh.
“Apa yang
demikian…?” tanya Manahan sambil tertawa.
Handaka
menjadi semakin bingung, meskipun demikian ia menjawab,
“Kenapa Bapak
tadi menjadi sedemikian takut? Kalau Bapak tidak menahan aku, barangkali aku
sanggup berbuat sesuatu untuk mengusir mereka. Ataupun kalau mereka adalah
orang-orang sakti, bukankah lebih baik binasa daripada mereka hinakan
sedemikian?”
“Bagus, memang
sedemikianlah seharusnya,” potong Manahan.
“Tetapi kenapa
aku tidak boleh berbuat demikian?” sambung Handaka yang merasa mendapat kesempatan
untuk menyatakan perasaannya. Maka mengalirlah kata-katanya seperti hujan yang
dicurahkan dari langit.
“Dan kenapa
Bapak sama sekali tidak melakukan perlawanan. Malahan bapak minta ampun kepada
orang yang sama sekali tidak kenal. Bukankah kami tidak pernah berbuat
kesalahan terhadap mereka? Sebab kami belum pernah bertemu sebelumnya, dan…”
“Sudahlah
Handaka,” potong Manahan.
“Tenanglah,
dan dengarkanlah kata-kataku seterusnya”.
HANDAKA
menjadi terdiam. Ia mencoba untuk mendengarkan kata-kata gurunya dengan baik.
“Handaka…”
kata Manahan kemudian.
“Aku percaya
bahwa apa yang kau katakan itu dapat kau lakukan. Memang harusnya kita berbuat
demikian. Tetapi untuk kali ini aku mempunyai pertimbangan-pertimbangan lain.
Pertimbangan pikiran yang kadang-kadang bertentangan dengan perasaan. Sebagai
seorang laki-laki yang berhati jantan, seharusnya kita lawan setiap serangan
dengan dada tengadah. Apalagi penghinaan. Namun demikian ada kalanya keadaan
menuntut tanggapan yang lain atas penghinaan yang kita terima itu. Karena
pertimbangan-pertimbangan itulah maka aku tidak melawan sama sekali ketika anak
muda itu mengancamku dengan pedangnya”.
“Tetapi ia
tidak sekadar mengancam,” sahut Bagus Handaka.
“Bagaimana
kalau pedang itu benar-benar ditusukkan kepada Bapak?”
“Bukankah ia
tidak berbuat demikian?” jawab Manahan sambil tersenyum.
“Dan hal itu
aku ketahui dengan pasti. Ia hanya akan menggertak untuk mengetahui apakah aku
memiliki kemampuan untuk melawan atau tidak. Ia hanya ingin mengetahui apakah
kita memiliki ilmu tataperkelahian atau tidak. Sekarang ternyata bahwa ia telah
mendapat kesan bahwa kita adalah orang-orang yang malas, yang merantau dari
satu desa ke lain desa untuk sekadar mendapat makan. Bukankah dengan demikian
kita mendapat keuntungan?”
Setelah diam
sejenak, Manahan kemudian meneruskan,
“Handaka…
sebenarnya aku ingin mengetahui apa yang mereka lakukan di sini, tanpa
kecurigaan apapun”.
Mendengar
penjelasan itu Handaka menundukkan kepalanya. Ia menjadi malu kepada dirinya
sendiri atas ketergesa-gesaannya. Apalagi ia telah telanjur seolah-olah
mengajari gurunya. Ternyata apa yang dilakukan gurunya adalah suatu cara untuk
maksud-maksud tertentu.
“Sudahkah kau
jelas Handaka?” tanya Manahan.
Handaka
mengangguk perlahan. Sadarlah ia sekarang, betapa banyak persoalan yang sama
sekali tidak dipikirkannya, yang ternyata perlu untuk diketahuinya. Ternyata
bahwa tidak semua persoalan harus diselesaikan dengan kekuatan dan kekerasan,
tetapi dapat diambil cara yang lain. Dengan demikian ternyata bahwa pandangan
gurunya sangat jauh mendahuluinya.
“Nah, Handaka…
marilah kita tidur kembali. Hari masih malam. Tutuplah pintu itu,” ajak Manahan
sambil membaringkan dirinya kembali.
Perlahan-lahan
Handaka pun bangkit menutup pintu, dan kemudian merebahkan dirinya di samping
Manahan. Pikirannya sibuk menduga-duga siapakah orang-orang yang telah datang
menjenguk nya tadi. Dalam remang-remang cahaya pelita ia tidak dapat memandang
wajah mereka dengan jelas.
“Handaka…”
kata Manahan pelan,
“Mulai besok
kita akan mendapat pekerjaan baru. Aku tidak tahu apakah kira-kira yang harus
kita kerjakan. Mudah-mudahan dengan demikian kita akan mengetahui siapakah
mereka dan apakah maksud kedatangan mereka kemari”.
“Tetapi
alangkah sombongnya anak muda itu,” Bapak, gerutu Handaka.
Manahan
tertawa pendek, lalu jawabnya,
“Bukankah itu
persoalan biasa? Anak-anak sebaya dengan kau memang sedang dalam taraf
pergolakan. Mereka senang menunjukkan ketangkasan serta kelebihannya”.
Handaka tidak
menjawab lagi. Ia merasa bahwa sebagian jawaban gurunya ditujukan kepadanya
pula. Sesaat kemudian terdengarlah Manahan meneruskan,
“Karena itu,
jiwa yang bergolak itu harus mendapat saluran yang sebaik-baiknya. Untuk itu
perlu kesadaran. Kesadaran akan keadaan diri sendiri serta keadaan yang
melingkupinya”.
Seperti biasa,
Handaka selalu mendengarkan nasihat gurunya baik-baik. Ia berjanji dalam hati
bahwa ia akan berusaha untuk mentaatinya sejauh-jauh mungkin.
Setelah itu
Manahan tidak berkata-kata lagi. Kantuknya telah mulai menyerangnya kembali.
Dan sesaat kemudian ia pun telah tertidur pula. Demikian pula Bagus Handaka.
Ketika ayam jantan berkokok untuk kedua kalinya, kesadarannya pun mulai tenggelam.
Dan ia pun tertidur kembali dengan penuh angan-angan di kepala.
Pagi-pagi
benar Manahan telah bangun. Segera Handaka dibangunkannya pula. Sebab pada saat
matahari terbit mereka harus sudah sampai di halaman kalurahan untuk menerima
tugas-tugas yang akan diberikan oleh anak muda yang datang semalam. Ketika
mereka keluar dari ruang itu mereka melihat Wiradapa sudah berdiri di pagar
halaman. Agaknya ia pun baru bangun. Maka ketika ia melihat Manahan mendekati,
ia pun berkata mengingatkan,
“Ki Sanak,
bukankah kau diwajibkan datang ke kalurahan pagi ini?”
Manahan
mengangguk hormat sambil menjawab,
“Benar Tuan,
dan aku akan segera pergi”.
“Baik Ki
Sanak, bersiap-siaplah. Nanti kita pergi bersama. Sekarang mandilah, aku pun
akan membersihkan diri pula,” kata Wiradapa sambil melangkah pergi.
Manahan dan
Handaka pun segera pergi ke sumur di belakang rumah untuk membersihkan diri.
Setelah itu mereka menghangatkan diri dengan air panas dan gula kelapa yang
sudah disediakan untuk mereka. Sementara itu Manahan selalu menasihati Handaka
untuk tidak bertindak tergesa-gesa dalam segala hal. Ia harus menyesuaikan diri
dengan kedudukannya sebagai seorang yang dianggap tak berdaya. Hanya apabila
jiwanya benar-benar terancam, barulah boleh bertindak untuk melindungi dirinya.
Beberapa saat
kemudian Wiradapa pun telah siap. Bertiga mereka berjalan bersama-sama ke
kalurahan.
KETIKA mereka
sampai ke halaman kalurahan, ternyata di pendapa telah banyak orang. Dari
pakaian mereka segera dapat diketahui bahwa beberapa orang diantaranya bukanlah
orang dari padukuhan itu. Orang-orang asing itu berpakaian lebih baik dan
lengkap daripada orang pedukuhan itu sendiri, serta pada umumnya di pinggang
mereka terselip sebilah keris atau senjata-senjata yang lain. Melihat Wiradapa
datang, segera mereka mempersilahkannya. Dan lurah mereka sendiri memanggilnya
untuk duduk di sampingnya. Sedang Manahan dan Handaka, mereka suruh duduk di
lantai di tangga pendapa itu. Tampaklah di wajah Handaka perasaan tidak senang,
namun Manahan sendiri, wajahnya sama sekali tidak berkesan apa-apa. Sebentar
kemudian muncullah dari ruang dalam seorang pemuda sebaya dengan Bagus Handaka.
Wajahnya memancar cerah dan pakaiannya pun lebih baik dari pakaian mereka semua
yang hadir di pendapa itu. Di sampingnya sebelah menyebelah, berdirilah
orang-orang yang bertubuh gagah tegap dengan wajah-wajahnya yang seram. Mereka
itulah yang tadi malam datang melihat Manahan di tempatnya menginap. Pada saat
itu, sinar matahari yang baru saja naik, mulai menembus dedaunan dan jatuh di tanah-tanah
lembab. Embun malam yang melekat di rerumputan perlahan-lahan mulai mengering
menimbulkan asap putih yang melapisi cahaya pagi. Sedangkan tetesan-tetesan
embun yang tersangkut di dedaunan, tampak berkilat-kilat memantulkan cahaya
matahari yang masih kemerah-merahan, seperti butiran-butiran permata yang
cemerlang. Dengan semakin cerahnya cahaya matahari, semakin jelas pulalah
wajah-wajah yang berada di dalam pendapa kalurahan. Mulai dari wajah yang sudah
dikenalnya dengan baik, yaitu Wiradapa, sampai wajah lurah pedukuhan itu. Juga
wajah orang-orang asing itu satu demi satu mulai dapat dikenal.
Manahan dan
Bagus Handaka yang duduk agak jauh dari mereka, mulai memperhatikan wajah-wajah
itu pula. Satu demi satu. Namun Manahan tak dapat mengenal seorang pun dari
mereka. Mereka bagi Manahan benar-benar orang asing yang belum pernah dilihat
sebelumnya. Karena itu Manahan sama sekali tidak lagi menaruh banyak perhatian,
kecuali menanti pekerjaan apakah yang akan diberikan kepadanya, dan seterusnya
menyelidiki apakah yang mereka kerjakan di situ.
No comments:
Post a Comment