Bagian 094


PERMAISURI itupun kemudian berdiam diri. Namun di kedua belah matanya masih tampak, betapa ia tidak rela mengalami peristiwa yang sama sekali tidak didangka-sangkanya. Bencana yang menimpa puterinya. Namun kini segala sesuatu telah diserahkannya kepada Baginda. Permaisuri itu dapat mengerti kata-kata Baginda, bahwa Baginda tidak saja seorang Raja tetapi juga seorang ayah, sekaligus seorang Raja yang harus memandang segala persoalan dari berbagai segi.
“Kenapa hal ini terjadi dengan Puteriku, puteri Baginda. Kalau saja itu terjadi atas orang-orang yang tinggal dipondokan kecil maka tidaklah banyak persoalan yang timbul karenanya. Tetapi puteri itu adalah anak seorang Raja yang akan disoroti oleh setiap mata dari seluruh negeri.” Betapapun Permaisuri masih saja meratap dalam hatinya. Namun tidak sepatah katapun diucapkannya.
Yang kemudian berkata adalah Baginda,
“Marilah, aku antar kembali ke bilikmu. Aku harus segera ke Kesatrian. Ambilah puterimu besok pagi, dan biarkan ia tinggal dalam istana untuk sementara.”
Permaisuri menyembah, kemudian meninggalkan Baginda dan kembali ke biliknya sendiri. Di muka pintu Permaisuri melihat emban tadi duduk bersimpuh menungguinya.
“Kau masih disini?” bertanya Permaisuri.
Emban menjawab,
“Ampun Gusti”

Permaisuri itu berhenti sejenak. Ditatapnya wajah emban itu,
“kenapa kau menangis?.”
“Hamba Takut”
“Apa yang kau takutkan?”
Emban tidak menjawab. tetapi sesekali ia menyembah dan kepalanya semakin tunduk.
“Jangan takut, kau tidak bersalah. dan kau tidak berbuat apa-apa,” kata permaisuri.
Tetapi emban tidak berani mengangkat wajahnya. Hanya sekali-kali dipandangnya kaki Baginda dan Permaisuri berganti ganti. bagindapun kasihan juga melihatnya.
Setelah permaisuri kembali ke biliknya, baginda segera meninggalkan bilik itu. Kepada emban yang masih bersimpuh,
“Kawani Gustimu itu.”
“Hamba Baginda,” sahut emban itu. Tetapi ia tidak berani masuk ke dalam bilik karena permaisuri tidak memanggilnya. Karena itu ia masih duduk di muka pintu. Baru ketika ia terbatuk karena sedannya, maka terdengar Permaisuri memanggilnya,
“apakah kau masih di muka pintu?”
“Ampun gusti, Baginda memerintahkan hamba untuk menemani Gusti.”
“Tidurlah, aku ingin tinggal seorang diri”
Barulah emban itu berdiri dan kembali ke biliknya. teapi begitu ia merebahkan dirinya, ia menangis sejadi-jadinya. Berkali-kali dirabanya lehernya seolah olah sebuah goresan telah melukainya.
“Kenapa kau?,” tanya seorang temannya
Emban itu menggeleng.
“Apakah jajar yang berkumis kecil ingkar janji?”
“Ah,” desah emban yang sedang menangis itu. Namun lehernya menjadi semakin pedih dan napasnya sesak…..
Kawan-kawannya kemudian tidak bertanya apapun lagi. Dibiarkannya ia menangis dan menelungkup. Bahkan beberapa kawan-kawannya saling berbisik dan tertawa tertahan-tahan. Mereka menyangka bahwa emban itu sedang berselisih dengan calon suaminya yang jauh lebih muda daripadanya.
Dalam pada itu Baginda telah berjalan menuju ke Kasatrian. Namun sebelum Baginda sampai, maka Baginda melihat dua orang Nara Manggala membawa Prabasemi menunju ke Kasatrian itu pula. Karena itu segera Baginda berjalan mendahuluinya.

KETIKA Baginda sampai di pintu samping, dan perlahan-lahan membuka pintu itu, alangkah terkejutnya. Baginda melihat, betapa Karebet dengan tenangnya tidur mendengkur di atas lantai. Sekali lagi Baginda mengelus dada. Katanya di dalam hati,
“Anak itu memang luar biasa. Apakah ia tidak menyadari bahaya yang dapat menimpa dirinya setiap saat, atau memang demikian ikhlasnya ia menjalani setiap persoalan betapapun rumitnya dan bahkan hidupnya terancam?”
Baginda menarik nafas. Kekagumannya kepada Karebet menjadi semakin bertambah-tambah. Tetapi meskipun demikian Baginda tidak mau menunjukkan betapa perasaan Baginda itu mencengkam segala pertimbangannya. Karena itu, dengan serta merta Baginda menutup dengan kerasnya daun pintu itu, sehingga berderak-derak keras sekali. Alangkah terkejutnya Karebet yang sedang tidur nyenyak itu. Sekali ia meloncat dengan garangnya, dan dalam sekejap ia telah siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Tetapi ketika kesadarannya telah sepenuhnya menguasai otaknya, dan ketika dilihatnya Baginda berdiri di muka pintu bilik itu, dengan serta merta ia menjatuhkan dirinya sampai menyembah.
“Ampun Baginda, hamba hanya terkejut. Hamba sama sekali tidak bermaksud berbuat apapun. Apalagi melawan.”

Hampir Baginda tertawa melihat sikap Karebet itu. Tetapi sekali lagi Baginda menahan dirinya. Bahkan dengan tajamnya Baginda memandangi wajah Karebet yang pucat.
“Apakah kau masih akan melawan?” bentak Baginda.
“Ampun Baginda. Hamba benar-benar hanya terkejut.”
“Kenapa kau tidur?”
“Hamba tidak ingin tidur, Baginda, tetapi mata hamba tak dapat hamba kuasai lagi.”
“Apakah sangkamu kau akan terlepas dari hukuman yang paling berat?”
“Tidak Baginda. Hamba akan menerima setiap hukuman apapun yang akan Baginda jatuhkan.”
Sekali lagi Baginda menarik nafas. Tetapi Baginda tidak berkata-kata lagi. Di luar, terdengar langkah Prabasemi dan dua orang Nara Manggala. Perlahan-lahan terdengar ketukan di pintu bilik itu. Maka berkatalah Baginda,
“Masuklah.”
Pintu itu bergerit perlahan-lahan. Ketika pintu itu terbuka, nampaklah Prabasemi berdiri di muka pintu. Ketika tiba-tiba dilihatnya Karebet duduk di lantai, tiba-tiba berdesirlah dada Tumenggung Wira Tamtama itu.
“Masuklah.” Kembali terdengar suara Baginda, berat bernada datar. Dada Prabasemi pun serasa meledak mendengar suara itu. Sekali lagi ia memandangi wajah Karebet. Dan ketika Karebet memandangnya pula, tiba-tiba anak itu tersenyum.
“Gila.” Prabasemi mengumpat di dalam hatinya.
“Apakah Karebet mengatakan segala hasratku kepada Baginda, dan malam ini Baginda memanggil aku untuk menghukum mati?”

Kaki Prabasemi menjadi gemetar. Karebet masih saja memandangnya sambil tersenyum-senyum. Tetapi ketika Baginda tiba-tiba berpaling kepadanya, dengan cepatnya Karebet menundukkan wajahnya. Prabasemi kemudian dengan tubuh gemetar duduk bersila di hadapan Baginda. Sekali ia menyembah, kemudian menekurkan kepalanya terhujam ke lantai. Detak jantungnya yang berdentang-dentang serasa benar-benar akan memecahkan dadanya. Kemudian kepada kedua Nara Manggala yang masih berdiri di muka pintu, Baginda berkata,
“Tinggalkan Tumenggung Prabasemi di sini.”
Kedua orang itu pun membungkukkan kepalanya dengan takzimnya, dan kemudian meningalkan Kesatrian. Sesaat Baginda masih berdiam diri. Ditatapnya Tumenggung Prabasemi yang ketakutan itu. Mula-mula Baginda menjadi heran, kenapa tiba-tiba Tumenggung itu menggigil ketakutan. Karena itu maka berkatalah Baginda,
“Apakah kau terkejut, Prabasemi? Terkejut karena aku memanggilmu di malam hari?”
Suara Prabasemi gemetar, sehingga tidak begitu jelas terdengar,
“Hamba Baginda. Hamba, hamba tidak menyangka.”
“Apa yang tidak kau sangka?” Prabasemi menjadi semakin bingung. Dan ketika sekali lagi ia memandang Karebet dengan sudut matanya, Karebet masih saja tersenyum.
“Apakah kau menyangka bahwa aku tidak akan memanggil seseorang di malam hari begini?”
“Ya, ya, Baginda.” Baginda mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya pula,
“Kalau aku memanggilmu tidak pada saat-saat yang wajar, itu pasti ada sesuatu yang sangat penting.”
“Hamba, Baginda.” Kata-kata Prabasemi itu menjadi semakin gemetar.
“Aku tidak memanggil orang lain, karena persoalan ini mau tidak mau pasti akan menyangkut dirimu.”

Kata-kata Baginda itu terdengar ditelinga Prabasemi sebagai suara kentongan yang menyebarkan kabar kematian. Dengan mata merah namun dengan wajah pucat Prabasemi mencoba sekali lagi memandang wajah Karebet. Namun kini Karebet telah menundukkan kepalanya.
“Gila, Setan, Anak itu benar-benar penghianat. Kenapa tidak aku bunuh saja ia kemarin atau lusa,” umpatnya tak habis-habisnya.
Maka berkata Baginda seterusnya,
“Nah, Prabasemi. Aku ingin mengatakan suatu rahasia kepadamu tetapi dengan janji, bahwa bila ada orang lain yang mendengar lewat mulutmu, maka umurmu tidak lebih panjang dari sepemakan sirih.”
Prabasemi telah benar-benar menjadi ketakutan. Dengan wajah tunduk ia menyembah sambil berkata,
“ampun baginda.”
“Dengarlah, apakah kau mengenal anak yang duduk di belakang ini?”
Prabasemi mengangguk. Tubuhnya menggigil seperti kedinginan,
“Hamba, Tuanku.”
“Kau kenal namanya?”
“Hamba Baginda.”
“Siapakah dia dan dari kesatuan apa dia?”

Darah Prabasemi seolah berhenti karenanya. Namun ia berusaha menjawab,
“Ampun Baginda. Namanya Karebet, dari kesatuan hamba pula. Wira Tamtama.”
Baginda mengangguk anggukkan kepalanya. Namun Baginda menjadi semakin heran melihat sikap Prabasemi. Bahkan Karebet pun menjadi geli pula, sehingga untuk sesaat ia dapat melupakan nasibnya sendiri.
“Prabasemi, dahulu aku menyerahkan anak itu kepadamu. Tetapi sekarang anak itu akan aku ambil darimu.”
“Sejak saat ini, Karebet bukan Wira Tamtama lagi.”
Kembali Prabasemi terkejut. Tetapi Karebet sudah tidak mampu lagi untuk tersenyum. Prabasemi yang kebingungan itu masih belum dapat menangkap maksud baginda, sehingga tanpa sesadarnya ia bertanya,
“kenapa?.”
Baginda mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba Prabasemi menyembah,
“Ampun Baginda, maksud hamba, bagaimana perintah Baginda?”
Baginda menarik napas kemudian berkata,
“Prabasemi, kau adalah seorang Tumenggung yang kini sedang mendapat beberapa kepercayaan. Aku tidak mempersoalkan peristiwa ini kecuali dengan kau. Karena kau adalah pemimpin langsung dari anak muda yang bernama Karebet. Sedang kepada kakang Patih pun sama sekali aku tidak memberitahukannya. Tetapi sekali lagi dengan janji, apabila seorang mendengar persoalan ini dari mulutmu, maka bagimu akan segera disediakan tiang gantungan.”

Hati Prabasemi yang tinggal semenir itu kini telah berkembang kembali. Sedikit demi sedikit ia dapat mengurai keadaan. Apalagi ketika Baginda berkata,
“Prabasemi, Karebet telah berbuat kesalahan terhadap keluargaku.”
Tiba-toba Prabasemi seakan bersorak kegirangan. Inilah soalnya. Jadi bukan dirinyalah yang akan dihadapkan ketiang gantungan, tetapi agaknya anak yang bernama Karebet itu. Karena itu maka Prabasemi tidak menggigil lagi. Meskipun demikian ia masih mengumpat-umpat didalam hatinya,
“Demit itu masih juga sempat mengganggu orang pada saat nyawanya sudah diujung ubun-ubun.”
Dan karena itulah maka tiba-tiba Prabasemi menyahut kata-kata Baginda dengan jawaban yang tak disangka-sangka oleh baginda,
”Ampun Baginda, Karebet memang mempunyai tabiat kurang baik. Karena itulah ia melakukan perbuatan gila. Ia tidak saja menghina keluarga Baginda, tetapi juga Adat Demak. Keberaniannya mencuri hati Tuan Puteri merupakan kesalahan yang tak terampuni.”
“Prabasemi darimana kau tau dengan pasti kesalahan Karebet ats keluargaku?”

Kini Prabasemilah yang terkejut bukan alang kepalang. Ternyata ia terdorong mengatakan sesuatu yang belum diketahuinya. Sekali ditatapnya Karebet yang tertunduk lesu. Namun akhirnya ia berkata,
“Baginda, ampunkan hamba. Karebet pernah memuji-muji puteri baginda. Sesekali ia akan datang kekeputren untuk menemui puteri itu. Aku sangka Karebet hanya berkelakar dan menghilangkan kejemuannya apabila sedang bertugas dalam gardu penjagaan. Karena itulah ketika Baginda bersabda bahwa Karebet telah berbuat kesalahan atas keluarga Baginda, langsung hamba dapat menebak apa yang telah dilakukannya.”
Darah Baginda serasa mendidih mendengar kata-kata Prabasemi itu. Dengan wajah merah membara dipandanginya wajah Karebet yang tunduk. Namun Karebet tidak kurang terkejutnya mendengar pengaduan itu. Bahkan hampir saja akan menjawabnya, dan mengatakan apa yang terjadi dengan Tumenggung. Namun kemudian niat itu diurungkan, karena apabila ia tak dapat membuktikannya, maka apa yang dikatakannya itu dianggap tal lebih dari fitnah belaka. Karenanya Karebet menundukkan kepalanya. Dicobanya memutar otak mencari jawaban.
Dan ketika Baginda bertanya,
“Karebet, kau dengar kata Tumenggung Prabasemi?.”
“Hamba Baginda”
“Apa katamu tentang itu?”
“Sebenarnya aku pernah berbuat demikian Baginda.”

Jawaban Karebet itu benar-benar tak disangka-sangka oleh Tumenggung Prabasemi. Ia berharap Karebet akan membantahnya sehingga akan membuat Baginda tambah marah, Karebet berbuat fitnah. Tetapi ternyata Karebet justru membenarkan kata-katanya.
Kemarahan baginda yang memuncak tiba-tiba mereda kembali mendengar jawaban itu. Meskipun demikian ia membentaknya,
“Kanapa kau berbuat demikan Karebet?.”
“Baginda, ampunkan hamba. Sebenarnya setelah melihat puteri Baginda, hamba menjadi seorang yang tak dapat menilai diri sendiri. Sekali-sekali hamba pernah mempercakapkannya dengan Kiai Tumenggung karena hamba tidak mempunyai orang tua lagi, setelah ayah Kebo Kenanga meninggal. Oleh sebab itulah hamba hanya dapat mengadu kepada pimpinan hamba yang hamba anggap ayah bunda hamba. Kebiasaan Kiai Tumenggung mirip dengan kebiasaan eyang Pangeran Handayaningrat almarhum. Mengurai rambut dan menyangkutkan ikat kepala di lehernya. Itulah sebabnya hamba percaya kepada Kiai Tumenggung, dan hamba katakan apa yang tersimpan dihati hamba tanpa berprasangka.”
“Bohong!,” tiba-tiba Tumenggung Prabasemi memotong Karebet. Namun sebelum ia berkata lebih lanjut, disadarinya bahwa Sultan Trenggana sedang duduk mendengarkan kata Karebet. Karena itulah dengan gugup Prabasemi menyembah sambil berkata,
“Ampun Tuanku.”

Sultan Trenggana mengerutkan alisnya. tenyata anak yang diambil dari jalan ini bukanlah anak kebanyakan. Ketika Karebet menyebut nama Kebo Kenanga dan Handayaningrat, betapa mereka mempunyai perbedaan pandangan dalam pelbagai persoalan, namun runtuh juga belas kasihan Baginda kepada Karebet yang yatim piatu hampir sejak kanak-kanak. Namun meskipun demikian, anak itu mampu memiliki kekuatan lahir dan batin yang mengagumkan. Kini Sultan Trenggana dihadapkan pada suatu masalah yang sangat pelik. Akan lebih mudah menghadapi daerah yang memberontak daripada persoalan puterinya. Maka akhirnya Baginda berkata,
“Prabasemi, Karebet aku ambil kembali. Anak itu akan aku jauhkan dari pusat kerajaan. Aku jauhkan sejauhnya dari istana. Biarlah ia menjadi pembantu Arya Palindih dalam tugasnya mengawasi bandar Bergota.”
Prabasemi benar-benar terkejut mendengar keputusan itu, seperti juga Karebet yang terkejut bukan kepalang.
Karebet yang telah merasa bahwa umurnya akan tinggal seujung malam itu tiba-tiba merasa dirinya hidup kembali. Karena itu dengan serta merta ia bertiarap di kaki Baginda. Anak yang aneh itu, yang seakan-akan tidak pernah merasakan sedih dan duka dan kesulitan-kesulitan hidup yang lain, tiba-tiba menangis di bawah kaki Baginda. Bukan karena ia akan hidup lebih lama lagi, namun terasa olehnya, betapa kasih Baginda itu kepadanya.
Karena itu, justru ketika ia merasakan bahwa sebenarnya budi Baginda kepadanya, sejak ia dipungutnya dari tepi-tepi jalan, bukan main besarnya, penyesalannya bertambah-tambah. Ia menyesal bahwa ia telah menyebabkan Baginda gusar kepadanya, dan ia menyesal bahwa ia telah berbuat suatu kesalahan yang sangat besar bagi adat kehidupan Demak.

BERBEDA dengan Tumenggung Prabasemi. Tumenggung itupun terkejut bukan buatan mendengar keputusan Baginda. Ternyata Karebet itu sama sekali tidak dihukum mati. Anak itu hanya sekadar dijauhkan dari istana. Alangkah mudahnya. Karena itu, maka pada saat-saat yang akan datang, kemungkinan Karebet untuk kembali ke Demak masih terbuka. Tetapi kalau anak itu telah terpenggal lehernya, maka ia baru akan dapat tidur nyenyak. Karena itu betapapun ia takut kepada Baginda, dicobanya juga untuk berkata,
“Baginda, apakah hukuman itu sudah cukup adil?” Baginda mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
“Apakah pertimbanganmu Prabasemi?”
“Baginda, hukuman yang paling pantas bagi pengkhianatannya adalah hukuman mati.”
Karebet yang sudah duduk kembali itupun memandang Prabasemi dengan sudut matanya. Ia dapat memahami perasaan Tumenggung itu. Tetapi Karebet sama sekali tidak dapat mengatakan apakah yang sebenarnya terjadi antara dirinya dan Tumenggung itu. Karena itu, yang dapat dilakukan hanyalah mengumpat didalam hatinya. Tetapi ternyata Baginda tidak begitu saja menerima pendapat Prabasemi. Dengan penuh pertimbangan Baginda berkata,
“Prabasemi. Bukan kesalahan dalam tata hubungan antara seorang kawula dan seorang raja. Seorang prajurit dan seorang Panglima. Aku sependapat dengan kau, bahwa setiap pengkhianat harus dihukum mati. Tetapi Karebet tidak berkhianat. Ia hanya sekedar melakukan hubungan yang wajar antara seorang pria dengan wanita. Tetapi caranyalah yang sama sekali tidak wajar. Karena itu maka menjauhkan Karebet dari istana, akan berarti menghapuskan setiap kemungkinan Karebet berbuat untuk kedua kalinya. Dan apabila ternyata dengan segala cara maka pengampunan kali ini diabaikan, maka aku tidak akan memberinya ampun untuk kedua kalinya.”

Prabasemi itu mengerutkan keningnya. Tampaklah betapa ia tidak senang mendengar keputusan Baginda. Karena itu sekali lagi diberanikan dirinya berkata,
“Baginda. Janganlah menjadi contoh yang memalukan bagi seorang prajurit Wira Tamtama. Hamba akan menderita malu sekali apabila seseorang mendengarnya, bahwa seorang prajurit Wira Tamtama dalam pimpinan Prabasemi telah melakukan perbuatan terkutuk itu. Biarlah ia menjadi contoh bagi para prajurit yang lain.”
“Peristiwa ini tak akan dapat dijadikan contoh dalam bentuk apapun, Prabasemi. Aku tidak mau, seorang pun mengetahui apa yang telah terjadi. Aku tidak akan dapat memberikan alasan yang kuat, kenapa Karebet harus dihukum mati. Kalau alasan yang sebenarnya aku beritahukan, maka rahasia ia akan terbuka.”
Prabasemi itu menggigit bibirnya. Ketika sekali terpandang mata Karebet itu menatapnya, maka kemarahan Prabasemi tak dapat dikendalikan lagi. Dengan garangnya ia menunjuk kepada anak muda itu sambil menggeram.
“He, Karebet. Terkutuklah kau sampai anak cucumu.”
Karebet tidak menjawab. Dalam keadaan yang demikian itu, maka yang paling baik baginya adalah berdiam diri.

Bilik itu kemudian dicengkam oleh kesenyapan. Kesenyapan yang menggelisahkan. Baginda itu ternyata sekali lagi harus berpikir dan bertindak bijaksana. Kalau ia sama sekali tak mendengarkan permintaan Prabasemi, maka Baginda pun menjadi cemas, jangan-jangan Prabasemi mempunyai cara sendiri untuk melakukannya. Ketika Baginda sedang berpikir, maka Prabasemi berpikir pula. Namun agaknya Baginda tidak akan dapat memenuhi permintaannya untuk melenyapkan Karebet. Karena itu Prabasemi sedang mencari cara lain yang sama sekali tak akan mudah diketahui. Tetapi betapapun, namun terasa oleh Tumenggung itu, bahwa sebenarnyalah Baginda sangat sayang kepada Karebet.
Tiba-tiba Tumenggung itu tersenyum di dalam hati. Karena itu, maka sekali ia menyembah kepada Baginda, lalu katanya,
“Baginda. Sebenarnya hamba pun tidak akan sampai pada permohonan yang paling keras untuk menghukum mati Karebet. Namun terdorong karena luapan perasaan, setelah hamba mendengar bahwa Karebet telah berbuat khianat itulah yang telah mendorong hamba untuk tidak ingin melihatnya lagi dalam lingkungan keprajuritan. Sehingga meskipun Karebet itu tidak dihukum mati, namun sebaiknya anak muda itu tidak lagi mendapat kesempatan apapun yang memungkinkannya kembali ke istana. Dengan menempatkan anak itu pada kakang Palindih, maka kesempatan masih terbuka setiap kali baginya untuk mendapatkan kedudukan kembali dalam lingkungan keprajuritan, untuk kembali ke istana. Kecuali apabila Putri telah mendapat tempat yang selayaknya bagi seorang putri.”

BAGINDA tidak segera menjawab kata-kata Prabasemi. Namun Baginda melihat banyak persoalan yang dapat terjadi. Baginda melihat, bahwa Prabasemi benar-benar tersinggung atas perbuatan Karebet itu. Namun Baginda sama sekali tidak menyangka bahwa di dalam dada Tumenggung yang garang itu tersimpan pikiran-pikiran yang gila pula. Baginda sama sekali tidak menyangka bahwa Prabasemi mempunyai maksud-maksud yang tidak kalah gilanya dengan apa yang telah dilakukan oleh Karebet. Namun agaknya Prabasemi akan menempuh jalan yang lain daripada yang pernah ditempuh oleh anak muda yang aneh itu.

Setelah Baginda menimbang beberapa saat, akhirnya Baginda membenarkan permohonan Prabasemi itu. Baginda mempertimbangkan permohonan Permaisuri pula. Baik Permaisuri sebagai ibu putrinya, maupun Prabasemi, pemimpin langsung Karebet, yang dapat dianggapnya orang tuanya, bersama-sama tidak menghendaki anak itu lagi. Tidak menghendaki Karebet tampak di antara kawula Demak. Namun untuk membunuhnya, Baginda benar-benar tidak sampai hati. Sebab, meskipun anak itu sekadar anak gembala yang dipungutnya dari tepi blumbang masjid, namun anak itu mempunyai beberapa tanda-tanda keanehan di dalam dirinya. Dan bagaimanapun juga, Baginda tidak dapat menutup kenyataan bahwa anak itu adalah cucu Pangeran Pengging Sepuh, Pangeran Handayaningrat.
Mudah-mudahan mereka kelak dapat melupakan kesalahan itu. Dan mudah-mudahan hukuman ini dapat menyadarkan anak itu. Apabila kelak datang suatu kemungkinan, anak itu dapat dicarinya, diambilnya kembali dalam lingkungan keprajuritan. Sebab sebenarnya Demak memerlukan orang-orang yang memiliki kelebihan daripada orang-orang kebanyakan. Dan benarlah kata-kata Prabasemi, bahwa kelak dapat diambil kebijaksanaan lain apabila putrinya telah mendapatkan tempat yang wajar bagi seorang putri raja.
Karena itulah maka akhirnya Baginda berkata,
“Karebet, apakah kau setuju dengan pertimbangan-pertimbangan dari pemimpinmu?”

Karebet menyembah sambil membungkukkan badannya dalam-dalam. Namun bagaimanapun juga, betapa ia menjadi tidak senang kepada Prabasemi. Perasaan muaknya menjadi bertambah-tambah. Tetapi sekali lagi ia menahan hatinya, sebab tak ada bukti apapun yang dapat diajukannya apabila ia ingin menceriterakan tentang maksud-maksud Tumenggung yang licik itu.
“Nah, Karebet. Segala keputusan adalah keputusanku. Bukan orang lain. Juga keputusan tentang dirimu kali ini, adalah tanggung jawabku. Kalau semula aku ingin menyerahkan kau kepada Kakang Palindih, maka hal itu masih mendapat pertimbangan-pertimbangan lain. Kini aku telah menentukan sikapku sebagai suatu keputusan. Kau sejak saat ini bukan anggota Wira Tamtama lagi. Dan kau sejak ini bukan keluarga dalam lingkungan keprajuritan apapun dan jabatan-jabatan apapun. Kau harus pergi meninggalkan Demak. Untuk tidak menampakkan dirimu lagi sampai keputusan ini aku cabut.”
Dada Karebet berdesir mendengar keputusan itu. Sekali lagi ia menyembah jauh di bawah kaki Baginda. Alangkah sakit perasaannya. Jauh lebih sakit daripada apabila sejak semula ia mendapatkan hukuman mati. Disingkirkan dari lingkungan keprajuritan dan disisihkan dari Demak adalah hukuman yang terlampau berat. Tetapi ketika disadarinya bahwa kesalahannya terlampau berat, maka Karebet pun kemudian mencoba menghibur diri sendiri. Mencoba menerima keadaan, dan dipaksanya untuk menjadi keadaan yang sewajarnya. Setiap kesalahan harus mendapat hukuman.

Dan Karebet pun kemudian menerima setiap keputusan Baginda dengan kesadaran. Tetapi ia tidak dapat melupakan Tumenggung Prabasemi itu. Seandainya Tumenggung itu tidak mempunyai maksud-maksud gila, maka ia pasti tidak akan terlalu bernafsu untuk menyingkirkannya, sehingga Tumenggung itu pasti membiarkannya untuk pergi ke Bergota. Tetapi segala kemungkinan kini telah tertutup. Baginda telah menjatuhkan keputusan. Dan keputusan Baginda kali ini bukan sekadar pertimbangan. Namun benar-benar telah merupakan keputusan yang diucapkan.

MENDENGAR keputusan Baginda, kembali Prabasemi tersenyum di dalam hati. Tetapi ia tetap menundukkan wajahnya, seakan-akan keputusan itu tidak berpengaruh apapun di dalam perasaannya.
“Karebet…” kata Baginda kemudian,
“Keputusan itu berlaku sejak malam ini. Karena itu, kau harus segera meninggalkan istana ini dan langsung meninggalkan lingkungan kota Demak.”
“Ampun Baginda,” sela Prabasemi,
“Keputusan Baginda itu berarti bahwa tidak ada kesempatan lagi bagi Karebet untuk berada di sekitar Demak? Dengan demikian, maka akan lebih baik jika kelak Baginda mengeluarkan perintah, bahwa setiap Prajurit yang melihat Karebet, harus mengusirnya.”
Baginda mengerutkan keningnya.
“Alangkah dalam dendam Tumenggung Prabasemi itu kepada Karebet,” pikir Baginda.
“Mungkin Prabasemi ingin membersihkan dirinya dari setiap kemungkinan, bahwa iapun akan ikut bertanggungjawab atas kesalahan anak buahnya. Karena itu justru ia bersikap sangat keras.”
Namun Baginda menjawab,
“Apakah alasan yang dapat aku berikan untuk perintah itu?”

Prabasemi merenung sejenak. Kemudian katanya,
“Ampun Baginda. Biarlah nama Karebet agak menjadi lebih baik. Biarlah aku membuat alasan. Karebet telah dengan lancang membunuh seorang yang menyatakan keinginannya masuk Wira Tamtama. Dan lurah Tamtama yang muda itu telah menjadi panas hatinya, ketika orang ingin menunjukkan kesaktiannya, sehingga karenanya orang baru itu terbunuh.”
“Setan,” desis Karebet di dalam hatinya. Kepalanya kini benar-benar menjadi pening. Kenapa persoalan-persoalan yang menyangkut dirinya itu dibicarakan justru di hadapannya? Hal inipun telah merupakan hukuman tersendiri baginya. Ditambah dengan hasutan-hasutan Tumenggung yang licik itu.
Kembali bilik itu menjadi sepi sesaat. Terasa betapa Baginda menjadi bimbang atas keputusannya sendiri. Sekali-kali ditatapnya wajah Tumenggung Prabasemi, dan sekali-kali ditatapnya kepala Karebet yang tunduk. Baginda sendiri menjadi heran, kenapa ia seakan-akan merasakan sesuatu yang mengetuk-ngetuk hatinya, ketika terasa pada Baginda, bahwa sebentar lagi anak itu akan dijauhkan darinya. Meskipun anak itu telah menumbuhkan kemarahan padanya, pada Permaisuri dan Tumenggung Prabasemi, namun Baginda tidak dapat melepaskan harapan, bahwa anak itu pada suatu masa pasti akan menjadi seorang yang berharga bagi Demak.

Tetapi Baginda tidak akan dapat mencabut keputusan yang telah dijatuhkan. Karena itu sebelum perasaan Baginda menjadi semakin kalut, maka berkatalah Baginda,
“Nah, Karebet. Saat ini pula kau harus mulai menjalani hukuman sebelum orang lain mengetahui keadaanmu. Kepadamu pun aku berpesan, apabila masih ada tanda kesetiaanmu kepadaku, jangan kau katakan apapun yang terjadi, kepada siapapun. Supaya aku tidak usah berusaha menanggkapmu dan memberi hukuman kepadamu yang jauh lebih berat dari hukuman mati.”
Karebet itu pun menyembah di kaki Baginda, dan bahkan kemudian diciuminya kaki itu. Dengan terbata-bata, anak muda itu berkata,
“Ampun Baginda. Tiada titah Baginda yang tidak akan hamba lakukan. Apapun yang akan aku jalani, apabila itulah keputusan Baginda, maka pasti akan hamba junjung tinggi.”
Baginda terharu juga melihat anak muda itu. Tetapi kembali Baginda menindas perasaannya. Maka kata Baginda,
“Baik. Aku harap kau tidak ingkar. Sekarang pergilah dari Kasatrian. Tidak saja dari Kasatrian, tetapi dari Demak. Jangan dekati lagi istana ini. Sebab besok setiap prajurit akan mendengar, bahwa Karebet diusir dari istana. Dan setiap prajurit akan mengusirmu pula.”

Alangkah pedihnya perintah itu. Tetapi Karebet harus melakukannya. Karena itu sekali lagi ia menyembah dan berkata,
“Titah Baginda akan hamba lakukan. Sebab hukuman ini ternyata masih dilimpahi oleh kemurahan hati Baginda.”
Setelah Karebet itu menyembah sekali lagi, maka mulailah ia bergeser mundur. Namun tiba-tiba Prabasemi berkata,
“Ampun Baginda. Biarlah aku mengantarkan anak itu sampai di perbatasan.”
Baginda mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
“Jangan seorangpun tahu apa yang telah terjadi.”
“Tidak Baginda,” sahut Prabasemi. “Hamba sendiri akan mengantarkannya sampai ke perbatasan, malam ini.”

BAGINDA tidak segera menjawab. Bahkan Baginda itu menjadi semakin heran. Kenapa kemarahan Prabasemi itu menjadi sedemikian jauhnya, melampaui kemarahan Baginda sendiri, yang langsung mendapat cela karena putrinya. Tetapi sekali lagi Baginda menyangka bahwa sikap itu hanyalah untuk menunjukkan bahwa ia tidak tersangkut kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan oleh Karebet itu. Karena itu maka berkata Baginda.
“Apakah hal itu kau anggap perlu Prabasemi?”
“Hamba Baginda,” jawab Prabasemi.
“Sebab apabila tidak demikian, maka anak muda itu akan dapat bersembunyi di rumah kawan-kawannya di dalam kota.”
Baginda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kata Baginda,
“Terserahlah kepadamu Prabasemi.”
Kembali Prabasemi tertawa di dalam hati. Dengan menyembah sekali lagi ia berkata,
“Ampun Baginda, biarlah hamba berangkat sekarang sebelum fajar.”
“Pergilah,” sahut Baginda.
Kemudian kepada Karebet, Prabasemi berkata,
“Ayolah Karebet. Jangan menyesali diri. Hukuman ini masih terlalu ringan bagimu.”

Karebet sama sekali tidak menjawab. Tetapi kemudian mereka bersama-sama meninggalkan bilik Kasatrian itu. Prabasemi berjalan dengan wajah tengadah, dan senyum yang mengulas bibirnya. Sedang Karebet berjalan dengan wajah yang tunduk. Bukan karena ia takut kepada Prabasemi, namun betapa ia menyesali dirinya. Sesaat teringatlah ia akan pamannya, Kebo Kanigara, Panembahan Ismaya, Mahesa Jenar, dan sahabatnya Arya Salaka. Karena itu, tiba-tiba ia pun tersenyum. Di tempat itu ia akan menemukan ketentraman. Tetapi kemudian ia menjadi ragu-ragu. Apakah yang akan dikatakannya kepada pamannya kelak. Apakah pamannya tidak akan marah kepadanya? Dan senyum di bibir Karebet itu seperti tersapu angin malam. Kini kembali ia berjalan sambil menundukkan wajahnya. Ketika mereka sampai di pintu gerbang, lewat di muka gardu penjaga, maka terdengarlah seorang Nara Manggala bertanya,
“Apakah persoalannya sudah selesai Kiai Tumenggung?”
Prabasemi berhenti sejenak. Dengan bangga ia menjawab singkat,
“Sudah.”
“Apakah yang terjadi?”
“Tidak apa-apa,” jawab Prabasemi. Namun di luar dugaan Tumenggung itu, Karebet berkata,
“Kaki Baginda terkilir.”

Prabasemi mengerutkan keningnya. Dan didengarnya penjaga itu berkata,
“Sudah kau katakan sore tadi. Tetapi Baginda itu tidak apa-apa. Baginda berjalan dengan tegap dan cepat.”
“Baginda sudah sembuh setelah aku pijit,” sahut Karebet,
“Memanggil Kiai Tumenggung dan bertanya kepadanya apakah Baginda timpang.”
Tumenggung Prabasemi pun menjadi heran. Karebet baru saja mendengar keputusan tentang dirinya. Tetapi tiba-tiba ia sudah dapat berkelakar. Gila benar anak ini. Namun Prabasemi menjadi tidak senang karenanya. Ia ingin Karebet menjadi bersusah hati. Ia ingin Karebet minta ampun kepadanya dan merengek-rengek seperti orang banci. Karena itu ketika Karebet masih ingin berbicara lagi, maka Tumenggung itu membentak,
“Ikut aku!”
Karebet menganggukkan kepalanya. Tanpa berbicara lagi, maka keduanya segera pergi meninggalkan gerbang halaman dalam istana itu.
Sampai di luar gerbang, maka berkatalah Prabasemi dengan angkuhnya,
“Karebet, arah manakah yang akan kau pilih?”
Karebet berpikir sejenak. Kemudian jawabnya,
“Kiai, apakah aku tidak akan singgah dahulu untuk mengambil pakaianku?”
Prabasemi berpikir sejenak. Kemudian katanya,
“Apa sajakah milikmu itu?”
“Pakaian, Kiai.”
“Itu saja?”
“Ya.”
“Biarlah aku tukar dengan uang.”
“Jangan Kiai. Pakaian itu adalah pakaian yang aku terima dari almarhum ayahku. Jangan ditukar dengan apapun.”

Prabasemi yang yakin rencananya akan terjadi itu berkata,
“Baiklah, marilah aku antarkan ke pondokmu. Tetapi jangan berbuat gila, supaya lehermu tidak aku penggal malam ini.”
Karebet tidak menyahut. Tetapi mereka berdua segera berjalan ke pondok Karebet. Ketika Karebet masuk ke dalam pondoknya Prabasemi berkata,
“Aku ikut. Dan jangan berkata kepada siapapun apa yang akan kau lakukan.”
Karebet tidak dapat menolak. Karena itu dibiarkannya Prabasemi ikut masuk ke dalam pondoknya, namun tidak ke dalam biliknya.

SEBENARNYA Karebet sama sekali tidak sayang pada beberapa lembar pakaiannya. Tetapi yang memaksanya untuk pulang lebih dahulu adalah sebilah pusaka yang dahsyat, Kyai Sangkelat. Setelah Karebet itu menyembunyikan Kyai Sangkelat di bawah bajunya, maka ia pun segera keluar dari biliknya, dengan sebuah bungkusan kecil berisi beberapa lembar pakaian.
“Kau bukan Wira Tamtama lagi. Jangan kau bawa pakaian keprajuritan.”
“Tidak, Kiai,” jawab Karebet.
“Pakaianku aku tinggal di sangkutan pada dinding bilikku.”
Tetapi Prabasemi itu tidak percaya. Diperlukannya menengok bilik Karebet. Dan dilihatnya pakaian itu tersangkut di sana.
Namun ketika mereka meninggalkan pondok itu, Karebet berkata,
“Aku telah diusir dari Demak. Karena itu aku tidak sempat menyelesaikan persoalan pondokku dengan pemiliknya. Karena itu aku serahkan semua itu kepada Kiai.”
Prabasemi tersenyum.
“Itu bukan persoalan sulit. Biarlah itu aku selesaikan.”
Karebet tidak berkata apa-apa lagi. Dan mereka pun kemudian berjalan menelusuri jalan-jalan kota ke selatan.
“Aku akan menuju ke arah selatan,” kata Karebet kemudian.
“Baik. Baik. Kemana kau inginkan, biarlah aku menuruti,” jawab Prabasemi sambil tertawa.

Tetapi karena sikap Prabasemi itu, maka Karebet justru menjadi curiga. Sikap itu terlalu ramah. Jauh berbeda dengan sikapnya, pada saat mereka masih berada di Kasatrian. Meskipun demikian Karebet masih tetap berdiam diri. Ia masih saja berjalan dengan kepala tunduk. Malam semakin lama semakin dalam menjelang fajar. Embun telah mulai menetes dari dedaunan, menitik di rerumputan yang tumbuh liar di tepi jalan. Angin malam yang sejuk lembut bertiup perlahan-lahan mengusap wajah-wajah mereka dengan sejuknya. Namun hati Karebet tidak sesejuk angin malam. Prabasemi dan Karebet masih saja berjalan dengan langkah yang semakin lama semakin cepat. Seakan-akan mereka takut kesiangan. Dan sebenarnya bahwa malam memang hampir sampai ke akhirnya. Bintang-bintang telah jauh berkisar ke arah barat. Namun di timur belum muncul bintang fajar yang cemerlang.
“Hem,” desis Prabasemi kemudian,
“Hampir fajar.”
Karebet tidak menjawab. Tetapi diangkatnya wajahnya dan dipandangnya langit yang kelam.
“Masih cukup lama,” katanya di dalam hati. Perjalanan mereka yang cepat itu tidak memerlukan waktu terlalu lama untuk mencapai perbatasan. Segera mereka sampai ke tepi kota. Di hadapan mereka terbentang daerah-daerah persawahan yang tidak begitu luas. Dan di sebelah Barat, tampaklah seleret hutan yang memanjang ke selatan. Meskipun hutan itu tidak terlalu besar, namun di dalamnya bersembunyi juga beberapa jenis binatang liar. Serigala, anjing hutan dan beberapa jenis harimau kecil.

Prabasemi melihat hutan itu pula. Kemudian sekali lagi ia tersenyum. Kemudian katanya kepada Karebet,
“Marilah aku antar kau sampai ke hutan itu.”
Mendengar kata-kata Prabasemi itu, Karebet benar-benar menjadi terkejut, sehingga dengan serta merta ia berkata,
“Kenapa sampai ke hutan itu?”
“Sampai ke hutan itu, atau melampauinya,” jawab Prabasemi,
“Supaya kau selamat dari terkaman binatang-binatang buas.”
“Ah,” desah Karebet.
“Tak ada binatang buas yang berbahaya di hutan itu.”
“Biarlah aku mengantarmu untuk yang terakhir kali” sahut Prabasemi sambil tertawa.
Sekali lagi terasa sesuatu berdesir di dalam dada Karebet. Namun ia tidak menjawab. Dibiarkannya Tumenggung Prabasemi itu berjalan di sampingnya. Sesaat kemudian mereka berdua saling berdiam diri. Prabasemi tenggelam dalam angan-angannya, sedang Karebet mencoba menebak, apakah sebabnya maka Tumenggung Prabasemi membuang-buang waktu untuk mengantarkannya sehingga sampai ke hutan itu.

Namun tiba-tiba Tumenggung itu menarik nafas dalam-dalam dan berkata,
“Hem. Karebet. Sekarang akhirnya tahu, kenapa kau pernah menunjukkan layon kembang kepadaku dahulu.”
Karebet mengerutkan keningnya. Namun ia tidak menjawab. Sementara itu mereka masih berjalan terus menunju batang-batang padi muda yang tampaknya hijau segar, sesegar udara pagi yang tertiup angin basah dari pegunungan.
“Beberapa hari aku mencoba memecahkan teka-teki itu, Karebet,” kata Prabasemi.
Karebet masih berdiam diri.
“Ternyata kaulah yang telah berhasil lebih dahulu daripadaku.”

KINI Karebet berpaling. Ketika terpandang wajah Tumenggung itu, tiba-tiba bangkitlah kembali muaknya. Tetapi ia masih berdiam diri.
“Sebenarnya aku akan mengucapkan selamat kepadamu seandainya kau berhasil mempersunting bunga dari istana itu.”
“Sudahlah Kiai,” sahut Karebet dengan nada yang rendah.
Tumenggung Prabasemi tertawa. Jawabnya,
“Pahit, memang pahit. Bukankah begitu? Seperti hatiku menjadi pahit juga ketika aku melihat layon kembang ditanganmu? Tetapi ketahuilah Karebet, bahwa sebenarnya tidak baru sekarang aku tahu apa yang telah terjadi di Kaputren.”
Kini Karebet mengangkat wajahnya. Ia terkejut mendengar kata-kata itu. Namun dicobanya untuk menyembunyikan perasaan itu.
Tumenggung Prabasemi yang menunggu jawaban Karebet itu menjadi heran. Kenapa Karebet diam saja mendengar pengakuannya itu. Karena itu maka diteruskannya,
“Aku telah lama mendengar peristiwa yang memuakkan itu terjadi. Dan aku sedang menunggu kesempatan untuk berbuat seperti sekarang ini.”

Dada Karebet pun menjadi berdebar-debar karenanya. Meskipun demikian ia masih mencoba untuk berdiam diri. Dibiarkannya Tumenggung itu berkata terus.
“Dan sekarang kasempatan itu datang juga.”
“Kesempatan apa Tumenggung?” bertanya Karebet.
“Karebet” berkata Tumenggung itu,
“Sejak aku mengetahui hubungan yang kau lakukan dengan Tuanku Putri itu, maka sejak itu aku mengalami kepahitan hidup. Seakan-akan aku menjadi putus asa dan kehilangan gairah untuk menjelang masa-masa depanku. Namun aku tidak kehilangan akal. Aku cari cara yang sebaik-baiknya untuk menyingkirkan kau dari daerah istana.”
Debar dijantung Karebet itu menjadi semakin cepat. Tetapi ia berusaha untuk menguasainya sekuat-kuat tenaganya. Dibiarkannya Tumenggung itu mengatakan apa saja yang tersimpan didalam dadanya. Dan Tumenggung itu berkata terus
“Karebet, selama ini aku telah berjuang untuk mengalahkanmu. Aku telah berusaha dengan susah payah untuk menebus kepahitan yang pernah aku alami. Dan sekarang, datanglah giliranku untuk menikmati keindahan wajah putri itu setelah berbulan-bulan aku hampir menjadi gila karenanya”.
Karebet menggigit bibirnya. Ia menunggu Tumenggung itu mengatakan apakah yang telah dilakukannya selama ini. Tetapi Tumenggung itu hanya berkata,
“Sekarang kau harus menerima kekalahan itu. Kekalahan mutlak. Karena itu jangan mencoba melawan kehendak Tumenggung Prabasemi.”

Tumenggung itu berhenti berbicara. Dengan tersenyum-senyum ia menengadahkan wajahnya. Sedang Karebet menjadi semakin muak kepadanya. Sementara itu kaki-kaki mereka terayun terus menuju ke hutan yang semakin lama semakin dekat. Malam masih sedemikian gelapnya dan bintang-bintang masih berhamburan di langit yang pekat. Sekali-kali kelelawar tampak beterbangan merajai langit di malam hari. Semakin dekat mereka dengan hutan itu, semakin tegang wajah Tumenggung yang masih muda itu. Nafasnya menjadi semakin cepat mengalir dan darahnya seakan-akan menjadi semakin cepat berdenyut. Sehingga demikian mereka sampai di tepi hutan itu berkatalah Tumenggung Prabasemi, “Karebet, apakah tidak kau ketahui bahwa di dalam hutan ini terdapat beberapa jenis binatang buas.”
Karebet tidak tahu arah pembicaraan Tumenggung Prabasemi, sehingga ia menjawab.
“Ya Tumenggung, aku tahu”.
“Tetapi Karebet,” berkata Tumenggung itu. “Sebuas-buasnya binatang yang tinggal di dalam hutan ini, bagiku tidak ada yang berbahaya sama sekali”.
Karebet semakin tidak tahu maksud orang itu. Dan yang kemudian didengarnya adalah benar-benar menggelegar ditelinganya seakan-akan memecahkan selaput telinga itu. Berkata Tumenggung Prabasemi. “Sebuas-buasnya binatang di dalam hutan kecil ini Karebet, bagiku kau akan jauh lebih berbahaya lagi daripada mereka itu”.
Terasa jantung Karebet berdentang keras-keras. Kata-kata itu hampir tak dipercayanya. Namun Tumenggung itu berkata terus. “Bagiku Karebet, meskipun kau telah diusir dari istana dan bahkan dari Demak, namun selagi kau telah diusir dari istana kesempatanmu untuk kembali ke istana masih selalu terbuka. Nah, ketahuilah bahwa maksudku kali ini, adalah melenyapkan kesempatan itu sama sekali. Kau dengar?”
Jantung Karebet tiba-tiba terguncang keras sekali. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa itulah yang dikehendaki oleh Tumenggung Prabasemi itu. Karena itu maka tubuhnya tiba-tiba menjadi gemetar. Dan masih didengarnya Tumenggung itu berkata,
“Karebet, kau adalah orang satu-satunya yang telah mengetahui rahasia perasaanku disamping seorang emban yang telah aku suap untuk memata-matai putri. Dari emban itu pula aku mengetahui segala-galanya, dan pasti emban itu pula yang telah melaporkan hubunganmu dengan putri itu kepada Baginda”.


<<< Bagian 093                                                                                              Bagian 095 >>>

No comments:

Post a Comment