PERMAISURI itupun kemudian berdiam diri. Namun di kedua belah matanya masih tampak, betapa ia tidak rela mengalami peristiwa yang sama sekali tidak didangka-sangkanya. Bencana yang menimpa puterinya. Namun kini segala sesuatu telah diserahkannya kepada Baginda. Permaisuri itu dapat mengerti kata-kata Baginda, bahwa Baginda tidak saja seorang Raja tetapi juga seorang ayah, sekaligus seorang Raja yang harus memandang segala persoalan dari berbagai segi.
“Kenapa hal
ini terjadi dengan Puteriku, puteri Baginda. Kalau saja itu terjadi atas
orang-orang yang tinggal dipondokan kecil maka tidaklah banyak persoalan yang
timbul karenanya. Tetapi puteri itu adalah anak seorang Raja yang akan disoroti
oleh setiap mata dari seluruh negeri.” Betapapun Permaisuri masih saja meratap dalam
hatinya. Namun tidak sepatah katapun diucapkannya.
Yang kemudian
berkata adalah Baginda,
“Marilah, aku
antar kembali ke bilikmu. Aku harus segera ke Kesatrian. Ambilah puterimu besok
pagi, dan biarkan ia tinggal dalam istana untuk sementara.”
Permaisuri
menyembah, kemudian meninggalkan Baginda dan kembali ke biliknya sendiri. Di
muka pintu Permaisuri melihat emban tadi duduk bersimpuh menungguinya.
“Kau masih
disini?” bertanya Permaisuri.
Emban
menjawab,
“Ampun Gusti”
Permaisuri itu
berhenti sejenak. Ditatapnya wajah emban itu,
“kenapa kau
menangis?.”
“Hamba Takut”
“Apa yang kau
takutkan?”
Emban tidak
menjawab. tetapi sesekali ia menyembah dan kepalanya semakin tunduk.
“Jangan takut,
kau tidak bersalah. dan kau tidak berbuat apa-apa,” kata permaisuri.
Tetapi emban
tidak berani mengangkat wajahnya. Hanya sekali-kali dipandangnya kaki Baginda
dan Permaisuri berganti ganti. bagindapun kasihan juga melihatnya.
Setelah
permaisuri kembali ke biliknya, baginda segera meninggalkan bilik itu. Kepada
emban yang masih bersimpuh,
“Kawani
Gustimu itu.”
“Hamba
Baginda,” sahut emban itu. Tetapi ia tidak berani masuk ke dalam bilik karena
permaisuri tidak memanggilnya. Karena itu ia masih duduk di muka pintu. Baru
ketika ia terbatuk karena sedannya, maka terdengar Permaisuri memanggilnya,
“apakah kau
masih di muka pintu?”
“Ampun gusti,
Baginda memerintahkan hamba untuk menemani Gusti.”
“Tidurlah, aku
ingin tinggal seorang diri”
Barulah emban
itu berdiri dan kembali ke biliknya. teapi begitu ia merebahkan dirinya, ia menangis
sejadi-jadinya. Berkali-kali dirabanya lehernya seolah olah sebuah goresan
telah melukainya.
“Kenapa kau?,”
tanya seorang temannya
Emban itu
menggeleng.
“Apakah jajar
yang berkumis kecil ingkar janji?”
“Ah,” desah
emban yang sedang menangis itu. Namun lehernya menjadi semakin pedih dan
napasnya sesak…..
Kawan-kawannya
kemudian tidak bertanya apapun lagi. Dibiarkannya ia menangis dan menelungkup.
Bahkan beberapa kawan-kawannya saling berbisik dan tertawa tertahan-tahan.
Mereka menyangka bahwa emban itu sedang berselisih dengan calon suaminya yang
jauh lebih muda daripadanya.
Dalam pada itu
Baginda telah berjalan menuju ke Kasatrian. Namun sebelum Baginda sampai, maka
Baginda melihat dua orang Nara Manggala membawa Prabasemi menunju ke Kasatrian
itu pula. Karena itu segera Baginda berjalan mendahuluinya.
KETIKA Baginda
sampai di pintu samping, dan perlahan-lahan membuka pintu itu, alangkah
terkejutnya. Baginda melihat, betapa Karebet dengan tenangnya tidur mendengkur
di atas lantai. Sekali lagi Baginda mengelus dada. Katanya di dalam hati,
“Anak itu
memang luar biasa. Apakah ia tidak menyadari bahaya yang dapat menimpa dirinya
setiap saat, atau memang demikian ikhlasnya ia menjalani setiap persoalan
betapapun rumitnya dan bahkan hidupnya terancam?”
Baginda
menarik nafas. Kekagumannya kepada Karebet menjadi semakin bertambah-tambah.
Tetapi meskipun demikian Baginda tidak mau menunjukkan betapa perasaan Baginda
itu mencengkam segala pertimbangannya. Karena itu, dengan serta merta Baginda
menutup dengan kerasnya daun pintu itu, sehingga berderak-derak keras sekali.
Alangkah terkejutnya Karebet yang sedang tidur nyenyak itu. Sekali ia meloncat
dengan garangnya, dan dalam sekejap ia telah siap untuk menghadapi segala
kemungkinan. Tetapi ketika kesadarannya telah sepenuhnya menguasai otaknya, dan
ketika dilihatnya Baginda berdiri di muka pintu bilik itu, dengan serta merta
ia menjatuhkan dirinya sampai menyembah.
“Ampun
Baginda, hamba hanya terkejut. Hamba sama sekali tidak bermaksud berbuat
apapun. Apalagi melawan.”
Hampir Baginda
tertawa melihat sikap Karebet itu. Tetapi sekali lagi Baginda menahan dirinya.
Bahkan dengan tajamnya Baginda memandangi wajah Karebet yang pucat.
“Apakah kau
masih akan melawan?” bentak Baginda.
“Ampun
Baginda. Hamba benar-benar hanya terkejut.”
“Kenapa kau
tidur?”
“Hamba tidak
ingin tidur, Baginda, tetapi mata hamba tak dapat hamba kuasai lagi.”
“Apakah
sangkamu kau akan terlepas dari hukuman yang paling berat?”
“Tidak
Baginda. Hamba akan menerima setiap hukuman apapun yang akan Baginda jatuhkan.”
Sekali lagi
Baginda menarik nafas. Tetapi Baginda tidak berkata-kata lagi. Di luar,
terdengar langkah Prabasemi dan dua orang Nara Manggala. Perlahan-lahan
terdengar ketukan di pintu bilik itu. Maka berkatalah Baginda,
“Masuklah.”
Pintu itu bergerit
perlahan-lahan. Ketika pintu itu terbuka, nampaklah Prabasemi berdiri di muka
pintu. Ketika tiba-tiba dilihatnya Karebet duduk di lantai, tiba-tiba
berdesirlah dada Tumenggung Wira Tamtama itu.
“Masuklah.”
Kembali terdengar suara Baginda, berat bernada datar. Dada Prabasemi pun serasa
meledak mendengar suara itu. Sekali lagi ia memandangi wajah Karebet. Dan
ketika Karebet memandangnya pula, tiba-tiba anak itu tersenyum.
“Gila.”
Prabasemi mengumpat di dalam hatinya.
“Apakah
Karebet mengatakan segala hasratku kepada Baginda, dan malam ini Baginda
memanggil aku untuk menghukum mati?”
Kaki Prabasemi
menjadi gemetar. Karebet masih saja memandangnya sambil tersenyum-senyum.
Tetapi ketika Baginda tiba-tiba berpaling kepadanya, dengan cepatnya Karebet
menundukkan wajahnya. Prabasemi kemudian dengan tubuh gemetar duduk bersila di
hadapan Baginda. Sekali ia menyembah, kemudian menekurkan kepalanya terhujam ke
lantai. Detak jantungnya yang berdentang-dentang serasa benar-benar akan
memecahkan dadanya. Kemudian kepada kedua Nara Manggala yang masih berdiri di
muka pintu, Baginda berkata,
“Tinggalkan
Tumenggung Prabasemi di sini.”
Kedua orang
itu pun membungkukkan kepalanya dengan takzimnya, dan kemudian meningalkan
Kesatrian. Sesaat Baginda masih berdiam diri. Ditatapnya Tumenggung Prabasemi
yang ketakutan itu. Mula-mula Baginda menjadi heran, kenapa tiba-tiba
Tumenggung itu menggigil ketakutan. Karena itu maka berkatalah Baginda,
“Apakah kau
terkejut, Prabasemi? Terkejut karena aku memanggilmu di malam hari?”
Suara
Prabasemi gemetar, sehingga tidak begitu jelas terdengar,
“Hamba
Baginda. Hamba, hamba tidak menyangka.”
“Apa yang
tidak kau sangka?” Prabasemi menjadi semakin bingung. Dan ketika sekali lagi ia
memandang Karebet dengan sudut matanya, Karebet masih saja tersenyum.
“Apakah kau
menyangka bahwa aku tidak akan memanggil seseorang di malam hari begini?”
“Ya, ya,
Baginda.” Baginda mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya pula,
“Kalau aku
memanggilmu tidak pada saat-saat yang wajar, itu pasti ada sesuatu yang sangat
penting.”
“Hamba,
Baginda.” Kata-kata Prabasemi itu menjadi semakin gemetar.
“Aku tidak
memanggil orang lain, karena persoalan ini mau tidak mau pasti akan menyangkut
dirimu.”
Kata-kata
Baginda itu terdengar ditelinga Prabasemi sebagai suara kentongan yang
menyebarkan kabar kematian. Dengan mata merah namun dengan wajah pucat
Prabasemi mencoba sekali lagi memandang wajah Karebet. Namun kini Karebet telah
menundukkan kepalanya.
“Gila, Setan,
Anak itu benar-benar penghianat. Kenapa tidak aku bunuh saja ia kemarin atau
lusa,” umpatnya tak habis-habisnya.
Maka berkata
Baginda seterusnya,
“Nah,
Prabasemi. Aku ingin mengatakan suatu rahasia kepadamu tetapi dengan janji,
bahwa bila ada orang lain yang mendengar lewat mulutmu, maka umurmu tidak lebih
panjang dari sepemakan sirih.”
Prabasemi
telah benar-benar menjadi ketakutan. Dengan wajah tunduk ia menyembah sambil
berkata,
“ampun
baginda.”
“Dengarlah,
apakah kau mengenal anak yang duduk di belakang ini?”
Prabasemi
mengangguk. Tubuhnya menggigil seperti kedinginan,
“Hamba,
Tuanku.”
“Kau kenal
namanya?”
“Hamba
Baginda.”
“Siapakah dia
dan dari kesatuan apa dia?”
Darah
Prabasemi seolah berhenti karenanya. Namun ia berusaha menjawab,
“Ampun
Baginda. Namanya Karebet, dari kesatuan hamba pula. Wira Tamtama.”
Baginda
mengangguk anggukkan kepalanya. Namun Baginda menjadi semakin heran melihat
sikap Prabasemi. Bahkan Karebet pun menjadi geli pula, sehingga untuk sesaat ia
dapat melupakan nasibnya sendiri.
“Prabasemi,
dahulu aku menyerahkan anak itu kepadamu. Tetapi sekarang anak itu akan aku
ambil darimu.”
“Sejak saat
ini, Karebet bukan Wira Tamtama lagi.”
Kembali
Prabasemi terkejut. Tetapi Karebet sudah tidak mampu lagi untuk tersenyum.
Prabasemi yang kebingungan itu masih belum dapat menangkap maksud baginda,
sehingga tanpa sesadarnya ia bertanya,
“kenapa?.”
Baginda
mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba Prabasemi menyembah,
“Ampun
Baginda, maksud hamba, bagaimana perintah Baginda?”
Baginda
menarik napas kemudian berkata,
“Prabasemi,
kau adalah seorang Tumenggung yang kini sedang mendapat beberapa kepercayaan.
Aku tidak mempersoalkan peristiwa ini kecuali dengan kau. Karena kau adalah
pemimpin langsung dari anak muda yang bernama Karebet. Sedang kepada kakang
Patih pun sama sekali aku tidak memberitahukannya. Tetapi sekali lagi dengan
janji, apabila seorang mendengar persoalan ini dari mulutmu, maka bagimu akan
segera disediakan tiang gantungan.”
Hati Prabasemi
yang tinggal semenir itu kini telah berkembang kembali. Sedikit demi sedikit ia
dapat mengurai keadaan. Apalagi ketika Baginda berkata,
“Prabasemi,
Karebet telah berbuat kesalahan terhadap keluargaku.”
Tiba-toba
Prabasemi seakan bersorak kegirangan. Inilah soalnya. Jadi bukan dirinyalah
yang akan dihadapkan ketiang gantungan, tetapi agaknya anak yang bernama
Karebet itu. Karena itu maka Prabasemi tidak menggigil lagi. Meskipun demikian
ia masih mengumpat-umpat didalam hatinya,
“Demit itu
masih juga sempat mengganggu orang pada saat nyawanya sudah diujung ubun-ubun.”
Dan karena
itulah maka tiba-tiba Prabasemi menyahut kata-kata Baginda dengan jawaban yang
tak disangka-sangka oleh baginda,
”Ampun
Baginda, Karebet memang mempunyai tabiat kurang baik. Karena itulah ia
melakukan perbuatan gila. Ia tidak saja menghina keluarga Baginda, tetapi juga
Adat Demak. Keberaniannya mencuri hati Tuan Puteri merupakan kesalahan yang tak
terampuni.”
“Prabasemi
darimana kau tau dengan pasti kesalahan Karebet ats keluargaku?”
Kini
Prabasemilah yang terkejut bukan alang kepalang. Ternyata ia terdorong
mengatakan sesuatu yang belum diketahuinya. Sekali ditatapnya Karebet yang
tertunduk lesu. Namun akhirnya ia berkata,
“Baginda,
ampunkan hamba. Karebet pernah memuji-muji puteri baginda. Sesekali ia akan
datang kekeputren untuk menemui puteri itu. Aku sangka Karebet hanya berkelakar
dan menghilangkan kejemuannya apabila sedang bertugas dalam gardu penjagaan.
Karena itulah ketika Baginda bersabda bahwa Karebet telah berbuat kesalahan
atas keluarga Baginda, langsung hamba dapat menebak apa yang telah
dilakukannya.”
Darah Baginda serasa
mendidih mendengar kata-kata Prabasemi itu. Dengan wajah merah membara
dipandanginya wajah Karebet yang tunduk. Namun Karebet tidak kurang terkejutnya
mendengar pengaduan itu. Bahkan hampir saja akan menjawabnya, dan mengatakan
apa yang terjadi dengan Tumenggung. Namun kemudian niat itu diurungkan, karena
apabila ia tak dapat membuktikannya, maka apa yang dikatakannya itu dianggap
tal lebih dari fitnah belaka. Karenanya Karebet menundukkan kepalanya.
Dicobanya memutar otak mencari jawaban.
Dan ketika
Baginda bertanya,
“Karebet, kau
dengar kata Tumenggung Prabasemi?.”
“Hamba
Baginda”
“Apa katamu
tentang itu?”
“Sebenarnya
aku pernah berbuat demikian Baginda.”
Jawaban
Karebet itu benar-benar tak disangka-sangka oleh Tumenggung Prabasemi. Ia
berharap Karebet akan membantahnya sehingga akan membuat Baginda tambah marah,
Karebet berbuat fitnah. Tetapi ternyata Karebet justru membenarkan
kata-katanya.
Kemarahan
baginda yang memuncak tiba-tiba mereda kembali mendengar jawaban itu. Meskipun
demikian ia membentaknya,
“Kanapa kau
berbuat demikan Karebet?.”
“Baginda,
ampunkan hamba. Sebenarnya setelah melihat puteri Baginda, hamba menjadi
seorang yang tak dapat menilai diri sendiri. Sekali-sekali hamba pernah
mempercakapkannya dengan Kiai Tumenggung karena hamba tidak mempunyai orang tua
lagi, setelah ayah Kebo Kenanga meninggal. Oleh sebab itulah hamba hanya dapat
mengadu kepada pimpinan hamba yang hamba anggap ayah bunda hamba. Kebiasaan
Kiai Tumenggung mirip dengan kebiasaan eyang Pangeran Handayaningrat almarhum.
Mengurai rambut dan menyangkutkan ikat kepala di lehernya. Itulah sebabnya
hamba percaya kepada Kiai Tumenggung, dan hamba katakan apa yang tersimpan
dihati hamba tanpa berprasangka.”
“Bohong!,”
tiba-tiba Tumenggung Prabasemi memotong Karebet. Namun sebelum ia berkata lebih
lanjut, disadarinya bahwa Sultan Trenggana sedang duduk mendengarkan kata
Karebet. Karena itulah dengan gugup Prabasemi menyembah sambil berkata,
“Ampun
Tuanku.”
Sultan
Trenggana mengerutkan alisnya. tenyata anak yang diambil dari jalan ini
bukanlah anak kebanyakan. Ketika Karebet menyebut nama Kebo Kenanga dan
Handayaningrat, betapa mereka mempunyai perbedaan pandangan dalam pelbagai
persoalan, namun runtuh juga belas kasihan Baginda kepada Karebet yang yatim
piatu hampir sejak kanak-kanak. Namun meskipun demikian, anak itu mampu
memiliki kekuatan lahir dan batin yang mengagumkan. Kini Sultan Trenggana
dihadapkan pada suatu masalah yang sangat pelik. Akan lebih mudah menghadapi
daerah yang memberontak daripada persoalan puterinya. Maka akhirnya Baginda
berkata,
“Prabasemi,
Karebet aku ambil kembali. Anak itu akan aku jauhkan dari pusat kerajaan. Aku
jauhkan sejauhnya dari istana. Biarlah ia menjadi pembantu Arya Palindih dalam
tugasnya mengawasi bandar Bergota.”
Prabasemi
benar-benar terkejut mendengar keputusan itu, seperti juga Karebet yang
terkejut bukan kepalang.
Karebet yang
telah merasa bahwa umurnya akan tinggal seujung malam itu tiba-tiba merasa
dirinya hidup kembali. Karena itu dengan serta merta ia bertiarap di kaki
Baginda. Anak yang aneh itu, yang seakan-akan tidak pernah merasakan sedih dan
duka dan kesulitan-kesulitan hidup yang lain, tiba-tiba menangis di bawah kaki
Baginda. Bukan karena ia akan hidup lebih lama lagi, namun terasa olehnya,
betapa kasih Baginda itu kepadanya.
Karena itu,
justru ketika ia merasakan bahwa sebenarnya budi Baginda kepadanya, sejak ia
dipungutnya dari tepi-tepi jalan, bukan main besarnya, penyesalannya
bertambah-tambah. Ia menyesal bahwa ia telah menyebabkan Baginda gusar
kepadanya, dan ia menyesal bahwa ia telah berbuat suatu kesalahan yang sangat
besar bagi adat kehidupan Demak.
BERBEDA dengan
Tumenggung Prabasemi. Tumenggung itupun terkejut bukan buatan mendengar
keputusan Baginda. Ternyata Karebet itu sama sekali tidak dihukum mati. Anak itu
hanya sekadar dijauhkan dari istana. Alangkah mudahnya. Karena itu, maka pada
saat-saat yang akan datang, kemungkinan Karebet untuk kembali ke Demak masih
terbuka. Tetapi kalau anak itu telah terpenggal lehernya, maka ia baru akan
dapat tidur nyenyak. Karena itu betapapun ia takut kepada Baginda, dicobanya
juga untuk berkata,
“Baginda,
apakah hukuman itu sudah cukup adil?” Baginda mengerutkan keningnya. Kemudian
katanya,
“Apakah
pertimbanganmu Prabasemi?”
“Baginda,
hukuman yang paling pantas bagi pengkhianatannya adalah hukuman mati.”
Karebet yang
sudah duduk kembali itupun memandang Prabasemi dengan sudut matanya. Ia dapat
memahami perasaan Tumenggung itu. Tetapi Karebet sama sekali tidak dapat
mengatakan apakah yang sebenarnya terjadi antara dirinya dan Tumenggung itu.
Karena itu, yang dapat dilakukan hanyalah mengumpat didalam hatinya. Tetapi
ternyata Baginda tidak begitu saja menerima pendapat Prabasemi. Dengan penuh
pertimbangan Baginda berkata,
“Prabasemi.
Bukan kesalahan dalam tata hubungan antara seorang kawula dan seorang raja.
Seorang prajurit dan seorang Panglima. Aku sependapat dengan kau, bahwa setiap
pengkhianat harus dihukum mati. Tetapi Karebet tidak berkhianat. Ia hanya
sekedar melakukan hubungan yang wajar antara seorang pria dengan wanita. Tetapi
caranyalah yang sama sekali tidak wajar. Karena itu maka menjauhkan Karebet
dari istana, akan berarti menghapuskan setiap kemungkinan Karebet berbuat untuk
kedua kalinya. Dan apabila ternyata dengan segala cara maka pengampunan kali
ini diabaikan, maka aku tidak akan memberinya ampun untuk kedua kalinya.”
Prabasemi itu
mengerutkan keningnya. Tampaklah betapa ia tidak senang mendengar keputusan
Baginda. Karena itu sekali lagi diberanikan dirinya berkata,
“Baginda.
Janganlah menjadi contoh yang memalukan bagi seorang prajurit Wira Tamtama.
Hamba akan menderita malu sekali apabila seseorang mendengarnya, bahwa seorang
prajurit Wira Tamtama dalam pimpinan Prabasemi telah melakukan perbuatan
terkutuk itu. Biarlah ia menjadi contoh bagi para prajurit yang lain.”
“Peristiwa ini
tak akan dapat dijadikan contoh dalam bentuk apapun, Prabasemi. Aku tidak mau,
seorang pun mengetahui apa yang telah terjadi. Aku tidak akan dapat memberikan
alasan yang kuat, kenapa Karebet harus dihukum mati. Kalau alasan yang sebenarnya
aku beritahukan, maka rahasia ia akan terbuka.”
Prabasemi itu
menggigit bibirnya. Ketika sekali terpandang mata Karebet itu menatapnya, maka
kemarahan Prabasemi tak dapat dikendalikan lagi. Dengan garangnya ia menunjuk
kepada anak muda itu sambil menggeram.
“He, Karebet.
Terkutuklah kau sampai anak cucumu.”
Karebet tidak
menjawab. Dalam keadaan yang demikian itu, maka yang paling baik baginya adalah
berdiam diri.
Bilik itu
kemudian dicengkam oleh kesenyapan. Kesenyapan yang menggelisahkan. Baginda itu
ternyata sekali lagi harus berpikir dan bertindak bijaksana. Kalau ia sama
sekali tak mendengarkan permintaan Prabasemi, maka Baginda pun menjadi cemas,
jangan-jangan Prabasemi mempunyai cara sendiri untuk melakukannya. Ketika
Baginda sedang berpikir, maka Prabasemi berpikir pula. Namun agaknya Baginda
tidak akan dapat memenuhi permintaannya untuk melenyapkan Karebet. Karena itu
Prabasemi sedang mencari cara lain yang sama sekali tak akan mudah diketahui.
Tetapi betapapun, namun terasa oleh Tumenggung itu, bahwa sebenarnyalah Baginda
sangat sayang kepada Karebet.
Tiba-tiba
Tumenggung itu tersenyum di dalam hati. Karena itu, maka sekali ia menyembah
kepada Baginda, lalu katanya,
“Baginda.
Sebenarnya hamba pun tidak akan sampai pada permohonan yang paling keras untuk
menghukum mati Karebet. Namun terdorong karena luapan perasaan, setelah hamba
mendengar bahwa Karebet telah berbuat khianat itulah yang telah mendorong hamba
untuk tidak ingin melihatnya lagi dalam lingkungan keprajuritan. Sehingga
meskipun Karebet itu tidak dihukum mati, namun sebaiknya anak muda itu tidak
lagi mendapat kesempatan apapun yang memungkinkannya kembali ke istana. Dengan
menempatkan anak itu pada kakang Palindih, maka kesempatan masih terbuka setiap
kali baginya untuk mendapatkan kedudukan kembali dalam lingkungan keprajuritan,
untuk kembali ke istana. Kecuali apabila Putri telah mendapat tempat yang
selayaknya bagi seorang putri.”
BAGINDA tidak
segera menjawab kata-kata Prabasemi. Namun Baginda melihat banyak persoalan
yang dapat terjadi. Baginda melihat, bahwa Prabasemi benar-benar tersinggung
atas perbuatan Karebet itu. Namun Baginda sama sekali tidak menyangka bahwa di
dalam dada Tumenggung yang garang itu tersimpan pikiran-pikiran yang gila pula.
Baginda sama sekali tidak menyangka bahwa Prabasemi mempunyai maksud-maksud
yang tidak kalah gilanya dengan apa yang telah dilakukan oleh Karebet. Namun
agaknya Prabasemi akan menempuh jalan yang lain daripada yang pernah ditempuh
oleh anak muda yang aneh itu.
Setelah
Baginda menimbang beberapa saat, akhirnya Baginda membenarkan permohonan
Prabasemi itu. Baginda mempertimbangkan permohonan Permaisuri pula. Baik
Permaisuri sebagai ibu putrinya, maupun Prabasemi, pemimpin langsung Karebet,
yang dapat dianggapnya orang tuanya, bersama-sama tidak menghendaki anak itu
lagi. Tidak menghendaki Karebet tampak di antara kawula Demak. Namun untuk
membunuhnya, Baginda benar-benar tidak sampai hati. Sebab, meskipun anak itu
sekadar anak gembala yang dipungutnya dari tepi blumbang masjid, namun anak itu
mempunyai beberapa tanda-tanda keanehan di dalam dirinya. Dan bagaimanapun
juga, Baginda tidak dapat menutup kenyataan bahwa anak itu adalah cucu Pangeran
Pengging Sepuh, Pangeran Handayaningrat.
Mudah-mudahan
mereka kelak dapat melupakan kesalahan itu. Dan mudah-mudahan hukuman ini dapat
menyadarkan anak itu. Apabila kelak datang suatu kemungkinan, anak itu dapat
dicarinya, diambilnya kembali dalam lingkungan keprajuritan. Sebab sebenarnya
Demak memerlukan orang-orang yang memiliki kelebihan daripada orang-orang
kebanyakan. Dan benarlah kata-kata Prabasemi, bahwa kelak dapat diambil
kebijaksanaan lain apabila putrinya telah mendapatkan tempat yang wajar bagi
seorang putri raja.
Karena itulah
maka akhirnya Baginda berkata,
“Karebet,
apakah kau setuju dengan pertimbangan-pertimbangan dari pemimpinmu?”
Karebet
menyembah sambil membungkukkan badannya dalam-dalam. Namun bagaimanapun juga,
betapa ia menjadi tidak senang kepada Prabasemi. Perasaan muaknya menjadi
bertambah-tambah. Tetapi sekali lagi ia menahan hatinya, sebab tak ada bukti
apapun yang dapat diajukannya apabila ia ingin menceriterakan tentang
maksud-maksud Tumenggung yang licik itu.
“Nah, Karebet.
Segala keputusan adalah keputusanku. Bukan orang lain. Juga keputusan tentang
dirimu kali ini, adalah tanggung jawabku. Kalau semula aku ingin menyerahkan
kau kepada Kakang Palindih, maka hal itu masih mendapat
pertimbangan-pertimbangan lain. Kini aku telah menentukan sikapku sebagai suatu
keputusan. Kau sejak saat ini bukan anggota Wira Tamtama lagi. Dan kau sejak
ini bukan keluarga dalam lingkungan keprajuritan apapun dan jabatan-jabatan
apapun. Kau harus pergi meninggalkan Demak. Untuk tidak menampakkan dirimu lagi
sampai keputusan ini aku cabut.”
Dada Karebet
berdesir mendengar keputusan itu. Sekali lagi ia menyembah jauh di bawah kaki
Baginda. Alangkah sakit perasaannya. Jauh lebih sakit daripada apabila sejak
semula ia mendapatkan hukuman mati. Disingkirkan dari lingkungan keprajuritan
dan disisihkan dari Demak adalah hukuman yang terlampau berat. Tetapi ketika
disadarinya bahwa kesalahannya terlampau berat, maka Karebet pun kemudian
mencoba menghibur diri sendiri. Mencoba menerima keadaan, dan dipaksanya untuk
menjadi keadaan yang sewajarnya. Setiap kesalahan harus mendapat hukuman.
Dan Karebet
pun kemudian menerima setiap keputusan Baginda dengan kesadaran. Tetapi ia
tidak dapat melupakan Tumenggung Prabasemi itu. Seandainya Tumenggung itu tidak
mempunyai maksud-maksud gila, maka ia pasti tidak akan terlalu bernafsu untuk
menyingkirkannya, sehingga Tumenggung itu pasti membiarkannya untuk pergi ke
Bergota. Tetapi segala kemungkinan kini telah tertutup. Baginda telah
menjatuhkan keputusan. Dan keputusan Baginda kali ini bukan sekadar
pertimbangan. Namun benar-benar telah merupakan keputusan yang diucapkan.
MENDENGAR
keputusan Baginda, kembali Prabasemi tersenyum di dalam hati. Tetapi ia tetap
menundukkan wajahnya, seakan-akan keputusan itu tidak berpengaruh apapun di
dalam perasaannya.
“Karebet…”
kata Baginda kemudian,
“Keputusan itu
berlaku sejak malam ini. Karena itu, kau harus segera meninggalkan istana ini
dan langsung meninggalkan lingkungan kota Demak.”
“Ampun
Baginda,” sela Prabasemi,
“Keputusan
Baginda itu berarti bahwa tidak ada kesempatan lagi bagi Karebet untuk berada
di sekitar Demak? Dengan demikian, maka akan lebih baik jika kelak Baginda
mengeluarkan perintah, bahwa setiap Prajurit yang melihat Karebet, harus
mengusirnya.”
Baginda
mengerutkan keningnya.
“Alangkah
dalam dendam Tumenggung Prabasemi itu kepada Karebet,” pikir Baginda.
“Mungkin
Prabasemi ingin membersihkan dirinya dari setiap kemungkinan, bahwa iapun akan
ikut bertanggungjawab atas kesalahan anak buahnya. Karena itu justru ia
bersikap sangat keras.”
Namun Baginda
menjawab,
“Apakah alasan
yang dapat aku berikan untuk perintah itu?”
Prabasemi
merenung sejenak. Kemudian katanya,
“Ampun
Baginda. Biarlah nama Karebet agak menjadi lebih baik. Biarlah aku membuat
alasan. Karebet telah dengan lancang membunuh seorang yang menyatakan
keinginannya masuk Wira Tamtama. Dan lurah Tamtama yang muda itu telah menjadi
panas hatinya, ketika orang ingin menunjukkan kesaktiannya, sehingga karenanya
orang baru itu terbunuh.”
“Setan,” desis
Karebet di dalam hatinya. Kepalanya kini benar-benar menjadi pening. Kenapa
persoalan-persoalan yang menyangkut dirinya itu dibicarakan justru di
hadapannya? Hal inipun telah merupakan hukuman tersendiri baginya. Ditambah
dengan hasutan-hasutan Tumenggung yang licik itu.
Kembali bilik
itu menjadi sepi sesaat. Terasa betapa Baginda menjadi bimbang atas keputusannya
sendiri. Sekali-kali ditatapnya wajah Tumenggung Prabasemi, dan sekali-kali
ditatapnya kepala Karebet yang tunduk. Baginda sendiri menjadi heran, kenapa ia
seakan-akan merasakan sesuatu yang mengetuk-ngetuk hatinya, ketika terasa pada
Baginda, bahwa sebentar lagi anak itu akan dijauhkan darinya. Meskipun anak itu
telah menumbuhkan kemarahan padanya, pada Permaisuri dan Tumenggung Prabasemi,
namun Baginda tidak dapat melepaskan harapan, bahwa anak itu pada suatu masa
pasti akan menjadi seorang yang berharga bagi Demak.
Tetapi Baginda
tidak akan dapat mencabut keputusan yang telah dijatuhkan. Karena itu sebelum
perasaan Baginda menjadi semakin kalut, maka berkatalah Baginda,
“Nah, Karebet.
Saat ini pula kau harus mulai menjalani hukuman sebelum orang lain mengetahui
keadaanmu. Kepadamu pun aku berpesan, apabila masih ada tanda kesetiaanmu
kepadaku, jangan kau katakan apapun yang terjadi, kepada siapapun. Supaya aku
tidak usah berusaha menanggkapmu dan memberi hukuman kepadamu yang jauh lebih
berat dari hukuman mati.”
Karebet itu
pun menyembah di kaki Baginda, dan bahkan kemudian diciuminya kaki itu. Dengan
terbata-bata, anak muda itu berkata,
“Ampun
Baginda. Tiada titah Baginda yang tidak akan hamba lakukan. Apapun yang akan
aku jalani, apabila itulah keputusan Baginda, maka pasti akan hamba junjung
tinggi.”
Baginda
terharu juga melihat anak muda itu. Tetapi kembali Baginda menindas
perasaannya. Maka kata Baginda,
“Baik. Aku
harap kau tidak ingkar. Sekarang pergilah dari Kasatrian. Tidak saja dari
Kasatrian, tetapi dari Demak. Jangan dekati lagi istana ini. Sebab besok setiap
prajurit akan mendengar, bahwa Karebet diusir dari istana. Dan setiap prajurit
akan mengusirmu pula.”
Alangkah
pedihnya perintah itu. Tetapi Karebet harus melakukannya. Karena itu sekali
lagi ia menyembah dan berkata,
“Titah Baginda
akan hamba lakukan. Sebab hukuman ini ternyata masih dilimpahi oleh kemurahan
hati Baginda.”
Setelah
Karebet itu menyembah sekali lagi, maka mulailah ia bergeser mundur. Namun
tiba-tiba Prabasemi berkata,
“Ampun
Baginda. Biarlah aku mengantarkan anak itu sampai di perbatasan.”
Baginda
mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
“Jangan
seorangpun tahu apa yang telah terjadi.”
“Tidak
Baginda,” sahut Prabasemi. “Hamba sendiri akan mengantarkannya sampai ke
perbatasan, malam ini.”
BAGINDA tidak
segera menjawab. Bahkan Baginda itu menjadi semakin heran. Kenapa kemarahan
Prabasemi itu menjadi sedemikian jauhnya, melampaui kemarahan Baginda sendiri,
yang langsung mendapat cela karena putrinya. Tetapi sekali lagi Baginda
menyangka bahwa sikap itu hanyalah untuk menunjukkan bahwa ia tidak tersangkut
kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan oleh Karebet itu. Karena itu maka
berkata Baginda.
“Apakah hal
itu kau anggap perlu Prabasemi?”
“Hamba
Baginda,” jawab Prabasemi.
“Sebab apabila
tidak demikian, maka anak muda itu akan dapat bersembunyi di rumah
kawan-kawannya di dalam kota.”
Baginda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kata Baginda,
“Terserahlah
kepadamu Prabasemi.”
Kembali
Prabasemi tertawa di dalam hati. Dengan menyembah sekali lagi ia berkata,
“Ampun
Baginda, biarlah hamba berangkat sekarang sebelum fajar.”
“Pergilah,”
sahut Baginda.
Kemudian
kepada Karebet, Prabasemi berkata,
“Ayolah
Karebet. Jangan menyesali diri. Hukuman ini masih terlalu ringan bagimu.”
Karebet sama
sekali tidak menjawab. Tetapi kemudian mereka bersama-sama meninggalkan bilik
Kasatrian itu. Prabasemi berjalan dengan wajah tengadah, dan senyum yang
mengulas bibirnya. Sedang Karebet berjalan dengan wajah yang tunduk. Bukan
karena ia takut kepada Prabasemi, namun betapa ia menyesali dirinya. Sesaat
teringatlah ia akan pamannya, Kebo Kanigara, Panembahan Ismaya, Mahesa Jenar,
dan sahabatnya Arya Salaka. Karena itu, tiba-tiba ia pun tersenyum. Di tempat
itu ia akan menemukan ketentraman. Tetapi kemudian ia menjadi ragu-ragu. Apakah
yang akan dikatakannya kepada pamannya kelak. Apakah pamannya tidak akan marah
kepadanya? Dan senyum di bibir Karebet itu seperti tersapu angin malam. Kini
kembali ia berjalan sambil menundukkan wajahnya. Ketika mereka sampai di pintu
gerbang, lewat di muka gardu penjaga, maka terdengarlah seorang Nara Manggala
bertanya,
“Apakah
persoalannya sudah selesai Kiai Tumenggung?”
Prabasemi
berhenti sejenak. Dengan bangga ia menjawab singkat,
“Sudah.”
“Apakah yang
terjadi?”
“Tidak
apa-apa,” jawab Prabasemi. Namun di luar dugaan Tumenggung itu, Karebet
berkata,
“Kaki Baginda
terkilir.”
Prabasemi
mengerutkan keningnya. Dan didengarnya penjaga itu berkata,
“Sudah kau
katakan sore tadi. Tetapi Baginda itu tidak apa-apa. Baginda berjalan dengan
tegap dan cepat.”
“Baginda sudah
sembuh setelah aku pijit,” sahut Karebet,
“Memanggil
Kiai Tumenggung dan bertanya kepadanya apakah Baginda timpang.”
Tumenggung
Prabasemi pun menjadi heran. Karebet baru saja mendengar keputusan tentang
dirinya. Tetapi tiba-tiba ia sudah dapat berkelakar. Gila benar anak ini. Namun
Prabasemi menjadi tidak senang karenanya. Ia ingin Karebet menjadi bersusah
hati. Ia ingin Karebet minta ampun kepadanya dan merengek-rengek seperti orang
banci. Karena itu ketika Karebet masih ingin berbicara lagi, maka Tumenggung
itu membentak,
“Ikut aku!”
Karebet
menganggukkan kepalanya. Tanpa berbicara lagi, maka keduanya segera pergi
meninggalkan gerbang halaman dalam istana itu.
Sampai di luar
gerbang, maka berkatalah Prabasemi dengan angkuhnya,
“Karebet, arah
manakah yang akan kau pilih?”
Karebet
berpikir sejenak. Kemudian jawabnya,
“Kiai, apakah
aku tidak akan singgah dahulu untuk mengambil pakaianku?”
Prabasemi
berpikir sejenak. Kemudian katanya,
“Apa sajakah
milikmu itu?”
“Pakaian,
Kiai.”
“Itu saja?”
“Ya.”
“Biarlah aku
tukar dengan uang.”
“Jangan Kiai.
Pakaian itu adalah pakaian yang aku terima dari almarhum ayahku. Jangan ditukar
dengan apapun.”
Prabasemi yang
yakin rencananya akan terjadi itu berkata,
“Baiklah,
marilah aku antarkan ke pondokmu. Tetapi jangan berbuat gila, supaya lehermu
tidak aku penggal malam ini.”
Karebet tidak
menyahut. Tetapi mereka berdua segera berjalan ke pondok Karebet. Ketika
Karebet masuk ke dalam pondoknya Prabasemi berkata,
“Aku ikut. Dan
jangan berkata kepada siapapun apa yang akan kau lakukan.”
Karebet tidak
dapat menolak. Karena itu dibiarkannya Prabasemi ikut masuk ke dalam pondoknya,
namun tidak ke dalam biliknya.
SEBENARNYA
Karebet sama sekali tidak sayang pada beberapa lembar pakaiannya. Tetapi yang
memaksanya untuk pulang lebih dahulu adalah sebilah pusaka yang dahsyat, Kyai
Sangkelat. Setelah Karebet itu menyembunyikan Kyai Sangkelat di bawah bajunya,
maka ia pun segera keluar dari biliknya, dengan sebuah bungkusan kecil berisi
beberapa lembar pakaian.
“Kau bukan
Wira Tamtama lagi. Jangan kau bawa pakaian keprajuritan.”
“Tidak, Kiai,”
jawab Karebet.
“Pakaianku aku
tinggal di sangkutan pada dinding bilikku.”
Tetapi
Prabasemi itu tidak percaya. Diperlukannya menengok bilik Karebet. Dan dilihatnya
pakaian itu tersangkut di sana.
Namun ketika
mereka meninggalkan pondok itu, Karebet berkata,
“Aku telah
diusir dari Demak. Karena itu aku tidak sempat menyelesaikan persoalan pondokku
dengan pemiliknya. Karena itu aku serahkan semua itu kepada Kiai.”
Prabasemi
tersenyum.
“Itu bukan
persoalan sulit. Biarlah itu aku selesaikan.”
Karebet tidak
berkata apa-apa lagi. Dan mereka pun kemudian berjalan menelusuri jalan-jalan
kota ke selatan.
“Aku akan
menuju ke arah selatan,” kata Karebet kemudian.
“Baik. Baik.
Kemana kau inginkan, biarlah aku menuruti,” jawab Prabasemi sambil tertawa.
Tetapi karena
sikap Prabasemi itu, maka Karebet justru menjadi curiga. Sikap itu terlalu
ramah. Jauh berbeda dengan sikapnya, pada saat mereka masih berada di
Kasatrian. Meskipun demikian Karebet masih tetap berdiam diri. Ia masih saja
berjalan dengan kepala tunduk. Malam semakin lama semakin dalam menjelang
fajar. Embun telah mulai menetes dari dedaunan, menitik di rerumputan yang
tumbuh liar di tepi jalan. Angin malam yang sejuk lembut bertiup perlahan-lahan
mengusap wajah-wajah mereka dengan sejuknya. Namun hati Karebet tidak sesejuk
angin malam. Prabasemi dan Karebet masih saja berjalan dengan langkah yang
semakin lama semakin cepat. Seakan-akan mereka takut kesiangan. Dan sebenarnya
bahwa malam memang hampir sampai ke akhirnya. Bintang-bintang telah jauh
berkisar ke arah barat. Namun di timur belum muncul bintang fajar yang
cemerlang.
“Hem,” desis
Prabasemi kemudian,
“Hampir
fajar.”
Karebet tidak
menjawab. Tetapi diangkatnya wajahnya dan dipandangnya langit yang kelam.
“Masih cukup
lama,” katanya di dalam hati. Perjalanan mereka yang cepat itu tidak memerlukan
waktu terlalu lama untuk mencapai perbatasan. Segera mereka sampai ke tepi
kota. Di hadapan mereka terbentang daerah-daerah persawahan yang tidak begitu
luas. Dan di sebelah Barat, tampaklah seleret hutan yang memanjang ke selatan.
Meskipun hutan itu tidak terlalu besar, namun di dalamnya bersembunyi juga
beberapa jenis binatang liar. Serigala, anjing hutan dan beberapa jenis harimau
kecil.
Prabasemi
melihat hutan itu pula. Kemudian sekali lagi ia tersenyum. Kemudian katanya
kepada Karebet,
“Marilah aku
antar kau sampai ke hutan itu.”
Mendengar
kata-kata Prabasemi itu, Karebet benar-benar menjadi terkejut, sehingga dengan
serta merta ia berkata,
“Kenapa sampai
ke hutan itu?”
“Sampai ke
hutan itu, atau melampauinya,” jawab Prabasemi,
“Supaya kau
selamat dari terkaman binatang-binatang buas.”
“Ah,” desah
Karebet.
“Tak ada
binatang buas yang berbahaya di hutan itu.”
“Biarlah aku
mengantarmu untuk yang terakhir kali” sahut Prabasemi sambil tertawa.
Sekali lagi
terasa sesuatu berdesir di dalam dada Karebet. Namun ia tidak menjawab.
Dibiarkannya Tumenggung Prabasemi itu berjalan di sampingnya. Sesaat kemudian
mereka berdua saling berdiam diri. Prabasemi tenggelam dalam angan-angannya,
sedang Karebet mencoba menebak, apakah sebabnya maka Tumenggung Prabasemi
membuang-buang waktu untuk mengantarkannya sehingga sampai ke hutan itu.
Namun
tiba-tiba Tumenggung itu menarik nafas dalam-dalam dan berkata,
“Hem. Karebet.
Sekarang akhirnya tahu, kenapa kau pernah menunjukkan layon kembang kepadaku
dahulu.”
Karebet
mengerutkan keningnya. Namun ia tidak menjawab. Sementara itu mereka masih
berjalan terus menunju batang-batang padi muda yang tampaknya hijau segar,
sesegar udara pagi yang tertiup angin basah dari pegunungan.
“Beberapa hari
aku mencoba memecahkan teka-teki itu, Karebet,” kata Prabasemi.
Karebet masih
berdiam diri.
“Ternyata
kaulah yang telah berhasil lebih dahulu daripadaku.”
KINI Karebet
berpaling. Ketika terpandang wajah Tumenggung itu, tiba-tiba bangkitlah kembali
muaknya. Tetapi ia masih berdiam diri.
“Sebenarnya
aku akan mengucapkan selamat kepadamu seandainya kau berhasil mempersunting
bunga dari istana itu.”
“Sudahlah
Kiai,” sahut Karebet dengan nada yang rendah.
Tumenggung
Prabasemi tertawa. Jawabnya,
“Pahit, memang
pahit. Bukankah begitu? Seperti hatiku menjadi pahit juga ketika aku melihat
layon kembang ditanganmu? Tetapi ketahuilah Karebet, bahwa sebenarnya tidak
baru sekarang aku tahu apa yang telah terjadi di Kaputren.”
Kini Karebet
mengangkat wajahnya. Ia terkejut mendengar kata-kata itu. Namun dicobanya untuk
menyembunyikan perasaan itu.
Tumenggung
Prabasemi yang menunggu jawaban Karebet itu menjadi heran. Kenapa Karebet diam
saja mendengar pengakuannya itu. Karena itu maka diteruskannya,
“Aku telah
lama mendengar peristiwa yang memuakkan itu terjadi. Dan aku sedang menunggu
kesempatan untuk berbuat seperti sekarang ini.”
Dada Karebet
pun menjadi berdebar-debar karenanya. Meskipun demikian ia masih mencoba untuk
berdiam diri. Dibiarkannya Tumenggung itu berkata terus.
“Dan sekarang
kasempatan itu datang juga.”
“Kesempatan
apa Tumenggung?” bertanya Karebet.
“Karebet”
berkata Tumenggung itu,
“Sejak aku
mengetahui hubungan yang kau lakukan dengan Tuanku Putri itu, maka sejak itu
aku mengalami kepahitan hidup. Seakan-akan aku menjadi putus asa dan kehilangan
gairah untuk menjelang masa-masa depanku. Namun aku tidak kehilangan akal. Aku
cari cara yang sebaik-baiknya untuk menyingkirkan kau dari daerah istana.”
Debar
dijantung Karebet itu menjadi semakin cepat. Tetapi ia berusaha untuk
menguasainya sekuat-kuat tenaganya. Dibiarkannya Tumenggung itu mengatakan apa
saja yang tersimpan didalam dadanya. Dan Tumenggung itu berkata terus
“Karebet,
selama ini aku telah berjuang untuk mengalahkanmu. Aku telah berusaha dengan
susah payah untuk menebus kepahitan yang pernah aku alami. Dan sekarang,
datanglah giliranku untuk menikmati keindahan wajah putri itu setelah
berbulan-bulan aku hampir menjadi gila karenanya”.
Karebet
menggigit bibirnya. Ia menunggu Tumenggung itu mengatakan apakah yang telah
dilakukannya selama ini. Tetapi Tumenggung itu hanya berkata,
“Sekarang kau
harus menerima kekalahan itu. Kekalahan mutlak. Karena itu jangan mencoba
melawan kehendak Tumenggung Prabasemi.”
Tumenggung itu
berhenti berbicara. Dengan tersenyum-senyum ia menengadahkan wajahnya. Sedang
Karebet menjadi semakin muak kepadanya. Sementara itu kaki-kaki mereka terayun
terus menuju ke hutan yang semakin lama semakin dekat. Malam masih sedemikian
gelapnya dan bintang-bintang masih berhamburan di langit yang pekat.
Sekali-kali kelelawar tampak beterbangan merajai langit di malam hari. Semakin
dekat mereka dengan hutan itu, semakin tegang wajah Tumenggung yang masih muda
itu. Nafasnya menjadi semakin cepat mengalir dan darahnya seakan-akan menjadi
semakin cepat berdenyut. Sehingga demikian mereka sampai di tepi hutan itu
berkatalah Tumenggung Prabasemi, “Karebet, apakah tidak kau ketahui bahwa di
dalam hutan ini terdapat beberapa jenis binatang buas.”
Karebet tidak
tahu arah pembicaraan Tumenggung Prabasemi, sehingga ia menjawab.
“Ya
Tumenggung, aku tahu”.
“Tetapi
Karebet,” berkata Tumenggung itu. “Sebuas-buasnya binatang yang tinggal di dalam
hutan ini, bagiku tidak ada yang berbahaya sama sekali”.
Karebet
semakin tidak tahu maksud orang itu. Dan yang kemudian didengarnya adalah
benar-benar menggelegar ditelinganya seakan-akan memecahkan selaput telinga
itu. Berkata Tumenggung Prabasemi. “Sebuas-buasnya binatang di dalam hutan
kecil ini Karebet, bagiku kau akan jauh lebih berbahaya lagi daripada mereka
itu”.
Terasa jantung
Karebet berdentang keras-keras. Kata-kata itu hampir tak dipercayanya. Namun
Tumenggung itu berkata terus. “Bagiku Karebet, meskipun kau telah diusir dari
istana dan bahkan dari Demak, namun selagi kau telah diusir dari istana
kesempatanmu untuk kembali ke istana masih selalu terbuka. Nah, ketahuilah
bahwa maksudku kali ini, adalah melenyapkan kesempatan itu sama sekali. Kau
dengar?”
Jantung
Karebet tiba-tiba terguncang keras sekali. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa
itulah yang dikehendaki oleh Tumenggung Prabasemi itu. Karena itu maka tubuhnya
tiba-tiba menjadi gemetar. Dan masih didengarnya Tumenggung itu berkata,
“Karebet, kau
adalah orang satu-satunya yang telah mengetahui rahasia perasaanku disamping
seorang emban yang telah aku suap untuk memata-matai putri. Dari emban itu pula
aku mengetahui segala-galanya, dan pasti emban itu pula yang telah melaporkan
hubunganmu dengan putri itu kepada Baginda”.
No comments:
Post a Comment