SEBENTAR kemudian terdengar suara ribut di pendapa. Rupanya mereka sedang sibuk menyambut kedatangan tamu-tamunya dari Pamingit. Terdengarlah kemudian suara Ki Ageng Gajah Sora dengan ramahnya mempersilahkan adiknya masuk ke pringgitan. Ketika mereka semua sudah masuk, Mahesa Jenar berdiri, lalu dengan kesal pergi keluar ke samping gandok. Mahesa Jenar melayangkan pandangan matanya ke dataran yang terbentang di bawah lambung bukit Telamaya. Di bagian barat terbentang tanah persawahan yang subur. Padi yang pada saat itu sedang menguning dan burung-burung yang terbang di atasnya. Tetapi burung-burung itu sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk mencuri butiran-butiran padi yang bergoyang-goyang karena tiupan angin pagi yang lembut, sebab anak-anak yang menungguinya selalu menghalau mereka, dengan goprak dan hantu-hantuan yang digerakkan dengan tali. Di bagian timur, agak jauh menjorok ke utara terbentang rawa. Airnya yang gelisah memantulkan cahaya matahari yang masih merah, yang baru saja tersembul dari balik cakrawala. Beberapa perahu lesung para nelayan masih tampak hilir-mudik seperti sepotong lidi yang terapung-apung untuk menggali kekayaan yang tersimpan di dalamnya.
Tiba-tiba
Mahesa Jenar mendengar derap kuda yang lari sangat kencang seperti dikejar
hantu. Kuda itu tidak masuk halaman lewat gerbang depan, tetapi menyusup
melalui pintu butulan di samping. Mahesa Jenar memalingkan mukanya dengan agak
segan-segan. Anak itu lagi, desis Mahesa Jenar. Dan muncullah dari pintu
butulan pagar itu seorang anak laki-laki yang berwajah bulat dan agak gemuk
menunggang kuda hitam mengkilat. Ketika anak itu melihat Mahesa Jenar,
cepat-cepat ia menghentikan kudanya.
“Selamat pagi
Paman,” sapanya sambil menyeringai.
“Dari mana kau
Arya?” tanya Mahesa Jenar kepada anak Ki Ageng Gajah Sora itu.
Arya Salaka
itu tidak segera menjawab, tetapi dijatuhkannya sebuah benda yang cukup berat
dari punggung kuda itu. Melihat benda itu Mahesa Jenar terkejut.
“Uling…?”
katanya.
“Ya, Paman,
aku dari Rawa Pening menangkap uling itu,” jawabnya.
Mahesa Jenar
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kau memang
nakal Arya. Bukankah ayahmu telah melarangmu pergi ke Rawa Pening? Besok, kalau
kau sudah bertambah besar tentu kau boleh pergi ke sana. Tetapi sekarang belum
waktunya kau pergi sendiri,” katanya.
Anak itu
meloncat turun lalu mendekati Mahesa Jenar.
“Paman, jangan
Paman katakan kepada ayah kalau aku pergi sendiri,” bisiknya.
“Lalu uling
itu…?” tanya Mahesa Jenar.
Arya Salaka
diam termangu. Kemudian jawabnya,
“Aku katakan
bahwa Pamanlah yang menangkap.”
Mahesa Jenar
tersenyum.
“Hampir
semalam suntuk aku bersama ayahmu di pendapa itu. Bagaimana aku pergi menangkap
uling?” katanya.
Kembali Arya
Salaka kebingungan. Akhirnya ia mendapat jawaban. Dengan tertawa ia berkata,
“Gampang
Paman, aku akan katakan bahwa seorang kawan memberi aku uling sebagai hadiah.”
“Hadiah apa?”
tanya Mahesa Jenar.
“Aku tidak
tahu, Paman.” Ia menjadi kebingungan lagi.
“Tetapi
seharusnya kau tidak pergi ke sana, Arya. Banyak bahayanya. Bukan saja
uling-uling macam itu, tetapi uling yang tinggal di sebelah rawa itu akan lebih
berbahaya bagimu, kalau mereka tahu bahwa kau adalah putra Ki Ageng Gajah
Sora,” kata Mahesa Jenar menasehati.
Anak itu
memandang Mahesa Jenar dengan penuh perhatian.
“Uling Putih
dan Uling Kuning, maksud Paman?”
Mahesa Jenar
mengangguk.
“Baiklah
Paman, tetapi pada suatu saat aku pasti akan dapat menangkapnya seperti
menangkap uling itu.”
“Nah,
pergilah, gantilah pakaianmu yang basah kuyup itu.”
Tanpa
menjawab, anak itu memutar tubuhnya lalu melangkah pergi. Tetapi demikian
Mahesa Jenar memandang punggung anak itu, ia menjadi terkejut, sebab punggung
itu terluka dan darah cair mengalir dari luka itu.
“Arya… panggil
Mahesa Jenar, kenapa punggungmu luka?”
“Luka…?” tanya
Arya keheranan.
“Ah tidak
seberapa Paman.”
“Tetapi dari
luka itu banyak mengalir darah.”
Arya Salaka
menggosok punggungnya dengan tangannya, dan terasa sesuatu yang cair dan hangat.
“Uling itu
mencoba melawan, Paman,” katanya kemudian,
“Kami
berkelahi beberapa lama. Tetapi akhirnya aku dapat membunuhnya.”
“Untunglah
uling itu tidak menyeretmu ke dalam rawa,” sahut Mahesa Jenar.
“Kakiku
dibelitnya, Paman,” jawab Arya Salaka bangga.
“Dan memang ia
mencoba menarik aku ke rawa. Tetapi tentu saja aku tidak mau. Rasa-rasanya
tidak akan menarik berkunjung ke lubang uling. Karena itu aku berusaha
membunuhnya dengan belati. Dan akhirnya sebagai Paman lihat sekarang, uling itu
sudah mati. Kalau saja ibuku tidak tahu bahwa aku yang menangkapnya, pasti
beliau senang untuk memasaknya.”
Setelah
berkata demikian, segera Arya meloncat dengan lincahnya menangkap ekor uling
itu lalu diseretnya ke dapur sambil berlari-lari. Mahesa Jenar menggeleng-gelengkan
kepala. Luar biasa, katanya kepada diri sendiri. Memang, sejak ia melihat anak
itu pertama kali, ia sudah merasa kagum. Arya Salaka merupakan seorang
anak-anak laki-laki yang memiliki bakat yang baik. Badannya kukuh dan otaknya
pun ternyata dapat bekerja dengan baik. Uling adalah sebangsa binatang air yang
mirip dengan ular dan memiliki kekuatan yang luar biasa. Ia adalah belut
raksasa. Tetapi anak ini dapat menangkapnya. Sebentar kemudian terdengar suara
Nyai Ageng Gajah Sora nyaring. Rupanya Nyai Ageng sedang memarahi Arya Salaka.
Kemudian terdengarlah langkah Arya berlari-lari keluar dan langsung meloncat
memanjat sebatang pohon. Dari sana ia meloncat ke atas atap yang dibuat dari
papan, untuk bersembunyi. Setelah itu tampak Nyai Ageng menyusul di belakang,
tetapi Arya Salaka telah lenyap. Mahesa Jenar segera memalingkan kepalanya, dan
pura-pura tidak mengetahui.
Tetapi ketika
Nyai Ageng melihatnya, segera ia mendekati Mahesa Jenar,
“Kami mendapat
tamu dari Pamingit, Adik dari Ki Ageng. Barangkali Adi Lembu Sora dapat
memperkenalkan diri dengan Adi Mahesa Jenar.”
Mahesa Jenar
pura-pura terkejut lalu membalikkan dirinya.
“Baiklah Nyai
Ageng, sebaiknya aku mandi dulu,” jawabnya.
“Silakanlah
Adi,” katanya kemudian. Lalu ditinggalkannya Mahesa Jenar kembali seorng diri.
Dengan
langkah-langkah segan Mahesa Jenar pergi menuruni tangga batu yang dibuat di
lereng bukit di samping rumah Ki Ageng Gajah Sora, pergi ke mata air. Di
sanalah biasanya ia mandi. Ia sama sekali tidak bernafsu untuk bertemu dengan Lembu
Sora. Tetapi sebagai seorang tamu maka tak baik kalau ia menolak.
SETELAH Mahesa
Jenar selesai membersihkan diri, segera ia pun naik ke pendapa dan langsung
masuk ke pringgitan untuk menemui Ki Ageng Lembu Sora. Melihat kehadiran Mahesa
Jenar, segera Gajah Sora memperkenalkannya kepada Lembu Sora.
“Adi Lembu
Sora, ini adalah Adi Mahesa Jenar, sahabatku yang telah lama tidak bertemu,”
katanya.
Kemudian
kepada Mahesa Jenar ia berkata,
“Adi Mahesa
Jenar…, Adi Lembu Sora ini adalah adikku satu-satunya yang sekarang memerintah
daerah Perdikan Pamingit. Ia datang juga hanya untuk kunjungan kekeluargaan.”
Ternyata
memang Ki Ageng Lembu Sora seorang yang sombong. Ketika Mahesa Jenar
membungkukkan diri menghormatnya atas perkenalan itu, ia mengangkat dadanya dan
memandang Mahesa Jenar dengan pandangan yang merendahkan. Kemudian ia bertanya,
“Sahabat,
adakah yang menarik perhatianmu, sampai kau datang dari jarak yang sedemikian
jauhnya ke Banyubiru?”
Pertanyaan itu
sungguh tidak menyenangkan. Tetapi bagaimanapun Mahesa Jenar adalah tamu yang
sopan, maka ia mencoba untuk tidak mengesankan ketidaksenangannya. Maka
jawabnya,
“Ki Ageng,
memang banyak yang menarik perhatianku di sini. Terutama keramah-tamahan
penduduknya.”
Lembu Sora
menarik dagunya hampir melekat dadanya. Matanya menjadi berkilat-kilat. Rupanya
ia merasakan sindiran halus yang diucapkan oleh Mahesa Jenar. Tetapi ia tidak
menjawab, sebab segera Gajah Sora yang bijaksana mengalihkan pembicaraan mereka
ke hal-hal yang tak berarti.
Namun
bagaimanapun ada suatu kesan yang dalam menggores di dalam jantung Mahesa
Jenar, bahwa Ki Ageng Lembu Sora bukanlah seorang yang baik hati. Dan
sebenarnyalah bahwa memang orang ini telah banyak memusingkan kepala ayahnya.
Ki Ageng Sora Dipayana.
Andaikan Lembu
Sora itu orang lain, maka mudahlah soalnya. Tetapi ia adalah anak Ki Ageng Sora
Dipayana, seperti juga Gajah Sora Dipayana. Di sinilah mulanya letak
kesalahannya. Nyai Ageng Sora Dipayana dahulu terlalu memanjakan anak
bungsunya, sehingga akhirnya anak ini susah diatur. Sedangkan Ki Ageng Sora
Dipayana tidak mau mengecewakan istrinya, karena ia sangat menyayanginya.
Nyai Ageng
Sora Dipayana adalah seorang istri yang setia, sejak Ki Ageng masih menjadi
seorang yang harus mulai segala soal. Membuka hutan dan segala macam kerja yang
harus dikerjakan dalam suasana sakit dan pedih. Pada keadaan yang demikian,
satu-satunya orang yang bersedia membantunya adalah almarhum istrinya itu.
Karena itu, meskipun sekarang istrinya sudah tidak ada lagi, Ki Ageng Sora
Dipayana tidak sampai hati untuk berlaku keras kepada anak kesayangan istrinya
itu.
Setelah Mahesa
Jenar merasa bahwa ia telah cukup lama turut serta menemui Ki Ageng Lembu Sora,
segera ia minta diri untuk pergi berjalan-jalan, melihat-lihat kota Banyubiru.
Ia tidak ingin lebih lama lagi bercakap-cakap dengan Ki Ageng Lembu Sora, yang
tampaknya tak mau menghargai orang lain. Sebab ia sendiri bukanlah orang yang
amat kuat menahan hati. Maka setelah ia mendapat izin dari tuan rumah, segera
ia turun ke halaman dan berjalan keluar. Ia sama sekali tidak mempunyai tujuan
kecuali sekadar menuruti langkah kakinya. Tetapi demikian ia keluar halaman,
dilihatnya seorang yang berdiri bersandar dinding. Orang ini belum pernah
dikenalnya. Beberapa orang Banyubiru yang dekat dengan Gajah Sora sudah hampir
dikenal seluruhnya. Melihat Mahesa Jenar keluar, segera orang itu memutar
tubuhnya dan berjalan perlahan-lahan menjauhi gerbang. Mahesa Jenar menjadi
agak curiga. Tetapi apakah yang akan dilakukan di siang hari, dimana sinar
matahari yang mulai terik ini membakar seluruh halaman? Tetapi bagaimanapun,
orang itu sangat menarik perhatiannya. Sehingga timbullah keinginan Mahesa
Jenar untuk mengetahui maksud orang itu. Maka segera Mahesa Jenar pun berjalan
mengikutinya dari jarak kira-kira 50 langkah. Ia menjadi semakin curiga ketika
orang itu beberapa kali menengoknya dan mempercepat langkahnya.
Tetapi
tiba-tiba Mahesa Jenar terkejut melihat bayangan yang melayang dari sebatang
pohon di pinggir jalan, langsung menyerang orang yang diikutinya. Ia menjadi
bertambah terkejut ketika diketahuinya bahwa bayangan itu adalah Arya Salaka
yang tak diketahui sebab-sebabnya menyerang orang yang berjalan di depan Mahesa
Jenar itu. Ternyata orang itu pun bukan orang sembarangan. Dengan tangkasnya ia
mengelakkan diri, bahkan sekaligus ia berputar sambil menyerang dengan
tumitnya. Arya Salaka, ketika tidak berhasil menyerang orang itu dari atas
pohon, rupanya menyadari bahwa lawannya berbahaya. Karena itu ia pun segera
bersiap, sehingga ketika kaki lawannya melayang ke perutnya, ia meloncat
mundur. Demikian kaki yang tak berhasil mengenainya itu berdesing di hadapan
perutnya, Arya Salaka segera meloncat sambil menghantam dada orang itu. Tetapi
bagaimanapun Arya Salaka adalah seorang anak yang belum dewasa. Apalagi
lawannya ternyata memiliki kecepatan bergerak, sehingga demikian Arya Salaka
meloncat, demikian ia masuk ke dalam perangkap lawannya. Tangannya yang
terjulur untuk menyerang itu dapat ditangkap dan dengan sekali gerak tangan itu
dipilinnya. Tetapi Arya Salaka ternyata cerdik juga. Ia mengikuti saja putaran
tangannya, tetapi demikian ia membelakangi orang itu demikian cepat ia
menendangnya. Orang itu sama sekali tidak mengira bahwa anak-anak itu dapat
berbuat demikian, sehingga karena hal yang sama sekali tak terduga-duga itu ia
terlontar ke belakang dan tangkapannyapun lepas.
Rupanya orang
itu menjadi marah sekali. Matanya tampak berapi-api dan dengan tidak ragu-ragu
lagi ia pun meloncat maju menghantam Arya Salaka. Gerakan itu demikian cepatnya
sehingga Arya Salaka tidak sempat mengelak. Maka yang dapat dikerjakan hanyalah
menangkis pukulan itu.
BAGAIMANAPUN
kuatnya, Arya Salaka adalah seorang anak yang sama sekali tak seimbang dengan
lawannya. Maka demikian tangannya yang disilangkan di muka kepalanya itu
terbentur tangan lawannya, ia terpental jauh dan hampir saja kepalanya
membentur dinding halaman. Untunglah bahwa Mahesa Jenar dengan cepatnya
meloncat dan menangkap Arya Salaka. Arya Salaka berdesis menahan sakit.
Tangannya terasa panas seperti terbakar. Tetapi meskipun demikian ia masih saja
akan meloncat maju kalau tidak ditahan oleh Mahesa Jenar, sehingga ia
meronta-ronta berusaha melepaskan pegangan itu.
“Lepaskan…,
lepaskan aku Paman,” teriak Arya Salaka.
Orang yang
diserangnya itu rupanya juga benar-benar marah.
“Lepaskan anak
kurangajar itu, biar aku pecahkan kepalanya,” katanya.
“Tunggu dulu
Arya…. Apakah sebabnya kau menyerang orang itu?” tanya Mahesa Jenar
perlahan-lahan.
“Ia berjalan
hilir-mudik dan mengintai-intai rumah kami. Mungkin ia seorang penjahat yang
akan memasuki rumah kami ini,” jawabnya.
“Tutup
mulutmu!” hardik orang itu.
“Tutup sendiri
mulutmu,” balas Arya Salaka.
“Selama ini,
di kota ini tidak ada orang yang bertingkah laku seperti kau. Tak pernah kota
ini ada kejahatan seperti kota-kota lain. Dan kau aku kira bukan orang
Banyubiru, yang datang untuk membuat onar di sini.”
Mendengar
makian Arya Salaka, orang itu tak dapat menahan diri lagi. Karena itu ia
melangkah maju dan dengan tangannya yang kuat ia menampar muka Arya Salaka.
Tetapi Arya
Salaka sudah berada di tangan Mahesa Jenar. Karena itu sudah pasti kalau Mahesa
Jenar tidak akan membiarkan begitu saja hal itu terjadi. Maka ketika tangan itu
sudah terayun, Mahesa Jenar memutar tubuhnya dan memasang sikunya, sehingga
tangan orang itu mengenai siku Mahesa Jenar.
Mengalami
perlakuan Mahesa Jenar, orang itu menjadi semakin marah.
“Apamukah anak
ini…? Anakmu…? Kalau begitu kau tak pandai mengajar anakmu sehingga anakmu
kurangajar,” bentaknya.
“Tunggu dulu…
jawab Mahesa Jenar, Jangan berlaku kasar terhadap anak-anak. Memang barangkali
anak ini terlalu nakal, tetapi biarlah orang tuanya yang mengajarnya.
Seharusnya kau melaporkan saja kepada ayah bundanya. Sedang kau sendiri, memang
dapat menimbulkan sangkaan yang bukan-bukan. Sikapmu agak mencurigakan.”
Wajah orang
itu menjadi merah padam. Kata-kata Mahesa Jenar sangat menusuk perasaannya.
Karena itu, hampir berteriak ia kembali membentak,
“Apa hakmu
berkata demikian. Adakah kau pengawal kota atau Kepala Daerah Perdikan ini?”
“Aku bukan
apa-apanya, jawab Mahesa Jenar, masih setenang tadi. Tetapi tiap-tiap warga
kota ini berhak turut serta menjaga keamanan kotanya. Dan bukankah kau bukan
penduduk Banyubiru?”
Mata orang itu
menjadi semakin berapi-api. Tetapi rupanya ada sesuatu pertimbangan yang
menahannya untuk tidak berbuat sesuatu. Akhirnya ia berkata lantang,
“Tak ada
gunanya aku melayani orang-orang gila macam kau dan anak itu.”
Lalu ia
memutar tubuhnya, dan melangkah pergi. Tetapi kali ini Mahesa Jenar yang
kemudian tidak membiarkan orang itu pergi. Ia segera menahannya.
“Nanti dulu,
bukankah kau bermaksud melaporkan anak ini kepada ayahnya. Nah, marilah aku
antar kau kepadanya. Ayah anak ini adalah Ki Ageng Gajah Sora,” kata Mahesa
Jenar.
Mendengar
kata-kata Mahesa Jenar, segera wajah orang itu berubah. Sebentar kemudian
nampak ia menjadi pucat dan gemetar. Tetapi sebentar kemudian kembali wajahnya
menyala-nyala. Kemudian kembali ia melangkah pergi tanpa mengucapkan sepatah
katapun. Melihat sikapnya, Mahesa Jenar bertambah curiga. Segera Arya Salaka
dilepaskan dan didorongnya ke pinggir, sedangkan ia sendiri segera meloncat
untuk menghadang orang yang dicurigainya itu.
“Tunggu dulu…
urusan kita belum selesai,” katanya.
Terdengar gigi
orang itu gemeretak menahan marah. Sikap Mahesa Jenar dirasa sudah keterlaluan.
Meskipun demikian ia masih berusaha untuk menghindari bentrokan.
“Tidak ada
persoalan diantara kita, sebaiknya kau jangan memulainya,” kata orang itu.
Orang-orang
yang menyaksikan peristiwa itu segera tertarik dan mengerumuninya. Mereka
mengenal Mahesa Jenar sebagai sahabat Ki Ageng Gajah Sora. Beberapa orang
diantara mereka bertanya-tanya, apakah yang terjadi…?
Belum lagi
Mahesa Jenar sempat menjawab, Arya Salaka telah mendahului berceritera dengan
suara yang mengalir seperti air terjun. Orang itu menjadi semakin gelisah,
wajahnya kembali menjadi pucat.
“Jangan
dengarkan omongan anak itu. Sekarang beri aku jalan,” katanya.
“Ki Sanak…”
potong Mahesa Jenar,
“kenapa kau
begitu tergesa-gesa. Sebaiknya kau memperkenalkan dirimu kepada penduduk
Banyubiru ini supaya mata mereka tidak menyorotkan pandangan kecurigaan.”
ORANG itu
sekarang sudah tidak dapat lagi mengendalikan dirinya karena putus asa. Ia
tidak mendapat kesempatan untuk meninggalkan tempat itu begitu saja. Matanya berubah
menjadi liar dan mencari tempat-tempat yang lemah, di mana ia mungkin menerobos
untuk melarikan diri. Tetapi orang yang mengerumuninya itu seolah-olah sengaja
mengepungnya rapat-rapat. Setelah orang itu tidak dapat melihat kemungkinan itu
tiba-tiba ia menarik keris yang terselip di bawah bajunya. Maka dengan suara
yang parau ia berteriak,
“Minggir, atau
aku terpaksa membunuh kalian.”
Melihat orang
itu menarik kerisnya, beberapa orang yang mengerumuninya surut ke belakang.
Tetapi mereka sama sekali tidak takut. Orang Banyubiru bukanlah sebangsa
penakut. Kalau mereka mundur hanyalah supaya ada jarak cukup dapat bertindak
tepat. Apalagi Mahesa Jenar. Ia sama sekali tak berkisar dari tempatnya.
“Janganlah
bermain-main dengan benda yang demikian, sebab senjata hanyalah mendatangkan
bencana, terutama bagi yang membawanya,” kata Mahesa Jenar sambil tersenyum.
“Diam…!”
teriak orang itu semakin putus asa.
“Pergi kau,
atau biarkan aku pergi.”
Orang itu
selangkah mendekati Mahesa Jenar dengan keris terhunus. Melihat orang itu
mendekati Mahesa Jenar, beberapa orang bergerak pula. Mereka masih belum tahu
sampai di mana kemampuan bertindak Mahesa Jenar, sehingga penduduk Banyubiru
merasa perlu untuk melindungi tamu mereka. Tetapi Mahesa Jenar masih saja
berdiri di tempatnya.
Sementara itu
terdengarlah beberapa orang keluar dari halaman. Mereka ternyata Ki Ageng Gajah
Sora, Ki Ageng Lembu Sora dengan beberapa pengiringnya. Ketika mereka mendengar
ribut-ribut di luar, mereka ingin pula mengetahuinya. Dan ternyata Arya Salaka
telah berlari memberitahukan persoalan itu kepada ayahnya. Orang-orang yang
berdiri berkerumun segera menyibak, ketika mereka melihat kepala daerah mereka
datang. Melihat orang-orang berdatangan, orang yang mencurigakan itu menjadi
semakin pucat, dan semakin kebingungan. Tiba-tiba terjadilah suatu hal yang
tidak terduga-duga. Ketika Ki Ageng Lembu Sora melihat orang itu, matanya
menjadi merah menyala. Dan tidak seorang pun yang mengira bahwa Lembu Sora
secepat kilat menarik kerisnya dan sambil berteriak ia meloncat menikam perut
orang itu.
“Orang inikah
yang telah berani menganiaya putra Kakang Gajah Sora?” katanya.
Gerakan Lembu
Sora terlalu cepat sehingga tak seorang pun dapat mencegahnya. Orang itu
terdorong mundur beberapa langkah. Cepat-cepat tangannya memegang perutnya yang
terluka, dan kerisnya sendiri terlepas jatuh. Tubuhnya menggigil seperti orang
kedinginan, sedang wajahnya memancarkan rasa heran dan kemarahan yang tak
terhingga. Ia memandangi Lembu Sora dengan matanya yang semakin pucat. Dari
sela-sela jarinya mengalir gumpalan-gumpalan darah cair. Bibirnya yang menjadi
putih itu bergerak-gerak, tetapi tak sepatah katapun terucapkan, sampai
akhirnya ia tersungkur dan tak bernafas lagi. Kemudian terdengarlah suara-suara
yang tidak jelas dari beberapa orang yang menyaksikan dengan penuh keheranan
atas kejadian itu. Mereka semua sudah mengenal bahwa Lembu Sora adalah adik Ki
Ageng Gajah Sora, tetapi mereka sama sekali tidak membayangkan bahwa adik Gajah
Sora dapat bertindak sekasar itu terhadap seseorang yang belum jelas
kesalahannya. Apalagi Mahesa Jenar dan Gajah Sora sendiri, yang menjadi kurang
senang atas tindakan Lembu Sora.
“Kau terlalu
tergesa-gesa Adi Lembu Sora,” kata Gajah Sora.
“Maafkan aku
Kakang….” jawab Lembu Sora.
“Aku terlalu
tidak dapat menahan hati terhadap orang yang menganiaya putra Kakang. Sebab aku
sendiri mempunyai seorang anak yang sebaya dengan Arya, yaitu Sawung Sariti,
sehingga aku merasa bahwa tindakan yang kasar terhadap anak-anak adalah
tindakan yang paling terkutuk.”
Gajah Sora
menarik alisnya. Kemudian diperintahkannya beberapa orang untuk mengurusi
jenazah itu, sedang beberapa orang yang lain supaya mencari keluarganya,
apabila mungkin. Setelah semuanya mulai dikerjakan, Gajah Sora dan Lembu Sora
serta para pengiringnya masuk kembali. Mahesa Jenar masih saja berdiri diantara
mereka yang sedang menyelesaikan penguburan jenazah itu. Pikirannya dipenuhi
oleh berbagai masalah. Tadi ia sempat meneliti wajah Lembu Sora lebih saksama.
Matanya yang berapi-api, bibirnya yang agak tebal dan selalu tertarik ke bawah
bagian-bagian tepinya, menunjukkan bahwa ia benar-benar orang yang tidak
tanggung-tanggung. Yang dapat membunuh orang, asal ia mau, dan sesudah itu
dapat melupakannya dengan sekaligus seperti tak terjadi apa-apa. Tetapi
bagaimanapun, apa yang baru dilakukan adalah tindakan yang kasar sekali.
Tiba-tiba Mahesa Jenar mendapat pikiran lain. Apakah hal itu cukup kuat sebagai
suatu alasan untuk membunuh. Tidak mungkinkah kalau pembunuhan itu dilakukan
karena ada sebab-sebab lain…? Sementara itu datanglah Arya Salaka mendekatinya.
Wajahnya tampak tidak seriang biasanya.
“Aku menyesal
Paman. Aku tidak mengira bahwa orang itu akan mengalami nasib terlalu buruk,
sehingga Paman Lembu Sora membunuhnya,” bisiknya kepada Mahesa Jenar.
“Sudahlah,
Arya… lain kali jangan terlalu nakal. Untunglah aku melihat kau berkelahi.
Kalau tidak, barangkali kepalamu tadi sudah terbentur dinding,” jawabnya.
“Mula-mula aku
hanya ingin mengetahui, apakah yang akan dilakukan orang itu, Paman,” katanya.
”Kelakuannya
nampak aneh. Dan aku tidak sempat memberitahukan kepada siapapun.”
“Sudah
pernahkah kau melihat orang itu sebelumnya?” tanya Mahesa Jenar.
“Belum. Yang
pasti ia bukan orang Banyubiru. Aku hampir mengenal semua orang di kota ini,”
jawabnya.
MAHESA JENAR
merenung sejenak. Lalu katanya,
“Sudahlah,
lupakan itu. Marilah kita sekarang berjalan-jalan. Barangkali kau dapat
menunjukkan tempat-tempat yang belum pernah aku lihat.”
Maka kembali
Mahesa Jenar berjalan-jalan tanpa tujuan. Kali ini ia pergi bersama Arya Salaka
yang nakal. Diajaknya Mahesa Jenar mendaki lereng bukit Telamaya.
“Dari sana
Paman dapat melihat seluruh dataran Tanah Rawa,” kata Arya Salaka.
“Dari
Banyubiru, dataran itu juga dapat dilihat, Arya,” jawab Mahesa Jenar.
“Tetapi pandangan
kita tidak seluas apabila kita berdiri di sana” bantah Arya Salaka.
Mahesa Jenar
tidak menjawab lagi. Memang ia sama sekali tidak mempunyai tujuan. Jadi ke mana
saja pergi, bagi Mahesa Jenar adalah sama saja. Sampai di lereng bukit yang
agak tinggi, mereka berdua dapat melihat hampir seluruh dataran. Tanah-tanah
yang subur dengan padinya tampak seperti permadani kuning yang dibentangkan di
bawah kaki mereka. Sedang di bagian timur tampak Rawa Pening berkilat-kilat
memantulkan cahaya matahari.
Tiba-tiba mata
Mahesa Jenar yang tajam tertarik pada beberapa titik yang bergerak-gerak.
Titik-titik itu terlalu kecil, tetapi mata Mahesa Jenar segera dapat
mengenalnya bahwa titik-titik itu adalah orang-orang berkuda.
“Kau lihat
titik-titik yang bergerak-gerak itu?” tanya Mahesa Jenar kepada Arya Salaka.
“Yang mana
Paman?” tanya Arya Salaka sambil berusaha mempertajam pandangan matanya.
“Di sebelah
selatan rawa itu,” jawab Mahesa Jenar.
Akhirnya Arya
Salaka dapat melihatnya pula.
“Ya…, aku
melihatnya, Paman,” katanya.
“Kau tahu,
apakah itu kira-kira?” tanya Mahesa Jenar.
Arya
mengerinyitkan alisnya.
“Entahlah,”
jawabnya.
“Itu adalah
orang-orang berkuda,” kata Mahesa Jenar.
“Orang-orang
berkuda?” tanya Arya. Rupanya ia sangat tertarik.
“Di sini
memang sering ada orang-orang berkuda. Tetapi yang bergerombol demikian adalah
jarang sekali. Berapa orang kira-kira mereka, Paman?”
Mahesa Jenar
mengamat-amati sejenak, lalu katanya,
“Ya, antara
sepuluh orang.”
Tiba-tiba
wajah Arya Salaka berubah. Pasti terpikir sesuatu olehnya. Maka berkatalah ia,
“Paman,
marilah kita lihat, siapakah mereka itu.”
Mahesa Jenar
tersenyum. Jarak itu tidak terlalu dekat Arya,
“belum tentu
lewat tengah hari kita sampai ke sana. Bukankah jalan menuju ke tempat itu
berkelok-kelok?”
“Kita pulang
dahulu. Lalu kita ambil kuda, dan pergi ke sana,” Arya menjelaskan maksudnya.
Arya tidak
menunggu jawaban Mahesa Jenar, tetapi terus saja menghambur lari menuruni
tebing.
Mahesa Jenar
tidak dapat berbuat lain kecuali mengikutinya. Memang sebenarnya ia pun
tertarik pada rombongan orang-orang berkuda yang datang dari arah timur itu.
Ketika Mahesa
Jenar sampai di luar dinding halaman rumah Arya, ia melihat Arya sudah
menunggunya dengan dua ekor kuda. Yang seekor berwarna hitam mengkilat dan yang
seekor lagi berwarna abu-abu. Ketika Mahesa Jenar menghampirinya, segera Arya
menyerahkan kuda yang berwarna abu-abu itu kepadanya.
“Mudah-mudahan
tamasya ini menyenangkan Paman,” kata Arya sambil meloncat ke atas punggung
kudanya. Kemudian tanpa menunggu Mahesa Jenar, ia telah memacu kudanya. Mahesa
Jenar segera menyusul sambil menggerutu di dalam hati, Memang anak ini nakal
sekali.
Sebentar
kemudian kuda-kuda itu telah menuruni jalan-jalan perbukitan, dan segera
mencapai jalan yang menuju ke Rawa Pening. Debu yang dihamburkan oleh kaki-kaki
kuda itu bergulung-gulung di terik matahari. Berkali-kali Mahesa Jenar yang
berjalan di belakang menghapus wajahnya, yang rasanya bertambah tebal oleh debu
yang melekat. Setelah mereka berkuda beberapa saat, tampaklah jauh di depan
mereka debu yang berhambur-hamburan. Segera Arya memperlambat kudanya sampai
Mahesa Jenar berjalan di sampingnya.
“Itukah mereka
Paman?” tanya Arya Salaka.
“Ya, itulah
mereka,” jawab Mahesa Jenar.
“Lalu apa yang
akan kami lakukan?” tanya Arya lagi.
“Terserahlah
kepadamu,” jawab Mahesa Jenar tersenyum.
“Bukankah aku
hanya mengikutimu?”
Arya
mengerutkan keningnya. Ia mencoba untuk mengingat-ingat, apakah yang
mendorongnya untuk pergi. Tetapi yang ditemukannya hanyalah suatu keinginan
untuk mengetahui semata-mata. Sesudah itu tidak ada apa-apa lagi. Karena itu ia
menjadi bingung mendengar jawaban Mahesa Jenar. Mahesa Jenar menangkap kesan
itu. Lalu katanya,
“Arya, lain
kali pikirkan dahulu sebelum kau bertindak, supaya kau tidak mudah terjerat
dalam suatu bahaya. Sekarang aku kau bawa ke dalam suatu tindakan yang tak kau
ketahui sendiri maksudnya.”
Arya memandang
wajah Mahesa Jenar dengan penuh kesibukan di dalam hati. Tetapi ketika ia
melihat kesan wajah Mahesa Jenar, segera ia berkata hampir berteriak
“Paman, jangan
Paman mengganggu. Aku sudah kebingungan.”
Kembali Mahesa
Jenar tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab, sehingga kembali Arya bertanya,
“Aku akan
tidak berbuat lagi Paman. Tetapi bagaimana sekarang?”
Akhirnya
Mahesa Jenar kasihan juga melihat Arya bingung. Maka katanya,
“Kenapa kau
menjadi bingung? Bukankah biasa saja kalau kita berjalan berpapasan? Apa
halangannya?”
Jawaban Mahesa
Jenar yang sederhana itu telah membuat Arya menjadi geli sendiri. Katanya dalam
hati, Ya kenapa aku bingung. Bukankah benar kata Paman Mahesa Jenar itu…?
AKHIRNYA Arya
Salaka tertawa sendiri. Tetapi tanpa disadarinya sendiri otaknya yang tangkas
dapat mengikuti jalan pikiran Mahesa Jenar. Dengan berpapasan saja sudah
dapatlah kiranya didapat kesan mengenai orang-orang berkuda itu. Orang-orang
berkuda itu semakin lama jaraknya menjadi semakin dekat. Mahesa Jenar masih
selalu cemas atas tindakan-tindakan Arya yang kadang-kadang tak terkendalikan
itu.
“Arya,
terhadap orang-orang yang sama sekali belum kau kenal, jangan berbuat sebelum
kau ketahui beberapa hal lebih dahulu. Juga terhadap orang-orang berkuda itu.
Kita berjalan biasa saja dan jangan menimbulkan kesan yang menarik perhatian
mereka, supaya mereka tidak bercuriga,” kata Mahesa Jenar memperingatkan Arya.
Arya memalingkan
kepalanya. Sambil tersenyum ia menjawab,
“Aku sudah
berjanji Paman, untuk tidak melanggar nasehat-nasehat Paman.”
Orang-orang
berkuda itu sudah demikian dekat, dan sebentar kemudian mereka telah bersilang
jalan. Ternyata mereka terdiri sekitar 10 orang dan bersenjata lengkap. Mereka
pada umumnya bertubuh tegap dan gagah. Wajah-wajah mereka tampak keras dan
mengandung sifat-sifat yang kurang menyenangkan. Ketika mereka berpapasan, 10
pasang mata itu bersama-sama mengawasi Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Untunglah
Arya Salaka tidak berbuat sesuatu yang menarik perhatian sehingga mereka
biarkan saja anak itu lewat bersama seseorang yang mungkin dianggap bapaknya.
Tetapi dalam
waktu yang sekejap itu banyak artinya bagi Mahesa Jenar. Orang-orang itu
pastilah mempunyai maksud yang tidak baik. Kedatangan mereka di daerah Perdikan
Banyubiru dengan senjata lengkap, pasti mempunyai hubungan dengan keris
Nagasasra dan Sabuk Inten. Sebab bagaimanapun hal itu disekapnya sebagai suatu
rahasia, namun tidaklah mustahil bahwa Sima Rodra sendirilah yang dengan
sengaja meniup-niupkan berita bahwa Nagasasra dan Sabuk Inten berada di
Banyubiru. Hal ini harus segera diketahui oleh Ki Ageng Gajah Sora.
“Paman…,
kemana kita sekarang?” Tiba-tiba suara Arya mengejutkan Mahesa Jenar yang
sedang sibuk berpikir.
Mahesa Jenar
segera menoleh ke belakang. Orang-orang berkuda itu telah agak jauh di belakang
mereka.
“Ke manakah
jalan ini Arya?” tanya Mahesa Jenar.
“Aku belum
pernah berjalan jauh lewat jalan ini, Paman,” jawab Arya.
“Tetapi kata
ayah, jalan ini menuju ke Pajaten dan kemudian lewat daerah hutan akan sampai
ke jalan silang ke Bergota setelah membelok kembali ke arah barat.”
Mahesa Jenar
tampak berpikir sejenak. Kemudian ia bertanya lagi,
“Adakah
simpangan yang dapat menghubungkan kembali dengan Banyubiru tanpa mengambil
jalan yang kita lewati tadi?”
“Aku belum
tahu, Paman,” jawab Arya.
“Kita berhenti
sebentar Arya,” kata Mahesa Jenar sambil menarik kekang kudanya. Arya juga
segera menghentikan kudanya.
“Arya…,” kata
Mahesa Jenar,
“Kita harus
segera kembali. Kalau mungkin lewat jalan lain. Sebab kalau kita mengambil
jalan yang sama, pasti akan menimbulkan kecurigaan orang-orang berkuda itu
sehingga mungkin mereka akan berbuat sesuatu atas kita.”
Arya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Rupanya ia dapat mengerti keterangan Mahesa
Jenar. Tiba-tiba hampir berteriak ia berkata,
”Paman… aku
pernah pergi berburu bersama ayah. Kami mendaki lereng bukit ini lewat lorong
sempit yang biasa dilewati orang mencari kayu. Aku tidak tahu apakah aku dapat
menemukan jalan itu kembali. Tetapi yang masih aku ingat, kami lewat di sebelah
randu alas raksasa yang tampak itu, Paman.”
Mahesa Jenar
memandang ke arah pohon raksasa yang ditunjukkan oleh Arya. Pohon itu terletak
di tengah-tengah hutan yang tidak begitu lebat di lereng bukit itu.
“Mungkinkah
orang-orang tadi juga akan pergi berburu, Arya…?” tanya Mahesa Jenar.
“Aku kira
tidak, Paman. Sebab perlengkapan mereka sama sekali bukan perlengkapan orang
berburu,” jawab Arya.
Diam-diam
Mahesa Jenar memuji kecerdasan otak anak itu. Katanya kemudian,
“Beranikah kau
mencoba membawa aku bertamasya ke bawah pohon itu?”
Arya berpikir
sejenak. Kemudian jawabnya,
“Marilah kita
coba, Paman. Bila kita dapat mencapai pohon itu jalannya akan lebih mudah untuk
mencapai Banyubiru. Sebab lorong di bawah pohon itu akan tembus sampai ke
Sendang Muncul. Kalau sudah sampai di sendang itu sambil memejamkan mata aku
dapat menuntun Paman sampai ke rumah ayah.”
“Kau terlalu
sombong Arya,” potong Mahesa Jenar sambil tersenyum.
”Sebaiknya
kita coba saja. Tetapi kalau kau tidak berhasil membawa aku sampai ke rumahmu,
awas. Aku tidak mau lagi bermain gundu.”
Arya tidak
menjawab lagi. Tetapi segera ia menarik kekang kudanya dan memutarnya untuk
seterusnya meloncat menyusup hutan yang tidak begitu lebat di lereng timur
pegunungan Telamaya.
MAHESA JENAR
pun segera mengikuti Arya. Sebenarnya ia sama sekali tidak sangsi lagi setelah
Arya dapat menunjukkan ancar-ancar untuk mencapai Banyubiru. Sebab baginya sama
sekali tidak akan menemui kesulitan untuk mencapai pohon randu alas raksasa
itu. Meskipun demikian sengaja ia berjalan di belakang untuk memberi kesempatan
kepada anak Ki Ageng Gajah Sora itu.
Ternyata Arya
sama sekali tidak mengecewakan. Dengan tangkasnya ia mengendalikan kudanya ke
arah yang benar, meskipun sekali-sekali kuda itu harus berjalan sangat
berhati-hati kalau sedang mendaki tebing yang terjal. Akhirnya setelah beberapa
lama mereka menyusup semak-semak dan belukar yang tidak begitu tebal, akhirnya
dengan bangga Arya berkata,
“Inilah Paman,
Arya telah dapat menemukan jalan.”
Mahesa Jenar
tersenyum melihat wajah Arya yang lucu. Maka katanya,
“Kau memang
seorang pemburu yang hebat, Arya. Binatang-binatang buruanmu pasti tidak akan
dapat melepaskan diri kalau kau sedang memburunya.”
Di luar dugaan
Mahesa Jenar, tampak wajah Arya tiba-tiba merengut.
“Hanya itukah,
Paman…? Tidakkah aku dapat menjadi lebih baik daripada seorang pemburu? Ayah
mengharap bahwa aku akan dapat menjadi seorang pahlawan.”
Kata-kata Arya
itu sangat mengejutkan Mahesa Jenar. Ia tidak mengira bahwa di dalam dada anak
itu telah tertanam suatu cita-cita yang sedemikian besarnya. Kembali Mahesa
Jenar kagum, tidak hanya kepada anak itu, tetapi sekaligus Ki Ageng Gajah Sora
yang telah berhasil mencetak pola cita-cita hari depan anaknya. Saat yang
demikian, kembali mengetuk perasaan Mahesa Jenar tentang gambaran masa depannya
sendiri. Tak seorang pun yang akan dapat melanjutkan cita-citanya.
Kalau pada
suatu ketika ia sudah tidak dapat lagi menggerakkan tangannya serta tak dapat
lagi melangkahkan kakinya, maka ia akan terpencil dari segenap percaturan. Dan
tak seorang pun akan berkata, Aku adalah keturunan Mahesa Jenar, dan ayahku
mengharap aku menjadi seorang pahlawan. Apakah artinya perjuangan masa kini,
apabila perjuangan itu tidak dapat tanggapan dari masa depan? Pastilah apa yang
telah dihasilkan atas cucuran keringat dan darah itu satu persatu akan lenyap
seperti lenyapnya batu dari permukaan air. Hilang. Tenggelam ditelan
bergolaknya gelombang sejarah. Tiba-tiba Mahesa Jenar tersadar oleh suara Arya
yang masih belum puas ketika Mahesa Jenar tidak menjawab pertanyaannya.
“Benarkah
begitu Paman, bahwa suatu waktu aku akan dapat menjadi seorang pahlawan?” tanya
Arya.
“Tentu, tentu…
Arya. Kau akan menjadi seorang pahlawan,” jawab Mahesa Jenar cepat-cepat.
Tampaklah Arya
Salaka mengangguk puas.
“Nah, sekarang
kita tinggal menuruti lorong sempit ini untuk mencapai Sendang Muncul,” sambung
Arya Salaka.
“Marilah Arya,
kau berjalan di depan,” jawab Mahesa Jenar.
Segera Arya
dan Mahesa Jenar melanjutkan perjalanannya menuju ke Sendang Muncul. Tetapi di
sepanjang perjalanan itu Mahesa Jenar tidak dapat melepaskan diri dari gangguan
gagasannya mengenai masa depannya.
Tiba-tiba
belum beberapa lama mereka berjalan, Arya Salaka menghentikan kudanya. Matanya
tertambat pada sesuatu di atas tanah, di jalan yang sedang dilaluinya. Tetapi
belum lagi ia mengucapkan sesuatu, Mahesa Jenar telah melihat telapak-telapak
kuda di lorong sempit itu. Telapak-telapak itu muncul dari dalam belukar di
tepi lorong itu dan beberapa langkah setelah mengikuti lorong itu, kemudian
lenyap pula ke seberang yang lain.
“Telapak-telapak
kuda Paman,” desis Arya.
Mahesa Jenar
menganggukkan kepala. Ia mencoba untuk mengetahui adakah telapak-telapak kuda
itu ada hubungannya dengan orang-orang berkuda yang baru saja berpapasan jalan.
Menilik arahnya, maka tidaklah mungkin bahwa telapak telapak ini adalah telapak
kaki-kaki kuda yang dijumpainya tadi. Jumlahnya juga tidak sesuai.
Telapak-telapak ini tidak lebih dari lima ekor kuda. Maka segera ia mendapat
firasat bahwa bahaya yang besar telah mendatangi kota ini. Karena itu katanya
kepada Arya, “Arya… mungkin ada bahaya di sekitar kita, karena itu marilah kita
pulang. Mungkin ada gunanya kita membicarakan hal ini dengan ayahmu.”
Rupanya Arya
mengerti pula. Karena itu sambil mengangguk ia mempercepat jalan kudanya.
Ketika
matahari telah melampaui titik tengah, mereka sampai di Sendang Muncul. Dari
sana mereka dapat menaburkan pandangan ke dataran di muka lambung pegunungan
itu. Tetapi mereka sama sekali tidak melihat lagi orang-orang berkuda yang
dijumpainya tadi. Pasti mereka telah membelok masuk hutan. Hal ini juga
merupakan suatu pertanda yang berbahaya. Mungkin tapak-tapak kuda yang
dijumpainya itu juga berasal dari orang-orang berkuda yang ditemuinya tadi.
Karena itu maka mereka berdua segera melanjutkan perjalanan pulang, untuk
menyampaikan apa yang telah mereka lihat itu kepada Ki Ageng Gajah Sora.
Sampai di
rumah, segera mereka menambatkan kuda-kuda mereka di belakang dapur, dan
sesudah itu mereka langsung pergi ke pendapa.
Ki Ageng Gajah
Sora ketika melihat kedatangan Mahesa Jenar segera mempersilahkannya. Pada saat
itu Ki Ageng Gajah Sora dan Ki Ageng Lembu Sora beserta beberapa orang
pengiringnya sedang duduk bercakap-cakap di pendapa. Sikap Ki Ageng Lembu Sora
masih saja tidak menyenangkan bagi Mahesa Jenar. Meskipun demikian Mahesa Jenar
sama sekali tak menunjukkan ketidaksenangannya.
“Sudahkah Adi
berkeliling sampai ke segala sudut?” tanya Ki Ageng Gajah Sora.
“Sudah
Kakang,” jawab Mahesa Jenar.
“Bahkan aku
telah sampai agak jauh ke sebelah timur. Aku dibawa Arya sampai ke pohon randu
alas raksasa, yang katanya, ia pernah mengikuti Kakang berburu ke sana.”
“Kau bawa
Pamanmu sampai ke kediaman Kaki Klantung itu Arya?” tanya Gajah Sora kepada
anaknya.
“YA…, Ayah…,”
jawab Arya yang rupanya akan berceritera lebih banyak lagi, tetapi segera
disahut oleh Mahesa Jenar,
“Jadi randu
alas itu terkenal dengan tempat kediaman Kaki Klantung?”
“Begitulah
kata orang,” jawab Gajah Sora.
“Di
perjalanan, kami bertemu dengan beberapa orang pemburu. Yang pertama kami
bertemu dengan 10 orang, lalu di sebelah randu alas itu kami temui
telapak-telapak kaki kuda, kira-kira sebanyak lima ekor,” sambung Mahesa Jenar.
Mendengar
keterangan Mahesa Jenar, Ki Ageng Gajah Sora mengerutkan keningnya. Terbayang
pada wajahnya, perasaan yang kurang wajar. Arya memandang wajah Mahesa Jenar
dengan keheran-heranan. Mahesa Jenar tahu betul bahwa yang mereka jumpai
bukanlah pemburu-pemburu. Tetapi meskipun demikian ia sama sekali tidak berkata
apa-apa. Ia tidak tahu, apakah maksud Mahesa Jenar dengan berkata demikian.
“Suatu
kehormatan bagiku,” tiba-tiba Ki Ageng Gajah Sora berkata,
“Sekian banyak
pemburu-pemburu telah memerlukan datang berburu ke wilayah Banyu Biru. Memang
sebelum ini, sering benar orang pergi berburu babi hutan. Tetapi sekian banyak
orang sekaligus adalah suatu hal yang jarang-jarang sekali terjadi.”
Sementara itu,
Mahesa Jenar selalu berusaha untuk memperhatikan wajah Ki Ageng Lembu Sora.
Tetapi ternyata wajah itu tidak menunjukkan perubahan. Ia mendengarkan saja
percakapan Mahesa Jenar dengan Gajah Sora tanpa menaruh perhatian apa-apa.
Ketika udara
menjadi semakin panas, maka Ki Ageng Lembu Sora beserta para pengiringnya
dipersilakan beristirahat di gandok kulon, sedang Mahesa Jenar dipersilakan
untuk makan siang bersama Arya, sebab yang lain telah mendahuluinya.
Sementara
Mahesa Jenar makan, ia sempat melihat kesibukan Gajah Sora. Rupanya laporannya
menarik perhatiannya. Ia memerintahkan beberapa orang untuk melihat lihat
keadaan kota di bagian timur, sedang beberapa orang lain diperintahkan untuk
mengelilingi bagian kota yang lain.
Sesudah makan,
Mahesa Jenarpun segera kembali ke ruangnya di gandok wetan. Tetapi baru saja ia
membaringkan dirinya, didengarnya seseorang mendatanginya. Ternyata orang itu
adalah Ki Ageng Gajah Sora.
“Adi…” kata
Gajah Sora sambil duduk di atas bale-bale panjang di sisi tempat berbaring
Mahesa Jenar.
“Aku sangat
tertarik kepada ceriteramu.”
Mahesa Jenar
pun segera bangkit.
“Memang,
orang-orang yang aku jumpai itu menarik perhatian, Kakang,” jawabnya.
“Bagaimanakah
pertimbanganmu tentang orang-orang itu, Adi?” tanya Gajah Sora.
“Kesannya
kurang baik, jawab Mahesa Jenar. Dan rupa-rupanya Kakang telah mengambil
tindakan yang benar. Memerintahkan beberapa orang untuk berjaga-jaga. Mereka,
orang-orang berkuda itu, aku kira sedang berada di hutan-hutan, menanti saat
untuk bertindak. Tetapi aku tidak tahu apakah yang akan mereka lakukan.”
“Limabelas orang
adalah jumlah yang kecil, Adi,” kata Gajah Sora.
“Tetapi
mungkin tidak hanya itu. Dan apabila mereka dikendalikan oleh tangan yang baik,
maka akibatnyapun besar pula. Nah, baiklah kita tunggu laporan orang-orangku
sambil berjaga-jaga. Sekarang aku persilakan Adi beristirahat.”
Kembali Mahesa
Jenar ditinggalkan seorang diri di dalam ruang itu. Ia mencoba membayangkan
kembali wajah-wajah orang-orang berkuda yang ditemuinya tadi. Pastilah sesuatu
akan terjadi di kota ini. Terbayanglah dalam angan-angannya beberapa puluh
orang berkuda sedang merayap-rayap mendekati kota, yang selanjutnya pasti akan
membuat keributan. Kalau mereka merasa cukup kuat, mungkin mereka akan menyerbu
rumah ini untuk mengambil Keris Nagasasra dan Sabuk Inten. Sejenak kemudian Mahesa
Jenar mendengar derap kuda memasuki halaman. Dari celah-celah pintu yang tidak
tertutup rapat, ia dapat melihat Wanamerta dengan beberapa orang pengiring
memasuki halaman. Meskipun Wanamerta telah lanjut usia, tetapi nampaklah betapa
tangkasnya ia meloncat turun dari kudanya. Dengan langkah yang tergesa-gesa,
Wanamerta naik ke pendapa untuk menemui Ki Ageng Gajah Sora. Tetapi sejenak
kemudian ia telah turun kembali.
No comments:
Post a Comment